infeksi hiv/aids sebagai salah satu faktor pecetus ... · case report: a 19 year old woman with...

12
MAKALAH LENGKAP LAPORAN KASUS INFEKSI HIV/AIDS SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR PECETUS MENINGIOMA SEREBRI Oleh : A.A. Bagus Ngurah Nuartha Rindha Dwi Sihanto JOINT MEETING ASNA-INA NEUROINFECTION & THE 19 TH CNE SURABAYA, 19-22 JULI 2018

Upload: dinhque

Post on 16-May-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MAKALAH LENGKAP

LAPORAN KASUS

INFEKSI HIV/AIDS SEBAGAI SALAH SATU

FAKTOR PECETUS MENINGIOMA SEREBRI

Oleh :

A.A. Bagus Ngurah Nuartha

Rindha Dwi Sihanto

JOINT MEETING ASNA-INA NEUROINFECTION & THE 19 TH

CNE

SURABAYA, 19-22 JULI 2018

1

LAPORAN KASUS INFEKSI HIV/AIDS SEBAGAI SALAH SATU

FAKTOR PECETUS MENINGIOMA SEREBRI ***

Nuartha AABN, Sihanto RD,

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/

RSUP Sanglah Denpasar, Bali

Abstrak

Latar Belakang: Meningioma merupakan tumor serebri kedua yang paling sering

ditemukan dari seluruh kasus tumor otak. Tumor yang dikaitkan retrovirus telah

banyak dilaporkan terutama di era infeksi HIV/AIDS. Angka kejadian meningioma

(WHO stadium II/III) pada penderita dengan terinfeksi virus (HIV-1) mengalami

peningkatan. Saat ini belum di ketahui secara pasti mekanisme penyebabnya.

Diduga mekanisme meningioma pada penderita HIV meliputi banyak faktor yaitu

proses mutagen sel, aktivasi sel host seluler proto-onkogenik dengan menginhibisi

proses apoptosis yang diregulasi siklus sel, aktivitas dari perjalanan sinyal

phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K)/Akt, modulasi dari produksi inflamator

sitokin dan mikrosatelit. Tat-protein pada HIV-1 ditemukan berhubungan sebagai

patogenesis tumor dengan proses regulasi sinyal sel, translasi, proliferasi dan

differensiasi yang terikat pada kromosom 22 yang merupakan asal pembentukan

meningioma.

Laporan Kasus: Wanita 19 tahun, mengeluhkan nyeri kepala kronik progresif,

muntah, paresis nervus trigeminus kanan, paresis nervus abdusen dan paresis parsial

nervus okulomotorius kanan, dengan diagnosis HIV yang gagal terapi ARV. CT

Sken kepala tanpa kontras tampak lesi hiperdens daerah sinus kavernosa sisi kanan.

MRI Kepala dengan dan tanpa kontras didapatkan masa padat ekstraaksial pada

daerah parasela kanan yang menyebabkan penyengatan sekitar arteri karotis interna

kanan pada sinus kavernosa dan menonjol ke arah sisterna sisi kanan dicurigai

meningioma kavernosa. Pasien dilakukan reseksi tumor total dengan pendekatan

transsfenoidal didapatkan hasil dari patologi anatomi secara morfologi sesuai untuk

meningioma atipikal (WHO stadium II) di sinus kavernosa. Kesimpulan:

HIV/AIDS sebagai salah satu faktor pencetus timbulnya meningioma tipe atipikal

karena proses onkogenik virus HIV-1 yang terjadi pada usia muda.

Kata Kunci: HIV/AIDS, meningioma, onkogenik virus

***disampaikan dalam Joint meeting ASNA-INA Neuroinfection & the 19th CNE di

Surabaya 19-22 Juli 2018.

