imunisasi di indonesia

33
RESPONSI DOKTER MUDA IMUNISASI PADA KASUS DIFTERI Oleh: Ivanna Alimsardjono 010810056 Amanda Cesariani P 010810060 Yusuf Rizal 010810061 Pembimbing: Prof. Dr. Ismoedijanto, dr.,Sp.A(K) 0

Upload: yusuf-rizal

Post on 08-Aug-2015

156 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

imunisasi di indonesia, jenis ,cara, efek samping dan jadwal pemberiannya

TRANSCRIPT

Page 1: imunisasi di indonesia

RESPONSI DOKTER MUDA

IMUNISASI PADA KASUS DIFTERI

Oleh:

Ivanna Alimsardjono 010810056

Amanda Cesariani P 010810060

Yusuf Rizal 010810061

Pembimbing:

Prof. Dr. Ismoedijanto, dr.,Sp.A(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

RSU DR. SOETOMO SURABAYA

2012

0

Page 2: imunisasi di indonesia

DAFTAR ISI

Bab 1 Pendahuluan....................................................................................................................... 3

Bab 2 Tinjuan Pustaka................................................................................................................. 4

2.1 Definisi imunisasi......................................................................................................... 4

2.2 Tatacara imunisasi.......................................................................................………… 4

2.3 Jadwal imunisasi........................................................................................................... 5

2.4 Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI).......................................................... 6

2.5 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)...................................................................... 16

Bab 3 Kasus................................................................................................................................. 20

Bab 4 Pembahasan................................................................................................................. …. 26

Tinjauan Pustaka........................................................................................................................... 27

1

Page 3: imunisasi di indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam lingkup pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama.

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya

menurunkan angka kematian bayi dan balita. Imunisasi merupakan hal mutlak yang perlu

diberikan pada bayi. Imunisasi adalah sarana untuk mencegah penyakit berbahaya, yang dapat

menimbulkan kematian pada bayi. Maka dari itu, imunisasi merupakan upaya pencegahan

primer yang sangat efektif untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi.

Contohnya adalah difteri. Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri Corynebacterium Diphteriae yang menyerang sistem pernafasan bagian atas. Penyakit

ini mudah menular, dengan gejala demam ringan, sakit tekak, pembengkakan pada amandel

(tonsil) dan terlihat membran kelabu (pseudo membran) yang makin lama makin membesar

dan dapat menutup tonsil dan jalan napas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang

dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya melalui udara ( batuk / bersin ) selain itu

dapat melalui benda atau makanan yang terkontamiasi. Difteri termasuk penyakit menular

yang kasusnya relatif rendah tetapi cenderung meningkat. Tinggi rendahnya kasus difteri

sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Di Kabupaten Jombang selama kurun waktu

2009 tidak ditemukan kasus difteri, tetapi pada tahun 2010 ditemukan 13 kasus dimana 11

penderita telah mendapatkan imunisasi dan 2 penderita tidak mendapatkan imunisasi. Dan

pada tahun 2011 ini terjadi 7 kasus difteri, yaitu 5 penderita laki‐laki dan 2 penderita

perempuan dan hanya terjadi di 6 wilayah Puskesmas se-Kabupaten Jombang. Yaitu Wilayah

Puskesmas jabon, Tambakrejo, Pulorejo, Megaluh, Bandar Kedungmulyo, dan Dukuh Klopo.

Dari penelitian tersebut dapat dilihat pentingnya imunisasi. Tujuan imunisasi adalah

membentuk kekebalan demi mencegah penyakit pada diri sendiri dan orang lain sehingga

kejadian penyakit menular menurun dan bahkan dapat menghilang dari muka bumi.

Kekebalan dapat disalurkan oleh ibu ke bayi yang dikandung tetapi tidak berlangsung lama,

maka kekebalan harus dibentuk melalui pemberian imunisasi pada bayi.

Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak, tidak hanya memberikan

perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi

tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi. Sangat penting

bagi profesional untuk melakukan imunisasi terhdap anak maupun orang dewasa. Dengan

demikian akan memberikan kesadaran pada masyarakat terhadap nilai imunisasi dalam

menyelamatkan jiwa dan mencegah penyakit yang berat.2

Page 4: imunisasi di indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak

akan sakit atau sakit ringan. Istilah imunisasi dan vaksinasi sering diartikan sama. Imunisasi

adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi

dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas

(antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh. (IDAI, 2008)

2.2 Tatacara imunisasi

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut:

Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak

divaksinasi.

Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi reaksi

ikutan yang tidak diharapkan.

Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan dan jangan

lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau

pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.

Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.

Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.

Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik.

Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan. Periksa

tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan warna yang

menunjukkan adanya kerusakan.

Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula vaksin

lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination) bila diperlukan.

Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum

suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.

Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang harus

dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih berat.

Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.

Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan bidang

Pemberantasan Penyakit Menular.

3

Page 5: imunisasi di indonesia

Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk

mengejar ketinggalan, bila diperlukan. (IDAI, 2008)

2.3 Jadwal imunisasi

Jadwal imunisasi adalah informasi mengenai kapan suatu jenis vaksinasi atau imunisasi harus

diberikan kepada anak. Jadwal imunisasi suatu negara dapat saja berbeda dengan negara lain

tergantung kepada lembaga kesehatan yang berwewenang mengeluarkannya. Berikut ini adalah

jadwal imunisasi anak sesuai jadwal imunisasi nasional dari Depkes.

(WHO, 2005)

2.4 Vaksin pada Program Imunisasi Nasional (PPI)

Vaksin BCG

BCG adalah vaksin hidup yang dibuat dari mycobacterium bovis yang dibiakkan secara

berulang selama 13 tahun (basil tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas). Indikasi

yaitu untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) dimana vaksin

BCG tidak mencegah infeksi TBC tetapi mengurangi resiko TBC berat seperti meningitis,

TBC tulang. Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Cara pemberian dan dosis

vaksin yaitu vaksin dilarutkan dulu dengan 4 cc pelarut, vaksin yang dilarutkan harus dibuang

dalam 3 jam, dosis pada bayi < 1 tahun 0,05 ml sedangkan pada anak > 1 tahun 0,10 ml.

4

Page 6: imunisasi di indonesia

Vaksin ini disuntikan secara intracutan pada daerah lengan kanan atas (insertio musculus

deltoideus)

Efek samping

Tidak menyebabkan reaksi yang bersifat umum

Pada tempat penyuntikan terjadi ulkus lokal yang timbul 2-3 minggu setelah penyuntikan dan

meninggalkan luka parut dengan diameter 4-8 mm

Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di axila (ketiak) atau leher. Tergantung

pada umur dan dosis yang dipakai, biasanya akan sembuh sendiri

Kontra Indikasi

Reaksi uji tuberkulin > 5 mm

Sedang menderita HIV atau resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat pengobatan

kortikosteroid (leukimia), mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai

sumsum tulang atau sistem limfe

Anak menderita gizi buruk

Menderita demam tinggi

Menderita infeksi kulit yang luas

Pernah/masih menderita TBC

Kehamilan

Proteksi

Mulai 8-12 minggu pasca vaksinasi

Daya lindung hanya 42% (WHO 50-78%)

Mencegah TB berat 60-80% (IDAI, 2008)

Vaksin Hepatitis B

Pencegahan dapat diberikan dengan imunisasi pasif ataupun imunisasi aktif

Imunisasi pasif

Dilakukan dengan pemberian imunoglobulin

IG/ISG (Immune Serum Globulin)

HBIG (Hepatitis B Immune Globulin)

Diberikan baik sebelum terjadinya paparan (preexposure) maupun setelah terjadinya paparan

(postexposure)

Indikasi utama pemberian imunisasi pasif

5

Page 7: imunisasi di indonesia

Paparan dengan darah yang mengandung HbsAg, baik melalui kulit maupun

mukosa

Paparan seksual dengan pengidap HbsAg (+)

Paparan perinatal ibu dengan HbsAg (+)

Pemberian vaksin

Pada kecelakaan jarum suntik

Dosis : 0,06 ml/kg maks 5 ml harus diberikan dalam waktu 24 jam, diulangi 1 bulan kemudian

