inf gamma pada tb
DESCRIPTION
Interferon Gamma dan TuberculosisTRANSCRIPT
Peran Interferon- pada Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian utama
khususnya di negara-negara berkembang. Pada tahun 1997 kasus baru secara total
diperkirakan 7,96 juta (rentang 6,3–11,1 juta) dengan 3,52 juta (44%) merupakan
kasus menular (rentang 2,8–4,9 juta) dengan kuman positif (smear positive) dan
sekitar 16,2 juta (12,1 – 22,5 juta) kasus tercatat sebagai pasien tuberkulosis.
Diperkirakan kematian berkisar 1,87 juta (1,4 – 2,8 juta) setiap tahun dan angka
kematian global sekitar 23%, serta lebih dari 50% di Afrika karena angka kasus
HIV (Human Immunodeficiency Virus). Angka prevalensi secara global adalah
32% (1,86 juta orang). Sekitar 80% dari seluruh kasus tuberkulosis terdapat di 22
negara dan lebih dari separuhnya berasal dari Asia Tenggara. Diperkirakan satu
kematian terjadi setiap 15 detik (lebih dari 2 juta pertahun). Tanpa pengobatan,
60% kasus tuberkulosis akan meninggal (Kusuma, 2007). Dari data-data inilah
dapat disimpulkan bahwa tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia ini.
Tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri batang gram positif,
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi Mycobacterium tuberculosis memiliki
kekhasan tersendiri karena bakteri tersebut hidup intraselular. Kondisi ini
merupakan salah satu faktor yang mempersulit upaya pengobatan. Mycobacterium
tuberculosis dapat menular dari individu yang satu ke individu lainnya melalui
percikan yang terbawa udara (airborne droplets), seperti batuk, dahak atau
percikan ludah. Penderita tuberkulosis paru pada umumnya adalah orang dewasa.
Anak-anak dengan tuberkulosis paru primer pada umumnya tidak menularkan
bakteri pada orang lain. Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat berkembang
dari: (1) progresi suatu infeksi paru primer, (2) progresi lesi paru dari kuman
melalui aliran darah, (3) reaktivasi lesi primer lama, atau (4) reaktivasi lesi paska-
primer lama. Gambaran patologi anatomi tuberkulosis paru yang khas
menunjukkan adanya nekrosis perkejuan yang dikelilingi sel epiteloid dan sel
datia Langhans (Widjaja dkk., 2010).
Pada saat ini para ahli menduga adanya gangguan sistem imun pada
penderita tuberkulosis. Sel T helper-1 (Th1) sangat berperan pada sistem
pertahanan tubuh terutama dalam menghadapi infeksi bakteri intraseluler. Salah
satu sitokin yang diproduksi sel Th1 adalah interferon gamma (IFN-γ) yang
berperan penting dalam mengeliminasi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Interferon gamma bertugas untuk memperkuat potensi fagosit dari makrofag yang
terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yaitu dengan cara menstimulasi
pembentukan fagolisosom. IFN-γ juga menstimulasi pembentukan radikal bebas
untuk menghancurkan komponen bakteri Mycobacterium tuberculosis yaitu DNA
dan dinding sel bakteri. Terjadinya gangguan atau penurunan aktivitas sel Th1 dan
sitokinnya yaitu IFN-γ cukup bermakna dalam mempengaruhi mekanisme
pertahanan tubuh terhadap penyakit tuberkulosis paru.
Saat terjadi infeksi, kuman tuberkulosis akan difagositosis oleh sel
makrofag alveolar dan tetap bertahan hidup dalam fagosom. Respon makrofag
terhadap infeksi awal ini merupakan innate immune responses yang utama.
Selanjutnya rekrutmen sel-sel dendritik merupakan respon imun selular termasuk
di dalamnya keterlibatan sel T CD4 + dan CD8 + dengan kemungkinan
terbentuknya granuloma. Pada umumnya sebagian besar individu mampu
bertahan agar tidak sakit, tetapi tidak mampu mengeleminasi kuman sehingga
kuman tetap berada di dalam granuloma yang kelak dapat menimbulkan infeksi
laten tuberkulosis. Para peneliti tertarik pada kuman tuberkulosis terutama dinding
selnya. Beberapa faktor penentu virulensi kuman yang ada di dalam dinding sel
kuman tuberkulosis dan dapat menjelaskan immunopatogenesis adalah
lipoarabinomannan (LAM), sulfolipida, asam mikolat yang mengandung
glikolipida, dan lipoprotein 19- kDa.
