implementasi pp 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian

16
IMPLEMENTASI PP 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG KESEHATAN 1 Oleh: Amir Hamzah Pane 2 PENDAHULUAN Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan perundang- undangan dimaksud. Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi lahirnya peraturan- perundang-undangan tersebut. 3 Dari sini dapat ditentukan 1 Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”, ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia. 2 Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi. 3 Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009 1

Upload: 041267

Post on 29-Nov-2015

327 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

pp 51 kefarmasian

TRANSCRIPT

Page 1: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

IMPLEMENTASI PP 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN

DAN KAITANNYA DENGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI BIDANG KESEHATAN1

Oleh: Amir Hamzah Pane2

PENDAHULUAN

Ada dua pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami PP 51 tahun 2009 tentang

Pekerjaan Kefarmasian sebagai sebuah peraturan perundang-undangan dan

implementasinya di bidang kesehatan dan farmasi. Pertama, memahami dan mengerti

fungsi, posisi dan materi muatan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan.

Kedua, memahami definisi dan pengertian berbagai masalah yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan dimaksud.

Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan lahirnya suatu

peraturan perundang-undangan adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi

lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.3 Dari sini dapat ditentukan berbagai

peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang dimaksud dan lembaga mana yang mempunyai

kewenangan untuk melahirkan berbagai peraturan pelaksanaanya.

Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

menetapkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai

berikut: a. UUD 1945, b. UU/ PERPU, c. Peraturan Pemerintah, d. Peraturan Presiden, e.

Peraturan daerah.4 Selanjutnya dinyatakan bahwa jenis peraturan perundang-undangan

selain sebagaimana dimaksud di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan

hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih 1 Materi disampaikan pada: “Seminar Peningkatan Kompetensi Farmasis”, ISFI Cabang Kota Palembang, 05 Desember 2009. Pilihan judul sesuai dengan proposal panitia.

2 Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen Universitas Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.

3 Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 4 Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

1

Page 2: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

tinggi.5 Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud di atas’ adalah

peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti peraturan menteri, instruksi menteri dan

lain-lainnya, yang jika dibuat harus dengan tegas berdasar dan bersumber dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.6

Fungsi Peraturan Pemerintah adalah: a. Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-

Undang yang tegas-tegas menyebutnya, b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

ketentuan lain dalam Undang-Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas

menyebutnya. Sedangkan menurut pasal 10 UU No. 10 tahun 2004, materi muatan

Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana

mestinya. Maksud dari ‘sebagaimana mestinya’ adalah materi muatan yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-

Undang bersangkutan.

Sesuai dengan pasal 17 UUD 1945, maka fungsi dari Peraturan Menteri adalah sebagai

berikut: a. Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan

kekuasaan pemerintahan di bidangnya, b. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

ketentuan dalam Peraturan Presiden, c. Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut

ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya, d. Menyelenggarakan

pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas

menyebutnya.

Dalam Pedoman no. 173 Lampiran UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan bahwa

Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada Menteri atau pejabat

setingkat menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.

Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem komunikasi.7 Artinya dalam

sistem undang-undang terdapat apa yang kita kenal dengan permainan bahasa. Apa yang

ada dalam undang-undang selalu mengandung pertanyaan: siapa yang berkomunikasi,

untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan apa isi dari yang disampaikan

5 Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

6 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74

7 Anthony Allots, The Limits of Law, Buteerworths, London, 1989, page 5

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

2

Page 3: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

tersebut, apa yang menjadi pengganggu dan penghalang dalam melakukan komunikasi atau

bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan.

Dengan memahami bahwa peraturan perundang-undangan adalah sebuah sistem

komunikasi, maka merupakan keniscayaan bagi setiap pengguna peraturan perundang-

undangan untuk memahami definisi (definitie) dan pengertian-pengertian (begrip) yang

diatur dan dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud.

