industri farmasi

23
ANALISIS PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI FARMASI DI INDONESIA BAB 1 PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai 14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai 5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20 triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26 triliun). Namun jika dilihat dari omzet penjualan secara global (all over the world), pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia (Priyambodo, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa industri farmasi di Indonesia belum optimal dalam hal penjualan padahal Indonesia merupakan pasar farmasi terbesar di

Upload: sukma-anugrah

Post on 24-Jul-2015

999 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Industri Farmasi

ANALISIS PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI FARMASI DI

INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dewasa ini, industri farmasi di Indonesia merupakan salah satu industri yang

berkembang cukup pesat dengan pasar yang terus berkembang dan merupakan pasar

farmasi terbesar di kawasan ASEAN. Dari data Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM RI, 2005), pertumbuhan industri farmasi Indonesia rata-rata mencapai

14,10% per tahun lebih tinggi dari angka pertumbuhan nasional yang hanya mencapai

5-6% per tahun. Total angka penjualan tahun 2004 mencapai lebih kurang Rp 20

triliun (untuk tahun 2005 sebesar Rp 22,8 triliun, dan tahun 2006 sebesar Rp 26

triliun). Namun jika dilihat dari omzet penjualan secara global (all over the world),

pasar farmasi Indonesia tidak lebih dari 0,44% dari total pasar farmasi dunia

(Priyambodo, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa industri farmasi di Indonesia belum

optimal dalam hal penjualan padahal Indonesia merupakan pasar farmasi terbesar di

kawasan ASEAN, yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh industri farmasi.

Demikian pula jika dilihat dari angka konsumsi obat per kapita yang hanya

mencapai kurang dari US$ 7,2 per kapita/tahun (IMS, 2004) dan merupakan salah

satu angka terendah di kawasan ASEAN (sedikit di atas Vietnam). Konsumsi obat

tertinggi adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Malaysia, dan Filipina

(Priyambodo, 2007). Situasi ini menimbulkan masalah serius yang harus diselesaikan

dalam industri farmasi di Indonesia.

Page 2: Industri Farmasi

Ada berbagai masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia mulai dari

strukturnya, perilaku, kinerja sampai kebijakan yang menjadi pondasi dasarnya.

Kebijakan pemerintah lebih banyak mendorong berkembangnya sektor perdagangan

farmasi daripada produksinya (Biantoro, 2002). Industri farmasi Indonesia masih

relatif sederhana berupa industri manufaktur sehingga pasar kurang berkembang.

Padahal, industri farmasi manapun di dunia harus sudah berbasis riset dengan

berorientasi pada mutu (Agoes,1999).

Kompleksitas masalah yang dihadapi industri farmasi di Indonesia begitu

kompleks. Dari masalah impor bahan baku, proses produksi sampai masalah harga

eceran tertinggi obat yang masih menjadi perdebatan di kalangan pengusaha dan

regulator 95 % bahan baku farmasi yang masih impor, yang berasal dari Cina dan

India. Bahan baku yang volumenya besar dan harganya murah dimpor dari Cina,

sedangkan yang volumenya kecil dan harganya mahal diimpor dari India (PMMC,

2011).

Tuntutan akan peningkatan serta pengembangan sains dan teknologi pada

industri farmasi pun mendesak dilakukan untuk meningkatkan daya saing, mengingat

perkembangan dunia farmasi yang begitu pesat. Industri farmasi dituntut harus

mempunyai teknologi yang tinggi. Produk obat-obatan harus benar-benar memenuhi

persyaratan safety, efficacy dan quality. Ini berarti industri farmasi dalam negeri perlu

menata diri agar penerapan teknologi modern yang memiliki standar internasional

dapat diwujudkan (PMMC, 2011).

I.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana keadaan industri farmasi di Indonesia?

2. Apa saja permasalahan yang ada dalam industri farmasi?

Page 3: Industri Farmasi

3. Bagaimana cara menyelesaikan permasalahan yang ada dalam industri

farmasi?

