imunisasi di indonesia
DESCRIPTION
imunisasi di indonesia, jenis ,cara, efek samping dan jadwal pemberiannyaTRANSCRIPT
RESPONSI DOKTER MUDA
IMUNISASI PADA KASUS DIFTERI
Oleh:
Ivanna Alimsardjono 010810056
Amanda Cesariani P 010810060
Yusuf Rizal 010810061
Pembimbing:
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr.,Sp.A(K)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSU DR. SOETOMO SURABAYA
2012
0
DAFTAR ISI
Bab 1 Pendahuluan....................................................................................................................... 3
Bab 2 Tinjuan Pustaka................................................................................................................. 4
2.1 Definisi imunisasi......................................................................................................... 4
2.2 Tatacara imunisasi.......................................................................................………… 4
2.3 Jadwal imunisasi........................................................................................................... 5
2.4 Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI).......................................................... 6
2.5 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)...................................................................... 16
Bab 3 Kasus................................................................................................................................. 20
Bab 4 Pembahasan................................................................................................................. …. 26
Tinjauan Pustaka........................................................................................................................... 27
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama.
Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya
menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu
diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat
menimbulkan kematian pada bayi. Maka dari itu, imunisasi merupakan upaya pencegahan
primer yang sangat efektif untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi.
Contohnya adalah difteri. Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium Diphteriae yang menyerang sistem pernafasan bagian atas. Penyakit
ini mudah menular, dengan gejala demam ringan, sakit tekak, pembengkakan pada amandel
(tonsil) dan terlihat membran kelabu (pseudo membran) yang makin lama makin membesar
dan dapat menutup tonsil dan jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang
dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya melalui udara ( batuk / bersin ) selain itu
dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi. Difteri termasuk penyakit menular
yang kasusnya relatif rendah tetapi cenderung meningkat. Tinggi rendahnya kasus difteri
sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Di Kabupaten Jombang selama kurun waktu
2009 tidak ditemukan kasus difteri, tetapi pada tahun 2010 ditemukan 13 kasus dimana 11
penderita telah mendapatkan imunisasi dan 2 penderita tidak mendapatkan imunisasi. Dan
pada tahun 2011 ini terjadi 7 kasus difteri, yaitu 5 penderita laki‐laki dan 2 penderita
perempuan dan hanya terjadi di 6 wilayah Puskesmas se-Kabupaten Jombang. Yaitu Wilayah
Puskesmas jabon, Tambakrejo, Pulorejo, Megaluh, Bandar Kedungmulyo, dan Dukuh Klopo.
Dari penelitian tersebut dapat dilihat pentingnya imunisasi. Tujuan imunisasi adalah
membentuk kekebalan demi mencegah penyakit pada diri sendiri dan orang lain sehingga
kejadian penyakit menular menurun dan bahkan dapat menghilang dari muka bumi.
Kekebalan dapat disalurkan oleh ibu ke bayi yang dikandung tetapi tidak berlangsung lama,
maka kekebalan harus dibentuk melalui pemberian imunisasi pada bayi.
Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi
tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat penting
bagi profesional untuk melakukan imunisasi terhdap anak maupun orang dewasa. Dengan
demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam
menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak
akan sakit atau sakit ringan. Istilah imunisasi dan vaksinasi sering diartikan sama. Imunisasi
adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi
dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas
(antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh. (IDAI, 2008)
2.2 Tatacara imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut:
Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi
ikutan yang tidak diharapkan.
Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan dan jangan
lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau
pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.
Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa
tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang
menunjukkan adanya kerusakan.
Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin
lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan.
Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum
suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.
Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :
Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus
dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.
Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang
Pemberantasan Penyakit Menular.
3
Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk
mengejar ketinggalan, bila diperlukan. (IDAI, 2008)
2.3 Jadwal imunisasi
Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus
diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain
tergantung kepada lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya. Berikut ini adalah
jadwal imunisasi anak sesuai jadwal imunisasi nasional dari Depkes.
