pelayanan kefarmasian

31
BAB I PENDAHULUAN Drug Related Problems (DRPs) atau masalah terkait obat adalah bagian dari asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang menggambarkan suatu keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial, DRP actual adalah masalah yang terjadi seketika saat pasien menggunakan obat (misalkan alergi dll), dan DRP potensial adalah masalah yang akan terjadi pada saat setelah penggunaan obat (misalnya kerusakan hati, ginjal, dan sebagainya). Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP,

Upload: noero3l

Post on 14-Sep-2015

101 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

masalah yang mungkin timbul pada pelayanan kefarmasian dalam prakteknya di lapangan

TRANSCRIPT

Drug Related Problems (DRPs)BAB IPENDAHULUAN

Drug Related Problems (DRPs) atau masalah terkait obat adalah bagian dari asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) yang menggambarkan suatu keadaan, dimana profesional kesehatan (apoteker) menilai adanya ketidaksesuaian pengobatan dalam mencapai terapi yang sesungguhnya DRP dibagi menjadi 2 : actual dan potensial, DRP actual adalah masalah yang terjadi seketika saat pasien menggunakan obat (misalkan alergi dll), dan DRP potensial adalah masalah yang akan terjadi pada saat setelah penggunaan obat (misalnya kerusakan hati, ginjal, dan sebagainya). Dengan adanya DRP diharapkan seorang apoteker menjalankan perannya dengan melakukan screening resep untuk mengetahui ada atau tidaknya DRP, serta melakukan konseling pada pasien tersebut agar masalah terkait penggunaan obat dapat diatasi dan pasien dapat mengerti tentang pengobatannya yang bermuara pada meningkatnya kepatuhan pasien dalam pengobatan yang teratur

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana terapi obat berpotensi atau secara nyata dapat mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Identifikasi DRPs penting untuk meningkatkan efektivitas terapi obat.Ada 8 jenis Drug Related Problem, yaitu :1. Indikasi yang tidak ditangani(Untreated Indication)Ada indikasi penyakit/keluhan pasien yang belum ditangani dalam resep tersebut, misalnya pasien mengeluh nyeri di persendian, sedang dalam resep tersebut tidak ada obat untuk mengatasi masalah nyeri tersebut.2. Pilihan Obat yang Kurang Tepat(Improper Drug Selection)Pemilihan obat dalam resep kurang tepat (salah obat) dan beresiko, misalnya pasien demam dikasih antibiotik rifampisin, ini jelas pemilihan obat salah. atau obat yang dipilih memiliki kontraindikasi atau perhatian (caution) terhadap pasien.3. Penggunaan Obat Tanpa Indikasi(Drug Use Without Indication)Obat yang ada dalam resep, tidak sesuai dengan indikasi keluhan penyakit pasien.

4. Dosis Terlalu Kecil(Sub-Therapeutic Dosage)Dosis obat yang diberikan dalam dosis tersebut terlalu kecil, sehingga efek terapi tidak memadai untuk mengobati penyakit pasien.5. Dosis Terlalu Besar(Over Dosage)Dosis yang diberikan dalam resep terlalu besar, diatas dosis maksimum, hal ini dapat berakibat fatal.6. Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki(Adverse Drug Reactions)Obat yang diberikan memberikan efek samping yang memberatkan kondisi pasien, misalnya captopril menyebabkan batuk yang mengganggu (efek samping ini tidak selalu terjadi, karena sensitifitas setiap orang berbeda-beda).7. Interaksi Obat(Drug Interactions)Obat-obatan dalam resep saling berinteraksi seperti warfarin dan vitamin K bersifat antagonis, atau obat dengan makanan semisal susu dan tetrasiklin membentuk khelat/kompleks yang tidak bisa diabsorpsi.8. Gagal Menerima Obat(Failure to receive medication)Obat tidak diterima pasien bisa disebabkan tidak mempunyai kemampuan ekonomi, atau tidak percaya dan tidak mau mengkonsumsi obat-obatan. atau bisa juga disebabkan obat tidak tersedia di apotek sehingga pasien tidak dapat memperoleh obat.Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien. Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan yang diinginkan. Klasifikasi masalah terkait obat Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR) Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping atau toksisitas.2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akanmemperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih besar atau lebih kecil daripada yang dibutuhkannya.4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidakmenggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang bermanifestasi atau potensial.5. Masalah lainnya (Others)Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak jelas (memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.