2

HIV/AIDS AS ONE OF THE FACTORS OF MENINGIOMA: CASE

REPORT***

Nuartha AABN, Sihanto RD

Neurology Department, Faculty of Medicine, Udayana Univercity/Sanglah

General Hospital, Denpasar, Bali

Abstract

Background: Meningioma is the second most common cerebral tumor found in all

cases of brain tumors. All malignancies worldwide have a viral etiological agent,

and retroviruses are reported increase prevalence meningiomas (WHO grade II/III)

with infected virus (HIV-1) could directly causes malignancies in human are not

clearly understood, some of the suggested mechanisms include; insertional

mutagenesis and activation of host cellular proto-oncogenes inhibition of apoptotic

pathways deregulation of cell cycle , activation of phosphatidylinositol-3-kinase

(PI3K)/Akt signaling pathways, modulation of production of inflammatory

cytokines and microsatellite instability

have been suggested. HIV-1 Tat-protein was

found to regulate genes involved in cell signaling, translation, host cell proliferation

and differentiation plays an oncogenic role through the occurrence of mutations and

especially loss of chromosome 22 on a background of malignancy meningiomas.

Case Report: A 19 year old woman with chronic progressive headache, vomiting,

right trigeminal nerve paresis, paresis of the right abdusen nerve and oculomotorius

nerve paresis, with HIV diagnoses that failed ARV therapy. Head CT scan without

contrast showed hyperdens lesion at right cavernous sinus. An extra-axial mass was

identified in right parasellar region on contrast-enhanced head MRI suspected

cavernous meningioma. Patients total tumor resection with transsphenoidal surgery

approach resulted from morphological anatomical pathology showed in accordance

with atypical meningioma (WHO grade II) at cavernous sinus.

Conclusion: HIV/AIDS is one of the leading causes of atypical type of

meningioma because of the oncogenic HIV-1 virus that occurs at younger patient.

Keywords: HIV / AIDS, meningioma, oncogenic virus

*** Presented at Joint meeting ASNA-INA Neuroinfection & the 19th CNE in

Surabaya, Juli, 19-22th 2018.

3

LATAR BELAKANG

Tumor serebri jenis meningioma merupakan tumor serebri kedua yang paling

sering ditemukan dibanding jenis tumor serebri lainnya (Black P.B, 2012.).

Meningioma merupakan tumor otak jinak pada jaringan pembungkus otak atau

meningens. Meningioma tumbuh dari sel arachnoid cap yang berasal dari vili

araknoid atau lapisan tengah meningens. Insiden meningioma pada wanita lebih

tinggi dibandingkan pada laki-laki. Insiden meningioma pada wanita di Inggris

adalah 7,19 per 100.00 jiwa sedangkan pada pria adalah 3,05 per 100.00 jiwa per

tahun. Hal ini tidak berbeda jauh dengan di Amerika, insiden meningioma pada

wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki, yaitu 8,36 dan 3,61 per 100.000

jiwa untuk wanita dan laki-laki (Santosh, K. dkk, 2012).

Peningkatan prevalensi meningioma yang diamati pada pasien ≤ 35 tahun

sekitar 19,4% terjadi pada pasien Human Immunodeficiency yang terinfeksi virus

(HIV-1) di RSUP Inkosi Albert Luthuli. Prevalensi infeksi HIV -1 di Afrika Selatan

(S.A) dengan meningioma (WHO II/III) juga ditemukan sebanyak 10 % dari seluruh

kasus meningioma pada kelompok umur 30-34 tahun pada wanita dan 3549 tahun

pada laki-laki (Zuma K, 2016).

Faktor peningkatan terjadinya meningioma highgrade (WHO II/III) pada

pasien terinfeksi HIV, terlepas dari tingkat imunosupresi diduga meliputi banyak

faktor yaitu proses mutagen sel, aktivasi sel host seluler proto-onkogenik dengan

menginhibisi proses apoptosis yang diregulasi siklus sel, aktivitas dari perjalanan

sinyal phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K)/Akt, modulasi dari produksi inflamator

sitokin dan mikrosatelit. Tat-protein pada HIV-1 ditemukan berhubungan sebagai

patogenesis tumor dengan proses regulasi sinyal sel, translasi, proliferasi dan

differensiasi yang terikat pada kromosom 22 yang merupakan asal pembentukan

meningioma (Dolcetti R, 2015).

