implementasi perda kota serang no. 2 …repository.fisip-untirta.ac.id/1293/1/skripsi hamdan...

279
IMPLEMENTASI PERDA KOTA SERANG NO. 2 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT (Studi kasus Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Oleh : HAMDAN NURKHOLIS 6661130290 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2017

Upload: lythuy

Post on 19-Jul-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IMPLEMENTASI PERDA KOTA SERANG NO. 2 TAHUN 2010

TENTANG PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT (Studi kasus Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh :

HAMDAN NURKHOLIS

6661130290

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2017

ABSTRACT

Hamdan Nurkholis. NIM 6661130290. Skripsi Impelementation of

Perda City Regulalation No. 2 of 2010 concerning prevention, eradication

and overcoming community diseases in thomeless and beggar case

studies. The purpose of this is to gain knowledge about the

implementation of PERDA Kota Serang No. 2 Tahun 2010. 1st Advisor:

Dr. Dirlanudin, M.Si and 2nd Advisor : Riny Handayani, S.Si, M.Si

This type of research is descriptive qualitative. The purpose of this study was to

gain knowlegde about the implementation of Serang city regulation no. 2 of 2010,

the adverse effects of homeless activities and beggars, and the solutions of the city

Serang government in solving this problem. Data collection techniques use field

studies, interviews, photos, and graphic or table documents. Observation began

by visiting several places where homeless and beggarswere located at the red

lights of the city of Serang, Alun-alun,the Maulana Yusuf Stadium and the rau

market city of serang. the backround of this research is the growing and

increasing activity of homeless and beggars in Serang cities that have a vision of

being a civil city. In addition, the researchers saw bthe adverse effects of

homeless activities and beggars in the city of attack began to threaten the value of

the beauty of the orderliness and comfort of the attacking city people. Departing

from this bcakground, the researcher focused this research on how the

implementation of the Regional Regulation of Serang City No. 2 of 2010, which

should be a legal basis for preventing, eradicating and overcoming the activities

of homeless and beggars in Serang City. Furthermore, the researcheers conductes

interviews with several people and groups invoved in homeless activities and

beggars, including two Serang city government agencies that deal with beggar

homelessness issues, namely the Social Services and Satpol PP City of Serang.

from the result of research conducted by researchesers, it can be concluded that

the implementation of regional regulation no 2 of 2010 has not been going well.

Keywords : implementation of Serang city regulation no. 2 of 2010, homeless

activities and beggars, Social Services and Satpol PP City of Serang

ABSTRAK

Hamdan Nurkholis. NIM 6661130290. Skripsi. Implementasi Perda Kota

Serang No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan penyakit masyarakat dalam studi kasus aktivitas

gelandangan dan pengemis di Kota Serang. Pembimbing I: Dr. Dirlanudin.

M.si dan Pembimbing II: Riny Handayani, S.Si, M.Si

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk

mendapatkan pengetahuan tentang Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun

2010, dampak buruk dari aktivitas gelandangan dan pengemis, dan solusi

pemerintah Kota Serang dalam menyelesaikan masalah ini. Teknik pengumpulan

data menggunakan studi lapangan, wawancara, foto dan dokumen grafik atau

tabel. Observasi dimulai dengan mendatangi beberapa tempat mangkal

Gelandangan dan pengemis yang ada di Lampu Merah Kota Serang, Alun-alun,

Stadion Maulana Yusuf dan Pasar Rau Kota Serang. Latar belakang penelitian ini

adalah tumbuh dan meningkatnya aktivitas gelandangan dan pengemis di Kota

Serang yang memiliki visi sebagai Kota Madani. Selain itu, peneliti melihat

dampak buruk aktivitas gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini mulai

mengancam nilai keindahan Kota Serang serta mengganggu ketertiban dan

kenyamanan masyarakat Kota Serang. Berangkat dari latar belakang tersebut,

peneliti memfokuskan penelitian ini pada Bagaimana implementasi Perda Kota

Serang No 2 Tahun 2010, yang mana seyogyanya perda tersebut menjadi landasan

hukum untuk mencegah, memberantas dan menanggulangi aktivitas gelandangan

dan pengemis di Kota Serang. Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan

beberapa orang dan kelompok yang terlibat dalam aktivitas gelandangan dan

pengemis, termasuk dua instansi pemerintah Kota Serang yang menangani

masalah gelandangan pengemis, yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang.

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa

implementasi Perda No 2 Tahun 2010 sampai saat ini tidak berjalan dengan baik.

Kata kunci : Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010, Aktivitas

Gelandangan dan Pengemis, Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang

iii

MOTTO DAN LEMBAR PERSEMBAHAN

“Banyak Ilmu menambah

pengalaman, banyak teman

menambah saudara”

Persembahan :

“Skripsi ini kupersembahkan untuk

Kedua Orang Tua ku Tercinta

Serta kerabatku yang disayang dan

juga atas Bimbingan, Do‟a,

Motivasi secara moral selama

penyusunan Skripsi ini

berlangsung.”

iv

KATA PENGHANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat illahi Rabbi

kemudian shalawat serta salam semoga terlimpah dan tercurah kepada Nabi

besar Muhammad S.A.W yang telah mengiringi doa dan harapan penulis

untuk mewujudkan terselesaikanya penelitian skripsi ini yang berjudul

IMPLEMENTASI PERDA KOTA SERANG NO 2 TAHUN 2010

TENTANG PEMBERANTASAN, PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT ( Studi

Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang ). Penelitian skripsi ini dibuat sebagai persyaratan untuk

memperoleh Gelar Sarjana Strata satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

pada konsentrasi Kebijakan Publik program studi ilmu Administrasi Negara.

Sekalipun penulis menemukan hambatan dan kesulitan dalam memperoleh

informasi akurasi data sari para narasumber namun disisi lain penulis juga

sangat bersyukur karena banyak mendapat masukan untuk menambah

wawasan dan pengetahuan khususnya pada bidang yabg sedang diteliti oleh

penulis. Untuk terwujudnya penulisan penelitian skripsi ini banyak pihak

yang membantu penulis dalam memberikan motivasi baik waktu, tenga, dan

ilmu pengetahuanya. Maka dengan ketulusan hati, penulis mengucapkan

terima kasih kepada kedua orang tua tercinta atas curahan perhatian dan

v

kasih sayangnya dan juga doa yang tak henti serta motivasi dalam

pengerjaan penelitian skripsi ini.

Pada kesempatan ini juga suatu kebanggan bagi penulis untuk

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak

yang telah membantu dan mendukung, penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak DR. Agus Sjafari., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan II

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan III

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa

6. Ibu Listyaningsih, M.Si., Ketua Jurusan Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa.

vi

7. Bapak Riswanda, Ph.D Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa.

8. Bapak Dr. Dirlanudin, M. Si., sebagai dosen pembimbing I

yang telah senantiasa memberikan arahan dan bimbingan

secara sabar dan juga dukungan selama proses penyusunan

skripsi.

9. Ibu Riny Handayani, S.Si, M.Si., sebagai dosen pembimbing II

yang telah senantiasa memberikan bimbingan, arahan dan

motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian

skripsi ini.

10. Kepada seluruh Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa yang membekali penulis dengan ilmu pengetahuan

selama perkuliahan.

11. Para Staf Tata Usaha (TU) Program Studi Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sultan Ageng Tirtayasa atas segala bantuan informasi selama

perkuliahan.

12. Kepada kedua orang tuaku tercinta yakni Bapak Maman

Amirsyad, SE dan Ibu Hamdiyah yang telah menjadi motivator

terbesar selama perjalanan hidupku. Terima kasih atas segala

doa, bimbingan, kasih sayang, penyemangat, perhatian,

vii

dukungan serta motivasi yang tidak ada henti-hentinya yang

selalu diberikan untuku.

13. Kepada Ika Adhania yang selalu mendampingi, tak pernah

lelah memberikan semangat kepada saya dan yang saya cintai

setelah orang tua saya.

14. Kepada Pihak Dinas Sosial Kota Serang yang telah

memberikan informasi,data, dan ketersediaan waktu dalam

proses pengambilan data untuk penulis

15. Bapak Heli Priatna Selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial di

Dinas Sosial Kota Serang yang telah menjadi informan dan

memberikan informasi, data, dan ketersediaan waktu dalam

proses pengambilan data untuk penulis serta ilmu

pengetahuanya mengenai fokus penelitian pada skripsi ini.

16. Bapak Juanda, Selaku Kepala Seksi Penegakan Hukum Produk

Hukum Daerah di Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang

yang telah menjadi informan dan memberikan banyak

informasi yang saya butuhkan selama penyusunan skripsi;

17. Kepada kakak kandung tercinta saya Nurul Qomariyah yang

memberikan motivasi dan warna dalam hidup.

18. Kepada seluruh saudara-suadataku yang telah mendoakan,

memberi semangat dan motivasi.

viii

19. Teman-teman kelas A Angkatan 2013 Ilmu Administrasi

Negara selama menuntut ilmu. Terimakasih atas semua

kenangan selama empat tahun perkuliahan kalian luar biasa.

20. Kepada para sahabat Raihan Difa Utama, Helmi Yuda, Fathur

Rahman, Ratu Lana Arga, Farhan Latif dan Aji Dewantoro.

Terimakasih untuk persahabatan aktivitas bermain saya, doa

dan motivasi yang telah diberikan dalam penggarapan skripsi.

21. Kawan-kawan Hoby saya dalam bersepeda yang turut

memberikan dukungan dan doanya dalam penyusunan skripsi

22. Kawan-kawan KKM Kamenpora yang juga memberikan

pengalaman hidup serta motivasi dan semangat kepada penulis,

terutama Fathur Rahman yang sudah membantu peneliti.

Dengan ini penelitian skripsi telah selesai disusun. Penulis meminta

maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam pembuatan skripsi ini.

Maka dari itu kritik dan saran saya harapkan guna memperbaiki dan

menyempurnakan skripsi berikutnya. Penulis pun berharap agar skripsi ini

dapat bermanfaat bagi peneliti sendiri dan pembaca.

Wassalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Serang, 28 Februari 2018

Penulis

Hamdan Nurkholis

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

Halaman

KATA PENGHANTAR ...................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................... v

DAFTAR TABEL ............................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................. 1

1.2 Identifikasi Masalah ...................................................................... 36

1.3 Rumusan Masalah ......................................................................... 37

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................... 38

1.5 Manfaat Penelitian .........................................................................38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN

ASUMSI DASAR PENELITIAN

2.1 Konsep Kebijakan Publik ............................................................. 42

2.1.1 Kebijakan Publik .................................................................. 42

2.1.2 Analisis Kebijakan Publik .................................................... 48

2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik .......................................50

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ........................50

2.2.2 Langkah-langkah Implementasi Kebijakan Publik .............53

2.2.3 Teori Implementasi Kebijakan Publik .................................54

x

2.3 Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat.......... 65

2.4 Penyakit Masyarakat ................................................................... 70

2.5 Penelitian Terdahulu ..................................................................... 73

2.5 Kerangka Berfikir .......................................................................... 75

2.6 Asumsi Dasar Penelitian ................................................................ 79

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian ........................................................................... 81

3.2 Fokus Penelitian ............................................................................. 82

3.3 Lokasi Penelitian ........................................................................... 82

3.4 Instrumen Penelitian ...................................................................... 83

3.5 Informan Penelitian ........................................................................ 85

3.6 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data ................................... 89

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data .................................................... 89

3.6.2 Teknik Analisis Data ............................................................. 97

3.6.3 Uji Keabsahan Data ............................................................... 100

3.7 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 103

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ............................................................. 105

4.1.1 Profil Kota S erang .................................................................. 105

4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Serang .......................... 110

4.1.3 Profil Satpol PP Kota Serang ...................................................120

4.2 Deskripsi Data ................................................................................. 127

xi

4.2.1 Informan Penelitian ................................................................ 131

4.2.2 Deskripsi Penlitian ................................................................. 134

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................... 140

4.3.1 Komunikasi ............................................................................ 161

4.3.2 Sumber Daya ......................................................................... 192

4.3.3 Disposisi ................................................................................ 207

4.3.4 Struktur Birokrasi .................................................................. 213

4.4 Ringkasan Hasil Pembahasan ....................................................... 222

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 224

5.2 Saran ................................................................................................ 230

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Data Jumlah Gelandangan dan Pengemis Tahun 2017 9

Tabel 1.3 Data Jumlah Gelandangan dan Pengemis Tahun 2018 14

Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian 102

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara Penelitian 108

Tabel 3.4 Jadwal dan Waktu Penelitian 120

Tabel 4.1 Luas Wilayah Kecamatan di Kota Serang 123

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kota Serang Tahun 2014-2017 126

Tabel 4.3 Daftar Informan Penelitian 149

Tabel 4.4 Jenis dan Jumlah PMKS Tahun 2018 154

Tabel 4.5 SOP Penjaringan Pekat oleh Dinas Sosial Kota Serang 205

Tabel 4.6 Hasil Ringkasan Pembahasan 211

xiii

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir 86

Gambar 3.1 Analisis Data menurut Miles & Huberman 116

Gambar 4.1 Kantor Dinas Sosial Kota Serang 127

Gambar 4.2 Struktur Dinas Sosial Kota Serang 131

Gambar 4.3 Kantor Satpol PP Kota Serang 138

Gambar 4.4 Struktur Organisasi Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang 143

Gambar 4.5 Wawancara dengan Ibu Iroh (Pengemis) 157

Gambar 4.6 Wawancara dengan Bapak Mudi (Gelandangan) 159

Gambar 4.7 Rapat Sosialisasi Perda 168

Gambar 4.8 Alur Mekanisme Pelakasanaan Perda 180

Gambar 4.9 Program Pembinaan Gelandangan dan Pengemis 182

Gambar 4.10 Pendataan Gepeng Kota Serang 183

Gambar 4.11 Satuan Petugas (Satgas) Dinas Sosial 188

Gambar 4.12 Unit Kendaraan Satpol PP 194

Gambar 4.13 Tempat Penampungan Sementara/Rumah Singgah 196

Gambar 4.14 Tugas dan Tanggung Jawab Satpol PP Kota Serang 208

Gambar 4.15 Tugas dan Tanggung Jawab Dinas Sosial Kota Serang 209

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan mengenai kesejahteraan sosial memang pekerjaan

rumah yang tak kunjung terselesaikan bagi Pemerintahan periode kapan pun

baik didunia maupun di Indonesia. Sebagai negara yang dikategorikan

sebagai negara berkembang. Indonesia memiliki masyarakat dengan

permasalahan kesejahteraan sosial yang cukup tinggi. Masalah

kesejahteraan sering kali menjadi fokus utama pemerintah dalam

pembangunan dengan membuat berbagai program untuk masyarakat.

Seiring dengan perkembangan demokrasi yang menuntut

demokratisasi dalam praktek dan sosial pascarezim orde baru merupakan

salah satu agenda bersama gerakan reformasi . di sela-sela tuntutan tersebut

terdapat gugatan terhadap tuntutan akan kesejahteraan rakyat sebagai

tindakan yang relevan akan semangat demokrasi tersebut. Karena

diperlukannya paradigma atau cara pandang baru dalam menyikapi setiap

tuntutan masyarakat yang semakin heterogen.

Konsep pemerintahan demokrasi yang menuntut masyarakat untuk

ikut terlibat langsung dalam setiap aktifitas politik, apapun ras dan

kondisinya. Realisasi dari tujuan ini mungkin dilakukan sebagai suatu

2

kesempatan pengambilan kebijakan yang mengarah pada kesejahteraan

masyarakat.

Beberapa teoritik menjustifikasi aturan umum atas dasar keputusan

bersama rakyat. Sementara teoritik yang lain melihatnya sebagai alat untuk

mencegah kekejaman kekuasaan politik. Berbagai faktor penunjang dalam

keberhasilan suatu konsep bernegara seperti konsep demokrasi mengaruskan

masyarakatnya mampu untuk berpikir akan setiap tindakan politik yang dia

rasakan. Jelas bahwa sebagai makhluk yang berkehidupan sosial tidaklah

menguntukan baginya untuk duduk manis sementara semua keputusan

mengenai masyarakat dibuat oleh penguasa yang tidak dia upayakan untuk

mengontrol atau mengarahkanya. Seperti bahwa partisipasi aktif dalam hal-

hal yang memperbaiki suatu eksistensi beradat, masyarakat atau negara

merupakan bagian yang penting dalam perkembangan wataknya.

Zaman dimana masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi

keseharian yang dimilki, menjadikanya sebuah fenomena pantas untuk

dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari

peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyrakat tertentu.

Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor

penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah

mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran

pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat.

Masalah yang mendera juga satu persatu datang pasca kedatangan sistem

3

pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi

berwenang menyelesaikan setiap persoalan.

Gejolak kehidupan bernegara dewasa ini masih menyelimuti

gemuruhnya suasana demokrasi untuk menentukan siapa sebagai calon

pemimpin bangsa, dimana masyarakat menengah ke bawah terpengaruh

adanya kenaikan harga bahan pangan yang kian melambung, pengaruh

terhadap masyarakat dikalangan didorong oleh merebaknya isu positif

dikalangan usahawan yang mendorong perekonomian sehingga pergolakan

politik tidak menimbulkan kekerasan sehingga pengaruhnya terhadap

masyarakat dapat memikat investasi lokal maupun asing untuk menanamkan

modalnya.( Agus Dwiyanto, 2005: 97)

Dalam era Globalisasi dan krisis yang melanda Negara Republik

Indonesia mengakibatkan meningkatnya masalah Kesejahteraan Sosial yang

ada di masyarakat sehingga menyebabkan meningkatnya Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Masalah sosial menurut Scharman

dan Mandell (1997: 65) adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh

tingkah laku khusus yang dilakukan oleh perorangan (particular kind of

personal behavior) dan tingkah laku sosial (social behavior). Dengan

demikian menurut Departemen Sosial (2002: 18) bahwa tingkah laku dapat

dikatakan sebagai masalah sosial apabila: (1) tekanan dari masyarakat dan

organisasi, (2) menjadi agenda publik yang menuntut untuk segera

ditangani. Contoh masalah sosial yang ada di Indonesia diantaranya,

kemiskinan, bencana, keterlambatan dan sebagainya.

4

Hal inilah yang memicu kehadiran gelandangan dan pengemis di

Indonesia yang tidak bisa dilepaskan dari melemahnya kekuatan ekonomi

untuk menolong tumbuhnya lapangan kerja baru dan sekaligus menyerap

tenaga kerja. Adapun masalah lain yang memicu meningkatnya kehadiran

gelandangan dan pengemis yaitu masalah pertumbuhan kependudukan yang

merupakan salah satu sumber masalah sosial yang penting, pertumbuhan

penduduk merupakan salah satu dampak negatif pembangunan, khususnya

pembangunan perkotaan seiring dengan perumbuhan jumlah peduduk yang

kian hari kian bertambah sehingga menimbulkan jumlah angka kriminalitas

dan pengangguran juga ikut bertambah. Keberhasilan percepatan

pembangunan di wilayah perkotaan dan sebaliknya keterlambatan

pembangunan di wilayah pedesaan mengundang arus migrasi desa ke kota

yang antara lain mengakibatkan jumlah penduduk yang mengakibatkan

sulitnya pemukiman dan pekerjaan di wilayah perkotaan saat ini. Akibat

pertambahan penduduk biasanya ditandai oleh kondisi yang serba tidak

merata, terutama mengenai sumber-sumber penghidupan masyarakat yang

semakin terbatas. Pertumbuhan jumlah penduduk tersebut disebabkan oleh

tingkat kelahiran yang tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian yang

rendah, dan juga peluang kerja yang sangat kecil sebagai akibat dari

perubahan era globalisasi menuju era pasar bebas yang menuntut setiap

individu untuk memperjuangkan hidupnya.

Gelandanngan dan pengemis (gepeng) merupakan salah satu dampak

negatif pembangunan, khususnya pembangunan di perkotaan. Sebab faktor

5

pendorong dalam hal ini adalah keterlambatan pembangunan di di wilayah

pedesaan yang mengundang arus migrasi dari desa ke kota sehingga

menyebabkan munculnya para gelandangan dan pengemis akibat sulitnya

mendapatkan pekerjaan dan keterampilan serta keahlian di wilayah

pedesaan. Masalah umum gelandangan dan pengemis pada hakikatnya erat

kaitanya dengan masalah ketertiban dan keamanan yang mengganggu

ketertiban dan keamanan di daerah perkotaan. Dengan berkembangnya

gelandangan dan pengemis maka diduga akan memberi peluang munculnya

gangguan keamanan dan ketertiban, yang pada akhirnya akan mengganggu

stabilitas pembangunan. Maka diperlukan usaha-usaha dalam penanganan

gelandangan dan pengemis tersebut. Gelandangan dan pengemis ini menjadi

suatu fenomena sosial, terutama yang berada di daerah perkotaan (kota-kota

besar) kehadiran mereka seringkali dianggap cermin kemiskinan kota atau

suatu kegagalan adaptasi kelompok terhadap kehidupan dinamis kota besar.

Gelandangan dan pengemis ini merupakan sekelompok masyarakat

yang terasingkan, karena mereka ini lebih sering dijumpai dalam keadaan

yang tidak lazim, seperti di depan Mall-mall, di Jembatan Penyebrangan

ataupun di setiap emper-emper di toko, dan dalam hidupnya sendiri mereka

ini terlihat sangat berbeda dengan manusia yang lainya.

Munculnya gelandangan secara struktural dipengaruhi oleh sistem

ekonomi yang menimbulkan dampak berupa terasingnya sebagian

kelompok masyarakat dari sistem kehidupan ekonomi. Kaum

gelandangan membentuk sendiri sistem kehidupan baru yang

kelihatanya berbeda dari sistem kehidupan ekonomi kapitalistis.

Munculnya kaum gelandangan ini diakibatkan oleh pesatnya

6

perkembangan kota yang terjadi secara paralel dengan tingginya laju

urbanisasi.

(Sihombing, M Justin. 2005. Kekeraasan Terhadap Masyarakat

Marginal. Yogyakarta: Narasi. Hlm.79)

Sebagai alat pemicu pertumbuhan ekonomi di Indonesia, kesatuan visi

dan isi suatu dimasa kini dan masa yang akan datang, perlu diciptakan,

untuk itu diperlukan adanya strategi kebijakan dalam pembangunan

perekonomian secara nasional jangka pendek hal ini dapat mempengaruhi

pertumbuhan perekonomian jangka panjang. Disisi lain dalam kehidupan

masyarakat perkotaan terdapat celah kehidupan yang sangat

memprihatinkan dengan kumpulnya kehidupan anak jalanan, gelandangan

dan pengemis yang berkeliaran di persimpangan jalan, keramaian lalu lintas

yang tidak memperhatikan keselamatan dirinya. Perbedaan yang sangat

menonjol pembangunan secara fisik tidak di imbangi dengan pembangunan

moral bangsa akan berakibat rusaknya fundamen tatanan kehidupan dalam

masyarakat itu sendiri. Pendidikan dilintas sektoral perlu di tingkatkan guna

mengangkat citra bangsa di dunia internasional bahwa kebangkitan suatu

bangsa di tandai dengan peduli masyarakat terhadap kehidupan anak

jalanan, pengemis dan gelandangan yang kian hari makin bertambah.

Sejalan dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea

Keempat menegaskan bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan negara

republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa indonesia yang

kemudian di turunkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

dalam Pasal 34 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “ Fakir miskin dan

7

Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Maka secara tidak langsung

dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada

prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataanya yang ada di

lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh

negara. Penanganan masalah masyarakat miskin yang bergantung pada

penghasilan di jalanan merupakan masalah yang harus di hadapi oelh semua

pihak, bukan hanya orang tua atau keluarga saja tetapi juga setiap orang

yang berada dekat anak tersebut harus dapat membantu pertumbuhan anak

dengan baik. Dikarenankan masalah kemiskinan yang menjadi faktor

utamanya.

Kemiskinan di Banten ini sangat berdampak negatif terhadap

kehidupan masyarakat khususnya masyarakat di Kota Serang, yang

disebabkan tidak adanya lapangan pekerjaan bagi mereka. Oleh karena itu,

dilihat dari tingkat angka kemiskinan penduduk Provinsi Banten, salah

satunya adalah mereka yang berprofesi sebagai seorang gelandangan dan

pengemis. Sehingga, dengan tidak adanya kemampuan yang mereka miliki

untuk mencari pekerjaan. Akhirnya gelandangan dan pengemis trurun ke

pusat kota seperti di Pasar, Stasiun, dan Lampu Merah Kota Serang, untuk

mencari uang demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dilihat dari sudut

ekonomi, sebenarnya taraf perekonomian masyarakat Provinsi Banten

dikatakan baik. Karena, bila dilihat dari kekayaan alam yang melimpah di

Provinsi Banten sangat berpotensi di dalam meningkatkan taraf

perekonomian masayarakatnya.

8

Akan tetapi, fakta di lapangan masih banyak warga miskin di Provinsi

Banten, khususnya di Kota Serang semakin bertambah, sehingga sebagian

warga Kota Serang yang tingkat ekonomi rendah, rela menjadi seorang

gelandangan dan pengemis. Sebab, tidak mudah untuk mendapatkan uang,

tanpa diikuti dengan kemampuan yang baik dari diri mereka sendiri

khususnya bagi mereka yang ingin hidup dan tinggal di kota besar, seperti di

Kota Serang.

Sebagai daerah otonom baru berdasarkan Undang-undang No. 32

Tahun 2007 Tentang pembentukan Kota Serang di Provinsi Banten,

Pemerintah Kota Serang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan

urusan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan. Di dalam Perda

Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Pasal 1 alinea (14) menyebutkan penyakit

masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau meresahkan

masyarakat yang tidak sesuai dengan agama dan adat serta tata krama

kesopanan dalam masyarakat. Dengan semakin berkembangnya bentuk

perbuatan yang merupakan penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang

meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan, kesehatan dan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat Kota Serang. Hal ini dapat merusak

kehidupan sosial ekonomi, bahkan telah menurunkan mental dan moral

masyarakat khususnya generasi muda. Rasa aman, nyaman dan tentram

perlu diwujudkan di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit

masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukanya aturan tentang

9

pembinaan, pengawasan dan pengendalian, pelarangan serta penindakan

terhadap penyakit masyarakat agar terhindar gaangguan/dampak negatif

yang akan timbul didalam masyarakat.

Adapun Rekapitulasi data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

Di Kota Serang Tahun 2017 seperti Gelandangan dan Pengemis, sebagai

berikut:

Tabel 1.2 Data Jumlah Gelandangan

yang Terjaring/Terazia di Kota Serang Tahun 2017

No Nama Umur/Tahun Alamat Status

1 Isro 54 Tahun Kp. Cimuncang Gelandangan

2 Arifin 39 Tahun Kp. Secang Gelandangan

3 Bahri 45 Tahun Kp. Kebon Jahe Kel. Cipare Gelandangan

4 Mudi 52 Tahun Pasar Rau Gelandangan

5 Tuharah 55 Tahun Pasar Rau Gelandangan

6 Manah 54 Tahun Pasar Rau Gelandangan

7 Dulhadi 45 Tahun Pasar Rau Gelandangan

8 Sukirman 45 Tahun Kp. Rau Gelandangan

9 Budi 61 Tahun Kp. Secang Gelandangan

10 Andri 55 Tahun Kp. Secang Gelandangan

11 Agustian 64 Tahun Kp. Kelapa Endep Sempu Gelandangan

12 Mudi 60 Tahun Kp. Angsana Kel. Kasemen Gelandangan

13 Sakranah 50 Tahun Kp. Karundang Kel. Karundang Gelandangan

14 Kamariyah 50 Tahun Karangantu Gelandangan

15 Tini 50 Tahun Karangantu Gelandangan

10

16 Ulpah 34 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan

17 Juandi 60 Tahun Kp. Secang Gelandangan

18 Sutisna 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan

19 Sumiati 55 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan

20 Rozak 54 Tahun Kp. Karundang , Kel. Karundang Gelandangan

21 Rudi 54 Tahun Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Gelandangan

22 Arip 50 Tahun Kp. Benggala Kubang Kel. Cipare Gelandangan

23 Sani 35 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

24 Jamilah 28 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

25 Harun 51 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

26 Said 40 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan

27 Nasiroh 47 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan

28 Abdul 50 Tahun Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 01/14 Gelandangan

29 Mugni 45 Tahun Kp. Kelapa Endep, Sempu Gelandangan

30 Damroh 43 Tahun Kp. Endep, Sempu Gelandangan

31 Muniroh 48 Tahun Kp. Kidemang, Kel. Unyur Gelandangan

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2017

Tabel 1.2 Data Jumlah Pengemis

yang Terjaring/Terazia di Kota Serang Tahun 2017

No Nama Umur/Tahun Alamat Status

1 Asiyah 35 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Pengemis

2 Ismi 23 Tahun Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Pengemis

3 Aminah 80 Tahun Kp. Angsoka, Kel.Kasemen Pengemis

4 Maswiah 70 Tahun Kp. Angsoka, Kel.Kasemen Pengemis

5 Hadlah 70 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis

11

6 Rasam 61 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis

7 Mahmud 70 Tahun Kp. Asem Gede, Kel. Cimuncang Pengemis

8 Yudi 71 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

9 Dewi 80 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

10 Leha 55 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

11 Rodiah 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

12 Jon 55 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

13 Marsinah 65 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

14 Supene 75 Tahun Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

15 Mastiyah 45 Tahun Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis

16 Safina 35 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

17 Rosyidin 45 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

18 Aminudin 47 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

19 Sanaah 52 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

20 Ajah 59 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis

21 Safi‟ah 55 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis

22 Juwina 75 Tahun Kp. Angsana. Kel. Kasemen Pengemis

23 Juriyah 70 Tahun

Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel.

Cimuncang Pengemis

24 Tina 65 Tahun Kp. Sumur Lebu Kel. Cirahab Pengemis

25 Kasbiyah 50 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

26 Marwati 70 Tahun

Kp. Taman Barang Rt/Rw 10/11 Ds.

Sindang Sari Pengemis

27 Saimah 70 Tahun Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Pengemis

12

Kel. Cipare

28 Sutiha 44 Tahun Kp. Pengemis

29 Fatonah 60 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

30 Rosita 37 Tahun Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

31 Sunani 40 Tahun Kp. Secang Pengemis

32 Rohimah 55 Tahun Kp. Secang Pengemis

33 Badiah 79 Tahun Kp. Secang Pengemis

34 Nihayatujen 42 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

35 Yono 61 Tahun Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu

Pengemis

36 Parman 46 Tahun Kasemen Pengemis

37 Maemnah 50 Thun Kasemen Pengemis

38 Yahya 70 Tahun Kasemen Pengemis

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2017

Terlihat dari data yang dicantumkan oleh Pihak Dinas Sosial Kota

Serang, bahwa masih terdapat adanya Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, yaitu tercatat pada Tahun 2017

ada 31 gelandangan dan 38 pengemis hasil Penjaringan razia oleh Satpol

PP Kota Serang dan pendataan oleh Dinas Sosial Kota Serang di Kota

Serang yang ada di Kota Serang. Walaupun Perda Kota Serang Nomor 2

Tahun 2010, baru dijalankan beberapa tahun sebelumnya. Kemudian berikut

ini adalah Rekapitulasi gelandangan dan pengemis pada Tahun 2018,

Sebagai berikut:

Tabel 1.4 Data Jumlah Gelandangan

13

Hasil Data Penjaringan Razia oleh Dinas Sosial Kota Seraang Tahun

2018

No Nama Usia Alamat Ket.

1 Iyom 34 Thn Kp. Ciawi RT/Rw 05/11 Kel. Neglasari Gelandangan

2 Usup 20 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan

3 Oki 18 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan

4 Dedi 20 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan

5 Roni 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

6 Ismet 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

7 Dedi. S 30 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan

8 Aryo 22 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan

9 Bahrul 50 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan

10 Tandi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Gelandangan

11 Maulana

Yusuf

22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16

Kel.Cipare

Gelandangan

12 Lilis 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Gelandangan

13 Robayah 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Gelandangan

14 Hasanah 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Gelandangan

15 Sumiyati

(Ati)

23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Gelandangan

16 Uminah 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Gelandangan

17 Daman 35 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Gelandangan

18 Pendi 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Gelandangan

19 Erikl 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Gelandangan

20 Rendi 43 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Gelandangan

21 Hapsiah 23 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Gelandangan

22 Asep 24 Thn Kp. Rau Gelandangan

23 Nadi 18 Thn Kp. Secang Gelandangan

24 Arman 20 Thn Pasar Rau Gelandangan

25 Agus 23 Thn Pasar Rau Gelandangan

26 Mulyadi 25 Thn Pasar Rau Gelandangan

27 Suryadi 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Gelandangan

28 Romlah 50 Thn Karangantu Gelandangan

29 Jariman 45 Thn Karangantu Gelandangan

30 Jamhuri 70 Thn Kasemen Gelandangan

31 Darni 19 Thn Pasar Rau Gelandangan

32 Mahmudi 54 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Gelandangan

33 Furqon 18 Thn Kp. Ciawi RT/Rw 05/11 Kel. Neglasari Gelandangan

14

34 Usup 20 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan

35 Oki 18 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan

36 Dedi 20 Thn Kp. Kebon Jahe Rt/Rw 05/14 Kel. Cipare Gelandangan

37 Roni 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

38 Noval 25 Thn Kp. Ciawi Rt/Rw 05/13 Kel. Cipare Gelandangan

39 Dedi. S 30 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan

40 Aryo 22 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan

41 Bastian 50 Thn Kp. Sempu Rt/Rw 05/15 Kel. Cipare Gelandangan

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018

Tabel 1.4 Data Jumlah Pengemis

Hasil Data Penjaringan Razia oleh Dinas Sosial Kota Seraang Tahun

2018

No Nama Usia Alamat Ket.

1 Pendi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis

2 Maskur 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16

Kel.Cipare

Pengemis

3 Hardi 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

4 Casman 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

5 Sukinah 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis

6 Ati 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis

7 Sanita 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis

8 Sakinah 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis

9 Badriyah 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

10 Tini 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

11 Suparma

n

12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis

12 Farid 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis

13 Asmuni 24 Thn Kp. Rau Pengemis

14 Rukmana 18 Thn Kp. Secang Pengemis

15 Said 20 Thn Pasar Rau Pengemis

16 Aminah 23 Thn Pasar Rau Pengemis

17 Supenah 25 Thn Pasar Rau Pengemis

18 Cahyadi 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis

19 Romlah 50 Thn Karangantu Pengemis

20 Saniman 45 Thn Karangantu Pengemis

21 Marwiya 70 Thn Kasemen Pengemis

15

h

22 Darjo 19 Thn Pasar Rau Pengemis

23 Muslihah 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis

24 Maulana 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16

Kel.Cipare

Pengemis

25 Fahrudin 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

26 Hulfi 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

27 Muktar 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis

28 Ita 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis

29 Nana 50 Thn Kp. Angsana Kel. Kasemen Pengemis

30 Sadi 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis

31 Muklis 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

32 Encep 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

33 Rasman 12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis

34 Eka 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis

35 Wahyu 24 Thn Kp. Rau Pengemis

36 Manah 18 Thn Kp. Secang Pengemis

37 Suanah 20 Thn Pasar Rau Pengemis

38 Jamil 23 Thn Pasar Rau Pengemis

39 Mursyad 25 Thn Pasar Rau Pengemis

40 Amir 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis

41 Junaedi 50 Thn Karangantu Pengemis

42 Sulaiman 45 Thn Karangantu Pengemis

43 Jamil 70 Thn Kasemen Pengemis

44 Aisyah 19 Thn Pasar Rau Pengemis

45 Widi 18 Thn Kp. Benggala Kubang Rt/Rw 03/13 Kel. Cipare Pengemis

46 Yusuf 22 Thn Kp. Sempu Kelapa Endep Rt/Rw 03/16

Kel.Cipare

Pengemis

47 Diah 21 Thn Kp. Tanggul Kel. Cimuncang Pengemis

48 Anita 24 Thn Kp. Cinanggung Kel. Kaligandu Pengemis

49 Sulaeha 25 Thn Kp. Ciloang Kel. Sumur Pecung Pengemis

50 Yati 23 Thn Kp. Karang Serang Kel. Banten Lama Pengemis

51 Rasam 50 Thn KpaR. Angsana Kel. Kasemen Pengemis

52 Darmaji 35 Thn Kp. Sumur Lebu. Kel. Cirahab Pengemis

53 Elah 16 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

54 Ipah 17 Thn Kp. Bedeng Rt/Rw 04/06 Kel. Cipare Pengemis

55 Apoh 12 Thn Kp. Kelapa Endep Sempu Pengemis

56 Linda 15 Thn Kp. Karundang RT/06 Kel. Karundang Pengemis

57 Arman 24 Thn Kp. Rau Pengemis

16

58 Kusniah 18 Thn Kp. Secang Pengemis

59 Ika 20 Thn Pasar Rau Pengemis

60 Sofyan 23 Thn Pasar Rau Pengemis

61 Mujnah 25 Thn Pasar Rau Pengemis

62 Rosmana 24 Thn Kp. Tanggul Rt/Rw 05/12 Kel. Cimuncang Pengemis

63 Romlah 50 Thn Karangantu Pengemis

64 Jajuli 45 Thn Karangantu Pengemis

65 Jamil 70 Thn Kasemen Pengemis

66 Mumun 19 Thn Pasar Rau Pengemis

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018

Berdasarkan data sebelumnya pada tahun 2017, maka dapat

diketahui gelandangan dan pengemis berjumlah pada Tahun 2017 ada 31

gelandangan dan 38 pengemis hasil Penjaringan razia oleh Satpol PP Kota

Serang dan pendataan oleh Dinas Sosial Kota Serang di Kota Serang yang

ada di Kota Serang., lalu berdasarkan data di atas pada tahun 2018

mengalami peningkatan menjadi 41 gelandangan dan 66 pengemis hasil

Penjaringan razia oleh Satpol PP Kota Serang dan pendataan oleh Dinas

Sosial Kota Serang di Kota Serang yang ada di Kota Serang. Jumlah

gelandangan dan pengemis ini terdapat dari beberapa kecamatan yang ada di

wilayah Kota Serang. Peningkatan jumlah gelandangan dan pengemis ini

disebabkan karena ada beberapa gelandangan dan pengemis yang berasal

dari luar wilayah Kota Serang saat Dinas Sosial melakukan pendataan.

Gelandangan dan Pengemis yang terdata di Dinas Sosial Kota Serang ini

terdiri dari Ibu/Bapak usia lanjut dari umur 30 tahn keatas, Anak jalanan

dari umur 6-12 tahun keatas dan penyandang cacat fisik. Kegiatan

gelandangan dan pengemis ini merupakan rutinitas sehari-hari mereka dan

17

kegiatan ini juga menjadi salah satu mata pencaharian mereka. Hal ini tentu

saja menjadi tugas dari Pemerintah Kota Serang khususnya Dinas Sosial

Kota Serang untuk segera menangani permasalahan gelandangan dan

pengemis ini. Karena hal ini akan memberikan dampak yang kurang baik

bagi keindahan dan kebersihan Kota Serang.

Meningkatnya populasi Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) tidak

bisa dihindari keberadaanya dalam kehidupan masyarakat, terutama yang

berada di daerah Kota Serang. salah satu faktor yang dominan

mempengaruhi perkembangan masalah ini adalah kemiskinan. Masalah

kemiskinan di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat terhadap

meningkatnya arus urbanisasi dari pedesaan ke kota. Kepadatan penduduk

di perkotaan menimbulkan kekumuhan terutama dideaerah pemukiman

urban. Disisi lain dengan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia serta

pengetahuan dan keterampilan yang rendah, menyebabkan mereka mencari

nafkah untuk .mempertahankan hidupnya terpaksa dengan cara

menggelandang atau mengemis. Akibat lain dari hal itu terjadi

ketidaknyamanan, ketertiban serta mengganggu dkeindahan kota.

Melihat banyaknya Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,

pemerintah Kota Serang sudah membuat kebijakan yang berkaitan dengan

masalah-masalah sosial seperti adanya fenomena gelandangan dan

pengemis, yaitu berupa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

18

Masyarakat. Sebab isi dari Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, tertera

pada pasal 9 ayat 1,2,3 yaitu:

1. Setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis

2. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi

pengemis

3. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada pengemis

Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota Serang

tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta tidak boleh

memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada di Kota Serang,

sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan, maka akan diberikan

sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara selama 3 bulan yaitu

tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 21 ayat 1

dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor

2 Tahun 2010, diharapkan para gelandangan dan pengemis yang ada di

Kota Serang dapat dituntaskan, karena memang masalah sosial yang terjadi

pada masyarakat Kota Serang, sangat meresahkan. Disini peran Pemerintah

khususnya Dinas Sosial Kota Serang harus melakukan penanganan sehingga

para gelandangan dan pengemis di Kota Serang dapat terorganisir dengan

baik dan mendapatkan pembinaan dengan baik agar gelandangan dan

pengemis tidak lagi turun kejalan, sebagaimana telah di amanatkan dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 27 Ayat 2 yaitu :

“Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusian”. Hal ini diartikan bahwa pemerintah harus bisa

19

memberantas pengangguran dan membuka lapangan pekerjaan baru agar

tiada lagi orang yang menggelandang atau mengemis. Ada pula di dalam

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,

dimana setiap warga negara mendapatkan kondisi kebutuhan material dan

sosial agar berkehidupan layak dan berkesejahteraan Sosial sehingga

menjadi warga negara yang melaksanakan fungsinya sebagai mahluk sosial

pada umumnya.

Dalam menuntaskan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang

ada di Kota Serang ini seperti gelandangan dan pengemis, dibutuhkan

adanya kerja sama antara masayarakat Kota Serang dan juga Pemerintah

Kota Serang, khususnya Peran aktif dari masyarakat dalam membantu

pemerintah untuk menangani masalah Fenomena adanya Gelandangan dan

Pengemis yang berada Pusat Kota seperti di Pasar, Stasiun dan Lampu

Merah Kota Serang, yaitu tertera pada Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 Pasal 12 ayat 1 dan 2 yaitu:

1. Setiap orang berhak dan bertanggung jawab untuk berperan serta dalam

mewujudkan kehidupan dalam satu lingkungan yang aman, tertib dan

tentram serta terbebas dari perbuatan, tindakan dan perilaku penyakit

masyarakat.

2. Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

a. Mencegah segala perbuatan tindakan atau perilaku penyakit

masyarakat yang diketahui atau yang dimungkinkan akan terjadi.