Pada bidang hukum, pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam dogmatika

hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan. Karena sebuah undang-undang

dimaksudkan untuk mengatur prilaku warga masyarakat, maka harus dibuat jelas prilaku

apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.

Maksud dari penetapan definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian

secermat mungkin, sehingga jelas bagi setiap orang dalam setiap keadaan melaksanakan

apa yang diatur sebuah peraturan perundang-undangan.8 Hal itu mengakibatkan bahwa

banyak undang-undang, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberi batasan

pengertian (definisi yuridis) terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan

dalam undang-undang itu.

Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, pengertian yang akan

dibahas lebih lanjut adalah:

1. Pekerjaan Kefarmasian, Praktik Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical

Care).

2. Penempatan istilah tersebut dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan.

3. Implikasi definisi yuridis dari istilah-istilah di atas terhadap peraturan pelaksanaan dari

peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.

PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN PRAKTEK KEFARMASIAN

Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik Kefarmasian

adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’, seperti dimaksud Ordonansi Obat Keras, yang

mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang sesuai dengan peraturan-peraturan

8 J.J.H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, cetakan 2, hal. 49

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

3

Page 4: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan Praktek Peracikan Obat di

Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin sebuah apotek. 9

Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang

Farmasi yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah pembuatan, pengolahan,

peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau

bahan obat. 10

Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang

menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan

obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,

bahan obat, dan obat tradisional.11

Selanjutnya UU ini menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan,

produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, 12 dan mengamanatkan bahwa

Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.13

Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar hukum pembentukan PP 51 tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang proses penantian hingga lahirnya membutuhkan

waktu 17 tahun. Ironisnya, pada saat ketika PP 51 diundangkan 1 September 2009, UU No.

36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-

Undang.

Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak

didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang definisinya tidak

dijumpai dalam Ketentuan Umum. Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang

9 Pasal 1 ayat (1) huruf (b) Ordonansi Obat Keras, St. 1937 No. 41.

10 Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi.

11 Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.

12 Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

13 Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

4

Page 5: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,

bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.

Selanjutnya diamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.14 Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan

tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan,15 pertanyaan mendasar yang perlu dijawab

berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian

atau Praktik Kefarmasian?, atau apa implikasi yuridis penggunaan istilah “Praktik

Kefarmasian“ pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam bentuk

Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2) UU Kesehatan tahun 2009?.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga menggunakan secara bergantian

istilah Pekerjaan Kefarmasian dan Praktik Kefarmasian dengan maksud menunjuk

pengaturan atas subjek dan objek hukum yang sama. Bedanya istilah Pekerjaan

Kefarmasian didefinisikan dengan jelas pada Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), sedangkan

istilah Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan.

Kerancuan ini juga terbaca pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan bahwa

“perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum

memadai....“ dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan Pemerintah ini diatur Asas dan

Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.

PELAYANAN KEFARMASIAN

Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dikenalkan istilah “Pelayanan

Kefarmasian”, yang didefinisikan sebagai “suatu pelayanan langsung dan bertanggung

jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai

hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”16.

14 Lihat Pasal 108 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan 2009

15 Pasal 203 UU Kesehatan tahun 2009 tentang Ketentuan Peralihan: “Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”

16 Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

5

Page 6: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker dan atau Tenaga Kefarmasian

dalam melaksanakan Pelayanan Kefarmasian. Sedikit penjelasan dapat dilihat dari

pengertian Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang digunakan untuk

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit,

puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.17

Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian merupakan bagian dari Pekerjaan

Kefarmasian, atau Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk aktifitas apoteker dan

atau Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?.

Hal ini akan semakin rancu jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 tahun 2009,

yang menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan

Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”18, yang pengertiannya lain dari “mainstream”

pengertian Apotek yang selama ini dipahami profesi apoteker, yaitu “suatu tempat tertentu,

tempat dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada

masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan Kefarmasian adalah Apoteker.

Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang sebenarnya dilakukan apoteker di apotek?,

Pekerjaan Kefarmasian, Praktek Kefarmasian atau Pelayanan Kefarmasian?.

