indeks kesuburan perairan di desa pengudang kecamatan teluk …repository.umrah.ac.id/665/1/artikel...
TRANSCRIPT
1
Indeks Kesuburan Perairan di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten
Bintan Provinsi Kepulauan Riau
Nursiah, Winny Retna Melani, Tri Apriadi
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Penelitian mengenai indeks kesuburan perairan telah dilakukan di Perairan Desa Pengudang,
Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah oseanografi
Desa Pengudang terdiri dari pesisir yang berhadapan dengan laut terbuka. Pesisir Desa
Pengudang memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang beragam. Pada wilayah pesisir,
terdapat ekosistem lamun, ekosistem mangrove dan terumbu karang. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang, Kabupaten Bintan,
Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan indeks TRIX (trophic index). Penelitian ini dilakukan
dengan metode purposive sampling sebanyak 5 stasiun dalam masing-masing stasiun terdapat 3
titik sampling. Hasil penelitian menunjukkan pada Stasiun 1 (ekosistem mangrove muara Sungai
Pengudang) dengan nilai indeks TRIX 4,88, Stasiun 2 (bukaan muara Sungai Pengudang)
dengan nilai indeks TRIX 4,97, Stasiun 3 merupakan laut terbuka Desa Pengudang memiliki
nilai indeks TRIX 5,32, Stasiun 4 (ekosistem lamun) Desa Pengudang memiliki nilai indeks
TRIX 4,58, Stasiun 5 (zona intertidal di depan bukaan muara Sungai Sumpat) memiliki nilai
indeks TRIX 5,27. Berdasarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
kondisi tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang tergolong sedang (mesotrofik) pada stasiun
1,2, dan 4 serta tinggi (eutrofik) pada stasiun 3, dan 5.
Kata kunci: Bintan, Kesuburan Perairan, Pengudang, TRIX (Trophic Index)
PENDAHULUAN
Perairan adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen ataupun berkala tertutup oleh
massa air dan terbentuk secara alami dan/atau buatan, baik berair tawar, payau ataupun laut.
Perairan dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Pemanfaatan perairan dilakukan secara bersamaan dalam berbagai sektor dengan kepentingan
masing-masing. Oleh karena itu, kondisi perairan perlu dijaga agar tetap optimal, sehingga
pemanfaatannya dapat terus berkelanjutan.
Kondisi optimal pada suatu perairan dapat dilihat dari produktivitas perairan itu sendiri, baik
produktivitas primer maupun produktivitas sekunder. Produktivitas perairan dapat dinyatakan
sebagai kemampuan suatu perairan dalam memproduksi materi organik agar dapat dimanfaatkan
terus menerus oleh makhluk hidup didalamnya. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012), adapun
yang berperan dalam produktivitas primer perairan adalah autotrof (fitoplankton, rumput laut,
mangrove, mikro alga bentik, tumbuhan air dan lamun). Asriyana dan Yuliana (2012) juga
menyatakan produktivitas perairan juga memiliki hubungan yang linear pada kelimpahan atau
2
produksi suatu spesies ikan, karena secara tidak langsung produksi suatu spesies memengaruhi
kuantitas dan kualitas makanan yang akan berdampak pada kelimpahan spesies tertentu.
Produktivitas perairan sangat terkait dengan tingkat kesuburan perairan. Keterkaitan ini dapat
digambarkan melalui siklus komponen biotik maupun komponen abiotik yang berlangsung
dalam suatu ekosistem. Siklus komponen biotik yaitu merupakan jaringan makanan (food web)
yang terjadi dalam ekosistem tersebut, sementara siklus komponen abiotik merupakan daur unsur
yang meliputi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P). Sistem yang terjadi pada lingkungan
tersebut, akan menggambarkan tingkat kesuburan perairan melalui parameter kualitas air.
Adapun parameter kualitas perairan yang memengaruhi tingkat kesuburan perairan diantaranya;
kadar unsur hara, DO saturasi, konsentrasi klorofil, pH, dan suhu. Keberadaan suatu ekosistem
yang berada di perairan seperti mangrove, lamun, karang dan estuari juga memengaruhi tingkat
kesuburan perairan. Hal ini dikarenakan pada setiap ekosistem tersebut terjadi proses biokimia
maupun fisik yang berlangsung terus menerus serta memiliki sifat dan karakteristik yang
berbeda.
Desa Pengudang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Teluk Sebong,
Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sebagian wilayah Desa Pengudang berada di
perairan pesisir dan dipisahkan dengan perairan muara. Wilayah pesisir terdapat ekosistem
lamun, dan di perairan muara terdapat ekosistem mangrove. Wilayah pesisir Desa Pengudang
juga berhadapan langsung dengan perairan laut terbuka. Tingkat kesuburan perairan Desa
Pengudang perlu dilakukan pengkajian agar diketahui tingkat kesuburan perairan tersebut
terhadap kondisi geografis perairan desa yang bervariasi. Selain itu, informasi mengenai tingkat
kesuburan perairan melalui indeks kesuburan (TRIX) belum banyak dilakukan. Nilai indeks
kesuburan perairan yang digambarkan melalui TRIX ini, akan menjadi informasi awal tingkat
kesuburan perairan di Desa Pengudang.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
kesuburan perairan Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan
indeks TRIX (trophic index).