(WHO, 2005)
2.4 Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI)
Vaksin BCG
BCG adalah vaksin hidup yang dibuat dari mycobacterium bovis yang dibiakkan secara
berulang selama 13 tahun (basil tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas). Indikasi
yaitu untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) dimana vaksin
BCG tidak mencegah infeksi TBC tetapi mengurangi resiko TBC berat seperti meningitis,
TBC tulang. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Cara pemberian dan dosis
vaksin yaitu vaksin dilarutkan dulu dengan 4 cc pelarut, vaksin yang dilarutkan harus dibuang
dalam 3 jam, dosis pada bayi < 1 tahun 0,05 ml sedangkan pada anak > 1 tahun 0,10 ml.
4
Vaksin ini disuntikan secara intracutan pada daerah lengan kanan atas (insertio musculus
deltoideus)
Efek samping
Tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum
Pada tempat penyuntikan terjadi ulkus lokal yang timbul 2-3 minggu setelah penyuntikan dan
meninggalkan luka parut dengan diameter 4-8 mm
Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di axila (ketiak) atau leher. Tergantung
pada umur dan dosis yang dipakai, biasanya akan sembuh sendiri
Kontra Indikasi
Reaksi uji tuberkulin > 5 mm
Sedang menderita HIV atau resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat pengobatan
kortikosteroid (leukimia), mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai
sumsum tulang atau sistem limfe
Anak menderita gizi buruk
Menderita demam tinggi
Menderita infeksi kulit yang luas
Pernah/masih menderita TBC
Kehamilan
Proteksi
Mulai 8-12 minggu pasca vaksinasi
Daya lindung hanya 42% (WHO 50-78%)
Mencegah TB berat 60-80% (IDAI, 2008)
Vaksin Hepatitis B
Pencegahan dapat diberikan dengan imunisasi pasif ataupun imunisasi aktif
Imunisasi pasif
Dilakukan dengan pemberian imunoglobulin
IG/ISG (Immune Serum Globulin)
HBIG (Hepatitis B Immune Globulin)
Diberikan baik sebelum terjadinya paparan (preexposure) maupun setelah terjadinya paparan
(postexposure)
Indikasi utama pemberian imunisasi pasif
5
Paparan dengan darah yang mengandung HbsAg, baik melalui kulit maupun
mukosa
Paparan seksual dengan pengidap HbsAg (+)
Paparan perinatal ibu dengan HbsAg (+)
Pemberian vaksin
Pada kecelakaan jarum suntik
Dosis : 0,06 ml/kg maks 5 ml harus diberikan dalam waktu 24 jam, diulangi 1 bulan kemudian
Paparan seksual
Dosis tunggal 0,06 ml/kg, dosis maks 5 ml harus diberikan dalam jangka waktu 2 minggu
Paparan perinatal
Dosis : 0,5 ml harus diberikan sebelum 48 jam
Imunisasi aktif
Dilakukan dengan pemberian partikel HbsAg yang tidak infeksius
Ada 3 jenis vaksin hepatitis B
Vaksin yang berasal dari plasma
Vaksin yang dibuat dengan teknik rekayasa genetika
Vaksin polipeptida
Vaksin yang beredar di Indonesia
Hevac-B (dosis ; dewasa 5 ug, anak 2,5 ug, pada ibu HbsAg (+) dosis 2x lipat)
Hepaccine (dosis : dewasa 2 ug, anak 1,5 ug)
B-Hepavac II (dosis ; dewasa 10 ug, anak 5 ug)
Hepa-B (dosis : dewasa 20 ug)
Engerix-B (dosis : anak 10 ug)
Penyuntikan dilakukan secara intramuscular, didaerah deltoid atau paha anterior (jangan
dilakukan didaerah bokong)
Efek samping yang terjadi umumnya ringan, seperti nyeri, bengkak, panas, mual, nyeri sendi
maupun otot
Jadwal pemberian
Imunisasi Hb diberikan sedini mungkin setelah lahir
Pemberian imunisasi Hb harus berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan
Bayi lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya
Vaksin rekombinan (Hb Vax-II 5 ug at Engerix-B10ug) atau vaksin plasma derived 10 ug
(dalam waktu 12 jam), dosis kedua pada usia 1-2 bulan, dosis ketiga pada usia 6 bulan