Paparan seksual

Dosis tunggal 0,06 ml/kg, dosis maks 5 ml harus diberikan dalam jangka waktu 2 minggu

Paparan perinatal

Dosis : 0,5 ml harus diberikan sebelum 48 jam

Imunisasi aktif

Dilakukan dengan pemberian partikel HbsAg yang tidak infeksius

Ada 3 jenis vaksin hepatitis B

Vaksin yang berasal dari plasma

Vaksin yang dibuat dengan teknik rekayasa genetika

Vaksin polipeptida

Vaksin yang beredar di Indonesia

Hevac-B (dosis ; dewasa 5 ug, anak 2,5 ug, pada ibu HbsAg (+) dosis 2x lipat)

Hepaccine (dosis : dewasa 2 ug, anak 1,5 ug)

B-Hepavac II (dosis ; dewasa 10 ug, anak 5 ug)

Hepa-B (dosis : dewasa 20 ug)

Engerix-B (dosis : anak 10 ug)

Penyuntikan dilakukan secara intramuscular, didaerah deltoid atau paha anterior (jangan

dilakukan didaerah bokong)

Efek samping yang terjadi umumnya ringan, seperti nyeri, bengkak, panas, mual, nyeri sendi

maupun otot

Jadwal pemberian

Imunisasi Hb diberikan sedini mungkin setelah lahir

Pemberian imunisasi Hb harus berdasarkan status HbsAg ibu pada saat melahirkan

Bayi lahir dari ibu yang tidak diketahui status HbsAg nya

Vaksin rekombinan (Hb Vax-II 5 ug at Engerix-B10ug) atau vaksin plasma derived 10 ug

(dalam waktu 12 jam), dosis kedua pada usia 1-2 bulan, dosis ketiga pada usia 6 bulan

6

Page 8: imunisasi di indonesia

Bayi lahir dari ibu yang HbsAg nya (+)

Diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan secara bersamaan di sisi tubuh yang berbeda

dalam waktu 12 jam, dosis kedua pada usia 1-2 bulan, dosis ketiga pada usia 6 bulan

Bayi lahir dari ibu yang HbsAg nya (-)

Diberikan vaksin rekombinan atau vaksin plasma derived pada umur 2-6 bulan, dosis kedua

pada 1-2 bulan kemudian, dosis ketiga diberikan 6 bulan setelah imunisasi kesatu

Idealnya dilakukan Px anti HbsAg (paling cepat 1 bulan)

Imunisasi ulang Hb (pada umur 10-12 tahun)

Kejadian ikutan pasca imunisasi

Reaksi lokal kemerahan, nyeri, bengkak, demam ringan 2 hari

Reaksi sistemik : mual muntah, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi

Indikasi kontra

Sampai saat ini belum dipastikan adanya kontra indikasi absolut terhadap pemberian imunisasi

hb terkecuali pada ibu hamil, laergi pada komponen vaksin, demam tinggi. (IDAI, 2008)

Vaksin Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT)

Tujuan pemberian vaksin ini adalah untuk memberikan kekebalan aktif yang bersamaan

terhadap penyakit Difteri, Pertusis dan Tetanus

Difteri dan tetanus : toksoid yang dimurnikan

Pertusis : bakteri mati, terabsorbsi dalam alumunium fosfat

Tiap 1 ml terdiri dari 40Lf toksoid difteria, 24 OU pertusis, 15 Lf toksoid tetanus, alumunium

fosfat 3 mg, thimerosal 0,1 mg

Toksoid Difteria

Untuk imunisasi primer terhadap difteri digunakan toksoid difteri (alum precipitated formol

toxoid) yang digabung dengan tetanus toxoid dan vaksin pertusis

Imunisasi rutin pada anak, diberikan dengan 5 dosis yaitu pada usia 2, 4, 6 bulan yang

diberikan bersamaan dengan polio. Dosis ulangan pada 15-18 bulan dan saat masuk sekolah

harus diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan setelah dosis ketiga

Kombinasi toxoid difteri dan tetanus (DT)

