indeks kesuburan perairan di desa pengudang kecamatan teluk …repository.umrah.ac.id/665/1/artikel...

12
1 Indeks Kesuburan Perairan di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Nursiah, Winny Retna Melani, Tri Apriadi [email protected] Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Penelitian mengenai indeks kesuburan perairan telah dilakukan di Perairan Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah oseanografi Desa Pengudang terdiri dari pesisir yang berhadapan dengan laut terbuka. Pesisir Desa Pengudang memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang beragam. Pada wilayah pesisir, terdapat ekosistem lamun, ekosistem mangrove dan terumbu karang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan indeks TRIX (trophic index). Penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sampling sebanyak 5 stasiun dalam masing-masing stasiun terdapat 3 titik sampling. Hasil penelitian menunjukkan pada Stasiun 1 (ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang) dengan nilai indeks TRIX 4,88, Stasiun 2 (bukaan muara Sungai Pengudang) dengan nilai indeks TRIX 4,97, Stasiun 3 merupakan laut terbuka Desa Pengudang memiliki nilai indeks TRIX 5,32, Stasiun 4 (ekosistem lamun) Desa Pengudang memiliki nilai indeks TRIX 4,58, Stasiun 5 (zona intertidal di depan bukaan muara Sungai Sumpat) memiliki nilai indeks TRIX 5,27. Berdasarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kondisi tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang tergolong sedang (mesotrofik) pada stasiun 1,2, dan 4 serta tinggi (eutrofik) pada stasiun 3, dan 5. Kata kunci: Bintan, Kesuburan Perairan, Pengudang, TRIX (Trophic Index) PENDAHULUAN Perairan adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen ataupun berkala tertutup oleh massa air dan terbentuk secara alami dan/atau buatan, baik berair tawar, payau ataupun laut. Perairan dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatan perairan dilakukan secara bersamaan dalam berbagai sektor dengan kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, kondisi perairan perlu dijaga agar tetap optimal, sehingga pemanfaatannya dapat terus berkelanjutan. Kondisi optimal pada suatu perairan dapat dilihat dari produktivitas perairan itu sendiri, baik produktivitas primer maupun produktivitas sekunder. Produktivitas perairan dapat dinyatakan sebagai kemampuan suatu perairan dalam memproduksi materi organik agar dapat dimanfaatkan terus menerus oleh makhluk hidup didalamnya. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012), adapun yang berperan dalam produktivitas primer perairan adalah autotrof (fitoplankton, rumput laut, mangrove, mikro alga bentik, tumbuhan air dan lamun). Asriyana dan Yuliana (2012) juga menyatakan produktivitas perairan juga memiliki hubungan yang linear pada kelimpahan atau

Upload: others

Post on 21-Feb-2020

21 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

1

Indeks Kesuburan Perairan di Desa Pengudang Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten

Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Nursiah, Winny Retna Melani, Tri Apriadi

[email protected]

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Universitas Maritim Raja Ali Haji

ABSTRAK

Penelitian mengenai indeks kesuburan perairan telah dilakukan di Perairan Desa Pengudang,

Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah oseanografi

Desa Pengudang terdiri dari pesisir yang berhadapan dengan laut terbuka. Pesisir Desa

Pengudang memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang beragam. Pada wilayah pesisir,

terdapat ekosistem lamun, ekosistem mangrove dan terumbu karang. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang, Kabupaten Bintan,

Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan indeks TRIX (trophic index). Penelitian ini dilakukan

dengan metode purposive sampling sebanyak 5 stasiun dalam masing-masing stasiun terdapat 3

titik sampling. Hasil penelitian menunjukkan pada Stasiun 1 (ekosistem mangrove muara Sungai

Pengudang) dengan nilai indeks TRIX 4,88, Stasiun 2 (bukaan muara Sungai Pengudang)

dengan nilai indeks TRIX 4,97, Stasiun 3 merupakan laut terbuka Desa Pengudang memiliki

nilai indeks TRIX 5,32, Stasiun 4 (ekosistem lamun) Desa Pengudang memiliki nilai indeks

TRIX 4,58, Stasiun 5 (zona intertidal di depan bukaan muara Sungai Sumpat) memiliki nilai

indeks TRIX 5,27. Berdasarakan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa

kondisi tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang tergolong sedang (mesotrofik) pada stasiun

1,2, dan 4 serta tinggi (eutrofik) pada stasiun 3, dan 5.

Kata kunci: Bintan, Kesuburan Perairan, Pengudang, TRIX (Trophic Index)

PENDAHULUAN

Perairan adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen ataupun berkala tertutup oleh

massa air dan terbentuk secara alami dan/atau buatan, baik berair tawar, payau ataupun laut.

Perairan dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Pemanfaatan perairan dilakukan secara bersamaan dalam berbagai sektor dengan kepentingan

masing-masing. Oleh karena itu, kondisi perairan perlu dijaga agar tetap optimal, sehingga

pemanfaatannya dapat terus berkelanjutan.

Kondisi optimal pada suatu perairan dapat dilihat dari produktivitas perairan itu sendiri, baik

produktivitas primer maupun produktivitas sekunder. Produktivitas perairan dapat dinyatakan

sebagai kemampuan suatu perairan dalam memproduksi materi organik agar dapat dimanfaatkan

terus menerus oleh makhluk hidup didalamnya. Menurut Asriyana dan Yuliana (2012), adapun

yang berperan dalam produktivitas primer perairan adalah autotrof (fitoplankton, rumput laut,

mangrove, mikro alga bentik, tumbuhan air dan lamun). Asriyana dan Yuliana (2012) juga

menyatakan produktivitas perairan juga memiliki hubungan yang linear pada kelimpahan atau

2

produksi suatu spesies ikan, karena secara tidak langsung produksi suatu spesies memengaruhi

kuantitas dan kualitas makanan yang akan berdampak pada kelimpahan spesies tertentu.

