imunisasi.doc
DESCRIPTION
IMUNISASI.docTRANSCRIPT
IMUNISASI
Dasar-dasar imunisasi
Pendahuluan
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas
utama. Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif
dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan
hal mutlak yang perlu diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk
mencegah penyakit berbahaya, yang dapat menimbulkan kematian pada bayi.
Penurunan insiden penyakit menular telah terjadi berpuluh-puluh tahun yang
lampau di negara-negara maju yang telah melakukan imunisasi dengan teratur
dengan cakupan yang luas.
Untuk dapat melakukan pelayanan imunisasi yang baik dan benar
diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang vaksin ( vaksinologi ), ilmu
kekebalan ( imunologi ) dan cara atau prosedur pemberian vaksin yang benar.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya
karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi
penyebaran infeksi. Banyak penyakit menular yang bisa menyebabkan gangguan
serius pada perkembangan fisik dan mental anak. Imunisasi bisa melindungi anak-
anak dari penyakit melaui vaksinasi yang bisa berupa suntikan atau melalui mulut.
Imunisasi Upaya Pencegahan Primer
Angka kematian bayi ( AKB ) dalam dua dasawarsa terakhir ini
menunjukkan penurunan yang bermakna, yaitu apabila pada tahun 1971 masih
sebesar 142 dan menjadi 112 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1980
( memerlukan 10 tahun ). Pada tahun 1985 ke tahun 1990 ( hanya lima tahun )
dari 71 menjadi 54 per 1000 kelahiran hidup. Penurunan tersebut diikuti dengan
menurunnya angka kematian BALITA atau AKABA menjadi 56 per 1000
kelahiran hidup. Keberhasilan tersebut adalah hasil teknologi tepat guna yang
dilaksanakan di seluruh Indonesia sejak tahun 1977 dengan menggunakan kartu
menuju sehat ( KMS ) dalam memantau tumbuh kembang anak, pemakaian cairan
oralit pada anak yang menderita diare, meningkatkan pemberian ASI secara
1
eksklusif kepada bayinya dan imunisasi sesuai Program Pembangunan Imunisasi (
PPI ). Yaitu BCG, Polio, DPT, hepatitis B dan campak. Pada tahun 1990
Indonesia telah mencapai lebih dari 90% cakupan vaksinasi dasar tersebut yang
dikenal sebagai Universal Child Immunization ( UCI ). Ditambah lagi dengan
gerakan PIN ( Pekan Imunisasi Nasional ) terhadap penyakit polio pada tahun
1995-1996-1997-2002 secara berturut-turut dan serentak di seluruh tanah air yang
kemudian karena masih ada kejadian virus polio liar di regional WHO-SEARO.
Pin diulang kembali pada tahun 2002. Pada kesempatan PIN diberikan juga
vaksinasi tetanus dan campak dengan harapan dapat mengurangi kesakitan dan
kematian karena kedua penyakit tersebut.
Seiring dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian anak pada
umumnya maka kualitas hidup bangsa angka meningkat pula. Hasil penelitian di
dunia mengatakan bahwa angka kelahiran dan usia harapan hidup di suatu negara
berkaitan, yaitu bahwa makin rendah angka kelahiran makin tinggi usia harapan
hidup. Untuk itu pencegahan terhadap penyakit infeksi merupakan upaya yang
menentukan situasi tersebut dan mutlak harus dilakukan pada anak sedini
mungkin guna dapat mempertahankan kualitas hidup yang prima dalam perjalanan
hidupnya .
Vaksinasi atau lazim dipakai dengan istilah imunisasi merupakan suatu
teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang oleh Katz ( 1999 )
dikatakan sebagai “ sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik yang pernah dapat
diberikan oleh para ilmuwan di dunia ini “. Satu upaya kesehatan yang paling
efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Kekebalan atau
imunitas tubuh terhadap ancaman penyakit dari lingkungannya adalah tujuan
utama dari pemberian vaksinasi. Imunitas tersebut sebenarnya dapat diperoleh
secara alamiah yaitu terjangkit suatu penyakit dan menjadi imun maupun secara
aktif dibuat oleh manusia. Pada hakekatnya pada kedua cara mendapatkan
imunitas tubuh dapat diperoleh dengan cara pasif maupun aktif. Dikatakan pasif
karena tidak menyangkut sama sekali sistem imun tubuh sendiri dan hanya
menerima secara pasif antibodi ke dalam tubuhnya, yaitu dapat terjadi melalui
plasenta ke janin dari ibu kandungnya maupun dengan memberikan antibodi
melalui suntikan ke dalam tubuh anak. Pemberian antigen dengan sengaja
sehingga tubuh manusia kemudian memberikan respon imun adalah prinsip dari
vaksinasi.