BAB IIIDRUG RELATED PROBLEMs (DRPs)

Drug related problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana terapi obat berpotensi atau secara nyata dapat mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. PCNE (Pharmaceutical Care Network Europe Foundation) mengklasifikasikan DRPs menjadi 4, yaitu masalah efektivitas terapi, reaksi yang tidak diinginkan, biaya pengobatan serta masalah lainnya. Identifikasi DRPs pada pengobatan penting dalam rangka mengurangi morbiditas, mortalitas dan biaya terapi obat. Hal ini akan sangat membantu dalam meningkatkan efektivitas terapi obat. Adapun contoh Drug Related Problems (DRPs) yang terjadi di masyarakat yaitu:1. Identifikasi Drug Related Problem Pada Kasus Rheumatoid Arthritis (Studi Di Instalasi Rawat Jalan Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo Surabaya)Rheumatoid Arthritis (RA) adalah salah satu penyakit rematik pada sendi dengan inflamasi kronik yang progresif. Penyebabnya diduga akibat disregulasi sistem imun tubuh yang ditandai dengan keterlibatan persendian simetrik poliartikular, manifestasinya sistemik dengan prognosis jangka panjang buruk, karena sistem imun yang seharusnya secara normal melindungi tubuh terhadap infeksi dan berbagai penyakit, menyerang jaringan sendi dengan alasan yang tidak jelas. Prevalensi dan insiden penyakit di beberapa negara termasuk di Indonesia cukup tinggi 0,5-1% populasi pada orang dewasa. Di Indonesia (Malang) penduduk berusia di atas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah kotamadya, 0,6% di daerah kabupaten. Hasil survei di Divisi Rheumatologi RSU Dr. Soetomo Rheumatoid Arthritis menempati peringkat kedua setelah osteoarthritis. Di Poliklinik Rheumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 ditemukan kasus baru rheumatoid arthritis yang merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Walaupun banyak obat efektif digunakan dalam pengobatan RA akan tetapi juga menimbulkan efek samping yang potensial dan membahayakan bagi pasien. Sebagai contoh efek samping yang timbul akibat penggunaan NSAID, kortikosteroid dan DMARDs dapat menyebabkan gangguan saluran cerna (tukak peptik, perdarahan, nyeri, mual dan muntah. Resiko efek samping yang lebih besar pada terapi RA terjadi apabila diberikan terapi kombinasi, baik kombinasi antar DMARDs maupun dengan kortikosteroid dan NSAIDs. Penggunaan NSAIDs dengan DMARDs menyebabkan resiko gangguan GIT yang lebih besar. Anemia dan leukositosis sering timbul pada kombinasi antar DMARDs. Obat-obat ini umumnya digunakan secara terus menerus/ long life treatment, maka efektifitas dan efek samping dari obat ini perlu dimonitor secara berkala. Pemilihan dan penggunaan terapi pada rheumatoid arthritis yang tepat menentukan keberhasilan pengobatan dan menghindari resiko efek samping yang serius. Selain itu tidak tertutup kemungkinan penggunaan obat lain dapat meningkatkan peluang terjadinya problema terkait obat (Drug Related Problems/DRPs). Semua problema ini membutuhkan perhatian khusus dan kecermatan dalam memberikan pelayanan secara profesional kepada pasien. Oleh karena itu problema obat yang terjadi pada penderita RA perlu selalu dimonitor Pemilihan dan penggunaan terapi obat pada RA yang tepat akan menentukan keberhasilan pengobatan dan menghindari resiko problema obat yang lebih serius sehingga dapat mencegah peningkatan length of stay (LOS)/waktu tinggal di Rumah Sakit. Identifikasi problema obat (DRP) secara dini akan memberikan manfaat yang besar pada penderita antara lain: dapat menekan biaya pengobatan, mencegah peningkatan morbiditas dan mortalitas lebih lanjut terkait obat.2. Korelasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika terhadap outcomes pasien pneumonia di instalasi rawat inap rumah sakit umum pusat H. Adam Malik Medan periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011Salah satu penyakit infeksi saluran napas yang paling sering terjadi adalah pneumonia. Tingginya insidensi penyakit pneumonia serta dampak yang ditimbulkannya membawa akibat terhadap tingginya konsumsi obat termasuk antibiotika sehingga berpeluang besar menimbulkan Drug Related Problems (DRPs). Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika merupakan masalah serius akibat ketidaktepatan pemakaian antibiotika dalam klinik yang dapat memberikan dampak negatif mempengaruhi tercapainya tujuan terapi. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Jenis penelitian adalah deskriptif dengan desain retrocpective cross sectional pada dua periode yaitu periode Oktober-Desember 2010 dan periode Januari-Maret. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin pada kedua periode. Untuk terapi tunggal/monoterapi, antibiotika yang paling banyak digunakan adalah seftriakson (20,00%) dan sefotaksim (16,67%) untuk periode Oktober-Desember 2010; seftriakson (40,48%) dan sefotaksim (4,76%) untuk periode Januari-Maret 2011, sedangkan terapi kombinasi dua atau lebih antibiotika yang paling banyak digunakan adalah kombinasi seftriakson dengan siprofloksasin pada kedua periode yaitu 30,00% pada periode Oktober-Desember 2010 dan 19,57% pada periode Januari-Maret 2011. Frekuensi kejadian DRP Pada periode Oktober-Desember 2010 kategori indikasi tanpa obat adalah sebesar 3,33%, obat tanpa indikasi sebesar 10,00%, dosis salah sebesar 6,67%, dan interaksi obat sebesar 53,33% sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 kejadian DRP kategori indikasi tanpa obat sebesar 0,00%, obat tanpa indikasi sebesar 9,52%, dosis salah sebesar 14,29%, dan interaksi obat sebesar 66,67%. Hasil analisis regresi linier pada periode Oktober-Desember 2010 menunjukkan bahwa indikasi tanpa obat berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien dan lama rawat pasien yaitu sebesar 0,694 dan 6,167 sedangkan pada periode Januari-Maret 2011 interaksi obat (0,151) berkorelasi paling besar terhadap kematian pasien, dan dosis salah (5,889) berkorelasi paling besar terhadap lama rawat pasien.3. Drug Related Problems Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tuberkulosis Paru Di Bangsal Penyakit Dalam Dan Poliklinik RSUP. Dr. M. Djamil Padang.Penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif yang dikerjakan secara prospektif dan retrospektif terhadap suatu populasi terbatas yaitu pasien dengan diagnosa DM dan TB paru dengan masa rawatan besar dari 7 hari di Bangsal Penyakit Dalam selama bulan April sampai Juni 2011 dan seluruh pasien dengan diagnosa DM dan TB paru di Poliklinik RSUP.DR.M. Djamil Padang selama bulan Juni 2010 sampai Juni 2011. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasien Diabetes Melitus di Bangsal Penyakit Dalam RSUP. DR. M. Djamil Padang berjumlah 168 orang dan 10 (5,9%) diantaranya adalah pasien dengan TB paru. Pada poliklinik ditemukan pasien DM dengan TB paru sebanyak 9 orang (4,5%). Dari penelitian tidak ditemui adanya indikasi tanpa obat ataupun pengobatan tanpa indikasi medis (DM dan TB paru). Pada Bangsal Penyakit Dalam, . Pasien yang mengalami ketidaktepatan pemberian obat sebanyak 3 dari 10 pasien, yang menerima obat dengan dosis berlebih sebesar 1 dari 10 pasien; yang menerima dosis kurang sebanyak 1 dari 10 pasien, yang mengalami efek samping terapi sebanyak 1 dari 10 pasien dan yang mengalami interaksi obat sebanyak 2 dari 10 pasien. Sedangkan pada Poliklinik, Pasien yang menerima obat dengan dosis kurang sebanyak 1 dari 9 pasien, yang mengalami efek samping terapi yang dapat teratasi sebanyak 4 dari 9 pasien, dan yang mengalami interaksi obat yang dapat teratasi sebanyak 6 dari 9 pasien. Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa prevelensi DRPs di RSUP.DR.M.Djamil Padang rendah4. Identifikasi Drug Related Problems pada Penanganan Pasien Hipertensi di UPT Puskesmas JembranaMetode penelitian yang digunakan adalah deskriptif observasional, dimana pengambilan data dilakukan secara prospektif pada Desember 2012 sampai April 2013 di UPT Puskesmas Jembrana. Rekam medis pasien dianalisa serta dilakukan wawancara pasien untuk mengidentifikasi adanya DRPs. Hasil penelitian pasien hipertensi yang dilayani selama 1 Desember 2012 sampai 30 April 2013 di UPT Puskesmas Jembrana Karakteristik pasien yang dilihat pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, serta stage hipertensi pasien. Terdapat 19 pasien (54,29%) yang berjenis kelamin laki-laki dan 16 pasien (45,71%) yang berjenis kelamin perempuan. Jika dilihat dari usia, terdapat sebanyak 3 pasien (8,57%) yang berada pada rentang usia 35 tahun sampai 44 tahun, 10 pasien (28,57%) yang berada pada rentang usia 45 tahun sampai 54 tahun, 14 pasien (40,00%) yang berada pada rentang usia 55 tahun sampai 64 tahun, dan 8 pasien (22,86%) yang berada pada rentang usia 65 tahun sampai 74 tahun. Sebanyak 12 pasien (34,29%) didiagnosa mengalami hipertensi stage 1 dan 23 pasien (65,71%) didiagnosa mengalami hipertensi stage 2. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 3 jenis obat antihipertensi yang digunakan dalam terapi pasien hipertensi, yaitu captopril (AngiotensinConverting Enzyme Inhibitor), nifedipine (Calcium Channel Blocker) dan furosemide (diuretik). Obat antihipertensi yang digunakan secara tunggal adalah captopril (42,86%) dan nifedipine (2,86%). Kombinasi 2 macam obat yang digunakan adalah kombinasi captopril dengan furosemide (34,29%), kombinasi captopril dengan nifedipine (11,43%) dan kombinasi nifedipine dengan furosemide (8,57%). Dari 35 subyek penelitian terdapat 31 subyek penelitian (88,57%) yang secara nyata atau berpotensi mengalami DRPs. DRPs yang terjadi ditampilkan pada tabel A.1. Tidak adanya efek dari terapi ditunjukkan dengan tidak adanya penurunan tekanan darah pasien atau terjadi peningkatan pada tekanan darah pasien. Efek terapi yang tidak optimal ditunjukkan dengan adanya penurunan tekanan darah pasien, namun tekanan darah pasien belum mencapai target yang diharapkan yaitu penurunan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik minimal 10% dari tekanan darah awal atau tekanan darah sistolik < 140 mmHg dan tekanan darah diastolik < 90 mmHg. Penilaian efektivitas terapi dipantau pada hari ke 10-15 terapi.Penyebab DRPs yang terjadi ialah pemilihan obat yang tidak tepat terjadi pada 11 pasien (31,43%), dimana 3 pasien (6,67%) mendapatkan kombinasi obat-obat yang tidak tepat; 2 pasien (4,44%) mendapatkan terlalu banyak obat diresepkan untuk indikasi; dan 6 pasien (13,33%) membutuhkan obat yang sifatnya sinergis atau mencegah namun tidak diberikan. Pemilihan dosis yang tidak tepat yang terjadi adalah frekuensi regimen dosis captopril dan nifedipine yang tidak cukup pada 12 pasien (26,67%) hipertensi. Kepatuhan pasien merupakan penyebab DRPs yang paling sering terjadi (21 pasien (46,67%), dimana pasien lupa atau sengaja tidak datang untuk kontrol sehingga tidak mendapatkan obat. Selain itu, terdapat juga kejadian dimana tidak ada penyebab yang jelas yang membuat pasienmengalami masalah efektivitas terapi. Penyebab DRPs yang tidak jelas ini dialami oleh 1 pasien (2,22%).