I.3. Tujuan

1. Mengetahui keadaan industri farmasi di Indonesia

2. Mengkaji permasalahan yang ada dalam industri farmasi

3. Memberi solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada dalam industri

farmasi

Page 4: Industri Farmasi

BAB II

POKOK BAHASAN

Pasar farmasi Indonesia merupakan pasar yang terbesar di ASEAN. Ke depan

pasar farmasi Indonesia diprediksikan masih mempunyai pertumbuhan yang cukup

tinggi mengingat konsumsi obat per kapita Indonesia paling rendah di antara negara-

negara ASEAN. Rendahnya konsumsi obat per kapita Indonesia tidak hanya

disebabkan karena rendahnya daya beli tapi juga pola konsumsi obat di Indonesia

berbeda dengan di negara-negara ASEAN lainnya. Di Malaysia misalnya, pola

penggunaan obat lebih mengarah pada obat paten. Harga obat paten jauh lebih mahal

dibandingkan dengan harga obat branded generic (Priyambodo, 2007).

Jika dilihat dari penguasaan pasar, sebesar 54% dikuasai oleh 20 industri

farmasi dan 30% dikuasai oleh 60 industri farmasi, sedangkan sisanya (118 industri)

memperbutkan pasar sebesar 16%. Jika dilihat lebih jauh, ternyata tidak ada satupun

industri yang mendominasi pasar. Sanbe Farma yang notabene indutsri ranking

pertama hanya menguasai 7,25%, disusul Kalbe menguasai 5,99% pasar, sehingga

pasar farmasi Indonesia terpecah-pecah menjadi pasar yang kecil-kecil atau

terfragmentasi (Priyambodo, 2007).

Page 5: Industri Farmasi

Di samping pasar yang terfragmentasi, masalah lain yang dihadapi industri farmasi

nasional antara lain: (Priyambodo, 2007).

1. Tidak adanya industri bahan baku. Hal ini mengakibatkan 95% bahan baku

masih harus diimpor (harga bahan baku produksi dalam negeri tidak lebih

murah ketimbang impor). Ketergantungan impor belum diimbangi dengan

upaya pengembangan bahan baku lokal. Selain karena memerlukan biaya

investasi yang tingi, daya dukung perlatan juga masih belum memadai.

2. Idle kapasitas produksi industri farmasi nasional mencapai 50% karena belum

adanya solusi yang tepat untuk menanggulanginya, termasuk alternatif melalui

toll manufacturing maupun konsep production house.

3. Penerapan aturan internasional terhadap standardisasi industri farmasi

terutama menyangkut c-GMP, registrasi dan belum adanya koordinasi yang

baik antara pemerintah (BPOM) denga industri farmasi.

4. Kondisi industri farmasi nasional yang tidak merata. Di satu sisi terdapat

sejumlah kecil industri farmasi yang sudah siap menghadapi pasar bebas, baik

Page 6: Industri Farmasi

dari segi hardware, software maupun brainware (SDM), di sisi lain masih

banyak industri yang belum memenuhi tuntutan persyaratan internasional.

MASALAH UTAMA INDUSTRI FARMASI NEGARA BERKEMBANG

Dalam paper yang dikeluarkan oleh World Bank Pharmaceutical tahun 2000,

disebutkan bahwa negara-negara berkembang menghadapi lima masalah utama yang

berkaitan dengan industri farmasi dan obat-obatan, yaitu:

1.      Significant Public and Private Expenditures.

Salah satu karakteristik negara berkembang (khususnya yang masuk dalam

kelompok negara miskin) adalah tingginya morbidity rate dan mortality rate yang

disebabkan oleh penyakit menular, baik yang merupakan existing diseases, emerging

diseases dan re-emerging diseases (Depkes, 2010).

Sebagian besar pengidap penyakit ini adalah masyarakat miskin yang

jumlahnya mendominasi populasi negara bersangkutan. Pemerintah menanggung

beban sangat besar dalam membiayai program kesehatan, khususnya untuk pelayanan

kesehatan dasar (primary health care) dan pengadaan obat-obat esensial (Depkes,

2010).

