informasi+dan+pasien
TRANSCRIPT
MAKALAH
Farmasi Sosial
” Informasi dan Pasien”
Disusun oleh :
1. Lafziah 08334029
2. Tuty Bertha Riasari 08334712
3. Aris Setiawan 08334711
4. Dewi Ramayani 09334734
5. Dini Susanti 07334054
6. Yuli Ratnaningsih 09334726
7. Martya Dewi 09334725
8. Ratna Pertiwi 09334718
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA dan ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
1
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
anugrahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah FARMASI SOSIAL ini. Untuk
itu supaya dapat dipelajari bersama, kami tuangkan tugas kami secara tertulis ke dalam makalah
dengan materi ”INFORMASI DAN PASIEN” selama penyusunan tugas mata kuliah
Farmakoepidemiologi ini. kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
menyusun tugas mata kuliah Farmakoepidemiologi ini. Khususnya kepada ibu Lily selaku dosen
pengajar mata kuliah Farmakoepidemiologi.
Dengan segala kerendahan hati, kami menyadari bahwa tugas mata kuliah Farmasi Sosial
ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami selaku penyusun sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi
penulis dan pada umumnya bagi pihak yang membutuhkan.
Jakarta, November 2011
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................. 2
Daftar Isi...................................................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN.......................................................................................................... 4
I.1 Latar belakang........................................................................................................... 4
I.2 Tujuan....................................................................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................ 6
II.1 Kewajiban apoteker sebagai pemberi informasi...................................................... 6
II.1.1 Penyusunan Informasi Dasar / Database Pasien………………………… 8
II.1.2 Evaluasi/Pengkajian……………………………………………………. 8
II.1.3 Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)………………......................... 8
II.1.4 Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian………………………... 9
II.1.5 Tindak Lanjut…………………………………………………………... 10
II.2 Konseling…………………………........................................................................ 10
II.3 Pengertian Pelayanan Informasi Obat (PIO)……………………………………… 12
II.4 Pelayanan Swamedikasi…………………………………………………………… 16
II.5 Informasi pada Kemasan, Etiket atau Brosur.......................................................... 18
II.6 Informasi Obat Palsu............................................................................................... 24
BAB III. PEMBAHASAN.......................................................................................................... 25
Hak Pasien dalam Memperoleh Informasi..................................................................... 25
KESIMPULAN........................................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ 32
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Informasi apoteker kepada pasien di Indonesia diperlukan untuk meminimalkan
penyalahgunaan obat. Sayangnya, kesadaran pasien dan ketersediaan waktu apoteker untuk
memberikan informasi masih sangat rendah. Kegiatan informasi ini meliputi beberapa hal,
diantaranya perkenalan pasien dengan apoteker, pengumpulan informasi dari pasien,
penggalian riwayat kesehatan oleh apoteker, penjelasan tentang penyimpanan dan
penggunaan obat, serta terapi non-farmakologi, yang meliputi pemberian saran-saran guna
mendukung penyembuhan.
Negara-negara besar, seperti Kanada, kegiatan dalam hal pemberian Informasi yang
dilakukan Apoteker kepada pasien sudah membawa dampak positif terhadap kesehatan
pasien. Masyarakat tahu benar tentang obat yang dikonsumsinya sehingga penggunaan obat
dengan cara yang salah bisa diminimalkan. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan di apotek
atau klinik saja, tapi juga lewat telepon seperti konseling. Hal seperti itu belum dilakukan di
Indonesia karena belum menjadi sebuah budaya. "Konseling apoteker di Indonesia hanya
terbatas di rumah sakit besar, terbatasnya waktu apoteker dalam memberikan pelayanan
juga menjadi faktor selain pengalaman dan pengetahuan yang masih kurang sehingga
membuat apoteker cendrung kurang percaya diri.
Apoteker adalah praktisi kesehatan yang merupakan bagian dari sistem rujukan
profesional. Karena mudah didatangi (aksesibilitas), apoteker sering kali merupakan titik
kontak pertama antara seorang penderita dan sistem pelayanan dalam mencari informasi.
Sekarang ini banyak IFRS yang memberikan pelayanan 24 jam untuk gawat darurat dan
perawatan kritis, oleh karena itu IFRS sering digunakan sebagai pintu gerbang masuk ke
dalam sistem pelayanan kesehatan yang menuntun penderita ke dokter untuk diagnosis dan
pengobatan formal. Apoteker berurusan dengan penerapan terapi, dengan menyediakan
produk obat yang perlu untuk pengobatan kondisi yang didiagnosis oleh dokter, dan
memastikan penggunaan obat yang tepat.
4
Farmasis adalah profesi yang harus selalu berinteraksi dengan profesional kesehatan
lainnya, dan penderita untuk pemberian konsultasi serta informasi, di samping
mengendalikan mutu penggunaan terapi obat dalam bentuk pengecekan atau interpretasi
pada resep atau order dokter. Dengan ketersediaan sistem informasi penderita berbasis
komputer dalam IFRS modern, semakin lazim bagi apoteker memainkan peranan yang
lebih aktif dalam seleksi atau perbaikan terapi obat setelah berkonsultasi dengan penulis
resep atau order. Selain itu, apoteker memberi konsultasi dan / atau konseling bagi
penderita tentang cara terbaik mengonsumsi obat dan apoteker berada dalam posisi untuk
membantu penderita memantau pengaruh positif dan negatif dari terapi mereka.
1.2. TUJUAN
Tujuan pemberian informasi dari apoteker kepada pasien untuk mengurangi
kejadian penyalahgunaan obat; pasien dapat mengerti akan kegunaan obat yang
dikonsumsi, aturan minumnya dan juga obat atau makanan yang tidak boleh dikonsumsi
secara bersamaan untuk mengurangi terjadinya efek samping yang mungkin terjadi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KEWAJIBAN APOTEKER SEBAGAI PEMBERI INFORMASI
Dalam evolusinya perkembangan pelayanan farmasi telah terjadi pergeseran
orientasi pelayanan farmasi dari orientasi terhadap produk menjadi orientasi terhadap
kepentingan pasien yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan serta menguatnya tuntutan terhadap jaminan keselamatan
pasien. Orientasi terhadap kepentingan pasien tanpa mengesampingkan produk dikenal
dengan konsep Pharmaceutical Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang
berkaitan dengan obat dan penggunaannya; semakin meningkatnya keadaan sosio-ekonomi
dan tingkat pendidikan masyarakat; serta adanya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan
kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun di komunitas, Pharmaceutical
Care merupakan hal yang mutlak harus diterapkan.
Secara prinsip, Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa
tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:
1. Penyusunan informasi dasar atau database pasien.
2. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment).
3. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK).
4. Implementasi RPK.
5. Monitoring Implementasi.
6. Tindak Lanjut (Follow Up).
Keseluruhan tahap pelayanan kefarmasian ini dilakukan dalam suatu proses penyuluhan
dan konseling kepada pasien mengenai penyakit yang dideritanya. Dibawah ini adalah
formulir pelaksanaan tahap pelayanan kefarmasian tersebut.