Produktivitas perairan sangat terkait dengan tingkat kesuburan perairan. Keterkaitan ini dapat

digambarkan melalui siklus komponen biotik maupun komponen abiotik yang berlangsung

dalam suatu ekosistem. Siklus komponen biotik yaitu merupakan jaringan makanan (food web)

yang terjadi dalam ekosistem tersebut, sementara siklus komponen abiotik merupakan daur unsur

yang meliputi karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P). Sistem yang terjadi pada lingkungan

tersebut, akan menggambarkan tingkat kesuburan perairan melalui parameter kualitas air.

Adapun parameter kualitas perairan yang memengaruhi tingkat kesuburan perairan diantaranya;

kadar unsur hara, DO saturasi, konsentrasi klorofil, pH, dan suhu. Keberadaan suatu ekosistem

yang berada di perairan seperti mangrove, lamun, karang dan estuari juga memengaruhi tingkat

kesuburan perairan. Hal ini dikarenakan pada setiap ekosistem tersebut terjadi proses biokimia

maupun fisik yang berlangsung terus menerus serta memiliki sifat dan karakteristik yang

berbeda.

Desa Pengudang merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Teluk Sebong,

Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Sebagian wilayah Desa Pengudang berada di

perairan pesisir dan dipisahkan dengan perairan muara. Wilayah pesisir terdapat ekosistem

lamun, dan di perairan muara terdapat ekosistem mangrove. Wilayah pesisir Desa Pengudang

juga berhadapan langsung dengan perairan laut terbuka. Tingkat kesuburan perairan Desa

Pengudang perlu dilakukan pengkajian agar diketahui tingkat kesuburan perairan tersebut

terhadap kondisi geografis perairan desa yang bervariasi. Selain itu, informasi mengenai tingkat

kesuburan perairan melalui indeks kesuburan (TRIX) belum banyak dilakukan. Nilai indeks

kesuburan perairan yang digambarkan melalui TRIX ini, akan menjadi informasi awal tingkat

kesuburan perairan di Desa Pengudang.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

kesuburan perairan Desa Pengudang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan

indeks TRIX (trophic index).

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei - Juni 2017, berlokasi di perairan Desa

Pengudang, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Analisis konsentrasi klorofil-a

dilakukan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UMRAH. Sementara sampel

nitrat, dan fosfat dilakukan di Laboratorium Badan Perikanan Budidaya Laut (BPBL), Batam.

Alat dibagi atas dua kelompok yaitu alat yang digunakan di lapangan dan alat yang digunakan

di laboratorium. Adapun alat dan bahan yang digunakan di lapangan antara lain: van dorn

volume 3 liter, GPS, botol sampel ukuran 500 mL, ice box, alumunium foil dan kantong plastik

hitam, ice pack, multitester model YK2005WA, refraktometer, alat tulis, dan kamera digital.

Alat dan bahan yang digunakan di laboratorium antara lain: centrifuge 5430 eppendrof,

spektrofotometer (Spektro UV-1800 Shimetzu Fotometrik), kolorimetri HACH DR/890,

pengaduk kaca, peralatan glass (tabung reaksi, pipet dan lain-lain), vacum pump/many pol,

sampel air, kertas millipore 0,45 µ, aquades, kertas alumunium foil, plastik, aseton 90 %

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu metode penelitian

yang tidak melakukan perubahan (tidak ada perlakuan khusus) terhadap parameter yang akan

diteliti dengan tujuan untuk memperoleh serta mencari keterangan secara faktual tentang objek

yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapatkan dari hasil pengukuran

dan analisis secara langsung terhadap parameter yang diamati, sedangkan data sekunder

diperoleh melalui studi pustaka dari berbagai sumber dan instansi terkait. Selanjutnya, data akhir

yang diperoleh baik berupa data kuantitatif maupun kualitatif akan ditabulasikan dan

dideskripsikan untuk selanjutnya dibahas secara deskriptif statistik dan perhitungan kemudian

ditarik suatu kesimpulan.

3

Penentuan titik sampling dilakukan secara purposive, yakni berdasarkan kondisi geografis dan

keberadaan ekosistem pada lokasi penelitian. Penelitian ini dilakukan sebanyak 5 stasiun

sampling dengan masing-masing stasiun terdiri dari 3 titik pengulangan (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Karakteristik masing-masing stasiun adalah sabagai berikut :

a. Stasiun 1, berada pada daerah ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang ;

b. Stasiun 2, berada pada bukaan muara Sungai Pengudang ;

c. Stasiun 3, berada pada perairan laut yang tidak terdapat ekosistem dengan jarak dari

daratan ± 0,8 km ;

d. Stasiun 4, berada pada daerah ekosistem lamun dengan jarak dari daratan ± 0,65 km ;

e. Stasiun 5, berada pada zona intertidal pesisir Desa Pengudang yang berada di depan

bukaan muara Sungai Sumpat dengan jarak dari daratan ± 0,6 km.