PP 51 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DAN APOTEK RAKYAT.

Pertimbangan untuk melahirkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Apotek Rakyat

adalah untuk meningkatkan dan memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan

atau meningkatkan pelayanan kefarmasian.19 Permenkes ini menjadikan UU 23 tahun 1992

tentang Kesehatan sebagai dasar “Mengingat” dan menyatakan bahwa “Apotek Rakyat”

adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana dilakukan

penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak melakukan peracikan”.20

Pada saat keluarnya Permenkes ini, berbagai ketentuan tentang apotek dan toko obat

menjadi rancu dan saling bertabrakan. Tidak ada satupun aturan dan ukuran yang

17 Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 18 Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

19 Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007

20 Pasal 1 huruf (1) Permenkes No. 284/MENKES/PER/III/2007

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

6

Page 7: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

menjadikan dasar yang membedakan apa itu “Apotek Rakyat” dan “Apotek”, apakah

Ketenagaan, Omset, Ketersediaan Obat, Lokasi atau lainnya. Yang ada hanyalah perbedaan

pelayanan kefarmasian (pekerjaan kefarmasian) yang bisa dilakukan seluruhnya oleh

apoteker dan atau tenaga kefarmasian di Apotek, sedangkan di Apotek Rakyat tidak

diperkenankan “melakukan peracikan”.

Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan perundang-undangan yang

secara vertikal berada di atas Permenkes tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada satu

pasalpun yang mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat.

Jika dikaitkan dengan definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, maka

merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992 tentang

Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana Kesehatan” adalah: Balai Pengobatan, Pusat

Kesehatan Masyarakat, Rumah sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Praktik Dokter, Praktik

Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik Dokter Gigi Spesialis, Praktik Bidan, Toko

Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat dan Bahan Obat, Laboratorium, Sekolah dan Akademi

Kesehatan, Balai Pelatihan Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.

Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang

menyatakan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa: a. Apotek, b. Instalasi Farmasi

Rumah Sakit, c. Puskesmas, d. Toko Obat; atau f. Praktek Bersama, maka pada dasarnya

keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh PP 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

APOTEKER PENANGGUNGJAWAB DAN APOTEKER PENDAMPING.

Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur tentang Apoteker Penanggung jawab dan

Apoteker Pendamping.21 Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa setiap Apoteker hanya dapat

melaksanakan praktik (sebagai Penanggung Jawab) di 1 (satu) apotek, atau Puskesmas atau

instalasi farmasi rumah sakit.

Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat melaksanakan praktik paling banyak di 3

(tiga) apotek, atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit. Pertanyaannya adalah, apa

yang menjadi tanggung jawab Apoteker Pendamping saat melakukan Pekerjaan

Kefarmasian di apotek yang Apoteker Penanggung jawabnya tidak berada di tempat?, dan

bagaimana aturan hukumnya jika pada saat yang sama seorang Apoteker Penanggung

21 Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

7

Page 8: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

Jawab juga melakukan pekerjaannya sebagai Apoteker Pendamping di 3 (tiga) Apotek

lain?.

IZIN MELAKUKAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51 tahun 2009 mengatur

mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya, setiap Apoteker harus memiliki Surat Tanda

Registrasi Apoteker (STRA). Kemudian jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan

Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maka Apoteker tersebut wajib

memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan

Kefarmasian pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker

wajib memiliki Surat Izin Kerja (SIK).

SERTIFIKAT KOMPETENSI PROFESI.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan dimilikinya Sertifikat

Kompetensi Profesi.22 Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat

memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi Profesi setelah melakukan registrasi.

Sertifikat Kompetensi Profesi ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang

melalui uji kompetensi profesi.

Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi Kompetensi Profesi, PP 51

tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara memperoleh

Sertifikat Kompetensi dan tata cara registrasi profesi akan diatur dengan Peraturan Menteri.