Sumber: Gumi, Vera Carolina, 2013

BAB IVPEMBAHASAN

Drug Related Problems (DRPs) adalah masalah yang tidak diinginkan tentang obat yang terjadi pada pasien, yang dimana hal ini dapat dicegah oleh seorang apoteker (farmasis). Peran penting ini jika dijalankan dengan optimal oleh farmasis dengan bantuan staf medis lainnya maka akan membantu pasien sembuh dari penyakitnya lebih cepat, dengan waktu dan pengeluaran ekonomi sekecil mungkin, belum lagi menghindarkan dari efek buruk dan risiko berat yang berpotensi mengancam keselamatan pasien, maka dari itu penting untuk mengetahui penyebab, penanganan dan pencegahan dari Drug Related Problems (DRPs) ini.Di Indonesia, sudah banyak penelitian mengenai DRPs yang terjadi di RS Indonesia, walaupun untuk apotik sendiri masih jarang dilakukan penelitian. Adapun DRPs yang umumnya terjadi di Indonesia menurut beberapa penelitian:1. Indikasi Tanpa Obat DRP mengenai indikasi tanpa obat pada pasien poliklinik agak sulit dinilai karena lembaran Rekam Medik tidak melampirkan keluhan pasien secara keseluruhan. Namun umumnya DRP ini terjadi.