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2017, berlokasi di perairan Desa
Pengudang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Analisis konsentrasi klorofil-a
dilakukan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UMRAH. Sementara sampel
nitrat, dan fosfat dilakukan di Laboratorium Badan Perikanan Budidaya Laut (BPBL), Batam.
Alat dibagi atas dua kelompok yaitu alat yang digunakan di lapangan dan alat yang digunakan
di laboratorium. Adapun alat dan bahan yang digunakan di lapangan antara lain: van dorn
volume 3 liter, GPS, botol sampel ukuran 500 mL, ice box, alumunium foil dan kantong plastik
hitam, ice pack, multitester model YK2005WA, refraktometer, alat tulis, dan kamera digital.
Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium antara lain: centrifuge 5430 eppendrof,
spektrofotometer (Spektro UV-1800 Shimetzu Fotometrik), kolorimetri HACH DR/890,
pengaduk kaca, peralatan glass (tabung reaksi, pipet dan lain-lain), vacum pump/many pol,
sampel air, kertas millipore 0,45 µ, aquades, kertas alumunium foil, plastik, aseton 90 %
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu metode penelitian
yang tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap parameter yang akan
diteliti dengan tujuan untuk memperoleh serta mencari keterangan secara faktual tentang objek
yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dari hasil pengukuran
dan analisis secara langsung terhadap parameter yang diamati, sedangkan data sekunder
diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai sumber dan instansi terkait. Selanjutnya, data akhir
yang diperoleh baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif akan ditabulasikan dan
dideskripsikan untuk selanjutnya dibahas secara deskriptif statistik dan perhitungan kemudian
ditarik suatu kesimpulan.
3
Penentuan titik sampling dilakukan secara purposive, yakni berdasarkan kondisi geografis dan
keberadaan ekosistem pada lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan sebanyak 5 stasiun
sampling dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 titik pengulangan (Gambar 1).
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
Karakteristik masing-masing stasiun adalah sabagai berikut :
a. Stasiun 1, berada pada daerah ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang ;
b. Stasiun 2, berada pada bukaan muara Sungai Pengudang ;
c. Stasiun 3, berada pada perairan laut yang tidak terdapat ekosistem dengan jarak dari
daratan ± 0,8 km ;
d. Stasiun 4, berada pada daerah ekosistem lamun dengan jarak dari daratan ± 0,65 km ;
e. Stasiun 5, berada pada zona intertidal pesisir Desa Pengudang yang berada di depan
bukaan muara Sungai Sumpat dengan jarak dari daratan ± 0,6 km.
Pengambilan sampel air untuk klorofil-a, nitrat, dan fosfat menggunakan van dorn dengan
ukuran 3 L pada kedalaman ± 0,5 – 1 m. Air sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam botol
sampel berukuran 500 mL. Sebelum dibawa ke laboratorium, agar sampel tetap terjaga
kondisinya masing-masing botol sampel klorofil-a, nitrat, dan fosfat dibungkus dengan
alumunium foil. Setelah itu, disimpan dalam ice box.
Pengambilan sampel parameter kualitas air fisika dan kimia ini dilakukan pada saat menjelang
surut, sekitar pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB, setelah hujan turun. Beberapa
parameter kualitas air dilakukan pengukuran langsung pada lokasi penelitian seperti DO, pH dan
suhu. Sementara pengujian kadar nitrat, fosfat, dan klorofil dilakukan di laboratorium. Pengujian
klorofil dilakukan secara composite, yaitu dengan menggabungkan air yang berasal dari botol
sampling titik 1, 2, dan 3 pada masing-masing stasiun menjadi 1 botol. Perlakuan secara
composite pada sampel klorofil dikarenakan larutan aseton 90% yang tersedia di laboratorium
terbatas.
Penentuan nilai indeks kesuburan perairan Desa Pengudang menggunakan metode
perhitungan trophic index (TRIX). Adapun rumus perhitungan TRIX menurut (Vollenweider et
al. 1998) sebagai berikut :
4
Keterangan :
k = scaling factor (10)
n = jumlah parameter (4)
U = batas atas
L = batas bawah
M = nilai rataan parameter
Setelah seluruh nilai parameter didapatkan maka dimasukkan kedalam rumusan perhitungan
TRIX (trophic index) dan disesuaikan dengan klasifikasi indeks kesuburan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggolongan rentang nilai TRIX (Alves et al. 2013)
Skala TRIX Status Kualitas Air Tingkat Eutrofikasi
0 – 4,1 Tinggi Rendah
4,1 – 5 Baik Sedang
5,1 – 6 Buruk Tinggi
6,1 – 10 Miskin Sangat tinggi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Pengudang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Teluk Sebong
Kabupaten Bintan yang memiliki luas ±540 Ha. Desa Pengudang terletak pada koordinat
104012’47”–10802’27” Bujur Timur dan 006’17”–1034’52” Lintang Utara. Wilayah oseanografi
Desa Pengudang terdiri dari pesisir yang berhadapan dengan laut terbuka. Pesisir Desa
Pengudang memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang beragam. Pada pesisir desa,
terdapat ekosistem lamun, mangrove dan terumbu karang.