20

b. Mengawasi semua tindakan atau perbuatan yang berhubungan dengan

penyakit masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya

c. Melaporkan kepada pejabat atau pihak yang berwenang apabila

mengetahui atau menemukan tindakan, perbuatan dan perilaku

masyarakat.

Untuk itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana Implementasi

Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat tersebut dapat

dijalankan dengan optimal. Perlu diketahui bahwasanya sejauh ini pembuat

dan pelaksana dari kebijakan, berupa Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 belum berjalan dengan optimal. Karena, fakta dilapangan masih

adanya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan

Pengemis yang berada di pusat Kota Serang, seperti di pasar, stasiun dan

lampu merah di Kota Serang yang masih melakukan kegiatan sehari-harinya

seperti mengemis, mengamen, dan menggelandang sebagai bentuk upaya

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, Pemerintah Kota Serang,

harus dapat meningkatkan kinerja dalam menangani Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial, seperti adanya Fenomena Gelandangan dan Pengemis

seperti ini. Dalam pembuat dan Pelaksana Kebijakan, mekanisme

terbentuknya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 adalah

DPRD Kota Serang sebagai pembuat kebijakan, kemudian yang menjadi

pelaksana kebijakan adalah Dinas Sosial dan Satpol PP.

21

Dari hasil observasi awal yang dilakukan oleh peneliti maka

ditemukan latar belakang masalah sebagai berikut.

Permasalahan yang pertama, Belum optimalnya Pemerintah Kota

Serang dalam menerapkan kebijakan perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat oleh Pembuat Kebijakan dan Pelaksana Kebijakan perda itu

sendiri.

Untuk pembuat kebijakan perda itu sendiri yaitu DPRD Kota Serang,

Dalam implementasinya dari pertama berlakunya perda nomor 2 tahun 2010

tersebut hingga kini belum berjalan secara optimal hal ini dikarenakan

adanya permasalahan seperti yang diungkapkan oleh Komisi II DPRD di

Kantor DPRD Kota Serang yaitu Kegagalan Program Penanggulangan

Gelandangan dan Pengemis yang kurang tepat sasaran dan tidak terealisasi

dengan baik, program penanggulangan tersebut seperti program bantuan

untuk kemiskinan dan program pemberian keterampilan bagi para

Penyandang Masyarakat Kesejahteraan Sosial (PMKS) termasuk

gelandangan dan pengemis di Kota Serang, hal ini pun dikatakan oleh Wakil

Komisi II DPR yang mengatakan menjamurnya gelandangan dan pengemis

disebabkan akibat faktor kemiskinan , pada dasarnya terdapat faktor penting

yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan Gelandangan

Pengemis dimana selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran

bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk

rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang

22

miskin. upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan

bagi para gelandangan dan pengemis, yang ada karena sifat bantuan

melainkan bukan untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan

ketergantungan. Program-program bantuaan yang berorientasi pada

kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku

masyarakat miskin sehingga mereka memiliki sifat pemalas yang dapat

mendorong untuk melakukan kegiatan menggelandang serta mengemis.

Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih di fokuskan untuk

menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan

ketergantungan penduduk yang bersifat pemanen. Dilain pihak, program-

program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam

penyaluranya, sehingga para gelandangan dan pengemis tidak diberikan

bantuan berupa keterampilan serta pelatihan yang membuat mereka semakin

terus menerus melakukan kegiatan menggelandang dan mengemisnya di

pusat Kota Serang. (Sumber: wawancara dengan wakil komisi II DPR

bapak Ramlan Iskandar, kamis 21 Desember 2017 pukul 13:00 di Kantor

DPRD Kota Serang )

Adapun untuk pelaksana kebijakan itu sendiri yaitu Dinas Sosial dan

Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) terkait hal kurang optimalnya

Implementasi kebijakan Perda Kota Serang, bahwasanya kurang berjalan

perda tersebut secara optimal dikarenakan terdapat permasalahan antara

kedua belah pihak pelaksana kebijakan tersebut, koordinasi yang

dilakuhhkan oleh Dinas Sosial dengan Satpol PP pada prakteknya sebatas

23

hanya melakukan reazia terhadap keberadaan gepeng dan anjalseperti hal

yang diungkapkan oleh kepala seksie pelayanan rehabilitasi sosial di Dinas

Sosial Kota Serang yang mengatakan bahwa tidak berjalanya implementasi

kebijakan Perda No 2 tahun 2010 disebabkan kurangnya koordinasi antara

Dinas Sosial dengan SATPOL PP selaku pihak pengeksekutor atau perazia

pengemis di jalan atau tempat umumnya, seperti halnya pelayanan terhadap

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yaitu gelandangan dan

pengemis dalam hal penanganan/penanggulangan gelandangan dan

pengemis yang memiliki masalah kesejahteraan terindikasi tidak terlaksana

dengan baik, contohnya seperti adanya penundaan pelayanan/ penguluran

waktu dan terjadinya lempar tanggung jawab antara kedua instansi yang

berkaitan satu sama lain yaitu antara pihak Dinas Kesejahteraan Sosial

dengan pihak Satuan polisi pamong praja dalam menangani para

gelandangan dan pengemis yang mengalami tingkat taraf kesejahteraan yang

rendah, hal ini membuktikan bahwa kurangnya koordinasi antara kedua

belah pihak yang seharusnya berkerjasama dengan baik, agar dapat

mencapai tujuan yang diinginkan bersama secara maksimal, yaitu pelayanan

yang cepat, tepat, efektif dan efisien terhadap Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS), karenanya koordinasi merupakan hal yang

sangat penting dalam melakukan suatu kerja sama antar SKPD hal ini

dikarenakan agar kerjasama berjalan dengan baik. (sumber: wawancara

dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna,

Selasa 19 Desember 2017 pukul 11:00 di Dinas Sosial Kota Serang)

24

Permasalahan yang kedua, Belum adanya sosialisasi secara

menyeluruh kepada masyarakat dan para Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang

Terkait adanya Peraturan Daerah Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

Adapun terkait masalah Sosialisasi Perda Kota Serang No 2 Tahun

2010 yang kurang berjalan secara menyeluruh kepada masyarakat dan Para

Penyandang Masalah Kesejahteraan seperti Gelandangan dan Pengemis.

Dinas Sosial Kota Serang sampa saat ini hanya melakukan sosialisasi

terhadap daerah tertentu dibeberapa tingkat kecamatan tertentu yang dimana

para Gepeng melakukan aktifitasnya di daerah tersebut ,hanya saja

sosialisasi ini baru berjalan di empat (4) kecamatan di Kota Serang seperti

kecamatan Serang, kecamatan Taktakan, kecamatan Kasemen dan

kecamatan Cipocok, sedangkan kecamatan yang belum tersosialisasi seperti

kecamatan walantaka dan curug karena memang di kecamatan ini jumlah

gelandangan dan pengemis hanya berjumlah sedikit dan banyak yang

berasal dari luar daerah serta masyarakatnya yang belum memiliki cara

pandang untuk mengikuti arus terhadap peraturan pemerintah Kota Serang,

karenanya daerah lain yang berada di Kota Serang belum tersosialisasi

secara menyeluruh yang menyebabkan sosialisasi perda tidak berjalan

secara menyeluruh/tersebar luas, hal ini pun diakibatkan kurangnya kerja

sama antara Pelaksana Kebijakan Perda dengan perangkat daerah lainya

seperti kurangnya koordinasi/kerjasama dengan kantor kecamatan tertentu,

25

maka dari itu perlu tindakan tegas serta kerja sama Pelaksana Kebijakan

dengan Perangkat daerah lainya serta masyarakat sekitar Kota Serang.

Heli Priyatna selaku Kasie Rehabilitasi Kantor Dinas Sosial Kota

Serang menyatakan bahwa :

“Proses sosialisasi peraturan daerah di Kota Serang

selama ini telah berjalan dengan cara melakukan sosialisasi setiap

produk hukum di tingkat kecamatan, meskipun begitu sosialisasi

tersebut masih butuh tindak lanjut agar menyeluruh kepada

masyarakat”

Hal serupa juga dinyatakan oleh Bapak H. Ibrahim, S. Sos, M.Si

selaku kepala camat kecamatan Serang, beliau menyatakan bahwa :

“sosialisasi peraturan daerah Kota Serang No 2 Tahun

2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan

penyakit masyarakat dirasakan belum menyeluruh kepada seluruh

masyarakat, hal ini dapat dilihat dari masih adanya masyarakat

yang melanggar peraturan daerah tersebut”

Fakta lain yang juga didapatkan oleh peneliti adalah melalui website

resmi pemerintah Kota Serang. Dalam website tersebut sebenarnya terdapat

ruang yang menyediakan informasi seputar produk hukum yang telah di

hasilkan oleh pemerintah Kota Serang. Akan tetapi ruang tersebut tidak lagi

diperbarui sejak tahun 2015, ini dapat dilihat dari produk hukum terkahir

yang termuat pada website tersebut. Padahal di era modern ini

penyebarluasan informasi sudah sangat maju dengan adanya internet,

dimana masyarakat akan sangat mudah mengetahui informasi yang ada

didunia maya. Hal ini seharusnya dapat dilihat oleh pemerintah di Kota

Serang sebagai salah satu media yang efektif untuk menyebarluaskan

26

informasi termasuk penyebarluasan peraturan daerah itu sendiri kepada

masyarakat.

Karena sampai saat ini juga, Dalam kegiatan yang dilakukan oleh

pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Kota Serang, dalam penanganan

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, Selain melalui media elektronik

seperti internet Dinas Sosial Kota Serang juga sudah memberikan informasi

serta sosialisasi terhadap masyarakat yang ada di Kota Serang melalui media

Cetak seperti berupa lembaran brosur dan spanduk tentang adanya Peraturan

Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota Serang

berisikan tentang adanya Peraturan Daerah Kota Serang yang terpasang di

pusat Kota Serang yang berupa larangan untuk menggelandang dan

mengemis serta masyarakat diminta untuk tidak memberikan uang santunan

kepada pengemis. Akan tetapi, dalam melakukan cara seperti itu hanya akan

membuat masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

seperti gelandangan dan pengemis serta masyarakat itu pun tidak respek,

bahkan tidak menghiraukan tulisan yang berada dispanduk tersebut yang

sudah dipasang oleh pihak Dinas Sosial. Karenannya sosialisasi tentang

Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini belum berjalan secara

menyeluruh karena terdapat penyebab tertentu seperti halnya dari segi

masyarakatnya yang belum bisa berpartisipasi aktif dalam penyampaian

tentang perda tersebut, oleh karenanya sampain saat ini masyarakat Kota

Serang yang belum tahu tentang isi perda tersebut hanya dan hanya tau

27

perdanya saja tapi mereka tidak tahu isi perda tersebut. (sumber:

wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak

Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:30 di Dinas Sosial Kota

Serang)

Permasalahan yang ketiga, masih Terdapat masyarakat yang masih

memberikan uang santunan di Pusat Kota tepatnya di Pasar, Stasiun dan

Lampu Merah Kota Serang terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis

Sebab, fakta di lapangan masih ada masyarakat Kota Serang yang

tetap memberikan uang santunan ditempat umum atau ditempat yang

dilarang oleh dari isi Peraturan Daerah Kota Serang tersebut, kepada para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Seperti Pengemis ataupun

Gelandangan yang berada di Lampu Merah dan Sepanjang Jalan Protokol

Kota Serang. Karena dalam isi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

pasal 21 ayat 1 dan 2 menjelaskan adanya ketentuan sanksi pidana terhadap

masyarakat ataupun para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

pengemis yang melanggar dari aturan tersebut, sebab bila melanggar aturan

yang sudah ditetapkan, maka akan diberikan sanksi berupa denda 50 juta

atau kurungan penjara selama 3 bulan. Akan tetapi sebagian masyarakat

Kota Serang sampai saat ini tidak menghiraukan keberadaan aturan sanksi

perda tersebut karena mereka beranggapan bahwa memberi lebih baik dari

pada meminta dan orang-orang yang memiliki pengertian seperti ini lebih

cenderung kasian ketika melihat pengemis di jalanan meminta-minta,

28

mereka masyarakat Kota Serang berfikir bahwa dengan memberikan uang

santunan kepada pengemis, maka mereka akan mendapatkan pahala, namun

mereka yaitu masyarakat Kota Serang dapat mendorong para pengemis

ataupun gelandang menjadi semakin malas untuk berkerja, karena para

pengemis berfikir bahwa mereka senang karena banyak orang yang

memberi uang pada mereka dan merasa kasian kepada masyarakat Kota

Serang, sehingga mereka akan bertambah kaya. Oleh sebab itu pemerintah

melakukan tindakan yang sangat tegas yaitu dengan cara membuat undang-

undang tentang pengemis, agar tidak ada orang yang memberikan uang

kepada pengemis. (sumber: wawancara dengan kepala bidang pelayanan

dan rehabilitasi sosial bapak Dul Barid, Selasa 19 Desember 2017, Pukul

13:30 di Dinas Sosial Kota Serang)

Akan tetapi sampai saat ini juga belum adanya sanksi yang tegas dari

Pemerintah Kota Serang, dalam memberikan hukuman berupa Denda dan

Kurungan Penjara terhadap masyarakat dan para Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,

karena Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 belum berjalan dengan efektif,

selanjutnya dinilai juga dari kinerja penegak kebijakan sebagai pihak

berwenang ini seperti aparatur penegak hukum Satuan Polisi Pamong Praja

(SATPOL PP) sebagai pihak eksekutor Kota Serang yang kurang aktif dan

bertanggung jawab dalam penegakan aturan sesuai tupoksinya, serta

penyebab hal lain diantaranya kurang aktif melakukan koordinasi Satpol PP

terhadap Dinas Sosial Kota Serang sehingga sampai saat ini masyarakat

29

masih terbiasa memberikan uang santunan kepada gelandangan dan

pengemis di Kota Serang, begitupun para gelandangan dan pengemisnya

masih berani melakukan kegiatan mengemisnya tanpa pengawasan Satpol

PP walaupun sudah diberikan peringatan. Pemerintah itu sendiri masih ada

pembiaran tentang hukum sanksi pidana tersebut, sehingga sanksi tidak

berjalan secara tidak tegas dan menyeluruh, pemerintah pun sampai saat ini

hanya mampu berani memberikan berupa sosialisasi tentang sanksi dalam

perda tersebut kepada sebagian masyarakat serta sebagian para gelandangan

dan pengemis di Kota Serang, akan tetapi sampai saat ini sanksi berupa

denda dan kurungan penjara belum berjalan sekali pun, sehingga pemerintah

dapat dikatakan tidak mempunyai nyali, padahal aturan tegas tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di

Kota Serang yaitu Perda No 2 Tahun 2010 sudah sangat gamblang mengatur

hal ini. Ketidaktegasan ini semakin menunjukan bahwa pemerintah hanya

mampu membuat aturan tanpa bisa melakukan pengawasan. (Sumber:

wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak

Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:40 di Dinas Sosial Kota

Serang)

Permasalahan yang Keempat, Belum tersedianya tempat rehabilitasi

ataupun karantina untuk para penyandang masalah sosial seperti

Gelandangan dan Pengemis, di dalam memberikan penyuluhan, pembinaan

serta pelatihan-pelatihan keterampilan khusus.

30

Dinas Sosial dalam peraturan daerah nomor 2 tahun 2010 merupakan

Dinas yang menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial salah

satunya pengemis dan gelandangan, dengan merehabilitasi pengemis dan

gelandangan yang sebelumnya terkena razia oleh Satuan Polisi Pamong

Praja (SATPOL PP) yang kemudian di bawa ke Dinas Sosial untuk didata

dan direhabilitasi agar mereka tidak mengemis dan menggelandang kembali,

namun fakta di lapangan berbicara lain dimana mereka para pengemis dan

gelandangan hanya didata dan diberi surat perjanjian bahwa akan datang

kembali dengan tanggal yang telah ditentukan oleh pihak Dinas Sosial dan

setelah sudah dipanggil kembali mereka para gelandangan dan pengemis di

bawa ke tempat sebuah rumah singgah tepatnya di Jl. Bandes Pakupatan

Kota Serang, akan tetapi mereka hanya diberikan sebuah sosialisasi saja dan

setelah itu sebagian dari para gelandangan dan pengemis tersebut dibawa ke

Panti Bina Karya tepatnya di Bekasi untuk di Rehabilitasi dan diberikan

sebuah pelatihan khursus, hal ini menunjukan bahwasanya pihak Dinas

Sosial Kota Serang sampai saat ini belum mempunyai tempat

penampungan/karantina, tempat penyuluhan dan tempat

pembinaan/rehabilitasi yang menjadi pusat pembinaan serta rehabilitasi bagi

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di dalam memberikan pelatihan,

seperti adanya pembinaan dan pelatihan khursus menjahit, montir dan lain

sebagainya. Hal ini yang mendasari tidak tersedianya tempat rehabilitasi

dikarenakan tidak tersedianya anggaran yang mencukupi untuk

pembangunan tempat rehabilitasi tersebut, dari pihak Dinas Sosial sendiri

31

beralasan terkait minimnya anggaran tersebut mengatakan bahwasanya

anggaran untuk tahun ini yang dipergunakan untuk penanggulangan PMKS

dipangkas ke Dinas pendidikan dan Dinas kesehatan di Kota Serang,

anggaran itu sendiri diberikan oleh Kementrian Sosial, jika anggaran yang

di Kota diberikan oleh APBD Kota yang diberikan langsung kepada Dinas

Sosial Kota Serang berjumlah sekitar RP. 50.000.000,- pada tahun 2016 dan

RP. 75.000.000,-pada tahun 2017 akan tetapi jumlah anggaran yang

diberikan tersebut tidak mencukupi dalam penanganan dan merehabilitasi

jumlah PMKS di Kota Serang, sedangkan untuk program PMKS saja

khususnya dalam penanganan masalah Ketunaan Sosial dan Penyimpangan

memiliki 8 program : Gelandangan, Pengemis, Pemulung, Bekas warga

Binaan Lembaga Permasyarakatan, Korban Penyalahgunaan Napza, Tuna

Susila, Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan Kelompok Minoritas. Di

dalam Perda Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Pasal 19 yaitu menjelaskan

bahwa Pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk kegiatan

pencegahan, pemberantasan, penanggulangan penyakit masyarakat yang

dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Sumber

lain yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, akan tetapi

fakta dilapangan sampai saat ini anggaran tersebut belum juga terealisasi

dan tersedia untuk proses pembangunan rehabilitasi bagi Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Serang. (sumber:

wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak

32

Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 15:00 di Dinas Sosial Kota

Serang)

Rehabilitasi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi

permasalahan sosial Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

gelandangan dan pengemis di Kota Serang, karena dengan merehabilitasi

para gelandangan dan pengemis maka bukan tidak mungkin gelandangan

dan pengemis di Kota Serang akan berkurang dengan proses rehabilitasi

sosial tersebut berjalan tanpa adanya hambatan. Rehabilitasi sosial

merupakan upaya yang ditujukan untuk mengintegrasikan kembali

seseorang kedalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya

menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang

dapat berintegrasi dengan masyarakat apabila memiliki kemampuan fisik,

mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Dalam

hal ini permasalahan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

gelandangan dan pengemis sangat perlu direhabilitasi agar pola pikir mereka

berubah sehingga mereka tidak lagi mau menggelandang dan mengemis.

Permasalahan yang kelima, Kurangnya SDM dalam Penanganan

Masalah ini dimana kepala seksie satu-satunya yang menangani rehabilitasi

sosial hal ini membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga

menghambat program kerja yang sudah dibuat. Sumber Daya Manusia yang

dimaksud adalah sumber daya manusia dalam membina pengemis untuk

direhabilitasi, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Dinas Sosial

dalam penanganan rehabilitasi gelandangan dan pengemis untuk sampai saat

33

ini dimana kepala seksie rehabilitasi tuna sosial satu-satunya yang

menangani rehabilitasi sosial yaitu Bapak Heli Priyatna itu sendiri akibat

kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang menjadi faktor utamanya,

hal ini pun membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga dapat

menghambat program kerja yang sudah dibuat. (sumber: wawancara

dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna.

Kamis, 19 Desember 2017 pukul 13:55 di Dinas Sosial Kota Serang).

Adapun dalam hal ini, kurangnya sebuah SDM merupakan salah satu

yang menghambat dalam menuntaskan permasalahan Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya Gelandangan dan Pengemis,

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan faktor yang sangat penting yang

tidak bisa dipisahkan dari sebuah oraganisasi. Sumber daya manusia adalah

rancangan sistem-sistem dalam sebuah organisasi untuk memastikan

penggunaan bakat manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan

organisasi (Effendi, 1993: 45). Organisasi disini khususnya bagi Dinas

Sosial Kota Serang menyadari bahwa sumber daya manusia merupakan

modal dasar untuk menjalankan kinerja dalam Dinas Sosial Kota Serang

dalam penanggulangan Gelandangan dan pengemis di Kota Serang,

kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) bagi pelaksana kebijakan seperti

Dinas Sosial Kota Serang merupakan hal yang dapat menghambat dalam

penanggulangan penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis di

Kota Serang, kurangnya SDM tersebut seperti tidak adanya tenaga

profesional, lalu Staff kepegawaian dalam penanggulangan PMKS ini

34

kurang tersedia, serta kurangnya kerja sama pada bidang lain ataupun

kurangnya anggota dari bidang lain sehingga penanggulangan PMKS ini

seperti gelandangan pengemis semakin merajalela dan tidak bisa terkendali.

Hanya saja untuk sampai saat ini Dinas Sosial Kota Serang sudah

membentuk Satuan Petugas (SATGAS) dari tenaga pembantu penyidik dari

dinas sosial yang berjumlah 10 orang untuk ditempatkan dipusat Kota

Serang guna menjangkau serta mengawasi kegiatan gelandangan dan

pengemis yang berkeliaran untuk menggelandang dan mengemis, akan

tetapi pengawasan ini kurang efisien dan efektik karena anggota yang

berkerja tidak sepenuhnya datang di tempat dan waktu yang dikerjakan tidak

selama 24 jam , karena target yang ingin dicapai adalah waktu penjangkauan

serta pengawasanya selama kurang lebih 24 jam, hal ini memang

disebabkan karena kurang tersedianya tenaga SDM, sehingga

penanggulangan gelandangan dan pengemis oleh Dinas Sosial Kota Serang

tidak berjalan secara optimal. (sumber: wawancara dengan kepala seksi

pelayanan rehabilitasi tuna sosial bapak Heli Priatna. Kamis, 19 Desember

2017 pukul 14:00 di Dinas Sosial Kota Serang).

Terkait masalah latar belakang diatas tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya

Gelandangan dan pengemis di Kota Serang, hal ini menjadi acuan untuk

Para pelaksana kebijakan, dalam memperbaiki kondisi atau situasi sosial

yang terjadi di masyarakat Kota Serang, yaitu membersihkan para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti adanya Gelandangan dan

35

Pengemis yang berada dipusat Kota Serang. Untuk itu pemerintah Kota

Serang, bisa melihat terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,

terutama mengenai para gelandangan dan pengemis yang seharusnya

diperhatikan. Sebab, pada dasarnya mereka ini tidak ingin melakukan

pekerjaan seperti ini, untuk menjadi seorang gelandangan dan pengemis.

Hanya saja karena faktor kebutuhan hidup yang harus dipenuhi setiap

harinya, begitupun pengakuan dari salah seorang pengemis di lampu merah

Pisang Mas Kota Serang yang jbernama Ibu Sanita yang berasal dari daerah

Keragilan Kabupaten Serang mengatakan bahwa sudah 2 tahun melakukan

kegiatan mengemis untuk memenuhi kebutuhan pokok dan biaya sekolah

anaknya, karena ibu sanita sendiri menganggap pekerjaan mengemis ini

halal dari pada harus mencuri, walaupun pengemis yang satu ini beranggap

memang pekerjaan menjadi seorang gelandangan dan pengemis, sangat

rendah drajat di mata masyarakat. (Sumber: Wawancara dengan Ibu Sanita

seorang pengemis Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. selasa, 19

desember 2017 14:26)

Berdasarkan latar belakang semua masalah yang telah peneliti

paparkan diatas, maka peneliti ingin meneliti lebih mendalam tentang

Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang

menjelaskan Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat dalam Studi Kasus Penanggulangan Gelandangan dan

Pengemis di Kota Serang.

1.2 Identifikasi Masalah

36

Berdasarkan uraian pada latar belakang diperlukan adanya

identifikasi masalah yang meyangkut permaslahan-permasalahan didalam

penelitian tersebut. Berikut Identifikasi masalah dalam penelitian ini yaitu :

1. Kurang optimalnya Pemerintah dalam menerapkan kebijakan Perda

Kota Serang No. 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan penyakit masyarakat di Kota

Serang

2. Belum adanya sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat

dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang Terkait adanya

Peraturan Daerah Kota Serang No. 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat.

3. Terdapat masyarkat yang masih memberikan uang santunan di

Pusat Kota tepatnya di Pasar, Stasiun dan Lampu Merah Kota

Serang terhadap Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

Gelandangan dan Pengemis.

4. Belum adanya tempat rehabilitasi ataupun karantina untuk para

penyandang masalah sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, di

dalam memberikan penyuluhan serta pelatihan-pelatihan

keterampilan khusus.

5. Kurangnya SDM dalam Penanganan Masalah ini dimana kepala

seksie satu-satunya yang menangani rehabilitasi sosial hal ini

37

membuat kinerja Dinas Sosial kurang efektif sehingga menghambat

program kerja yang sudah dibuat.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun yang jadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Serang

no. 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat (studi kasus gelandangan

dan pengemis di kota Serang) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan disiplin ilmu peneliti maka penelitian yang

dilaksanakan berdasarkan atas bidang ilmu pemerintahan dan untuk

membahas mengenai implementasi kebijakan peraturan daerah no 2 tahun

2010 di kota Serang adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan perturan daerah kota

Serang no 2 tahun 2010 Tentang Pencengahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dan hasil yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan studi dan

menjadi salah satu sumbangsih pemikiran ilmiah dalam melengkapi

kajian-kajian yang mengarah pada pengembangan ilmu pemerintah,

38

khususnya pada bidang sosiologi pemerintahan, dan budaya

pemerintahan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

masukan bagi semua pihak terkait khususnya pemerintah kota

Serang sebagai dasar untuk program pemberdayaan masyarakat

miskin kota berdasarkan fenomena yang dihadapi.

3. Kegunaan metodologis, hasil penelitian ini di harapkan menjadi

bahan acuan bagi penelitian berikutnya.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang yang mengemukakan hal-hal yang

menjadi alasan ketertarikan peneliti terhadap topic atau judul penelitian dan

pentingnya dilakukan penelitian terhadap objek tersebut. Kemudian

selanjutnya Identifikasi Masalah dalam hal ini identifikasi masalah ialah

mendeteksi aspek permasalahanyang muncul dan berkaitan dengan

tema/topic/judul penelitian atau dengan masalah atau variabel yang akan

diteliti. Selanjutnya Batasan Masalah yaittu dari sejumlah masalah hasil

penelitian tersebut diatas ditetapkan masalah yang paling urgen yng

berkaitan dengan judul penelitian. Ada juga Perumusan Masalah adalah

mendeteksi masalah dari batasan masalah yang dikemukakan dalam bentuk

pertanyaan dan dirumuskan secara tajam mencapai jawaban sebagai hasil

penelitian. Maksud dari Tujuan Penelitian ini menjelaskan tentang sasaran

39

yang ingin dicapai oleh terhadap pelaksanaan penelitian dan masalah yang

telah dirumuskan. Ada pun Manfaat Penelitian ini menjelaskan tentang

manfaat teoritis dan praktis dari hasil penelitian. Dan yang terakhir

Sistematika Penulisan ialah menjelaskan secara keseluruhan isi dari bab per

bab.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Menguraikan tentang konsep kebijakan publik, evaluasi kebijakan,

pengertian evaluasi, tujuan evaluasi, proses evaluasi, kerangka berfikir yang

menggambarkan alur pikiran penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari Metode Penelitian yang mejelaskan tentang metode yang

dipergunakan dalam penelitian. Dan Instrumen Penelitian menjelaskan

tentang proses penyusunan dan jenis alat pengumpulan data yang

digunakan. Selanjutnya Populasi dan Sampel Penelitian menjelaskan

wilayah generalisasi serta penetapan besar sampel dan teknik pengambilan

sampel serta rasionalnya. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data

menguraikan teknik pengelolaan hasil penelitian dan menganalisis data yang

telah diolah dengan menggunakan teknik analisis adat sesuai dengan sifat

data yang diperoleh. Dan yang terakhir Tempat dan Waktu Penelitian

menjelaskan tentang tempat dan waktu penelitian tersebut dilaksanakan.

BAB IV HASIL PENELITIAN

40

Terdiri atas Deskripsi Obyek Penelitian yan menjelaskan tentang obyek

penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas. Kemudian Deskripsi

Data menjelaskan penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan

mempergunakan teknik analisis data yang relevan. Kemudian melakukan

pembahasan lebih lanjut terhadap persoalan dan pada akhir pembahasan

peneliti dapat mengemukakan berbagai keterbatasan yang mungkin terdapat

dalam pelaksanaan penelitian.

BAB V PENUTUPAN

Di dalam penutupan ini menjelaskan tentang Kesimpulan yang memberikan

kesimpulan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dan diungkapkan

secara singkat, jelas dan mudah dipahami. Saran berisikan tindak lanjut dari

sumbangan penelitian terhadap bidang yang diteliti yakni secara teoritis

maupun praktis.

42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Kebijakan Publik

Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup

berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum,

dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkinya kebijakan publik dapat

bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan

pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan

pemerintah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota,

dan keputusan bupati/walikota.

Oleh karenanya dalam pembahasan ini peneliti menyajikan teori-teori

kebijakan publik, pendekatan dalam studi kebijakan publik hingga proses

kebijakan publik. Karena pada hakikatnya perda kota Serang no 2 tahun

2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik.

a. Pengertian Kebijakan Publik

Secara umum istilah kebijakan dan kebijaksanaan seringkali

dipergunakan secara bergantian. Kedua istilah ini terdapat banyak kesamaan

dan sedikit perbedaan, sehingga tak ada masalah yang berarti bola kedua

istilah itu dipergunakan secara bergantian. Pengertian istilah kebijakan dan

kebijaksanaan juga terdapat dalam kamus besar bahasa Indonesia.

43

a) Kebijakan : kepandaian ; kemahiran; kemahiran Kebijakan berarti :

1) Hal bijaksanan; kepandaian menggunakan akal budaya (pengalaman

dan pengetahuan)

2) Pimpinan dan cara bertindak (mengenai pemerintah, perkumpulan dan

sebagainya

3) Kecakapan bertindak bila mengahadapi orang lain (dalam kesulutan

dan sebagainya). (Poerwadarmita, 1994:115)

b) Istilah kebijaksanaan biasanya digunakan untuk perbuatan yang baik,

menguntungkan atau positif. Kebijaksanaan berarti :

1) Pandai :mahir; selalu menggunakan akal budinya

2) Patah lidah; pandai bercakap-cakap

Sedangkan policy berasal dari bahasa Latin politea yang berarti

kewarganegaraan. Karena policy dikaitkan dengan pemerintah, maka lebih

tepat jika diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan bukan kebijakan.

Menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan tidak hanya digunakan

dalam praktik sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan

atau keputusan yang sangat berbeda.

Berkaitan dengan pengertian kebijakan tersebut, Carl Friedrich dalam

budi Winarmo memberikan pengertian sebagai berikut; Bahwa kebijakan

sebagai suatu arah tindakan yang disesuaikan oleh seseorang, kelompok atau

pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan hambatan-

hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan

44

untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan,

atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu. Istilah kebijakan ini

lebih tertuju pada kebijakan (policy) yaitu kebijakan Negara, kebijakan yang

dibuat oleh Negara. Kebijakan publik dapat juga berarti serangkaian

tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh

pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh

masyarakat. Bentuk kebijakan publik itu bisa berupa undang-undang atau

peraturaan daerah (perda) dan yang lain.

Ada berbagai definisi tentang kebijakan publik yang dikemukakan oleh

beberapa ahli. Misalnya yang dikemukakan oleh Heinz Eulau dan Kenneth

Prewitt, yang dikutip oleh Agustino (2006:6) mndifiniskan kebijakan

publik sebagai : “keputusan tetap yang dicirikan dengan konsisten dan

pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari

mereka yang meatuhi keputusan tersebut. Dye yang dikutip Agustino

mengatakan bahwa, “ kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh

pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan”. Melalui definisi ini kita

dpat memahami bahwa terdapat perbedaan antara apa yang akan dikerjakan

pemerintahan dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh

pemerintah.

Menurut Leo Agustino dalam bukunya Dasar-dasar Kebijakan Publik

(2008:8) membuat suatu kesimpulan dari beberapa karakteristik utama dari

suatu definisi Kebijakan Publik. Pertama, Kebijakan Publik perhatianya

ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari

45

pada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik, pada

dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh

pejabat pemerintah dari pada keputusan yang terpisah-pisah. Ketiga,

Kebijakan Publik, merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh

pemerintah dalam mengatur ataupun mengontrol kebijakan tersebut.

Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan negara (Publik policy),

seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwasanya dalam setiap

kebijakan pasti membutuhkan orang-orang sebagai perencanaan atau

pelaksanaan kebijakan maupun objek dari kebijakan itu sendiri. Kebijakan

publik dibaca dalam lingkar otoritas Negara, persoalan yng muncul selama

ini disebabkan oelh kompetensi aparat nyang tidak memadai atau juga

pilihan agenda setting yang kurang tepat.

Proses kebijakan dapat tercipta dalam sebuah mekanisme Interaksi antar

individu. Proses pertukaran dan peraturan antar individu dapat menciptakan

sebuah mekanisme sendiri, yaitu yang merupakan sebuah proses panjang

dari tranformasi di dunia politik.

Sebuah proses kebijakan merupakan sebuah proses yang multilinear dan

kompleks. Atau dengan kata lain, kompleksitas sosok arena kebijakan turut

mewarnai proses kebijakan yang ada. Hal tersebut sangatlah memungkinkan

terjadi karena sebuah proses kebijakan selalu lahir dan besar pada ruang dan

waktu yang tak kosong.

Dari pengertian kebijakan publik ysng diuraikan diatas dapat

disimpulkan bahwa:

46

(1) Kebijakan publik dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-

tindakan pemerintah.

(2) Kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat.

(3) Kebijakan publik baik untuk melakukan atau tidak melakukan

jsesuatu itu mempunyai tujuan

b. Tujuan Kebijakan

Fungsi utama dari Negara adalah mewujudkan, menjalankan dan

melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan

dengan tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya, yaitu.

1) Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator)

2) Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal (negara

sebagai stimulator)

3) Memadukan berbagai aktivitas (Negara sebagai coordinator)

4) Menunjuk dan membagi benda material dan non material (Negara

sebagai distibutor)

c. Jenis Kebijakan Publik

James E. Anderson, kebijakan publik dapat dikelompokan sebagai

berikut:

1) Subtantive Polices and Procedural Policies.

Subtant ive Polices adalah kebijakan yan dilihat dari substansi masalah

yang di hadapai oelh pemerintah. Misalnya: kebijakan politik luar

negeri, kebijakan di bidang pendidikan, kebijakan ekonomi, dan

47

sebagainya. Dengan demikian yang menjadi tekanan dari substansi

policies adanya pokok masalahnya (subject matter) kebijakan.

Procedural Policies adalah suatu kebijakan yang dilihat dari pihak-

pihak mana saja yan terlibat dalam perumusan kebijakan publik, serta

cara bagaimana suatu kebijakan publik diimplementasikan.

2) Distributive, Redistributive, and self Regulatory Policies.

Distributive policies adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang

pemberian pelayanan atau keuntungan bagi individu-individu,

kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan atau masyarakat tertentu.

Redistributive Policies adalah kebijakan yang mengatur tentang

pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan

Dari beberapa difinisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan

beberapa karakteristik utama dari suatu deifinisi kebijakan publik. Pertama

pada umumnya kebijakan publik perhatianya ditunjukan pada tindakan yang

mempunyai maksud dan tujuan tertentu dari pada perilaku yang berubah

atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau

pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dari pada keputusan

yang terpisah-terpisah. Ketiga, kebijakan publik merupakanapa yang

sesungguhnnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan,

mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan maksud apa

yang dikerjakan atau yang akan kerjakan. Keempat, kebijakan publik dapat

berbentuk positif maupun negative. Secara positif, kebijakan melibatkan

48

beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu

permasalahan. Secara negative, kebijakan publik dapat melibatkan suatu

keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau

tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan

pemrintah amat diperlukan. Kelima, kebijakan publik, paling tidak secara

positif, didasarkan pada hokum dan merupakan tindakan yang bersifat

memerintah.

2.1.2 Analisis Kebijakan Publik

Dalam lingkar tradisi akademis pemikiran studi-studi kebijakan,

terutama yang berkaitan dengan analisis kebijakan publik, sudah lama

dikenal adanya berbagai pendekatan (approach) yang dikembangkan oleh

para pakar/teoritisi kebijakan publik. Pendekatan-pendekatan itu, masing-

masing tentu dengan segala kelebihan dan kekurangnya, dimaksudkan untuk

dapat memotret dan memahami fenomena kebijakan atau problema

kebijakan tertentu.

Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai analisis

kebijakan diantaranya sebagai berikut:

Menurut Ericson dalam Wahab (2012:40) merumuskan bahwa analisis

kebijakan publik sebagai berikut:

“...public policy analysis is a future-oriented inquiry into the optimum

means of achieaving a given set of social objectives” (penyelidikan

yang berorientasi ke depan dengn menggunakan sarana yang optimal

untuk mencapai serangkaian tujuan sosial yang diinginkan).

49

Kemudian, Dror dalam Wahab (2012:40) mendefinisikan analisis

kebijakan sebagai berikut :

“an Approach and menthodology for design and identification of

prefeble alternatives in respect to complex policy issues” (suatu

pendekatan dan methodology untuk mendesain dan menemukan

alternatif-alternatif yang dikehendaki berkenaan dengan sejumlah isu

yang kompleks).

Sedangkan, William Dunn (2012:96) mendefinisikan analisis

kebijakan publik adalah sebagai berikut:

“disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode

pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk

menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan

pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

Menurut Dr. Joko Widodo, M.S. (2008:87) Analisis kebijakan Publik

adalah proses penciptaan pengetahuan dari dan dalam proses penciptaan

kebijakan. Maka dari itu analisis kebijakan publik menurunkan beberapa ciri

yaitu :

Pertama, Analisis Kebijakan publik merupakan kegiatan kognitif, yang

terkait dengan proses pembelajaran dan pemikiran. Kedua, Analisis

Kebijakan Publik merupakan hasil kegiatan kolektif, karena keberadaan

sebuah kebijakan pasti melibatkan banyak pihak, dan didasarkan pada

pengetahuan kolektif dan terorganisir mengenai masalah-masalah yang ada.

Ketiga, Analisis Kebijakan Publik merupakan disiplin intelektual terapan

yang bersifat reflektif, kreatif, imajinatif dan eksploratori. Keempat, Analisis

Kebijakan Publik berkaitan dengan masalah-masalah publik, bukan masalah

pribadi walaupun masalah tersebut melibatkan banyak orang.

50

Selanjutnya menurut AG. Subarsono (2005: 18-19) Analisis Kebijakan

Publik adalah proses kajian yang mencangkup lima kompone, dan setiap

komponen dapat berubah menjadi komponen lain melalui prosedur tertentu,

seperti perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan dan

evaluasi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan publik adalah

suatu pendektan kegiatan yang dilakukan dengan berbagai alternatif disiplin

ilmu pengetahuan terapan yang relevan dapat digunakan dalam mendesain

dan menilai pada isu kebijkan publik.

2.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

2.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Kajian Implementasi merupakan suatu proses merubah gagasan

atau program mengenai tindakan dan bagaimana kemungkinan cara

menjalankan perubahan tersebut. Implementasi Kebijakan juga merupakan

suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan dari

kebijakan yang telah dibuat. Dalam praktiknya, Implementasi Kebijakan

merupakan suatu proses yang begitu komplek, bahkan tidak jarang

bermuatan politis karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan.

Menurut Bardach dan Agustino (2008:54) mengemukakan bahwa

Implementasi Kebijakan:

“adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijaksanaan

umum yang kelihatanya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi

merumuskanya dengan kata-kata dan slogan-slogan yang

51

kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para

pemilih yang mendengarkanya. Dan lebih sulit bagi untuk

melaksanakanya dalam bentuk yang memuaskan semua orang”.

Hakekat dari implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana

dan bertahap yang dilakukan oleh instansi pelaksana dengan didasarkan

pada kebijakan yang ditetapkan oleh otoritas berwenang. Hal seperti yang di

ungkapkan oleh Mazmaniah dalam bukunya ”Implementation and Public

Policy” yang diterbitkan pada tahun 1983, mendefinisikan Implementasi

Kebijakan sebagai:

“pelaksana keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk

undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau

keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan

peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasian masalah yang

akan diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin

dicapai, dan berbagai cara untuk mengistruksikan atau mengatur proses

Implementasinya”.

Selanjutnya menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino

(2008:139) mengemukakan Implementasi Kebijakan adalah tindakan-

tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat

atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada

tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Kemudian, menurut Bambang Sunggono (1994:137).bahwa Implementasi

Kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu

52

dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Adapun

Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan Dimock

dalam Tachjan (2006:28) sebagai berikut:

“Pelaksana kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan

kebijakan yang terdiri dari penentuan tujuan dan sasaran

organisasional, analisis serta perumusan kebijakan dan strategi

organisasi, pengorganisasian, penggerakan manusia, pelaksanaan

operasional, pengawasan serta penilaian”.

Selanjutnya menurut Tachjan (2006:35) ada beberapa Program dalam

konteks Implementasi Kebijakan Publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:

Pertama, Merancang bangun (design) program beserta perincian tugas dan

perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang jelas serta

biaya dan waktu. Kedua, Melaksanakan (aplication) program dengan

mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-

sumber lainya, prosedur dan metode yang tepat. Ketiga, Membangun sistem

penjadwalan, monitoring dan sarana-sarana pengawasan yang tepat guna

serta evaluasi (hasil) pelaksanaan kebijakan. Kemudian menurut Lester dan

Stewart dalam Agustino (2008:139) menyatakan bahwa Implementasi

Kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil

akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Berdasarkan beberapa Definisi mengenai Implementasi Kebijakan

diatas maka dapat diketahui bahwa Implementasi kebijakan membicarakan

minimal 4 hal, yaitu:

53

a. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan yang akan dicapai dengan adanya

penerapan kebijakan tersebut

b. Adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan yang dijawantahkan

dalam proses implementasi

c. Adanya hasil kegiatan, idealnya adalah tercapainya tujuan dari kebijakan

tersebut

d. Adanya analisis kembali setelah kebijakan tersebut dilaksanakan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan, bahwa Implementasi

Kebijakan ini menyangkut adanya tujuan atau sasaran kebijakan, adanya

aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan serta adanya hasil kegiatan.