6
Bayi lahir dari ibu yang HbsAg nya (+)
Diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan secara bersamaan di sisi tubuh yang berbeda
dalam waktu 12 jam, dosis kedua pada usia 1-2 bulan, dosis ketiga pada usia 6 bulan
Bayi lahir dari ibu yang HbsAg nya (-)
Diberikan vaksin rekombinan atau vaksin plasma derived pada umur 2-6 bulan, dosis kedua
pada 1-2 bulan kemudian, dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah imunisasi kesatu
Idealnya dilakukan Px anti HbsAg (paling cepat 1 bulan)
Imunisasi ulang Hb (pada umur 10-12 tahun)
Kejadian ikutan pasca imunisasi
Reaksi lokal kemerahan, nyeri, bengkak, demam ringan 2 hari
Reaksi sistemik : mual muntah, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi
Indikasi kontra
Sampai saat ini belum dipastikan adanya kontra indikasi absolut terhadap pemberian imunisasi
hb terkecuali pada ibu hamil, laergi pada komponen vaksin, demam tinggi. (IDAI, 2008)
Vaksin Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT)
Tujuan pemberian vaksin ini adalah untuk memberikan kekebalan aktif yang bersamaan
terhadap penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus
Difteri dan tetanus : toksoid yang dimurnikan
Pertusis : bakteri mati, terabsorbsi dalam alumunium fosfat
Tiap 1 ml terdiri dari 40Lf toksoid difteria, 24 OU pertusis, 15 Lf toksoid tetanus, alumunium
fosfat 3 mg, thimerosal 0,1 mg
Toksoid Difteria
Untuk imunisasi primer terhadap difteri digunakan toksoid difteri (alum precipitated formol
toxoid) yang digabung dengan tetanus toxoid dan vaksin pertusis
Imunisasi rutin pada anak, diberikan dengan 5 dosis yaitu pada usia 2, 4, 6 bulan yang
diberikan bersamaan dengan polio. Dosis ulangan pada 15-18 bulan dan saat masuk sekolah
harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ketiga
Kombinasi toxoid difteri dan tetanus (DT)
Vaksin pertusis
Untuk imunisasi yang dipakai adalah vaksin pertusis whole-cell (alum precipitated vaccine)
yaitu vaksin yang merupakan suspensi kuman B pertusis mati
Umumnya diberikan kombinasi bersama toxoid difteri dan tetanus
7
Toksoid tetanus
Vaksin tetanus dikenal 2 macam vaksin yaitu :
Vaksin yang digunakan untuk imunisasi aktif adalah toxoid tetanus yang telah dilemahkan
Kemasan tunggal (TT)
Kemasan dengan vaksin difteri (DT)
Kemasan dengan vaksin difteri dan pertusis (DPT)
Kuman yang telah dimatikan yang digunakan untuk imunisasi pasif (ATS)
Jadwal pemberian
Upaya depkes dan kesos melaksanakan program eliminasi tetanus neonatorum (ETN) DPT I,
DT atau TT dilaksanakan berdasarkan perkiraan lama waktu perlindungan sebagai berikut :
Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis toxoid tetannus pada
bayi, dihitung setara dengan 2 dosis toxoid pad anak besar atau dewasa
Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu
sampai dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis toxoid tetanus pada bayi dan anak dihitung
setara dengan 3 dosis pada dewasa
Toxoid tetanus kelima (DPT 5) diberikan pada usia sekolah, akan memperpanjang imunitas 10
tahun lagi sampai umur 17-18 tahun. Dengan 5 toxoid tetanus pada anak dihitung setara
dengan 4 dosis toxoid dewasa
Tetanus toxoid tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya di sekolah (DT 6 atau DT)
akan memperpanjang imunitas 20 tahun lagi. Dengan 6 dosis toxoid tetanus pada anak
dihitung setara dengan 5 dosis toxoid pada dewasa
Jadi PPI merekomendasikan tetanus toxoid (DPT, DT, TT) 5x untuk memberikan perlindungan
seumur hidup sehingga wanita usia subur (WUS) mendapat perlindungan terhadap bayi yang
dilahirkan terhadap tetanus neonatorum.
