insect growth regulators & repelen · insektisida organik sintetik seperti ddt. mekanisme kerja...

13
1 Insect Growth Regulators & Repelen Suplemen Mata Kuliah Biotoksikologi INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN Dr. Y. S. Mokosuli, SSi MSi Program Studi Biologi FMIPA Unima PENDAHULUAN Sejarah Pestisida Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu (2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria. Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida. Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Sastroutomo, 1992). Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan penemuannya ini dia dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau Medicine pada tahun 1948 (NobelPrize.org). Pada tahun 1940an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998). Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai aloera pestisida (Murphy, 2005). Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat semenjak tahun 1950, dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap tahunnya. Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan di negara-negara berkembang (Sudarmo, 1987).

Upload: others

Post on 01-Dec-2020

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

1 Insect Growth Regulators & Repelen

Suplemen Mata Kuliah Biotoksikologi

INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN

Dr. Y. S. Mokosuli, SSi MSi Program Studi Biologi FMIPA Unima

PENDAHULUAN

Sejarah Pestisida

Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu

(2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria.

Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah

diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada

abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida.

Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari

chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Sastroutomo,

1992).

Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT

(Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh

ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan penemuannya ini dia

dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau Medicine pada tahun 1948

(NobelPrize.org). Pada tahun 1940an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam

jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai aloera

pestisida (Murphy, 2005). Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat

semenjak tahun 1950, dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap

tahunnya. Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan di

negara-negara berkembang (Sudarmo, 1987).

Page 2: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

2 Insect Growth Regulators & Repelen

Di Indonesia, pestisida yang paling banyak digunakan sejak tahun 1950an sampai akhir

tahun 1960-an adalah pestisida dari golongan hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, aldrin,

dieldrin, heptaklor dan gamma BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat organik seperti

paration, OMPA, TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun

bahan-bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida tersebut sangat

mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting yang masih perlu

diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan hidrokarbon berklor pada masa lampau

khususnya terhadap aplikasi derivat-derivat DDT, endrin dan dieldrin.

Pengertian Pestisida

Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo

berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama.

Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7

tahun 1973, Pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah,

membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat,

termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia.

Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau

perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk

perlindungan tanaman (PP RI No.6tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida sebagai zat

atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi

hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu (Soemirat, 2003).

ZAT PENGATUR TUMBUH SERANGGA : IGR (INSECT GROWTH REGULATORS)

Insect growth regulators (IGRs) adalah substansi kimia sintetik yang digunakan

sebagai insektisida yang mengalami, mengalami perkembangan sangat pesat dalam 10 tahun

terkahir ini (Harris dan Waindle, 2009). IGRs pertama dikembangkan pada tahun 1960-an

tetapi kebanyakan yang digunakan saat ini adalah produk IGRs baru.

Penelitian tentang pengaruh ZPT serangga dipelopori oleh Wigglesworth tahun 1933-

1940 dimana ia meneliti pengaturan pertumbuhan serangga oleh organ endokrin. William

(1956) menyatakan bahwa juvenile hormones dapat di identifikasi dan disintesis untuk

digunakan sebagai insektisida. Selanjutnya IGRs (insect growth regulators) digunakan sebagai

insektisida lebih dari 25 tahun. Insektisida ini muncul sebagai generasi ketiga setelah generasi

Page 3: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

3 Insect Growth Regulators & Repelen

insektisida awal yang dikenal yaitu arsenat, insektisida mineral dan generasi kedua

insektisida organik sintetik seperti DDT.

Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi

menghambat/menggangu proses pelepasan (moulting) dari pembentukan kutikula.

Karakteristik larva dipelihara oleh hormon juvenille (JH) yang disekresikan oleh corpora allata.

JH adalah hormon isoprenoid yang mencegah pemecahan kelenjar thoraks (Wingglesworth,

1972). Moulting dari pupa ditentukan oleh sirkulasi dari hormon yang dikenal dengan

moulting hormone, yang disekresikan oleh kelenjar protoraks yang diaktifkan oleh sel-sel

neurosekretori. Hormon ini akan memicu perubanan epidermis dan deposisi kutikula baru.

Bentuk yang dimurnikan, merupakan bentuk steroid yang disebut hormon ekdison. Senyawa

yang mirip dengan ekdison dapat diisolasi dari tumbuhan tertentu. IGRs dapat disintetik

untuk digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerja IGRs pada proses moulting bekerja

sebagai inhibitor kompetitor hormon in vivo, beperan dalam level seluler dalam banyak cara

tergantung struktur kimianya: tebufenozide beperan dalam moulting seperti peran hormon

ekdison sedangkan pyriproxyfen dan fenoxycarb beperan seperti hormon JH.

