infeksi oportunistik paru pada penderita hiv

Upload: aditya-ramdanii

Post on 13-Apr-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    1/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    1

    INFEKSI OPORTUNISTIK PARU PADA PENDERITA HIV

    Dian Anindita Lubis

    Divisi Penyakit Tropik Infeksi !Departemen Ilmu Penyakit Dalam

    FK USU-RSUP. H. Adam Malik Medan

    PENDAHULUAN

    Saat ini HIV memiliki jumlah kematian yang tinggi, dimana yang dapat mengancam

    hidup penderita HIV tidak hanya dari virus sendiri, namun infeksi oportunistik (IO) dan

    komplikasi-komplikasinya juga dapat menyebabkan kematian.1 Pada permulaan epidemi

    acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), paru-paru penderita HIV merupakan target

    utama untuk berbagai infeksi dan tumor.2

    Sebelum penggunaan luas dari terapi kombinasi antiretroviral (antiretroviral

    therapy/ART), IO, infeksi yang disebabkan oleh immunosupresi pada pasien yang terinfeksi

    HIV, merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada populasi ini. Pada awal 1990an,

    penggunaan kemoprofilaksis, imunisasi, dan strategi yang lebih baik dalam penanganan IO

    akut, berkontribusi dalam perbaikan kualitas hidup dan memperbaiki angka survival.Namun,

    penggunaan luas ART yang dimulai pada pertengahan 1990an memiliki pengaruh terbesar

    dalam menurunkan IO-terkait mortalitas pada pasien yang terinfeksi HIV di negara-negara

    dimana terapi ini telah tersedia.3

    Meskipun telah tersedianya ART di Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya,

    IO terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas untuk tiga alasan utama: 1) banyak pasien

    yang tidak awas terhadap infeksi HIVnya dan mencari perawatan medis ketika IO menjadi

    Reading Assignment

    Divisi Penyakit Tropik InfeksiDepartemen Ilmu Penyakit Dalam

    FK-USU/RSHAM

    Telah dibacakan

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    2/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    2

    indikator utama dari penyakit mereka; 2) pasien-pasien tertentu awas terhadap infeksi HIVnya,

    namun tidak mengkonsumsi ART karena faktor psikososial atau ekonomi; 3) beberapa pasien

    diresepkan ART, namun gagal mencapai respon virologi dan imunologi yang adekuat karena

    faktor-faktor terkait kepatuhan farmakokinetik, atau faktor-faktor biologis yang tidak dijelaskan.

    Sehingga, meskipun angka rawatan dan kematian telah menurun sejak adanya ART, IO tetap

    menjadi penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.3

    Infeksi yang timbul pada penderita HIV bergantung pada stadium infeksi HIV, riwayat

    infeksi, virulensi dari organism yang terinfeksi, dan faktor- terkait-inang (host-related-factor)j. IO

    dapat disebabkan oleh bakteri (mis. tuberkulosis, infeksi salmonella,dll), virus (mis. Herpes

    simplex virus, oral hairy leukoplakia, sitomegalovirus,dll), jamur (mis. kandidiasis, kriptokokosis,

    pneumocystis jiroveci, dll), parasit (mis. kriptosporidiosis,dll), dan beberapa kondisi klinis

    lainnya berupa malignansi (mis. Non-hodgkin limfoma, sarkoma Kaposi, dll). Dan juga IO dapat

    menyerang berbagai macam organ, seperti saluran napas, saluran pencernaan, neurologis,

    kulit, dan lain sebagainya.1

    Pada makalah ini akan dibahas lebih dalam mengenai beberapa infeksi oportunistik

    pada saluran napas, khususnya paru pada penderita HIV, yang umum dijumpai.