Dinding sel lipid kuman tuberkulosis mempunyai efek terhadap migrasi sel
neutrofil, sel monosit dan sel makrofag. Lapisan dinding sel terutama LAM dan
trehalose dimycolate (TDM) menimbulkan aktifasi pembentukan granulositik di
dalam paru. LAM secara langsung dapat menghambat aktifasi makrofag oleh IFN-
γ, dan merangsang produksi tumor growth factor beta (TGF- β) makrofag
sehingga dapat menghambat aktifasi sel makrofag serta sel T dengan akibat terjadi
pergeseran ke arah perkembangan sel tipe Th2 dan berakibat terjadinya imunitas
yang tidak efektif terhadap kuman tuberkulosis. Eliminasi kuman tuberkulosis
sangat bergantung pada keberhasilan interaksi antara sel makrofag dan sel limfosit
T. Sel TCD4+ dengan produksi sitokin utama IFN-γ setelah mendapat stimulasi
antigen kuman tuberkulosis menimbulkan efek protektif. Sel subset T yang lain
yaitu TCD8+ mempunyai kontribusi dalam proteksi terhadap kuman melalui
sekresi sitokin dan melisis sel yang terinfeksi. Respon sel T merupakan
spesifik antigen dengan antigen imunodominan tertentu. Bersama
major histocompatibility complex (MHC) serta adanya polimorfisme di
MHC, maka setiap individu mempunyai suseptibilitas berbeda terhadap
infeksi dan terjadinya penyakit tuberkulosis. Pengenalan kuman
tuberkulosis oleh sel fagosit memicu terjadinya aktifasi dan produksi
sitokin dan kemokin. Terdapat dua macam kelompok sitokin yang
berperan di dalam respon imun terhadap kuman tuberkulosis, yaitu
sitokin proinflamasi dan sitokin anti inflamasi. Beberapa sitokin
proinflamasi yang terlibat di dalam proses infeksi kuman tuberkulosis
adalah tumor necrosis factor (TNF)-α, IL-1β, IL-6, IL-12, IL-8, IL-15 dan
IFN-. Sitokin anti inflamasi adalah IL-10, tumor growth factor (TGF)-β
dan IL-4. Kemokin yang terlibat dalam proses respon imun terhadap
infeksi kuman TB adalah IL-8 dan monocyte chemo atractant protein 1
(MCP-1).
Peran protektif IFN- pada tuberkulosis sangat dikenal dan
sudah sering dibuktikan kebenarannya terutama dalam konteks
antigen – specific T – cell immunity. Produksi IFN- terhadap antigen
yang spesifik pada penyakit tuberkulosis invitro dapat dijadikan marker
yang penting. Beberapa sel yang berperan memproduksi IFN- karena
respon imun terhadap kuman tuberkulosis adalah sel NK, makrofag
paru, sel TCD1 , sel Tgd, TCD4 + dan sel TCD8 +.
Respon imun humoral terhadap antigen kuman tuberkulosis
seperti LAM, SL-1, TDM dan lipoprotein 19-kDa dapat terjadi setelah
manusia diinfeksi oleh kuman tuberkulosis. Imunoglobulin G terhadap
LAM menimbulkan aktifasi komplemen klasik yang penting didalam
fagositosis. Imunoglobulin M anti LAM meningkatkan pembersihan LAM
yang ada di serum. Pemberian TDM dapat meningkatkan pembentukan
respon antibodi IgM dan menginduksi sitokin IL-4, IL-6 dan IL-10 yang
selanjutnya sitokin tersebut menjadi milieu yang kondusif untuk
meningkatkan produksi antibodi. Antibodi anti LAM yang terbentuk
selama infeksi adalah isotipe IgG2, tetapi apabila yang terbentuk
adalah isotipe IgG1
maka antigennya lipoprotein 19-kDa. Antibodi
terhadap antigen lipid mikobakteri sudah banyak diteliti sebagai
sarana diagnostik tuberkulosis yang potensial. Secara umum uji
diagnostik terhadap keberadaan antibodi memberikan hasil sensitifitas
dan spesifisitas yang tidak optimal dan sampai saat ini tidak
direkomendasikan untuk digunakan dalam program pemberantasan
penyakit TB.