Diagnosis meningioma dilakukan dengan anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang MRI dan CT Sken, dan diagnosis

berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan

meningioma sangat bergantung dengan besar dan lokasi tumor. Pasien dengan

seropositif HIV terus membaik dan harapan hidup mereka berkepanjangan, antara

30-40% orang yang hidup dengan diagnosis HIV disertai neoplasma (Berretta M,

2003 dan Hessol NA, 2007).

LAPORAN KASUS

Dilaporkan kasus seorang perempuan, 19 tahun, suku Bali, bangsa Indonesia,

kinan, datang sadar dengan keluhan nyeri kepala kronik progresif disertai muntah

pada pagi hari sejak 1,5 tahun yang lalu, juga disertai mata kabur dan mata sebelah

kanan tidak dapat melirik kekanan. Keluhan tebal pada separo wajah sisi kanan

sejak 6 bulan terakhir. Keluhan tidak disertai dengan kejang, demam dan riwayat

trauma kepala.

Pasien dengan diagnosis HIV yang gagal terapi ARV, dan sudah diketahui

sejak 3 tahun. Pasien juga diketahui menderita tumor otak sejak 6 bulan. Pasien

merupakan seorang pramusaji di rumah makan, alkohol (-), merokok (-),

multipartner seks (-), berhubungan seks (+) dengan penderita HIV Stadium IV pre

HAART yang multipartner seks selama 5 tahun.

4

Saat masuk ditemukan gejala neurologi berupa nyeri kepala tipe vaskular

kronik progresif dengan VAS 7-8, pemeriksaan funduskopi didapatkan kesan masih

normal dengan visus mata kanan 3/6 dan mata kiri 2/6, paresis nervus trigeminus

kanan, paresis nervus abdusen dan paresis parsial nervus okulomotorius kanan.

Jumlah limfosit CD 4 adalah 4 sel/mm3. CT Sken kepala tanpa kontras tampak lesi

hiperdens di daerah sinus kavernosa kanan. MRI Kepala dengan dan tanpa kontras

didapatkan masa padat ekstraaksial pada parasela kanan yang menyebabkan

penyengatan terhadap arteri karotis interna kanan pada kavernosa dan menonjol ke

arah sisterna sisi kanan dicurigai meningioma kavernosa. Pasien dilakukan reseksi

tumor total dengan pendekatan transsfenoidal dan didapatkan hasil dari patologi

anatomi secara morfologi sesuai untuk meningioma atipikal (WHO stadium II) di

sinus kavernosa.

Gambar 1 Funduskopi: OD normal/ OS normal

OD OS

Gambar 2. Thorax AP

5

Jantung dan paru tak tampak kelainan

Gambar 3 CT Sken Kepala Tanpa Kontras

Lesi hiperdens (30,4 HU)

bentuk bulat batas tegas tepi

reguler ukuran 2,69x 2,59x2,46

di sinus kavernosa kanan.

Gambar 4. MRI Kepala dengan dan tanpa kontras

Pada T1W massa tampak isointens Pada T2W tampak hipointens dengan

hiperintensitas minimal di dalamnya,

mengesankan terdapat area nekrosis di

dalam masa tersebut.

6

Paska kontras masa menunjukkan strong heterogenous contrast enhancement. Ukuran masa sekitar 2.55x2.98x2.94 cm. Tampak adanya gambaran dural tail.

Masa mennyebabkan penyengatan sekitar a. karotis interna kanan pars kavernosa.

Tidak tampak infiltrasi masa ekstrakranial (ke sinus sfenoidalis kanan, apeks

orbita kanan maupun intrasela. Masa tampak menonjol ke arah prepontine

sisterna sisi kanan.

Kesan: Masa padat ekstraksial pada daerah parasela kanan yang menyebabkan

penyengatan terhadap a. Karotis kanan pars kavernosa dan menonjol ke arah

sisterna prepontin kanan kemungkinan meningioma kavernosa.

Gambar 5. Makroskopis:

Berupa potongan-potongan jaringan ukuran terbesar 2x1, 5x1,2 cm, ukuran terkecil

0,5x0,5x0,3 cm pada irisan tampak massa putih memenuhi seluruh jaringan.