Ekosistem mangrove Desa Pengudang cukup luas dan rapat. BAPPEDA (2008) dalam
Seprianti et al. (2014) menyebutkan bahwa luas ekosistem mangrove Desa Pengudang ±100 Ha.
Selain itu, pada ekosistem mangrove Desa Pengudang juga terdapat berbagai jenis gastropoda.
Masyarakat setempat memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai salah satu tempat mata
pencaharian untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Ekosistem lamun Desa Pengudang
juga sangat rapat. Berdasarkan penelitian Hutomo (2013), kerapatan padang lamun Desa
Pengudang berkisar 50-100%. Pada padang lamun Desa Pengudang juga pernah ditemukan jenis
mamalia air yang terancam punah yaitu dugong. Jarak surut tertinggi Pantai Desa Pengudang
±500 meter dengan tipe pantai berpasir dan pasir berlumpur sedikit karang, materialnya pasir
dengan kemiringan (20-300), dan dengan kedalaman perairan 5-8 meter (Jumaidi et al. 2015).
Pada Desa Pengudang juga, terdapat dua aliran sungai yang bertemu dengan laut terbuka. Dua
aliran sungai ini diberi nama Sungai Pengudang dan Sungai Sumpat. Selain berprofesi sebagai
nelayan, masyarakat Desa Pengudang juga memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta, petani,
pedagang PNS, buruh, TNI/POLRI, dan wiraswasta.
Kondisi Lingkungan Perairan
Kondisi lingkungan perairan dapat dilihat dari pengukuran parameter kualitas air. parameter
kualitas air yang diamati diantaranya parameter fisika, kimia maupun biologi yang dilakukan
pada masing-masing stasiun. Pengukuran kualitas air pada masing-masing stasiun dapat dilihat
pada Tabel 2.
TRIX = k
n∑ [(log M − log L)/(Log U − Log L)ii=n
1
5
Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas perairan
Parameter Satuan Nilai Rata-rata ± Standar Deviasi
Baku Mutu*
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5
Fisika
Suhu °C 27,8 ± 0,24 28,6 ± 0,21 29,1 ± 0,00 28,5 ± 0,00 29,2 ± 0,00 Alami
Kimia
Salinitas ppt 23,3 ± 0,67 30,8 ± 0,00 33 ± 0,69 32 ± 0,00 30 ± 0,19 Alami
pH
7,2 ± 0,01 7,3 ± 0,00 7,5 ± 0,01 7,5 ± 0,00 7,4 ± 0,00 7-8,5
DO mg/L 7,5 ± 0,19 7,6 ± 0,34 6,9 ± 0,70 6,6 ± 0,55 7,2 ± 0,04 >5
Nitrat mg/L 1,7 ± 0,15 2,8 ± 0,10 2,9 ± 0,2 2,7 ± 0,23 2,6 ± 0,36 0,008
Fosfat mg/L 0,101 ± 0,004 0,016 ± 0,013 0,008 ± 0,002 0,075 ± 0,033 0,019 ± 0,18 0,015
Biologi
Klorofil-a mg/m3 0,00714 ± 0,00003
0,00187 ± 0,00187
0,00637 ± 0,00068
0,00636 ± 0,00315
0,00666 ± 0,00001
Keterangan : (*) Kepmen LH No.51 Tahun (2004) untuk biota air
Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 1
Stasiun 1 merupakan ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang dengan lebar muara ± 25
– 50 m. Berdasarkan Tabel 8, ekosistem mangrove yang berada di muara Sungai Pengudang ini,
memiliki kadar fosfat yang tinggi dan melebihi batas baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004
untuk biota air. Walaupun demikian berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kadar fosfat pada
stasiun ini tergolong dalam kelas I dan II, yaitu batas baku mutu 0,2 mg/L. Menurut
Kusumaningtyas et al. (2014), pada ekosistem mangrove sedimen diketahui merupakan tempat
penyimpanan utama fosfor dalam siklus di lautan. Senyawa fosfor yang terikat di sedimen
mengalami dekomposisi yang menghasilkan senyawa fosfat terlarut dan kemudian berdifusi ke
kolom air. Dekomposisi pada stasiun ini juga dapat dipicu dengan adanya serasah mangrove,
plankton, dan berbagai jenis hewan bentik yang terdapat pada ekosistem mangrove.