Imunisasi Spacing Masa perlindungan Tujuan
T1 Mengembangkan
kekebalan tubuh pada
infeksi
T2 4 pekan setelah T1 3 tahun Menyempurnakan
kekebalan
T3 6 bulan setelah T2 5 tahun Menguatkan kekebalan
T4 1 tahun setelah T3 10 tahun Menguatkan kekebalan
T5 1 tahun setelah T4 25 tahun Mendapatkan kekebalan
penuh
8
Kontra Indikasi
Riwayat anafilaksis
Ensefalopati pasca DPT sebelumnya
KIPI
Lokal : bengkak, kemerahan, nyeri pada tempat suntikan
Demam, gelisah, menangis terus menerus
Reaksi anafilaktik, ensefalopati 1/50.000 dosis (IDAI, 2008)
Vaksin Polio
Ada 2 macam jenis vaksin polio
Vaksin virus polio oral (OPV)
Vaksin polio inactivated (IPV)
Vaksin virus polio oral (OPV)
OPV berisi virus polio tipe 1, 2 dan 3 adalah strain/suku sabin yang masih hidup tapi sudah
dilemahkan (attenuated), vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera yang distabilkan
dengan sukrosa
Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksin ini
kemudian menempatkan diri di usus san memacu pembentukan antibodi baik dalam darah
maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar
yang datang masuk kemudian
Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8ᴼC. OPV dapat disimpan beku pada
temperatur 20ᴼC. Vaksin yang beku dapat cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara
kedua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda
sampai orange muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa
vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah
dengan catatan tanggal kadaluarsa harus selalu diperhatikan.
Vaksin polio inactivated (IPV) atau vaksin polio injeksi
IPV berisi tipe 1, 2 dan 3 dibiakan pada sel-sel fero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan
formaldehid
IPV harus disimpan pada suhu 2-8ᴼC dan tidak boleh dibekukan
Pemberian dengan dosis 0,5 ml, SC 3x berturut-turut dengan jarak masing-masing dosis 2
bulan
9
Imunitas mukosa yang ditimbulkan IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan
OPV
OPV diberikan pada BBL sebagai dosis awal, sesuai dengan Pengembangan Program
Imunisasi (PPI) dan Program Eradiksi Polio (ERAPO) tahun 2000
Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan 3 dosis
terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu
Satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan
bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan hepatitis B
Imunisasi penguat (booster)
Dosis penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat
diberikan dosis DPT sebagai penguat
Dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau sebelum meninggalkan
sekolah
Orang dewasa yang telah mendapatkan imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi
penguat, kecuali mereka yang dalam resiko khusus,
Imunisasi untuk orang dewasa
Untuk orang dewasa sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberikan 3 dosis berturut-
turut OPV 2 tetes dengan jarak 4-8 minggu
Interval minimal antara 2 dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat menyelesaikan
vaksinasinya tanpa mengulang lagi
Demua orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap poliomielinitis dan tidak boleh ada
yang tertinggal
KIPI
Setelah vakisnasi, sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala
Pusing-pusing
Diare ringan
Sakit pada otot
Kontrai indikasi pemberian OPV
Penyakit akut atau demam (suhu >38,5 C)
Muntah atau diare
Sedang dalam proses pengobatan kortikosteroid atau imuno supresif oral maupun suntikan,
juga pengobatan radiasi umum
Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial
seperti limfoma, leukimia, dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu, misal
pada hipo-gamaglobulinemia
10
Menderita infeksi HIV/anggota keluarga sebagai kontak (IDAI, 2008)
Vaksin Campak
Tahun 1963 dibuat dua jenis vaksin campak
Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan, jangan terkena sinar
matahari
Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam
larutan formalin yang dicampur dengan garam alumunium)
Tiap 0,5 ml mengandung 1000 u virus strain CAM 70, 100 mcg kanamisin, 30 mg eritromisin
Dosis dan cara pemberian
Dosis minimal untuk vaksin yang dilemahkan adalah 0,5 ml secara subcutan atau intra
muscular
Jadwal pemberian campak pada bayi umur 9-11 bulan
Imunisasi ulangan diberikan pada saat anak masuk sekolah usia 6-7 tahun dalam program
BIAS
Reaksi KIPI
Demam >39,5 C, biasanya setelah hari ke 5-6 dan berlangsung selama 2 hari
Ruam, timbul pada hari ke 7-10 dan berlangsung selama 2-4 hari
Kontra indikasi
Demam tinggi
Sedang memperoleh pengobatan imunosupresi
Hamil
Mempunyai riwayat alergi (IDAI, 2008)
2.5 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Definisi KIPI
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI
adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.
Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik
pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien
imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-
strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
(IDAI, 2008)
11
Epidemiologi KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi
anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi
anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga
tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.
Etiologi KIPI
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi
yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian
vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
Dosis antigen (terlalu banyak)
Lokasi dan cara menyuntik
Sterilisasi semprit dan jarum suntik
Jarum bekas pakai
Tindakan aseptik dan antiseptik
Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
Penyimpanan vaksin
Pemakaian sisa vaksin
Jenis dan jumlah pelarut vaksin
Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak
langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu
karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun
demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko
kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, 12
atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat
atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja
setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian
yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa
tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu
penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan
kelompok penyebab KIPI.
Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin
cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat,
misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,
edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
13
Menangis menjerit yang terus
menerus (3jam)
Sindrom syok septik
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila
seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga
dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit
ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan
observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap
sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
14
(An
oni
m,
200
6)
15
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus (DPT,
DT, TT)
Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
2-18 hari
tidak tercatat
Pertusis whole cell
(DPwT)
Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
72 jam
tidak tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
5-15 hari
tidak tercatat
Trombositopenia
Klinis campak pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
7-30 hari
6 bulan
tidak tercatat
Polio hidup (OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
4 jam
tidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
BAB 3
KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. R
Umur : 6 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dukuh Bulak Banteng Sekolahan
Nomor RM : 12.19.68.44
MRS tanggal : 22 November 2012
Tanggal pemeriksaan : 29 November 2012
I. ANAMNESIS
Keluhan utama: Tidak bisa menelan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien tidak bisa menelan sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Untuk
makan dan minum susah, hanya bisa makan bubur sedikit-sedikit. Tidak bisa menelan
disertai dengan panas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas hanya sumer-
sumer saja. Pasien juga mengeluh pilek sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pilek
kental dan berwarna putih, tidak berwarna hijau, tidak ada darah.
Pasien juga mengeluh lehernya bengkak sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, pasien diberi puyer di RSAL Irsyad dan bengkak lehernya mengecil.
Buang air besar normal, lancar. Buang air kecil normal, lancar.
Anamnesa pada pemeriksaan ( 7 hari MRS):
Pasien sudah tidak ada keluhan. Tidak ada nyeri telan dan panas badan. Pasien sudah
bisa makan dan minum.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Sebelumnya pasien tidak pernah menderita seperti ini.
Pasien tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya.
16
Riwayat Penyakit Keluarga/Saudara/Lingkungan:
Keluarga tidak ada yang menderita seperti ini. Teman maupun tetangga tidak diketahui
ada atau tidak yang menderita penyakit seperti ini.
Anamnesis Antenatal:
Saat hamil, ibu pasien tidak minum jamu, dan tidak minum obat-obatan, tidak ada
riwayat panas badan dan penyakit yang lain. Kontrol rutin ke bidan.