2.2.2 Langkah-langkah Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan proses kedua di dalam

perumusan kebijakan setelah melalui tahapan formulasi kebijakan. Dan

didalam pelaksanaanya terdapat langkah-langkah yang harus diperhatikan.

Nugroho (2014: 243) merumuskannya menjadi tiga langkah dengan tujuan

agar implementasi akan berhasil sebelum mulai mengimplementasikanya.

Adapun langkah-langkah tersebut yaitu:

1. Penerimaan kebijakan.

Pemahaman public bahwa kebijakan adalah “aturan

permainan” untuk mengelola masa depan. Khusus

pengimplementasi kebijakan, seperti birokrat memahami

bahwa kebijakan sebaiknya dilaksanakan dengan baik dan

bukan sebagai keistimewaan.

54

2. Adopsi kebijakan.

Publik setuju dan mendukung kebijakan sebagai “aturan

permainan” untuk mengelola masa depan. Khusus

pengimplementasi kebijakan, seperti birokrat memahami

bahwa kebijakan sebaiknya dilaksanakan dengan baik dan

bukan sebagai keistimewaan.

3. Kesiapan Strategis

Publik siap untuk berpartisipasi dalam implementasi

kebijakan dan birokrat siap untuk menjadi pengimplementasi

utama; seperti yang anda ketahui tanggung jawabnya untuk

menjalankan keleluasaan kebijakan.

2.2.3 Teori Implementasi Kebijakan Publik

Impelmentasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah

rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Implementasi

biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap fix. Berikut disini

ada sedikit info tentang pengertian implentasi menurut para ahli. Secara

sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan.Majone

dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan

implementasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan

Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”implementasi adalah perluasan

aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian implementasi sebagai

aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin

55

(dalam Nurdin dan Usman, 2004). Perlu disadari bahwa dalam

melaksanakan implementasi suatu kebijakan tidak selalu berjalan dengan

mulus. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu

implementasi kebijakan. Untuk menggambarkan secara jelas variabel atau

faktor-faktor yang berpengaruh penting terhadap implementasi kebijakan

publik serta guna penyederhanaan pemahama, maka akan digunakan model-

model teori Implementasi kebijakan.

Terdapat banyak model implementasi menurut para ahli,

diantaranya model implementasi kebijakan publik menurut Van Metter dan

Van Horn (1975), George Edward III (1980), Grindle (1980) dan

Masmanian dan Sabatier (1987). Dalam penelitian ini saya akan

menggunakan Teori Model George Edward III dalam Widodo (2010:96)

yang dimana terdapat 4 faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau

kegagalan implementasi kebijakan antara lain yaitu faktor (1) komunikasi,

(2) sumberdaya, (3) disposisi dan (4) struktur birokrasi.

Komunikasi

Sumber Daya

Disposisi Implementasi

Struktur

Birokrasi

56

Gambar 2. Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi menurut Edward III

a. Komunikasi

Menurut Edward III dalam Widodo (2010 : 97), komunikasi diartikan

sebagai “proses penyampaian informasi komunikator kepada komunikan”.

Informasi mengenai kebijakan publik menurut Edward III dalam Widodo

(2010:97) perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku

kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan

untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran

kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:97), komunikasi

kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi

(trasmission), kejelasan (clarity) dan konsistensi (consistency).

1) Dimensi transmisi (trasmission) menghendaki agar kebijakan

publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana

(implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepada

kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang

berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang

ditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain

yang berkepentingan secara jelas sehingga diantara mereka

mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta

substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masing-

masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta

dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara

efektif dan efisien.

3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan

yang diambil tidak simpang siur sehingga membingungkan

pelaksana kebijakan, target grup dan pihak-pihak yang

berkepentingan.

57

b. Sumberdaya

Edward III dalam Widodo (2010:98) mengemukakan bahwa faktor

sumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:98) bahwa sumber daya tersebut

meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya anggaran, dan sumberdaya

peralatan dan sumberdaya kewenangan.

1) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III

dalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the most

essential resources in implementing policy is staff”. Edward III

dalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear and

consistent implementation order are and no matter accurately they

are transmitted, if personel responsible for carrying out policies

lack the resource to do an effective job, implementing will not

effective”

2) Sumberdaya Anggaran

Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan dalam

kesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen opposition

limit the acquisition of adequate facilities. This is turn limit the

quality of services that implementor can be provide to public”.

Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia

58

menyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada

masyarakat juga terbatas.

Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan bahwa

“new towns studies suggest that the limited supply of federal

incentives was a major contributor to the failur of the program”.

Menurut Edward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepada

implementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan

program.

Edward III dalam Widodo (2010:101) menyimpulkan bahwa

terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi

keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisa

dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan

disposisi para pelaku kebijakan rendah.

3) Sumberdaya Peralatan

Edward III dalam Widodo (2010:102) menyatakan bahwa

sumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk

operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi

gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam

memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward II

dalam Widodo (2010:102) menyatakan :

Physical facilities may also be critical resource in

implementation. An implementor may have sufficient staff,

may understand what he supposed to do, may have authority to

59

exercise his task, but without the necessary building,

equipment, supplies and even green, space implementation

will not succed

4) Sumberdaya Kewenangan

Sumber lain yang cukup penting dalam menentukan

keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan.

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:103) menyatakan

bahwa :

Kewenangan (outhority) yang cukup untuk membuat

keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan

mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu

kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka

dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera

diselesaikan dengan suatu keputusan.

Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2010:103),

menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang

yang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakan

kebijakan yang menjadi kewenanganya.

c. Disposisi

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104)

dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan para pelaku

kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh – sungguh

sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”. Edward

III dalam Widodo (2010:104- 105) mengatakan bahwa :

jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien,

para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang

60

harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan

kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan

untuk melaksanakan kebijakan tersebut

Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edward III dalam Agustinus

(2006: 159-160) mengenai disposisi dalam implementasi kebijakan terdiri

dari:

1) Pengangkatan birokrasi. Disposisi atau sikap pelaksana akan

menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap

implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak

melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat

yang lebih atas. Karena itu, pengangkatan dan pemilihan

personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang

memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih

khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.

2) Insentif merupakan salah satu teknik yang disarankan untuk

mengatasi masalah sikap para pelaksana kebijakan dengan

memanipulasi insentif. Pada dasarnya orang bergerak

berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka memanipulasi

insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan

para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan

atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong

yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan

baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan

pribadi atau organisasi

d. Struktur Birokrasi

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi

enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di

Amerika Serikat, yaitu:

1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani

keperluan-keperluan publik (public affair)

61

2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam

implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan

yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda

4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan

luas.

5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan

begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati.

6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali

penuh dari pihak luar.

Meskipun sumber-seumber untuk mengimplementasikan suatu

kebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apa dan

bagaimana cara melakukanya, serta mempunyai keinginan untuk

melakukanya, namun Edward III dalam Widodo (2010:106) menyatakan

bahwa “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena

ketidakefiesienan struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan

antara unit-unit organisasi dan sebagainya.

Menurut Edward III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua

karakteristik utama dari birokrasi yakni: “Standard Operational Procedure

(SOP) dan fragmentasi”. Menurut Winarno (2005:150), “Standard

Operational Procedure”(SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan

internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman

dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. Edward III dalam

Widodo (2010:107) menyatakan bahwa :

Demikian pula dengan jelas tidaknya standar operasi, baik

menyangkut mekanisme, system dan prosedur pelaksanaan kebijakan,

pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dan tanggung jawab

diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diatara organisasi

62

pelaksana satu dengan yang lainya ikut pula menentukan keberhasilan

implementasi kebijakan.

Namun, berdasarkan hasil penelitian Edward III dalam Winarno

(2005:152) menjelaskan bahwa:

SOP sangat mungkin daoat menjadi kendala bagi implementasi

kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe

personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan. Dengan

begitu, semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-

cara yang lazim dalam suatu organisasi, semakin besar pula

probabilitas SOP menghambat implementasi

Edward III dalam Winarno (2005:155) mejelaskan bahwa

“fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan

kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi”

Edward III dalam Widodo (2010:106), mengatakan bahwa:

struktur birokrasi yang terfragmentasi (terpecah-pecah atau

tersebared) dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, karena

kesempatan untuk instruksinya terdistorsi sangat besar. Semakin

terdistorsi dalam pelaksanaan kebijakan, semakin membutuhkan

koordinasi yang intensif”.

Berdasarkan pemahaman diatas konklusi dari implementasi jelas

mengarah kepada pelaksanan dari suatu keputusan yang dibuat oleh

eksekutif. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi

sehingga tercipta rangkaian yang terstruktur dalam upaya penyelesaian

masalah tersebut. Dalam konsep implementasi terdapat kata “rangkaian

terstruktur” yang memiliki makna bahwa dalam prosesnya implmentasi

pasti melibatkan berbagai komponen dan instrument. Pemerintah dalam hal

ini adalah yang membuat dan melaksanakan peraturan daerah merupakan

63

poin penting dalam penyelengaraan pemerintahan. pelayanan dan

pengaturan berkenaan dengan nilai dasar yang dijelaskan pada konsep

tetang masarakat yaitu mengenai hak dan kewajiban masyarakat. Yang

pertama mengenai tugas pengaturan, jika yang bertugas mengatur adalah

pemerintah maka yang diatur adalah yang-diperintah dalam hal ini

masyarakat. Berarti pemerintah memiliki hak untuk mengatur dan

masyarakat memiliki kewajiban untuk diatur. hal ini terkait dengan konsep

implementasi kebijakan. Dalam aturan peraturan daerah no 2 tahun 2010

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat , Pemerintah Daerah yang dimaksud penulis dalam

melaksanakan peraturan daerah tersebut adalah aparatur yang

bertanggungjawab dalam pelaksanaan perda. Pemerintah daerah yang

berwewenang dalam hal ini yaitu DPRD Kota Serang Komisi D bagian

Kesejahteraan Masyarakat, dan Dinas Sosial Kota Serang. Penjelasan

mengenai peraturan daerah no 2 tahun 2010 di kota Serang mengenai

konsep penanggulangan adalah segala upaya atau kegiatan yang dilakukan

oleh Pemerintah dan/atau masyarakat untuk mengatasi masalah anak

jalanan, gelandangan pengemis, pengamen dan keluarganya supaya dapat

hidup dan mencari nafkah dengan tetap mengutamakan hak-hak dasarbagi

kemanusiaan; Tujuan utama penyelengaraan pemerintah daerah adalah

menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dari itu pemerintah Kota

Serang melalui Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 tentang

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

64

masyarakat menegaskan ada beberapa pembinaan dalam mengurangi

pertumbuhan jumlah rakyat miskin kota yang di kelompokan sebagai anak

jalanan, gelandangan, pengemis, dan pengamen yang berada di Kota Serang.

Sekarang yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Serang, yaitu:

1) Program penanggulangan. Program penanggulangan yang dimakasud ada

bebarapa di dalamnya yaitu pencegahan, penanggulangan lanjutan, serta

rehabilitasi sosial.

2) Pengurangan terhadap prilaku eksploitasi dimana Pemerintah Kota

Serang sebagai barometer dari pelaksanaan suatu kebijakan harus

menindak tegas pihak-pihak yang sengaja mengeksploitasi kegiatan dari

anak jalanan.

3) Melakukan pemberdayaan yaitu proses penguatan keluarga yang

dilakuan secara terencana dan terarah sesuai dengan keterampilan yang

dimiliki tiap individu yang dibina.

4) Bimbingan lanjut yaitu salah satu cara pembinaan yang dilakukan

melalui kegiatan monitoring evaluasi dari program pemberdayaan

sebelumnya.

5) Partisipasi Masyarakat disini yang dimaksud adalah tingkah laku

masyarakat yang tidak memberikan kebiasaan kepada anak jalanan untuk

senangtiasa memintaminta.

65

2.3 Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat

Adapun Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

merupakan salah satu kebijakan yang ditetapkan pemerintah Kota Serang

dengan tujuan mencegah, memberantas, menanggulangi penyakit

masyarakat yang berada di Kota Serang. Dengan menimbang beberapa hal,

antara lain : (Draft PERDA Kota Serang No 2 Tahun 2010)

a. Bahwa Kota Serang adalah daerah landasan kehidupan

masyarakat yang berbudaya dan beragama, sejalan dengan

visi dan misi Kota Serang.

b. Bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan

penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang

meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,

kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Kota

Serang.

c. Bahwa rasa aman, nyaman, dan tentram perlu diwujudkan

di Kota Serang oleh karena itu perbuatan penyakit

masyarakat yang ada di Kota Serang diperlukan aturan

tentang pembinaan, pengawasan dan pengendalian,

pelarangnan serta penindakan terhadap penyakit masyarakat

agar terhindar dari gangguan/ dampak negatif yang akan

timbul di dalam masyarakat.

66

Disebutkan juga pada pasal 1 ayat 14 dalam perda no 2 tahun 2010

bahwa penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi

ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau

meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat

serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. Klasifikasi penyakit

masyarakat disebutkan pada pasal 3 ayat 1,2,3 sebagai berikut:

(1) Klasifikasi Penyakit masyarakat yang diatur dalam Peraturan Daerah ini

mencakup segala bentuk perbuatan, tindakan atau perilaku yang tidak

menyenangkan dan meresahkan masyarakat dan/ atau melanggar nilai-

nilai ajaran agama dan norma susila;

(2) Penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

perbuatan dan tindakan perilaku sebagai berikut :

a. Wanita Tuna Sosial (WTS)

b. Waria yang menjajakan diri

c. Penyalahgunaan Minuman beralkohol

d. Gelandangan dan Pengemis

e. Anak jalanan

(3) Semua tindakan dan / atau perbuatan yang berhubungan dengan

penyakit masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah

tindakan dan / atau perbuatan yang melanggar ketertiban sebagaimana

diatur dalam Peraturan Perundagan – undangan berlaku.

Dari klarifikasi Penyakit Masyarakat Menurut Perda Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 ini, yang akan saya teliti adalah masalah

Gelandangan dan Pengemis yang berada di Kota Serang. Sebab, isi dari

Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 9 ayat 1,2,3 tentang adanya

larangan seseorang memberikan uang santunan kepada pengemis di tempat

umum, belum dapat berjalan dengan baik, walaupun memang ada sanksi

yang akan diberikan oleh pemerintah Kota Serang terhadap seseorang

67

yang melanggar aturan tersebut, selanjutnya masih banyaknya

gelandangan dan pengemis yang masih berkeliaran untuk melakukan

kegiatanya seperti meminta-minta ataupun menggelandang demi

kebutuhan sehari-hari..

Sebagaimana juga dijelaskan pada Bab IV Tentang Larangan

disebutkan pada bagian kelima perihal Gelandangan dan pengemis

dijelaskan pada pasal 9 yakni Pasal 1,2,3 yang menyebutkan, bahwa:

(1) Setiap orang dilarang menjadi gelandangan dan pengemis

(2) Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi

pengemis

(3) Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada

pengemis

Pemerintah Kota Serang secara tegas memberikan tindakan nyata

untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan

kepastian hukum, dengan melarang setiap kegiatan yang termasuk dalam

kategori penyakit masyarakat.

Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 merupakan respon dari

pemerintah Kota Serang untuk memberikan borders kepada masyarakat

agar keamanan, ketertiban umum, kesehatan, dan nilai-nilai luhur yang ada

di Kota Serang dapat terpelihara. Tetapi pada kenyataanya, dalam

menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan tersebut tidak semulus

seperti yang direncanakan, justru tujuan-tujuan tersebut berujung pada

sebuah kegagalan.

Hal inilah yang akan coba diteliti oleh peneliti, yakni praktek

pelaksanaan Perda Pekat untuk tujuan yang telah dirumuskan oleh

68

pemerintah daerah Kota Serang sejak 7 tahun Perda ini terbentuk. Ada

beberapa kondisi dimana suatu kebijakan dapat dianggap gagal karena

pelaksanaanya yang menemui masalah, diantaranya adalah : (Nugroho:

2011.610)

pertama kegagalan manajemen yang berarti, suatu kebijakan memang

berhasil ditetapkan, namun tidak dapat dilaksanakan; yang kedua ialah

kegagalan administrasi, dimana suatu kebijakan sebenarnya telah berhasil

ditetapkan dan dilaksanakan, namun pelaksanaanya memerlukan biaya

yang besar, yang ketiga disebut kegagalan desain; yang terakhir ialah

kegagalan teori yakni kebijakan berhasil dilaksanakan sesuai dengan

desain, tetapi tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Adapun usaha Dinas Sosial untuk menangani masalah sosial

gelandangan dan pengemis yang dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Usaha preventif adalah usaha secara terorganisir yang meliputi

penyuluhan, bimbingan, latihan, dan pendidikan, pemberian bantuan,

pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang ada

hubunganya dengan pergelandangan dan pengemisan. Usaha preventif

ini bertujuan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis

di masyarakat, yang ditujukan baik kepada perorangan maupun

kelompok yang diperkirakan menjadi sumber timbulnya gelandangan

dan pengemis. Usaha preventif ini dilakukan dengan cara:

1. Penyuluhan dan bimbingan sosial

2. Pembinaan sosial

69

3. Perluasan kesempatan kerja

4. Pemukiman lokal

5. Peningkatan drajat kesehatan

2. Usaha represif adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui

lembaga maupun bukan lembaga dengan maksud untuk menghilangan

pergelandangan dan pengemisan serta mencegah meluasnya

dimasyarakat. Usaha represif ini bertujuan untuk mengurangi dan

/atau menindakan gelandangan dan pengemis yang ditujukan baik

kepada seseorang maupun kelompok orang yang disangka melakukan

pergelandangan dan pengemisan. Usaha represif ini dilakukan dengan

cara:

1) Razia

2) Penampungan sementara, setelah gepeng tersebut dirazia dan

diseleksi, maka tindakan selanjutnya adalah:

a. Dilepaskan dengan syarat

b. Dimasukan dalam panti sosial

c. Dikembalikan kepada keluarganya

d. Diserahkan ke pengadilan

e. Diberikan pelayanan kesehatan

3) Pelimpahan

3. Usaha rehabilitatif adalah usaha-usaha yang terorganisir meliputi

usaha-usaha penyatunan, pemberian latihan dan pendidikan,

pemulihan kemampuan dan penyaluran kembali ke daerah pemukiman

70

baru melalui transmigrasi maupun ketengah masyarakat, pengawasan

serta bimbingan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan

dan pengemis kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara

layak. Usaha rehabilitatif ini bertujuan agar fungsi mereka dapat

berperan kembali sebagai masyarakat. Usaha rehabilitatif ini

dilakukan dengan usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan,

dan tindak lanjut, yang kesemuanya itu dilaksanakan melalui Panti

Sosial.

2.4 Penyakit Masyarakat

1. Pengertian Penyakit

Dalam upaya mengetahui makna penyakit masyarakat yang

dijadikan fokus penelitian, peneliti akan mengurai kedua makna dari

susunan kata tersebut. Penyakit masyarajat terdiri dari 2 susunan kata yaitu

penyakit dan masyarakat. Penyakit adlah keadaan tidak normal yang dialami

oleh seseorang baik pada fisik maupun psikologisnya yang menyebabkan

lemahnya fungsi organ tubuh pada seseorang. Kadang kala istilah ini

dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan seseorang, kadang kala istilah

ini dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan seseorang yang cacat,

stress, hingga buruk tingkah lakunya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2003:981), penyakit

merupakan sesuatu yang menyebabkan terjadinya gangguan pada makhluk

hidup. Lebih lanjut, penyakit juga diartikan sebagai kebiasaan yang buruk

dan sesuatu yang bisa mendatangkan keburukan. Penyakit jika di tinjau dari

71

segi biologis, merupakan kelainan yang terjadi dalam organ tubuh,

sementara didalam lingkungan sosial masyarakat, penyakit diartikan sebagai

perilaku yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku pada lingkup

masyarakat itu.

Paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan seseoarang dicap

oleh masyarakat telah terjerumus dalam lingkaran penyakit masyarakat.

Diantaranya adalah kelianan emosi, pengaruh ekonomi dan pendidikan yang

rendah akan pengatahuan tentang berkehidupan di lingkungan sosial

masyarakat.

2. Pengertian Masyarakat

Dalam KBBI, masyarakat diartikan sebagai sejumlah manusia

dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka

anggap sama. (KBBI, 2003:721). Menurut Selo Soemardjan, masyarakat

ialah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.

Sementara menurut Kerl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang

menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya

pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.

Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif

pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Sedangkan menurut Paul B

Horton & C. Hunt, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif

mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal

disuatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan

72

sebagian besar kegiatan di dalam kelompok atau kumpulan manusia

tersebut.

3. Pengertian Penyakit Masyarakat

Penyakit Masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan yang terjadi

ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan masyarakat atau

meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan agama dan adat

serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. (Draft Perda No 2 Tahun

2010). Dalam hal ini, segala sesuatu yang tidak sesuai dan yang tidak

sejalan dengan aturan sosial dan agama yang tumbuh dalam masyarakat

Kota Serang telah diklarifikasikan. Klarifikasi penyakit masyarakat ini telah

diatur dalam Perda No 2 Tahun 2010 ini, yang pertama ialah pelacuran dan

penyimpangan seksual; kedua, waria yang menjajakan dir; ketiga, minuman

beralkohol; keempat, kegiatan yang dilarang pada bulan ramadhan. Tetapi

dalam penelitian kali ini peneliti berfokus pada Gelandangan dan Pengemis.

Tentunya penyakit masyarakat bersifat merusak dan menghambat nilai

kehidupan bermasyarakat Kota Serang yang bervisi kemadanian. seperti

yang telah dijelaskan oleh peneliti, bahwa penyakit masyarakat akan

memberikan dampak buruk bagi masyarakat Kota Serang secara langsung.

Penyakit masyarakat merupakan bukti suatu degradasi kehidupan

masyarakat disuatu wilayah, karena masyarakat akan menganggap biasa dan

wajar terhadap hal-hal seperti Gelandangan dan Pengemis.

73

2.9 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh pihak lain dapat

digunakan sebagai bahan pengkajian dalam penelitian Implementasi Perda

Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat yang berfokus pada Studi Kasus

Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.

Peneleliti terdahulu yang dijadikan bahan kajian pertama, dalam

penelitian ini dilakukan oleh Hendra Ramadhan, (Mahasiswa Program Studi

Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan

Ageng Tirtayasa) dalam penelitian skripsi dengan judul “ Analisis

Implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencengahan

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masayrakat” tahun 2012.

Penelitian ini memfokuskan pada tujuan dan untuk mengetahui dan

menjelaskan bagaimanakah Implementasi Kebijakan Perda Kota Serang No

2 Tahun 2010 dalam menangani Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) khsususnya Para Gelandangan dan Pengemis di daerah Kota

Serang dan Faktor-faktor penghambat dalam proses pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis tersebut.

Penelitian ini dilakukan di Pmerintahan Kota Serang tepatnya du Dinas

Sosial Kota Serang. Selain itu, peneliti ini juga dilakukan di Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kantor Dinas Satpol PP Kota

Serang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,

74

wawancara, dan penelitian kepustakaan. Data dianalisis secara kualitatif,

kemudian disajikan secara deskripitif.

Hasil penelitian dalam skripsi ini menunjukan bahwa dalam

pelaksanaan kebijakan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 masih

terdapat kendala sehingga tidak terlaksana dan berjalan secara optimal. Hal

ini dikarenakan tidak adanya tempat penampungan atau Karantina dalam

memberikan penyuluhan, bimbingan untuk penyandang masalah sosial

seperti gelandangan dan pengemis di dalam memberika pelatihan kursus dan

lain sebagainya serta belum adanya kesadaran dari Masyarakat Kota Serang

tentang adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

Adapun faktor-faktor yang menghambat dalam proses penanganan

penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis tersebut adalah

kelemahan dari segi anggaran yang diberikan pemerintah tidak memadai

untuk pembangunan tempat rehabilitasi yang guna menangani gelandangan

pengemis selain itu juga kurangnya sosialisai tentang perda no 2 tahun 2010

terhadap masyarakat dan para penyandang PMKS serta lemahnya sanksi

yang kurang tegas bagi para masyarakat yang memberikan uang santunan

oleh masyarakat kepada para gelandangan dan pengemis di daerah Kota

Serang tersebut.

Penelitian terdahulu dijadikan sebagai bahan tinjaun pustaka, karena

pada penelitian terdahulu dengan penelitian penulis saling yaitu membahas

kasus pengemis berdasarkan Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota

75

Serang sehingga terdapat beberapa hal yang dikutip dari penelitian

terdahulu. Perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian penulis

adalah bahwa penulis lebih berfokus terhadap hal-hal terkait pada

bagaimana proses Implementasi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat Khususnya Penanggulangan Gelandangan Pengemis di Kota

Serang.

2.10 Kerangka Berfikir

Kerangka berfikir menggambarkan alur pikiran peneliti sebagai

kelanjutan dari kajian teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca

maka dibuatlah kerangka berfikir. Dalam penelitian ini yang menjadi fokus

penelitian adalah Implementasi Perda Kota Serang No 2 tahun 2010 tentang

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat

(study kasus tentang penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang). Memang didalam pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Serang ini,

masih terdapat kendala, dengan kata lain kinerja dari para pelaksana

kebijakan yaitu Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang harus lebih

ditingkatkan, agar pelaksanaan Perda ini optimal. Sebab bila melihat fakta di

lapangan, justru para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial semakin

bertambah dan menjamur. Oleh karena itu, masalah-masalah yang terjadi di

dalam internal para pelaksana kebijakan harus segera diselesaikan, seperti

tidak adanya karantina atau tempat untuk pembinaan terhadap para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Padahal, untuk fenomena sosial

76

yang ada di Kota Serang ini, sangat banyak seperti para gelandangan dan

pengemis yang berada di Pusat Kota, yaitu di Pusat Perbelanjaan

Tradisional, Stasiun, serta Lampu Merah Kota Serang.

Untuk membersihkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti pengemis dan gelaandangan di Kota Serang sangat sulit

sekali, butuh waktu yang lama di dalam menangani masalah tersebut.

Dikarenakan kegiatan ini, sudah menjadi pekerjaan bagi mereka

(gelandangan dan pengemis), sebab dengan melakukan pekerjaan ini,

pengemis dan gelandangan tersebut dengan mudah mendapatkan uang dari

orang lain, sehingga gelandangan dan pengemis ini tidak bersusah lagi

untuk mendapatkan uang secara praktis. Hal ini menjadi akar permasalahan,

mengapa para penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

gelandangan dan pengemis susah dibersihkan dari setiap pusat yaitu

tepatnya ditempat umum Kota Serang.

Walaupun para Penyandang masalah sosial seperti pengemis dan

gelandangan sudah dibersihkan, tetap saja para pengemis tersebut akan

datang kembali. Dalam hal ini, terdapat masalah-masalah sosial yng belum

dituntaskan dan belum dapat diselesaikan oleh Pemerintah Kota Serang.

Oleh sebab itu untuk memecahkan masalah ini, saya menggunakan teori

George C. Edward dalam pandangan Edward III dimana pendekatan yang

digunakan mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan tentang

penanggulangan gelandangan dan pengemis ini, dimana Implementasi dapat

dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah pertanyaan tentang apakah syarat

77

agar Implementasi kebijakan dapat berhasil, menurut Goerge C. Edwards III

ada empat variabel dalam kebijakan publik yaitu Komunikasi

(communictions), Sumber Daya (Resource), Sikap (Dispositions atau

Attitudes) dan Struktur Birokrasi (bureucratic structure).

Keempat faktor di atas harus dilaksanakan secaran simultan karena

antara satu dengan yang lainya memiliki hubungan yang erat. Hal lain yang

dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan

dan respon dari pelaksana, maka yang hendak dijelaskan pada poin ini

adalah sejauhmana kepatuhan dan respon dari pelaksana dalam menanggapi

suatu kebijakan perda no 2 tahun 2010.

Adapun Kerangka Berpikir peneliti dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

78

odnyaris

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan,

dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat

Identifikasi masalah

1. Belum optimalnya Implementasi Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

Yang dilakukan oleh para pelaksana kebijakan

2. Belum di Sosialisasikan secara menyeluruh Pada masyarakat Kota Serang

dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan

Pengemis tentang adanya Perda Kota Serang nomor 2 tahun 2010

3. Terdapat masyarkat yang masih memberikan uang santunan di Pusat Kota

tepatnya di Pasar, Stasiun dan Lampu Merah Kota Serang terhadap

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan

Pengemis.

4. Belum adanya tempat pembinaan/rehabilitasi oleh pemerintah bagi para

Gepeng

5. Kurangnya SDM dalam penanganan masalah Gepeng yang dilakukan oleh

para pelaksana kebijakan.

Teori Implementasi oleh George C. Edward

dalam pandangan Edward III (1980:98)

a. Komunikasi

b. Sumber Daya

c. Dosposisi (kemauan)

d. Struktur Birokrasi

Hasil Penelitian :

Berjalanya Implementasi Kebijakan Perda Kota Serang

No 2 Tahun 2010 dan bekurangnya Jumlah Anak Jalanan

dan Gepeng serta Terwujudnya Keamanan, Ketertiban,

dan Keindahan Kota Serang secara optimal

79

Berdasarkan gambar tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa di dalam

permasalahan ini, tentang Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 masih belum bisa di jalankan dengan baik,

dikarenakan kinerja dari pelaksana kebijakan belum optimal dan masih

terdapat adanya kendala, serta masalah fenomena sosial yang belum bisa

dituntaskan oleh para pelaksana kebijakan. Sebab, Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini, belum ada titik temu yang dapat

membantu satu sama lain antara Pemerintah dan Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial seperti gelandangan dan pengemis di dalam

menyelesaikan masalah tersebut.

Oleh karena itu, untuk memecahkan masalah yang terjadi di Kota

Serang di dalam membersihkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, yang akhir ini sangatlah banyak

dan menjamur di Pusat Kota, yaitu tepatnya di Lampu Merah, Pasar, dan

Alun-alun Kota Serang. Dalam hal untuk memecahkan masalah tersebut,

peneliti menggunakan Teori George C. Edward dalam pandangan Edward

III (1980:98) yaitu Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan Struktur

Birokrasi.

2.11 ASUMSI DASAR

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dibuat asumsi

dasar dalam penelitian ini, yang merupakan anggapan peneliti terhadap

permasalahan penelitian. Berdasarkan perumusan masalah, maka peneliti

80

mengasumsikan bahwa di dalam Implementasi Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 2 Tahun 2010, banyak sekali permasalahan-permasalahan

sosial, khususnya dalam menuntaskan pengemis yang ada di Kota Serang.

Sebab, kebijakan dari perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini,

belum bisa dikatakan berjalan dengan baik. Bila melihat kondisi sekarang

yang ada di Kota Serang ini, justru para Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis serta masyarakat yang dikenakan

sanksi berupa denda materi ataupun kurungan penjara sesuai dengan

ketentuan dari Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 pasal 21

ayat 1 dan 2 Tentang Ketentuan Pidana.

81

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif. Metode kualitatif digunakan untuk memahami interaksi

sosial, interaksi sosial yang kompleks hanya dapat diuraikan jika peneliti

melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara ikut berperan

serta, wawancara mendalam terhadap interaksi sosial tersebut. Dengan

demikian dapat ditemukan suatu pola-pola yang jelas. Oleh karena itu

peneliti menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui sejauh mana

implementasi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya

mengenai kegiatan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.

Menurut Sugiyono (2013:9), mengemukakan bahwa metode kualitatif

adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,

digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti

adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara

tringulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil

peneliti kualitatif lebih menekann makna dari pada generalisasi.

Dalam penelittian kualitatif pengumpulan data tidak dipandu dengan

teori tetapi dipandu melalui fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian

dilapangan. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif

82

berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikontruksikan

menjadi hipotesis atau teori. Dan penelitian kualitatif data yang dihasilkan

berupa kata dan kalimat, untuk mengeksplorasi bagaimana kenyataan sosial

yang terjadi dengan mendeskripsikan variabel yang sesuai dengan masalah

bab unit yang diteliti, dalam hal ini peneliti mengetahui sejauh mana

implementasi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya

mengenai penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini berjudul Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pemberantasan, Pencegahan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Agar penelitian lebih terstruktur dan

sistematis, maka ruang lingkup penelitian difokuskan pada fokus

permasalahan Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang.

3.3 Lokasi Penelitian

Pemilihan Lokasi Penelitian sangat penting dalam rangka

mempertanggungjawabkan data yang diambil. Dalam penelitian ini lokasi

yang diambil adalah di Kota Serang, khususnya di Kantor DPRD Kota

Serang, Dinas Sosial Kota Serang, Dinas Satpol PP Kota Serang, dan

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

83

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam peneliti ini adalah peneliti sendiri.

Menurut Irawan (2006;17) satu-satunya instrumen terpenting dalam

penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Peneliti mungkin

menggunakan alat-alat bantu untuk mengumpulkan data seperti rekamn dan

kamera. Tetapi alat-alat tersebut benar-benar tergantung kepada peneliti

yang menggunakanya.

Peneliti dalam melakukan penelitian tentang Implementasi Peratuan

Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yng mengambil studi kasus

pengemis dan gelandangan yang ada dipusat kota Serang, tepatnya di

pinggiran jalan, lampu merah serta pusat perbelanjaan tradisional, ysng

menjadi instrumen pertama adalah peneliti sendiri. Karena dengan menjadi

instrumen secara langsung dalam penelitian ini, peneliti dituntut untuk

memahami metode penelitian kulaitatif dan masalah secara mendalam dan

peneliti harus melakukan validasi data sendiri.

Sedangkan menurut Moleong, pencari tahu alamiah (peneliti) dalam

pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat

pengumpul data. Lain halnya dengan pendapat Bogdan & Taylor, dalam

buku Studi Tokoh Metode Penelitian mengenai Tokoh Furchan, Arif &

Agus Maimun (2005:33) menjelaskan:

“sebagai peneliti kualitatif, tugas anda adalah menembus pengertian

akal sehat (commonsense understanding) tentang kebenaran dan

kenyataan. Apa yang kelihatanya keliru atau tidak konsisten menurut

perspektif dan logika anda, mungkin menurut subyek anda tidak

demikian. Dan, kendati anda tidak harus sependapat dengan

pandangan subyek terhadap dunia ini, anda harus dapat mengetahui,

84

menerima dan menyajikan pandangan mereka itu sebagaimana

mestinya”.

Menurut Nasution dalam Sugiyono (2009: 224) peneliti sebagai

instrumen penelitian serasi untuk penelitian serupa karena memilki ciri-ciri

sebagai berikut:

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala

stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakanya bermakna

atau tidak bagi penelitian.

2. Penelti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek

keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

3. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada suatu instrumen

berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi,

kecuali manusia.

4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat

dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita

perlu sering merasakanya, menyelaminya berdasarkan

pengetahuan kita.

5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang

diperoleh. Ia dapat menafsirkanya, melahirkan hipotesis dengan

segera untuk menentukan arah pengamatan, untuk mengetes hasil

hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan

85

menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh

penegasan, perubahan, atau perbaikan.

7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang

bersifat kuantitatif yang diutamakan adalah respon yang dapat

dikuantifikasi agar dapat diolah secara statistik, sedangkan yang

menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai

instrument, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberi

perhatian. Respon yang lain daripada yang lain, bahkan yng

bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan

tingkat pemahaman dengan aspek yang diteliti.

Penelitian ini data yang diteliti adalah data lisan atau

tulisan, oleh sebab itu untuk mendapatkan data dibutuhkan alat

bantu berupa daftar pertanyaan untuk mewawancarai informan

dan tape recorder. Tape recorder digunakan untuk merekam hasil

wawancara informan agar apa yang dituturkan oleh informan

ditulis dalam penelitian ini secara akurat. Data tulisan juga berasal

dari Dinas Sosial dan Dinas Satpol PP Kota Serang.

3.5 Informan Penelitian

Informan sebagai sumber data kualitatif yang utama disamping data-

data lain yang diperoleh dari hasil studi pustaka, sehingga informan

merupakan salah satu sumber data yang penting dalam penelitian ini.

Kemudian pendekatan teknik pengambilan sampel data yang digunakan

86

yaitu purposive sampling. Maksud teknik pengambilan sampel ini adalah

dengan peneliti mengambil sumber data dari beberapa orang yang dianggap

mempunyai infomasi yang relevan dan focus penelitian. Informan penelitian

merupakan sumber data yang digunakan pada penelitian ini. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive yaitu informan-

informan yang peneliti tentukan dimana informan ini merupakan orang-

orang yang menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan oleh

peneliti ini, karena mereka (informan) dalam keseharianya senantiasa

berurusan dengan permasalahan yang sedang peneliti teliti.

Tabel 3.1

Daftar Informan Penelitian

No Informan Kode Informan Keterangan

1 Anggota DPRD Komisi II Kota

Serang

I1

Key

Informan

2 Dinas Sosial Kota Serang

a. Kepala Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial,

Dinas Sosial Kota

Serang

b. Staf Ketunaan Sosial

dan Penyimpangan di

Dinas Sosial Kota

I2

I2.2

Key

Informan

87

Serang. I2.3

3 Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Serang

a. Kepala Seksi Penegakan

Produk Hukum Daerah,

Satuan Polisi Pamong

Praja Kota Serang

b. Petugas Pelakasana

Satpol PP Kota Serang

I3

I3.1

I3.2

Secondary

Informan

4 Pengemis di Kota Serang

a. Pengemis 1

b. Pengemis 2

c. Pengemis 3

I4

I4.1

I4.2

I4.3

Secondary

Informan

5 Gelandangan di Kota Serang I.5 Secondary

88

a. Gelandangan 1

b. Gelandangan 2

c. Gelandangan 3

I5.1

I5.2

I5.3

Informan

6 Masyarakat Kota Serang

a. Masyarakat 1

b. Masyarakat 2

c. Masyarakat 3

I6

I6.1

I6.2

I6.3

Secondary

Informan

(Sumber: Peneliti, 2018)

Pada penelitian ini, mengenai Implementasi Peraturan Daerah Kota

Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang dilakukan oleh DPRD Kota Serang

sebagai pembuat kebijakan tentang perda tersebut, yaitu dilakukan pada

(Studi Kasus Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang),

yang akan menjadi informan adalah para pengemis dan gelandangan yang

berada dipinggiran jalan serta yang berada di Lampu Merah Kota Serang,

agar informasi yang didapat benar-benar sesuai dengan kenyataan

dilapangan, yang menjadi informan selanjutnya adalah masyarakat Kota

Serang, dimana tujuanya adalah memberikan tanggapan tentang adanya

fenomena gelandangan dan pengemis di Kota Serang dan menanggapi

tentang adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

89

Kemudian untuk melengkapi data yang diperlukan oleh peneliti, maka

diambil beberap informan yang merupakan para pembuat kebijakandari

Peraturan Daerah Kota Serang, yaitu Anggota DPRD Kota Serang,

kemudian Pelaksana Peraturan Daerah Kota Serang adalah Dinas Sosial

Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang sebagai tim eksekusi di dalam

menangani para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

pengemis yang berada di Lampu Merah Kota Serang.

3. 6 Teknik Pengolahan dan Pengumpulan Data

3.6.1 Teknik Pengumpulan Data

Peneliti juga menggunakan instrumen penelitian yang lain dalam

mengumpulkan data informasi guna mendukung penelitian ini diantaranya adalah:

a. Observasi

Obeservasi atau yang lebih umum dikenal dengan pengamatan.

Menurut Moleong (2005:126) adalah kegiatan untuk mengoptimalkan

kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tidak

sadar, kebiasaan dan sebagainya. Lewat observasi ini, peneliti akan melihat

sendiri pemahaman oyang tidak terucapkan (tacit understanding),

bagaimana teori digunakan langsung (theory-in use), dan sudut pandang

responden yang mungkin tidak tercungkil lewat wawnncara atau survey

menurut Alwasilah (2006:155). Di dalam penelitian ini, teknik observasi

atau pengamatan yang digunakan adalah observasi berperan serta

(observation participant). Ada beberapa alasan mengapa didalam penelitian

90

ini memanfaatkan teknik observasi/pengamatan, seperti yang dikemukakan

oleh Guba & Lincoln dalam Moleong (2005:126) diantaranya:

Pertama, teknik ini didasarkan pada pengalaman secara langsung.

Kedua, memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian

mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada

keadaan sebenarnya. Ketiga, memungkinkan peneliti mencatat

peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan

proporsional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari

data. Keempat, sering terjadi ada keraguan pada peneliti, jangan-

jangan pada data yng didapatnya ada yang bias. Kelima,

memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yang

rumit, karena harus memperhatikan beberapa tingkah lakuyang

kompleks sekaligus. Keenam, dalam kasus-kasus tertentu dimana

teknik komunikasi lainya tidak dimungkinkan, pengamatan dapat

menjadi alat yang sangat bermanfaat.

Pada pengamatan ini tahapan yang dilakukan meliputi, pengamatan

secara umum mengenai hal-hal yang sekiranya ada kaitanya dengan

masalah yang diteliti, setelah itu dimulai dengan mengidentifikasi aspek-

aspek yang menjadi pusat perhatian, kemudian dilakukan pembatasan

objek pengamatan dan dilakukan pencatatan.

Kaitanya dengan penelitian ini adalah, peneliti yang dilakukan

pada objek yaitu para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan

pengemis yang berada di Kota Serang ini merupakan penelitian yang

rumit, karena dalam prosesnya banyak sekali kendala baik dari informasi

yang diberikan oleh para pengemis tersebut.

b. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan

dengan proses interaksi komunikasi antara pewawancara dan

terwawancara dengan maksud menghimpun informasi dan interview.