Konsentrasi klorofil-a pada ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan keberadaan
fitoplankton yang ada di ekosistem tersebut. Berdasarkan data praktik lapangan (Nursiah 2016),
plankton ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki kelimpahan 8.293 sel/m3.
Tingginya nilai kelimpahan fitoplankton tersebut, mendukung konsentrasi klorofil-a yang cukup
tinggi. Konsentrasi klorofil-a tertinggi yaitu terdapat pada pada ekosistem mangrove muara
Sungai Pengudang ini, dengan nilai 0,00714 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada
ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang, disebabkan oleh kadar fosfat yang ada juga
cukup tinggi.
Ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki salinitas yang optimal, yaitu dengan
nilai berkisar 23 – 24 ppt. Wantasen (2013) menyatakan bahwa nilai salinitas pada ekosistem
mangrove yang baik berkisar 10 ppt – 30 ppt. Nilai salinitas ini mendukung kondisi mangrove di
muara Sungai Pengudang yang lebih besar mendapatkan masukan air dari daratan daripada air
laut. Selain itu, ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang juga terlihat cukup rapat.
Sehingga, masukan cahaya matahari tidak terlalu tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai suhu
pada ekosistem mangrove berkisar 27 – 28 ºC.
6
Nilai suhu pada ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki keterkaitan terhadap
nilai pH dan kandungan oksigen terlarut (DO). Nilai pH ekosistem mangrove muara Sungai
Pengudang menunjukkan angka yang masih berada pada kondisi netral, yaitu dengan nilai rata-
rata 7,2. Nilai ini menggambarkan serasah ekosistem mangrove yang ada di muara tersebut tidak
menyebabkan perairan bersifat asam, yaitu adanya aktivitas dekomposisi yang bisa terjadi,
karena kadar nitrat dan CO2 yang ada telah dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Sehingga,
kandungan DO pada ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang tergolong cukup tinggi
dengan nilai rata-rata 7,5 ppm.
Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 2
Stasiun 2 adalah daerah bukaan muara Sungai Pengudang yang menjadi titik pertemuan antara
perairan ekosistem mangrove dan laut terbuka. Bukaan muara merupakan daerah perairan yang
menjadi titik pertemuan antara air payau dan air laut. Pengukuran kualitas perairan bukaan
muara Sungai Pengudang, menunjukkan kadar unsur hara yang cukup tinggi dengan kadar nitrat
2,8 mg/L dan kadar fosfat 0,016 mg/L. Berdasarkan baku mutu untuk biota laut yaitu Kepmen
LH No.51 Tahun 2004, kadar nitrat dan fosfat sudah melebihi ambang batas. Namun
berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kadar nitrat dan fosfat tergolong kelas I dan II. Kadar unsur
hara yang cukup tinggi dapat disebabkan pada bukaan muara Sungai Pengudang mendapat
masukan unsur hara dari perairan ekosistem mangrove dan perairan laut. Serasah yang berasal
dari ekosistem mangrove juga dapat menambah kadar nitrat dan fosfat alami yang sudah ada di
perairan.
Konsentrasi klorofil-a terendah berada pada stasiun ini dengan nilai 0,00187 mg/m3.
Berdasarkan klasifikasi status trofik EPA (2002), nilai klorofil menggambarkan stasiun ini
tergolong oligotrofik (kesuburan rendah). Rendahnya konsentrasi klorofil berbanding terbalik
dengan tingginya kadar unsur hara. Hal ini dikarenakan stasiun ini adalah daerah yang sangat
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sehingga salinitas yang selalu berubah-ubah tidak mampu
membuat fitoplankton untuk bertahan hidup. Menurut Kaswadji et al. (1993), pada daerah yang
dipengaruhi oleh pasang akan membuat fitoplankton yang terbawa oleh arus pasang baik dari
arah sungai maupun dari arah laut mengalami tekanan, sehingga hanya sedikit organisme yang
bisa bertahan hidup, yaitu yang bisa beradaptasi terhadap salinitas yang berubah-ubah.
Bukaan muara Sungai Pengudang memiliki salinitas dengan nilai rata-rata 30,8 ppt. Hal ini
terlihat dari lokasi bukaan muara yang memiliki masukan air laut yang lebih dominan. Bukaan
muara Sungai Pengudang juga tidak ditutupi oleh vegetasi seperti ekosistem mangrove, sehingga
cukup terbuka dan mendapatkan penyinaran cahaya matahari. Kondisi ini tergambarkan melalui
nilai pH pada bukaan muara Sungai Pengudang tergolong netral yaitu dengan nilai 7,3 dan nilai
suhu berkisar 28,4 - 28,8 ºC.
Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) pada bukaan muara Sungai Pengudang berkisar 7,3 –
8,0 ppm. Nilai ini menggambarkan kandungan DO pada bukaan muara cukup tinggi. Hal ini
dikarenakan pada bukaan muara Sungai Pengudang, sedikit atau bahkan tidak ada organisme
autotrof seperti fitoplankton yang memanfaatkan oksigen terlarut, terlihat dari konsentrasi
klorofil-a yang cukup rendah. Selain itu, sirkulasi air yang terjadi pada stasiun ini juga dapat
meningkatkan kandungan DO.
Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 3
Stasiun 3 merupakan perairan laut yang tidak terdapat ekosistem dan berhadapan dengan
pesisir Desa Pengudang. Kadar fosfat terendah dan kadar nitrat tertinggi berada pada stasiun ini,
yaitu dengan kadar fosfat 0,008 mg/L dan kadar nitrat 2,9 mg/L. Nilai kadar nitrat ini sudah
melebihi batas baku mutu Kepmen LH No.51 Tahun 2004 untuk biota air. Namun masih
tergolong kelas I, dan II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001. Sementara itu, menurut klasifikasi
7
trofik pada Tabel 1, kadar fosfat menunjukkan oligotrofik (kesuburan rendah), dan kadar nitrat
menunjukkan eutrofik (kesuburan tinggi).
Kadar fosfat yang rendah pada stasiun ini karena keberadaan stasiun yang jauh dari wilayah
daratan, sehingga kadar fosfat dari daratan sudah tereduksi oleh gelombang dan ombak di
perairan laut. Selain itu, konsentrasi unsur hara pada air sangat dipengaruhi oleh parameter fisika
kimia seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut dan kecerahan. Menurut Arizuna et al. (2014),
unsur hara yang tersedia pada perairan memiliki sifat yang dinamis, karena dapat berubah bentuk
secara kimiawi. Keberadaan dekomposer yang sedikit juga dapat menyebabkan kadar fosfat pada
stasiun ini juga sedikit. Berbeda halnya dengan stasiun 1 yang terdapat ekosistem mangrove, dan
berbagai jenis hewan bentik sehingga cukup mendukung terjadinya proses dekomposisi.
Kadar nitrat pada stasiun ini berbanding terbalik dengan kadar fosfat. Menurut Effendi
(2003), bahwa sifat nitrat mudah larut dalam air dan lebih stabil sementara keberadaan fosfat
biasanya cukup kecil dari pada kandungan nitrat. Selain itu, kandungan DO pada stasiun ini
mendukung terjadinya proses terbentuknya senyawa nitrat secara alami. Menurut
Kusumaningtyas et al. (2014), kandungan oksigen yang tinggi memicu bakteri mengoksidasi
nitrogen menjadi nitrat.
Kandungan DO pada stasiun ini menunjukkan kondisi yang cukup baik berdasarkan Kepmen
LH No. 51 Tahun 2004, yaitu dengan nilai 6,9 mg/L. Sementara itu, berdasarkan PP No. 82
Tahun 2001 tergolong kelas I, walaupun stasiun ini merupakan perairan laut. Hal demikian
karena dipengaruhi kondisi pengambilan sampel pada pagi hari dan setelah hujan turun.
Sementara itu, nilai suhu akan berbanding lurus terhadap salinitas. Apabila suhu perairan tinggi,
maka salinitas juga akan tinggi dan begitu pula sebaliknya. Pada wilayah ini memiliki salinitas
dengan niai rata-rata 33 ppt dengan suhu 29,1 °C. Konsentrasi klorofil-a pada laut terbuka Desa
Pengudang berkisar 0,00589 – 0,00686 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a tersebut menunjukkan
perairan laut tergolong kesuburan rendah (oligotrofik), karena berada pada nilai <15 mg/m3,
berdasarkan Tabel 1 klasifikasi status trofik perairan.
Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 4
Stasiun 4 merupakan wilayah ekosistem lamun. Ekosistem lamun Desa Pengudang
menunjukkan kadar fosfat yang cukup tinggi, dan kandungan DO yang cukup rendah.
Berdasarkan baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 untuk biota air, kadar fosfat telah
melebihi ambang batas yaitu dengan nilai 0,075 mg/L. Sementara itu, kandungan DO tergolong
cukup baik karena berada pada angka >5 mg/L. Walaupun demikian, berdasarkan PP No. 82
Tahun 2001 kadar fosfat dan kandungan DO pada ekosistem lamun ini dapat digolongkan pada
kelas I.
Kadar fosfat yang cukup tinggi pada ekosistem lamun dapat disebabkan oleh serasah daun
lamun yang mengalami dekomposisi. Selain daun lamun itu sendiri, adanya organisme lain
seperti berbagai jenis bentos, dan plankton juga dapat meningkatkan proses penguraian tersebut.
Sementara itu, kandungan DO yang cukup tinggi pada ekosistem lamun ini, dikarenakan adanya
sirkulasi air yang terjadi. Menurut Hartanto (2011), lamun akan hidup pada perairan yang
dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik serta membentuk padang lamun yang luas
pada dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari, sehingga dapat mendukung
pertumbuhannya.