Kelas ketiga adalah penghambat kitin seperti diflubenzuron, flufenoxuron,

hexaflumuron dan lufenuron. Senyawa alami dari neem tree, Azadirachta indica, telah diteliti

berpotensi IGR (Rembold et. al. 1980). Menurut Engels (1990) IGRs menyebabkan sedikit

atau tidak menyebabkan kerusakan pada serangga dewasa terutama pada lebah madu.

Pengaruh IGRs kelompok ekdison hanya dapat dilihat pada saat tahap moulting. Semua IGRs

alami atau sintetik bersifat toksik pada spektrum yang luas pada Apis ataun non-Apis lebah

dimana larva dapat dipapar insektisida. Davis (1989) memberikan masukan pemahaman

lintasan insektisida yang diberikan oral kemudian Tasein et. al. 1988 menunjukkan

menyatakan bahwa Megachile rotundata Fabr. Individu betinaya dapat memidahkan insektisida

pada larva melalui makanan yang tersimpan pada lapisan telurnya. Kebanyakan artikel ilmiah

tentang pengaruh IGRs pada lebah diteliti pada species Apis mellifera L. telah dideskripsi gejala

pengaruh IGRs pada tahap larva.

Pengaruh dari JH seperti monoterpene diteliti oleh Redfern dan Knox (1974) pada

lebah pekerja dimana tidak ditemukan pengaruh mortalitas pada konsentrasi 1 sampai 1000

µg/lebah. Robinson (185) juga menggunakan monoterpen yang dilarutkan dalam asetondan

diuji pada lebah pekerja, dia menemukan bahwa lebah yang dipapar dengan 250 µg analog JH

dosis rendah 25 dan 2,5 µg tidak memberikan efek signifikan.

Page 4: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

4 Insect Growth Regulators & Repelen

MEKANISME KERJA IGRS

IGRs dipilih sebagai pestisida yang “rendah resiko” karena memiliki target utama pada

tahap awal dan akhir “immature insect”( serangga pra dewasa) pada saat proses molting. IGRs

tidak bekerja pada sistem saraf serangga seperti insektisida lainnya sehingga dapat

diaplikasikan oleh petani pada ruangan tertubuka tanpa resiko kontaminan ke lingkungan.

Terdapat 3 tipe IGRs yaitu hormonal, enzimatik dan inhibitor sintesis kitin. JH

sintetik dan ekdison menggangu keseimbangan hormon in vido dari serangga muda. Untuk

proses molting keseimbangan ratio antara JH dan ekdison diregulasi ketat oleh serangga.

Ekdison adalah hormon molting utama yang sangat dibutuhkan oleh serangga untuk

perubahan dari fase larva menjadi pupa. Jika ratio kedua hormon ini terganggu maka serangga

pra dewasa tidak akan dapat melakukan metamorfosis menjadi serangga dewasa karena

eksoskleton tidak terbentuk. Pada beberapa jenis IGRs, serangga dewasa dapat terbentuk

tetapi tidak dapat menghasilkan telur yang viabel.

IGRs bekerja lambat sekitar 3 – 10 hari tergantung species dan iklim sehingga sangat

baik digunakan pada saat awal penanaman tanaman pertanian. Azadirachitin adalah

komponen utama pada banyak IGRs yang menghambat ekdison.

Inhibitor sintesis Kitin

Eksoskleton adalah pelindung tubuh insekta dimana kitin merupakan komponen

utama eksoskleton. IGRs yang dikenal sebagai penghambat sintesis kitin dapt menghentikan

atau memperlambat produksi kitin. Tanpa kitin, insekta tidak dapat melakukan proses

molting (penggantian eksoskleton dengan eksoskleton baru) hal ini dapat menyebabkan

kematian. IGRs ini juga dapat mempengaruhi pembentukan kitin pada ikan Contoh IGRs

penghambat sintesis kitin : Benzophyenil Urea : Lufenuron, Diflubenzuron dan

Hexaflumuron.

Inhibitor JH

Hormon Juvenile mengatur proses molting pada serangga sampai eksoskleton yang

terbentuk siap beradaptasi dengan lingkungan. IGRs sintetik dapat merusak atau

menghambat JH sehingga proses molting tidak terjadi sempurna dan serangga akan mati.

Contoh : hydroprene, methoprene dan fenoxycarb.