7

Gambar 2. A1. Masa tumor terdiri dari sel-sel neoplastik hiperseluler (panah

putih), berbentuk spindel, sitoplasma sebagian sempit eosinofilik, inti spindel,

sebagian dengan kromatin vesikuler (panah hijau), mitosis dapat ditemukan (panah

biru) (pembesaran 100x). A2 Sel-sel neoplastik membentuk struktur fasikulus

(panah hitam), storiform (panah kuning) (pembesaran 100x),

Secara histopatologi didapatkan potongan-potongan jaringan yang

mengandung masa tumor terdiri dari proliferasi sel-sel neoplastik hiperseluller yang

membentuk struktur fasikulus, storiform, sebagian lembaran, infiltratif diantara

jaringan ikat. Sel tersebut dengan morfologi spindel, sitoplasma eosinofilik, inti

spindel dan ovoid, kromatin halus, sebagian dengan kromatin vesikuler. Mitosis

9/10 HPF. Tampak beberapa fokus area nekrosis. Tampak gambaran whorl.

Kesimpulan: pada sinus kavernosa dekstra: morfologi sesuai untuk l meningioma

atipikal (WHO Grade II)

PEMBAHASAN

Pada kasus ini pasien mengalami pertumbuhan tumor jinak pada meningen otak

dan telah dilakukan reseksi tumor total dengan pendekatan transsfenoidal

didapatkan hasil dari patologi anatomi secara morfologi sesuai untuk meningioma

atipikal. Meningioma merupakan tumor jinak intrakranial yang paling sering

dijumpai. Meningioma diperkirakan sekitar 15-30% dari seluruh tumor primer

intrakranial pada orang dewasa. Prevalensi meningioma berdasarkan konfirmasi

pemeriksaan histopatologi diperkirakan sekitar 97,5 penderita per 100.000 jiwa di

Amerika Serikat. Prevalensi ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya

karena tidak semua meningioma ditangani secara pembedahan (Santosh, K, 2012)

Diagnosis meningioma dilakukan dengan anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dengan MRI dan CT Sken, serta

diagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi. Manifestasi klinis yang

ditimbulkan meningioma sangat bergantung dengan besar dan lokasi tumor.

Mayoritas meningioma ditemukan di kompartemen supratentorial, yang tersering di

sepanjang sinus venosus di dural konveksitas serebri, daerah parasagital, dan area

ala sfenoid. Lokasi yang lebih jarang ditemukan adalah pada selubung nervus

optikus, angulus serebelopontin, dan pleksus koroideus. Daerah spinal adalah lokasi

A1 A2

8

utama pada 12% pasien dan merupakan tumor tersering pada korda spinalis

intradural dan kauda ekuina. Gejala klinis yang sering dikeluhkan pada pasien

meningioma antara lain sakit kepala yang secara bertahap meningkat, kejang,

gangguan penglihatan, sindrom lobus frontalis, gangguan kepribadian, hemiparesis

kontralateral, kelemahan pada lengan dan tungkai, serta kehilangan sensasi terutama

pada meningioma spinalis. Hal ini juga turut dikeluhkan pada pasien ini. Lokasi dari

asal tumor merupakan faktor prediktor penting untuk menentukan prognosis dan

resektabilitas (Guthrie BL, 2010). Meningioma menimbulkan berbagai gejala

dengan mekanisme yang berbeda-beda, baik itu dengan mengiritasi korteks,

menekan saraf kranial, menyebabkan hiperostosis maupun dengan menginduksi

kerusakan vaskular di otak (Omar, 2014):

• Iritasi : Dengan mengiritasi korteks yang berada dibawahnya, meningioma

dapat menyebabkan kejang.

• Kompresi : Nyeri kepala terlokalisir ataupun tidak spesifik diakibatkan

oleh kompresi pada otak yang pada akhirnya dapat menyebabkan disfungsi otak.

Pemeriksaan histologis dapat memprediksi mortalitas dan rekurensi.