Vaksin pertusis

Untuk imunisasi yang dipakai adalah vaksin pertusis whole-cell (alum precipitated vaccine)

yaitu vaksin yang merupakan suspensi kuman B pertusis mati

Umumnya diberikan kombinasi bersama toxoid difteri dan tetanus

7

Page 9: imunisasi di indonesia

Toksoid tetanus

Vaksin tetanus dikenal 2 macam vaksin yaitu :

Vaksin yang digunakan untuk imunisasi aktif adalah toxoid tetanus yang telah dilemahkan

Kemasan tunggal (TT)

Kemasan dengan vaksin difteri (DT)

Kemasan dengan vaksin difteri dan pertusis (DPT)

Kuman yang telah dimatikan yang digunakan untuk imunisasi pasif (ATS)

Jadwal pemberian

Upaya depkes dan kesos melaksanakan program eliminasi tetanus neonatorum (ETN) DPT I,

DT atau TT dilaksanakan berdasarkan perkiraan lama waktu perlindungan sebagai berikut :

Imunisasi DPT 3x akan memberikan imunitas 1-3 tahun. Dengan 3 dosis toxoid tetannus pada

bayi, dihitung setara dengan 2 dosis toxoid pad anak besar atau dewasa

Ulangan DPT pada umur 18-24 bulan (DPT 4) akan memperpanjang imunitas 5 tahun yaitu

sampai dengan umur 6-7 tahun. Dengan 4 dosis toxoid tetanus pada bayi dan anak dihitung

setara dengan 3 dosis pada dewasa

Toxoid tetanus kelima (DPT 5) diberikan pada usia sekolah, akan memperpanjang imunitas 10

tahun lagi sampai umur 17-18 tahun. Dengan 5 toxoid tetanus pada anak dihitung setara

dengan 4 dosis toxoid dewasa

Tetanus toxoid tambahan yang diberikan pada tahun berikutnya di sekolah (DT 6 atau DT)

akan memperpanjang imunitas 20 tahun lagi. Dengan 6 dosis toxoid tetanus pada anak

dihitung setara dengan 5 dosis toxoid pada dewasa

Jadi PPI merekomendasikan tetanus toxoid (DPT, DT, TT) 5x untuk memberikan perlindungan

seumur hidup sehingga wanita usia subur (WUS) mendapat perlindungan terhadap bayi yang

dilahirkan terhadap tetanus neonatorum.

Imunisasi Spacing Masa perlindungan Tujuan

T1 Mengembangkan

kekebalan tubuh pada

infeksi

T2 4 pekan setelah T1 3 tahun Menyempurnakan

kekebalan

T3 6 bulan setelah T2 5 tahun Menguatkan kekebalan

T4 1 tahun setelah T3 10 tahun Menguatkan kekebalan

T5 1 tahun setelah T4 25 tahun Mendapatkan kekebalan

penuh

8

Page 10: imunisasi di indonesia

Kontra Indikasi

Riwayat anafilaksis

Ensefalopati pasca DPT sebelumnya

KIPI

Lokal : bengkak, kemerahan, nyeri pada tempat suntikan

Demam, gelisah, menangis terus menerus

Reaksi anafilaktik, ensefalopati 1/50.000 dosis (IDAI, 2008)

Vaksin Polio

Ada 2 macam jenis vaksin polio

Vaksin virus polio oral (OPV)

Vaksin polio inactivated (IPV)

Vaksin virus polio oral (OPV)

OPV berisi virus polio tipe 1, 2 dan 3 adalah strain/suku sabin yang masih hidup tapi sudah

dilemahkan (attenuated), vaksin ini dibuat dalam biakan jaringan ginjal kera yang distabilkan

dengan sukrosa

Vaksin ini digunakan secara rutin sejak bayi lahir dengan dosis 2 tetes oral. Virus vaksin ini

kemudian menempatkan diri di usus san memacu pembentukan antibodi baik dalam darah

maupun pada epitelium usus, yang menghasilkan pertahanan lokal terhadap virus polio liar

yang datang masuk kemudian

Vaksin polio oral harus disimpan tertutup pada suhu 2-8ᴼC. OPV dapat disimpan beku pada

temperatur 20ᴼC. Vaksin yang beku dapat cepat dicairkan dengan cara ditempatkan antara

kedua telapak tangan dan digulir-gulirkan, dijaga agar warna tidak berubah yaitu merah muda

sampai orange muda (sebagai indikator pH). Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa

vaksin yang telah terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dipakai lagi sampai warna berubah

dengan catatan tanggal kadaluarsa harus selalu diperhatikan.