2
Imunisasi dan Vaksinasi
Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif,
sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin ( antigen )
yang dapat merangsang pembentukan imunitas ( antibodi ) dari sistem imun di
dalam tubuh.
Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk,
yaitu imunoglobulin yang non-spesifik atau disebut juga gamaglobulin dan
imunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh
atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu. Imunuglobulin non-
spesifik digunakan pada anak dengan defisiensi imunoglobulin sehingga
memberikan perlindungan dengan segera dan cepat yang seringkali dapat
terhindar dari kematian. Hanya saja perlindungan tersebut tidaklah permanen
melainkan hanya berlangsung beberapa minggu saja. Selain itu cara tersebut juga
mahal dan memungkinkan anak justru menjadi sakit karena secara kebetulan atau
karena suatu kecelakaan serum yang diberikan tidak bersih dan masih
mengandung kuman yang aktif. Sedangkan imunoglobulin yang spesifik diberikan
pada anak yang belum terlindungi karena belum pernah mendapatkan vaksinasi
dan kemudian terserang misalnya difteria, tetanus, hepatitis A dan B.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan
paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan
telah dibuat demikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun
memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel memori. Cara ini menirukan
infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup memberikan
kekebalan. Tujuannya adalah memberikan “ infeksi ringan “ yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit
yang sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh
dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk
tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan :
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh
lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara almiah.
3
Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua
jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif
adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu
sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu atau
kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan
pasif tidak berlangsung lama karena akan langsung dimetabolisme oleh tubuh.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan
pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif
biasanya berlangsung lebih lama karena adanya memori imunologi.
TUJUAN IMUNISASI adalah untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada
seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat
( populasi ) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada
imunisasi cacar.
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang
kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua
macam pertahanan tubuh yaitu : 1) mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut
juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak ditujukan hanya untuk satu
macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2) mekanisme pertahanan
tubuh spesifik atau komponen adptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen,
terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen
berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan
antigen pertama kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi
mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang
pertama kali dikenal oleh sistem imun akan dipresentasikan oleh sel makrofag
( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD ( T dependent )
sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas
humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh
antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut
imunoglobulin ( Ig ) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu yang
lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas selular hanya dapat
4
dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi
oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.
Proses imun terdiri dari dua fase :
Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen
( APC = antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor
Keberhasilan Imunisasi
Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik
pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa
fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi
campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan
membeikan hasil yang kurang memuaskan. Demikian pula air susu ibu ( ASI )
yang mengandung IgA sekretori ( sIgA ) terhadap virus polio dapat
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun
pada umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada
waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-
Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak
ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat
pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa pemberian
kolostrum ( kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI
( kolostrum ) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi
neonatus fungsi makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap
antigen tertentu masih kurang. Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus
akan memberikan hasil yang kurang dibandingkan pada anak. Maka, apabila
imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan, jangan lupa memberikan
imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat
imunosupresan, menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit
yang menimbulkan defisiensi imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga
5
akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun
merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup karena dapat menimbulkan
penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada individu yang
menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan
mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti
makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral
spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin normal atau bahkan meninggi,
imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat antigen dengan baik karena
terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar
komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik.
Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup,
dan rendah terhadap antigen tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah
terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap antigen lain dapat lebih tinggi. Karena
itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa
sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung
sifat antigenisitas. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat
menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti cara pemberian, dosis, frekuensi
pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul.
Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping
sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan memberikan imunitas
sistemik saja.
Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons
imun yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun
yang diharapkan. Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel
imunokompeten.Dosis yang tepat dapat diketahui dari hasil uji klinis,
karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis yang direkomendasikan.
Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi.
Disamping frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons
6
imun yang terjadi. Bila pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, maka antigen yang masuk segera
dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi tersebut sehingga
tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi apa
yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah
suntikan antigen akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal
sehingga terjadi peradangan lokal. Karena itu pemberian ulang ( booster )
sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji klinis.
Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons
imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan
mempertahankan antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan
mengaktivasi APC ( antigen presenting cells ) untuk memproses antigen
secara efektif dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel
imunokompeten lainnya.
Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik
dibanding vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated )
atau bagian ( komponen ) dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh
dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah untuk menghasilkan
organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang sangat ringan.
Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob,
atau menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin
BCG yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai
mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk manusia
avirulen, misalnya virus cacar sapi.