91

Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan

informasi yang digali dari sumber data langsung melalui percakapan atau

tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif sifatnya mendalam

karena ingin mengeksplorasi informasi secara holistic dan jelas dari

informan. (Suharsimi, 2002: 67)

Peneliti menggunakan teknik wawanncara terstruktur dan tidak

terstruktur untuk memperoleh data dalam penelitian ini. Wawancara yang

dilakukan yaitu indept interview atau wawancara secara mendalam

dengan sumber data atau informan yang menguasai dan memahami data

yang akan dicari oleh peneliti. Wawancara mendalam dimaksudkan agar

peneliti dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dapat dilakukan

secara bebas dan leluasa tanpa terikat oleh seuatu susunan pertanyaan

yang telah dipersiapkan. Metode wawancara mendalam menggunakan

panduan wawancara yan berisi butir-butir pertanyaan (wawancara

terstruktur) untuk diajukan kepada informan. Ini hanya untuk

memudahkan dalam melakukan wawancara, penggalian data dan

informasi, dan selanjutnya tergantung improvisasi dilapangan.

Pedoman wawancara yang dibuat oleh peneliti disusun berdasarkan

teori dari George C. Edward dalam pandangan Edward III (1980:98)

yaitu meliputi komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

Adapun indikator - indikator yang akan ditanyakan kepada informan

merupakan pengembangan dari teori tersebut, tujuanya tentu saja untuk

memperoleh data yang dibutuhkan di dalam penelitian. Hal ini bertujuan

92

agar proses wawancara dapat berjalan secara mendalam antar peneliti

dengan informan sehingga wawancara bisa bergulir dan data yang di

dapat sesuai dengan yang dibutuhkan. Berikut tabel pedoman wawancara

dalam penelitian ini:

Tabel 3.2

Pedoman Wawancara

No Dimensi Sub Dimensi Kisi-Kisi Pertanyaan Informan

1 Komunikasi Penyaluran (Transmisi)

Kejelasan dalam

pelaksnaan

Kebijakan

Konsistensi

dalam

pelaksanaan

kebijakan

a. Apakah sudah memiliki ketepatan

penunjukan pihak-pihak

penanggungjawab dalam kebijakan

Gepeng.

b. Bagaimana agar kebijakan publik

disampaikan tidak hanya kepada

pelaksana saja tetapi juga kepada

kelompok sasaran kebijakan dari

pihak lain yang berkepentingan, baik

secara langsung maupun tidak

langsung?

c. Mengapa Tidak adanya informasi

yang jelas tentang Peraturan Daerah

Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

oleh pihak pemerintah Kota Serang

kepada masyarakat yang berada di

Kota Serang Tentang Sosialisasi

Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010

d. Apakah sosialisasi tentang perda

Kota Serang No 2 Tahun 2010 sudah

dimediakan/publikasikan lewat media

Wakil

Komisi II

DPR Kota

Serang

Kepala

Seksi

Pelayanan

Rehabilitasi

Tuna Sosial

93

cetak ataupun audio visual ?

e. Apa alasan ketidakpatuhan para

masyarakat Kota Serang dalam

Pengetahuan tentang dari isi

kebijakan yang dibuat oleh DPRD

Kota Serang yang berkaitan adanya

larangan memberikan santunan

kepada pengemis yang ada dikota

Serang?

a. Bagaimana koordinasi antara antara

Dinas Sosial dan Satpol PP dalam

pelaksanaan razia gepeng?

b. Hambatan apa saja yang didapat

dalam merazia gepeng?

c. Bagaimana tanggapan masyarakat

terhadap keberadaan gepeng di Kota

Serang ?

d. Apakah ada sosialisasi yang

diberikan Dinas Sosial dalam hal

larangan memberi uang kepada

gepeng?

e. Sejauh ini adakah komplain dari

masyarakat tentang jumlah gepeng

yang semakin meningkat dan

mengganggu kenyamanan

dijalananan Kota Serang?

Kasi

Tantrib

Satpol PP

Kota Serang

Dan

Petugas

Satpol PP

Kota Serang

Masyarakat

Kota Serang

dan Tokoh

Masyarakat

2 Sumber

Daya

Dukungan

Aparatur

berupa

sumber daya

manusia

Dukungan Anggaran

yang

diberikan

pemerintah

Dukungan

a. Apakah dukungan aparatur

pelaksana kebijakan sudah sesuai

dengan kebutuhan dalam

menjalankan kebijakan ?

b. Apakah anggaran yang sudah

diberikan pemerintah sudah

mencukupi untuk melaksanakan

kebijakan dalam menangani gepeng

di Kota Serang?

c. Selain itu kendala apa saja yang

dirasakan oleh Dinas Sosial dalam

penanganan gepeng?

d. Upaya-upaya apa saja yang

Kepala

Seksi

Pelayanan

94

Fasilitas

Kebijakan

Dukungan Kewenangan

dari pembuat

dan

pelaksana

kebijakan.

dilakukan untuk meminimalisir

kendala-kendala tersebut?

e. Pelayanan apa saja yang pernah

Dinas Sosial lakukan untuk

memberdayakan para Gepeng?

f. Apakah ada bantuan yang diberikan

oleh Dinas Sosial selain anggaran ?

Jika ada berupa apa?

g. Rutin tidak bantuan yang diberikan

oleh Dinas Sosial?

h. Apakah bantuan yang diberikan

Dinas Sosial sudah dapat membantu

dalam perekonomian kalian

(gepeng)?

i. Mengapa sampai saat ini belum

dibangun panti rehabilitasi dan kapan

rencanan akan dibuat panti

rehabilitasi dan apa rencanan

selanjutnya setelah panti dibangun?

j. Karena belum tersedianya panti

rehabilitasi di Kota Serang, lantas

tindakan apa yang dapat dilakukan

Dinsos untuk sementara ini dalam

menangani gepeng?

Rehabilitasi

Tuna Sosial

Kasi

Rehabilitasi

Sosial dan

Staf

Rehabilitasi

Sosial

3 Disposisi

(Sikap)

Disiplin

Aparatur

Kejujuran Aparatur

Budaya Kerja

Aparatur

Sifat

Demokratis

Aparatur

a. Apakah tingkat disiplin aparatur

pelaksana kebijakan seperti Dinsos

dan Satpol PP sudah sesuai dengan

peraturan-peraturan yang telah

ditetapkan dalam melaksanakan

kebijakan tersebut?

b. Sejauh mana kemauan, keinginan dan

kecenderungan para pelaku kebijakan

untuk melaksanakan kebijakan secara

sungguh-sungguh sehingga apa yang

menjadi tujuan kebijakan dapat

diwujudkan?

c. Apa faktor pendorong yang membuat

para pelaksana kebijakan agar

menjalankan perintah kebijakan

dengan baik ?

Kepala

Seksi

Pelayanan

Rehabilitasi

Tuna Sosial

95

d. Apakah bentuk kejujuran aparatur

dalam melaksanakan kebijakan sudah

bersifat transparan dan sesuai

peraturan yang ditetapkan ?

e. Apakah aparatur itu sendiri sudah

bersifat adil dan bertanggung jawab

terhadap tugas yang diberikan dalam

melaksanakan kebijakan sehingga

agar mendahulukan kepentingan

bersama diatas kepentingan pribadi?

96

4 Struktur

Birokrasi

Kejelasan

Garis

Komando

dan garis

koordinasi

Standar Operasi

Prosedur

(SOP)

Pembagian Tanggung

Jawab dan

Komitmen

Aparatur

(division of

work)

Cakupan

kedali atas

kebijakan

a. Apakah struktur birokrasi yang

dijalankan sekarang oleh para

pelaksana kebijakan masih

terfragmentasi (terpecah-pecah atau

tersebared) sehingga dapat

meningkatkan gagalnya koordinasi

atau komunikasi?

b. Bagaiamana tindak pertanggung

jawaban dari Dinas Sosial sebagai

Dinas yang menangani permasalahan

sosial, khususnya menanggulangi

jumlah gepeng yang banyak di Kota

Serang?

c. Apakah pembagian tanggung jawab

tugas diantara pihak atasan dan

bawahan pelaksana kebijakan sudah

sesuai rencana kerja

d. Apakah penanganan gepeng yang

terazi sudah dilakukan sesuai dengan

kebijakan/prinsip administrasi?

e. Tindakan lebih lanjut seperti apa yang

lebih berguna selain hanya mendata

para gepeng yang terjaring razia ?

f. Apakah program-program yang dibuat

khususnya dalam penanganan gepeng

ini sudah sesuai dengan SOP (Standar

Operasi Prosedur) yang ditetapkan ?

g. Apakah program yang dibuat sudah

cukup efektif dan efisien?

h. Seperti apa bentuk komitmen para

pelaksana kebijakan dalam

melaksanakan kebijakan tersebut?

Kepala

Seksi

Pelayanan

Rehabilitasi

Tuna Sosial

Kepala

Seksi

Pelayanan

Rehabilitasi

Tuna Sosial

(Sumber: Peneliti 2018)

Pedoman wawancara ini disusun dengan fokus penelitian peneliti

berdasarkan apa yang nantinya akan peneliti kaji dan temukan saat

97

dilapangan yang kemudian akan diolah dan dikembangkan sesuai data yang

diperoleh menjadi satu rangkaian informasi yang dijabarkan dalam bentuk

deskriptif sehingga menjadi suatu hasil penelitian yang paten dan dapat

dipertanggungjawabkan kredibilitas datanya.

c. Studi Dokumentasi

Dokumen merupakan salah satu sumber data sekunder yang

diperlukan dalam sebuah penelitan. Menurut Guba & Lincoln dalam

Maleong (2005:126) dokumen adalah setiap bahan .tertulis ataupun film,

gambar dan foto-foto yang dipersiapkan karena adanya permintaan seorang

penyidik. Selanjutnya studi dokumentasi dapat diartikan sebagai teknik

pengumpulan data melalui bahan-bahan yang tertulis yang diterbitkan oleh

lembaga-lembaga yang menjadi objek penelitian, baik berupa prosedur,

peraturan-peraturan, gambar, laporan hasil pekerjaan serta berupa foto

ataupun dokumen elektronik (rekaman). Studi dokumentasi didapat dari

dokumen resmi pemerintah. Dimana peneliti akan menggunakan teknik

dokumentasi atau Library Research. Prinsip teknik pengumpulan data ini

dilakukan dengan cara menggali dan dokumenter yang telah tersedia dalam

perpustakaan. Dokumen tidak hanya catatan peristiwa saat ini dan yang

akan datang, namun juga catatan dimasa lalu. Data-data yang didapat

peneliti dapat berupa diagram, gambar ataupun tabel data dari kantor Dinas

Sosial Kota Serang serta objek foto-foto penelitian.

98

3.6.2 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah suatu fase penelitian Kualitatif yang sangat

penting karenan melalui analisis data inilah peneliti dapat memperoleh

wujud dari penelitian yang dilakukanya. Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik analisis data di lapangan sesuai pada model analisis

data Spradley yang mengungkapkan dalam penelitian Kualitatif dilakukan

pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan

data dalam periode tertentu. Peneliti dalam mengumpulkan data pada

penelitian ini akan melakukan proses secara terus menerus selama penelitian

berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul.

Dalam penelitian Kualitatif, kegiatan analisis data dimulai sejak

peneliti melakukan kegiatan pra-lapangan sampai dengan selesainya

penelitian. Analisis data dilakukan secara terus menerus terhenti sampai

data tersebut bersifat jenuh. Menurut Bogdan & Biklen analisis data

kualitatif dalam Maleong bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian

Kualitatif (2005:248) adalah :

“Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensintesikanya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”

Data yang terkumpul harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi

informasi yang dapat digunakan dalam menjawab perumusan masalah yang

diteliti. Aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif

dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya

99

sudah jenuh. Model interaktif dalam analisis data kualitatif dipakai untuk

mengnalisis data selama dilapangan.

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-

bahan lainya sehingga dapat dengan mudah dipahami dan tentunya dapat

diinformasikan kepada yang lain.

Analisis data dalam penelitan kualitatif bersifat induktif dimana data

yang diperoleh akan di Analisis dan dikembangkan menjadi sebuah

hipotesis atau asumsi dasar. Kemudian data-data lain terus dikumpulkan dan

ditarik kesimpulan. Kesimpulan tersebut akan dapat memberikan suatu hasil

akhir apakah hipotesis penelitian yang telah dibuat sesuai dengan data yang

ada atau tidak.

Adapun Analisis Data menurut Model Spradley dimana membagi

analisis data dalam penelitian berdasarkan tahapan dalam penelitian

kualitatif yang sebagai berikut :

1) Analisis Domain

Pada umumnya dilakukan untuk memperoleh gambaran yang

umum dan menyeluruh tentang situasi sosial yang diteliti atau

objek penelitian. Data diperoleh dari grand tour dan minitour

question. Hasilnya berupa gambaran umum tentang objek yang

diteliti, yang sebelumnya pernah diketahui. Dalam analisis ini

informasi yang diperoleh belum mendalam, masih dipermukaan,

100

namun sudah menentukan domain-domain atau kategori dari

situasi sosial yang diteliti.

2) Analisis Taksonomi

Domain yang dipilih tersebut selanjutnya dijabarkan menjadi

lebih rinci, untuk mengetahui struktur internalnya dilakukan

dengan observasi terfokus

3) Analisis Komponensial

Mecari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara

mengkontraskan antar elemen. Dilakukan melalui observasi dan

wawancara terseleksi dengan pertanyaan yang mengkontraskan.

4) Analisis Tema Budaya

Mencari hubungan diantara domain, dan bagaimana hubungan

dengan keseluruhan dan selanjutnya dinyatakan ke dalam

tema/judul penelitian.

101

Gambar 3.1 Analisis Data menurut Miles & Huberman

3.6.3 Uji Keabsahan Data

Dalam penelitian Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun

2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat pada Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis peneliti

menggunakan uji keabsahan data sebagai berikut :

1. Perpanjangan pengamatan

Dengan melakukan perpanjangan pengamatan dilapangan/lokasi

penelitian ini, berarti hubungan peneliti dengan partispan/narasumber

semakin akrab, terbuka, saling mempercayai sehingga tidak ada informasi

yang disembunyikan lagi. Lamanya pengamatan ini dilakukan sangat

tergantung pada kedalaman, keluasan dan kepastian data. Dan dalam

perpanjangan pengamatan yang dilakukan untuk menguji kredibilitas data

Pengamataan

Deskriptif

Analisis Tema

budaya

Analisis

Komponen

Analisis

Domain

Pengamataan

Deskriptif

Analisis

Taksonomi Pengamatan

Terpilih

102

penelitian maka memfokuskan diri pada data yang telah diperoleh, apakah

data yang diperoleh itu benar atau tidak dan mengalami perubahan atau

tidak.

2. Peningkatan ketekunan dalam penelitian

Peneliti meningkatkan ketekunan dalam penelitian ini guna

melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Karena

dengan cara melakukan peningkatan ketekunan maka kepastian data atau

urutan peristiwa dapat direkam secara pasti dan sistematis. Pengecekan

kembali aapakah data yang telah ditemukan salah atau benar. Peneliti juga

dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis.

3. Tringulasi

Teknik keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

tringulasi. Menurut Maleong (2012: 330), tringulasi adalah teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar

data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data

itu. Denzin dalam Lexy J. Maleong (2013:330) membedakan empat macam

tringulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan

sumber, metode, peneliti dan teori. Dala penelitian ini menggunakan teknik

peeriksaan keabsahan data triangulasi dengan teknik triangulasi sumber dan

teknik triangulasi peneliti, yaitu :

a. Triangulasi Sumber, dapat dilakukan dengan mengecek data yang

sudah diperoleh dari para sumber. Data dari para sumber tersebut

kemudian dipilih dan disajikan dalam bentuk table matriks. Data

103

dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan mana

pandangan yang sama, yang berbeda dan mana yang lebih spesifik.

b. Teknik tringulasi peneliti, dengan memanfaatkan penelitian atau

pengamat lainya untuk pengecekan kembali derajat kepercayaan

data. Cara lain adalah membandingkan hasil pekerjaan seorang

analisis dengan yang lainya, dan pemanfaatan teknik untuk

mengurangi pelencengan dalam pengumpulan suatu data hasil

penelitian.

Kedua teknik triangulasi di atas, peneliti anggap cukup untuk

membantu dalam menguji keabsahan data atau informasi yang peneliti

dapatkan dari kedua teknik dari triangulasi tersebut. Pertama, penetliti

dapatkan dari teknik triangulasi sumber dengan menggunakan catatan harian

wawancara dengan informan baik berupa catatan maupun dengan alat

instrumen yang peneliti gunakan. Kedua, teknik triangulasi peneliti yang

peneliti dapatkan dari uji keabsahan data dengan memanfaatkan peneliti lain

yang melakukan penelitian suatu hal yang sama teteapi berbeda disiplin

ilmu yang digunakan dalam peneliitian ini. Peneliti lain yang dimaksudkan

dalam hal ini adalah peneliti yang penelitianya dijadikan sebagai bahan

kajian peneliti terdahulu dalam penelitian ini yaitu peneliti Hendra

Ramadhan yang melakukan penelitian mengeni Evaluasi Perda Kota Serang

No 2 Tahun 2010 dengan menggunakan teori Evaluasi kebijakan dari Siti

Zuchainah dan Indri Apriliani. Sehingga pengecekan kembali derajat

kepercayaan data dari hasil penelitian terdahulu tersebut, dapat

104

dibandingkan dengan peneliti dalam melakukan penelitian ini yang

menggunakan Teori Implementasi Kebijakan dari George C. Edward

dalam pandangan Edward III dengan tujuan mengurangi pelencengan

dalam pengumpulan suatu data penelitian.

4. Member Check

Member Check adalah, proses pengecekan data yang diperoleh peneliti

kepada pemberi data. Tujuan Member Check adalah untuk mengetahui

seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh

pemberi data. Member Check bertujuan untuk menghindari salah tafsir

terhadap perilaku informan saat observasi, dan mengkonfirmasi perspektif

teknik informan terhadap suatu proses yang sedang berlangsung.

3.7 Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Empat lokasi. Lokasi Pertama peneltian

ini yaitu daerah Pisang Mas Kota Serang termasuk Lampu Merah Pisang

Mas Kota Serang. Kemudian lokasi Kedua dalam penelitian ini yaitu Kantor

DPRD Kota Serang yang berada di daerah Lontar, Kemudian Lokasi Ketiga

yaitu Kantor Dinas Sosial Kota Serang yang berada di Ciawi dekat lampu

merah kebon jahe, dan lokasi Keempat di Kantor Satpol PP Kot Serang

yang bertempat di rumahan Kota Serang tepatnya di jalan Ahmad Yani

Cipare Kota Serang.

105

2. Waktu Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, waktu yang menjadi hal yang tidak dapat

diprediksikan. Hal ini karena data yang diperoleh dilapangan bisa

berkembang dan melebihi waktu oyang telah ditentukan. Dari bulan

September 2017 sampai dengan Juli 2018.

Tabel 3.4

Jadwal dan Waktu Penelitian

No JADWAL

2017 2018

Okt Nov Des Jan Feb Mar-Apr

Mei-

Jun

Jul-

Agst

Sep Okt Nov

1 Pengajuan Judul

2 Observasi Awal

3 Penyusunan

Proposal

Penelitian

4 Bimbingan dan

Perbaikan

Proposal

5 Seminar

Proposal

6 Revisi Proposal

7 Observasi dan

Wawancara

8 Penyelesaian

Penelitian

9 Sidang Skripsi

10 Revisi Skripsi

106

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Umumnya dalam suatu penelitian perlu melakukan adanya

serangkaian atau tahapan-tahapan agar penelitian dapat berjalan dengan lancar dan

optimal. Hal ini dikarenakan proses penelitian bertujuan untuk memperoleh data

yang falid, dan selain itu juga dimaksudkan agar peneliti dapat menemukan hasil

yang diharapkan berdasarkan dengan kenyataan yang ada dilapangan.

4.1 Deskripsi Obyek Penelitian

4.1.1 Profil Kota Serang

Kota Serang adalah kota di Provinsi Banten, Indonesia. Serang

merupakan ibu kota Provinsi Banten dengan pusat pemerintahan berada

di Kecamatan Kota Serang. Serang tepat berada di sebelah utara

Provinsi Banten, serta dikelilingi oleh Kabupaten Serang di wilayah

sebelah barat dan timur dan laut jawa di sebelah utara.

Kota serang merupakan wilayah baru hasil pemekaran Kab. Serang

Provinsi Banten. Sebagai Ibu Kota Provinsi, kehadiranya adalah sebuah

konsekuensi logis dari keberadaan Provinsi Banten. Kota Serang

diresmikan pada tanggal 2 November 2007 berdasarkan Undang-

undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Serang,

setelah sebelumnya melalui rancangan Undang-undang Kota Serang

yang disahkan pada 17 Juli 2007 kemudian dimasukan dalam lembaran

107

Negara Nomor 98 Tahun 2007 dan tambahan lembaran Negara Nomor

4748 tertanggal 10 Agustus 2007. Dalam UU tentang Pembentukan

Provinsi Banten itu, tertuang amanat pembentukan Kota Serang. Kota

Serang mempunyai kedudukan sebagai pusat pemerintahan Provinsi

Banten, juga sebagai daerah alternatif dan penyangga (hinterland) ibu

kota Negara, karena dari kota Jakarta hanya berjarak sekitar 70 km.

1. Pembagian Wilayah Administratif

Secara administratif Kota Serang yang merupakan Ibu Kota

provinsi Banten memiliki total luas wilayah sekitar 266,74Km2. Luas

wilayah tersebut terbagi atas 66 Kelurahan/Desa yang termasuk dalam

6(enam) Kecamatan, yakni Kecamatan Serang, Kecamatan Curug,

Kecamatan Cipocok Jaya, Kecamatan Walantaka, Kecamatan Taktakan,

dan Kecamatan Kasemen. Data luas wilayah Kota Serang per

Kecamatan ialah sebagai berikut.

Tabel 4.1

108

Luas wilayah Kecamatan di Kota Serang

NO. Kecamatan

Luas Presentase

(KM) (%)

1 Curug 49,60 18,59

2 Walantaka 48,48 18,18

3 Cipocok Jaya 31,54 11,82

4 Serang 25,88 9,70

5 Taktakan 47,88 17,95

6 Kasemen 63,36 23,75

Jumlah Total 266.74 100.00

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Serang

2. Geografis Kota Serang

Wilayah Kota Serang secara geografis terletak pada bagian ujung

barat laut pulau jawa atau antara 105 71 - 106 41 BT dan 5 21 -

60 21 LS dengan luas wilayah 266,74 Km. Kota Serang terletak pada

posisi yng strategis, yaitu pada jalur utama Pulau Jawa dan pada jalur

jalan tol Jakarta-Merak. Sesuai pasal 5 Undang-undang Nomor . 32

Tahun 2007 Kota Serang memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut:

109

Sebalah Utara : Berbatasan dengan Laut Jawa (Teluk

Banten).

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cikeusal,

Kecamatan Petir, dan Kecamatan Baros.

Sebelah Barat : berbatasan dengan Kramatwatu dan

Gunung Sari

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Ciruas,

Kecamatan Pontang dan Kecamatan Kragilan.

3. Visi dan Misi Kota Serang

a. Visi Kota Serang

“Terwujudnya Kota Serang Madani sebagai Kota Pendidikan yang

Bertumpu pada Potensi Perdagangan, Jasa, Pertanian dan Budaya.”

b. Misi Kota Serang

1. Pembangunan dan Peningkatan Infrastruktur;

2. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan;

3. Pembangunan dan Peningkatan Kualitas Kesehatan;

4. Peningkatan Ekonomi Kerakyatan serta Optimalisasi Potensi

Pertanian dan Kelautan;

Peningkatan Tata Kelola Pemerintahan, Hukum, dan Peningkatan

Penghayatan terhadap Nilai Agama.

110

4. Keadaan Penduduk Kota Serang

Dalam konteks demografi, menurut data Dinas Kependudukan dan

Pncatatan Sipil tahun 2015 Kota Serang memiliki jumlah penduduk 671,541

jiwa dengan komposisi penduduk laki-laki berjumlah 451.221 jiwa dan

perempuan 221.320 jiwa. Kepadatan penduduk di Kota Serang terbilang

cukup tinggi, yang rata-rata mencapai 2.561 jiwa per km2 pada tahun 2014.

Bila dilihat dari struktur usianya, penduduk Kota Serang didominasi

oleh penduduk usia produktif yakni usia 15-64 tahun sebanyak 550.450 jiwa

atau sekitar 81,15%, usia non produktif yakni usia 0-14 tahun dan usia

diatas 65 tahun masing-masing sebesar 121.800 jiwa (20,66%) dan 17,172

(2,91%). Gambaran tentang hal ini dapat dilihat dari tabel komposisi jumlah

penduduk berdasarkan kelompok umur sepanjang tahun 2014-2017 sebagai

berikut:

111

Tabel 4.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Kecamatan Kota Serang

Tahun 2014-2017

No

Kecamatan

Jumlah Penduduk (Jiwa)

2013 2014 2015 2016 2017

1 Curug 56058 59376 62891 63784 64111

2 Walantaka 103866 115426 128267 134457 146788

3 Cipocok Jaya 119856 136657 155813 165834 169760

4 Serang 246614 261409 277092 286011 291160

5 Taktakan 107186 118971 132052 142254 149880

6 Kasemen 106362 113386 120874 135677 147890

Jumlah 739.942 805.225 876.993 928.017 969.589

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Serang, 2018

4.1.2 Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Serang

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, setiap daerah harus

mampu merespon perangkat perundang-undangan dengan menempatkan

aparatur di daerah untuk lebih mampu menata pemerintahanya. Sebagai

upaya mengatasi dan memberikan pelayanan terhadap pembangunan bidang

112

kesejahteraan sosial, Pemerintah Kota Serang melalui Peraturan Daerah

Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan

Organisasi Dinas Daerah Kota Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 14 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Serang

Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas

Daerah Kota Serang. Dinas Sosial Kota Serang, mempunyai tugas

melaksanakan urusan Pemerintah Daerah berdasarkan azas otonomi daerah

dan tugas pembantuan dibidang sosial.

Gambar 4.1 Kantor Dinas Sosial Kota Serang

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang,2018

3. Kedudukan

a. Dinas Sosial adalah unsur penunjang penyelenggaraan pemerintah

daerah di Bidang Sosial.

b. Dinas Sosial dipimpin oleh Kepala Dinas yng berada di bawah

dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah.

113

1. Tugas Pokok

Dinas Sosial mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian

Pemerintah Daerah di Bidang Sosial berdasarkan asas otonomi dan

tugas pembantuan.

2. Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Dinas Sosial Kota Serang

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008,

Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota

Serang dan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 14 Tahun 2010

Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 9 Tahun 2008,

Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas Daerah Kota

Serang. Dinas Sosial Kota Serang, mempunyai tugas melaksanakan

urusan Pemerintah Daerah, berdasarkan azas otonomi daerah dan

tugas pembantuan dibidang sosial. Secara organisasi/struktural Dinas

Sosial Kota Serang terdiri dari :

1. Kepala Dinas

2. Sekretariat

3. Kepala Bidang Potensi dan Kesejahteraan Sosial

4. Kepala Bidang Pemberdayaan Sosial

5. Kepala Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

6. Kepala Bidang Bantuan dan Jaminan Sosial

7. Kepala Bidang Pemakaman

114

3. Struktur Organisasi

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Dinas Sosial Kota

Serang didukung personil sebagai berikut :

1. Sekretariat terdiri atas :

a. Sub bagian Umum dan Kepegawaian

b. Sub bagian Keuangan

c. Sub Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan

2. Bidang Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial

a. Seksi Penyuluhan dan Kesejahteraan Sosial

b. Seksi Pengembangan Nilai-nilai Kepahlawanan

c. Seksi Pengembangan Kelembagaan

3. Bidang Pemberdayaan Sosial

a. Seksi Pemberdayaan Fakir Miskin

b. Seksi Pemberdayaan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan

Sosial

c. Seksi Pemberdayaan Keluarga

4. Bidang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

a. Seksi Pelayanan dan Perlindungan Sosial

b. Seksi Pelayanan Rehabilitasi Sosial dan Penyandang Cacat

c. Seksu Rehabilitasi Tuna Sosial dan Eks Korban

Penyalahgunaan Napza

5. Bidang Bantuan Jaminan Sosial

115

a. Seksi Bantuan Sosial Korban Bencanan

b. Seksi Bantuan Sosial Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran

c. Seksi Pengelolaan Sumber Dana Sosial

6. Bidang pemakaman

a. Seksi Registrasi, Penyiapan Lahan dan Perlengkapan

b. Seksi Pemeliharaan dan Pemanfaatan Pemakaman

c. Seksi Pengawasan dan Pengendalian Pemakaman

7. Unit Pelakasana Teknis

Visi, Misi, Strategi, Kebijakan, Program dan Kegiatan Dinas

Sosial Kota Serang

Visi

Visi Dinas Sosial Kota Serang yang berkeinginan untuk dapat

mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat

Kota Serang sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kota Serang hal

tersebut tidak terlepas dari keberadaan Dinas Sosial Kota Serang yang

merupakan unsur atau komponen yang mendukung pencapaian bidang

kesejahteraan sosial masyarakat sesuai visi dan misi Kota Serang seperti

yang tercermin dalam RPJMD Kota Serang Tahun 2008-2013. Berdasarkan

latar belakang tersebut maka visi Dinas Sosial Kota Serang yaitu:

“TERWUJUDNYA KEMANDIRIAN BAGI PENYANDANG

MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL”

116

Visi tersebut mengandung pengertian yang mendalam dan

mewujudkan tekad kuat dari Dinas Sosial Kota Serang untuk dapat

memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat penyandang masalah

kesejahteraan sosial demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang

sejahtera.

Misi

Misi nerupakan rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan

dilaksanakan untuk mewujudkan visi atau sesuatu yang harus diemban dan

dilaksanakan oleh instansi pemerintah sesuai visi yan ditetapkan agar tujuan

organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Berikut merupakan misi Dinas Sosial Kota Serang sebagai sarana

untuk mewujudkan visi:

1. Meningkatkan kualitas sumber daya aparatur dan infrastruktur dalam

penataan kelembagaan,

2. Meningkatkan akses pelayanan sosial dalam aspek rehabilitas sosial

jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial buat

penyandang masalah kesejahteraan sosial.

3. Memperkuat kelembagaan dan potensi sumber kesejahteraan sosial

untuk mendorong inisiatif dan partisipasi aktif masyarakat, organisasi

sosial, karang taruna, TKSM, dan lembaga sosial keagamaan agar

terjalin hubungan kemitraan yang baik dalam pembangunan

kesejahteraan sosial.

4. Meningkatkan sistem informasi pelaporan.

117

4. Strategi dan Arah Kebijakan

Untuk merealisasikan visi, misi dan tujuan tersebut, maka ditetapkan

Strategi dan Arah Kebijakan sebagai berikut :

Sasaran Strategis Pertama “ Peningkatan Kesejahteraan Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) ”, dengan kebijakan :

a. Jumlah RTSM yang mendapatkan bantuan beras miskin

b. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan keterampilan berusaha

c. Jumlah keluarga miskin yang telah mendapatkan fasilitas manajemen

usaha

d. Jumlah Lansia dan PMKS lainnya yang telah mendapatkan bantuan

sosial dan pelatihan keterampilan serta upaya peningkatan kesehatan, dan

prasarana komda Lansia

e. Jumlah keluarga fakir miskin yang telah mendapatkan bantuan

pembangunan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH)

f. Jumlah wanita korban tindak kekerasan dan eksploitasi yang

mendapatkan perlindungan soisal dan hukum dan bantuan sosial serta

mendapatkan bimbingan dan pelatihan keterampilan

g. Jumlah masyarakat / PMKS yang menjadi peserta dan mengikuti KIE

konseling dan kampanye sosial dalam rangka peningkatan pemahaman

mengenal PMKS

h. Jumlah anak terlantar, anak jalanan, anak cacat dan anak nakal yang

mendapatkan pelatihan keterampilan dan praktek kerja

i. Jumlah tenaga pelatih dan pendidik yang terbina dan mendapatkan

pelatihan keterampilan

j. Jumlah masyarakat dan dinas instansi yang telah menjadi peserta

sosialisasi Program Keluarga Harapan (PKH) dan terbentuknya TPKH

118

Tingkat Kota Serang dan terlaksananya validasi dan verifikasi data PBI

(JKN)

k. Jumlah anak terlantar, yatim piatu yang dapat terpantau dan mendapatkan

pembinaan dan pengembangan bakat dan keterampilan serta

mendapatkan bantuan sosial

l. Jumlah penyandang cacat dan eks trauma yang telah mendapatkan

pendidikan dan pelatihan keterampilan

m. Jumlah lembaga / anggota Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang

telah mendapatkan pembinaan

n. Jumlah eks penyandang penyakit sosial (eks napi, eks napza) yang

terbina dan mendapatkan pelatihan keterampilan

o. Tersedianya tempat persediaan bufferstock, bahan bufferstock dan

sekretariat tagana, meningkatnya keterampilan kesiapsiagaan bencana

bagi anggota tagana dan masyarakat serta terbentuknya Kampung Siaga

Bencana (KSB)

Sasaran Stragtegi Kedua “ Meningkatkan partisipasi sosial masyarakat

dalam pelaksanaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga

dan terorganisir ”, dengan kebijakn :

a. Jumlah kelompok masyarakat, dunia usaha dan PSM yang telah

mendapatkan peningkatan pengetahuan tentang UGB, PUB dan PMKS

b. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai

kepahlawanan dan terpelihara sarana dan prasarana kepahlawanan

c. Jumlah WKBSM yang telah mendapatkan pembinaan

d. Jumlah anggota karang taruna yang telah mendapatkan pelatihan

manajemen

5. Program / Kegiatan Prioritas OPD

Arah Kebijakan Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial Dinas Sosial

Kota Serang, yaitu :

119

a. Meningkatkan kualitas pelayanan dan bantuan dasar kesejahteraan sosial

bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

b. Meningkatkan Pemberdayaan Fakir Miskin, Penyandang Cacat dan

kelompok rentan lainnya

c. Meningkatkan kualitas hidup bagi PMKS terhadap pelayanan sosial dasar,

fasilitas pelayanan publik, dan jaminan kesejahteraan sosial

d. Mengembangkan dan menyerasikan kebijakan untuk penanganan masalah

– masalah strategis yang menyangkut masalah kesejahteraan sosial

e. Memperkuat ketahanan sosial masyarakat berlandaskan prinsip kemitraan

dan nilai – nilai sosial budaya bangsa

f. Meningkatkan kualitas manajemen pelayanan kesejahteraan sosial dalam

mendayagunakan sumber – sumber kesejahteraan sosial

g. Meningkatkan pelayanan bagi korban bencana alam dan sosial

h. Meningkatkan prakarsa dan peran aktif masyarakat termasuk masyarakat

mampu, dunia usaha, perguruan tinggi, dan Orsos/LSM dalam

penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial secara terpadu dan

berkelanjutan

Program – Program yang mendukung sebagai berikut :

1. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat

Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) lainnya.

a. Peningkatan kemampuan (Capacity Building) petugas dan

pendamping sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT dan PMKS

lainnya

b. Pelatihan Keterampilan berusaha bagi keluarga miskin

c. Fasilitasi manajemen usaha bagi keluarga miskin

d. Pelatihan keterampilan bagi penyandang masalah kesejahteraan

sosial

e. Fasilitasi dan Stimulasi Pembangunan Perumahan Masyarakat

Kurang mampu

120

2. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial

a. Pelayanan dan perlindungan sosial, hukum bagi korban eksploitasi,

perdagangan perempuan dan anak

b. Pelaksanaan KIE konseling dan kampanye sosial bagi Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

c. Pelatihan keterampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar

termasuk anak jalanan, anak cacat dan anak nakal

d. Koordinasi perumusan kebijakan dan sinkronisasi pelaksanaan upaya

– upaya penanggulangan kemiskinan dan penurunan kesenjangan

e. Penanganan masalah – masalah strategis yang menyangkut tanggap

cepat darurat dan kejadian luar biasa

3. Program Pembinaan anak terlantar

a. Pengembangan bakat dan keterampilan anak terlantar

4. Program Pembinaan para penyandang cacat dan trauma

a. Pendidikan dan pelatihan bagi penyandang cacat dan eks trauma

5. Program Pembinaan panti asuhan / panti jompo

a. Peningkatan keterampilan tenaga pelatih dan pendidik

6. Program Pembinaan Eks Penyandang penyakit sosial ( eks

narapidana, PSK, narkoba dan penyakit sosial lainnya )

a. Pendidikan dan pelatihan keterampilan berusaha bagi eks

penyandang penyakit sosial

7. Program Pemberdayaan Kelembagaan Kesejahteraan Sosial

a. Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha

b. Peningkatan jenjang kerjasama pelaku – pelaku usaha

kesejahteraan sosial masyarakat

c. Peningkatan kualitas SDM Kesejahteraan sosial masyarakat

d. Peningkatan sarana dan prasarana kepahlawanan dan keperintisan

4.1.3 Profil Satpol PP Kota Serang

121

Profil Polisi Pamong Praja adalah perangkat Pemerintah Daerah

dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakan

peraturan daerah organisasi dan tata kerja satuan Polisi Pamong Praja

ditetapkan dengan Peraturan Daerah, Satuan Pamong Praja dapat

berkedudukan di Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Di

Daerah Propinsi Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh kepala yang

berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui

Sekretaris Daerah.

Sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang

pemerintah Daerah, Polisi Pamong Praja mempunyai peran yang strategis

dalam penyelenggaraan Pemerintah Daerah, yaitu menyelenggarakan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, menegakan Peraturan

Daerah dan Kebijakan-kebijakan Kepala Daerah. Untuk itu dalam rangka

pelaksanaan tugas dan fungsinya diperlukan tenaga-tenaga Polisi Pamong

Praja yang berstatus pegawai negeri sipil dengan jumlah yang cukup.

Gambar 4.3 Kantor Satpol PP Kota Serang

Sumber : Satpol PP Kota Serang,2018

122

1. Maksud dan Tujuan

Untuk memberikan gambaran kepada semua pihak tentang

keberadaan, tugas dan fungsi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Serang, seiring dengan terbitnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah, kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja

diatur dalam bagian tersendiri dimana pasal 148 disebutkan bahwa:

a. Untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakan Peraturan

Daerah, Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat.

b. Pembentukan dan Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong

Praja berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Tujuan dibentuknya Satuan Polisi Pamong Praja disamping

seperti maksud diatas juga sebagai:

a. Meningkatkan partisipasi dalam pelayanan penyelenggaraan

hukum Daerah

b. Meningkatkan kerja aparatur dalam penyelenggaraan penegakan

hukum Daerah

c. Meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah dalam

penyelenggaraan penegakan hukum daerah

2. Visi dan Misi

Visi dan Misi Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang,

secara umum Visi merupakan cara pandang jauh kedepan, kemana suatu

organisasi harus dibawa agar dapat eksis. Visi organisasi harus

merupakan gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang

123

di inginkan oleh suatu organisasi tahun yang akan datang, sesuai dengan

sifat perencanaan strategi perencanaan manajemen Satuan Polisi Pamong

Praja yang merupakan perencanaan pembangunan jangka panjang, selain

itu peran Satuan Polisi Pamong Praja agar diarahkan untuk mendukung

pencapaian Visi dan Misi Kota Serang. Seiriing dengan upaya terebut,

maka Visi Satuan Pamong Praja Kota Serang adalah sebagai berikut:

”Terwujudnya Aparatur Daerah Kota Serang Yang Berkualitas

Dalam Penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Daerah”

Misi adalah merupakan penjabaran dari Visi yang harus

dilaksanakan agar tujuan organisasi dapat terlaksana dengan baik dan

berhasil sesuai dengan tujuan Visi dimaksud. Adapun Misi kantor Satuan

Polisis Pamong Praja Kota Serang adalah sebagai berikut:

a. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap aturan norma

hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma sosial lainya

yang hidup dan berkembang dimasyarakat.

b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan

perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu

ketentraman dan ketertiban umum.

c. Meningkatkan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan

ketertiban Daerah.

d. Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam mematuhi dan mentaati

peraturan Daerah dan keputusan Daerah.

3. Tugas Pokok dan Fungsi

124

1. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

Memimpin, mengatur, mengkoordinasikan dan mengendalikan

seluruh kegiatan penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Polisi

Pamong Praja sesuai dengan visi dan misi Walikota yang terjabarkan

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah di bidang

penyelenggaraan dan pemeliharaan ketentraman ketertiban umum

serta perlindungan masyarakat serta sub bidang lainya.

Untuk melaksanakan tugas pokok, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

mempunyai fungsi :

a. Perumusan kebijakan Strategis Satuan Polisi Pamong Praja

berdasarkan visi dan misi Walikota yang terjabarkan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah di bidang penyelenggaraan

dan pemeliharaan ketentraman ketertiban umum serta perlindungan

masyarakat serta sub bidang lainya;

b. Menyelenggarakan kebijakan pemeliharaan ketentraman ketertiban

umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang kebakaran;

c. Menyelenggarakan pembinaan kegiatan pemeliharaan ketentraman

ketertiban umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang

kebakaran;

d. Menyelenggarakan pengawasan kegiatan pemeliharaan ketentraman

ketertiban umum serta perlindungan masyarakat serta sub bidang

kebakaran

2. Sekretariat Satuan Polisi Pamong Praja

125

Dipimpin oleh seorang Sekretaris yang mempunyai tugas pokok

membantu Kepala Satuan Polisi Pamong Praja dalam

pengkoordinasian pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan tugas dan

fungsi Satuan Polisi Pamong Praja serta menyelenggarakan kegiatan

di bidang administrasi umum, keuangan, kepegawaian, program,

evaluasi dan pelaporan.

Untuk menjalankan tugas pokok, Sekretaris mempunyai fungsi :

1. Menyelenggarakan penatausahaan urusan umum;

2. Menyelenggarakan penatausahaan urusan kepegawaian;

3. Menyelenggarakan penatausahaan urusan keuangan;

4. Menyelenggarakan fasilitasi kebutuhan kedinasan kepala Satuan;

5. Menyelenggarakan pengoordinasian dalam penyusunan

perencanaan Dinas;

6. Bidang Penegakan Peraturan-Peraturan Daerah (PPUD)

Bidang Penegakan Peraturan Perundangan-Undangan Daerah

(PPUD) dipimpin oleh seorang Kepala Bidang yang mempunyai tugas

penyelenggaraan sebagai tugas Satuan Polisi Pamong Praja dalam

pelakasanaan penegakan produk hukum daerah.