    Insidensi

    Insidensi IO bergantung pada level imunosupresi (muncul pada CD4 < 200/mm3

    atautotal lymphocyte count< 1200/mm

    3), dan pada prevalensi endemik dari agen penyebab. Lebih

    dari 80% IO disebabkan oleh 28 patogen.1,4

    Gambar 1. Hubungan antara infeksi oportunistik dan jumlah limfosit-CD4+

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    3/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    3

    Infeksi saluran napas dapat dicegah dan diobati, terlihat pada dua per tiga penderita

    yang terinfeksi HIV. Berikut pada tabel 1. dapat dilihat contoh infeksi paru yang muncul dengan

    turunnya jumlah CD4.1

    Tabel 1. Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada pasien yang terinfeksi HIV

    Hubungan infeksi paru dengan jumlah CD4 pada

    pasien yang terinfeksi HIV

    Infeksi Jumlah CD 4 (per mm3)

    Mycobacterium tuberculosis < 400

    Pneumonia bacterial < 250

    Suppurative lung dan penyakit sinus < 100

    Pneumocystis jiroveci pneumonia < 200

    Mycobacterium avium complex < 100

    Citomegalovirus < 100

    Defenisi

    Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.

    Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,

    maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh

    kekebalan tubuh.1,5

    TUBERKULOSIS

    Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu IO tersering pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di

    Indonesia. Infeksi HIV memudahkan terjadinya infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penderita

    HIV mempunyai risiko lebih besar menderita TB dibandingkan non-HIV. Risiko ODHA untuk

    menderita TB adalah 10% per tahun, sedangkan pada non-ODHA risiko menderita TB hanya10% seumur hidup. Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian TB dengan infeksi menurun,

    4,4 kasus baru per 100,000 populasi (total 13,299 kasus) pada tahun 2007. Di RSU Dr.

    Soetomo dilaporkan sebanyak 25-83%. Sementara laporan Raviglione, dkk menyebutkan

    bahwa TB merupakan penyebab kematian tersering pada ODHA. Dimana World Health

    Organization (WHO) memperkirakan TB sebagai penyebab kematian 13% dari penderita

    AIDS.3,5,6

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    4/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    4

    Meskipun risiko terinfeksi tuberkulosis turun 70-90% pada pasien-pasien yang

    mengkonsumsi ART, TB masih merupakan penyebab kematian tersering pada penderita HIV.

    TB paru merupakan jenis TB yang paling sering dijumpai pada penderita HIV. Tidak seperti

    infeksi mikobakterial aspesifik lainnya, seperti MAC, TB dapat muncul pada infeksi HIV awal

    dengan CD4 median >350 sel/!L. Sedangkan TB ekstraparu atau diseminata lebih sering

    dijumpai pada ODHA dengan CD4 lebih rendah. Pada satu studi, median CD4 pada penderita

    TB adalah 326 sel/ !L. Viral loadpada penderita terinfeksi HIV koinfeksi TB meningkat enam

    hingga tujuh kali dibandingkan HIV tanpa TB. Hal ini mengakibatkan perkembangan HIV

    menjadi AIDS lebih cepat.5,6,7

    Kesulitan bagi para klinisi adalah gambaran klinis TB pada penderita HIV seringkali

    tidak khas dan sangat bervariasi, hingga diagnosis menjadi lebih sulit.5

    Gejala

    Di antara pasien-pasien yang terinfeksi HIV, gambaran TB aktif dipengaruhi oleh derajat

    immunodefisiensi. Inisiasi ART pada pasien immunosupresi berat, yang tidak disadari awalnya

    TB subklinis, akan muncul akibat pemulihan sistem kekebalan tubuh.3

    Gejala TB paru adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu dan tidak bereaksi terhadap

    pengobatan antibiotik yang biasa, demam, penurunan berat badan, nafsu makan menurun,

    rasa letih, berkeringat pada waktu malam, nyeri dada dan batuk darah. Namun, seperti sudahdisebutkan di atas seringkali penderita HIV tidak menunjukkan gejala yang khas ke arah TB

    paru.5,6

    Diagnosis

    Diagnosis TB paru berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan jasmani ditunjang oleh

    pemeriksaan langsung sputum 3 hari berturut-turut untuk menemukan basil tahan asam (BTA),

    rntgen dada dan biakan kuman. Sensitivitas pemeriksaan sputum BTA pada ODHA sekitar