Anamnesis Natal:
Lahir saat cukup bulan (9 bulan) secara spontan, letak kepala dan ditolong oleh bidan.
Tidak ada ketuban pecah dini dan tidak ada perdarahan.
Anamnesis Post Natal:
Bayi lahir menangis spontan, tidak ada biru, tidak ada kuning, tidak ada sesak. Tidak
ada kelainan lain.
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi hanya 1 kali saat lahir, setelah itu pasien tidak pernah imunisasi.
Ibu pasien tidak ingat nama imunisasinya.
Anamnesis Tumbuh Kembang
Angkat kepala : 1 bulan
Telungkup : 3 bulan
Duduk : 10 bulan
Berjalan : 14 bulan
Anamnesis Gizi
Pemberian ASI sampai usia 1 tahun. Sampai saat ini makan dan minum baik.
Anamnesis Sosial
Pasien merupakan anak pertama. Di rumah pasien tinggal dengan ayah dan ibu.
17
II. Pemeriksaan Fisik (29 November 2012)
Status generalis
Keadaan umum : Cukup
Gerak tangis : Cukup
Tekanan Darah : 90/60
HR : 108 x / menit
RR : 24 x / menit
Temperature : 36,3o C
Kepala Leher
Rambut : hitam
Bentuk Kepala : UUB dan UUK menutup
Mata : anemis (-), ikterus (-), Mata cowong (-), Reflex cahaya (+)/(+)
Hidung : pernafasan cuping hidung (-), deformitas (-), epistaksis (-)
Telinga : normal, keluar cairan (-).
Mulut Tenggorok : Perbesaran tonsil T2/T2 dan beslagh -/-, bibir sianosis (-), lidah
kotor (-)
Leher : bull neck (-), peningkatan tekanan vena jugularis (-), deviasi
trakea (-)
Pemeriksaan tgl 22 November 2012
Didapatkan pembesaran kelenjar getah bening submandibulla kanan, bullneck (+) dan
pembesaran tonsil T2/T2 dan beslagh pada tonsil kiri.
Thorax
Bentuk : Simetris
Pergerakan dada : Simetris, retraksi-
ICS : Tidak ada pelebaran maupun penyempitan
Kulit dada : Dalam batas normal
Kulit punggung : Dalam batas normal
Axilla : pembesaran KGB –
Skeleton : Gibbus -, spina bifida -
Paru : Vesikuler / vesikuler
Ronchi -/-18
Wheezing -/-
Jantung dan system kardiovaskuler
Inspeksi
Iktus : -
Pulsasi jantung : -
Palpasi
Iktus : teraba di garis ICS V MCL sinistra
Pulsasi jantung : teraba pada daerah iktus kordis
Suara yang teraba : tidak ada
Getaran (thrill) : tidak ada
Perkusi
Batas kanan : parasternal line dextra ICS 3-4
Batas kiri : ICS V MCL sinistra
Auskultasi
Suara 1, suara2 : tunggal, normal
Suara tambahan : murmur-, gallop-, ekstrasistole-
Abdomen : soepel, flat, BU + normal
Hepar dan Lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT < 2detik, edema -/-
III. Status Gizi
BB : 12 kg (W/A < p 3)
PB : 110 cm (p 3 < H/A < p 10, CDC 2000)
BB Ideal : 20 kg (CDC 2000)
% BB Ideal : 12/20 x 100% = 60 %
Kesimpulan : Gizi kurang
19
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (22 November 2012
Kimia klinik
Glukosa 94 mg/dl
CRP Kimia 33,05 mg/L
Hematologi
WBC 13.100/ul
Hb 11,7 g/dl
Hct 35,6 %
Trombosit 134.000/ul
Elektrolit
Natrium 134,3 mmol
Kalium 3,96 mmol
Clorida 97,5 mmol
V. Problem List
Tidak bisa menelan
Panas badan
Pilek
Imunisasi –
Pembesaran KGB Submandibulla kanan +, bullneck +
Pembesaran tonsil T2/T2 dengan beslagh + di tonsil kanan
CRP meningkat
Leukositosis
Gizi kurang
VI. Assesement
Difteri tonsil + Gizi kurang
VII. Planning
Planning Diagnosis
KN I, II, III
KN kontak
KN kuman lain20