Vaksin polio inactivated (IPV) atau vaksin polio injeksi

IPV berisi tipe 1, 2 dan 3 dibiakan pada sel-sel fero ginjal kera dan dibuat tidak aktif dengan

formaldehid

IPV harus disimpan pada suhu 2-8ᴼC dan tidak boleh dibekukan

Pemberian dengan dosis 0,5 ml, SC 3x berturut-turut  dengan jarak masing-masing dosis 2

bulan

9

Page 11: imunisasi di indonesia

Imunitas mukosa yang ditimbulkan IPV lebih rendah dibandingkan dengan yang ditimbulkan

OPV

OPV diberikan pada BBL sebagai dosis awal, sesuai dengan Pengembangan Program

Imunisasi (PPI) dan Program Eradiksi Polio (ERAPO) tahun 2000

Kemudian diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan yang diberikan 3 dosis

terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu

Satu dosis sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberikan per oral pada umur 2-3 bulan dapat diberikan

bersama-sama waktunya dengan suntikan vaksin DPT dan hepatitis B

Imunisasi penguat (booster)

Dosis  penguat OPV harus diberikan sebelum masuk sekolah, yaitu bersamaan pada saat

diberikan dosis DPT sebagai penguat

Dosis OPV berikutnya harus diberikan pada umur 15-19 tahun atau sebelum meninggalkan

sekolah

Orang dewasa yang telah mendapatkan imunisasi sebelumnya, tidak diperlukan vaksinasi

penguat, kecuali mereka yang dalam resiko khusus,

Imunisasi untuk orang dewasa

Untuk orang dewasa sebagai imunisasi primer (dasar) dianjurkan diberikan 3 dosis berturut-

turut OPV 2 tetes dengan jarak 4-8 minggu

Interval minimal antara 2 dosis vaksinasi dapat diperpanjang dan dapat menyelesaikan

vaksinasinya tanpa mengulang lagi

Demua orang dewasa seharusnya divaksinasi terhadap poliomielinitis dan tidak boleh ada

yang tertinggal

KIPI

Setelah vakisnasi, sebagian kecil resipien dapat mengalami gejala

Pusing-pusing

Diare ringan

Sakit pada otot

Kontrai indikasi pemberian OPV

Penyakit akut atau demam (suhu >38,5 C)

Muntah atau diare

Sedang dalam proses pengobatan kortikosteroid atau imuno supresif oral maupun suntikan,

juga pengobatan radiasi umum

Keganasan (untuk pasien dan kontak) yang berhubungan dengan sistem retikuloendotelial

seperti limfoma, leukimia, dan anak dengan mekanisme imunologik yang terganggu, misal

pada hipo-gamaglobulinemia

10

Page 12: imunisasi di indonesia

Menderita infeksi HIV/anggota keluarga sebagai kontak (IDAI, 2008)

Vaksin Campak

Tahun 1963 dibuat dua jenis vaksin campak

Vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan, jangan terkena sinar

matahari

Vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam

larutan formalin yang dicampur dengan garam alumunium)

Tiap 0,5 ml mengandung 1000 u virus strain CAM 70, 100 mcg kanamisin, 30 mg eritromisin

Dosis dan cara pemberian

Dosis minimal untuk vaksin yang dilemahkan adalah 0,5 ml secara subcutan atau intra

muscular

Jadwal pemberian campak pada bayi umur 9-11 bulan

Imunisasi ulangan diberikan pada saat anak masuk sekolah usia 6-7 tahun dalam program

BIAS

Reaksi KIPI

Demam >39,5 C, biasanya setelah hari ke 5-6 dan berlangsung selama 2 hari

Ruam, timbul pada hari ke 7-10 dan berlangsung selama 2-4 hari

Kontra indikasi

Demam tinggi

Sedang memperoleh pengobatan imunosupresi

Hamil

Mempunyai riwayat alergi (IDAI, 2008)

2.5 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Definisi KIPI

Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI

adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi.

Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik

pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien

imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-

strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

(IDAI, 2008)

11

Page 13: imunisasi di indonesia

Epidemiologi KIPI

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian reaksi

anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang benar-benar reaksi

anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa

lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga

tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi.

Etiologi KIPI

1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi

yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian

vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

Dosis antigen (terlalu banyak)

Lokasi dan cara menyuntik

Sterilisasi semprit dan jarum suntik

Jarum bekas pakai

Tindakan aseptik dan antiseptik

Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

Penyimpanan vaksin

Pemakaian sisa vaksin

Jenis dan jumlah pelarut vaksin

Tidak memperhatikan petunjuk produsen

Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat

kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

2. Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak

langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,

bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung

misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu

karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun

demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko

kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk

pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, 12

Page 14: imunisasi di indonesia

atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat

atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana

imunisasi.

4. Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan saja

setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian

yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa

tetapi tidak mendapatkan imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah satu

penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu

informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan

kelompok penyebab KIPI.

Gejala Klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi

gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin

cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.

Reaksi KIPI Gejala KIPI

Lokal Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat,

misalnya selulitis, BCG-itis

SSP Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis,

edema

Reaksi anafilaksis

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam tinggi >38,5°C

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

13

Page 15: imunisasi di indonesia

Menangis menjerit yang terus

menerus (3jam)

Sindrom syok septik

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila

seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga

dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit

ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan

observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap

sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.

14

Page 16: imunisasi di indonesia

(An

oni

m,

200

6)

15

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI

Toksoid Tetanus (DPT,

DT, TT)

Syok anafilaksis

Neuritis brakhial

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

2-18 hari

tidak tercatat

Pertusis whole cell

(DPwT)

Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

72 jam

tidak tercatat

Campak Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

5-15 hari

tidak tercatat

Trombositopenia

Klinis campak pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

7-30 hari

6 bulan

tidak tercatat

Polio hidup (OPV) Polio paralisis

Polio paralisis pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

30 hari

6 bulan

Hepatitis B Syok anafilaksis

Komplikasi akut termasuk kecacatan

dan kematian

4 jam

tidak tercatat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

Page 17: imunisasi di indonesia

BAB 3

KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : An. R

Umur : 6 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Dukuh Bulak Banteng Sekolahan

Nomor RM : 12.19.68.44

MRS tanggal : 22 November 2012

Tanggal pemeriksaan : 29 November 2012

I. ANAMNESIS

Keluhan utama: Tidak bisa menelan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien tidak bisa menelan sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Untuk

makan dan minum susah, hanya bisa makan bubur sedikit-sedikit. Tidak bisa menelan

disertai dengan panas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas hanya sumer-

sumer saja. Pasien juga mengeluh pilek sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pilek

kental dan berwarna putih, tidak berwarna hijau, tidak ada darah.

Pasien juga mengeluh lehernya bengkak sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah

sakit, pasien diberi puyer di RSAL Irsyad dan bengkak lehernya mengecil.

Buang air besar normal, lancar. Buang air kecil normal, lancar.

Anamnesa pada pemeriksaan ( 7 hari MRS):

Pasien sudah tidak ada keluhan. Tidak ada nyeri telan dan panas badan. Pasien sudah

bisa makan dan minum.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Sebelumnya pasien tidak pernah menderita seperti ini.

Pasien tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya.

16

Page 18: imunisasi di indonesia

Riwayat Penyakit Keluarga/Saudara/Lingkungan:

Keluarga tidak ada yang menderita seperti ini. Teman maupun tetangga tidak diketahui

ada atau tidak yang menderita penyakit seperti ini.

Anamnesis Antenatal:

Saat hamil, ibu pasien tidak minum jamu, dan tidak minum obat-obatan, tidak ada

riwayat panas badan dan penyakit yang lain. Kontrol rutin ke bidan.