Page 5: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

5 Insect Growth Regulators & Repelen

Tabel 1 Klasifikasi IGRs dan mekanisme kerja (Harris dan Waindle, 2009)

Prothoracicotropic Hormone (PTTH)

Prothoracicotropic Hormone (PTTH) Molting and pupation require the hormone,

PTTH, secreted by two pairs of cells in the brain of the larva.

PTTH does not drive pupation directly but, as its name suggests, acts on the

prothoracic glands.

Hormone Prothoracicotropin Tissue of Origin Neurosecretory cells in brain

Structure Small protein Target Tissue Prothoracic gland

Primary Action Stimulate ecdysone release

Regulation Various environmental and internal cues stimulate release; JH inhibits

release in some species

Page 6: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

6 Insect Growth Regulators & Repelen

Gambar Mekanisme Kerja PTTH

Page 7: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

7 Insect Growth Regulators & Repelen

Mekanisme kerja homorn Ekdison

Page 8: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

8 Insect Growth Regulators & Repelen

Juvenile Hormone

Tissue of Origin Corpus allatum

Structure Fatty acid derivative

Target TissueEpidermis, ovarian follicles, sex accessory glands, fat body

Primary Action In larva, promotes synthesis of larval structures and inhibits

metamorphosis.

In adults, stimulates synthesis and uptake of yolk protein; activates ovarian follicles

and sex accessory glands

Regulation. Inhibitory and stimulatory factors from the brain control secretion

Juvenile Hormone

Page 9: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

9 Insect Growth Regulators & Repelen

TOKSISITAS BEBERAPA IGRs

Fenoxycarb

Fenoxycarb dilarutkan dalam larutan gula sekitar 100mg/L dan diberikan pada koloni

serangga, dapat menyebabkan kematian semua serangga bentuk larva. Pada bentuk pupa

dapat terjadi gangguan metamorfosis. Pada 200 mg/L, semua larva akan mato (Van der Steen

dan de Ruijter, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Czoppelt (1991) semua pupa mati ketika

makanan yang diberikan 0,5 mg/kg feboxycarb. Ia menemukan nilai LC50 dari 0,2 mg/kg

adalag 0,12 µg larva.

Diflubenzuron

Czoppelt dan Rembold (1981) melaporkan bahwa 30 ng diflubenzuron dapat

menghambat perkembangan larva dan kematian prapupa. Pada dosis 50 dan 100 ng,

kemampuan bertahan larva kurang dari 26% dan rata-rata kematian prapupa lebih besar dari

35%. Pengujian dengan makanan, konsentrasi 0,6 sampai 1,2 µg/ml) diflubenzuron dapat

menghambat pembentukan pupa.

Azadirachitin

Penelitian yang dilakukan oleh Rembold dan Czoppelt (1981) menunjukkan bahwa

dosis terendah Azadirachitin yang diisolasi biji neem yang memberikan efek toksisitas adalah

0,25 µg/larva. Naumann dan Isman (1996) menggunakan Azadirachitin yang bukan berasal

dari ekstrak biji yang diemulsifikasi mendapatkan LD50 pada fase instar adalah 37 µg/g berat

badan dan 37 µg/g.

IGRs methoprene, isopropyl (E,E)-11-methoxy-3,7,11-trimethyl-2,4-dodecadienote

tidak memberikan pengaruh signifikan pada species selain serangga dan tidak memberikan

efek toksik pada tikus, domba, harmster, tikus dan kelinci (Wright, 1976).

IGRs jenis juvenille hormone berperan pada perkembangan serangga (metamorfosis

awal) dan hanya ditemukan pada serangga tidak pada organisme lain. Penelitian resiko

lingkungan dan toksisitas menunjukkan IGRS metoprene tidak signifikan mempengaruhi

lingkungan dan tidak toksik pada organisme non serangga. Tidak memiliki resiko residu pada

tanaman pertanian yang dikonsumsi manusia. (Siddall JB. 1986).

Page 10: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

10 Insect Growth Regulators & Repelen

Gambar struktur methoprene (Siddall JB. 1986).

-

Sumber : (Siddall JB. 1986).

Page 11: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

11 Insect Growth Regulators & Repelen

REPELAN

Penolak serangga terutama nyamuk (repelan) adalah bahan-bahan kima yang

mempunyai kemampuan untuk menjauhkan atau menghindarkan dari gigitan serangga

terhadap manusia. Penolak nyamuk digunakan dengan cara mengosokkan pada tubuh atau

menyemprotkan pada pakaian, oleh karena itu penolak nyamuk harus memenuhi beberapa

syarat yaitu tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya

menyenangkan pemakainya dan orang di sekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit,

tidak merusak pakaian dan mempunyai daya pengusir terhadap serangga yang bertahan cukup

lama (Soedarto, 1992).