Pengambilan sampel air untuk klorofil-a, nitrat, dan fosfat menggunakan van dorn dengan

ukuran 3 L pada kedalaman ± 0,5 – 1 m. Air sampel selanjutnya dimasukkan ke dalam botol

sampel berukuran 500 mL. Sebelum dibawa ke laboratorium, agar sampel tetap terjaga

kondisinya masing-masing botol sampel klorofil-a, nitrat, dan fosfat dibungkus dengan

alumunium foil. Setelah itu, disimpan dalam ice box.

Pengambilan sampel parameter kualitas air fisika dan kimia ini dilakukan pada saat menjelang

surut, sekitar pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB, setelah hujan turun. Beberapa

parameter kualitas air dilakukan pengukuran langsung pada lokasi penelitian seperti DO, pH dan

suhu. Sementara pengujian kadar nitrat, fosfat, dan klorofil dilakukan di laboratorium. Pengujian

klorofil dilakukan secara composite, yaitu dengan menggabungkan air yang berasal dari botol

sampling titik 1, 2, dan 3 pada masing-masing stasiun menjadi 1 botol. Perlakuan secara

composite pada sampel klorofil dikarenakan larutan aseton 90% yang tersedia di laboratorium

terbatas.

Penentuan nilai indeks kesuburan perairan Desa Pengudang menggunakan metode

perhitungan trophic index (TRIX). Adapun rumus perhitungan TRIX menurut (Vollenweider et

al. 1998) sebagai berikut :

4

Keterangan :

k = scaling factor (10)

n = jumlah parameter (4)

U = batas atas

L = batas bawah

M = nilai rataan parameter

Setelah seluruh nilai parameter didapatkan maka dimasukkan kedalam rumusan perhitungan

TRIX (trophic index) dan disesuaikan dengan klasifikasi indeks kesuburan pada Tabel 1.

Tabel 1. Penggolongan rentang nilai TRIX (Alves et al. 2013)

Skala TRIX Status Kualitas Air Tingkat Eutrofikasi

0 – 4,1 Tinggi Rendah

4,1 – 5 Baik Sedang

5,1 – 6 Buruk Tinggi

6,1 – 10 Miskin Sangat tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Pengudang merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Teluk Sebong

Kabupaten Bintan yang memiliki luas ±540 Ha. Desa Pengudang terletak pada koordinat

104012’47”–10802’27” Bujur Timur dan 006’17”–1034’52” Lintang Utara. Wilayah oseanografi

Desa Pengudang terdiri dari pesisir yang berhadapan dengan laut terbuka. Pesisir Desa

Pengudang memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang beragam. Pada pesisir desa,

terdapat ekosistem lamun, mangrove dan terumbu karang.

Ekosistem mangrove Desa Pengudang cukup luas dan rapat. BAPPEDA (2008) dalam

Seprianti et al. (2014) menyebutkan bahwa luas ekosistem mangrove Desa Pengudang ±100 Ha.

Selain itu, pada ekosistem mangrove Desa Pengudang juga terdapat berbagai jenis gastropoda.

Masyarakat setempat memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai salah satu tempat mata

pencaharian untuk menunjang perekonomian rumah tangga. Ekosistem lamun Desa Pengudang

juga sangat rapat. Berdasarkan penelitian Hutomo (2013), kerapatan padang lamun Desa

Pengudang berkisar 50-100%. Pada padang lamun Desa Pengudang juga pernah ditemukan jenis

mamalia air yang terancam punah yaitu dugong. Jarak surut tertinggi Pantai Desa Pengudang

±500 meter dengan tipe pantai berpasir dan pasir berlumpur sedikit karang, materialnya pasir

dengan kemiringan (20-300), dan dengan kedalaman perairan 5-8 meter (Jumaidi et al. 2015).

Pada Desa Pengudang juga, terdapat dua aliran sungai yang bertemu dengan laut terbuka. Dua

aliran sungai ini diberi nama Sungai Pengudang dan Sungai Sumpat. Selain berprofesi sebagai

nelayan, masyarakat Desa Pengudang juga memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta, petani,

pedagang PNS, buruh, TNI/POLRI, dan wiraswasta.

Kondisi Lingkungan Perairan

Kondisi lingkungan perairan dapat dilihat dari pengukuran parameter kualitas air. parameter

kualitas air yang diamati diantaranya parameter fisika, kimia maupun biologi yang dilakukan

pada masing-masing stasiun. Pengukuran kualitas air pada masing-masing stasiun dapat dilihat

pada Tabel 2.

TRIX = k

n∑ [(log M − log L)/(Log U − Log L)ii=n

1

5

Tabel 2. Hasil pengukuran kualitas perairan

Parameter Satuan Nilai Rata-rata ± Standar Deviasi

Baku Mutu*

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Fisika

Suhu °C 27,8 ± 0,24 28,6 ± 0,21 29,1 ± 0,00 28,5 ± 0,00 29,2 ± 0,00 Alami

Kimia

Salinitas ppt 23,3 ± 0,67 30,8 ± 0,00 33 ± 0,69 32 ± 0,00 30 ± 0,19 Alami

pH

7,2 ± 0,01 7,3 ± 0,00 7,5 ± 0,01 7,5 ± 0,00 7,4 ± 0,00 7-8,5

DO mg/L 7,5 ± 0,19 7,6 ± 0,34 6,9 ± 0,70 6,6 ± 0,55 7,2 ± 0,04 >5

Nitrat mg/L 1,7 ± 0,15 2,8 ± 0,10 2,9 ± 0,2 2,7 ± 0,23 2,6 ± 0,36 0,008

Fosfat mg/L 0,101 ± 0,004 0,016 ± 0,013 0,008 ± 0,002 0,075 ± 0,033 0,019 ± 0,18 0,015