Anamnesis Natal:

Lahir saat cukup bulan (9 bulan) secara spontan, letak kepala dan ditolong oleh bidan.

Tidak ada ketuban pecah dini dan tidak ada perdarahan.

Anamnesis Post Natal:

Bayi lahir menangis spontan, tidak ada biru, tidak ada kuning, tidak ada sesak. Tidak

ada kelainan lain.

Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi hanya 1 kali saat lahir, setelah itu pasien tidak pernah imunisasi.

Ibu pasien tidak ingat nama imunisasinya.

Anamnesis Tumbuh Kembang

Angkat kepala : 1 bulan

Telungkup : 3 bulan

Duduk : 10 bulan

Berjalan : 14 bulan

Anamnesis Gizi

Pemberian ASI sampai usia 1 tahun. Sampai saat ini makan dan minum baik.

Anamnesis Sosial

Pasien merupakan anak pertama. Di rumah pasien tinggal dengan ayah dan ibu.

17

Page 19: imunisasi di indonesia

II. Pemeriksaan Fisik (29 November 2012)

Status generalis

Keadaan umum : Cukup

Gerak tangis : Cukup

Tekanan Darah : 90/60

HR : 108 x / menit

RR : 24 x / menit

Temperature : 36,3o C

Kepala Leher

Rambut : hitam

Bentuk Kepala : UUB dan UUK menutup

Mata : anemis (-), ikterus (-), Mata cowong (-), Reflex cahaya (+)/(+)

Hidung : pernafasan cuping hidung (-), deformitas (-), epistaksis (-)

Telinga : normal, keluar cairan (-).

Mulut Tenggorok : Perbesaran tonsil T2/T2 dan beslagh -/-, bibir sianosis (-), lidah

kotor (-)

Leher : bull neck (-), peningkatan tekanan vena jugularis (-), deviasi

trakea (-)

Pemeriksaan tgl 22 November 2012

Didapatkan pembesaran kelenjar getah bening submandibulla kanan, bullneck (+) dan

pembesaran tonsil T2/T2 dan beslagh pada tonsil kiri.

Thorax

Bentuk : Simetris

Pergerakan dada : Simetris, retraksi-

ICS : Tidak ada pelebaran maupun penyempitan

Kulit dada : Dalam batas normal

Kulit punggung : Dalam batas normal

Axilla : pembesaran KGB –

Skeleton : Gibbus -, spina bifida -

Paru : Vesikuler / vesikuler

Ronchi -/-18

Page 20: imunisasi di indonesia

Wheezing -/-

Jantung dan system kardiovaskuler

Inspeksi

Iktus : -

Pulsasi jantung : -

Palpasi

Iktus : teraba di garis ICS V MCL sinistra

Pulsasi jantung : teraba pada daerah iktus kordis

Suara yang teraba : tidak ada

Getaran (thrill) : tidak ada

Perkusi

Batas kanan : parasternal line dextra ICS 3-4

Batas kiri : ICS V MCL sinistra

Auskultasi

Suara 1, suara2 : tunggal, normal

Suara tambahan : murmur-, gallop-, ekstrasistole-

Abdomen : soepel, flat, BU + normal

Hepar dan Lien tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat kering merah, CRT < 2detik, edema -/-

III. Status Gizi

BB : 12 kg (W/A < p 3)

PB : 110 cm (p 3 < H/A < p 10, CDC 2000)

BB Ideal : 20 kg (CDC 2000)

% BB Ideal : 12/20 x 100% = 60 %

Kesimpulan : Gizi kurang

19

Page 21: imunisasi di indonesia

IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (22 November 2012

Kimia klinik

Glukosa 94 mg/dl

CRP Kimia 33,05 mg/L

Hematologi

WBC 13.100/ul

Hb 11,7 g/dl

Hct 35,6 %

Trombosit 134.000/ul

Elektrolit

Natrium 134,3 mmol

Kalium 3,96 mmol

Clorida 97,5 mmol

V. Problem List

Tidak bisa menelan

Panas badan

Pilek

Imunisasi –

Pembesaran KGB Submandibulla kanan +, bullneck +

Pembesaran tonsil T2/T2 dengan beslagh + di tonsil kanan

CRP meningkat

Leukositosis

Gizi kurang

VI. Assesement

Difteri tonsil + Gizi kurang

VII. Planning

Planning Diagnosis

KN I, II, III

KN kontak

KN kuman lain20

Page 22: imunisasi di indonesia

Planning Terapi:

Isolasi

Infus D5 ½ S 1100 cc/24 jam

Injeksi ADS 40.000 iu i.m

Injeksi PP 60.000 iu i.m

Thermoregulasi: kompres basah, paracetamol 3 x 120 mg p.o, injeksi

novalgin 120 mg i.v bila suhu lebih dari 38,5o C

Diet anak 1100 kkal + 24 gram protein: Nasi 3 x 1/hari, susu 3 x 200 cc/hari

Planning Monitoring:

Vital sign

Keluhan lain

Status gizi

Tanda-tanda obstruksi jalan nafas

Bullneck, pembesaran tonsil, beslagh

Planning Edukasi:

Keluarga yang menunggui pasien diminta menggunakan masker untuk

melindungi diri agar tidak tertular

Melakukan swab hidung dan tenggorok pada pasien, orang serumah dan orang

yang punya riwayat kontak

Disarankan minum obat profilaksis pada orang dengan riwayat kontak

Menyarankan untuk vaksinasi setelah pasien sembuh

21

Page 23: imunisasi di indonesia

BAB 4

PEMBAHASAN

Dari data-data yang telah didapatkan di atas, diagnosis kerja kelompok kami adalah difteri

tonsil dengan gizi kurang. Hal ini didasarkan dari langkah-langkah diagnostik yang telah dikerjakan

yaitu dari anamnesa didapatkan keluhan tidak bisa menelan sejak 4 hari SMRS, panas badan sejak 3

hari SMRS, keluhan lain berupa kesulitan untuk makan dan minum, serta riwayat imunisasi tidak

lengkap. Pasien belum mendapat imunisasi DPT. Dari pemeriksaan fisik sebelumnya kami dapatkan

bull neck, pembesaran kelenjar getah bening submandibulla kanan, dan pembesaran tonsil T2/T2

disertai beslagh di tonsil kiri.

Faktor yang menyebabkan kejadian difteri pada pasien ini yaitu pasien belum mendapatkan

imunisasi DPT. Pasien ini hanya mendapat imunisasi saat lahir. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Nurbani dkk (2010), membandingkan pengaruh kepadatan hunian, kontak dengan penderita, luas

ventilasi tidak memenuhi syarat, jenis lantai tidak kedap air, jenis dinding tidak kedap udara, dan

riwayat imunisasi tidak lengkap. Hasilnya, riwayat imunisasi berpengaruh 69,6% terhadap terjadinya

difteri. Pasien ini tidak mendapatkan imunisasi bisa disebabkan oleh pengetahuan orang tua pasien

yang rendah akan pentingnya imunisasi.

Kasus pada pasien ini menunjukkan bahwa cakupan program imunisasi masih kurang

sehingga masih ada anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Menurut keputusan Menteri Kesehatan

Rebuplik Indonesia, cakupan imunisasi nasional pada tahun 2009 belum mencapai target. Untuk itu,

cakupan program imunisasi hendaknya ditingkatkan sehingga semua anak terlindungi dari difteri.

22

Page 24: imunisasi di indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Diunduh dari: www.pediatrik.com/ilmiah_popular

Anonim, 2011. Pemerintah Kabupaten Jombang. Diunduh dari: http://www.jombangkab.go.id/SatKerDa/page/1.2.6.2/2011%20Profil%20Kesehatan%20Bab%20III.pdf

IDAI. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Nurbani, Bani Sri, Siti Novianti. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Difteri Di Kecamatan Taraju Kabupaten Tasikmalaya. Kesehatan Komunitas Indonesia Vol. 6 No.1, Maret 2010. Diunduh dari: http://www.jombangkab.go.id/SatKerDa/page/1.2.6.2/2011%20Profil%20Kesehatan%20Bab%20III.pdf

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia

23