Planning Terapi:
Isolasi
Infus D5 ½ S 1100 cc/24 jam
Injeksi ADS 40.000 iu i.m
Injeksi PP 60.000 iu i.m
Thermoregulasi: kompres basah, paracetamol 3 x 120 mg p.o, injeksi
novalgin 120 mg i.v bila suhu lebih dari 38,5o C
Diet anak 1100 kkal + 24 gram protein: Nasi 3 x 1/hari, susu 3 x 200 cc/hari
Planning Monitoring:
Vital sign
Keluhan lain
Status gizi
Tanda-tanda obstruksi jalan nafas
Bullneck, pembesaran tonsil, beslagh
Planning Edukasi:
Keluarga yang menunggui pasien diminta menggunakan masker untuk
melindungi diri agar tidak tertular
Melakukan swab hidung dan tenggorok pada pasien, orang serumah dan orang
yang punya riwayat kontak
Disarankan minum obat profilaksis pada orang dengan riwayat kontak
Menyarankan untuk vaksinasi setelah pasien sembuh
21
BAB 4
PEMBAHASAN
Dari data-data yang telah didapatkan di atas, diagnosis kerja kelompok kami adalah difteri
tonsil dengan gizi kurang. Hal ini didasarkan dari langkah-langkah diagnostik yang telah dikerjakan
yaitu dari anamnesa didapatkan keluhan tidak bisa menelan sejak 4 hari SMRS, panas badan sejak 3
hari SMRS, keluhan lain berupa kesulitan untuk makan dan minum, serta riwayat imunisasi tidak
lengkap. Pasien belum mendapat imunisasi DPT. Dari pemeriksaan fisik sebelumnya kami dapatkan
bull neck, pembesaran kelenjar getah bening submandibulla kanan, dan pembesaran tonsil T2/T2
disertai beslagh di tonsil kiri.
Faktor yang menyebabkan kejadian difteri pada pasien ini yaitu pasien belum mendapatkan
imunisasi DPT. Pasien ini hanya mendapat imunisasi saat lahir. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Nurbani dkk (2010), membandingkan pengaruh kepadatan hunian, kontak dengan penderita, luas
ventilasi tidak memenuhi syarat, jenis lantai tidak kedap air, jenis dinding tidak kedap udara, dan
riwayat imunisasi tidak lengkap. Hasilnya, riwayat imunisasi berpengaruh 69,6% terhadap terjadinya
difteri. Pasien ini tidak mendapatkan imunisasi bisa disebabkan oleh pengetahuan orang tua pasien
yang rendah akan pentingnya imunisasi.
Kasus pada pasien ini menunjukkan bahwa cakupan program imunisasi masih kurang
sehingga masih ada anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Menurut keputusan Menteri Kesehatan
Rebuplik Indonesia, cakupan imunisasi nasional pada tahun 2009 belum mencapai target. Untuk itu,
cakupan program imunisasi hendaknya ditingkatkan sehingga semua anak terlindungi dari difteri.
22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Diunduh dari: www.pediatrik.com/ilmiah_popular
Anonim, 2011. Pemerintah Kabupaten Jombang. Diunduh dari: http://www.jombangkab.go.id/SatKerDa/page/1.2.6.2/2011%20Profil%20Kesehatan%20Bab%20III.pdf
IDAI. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Nurbani, Bani Sri, Siti Novianti. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Difteri Di Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya. Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 6 No.1, Maret 2010. Diunduh dari: http://www.jombangkab.go.id/SatKerDa/page/1.2.6.2/2011%20Profil%20Kesehatan%20Bab%20III.pdf
WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia
23