Persyaratan vaksin
1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan
memproduksi interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk
mengatasi variasi respons imun yang ada dalam populasi karena adanya
polimorfisme MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular
dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat
7
merangsang sel B sewaktu-waktu menjadi sel plasma yang membentuk
antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus
hidup.
Jenis Vaksin
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau
bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih
memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan
menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit.
Virus atau bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya
dengan cara pembiakan berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai
sampai sekarang, diisolasi untuk mengubah virus liar campak menjadi virus
vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan penanaman pada jaringan
media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita penyakit campak
pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh
( antibodi yang beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama
dengan yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak
membedakan antara suatu infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan
dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi
bentuk patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio
hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan
8
tidak adanya respons ( non response ). Vaksin campak merupakan
mikroorganisme yang paling sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam
tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila
kena panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan
dengan baik dan hati-hati.
Vaksin hidup attenuated yang tersedia
Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela,
polio, rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).
Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.
Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus
dalam media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif
dengan penambahan bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh
dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan
penyakit ( walaupun pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat
mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Antigen inactivated tidak
dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin inactivated dapat
diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada
dosis pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu
atau menyiapkan sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah
dosis kedua atau ketiga. Hal ini berbeda dengan vaksin hidup, yang
mempunyai respons imun yang mirip atau sama dengan infeksi alami,
respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral, hanya
sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap
antigen inactivated menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin
bakterial seluruh sel bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling
banyak reaksi ikutan atau efek samping. Ini disebabkan respons terhadap
9
komponen-komponen sel yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).
Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :
Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies,
hepatitis A.
Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza,
pertusis a-seluler, tifoid Vi, lyme disease.
Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan
haemophilus influenzae tipe b.
Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan
pneumokokus ).
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai
berikut :
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila
tidak divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan
dan jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab
dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up
vaccination ) bila diperlukan.
10
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi bayi/anak penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau
pengasuh apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang
biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan
klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan
vaksinasi untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT,
Hib, hepatitis B, dan hepatitis A ) menjadi tidak aktif bila beku
Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 450-600 ke dalam otot vastus
lateralis atau otot deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke
arah lutut sedangkan untuk suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak.
Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan
pada sudut 900.
Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi dan anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian tengah yang merupakan bagian yang paling
tebal dan padat. Regio deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak yang
lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12
bulan adalah :
Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
11
Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila
disuntikkan di daerah gluteal
Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat
suntikan yang menahun.
Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.
Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi
Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan
memberitahukan secara lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang
berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko kejadian ikutan pasca imunisasi
tersebut di bawah ini :
Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat
( memerlukan pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).
Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya
neomisin ).
Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.
12
Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun
( leukimia, kanker, HIV/AIDS ).
Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).
Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup
( vaksin campak, poliomielitis, rubela ).
Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
Menderita penyakit susunan syaraf pusat
Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi
Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti
kartu imunisasi yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter
atau tenaga paramedis yang memberikan imunisasi harus mencatat semua data-
data yang relevan pada kartu imunisasi tersebut. Orangtua/pengasuh yang
membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk imunisasi diharapkan
senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI=adverse events associated with
vaccines,adverse events following immunization) didefinisikan sebagai semua
kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang
(adverse effects), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung
vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologis, efek
samping (side effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idiosinkrasi, dan reaksi
alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan. Reaksi alergi dapat terjadi
13
terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning),
antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung
dalam vaksin.
Faktor penyebab
Pokja KIPI Depkes RI membagi penyebab kejadian ikutan pasca imunisasi
menjadi 4 kelompok, yaitu karena kesalahan program/teknik pelaksanaan
imunisasi, induksi vaksin, faktor kebetulan, dan penyebab tidak atau belum
diketahui.
Klasifikasi Lapangan
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO
Western Pasific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :
1. Kesalahan program
2. Reaksi suntikan
3. Reaksi vaksin
4. Koinsiden, dan
5. Sebab tidak diketahui
Kesalahan program/teknik pelaksanaan imunisasi (programmatic errors)
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut misalnya
dapat terjadi pada :
dosis antigen (terlalu banyak)
lokasi dan cara menyuntik
sterilisasi semprit dan jarum suntik
jarum bekas pakai
tindakan a dan antiseptik
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
penyimpanan vaksin
pemakaian sisa vaksin
jenis dan jumlah pelarut vaksin
tidak memperhatikan petunjuk prosedur (petunjuk pemakaian, indikasi
kontra)
14
Induksi Vaksin (vaccine induced)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin, dan secara
klinis biasanya ringan.Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat
seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini
sudah teridentifikasi dengna baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian
tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian
khusus,atau berbagai tindakan dan perhatian lainya termasuk kemungkinan
interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan
ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi. Sbagai acuan dan perbandingan
dapat dipakai rekomendasi dari Advisory Committee on Immunization Practices
dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics.