Repelan yang baik mempunyai daya penolak yang besar dan tepat, serta tidak

berbahaya bagi binatang dan manusia, murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah

besar, mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah digunakan

dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut yang dapat digunakan untuk

menolak nyamuk (Brown and Hebbert, 1997).

Lotion

Lotion adalah suatu sediaan dengan medium air yang digunakan pada kulit tanpa

digosokkan. Biasanya mengandung substansi tidak larut yang tersuspensi, dapat pula berupa

larutan dan emulsi di mana mediumnya berupa air. Biasanya ditambah gliserin untuk

mencegah efek pengeringan, sebaliknya diberi alcohol untuk cepat kering pada waktu dipakai

dan memberi efek penyejuknya (Anief, 1984). Lotion dipakai untuk menyejukkan,

mengeringkan, anti pruritik dan efek protektif dalam pengobatan dermatosis akut. Sebaiknya

tidak digunakan pada luka yang berair sebab akan terjadi caking dan runtuhan kulit serta

bakteri dapat tetap tinggal di bawah lotion yang menjadi cake (Anief, 1984). Sedian lotion ini

menggunakan cetyl alcohol yang berfungsi sebagai stiffening agent (Rowe, et al., 2006) dengan

konsentrasi 2%, 6% dan 10%. Stiffening agent adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam suatu

formula, yang berfungsi sebagai bahan pengental atau pengeras di dalam formula lotion.

DEET

N,N-diethyl-m-toluamide (DEET) adalah minyak agak kuning digunakan bahan aktif

repelan serangga yang diigunakan pada kulit atau pakaian terutama untuk mengusir dan

melindungi gigitan nyamuk. Mekanisme aksi DEET dengan cara menghambat aktivitas sistem

saraf pusat dan enzim acetylcholinesterase serangga maupun mamalia. Enzim ini terlibat dalam

Page 12: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

12 Insect Growth Regulators & Repelen

hidrolisis neurotransmiter asetilkolin, sehingga mempunyai peranan penting dalam

mengendalikan neuron otot. Oleh karena itu, DEET digunakan untuk memblokir

acetylcholinesterase yang mengarah pada akumulasi yang berlebihan asetilkolin pada celah

sinaptik yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian neuromuskuler karena sesak nafas

pada serangga maupun mamalia.

DEET (gambar 1) merupakan contoh bahan penolak nyamuk dari bahan kimia yang

tidak berbau tapi mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi mata, menimbulkan rasa

terbakar pada kulit yang terluka atau jaringan membran (Soedarto, 1992)

KESIMPULAN

IGRs dipilih sebagai pestisida yang “rendah resiko” karena memiliki target utama pada

tahap awal dan akhir “immature insect”( serangga pra dewasa) pada saat proses molting.

IGRs tidak bekerja pada sistem saraf serangga seperti insektisida lainnya sehingga dapat

diaplikasikan oleh petani pada ruangan tertubuka tanpa resiko kontaminan ke

lingkungan.

Terdapat 3 tipe IGRs yaitu hormonal, enzimatik dan inhibitor sintesis kitin.

Repelan yang baik mempunyai daya penolak yang besar dan tepat, serta tidak berbahaya

bagi binatang dan manusia, murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah besar,

mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah digunakan dan

dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut yang dapat digunakan untuk

menolak nyamuk

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN · insektisida organik sintetik seperti DDT. Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi menghambat/menggangu

13 Insect Growth Regulators & Repelen

Harris S dan Waindle M, 2009. Insect growth regulators. Chase research garden Inc. USA Mader E. 2009. Organic-Approved insecticide, minimising risk to pollinators. www. xerces.org Naumann K., Isman M.B. (1996) Toxicity of a neem (Azadirachta indica A. Juss) insecticide to larval honey bees, Am. Bee J. 136, 518–520. Palmer D. 1999. How insecticide work University of Florda. http://prohort.ifas.ufl.edu/ Rembold H., Czoppelt C. (1981) Evaluation of insect growth regulators from Azadirachta indica (neem) using rearing tests on honey bee larvae, Mitt. Dtsch. Ges. Allg. Angew. Entomol. 3, 196–198 (in German). Siddall JB. Insect growth regulators and insect control : a critical appraisal. Environmental Health Perspectives. Vol. 14, pp, 119-126. Wright JE. 1976. Environmental and toxicological ascpects of insect growth regulators. Environmental Health Perspectives. Vol. 14, pp, 127-132.