Karakteristik lain dari negara berkembang adalah belum sempurnanya sistem

pelayanan kesehatan yang berbasis asuransi. Akibatnya sebagian besar masyarakat

harus mengeluarkan uangnya sendiri (own pocket) untuk membiayai pelayanan

kesehatan, termasuk untuk membeli obat. Pengeluaran untuk belanja obat masyarakat

negara berkembang berkisar 10 sampai 40 persen dari anggaran kesehatan (public

health budget), sedangkan pengeluaran rata-rata negara-negara OECD (Organisation

Page 7: Industri Farmasi

for Economic Co-operation and Development) hanya 7 sampai 12 persen (Depkes,

2010).

Pengeluaran untuk belanja obat yang tinggi di sektor pemerintah dan sektor

swasta ini menimbulkan motivasi yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan

reformasi di sektor kesehatan, khususnya dalam hal pelayanan dan pembiayaan

kesehatan. Salah satunya dengan melakukan pengaturan dan pengendalian harga obat.

Tujuannya agar pengeluaran untuk belanja obat di sektor pemerintah dan sektor

swasta menjadi berkurang (Depkes, 2010).

Menurut Sampurno dan Ahaditomo dalam GP Farmasi (2003), di negara maju

asuransi kesehatan berperan sebagai kontrol harga obat. Obat-obat yang mahal

tidak akan masuk dalam daftar plafon harga obat yang mereka susun karena 70%

belanja obat ditanggung oleh asuransi. Di Indonesia, ada regulasi yang mengatur

harga obat sehingga produsen wajib mencantumkan harga tertinggi. Jadi,

pengaturan harga obat yang seharusnya dikontrol oleh pemerintah dengan

mekanisme pasar, kini dikontrol dengan regulasi harga (GPF, 2003).

Dilihat dari sisi lain, sektor farmasi di Indonesia menarik untuk dikaji

karena jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa, iklim tropis,

penyebaran penduduk yang tidak merata dan keadaan geografis mengakibatkan

banyaknya virus dan bakteri berkembang. Ini merupakan pasar yang potensial

bagi industri farmasi nasional dan dunia. Jadi tidak berlebihan jika dikatakan

bahwa industri farmasi Indonesia merupakan peluang bisnis yang menjanjikan

(Biantoro, 2003)

2. Inadequate Regulatory Capacity

  Kapasitas kelembagaan pemerintah (regulatory body) tidak memadai dalam

mengatur aktifitas industri farmasi. Pemerintah mendapatkan kesulitan dalam

Page 8: Industri Farmasi

pengaturan dan pengendalian harga obat, khususnya di sektor swasta. Upaya

pemerintah negara-negara berkembang untuk melakukan hal itu seringkali

menimbulkan situasi yang kontraproduktif dan mendorong terjadinya konflik

kepentingan antara industri farmasi dan pemerintah (Depkes, 2010).

Pada periode 1970 sampai 1980 pemerintah India menerapkan kebijakan

pembatasan harga (price limitation)core bussiness yang sebelumnya berbasis

manufacture menjadi importir dan distributor bagi produk farmasi. Akibatnya

pendapatan industri farmasi menjadi turun, keuntungan menyusut, upaya riset dan

pengembangan obat baru menjadi lemah. Investasi di bidang industri farmasi menjadi

tidak menarik. Banyak perusahaan farmasi menutup usahanya atau mengubah

usahanya (Depkes, 2010).

3.      Inadequate Access to Essential Drugs

   Penggunaan sumber daya farmasi yang tidak efisien di negara berkembang

secara substansial mengurangi akses masyarakat kepada obat-obat esensial. Belanja

obat sektor pemerintah menjadi boros akibat terjadinya inefisiensi di berbagai bidang,

seperti manajemen pengadaan obat yang kurang akuntabel, seleksi obat yang kurang

komprehensif, distribusi yang tidak merata, dan penggunaan obat yang tidak

mengikuti prinsip-prinsip rational use of drug (Depkes, 2010).

Untuk meningkatkan efisiensi sumber daya farmasi dan memperluas akses

kepada obat esensial, negara-negara berkembang didorong untuk menerapkan dan

mengembangkan kebijakan obat esensial. Sejak pertama kali WHO mencanangkan

WHO List of Essential Drugs pada tahun 1977, sampai saat ini lebih dari 140 negara

telah mengadopsi kebijakan ini. Namun, WHO memperkirakan, sepertiga dari

populasi dunia masih kekurangan akses atas obat-obat esensial yang dibutuhkan dan

50 persen dari populasi tersebut adalah rakyat miskin di Asia dan Afrika (Depkes,

2010).