2. Obat tanpa Indikasi Medis Umumnya Dari data yang diperoleh terlihat, disamping obat utama yang diperoleh oleh pasien juga diresepkan obat-obat lain kemungkinan karena kondisi klinis pasien. Misalnya diresepkan simvastatin untuk mengatasi hiperlipidemia, ascardia sebagai terapi tambahan pada pasien DM, alprazolam untuk mengatasi gangguan tidur, dan Amitriptilin untuk mengatasi kondisi psikis pasien.3. Ketidaktepatan Pemilihan Obat Untuk ketepatan pemilihan obat agak sulit dinilai, namun secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa hal ini bergantung dari kemampuan dan skill dari dokter yang umumnya berbeda-beda, maka rentan terjadi DRPs.4. Dosis Obat berlebih atau Dosis Obat Kurang Misalnya Pasien DM tipe 2 dan TB paru paling sering mengalami DRP pada penentuan dosis obat DM yang digunakan terutama glibenklamid. Dimana Rifampisin akan mengurangi kadar serum glibenklamid dalam darah dengan cara meningkatkan proses metabolisme glibenklamid di hati.5. Efek samping Obat Hal ini menjadi tanggung jawab Farmasis secara penuh karena umumnya dokter kurang mengetahui hal ini, dan Farmasis yang harus memberi pertimbangan dan informasi mengenai hal ini untuk pasien. Contohnya efek samping obat dari terapi obat antidiabetik dan OAT beberapa pasien mengalami keluhan nyeri sendi setelah mendapatkan terapi OAT.6. Interaksi Obat Contoh pada pengobatan DM, Rifampisin merupakan senyawa penginduksi hati yang poten sehingga dapat meningkatkan proses metabolisme dari sebagian besar golongfan sulfonilurea sehingga perlu dilakukan peningkatan dosis secara bertahap sesuai dengan respon klinis pasien. Salah satu obat yang berinteraksi dengan rifampisin adalah glibenklamid, sehingga pada pasien DM tipe 2 dengan TB yang memerlukan pengontrolan kadar gula darah secara baik perlu dilakukan penambahan dosis obat.7. Kegagalan Terapi Pasien Kegagalan terapi pasien dapat berasal dari pasien dapat disebabkan oleh faktor psikososial, ekonomi, ketersediaan obat, dan tenaga medis.. misalnya dari segi kepatuhan pasien untuk meminum obat TB, dapat teratasi dengan Program Penanggulangan Tuberkulosis yang dilakukan pemerintah dengan menunjuk PMO (Pengawas Menelan Obat) yang bertugas untuk memastikan bahwa pasien benar benar telah meminum obat yang diberikan.Adapun pencegahan yang bisa dilakukan Farmasis (Apoteker) terkait DRPs adalah meningkatkan pengetahuan di bidang yang terkait dengan DRPs ini, baik dengan membaca, selalu mengikuti perkembangan terbaru dalam hal pengobatan dan dunia medis, serta memiliki ilmu Pharmaceutical Care dan komunikasi yang baik dengan pasien dimana agar hasil Screening tepat, bisa dengan menanyakan rekam medik dan informasi penting lainnya seperti riwayat pengobatan, alergi, dan penyampaian informasi penting seperti aturan pakai, cara pakai obat dan adanya interaksi yang mungkin terjadi pada obat jika dikonsumsi dengan zat tertentu atau makanan dan minuman tertentu, yang diberikan dapat sampai pada pasien agar diperoleh hasil yang diharapkan.Pada penanganan DRPs apabila sudah terlanjur terjadi, dapat diberikan beberapa tindakan, misalnya pada kasus indikasi tanpa obat, obat tanpa indikasi medis dan ketidaktepatan pemilihan obat, bisa dikonsultasikan secara baik dengan dokter yang memberi resep tentang bagaimana baiknya apakah obat tersebut ditambah jenisnya, dikurangi atau diganti, dan adapun untuk DRPs dosis obat berlebih atau dosis obat kurang, efek samping obat dan interaksi obat, sebagai farmasis tentu lebih menguasai hal ini, maka bila didapati masalah ini hendaknya berkonsultasi dengan dokter secara baik dan bijak, tentang kesesuaian obat dalam resep dimana adakalanya obat ditambah dosisnya atau dikurangi, dan ditanyakan kepada pasien tentang riwayat alergi atau rekam medik yang mungkin ada, kemudian untuk DRP kegagalan terapi pasien, umumnya akibat ketidakpatuhan pasien meminum obat, maka bisa dijelaskan secara jelas oleh Farmasis tentang aturan pakai dan pentingnya mengkonsumsi obat secara teratur, dan untuk kasus-kasus tertentu seperti pasien lansia dan TBC diharapkan ada orang terdekat pasien yang mengawasi dan mengingatkan tentang jadwal terapi untuk pasien mengkonsumsi obat.

BAB VPENUTUP

a. KesimpulanDRPs (Drug Related Problems) dapat terjadi pada proses terapi dan merugikan pasien, namun dapat dicegah dan ditangani sehingga peran Farmasis (Apoteker) diharapkan demi tercapainya proses terapi yang optimal.b. Saran Apoteker beserta tenaga medis lain perlu bekerja sama secara harmonis dan bijaksana demi optimalnya pencegahan dan penanganan pada DRPs yang mungkin terjadi selama terapi pada pasien untuk memajukan kualitas kesehatan terutama di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Gumi, Vera Carolina, 2013. Identifikasi Drug Related Problems Pada Penanganan Pasien Hipertensi di UPT Puskesmas Jembrana. Denpasar: Universitas Udayana.Simarmata, Mayannaria, 2010. Intervensi Apoteker. Jakarta: Universitas Indonesia.Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010.Yulistiani, Bambang S. Zulkarnain, Joewono Soeroso, 2007. Identifikasi Drug Related Problem Pada Kasus Rheumatoid Arthritis (Studi Di Instalasi Rawat Jalan Divisi Rheumatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSU Dr. Soetomo Surabaya). Surabaya: Universitas Airlangga.Hidayah, Nurul. 2011. Korelasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Terhadap outcomes Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Periode Januari-Maret 2011. Medan: Universitas Sumatera Utara.Nazulis, Riri Afrianti, 2011. Drug Related Problems pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Tuberkulosis Paru di Bangsal Penyakit Dalam dan Poliklinik RSUP. dr. M. Djamil Padang, Padang: Universitas Andalas.

21