Faktor kebetulan (coincidental)
Seperti telah disebutkan di atas, maka kejadian yang timbul ini terjadi
secra kebetulan saja setelah imunisasi. Indikator kebetulan ini ditandai dengan
ditemukannya kejadian yang sama pada kelompok populasi setempat dengan
karakteristik serupa yangtidak mendapat imunisasi pada saat bersamaan.
Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokan ke
dalam salah satu penyebab lain maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini. Tetapi biasannya dengan kelengkapan informasi lebih lanjut maka
akan dapat ditentukan masih dalam kelompok mana yang sesuai.
Pemberian Parasetamol sebelum dan sesudah imunisasi
Kepada orangtua atau pengantar diberitahukan bahwa 30 menit sebelum
imunisasi DPT/DT. MMR, Hib, hepatitis B dianjurkan memberikan parasetamol
15 mg/kgbb kepada bayi/anak untuk mengurangi ketidaknyamanan pasca
vaksinasi. Kemudian dilanjutkan setiap 3-4 jam sesuai kebutuhan, maksimal 6 kali
dalam 24 jam. Jika keluhan masih berlanjut, diminta segera kembali kepada
dokter.
Reaksi KIPI
Orangtua atau pengantar perlu diberitahu bahwa setelah imunisasi
dapat timbul reaksi lokal di tempat penyuntikan atau reaksi umum berupa keluhan
15
dan gejala tertentu, tergantung pada jenis vaksinnya. Reaksi tersebut umumnya
ringan, mudah diatasi oleh orangtua atau pengasuh, dan akan hilang dalam 1-2
hari. Di tempat suntikan kadang- kadang timbul kemerahan, pembengkakan, gatal,
nyeri selama 1-2 hari. Kompres hangat dapat mengurangi kedaan tersebut.
Kadang-kadang teraba benjolan kecil yang agak keras selama beberapa minggu
atau lebih, tetapi umumnya tidak perlu dilakukan tindakan apapun
JADWAL IMUNISASI REKOMENDASI IDAI
Jadwal Imunisasi IDAI secara berkala akan dievaluasi untuk
penyempumaan, berdasarkan pada hasil penelitian mengenai perubahan pola
penyakit, kebijakan Depkes/WHO, kebijakan global, dan pengadaan vaksin di
Indonesia.
Jadwal imunisasi tahun 2004 berbeda dengan jadwal vaksin terdahulu pada
interval DTP-l, 2, 3 dan polio l, 2, 3 serta interval hepatitis B ke-2 dan ke-3.
Perubahan ini dilakukan berdasarkan bukti bahwa pada interval pemberian
vaksin yang diperbaharui tersebut menghasilkan imunogenisitas yang
maksimal.
Jadwal baru ini mempermudah pada pemberian vaksin kombinasi, khususnya
vaksin kombinasi DTP dengan Hib (DTP/Hib).
Jadwal imunisasi Program Nasional Depkes tetap dapat dipergunakan bersama
jadwal imunisasi IDAI.
Imunisasi yang diwajibkan (PPI)
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP, dan
campak.
BCG(Bacillus Calmette Guerine)
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
16
Gambar
Vaksin BCG & pelarut
tuberkulosis.
Kontra indikasi:
Adanya penyakit kulit yang berat/menahun
seperti: eksin, furunkulosis dan sebagainya.
Mereka yang sedang menderita TBC.
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1.Reaksi normal lokal
– 2 minggu :indurasi, eritema kemudian menjadi pustula
– 3 - 4 minggu :pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu
pengobatan)
– 8 - 12 minggu :ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm
2.Reaksi pada kelenjar
– Merupakan respon selular pertahanan tubuh
– Kadang terjadidi kel.axilla dan supraklavikula
– Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
– Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)
– Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan
Komplikasi
1. Abses ditempat suntikan
– Abses bersifat tenang (cold abses) sehingga tidak perlu terapi
– Abses matang aspirasi
2. Limfadenitis Supurativa
– Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi
– Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi
– Bila telah matang di aspirasi
– Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan
Reaksi pada yang pernah tertular TBC:
• Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari sesudah
imunisasi),4 - 6 minggu timbul scar.