Terdapat 3 seksi dalam bidang Penegakan Produk Hukum Daerah

(PPHD), yaitu Seksi Pembinaan, Penyuluhan, dan Pengawasan Ekologis

(Binluhwas Ekologis); Seksi Pembinaan Penyuluhan, pengawasan, Sosial

Masyarakat (Binlahwassosmasyz); Seksi Bina Penyidik Pegawai Negeri

126

Sipil (PPNS) dan Kajian. Ketiga seksi ini dipimpin oleh kepala seksi yang

bertanggung jawab langsung kepada kepala bindang.

GAMBAR. 4.4 Struktur Organisasi Bidang PPUD Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Serang

Untuk menjalankan tugas pokok, Kepala Bidang PPUD mempunyai

tugas fungsi :

1. Menyelenggarakan pengkajian program kerja bidang ;

2. Menyelenggarakan pengkajian bahan fasilitasi penyusunan dan

pedoman supervisi;

3. Menyelenggarakan pengkajian bahan fasilitasi penindakan

pelanggaran

4. Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah;

5. Menyelelnggarakan pembinaan, pengawasan dan penyuluhan

penegakan PPUD;

6. Menyelenggarakan fasilitasi dan penegakan perda;

7. Menyyelenggarakan koordinasi penyelenggaraan PPUD;

KASAT POL PP

js

KEPALA BIDANG PPUD

KASI BINLUHWAS

EKOLOGIS

PELAKSANA PELAKSANA

KASI PPNS dan KAJIAN

PELAKSANA

KASI

BINLUHWASSOSMASY

STAF PELAKSANA STAF PELAKSANA STAF PELAKSANA

127

8. Menyelenggarakan koordinasi dan fasilitasi PPNS;

9. Menyelenggaraakan telaahan staf sebagai bahan pertimbangan

pengambilan kebijakan;

10. Menyelenggarakan pelaporan dan evaluasi kegiatan bidang

PPUD

11. Menyelenggarakan koordinasi dengan Organisasi Perangkat

Daerah (OPD) Provinsi;

12. Menyelenggarakan koordinasi dengan unit kerja terkait;

13. Menyusun laporan sesuai dengan tugas dan fungsinya.

4.3 Deskripsi Data

Data yang disajikan dibawah ini merupakan data yang melalui proses

reduksi. Deskripsi data menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari

data mentah menggunakan teknis analisis data yang relevan. Dalam penelitian

ini peneliti menggunakan teori George C. Edward III dalam Widodo

(2010:96). Dalam teori tersebut menjelaskan keberhasilan atau kegagalan

suatu implementasi kebijakan publik dapat ditentukan oleh 4 dimensi atau

faktor, yang terdiri dari faktor Komunikasi, Sumber Daya, Disposisi dan

Struktur Birokrasi.

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi partisipatif

tidak aktif. Dimana peneliti tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan Perda

Penyakit Masyarakat (Pekat) Kota Serang No 2 Tahun 2010 di Kota Serang

terkait pencegahan, pemberantasan, dan penanggulangan aktivitas

Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). Selain observasi, peneliti juga

melakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara. Waawncara

128

yang dilakukan peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur, dimana

peneliti menggunakan pedoman wawancara yang lengkap dan sistematis.

Mengingat bahwa jenis dan analisis data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif, maka data oyang diperoleh bersifat deskriptif

berbentuk kata dan kalimat dari hasil wawancara, hasil observasi lapangan,

serta data atau hasil dokumentasi lainya. Berdasarkan teknik analisis data

kualitatif mengikuti konsep yang diberikan oleh Spradley dalam Moleong

2010: 302), data tersebut dianalisis selama proses penelitian berlangsung.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan melalui wawancara

dan dokumentasi, maupun observasi lapangan dilakukan reduksi untuk

mencari tema dan polanya dan diberikan kode-kode pada aspek tertentu

berdasarkan jawaban-jawaban yang sama dan berkaitan dengan pemnahasan

masalah penelitian serta dilakukan kategorisasi. Kode-kode tersebut antara

lain.

1. Kode Q123 dan seterusnya menandakan daftar urutan pertanyaan

2. Kode I123 dan seterusnya menandakan daftar urutan informan

Pengkategorisasian dilakukan berdasarkan jawaban-jawaban yang

ditemukan dari penelitian lapangan. Mengingat penelitian ini adalah

penelitian kualitatif dengan tidak menggeneralisasikan jawaban penelitian,

maka semua jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh informan dipaparkan

dalam pembahasan penelitian yang disesuikan dengan teori penelitian,

berdasarkan hasil penelitian lapangan, yaitu:

129

1. Komunikasi (Communication)

Pada dimensi ini, suatu kebijakan akan berhasil suatu kebijakan dapat

dikomunikasikan dengan tepat, akurat, dan konsisten. Bahwasanya

suatu informasi kebijakan perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan

agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan,

arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku

kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan

dengan pelakasanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan

bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu

sendiri.

2. Sumber Daya (Resource)

Suatu kebijakan dapat dikatakan berhasil jika dimensi satu ini

terlakasana dan tersedia dengan baik agar berjalanya kebijakan suatu

efektif dan efisien, karena bagaiamanapun jelas dan konsistensinya

ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun akuratnya

penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para

pelaksana kebijakan yang bertanggung untuk melaksanakan kebijakan

kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan

kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak

akan efektif.

3. Disposisi (Disposition)

Pada dimensi ini, kecenderungan perilaku atau karakteristik dari

pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan

130

implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan dan sasaran.

Karakter penting yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya

kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan

implementor untuk tetap berada dalam asa program yang telah

digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan

akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas,

wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang

telah ditetapkan. Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat

berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementor

memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan

dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan,

sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi

tidak akan terlaksana dengan baik.

4. Struktur Birokrasi (Bureucratic Structure)

Dalam aspek ini, Struktur organisasi memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi

ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan stuktur birokrasi itu

sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi

kebijakan biasanya sudah dibuat standart operating procedur (SOP).

SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak agar

dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran

kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi. Struktur birokrasi

yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan

131

pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan

kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi

menjadi tidak fleksibel.

Berdasarkan kategori diatas, maka peneliti membuat matrik agar

data-data yang ada dari hasil kategorisasi dapat dibaca dan dipahami

secara keseluruhan. Kemudia dilakukan analisis kembali untuk mencari

kesimpulan yang signifikan selama sisa waktu penelitian dengan

mencari kembali data dan informasi dari berbagai sumber. Setelah data

dan informasi, maka kesimpulan tersebut dapat diambil untuk dijadikan

jawaban dalam membahas masalah penelitian.

4.3.1 Informan Penelitian

Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa

dalam penelelitian ini informan penelitian ditentukan dengan

menggunakan teknik purposive, yakni suatu teknik pengambilan

informan dengan penetapan informan berdasarkan kriteria-kriteria

tertentu, disesuaikan dengan informasi yang dibutuhkan dalam

penelitian. Adapun informan-informan yang peneliti tentukan,

merupakan orang-orang yang menurut peneliti memiliki informasi

yang dibutuhkan dalam penelitian ini karena mereka (informan) dalam

keseharianya senantiasa berurusan dengan permasalahan yang sedang

diteliti.

Dalam pelaksanaan penelitian dilapangan nanti, tidak menutup

kemungkinan peneliti juga akan menggunakan teknik snowball, yaitu

132

jumlah informan akan bertambah sesuai dengan kebutuhan dalam

penelitian. Pertama dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dengan

dua orang ini belum dapat memenuhi kelengkapan data dan informasi

peneliti maka peneliti mencari sumber lain yang dipandang lebih

memahami permasalahan dan dapat melengkapi data yang diberikan

oleh sumber sebelumnya. Adapun informan yang bersedia untuk

diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 15 orang, seperti yang

tertera dalam tabel 4.5 sebagai berikut :

Tabel 4.3

Daftar Informan Penelitian

Kode

Informan Informan Keterangan

I1 Wakil Komisi II DPRD Kota Serang Key Informan

I2 Kepala Dinas Sosial Provinsi Banten. Key Informan

I3 Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial dan

Korban eks Napza Dinas Sosial Kota

Serang.

Key Informan

I4 Kabid PPUD Satpol PP Kota Serang Key Informan

I5 Staff Pelaksana Binluhwassosmasy

Bidang PPUD Satpol PP Kota

Serang.

Key Informan

I7- I9 Masyarakat Kota Serang Secondary Informan

I10- I12 Pengemis Kota Serang Secondary Informan

133

I13- I15 Gelandangan Kota Serang Secondary Informan

Sumber : Peneliti 2018

Selanjutnya perlu diketahui, adapun informasi yang dipergunakan dalam

penelitian ini berjumlah 15 orang, diantaranya adalah :

1. Bapak M. Ali Surohman, ST. Beliau adalah selaku Wakil Komisi

II DPRD Kota Serang.

2. Ibu Dra. Nurhana, M.Si. Beliau adalah Kepala Dinas Sosial

Provinsi Banten.

3. Bapak Heli Priyatna. Beliau adalah Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial

dan Korban eks Napza Dinas Sosial Kota Serang.

4. Bapak Juanda. Beliau adalah Kabid Penindakan Peraturan

Undang-undang Daerah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)

Kota Serang.

5. Bapak Saiful Bahri. Beliau adalah Staff Pelaksana

Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang.

6. Ika (26). Beliau adalah Masyarakat yang kerja di Toko Emperan

Pisang Mas Kota Serang

7. Rosyid (41). Beliau adalah Masyarakat sebagai wiarausaha yang

berada disekitaran daerah Pisang Mas Kota Serang.

8. Iwan (31). Beliau adalah Masyarakat sebagai juru parkir yang

berada di Lampu Merah Pisang Kota Serang.

9. Rina (32). Beliau adalah Masyarakat yang dijumpai berada di

134

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

10. Sanita (56). Beliau adalah Pengemis Pembawa Bayi yang berada

diwilayah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

11. Said (45).Beliau adalah Pengemis Cacat Mental yang berada di

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

12. Febi (13). Beliau adalah Pengemis dibawah usia yang berada di

wilayah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

13. Arifin (41). Beliau adalah Gelandangan yang berada di wilayah

Emperan Toko Pisang Mas Kota Serang.

14. Hendri. Beliau adalah Gelandangan sebagai Anak jalanan (Punk)

yang berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang

15. Endar. Beliau adalah Gelandangan yang berprofesi sebagai

pedagang asongan di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

4.3.2 Deskripsi Penelitian

Dalam sebuah Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang

pencengahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat

merupakan bentuk kongkrit pemerintah Kota Serang untuk mewujudkan

daerah dengan landasan kehidupan masyarakat yang berbudaya dan

beragama yang sejalan dengan visi dan misi Kota Serang itu sendiri.

Sehingga pada akhirnya masyarakat Kota Serang terhindar dari segala

bentuk perbuatan yang dapat meresahkan masyarakat, ketertiban umum,

keamanan, kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Kota

135

Serang. Berawal dari hal yang telah disebutkan diatas, bahwa rasa aman,

nyaman, dan tenteram perlu diwujudkan di Kota Serang, oleh karena itu

perbuatan penyakit masyarakat di Kota Serang wajib diberikan aturan-

aturan tentang pembinaan, pengawasan, pengendalian, pelarangan, serta

penindakan terhadap penyakit masyarakat agar terhindar dari gangguan/

dampak negatif yang akan timbul di dalam masyarakat.

Dalam penelitian saat ini, peneliti berusaha memunculkan salah

satu kategori penyakit masyarakat dari beberapa klasifikasi penyakit

masyarakat yang terdapat dalam Perda No 2 Tahun 2010, yakini

Gelandangan dan Pengemis. Dalam Perda No 2 Tahun 2010 disebutkan,

bahwa setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis, setiap

orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain menjadi pengemis

dan setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada

pengemis. Tiga poin diatas telah jelas memberikan gambaran kepada

masyarakat Kota Serang, bahwa segala aktivitas yang berkenaan dengan

mengemis dan menggelandang merupakan perbuatan yang terlarang

yang semestinya harus dihindari oleh seluruh warga Kota Serang, tanpa

terkecuali dan bagi mereka yang tidak mengindahkan larangan tersebut

akan mendapatkan sanksi-sanksi yang akan peneliti bahas pada uraian

selanjutnya.

Segala bentuk kegiatan ataupun aktivitas gelandangan dan

pengemis (gepeng) sudah mulai ada sebelum Kota Serang ditetapkan

daerah otonomi tingkat kota pada tahun 2007, akan tetapi dengan alasan

136

belum stabilnya pemerintahan saat itu, menjadikan peraturan-peraturan

dan larangan-larangan yang berkenaan dengan gelandangan dan

pengemis baru ditetapkan pada tahun 2010 dalam Peraturan Daerah

Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan penyakit masyarakat.

Gelandangan dan Pengemis adalah orang-orang miskin yang

hidup di kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang

sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota

karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan,

tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, seperti

halnya tidak membayar pajak. Gelandangan dan Pengemis ini

mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dipinggiran jalan atau

ditempat keramaian yang banyak orang berlalu lalang agar mendapat

belas kasih dari orang-orang yang melihatnya. Dari pandangan diatas

dapat diketahui bahwa gelandangan dan pengemis merupakan hal yang

menyimpang dari pedoman moral, etika serta agama sekalipun. Adapun

dalam hal ini Bapak Ali Surahman selaku Wakil Komisi II DPR Kota

Serang yang mengatakan bahwa :

“....Banyaknya gelandangan dan pengemis yang dijalan dirasa

sangat mengganggu ketertiban untuk itu dibuat suatu kebijakan

untuk mengaturnya, dalam isi perda tersebut sudah diatur

mengenai pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan

itu sangat penting dilakukan agar mereka tidak lagi menjadi

gelandangan dan pengemis” (Wawancara: Tanggal 25

September 2018, Pukul 01.00 Wib)

137

Adapun Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan

gambaran tentang potensi, kendala dan peluang dalam pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan gepeng sehingga selanjutnya dapat

pula menggambarkan peranan gepeng dalam mengganggu stabilitas

ketertiban dan keamanan. Sebagai gambar berikut :

Gambar 4.3 . Model Perumusan Masalah Gepeng

Mengutip dari penggalan paragraf dan model perumusan masalah

diatas maka dari itu rancangnya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2

Pembangunan

Perkotaan

Kesenjangan Pembangunan

Pedesaan

Kesulitan

Pemukiman

Urbanisasi Kesulitan

Pekerjaan

Gangguan

Ketertiban

GEPENG

Gangguan

Keamanan

Stabilitas

Keamanan

Stabilitas Nasional

Cita –cita

Nasional

138

Tahun 2010, diharapkan para penyandang masalah kesejahteraan sosial,

terutama para gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Serang

untuk bisa diselesaikan. Akan tetapi, fakta dilapangan yang peneliti

dapati bahwa gelandangan dan pengemis di Kota Serang masih banyak

yang beraktivitas turun ke jalan di Kota Serang. Dari penelitian awal

peneliti laksanakan, didapat data bahwa di beberapa tempat di Kota

Serang khususnya di Lampu Merah Kota Serang, Pusat Perbelanjaan

dan Tempat Umum lainya di Kota Serang terdapat aktivitasi para

gelandangan dan pengemis, dimana tempat-tempat tersebut dijadikan

untuk melakukan kegiatan meminta-minta dan menggelandang, tempat

tersebut seperti di Lampu Merah Lontar, Palima, Ciceri, Pisang Mas,

lalu di Stadion Maulana Yusuf, di Pasar Lama dan Alun-alun Kota

Serang. Berikut ini adalah tabel yang di dapat dari Dinsos Kota Serang,

yang berupa data PMKS Tahun 2018, diantaranya adalah :

Tabel 4.4 Jenis dan Jumlah PMKS Kota Serang

Tahun 2018

N

O

JENIS PMKS JUMLA

H

1 Anak Balita terlantar 56

2 Anak terlantar 756

3 Anak berhadapan dengan hukum -

4 Anak jalanan 341

5 Anak dengan kedisabilitasan ( ADK ) 115

139

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018

Maka dari itu, dengan adaya tabel yang berupa data dari Jumlah

PMKS (Peyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) di Kota Serang,

6 Anak yang menjadi KTK atau diperlakukan

salah

-

7 Anak yang memerlukan perlindungan

khusus

-

8 Perempuan rawan sosial ekonomi -

9 Pekerja migran bermasalah sosial ( PMBS ) -

10 Lanjut usia terlantar 1455

11 Penyandang Disabilitas 1112

12 Korban Traficking -

13 Korban tindak kekerasan ( KTK ) 33

14 Tuna Susila 98

15 Pengemis 135

16 Gelandangan 80

17 Pemulung 55

18 Bekas warga binaan lembaga

pemasyarakatan ( BWBLP )

40

19 Kelompok minoritas -

20 Korban penyaahgunaan narkotika,

Psikotropika dan zat adiktif lainnya/NAPZA

60

21 Fakir miskin 17.121

22 Keluarga bermasalah sosial psikologis -

23 Komunitas Adat terpencil -

24 Korban bencana alam 394

25 Korban bencana sosial -

26 Orang dengan HIV/AIDS ( ODHA ) 65

140

terutama para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan

pengemis, terlihat pada tahun 2018 data yang didapat serta terdata oleh

Dinas Sosial Kota Serang seperti gelandangan berjumlah 80 orang dan

pengemis berjumlah 135. Ini menunjukan adanya pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 yang kurang optimal

dan efektif serta tepat sasaran oleh para pelaksana kebijakan seperti

Dinas Sosial dan Satpoll PP Kota Serang terhadap aktivitas gelandangan

dan pengemis di kota Serang. Seharusnya dengan adanya jumlah

gelandangan dan pengemis yang bertambah dan menjamur, Pemerintah

Kota Serang harus bersikap lebih tegas untuk menyelesaikan

permasalahan sosial ini, terutama dalam menegakan Peraturan Daerah

Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan

dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Oleh karena itu, perlu

adanya peningkatan ketegasan serta optimalisasi dari pemerintah Kota

Serang dalam menjalankan aturan dari Perda Kota Serang Nomor 2

Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat ini.

Berdasarkan apa yang sudah peneliti paparkan pada paragraf

sebelumnya, bahwa tujuan dari diberlakukanya aturan-aturan tersebut,

tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk memberikan rasa aman,

nyaman dan tenteram kepada masyarakat Kota Serang dan lebih dari itu

perwujudan dari Kota Serang sebagai kota/daerah yang berladaskan

nilai agama dan budaya pun harus nyata terlihat. Oleh karena itu Perda

Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

141

Penanggulangan Penyakit Masyarakat inilah yang dijadikan pegangan

Pemerintah Kota Serang untuk menjawab persoalan tersebut.

4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini, yang akan dibahas dalam masalah sosial

adalah masalah Penyakit Masyarakat yang ada di kota Serang Provinsi

Banten. Disebutkan juga pada pasal 1 ayat 14 di Perda Kota Serang No 2

Tahun 2010 bahwa penyakit masyarakat adalah hal-hal atau perbuatan

yang terjadi ditengah-tengah masyarakat yang tidak menyenangkan

masyarakat atau meresahkan masyarakat yang tidak sesuai dengan aturan

agama dan adat serta tata krama kesopanan dalam masyarakat. Hal ini

terjadi akibat dari adanya kesenjangan sosial diantara masyarakat

sehingga menimbulkan masalah sosial. Dalam penelitian ini dikhususkan

pada studi tentang Gelandangan dan Pengemis. Untuk meneliti tentang

Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 yang mengatur

tentang Pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis.

Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota Serang

tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta tidak boleh

memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada di Kota

Serang, sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan, maka akan

diberikan sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara selama 3

bulan yaitu tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2 Tahun 2010

142

pasal 21 ayat 1 dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya Peraturan Daerah

Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, diharapkan para gelandangan dan

pengemis yang ada di Kota Serang dapat dituntaskan, karena memang

masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Kota Serang, sangat

meresahkan.

Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang

masalah kesejahteraan sosial seperti gelandangan dan pengemis, pasti

yang menjadi alasan ataupun utujuan mereka adalah masalah

perekonomian, kemiskinan pengangguran serta tidak mempunyai tempat

tinggal yang sering disampaikan oleh gelandangan dan pengemis.

Gelandangan dan pengemis adalah orang-orang miskin yang hidup

di kota-kota-kota yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu yang

sah menurut hukum. Orang-orang ini menjadi beban pemerintah kota

karena mereka ikut menyedot dan memanfaatkan fasilitas perkotaan,

tetapi tidak membayar kembali fasilitas yang mereka nikmati itu, tidak

membayar pajak misalnya (Sarlito W. Sarwono, 2005 : 49).

Pengertian Gelandangan itu sendiri adalah orang yang tidak tentu

tempat tinggalnya, pekerjaanya dan arah tujuan kegiatanya. Semakin

banyaknya gelandangan merupakan contoh yang ada saat ini bahwa

kemiskinan adalah faktor utama yang paling berpengaruh dan mendasari

kenapa masalah sosial ini terjadi, apalagi fenomena sosial ini banyak

ditemukan di perkotaan khususnya Kota Serang. dalam keterbatasan

ruang lingkup sebagai gelandangan tersebut, seperti menjadi pemulung,

143

pengemis, pengamen dan pengasong, perjuangan hidup sehari-hari

mereka mengandung resiko yang cukup berat, tidak hanya tekanan

ekonomi, tetapi juga tekanan sosial-budaya dari masyarakat, kerasnya

kehidupan jalanan, dan tekanan dari aparat ataupun petugas ketertiban

kota.

Adapun Jenis-jenis Gelandangan di daerah Pisang Mas Kota

Serang yang peneliti temukan dilapangan, sebagai berikut :

1. Pemulung

Pemulung di daerah Pisang Mas Kota Serang merupakan salah

satu jenis gelandangan yang berprofesi sebagai pencari barang-barang

bekas yang nantinya akan dijual kembali, memang hidup

bergelandangan tidak memungkinkan orang hidup berkeluarga, tidak

memiliki kesabaran pribadi, tidak memberi perlindungan terhadap hawa

panas ataupun hujan dan hawa dingin, hidup bergelandangan akan

dianggap hidup yang paling hina diperkotaan khsususnya di Kota

Serang . Hal ini seperti apa yang dirasakan oleh Arifin (41 Tahun)

sebagai pemulung berasal dari Cilegon dengan satu orang anak (Riski)

yang masih berusia 5 tahun yang tinggal berada di emperan toko daerah

Pisang Mas Kota Serang sebagai gelandangan, Beliau mengatakan :

“..Bapak asalnya dari Cilegon, saya mah ya dek tidur di emperen

sperti ini udah biasa walaupun bikin kumuh ini emperan toko, ya

mau gimana lagi bapak udah ga punya tempat tinggal, bapak

menggelandang seperti ini karena masalah rumah tangga (cerai)

dek,yah kurang lebih 2 tahun lah bapak menggelandang, akhirnya

bapak mengurusi anak sendirian sambil memulung setiap hari

144

bareng anak juga dengan gerobak, kadang seharian dapat kurang

lebih 45 ribu, lumayan buat cari makan sehari-hari, bapak sih

mau niat cari kerja tapi yah anak sendiri ga ada yang ngrusin,

kalo soal razia ? Bapak alhamdulillah ga pernah kena

razia,apalagi soal Perda yang ngatur Gelandangan bapak belum

tau sama sekali, karena belum ada yang ngasih info nya juga,

jadi, untuk sampai saat ini pemerintah belum ada yang peduli

sama sekali, yah makanya saya butuh kepedulian pemerintah dek.

(Wawancara : Tanggal 14 September 2018, Pukul : 20:00 WIB

malam hari di Emperan Toko Pisang Mas Kota Serang)

Gambar 4.8 Wawancara dengan Gelandangan (Pemulung)

daerah Pisang Mas Kota Serang

Sumber : Peneliti,2018

2. Anak Jalanan (Punk)

Menurut hasil peneltian yang didapat oleh peneliti dilapangan,

Anak Jalanan (Punk) di daerah Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang

ini merupakan salah satu jenis Gelandangan di Kota Serang karena

mereka (Punk) ini hidup berkeliaran yang tidak tentu tempat tinggalnya,

pekerjaanya dan arah tujuan kegiatanya dan biasanya mereka

beraktivitas di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang seperti meminta-

145

minta dan mengamen sebagai pemenuhan kebutuhannya, selain itu

penampilan anak punk ini kumuh dan bergaya roker, telinga ditindik,

serta rambut di cat, anak punk ini biasa beraktivitas di siang dan malam

hari di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Akan tetapi dibalik

aktivitas Anak Jalanan (Punk) di Lampu Merah Pisang Mas Kota

Serang ini berdampak buruk bagi Kota Serang seperti mengganggu

keindahan Kota Serang, mengganggu ketertiban lalu lintas di Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang, meresahkan warga Kota Serang yang

biasa berhenti di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Sehingga

dalam hal ini permasalahan Gelandangan yang satu ini harus di

tuntaskan oleh Pemerintah Kota Serang yang berwenang. Adapun

wawancara peneliti bersama Anak Jalanan (Punk) di Lampu Merah

Pisang Mas Kota Serang dengan Hendri (29 Tahun), sebagai berikut:

“..Kita kalo cari uang yah biasanya dengan ngamen atau

minta” begini, kadang diangkot, di Lampu Merah sih intinya

pas lagi lampu merah nyala, kan lumayan tuh nyala 1 menit

lebih, kalo penghasilan kita sehari bisa 40 ribu, yah dari dari

pagi sampe siang, nanti dari siang sampe sore paling sekitar

30 rb, kalau malem kita biasanya dapet lebih banyak sekitar

70 ribu kadang lebih, jadi seharian kita kurang lebih 100 rb,

yah mau gimana lagi selama ini kita udah jarang lagi

terjaring razia, soal aturan pemerintah tentang perda no 2

tahun 2010 pernah tau pas di penampungan oleh Dinsos

Serang saat dikasih arahan pas kita kena razia, tapi yah kita

tetap lanjut saja jadi ga takut, buat tidur aja kita kadang”

pindah-pindah tempat, yah jadi ga ada kerjaan lagi selain

kita ngamen dan minta-minta yang penting kita ga nyopet dan

anarkis..” (Wawancara: Tanggal 29 November 2018, Pukul

12.50 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)

Gambar 4.8 Wawancara dengan Gelandangan (Anak Punk)

146

daerah Pisang Mas Kota Serang

Sumber : Peneliti,2018

3. Pedagang Asongan

Adapun pedagang asongan di Lampu Merah Pisang Mas Kota

Serang merupakan salah satu gelandangan yang hidup berkeliaran dan

tidak mempunyai tujuan hidup serta mengganggu ketertiban lalu lintas

di Lampu Merah Pisang Mas ini, pasalnya mereka ini berjualan di

tempat yang terlarang karena mengganggu aktivitas pengendara yang

berhenti di Lampu Merah, oleh karenanya jelas pemerintah Kota Serang

tidak ada ketegasan dalam hal dalam menertibkan pedagang asongan

untuk tidak berjualan di sekitar Lampu Merah Pisang Mas ini, sehingga

para asongan masih tetap turun kejalan untuk beraktivitas. Gelandangan

yang satu ini biasanya membawa dagangan untuk ditawarkan kepada

pengguna jalan akan tetapi tidak memikirkan keselamatan diri dan

keresahan warga sekitar lampu merah. Seperti hal yang diungkapkan

oleh Bapak Endar (35 Tahun) yang seorang Gelandangan yang

berprofesi sebagai pedagang asongan, beliau mengatakan :

“...kalo berjualan di Lampu Merah Pisang Mas ini sya

biasanya menunggu lampu merah dulu, lumayan lampu merah

nya agak lama sekitar 1 menit lebih, yah saya sih ga takut kalo

147

soal razia atau dimarahi warga karena mengganggu lalu

lintas, masalah aturan pemerintah tentang larangan

gelandangan/pedagang asongan saya belum sama sekali tau.

yang penting saya bisa berjualan, disini udah 5 tahun, yah

saya setiap hari berjualan seperti ini, kadang penghasilan

kurang lebih 50 rb lah sehar itu juga dari hasil keuntungan

dagang, yang penting buat makan sehari aja dan ngasih buat

keluarga dirumah , biasa berjualan dari pagi sampe sore aja,

kadang kalo malam biasanya malem sabtu sampai malam

senin, kan lumayan tuh rame, jadi bisa nambah” hasil ..“

(Wawancara :Tanggal 29 November 2018, Pukul 13.00 Wib, di

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)

Gambar 4.5 Wawancara dengan Endar (Pedagang

Asongan)

Sumber : Peneliti,2018

Dari hasil wawancara yang didapat oleh peneliti terhadap para

Gelandangan di Kota Serang, diketahui bahwa para Gelandangan disini

belum sama sekali mengetahui peraturan pemerintah no 2 tahun 2010

mengenai penyakit masyarakat, sehingga hal ini membuat para

gelandangan akan terus menerus melakukan kegiatanya, selain itu para

gelandangan ini juga belum tersentuh sama sekali dengan penjaringan

razia sehingga membuat dirinya tidak merasa segan dengan kegiatanya,

selanjutnya di ketahui juga faktor yang melatarbelakangi para pihak

sasaran kebijakan tersebut menjadi gelandangan yakni faktor kebutuhan

148

ekonomi, masalah rumah tangga, tidak mempunyai tempat tinggal serta

memenuhi kebutuhan anak ditambah faktor Traffic Light yang lama dan

jumlah pengendara yang berhenti begitu banyak menjadi pendorong

bagi gelandangan ini untuk mengambil kesempatan untuk mencari

nafkah dengan cara berjualan, mengamen serta meminta-minta. Dan

diketahui juga sampai saat ini pun mereka belum sama sekali

mendapatkan bantuan sosial atau pembinaan dari pemerintah. Hal ini

membuktikan bahwa Pemerintah Kota Serang belum optimal dalam

menjalankan kebijakan perda no 2 tahun 2010 sehingga belum

terciptanya kenyamanan, ketertiban dan keindahan Kota Serang.

Dalam membicarakan kenyamanan dan ketertiban umum, setiap

masyarakat juga sangat mengharapkan hal itu. Akan tetapi kita juga

harus melihat keadaan di sekitar kita, banyak permasalahan-

permasalahan sosial yang belum di selesaikan oleh pemerintah Kota

Serang, dikarenakan masih adanya gelandangan-gelandangan yang

berada di Pusat Kota Serang, seperti di Emperan Toko dan Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang. Berikut ini adalah pernyataan yang

disampaikan langsung oleh warga Kota Serang, yaitu ibu Ika (26

Tahun) sebagai pegawai toko di daerah Pisang Mas Kota Serang. Beliau

mengatakan :

”setau saya biasanya di depan toko tempat saya berkerja itu

setiap malem ada gelandangan yang biasa tidur dan makan,

mengganggu juga jadinya dengan adanya gelandangan, tapi

kadang kasian kalo diusir, yah biasanya kalo ada uang saya

149

kasih buat makan, walaupun kadang merasa melihatnya jijik

ya, yah selama ini juga belum ada tuh yang mengurusnya

apalagi dari pemerintah Kota Serang itu sendiri, saya

mengharapkan ada peraturan yang mengatur hal ini biar

masyarakatnya juga tertib dan nyaman, sehingga kota Serang

aman dan bersih” (Wawancara : Tanggal 13 September 2018.

Pukul 19.00 Wib malam hari, di Toko Meizora Pisang Mas

Kota Serang)

Sama seperti halnya yang diungkapkan oleh Bapak Rosyid (41

Tahun) pekerjaanya wirausaha dan sekaligus warga Pisang Mas Kota

Serang. Beliau mengatakan :

“saya kadang melihat gelandangan bapak” di toko emperan

sebrang tuh, mereka setiap hari tinggal disitu sama anaknya

yang masih kecil, terus ngeliat juga anak-anak punk yang ga

jelas tujuan hidupnya yang biasa minta-minta dan ngamen

dijalan kalo lagi lampu merah, kadang ngerasa kasian ingin

membantu, tapi ya saya sepenuhnya mengharapkan ulur

tangan kepedulian pemerintah, walaupun terlihat kumuh dan

merusak keindahan kota, kalo soal razia gitu setau saya

belum pernah mereka terjaring razia, hanya saja diperingatin

doang oleh Satpol PP, jadi seharusnya ada peraturan

pemerintah dalam penanganan ini agar tidak menggangu

keindahan kota dan kenyamanan masyarakat ” (Wawancara :

Tanggal 14 September 2018, Pukul 14.00 WIB di Kawasan

Pisang Mas Kota Serang)

Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti diketahui bahwa

keinginan masyarakat Kota Serang terhadap adanya Peraturan Kota

Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat adalah adanya suatu perubahan

yang ada di Kota Serang, khususnya dalam membersihkan serta

150

menuntaskan masalah Penyakit Masyarakat, terutama dengan hadirnya

para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan

yang ada di pusat Kota Serang, yaitu tepatnya di daerah Pisang Mas

Kota Serang.

Adapun hasil pengamatan langsung dilapangan oleh peneliti

tepatnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang, bahwa para Gelandangan

di Pisang Mas Kota Serang memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Usia 18 Tahun keatas, lebih dominan para laki-laki, lalu

tinggal di sembarang tempat seperti di emperan toko dan

fasilitas publik daerah Pisang Mas Kota Serang serta

mereka pun hidup mengembara atau menggelandang

ditempat umum dan Lampu Merah Pisang Mas Kota

Serang

b. Tidak mempunyai tanda pengenal (KTP) atau identitas diri,

berperilaku kehidupan bebas / liar seperti anak

jalanan(Punk), Pemulung dan asongan di Pisang Mas Kota

Serang, sehingga terlepas dari norma kehidupan

masyarakat pada umumnya.

c. Tidak mempunyai pekerjaan tetap, meminta-minta atau

mengambil sisa makanan atau barang bekas, dan lain-lain.

Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna

selaku Kasie Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Sosial Kota Serang

yang mengatakan dalam hal ini sebagai berikut :

“...Hasil penjaringan Gelandangan oleh Satpol PP khususnya

di Pisang Mas Kota Serang ini kita menemukan beberapa

karakteristik gelandangan yah seperti gelandangan itu tidak

punya KTP, rata-rata laki-laki diatas umur 18 tahun lalu

berasal dari Kota Serang itu sendiri dan biasanya mereka ini

mengamen, minta-minta, tidur di emperan, nyari barang bekas,

dan ada juga tuh yang jadi pedagang asongan, yah kami sih

151

sudah memberi peringatan tapi tetap saja mereka nakal..”

(Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukul 10.45 Wib,

Di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Dari hasil wawancara tersebut peneliti menganalisis terhadap

pernyataan yang disampaikan oleh Bapak Heli Priatna, bahwa

Gelandangan yang berada di Kota Serang khususnya di daerah Pisang

Mas Kota Serang memiliki karakteristik yaitu :

a. Tidak memiliki tempat tinggal

Kebanyakan dari gelandangan di Pisang Mas Kota Serang

mereka tidak memiliki tempat hunian atau tempat tinggal

mereka ini biasa mengembara di tempat umum seperti di

Emperan toko pisang mas kota Serang.

b. Hidup dibawah garis kemiskinan

Para gelandangan tidak memiliki penghasilan tetap yang bisa

menjamin untuk kehidupan mereka kedepan bahkan untuk

sehari saja mereka harus mengemis atau memulung untuk

membeli makanan untuk kehidupanya.

c. Hidup dengan penuh ketidakpastian

Para gelandangan di Pisang Mas Kota Serang mereka hidup

menggelandang, memulung, berdagang dijalanan, serta

mengemis disetiap harinya mereka ini sangat

memperihatinkan karena jika mereka sakit, mereka tidak bisa

mendapat jaminan sosial seperti yang dimiliki oleh pegawai

negeri yaitu BPJS untuk berobat dan lain-lain.

d. Memakai baju yang compang camping

Gelandangan di Pisang Mas Kota Serang biasanya tidak

pernah menggunakan baju yang rapi atau berdasi melainkan

baju yang kumal, roker seperti anak punk dan lain sebagainya.

152

Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin

dicapai. Adapun yang ingin dijelaskan, bahwa seberapa besar perubahan

yang hendak ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan, karena

setiap perubahan pasti akan menginginkan kaerah yang lebih baik,

begitu pula harapan pemerintah dan masyarakat. Mengharapkan

perubahan yang lebih baik. Akan tetapi di dalam tujuan pelaksanaan

Perda belum dapat dijalankan dengan maksimal, karena terdapat

kendala-kendala yang harus segera diperbaiki oleh aparat Pemerintah

Kota Serang, sehingga perubahan yang terjadi setelah perda ini di

implementasikan adalah terciptanya keamanan dan ketertiban di Kota

Serang.

Oleh karena itu pada pembahasan ini juga peneliti juga

mengambil kasus Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang,

khususnya di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang, pada dasarnya

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan

meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk

mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Diketahui bahwa pengemis

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang dari survei lapangan oleh

peneliti didapati bahwa jumlah nya semakin bertambah mulai dari orang

dewasa hingga anak kecil dibawah umur, hal ini menjadi sorotan

pemerintah yang seharusnya lebih tegas lagi dalam mencegah,

memberantas dan menanggulangi penyakit masyarakat seperti Pengemis

ini yang sesuai dengan tujuan kebijakan Perda No 2 Tahun 2010. Dalam

153

hasil penelitian wawancara dilapangan tepatnya di Daerah Pisang Mas

Kota Serang berdasarkan kesaksian warga yang bernama Bapak Rosyid

(45) mengatakan :

“ Pertama kali ada (pengemis) di Lampu Merah Pisang Mas itu

ketika tahun 2000, awalnya ada orang luar (Kampung) yang

mengajak, ternyata penghasilanya lumayan buat makan sehari-

hari-hari. Waktu itu Cuma satu sampai dua orang. Tapi yang

lebih banyak pas tahun 2010 kesini dan samapai tahun 2018 ini

pun malah makin bertambah ditambah sama anak jalananya juga,

mulai dari yang pengemis cacat mental, yang biasa bawa bayi

sampai ada juga anak kecil kalo malam hari tuh biasa ngemis

dilampu merah itu, yah berarti peraturan daerah no 2 tahun 2010

itu belum berjalan baik , yah saya harap pemerintah lebih

memperhatikan dan menertibkan dalam hal penanganan pengemis

ini” (Wawancara: Tanggal 3 Desember 2018, Pukul 16.00 Wib)

Hasil wawancara diatas dapat diketahui bahwa jumlah pengemis

di Kota Serang khsususnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang semakin

meningkat hal ini dikarena kan kurang optimalnya kinerja pemerintah

kota Serang dalam menerapkan kebijakan perda no 2 tahun 2010, hal ini

juga yang apa yang didapati oleh peneliti dilapangan bahwa pengemis di

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang tergiur dengan pundi rupiah

yang didapatinya lumayan sehingga membuat warga lain pun tertarik

untuk menjadi pengemis, hingga kini tercatat sekitar 15 orang tercatat

sudah menjadi pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang, kebanyakan

sudah menjadi pekerjaan tetap. Adapun kriterianya seperti perempuan

dan laki-laki paruh baya, cacat mental, ada yang janda, sebagian lagi

bersuami tukang ojek, buruh bangunan, tani, dan lain sebagainya.

154

Karena tak memiliki penghasilan memadai maka mereka pun rela

keliling berjalan kaki mengais belas kasih orang lain.

Menyambung dari penggalan diatas peneliti pun mendapati fakta

dilapangan berdasarkan wawancara bersama salah satu warga pisang

mas yang bernama Iwan (31) sebagai wiraswasta di pinggir Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang, beliau mengatakan :

“...setau saya mereka yang mengemis di Lampu Merah itu

kebanyakan berasal dari luar daerah Kota Serang, berangkat

biasa pagi dari rumahnya, ada yang diantar sama suaminya atau

jalan kaki, kalau bagi saya, menganggu juga jadinya dengan

adanya pengemis, tapi kalau dia dilarang kasihan juga, kalau dia

bener-bener orang gak mampu, gimana? Saya tetap ngasih uang

ke pengemis. Tapi saya liat dulu, kalau yang yang cacat dan udah

tua. Baru saya kasih yah paling kecil 2 ribu itu juga..yah saya

harap sih pemerintah lebih peduli dan dibuat aturan tentang

larangan mengemis, soalnya setau saya juga belum pernah

denger peraturan nya”(Wawancara, 25 September 2018, Pukul

13.00 Wib, di Pisang Mas Kota Serang)

Sama seperti halnya yang diungkapkan oleh Ibu Rina (32 Tahun)

pekerjaanya adalah Ibu Rumah Tangga dan sekaligus masyarakat Pisang

Mas Kota Serang. Beliau mengatakan :

“..ibu belum pernah dengar perda kota Serang no 2 tahun 2010,

yah, yah kalo ibu tau, ibu sih berharap bisa lebih ditingkatkan

lagi pelaksanaanya, karena makin banyak yang ngemis-ngemis di

lampu merah pisang mas, ibu sendiri sih ga tega, walaupun

orangnya keliatanya sehat, ibu tetap kasih, yah semoga aja

pemerintah kota Serang lebih peduli lagi sama rakyat kecil ini.

(Wawancara: Tanggal 25 September 2018, Pukul 13.50, di Daerah

Pisang Mas Kota Serang)

155

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, diketahui

bahwa keinginan masyarakat Kota Serang terhadap adanya Peraturan

Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang adanya Peraturan

Derah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat adalah adanya

suatu perubahan yang ada di Kota Serang, khususnya dalam

membersihkan serta menuntaskan masalah Penyakit Masyarakat,

terutama dengan hadirnya para penyandang masalah sosial seperti

pengemis-pengemis yang ada di pusat Kota Serang, yaitu di Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang. Dikarenakan, sampai sekarang ini

belum optimalnya kinerja dari pemerintah kota Serang. Untuk itulah

perlu adanya kerjasama antara Pemerintah dan Masyarakat dalam

menangani masalah ini.

Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang

masalah sosial seperti pengemis, pasti yang menjadi alasan ataupun

tujuan mereka adalah faktor ekonomi.