Page 9: Industri Farmasi

Kasus di beberapa negara sekawasan memperlihatkan, walaupun di negara

tersebut sudah diterapkan kebijakan DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional), namun

seleksi obat untuk kebutuhan national buffer stockprimary healthcare yang biasanya

disubsidi pemerintah tidak didasarkan atas penelitian prevalensi penyakit dan data

epidemiologi yang valid yang berasal dari tempat-tempat di mana obat tersebut

digunakan dan untuk pelayanan kesehatan dasar (Depkes, 2010).

Seringkali ditemukan, di suatu daerah yang prevalensi penyakit tertentu

banyak terjadi ternyata persediaan obatnya kurang atau bahkan tidak tersedia, atau

malah menyediakan obat yang sangat banyak untuk mengobati penyakit yang

prevalensinya rendah atau bahkan tidak ada di daerah tersebut (Depkes, 2010).

4.      Limited access to New Drugs

   Penemuan obat baru membutuhkan biaya yang sangat besar, waktu yang

sangat lama, proses perizinan yang sangat panjang serta pemasaran yang sangat

kompleks. Hal ini menjadi kendala utama industri farmasi negara berkembang untuk

melakukan penemuan obat baru. Rendahnya daya beli menyebabkan perusahaan

farmasi multinasional tidak menjadikan masyarakat negara berkembang sebagai

target pemasaran obat baru. Disamping itu, umumnya penyakit yang diidap

masyarakat negara berkembang masih dapat diatasi dengan obat-obatan yang sudah

ada (Depkes, 2010).

Kondisi ini dimanfaatkan perusahaan farmasi lokal dengan memproduksi obat

copy product yang kemudian diberi brand. Obat jenis inilah yang selanjutnya dikenal

sebagai obat generic branded. Keterbatasan akses atas obat baru ini diperparah

dengan kecenderungan perusahaan farmasi lokal yang menetapkan harga obat generic

branded yang diproduksinya setara dengan harga obat patent dari jenis yang sama di

negara maju. Atau sebaliknya, perusahaan farmasi multinasional tetap menjual obat

Page 10: Industri Farmasi

patent yang masa patent-nya sudah kedaluarsa (off-patent) dengan harga yang sama

seperti saat obat tersebut masih berada dalam masa patent-nya (Depkes, 2010).

5.      Limited Incentives for New Drug R & D

      Pasar produk farmasi di negara maju tumbuh dengan cepat. Hal yang sama

tidak terjadi di negara berkembang. Sampai dengan tahun 2000, dari total penjualan

produk farmasi dunia sebesar USD 302,9 milyar. Dari jumlah tersebut hanya 20

persen berasal dari negara berkembang yang populasinya 85 persen dari penduduk

dunia (Depkes, 2010).

Potensi pasar yang lemah di negara berkembang merupakan faktor utama

yang menyebabkan industri farmasi multinasional tidak mau berinvestasi dalam riset

dan pengembangan obat baru. Industri farmasi negara maju lebih tertarik dalam

penemuan obat untuk penyakit degeneratif bagi masyarakat mampu daripada

menemukan obat untuk penyakit menular yang banyak ditemukan di negara-negara

berkembang. Sebuah riset mengungkapkan bahwa dari 1.233 obat baru yang

dipasarkan dari tahun 1975 sampai 1997, hanya 13 produk yang ditujukan untuk

penyakit tropis (Depkes, 2010).

Mempelajari industri farmasi sama dengan mempelajari dasar pengetahuan

mengenai industri. Sumber daya yang mendasari industri farmasi terdiri dari

pengetahuan manajemen, daya saing dan aset, baik yang berwujud maupun tidak

sama persis seperti pengetahuan dasar industri (GPF, 2003).

Page 11: Industri Farmasi

Gambar. 2.1. Industri Farmasi Sama Dengan Dasar Pengetahuan

Industri

(GPF, 2003).