Imunisasi bayi > 2 bulan, dilakukan tes Tuberkulin (Mantoux):
17
• Untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan kuman TBC
• Menyuntikkan 0,1 ml PPD didaerah flexor lengan bawah secara intrakutan
• Pembacaan dilakukan setelah 48 - 72 jam penyuntikan
• Diukur besarnya diameter indurasi ditempat suntikan
• < 5 mm :negatif
• 6 - 9 mm :meragukan
• > 10 mm :positif
• Test Mantoux (-) : Imunisasi
(+) :pemeriksaan TBC
• Meragukan: Ulang 2 minggu
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG,
pada umur 0-l2 bulan, tetap disetujui.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M.deltoidus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak
di tempat lain (bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah
deltoid lebih mudah dilakukan (tidak tepat lemak subkutis yang tebal), ulkus
yang terbentuk tidak membantu struktur otot setempat (dibandingkan
pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku
untuk keperluan diagnosis apabi!a diperlukan.
Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena menfaatnya diragukan
mengingat (1) efektivitas perlindungan hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus
Tuberkulosis berat (meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus
dewasa dengan BTA (bakteri tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi
(23-36%) walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak.
Saat ini sedang dikembangkan vaksin BCG baru yang lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan pada pasien
munokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau
pada infeksi HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu.
18
Hepatitis B
Program vaksin hepatitis B (hepB) segera setelah lahir perlu lebih
digalakkan, mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.
Diskripsi:
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus yang telah
diinaktivasikan dan bersifat non-infecious, berasal
dari HbsAG yang dihasilkan dalam sel ragi
(Hansenula polymorpha) menggunakan teknologi
DNA rekombinan. (Vademecum Bio Forma Jan
2002)
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus
hepatitis B.
Kontra indikasi:
Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain,
vaksin ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat
Efek Samping
19
Gambar
Kemasan VaksinHep B
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar tempat
penyuntikan. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2
hari.
Jadwal imunisasi hepatitis B
Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir,
mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis
dengan resiko transmisi maternal kurang lebih sebesar 45%.
Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat
bayi berumur 1 bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal interval
hepB-2 dan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hepB-3
diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2 yaitu pada umur 3-6 bulan.
Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status
HbsAG positif yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, ibu
HbsAG positif atau ibu HbsAG negatif.
Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin
hepB-1 monoivalen (uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan.
Hepatitis B saat bayi lahir
Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui,
hepB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan
pada umur 1 dan atara umur 3-6 bulan. Apabila semula status HbaAG ibu
tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa
ibu HbsAG positif maka dapat diberikan HBIg (hepatitis B
imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam
waktu 24-48 jam setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I diberikan
juga HBIg 0,5 ml.
Ulangan vaksinasi hepatitis B
Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan
Taiwan terhadap anak dari ibu pengidap hepatitis B yang telah
memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa bayi. Pada umur 5 tahun,
sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti HBs yang
protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis
B di Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat
20
disimpulkan bahwa imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak
diperlukan. Idealnya, pada usia ini dilakukan pemeriksaan anti HBs.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah
memperoleh imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan (catch-up
vaccination).
Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12
tahun. apabila titer pencegahan tercapai (catch-upimmunization).2,6,10,15,20
DTwP dan DTaP
Diskripsi:
Vaksin jerap DPT (DifteriPertusis Tetanus) adalah
vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus
yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah
diinaktivasi.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan
tetanus.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu
agar suspensi menjadi homogen.
Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml
sebanyak 3 dosis.
Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis
selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).
Kontra indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang
21
Gambar
Vaksin DPT
mengalami gejala-gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus
dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat
diberikan DT.
Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan, pada
tempat penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi,
iritabilitas, dan merancau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.
Jadwal Imunisasi
Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
(DTwP atau DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan
interval 4-6 minggu, DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur 2 bulan,
DTwP atau DTaP-2 pada umur 3 bulan dan DTwP atau DTaP-3 pada umur
4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau DTaP-4) diberikan satu tahun
setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTwP atau
DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Vaksinasi ulangan
Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin dengan
komponen partusis (DTwP atau DTaP), mengingat kejadian pertusis pada
dewasa muda penularan pada bayi dan anak.
Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah.
Ulangan DT-6 diberikan pada usia 12 tahun, mengingat masih dijumpai
kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose),
tetapi di Indonesia dT tidak ada di pasaran.
Dosis Vaksinasi DTP
DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk
imunisasi dasar maupun ulangan.2,3,5, 10,13,20
Tetanus
Diskripsi:
Vaksin jerap TT (TetanusToksoid) adalah vaksin
yang mengandung toxoid tetanus yang telah
dimurnikan dan teradsorbsi kedalam 3 mg/ml
aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml digunakan
22
Gambar
Vaksin TT
sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin
mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi
yang baru lahir dengan mengimunisasi WUS
(Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga untuk
pencegahan tetanus pada ibu bayi.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum digunakan vaksin harus dikocok
terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogen.
Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal
terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara intra muskular atau
subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu.
Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk
mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka
dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis keempat dan kelima diberikan dengan
interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat.
Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan
pada periode trimester pertama.
Kontra indikasi:
Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT.
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas, dan
kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang
gejala demam.
Jadwal Imunisasi
Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi difteria dalam vaksin
DTwP atau DTaP
Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.
Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin
tetanus toksoid sebanyak 5 kali untuk memberikan perlindungan seumur
hidup. Dengan demikian, pada saat wanita usia subur telah mendapat
23
perlindungan untuk beyi yang akan dilahirkan terhadap bahaya tetanus
neonatorum. Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai
berikut:
- Imunisasi DTwP atau DTaP pada bayi 3 kali (3 dosis) akan
memberikan imunitas selama 1-3 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus
pada bayi tersebut, diperkirakan setara dengan 2 dosis toksoid pada
anak yang lebih besar atau dewasa.
- Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang
imunitas 5 tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur
dewasa dihitung setara dengan 3 dosis toksoid.
- Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/DT 5) bila diberikan pada usia
masuk sekolah akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada
sampai umur dewasa dihitung setara 5 dosis toksoid.
- Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak
sekolah.
Dosis vaksin DTP dan TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara
intrmaskular.2,3,10
Polio
Diskripsi:
Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio
Trivalent yang terdiri dari suspensi virus
poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain Sabin) yang
sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan jaringan
ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
(Vademecum Bio Forma Jan 2002)
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
poliomielitis.
Cara pemberian dan dosis:
Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis
adalah 2 (dua) tetes sebanyak 4 kali (dosis)
pemberian, dengan interval setiap dosis minimal
4 minggu.
Setiap membuka vial baru harus menggunakan
penetes (dopper) yang baru.
24
Gambar
Vaksin Polio
(OPV)
(IPV)
Kontra indikasi:
Pada individu yang menderita “immune deficiency” tidak ada efek yang
berbahaya yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit.
Namun jika ada keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan
dapat diberikan setelah sembuh.
Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralis yang
disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.
Pada saat ini telah beredar di Indonesia IPV (Inactivated Polio Vaccine)
disamping OPV (Oral Polio Vaccine) yang telah kita kenal selama ini. Vaksin
IPV berisi antigen polio (polio 1,2, dan 3) yang telah mati, sedangkan OPV berisi
virus polio hidup. Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian.
Vaksin IPV dapat diberikan pada anak sehat, maupun yang menderita
imunokompromais. Dapat pula diberikan dalam waktu bersamaan dengan vaksin
DTP.
Jadwal
- Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah
endemik polio maka sesuai pedoman program imunisasi nasional
untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang lebih tinggi diperlukan
tambahan imunisasi polio yang diberikan setelah lahir. Mengingat
OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat bayi
meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin agar tidak mencemari bayi
lain karena virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk
keperluan ini , IPV dapat menjadi alternatif.
- Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya tidak
kurang dari 4 minggu.
- Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5 ml,
intramuskular.
- Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).2,9,19,20
Campak
Diskripsi:
25
Gambar
Vaksin Campakdan Pelarut
Vaksin campak merupakan vaksin virus yang
dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml) mengandung
tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain
CAM 70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu
kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit
campak.
Cara pemberian dan dosis:
Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih
dahulu harus dilarutkan dengan pelarut steril
yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan
pelarut.
Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara
subkutan pada lengan kiri atas, pada usia 9-11
bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7
tahun (kelas 1 SD) setelah catch-up campaign
campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1 – 6.
Kontra indikasi:
Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu yang
diduga menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.
Efek Samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan
selama 3 hari yang dapat terjadi 8 – 12 hari setelah vaksinasi.
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara
subkutan, pada umur 9 bulan.
Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi
campak pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50%
diantaranya yang masih mempunyai antibodi campak diatas ambang
pencegahan. Sedangkan 28,3% diantara kelompok usia 5-7 tahun pernah
menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat bayi. Berdasarkan hal
tersebut dianjurkan pemberian imunisasi campak ulang pada saat masuk
26
sekolah dasar (5-6 tahun). Namun apabila telah mendapat vaksinasi MMR
pada usia 15-18 bulan, ulangan campak umur 5 tidak diperlukan.