Terdapat beberapa antigen spesifik yang berhasil diidentifikasi,
diantaranya berasal dari dinding sel kuman tetapi juga dijumpai dalam
filtrat kultur yaitu antigen kompleks 85A, 85B, 85C atau lebih dikenal
dengan protein 30 – 32 kDa. Antigen spesifik yang berasal dari protein
filtrat kultur yang berhasil diidentifikasi adalah protein 16-kDa, suatu
antigen utama yang dikenal oleh serum pasien tuberkulosis, dan
merupakan elemen yang mengatur kuman TB tetap laten dan tetap
berada di dalam pejamu. Antigen spesifik yang berasal dari filtrat
kultur lain adalah early secretory antigenic target 6 (ESAT-6), culture
filtrate protein 10 (CFP-10) yang keduanya disandi oleh gen RD-1
(region of difference 1) dan antigen TB10.4. Ketiganya merupakan
famili ESAT-6 dan ketiganya merupakan antigen imunodominan yang
dikenal oleh mayoritas pasien TB. Antigen ESAT-6 sangat kuat dikenal
oleh sel-sel limfosit yang memproduksi IFN-. Protein ESAT- 6 sebagai
antigen mempunyai bermacam-macam epitop yang semuanya dikenal
oleh sel T pada berbagai populasi dengan genetik yang tidak sama.
Membuat diagnosis TB merupakan masalah yang sering
dihadapi, terlebih pada kasus yang mempunyai jumlah kuman sedikit
atau pada tuberkulosis luar paru. Cara lama untuk mendiagnosis
tuberkulosis meliputi uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, gejala
klinis, histopatologis, kultur dan pemeriksaan melalui mikroskop
dengan pengecatan yang seluruhnya memiliki keterbatasan. Ada
beberapa cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis
yaitu dengan cara konvensional dan tidak konvensional. Cara
konvensional terdiri dari pemeriksaan mikroskopik, biakan kuman, uji
kepekaan terhadap obat, dan identifikasi keberadaan kuman isolat
serta pemeriksaan histopatologis.
Untuk pertamakali dikembangkan teknik baru secara in-vitro dan
in-vivo sebagai alternatif pengganti uji tuberkulin yaitu pemeriksaan
sel T limfosit dengan mengukur produksi interferon gamma (IFN-).
Pemeriksaan IFN- tersebut berdasarkan prinsip bahwa sel limfosit T
dari individu yang disensitisasi oleh antigen kuman tuberkulosis akan
memproduksi IFN- apabila dirangsang oleh pemberian antigen kuman
tuberkulosis. Peningkatan kadar IFN- atau peningkatan produksi IFN-
disimpulkan sebagai indikasi ditemukan kuman tuberkulosis (Kusuma,
2007).
Pada awalnya pemeriksaan dilakukan cukup dengan mengukur
kadar IFN- di dalam darah tepi tetapi kemudian berkembang menjadi
pengukuran produksi IFN- oleh sel mononuklar. Apabila pada awal
pemeriksaan menggunakan cara yang tidak otomatis maka selanjutnya
dikembangkan teknik otomatis. Jika semula yang diukur kadar produksi
IFN- selanjutnya dikembangkan teknik menghitung jumlah sel yang
memproduksi IFN- (spot). Kekurangan teknik pemeriksaan dengan
menggunakan kadar IFN- atau menentukan jumlah sel yang
memproduksi IFN- hanya mengindikasikan bahwa seseorang pernah
mengalami sensitisasi oleh kuman TB tetapi tidak dapat membedakan
antara seseorang menderita tuberkulosis laten atau tuberkulosis aktif
(ECDC, 2011).