6
FORMULIR PELAYANAN KEFARMASIAN
I. DATA BASE
Nama
Umur, BB, TB
Alamat
Alergi
Riwayat
Penyakit
Riwayat
Obat
II. EVALUASI / PENGKAJIAN
Database
Problem Medik
Terapi
DRP
III. PELAYANAN KEFARMASIAN
Uraian
Materi
Respon
Rekomendasi
Monitoring
Konseling
Ttd
……………………...
Apoteker
___________________
7
2.1.1. Penyusunan Informasi Dasar / Database Pasien
Penyusunan database dilakukan dengan menyalin nama, umur, berat badan pasien
serta terapi yang diberikan yang tertera pada resep. Mengenai masalah medis (diagnosis,
gejala) dibuat dengan menyusun perkiraan masalah medis yang dimiliki pasien dari terapi
yang diberikan. Masalah medis yang diperkirakan selanjutnya dikonfirmasikan ulang
kepada pasien dan dokter bila perlu.
Riwayat alergi perlu ditanyakan khususnya pada pasien yang mendapat antibiotika
atau senyawa-senyawa obat lainnya yang potensil menimbulkan alergi. Riwayat obat yang
perlu ditanyakan adalah riwayat penggunaan obat satu bulan terakhir. Hal ini diperlukan
untuk memprediksikan efek samping dan efek yang disebabkan masalah terapi obat
lainnya, serta untuk membantu pemilihan obat.
2.1.2. Evaluasi/Pengkajian
Tujuan yang ingin dicapai dari tahap ini adalah identifikasi masalah yang berkaitan
dengan terapi obat. Berbagai masalah yang dapat timbul berkaitan dengan terapi obat.
Pelaksanaan evaluasi dilakukan dengan membandingkan problem medik, terapi, dan
database yang telah disusun, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan tentang
farmakoterapi, farmakologi dan ilmu pengetahuan lain yang berkaitan.
2.1.3. Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK)
Rencana Pelayanan Kefarmasian memuat beberapa hal berikut:
1. Rekomendasi terapi
Dalam rekomendasi terapi diajukan saran tentang pemilihan / penggantian obat,
perubahan dosis, interval dan bentuk sediaan.
2. Rencana Monitoring
Rencana monitoring terapi obat meliputi:
8
a. Monitoring efektivitas terapi.
Monitoring terapi obat pada kasus DM dilakukan dengan memantau tanda-tanda
vital seperti poliuria, polidipsia, polifagia. Pada DM lansia terjadi gangguan penglihatan
karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan
luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim. Selain itu parameter klinik
juga dapat membantu monitoring efektivitas terapi.
b. Monitoring Reaksi Obat Berlawanan (ROB)
Meliputi efek samping obat, alergi dan interaksi obat. Pelaksanaan monitoring terapi
obat bagi pasien di apotek memiliki keterbatasan bila dibandingkan dengan di rumah sakit,
antara lain kesulitan untuk mengikuti perkembangan pasien setelah keluar dari apotek.
Metode yang paling tepat digunakan adalah monitoring melalui telepon baik apoteker yang
menghubungi maupun sebaliknya, pasien melaporkan melalui telepon tentang kejadian
yang tidak diharapkan kepada apoteker. Khususnya dalam memonitor terjadinya ROB,
perlu disampaikan ROB yang potensial akan terjadi serta memiliki signifikansi secara
klinik dalam konseling kepada pasien. Selain itu pasien dihimbau untuk melaporkan
kejadian yang dicurigai ROB kepada apoteker. Selanjutnya apoteker dapat menyusun
rekomendasi terkait ROB tersebut.
3. Rencana Konseling
Rencana konseling memuat pokok-pokok materi konseling yang akan disampaikan.
2.1.4. Implementasi Rencana Pelayanan Kefarmasian
Kegiatan ini merupakan upaya melaksanakan Rencana Pelayanan Kefarmasian
(RPK) yang sudah disusun. Rekomendasi terapi yang sudah disusun dalam RPK,
selanjutnya dikomunikasikan kepada dokter penulis resep. Metode penyampaian dapat
dipilih antara berbicara langsung (pada apotek di poliklinik atau apotek pada praktek dokter
bersama) atau melalui telepon. Komunikasi antar profesi yang sukses memerlukan teknik
dan cara tersendiri yang dapat dipelajari dan dikembangkan berdasarkan pengalaman.
Implementasi rencana monitoring adalah dengan melaksanakan monitoring terapi obat
dengan metode seperti yang sudah disebutkan di atas. Demikian pula implementasi
Rencana Konseling dilaksanakan dengan konseling kepada pasien.
9
.2.1.5. Tindak Lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan yang menjamin kesinambungan pelayanan
kefarmasian sampai pasien dinyatakan sembuh atau tertatalaksana dengan baik. Kegiatan
yang dilakukan dapat berupa pemantauan perkembangan pasien baik perkembangan kondisi
klinik maupun perkembangan terapi obat dalam rangka mengidentifikasi ada atau tidaknya
masalah terapi obat (MTO) yang baru. Bila ditemukan MTO baru, maka selanjutnya
apoteker menyusun atau memodifikasi RPK.Kegiatan lain yang dilakukan dalam follow-up
adalah memantau hasil atau outcome yang dihasilkandari rekomendasi yang diberikan. Hal
ini sangat penting bagi apoteker dalam menilai ketepatan rekomendasi yang diberikan.
Kegiatan follow-up memang sulit dilaksanakan di lingkup farmasi komunitas, kecuali
pasien kembali ke apotek yang sama, apoteker secara aktif menghubungi pasien atau pasien
menghubungi apoteker melalui telepon.
2.2. KONSELING
Konseling kefarmasian merupakan usaha dari apoteker dalam membantu
masyarakat menyelesaikan masalah kesehatan yang umumnya terkait dengan sediaan
farmasi agar masyarakat mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sesuai dengan
kemampuan dan kondisi masyarakat itu sendiri. Konseling kefarmasian bukan sekedar PIO
atau konsultasi tapi lebih jauh dari itu. Dan untuk mendapatkan konseling yang efektif, para
apoteker praktisi harus selalu melatih menggunakan teknik-teknik koseling yang
dibutuhkan pada praktek komunitas.
Tujuan pemberian konseling kepada pasien adalah untuk mengetahui sejauh mana
pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya serta untuk
memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien. Ada tiga pertanyaan utama (Three
Prime Questions) yang dapat digunakan oleh apoteker dalam membuka sesi konseling
untuk pertama kalinya. Pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Apa yang telah dokter katakan tentang obat anda?
10
2. Apa yang dokter jelaskan tentang harapan setelah minum obat ini?
3. Bagaimana penjelasan dokter tentang cara minum obat ini?
Pengajuan ketiga pertanyaan di atas dilakukan dengan tujuan agar tidak terjadi
pemberian informasi yang tumpang tindih (menghemat waktu); mencegah pemberian
informasi yang bertentangan dengan informasi yang telah disampaikan oleh dokter
(misalnya menyebutkan indikasi lain dari obat yang diberikan) sehingga pasien tidak akan
meragukan kompetensi dokter atau apoteker; dan juga untuk menggali informasi seluas-
luasnya (dengan tipe open ended question).