Imunisasi yang di anjurkan
Imunisasi yang dianjurkan kepada bayi/anak namun belum masuk ke
dalam program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, tifoid, hepatitis A, varisela
dan influenza. 1,2,9,10,20
MMR
Virus campak Schwarz hidup dilemahkan dlm embrio ayam
Virus gondong Urabe dibiak dalam telur ayam
Virus rubela Wistar dibiak pada sel deploid manusia
Simpan 2 - 8º C,
Kontra indikasi
imunodepresi, alergi telur, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah (tunda
6 – 12 minggu), alergi neomisin, kanamisin.
Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5
ml, secara subkutan.
MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan
imunisasi lainnya.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18
bulan imunisasi campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun. 1,2,9,10,20
Haemophilus Influenza tipe b (Hib)
27
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:
PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)
Jadwal imunisasi
- Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.
- Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6
bulan) tidak diperlukan.
- Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP atau
DTaP dalam bentuk vaksinasi kombinasi.
Dosis
- Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
- Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin
kombinasi berisi vaksin PRP-T) dalam kemasan Prefilled syringe 0,5
ml.
Ulangan
- Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18 bulan
- Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.
Deman Tifoid
28
Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik (polisakarida) dan
oral. Vaksin capsular Vi polysaccharide diberikan intramuskular atau
subkutan pada umur lebih dari 2 tahun, ulangan di lakukan setiap 3 tahun.
Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan
interval selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5
tahun. Vaksin oral pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung
ke daerah endemis tifoid. 1,2,9,10,20
Hepatitis A
Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under
exposure).
Jadwal imunisasi
- Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.
- Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang dari 12
bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih
dari 12 bulan, terutama untuk catch-up immunization yaitu mengejar
imunisasi hepB sebelumnya atau vaksin hepB yang tidak lengkap.
Dosis pemberian
29
- Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular
di daerah deltoid.
Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mgr dan hepA 720 ) dalam kemasan
prefilled syringe 0,5 ml intramuskular. 1,2,9,10,20
Varisela
Kesepakatan Satgas Imunisasi IDAI
- Efektif vaksin tidak diragukan lagi, namun cakupan imunisasi tinggi
oleh karena harganya masih mahal sehingga belum terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat, maka imunisasi rutin belum dapat
terlaksana.
- Pada cakupan yang rendah, dapat mengubah epidemiologi penyakit
dari masa anak ke dewasa (pubertas), sehingga akibatnya angka
kejadian varisela orang dewasa akan meningkat dibandingkan anak.
- Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih
berat daripada anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat
mengakibatkan bayi menderita sindrom varisela konginetal dengan
angka yang tinggi.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela diberikan
pada anak yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.
Jadwal imunisasi
- Untuk menghindarkan perubahan penyakit tersebut, pada saat ini
imunisasi varisela direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang
belum terpajan.
- Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi
dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak.
Dosis
- Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali.
30
Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8
minggu. 1,2,9,10,20
Vaksin kombinasi
Gambar :DPaT + Hib gambar: DPwT + Hib
(Infanrix-Hib ®,Tetract-Hib ®)
Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib
Infanrix-Hib : kombinasi DPaT+Hib
DPwT/DPaT : dalam vial
Hib dalam PFS (prefilled syringe)
Sebelum disuntikkan, dicampur dengan menyedot DPwT/DPaT ke dalam
PFS Hib
Kontra indikasi
Sama dengan komponen masing-masing vaksin.1,20
Vaksin Pneumokokus
Mencegah IPD (Invasive Pneumococcus Diseases)
Septikemia / bakteremia
Pneumonia
Meningitis
Mencegah Non IPD :
Otitis media
31
Sinusitis
Konjugasi antigen dengan protein difteria
T cell dependent cell memory (+)
kekebalan bertahan lama
Jadwal : 2, 4, 6, 12 -15 bulan. 1,20
RINGKASAN IMUNISASI BERDASARKAN UMUR PEMBERIAN
Saat lahir
Hepatitis B-1
Polio-O
HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada umur 1 dan 6 bulan, apabila status HbsAg-B bersamaan dengan vaksin HB-1. apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui bahwa ibu HsbAg positif maka masih dapat diberikan HB-lg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hariPolio-O diberikan saat kunjung pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan pada saat bayi dipulangkan (untuk menghindari btransmisi virus vaksin kepada bayi lain).
1 bulan
HepatitisB-2
HB-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1 bulan
0-2Bulan
BCG BCG dapat diberikan sejak lahir. apabila BCG akan diberikan pada umur>3 bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin lebih dulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2 bulan
DPT-1
Hib-1
Polio-1
DTP diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwP atau DTaP atau diberikan secara kombinasi.