Meningioma atipikal dan maligna memiliki tingkat rekurensi yang lebih tinggi dan

waktu kelangsungan hidup yang lebih singkat dibandingkan dengan meningioma

benigna. Tingkat kekambuhan dalam 5 tahun dilaporkan sebanyak 38% pada kasus

meningioma atipikal dan 78% pada meningioma maligna. Sementara pada

meningioma benigna, 70.1% dari total kasus menunjukkan tingkat kelangsungan

hidup 5 tahun dan pada lesi maligna dilaporkan sebanyak 54.6% dari total kasus.

Temuan pada CT Sken juga dapat membantu menggambarkan apakah tumor

tersebut memiliki karakteristik benigna atau maligna. Peningkatan homogenitas dan

kalsifikasi lebih sering dijumpai pada tumor benigna, dimana peningkatan

nonhomogenitas dan “mushrooming” lebih sering dijumpai pada tumor maligna

(Marosi C, 2008).

Tumor ini tumbuh lambat dengan batas-batas yang berbeda. Gejala biasanya

muncul jika sudah mengkompresi ke dalam jaringan otak. Sebagian besar

meningioma adalah tumor jinak yang berkembang dengan lambat dan secara khas

dihubungkan dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial yang bertahap. Sakit

kepala dan kejang adalah gejala umum yang terjadi, namun terdapat pula gejala lain

yang tergantung pada ukuran dan lokasi dari tumor. Pada MRI, meningioma

biasanya tampak isointens terhadap korteks serebri dan peningkatan kontras

(Satyanegara, 2010)

Jika tumor dapat diakses, pengobatan dilakukan dengan pembedahan untuk

mengangkat tumor, bagian dari dura mater (lapisan terluar dari meningen) yang

terpasang dan tulang setiap yang terlibat. Jumlah reseksi tumor penting untuk

kontrol tumor jangka panjang. Evaluasi pembuluh darah untuk pasokan tumor dapat

dilakukan sebelum operasi dan dalam beberapa kasus terjadi emboli yang sengaja

dibloking untuk memfasilitasi removal tumor. Terapi radiasi atau radiosurgery

9

seperti gamma knife bisa dilakukan jika operasi tidak memungkinkan. Untuk

beberapa pasien, operasi mungkin tidak dianjurkan bagi mereka yang tidak

memiliki gejala. Insiden grade II bersifat atipikal adalah 5-7% dengan tingkat

kekambuhan 40%. Grade ini tidak jelas ganas atau tidak. Kejang, hemiparesis,

hilangnya bidang visual, dan afasia adalah kebanyakan gejala umum pasien dengan

meningioma. Tetapi meningioma serebri memiliki kecendrungan untuk kambuh

dan tumbuh lebih cepat (Santosh, K. dkk, 2012). Data ini sesuai dengan data pasien

dalam laporan kasus ini.

HIV adalah retrovirus nontransform. Gen tat HIV mungkin memiliki peran

dalam patogenesis tumor. Protein tat adalah transactivator yang mampu

mengekspresi gen pada sel yang terinfeksi HIV dan mampu mengubah keratinosit

manusia. Sel yang mengekspresikan ini juga dapat melepaskan faktor lain yang

menyebabkan jenis sel lainnya berkembang biak. Infeksi HIV itu sendiri dan infeksi

oportunistik atau neoplasma menginduksi beberapa sitokin seperti interleukin-l dan

-6, tumor necrosis factor-a, dan oncostatin M, yang berpotensi mendorong

pertumbuhan tumor. Selanjutnya varian HIV tipe I telah terbukti menginfeksi sel

fibroblastoid yang diturunkan dari meningioma (Motebejane MS, 2017). Dalam

penelitian yang dipaparkan oleh Samson 2016 menunjukkan peningkatan risiko

berkembangnya highgrade (WHO II/III) meningioma pada pasien terinfeksi HIV,

terlepas dari tingkat imunosupresi. Infeksi HIV-1 dan proteinnya mungkin

memainkan peran yang lebih langsung. Berkembangnya meningioma pada usia

kelompok muda umur di dekade 2 dan 3. Wang, 2014 melaporkan bahwa HIV-1

dan variannya bisa menginfeksi dan tumbuh pada fibroblastoid sel meningioma.