Tiga pertanyaan utama tersebut dapat dikembangkan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut
sesuai dengan situasi dan kondisi pasien:
1. Apa yang dikatakan dokter tentang peruntukan / kegunaan pengobatan anda?
Persoalan apa yang harus dibantu?
Apa yang harus dilakukan?
Persoalan apa yang menyebabkan anda ke dokter?
2. Bagaimana yang dikatakan dokter tentang cara pakai obat anda?
Berapa kali menurut dokter anda harus menggunakan obat tersebut?
Berapa banyak anda harus menggunakannya?
Berapa lama anda terus menggunakannya?
Apa yang dikatakan dokter bila anda kelewatan satu dosis?
Bagaimana anda harus menyimpan obatnya?
Apa artinya ‘tiga kali sehari’ bagi anda?
3. Apa yang dikatakan dokter tentang harapan terhadap pengobatan anda?
Pengaruh apa yang anda harapkan tampak?
Bagaimana anda tahu bahwa obatnya bekerja?
Pengaruh buruk apa yang dikatakan dokter kepada anda untuk diwaspadai?
Perhatian apa yang harus anda berikan selama dalam pengobatan ini?
Apa yang dikatakan dokter apabila anda merasa makin parah / buruk?
Bagaimana anda bisa tahu bila obatnya tidak bekerja?
Pada akhir konseling perlu dilakukan verifikasi akhir (tunjukkan dan katakan) untuk
lebih memastikan bahwa hal-hal yang dikonselingkan dipahami oleh pasien terutama dalam
11
hal penggunaan obatnya dapat dilakukan dengan menyampaikan pernyataan sebagai
berikut:
‘Sekedar untuk meyakinkan saya supaya tidak ada yang terlupa, silakan diulangi bagaimana
anda menggunakan obat anda’.
Dalam proses konseling harus melibatkan evidence based practice. Pada evidence
based medicine, pengobatan didasarkan pada bukti ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan sedangkan evidence based practice bukti tidak dapat hanya
dikaitkan dengan bukti-bukti ilmiah tetapi juga harus dikaitkan dengan bukti/data yang ada
pada saat praktek profesi dilakukan. Dengan demikian, perbedaan waktu, situasi, kondisi,
tempat dll mungkin akan mempengaruhi tindakan profesi, keputusan profesi dan hasil. Agar
tetap menghasilkan praktek profesi yang optimal, setiap apoteker atau calon apoteker harus
terlatih dalam penguasaan dan penerapan skill dan knowledge dalam praktek profesi sesuai
kebutuhan.
Setiap apoteker bisa jadi memiliki kebutuhan yang berbeda dalam skill dan
knowledge, hal ini tergantung dari banyak hal termasuk model, manajemen, orientasi,
tempat dll. Tetapi semua mempunyai kesamaan dalam standar profesi. Salah satu standar
yang digunakan untuk mendapatkan kualitas layanan yang baik adalah Standar Prosedur
Operasional (SPO). Yang mana standar ini harus disusun sesuai praktek profesi yang telah
dilakukan, bukan hanya sekedar teori belaka yang belum diuji coba, yang ujung-ujungnya
membuat kesulitan dalam penerapannya. Selanjutnya SPO ini harus diuji cobakan secara
luas dan propesional sebelum dijadikan standar secara nasional.
Salah satu ciri khas konseling adalah lebih dari satu kali pertemuan. Pertemuan
pertemuan selanjutnya dalam konseling dapat dimanfaatkan apoteker dalam memonitoring
kondisi pasien. Pemantauan terhadap kondisi pasien dapat dilakukan Apoteker pada saat
pertemuan konsultasi rutin atau pada saat pasien menebus obat, atau dengan melakukan
komunikasi melalui telepon atau internet. Pemantauan kondisi pasien sangat diperlukan
Pelayanan Informasi Obat (PIO) di Rumah Sakit
2.3. PENGERTIAN PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
peberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh
12
apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan di rumah sakit.
Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengelolaan, penyajian, dan pengawasan
mutu data / informasi obat dan keputusan profesional. Penyediaan informasi obat meliputi
tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan pengawasan mutu data / informasi obat.
Tujuan :
1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi kepada
pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan
pihak lain.
3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat terutama bagi PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) / KFT (Komite
Farmasi dan Terapi).
Ruang Lingkup Pelayanan :
1. Pelayanan meliputi: menjawab pertanyaan, menerbitkan buletin, membantu unit lain
dalam mendapat informasi obat, menyiapkan materi untuk brosur/leaflet informasi
obat, mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dalam menyusun dan
merevisi formularium
2. Pendidikan (terutama pada RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan) meliputi:
mengajar dan membimbing mahasiswa, memberi pendidikan pada tenaga kesehatan
dalam hal informasi obat, mengkoordinasikan program pendidikan berkelanjutan di
bidang informasi obat, membuat/menyampaikan makalah seminar/simposium
3. Penelitian meliputi: melakukan penelitian evaluasi penggunaan obat (EPO),
melakukan penelitian penggunaan obat baru, melakukan penelitian lain yang
berkaitan dengan penggunaan obat, baik secara mendiri maupun bekerja sama
dengan pihak lain, melakukan kegiatan program jaminan mutu
Sasaran Informasi Obat
1. Pasien dan atau keluarga pasien
2. Tenaga kesehatan : dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker,
dll
3. Pihak lain: manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dll
13
Persyaratan SDM
1. Mempunyai kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan
mengikuti pendidikan pelatihan yang berkelanjutan.
2. Menunjukkan kompetensi profesional dalam penelusuran, penyeleksian dan
evaluasi sumber informasi,
3. Mengetahui tentang fasilitas perpustakaan di dalam dan di luar RS, metodelogi
penggunaan data elektronik.
4. Memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi obat.
5. Memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
Metode PIO
1. PIO dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan dengan kondisi
RS.
2. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang di luar jam kerja dilayani oleh
apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
3. PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada PIO diluar jam kerja.
4. Tidak ada petugas khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi, baik
pada jam kerja maupun di luar jam kerja.
5. Tidak ada apoteker khusus, PIO dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi di
jam kerja dan tidak ada PIO di luar jam kerja.
Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana PIO disesuaikan dengan kondisi RS. Jenis dan jumlah
perlengkapan bervariasi tergantung ketersediaan dan perkiraan kebutuhan akan
perlengkapan dalam pelaksanaan PIO
Sarana ideal untuk PIO, sebaiknya disediakan sarana fisik, seperti :
1. Ruang kantor
2. Ruang rapat
3. Perpustakaan
4. Komputer
5. Telepon dan faksimili
6. Jaringan internet, dll
7. In house data base
Apabila tidak ada sarana khusus, pelaksanaan PIO dapat menggunakan ruangan
instalasi farmasi beserta perangkat pendukungnya untuk menyesuaikan jenis dan dosis
14
terapi obat yang digunakan. Apoteker harus mendorong pasien untuk melaporkan keluhan
ataupun gangguan kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin.
LEMBAR PELAYANAN INFORMASI OBAT
No: …… Tgl: ……… Waktu: ……… Metode: lisan/pertelp./tertulis
1. Identitas Penanya
Nama: ………………………… Status: …………………
No. Telp: ……………………...