Biologi

Klorofil-a mg/m3 0,00714 ± 0,00003

0,00187 ± 0,00187

0,00637 ± 0,00068

0,00636 ± 0,00315

0,00666 ± 0,00001

Keterangan : (*) Kepmen LH No.51 Tahun (2004) untuk biota air

Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 1

Stasiun 1 merupakan ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang dengan lebar muara ± 25

– 50 m. Berdasarkan Tabel 8, ekosistem mangrove yang berada di muara Sungai Pengudang ini,

memiliki kadar fosfat yang tinggi dan melebihi batas baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004

untuk biota air. Walaupun demikian berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kadar fosfat pada

stasiun ini tergolong dalam kelas I dan II, yaitu batas baku mutu 0,2 mg/L. Menurut

Kusumaningtyas et al. (2014), pada ekosistem mangrove sedimen diketahui merupakan tempat

penyimpanan utama fosfor dalam siklus di lautan. Senyawa fosfor yang terikat di sedimen

mengalami dekomposisi yang menghasilkan senyawa fosfat terlarut dan kemudian berdifusi ke

kolom air. Dekomposisi pada stasiun ini juga dapat dipicu dengan adanya serasah mangrove,

plankton, dan berbagai jenis hewan bentik yang terdapat pada ekosistem mangrove.

Konsentrasi klorofil-a pada ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan keberadaan

fitoplankton yang ada di ekosistem tersebut. Berdasarkan data praktik lapangan (Nursiah 2016),

plankton ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki kelimpahan 8.293 sel/m3.

Tingginya nilai kelimpahan fitoplankton tersebut, mendukung konsentrasi klorofil-a yang cukup

tinggi. Konsentrasi klorofil-a tertinggi yaitu terdapat pada pada ekosistem mangrove muara

Sungai Pengudang ini, dengan nilai 0,00714 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a yang tinggi pada

ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang, disebabkan oleh kadar fosfat yang ada juga

cukup tinggi.

Ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki salinitas yang optimal, yaitu dengan

nilai berkisar 23 – 24 ppt. Wantasen (2013) menyatakan bahwa nilai salinitas pada ekosistem

mangrove yang baik berkisar 10 ppt – 30 ppt. Nilai salinitas ini mendukung kondisi mangrove di

muara Sungai Pengudang yang lebih besar mendapatkan masukan air dari daratan daripada air

laut. Selain itu, ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang juga terlihat cukup rapat.

Sehingga, masukan cahaya matahari tidak terlalu tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai suhu

pada ekosistem mangrove berkisar 27 – 28 ºC.

6

Nilai suhu pada ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang memiliki keterkaitan terhadap

nilai pH dan kandungan oksigen terlarut (DO). Nilai pH ekosistem mangrove muara Sungai

Pengudang menunjukkan angka yang masih berada pada kondisi netral, yaitu dengan nilai rata-

rata 7,2. Nilai ini menggambarkan serasah ekosistem mangrove yang ada di muara tersebut tidak

menyebabkan perairan bersifat asam, yaitu adanya aktivitas dekomposisi yang bisa terjadi,

karena kadar nitrat dan CO2 yang ada telah dimanfaatkan untuk proses fotosintesis. Sehingga,

kandungan DO pada ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang tergolong cukup tinggi

dengan nilai rata-rata 7,5 ppm.

Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 2

Stasiun 2 adalah daerah bukaan muara Sungai Pengudang yang menjadi titik pertemuan antara

perairan ekosistem mangrove dan laut terbuka. Bukaan muara merupakan daerah perairan yang

menjadi titik pertemuan antara air payau dan air laut. Pengukuran kualitas perairan bukaan

muara Sungai Pengudang, menunjukkan kadar unsur hara yang cukup tinggi dengan kadar nitrat

2,8 mg/L dan kadar fosfat 0,016 mg/L. Berdasarkan baku mutu untuk biota laut yaitu Kepmen

LH No.51 Tahun 2004, kadar nitrat dan fosfat sudah melebihi ambang batas. Namun

berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, kadar nitrat dan fosfat tergolong kelas I dan II. Kadar unsur

hara yang cukup tinggi dapat disebabkan pada bukaan muara Sungai Pengudang mendapat

masukan unsur hara dari perairan ekosistem mangrove dan perairan laut. Serasah yang berasal

dari ekosistem mangrove juga dapat menambah kadar nitrat dan fosfat alami yang sudah ada di

perairan.

Konsentrasi klorofil-a terendah berada pada stasiun ini dengan nilai 0,00187 mg/m3.

Berdasarkan klasifikasi status trofik EPA (2002), nilai klorofil menggambarkan stasiun ini

tergolong oligotrofik (kesuburan rendah). Rendahnya konsentrasi klorofil berbanding terbalik

dengan tingginya kadar unsur hara. Hal ini dikarenakan stasiun ini adalah daerah yang sangat

dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sehingga salinitas yang selalu berubah-ubah tidak mampu

membuat fitoplankton untuk bertahan hidup. Menurut Kaswadji et al. (1993), pada daerah yang

dipengaruhi oleh pasang akan membuat fitoplankton yang terbawa oleh arus pasang baik dari

arah sungai maupun dari arah laut mengalami tekanan, sehingga hanya sedikit organisme yang

bisa bertahan hidup, yaitu yang bisa beradaptasi terhadap salinitas yang berubah-ubah.