    50%, seperti pada non-HIV. Untuk meningkatkan sensitivitas dapat dilakukan pemeriksaan

    nucleic acid amplification (NAT)/PCR-TB, terutama jika kecurigaan sangat tinggi. Sedangkan

    tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% ODHA dengan TB.5

    Gambaran TB paru pada penderita HIV dengan CD4 > 350 sel/!L tidak berbeda dengan

    non-HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas atau efusi pleura. Pada penderita HIV lanjut,

    gambaran yang lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum, infiltrat di lobus bawah,

    lobus tengah, interstisial, dan infiltrat milier. 7-14 % kasus TB paru pada penderita HIV tidak

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    5/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    5

    menunjukkan kelainan radiologi. Lawn,dkk menambahkan bahwa penyebaran bronkopulmoner

    dan penebalan pleura lebih jarang ditemukan pada penderita HIV dibanding non-HIV, namun

    efusi pleura dan limfadenopati lebih sering dijumpai.

    Diagnosa definitif TB pada penderita HIV adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis

    pada kultur jaringan atau spesimen. Sedangkan diagnosis presumtif ditegakkan berdasarkan

    ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada spesimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan

    gejala setelah terapi kombinasi OAT.1,3,5,6

    Pencegahan

    Seluruh penderita HIV yang dicurigai terinfeksi TB atau memiliki gejala TB sebaiknya menjalani

    rntgen dada dan evaluasi klinis untuk menyingkirkan TB tanpa memperhatikan hasil tes

    diagnostik untuk TB.

    Penderita HIV, tanpa memperhatikan usia, sebaiknya diobati untuk latent tuberculosis

    infection (LTBI) jika tidak memiliki bukti TB aktif dan menunjukkan tanda-tanda berikut: 1) tes

    diagnostik positif untuk LTBI dan tidak memiliki riwayat mendapatkan pengobatan TB aktif

    maupun laten; 2) tes diagnostik negatif untuk LTBI namun memiliki kontak dekat dengan

    penderita TB paru infeksius; dan 3) riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat (lesi fibrotik

    lama pada rontgen dada) tanpa memperhatikan tes diagnostik untuk LTBI.

    Pilihan terapi untuk LTBI termasuk INH per hari atau dua kali per minggu selama 9bulan.

    Penatalaksanaan

    Efek samping antituberkulosis (OAT) lebih sering terjadi pada penderita HIV dengan TB

    dibandingkan kelompok non-HIV. Karena itu, OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-sama

    dengan ARV untuk mengurangi kemungkinan interaksi obat, ketidakpatuhan minum obat, dan

    reaksi paradoks. Namun, jika penderita HIV sudah dalam terapi ARV, ARV tetap diteruskan.

    Regimen pengobatan TB sendiri tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada

    kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan. Kecuali pada arthritis TB dan osteomielitis

    TB yang pengobatan 6-9 bulan dan meningitis TB dapat mencapai 9-12 bulan. Hingga kini,

    belum diketahui berapa lama sebenarnya terapi yang optimal pada penderita HIV dengan TB.

    Regimen ARV yang dianjurkan pada rekomendasi untuk TB pada HIV adalah

    menggunakan kombinasi efavirenz. Rifampisin dan nevirapin sama-sama menginduksi enzim

    sitokrom P450, sehingga akan menurunkan konsentrasi nevirapin dalam darah.1,3,5,6

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    6/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    6

    KRIPTOKOKOSIS

    Kriptokokosis yang dihubungkan dengan HIV umumnya disebabkan oleh Cryptococcus

    neoformans. Spora jamur ini dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama di lingkungan yang

    sesuai, ditemukan di tanah dan dilaporkan banyak terdapat pada tinja burung merpati. Hingga

    tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang bersifat sporadis. Dengan terjadinya

    epidemi AIDS angka kejadian kriptokokosis melonjak tajam. Sebelum penggunaan ART,

    berkisar 5%-8% penderita HIV pada Negara berkembang mendapat kriptokokosis diseminata.

    Prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV di Thailand 18,5%. Penyakit ini paling sering

    timbul pada penderita HIV dengan CD4 < 50 sel/!L.3,5,9

    Infeksi terjadi secara inhalasi spora ke dalam saluran pernapasan. Selanjutnya terjadi

    fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Hingga saat ini masih belum jelas apakah

    kriptokokosis pada penderita HIV merupakan reaktivasi infeksi laten atau infeksi yang baru

    terjadi.5

    Gejala

    Terdapat perbedaan manifestasi klinis kriptokokosis pada imunokompromais dan bukan

    imunokompromais. Kriptokokosis pada imunokompromais biasanya menunjukkan reaksi

    inflamasi yang minimal, namun konsentrasi jamur dalam berbagai jaringan tubuh sangat tinggi.Pada kriptokokosis paru dapat dijumpai demam dan batuk dengan sputum yang tidak

    terlalu produktif. Mengingat kriptokokosis merupakan penyakit yang berbahaya, dianjurkan

    untuk memikirkan kemungkinan ini pada setiap penderita dengan klinis pneumonia.3,5

    Diagnosis

    Diagnosis kriptokokosis paru ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi dan serologi darah.5

    kultur darah positif ditemukan pada 35-70% penderita AIDS. Antigen test (LPA atau ELISA)

    pada cairan cerebrospinal, serum, urine dan BAL merupakan tes diagnostik yang dapat

    dipercaya.10

    Penatalaksanaan

    Pengobatan inisial standar yang direkomendasikan adalah amphotericin B deoxycholate,

    dengan dosis 0,7-1,0 mg/kg per hari, selama > 2 minggu untuk fungsi ginjal yang normal. Atau

    Flukonazol 200-400 mg/hari secara oral diberikan seterusnya hingga nilai CD4 > 200 sel/!L.10

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    7/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    7

    PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA (PCP)

    Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii, sejak

    lama dinyatakan sebagai salah satu infeksi oportunistik utama pada penderita HIV. Sebelum

    penggunaan luas profilaksis primer PCP dan ART, PCP muncul pada 70%-80% penderita HIV.

    Dengan perkiraan 90% kasus muncul pada pasien dengan CD4 < 200 sel/!L. Namun insidensi

    PCP sudah menurun setelah penggunaan luas profilaksis PCP dan ART; insidensi penderita

    HIV di Eropa barat dan Amerika Serikat 2-3 kasus per 100 orang per tahun. Infeksi ini

    merupakan salah satu penyebab kematian pada penderita HIV dengan angka kematian di

    Amerika Serikat sekitar 60% pada tahun 80-an dan berkurang menjadi 10% pada beberapa

    tahun terakhir.1,3,5,7,8

    Tidak diketahui pasti bagaimana jamur ini ditransmisikan pada manusia, walaupun

    transmisi pada binatang percobaan terbukti melalui udara. Tampaknya transmisi melalui udara

    juga terjadi pada manusia karena DNA jamur ini dapat diidentifikasi pada spora udara di

    lingkungan perumahan dan rumah sakit. Hipotesis ini juga didukung beberapa laporan kasus

    transmisi PCP antara pasien imunokompromais, dari pasien imunokompromais ke petugas

    kesehatan yang imunikompeten, dan penularan dari ibu ke anaknya.5

    GejalaGejala PCP adalah demam yang tidak tinggi, batuk kering, nyeri dada dan sesak napas yang

    terjadi secara subakut (2 minggu atau lebih). Jika terjadi sesak napas akut yang disertai nyeri

    dada pleuritik harus dicurigai kemungkinan pneumotoraks sebagai komplikasi. Komplikasi lain

    yang sering terjadi adalah pneumatokel (kavitas, kista, bula). Sedangkan efusi pleura sangat

    jarang ditemukan pada infeksi PCP.

    Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya menampakkan takipnea, takikardi, namun tidak

    didapatkan ronki pada auskultasi paru. Takipnea biasanya demikian berat sehingga penderita

    HIV mengalami kesulitan berbicara. Sianosis akral, sentral, dan membran mukosa juga

    ditemukan.3,5,6

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    8/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    8

    Tabel 2. Manifestasi klinis daripneumocystis jiroveci pneumonia

    Manifestasi klinis daripneumocystis jiroveci pneumonia

    (P. carinii)

    Ringan Sedang Berat

    Gejala Batuk, berkeringat,

    sesak napas saat

    aktivitas

    Sesak napas saat

    aktivitas minimal,

    demam,

    berkeringat, batuk

    (non produktif)