2. Data pasien
Umur: ………………… Berat: …………... kg
Jenis Kelamin: L/P
Kehamilan: Ya/Tidak …………. minggu
Menyusui: Ya/Tidak Umur bayi: ………..
3. Pertanyaan
Uraian permohonan
...........................................................................................
Jenis permohonan
ÿ Identifikasi obat ÿ Dosis
ÿ Antiseptik ÿ Interkasi obat
ÿ Stabilitas ÿ Farmakokinetik/Farmakodinamik
ÿ KontraIndika ÿ Keracunan
ÿ Ketersediaan obat ÿ Penggunaan Terapetik
ÿ Harga obat ÿ Cara pemakaian
ÿ ESO ÿ Lain-lain
4. Jawaban
..........................................................................................
..........................................................................................
5. Referensi
..........................................................................................
6. Penyampaian Jawaban : Segera dalam 24 jam, > 24 jam
Apoteker yang menjawab: ………………………………………….
Tgl: ………………………… Waktu: ………………...
Metode Jawaban: lisan / tertulis / pertelepon
15
2.4. PELAYANAN SWAMEDIKASI
Definisi swamedikasi / pengobatan sendiri berdasarkan Permenkes
No.919/MENKES/PER/X/1993 adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala penyakit
tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Lebih dari 60% dari masyarakat melakukan
swamedikasi dan 80% diantaranya mengandalkan obat modern. Meningkatnya tingkat
pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya arti sehat, serta mahalnya biaya
kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien adalah menjadi penyebab meningkatnya
praktek swamedikasi. Akibatnya, penggunaan obat bebas maupun obat bebas terbatas oleh
masyarakat juga semakin meningkat.
Pada situasi demikian peran profesi apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (sebagai
tim farmasi) sangatlah penting, yakni tidak sekedar menjual obat (obat sebagai komoditas),
namun harus mampu berperan “klinis” dengan memberikan asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care). Kompetensi tim farmasi dalam mengedukasi pasien semakin
dituntut oleh masyarakat yang membutuhkan informasi obat. Tuntutan pergeseran peran
tersebut semakin besar dengan semakin berkembangnya teknologi formulasi dan banyaknya
penemuan obat baru yang sering membingungkan masyarakat. Tim farmasi di komunitas
(apotek) adalah tenaga ahli asuhan kefarmasian yang paling mudah diakses dan dipercaya
oleh masyarakat. Farmasis harus memberikan informasi lebih kepada pasien daripada hanya
menyampaikan produk obat. Filosofi utama dari pelayanan swamedikasi adalah
mengamankan pasien dari bahaya penyakit dan obat. Oleh karena itu pemahaman tim
farmasi tentang obat dan penyakit merupakan hal yang harus dikuasai dan tidak bisa
ditawar. Tim farmasi harus selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan klinis
dalam menanggapi gejala penyakit, termasuk ketrampilan berkomunikasi, agar dapat
berperan aktif dalam pelayanan swamedikasi.
Ketrampilan utama untuk menanggapi gejala penyakit yang disampaikan oleh pasien
adalah:
1. Kemampuan untuk membedakan antara gejala penyakit ringan dan serius
2. Keterampilan mendengarkan secara aktif
3. Kemampuan untuk bertanya
4. Kemampuan pemilihan terapi berdasarkan efektivitasnya
5. Kemampuan bekerjasama dengan pasien
16
Pasien bukanlah selembar kertas kosong. Keinginan pasien harus digali dan pasien
dilibatkan secara aktif untuk mengetahui pandangan mereka terhadap penyakit dan
pengobatan.
Teknik Pelayanan Swamedikasi
Sering dijumpai bahwa tim farmasi sedikit sekali memberikan pertanyaan untuk
mengggali informasi selengkap mungkin dari pasien. Mereka hanya mengandalkan
diagnosis versi pasien yang belum tentu benar. Selain itu tim farmasi terlalu cepat
menyarankan suatu obat bahkan pada kondisi dimana penggunaan obat sebenarnya tidak
diperlukan, atau pada kondisi dimana gejala yang dikeluhkan pasien mengindikasikan
adanya penyakit yang berpotensi serius sehingga harus segera dirujuk ke dokter. Jarang
diberikan saran atau larangan yang harus perhatikan oleh pasien terkait dengan penyakit
yang dideritanya.
Saat menanggapi keluhan pasien diperlukan teknik tahapan bertanya yang sistematis
sehingga farmasis memperoleh informasi yang lengkap dan dapat mengambil keputusan
dengan tepat. Salah satu teknik yang bisa digunakan adalah metode WWHAM yaitu:
1. W – who is it for ? (Siapa yang sakit)
Pertama kali harus ditanyakan siapa yang sakit, usia berapa, apakah dalam keadaan
hamil/menyusui. Bila yang datang adalah pasien sendiri, bisa dilihat penampilan
fisiknya untuk membantu penilaian kondisi pasien (ruam kulit, pucat, keringat
berlebihan dan lain-lain)
2. W – what are the symptoms ? (apa gejalanya)
Perlu ditanyakan gejala/keluhan penderita, dan tim farmasi harus tahu gejala-gejala
yang perlu diwaspadai. Dengan memperhatikan gejala yang perlu diwaspadai, dapat
ditentukan dengan tepat apakah pasien harus diberi rekomendasi, atau dirujuk ke
dokter.
3. H - how long have the symptoms ? (berapa lama gejala diderita)
Ditanyakan jangka waktu gejala yang dikeluhkan pasien, bagaimana perkembangan
kondisi pasien saat ini, apakah pasien juga menderita penyakit lain
4. A - actions taken so far ? (tindakan apa yang sudah dilakukan)
17
Perlu ditanyakan tindakan pengobatan yang sudah dilakukan dsb.
5. M - medications they are taking ? (obat apa yang sudah digunakan)
Ditanyakan obat yang sudah digunakan untuk mengatasi keluhan, meliputi obat
bebas / bebas terbatas, obat yang diresepkan, maupun obat tradisional. Ditanyakan
apakah pasien juga meminum obat untuk penyakit lain.
Beberapa pasien menginginkan farmasis untuk memilihkan obat bagi mereka, akan
tetapi ada pula yang langsung minta dilayani dengan menyebut nama obat. Jika pasien
menginginkan merek obat tertentu dan pasien pernah menggunakannya, pastikan bahwa
pasien sudah mengetahui informasi penting yang harus diketahui, serta tanyakan apakah
pasien memerlukan informasi lebih lanjut tentang obat tersebut. Sebaliknya bila pasien
masih mau mencoba obat yang mereka inginkan untuk pertama kali maka gali informasi
darimana pasien mengetahui obat tersebut dan selanjutnya gunakan tahapan bertanya
seperti di atas.
Saat memutuskan rekomendasi terapi obat hendaknya farmasis berpegang pada
pengobatan yang rasional yakni pengobatan dengan efek terapi maksimal serta efek
samping dan biaya pengobatan yang minimal. Yang perlu diingat bahwa pasien tidak harus
selalu diberi obat, terutama ketika dijumpai gejala/keluhan yang mengarah pada penyakit
berpotensi serius. Tim farmasi harus bisa memutuskan dengan tepat kapan pasien harus
segera dirujuk ke dokter.