Bukaan muara Sungai Pengudang memiliki salinitas dengan nilai rata-rata 30,8 ppt. Hal ini

terlihat dari lokasi bukaan muara yang memiliki masukan air laut yang lebih dominan. Bukaan

muara Sungai Pengudang juga tidak ditutupi oleh vegetasi seperti ekosistem mangrove, sehingga

cukup terbuka dan mendapatkan penyinaran cahaya matahari. Kondisi ini tergambarkan melalui

nilai pH pada bukaan muara Sungai Pengudang tergolong netral yaitu dengan nilai 7,3 dan nilai

suhu berkisar 28,4 - 28,8 ºC.

Nilai kandungan oksigen terlarut (DO) pada bukaan muara Sungai Pengudang berkisar 7,3 –

8,0 ppm. Nilai ini menggambarkan kandungan DO pada bukaan muara cukup tinggi. Hal ini

dikarenakan pada bukaan muara Sungai Pengudang, sedikit atau bahkan tidak ada organisme

autotrof seperti fitoplankton yang memanfaatkan oksigen terlarut, terlihat dari konsentrasi

klorofil-a yang cukup rendah. Selain itu, sirkulasi air yang terjadi pada stasiun ini juga dapat

meningkatkan kandungan DO.

Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 3

Stasiun 3 merupakan perairan laut yang tidak terdapat ekosistem dan berhadapan dengan

pesisir Desa Pengudang. Kadar fosfat terendah dan kadar nitrat tertinggi berada pada stasiun ini,

yaitu dengan kadar fosfat 0,008 mg/L dan kadar nitrat 2,9 mg/L. Nilai kadar nitrat ini sudah

melebihi batas baku mutu Kepmen LH No.51 Tahun 2004 untuk biota air. Namun masih

tergolong kelas I, dan II berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001. Sementara itu, menurut klasifikasi

7

trofik pada Tabel 1, kadar fosfat menunjukkan oligotrofik (kesuburan rendah), dan kadar nitrat

menunjukkan eutrofik (kesuburan tinggi).

Kadar fosfat yang rendah pada stasiun ini karena keberadaan stasiun yang jauh dari wilayah

daratan, sehingga kadar fosfat dari daratan sudah tereduksi oleh gelombang dan ombak di

perairan laut. Selain itu, konsentrasi unsur hara pada air sangat dipengaruhi oleh parameter fisika

kimia seperti suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut dan kecerahan. Menurut Arizuna et al. (2014),

unsur hara yang tersedia pada perairan memiliki sifat yang dinamis, karena dapat berubah bentuk

secara kimiawi. Keberadaan dekomposer yang sedikit juga dapat menyebabkan kadar fosfat pada

stasiun ini juga sedikit. Berbeda halnya dengan stasiun 1 yang terdapat ekosistem mangrove, dan

berbagai jenis hewan bentik sehingga cukup mendukung terjadinya proses dekomposisi.

Kadar nitrat pada stasiun ini berbanding terbalik dengan kadar fosfat. Menurut Effendi

(2003), bahwa sifat nitrat mudah larut dalam air dan lebih stabil sementara keberadaan fosfat

biasanya cukup kecil dari pada kandungan nitrat. Selain itu, kandungan DO pada stasiun ini

mendukung terjadinya proses terbentuknya senyawa nitrat secara alami. Menurut

Kusumaningtyas et al. (2014), kandungan oksigen yang tinggi memicu bakteri mengoksidasi

nitrogen menjadi nitrat.

Kandungan DO pada stasiun ini menunjukkan kondisi yang cukup baik berdasarkan Kepmen

LH No. 51 Tahun 2004, yaitu dengan nilai 6,9 mg/L. Sementara itu, berdasarkan PP No. 82

Tahun 2001 tergolong kelas I, walaupun stasiun ini merupakan perairan laut. Hal demikian

karena dipengaruhi kondisi pengambilan sampel pada pagi hari dan setelah hujan turun.

Sementara itu, nilai suhu akan berbanding lurus terhadap salinitas. Apabila suhu perairan tinggi,

maka salinitas juga akan tinggi dan begitu pula sebaliknya. Pada wilayah ini memiliki salinitas

dengan niai rata-rata 33 ppt dengan suhu 29,1 °C. Konsentrasi klorofil-a pada laut terbuka Desa

Pengudang berkisar 0,00589 – 0,00686 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a tersebut menunjukkan

perairan laut tergolong kesuburan rendah (oligotrofik), karena berada pada nilai <15 mg/m3,

berdasarkan Tabel 1 klasifikasi status trofik perairan.

Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 4

Stasiun 4 merupakan wilayah ekosistem lamun. Ekosistem lamun Desa Pengudang

menunjukkan kadar fosfat yang cukup tinggi, dan kandungan DO yang cukup rendah.

Berdasarkan baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 untuk biota air, kadar fosfat telah

melebihi ambang batas yaitu dengan nilai 0,075 mg/L. Sementara itu, kandungan DO tergolong

cukup baik karena berada pada angka >5 mg/L. Walaupun demikian, berdasarkan PP No. 82

Tahun 2001 kadar fosfat dan kandungan DO pada ekosistem lamun ini dapat digolongkan pada

kelas I.