METODE PENGATURAN DAN PENGENDALIAN HARGA OBAT DI

BERBAGAI NEGARA

      Di Amerika Serikat (AS), sebagian besar harga obat resep tidak diatur

pemerintah. Hal ini berbeda dengan hampir semua negara lain di mana pemerintah

mengatur harga obat, baik secara langsung lewat pengendalian harga (Prancis dan

Italia), atau pembatasan dalam reimbursement asuransi (Jerman dan Jepang); atau

secara tidak langsung melalui pengaturan keuntungan (Inggris) (Depkes, 2010).

Harga obat di AS lebih tinggi dari negara lain. Oleh karena itu, banyak pihak

yang menuntut dilakukannya pengaturan dan pengendalian harga agar kemampuan

masyarakat memperoleh obat menjadi lebih besar. Di pihak lain, ada yang

berpendapat bahwa hal ini akan mengurangi insentif perusahaan farmasi untuk

melakukan riset dan pengembangan obat baru sehingga akan mengancam

pertumbuhan industri farmasi di masa depan (Depkes, 2010).

Page 12: Industri Farmasi

Sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti, pendapat mana yang paling

benar dalam hal kebijakan harga obat (pricing policy) yang diterapkan berbagai

negara: Apakah harga obat dibiarkan terbentuk berdasarkan mekanisme pasar atau

pemerintah suatu negara harus melakukan intervensi untuk mengatur dan

mengendalikannya, baik secara langsung maupun melalui mekanisme asuransi

kesehatan (health financing) (Depkes, 2010).

Pada dasarnya pengaturan dan pengendalian harga obat di suatu negara dapat

dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan terhadap kebutuhan

(demand) yang penekanannya pada volume atau jumlah kebutuhan obat. Kedua, 

pendekatan ketersediaan,  yang penekanannya adalah harga (price) (Depkes, 2010).

Kebijakan obat yang diterapkan pemerintah (regulatory frameworks) suatu

negara dapat merupakan intervensi pada sisi kebutuhan,  atau pada harga obat,  atau

kombinasi keduanya. Bentuknya bervariasi dari satu negara dengan negara lain.

Kelompok negara Uni Eropa cenderung menekankan pengaturan dan pengendalian

pada sisi ketersediaan. Australia cenderung menekankan pada sisi volume.

Pengaturan dan pengendalian harga dapat dilakukan mulai dari hulu (manufacture

price), harga distributor, harga retail (apotek, toko obat) dan harga di rumah sakit

(Depkes, 2010).

Hasil akhir proses pengaturan dan pengendalian adalah pengeluaran biaya

obat (expenditure). Fakta empiris memperlihatkan, pengaturan dan pengendalian

harga obat yang dilakukan di berbagai negara tidak akan berhasil optimal hanya

dengan mengintervensi satu elemen saja (misal: reference pricing pada penetapan

Harga Eceran Tertinggi, HET). Semua elemen harus diintervensi secara simultan dan

parallel (Depkes, 2010).

Dari sebuah laporan yang dikeluarkan oleh U.S. Department of Commerce

International Trade Administration, 2004 yang menguraikan kebijakan pengaturan

Page 13: Industri Farmasi

harga obat di negara-negara OECD (Organization for Economic Cooperation and

Development), menemukan fakta bahwa walaupun model pengaturan harga obat

berbeda dari satu negara dengan negara lain, namun hasil akhirnya tetap sama:

perusahaan farmasi tetap tidak bisa menetapkan harga produknya melalui mekanisme

“market-based price” (Depkes, 2010).

Metode yang paling banyak digunakan oleh pemerintah negara-negara OECD

dalam kebijakan pengaturan dan pengendalian harga obat adalah: Reference pricing,

volume limitation, profit control (Depkes, 2010).

Reference Pricing 

Reference pricing adalah metode pengaturan harga dengan menetapkan harga

obat untuk kelompok terapi yang sama sebagai harga referensi. Selanjutnya harga

referensi ini menjadi patokan dalam reimbursement biaya obat maupun untuk harga

jual obat yang diproduksi perusahaan farmasi (Depkes, 2010).

“International” Reference Pricing. 