2.5. INFORMASI PADA KEMASAN, ETIKET ATAU BROSUR
Pada setiap obat bebas/bebas terbatas selalu dicantumkan nama obat, komposisi
obat, informasi mengenai cara kerja obat, indikasi, aturan pakai, peringatan perhatian, nama
produsen, nomor batch / lot. Disamping itu, sebagai tanda ijin edar yang absah pada setiap
obat dicantumkan nomor registrasi.
Berikut adalah tanda yang sering terdapat pada kemasan obat.
OBAT KERAS dengan tanda Lingkaran Merah K
18
ÿ Pembeliannya harus dengan resep dokter
ÿ Hanya bisa dibeli di apotik
OBAT BEBAS TERBATAS dengan tanda Lingkaran Biru
ÿ Pembeliannya tanpa resep dokter
ÿ Bisa dibeli di apotik dan Toko Obat berijin
ÿ Pembeliannya tanpa resep dokter
OBAT BEBAS dengan tanda Lingkaran Hijau
ÿ Bisa dibeli di Apotik dan Toko Berijin
ÿ Apabila anda akan mengkonsumsi obat sebaiknya baca dahulu aturan pakai yang
tercantum pada etiket, brosur / bungkus obat.
ÿ TANDA PERINGATAN PADA OBAT BEBAS TERBATAS
P. NO.1 Awas ! Obat Keras Bacalah aturan memakainya
P. NO. 2 Awas ! Obat Keras Hanya untuk kumur, jangan ditelan
P. NO. 3 Awas ! Obat Keras Hanya untuk bagian luar dari badan
P. NO. 4 Awas ! Obat Keras Hanya untuk dibakar
P. NO. 5 Awas ! Obat Keras Tidak boleh ditelan
P. NO. 6 Awas ! Obat Keras Obat wasir, jangan ditelan
Bagaimana menyimpan obat yang benar ?
ÿ Jauhkan dari jangkauan anak.
ÿ Simpan obat dalam kemasan aslinya dan dalam wadah tertutup rapat.
ÿ Jangan simpan pada tempat yang lembab, panas dan terkena sinar matahari
langsung.
ÿ Suhu penyimpanan diperhatikan apakah penyimpanan obat diperlukan pada suhu
dingin, suhu sejuk, suhu kamar.
19
ÿ Obat dalam bentuk cair jangan disimpan dalam lemari pendingin kecuali disebutkan
pada etiket atau kemasan obat.
ÿ Hindarkan agar obat dalam bentuk cair menjadi beku.
ÿ Jangan tinggalkan obat anda di dalam mobil dalam jangka waktu yang lama, karena
perubahan suhu dapat merusak obat.
BAGAIMANA CARA PEMAKAIAN SEDIAAN OBAT YANG BENAR ?
A. OBAT TETES MATA
Cara Pemakaian :
1. Cuci tangan, jangan menyentuh ujung pipet.
2. Mata dibuka lebar, kepala didongakkan, pandangan mata diarahkan ke atas.
3. Pelupuk mata bawah ditarik sampai membentuk ”parit”.
4. Pipet didekatkan dan teteskan obat sebanyak yang dianjurkan pada parit tsb.
5. Mata dibiarkan terbuka beberapa saat, tutup pelahan dan dikejap perlahan, jangan
terlalu kuat.
6. Bila ada dua macam tetes mata, selisih penetesan 5 menit.
7. Larutan yang merembes keluar bersihkan dengan kasa steril tisu.
8. Bayi / anak kecil, tidak perlu membuka mata. Teteskan pada sudut mata (batas antara
mata dan hidung).
B. OBAT SALEP MATA
Cara Pemakaian :
1. Cuci tangan dan jangan menyentuh ujung tube.
2. Tengadahkan kepala sedikit.
3. Pegang tube dengan satu tangan dan tarik kelopak mata bawah ke bawah dengan tangan
yang lain untuk membentuk cekungan.
4. Dekatkan tub sedekat mungkin ke cekungan.
5. Bubuhkan salep sejumlah yang dianjurkan.
6. Pejamkan mata selama 2 menit.
7. Seka sisa salep dengan kertas tisu.
20
8. Bersihkan ujung tube dengan tisu lain.
C. OBAT TETES HIDUNG
Cara Pemakaian :
1. Bersihkan hidung
2. Duduk dan dongakkan kepala kebelakang atau berbaring dengan bantal di bawah bahu,
usahakanlah agar kepala tetap lurus.
3. Pipet dimasukkan 1 cm ke dalam lubang hidung.
4. Teteskan obat sejumlah yang dianjurkan.
5. Kepala ditarik ke depan menekuk sampai berada diantara lutut.
6. Setelah beberapa detik baru berdiri dan obat akan mengalir ke pharynx.
7. Ulangi langkah – langkah ini untuk lubang hidung sebelahnya, jika perlu.
8. Bersihkan alat penetes dengan air matang.
D. OBAT TETES TELINGA
Cara Pemakaian :
1. Bagian dalam telinga dibersihkan.
2. Obat tetes telinga bila perlu dihangatkan dengan menggenggam beberapa saat.
3. Tarik telinga untuk melebarkan lubang telinga, kepala miring sehingga telinga yang akan
ditetesi berada di atas.
4. Teteskan, pastikan sudah masuk dan biarkan beberapa menit / 5 menit, sebelum beralih
ke telinga yang lain.
E. OBAT SUPPOSITORIA
Cara pemakaian :
1. Cucilah Tangan.
2. Buka kemasan obat ( kecuali bila terlalu lunak )
3. Jika suppositoria terlalu lunak, keraskan dahulu dengan cara mendinginkannya (simpan
dilemari es atau aliri air kran dingin, berikut kemasannya), baru kemudian buka
kemasannya.
21
4. Hilangkan bagian – bagian pinggir yang mungkin tajam dengan menghangatkannya
dalam genggaman.
5. Basahi obat dengan air.
6. Berbaringlah miring pada satu sisi dan tekuk lutut.
7. Secara perlahan2 masukkan suppositoria, dengan ujung yang membulat terlebih dulu
sampai seluruh obat masuk.
8. Tetaplah brbaring selama beberapa menit.
9. Cucilah tangan.
10. Usahakan agar tidak buang air besar selama 1 jam setelah pemberian obat.
F. AEROSOL
Cara pemakaian :
1. Batukkan dahak sebanyak mungkin.
2. Kocok botol aerosol sebelum digunakan.
3. Pegang botol aerosol seperti yang tercantum pada petunjuk ( biasanya dalam posisi
terbalik),
4. Katupkan bibir rapat-rapat pada mulut aerosol.
5. Tengadahkan kepala sedikit.
6. Buang napas perlahan-lahan, hembuskan udara paru-paru sebanyak mungkin.
7. Tarik napas dalam-dalam dan tekan aerosol, usahakan agar lidah tetap dibawah.
8. Tahan napas selama 10 -15 detik.
9. Hembuskan napas melalui hidung.
10. Bersihkan mulut aerosol dengan air hangat.
G. TABLET VAGINA DENGAN APLIKATOR
Cara pemakaian :
1. Cucilah tangan.
2. Buka pembungkus tablet.
22
3. Letakkan tablet diujung aplikator yang terbuka.
4. Berbaringlah terlentang, tekuk lutut sedikit dan mengangkanglah.
5. Perlahan-lahan masukkan aplikator ke dalam vagina sejauh mungkin tablet di bagian
depan. Jangan mendorongnya dengan paksa.