    Sesak napas saat

    istirahat, takipnea,

    demam persisten

    Analisa Gas Darah PaO2normal PaO2 60-80 mmHg

    dan menurun saat

    aktivitas

    PaO2< 60 mmHg

    Foto rontgen dada Normal atau tanda

    perihilar minor

    Bayangan

    interstisial bilateral

    difusa

    Bilateral interstisial

    ekstensif

    Diagnosis

    Gambaran khas PCP pada pemeriksaan radiologis paru adalah infiltrat interstisial bilateral di

    daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan

    penyakit. Kadang ditemui gambaran nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses,

    pneumatokel atau pneumotoraks.

    Gambaran rntgen normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan dapat

    menunjukkan gambaran ground glassatau lesi kistik.

    Pada pemeriksaan laboratorium darah tidak didapatkan hasil yang khas. Dapat dijumpai

    lekositosis ringan, peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) (LDH > 500 mg/dL) dan gradien

    oksigen alveolar-arterial (AaDO2). Peningkatan kedua pemeriksaan ini dianggap berhubungan

    dengan prognosis yang lebih buruk. Infiltrat perihiler atau difus, terdapatnya kandida atau hairy

    leukoplakia, dan peningkatan LED lebih dari 50 mm per jam dapat digunakan untuk

    memprediksi PCP pada penderita HIV. Yang paling bermakna adalah infiltrat perihiler atau

    difus karena penderita HIV dengan gambaran tersebut kemungkinan 85% mengalami PCP.3,5,7

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    9/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    9

    Diagnosis defenitif PCP dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan

    kista Pneumocystis jiroveciidari pemeriksaan sputum, yang didapatkan dari (a) induksi sputum

    dengan hypertonic saline (sensitivitas 50-80%); BAL (sensitivitas 86-97%); BAL dan biopsy

    paru transbronkial (sensitivitas 99%).1,5

    Sedangkan diagnosis presumtif PCP menurut CDC jika ditemukan sebagai berikut:

    - Keluhan sesak napas saat beraktivitas atau batuk non-produktif dalam 3 bulan terakhir, dan

    - Gambaran radiologis toraks berupa infiltrat interstisial difus bilateral atau gambaran penyakit

    paru difus bilateral pada gallium scan, dan

    - pO2 < 70 mmHg pada pemeriksaan analisis gas darah atau kapasitas pertukaran gas yang

    rendah (< 80% nilai prediksi) atau peningkatan AaDO2, dan

    - Tidak ada bukti pneumonia bakterialis

    Penatalaksanaan

    TMP-SMX merupakan pilihan terapi. Dosis harus disesuaikan untuk gangguan fungsi

    ginjal.3,5,7,9,11

    Tatalaksana PCP tergantung pada berat ringannya penyakit seperti terlihat pada tabel

    3. berikut:

    Tabel 3. Tatalaksana PCP

    Derajat Kriteria Terapi

    Berat Sesak napas pada waktu

    istirahat atau

    PaO2< 50 mm/Hg dalam udara

    kamar

    Rawat inap, berikan suplemen

    oksigen, kalau diperlukan ventilator.

    Kotrimoksazol (TMP-SMZ) IV atau

    oral 15 mg trimetoprim/kgBB/hari dan

    Sulfametoksazol 75 mg/kg/hari

    Sulfametoksazol dibagi 3 dosis

    selama 21 hari

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    10/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    10

    Sedang Sesak napas pada latihan

    ringan, PaO2 50-70 mm/Hg

    dalam udara kamar saat

    istirahat, AaDO2 >30 mmHg,

    atau saturasi O2< 94%

    Perlu pertimbangan perawatan inap.

    TMP-SMZ 480 mg 2 tablet tiga kali

    sehari selama 21 hari

    Ringan Sesak napas pada latihan

    sedang, PaO2 > 70 mmHg

    dalam udara kamar saat

    istirahat, AaDO2>35 mmHg

    TMP-SMZ 480 mg 2 tablet tiga kali

    sehari selama 21 hari atau cukup 14

    hari jika respons baik.