Kadar fosfat yang cukup tinggi pada ekosistem lamun dapat disebabkan oleh serasah daun

lamun yang mengalami dekomposisi. Selain daun lamun itu sendiri, adanya organisme lain

seperti berbagai jenis bentos, dan plankton juga dapat meningkatkan proses penguraian tersebut.

Sementara itu, kandungan DO yang cukup tinggi pada ekosistem lamun ini, dikarenakan adanya

sirkulasi air yang terjadi. Menurut Hartanto (2011), lamun akan hidup pada perairan yang

dangkal dan jernih, dengan sirkulasi air yang baik serta membentuk padang lamun yang luas

pada dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari, sehingga dapat mendukung

pertumbuhannya.

Konsentrasi klorofil-a pada ekosistem lamun memiliki nilai 0,00636 mg/m3. Menurut

klasifikasi status trofik EPA (2002), konsentrasi klorofil menunjukkan ekosistem lamun

tergolong oligotrofik (kesuburan rendah). Sementara itu, suhu perairan ekosistem lamun Desa

Pengudang memiliki nilai rata-rata 28°C dengan salinitas 32 ppt. Suhu perairan yang menurun,

dikarenakan letak ekosistem lamun yang tidak jauh dari daratan. Secara geografis, suhu perairan

akan semakin menurun jika semakin mendekat ke wilayah daratan.

8

Kondisi Lingkungan Perairan pada Stasiun 5

Stasiun 5 merupakan zona intertidal pesisir pantai yang berada di depan bukaan muara Sungai

Sumpat, Desa Pengudang. Pada stasiun ini menunjukkan nilai suhu tertinggi yaitu dengan nilai

rata-rata 29,2˚C. Namun berdasarkan kondisi lokasi pada stasiun ini, nilai suhu tersebut masih

tergolong alami. Nilai suhu juga sesuai dengan kadar salinitas yang dimiliki yaitu 30 ppt.

Nilai DO pada stasiun ini adalah 7,2 mg/L. Berdasarkan baku mutu Kepmen LH No. 51

Tahun 2004 untuk biota air, nilai DO tergolong baik. Sementara itu berdasarkan klasifikasi status

trofik pada Tabel 1, tergolong eutrofik (kesuburan tinggi). Stasiun ini juga memiliki kadar fosfat

0,019 mg/L. Nilai tersebut menunjukkan angka yang cukup tinggi, berdasarkan Kepmen LH No.

51 Tahun 2004. Nilai fosfat yang cukup tinggi ini dikarenakan lokasi stasiun yang tidak jauh dari

ekosistem mangrove yang ada pada bukaan muara. Sehingga pada saat air bergerak surut, fosfat

yang berasal dari ekosistem mangrove ikut terbawa ke zona intertidal pesisir pantai.

Sementara itu, nilai nitrat menunjukkan angka yang cukup tinggi, berkisar 2,3 – 3,0 mg/L.

Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 kadar nitrat bukaan muara sungai Sumpat sudah

melebihi ambang batas. Menurut klasifikasi status trofik pada menurut EPA (2002), kadar nitrat

menunjukkan stasiun ini tergolong eutrofik. Kadar nitrat yang cukup tinggi ini disebabkan oleh

proses alami dan lokasinya berada dekat dengan ekosistem mangrove yang menghasilkan serasah

yang cukup banyak. Konsentrasi klorofil-a pada stasiun ini yaitu 0,00666 mg/m3. Berdasarkan

klasifikasi status trofik pada Tabel 1, konsentrasi klorofil-a menunjukkan stasiun ini tergolong

oligotrofik.

Tingkat Kesuburan Perairan Desa Pengudang

Tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang pada masing-masing stasiun secara berurutan

dari yang terkecil yaitu stasiun 4 dengan nilai TRIX 4,38, stasiun 1 dengan nilai TRIX 4,88,

stasiun 2 dengan nilai TRIX 4,97, stasiun 5 dengan nilai TRIX 5,27, dan stasiun 3 dengan nilai

TRIX 5,32. Tingkat kesuburan perairan antar stasiun dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Tingkat kesuburan perairan berdasarkan indeks TRIX antar stasiun

Berdasarkan Gambar 2, tingkat kesuburan perairan di desa Pengudang tergolong sedang

(mesotrofik) dan tinggi (eutrofik). Penggolongan status kesuburan ini berdasarkan rentang nilai

TRIX oleh Alves et al. (2013) pada Tabel 6.

Stasiun 1, 2, dan 4 berturut-turut merupakan ekosistem mangrove Sungai Pengudang, bukaan

muara Sungai Pengudang, dan ekosistem lamun memiliki tingkat kesuburan perairan yang

sedang (mesotrofik). Alves et al. (2013) menyatakan bahwa tingkat kesuburan perairan

mesotrofik, dapat menggambarkan kualitas air yang baik. Hal ini menunjukkan ekosistem

9

mangrove Sungai Pengudang, bukaan muara Sungai Pengudang, dan ekosistem lamun, memiliki

kemampuan yang baik dalam menerima beban dari daratan (run off). Menurut Rositasari dan

Rahayu (1994), lahan asuhan paling produktif dan paling penting adalah daerah pasang surut dan

zona perairan dangkal yang biasanya juga merupakan daerah pertama penanggung beban akibat

pembangunan (modifikasi hasil aktivitas manusia).