6. Tekan alat pendorong sehingga tablet terlepas.
7. Keluarkan aplikator.
8. Buang aplikator (untuk kemasan sekali pakai).
9. Bersihkan dengan cermat kedua bagian aplikator dengan sabun dan air matang yang
hangat-hangat kuku (jika kemasan bukan sekali pakai).
10. Cucilah tangan.
H. TABLET VAGINA TANPA APLIKATOR
Cara pemakaian :
1. Cucilah tangan.
2. Buka kemasan tablet.
3. Celupkan tablet kedalam air hangat-hangat kuku, sekedar untuk membasahkannya.
4. Berbaringlah terlentang, tekuk lutut dan mengangkanglah.
5. Perlahan-lahan masukkan tablet ke dalam vagina sejauh mungkin, jangan dipaksa.
6. Cucilah tangan.
I. OBAT SEMPROT HIDUNG
Cara pemakaian :
1. Bersihkan hidung.
2. Duduk dengan kepala sedikit menunduk.
3. Kocoklah obat semprotnya.
4. Tekan ujung botol penyemprot rapat-rapat ke salah satu lubang hidung. Arahkan ujung
penyemprot miring ke depan.
23
5. Tutup lubang hidung yang lain dan tutup mulut.
6. Tariklah nafas perlahan-lahan dan semprotkan obat kuat-kuat dengan memencet
botolnya.
7. Keluarkan ujung penyemprot dari hidung dan tundukkan kepala dalam-dalam (kepala
diantara dua lutut).
8. Duduk tegak kembali, dan biarkan obat mengalir turun ke dalam faring.
9. Ulangi prosedur di atas untuk lubang hidung yang lain.
10. Bersihkan ujung penyemprot dengan air hangat.
2.6. INFORMASI OBAT PALSU
Pada setiap obat bebas / bebas terbatas selalu dicantumkan nama obat, komposisi
obat, informasi mengenai cara kerja obat, indikasi, aturan pakai, peringatan perhatian, nama
produsen, nomor batch/lot. Disamping itu, sebagai tanda ijin edar yang absah pada setiap
obat dicantumkan nomor registrasi.
Data akurat tentang jumlah obat palsu yang beredar saat ini belum tersedia, tapi
WHO pernah mempublikasikan bahwa 10% obat yang beredar diseluruh dunia adalah
palsu, sedangkan menurut laporan United States Trade Representative (USTR) tahun 2008
diperkirakan 25% dari obat yang beredar di Indonesia adalah palsu.
Salah satu bentuk edukasi untuk menanggulangi peredaran obat palsu adalah dengan
menghimbau konsumen untuk membeli obat (terutama obat keras) hanya di apotek.
Himbauan tersebut bila efektif merupakan bagian dari pemutusan rantai edar obat palsu.
Dengan demikian peran apoteker sangatlah strategis. Namun perlu diwaspadai juga,
obat palsu bukan tidak mungkin merembes ke apotek. Hal ini terjadi apabila apoteker tidak
menerapkan cara praktek kefarmasian yang baik (good pharmacy practice, GPP) di
apoteknya.
Oleh sebab itu dihimbau kepada seluruh Apoteker agar kita mengambil inisiatif
lebih aktif lagi dalam program penanggulangan obat palsu. Salah satu bentuk kongkritnya
adalah menjadikan GPP sebagai “roh” nya apotek.
24
BAB III
PEMBAHASAN
HAK PASIEN MEMPEROLEH INFORMASI
Yang dimaksud dengan obat disini adalah semua zat baik itu kimiawi, hewani,
maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah
penyakit berikut gejalanya. Di beberapa pustaka disebutkan bahwa tidak semua obat
memulai riwayatnya sebagai obat anti penyakit, namun ada pula yang pada awalnya
digunakan sebagai alat ilmu sihir, kosmetika, atau racun untuk membunuh musuh.
Misalnya, strychnine dan kurare mulanya digunakan sebagai racun-panah penduduk
pribumi Afrika dan Amerika Selatan. Contoh yang lebih baru ialah obat kanker nitrogen-
mustard yang semula digunakan sebagai gas-racun (mustard gas) pada perang dunia
pertama. (Obat-obat Penting,2002).Di kalangan masyarakat istilah obat biasanya dikenal
dalam berbagai pengelompokan, seperti : obat paten, obat generik, obat tradisional / jamu,
obat keras, narkotika, obat dengan resep, obat tanpa resep, obat racikan, obat cina dan
istilah obat lainnya misalnya yang berkaitan dengan harga misalnya istilah obat murah dan
obat mahal. Pengertian obat paten atau dalam kamus obat dikenal dengan nama spesialite
adalah obat milik suatu perusahaan dengan nama khas yang dilindungi hukum, yaitu merek
terdaftar atau proprietary name. Sedangkan yang dimaksud dengan obat generik adalah
nama obat sesuai dengan kandungan zat berkhasiat obat tersebut. Sebagai contoh : Asam
Mefenamat (nama / obat generik) terdapat dalam obat paten seperti Ponstan, Mefinal,
Pondex, Topgesic dan masih banyak lagi. Begitu juga dengan Amoxycillin (nama/obat
generic) terdapat dalam nama obat paten seperti Amoxsan, Kalmoxillin, Kimoxil, dan juga
masih banyak lagi nama obat paten dengan kandungan yang sama.
Walaupun berisikan kandungan zat berkhasiat dengan nama generic / official yang
sama namun setiap obat paten mempunyai harga yang berbeda-beda dari pabrik yang
25
memproduksiya. Perbedaan harga tersebut umumnya terkait dengan faktor-faktor
pembuatan obat tersebut dari mulai jenis bahan baku yang digunakan, alat-alat produksinya,
biaya produksi, mutu pengujiannya, cara pengemasan sampai dengan promosi
pemasarannya. Semua faktor tersebut kemudian dihitung serinci mungkin sehingga
diperoleh harga netto dari pabrik yang selanjutnya dijual dalam jumlah besar kepada para
pedagang besar farmasi (PBF) / distributor. Apotek kemudian membeli obat tersebut
sebagai harga netto untuk apotek (HNA) yang selanjutnya dijual kepada konsumen dengan
harga yang berbeda-beda tergantung masing-masing apotek menetapkan faktor harga jual
apotek (HJA). Perbedaan harga yang sampai ke konsumen ini masih mendapat toleransi
dari pemerintah pada range faktor harga penjualan / harga eceran tertinggi (HET)
tertentu.Jumlah item obat di Indonesia itu sendiri sampai saat ini sudah mencapai lebih dari
5.000 macam obat, baik itu obat paten maupun obat generik sehingga hampir dipastikan,
setiap apotek tidak mungkin menyediakan seluruh item obat tersebut secara lengkap, hal ini
dikarenakan tidak semua obat tersebut digunakan oleh pasien atau bahkan distributor tidak
menyediakan karena memang sebagian besar obat memang tidak pernah ditulis oleh dokter
dan tidak pernah dipesan oleh apotek. Keadaan ini perlu dipahami oleh pasien bahkan juga
oleh dokter penulis resep, mengingat ada kasus seorang pasien yang membawa resep dari
dokter, merasa putus asa untuk mencari obat tersebut di seluruh apotek di Sulawesi Selatan,
baik itu di Makassar, Parepare atau pun daerah lainnya. Bahkan distributor dari asal obat
tersebut juga tidak menyediakan obat tersebut karena selama ini memang tidak ada kasus
yang menyebabkan distributor harus menyediakan obat tersebut. Setelah ditelusuri ternyata
dokter penulis resep menuliskan obat berdasarkan pengalamannya bahwa di Jawa banyak
tersedia obat tersebut, tanpa memberikan alternatif lainnya jika obat tersebut tidak tersedia
sehingga pasien tidak merasa dipersulit untuk mencari alternatif penyembuhan untuk diri
atau keluarganya.