Konsentrasi klorofil-a pada ekosistem lamun memiliki nilai 0,00636 mg/m3. Menurut
klasifikasi status trofik EPA (2002), konsentrasi klorofil menunjukkan ekosistem lamun
tergolong oligotrofik (kesuburan rendah). Sementara itu, suhu perairan ekosistem lamun Desa
Pengudang memiliki nilai rata-rata 28°C dengan salinitas 32 ppt. Suhu perairan yang menurun,
dikarenakan letak ekosistem lamun yang tidak jauh dari daratan. Secara geografis, suhu perairan
akan semakin menurun jika semakin mendekat ke wilayah daratan.
8
Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 5
Stasiun 5 merupakan zona intertidal pesisir pantai yang berada di depan bukaan muara Sungai
Sumpat, Desa Pengudang. Pada stasiun ini menunjukkan nilai suhu tertinggi yaitu dengan nilai
rata-rata 29,2˚C. Namun berdasarkan kondisi lokasi pada stasiun ini, nilai suhu tersebut masih
tergolong alami. Nilai suhu juga sesuai dengan kadar salinitas yang dimiliki yaitu 30 ppt.
Nilai DO pada stasiun ini adalah 7,2 mg/L. Berdasarkan baku mutu Kepmen LH No. 51
Tahun 2004 untuk biota air, nilai DO tergolong baik. Sementara itu berdasarkan klasifikasi status
trofik pada Tabel 1, tergolong eutrofik (kesuburan tinggi). Stasiun ini juga memiliki kadar fosfat
0,019 mg/L. Nilai tersebut menunjukkan angka yang cukup tinggi, berdasarkan Kepmen LH No.
51 Tahun 2004. Nilai fosfat yang cukup tinggi ini dikarenakan lokasi stasiun yang tidak jauh dari
ekosistem mangrove yang ada pada bukaan muara. Sehingga pada saat air bergerak surut, fosfat
yang berasal dari ekosistem mangrove ikut terbawa ke zona intertidal pesisir pantai.
Sementara itu, nilai nitrat menunjukkan angka yang cukup tinggi, berkisar 2,3 – 3,0 mg/L.
Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 kadar nitrat bukaan muara sungai Sumpat sudah
melebihi ambang batas. Menurut klasifikasi status trofik pada menurut EPA (2002), kadar nitrat
menunjukkan stasiun ini tergolong eutrofik. Kadar nitrat yang cukup tinggi ini disebabkan oleh
proses alami dan lokasinya berada dekat dengan ekosistem mangrove yang menghasilkan serasah
yang cukup banyak. Konsentrasi klorofil-a pada stasiun ini yaitu 0,00666 mg/m3. Berdasarkan
klasifikasi status trofik pada Tabel 1, konsentrasi klorofil-a menunjukkan stasiun ini tergolong
oligotrofik.
Tingkat Kesuburan Perairan Desa Pengudang
Tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang pada masing-masing stasiun secara berurutan
dari yang terkecil yaitu stasiun 4 dengan nilai TRIX 4,38, stasiun 1 dengan nilai TRIX 4,88,
stasiun 2 dengan nilai TRIX 4,97, stasiun 5 dengan nilai TRIX 5,27, dan stasiun 3 dengan nilai
TRIX 5,32. Tingkat kesuburan perairan antar stasiun dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 2. Tingkat kesuburan perairan berdasarkan indeks TRIX antar stasiun
Berdasarkan Gambar 2, tingkat kesuburan perairan di desa Pengudang tergolong sedang
(mesotrofik) dan tinggi (eutrofik). Penggolongan status kesuburan ini berdasarkan rentang nilai
TRIX oleh Alves et al. (2013) pada Tabel 6.
Stasiun 1, 2, dan 4 berturut-turut merupakan ekosistem mangrove Sungai Pengudang, bukaan
muara Sungai Pengudang, dan ekosistem lamun memiliki tingkat kesuburan perairan yang
sedang (mesotrofik). Alves et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat kesuburan perairan
mesotrofik, dapat menggambarkan kualitas air yang baik. Hal ini menunjukkan ekosistem
9
mangrove Sungai Pengudang, bukaan muara Sungai Pengudang, dan ekosistem lamun, memiliki
kemampuan yang baik dalam menerima beban dari daratan (run off). Menurut Rositasari dan
Rahayu (1994), lahan asuhan paling produktif dan paling penting adalah daerah pasang surut dan
zona perairan dangkal yang biasanya juga merupakan daerah pertama penanggung beban akibat
pembangunan (modifikasi hasil aktivitas manusia).
Keberadaan autotrof dalam melakukan fotosintesis dan adanya proses penguraian oleh
dekomposer sebagai aliran energi yang baik, menunjukkan pemanfaatan yang optimal terhadap
unsur hara yang ada. Kondisi plankton ekosistem mangrove Desa Pengudang memiliki
keanekaragaman dan kestabilan komunitas yang tinggi (Nursiah 2016). Sementara itu, tingkat
kekeruhan yang ada pada ekosistem mangrove juga cukup tinggi, yaitu berkisar 2,22 – 2,61
NTU. Menurut Effendi (2003), kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik
yang tersuspensi dan terlarut (misalnya serasah, lumpur pasir halus, plankton dan
mikrooraganisme lainnya). Kekeruhan juga menghalangi penetrasi cahaya matahari ke kolom
perairan sehingga secara tidak langsung mengganggu proses fotosintesis oleh fitoplankton
(Abida 2010).