    Profilaksis primer

    Obat profilaksis PCP diberikan pada CD4 < 200 sel/!L atau limfosit total kurang dari 14%,

    dengan kandidiasis orofaringeal atau demam yang tidak jelas sebabnya yang berlangsung lebih

    dari 2 minggu. Regimen yang diberikan kotrimoksasol. Kotrimoksasol forte diberikan per oral 2

    kali sehari, seminggu 2 kali pemberian atau dapsone (100 mg PO per hari) atau atovaquone

    (750 mg PO 2 kali per hari).

    Profilaksis sekunder

    Profilaksis sekunder diberikan bila PCP relaps atau rekuren selama rekonstitusi imun.

    Penghentian profilaksis

    Profilaksis terhadap primer dan sekunder PCP dihentikan pada pasien dalam kombinasi terapi

    ARV dengan supresi HIV yang baik (< 50 kopi per mill iliter) dan CD4 lebih dari 200 sel/!L atau

    limfosit total lebih dari 14% yang telah berlangsung selama 3 -6 bulan.3,6,7

    ASPERGILOSIS

    Invasif aspergilosis pada penderita HIV jarang terjadi. Paling sering disebabkan oleh

    Aspergillus fumigates, walaupun beberapa kasus disebabkan oleh A. niger, A. flavus, A.

    clavatus, dan A. nodulan.Aspergillus sp. hidup di dalam tanah dan sporanya yang berukuran

    kecil mudah berhamburan di udara, sehingga mudah terhirup.Aspergillus sp dapat berkoloni di

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    11/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    11

    bronkus, kista, dan kavitas paska tuberkulosis. Invasif aspergilosis muncul pada infeksi HIV

    lanjut dan umumnya sebelum pemberian ART.

    Kejadian aspergilosis pada penderita HIV tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun

    memiliki angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan). Aspergilosis invasif biasanya

    terjadi pada penderita HIV dengan CD4 < 50 sel/!L. Pada penderita HIV, Aspergillus sp

    umumnya menginfeksi paru dengan berbagai manifestasi juga dapat menjadi diseminata.

    Kadangkala juga menginfeksi darah, sinus, kulit, telinga, tulang, otak dan jantung.3,5,13

    Gejala

    Infeksi aspergilosis yang umumnya terjadi pada penderita HIV adalah aspergilosis invasif

    dengan gejala infeksi paru akut dengan gejala demam tinggi, dispnea, batuk, nyeri dada, dan

    hemoptisis. Aspergillus sp yang menginvasi mukosa dan tulang rawan bronkus dapat

    membentuk pseudomembran dan mengakibatkan sindrom obstruksi trakeobronkiolitis

    pseudomembranosa. Bentuk aspergilosis invasif yang lebih banyak terlihat pada ODHA ini

    dapat menyebabkan perdarahan bronkus massif karena menginvasi pembuluh darah dan

    dinding bronkus.3,5

    Diagnosis

    Gambaran radiologis aspergilosis paru invasif 30% berupa kavitas berdinding tebal,terutama di lobus bawah, 20% berupa infiltrat difus atau nodular di salah satu atau kedua sisi

    paru. Sedangkan pada sindrom obstruksi trakeobronkiolitis pseudomembranosa gambaran

    radiologis berupa infiltrat yang samar-samar atau atelektasis lobaris. Gambaran halo

    dikelilingi nodul pulmoner atau air crescent pada CT-scan paru menunjukkan sugestif

    penyakit.

    Diagnosis definitif infeksi aspergilosis adalah dengan ditemukannyaAspergillus sppada

    jaringan dan kultur, berdasarkan 1) isolasi berulang dariAspergillus spp.dari kultur atau sekresi

    saluran napas atau 2) ditemukannya dichotomously branching septate hyphae konsisten

    denganAspergillus spp. TumbuhnyaAspergillus sppada kultur saja belum dapat menegakkan

    diagnosis, walaupun 10-30% pasien dengan aspergilosis paru invasif yang kulturnya positif.

    Namun, aspergilosis invasif harus dicurigai jika terdapat gejala respiratorik pada penderita HIV

    stadium lanjut dan tumbuhAspergillus sp, pada kultur sputum, terutamaAspergillus fumigates.