Kasus di atas merupakan salah satu dari peristiwa yang berhubungan dengan hak
pasien atas obat. Hal ini karena seharusnya pasien berhak mendapatkan obat yang
diinginkannya sesuai resep dokter. Namun pasien juga berhak atas penggantian obat apabila
memang obat tersebut tidak tersedia di Apotek dengan jalan berkonsultasi kepada dokter
atau Apoteker di Apotek. Penggantian obat secara ilmiah tidak menyalahi aspek
pengobatan karena apabila obat pengganti mempunyai kandungan dan komposisi zat
berkhasiat yang sama maka obat tersebut juga memiliki khasiat/indikasi yang sama pula
dengan obat sebelumnya. Kemanjuran obat menurut ilmu farmakologi biasanya terkait
26
dengan aspek farmasi yang disebut dengan tingkat bioavailabiltas (ketersediaan hayati)
obat. Maksudnya adalah obat dinyatakan telah manjur apabila telah dilakukan pengujian
dengan sediaan hayati dan melalui melalui tes sediaan, obat tersebut telah layak dikonsumsi
oleh manusia. Pasien berhak mengetahui aspek seperti ini agar saat memperoleh
kesempatan menkonsumsi obat, pasien tidak kebingungan dan terpaku pada obat di satu
pabrik saja. Pasien dalam hal ini berhak menentukan obat yang akan digunakan termasuk
juga berhak memperoleh informasi tentang khasiat, efek samping, kontraindikasi,
alternative obat lainnya bahkan harga obat. Hal ini telah diatur dalam Undang-undang No.
8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4 butir c dan g, dan juga Undang-
undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2, menyatakan hak-hak yang
dapat diperoleh seorang pasien. Hak-hak tersebut seperti hak atas akses informasi yang
benar, jelas dan jujur, dan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur dan
tidak diskriminatif.
Hak pasien atas obat sebenarnya merupakan kewajiban pasien untuk melindungi
dirinya sendiri, mengingat sediaan obat tidak bisa disamakan dengan sediaan konsumtif
lainnya. Konsep dasar obat dari dulu hingga sekarang tetaplah sama yaitu obat adalah
racun. Sifatnya yang bisa menyembuhkan dan mengurangi sakit hanya terjadi apabila
seseorang mengalami gangguan pada fungsi anatomi dan fisiologinya. Pada orang yang
sehat, obat sama sekali tidak berguna bahkan cenderung merusak organ tubuh yang lainnya
seperti ginjal dan hati. Begitu juga apabila cara pengobatannya tidak tepat atau dalam
istilah farmasi tidak rasional, maka obat tidak akan menyembuhkan penyakit tetapi justru
memperparah penyakit yang ada dan bahkan akan menimbulkan penyakit baru bagi dirinya.
Dengan demikian bagi pasien tidak ada kata lain untuk wajib mematuhi prosedur
pengobatan yang telah dianjurkan oleh petugas medis yang mengetahui tentang rasionalitas
pengobatan. Namun tentunya pasien harus kritis dan tanggap apabila ada yang memaksa
melakukan pengobatan atau berobat dengan produk pabrik tertentu. Walaupun secara
indikasi tepat dan manjur, namun bisa dipastikan harganya akan menjadi tidak normal
karena biasanya petugas medis yang menggunakan satu produk pabrik saja akan terlibat
aspek promosi untuk memasarkan produk tersebut dan apabila ini terjadi faktor harga
menjadi aspek penting dalam rasionalitas pengobatan.
Demikian pula dalam hal memilih apotek, pasien berhak menebus obat di semua
apotek yang ada, dan tidak ada keharusan terikat dengan satu apotek meskipun itu dalam
rumah sakit. Tentunya dengan catatan ada keterbatasan-keterbatasan seperti tata cara
27
pengeluaran obat narkotika. Namun untuk pelayanan kefarmasian lainya, pasien berhak
menentukan sendiri pelayanannya di bidang obat. Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan
panduan pasien untuk memilih apotek yang baik, antara lain: Pertama, Apoteker dan
asisten apoteker bekerja secara professional, artinya pasien berhak menilai dan memilih
apotek pilihannya dari cara kerja apoteker dan asistennya. Profesionalisme petugas apotek
ini akan mempengaruhi tingkat rasionalitas pengobatan yang digunakan pasien karena
dengan adanya apoteker dan asistennya, pasien dapat memperoleh informasi lainnya yang
berhubungan dengan prosedur pengobatan yang dideritanya. Jika tidak ada, maka yang
terjadi hanyalah transaksi jual-beli saja. Kedua, Pilih apotek yang memiliki pelayanan yang
cepat dan akurat, artinya cepat dalam hal waktu dan akurat dalam ketepatan obat sesuai
yang diinginkan. Ketiga, Pilih apotek yang menyediakan obat yang terjamin keaslian,
kualitas, legalitas dan informasinya. Hal ini mengingat saat ini banyak beredar obat-obat
palsu yang justru merugikan pasien walaupun harganya murah. Keempat, Pilih apotek yang
memiliki tata cara peracikan sesuai standar pembuatan obat yang baik. Hal ini untuk
menjamin pasien akan memperoleh produk obat yang tepat, bersih dan manjur, karena
apabila apotek terlihat kumuh, kotor dan berantakan bisa dipastikan kualitas peracikan tidak
terjamin kebersihan dan kemanjurannya walaupun harga obatnya murah. Kelima, pasien
harus memlih apotek yang selalu memberikan edukasi, informasi dan dokumentasi obat
yang tersedia. Hal ini mengingat sangat berharganya edukasi, informasi dan dokumentasi
tersebut bagi prosedur pengobatan. Keenam, pasien bisa memilih apotek yang selalu
mengutamakan kesembuhan sebagai hasil akhir terapi tercapai. Apotek seperti ini tentu
akan selalu melayani pasien atas obat dengan sebaik mungkin sebagai wujud dari komitmen
dan konsekuensi dalam pengabdian untuk selalu menyehatkan masyarakat.Pasien yang
cerdas dan petugas medis yang professional menjadi syarat meningkatkan taraf kesehatan
bangsa ini dan akan mengurangi tingkat kesalahan yang terjadi dalam dunia kesehatan dan
pengobatan. Sangat naif bila keduanya tidak mau berusaha mewujudkannya, karena
konsekuensi yang terjadi akan jauh lebih berat dari perbuatan bodoh dan
ketidakprofesionalan yang telah dilakukan. Apabila ada kasus yang terjadi, masyarakat
tidak wajib menyalahkan satu sama lain karena kewajiban dan hak masing-masing sudah
ada tempatnya.