Hampir sama dengan Reference pricing, metode “International” Reference

pricing adalah penetapan harga referensi untuk obat yang beredar di suatu negara

berdasarkan “basket of price” obat dari negara lain. Umumnya negara yang menjadi

patokan adalah dari negara “peer countries”. Sebagai contoh, untuk Indonesia, harga

referensi ditetapkan berdasarkan harga obat yang beredar di Philipina, Malaysia,

Thailand dan negara sekawasan lainnya (Depkes, 2010).

“Therapeutic” Class Reference Pricing 

Metode ini adalah penetapan harga obat untuk kelas terapi tertentu dan

menjadikannya sebagai harga referensi. Dengan cara ini maka jika perusahaan

farmasi ingin obatnya masuk dalam program reimbursement asuransi maka harga

Page 14: Industri Farmasi

obat untuk kelas terapi tersebut harus berada dalam range harga referensi yang

ditetapkan pemerintah. Metode ini mempermudah dokter dan rumah sakit dalam

melakukan pemilihan obat yang digunakan pasien tanpa terpengaruh adanya

perbedaan harga (Depkes, 2010).

Volume Limitation

Beberapa pemerintah negara OECD menerapkan pembatasan volume obat

baru yang dijual perusahaan farmasi. Pemerintah dan perusahaan farmasi membuat

kesepakatan yang dinamakan “Price-Volume” Agreement. Perusahaan farmasi hanya

diizinkan untuk menjual obat baru yang diproduksinya dalam batas tertentu yang

telah disepakati dengan pemerintah. Jika volumenya melebihi kesepakatan, maka

perusahaan farmasi harus memberikan kompensasi dalam bentuk pengurangan harga,

atau kelebihan produk yang ada di pasar harus ditarik. Perancis dan Australia

menerapkan metode Volume Limitations ini dalam mengatur dan mengendalikan

harga obat baru yang beredar (Depkes, 2010).

Profit Control

Pengaturan keuntungan adalah salah satu cara yang dilakukan pemerintah

negara OECD dalam kebijakan harga obatnya. Perusahaan farmasi diizinkan menjual

produknya dengan marjin keuntungan tertentu. Marjin keuntungan untuk setiap

produk ditetapkan berdasarkan negosiasi dan kesepakatan antara perusahaan farmasi

dan pemerintah (Depkes, 2010).

Di Indonesia, salah satu cara untuk mendapat batasan standar harga di

pasar, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia melakukan penelitian tentang total biaya

produksi suatu produk perusahaan-perusahaan farmasi kemudian membuat perkiraan

rata- rata harga jual produk tersebut. Hasil dari penelitian tersebut berupa buku yang

disebut Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISOI) yang digunakan oleh

Page 15: Industri Farmasi

Perusahaan Besar Farmasi (PBF) dan Apotik. Buku itu menjadi panduan untuk

menetapkan harga suatu produk terhadap konsumen (Lestari, 2006).

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 1999. Perspektif Industri Farmasi Nasional Menuju Era Globalisasi. Info Logkes. I (3): 5-8.

Page 16: Industri Farmasi

Biantoro, L.C. 2003. Prospek Saham Sektor Farmasi masih Menjanjikan. Suara Karya Ed. 31 Januari

PMMC, 2011. Industri Farmasi Yang Sarat Dengan Regulasi Dan Teknologi. Available on: http://pmmc.or.id/news/health-news/97-industri-farmasi-yang-sarat-dengan-regulasi-dan-teknologi-.html [Diakses pada tanggal 3 Juni 2012].

Biantoro, L.C. 2002. Industri Farmasi Nasional Masih Tergopoh-Gopoh. Suara Karya. Jakarta.

Depkes, 2010. Kebijakan Pengaturan Dan Pengendalian Harga Obat Dan Dampaknya Bagi Pertumbuhan Industri Farmasi. Available on:http://www.hukor.depkes.go.id/?art=34&set=0 [Diakses pada tanggal 3 Juni 2012].

Gabungan Perusahaan Farmasi. 2003. Orientasi Pemahaman Keterjangkauan dan Ketersediaan Obat dalam Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan bagi Masyarakat. GP Farmasi. Jakarta.

Lestari, E.D.S., 2006. Analisis Industri Farmasi di Indonesia: Pendekatan Organisasi Industri. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri. Global Pustaka Utama. Yogyakarta.