Teknik pemeriksaan IFN- yang beredar di pasaran adalah
Quantiferon-TB (Cellestis, Australia) dan T spot- TB (Oxford Immunotec,
UK). Kedua teknik tersebut mengukur cell-mediated immunity(CMI)
dengan mengukur produksi IFN- oleh sel T setelah dirangsang oleh
antigen kuman tuberkulosis dengan menggunakan metode ELISA dan
ELISPOT (enzyme-linked immunospot). Generasi pertama Quantiferon-
TB adalah mengukur kadar IFN- di darah tepi (whole blood) dengan
metode ELISA setelah diberi PPD. Pengembangan Quanti- feron-TB
adalah Quantiferon-TB Gold yang telah menggunakan ESAT-6 dan CFP-
10.
Adapun teknik T spot-TB tidak menggunakan whole blood tetapi
memakai peripheral blood mono- nuclear cells (PBMCs) dengan
menggunakan antigen ESAT-6 dan CFP-10 dengan teknik ELISPOT
untuk mendeteksi jumlah sel T yang memproduksi IFN-. Masa inkubasi
untuk teknik tersebut berkisar antara 24–48 jam tetapi penelitian di
laboratorium (in-house assays) memerlukan waktu yang lebih lama
yaitu 5–6 hari.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa teknik ELISPOT lebih
sensitif dari teknik ELISA dalam menetapkan infeksi kuman
tuberkulosis pada penderita tuberkulosis aktif dan tuberculosis laten
dengan hasil masing-masing 95,4% dan 70,1%. Teknik ELISA lebih
spesifik dibandingkan teknik ELISPOT dengan hasil 91,6% dan 84,7%
namun peneliti lain menyatakan bahwa sensitifitas keduanya sama.
Dalam kaitannya dengan status BCG dibuktikan bahwa uji IFN-
berbasis antigen RD1 mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan uji tuberkulin dan uji IFN- berbasis PPD. Sama
halnya dengan uji ELISPOT berbasis ESAT-6 menunjukkan bahwa sama
sekali tidak berkorelasi dengan status BCG tetapi uji tuberkulin dan uji
ELISPOT berbasis PPD mempunyai hubungan yang bermakna dengan
status BCG, artinya bahwa kedua uji tersebut lebih banyak
memberikan hasil positif pada mereka yang telah mendapat BCG.
Pembuktian TB aktif pada anak dengan menggunakan teknik
ELISPOT memberikan sensitifitas sampai 83%; pasien tuberkulosis aktif
anak terbukti memberi respon yang lebih besar dibandingkan anak
dengan tanpa gejala. Teknik pemeriksaan dengan ELISPOT jauh lebih
sensitif dari uji tuberkulin, dan tidak dipengaruhi oleh faktor umur,
status HIV, serta malnutrisi.
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Widjaja, dkk (2010)
dan Roostati (2008) menunjukkan bahwa kadar interferon gamma
pada penderita tuberkulosis lebih rendah daripada bukan penderita
tuberculosis. Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab menurunnya
kadar interferon gamma, antara lain faktor genetik, usia, status gizi,
dan jenis kelamin seseorang.
DAFTAR PUSTAKA
European Centre for Disease Prevention and Control. 2011. Use of Interferon-Gamma Release Assays in Support of TB Diagnosis. Stockholm: ECDC.
Kusuma, Chandra. 2007. Diagnostik Tuberkulosis Baru dalam Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4 (Suplemen). Malang : SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Universitas Brawijaya, RSU Dr. Saiful Anwar.
Roostati, Rina Liza. 2008. Analisis Kadar Interferon Gamma Pada Penderita Tuberkulosis Paru dan Bukan Penderita Tuberkulosis. Bandung: Bagian Pulmonologi dan Farmakologi, FK Universitas Kristen Maranatha.
Widjaja, dkk. 2010. Analisis Kadar Interferon Gamma Pada Penderita Tuberkulosis Paru dan Orang Sehat. Bandung: Bagian Pulmonologi dan Farmakologi, FK Universitas Kristen Maranatha.