Ekosistem lamun Desa Pengudang juga demikian, lamun yang cukup rapat pada stasiun 4 ini
dapat memanfaatkan unsur hara yang ada untuk melakukan fotosintesis. Selain lamun itu sendiri,
yang berperan sebagai autotrof pada ekosistem lamun adalah perifiton dan fitoplankton.
Pemanfaatan unsur hara yang baik dapat menyeimbangkan kandungan unsur hara yang banyak
dari air limpasan (run off). Bukaan muara Sungai Pengudang yang hampir mencapai eutrofik ini,
yaitu dengan nilai TRIX 4,97 dikarenakan pada daerah ini terdapat ekosistem mangrove yang
cukup rapat dan perairan yang cukup dangkal. Namun demikian, daerah ini masih dapat
dikatakan seimbang antara pemasukan unsur hara ke badan perairan dan pemanfaatan unsur hara
yang ada oleh autotrof.
Sementara itu, tingkat kesuburan perairan yang tinggi (eutrofik) terdapat pada stasiun 3, dan 5
dengan nilai TRIX berturut-turut 5,32 dan 5,27. Nilai indeks TRIX pada laut yang tidak
terdapat ekosistem, dan zona intertidal pesisir pantai Desa Pengudang ini disebabkan adanya
masukan unsur hara dari ekosistem mangrove dan laut terbuka melalui fenomena pasang surut
air laut (Lampiran 10). Selain itu, pada kedua stasiun ini unsur hara yang cukup tinggi tidak
dimanfaatkan secara optimal di perairan tersebut. Sedangkan pada ekosistem mangrove dan
lamun siklus unsur hara (terutama nitrogen anorganik dan fosfat) bisa terjadi secara sempurna.
Hal ini terlihat dari ekosistem mangrove dan lamun yang rapat, serasah yang tinggi dan berbagai
hewan bentik yang berada pada substrat, akan menjadi faktor pendukung siklus tersebut.
Sehingga, unsur hara yang ada termanfaatkan secara alami dan optimal, baik pada permukaan
perairan oleh fitoplakton, maupun pada dasar perairan oleh bakteri dekomposer.
Berdasarkan penggolongan rentang nilai TRIX oleh Alves et al (2013), tingkat kesuburan
dengan kategori eutrofik memiliki kualitas air yang buruk. Kondisi kualitas air yang buruk pada
laut terbuka tidak bisa dipastikan karena aktivitas manusia maupun pemukiman. Namun, kondisi
seperti ini dapat terjadi dikarenakan keadaan yang dinamis pada wilayah laut terbuka yang
dipengaruhi oleh arus, arah angin, dan pergerakan masa air.
Aspek Pengelolaan Perairan Desa Pengudang Berdasarkan Tingkat Kesuburan
Pengelolaan terhadap tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang sangat perlu dilakukan
demi menjaga dan mempertahankan kondisi perairan agar tetap mendukung aktivitas ekosistem
yang ada. Berikut bentuk-bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap masing-masing
stasiun penelitian yang telah dilakukan.
Pengelolaan pada Perairan Mesotrofik
Stasiun 1, 4, dan 5 pada penelitian ini adalah daerah ekosistem mangrove Sungai Pengudang,
lamun dan bukaan muara Sungai Sumpat. Daerah ini memiliki tingkat kesuburan mesotrofik
10
(sedang). Kondisi mesotrofik menunjukkan kualitas air yang baik (Alves at al. 2013). Oleh
karena itu, kondisi ini perlu dipertahankan, karena dapat mendukung nilai guna perairan, baik
sebagai habitat biota (nilai ekologi) maupun meningkatkan sektor perikanan tangkap (nilai
ekonomi).
Adapun usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk menjaga tingkat kesuburan
perairan pada stasiun ini adalah dengan tidak membuang limbah organik ke perairan. Sementara
itu, pemerintah juga perlu mengadakan sosialisasi terhadap pengelolaan sampah dan
mengadakan fasilitas tempat pembuangan sampah yang mendukung. Salah satu bentuk
pengelolaan limbah ini adalah dengan memisahkan sampah organik dan non-organik serta
mendaur ulang limbah yang masih bisa dimanfaatkan.