Keberadaan autotrof dalam melakukan fotosintesis dan adanya proses penguraian oleh

dekomposer sebagai aliran energi yang baik, menunjukkan pemanfaatan yang optimal terhadap

unsur hara yang ada. Kondisi plankton ekosistem mangrove Desa Pengudang memiliki

keanekaragaman dan kestabilan komunitas yang tinggi (Nursiah 2016). Sementara itu, tingkat

kekeruhan yang ada pada ekosistem mangrove juga cukup tinggi, yaitu berkisar 2,22 – 2,61

NTU. Menurut Effendi (2003), kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut (misalnya serasah, lumpur pasir halus, plankton dan

mikrooraganisme lainnya). Kekeruhan juga menghalangi penetrasi cahaya matahari ke kolom

perairan sehingga secara tidak langsung mengganggu proses fotosintesis oleh fitoplankton

(Abida 2010).

Ekosistem lamun Desa Pengudang juga demikian, lamun yang cukup rapat pada stasiun 4 ini

dapat memanfaatkan unsur hara yang ada untuk melakukan fotosintesis. Selain lamun itu sendiri,

yang berperan sebagai autotrof pada ekosistem lamun adalah perifiton dan fitoplankton.

Pemanfaatan unsur hara yang baik dapat menyeimbangkan kandungan unsur hara yang banyak

dari air limpasan (run off). Bukaan muara Sungai Pengudang yang hampir mencapai eutrofik ini,

yaitu dengan nilai TRIX 4,97 dikarenakan pada daerah ini terdapat ekosistem mangrove yang

cukup rapat dan perairan yang cukup dangkal. Namun demikian, daerah ini masih dapat

dikatakan seimbang antara pemasukan unsur hara ke badan perairan dan pemanfaatan unsur hara

yang ada oleh autotrof.

Sementara itu, tingkat kesuburan perairan yang tinggi (eutrofik) terdapat pada stasiun 3, dan 5

dengan nilai TRIX berturut-turut 5,32 dan 5,27. Nilai indeks TRIX pada laut yang tidak

terdapat ekosistem, dan zona intertidal pesisir pantai Desa Pengudang ini disebabkan adanya

masukan unsur hara dari ekosistem mangrove dan laut terbuka melalui fenomena pasang surut

air laut (Lampiran 10). Selain itu, pada kedua stasiun ini unsur hara yang cukup tinggi tidak

dimanfaatkan secara optimal di perairan tersebut. Sedangkan pada ekosistem mangrove dan

lamun siklus unsur hara (terutama nitrogen anorganik dan fosfat) bisa terjadi secara sempurna.

Hal ini terlihat dari ekosistem mangrove dan lamun yang rapat, serasah yang tinggi dan berbagai

hewan bentik yang berada pada substrat, akan menjadi faktor pendukung siklus tersebut.

Sehingga, unsur hara yang ada termanfaatkan secara alami dan optimal, baik pada permukaan

perairan oleh fitoplakton, maupun pada dasar perairan oleh bakteri dekomposer.

Berdasarkan penggolongan rentang nilai TRIX oleh Alves et al (2013), tingkat kesuburan

dengan kategori eutrofik memiliki kualitas air yang buruk. Kondisi kualitas air yang buruk pada

laut terbuka tidak bisa dipastikan karena aktivitas manusia maupun pemukiman. Namun, kondisi

seperti ini dapat terjadi dikarenakan keadaan yang dinamis pada wilayah laut terbuka yang

dipengaruhi oleh arus, arah angin, dan pergerakan masa air.

Aspek Pengelolaan Perairan Desa Pengudang Berdasarkan Tingkat Kesuburan

Pengelolaan terhadap tingkat kesuburan perairan Desa Pengudang sangat perlu dilakukan

demi menjaga dan mempertahankan kondisi perairan agar tetap mendukung aktivitas ekosistem

yang ada. Berikut bentuk-bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap masing-masing

stasiun penelitian yang telah dilakukan.

Pengelolaan pada Perairan Mesotrofik

Stasiun 1, 4, dan 5 pada penelitian ini adalah daerah ekosistem mangrove Sungai Pengudang,

lamun dan bukaan muara Sungai Sumpat. Daerah ini memiliki tingkat kesuburan mesotrofik

10

(sedang). Kondisi mesotrofik menunjukkan kualitas air yang baik (Alves at al. 2013). Oleh

karena itu, kondisi ini perlu dipertahankan, karena dapat mendukung nilai guna perairan, baik

sebagai habitat biota (nilai ekologi) maupun meningkatkan sektor perikanan tangkap (nilai

ekonomi).

Adapun usaha yang dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk menjaga tingkat kesuburan

perairan pada stasiun ini adalah dengan tidak membuang limbah organik ke perairan. Sementara

itu, pemerintah juga perlu mengadakan sosialisasi terhadap pengelolaan sampah dan

mengadakan fasilitas tempat pembuangan sampah yang mendukung. Salah satu bentuk

pengelolaan limbah ini adalah dengan memisahkan sampah organik dan non-organik serta

mendaur ulang limbah yang masih bisa dimanfaatkan.