Pasien HIV-1 mengalami penurunan ekspresi aktivitas penekan tumor seperti

pRb2/p130, P16, dan P21 Upregulasi Cyclin-A. Tat-protein dilaporkan

menghambat aktivitas HAT Tip-60 (protein interaktif S 60), oleh karena mengatur

mekanisme penting dalam DNA untai ganda. Hal ini dapat menyebabkan

ketidakstabilan genom pada kanker. Salah satu protein struktural HIV-1, matriks

HIV-1 p17, ditemukan mampu mengaktifkan jalur pensinyalan PI3K/Akt.

PI3K/Akt jalur sinyal memainkan peran penting dalam pengembangan dan

perkembangan sel ganas beberapa tumor yang salah satunya terikat pada kromosom

22 yang merupakan asal pembentukan meningioma. Proses fosforilasi akan

membuat jenis meningioma anaplastik dan atipikal (Dolcetti R, 2015).

KESIMPULAN: Dalam laporan kasus ini dikemukakan bahwa pasien awalnya

menderita HIV/AIDS terlebih dahulu dan kemudian ditemukan terjadi meningioma

tipe atipikal. Hal ini sesuai dengan beberapa kajian pustaka bahwa HIV/AIDS

sebagai salah satu faktor pecetus timbulnya meningioma tipe atipikal (WHO

stadium II) karena proses dari onkogenik virus HIV-1 yang terjadi pada usia muda.

10

DAFTAR PUSTAKA

Berretta M, Cinelli R, Martellotta F, et al. 2003. Therapeutic approaches to AIDS related

malignancies. Journal Oncogene, 22; 6646–59.

Black PB. 2012. Brain Tumor, review article. NEJM, 324; 1471-72.

Cross, LJ. 2010. Australia Brain Tumor Information. (online) diunduh dari

http://www.btai.com.au/images/factsheetpdfs/Page%2010to11.pdf.

Dolcetti R, Giagulli C, He W, et al. 2015. Role of HIV-1 matrix p17 variant in lymphoma

pathogenesis. PNAS ed. 112, no. 46, pp. 14331-36.

Guthrie BL. 2010. Neoplasm of the Meningens, in Youmans JR (ed) Neurological

Surgery. Philadelphia: WB Sounders, pp. 3250-3303.

Imran Muhammad, Fatima Zareen, Noreen Mamoona dan Ahmad Bilal Waqar. 2017.

Oncogenic Role Of Tumor Viruses in Humans. Pakistan. Article in Viral

Immunology · January 2017. DOI:10.1089/vim.2016.0109.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktoral Jendral Pencegahan dan

Pengendalian Penyakit. 2017. Laporan Perkembangan HIV-AIDS dan Penyakit

Infeksi Menular Seksual (PIMS) Triwulan 1 Tahun 2017. PM.02.02/3/1508/2017.

Marosi C, Hassler M, Roessler K, et al. 2008. Meningioma. Crit Rev Oncol Hematol, Aug

ed. 2, 153-71. Epub 2008 Mar 14.

Motebejane MS, Kaminsky I, Choi IS. 2017. Intracranial Meningioma in patients younger

than 35 years of age: An evolution of the disease in the Era of Human

Immunodeficiency Virus infection. A retrospective observational study, World

Neurosurgery, doi: 10.1016/j.wneu.2017.09.161.

Omar, Islam. dkk. 2014. Imaging in Brain Meningioma. Meningioma (online) diunduh

dari http://emedicine.medscape.com/article/341624-overview.

Santosh, K. dkk. 2012. American Brain Tumor Association. Meningioma. Diunduh dari

http://www.abta.org/secure/meningioma-brochure.pdf.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; pp 567-76.

11

Zuma K, Shisana O, Rehle TM et al. 2016. New Insight into the HIV Epidemic in South

Africa: Key Findings from the National HIV Prevalence, Incidence and Behaviour Survey, 2012. African Journal of AIDS Research, 15; 67-75.