Adapun Jenis-jenis Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang

yang peneliti temukan dilapangan, sebagai berikut :

1. Pengemis Pembawa Bayi

Seperti hal nya yang diungkapkan oleh Ibu Sanita (42 Tahun)

sebagai Pengemis pembawa bayi yang berada di Lampu Merah Pisang

Mas Kota Serang, Beliau mengatakan :

156

“...ibu udah biasa dek ngemis disini kurang lebih 5 tahun lah

disini, biasanya ngemis dari pagi sampe sore (maghrib) itu juga

kalo engga hujan, yah lumayan lah sehari dapat kurang lebih

100 ribu, kalo lagi sepi paling 75 rb, jadi ibu ngemis pas lagi

lampu merah menyala, yah sasaranya paling yang bisa bawa

mobil, kadang biasa dikasih paling besar 5 ribu, yah lumayan

kalo dikumpulin buat makan sehari-hari, maklum suami ibu

tukang ojek jadi ibu terpaksa mengemis bareng sama anak..”

(Wawancara: Tanggal 15 Agustus 2018, Pukul 10.00 WIB, di

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang)

Gambar 4.5 Wawancara dengan ibu Sanita (Pengemis)

Sumber : Peneliti,2018

Berdasarkan hasil wawancara diatas bersama Sanita selaku

pengemis di Pisang Mas kota Serang, diketahui bahwa dia sudah lama

menjadi seorang pengemis dan menjadikan pengemis sebagai pekerjaan

tetap baginya, karena dengan penghasilan kurang lebih 100 ribu rupiah

perhari menambah ketertarikannya untuk tetap menjadi pengemis,

selanjutnya diketahui bahwa Trafic Light di Pisang Mas Kota Serang

berdurasi 1 menit lebih, hal ini menjadikan kesempatan bagi sanita

untuk mengemis dengan target sasaran kendaraan bermobil agar

mendapatkan belas kasihan. Dan biasanya setiap hari menurut

157

pengakuan beliau ada saja yang memberi paling besar 5 ribu rupiah,

padahal sudah jelas dalam perda kota Serang no 2 tahun 2010 terdapat

larangan memberikan uang santunan kepada pengemis, ditambah juga

belum adanya sanksi yang tegas dari Pemerintah Kota Serang, ini

menggambarkan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

pengemis ibu Sanita ini yang berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota

Serang. Karena sosialisasi yang masih dianggap belum maksimal

dilakukan oleh Aparat Pemerintah Kota Serang.

2. Pengemis Cacat Mental

Hal ini juga serupa dengan apa yang diungkapkan oleh Bapak

Said (37 Tahun) yang merupakan pengemis cacat mental yang berada

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang, beliau mengatakan :

“...saya butuh makan jadi terpaksa mengemis begini, ditambah

juga saya cacat jadi males buat kerja, ngemis dilampu merah ini

ada kali sekitar 2 tahun, yah biasanya sih setiap sabtu dan

minggu dari pagi sampai malam jam 9 kan lumayan biasanya

rame, apalagi pas lampu merah nyalanya lama jadi lumayan buat

minta-minta ke orang-orang yang berhenti, sehari dapet 120 rb

kalo lagi rame, yah mau gmna lagi dek bapak udah ga punya

keluarga, pemerintah kota Serang pun ga peduli, pernah kena

razia tapi dilepas lagi cuma dikasih peringatan, kalo soal

peraturan no 2 tahun 2010 tentang larangan mengemis sih belum

tau, lagian dari pemerintah sendiri tidak ada ketegasan, jadi

bapak aman aja untuk ngemis nya..” (Wawancara : Tanggal 30

November 2018, Pukul 13.50 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas

Kota Serang)

Gambar 4.6 Wawancara dengan Said (Pengemis Cacat

Mental)

158

Sumber : Peneliti,2018

3. Pengemis Anak Kecil

Adapun pernyataan lainya yang diungkapkan oleh pengemis

berasal dari kasemen, yang merupakan pengemis dibawah umur, yang

bernama Febi (13 Tahun) yang mengatakan dalam hal ini :

“...bang saya mah udah lama ngemis disini ada kali 3 tahun,

biasanya sore kalo engga malem, kesini dianterin sama bapak,

disuru bapak juga sih ngemis, kadang sehari dapet 50 rb, yah

kadang juga sambil ngamen, lumayan buat makan terus jajan,

sekolah udah engga, dirumah juga engga ngapa-nagapain

,yaudah lah mending maen sambil minta-minta aja dilampu

merah, soalnya disini lumayan rame yang ngasi, terus jarang

kena razia juga..” (Wawancara: Tanggal 30 November 2018,

Pukul: 16:30 Wib, di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang.

Hal diatas merupakan fakta yang terjadi dilapangan, didapati

bahwa dari beberapa kriteria pengemis diatas tidak pernah sama sekali

mengetahui tentang Perda No 2 Tahun 2010 sehingga tidak optimalnya

penerapan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat ini jelas belum

berjalan secara efektif dan menyeluruh, bukti yang lain juga para

159

pengemis diatas belum pernah sama sekali tersentuh dengan bantuan

sosial atau perhatian dari pemerintah Kota Serang khsususnya oleh

Dinas Sosial Kota Serang, hal ini jelas menjadi dasar pertimbangan

bahwasanya kinerja Dinas Sosial belum berjalan secara efektif, dan

fakta terakhir seperti apa yang pengemis ungkapkan diatas bahwasanya

kegiatan penjaringan razia untuk para pengemis diatas jarang sekali

secara tepat sasaran kepada para pengemis, dikarenakan tidak

optimalnya kegiatan razia yang dilakukan oleh Satpol PP tersebut,

terbilang kegiatan razia dilakukan sebulan hanya 3 kali.

Adapun hasil pengamatan langsung dilapangan oleh peneliti

tepatnya di Daerah Pisang Mas Kota Serang, bahwa para Pengemis di

Pisang Mas Kota Serang memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Anak sampai usia dewasa

b. Meminta-minta dirumah-rumah penduduk, Lampu

Merah Pisang Mas dan tempat umum lainya.

c. Bertingkah laku untuk mendapatkan belas kasihan

berpura-pura sakit, merintih, dan kadang-kadang

medoakan dengan bacaan-bacaan ayat suci, sumbangan

untuk organisasi tertentu.

d. Biasanya mempunyai tempat tinggal tertentu atau tetap,

membaur dengan penduduk pada umumnya.

Adapun beberapa faktor penyebab dari munculnya gepeng

(Geladangan dan Pengemis) yang peneliti dapatkan dari hasil

wawancara beberapa gelandangan dan pengemis di daerah Pisang Mas

Kota Serang tersebut, sebagai berikut :

160

a. Merantau dengan modal nekad

Dari gelandangan dan pengemis yang berkeliiaran

dalam kehidupan masyarakat khususnya di Pisang Mas

Kota Serang, banyak dari mereka yang merupakan orang

desa yang ingin sukses di kota tanpa memiliki kemampuan

ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka

berusaha dan mencoba meskipun hanya dengan kenekatan

untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di kota. Belum

terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas,

modal nekad, dan tidak adanya jaminan tempat tinggal

membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa di kota

sehingga memilih menjadi gelandangan dan pengemis.

b. Malas Berusaha

Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar

mendapatkan uang tanpa usaha yang dilakukan oleh

gelandangan dan pengemis di Pisang Mas Kota Serang,

payah cenderung membuat sebagian masyarakat menjadi

malas dan ingin enaknya saja tanpa berusaha terlebih

dahulu.

c. Cacat fisik

Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga

mendorong seseorang menjadi gelandangan dan pengemis

dibidang kerja. Sulitnya lapangan kerja dan kesempatan

bagi penyandang cacat fisik untuk mendapatkan pekerjaan

yang layak membuat mereka pasrah dan bertahan hidup

dengan cara menjadi gelandangan dan pengemis.

d. Tidak adanya lapangan pekerjaan

Akibat sulit mencari kerja, apalagi yang tidak sekolah

atau memiliki keterbatasan kemampuan akademis akhirnya

membuat langkah mereka seringkali salah yaitu

menjadikan minta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan

yang bisa dilakukan.

161

e. Tradisi yang turun temurun

Menggelandang dan mengemis merupakan sebuah

tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan dahulu bahkan

berlangsung turun temurun kepada anak cucu.

f. Mengemis dari pada menganggur

Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung

oleh keadaan yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan

membuat beberapa orang mempunyai mental dan

pemikiran dari pada menganggur muka lebih baik

mengemis dan menggelandang.

g. Harga kebutuhan pokok yang mahal

Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya

harga kebutuhan pokok dab memenuhi kebutuhanya adalah

dengan giat berkerja tanpa mengesampingkan harga diri,

namun ada sebagian yang lainya lebih memutuskan untuk

mengemis karena berfikir tidak ada cara lagi untuk

memenuhi kebutuhan hidup.

h. Kemiskinan dan terlilit masalah yang kuat

Kebanyakan gelandangan dan pengemis adalah orang

tidak mampu yang tidak berdaya dalam menghadapi

masalah ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan

ekonomi yang sudah akut mengakibatkan orang-orang

hidup dalam krisis ekonomi hidupnya sehingga menjadi

gelandangan dan pengemis adalah sebagai jalan bagi

mereka untuk bertahan hidup

i. Ikut-ikutan saja

Kehadiran pendatang baru bagi gelandangan dan

pengemis sangat sulit dihindari, apalagi didukung oleh

adanya pemberitaan tentang gelandangan dan pengemis

yang begitu mudahnya mendapat uang di kota yang

162

akhirnya membuat mereka yang melihat fenomena tersebut

,ikut-ikutan dan mengikuti jejak teman-temanya yang

sudah lebih dahulu menjadi gelandangan dan pengemis.

j. Disuruh orang tua

Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis

yang masih anak-anak mereka berkerja karena

diperintahkan oleh orang tua nya dan dalam kasus seperti

inilah terjadi eksploitasi anak.

Dari Pembahasan diatas sudah jelas bahwa penyakit masyarakat

seperti Gelandaangan dan Pengemis memang sudah sepatutnnya untuk

Pemerintah Kota Serang seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang

seagai pihak pelaksana kebijakan perda no 2 tahun 2010 ini untuk

mencegah, memberantas dan menanggulangi gelandangan dan pengemis

di Kota Serang ini khususnya di daerah Pisang Mas Kota Serang, maka

dari itu, pentingnya penelitian kali ini memang dirasakan oleh peneliti.

Secara sadar peneliti melihat banyaknya kekurang dan hambatan dalam

penerapan Perda No 2 Tahun 2010. Hal yang peneliti bahas diatas baru

sebagian fakta yang terjadi di lapangan dan baru memunculkan satu

instansi pemerintah, yakni Dinas Sosial Kota Serang.

Sebagai langkah dalam penyajian data, maka peneliti pada tahap

ini akan menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dilapangan pada

saat penelitian berlangsung, selanjutnya hasil temuan dilapangan akan

disesuaikan dengan rumusan masalah dan fokus penelitian. Pada

penelitian ini, peneliti akan memfokuskan pada Implementasi Perda

163

Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat khsususnya kasus gelandangan

dan pengemis.

Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan daerah

Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota Serang, seperti apa yang

dipaparkan pada bab sebelumnya, maka implementasi kebijakan dalam

penelitian ini menggunakan Model Implementasi Edward III yang

mengukur keberhasilan implementasi kebijakan dengan 4 faktor yaitu

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.

4.4.1 Komunikasi

Komunikasi memiliki peran atau fungsi penting untuk

menentukan keberhasilan kebijakan publik dalam impelementasinya.

Salah satu kelemahan dalam proses kebijakan publik ini, khususnya

yang terjadi di Indonesia, adalah masalah implementasinya. Salah satu

faktornya adalah komunikasi yang lemah, kelemahan komunikasi ini

sebenarnya tidak hanya terjadi pada saat implementasinya, tetapi juga

terjadi pada saat formulasi. Dari unsur ini akan terlihat apakah dari sisi

komunikasi apakah implementasi kebijakan pemberantasan, pencegahan

dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan

pengemis telah efektif. Kebijakan tersebut pada umumnya dibuat oleh

pemerintah, yaitu walikota Serang dan disetujui DPRD Kota Serang.

164

Pelaksana kebijakan pemberantasan, pencegahan dan penanggulangan

penyakit masyarakat adalah Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang.

Sedangkan obyek yang diatur adalah Gelandangan dan Pengemis (atau

PMKS Pada umumnya) dan lingkungan di wilayah Kota Serang.

Di lingkungan Kota Serang dalam implementasi Peraturan Daerah

tentang pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandang dan

pengemis yang berkaitan dengan komunikasi seperti yang dikemukakan

di atas, diawali dari pembuatan peraturan atau kebijakan dari lembaga

terkait. Dalam hal ini Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan penanggulangan Penyakit

Masyarakat. Peraturan disebut dibuat oleh DPRD Kota Serang yang

berwenang untuk membuat peraturan daerah.

Kemudian sebagai wujud dari penerapan perda tersebut, dibuatlah

Peraturan Wali Kota (Perwal) Serang Nomor 41 Tahun 2017 tentang

Peraturan Pelaksanaan Peraturan Dearah Nomor 2 Tahun 2010 tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.

Secara khusus peraturan wali kota tersebut merupakan landasan dari

pedoman Perda No 2 Tahun 2010 sebagai bentuk kebijakan yang

memfokuskan kepada Kota Serang saja khususnya tentang masalah

penyakit masyarakat seperti PMKS yaitu Gelandangan dan Pengemis,

sesuai dengan salah satu isi Perwal tersebut dimana di sebutkan bahwa

penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang tidak menyenangkan

atau meresahkan masyarakat dan dapat merugikan masyarakat yang

165

berakibat menimbulkan gejolak sosial, sehingga pada akhirnya dapat

mengancam ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, serta

perlindungan masyarakat.

Berangkat dari penjelasan diatas adapun Kabid PPUD Satpol PP

Kota Serang memberikan penjelasan tentang dikeluarkanya Peraturan

Walikota (Perwal) Kota Serang yang menjadi landasan Perda No 2

Tahun 2010, sebagai berikut :

“semenjak dikeluarkanya Peraturan Walikota tahun 2017, Perwal

No 41 Tahun 2017 ini sudah menjadi landasan kami dalam

melakukan tugas pembinaan dan pemberdayaan kepada

Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang dalam pedoman

pelaksanaan perda no 2 tahun 2010 tentang pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat”

(Wawancara : 17 September 2018, Pukul 13.50 Wib di Kantor

Satpol PP Kota Serang)

Komunikasi yang terjalin dalam pelaksanaan kebijakan ini,

setidaknya terdapat tiga arus komunikasi, yakni

a. Komunikasi yang terjadi antara pembuat kebijakan antara lain

Walikota dan DPRD Kota Serang dengan pelaksana kebijakan

Dinas Sosial dan Satpol PP

b. Komunikasi yang terjadi antara pelaksana kebijakan dengan

gelandangan dan pengemis

c. Pada saat yang bersamaan terjadi komunikasi antara pembuat

kebijakan dan gepeng sebagai obyek kajian

166

Ketiga pihak tersebut saling berhubungan secara sirkular dalam

menciptakan kebijakan publik. Pertama, kebijakan publik diawali dari

penyerapan aspirasi masyarakat oleh pejabat dab administrator. Kedua,

pejabat dan administrator meneruskan (dengan pedalaman) aspirasi

masyarakat kepada elit penguasa. Ketiga, elit membuat suatu kebijakan

yang pro masyarakat. Keempat, kebijakan elit diturunkan kepada

pejabat dan administrator agar dilaksanakan. Kelima, pejabat dan

administrator melaksanakan kebijakan tersebut. Dan yang terakhir,

masyarakat meraskan dampak pelaksanaan kebijakan.

Sebagian besar hasil dari kebijakan pemberantasan, pencegahan

dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan

pengemis di Kota Serang adalah sebatas menekan laju pertambahan

jumlah gelandangan dan pengemis di jalanan, namun tidak berhasil

menghapus penyebab utama kegelandangan tersebut yaitu kemiskinan.

Hal ini didukung pernyataan dari Dinas Sosial bahwa terdapat

gelandangan yang kembali turun ke jalanan beberapa hari/minggu/bulan

setelah direhabilitasi.

Kemudian, untuk komunikasi yang kedua antara pelaksana

kebijakan dengan kelompok sasaran (gelandangan, pengemis, dan

PMKS pada umumnya), juga memiliki potensi kegagalan yang besar.

Pihak aparat pelaksana seperti Satpol PP Kota Serang yang memiliki

kewenangan untuk melakukan razia bahkan tak jarang terlihat seperti

167

kekerasan atas nama ketertiban masyarakat akan menjadikan pandangan

tidak baik bagi kelompok sasaran. Sehingga bagi mereka razia

merupakan upaya penertiban paksa disertai kekerasan verbal nonverbal

yang membuat mereka marah dan memiliki sentimen negatif terhadap

pemerintah Kota Serang.

Dengan situasi yang seperti itu, menjadikan pesan yang ingin

disampaikan dalam kebijakan kebijakan pemberantasan, pencegahan

dan penanggulangan penyakit masyarakat khususnya gelandangan dan

pengemis hanya sebatas yakni gelandangan dan pengemis jangan berada

di ruang/tempat publik, gelandangan dan pengemis yang ada mencari

mata pencaharian lain, jika tidak maka gelandangan dan pengemis harus

bersedia dibina di panti rehabilitasi sosial untuk kelak dikembalikan

kepada masyarakat sebagai warga “normal”, atau dikenal dengan istilah

memanusiakan manusia.

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan

tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang

bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan

ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan

secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari

ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga pelaksana

mengetahui seara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.

Komunikasi dala organisasi merupakan suatu proses yang amat

kompleks dan rumit. Di samping itu sumber informasi yang berbeda

168

juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula.

Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab

melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereke dapat

melakukanya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima

oleh semua pelaksana dan harus mengerti secara jelas dan akurat

mengenai maksud dan tujuan kebijakan. Jika para implementor

kebijakan bingung dengan apa yang akan mereke lakukan dan jika

dipaksakan maka tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak

cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius

mempengaruhi implementasi kebijakan. Pada pembahasan mengenai

hasil dalam faktor komunikasi yang terjadi pada Implementasi

kebijakan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khsususnya

pada Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang.

Pada subpoint ini peneliti akan membahas hasil penelitian

mengenai Implementasi kebijakan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010

Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat khsususnya pada Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang yang terdapat pada subpoint sebelumnya, dengan

menyesuaikanya dengan teori-teori yang berada di dalam literatur model

implementasi George C. Edward III. Peneliti juga akan menjabarkannya

ke dalam 3 (tiga) indikator yang terdapat pada faktor komunikasi

sebagai berikut :

169

a. Transmisi

Transmisi merupakan faktor utama dalam hal komunikasi

pelaksana kebijakan. Transmisi itu sendiri menghendaki agar

kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada

pelaksana kebijakan (implementor), tetapi juga disampaikan kepada

kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik

secara langsung maupun tidak langsung. Seringkali terjadi masalah

dalam penyaluran yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi),

sehingga apa yang terdistorsi ditengah jalan. Transmisi pada kebijakan

perda kota Serang no 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat

khususnya masalah Gelandangan Pengemis (Gepeng) dilakukan oleh

pihak DPRD Kota Serang khususnya yang menangani Wakil Komisi II

DPR yang berkerjasama dengan Dinas Sosial Kota Serang dan Dinas

Satpol PP Kota Serang serta berkerjasama dengan Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Tugas tersebut berupa pelaksanaan

kebijakan pemberantasan, pencehgahan dan penanggulangan penyakit

masyarakat khususnya dalam upaya penanganan masalah gelandangan

dan pengemis (gepeng) di Kota Serang agar terciptanya tingkat

ketertiban, kenyamanan dan kemanan di masyarakat kota Serang.

Transmisi dalam Implementasi kebijakan tentang penyakit

masyarakat (pekat) di Kota Serang berupa penyampaian atau

pengiriman informasi dari Pemerintah kepada instansi pelaksana

kebijakan kemudian diteruskan kepada masyarakat. Komunikasi dalam

170

implementasi perda no 2 tahun 2010 tentang penyakit masyarakat

(pekat) dilakukan pada saat rapat, workshop, diskusi, dan dialog yang

di fasilitasi oleh Pemerintah Pusat maupun Kota. Hal ini di ungkapkan

oleh Bapak M. Ali Surohman, ST selaku Wakil Komisi II DPR Kota

Serang yang mengatakan :

“... sebenarnya kalau bentuk komunikasi yang berkaitan

dengan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat (pekat)

?.. yaitu dengan cara mengikutsertakan pihak dari Dinsos Kota

Serang, lalu pihak dari bagian bidang di Satpol PP khsususnya

bagian bidang penegakan hukum perda, lalu adapun Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dalam rapat sosialisas

kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, workshop dan dialog yang

di fasilitasi Dinas Sosial Provinsi, kalau penyaluran sosialisasi

tentang Perda No 2 Tahun 2010 itu sudah terlaksana dengan

baik, seperti yang dibilang tadi kami hanya mengikutsertakan

dari para pihak pelaksana kebijakan saja seperti Dinas Sosial

Provinsi, Dinas Sosial Kota dan Satpol PP Kota Serang, untuk

selanjutnya kami mengharapkan kepahaman dan ketegasan

dari para pelaksana kebijakan sosialisasi dapat disalurkan

kepada objek sasaran seperti masyarakat dan para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota Serang

(PMKS). “ (Wawancara : tanggal 25 September 2018, Pukul

10.00 Wib di Kantor DPRD Kota Serang)

Menurutnya, hal ini dilakukan agar para pelaksana kebijakan

benar-benar siap dan paham tentang sosialisasi perda No 2 Tahun 2010

tentang Penyakit Masyarakat, dengan demikian diharapkan dalam

pelaksanaanya dapat berjalan sesuai tujuan dan sasaran agar kebijakan

publik tidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementors)

kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan

dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak

171

langsung.

Hasil wawancara diatas menjelaskan bahwa sosialisasi yang

dilakukan oleh Wakil Komisi II DPR sudah dikatakan dengan baik

terhadap para pelaksana kebijakan (Implementor), hanya saja

diharapkan agar kepahaman tentang kebijakan perda no 2 tahun 2010

dari para pelaksana kebijakan sosialisasi dapat disalurkan kepada objek

sasaran seperti masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial di Kota Serang (PMKS).

Adapun dalam hal Komunikasi eksternal terjadi di antara pejabat

Dinas Sosial dan pejabat Satpol PP Kota Serang serta dengan

Gelandangan dan Pengemis. Dalam komunikasi ini bertujuan agar

mereka mengetahui keadaan lapangan yang sesungguhnya, apa yang

harus dipersiapkan dan dilaksanakan guna tujuan kebijakan pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis (Gepeng)

agar dapat tercapai dan terwujud. Arus komunikasi yang terjadi dalam

implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat sebagai berikut :

- Kabid pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial Dinas

Sosial Kota Serang

- Kasie Rehabilitasi Tuna

Sosial dan korban

exnapza Dinas Sosial

Kota Serang

- Kabid Penindakan

Peraturan Undag-undang

Daerah Satpol PP Kota

Serang

- Staff Pelaksana

Binluhwassosmay Bidang

PPUD Sarpol PP Kota

Serang

Gelandangan dan

Pengemis Kota Serang

172

Gambar 4.7. Arus Komunikasi (Transmisi)

Arus komunikasi diatas sama dengan proses transmisi atau

penyaluran komunikasi. Transmisi yang terjadi cukup baik, dilihat dari

pendeknya jalur birokrasi, hanya saja perlu adanya sosialisasi yang

secara menyeluruh serta tepat sasaran terhadap masyarakat dan para

gelandangan dan pengemis tentang kebijakan Perda no 2 Tahun 2010.

Sosialisasi adalah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau

nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainya dalam sebuah

kelompok sasaran atau masyarakat. Tetapi sosialisasi tentang Perda

Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 ini belum berjalan secara

menyeluruh karena terdapat penyebab tertentu seperti halnya dari segi

masyarakatnya yang belum bisa berpartisipasi aktif dalam penyampaian

tentang perda tersebut, karenanya masyarakat Kota Serang saat ini

hanya bisa mengetahui, melihat informasinya serta hanya sebagian

masyarakat yang bisa berpartisipasi aktif akan tetapi kurang dalam

pengawasanya, selain itu Dinas Sosial Kota Serang pun hanya

melakukan sosialisasi terhadap daerah tertentu dan tempat tertentu

dimana para Gepeng melakukan aktifitasnya di Pusat Kota ,hanya saja

sosialisasi ini baru berjalan di empat (4) kecamatan di Kota Serang

seperti kecamatan Serang, kecamatan Taktakan, kecamatan Kasemen

173

dan kecamatan Cipocok, sedangkan kecamatan yang belum

tersosialisasi seperti kecamatan walantaka dan curug karena memang di

kecamatan ini jumlah gelandangan dan pengemis hanya berjumlah

sedikit dan banyak yang berasal dari luar daerah serta masyarakatnya

yang belum memiliki cara pandang untuk mengikuti arus terhadap

peraturan pemerintah Kota Serang, karenanya daerah lain yang berada

di Kota Serang belum tersosialisasi secara menyeluruh yang

menyebabkan sosialisasi tidak berjalan secara optimal, akibat kurangnya

kerja sama antara Pelaksana Kebijakan Perda dengan perangkat daerah

lainya seperti kantor kecamatan tertentu. Oleh karenanya sosialisasi ini

belum bisa dikatakan berjalan secara optimal dan menyeluruh, maka

dari itu perlu tindakan tegas serta kerja sama Pelaksana Kebijakan

dengan Perangkat daerah lainya serta masyarakat sekitar Kota Serang.

Dinas Sosial Kota Serang juga, memberikan informasi serta

sosialisasinya kepada Gelandangan Pengemis akan tetapi masih belum

berjalan optimal, menjamurnya Gelandangan Pengemis di Kota Serang

menuai kritikan dari masyarakat Kota Serang karena keberadaan mereka

dinilai meresahkan warga, bahwasanya Gelandangan Pengemis

(Gepeng) selain berusia dewasa, adapun banyak pula yang masih

berusia anak-anak, yang semestinya mereka sekolah, hal ini dapat

meresahkan warga karena warga Kota Serang yang sering melintas di

lampu merah merasa terganggu sekaligus iba terhadap anak-anak yang

menjadi pengemis ataupun pengamen.

174

(sumber: wawancara dengan kepala seksi pelayanan rehabilitasi tuna

sosial bapak Heli Priatna, Selasa 19 Desember 2017 pukul 13:30 di

Dinas Sosial Kota Serang)

Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai para penyandang

masalah kesejahteraan sosial seperti gelandangan dan pengemis, pasti

yang menjadi alasan ataupun utujuan mereka adalah masalah

perekonomian, kemiskinan pengangguran serta tidak mempunyai tempat

tinggal yang sering disampaikan oleh gelandangan dan pengemis. Hal ini

seperti apa yang dirasakan oleh Sanita (64 Tahun) sebagai Pengemis

pembawa bayi orang yang berada di Lampu Merah Pisang Kota Serang,

Beliau mengatakan :

“ibu berasal dari keragilan, dek ibu sebenernya udah tau tentang

adanya peraturan pemerintah tentang larangan gelandangan dan

pengemis karena udah 15 tahun ibu seperti ini, tapi yah ibu tetap

menghiraukan, yah karena selama ini kepedulian pemerintah

Kota Serang nya kurang, kepeduliannya terhitung paling setahun

3 kali, itu juga hanya bantuan sembako, pembiayaan sekolah

untuk anak, dan sandang pangan, jadi ya terpaksa karena miskin

ibu mengemis begini untuk kebutuhan sehari-hari, kalo ga ngemis

ibu engga dapet uang, apalagi makan (Wawancara: Tanggal , 15

Agustus 2018. Pukul 10.00 WIB, di Lampu Merah Pisang Mas

Kota Serang)

Berdasarkan hasil wawancara diatas bersama Sanita selaku

pengemis di Kota Serang, diketahui bahwa dia sudah mengetahui

kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, akan tetapi tetap saja aktivitas turun

ke jalan untuk meminta-minta, karena beralasan pemerintah yang kurang

peduli sehingga menghiraukan/membiarkan peraturan kebijakan pekat,

hal yang melatarbekangi karena masalah faktor ekonomi dan kebutuhan

175

sehari-hari.

Namun perlu diketahui, sosialisasi perda tentang penyakit

masyarakat (pekat) tersebut sampai saat ini tidak mampu membuat jera

dan sadar bagi para pelaku Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) khususnya gelandangan dan pengemis, walaupun sebenarnya

mereka para geladangan dan pengemis di kota Serang hampir

keseluruhan sudah mengetahui tentang sosialisasi perda tersebut.

Sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku

Kasie Rehabilitasi Tuna Sosial sebagai berikut :

“....Sebenarnya para gepeng itu udah mengetahui kurang lebih

75% tentang perda pekat itu tersebut. Hanya saja ? kendalanya

karena faktor keisengan, yang dimana walaupun dia sudah

mengetahui yah tapi masih tetap aja turun kejalan, selain itu

faktor yang lain yah tidak adanya ketegasam dan kejangkauan

razia oleh pelaksana kebijakan seperti satpol pp, bahkan

kadang” sebulan hanya beberapa kali saja, akan tetapi jika

umpamanya kesiapan petugas untuk memantau kegiatan

gepeng ,pasti para gepeng tersebut akan berfikir. Karena itu

kemungkinan faktor SDM yang bukanlah tenaga ASN yang

menjadi penyebabnya karena selama ini yang menjangkau

razia lebih dominan tenaga honorer yang bergantung pada

bayaran sehingga tidak rutin dalam kegiatannya.”

(Wawancara : tangagal 24 September 2018, pukul 11.00-12.00

WIB di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Adapun dalam hal ini sosialisasi sudah dilakukan oleh Dinas

Sosial Provinsi Banten terkait kebijakan perda no 2 tahun 2010 tentang

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat,

sosialisai dilaksanakan di Ruang Rapat Dinas Sosial Provinsi Banten di

176

KP3B Provinsi Banten. Dalam isi forum rapatnya, Kepala Dinas Sosial

Provinsi Banten menegaskan tentang pelaksanaan kebijakan perda no 2

tahun 2010 ini agar dapat diterapkan dengan baik dan tepat sasaran

terhadap terget kebijakan. Hal ini diungkapkan oleh Dra. Nurhana,

M.Si selaku Kepala Dinas Sosial Provinsi Banten, beliau mengatakan :

“ ..Sosialisasi kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, kami sudah

melaksnakan sosialisasi kepada para pelaksana kebijakan,

sosialisasi ini bertujuan demi terciptanya kepahaman dan

kejelasan isi dari kebijakan perda no tahun 2010 ini, sehingga

para implementor kebijakan dapat mentransmisikanya kepada

masyarakat serta target kebijakan, hal ini memang butuh kerja

keras dan kesabaran dalam pelaksanaanya, oleh karena itu

dibutuhkan ketegaasan dan keinginan para implementor serta

sumber daya yang memadai agar terlaksananya kebijakan ini

dengan baik dan berjalan secara berkelanjutan” (Wawancara :

Tanggal 16 September 2018, Pukul 13.00 Wib di Kantor Dinas

Sosial Provinsi Banten KP3B )

Penggalan wawancara diatas jelas menandakan bahwa keinginan

dari agen pelaksana kebijakan ini mengharapkan kebijakan perda no 2

tahun 2010 dapat ditransmisikan dengan baik terhadap implementor dan

target kebijakan agar terlaksananya kebijakan perda no 2 tahun 2010

berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh Pemerintah Kota Serang.

Gambar 4.7 Rapat Sosialisasi Perda Kota Serang Tentang

177

Penyakit Masyarakat yang di selenggarakan oleh Dinas Sosial

Provinsi Banten

Sumber : Dinas Sosial Provinsi Banten, 2018

Kota Serang sudah membuat kebijakan yang berkaitan dengan

masalah-masalah sosial seperti adanya fenomena gelandangan dan

pengemis, yaitu berupa Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat. Sebab isi dari Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010, tertera pada pasal 9 ayat 1,2,3 yaitu:

4. Setiap orang dilarang menggelandang dan mengemis

5. Setiap orang dilarang menyuruh atau memaksa orang lain

menjadi pengemis

6. Setiap orang dilarang memberikan uang ataupun lainya kepada

pengemis

Dari pasal 9 ayat 1, 2, 3 sudah jelas bahwa masyarakat Kota

Serang tidak boleh melakukan penggelandangan dan mengemis serta

tidak boleh memberikan uang santunan kepada para pengemis yang ada

di Kota Serang, sebab bila melanggar aturan yang sudah ditetapkan,

178

maka akan diberikan sanksi berupa denda 50 juta atau kurungan penjara

selama 3 bulan yaitu tertera pada Peraturan Daerah Serang Nomor 2

Tahun 2010 pasal 21 ayat 1 dan 2. Oleh sebab itu, dengan adanya

Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010, diharapkan para

gelandangan dan pengemis yang ada di Kota Serang dapat dituntaskan,

karena memang masalah sosial yang terjadi pada masyarakat Kota

Serang, sangat meresahkan.

Adapun hasil wawancara bersama Yanti (54 Tahun) salah seorang

warga Kota Serang yang biasa memberikan uang santunan kepada

Pengemis di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang Kota , beliau

mengatakan:

“...yah karena kasian saya biasa kasih aja uang ke pengemis

itu, biasanya sih saya kasih ke orang yang cacat , biasa kasih

5ribu kalo kebetulan lewat sini yah anggap aja beramal.,

lagian juga selama ini saya belum pernah denger kalo adanya

peraturan sanksi bagi warga yang ngasih uang ke pengemis,

karena perdanya pun belum tau sama sekali, mungkin

sosialisasi dari pemerintah nya yang kurang”(Wawancara :

Tanggal 14 September 2018, Pukul :14.50 Wib di Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang).

Akibatnya belum adanya sosialisasi menyeluruh mengenai

penegakan sanksi yang tegas dari Pemerintah Kota Serang, dalam

memberikan hukuman berupa Denda dan Kurungan Penjara terhadap

masyarakat dan para Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti

Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang, karena Perda Kota Serang

No 2 Tahun 2010 belum berjalan dengan efektif, selanjutnya dinilai juga

179

dari kinerja penegak kebijakan sebagai pihak berwenang ini seperti

aparatur penegak hukum Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP)

Kota Serang kurang aktif dan bertanggung jawab dalam penegakan

aturan sesuai tupoksinya serta penyebab hal lain diantaranya kurang

aktif melakukan koordinasi Dinas Sosial Kota Serang sehingga sampai

saat ini masyarakat masih terbiasa memberikan uang santunan kepada

gelandangan dan pengemis di Kota Serang, begitupun para gelandangan

dan pengemisnya masih berani melakukan kegiatan mengemisnya tanpa

pengawasan Satpol PP walaupun sudah diberikan peringatan. Seperti hal

nya yang di ungkapkan oleh bapak juanda selaku kabid produk hukum

daerah yang mengatakan :

“ padahal udah jelas tuh dalam perda itu dijelaskan ada denda

sebesar Rp50 juta dan ada juga ancaman tiga bulan penjara,

tapi yah mau gimana lagi masyarakat masih aja keseringan

ngasih uang santunan di pinggir jalan ataupun di sudut lampu

merah ke setiap gelandangan dan pengemis” (Wawancara :

Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.00-13.00 di Kantor

Satpol PP Kota Serang)

Menurut dia, bagi warga yang memberi uang kepada gelandangan

dan pengemis maka ada sanksi dalam Perda tersebut. Namun sanksi

tersebut diabaikan oleh warga kota Serang, bahwasanya ada

kemungkinan mereka tidak mengetahui dengan jelas isi dari perda

tentang pekat tersebut, pihaknya pun mengharapkan agar kembali

disosialisasikan dengan Dinas Sosial Kota Serang setempat diantaranya

dengan memasang spanduk pada sudut kota dan sosialisasi juga

dilakukan melalui iklan layanan publik pada surat kabar dan radio

180

daerah serta media elektronik lainya. Adapun bapak Syaiful Bahri

selaku Kasie penegakan produk hukum pun mengatakan :

“ ..bila mendekati bulan Ramadhan maka jumlah gelandangan

dan pengemis terus bertambah tuh dan pihak Pemkot Serang

sendiri kwalahan untuk mengatasinya, yah mau gimanalagi?

Meski udah diberikan penyuluhan dan dipulangkan ke

kampung halamanya, tapi para gelandangan dan pengemis itu

kembali lagi ke Kota Serang untuk melakukan kegiatan seperti

semula’(Wawancara : Tanggal 17 September, pukul 12.30-

13.00 WIB di Kantor Satpol PP Kota Serang)

Menurutnya jika sosialisasi tentang perda itu maksimal, maka

warga tidak akan berkeinginan untuk memberikan uang santunan

kepada gelandangan dan pengemis sehingg dapat mengurangi jumlah

gelandangan dan pengemis untuk setiap tahunya. Karena keberadaan

gelandangan dan pengemis tersebut dapat memberikan keluhan kepada

masyarakat Kota Serang karena mereka para gelandangan dan pengemis

meminta-meminta di perempatan lampu merah yang kadang dapat

membahayakan keselamatan dirinya dan pihak lain sehingga dapat juga

mengganggu ketertiban dan keamanan Kota Serang.

Hal ini juga dirasakan oleh bapak Iwan (39 Tahun) wirausaha,

selaku warga Pisang Mas, Kota Serang, beliau mengatakan:

“...saya sendiri yang biasa buka warung di samping lampu

merah Pisang Mas, biasanya kalo siang hari banyak tuh

pengemis minta-minta dilampu merah, kadang anak sampai

anak kecil juga ada, terus kalo gelandangan sih biasanya

malam hari itu keluar yah kadang tidur di trotoar kalo engga

di taman jalan, yah menurut saya sosialisasi dari pemerintah

kota nya kurang sih, jadinya masih banyak berkeliaran itu

gelandangan pengemis, pemerintah nya juga kurang peduli

181

terhadap rakyat kecil dan jelata seperti itu, yah akhirnya

banyak yang miskin, pengangguran dan sampe-sampe

mengemis dijalanan yang dapat menagganggu ketertiban

warga" (Wawancara : Tanggal 19 September 2018. Pukul

15.30 WIB di Pisang Mas Kota Serang)

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, diketahui

bahwa Transmisi perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 belum berjalan

secara optimal dan menyeluruh serta tepat sasaran sehingga masih

banyak masyarakat yang belum mengetahui isi dari perda tentang

pekat tersebut, selanjutnya penegakan perda itupun sendiri dapat

dikatakan belum tegas, baik dari sanksi pidana penjara kurungan

selama 3 bulan maupun denda uang sebesar 50 juta rupiah yang

berlaku sesuai dengan isi perda, hal ini dilihat dari masih banyaknya

masayarakat Kota Serang yang masih berkelanjutan memberikan uang

santunan kepada gelandangan dan pengemis, ketidaktegasannya sanksi

dan denda tersebut dikarenakan pihak eksekutor atau Satpol PP tidak

memiliki ketegasan dan tanggung jawab yang optimal terhadap pelaku

pelanggar perda tersebut, oleh karena itu sampai saat ini masih belum

berlakunya satu pun pelaku yang dikenakan sanksi pidana ataupun

denda tersebut, oleh karena itu dapat diketahui bahwa masyarakat

lebih berharap dengan adanya sosialisasi tentang Peraturan Daerah

Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan

dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat ini dapat memberikan

perubahan yang maksimal terhadap kenyamanan, keamanan dan

ketertiban Kota Serang dari hadirnya kegiatan Penyandang Masalah

182

Kesejahteraan Sosial (PMKS) termasuk Gelandangan Pengemis yang

dapat meresahkan warga, oleh karena nya perlu ketegasan dan

koordinasi ataupun kerjasama antara pembuat kebijakan dan pelaksana

kebijakan untuk lebih tegas dan memaksimalkan dalam menuntaskan

dan menetralisir Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

tersebut di Pusat Kota Serang.

b. Kejelasan

Kejelasan tujuan dan cara yang akan digunakan dalam sebuah

kebijakan merupakan hal yang mutlak agar dapat diimplementasikan

sebagaimana yang telah diputuskan. Dimensi kejelasan (clarity)

menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana,

target grup dan pihak lain yang berkepentingan secara jelas sehingga

diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan,

sasaran, serta substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga

masing-masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta

dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif

dan efisien. Pada pelaksanaan kebijakan tentang penyakit masyarakat ,

agar penyampaian informasi dapat diterima dengan jelas dan dapat

mengerti maka dalam tata cara teknis menerangkan terdapat dua

metode penyampaian informasi yaitu secara langsung dan tidak

langsung yaitu media cetak atau elektronik. Sosialisasi langsung

diselenggarakan mulai dari sosialisasi tingkat provinsi, dan tingkat

183

Kota kepada para pelaksana kebijakan seperti pihak Dinas Sosial dan

Dinas Satpol PP Kota Serang lalu mereka meneruskan informasi

kepada masyarakat dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) secara lisan maupun media cetak seperti hal nya spanduk

yang terpasang.

Dalam aspek kejelasan, Telah peneliti sebutkan latar belakang

lahirnya Perda no 2 Tahun 2010 yang memiliki tujuan untuk membawa

masyarakat Kota Serang dalam lingkungan yang berbudaya dan

beragama dengan kenyamanan dan ketentraman yang terjaga . Peraturan

Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 merupakan salah satu

kebijakan yang ditetapkan pemerintah Kota Serang dengan tujuan

mencegah, memberantas, menanggulangi penyakit masyarakat yang

berada di Kota Serang. Dengan menimbang beberapa hal, antara lain :

(Draft PERDA Kota Serang No 2 Tahun 2010)

d. Bahwa Kota Serang adalah daerah landasan kehidupan

masyarakat yang berbudaya dan beragama, sejalan

dengan visi dan misi Kota Serang.

e. Bahwa berbagai bentuk perbuatan yang merupakan

penyakit masyarakat merupakan perbuatan yang

meresahkan masyarakat, ketertiban umum, keamanan,

kesehatan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat

Kota Serang.

f. Bahwa rasa aman, nyaman, dan tentram perlu

diwujudkan di Kota Serang oleh karena itu perbuatan

penyakit masyarakat yang ada di Kota Serang

diperlukan aturan tentang pembinaan, pengawasan dan

184

pengendalian, pelarangnan serta penindakan terhadap

penyakit masyarakat agar terhindar dari gangguan/

dampak negatif yang akan timbul di dalam masyarakat.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa secara formal , Perda

No 2 Tahun 2010 telah jelas. Dalam aspek kejelasan perda, Perda No 2

Tahun 2010 sudah terbukti memiliki tujuan yang memiliki daya guna

dan akan membawa masyarakat kota Serang pada keadaan yang nyaman

dan tenteram, itu mengartikan, bahwa Perda ini merupakan jawaban atas

segla aktivitas yang dapat mengganggu lingkungan Kota Serang yang

sangat menjunjung nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini menjadi wujud

nyata dari pemerintah Kota Serang untuk melindungi dan menjaga

masyarakatnya.