Pengelolaan pada Perairan Eutrofik

Stasiun 2 dan 3 merupakan daerah bukaan muara Sungai Pengudang dan laut terbuka yang

memiliki tingkat kesuburan tinggi (eutrofik). Kondisi perairan ini perlu segera ditangani agar

tidak terjadi fenomena-fenomena eutrofikasi yang dapat merusak lingkungan perairan dan

menurunkan nilai guna perairan tersebut. Walaupun secara alamiah perairan ini akan mereduksi

kandungan unsur hara yang ada melalui pasang surut, namun tetap perlu didukung oleh aktivitas

manusia yang tidak menambah beban masukan ke perairan. Adapun langkah yang dapat

dilakukan oleh masyarakat sekitar adalah tidak membuang limbah organik ke perairan terutama

pada muara sungai. Selain itu, pihak pemerintah perlu melakukan sosialisasi terhadap bahaya

dan gejala eutrofikasi kepada masyarakat Desa Pengudang.

KESIMPULAN

Berdasarakan hasil penelitian yang telah didapatkan, dapat disimpulkan bahwa kondisi tingkat

kesuburan perairan Desa Pengudang tergolong sedang (mesotrofik) dan tinggi (eutrofik). Adapun

Tingkat kesuburan perairan dari masing-masing stasiun adalah sebagai berikut:

a. Stasiun 1 (ekosistem mangrove muara Sungai Pengudang) tergolong mesotrofik,

b. Stasiun 2 (bukaan muara Sungai Pengudang) tergolong mesotrofik dengan,

c. Stasiun 3 merupakan laut terbuka Desa Pengudang memiliki tingkat kesuburan eutrofik,

d. Stasiun 4 (ekosistem lamun) Desa Pengudang memiliki tingkat kesuburan perairan

mesotrofik,

e. Stasiun 5 (zona intertidal pesisir pantai dan berada di depan bukaan muara Sungai Sumpat)

memiliki tingkat kesuburan eutrofik.

DAFTAR PUSTAKA

Abida, I.W. 2010. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton di Perairan Muara Sungai

Porong Sidoarjo. Jurnal Kelautan. 3(1): 36-40.

Alves, G., Flores-montes, M., Gaspar, F., Gomes, J. 2013. Eutrophication and Water Quality in

A Tropical Brazilian Estuary. Journal of Coastal Research. 65: 7–12.

Ærtebjerg, G., Carstensen, J., Dahl, K., Hansen, J., Nygaard, K., Rygg, B., Sørensen, K.,

Severinsen, G., Casartelli, S., Schrimpf, W., Schiller, C., Druon, J.N. 2001. Eutrophication in

Europe’s coastal waters. European Environmental Agency. Copenhagen, DK. 86 p.

Arizuna, M., Suprapto, D., Muskananfola, M.R. 2014. Kandungan Nitrat dan Fosfat dalam Air

Pori Sedimen di Sungai dan Muara Sungai Wedung Demak. Journal of Maquares. 3(1): 7-16.

11

Asriyana, Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. Jakarta : Bumi Aksara.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.

Yogyakarta: Kanisius

Environmental Protection Agency. 2002. Mid Atlantic Integrated Assessment (MAIA) Estuaries

1997-98. [Summary Report]. United State. 124 p.

Hartanto, B. 2011. Pengelolaan Ekosistem di Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bahari

Jogja. 11(19): 1-14.

Hutomo, M. 2013. Padang Lamun dan Dugong di Bintan : Pembelajaran dari Riset Dasar ke

Pengelolaan di Pesisir Timur P. Bintan dalam Lokakarya Konservasi Dugong dan Lamun,

Bintan. TRISMADES.

Jumaidi, I. F., Syafruddin, N., Efriyeldi. 2015. Diversity Of Gastropods At Intertidal Zone of

Pengudang Village Bintan Aistrict. Jurnal Online Mahasiswa Bidang Perikanan dan Ilmu

Kelautan. 2(2): 1-10.

Kaswadji, R. F., Widjaja, F., Wrdiatno, Y. 1993. Produktivitas Primer dan Laju Pertumbuhan

Fitoplankton di Perairan Pantai Bekasi. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia.

1(2): 1-5.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu

Air Laut Untuk Biota Laut.

Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat, A., Pranowo, W.S. 2014. Kualitas perairan

Natuna pada musim transisi. Depik. 3(1): 10-20.

Nursiah. 2016. Kondisi Umum Komunitas Plankton Diperairan Estuari Desa Pengudang,

Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. [Laporan Praktik

Lapangan]. Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas

Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

Rositasari, R. Rahayu, S. K. 1994, Sifat-Sifat Estuari Dan Pengelolaannya. Oseana. 19(3): 21-31.

Sea-Bird Electronics. 2011. SBE 43 Dissolved Oxygen Sensor – Background Information,

Deployment Recommendations, and Cleaning and Storage. USA.

Seprianti, R., Karlina, I., Irawan, H. 2017. Laju Pertumbuhan Jenis Lamun Thalassia hemprichii

dengan Teknik Transplantasi Sprig Anchor dan Polybag pada Jumlah Tegakan yang Berbeda

dalam Rimpang di Perairan Kabupaten Bintan. Jurnal Intek Akuakultur. 1(1): 56-70.

Vollenweider R.A., Giovanardi F., Montanari, G., Rinaldi A. 1998. Characterization of The

Trophic Conditions of Marine Coastal Waters With Special Reference to The Nw Adriatic

Sea: Proposal for a Trophicscale, Turbidity and Generalized Water Quality Index.

Environmetrics. 9: 329-357.

12

Wantasen, A.S. 2013. Kondisi Kualitas Perairan dan Substrat Dasar Sebagai Faktor Pendukung

Aktivitas Pertumbuhan Mangrove di Pantai Pesisir Desa Basaan I, Kabupaten Minahasa

Tenggara. Jurnal Ilmiah Platax. 1(4): 204-209.