DOKTER DISPENSING DAN SUBSTITUSI OBAT.

PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan kebolehan kepada Tenaga

Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian23. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 yang

menyatakan: Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi

yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan

menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

Dipihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan melakukan

penggantian obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau 22 Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

23 Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian adalah a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

8

Page 9: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek

dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya dimaksudkan untuk

memberikan kesempatan kepada pasien yang kurang mampu secara finansial untuk tetap

dapat membeli obat dengan mutu yang baik.

PP 51 TAHUN 2009 DAN ORGANISASI PROFESI

Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia adalah Ikatan Sarjana Farmasi

Indonesia (ISFI). Di dalamnya berhimpun organisasi profesi seminat, yaitu HISFARMA

untuk kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, untuk kelompok profesi

farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk kelompok profesi farmasi industri.

Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan Dokter Indonesia), keberadaan

organisasi profesi di dalam PP 51 tahun 2009 tidak didefenisikan dalam ketentuan umum,

apakah ISFI atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada Ketentuan Umum, Pasal 1

angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah organisasi tempat berhimpun para

apoteker di Indonesia.

Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, keberadaan organisasi profesi

dokter didefinisikan dalam Ketentuan Umum, Pasal 1 huruf (12), yang menyatakan:

“Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi

Indonesia untuk dokter gigi.

Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada Ketentuan Umum UU No. 29

tahun 2009 menyebabkan pembaca dan pengguna undang-undang menjadi mengerti bahwa

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang menetapkan standar

pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan.24 IDI juga mempunyai kewenangan

memberikan rekomendasi bagi dokter yang mau mendapatkan Surat Izin Praktik, 25 dan

melakukan pembinaan dan pengawasan bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.26

PP 51 TAHUN 2009 DAN KEWENANGAN ORGANISASI PROFESI

PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan kewenangan kepada organisasi

profesi untuk memberikan rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan Surat Izin

24 Pasal 28 ayat (2) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

25 Pasal 38 ayat (1) huruf (c) UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

26 Pasal 71 UU No. 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

9

Page 10: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

Praktik Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi farmasi rumah

sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin bekerja pada fasilitas produksi dan fasilitas

distribusi atau penyaluran.27

Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan “audit kefarmasian”, yaitu

evaluasi secara profesional terhadap mutu pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada

masyarakat. 28

Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinyatakan bahwa

Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota serta

Organisasi profesi apoteker mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.

PENUTUP

Profesi dokter dan dokter gigi merupakan profesi yang paling beruntung diantara tenaga

kesehatan yang ada di Indonesia. Dokter dan dokter gigi memiliki UU No. 29 tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang ini mengatur berbagai hal tentang asas dan

tujuan praktik kedokteran, pembentukan Konsil Kedokteran, penyelenggaraan praktik

kedokteran, pembentukan MKDKI dan pengaturan ketentuan pidana. Dalam materi

muatannya diatur tentang hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban

pasien dan perlindungan hukum bagi dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan

praktik kedokteran.

Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya merupakan profesi yang kurang beruntung

dikaitkan dengan payung hukum yang mengatur dan melindungi mereka dalam

menjalankan profesinya. PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian sama sekali

tidak mengatur hak dan kewajiban apoteker/ tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan

pekerjaan kefarmasian.

Demikian juga PP ini tidak mengatur hak dan kewajiban pasien. Jika terjadi masalah dalam

hal penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian dan atau sengketa antara apoteker/ tenaga

kefarmasian dengan pasien/ masyarakat, maka apoteker dan tenaga kefarmasian tidak

27 Pasal 55 ayat (1) huruf (c) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

28 Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

10

Page 11: Implementasi Pp 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

mempunyai ketentuan perundangan-undangan yang sifatnya spesialis yang melindungi diri

profesi dan usaha mereka.

Jakarta, 5 Desember 2009.

Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, Implementasi PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Seminar Palembang, 05 Desember 2009

11