Pengelolaan pada Perairan Eutrofik
Stasiun 2 dan 3 merupakan daerah bukaan muara Sungai Pengudang dan laut terbuka yang
memiliki tingkat kesuburan tinggi (eutrofik). Kondisi perairan ini perlu segera ditangani agar
tidak terjadi fenomena-fenomena eutrofikasi yang dapat merusak lingkungan perairan dan
menurunkan nilai guna perairan tersebut. Walaupun secara alamiah perairan ini akan mereduksi
kandungan unsur hara yang ada melalui pasang surut, namun tetap perlu didukung oleh aktivitas
manusia yang tidak menambah beban masukan ke perairan. Adapun langkah yang dapat
dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah tidak membuang limbah organik ke perairan terutama
pada muara sungai. Selain itu, pihak pemerintah perlu melakukan sosialisasi terhadap bahaya
dan gejala eutrofikasi kepada masyarakat Desa Pengudang.
KESIMPULAN
Berdasarakan hasil penelitian yang telah didapatkan, dapat disimpulkan bahwa kondisi tingkat
kesuburan perairan Desa Pengudang tergolong sedang (mesotrofik) dan tinggi (eutrofik). Adapun
Tingkat kesuburan perairan dari masing-masing stasiun adalah sebagai berikut:
a. Stasiun 1 (ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang) tergolong mesotrofik,
b. Stasiun 2 (bukaan muara Sungai Pengudang) tergolong mesotrofik dengan,
c. Stasiun 3 merupakan laut terbuka Desa Pengudang memiliki tingkat kesuburan eutrofik,
d. Stasiun 4 (ekosistem lamun) Desa Pengudang memiliki tingkat kesuburan perairan
mesotrofik,
e. Stasiun 5 (zona intertidal pesisir pantai dan berada di depan bukaan muara Sungai Sumpat)
memiliki tingkat kesuburan eutrofik.
DAFTAR PUSTAKA
Abida, I.W. 2010. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Muara Sungai
Porong Sidoarjo. Jurnal Kelautan. 3(1): 36-40.
Alves, G., Flores-montes, M., Gaspar, F., Gomes, J. 2013. Eutrophication and Water Quality in
A Tropical Brazilian Estuary. Journal of Coastal Research. 65: 7–12.
Ærtebjerg, G., Carstensen, J., Dahl, K., Hansen, J., Nygaard, K., Rygg, B., Sørensen, K.,
Severinsen, G., Casartelli, S., Schrimpf, W., Schiller, C., Druon, J.N. 2001. Eutrophication in
Europe’s coastal waters. European Environmental Agency. Copenhagen, DK. 86 p.
Arizuna, M., Suprapto, D., Muskananfola, M.R. 2014. Kandungan Nitrat dan Fosfat dalam Air
Pori Sedimen di Sungai dan Muara Sungai Wedung Demak. Journal of Maquares. 3(1): 7-16.
11
Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Jakarta : Bumi Aksara.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.
Yogyakarta: Kanisius
Environmental Protection Agency. 2002. Mid Atlantic Integrated Assessment (MAIA) Estuaries
1997-98. [Summary Report]. United State. 124 p.
Hartanto, B. 2011. Pengelolaan Ekosistem di Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bahari
Jogja. 11(19): 1-14.
Hutomo, M. 2013. Padang Lamun dan Dugong di Bintan : Pembelajaran dari Riset Dasar ke
Pengelolaan di Pesisir Timur P. Bintan dalam Lokakarya Konservasi Dugong dan Lamun,
Bintan. TRISMADES.
Jumaidi, I. F., Syafruddin, N., Efriyeldi. 2015. Diversity Of Gastropods At Intertidal Zone of
Pengudang Village Bintan Aistrict. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Perikanan dan Ilmu
Kelautan. 2(2): 1-10.
Kaswadji, R. F., Widjaja, F., Wrdiatno, Y. 1993. Produktivitas Primer dan Laju Pertumbuhan
Fitoplankton di Perairan Pantai Bekasi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.
1(2): 1-5.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu
Air Laut Untuk Biota Laut.
Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., Pranowo, W.S. 2014. Kualitas perairan
Natuna pada musim transisi. Depik. 3(1): 10-20.
Nursiah. 2016. Kondisi Umum Komunitas Plankton Diperairan Estuari Desa Pengudang,
Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. [Laporan Praktik
Lapangan]. Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Rositasari, R. Rahayu, S. K. 1994, Sifat-Sifat Estuari Dan Pengelolaannya. Oseana. 19(3): 21-31.
Sea-Bird Electronics. 2011. SBE 43 Dissolved Oxygen Sensor – Background Information,
Deployment Recommendations, and Cleaning and Storage. USA.
Seprianti, R., Karlina, I., Irawan, H. 2017. Laju Pertumbuhan Jenis Lamun Thalassia hemprichii
dengan Teknik Transplantasi Sprig Anchor dan Polybag pada Jumlah Tegakan yang Berbeda
dalam Rimpang di Perairan Kabupaten Bintan. Jurnal Intek Akuakultur. 1(1): 56-70.
Vollenweider R.A., Giovanardi F., Montanari, G., Rinaldi A. 1998. Characterization of The
Trophic Conditions of Marine Coastal Waters With Special Reference to The Nw Adriatic
Sea: Proposal for a Trophicscale, Turbidity and Generalized Water Quality Index.
Environmetrics. 9: 329-357.