28
BAB IV
KESIMPULAN
Informasi apoteker kepada pasien di Indonesia diperlukan untuk meminimalkan
penyalahgunaan obat. Sayangnya, kesadaran pasien dan ketersediaan waktu apoteker untuk
memberikan informasi masih sangat rendah. Kegiatan informasi ini meliputi beberapa hal,
di antaranya perkenalan pasien dengan apoteker, pengumpulan informasi dari pasien,
penggalian riwayat kesehatan oleh apoteker, penjelasan tentang penyimpanan dan
penggunaan obat, serta terapi non-farmakologi, yang meliputi pemberian saran-saran guna
mendukung penyembuhan.
Apoteker adalah praktisi kesehatan yang merupakan bagian dari sistem rujukan
profesional. Karena mudah didatangi (aksesibilitas), apoteker sering kali merupakan titik
kontak pertama antara seorang penderita dan sistem pelayanan dalam mencari informasi.
Sekarang ini banyak IFRS yang memberikan pelayanan 24 jam untuk gawat darurat dan
perawatan kritis, oleh karena itu IFRS sering digunakan sebagai pintu gerbang masuk ke
dalam sistem pelayanan kesehatan yang menuntun penderita ke dokter untuk diagnosis dan
pengobatan formal. Apoteker berurusan dengan penerapan terapi, dengan menyediakan
produk obat yang perlu untuk pengobatan kondisi yang didiagnosis oleh dokter, dan
memastikan penggunaan obat yang tepat.
Farmasis adalah profesi yang harus selalu berinteraksi dengan profesional kesehatan
lainnya, dan penderita untuk pemberian konsultasi serta informasi, di samping
mengendalikan mutu penggunaan terapi obat dalam bentuk pengecekan atau interpretasi
pada resep atau order dokter. Dengan ketersediaan sistem informasi penderita berbasis
komputer dalam IFRS modern, semakin lazim bagi apoteker memainkan peranan yang
lebih aktif dalam seleksi atau perbaikan terapi obat setelah berkonsultasi dengan penulis
resep atau order. Selain itu, apoteker memberi konsultasi dan / atau konseling bagi
penderita tentang cara terbaik mengonsumsi obat dan apoteker berada dalam posisi untuk
membantu penderita memantau pengaruh positif dan negatif dari terapi mereka.
29
Dalam evolusinya perkembangan pelayanan farmasi telah terjadi pergeseran
orientasi pelayanan farmasi dari orientasi terhadap produk menjadi orientasi terhadap
kepentingan pasien yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan serta menguatnya tuntutan terhadap jaminan keselamatan
pasien. Orientasi terhadap kepentingan pasien tanpa mengesampingkan produk dikenal
dengan konsep Pharmaceutical Care. Dengan banyak ditemukannya masalah yang
berkaitan dengan obat dan penggunaannya; semakin meningkatnya keadaan sosio-ekonomi
dan tingkat pendidikan masyarakat; serta adanya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan
kefarmasian yang bermutu terutama di rumah sakit maupun di komunitas, Pharmaceutical
Care merupakan hal yang mutlak harus diterapkan.
Secara prinsip, Pharmaceutical Care atau pelayanan kefarmasian terdiri dari beberapa
tahap yang harus dilaksanakan secara berurutan:
Penyusunan informasi dasar atau database pasien.
1. Evaluasi atau Pengkajian (Assessment).
2. Penyusunan Rencana Pelayanan Kefarmasian (RPK).
3. Implementasi RPK.
4. Monitoring Implementasi.
5. Tindak Lanjut (Follow Up).
Konseling kefarmasian merupakan usaha dari apoteker di dalam membantu masyarakat
menyelesaikan masalah kesehatan yang umumnya terkait dengan sediaan farmasi agar
masyarakat mampu menyelesaikan masalahnya sendiri sesuai dengan kemampuan dan
kondisi masyarakat itu sendiri. Konseling kefarmasian bukan sekedar PIO atau konsultasi
tapi lebih jauh dari itu. Dan untuk mendapatkan konseling yang efektif, para apoteker
praktisi harus selalu melatih menggunakan teknik-teknik koseling yang dibutuhkan pada
praktek komunitas. Tujuan pemberian konseling kepada pasien adalah untuk mengetahui
sejauh mana pengetahuan dan kemampuan pasien dalam menjalani pengobatannya serta
untuk memantau perkembangan terapi yang dijalani pasien.
30
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan
peberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh
apoteker kepada pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan di rumah sakit.
Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengelolaan, penyajian, dan pengawasan
mutu data / informasi obat dan keputusan profesional. Penyediaan informasi obat meliputi
tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan pengawasan mutu data/informasi obat.
Tujuan PIO:
1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi kepada
pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan, dan
pihak lain.
3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan
dengan obat terutama bagi PFT (Panitia Farmasi dan Terapi) / KFT (Komite
Farmasi dan Terapi).
Definisi swamedikasi / pengobatan sendiri berdasarkan Permenkes
No.919/MENKES/PER/X/1993 adalah upaya seseorang dalam mengobati gejala penyakit
tanpa konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Lebih dari 60% dari masyarakat melakukan
swamedikasi dan 80% diantaranya mengandalkan obat modern.
Data akurat tentang jumlah obat palsu yang beredar saat ini belum tersedia, tapi
WHO pernah mempublikasikan bahwa 10% obat yang beredar diseluruh dunia adalah
palsu, sedangkan menurut laporan United States Trade Representative (USTR) tahun 2008
diperkirakan 25% dari obat yang beredar di Indonesia adalah palsu. Salah satu bentuk
edukasi untuk menanggulangi peredaran obat palsu adalah dengan menghimbau konsumen
untuk membeli obat (terutama obat keras) hanya di apotek. Himbauan tersebut bila efektif
merupakan bagian dari pemutusan rantai edar obat palsu.
Hak pasien meliputi :
1. mendapatkan obat yang diinginkannya sesuai resep dokter.
2. penggantian obat apabila memang obat tersebut tidak tersedia di Apotek dengan
jalan berkonsultasi kepada dokter atau Apoteker di Apotek
31
3. menentukan obat yang akan digunakan termasuk juga berhak memperoleh
informasi tentang khasiat, efek samping, kontraindikasi, alternative obat lainnya
bahkan harga obat.
Kewajiban pasien meliputi :
1. mematuhi prosedur pengobatan yang telah dianjurkan oleh petugas medis yang
mengetahui tentang rasionalitas pengobatan.
2. harus kritis dan tanggap apabila ada yang memaksa melakukan pengobatan atau
berobat dengan produk pabrik tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made
Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih,
Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
asih, Jakarta : EGC, 2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I
Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2002.
32