Hib diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan Hib dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP.
Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-14
bulanDPT-2
Hib-2
Polio-2
DTP-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-2.Atau:Dikombinasikan dengan Hib-2.
Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-26
bulan
6 bulan
DTP 3Hib 3
Polio 3
HepatitisB-3
DTP 3 diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib 3 (PRP-T).Apabila mempergunakan Hib OMP,Hib 3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan. Polio 3 diberikan bersamaan dengan DTP 3.
HB-3 diberikan umur 3-6 bulan. Untuk mendapat respons imun optimal interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan
Campak Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan. Campak-2 pada SD kls 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapat MMR pada umur 15 bulan,
32
Campak-2 tidak perlu diberikan.15-18bulan
MMR
Hib-4
Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapat imunisasi campak, MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan.
Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).18
bulanDTP-4
Polio-4
DTP-4 (DTwP atau Dtap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3
Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-42
tahunHepatitis A Vaksin HepA direkomendasikan pada umur >2 tahun, diberikan dua
kali dengan interval 6-12 bulan.2-3
tahunTifoid Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur >2
tahun. Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
5 tahun
DTP-5
Polio-5
DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwP/DTaP)
Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-56
tahunMMR Diberikan untuk cath-up immunization pada anak yang belum
mendapat MMR-110
tahundT/TT
Varisela
Menjelang pubertas vaksin tetanus ke-5 (dT atau TT) diberikan untuk mendapat imunitas selama 25 tahunVaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.
JADWAL IMUNISASI TIDAK TERATUR
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan
jadwal yang sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk
melanjutkan imunisasi. Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi
hilang manfaatnya tetapi tetap sudah menghasilkan respons imunologi
sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai antibodi yang optimal.
Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang optimal karena
belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan
masih dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life
long immunity) sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita
harus menyelesaikan jadwal imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum
selesai.10,18,19
Tabel : Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur.2,7,9
BCG Umur <12 bulan, boleh diberikan kapan saja. Umur >12 bulan, imunisasi kapan saja namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0,1 ml intrakutan
DTwP atau DTaP
Bila dimulai dengan DTwp boleh dilanjutkan dengan DTaP. Berikan dT pada anak >7 tahun, jangan DTwP atau DTaP apabila vaksin tersedia. Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak waktu /interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya. Bila belum pernah imunisasi dasar usia <12 bulan, imunisasi diberikan sesuai imunitas dasar baik jumlah maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke-4, maka pemberian ke-5 secepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian
33
ke-5 tidak perlu lagiPolio oral Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal tetapi lanjutkan dan
lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak perduli berapapun jarak wawktu/interval keterlambatan dari pemberian sebelumnya.
Campak Umur antara 9-12 bulan, berikan kapan saja saat bertemuUmur anak 1 tahun/lebih, berikan MMR
MMR Bila sampai dengan umur 12 bulan belum dapat vaksin campak, MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun
Hepatitis B Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi lanjutkan dan lengakapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli berapapun jarak/interval dan pemberian sebelumnya. Anak dan remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi, bisa mendapatkan serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat berkunjung.
Hib Usia saat ini (bulan)6 – 11
12 – 14
12 – 14
15 – 59
Riwayat imunisasi
1 dosis
2 dosis sebelum umur 12 bulan
1 dosis sebelum umur 12 bulanJadwal tidak lengkap
Rekomendasi imunisasi
1x umur 6-11 bulanUlangan 1x setelah 2 bulanAtau 12-15 bulan
Berikan 1 dosis
Berikan 2 dosis interval 2 bulan
Berikan 1 dosis
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Damayanti dian. 2008. Imunisasi Non PPI. Jember: FK UNEJ
2. Departemen Kesehatan R.I. 2006. Modul Materi Dasar 1 Kebijakan
Program Imunisasi.Jakarta
3. Ganardi. 2000.Imunisasi. Jakarta: Media dika
4. http--vinadanvani_files_wordpress_com-alat_suntik_imunisasi_html
5. IDAI.2008.Tentang imunisasi.html
6. Nurida. 2008. Program Imunisasi di Puskesmas. Jember: RSUD Soebandi
7. Notoatmodjo. 2003Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.
Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta.
8. Pusponegoro.2004.Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
IDAI
9. Prasetyo R. 2008. Pedoman Imunisasi Puskesmas. Jember:FK UNEJ
10. Ranuh et al.2005. Pedoman Imunisasi di Indonesia edisi
kedua.Jakarta:IDAI
11. World Health Organization.2004.Imunization in Practice.Geneva,
Switzerland.
35