    Aspergilosis invasif perlu dipikirkan pada penderita HIV dengan gambaran klinik pneumonia,

    namun tidak berespons dengan terapi antibiotika.5,12

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    12/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    12

    Penatalaksanaan

    Terapi yang dianjurkan untuk aspergilosis invasif adalah vorikonazol intravena dengan dosis 6

    mg/kgBB tiap 12 jam sebanyak 2 kali, kemudian dilanjutkan 4 mg/kgBB tiap 12 jam selama > 1

    minggu, selanjutnya 2 x 200 mg. Namun obat ini belum tersedia di Indonesia. Terapi alternatif

    yang dapat digunakan adalah Amfoterisin B iv 1,0 mg/kgBB/hari. Alternatif lain adalah

    itrakonazol 600 mg/hari selama 4 hari, diteruskan 400 mg/hari. Lama terapi belum

    dipublikasikan namun sebaiknya dilanjutkan setidaknya sampai CD4 > 200 sel/!L dan terbukti

    ada perbaikan klinis.3,5,12

    MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX(MAC)

    Mycobacterium avium dan Mycobacterium intracellulare merupakan spesies mikobakterium

    non-tuberkulosis yang termasuk Mycobacterium avium complex (MAC). M. avium merupakan

    yang tersering pada HIV, terutama serotipe 1,4, dan 8. Bakteri ini didapat dari lingkungan air,

    tanah, makanan, dan binatang. Namun, tidak diketahui mana yang merupakan sumber

    penularan utama pada manusia.5

    Risiko utama MAC adalah imunokompromais, terutama pada penderita HIV dengan

    CD4 < 50 sel/!L, selain kadar HIV yang tinggi. Pada penderita HIV yang belum mendapat

    terapi ARV, infeksi ini cenderung menjadi diseminata. Kejadian infeksi MAC menurun secara

    bermakna setelah pemberian terapi ARV. Infeksi ini juga dapat muncul sebagai bagian darisindrom imunorekonstitusi setelah pemberian ARV.

    Gejala

    Setelah bakteri ini masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi atau tertelan, infeksi menyebar

    melalui saluran limfe selanjutnya secara hematogen. Bakteri tersebut kemudian dimakan sel

    fagosit mononuclear di seluruh tubuh dan sistem retikuloendotelial terutama di hati, limpa, dan

    sumsum tulang. Karena itu, gejala klinis utama MAC diseminata adalah demam persisten lebih

    dari 1 minggu, penurunan berat badan, keringat malam dan fatig. Sedang gejala lain adalah

    diare, limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia (hemoglobin

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    13/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    13

    Diagnosis

    Diagnosis defenitif ditegakkan jika ditemukan kuman Mycobacterium avium atau

    Mycobacterium intracellulare pada kultur darah atau cairan tubuh lain yang umumnya steril.

    Jika tidak ditemukan pada kultur darah sementara kecurigaan cukup besar, dapat

    dipertimbangkan biopsi sumsum tulang atau hati.

    Diagnosis presumtif infeksi MAC diseminata jika ditemukan basil tahan asam di feses

    atau jaringan, namun tidak dibuktikan dengan kultur. BTA di feses mempunyai nilai prediktif

    60% terjadinya infeksi diseminata.5

    Penatalaksanaan

    Pemberian terapi MAC sebaiknya mengandung dua atau lebih obat antimikroba untuk

    mencegah atau menunda resistensi emergensi. Clarithromycin merupakan pilihan pertama.

    EMB adalah obat kedua yang direkomendasikan. Beberapa klinisi menambahkan

    rifabutin sebagai obat pilihan ke tiga.3

    Tabel 4. Regimen terapi pada infeksi MAC

    Terapi pilihan Obat tambahan untuk kuman resisten

    makrolid

    Klaritromisin 2 x 500 mg + Etambutol 15

    mg/kgBB, atau

    Azitromisin 1 x 600 mg + Etambutol 15

    mg/kgBB

    Moksifloksasin 1 x 400 mg, atau

    Levofloksasin 1 x 500-700 mg + etambutol 15

    mg/kgBB + Rifabutin 1 x 300 mg + amikasin

    IV 10-15 mg/kgBB

    Lama pemberian terapi MAC pada penderita HIV belum disepakati. Namun, CDC

    menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi jika tidakditemukan gejala dan tanda infeksi MAC, disertai peningkatan CD4 > 100 sel/!L yang menetap

    selama lebih 6 bulan dengan pemberian ARV.5

    Profilaksis

    Terapi profilaksis primer sebaiknya diberikan pada penderita HIV dengan risiko tinggi infeksi

    MAC yaitu dengan CD4 < 50 sel/ !L, namun harus dibuktikan tidak terdapat infeksi MAC atau

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    14/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    14

    M. tuberculosis. Terapi profilaksis ini bisa dihentikan jika CD4 > 100 sel/ !L yang menetap

    selama lebih dari 3 bulan.

    Tabel 5. Terapi profilaksis MAC

    Profilaksis pilihan Profilaksis alternatif

    Klaritromisin 1 x 500 mg, atau

    Azitromisin 1200 mg per minggu

    Rifabutin 1 x 300 mg, atau

    Azitromisin 1 x 500-600 mg

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    15/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    15

    KESIMPULAN

    1. IO merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pasien yang terinfeksi HIV.

    2. Insidensi IO bergantung pada level imunosupresi (muncul pada CD4 < 200/mm3 atau total

    lymphocyte count< 1200/mm3), dan pada prevalensi endemik dari agen penyebab.

    3. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini

    dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang

    sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan

    tubuh.

    4. Tidak seperti infeksi mikobakterial aspesifik lainnya, seperti MAC, TB dapat muncul pada

    infeksi HIV awal dengan CD4 median >350 sel/!L.

    5. Viral load pada penderita terinfeksi HIV koinfeksi TB meningkat enam hingga tujuh kali

    dibandingkan HIV tanpa TB.

    6. Gambaran rntgen PCP normal pada 10% kasus. Pada keadaan demikian, CT scan dapat

    menunjukkan gambaran ground glassatau lesi kistik.

    7. Kejadian aspergilosis pada penderita HIV tidak sebanyak infeksi jamur lain, namun memiliki

    angka kematian yang tinggi (median survival 3 bulan).

  • 7/26/2019 Infeksi Oportunistik Paru Pada Penderita HIV

    16/16

    Infeksi Oportunistik Paru pada Penderita HIV

    16

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Ministry of Health and Family Welfare Government of India. Guidelines for Prevention and

    Management of Common Opportunistic Infections/Malignancies among HIV-infected Adult and

    Adolescent. NACO; 2007

    2. Rasheed MU, Thajuddin N. Mycobacterial, bacterial and fungal pathogens causing pulmonary

    complications in patients with HIV infection. HIV & AIDS Review 2011; 9-13

    3. Centers for Disease Control and Prevention. Guidelines for Prevention and Treatment of

    Opportunistic Infections in HIV-infections in HIV Infected Adults and Adolescents. MMWR; 2009;

    58

    4. Hoffmann C. Opportunistic Infections (OIs). Dalam: Hoffman C, Rockstroch JK, Kamps BS. HIV

    Medicine 2007. Paris: Flying Publisher; 2007. h. 389-467

    5. Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit

    FKUI; 2005

    6. Nasronudin. HIV & AIDS. Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial. Surabaya: Airlangga

    university press; 2007

    7. Goldenberg S, Price N. Opportunistic fungal lung infections. Elsevier 2008: 295-99

    8. Larsen JH. Pneumocystis jiroveci applied molecular microbiology, epidemiology and diagnosis.

    Dan Med Bull 2004; 51: 251-73

    9. Seddon J, Bhagani S. Antimicrobial therapy for the treatment of opportunistic infections in

    HIV/AIDS patients: a critical appraisal. Research and Palliative Care 2011; 3: 19-33

    10. Fungal infection. Springer 2006; 52-75

    11. Sage B, Miller R. AIDS and the lung. Medicine 2009; 342-47

    12. Wilcox RD. Aspergillosis: an unusual pathogen in HIV. Fall 2010; 22: 1-3

    13. Goldenberg S, Price N. Opportunistic fungal lung infections. Elsevier 2008: 295-99