Pada pelaksanaan kebijakan perda tentang penyakit masyarakat

(pekat), agar penyampaian informasi pelaksanaan tersebut dapat

diterima dengan jelas dan dapat dimengerti maka penyampaian

„informasi ini dilakukan secara langsung. Penyampaian secara

langsung ini dinilai cara yang sudah benar dengan melaksanakan rapat,

workshop dan dialog yang selama ini sudah dilakukan. Seperti yang

disampaikan oleh Bapak Ali Surahman selaku Wakil Komisi II DPRD

Kota Serang mengatakan:

“...sebenarnya kalau hal kejelasan penyampaian

kebijakan perda no 2 tahun 2010 tentang penyakit

masyarakat (pekat) ini udah jelas, hanya saja yah

sosialisasi yang efektif itu harus dilakukan langsung

185

terhadap target atau objek sasaran, sehingga masih banyak

PMKS dan masyarakat yang belum tau jelas dari kebijakan

pekat itu.” (Wawancara: Tanggal 15 September 2018, Pukul

10.00 di Kantor DPRD Kota Serang)

Hal ini dimaksudkan agar mempermudah pelaksana kebijakan

,masyarakat serta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)

memahami isi dari perda kota Serang no 2 tahun 2010, dikarenakan

dengan adanya pemberitahuan secara langsung dalam bentuk rapat,

workshop, diskusi dan dialog yang sebelumnya sudah di selenggarakan

oleh Dinas Provinsi Banten serta Dinas Sosial Kota Serang dengan

mengikutsertakan Masyarakat, Gelandangan dan Pengemis dapat secara

langsung bertanya apa yang masih belum mereka pahami tentang

kebijakan perda kota Serang no 2 tahun 2010 agar dapat memahami isi

perda tersebut dengan jelas dan paham. Seperti halnya yang

diungkapkan oleh ibu Ani (26 Tahun) selaku masyarakat yang dijumpai

saat di Rumah Makan daerah Pisang Mas Kota Serang yang mengatakan

”...setau saya soal perda tentang pekat itu ? ya saya sendiri

sih baru tau nya dari koran dan spanduk yang pernah

dipasang tuh di pinggiran jalan protokol di depan kantor

KP3B kota Serang, tapi saya belum tau jelasnya itu seperti

apa isi dan sanksi-sanksinya, jadi harus ada kejelasan dari

pemerintahnya juga dengan cara sosialisasi lagsung kepada

masyarakat agar masyarakat juga tau apa maksud dan tujuan

peraturan itu, yah jadi saya akan tau apa yang harus

dipersiapkan dan dilaksanakan biar ikut mensukseskan

kebijakan tersebut secara baik dan benar gitu loh”

(Wawancara; Tanggal 10 Oktober 2018, Pukul 01.00 Di

Pisang Mas Kota Serang)

186

Dari uraian diatas, peneliti mendapati bahwa masyarakat belum

sepenuhnya mendapatkan kejelasan dari isi, maksud dan tujuan dari

diberlakukanya Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 ini, oleh karenanya

sudah jelas pemerintah kota Serang dalam hal ini belum optimal dalam

penyampaian informasi perda kota Serang no 2 tahun 2010 secara jelas

kepada masyarakat. Hal ini seharusnya menjadi acuan bagi pemerintah

Kota Serang untuk lebih meningkatkan lagi sosialisasi yang mendalam

bagi para objek kebijakan seperti masyarakat.

Adapun kejelasan Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010, dalam hal

komunikasi kejalasan kebijakan yang ditransmisikan ini mempengaruhi

para pelaksana kebijakan seperti Satpol PP Kota Serang dan Dinas

Sosial Kota Serang dalam hal apa yang harus dipersiapkan serta

dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif dan

efisien. Seperti hal nya Satpol PP yang tentunya tidak berkerja sendiri,

ada instansi lain yang ikut melaksanakan tugasnya sebagai implementor

Perda No 2 Tahun 2010, hal ini ditegaskan oleh kepala bidang PPHD

Satpol PP Kota Serang, yang mengatakan :

“sekiranya perlu diketahui ya Tugas Satpol pp hanya memberi

peringatan, menindak dan menangkap Gepeng tersebut saat

operasi razia, selebihnya yakni tugas pembinaan dan rehabilitasi

itu merupakan tugas instansi terkait, seperti Dinas Sosial Kota

Serang, oleh karenanya kami sudah ada kejelasan dalam hal apa

yang harus kami persiapkan dalam mensukseskan kebijakan pekat

ini” (Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukul : 13.50

Wib di Kantor Satpol PP Kota Serang)

187

Berdasarkan wawancara diatas, peneliti mendapatkan kejelasan

informasi, bahwa selain Satpol PP, Dinas Sosial Kota Serang pun

memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menjalankan perda tersebut. Hal

ini jelas bahwa Perda No 2 Tahun 2010 tentang pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat merupakan

kejelasan sebagai landasan Dinas Sosial Kota Serang dalam

menjalankan tupoksinya untuk mendata, membina dan merehabilitasi

pihak masyarakat ataupun seseorang yang diduga oleh satpol PP sebagai

Gelandangan dan Pengemis.

Hal ini tertuang dalam perda tersebut, yakni pasal 17 tentang

pebinaan, dimana tertulis, pemerintah daerah dan masyarakat wajib

melakukan pembinanan terhadap orang atau sekelompok orang yang

terbukti melakukan perbuatan penyakit masyarakat.

Pemerintah daerah yang dimaksud dalam perda tersebut adalah

Dinas Sosial Kota Serang. Hal tersebut pun ditindaklanjuti oleh Dinas

Sosial Kota Serang yang memiliki bidang pelayanan dan rehabilitasi

pada struktur organisasinya, dimana dalam bidang tersebut terdapat

seksi rehabilitasi tuna sosial (Gepeng) dan eks penyalahgunaan napza.

Sehingga menjadi jelas jika Satpol PP Kota Serang memiliki kejelasan

wewenang untuk mengeksekusi maka Dinas Sosial Kota Serang

memiliki wewenang dalam bidang pembinaan dalam bentuk rehabilitasi

dan pemberdayaan. Adapun hal yang harus dipersiapkan dalam

188

pelaksanaan rehabilitasi yang tertuang pada perda no 2 tahun 2010 pasal

18, ditulis bahwa rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui kegiatan:

a. Bimbingan, pendidikan, pelatihan dan keterampilan teknis

b. Bimbingan, penyuluhan rohaniah dan jasmaniah

c. Penyediaan lapangan kerja atau penyaluran tenaga baru

Berangakat dari apa yang tertuang dalam Perda diatas tersebut,

nampaknya telah jelas perda ini untuk membenahi permasalahan

Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang tetapi konteks peneliti

lakukan ialah implementasi, dimana fokus penelitian ada pada

pelaksanaan perda tersebut. Maka dari itu peneliti meminta keterangan

kejelasan pada Kabid Pelayanan dan rehabilitasi sosial yang

mengatakan:

“kami sudah mengetahui kejelasan perdanya, jadi dinas sosial

Kota Serang punya tugas pokok yang sudah jelas, bahwa tugas

kami ialah melakukan pelayanan berupa pembinaan serta

rehabilitasi kepada Gelandangan pengemis (Gepeng), tetapi

sebelum itu kami meminta pendataan terlebih dahulu lewat kartu

identitas yang dimiliki karena satpol PP sudah mendata yang

diduga, lalu kami menyaringnya dan kita tampung di rumah

singgah di Bandesh Pakupatan lalu selanjutnya kita serahkan ke

Jati Luhur Bekasi untuk di rehabilitasi karna memang kita tidak

punya tempat rehabilitasi di Kota Serangnya.” (Wawancara :

Tanggal 18 September 2018. Pukul 13.00 WIB Di Kantor Dinas

Sosial Kota Serang)

Dari penggalan wawancara diatas, telah jelas bahwa Dinas Sosial

menjalankan tugas pebinaan terhadap orang-orang yang terbukti

melakukan perbuatan penyakit masyarakat, yakni Gelandangan

Pengemis (Gepeng). Tetapi hal tersebut belum dapat mencukupi

189

informasi, bahwa proses implementasi perda telah dijalankan dengan

baik. Tetapi dalam konteks kejelasan tugas, dinas sosial telah

menjalankan dengan kata lain mengimplementasikan perda dengan

nyata.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti,

bahwa kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana kebijakan

seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang sudah jelas, sehingga

diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran

kebijakan Perda No 2 Tahun 2010, maka dari itu para pelaksana sudah

mempersiapkan serta melaksanakan untuk mensukseskan kebijakan

tersebut secara efektif dan efisien seperti hal nya sudah memiliki tugas

pokok masing-masing para pelaksana kebijakan untuk menerapkan

perda no 2 tahun 2010 dengan tujuan serta memiliki daya guna dan akan

membawa masyarakat kota Serang pada keadaan yang nyaman dan

tenteram, adapun masing-masing tugas pokoknya yaitu Satpol PP

sebagai eksekutor pelaksana/penindakan razia gelandangan

pengemis(gepeng) sedangkan Dinas Sosial itu sendiri sebagai pihak

yang melakukan pembinaan dan rehabilitasi. Akan tetapi dibalik itu

semua adapun masyarakat kota Serang kali ini tidak mendapatkan

kejelasan transmisi Perda no 2 tahun 2010 dikarenakan kurangnya

sosialisasi yang intens oleh pemerintah tentang isi dari perda no 2 tahun

2010 sehingga tidak bisa ikut mensukseskan kebijakan perda no 2 tahun

2010 tentang kebijakan pekat ini.

190

c. Konsistensi

Hal ini diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur

sehingga membingungkan pelaksana kebijakan, target group dan pihak-

pihak yang berkepentingan. Jika perintah yang diberikan sering

berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di

lapangan. Oleh karena itu konsistensi juga harus mendapat perhatian

dalam sebuah komunikasi.

Konsistensi dalam implementasi kebijakan tentang penyakit

masyarakat (pekat) di kota Serang berdasarkan pelaksanaan SOP yang

sudah ditetapkan oleh masing-masing para pelaksana kebijakan yakni

Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang sebagai pelaksana kebijakanya.

Konsistensi dalam hal ini adalah apa yang harus dilaksanakan dalam

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat

kota Serang mesti dilaksanakan secara menyeluruh dan terus-menerus

tanpa terputus. Hal ini diungkapkan oleh Bapak Ali Surahman selaku

Wakil Komisi II DPR Kota Serang mengatakan :

“..bahwa subtansi kebijakan perda tentang pekat ini

sebenarnya sudah bagus namun dibutuhkan kesabaran dan

konsistensi dalam penerapannya agar hasilnya maksimal dan

dapat meminimalisir gelandangan dan pengemis, yah perda ini

intinya? adalah untuk mengatasi masalah gelandangan dan

pengemis yang ada di Kota Serang, banyaknya keluhan dari

masyarakat serta mengganggu ketertiban, maka dibentuklah

perda ini, tujuanya adalah untuk menciptakan ketertiban

sosial.” (Wawancara : Tanggal 15 September 2018, Pukul

13.00 WIB di Kantor DPRD Kota Serang )

191

Adapun alur tabel konsistensi pelaksanaan Implementasi Perda

Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat ( pekat) ini

sebagai berikut :

Gambar 4.8

Alur Mekanisme Pelaksanaan Perda

DPRD KOTA

SERANG

SATPOL PP

KOTA SERANG

PERDA KOTA SERANG NO 2 TAHUN 2010 TENTANG

PENCEGAHAN, PEMBERANTASAN DAN

\PENANGGULANGAN PENYAKIT MASYARAKAT

DINAS SOSIAL

KOTA SERANG

192

Sumber : Peneliti,2018

Dalam pelaksanaan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat, ada dua instansi yang menjadi pelaksana kebijakan, yaitu

Pihak Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kta Serang. Dimana,

dalam pembuat kebijakan dari Perda adalah DPRD Kota Serang. Untuk

Mekanisme dalam pelaksanaan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010, DPRD Kota Serang memberikan tugas kepada dua instansi

pemerintah, yaitu Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang.

Dalam pelaksanaan Perda Kota Serang, adanya kerjasama antara

Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang, dalam menanggulangi

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, seperti Gelandangan dan

Pengemis yang berada di Lampu Merah, Pasar dan Terminal Kota

Serang. Karena, tugas Dinas Sosial Kota Serang adalah membina,

memberikan penyuluhan dan memberikan pelatihan bagi penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial yang mempunyai potensi, seperti

memberikan pelatihan montir, wirausaha, khursus menjahit, khursus

Salon dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan, agar para Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis, tidak

datang kembali ke Lampu Merah, Pasar dan Terminal untuk

menggelandang dan mengemis. Seperti hal yang diungkapkan oleh

Bapak Heli Priatna selaku Kasie Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas

Sosial Kota Serang mengatakan :

193

”....jadi begini dalam konsistensi pelaksanaan Perda

khususnya Dinas Sosial, yah kita sudah dibuat tim satgas,

perintahnya dari Walikota melalui SKnya langsung dan

dperintahkan untuk menerima hasil dari penjaringan PMKS

oleh Satpol PP, untuk selanjutnya di data serta dibina dan

diarahkan agar tidak lagi turun kejalan untuk menggelandang

dan mengemis..”(Wawancara: Tanggal 24 September 2018,

Pukul 01.15 WIB di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Oleh karena itu dibutuhkannya konsistensi dari Dinas Sosial Kota

Serang dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pekat ini agar dapat

meminimalisir kegiatan para Gelandangan dan Pengemis Kota Serang.

Kemudian, tugas dari Satpol PP Kota Serang adalah sebagai

eksekutor. Artinya, Peran dari Satpol PP Kota Serang adalah melakukan

penjaringan razia terhadap para Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis. Selain itu, Tugas Satpol PP

Kota Serang adalah menegakan Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat. Dengan ditegakanya Perda Kota Serang Nomor 2

Tahun 2010, diharapkan tidak ada lagi Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial seperti gelandangan dan pengemis yang berada di

Lampu Merah, Pasar dan Terminal Kota Serang. Sehingga, Pelaksanaan

Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dapat

berjalan dengan optimal dan efektif. Seperti hal yang diungkapkan oleh

Bapak Juanda selaku Kasie Penegakan Produk Hukum Daerah. Beliau

194

mengatakan :

“....soal konsistensi ? jadi perlu diketahui ya, dalam

pelaksanaan Perda khususnya Satpol PP Kota Serang, kita

tentunya sudah di buat tim penjaring razia, yang Sknya

langsung turun dari Walikota Serang itu sendiri, dan

tentunya kita diperintah untuk wajib melaksankan

pengeksekusian masalah penyakit masyarakat (pekat) ini,

lalu kita serahkan hasil dari proses eksekusi kita tersebut,

untuk diserahkan kepada Dinsos Kota Serang sebagai

arahan dan pembinaanya, karena kita juga berkerjasama

dengan Dinsos Kota Serang..” (Wawancara: Tanggal 15

September 2018,Pukul 11.45 WIB di Kantor Satpol PP

Kota Serang)

Gambar 4.10

Proses Pendataan Penjaringan GEPENG dan Anak Jalanan oleh

Satpol PP di Kota Serang

Sumber : Peneliti di Kantor Satpol PP Kota Serang, 2018

195

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, dapat

diketahui bahwa konsistensi komunikasi kebijakan perda pekat ini

sudah dikatakan baik oleh para pelaksana kebijakan seperti Dinsos Kota

Serang dan Satpol PP Kota Serang dengan berdasarkan tugas dan

perintahnya masing-masing namun dalam penerapan dan pelaksanaanya

dibutuhkan kesabaran dan konsistensi agar hasilnya maksimal dan dapat

meminimalisir gelandangan dan pengemis di Kota Serang.

Keberhasilan suatu konsistensi kebijakan mensyaratkan agar

implementor mengetahui apa yang menjadi tujuan dan sasaran

kebijakan (target group) sehingga akan mengurangi distorsi

implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas

atau bahkan berubah-ubah, maka kemungkinan tidak dapat berjalan

dengan efektif bila proses pelaksanaan tidak dilakukan dengan penuh

kesiapan, pembinaan serta komunikasi yang baik akan mendorong

aparatur untuk dapat lebih meningkatkan pelayananya yang baik pula

terhadap target sasaran.

4.4.2 Sumber Daya

Edward III (1980:1) dalam Widodo (2010:98) mengemukakan

bahwa faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam

implementasi kebijakan, sumber daya tersebut dapat diukur dari aspek

196

kecukupan yang didalam nya tersirat kesesuaian dan kejelasan. George

Edwards III menjelaskan mengenai sumber daya yang dimaksud ialah

berhubungan dengan staf (staff), informasi (information), kewenangan

(authority), fasilitas (facilities). Keempat hal tersebut disebut Edwards

III sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan.

Tanpa sumber daya yang memadai, tujuan kebijakan yang telah di

rencanakan tidak akan sama dengan apa yang akhirnya diterapkan.

Sumber daya yang diperlukan dalam implementasi Perda Kota

Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya Gelandangan dan

Pengemis menuurut Edwards III dalam Widodo (2010:98), yaitu sebagai

berikut.

a. Sumberdaya manusia ( staff)

Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Seperti hal nya

staf yang jumlah dan kemampuanya sesuai dengan yang dibutuhkan.

Kegagalan yang sering terjadi dalam Implementasi kebijakan salah

satunya disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup memadai,

mencukupi ataupun tidak kompeten dalam bidangnya. Penambahan

jumlah staf dan implementor saja tidak cukup menyelesaikan persoalan

implementasi kebijakan, tetapi diperlukan sebuah kecukupan staf

dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan

capable) dalam mengimplementasikan kebijakan. Sumber daya

197

manusia sangat berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi,

sebab tanpa sumber daya manusia yang handal, implementasi

kebijakan akan berjalan lambat. Oleh karena itu, implementasi

kebijakan Perda tentang Penyakit Masyarakat di Kota Serang

membutuhkan sumber daya yang cukup dan mampu untuk menguasai

dibidangnya dalam melaksanakan kebijakan tersebut.

Data yang diperoleh oleh peneliti saat observasi dilapangan,

bahwa jumlah keseluruhan staff pegawai Dinas Sosial Kota Serang

berjumlah 48 orang. Yang terdiri dari Pegawai kantor 18 orang, dengan

komposisi 10 pegawai negeri dan 8 honorer. Serta 30 pegawai lapangan,

dengan komposisi : petugas administrasi 4 orang, petugas perawatan

non medis 3 orang, juru masak 4 orang, dan petugas keamanan (Satgas)

9 orang.

Akan tetapi, dengan jumlah staff dan pegawai tersebut Dinas

Sosial memiliki Struktur Organisasi yang jelas sehingga dapat

mengetahui kejelasan dari jabatan serta tugas dan tanggung jawab dari

masing-masing para pegawai.

Menurut pengamatan peneliti ketika menjalani penelitian

lapangan di Dinas Sosial September lalu, tugas yang ditangani bidang

tersebut cukup padat, artinya untuk menangani gelandangan dan

pengemis di Kota Serang harus lebih membutuhkan jumlah pegawai

yang sesui dan memadai. Namun fakta dilapangan yang saya dapat di

Dinas Sosial Kota Serang bahwasanya jumlah personil pegawai untuk

198

menangani gelandangan pengemis terbilang kurang, baik dari tenaga

ASN, PSM-nya seperti Satgas yg baru berjulah 10 orang yng

ditempatkan di setiap sudut lampu merah dan tenaga sukarelawan.

Seperti hal nya bapak Heli Priatna yang menjabat sebagai Kepala seksi

pelayanan rehabilitasi mengatakan :

“ ...kalau masalah staf ya ? untuk di Dinas Sosial ,saya

sendiri belum mempunyai staf untuk membantu

menangani gepeng tersebut, apalagi Satgas disini cukup

kurang untuk menjangkau si gepeng tersebut, oleh

karna nya bapak sih sangat berharap untuk

penambahan staf sebanyak 5 orang honorer dan satgas

sebanyak 30 orang waktu penjangkauan dibagi 3 shift,

dimana pembagian waktunya mulai dari shift 1 pukul

07.0 pagi s/d 12.00 siang, shift 2 pukul 12.00 siang s/d

16.00 sore, dan shif 3 pukul 16.00 sore s/d 23.00

malam, kalau seperti itu kegiatan tersebut kan bisa

terpantau di setiap lampu merah di Kota Serang , yah

tapinya kan hambatan nya yah masalah anggaran untuk

membayar pegawai satgas nya kurang memadai, bpak

sih Cuma ingin dimana jumlah dan pembagian waktu

tersebut sangat diharapkan agar proses penjangkauan

berjalan dengan baik dengan memberikan hasil yang

maksimal demi netralisasi dari kegiatan PMKS.

( Wawancara, Tanggal 24 September 2018, Pukul

11.30- 12.00 di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Gambar 4.11. Satgas (Satuan Petugas) yang di tugaskan oleh

Dinas Sosial Kota Serang

199

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang,2018

Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa Dinas

Sosial memiliki jumlah SDM (Staf) yang kurang memadai sehingga

dapat menghambat berjalanya proses penerapan kebijakan perda no 2

tahun 2010 dalam penanganan gelandangan dan pengemis di Kota

Serang.

Dalam melaksanakan penertiban, biasanya pihak dinas sosial juga

berkoordinasi dengan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja), menurut

pengamatan peneliti ketika di Kantor Dinas Satpol PP Kota Serang,

bahwa tugas yang ditangani oleh Satpol PP tidak terlalu padat, artinya

untuk menangani gelandangan dan pengemis di Kota Serang tidak

masalah dengan jumlah staff pegawai ASN nya 9 orang dan ditambah

pegawai honorer nya sebanyak 25 anggota Satpol PP yang khusus

diterjunkan langsung ke lapangan untuk menjangkau dan merazia

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) khususnya

gelandangan dan Pengemis, namun dalam hal ini menurut pengamatan

yang saya dapat dari hasil wawancara bahwasanya pegawai tersbut

terbentur dengan masalah anggaran bagi pegawai honorer sehingga

dapat menghambat dan memperlambat proses penertiban dan

penanganan gelandangan dan pengemis. Seperti hal yang diungkapkan

oleh Bapak Juanda selaku Kasie Penegak Produk Hukum Daerah yang

mengatakan bahwa :

”...kalo saya sendiri sih merasa udah cukup dengan

jumlah staf dan personil anggota yang sudah ada

200

seperti anggota untuk melaksanakan razia berjumlah

25 orang, staf administrasi 2 orang dan skretaris saya

2 orang ,mereka rata-rata masih honorer, tapi di sisi

lain proses dan kegiatan penertiban nya saja yang

terbilang kurang, yah mau gimana lagi? Pegawai

honorer kami kasian tidak ada gaji apa lagi

tunjangan, yah mereka paling dapat anggaran cuma”

sebatas insentif bulanan , sehingga kerjanya pun ala

kadarnya dan terbilang jarang kalo urusan kegiatan

razia gelandangan dan pengemis itu, yah kalo di

itung” sebulan sebanyak 3 kali saja”( Wawancara:

Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.00 WIB di

Kantor Satpol PP Kota Serang)

Berdasarkan wawancara diatas bersama Kabid PPUD Satpol PP

Kota Saerang diketahui bahwa sumber daya manusia (staf) yang

dimiliki sudah memadai hanya saja kinerja para pegawainya yang

kurang optimal dan tegas dalam menjalankan kebijakan perda no 2

tahun 2010, sehingga dalam penanganan gepengnya pun terhambat dan

berjalan lambat, hal ini perlu jadikan pelajaran bagi para pelaksana

kebijakan agar lebih optimal dan konsisten lagi dalam menjalankan

kebijakan pekat ini .

b. Sumberdaya Anggaran (budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan

kecukupan modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan

untuk menjamin terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan

anggaran yang memadai, kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif

dalam mencapai tujuan dan sasaran.

Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) di Kota Serang, hingga kini belum maksimal. Bahkan tahun

201

2017 ini, hanya terkucur dana oleh Kementrian Sosial sebesar 50 juta.

Karena dengan kondisi seperti ini, Wakil Komisi II DPRD Kota Serang

M. Ali Surohman, ST meminta, agar Dinas Sosial (Dinsos) Kota

Serang membuat terobosan. Satu diantaranya berkoordinasi dengan

Dinsos Pemprov Banten, agar bisa membantu masalah PMKS ini.

Sebab, Kota Serang ini merupakan ibukota Provinsi Banten. Seperti

halnya yang diungkapkan oleh Bapak M. Ali Surohman, ST selaku

Wakil Komisi II DPRD Kota Serang yang mengatakan :

“...ini kan masalah kita bersama, tentunya

penangananya pun harus bersama-sama serta kita

dukung bersama-sama. Kita memang saat ini dalam

penanganan PMKS terhambat dengan masalah

anggaran yang kurang memadai, termasuk dalam hal

penanganan gelandangan dan pengemis serta

pembangunan tempat Rehabilitasi di Kota Serang,

Namun Dinsos dan Satpol PP selaku satuan kerja yang

menangani masalah ini, yah harus pro-aktif. Apalagi

belakangan masalah PMKS seperti gepeng, anak

terlantar, penyandang cacat, termasuk anak-anak punk

marak lagi dibeberapa simpang lampu merah di Kota ,

oleh karenanya meski tidak adanya anggaran yang

memadai jangan sampai menyurutkan kinerja Dinsos

dan Satpol PP Kota Serang dalam penanganan

gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini.”

(Wawancara: Tanggal 20 September 2018, waktu 10.00

di Kantor DPRD Kota Serang)

Menurut pengamatan peneliti saat studi kasus dilapangan, bahwa

perihal anggaran sudah ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sesuai surat

Menteri Keuangan Nomor S-863/MK,02/2017, Kementrian Sosial

mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp.41,3 triliun. Setelah itu

202

disalurkan kepada Pemerintah Kota Serang (Pemkot) dan selanjutya di

alokasikan ke Dinas Sosial untuk untuk Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS). Namun untuk saat ini jumlah anggaran

yang dialokasikan khsusus untuk menangani Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) di Kota Serang terbilang kurang sehingga

tidak dapat mengoptimalkan penanganan PMKS khususnya

gelandangan dan pengemis serta membangun tempat rehabilitasi, akan

tetapi untuk kedepanya pemerintah akan ada perencanaan untuk

mengalokasikan dana yang berbeda dari tahun sebelumnya. Seperti hal

yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kasie Rehabilitasi

Tuna Sosial yang mengatakan :

“....Anggaran yang direalisasikan PMKS untuk tahun 2017 dan

2018 terbilang jauh sekali untuk memadai dalam pelaksanaan

program seperti pembinaan dan pelatihan termasuk juga

tempat rehabilitasi. Akan tetapi rencana untuk tahun

berikutnya pada tahun 2019 kedepan anggaran yang

dikucurkan oleh Kementrian Sosial akan melonjak tinggi yang

dapat melebihi anggaran tahun sebelumnya (melebihi 100%),

yang dimana jumlah anggaran tahun sebelumnya yakni tahun

2017 dan tahun 2018 masing-masing hanya 70 juta akan tetapi

untuk saat tahun depan akan melonjak tinggi hingga sampai

500 juta yang akan diangkat tahun 2019 mendatang, mengapa

demikian karena dianggapnya mungkin artinya masalah PMKS

itu termasuk diwajibkan dalam program pemerintahan

khususnya di Dinas Sosial Kota Serang. hanya saja selain

permasalahan Anggaran, seharusnya pemerintah daerah pun

segera menertibkan masalah Kantor Dinas dan tempat

rehabilitasinya. Walaupun mendapatkan anggaran yang besar,

akan tetapi tetap saja tidak memiliki tempat rehabilitasi yang

mampu menampung dan memberikan binaan serta pelatihan,

terkecuali anggaran itu bisa digunakan untuk pendidikan dan

pelatihan dirumah singgah, pembelian modal alat pelatihan

203

dan pendidikan PMKS, sandang pangan bagi para PMKS serta

petugas yang menjangkau Gepeng tsb, yang dimana Satgas

(Satuan Petugas) itu berjumlah 10 orang dan 10 petugas

itupun honornya itu hanya sebanyak 10 kali penjaringan, dan

jika dihitung” sebulan hanya sekali penjaringan, maka dari itu

banyak gelandangan pengemis yang masih turun kejalan dan

berkeliaran untuk melakukan kegiatanya. (Wawancara

:Tanggal 24 September 2018, Pukul 11.45 WIB di Kantor

Dinas Sosial Kota Serang)

Berdasarkan hasil wawancara diatas diketahui bahwa jumlah

permasalahan anggaran yang dirasakan oleh Dinas Sosial Kota Serang,

dinilai belum memadai dan terbilang minim, hal ini dapat menghambat

proses penanganan gelandangan dan pengemis di Kota Serang

dikarnakan dengan anggaran yang minim, maka Pemerintah Kota

Serang yakni Dinas Sosial Kota Serang tidak bisa membangun tempat

Rehabilitasi guna menanggulangi penyakit masyarakat seperti

gelandangan dan pengemis yang berada di daerah Pisang Mas Kota

Serang ini, hal ini menjadi perhatian pemerintah khususnya peneliti

sendiri agar lebih berharap lagi kepada pemerintah pusat untuk lebih

memberikan perhatian terhadap anggaran pembangunan rehabilitasi,

agar dapat meminamilisir gelandangan dan pengemis di Kota Serang.

c. Sumber Daya Kewenangan (authority)

Kewenangan ini diartikan sebagai hak dan kekuasaan untuk

bertindak, kekuasaan untuk membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Dinas Sosial diberi

kewenangan untuk melakukan penertiban serta penjemputan

gelandangan dan pengemis dari jalanan yang berkoordinasi dengan

Satpol PP, yang selanjutnya untuk dilakukan pembinaan dan di

rehabilitasi sosial. Setelah dilakukan pendataan dan lain sebagainya.

204

Seperti hal nya yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna selaku kasie

rehabilitasi tuna sosial yang mengatakan :

“...kewenangan bapak sendiri sih ? yaitu melakukan

penertiban hasil dari penjaringan atau hasil razia

gelandangan dan pengemis oleh Satpol PP yaitu untuk di

data, seteelah didata dihubungi pihak keluarganya dan

diantarkan kekeluarganya, setelah itu dipanggilkan lagi

untuk dibina secara keseluruhan satmbil di tawarkan

program-program Dinas Sosial seperti hal nya diberikan

pendidikan dan pelatihan, baik itu melalui Dinas Sosial

Provinsi, Balai Pemulihan Sosial di Pasir Ona, Setelah itu

juga dikirim ke Bekasi yaitu yang mempunyai kementrian

sosial, panti sosial bina karya” (Wawancara : Tanggal

24 September 2018, Pukul 11.15 WIB di Kantor Dinas

Sosial Kota Serang)

Berdasarkan hasil wawancara, bahwa Dinas Sosial sudah memiliki

kewenangan dalam menertibkan PMKS seperti Gelandangan dan

Pengemis hasil dari penjaringan atau hasil razia oleh Satpol PP serta

memiliki kewenangan juga dalam mendata gelandangan pengemis dan

memberikan/menawarkan program-program seperti hal pelatihan untuk

selanjutnya diserahkan ke Balai Pemulihan Sosial di Pasir Ona.

Dinas Sosial juga memiliki kewenangan untuk memonitoring

kegiatan purnabina, gelandangan dan pengemis yang telah di rehabilitasi

sosial akan dikembalikan ke masyarakat, dan diberikan stimulan modal

untuk usaha mandiri, dimana Dinas Sosial akan melakukan

penagawasan secara berkala.

Adapun pelaksana kebijakan yang lain seperti Satuan Polisi

205

Pamong Praja (Satpol PP) Kota Serang memiliki sebuah kewenangan

terhadap implementasi kebijakan Perda tentang penyakit masyarakat di

Kota Serang Khususnya Implementasi Peraturan Daerah (Perda)

khususnya Perda Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat khususnya

Gelandangan dan Pengemis.

Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2010 Tentang

Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan kewenangan yang dimiliki

Satuan Polisi Pamong Praja antara lain :

d. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga

masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan

pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.

e. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.

Adapun bentuk kewenangan dari Satpol PP sebagai pihak

eksekutor ini digambarkan dalam tahapan Proses Pembinaan Prefentif

Non Yustisial, hal ini sebagai bentuk peringatan dan penindakan dalam

kegiatan razia dari pihak eksekutor dalam menangani Gelandangan dan

pengemis selama berjalanya penjaringan razia. Sebagai gambar berikut :

206

Sumber : Satpol PP Kota Serang, 2018

Seperti apa yang disampaikan oleh Bapak Saiful Bahri selaku

Staff Pelaksana Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota

Serang. Beliau mengatakan :

“ Dalam penindakan kegiatan razia dan pembinaan para

PMKS kami selaku pelaksana Binluhwassosmay

berkewenangan terhadap tahapan proses pembinaan yang

sudah dibuat sebelumnya, tahapan tindakan tersebut sudah

sesuai berdasarkan peraturan yang dibuat oleh Bidang

Penegakan Hukum Satpol PP Kota Serang, ini merupakan

pedoman kami dalam melakukan pembinaan dan penindakan

terhadap PMKS termasuk Gelandangan dan Pengemis di Kota

Seran” (Wawancara : Tanggal 15 September .Pukul :14.00

WIB di Kantor Satpol PP Kota Serang)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas bersama Staff Pelaksana

Binluhwassosmasy Bidang PPUD Satpol PP Kota Serang bahwasanya

Satpol PP memiliki kewenangan dalam menjalankan tahapan pembinaan

prefentif non yustisial yang bertujuan menangani gelandangan pengemis

agar merasa jera untuk tidak melakukan aktivitasnya lagi. Hal ini

merupakan kewenangan Satpol PP yang bertujuan menegakan Perda No

2 Tahun 2010 dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan

penyakit masyarakat.

207

Peran Satpol PP makin strategis sebagai bagian dari perangkat

daerah yang bertugas untuk ikut membantu dan menjamin proses

penegakan Peraturan Daerah (Perda) khususnya Perda Kota Serang No

2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantan dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat, serta pemeliharaan ketertiban dan keamanan

masyarakat. Dimana dalam hal ini Satpol PP Kota Serang memiliki

kewenangan dalam penegakan berupa sanksi-sanksi yang berlaku dalam

Perda tersebut, seperti hal dalam penegakan larangan untuk memberikan

uang santunan kepada gelandangan dan pengemis, karena barang siapa

yang melakukan perihal tersebut maka Satpol PP berkewenangan untuk

melayangkan sanksi pidana kurungan penjara dan denda uang sebesar

50 juta. Hal ini dilakukan agar masyarakat kota Serang sadar diri dan

tidak lagi untuk memberikan uang santunan kepada gelandangan dan

pengemis tersebut, serta mencegah dan meminimalisir munculnya

gelandangan dan pengemis yang turun ke jalan.

d. Sumberdaya Peralatan (facility)

Berdasarkan pengamatan peneliti, fasilitas untuk menangani

gelandangan dan pengemis di Kota Serang kurang memadai. Kota

Serang memang sebagai wilayah yang cukup luas untuk dijangkau, akan

tetapi fasilitas yang sudah tersedia oleh Dinas Sosial dan Sapol PP Kota

Serang seperti mobil dinas yang memadai dengan jumlah mobil Dinas

Sosial berjumlah 5 unit dan mobil Dinas Satpol PP seperti truk untuk

Patroli rutin dan mengangkut para Penyandang Masalah Kesejahteraan

208

Sosial (PMKS) berjumlah 3 unit serta mobil dinas sejumlah 3 unit, serta

daat terbilang cukup memadai, sedangkan fasilitas yang lain seperti

Rumah Singgah guna menampung PMKS yang sudah terazia untuk

dibina ini masih terbilang kurang luas untuk menampung banyak nya

PMKS sehingga tidak berjalan efektif, selain itu ditambah pula dengan

tidak tersedianya fasilitas Rehabilitasi yang digunakan sebagai tempat

pelatihan dan keterampilan bagi para Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan dan Pengemis di Kota

Serang. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna

selaku Kasie Rehabilitasi dan Tunas Sosial yang mengatakan dalam hal

ini sebagai berikut :

“...untuk peralatan dan kelengakapan kami dalam menangani

gelandangan pengemis kurang memadai, kita hanya punya

fasilitas kendaraan roda 2 dan roda 4 dan Rumah Singgah itu

juga buat bawa para gepeng ,yah rumah singgah yang kami

gunakan untuk menampung sementara para gelandangan dan

pengemis(gepeng) bersifat tidak tetap masih suka berpindah

tempat, paling sesuai kenyamanan dan daya tampung, fasilitas

yang lain yah paling berupa peralatan komunikasi (HT), serta

tempat kantor yang yang masih ngontrak, sedangkan fasilitas

yang belum memadai itu seperti tempat rehabilitasi karna itu

sangat diperlukan sekali dalam mengatasi gepeng, kalo untuk

kelengkapan kami itu sendiri dalam melaksanakan pendataan dan

pembinaan gelandangan pengemis, yah seperti surat tugas, kartu

tanda anggota resmi, memakai dinas lapangan, perlengakapan

pendukung (HT, Laptop, Buku Daftar, dan Kamera). (Wawancara

: Tanggal 17 September 2018, Pukul 12.30 Wib di Kantor Dinas

Sosial Kota Serang)

Untuk pelaksana kebijakan lain seperti Satpol PP Kota Serang

209

dalam menjalankan tugasnya sebagai implementor Perda No 2 Tahun

2010 membutuhkan sumber daya perlatan (Fasilitas), dimana sumber

daya ini akan menunjukan apakah implementasi berjalan dengan baik.

Sebagai contoh, jika Satpol PP dalam hal ini melaksanakan razia

Gelendangan dan Pengemis (Gepeng) sebagai upaya perwujudan

implementasi Perda No 2 Tahun 2010 tetapi di lapangan fakta yang

didapat di lapangan Satpol PP harus iuran antar individu untuk

menutupi biaya operasional razia Gelandangan dan Pengemis tersebut.

Hal ini yang peneliti maksudkan sebagai sumber daya yang erat

kaitanya dengan abik atau tidaknya perda tersebut diimplemntasikan.

Hal diatas merupakan contoh semata, Satpol PP dalam

melaksanakan Perda Pekat No 2 Tahun 2010, dalam hal ini sebagai

eksekutor atau penindak orang diduuga sebagai Gelandangan dan

Pengemis memiliki peralatan dan perlengkapan yang sudah sesuai

dengan yang ada pada Standar Operasional Prosedur(SOP). Hal ini

sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Bapak Juanda selaku Kabid

PPHD, yang mengatakan sebagai berikut:

“ dari segi peralatan dan perlengkapan kami sudah memadai dan

hal ini pun telah sesuai dengan SOP yang telah disahkan, kami

sendiri sebagai eksekutor, saat kami melaksanakan tugas razia

Gepeng, kami melengkapi diri dengan peralatan atau fasilitas

seperti kendaraan roda empat dan HT buat komunikasi,

sedangkan untuk perlengapanya itu sendiri seperti, surat perintah

tugas, kartu tanda anggota resmi, memakai dinas lapangan dan

ditambah perlengkapan pendukungnya seperti (borgol, masker,

topi, sarung tangan). (Wawancara: Tanggal 15 September 2018,

Pukul : 13.45)

210

Gambar 4.12 Unit Kendaraan Satpol PP Kota Serang

Sumber : Peneliti, 2018

Berangkat dari penggalan wawancara diatas, peneliti melihat

sumber daya berupa peralatan dan perlengkapan Satpol PP yang

digunakan untuk menjalankan tugasnya untuk menjaring sesorang yang

diduga berkaitan dengan perbuatan gelandagan dan pengemis.

Perlengkapan baik berupa dokumen admnsitratif maupun perlengkapan

dan peralatan fisik menjadi hal yang diiperhatikan oleh Satpol PP dalam

melaksanakan tugasnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, maka

dapat dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini peneliti

menemukan bahwa dalam implementasi Perda Kota Serang No 2 Tahun

2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat khususnya gelandangan dan pengemis di Kota Serang telah

memiliki Sumber Daya yang kurang memadai. Seperti yang telah

disebutkan diatas seperti hal nya Anggaran yang dimiliki guna

menunjang keberhasilan implementasi kebijakan ini diantaranya tahun

211

ini hanya terealisasi 50 juta yang dapat diakatakan kurang memadai,

selanjutnya dalam bentuk anggota dan staf pelaksana kebijakan yang

jumlahnya kurang memadai sehingga tidak dapat menunjang

keberhasilan suatu implementasi, akan tetapi adapun sumber daya yang

memadai untuk sampai saat ini adalah fasilitas yang berupa alat

trasportasi yang disediakan dalam pelaksanaan patroli rutin terhadap

gelandangan dan pengemis di jalan-jalan kota Serang dengan berkerja

sama dengan Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP) dan tempat

penampungan sementara untuk memudahkan melakukan pembinaan dan

pelatihan.

4.5.3.3 Disposisi

Pada faktor ini kecenderungan perilaku atau karakteristik dari

pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi

kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Kecenderungan

perilaku atau karakteristik ini berkaitan dengan respon para pelakasana

kebijakan di dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan

gelandangan dan pengemis ini apakah mereka mendukung atau menolak

kebijakan penyakit masyarakat khsususnya gelandangan dan pengemis

di Kota Serang.

Didalam penelitian ini didapati bahwa para pelaksana kebijakan

seperti pihak Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang memiliki respon

yang cukup positif untuk bisa melaksanakan kebijakan pencegahan,

212

pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemis (gepeng) di

kota Serang. Respon yang baik tersebut muncul karena adanya

dukungan pemerintah baik pemerintah Provinsi maupun pemerintah

Kota Serang dan juga adanya dukungan dari komunitas-komunitas,

yayasan maupun lembaga yang ikut serta dalam pengentasan

gelandangan dan pengemis di kota Serang.

Dengan respon yang baik tersebut pula maka para agen pelaksana

kebijakan ini mendukung kebijakan untuk diimplementasikan dengan

mengoptimalkan segala cara yang telah ditetapkan di dalam peraturan

kebijakan gelandangan dan pengemis yaitu Peraturan Daerah Kota

Serang No 2 Tahun 2010.

Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Heli Priatna Selaku

Kasie rehabilitasi dan tuna sosial yang mengatakan :

“...dalam melaksanakan kebijakan penyakit masyarakat kami

senantiasa optimis dan beerkelanjutan, tapi kami kadang malas

juga sih menangani gepeng itu yah susah diatur dan ga ada jera

nya, pasti balik lagi tuh ke jalan untuk minta-minta, jadinya saya

berserta pegawai ataupun petugas dilapangan yang lain kadang

merasa jengkel dan malas untuk turun kejalan lagi, apalagi

ditambah ga ada insentif untuk petugas lapanganya jadinya

penanganan gepeng nya pun terhambat, terus petugas kami pun

jarang turun kejalan lagi, yah alhasil banyak dibiarkan tuh

gepeng” (Wawancara : Tanggal 17 September 2018, Pukukl 14.05

Wib di Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Hasil Wawancara diatas menadakan bahwa sikap yang dimiliki

oleh pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Kota Serang kurang

mendukung dan tidak memiliki ketegasan, hal ini terlihat dari sikap

213

malas yang dimiliki oleh pegawai dan tim lapangan dalam penanganan

gepeng dijalanan Kota Serang.

Dengan mendukung kebijakan pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan gelandangan pengemis ini maka para agen pelaksana

yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang juga melakukan upaya-

upaya maksimal dengan cara menetapkan program kerja baru dan juga

mengoptimalkan fasilitas yang ada guna kelancaran dalam implementasi

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandangan

pengemis. Upaya-upaya yang lain yang dilakukan yaitu melakukan

koordinasi dengan instansi terkait dan juga melakukan sosialisasi

kebijakan tersebut kepada pemerintah Pusat, Daerah maupun SKPD kota

Serang.

Sikap optimis juga dimiliki pada agen pelaksana dalam

mengimplementasikan kebijakan ini. Para agen pelaksana tersebut

beranggapan bahwa mengimplementasikan kebijakan yang telah

dicanangkan pemerintah ini merupakan suatu kewajiban dan juga

didalamnya terdapat peraturan-peraturan dalam melaksanakanya. Jika

kebijakan tersebut tidak dilaksanakan oleh para agen pelaksana, maka

masyarakat mempunyai hak untuk mengajukan pengaduan terhadap

salah satu lembaga pengawas pemerintah yaitu ombudsman, sehingga

apa yang dijelaskan di dalam peraturan kebijakan tersebut dapat

dilaksanakan semaksimal mungkin oleh para agen pelaksana. Jadi faktor

214

ini merupakan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan gelandangan pengemi

di Kota Serang.

Maka sebagai tindakan yang langsung menindak kepada

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan yaitu oleh pihak

Satpol PP. Dalam menegakan peraturan daerah tentang gelandangan dan

pengemis tersebut, eksekutor dalam hal ini Satpol PP Kota Serang

sebagai pelaksana perda yang terjun langsung kelapangan dalam

mencegah, memberantas dan menanggulangi gelandangan dan

pengemis. Satpol PP bertindak berdasarkan surat perintah yang

dikeluarkan oleh pimpinan atau Kepala yang didasari oleh laporan dari

masyarakat dan keadaan sekitar yang memungkinkan adanya tindakan.

Seperti hal yang diungkapkan oleh Bapak Juanda selaku Kasie

Penegak Produk Hukum Daerah yang mengatakan bahwa :

”...saya dan anggota saya sesuai perintah dan istruksi yang di

keluar kan oleh pemerintah pusat lewat surat edaran walikota,

untuk menindaklanjuti dan bertanggungjawab dalam

pelaksanaan kebijakan pekat ini, dan kami pun optimis dalam

pelaksanaanya agar dapat mencegah, membrantas dan

menanggulangi penyakit masyarakat seperti gelandanagan dan

pengemis” ( Wawancara : Tanggal 15 September 2018, Pukul

13.30 WIB Di Kantor Satpol PP Kota Serang)

Adapun faktor-fakotr penting yang mempengaruhi variabel

disposisi adalah :

a. Rekrutmen Pengurus/Pengangkatan birokrasi

Yang Dalam hal ini disposisi atau sikap pelaksana akan

215

menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap

implementasi kebijakan bila personel yang ada tidak melaksanakan

kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas.

Karena itu, pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana

kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan

warga masyarakat.

Pengangkatan dan pemilihan personil untuk jabatan di Dinas

Sosial Kota Serang merupakan wewenang Badan Kepegawaian

Daerah (BKD). Pengangkatan birokrat dilakukan secara terbuka

dengan menggunakan tes seleksi secara tertulis. Pengangkatan dan

pemilihan personil struktural di Dinsos dilakukan oleh pemerintah

dengan mekanisme penerimaan PNS sesuai Undang-undang.

Sedangkan rekrutmen pengurus di I-PSM merupakan kepeduliah

masyarakat sendiri, dimana masyarakat yang aktif di organisasi

Kelurahan, akan diajukan ke I-PSM Keamatan/Kota dan Ketua I-

PSM dipilih secara kesepakatan bersama dimana masing-masing

Kecamatan/Kota mengajukan bakal calon ketua. Untuk Rumah

Singgah Pasir Ona rekrutmen pengurus merupakan wewenang

yayasan rumah singgah itu sendiri.

b. Insentif

Pendapat Geoge C. Edward III, insentif merupakan salah satu

teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para

pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif. Pada dasarnya

216

orang bergerak berdasarkan dirinya sendiri, maka memanipulasi

insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para

pelaksana kebijakan dengan cara menambah keuntungan atau biaya

tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat

para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan

sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.

Pemberian Insentif pada pegawai Dinas Sosial Kota Serang

terdapat dua, yaitu Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) dan

Tunjangan kepada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK).

Dimana pemberian tunjangan PPTK dilaksanakan satu tahun sekali

dan satu orang satu kegiatan tidak boleh double. Hal ini sesuai

wawancara dengan Bapak Heli Priatna selaku Kepala Seksi

Rehabilitasi Tuna Sosial yang mengatakan :

“...kalau disini pemberian insentif ya yang buat semua

PNS itu mas, TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan).

Terus sama PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan)

ini khusus untuk jabatan struktural, ya pemberianya satu

tahun sekali, satu orang satu kegiatan, pastinya tidak

boleh lebih atau double. Kalau insentif khusus untuk

pelaksana kebijakan kegiatan perlindungan gelandangan

dan pengemis untuk saat ini tidak ada mas sehingga dalam

kegiatanya tidak berjalan dengan efektif. (Wawancara:

Tanggal 24 September 2018, Pukul 13.00 WIB)

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan, diketsahui

bahwa sikap (Disposisi) pelaksanaan dalam implementasi kebijakan

perda tentang penyakit masyarakat (pekat) khsususnya gelandangan dan

pengemis di Kota Serang ditanggapi cukup baik. Dalam hal ini

217

pelaksana kebijakan pekat tersebut menjalankan tugas dan

tanggungjawab seperti yang diharapkan sesuai dengan instruksi dari

pusat. Karena ketika pelaksana memiliki sifat atau perspektif yang

berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif ,akan tetapi adapun faktor yang

mempengaruhi kurang efektifnya kinerja pelaksana kebijakan yakni

dipengaruhi oleh ketidaktersedianya insentif sehingga menghambat

proses kerja secara rutin dan efektif.

4.5.3.4 Struktur Birokrasi

Variabel keempat menurut George C. Edward III, yang

mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik

adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk

melaksanakan suatu kebijakan tersedia atau para pelaksana kebijakan

mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dan mempunyai keinginan

untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut

tidak dapat terlaksana atau terealisasikan karena terdapatnya

kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks

menurut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi

tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan

menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan

menghambat jalanya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah

kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan

secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

218

Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi

birokrasi yang menjadi penyelenggaraan implementasi kebijakan

publik. Tantanganya adalah bagaimana agar tidak terjadi beureaucratic

fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi

menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas

implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama

diantara lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Pada implementasi

kebijakan perda tentang pekat di Kota Serang, peneliti membagi

penjelasan hasil mengenai struktur birokrasi menjadi 2 (dua). Kedua

hal tersebut adalah Dua karakteristik menurut Edward III yang dapat

mendongkrak kinerja struktur birokrasi / organisasi ke arah yang lebih

baik adalah : melakukan Standar Operating Prosedurs (SOP) dan

melaksanakan Fragmentasi. SOP adalah suatu kegiatan rutin yang

memungkinkan para pegawai (atau pelaksana

kebijakan/administratur/birokrat) untuk melakasanakan kegaitan-

kegiatanya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan

(atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan

pelaksanaan fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggung jawab

kegiatan-kegiatan atau aktifitas-aktifitas pegawai beberapa unit kerja.

Peneliti pun memamparkan karakteristik struktur birokrasi pada

pelaksanaan implementasi kebijakan pekat kota Serang ini pun sebagai

berikut :

a. Standar Operating Procedure (SOP)

219

Pemerintah Kota Serang yang berkewenangan dalam

permasalahan yang sedang peneliti teliti ialah, Satuan Polisi Pamong

Praja Kota Serang dan Dinas Sosial Kota Serang. Kedua instansi ini

seyogyanya memiliki prosedur kerja yang digunakan sebagai panduan

untuk menjalankan Perda No 2 Tahun 2010. Prosedur kerja yang

peneliti maksud, yakni turunan dari Perda No 2 Tahun 2010 dimana

turunan ini menjadi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk

mengaplikasikan perda ini.

Fakta dilapangan menunjukan, bahwa Perda ini sudah memiliki

Peraturan Walikota (perwal), yakni Peraturan Wali Kota (Perwal)

Serang Nomor 41 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan

Peraturan Dearah Nomor 2 Tahun 2010 yakni tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Dimana

perwal ini akan menjadi petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis bagi

pelaksana kebijakan, dalam hal ini adalah Satpol PP dan Dinas Sosial

Kota Serang. Hal ini menjadi menarik karena akan menjadi

pertanyaan, atas dasar apa setiap instansi yang menjalankan Perda ini

dalam menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dari masing-

masing instansi terkait

Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi

adalah dengan menggunakan Standar Operating Procedure (SOP).

Karena dengan adanya kejelasan tugas dan beban kerja dari setiap

instansi akan memberikan kemudahan bagi instansi lainya dalam

220

mengerjakan tugasnya. Menurut Bapak Heli Priatna selaku Kasie

Rehabilitasi dan Tuna Sosial mengatakan :

“..pada pelaksanaan kebijakan perda tentang penyakit

masyarakat (pekat) di Kota Serang khsususnya dalam

penjaringan pekat, instansi bapak sendiri sudah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan standar prosedur

yang berupa teknis atau juknis pelaksanaan kebijakan

pekat, kegiatan pelaksanaan kebijakan pekat secara garis

besar dengan melalui persiapan, pelaksanaan monitoring

ataupun penjangakauan/penjaringan dan evaluasi”

(Wawancara : Tanggal 24 September 2018, Pukul 11.45 di

Kantor Dinas Sosial Kota Serang)

Hal ini juga dibuktikan dengan adanya temuan peneliti mengenai

adanya SOP yang merupakan pedoman pelaksanaan penjaringan pekat

pada kebijakan perda no 2 tahun 2010. Sebagai berikut :

Tabel 4.5

Standar Operasional Prosedur (SOP) Penjaringan Pekat Oleh Dinas

Sosial Kota Serang.

No

Mutu buku

Uraian Kegiatan

Kelengakapan

Waktu

Output

221

1

Pendataan Instrumen data 15 Hari Hasil data

PMKS

2

Penerima Data

PMKS Pekat

Data gepeng,RPST,WTS,

exs napza

3 Hari Data

gepeng,RPST,

WTS,eks

napza

3

Penyeleksian Calon

PMKS yang akan

dikirim

Pemeriksaan data KTP

dan KK

2 Hari Dokumen,

KTP,KK, Pas

photo

4

Arahan

(pembinaan) PMKS

yang akan dikirim

Kilen PMKS yang akan

dikirim, dokumen peserta

1 Hari Data PMKS

Dokumentasi

5

Surat Tugas dan

Surat Pengantar

Pengiriman

Surat Tugas, Surat

pengantar

1 Jam Surat Tugas,

Surat

Pengantar,

Dokumentasi

6

Pengiriman PMKS

pekat kebalai

Prov/Balai

Kamensos

Kendaraan roda 4, Surat

tugas, Surat pengantar

1 Hari Diterimanya

Pengiriman

7

Tindak lanjut hasil

pengiriman

Dokumen hasil

pengiriman

pelatihan,sertifikat,

1 Hari Berkurangny

a PMKS

222

peralatan,cop dinas sosial pekat

Sumber : Hasil Observasi Peneliti di Dinas Sosial Kota Serang, 2018

Tabel diatas menunjukan adanya SOP Dinas Sosial Kota Serang,

dalam SOP tersebut dijelaskan, bahwa standar operasional prosedur

(SOP) operasi penjaringan Penyakit Masyarakat (Pekat), dengan

nomor SOP 071/456-org, tanggal pembuatan 2 Januari 2017. Dalam

SOP ini memuat pencatatan/pendataan dalam uraian kegiatan, staf

yang bertanggung jawab, kelengkapan peralatan, waktu penjangkauan

dan output yang dihasilkan.

Jika prosedurnya sudah tersedia, maka apakah prosedur tersebut

jelas dan mudah dipahami, hal ini peneliti tanyakan kepada pelaksana

Kepala Seksie rehabilitasi dan tuna sosial Dinas Sosial Kota Serang,

yakni Bapak Heli Priatna beliau mengatakan :

”....pedoman kami saat bertugas dilapangan hanya SOP, bagi

kami SOP yang sudah dibuat itu jelas dan dapat dimengerti

,hanya saja sebelum kita bertugas, kita engga sembarangan

mengambil keputusan secara sepihak, oleh karenanya harus

dikeluarkan dulu surat perintah penjaringan dari Kabid”

(Wawancara pada tanggal 24 September 2018, Pukul 11.35 WIB

di Dinas Sosial Kota Serang)

Berdasarkan Hasil Wawancara diatas, bahwa SOP yang dijadikan

landasan oleh Dinas Sosial dalam mengadakan pendataan, pembinaan

dan penjaringan gelandangan dan pengemis sudah jelas dan dapat

dipahami. Hal ini menandakan Struktur Birokrasi yang digunakan oleh

223

Dinas Sosial Kota Serang sudah terbukti sehingga tugas dan fungsi

Dinas Sosial dalam hal ini untuk melaksanakan penjaringan dan

penjangkauan dapat berjalan dengan baik.

Selain itu untuk pelaksana kebijakan seperti Satpol PP itu sendiri

fakta dilapangan menunjukan, bahwa perda ini sudah memilki

Peraturan Walikota (perwal) yakni Perwan No 41 Tahun 2017, dimana

perwal ini nantinya akan menjadi petunjuk pelaksana dan petunjuk

teknis bagi pelaksana kebijakan. Hal ini menjadi acuan bagi Satpol PP

karena dengan dikeluarkanya Perwal tersebut menjadi dasar

pembentukan Standar Operasional Prosedur (SOP).

Oleh karena itu peneliti melakukan komunikasi dengan instansi

terkait, yakni Satpol PP Kota Serang. Setelah peneliti melakukan

wawancara, Kabid PPUD Satpol PP Kota Serang menyatakan :

´“...dalam operasi penjaringan gelandangan

pengemis(gepeng) kami sudah mengikuti SOP yang

telah diterbitkan dan disahkan oleh Kepala Satuan

berdasarkan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis

yang berlandasrkan dari Perwal no 41 tahun 2017,

sehingga pemecahan persoalan masalah gelandangan

dan pengemis dapat segera diselesaikan”

(Wawancara : Tanggal 15 September 2017, Pukul

13.45 di Kantor Satpol PP Kota Serang)

Berdasarkan hasil wawancara diatas telah jelas bahwa Satpol PP

sudah berkerja sesuai dengan SOP dengan berdasarkan petunjuk

pelaksana dan petunjuk teknis yang berlandasrkan dari Perwal no 41

224

tahun 2017 sehingga dalam pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis

dapat segera di tangani agar terciptanya ketertiban dan keamanan Kota

Serang.

b. Fragmentasi

Fragmentasi menurut Edward III dalam Winarno adalah

pembagian tanggung jawab sebuah bidang kebijakan diantara unit-unit

organisasi. Tanggung jawab bagi suatu bidang kebijakan sering

tersebar diantara beberapa organisasi, tanggung jawab ini berupa

tanggung jawab memberikan penyuluhan, pelatihan dan pelayanan.

Konsenkuensi paling buruk dalam fragmentasi birokrasi adalah usaha

untuk menghambat koordinasi para birokrat karena alasan-alasan

prioritas dari badan-badan yang berbeda mendorong birokrat untuk

menghindari koordinasi dengan badan-badan lain. Dalam

implementasi perda no 2 tahun 2010 tentang pekat di Kota Serang

dapat dilihat dari pembagian tugas pada saat melakukan sosialisasi,

penjaringan serta pembinaan.

Berdasarkan penjelasan Bapak Heli Priatna selaku kasie

rehabilitasi dan tuna sosial Dinas Sosial Kota Serang, mengatakan:

“koordinasi antar pelaksana Kebijakan Pekat di Kota Serang

yaitu melalui kerjasama antara Dinas Sosial dan Satpol PP

kota Serang. Melalui kerjasama atau koordinasi yang baik

dalam pelakasanaan masing-masing tugas, Dinas Sosial

sebagai perpanjang tangan dari pemerintah pusat yang

bertanggung jawab untuk mempersiapkan para Staf dan

Anggota Tim lainya dalam memahami dan melaksanakan

225

kebijakan tentang pekat kepada instansi terkait dan

menyebarluaskan informasi pelakasanaan kebijakan pekat

kepada instansi terkait serta melaksanakan pembinaan atau

pelatihan dirumah singgah maupun bina karya. (Wawancara :

Tanggal 17 September 2018, di Dinas Sosial Kota Serang)

Gambar 4.15 Tugas dan Tanggung Jawab Pelaksanaan kegiatan

kebijakan Pekat 2018 pada Dinas Sosial Kota Serang

Sumber : Dinas Sosial Kota Serang, 2018

Adapun apa yang diungkapkan oleh bapak Juanda Selaku Kabid

PPUD Satpol PP Kota Serang, yang mengatakan :

“kami sudah bertugas sesuai dengan peraturan dan perintah yang

sudah dibuat dalam lembar tugas bidang PPUD yang sudah dibuat

dan diterbitkan Kepala Satuan, sudah sangat jelas tugas kami harus

sesuai dengan Perda no 2 tahun 2010 dalam menyelesaikan masalah

gelandangan pengemis, yang terpenting koordinasi dengan pihak

terkait seperti Dinas Sosial Kota Serang jangan sampai

miskomunikasi, karena ini tanggung jawab kami bersama dalam

menegakan perda no 2 tahun 2010..”(Wawancara : Tanggal : 15

September 2018, Pukul : 13.15 Wib di Kantor Satpol PP Kota Serang)

Gambar 4.14 Tugas dan Tanggung Jawab Satpol PP Kota Serang bagian

bidang PPUD sebagai Pelaksanaan Kebijakan Pekat 2018

226

Sumber: Hasil Observasi Peneliti di Kantor Satpol PP Kota Serang,2018

Gambar diatas menunjukan masing-masing tugas dan tanggungjawab

pelaksanaan kebijakan pekat 2018 bagi implementor dalam pembagian

peran untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan ini. Dilihat dari

penjelasan diatas dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan kebijakan

pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan penyakit masyarakat di

kota Serang telah sesuai dalam peran dan tugas serta koordinasi antar

instansi pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat

yakini Dinas Sosial Kota Serang dan Satpol PP Kota Serang. Pembagian

peran dimaksudkan untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan ini,

walaupun masing-masing aparat pelaksana kebijakan mempunyai tugas dan

tanggungjawab yang berbeda-beda, tetap diperlukan koordinasi antara

aparat pelaksana kebijakan.

4.5 Ringkasan Hasil Pembahasan

Dari apa yang tertera diatas, semua berdasarkan corat-coret semata,

memang itu fakta yang peneliti dapat dari wawancara yang dilakukan

dengan pihak Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang tetapi tidak ada

aturan yang baku untuk mengatur semua hal yang peneliti bahas diatas.

Maka dari itu, pentingnya penelitian kali ini memang dirasakan oleh

peneliti. Secara sadar peneliti melihat banyaknya kekurangan di beberapa

titik dalam penerapan (application) Perda No 2 Tahun 2010. Hal yang

peneliti bahas diatas baru sebagian fakta yang terjadi di lapangan dengan

memunculkan beberapa instansi di Kota Serang seperti Dinas Sosial Kota

227

Serang dan Satpol PP Kota Serang. Oleh karenanya hasil pembahasan yang

peneliti dapat merupakan fakta sesuai hasil permasalahan yang digali,

adapun peneliti memaparkan ringkasan hasil pembahasan mengenai

Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat

khususnya gelandangan dan pengemis melalui Tabel Hasil Ringkasan

Pembahasan yang di buat berdasarkan hasil kesimpulan wawancara dan

fakta dilapangan dengan berdasarkan penggunaan Teori Edward C George

III (1980:98) sebagai berikut :

Tabel 4.4

Ringkasan Hasil Pembahasan

No Dimensi Sub Dimensi

Hasil Pembahasan

1 Komunikasi - Transmisi

- Kejelasan

- Penyampaian Informasi kebijakan sudah optimal

dan, akan tetapi tidak menyeluruh di tingkat

kecamatan, hanya beberapa tingkat kecamatan di

Kota Serang, sehingga kurang menyeluruh dan tidak

tepat sasaran.

- Informasi kebijakan sudah jelas, tetapi dinilai

kurang tepat sasaran terhadap PMKS dan

masyarakat kota Serang sehingga masih banyak

masyarakat yang belum mengetahui jelas isi dari

228

- Konsistensi

kebijakan perda tersebut

- konsistensi komunikasi kebijakan perda pekat ini

sudah dikatakan baik oleh para pelaksana kebijakan

seperti Dinsos Kota Serang dan Satpol PP Kota

Serang dengan berdasarkan tugas dan perintahnya

masing-masing namun dalam penerapan dan

pelaksanaanya dibutuhkan kesabaran dan

konsistensi agar hasilnya maksimal dan dapat

meminimalisir gelandangan dan pengemis di Kota

Serang

2 Sumber Daya - SDM

- Fasilitas /

Peralatam

- Anggaran

- staf bagi pelaksana kebijakanya kurang memadai

sehingga pelaksanaan tidak berjalan efektif

- Fasilitas seperti kendaraan razia sudah memadai

akan tetapi tidak mempunyai tempat rehabilitasi

sehingga menghambat pelaksanaan kebijakan

tersebut

- Anggaran untuk pelaksanaan kebijakan perda

Penyakit Masyarakat Kota Serang kurang

memadai sehingga tidak sanggup guna

membangun tempat rehabilitasi dan pelaksanaan

program.

3 Disposisi - Koginisi

- Arahan dan

Tanggapan

Pelaksana

- Intensitas

Respon

- Para pelaksana kebijakan sudah sepenuhnya

paham dengan kebijakan perda no 2 tahun 2010

tentang penyakit masyarakat

- Untuk arahan dan tanggapan para pelaksana

kebijakan seperti dinsos dan satpol pp kota

Serang sudah menerima dan positif terhadap

pelaksanaan kebijakan serta keberpihakan

kepada sasaran kebijakan

- Para pelaksana kebijakan sudah responsif hanya

saja tidak adanya pemenuhaan kebutuhan seperti

insentif pegawai sehingga mempengaruhi kinerja

pegawai

4 Struktur

Birokrasi

- SOP

- Fragmentasi

- Dinas Sosial sudah melaksanakan kegiatan

sesuai dengan standar prosedur yang berupa

teknis atau juknis pelaksanaan kebijakan pekat

dengan melalui persiapan, pelaksanaan

monitoring ataupun penjangakauan/penjaringan

dan evaluasi.

- pelaksanaan kebijakan pencegahan,

229

pemberantasan dan penanggulangan penyakit

masyarakat di kota Serang telah sesuai dalam

peran dan tugas serta koordinasi antar instansi

pelaksana kebijakan yang telah ditetapkan oleh

pemerintah pusat yakini Dinas Sosial Kota

Serang dan Satpol PP Kota Serang.

Sumber : Peneliti, 2018

230

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan

maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Bahwa Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat khususnya para gelandangan dan pengemis di Kota Serang ini

khususya di daerah Pisang Mas ini belum terlaksana dengan baik serta tidak

berjalan secara optimal, adapun buktinya sebagai berikut :

a. Komunikasi

1) Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat dalam

kasus gelandangan dan pengemis di daerah Pisang Mas Kota

Serang belum berjalan secara optimal karena fakta di lapangan

komuniksi yang dilakukan secara intern sudah cukup baik,

sedangkan komunikasi yang dilakukan secara ekstern masih

kurang intens hal ini dibuktikan bahwa sosialisasi Perda No 2

Tahun 2010 ini belum di Transmisikan secara menyeluruh serta

tepat sasaran kepada kelompok sasaran seperti Masyarakat serta

Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) di Kota Serang yang berada

di daerah Pisang Mas Kota Serang, hal ini dibuktikan berdasarkan

231

fakta yang dikatakan oleh Bapak Heli Priatna selaku Kasie

Rehabilitasi dan Tuna Sosial yang mengatakan bahwa Sosialisasi

Perda No 2 Tahun 2010 belum berjalan optimal karena sosialisasi

ini hanya tersebar di 4 Kecamatan saja dari 6 Kecamatan yang

berada di Kota Serang, selain itu sosialisasi tidak dilakukan secara

langsung kepada masyarakat dan gelandangan pengemis (Gepeng)

yang berada di daerah Pisang Mas Kota Serang Karena fakta

dilapangan masyarakat dan gelandangan pengemis (Gepeng) tidak

dilibatkan dalam acara rapat sosialisasi Perda No 2 Tahun 2010

yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Provinsi itu, jadi

masyarakat hanya mengetahui lewat koran dan internet tanpa

mengetahui secara jelas isi dan tujuan kebijakan perda pekat

tersebut, hal ini menjadikan dasar bahwa Implementasi kebijakan

Perda No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan

Penanggulangan belum berjalan optimal.

2) Adapun Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 juga belum

terlaksana dengan baik karena sebagian Gelandangan dan

Pengemis di daerah Pisang Mas Kota Serang belum mengetahui

secara jelas tentang Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010

sehingga fakta dilapangan berdasarkan kesaksian warga dan

penelusuran peneliti langsung ke lapangan bahwa masih adanya

aktivitas budaya menggelandang, mengamen oleh gelandangan

dan pengemis yang meminta-minta untuk turun ke jalan yang

232

berada di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang dengan berbagai

kriteria seperti cacat mental, anak kecil dibawah umur, dan lanjut

usia (lansia), selain itu pengemis di Lampu Merah Pisang Mas

Kota Serang menjadikan pekerjaan meminta-minta sebagai

pekerjaan tetap untuk menyambung hidup, yang waktu kerjanya

dari pagi sampai sore, dengan penghasilan sehari rata-rata 100

ribu, begitu pun gelandangan seperti pedagang asongan yang

berjualan serta Anak jalanan (Punk) yang berkeliaran dan

menyambung hidup dengan meminta atau mengamen di Lampu

Merah Pisang Mas Kota Serang, karena hal ini juga didukung

dengan Trafic Light yang berdurasi lama sehingga mengambil

kesempatan para pengemis dan gelandangan untuk memulai

aktifitas penyambung hidupnya kepada pengguna kendaraan yang

berhenti di Trafic Light Pisang Mas Kota Serang.

b. Sumberdaya

1) Belum berjalan optimalnya Implementasi Perda No 2 Tahun

2010 juga dibuktikan bahwa Bapak Heli Priatna selaku Kasie

Rehabilitasi dan Tuna Sosial Dinas Sosial Kota Serang

mengatakan sampai saat ini belum dilaksanakanya proses

Rehabilitasi dan Pelatihan keterampilan oleh Dinas Sosial Kota

Serang terhadap gelandangan dan pengemis yang ada di daerah

Pisang Mas Kota Serang melainkan hanya dilakukan pengarahan

dan pendataan saja oleh Dinas Sosial Kota Serang, angaran yang

233

tidak memadai menjadi penyebabnya bahwa tempat rehabilitasi

belum di bangun sampai sekarang, hal ini sebagai bentuk bukti

bahwa belum terlaksananya Implementasi Perda No 2 Tahun

2010 dalam pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan

penyakit masyarakat seperti gelandangan dan pengemis yang

berada di daerah Pisang Mas Kota Serang tersebut

c. Disposisi (Kemauan)

1) Bukti yang lain didapati oleh peneliti bahwa masih terdapat

masyarakat Kota Serang yang masih memberikan uang santunan

kepada Gelandangan dan Pengemis yang sedang beraktivitas di

Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang. Hal ini disebabkan dari

hasil pembuktian bahwa fakta di lapangan yang seperti apa yang

dikatakan oleh Bapak Juanda selaku Kabid PPUD Satpol PP Kota

Serang mengatakan belum dilaksanakanya penerapan sanksi

pidana kurungan penjara selama 3 bulan dan denda sebesar 50

juta kepada masyarakat yang masih memberikan uang santunan

kepada gelandagan dan pengemis yang berada didaerah Pisang

Mas Kota Serang.

2) Adapun bukti selanjutnya berdasarkan kesaksian para

Gelandangan dan Pengemis di Pisang Mas Kota Serang, bahwa

Satpol PP Kota Serang selaku pihak eksekutor jarang melakukan

tindakan razia jadi para pengemis dan gelandangan mengatakan

jarang terkena dan adapun yang belum sama sekali terkena razia

234

oleh Satpol PP, hal ini bukti kemauan pihak Satpol PP dalam

kegiatan merazia yang minim, lalu ketidaktepat sasaran serta tidak

menyeluruhnya kegiatan penjangkauan razia terhadap

gelandangan dan pengemis di Pisang Mas Kota Serang sehingga

peran dan ketertiban Satpol PP dalam menertibkan gelandangan

dan pengemis sangat minim dan terbatas sehingga sulit

menciptakan kondisi yang tertib dan tentram sebagaimana yang

Masyarakat Kota Serang dan Peneliti harapkan.

d. Struktur Birokrasi

1. Bukti terakhir yang peneliti dapat terkait belum terlaksananya

dengan baik Implementasi Perda No 2 Tahun 2010 yaitu dimana

Dinas Sosial Kota Serang sudah mempunyai struktur birokrasi dan

SOP yang jelas, hanya saja mereka terhambat dengan sistem

hierarki yang kaku. Wewenang implementor dalam implementasi

kebijakan pekat di kota Serang ini hanya sebatas apa yang

diperintahkan oleh pimpinan saja, sehingga dalam situasi-situasi

tertentu tidak dapat mengambil keputusan secara cepat, maka dari

itu kegiatan Dinas Sosial dalam mencegah, memberantas dan

menanggulangi penyakit masyarakat seperti gelandangan dan

pengemis di Pisang Mas Kota Serang ini tidak berjalan efektif dan

efesien sehingga belum terciptanya ketertiban, keamanan dan

keindahan Kota Serang yang bersih dari Gelandangan dan

Pengemis di Kota Serang ini.

235

Adapun dalam pelaksanaan kebijakan Perda Kota Serang Nomor 2

Tahun 2010 masih terdapat kendala. Hal ini disebabkan, yaitu :

1. Masih minimnya kesadaran dari Masyarakat Kota Serang tentang

adanya Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit

Masyarakat.

2. Tidak adanya ketegasan dari pelaksana kebijakan seperti Satpol

PP Kota Serang dalam menerapkan sanksi pidana berupa denda

dan kurungan penjara terhadap masyarakat Kota Serang dan para

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial seperti Gelandangan

dan Pengemis yang melanggar aturan dari Perda Kota Serang

Nomor 2 Tahun 2010.

3. Dengan minimnya Anggaran yang didapat oleh Pemerintah Dinas

Sosial Kota Serang pertahunya membuat pemerintah Kota Serang

kurang maksimal dalam menjalankan tugas ataupun kewajibanya

untuk melaksanakan pembinaan dan pelatihan, karena dengan

minimnya anggaran tersebut Pemerintah Kota Serang sampai saat

ini belum mempunyai tempat Rehabilitasi dalam memberikan

pelatihan serta pendidikan untuk para penyandang masalah sosial

yang terjaring seperti gelandangan dan pengemis di dalam

memberikan pelatihan kursus montir, menjahit serta lainya.

4. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dalam Pelaksanaan

Perda Kota Serang Nomor 2 Tahun 2010 oleh para pelaksana

236

kebijakan yakni Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang bahwa

tidak memiliki staf yang memadai sehingga para staf yang dimiliki

oleh Dinas Sosial dan Satpol PP Kota Serang belum menjalankan

pelaksanaan Perda Kota Serang tentang Penyakit Masyarakat itu

secara efektif dan baik.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai Implementasi

Peraturan Daerah Kota Serang No 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat terutama

berkaitan dengan para penyandang masalah sosial seperti gelandangan dan

pengemis yang berada di pusat kota Serang. Di dalam aturan terhadap Perda

ini, peneliti perlu memberikan rekomendasi beberapa saran sebagai bahan

masukan untuk para pelaksana kebijakan yang terkait yaitu Dinas Sosial dan

Satpol PP Kota Serang sebagai berikut :

e. Komunikasi

1) Penyampaian informasi kebijakan melalui jalur birokrasi harus

dilakukan secara menyeluruh pada tingkat kecamatan,

kelurahan, serta lingkungan Kota Serang, oleh karenanya perlu

adanya sosialisasi langsung ke masyarakat termasuk

Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang agar informasi

kebijakan dapat disampaikan kepada masyarakat terhadap

Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat itu,

237

karena pentingnya sosialisasi agar masyarakat dan Gelandangan

Pengemis (Gepeng) itu mengetahui tentang kejelasan dan isi

dari Perda tersebut.

2) Selain itu, pemerintah perlu melampirkan Pamflet tentang Perda

No 2 Tahun 2010 agar informasi kebijakan tidak terdistorsi oleh

panjangnya rantai birokrasi dan penyampaian informasi

kebijakan perda no 2 tahun 2010 dapat efektif menjangkau

seluruh lapisan masyarakat.

3) Sumberdaya

1) Sumberdaya Manusia/Staf bagi pelaksana kebijakan seperti

Dinas Sosial Kota Serang perlu ditingkatkan lagi jumlah

personil staf, serta kualitas mapun semangatnya.

2) Anggaran dana untuk program Kebijakan Perda No 2 Tahun

2010 perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan

operasional, pembangunan tempat rehabilitasi dan mencukupi

kebutuhan permodalan pelatihan/kursus keterampilan bagi para

gelandangan dan pengemis.

3) Perlu adanya penyediaan tempat Rehabilitasi dan Pembinaan

untuk Para Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang itu

supaya mereka mendapatkan pembinaan dan bekal latihan

keterampilan,dari pembinaan itu sendiri berupa pembinaan

sosial dan mental agar pola pikir dan perilakunya berubah

kearah yang lebih positif, selanjutnya bekal pelatihan

238

keterampilan yang disarankan bagi Dinas Sosial guna

penanganan Gelandangan dan Pengemis di Kota Serang,

sebaiknya berupa pelatihan kursus montir, wirausaha, menjahit,

komputer dan percetakan. Hal ini disarankan agar para

gelandangan dan pengemis itu tidak melakukan penyimpangan

untuk tidak turun kejalan lagi sehingga dapat ikut mensukseskan

Kebijakan Perda No 2 Tahun 2010 ini.

4) Disposisi (Kemauan)

1) Menciptakan dan meningkatkan kepedulian masyarakat oleh

pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial dan Satpol PP Kota

Serang untuk ikut serta membantu pemerintah dalam

melaksanakan mensukseskan kebijakan pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan gelandangan dan pengemis

di daerah Pisang Mas Kota Serang ini agar terciptanya

ketertiban, keamanan serta kenyamanan Kota Serang.

2) Perlunya perhatian yang lebih terhadap para personel Dinas

Sosial dan Satpol PP Kota Serang yang memiliki dedikasi tingi

dan kemauan terhadap pemerintah daerah dalam penerapan

kebijakan perdan no 2 tahun 2010 dan yang sudah melakukan

kinerjanya dengan baik, dengan cara pemberian insentif.

Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan karena birokrasi

pemerintahan yang panjang, tetapi hal ini dapat mendorong staf

239

untuk melaksanakan penerapan perda no 2 tahun 2010 dengan

baik.

5) Struktur Birokrasi

1) Perlu adanya peningkatan koordinasi antar instansi seperti Dinas

Sosial dan Satpol PP Kota Serang yang harmonis dan

berkelanjutan agar dapat melahirkan suatu keputusan yang baik

pula sehingga peneliti menyarankan agar koordinasi tetap harus

dijaga dan dijalankan dengan beberapa instansi terkait.

2) Mengoptimalkan penerapan kurungan penjara dan sanksi yang

tegas sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2

Tahun 2010 pasal 21 ayat 1 dan 2 kepada masyarakat Kota

Serang yang masih memberikan uang santunan kepada

Gelandangan dan Pengemis yang berada di Daerah Pisang Mas

Kota Serang.

ccxl

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Agustino, Leo, 2006. Dasar-dasar Kebijakan Publik.. Bandung: CV.

Alfabeta

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Pers

Abdul Wahab, Solichin. (2008). Implementasi Kebijakan Negara. Edisi

Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pengumpulan Data Pokok Kualitatif. Jakarta:

PT. Dunia Pustaka Jaya

Dunn, William N. 2000. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press

Dwiyanto, Agus. 2005, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.

Yogyakarta: UGM

Effendi, Tadjudin Noer. 1993. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan

Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana

Handayaningrat, Suwarno. 1990. Pengantar Studi Ilmu Administrasi

Negara. Jakarta: Gunung Agung

Irawan, Prasetya. 2006. Metodologi Penelitian Administrasi. Jakarta:

Universitas Terbuka

Jones, O Charles. 1994. Pengahantar Kebijakan Publik (Publik Policy).

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persadi

J Maleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya

ccxli

Kuswarno, Engkus. 2009. Kategori-kategori Pengemis. Jakarta: Rineka

Cipta

Meleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosa

Miles, Matthew B. Dan A. Michael Huberman, 2009. Analisis Data

Kualitatif. Jakarta: UI Press

Mazmaniah. 1983. Implementation and Public Policy. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persadi

Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang.

Jakarta: Gramedia

Poerwadarminta. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka

Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif

Rancangan Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta

2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alafabeta

2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.

Bandung: Bumi Aksara

Subarsono, AG. 2005. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka

belajar

Supriyatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta:

Rineka Cipta

Suryochondro, Sukanti. 2005. Pengahantar Sosiologi Kota yaitu Kota

Didunia Ketiga. Jakarta: Erlangga

ccxlii

Thoha, Miftah. 2003. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.

Jakarta: PT. Raja Grafindo

Widyati, Ari Purwantiasning. 2005. Urbanisasi Sebagai Salah Satu Proses

Pengkotaan. Jakarta: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas

Muhammadiyah

Widodo, Djoko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jawa Timur: Bayu Media

Publishing

Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT.

Buku Kita

DOKUMEN :

UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2 yaitu : “Tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”

UUD 1945 Pasal 34 ayat 1, 2, 3 Tentang kewajiban pemerintah dalam

memelihara fakir miskin

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pencegahan,

Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat di Kota

Serang

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 BAB VIII Pasal 21 Ayat 1 dan 2

Tentang Ketentuan Pidana

SUMBER LAIN :

(Sumber: Website\today\10Mar\Give Syahmin Maret 11\Other

files\Deifinisi dan Kriteria PMKS DINASSOSIAL.doc)

Hendra Ramadhan, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FISIP.

Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 2 Tahun

2010 Tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan

Penyakit Masyarakat(Studi Kasus Pengemis di Kota Serang)

Nitha Chitrasari, 2012. Skripsi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa FISIP.

Kinerja Dinas Sosial Kota Cilegon Dalam Penanganan Gelandangan

dan Pengemis di Kota Cilegon.

LAMPIRAN

“ Hasil Penjaringan Razia Gepeng di Kota Serang” “ Pendataan Gepeng oleh

Satpol PP Kota

Serang”

“ Wawancara bersama Ika (26) Pelayan “ Wawancara bersama Rosyid

(41)

Toko di Pisang Mas Kota Serang Masyarakat Pisang Mas Kota

Serang

“ Wawancara bersama Iwan (31) “Trafic Light Pisang Mas Kota

Serang”

sebagai masyarakat Kota Serang”

(“ Wawancara bersama Kepala

Dinas Provinsi Banten”)

(” Rapat bersama Wakil Komisi II DPRD Kota Serang”)

“ Wawancara bersama Kasie Rehabilitasi “ Wawancara Kabid PPUD

Satpol PP Kota Serang dan tunas sosial Dinas Sosial Kota Serang”

“Tempat Penampungan

Sementara (Rumah Singgah di

Bandesh Pakupatan

“Sosialisasi Perda No 2 Tahun 2010 oleh

Dinas Sosial Provinsi Banten”

“Gelandangan Di Pisang Mas Kota Serang”

“Endar (35 th) sebagai Pedagang Asongan

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

“Hendri(29 th), Ijal (19th), dan Aris(31) sebagai Gelandangan yang bernampilan

Anak Punk di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

“Arifin (41 th) sebagai Gelandangan yang memulung

barang-barang bekas di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

“ Pengemis di Pisang Mas Kota Serang”

“Wawancara bersama Sanita (45 th) sebagai Pengemis

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

“Wawancara bersama Said (37 th) sebagai Pengemis Cacat Mental

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

“Wawancara bersama Febi (8 th) sebagai Pengemis

di Lampu Merah Pisang Mas Kota Serang”

Matriks Wawancara Lapangan Setelah Di Reduksi

I

Q

Kesimpulan

Komunikasi :

a. Transmisi

Q1 : Bagaimana penyaluran sosialisasi

tentang kebijakan Perda No 2

Tahun 2010 sudah tepat sasaran

terhadap Dinas Sosial dan Satpol

PP Kota Serang serta Msayarakat

dan Gelandangan Pengemis

(GEPENG) ?

I1 : “kalau penyaluran sosialisasi

tentang Perda No 2 Tahun 2010 itu

sudah terlaksana dengan baik, seperti

yang dibilang tadi kami hanya

mengikutsertakan dari para pihak

pelaksana kebijakan saja seperti Dinas

Sosial Provinsi, Dinas Sosial Kota dan

Satpol PP Kota Serang, untuk

selanjutnya kami mengharapkan

kepahaman dan ketegasan dari para

pelaksana kebijakan sosialisasi dapat

disalurkan kepada objek sasaran seperti

masyarakat dan para Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial di Kota

Serang (PMKS).

I2 : Sosialisasi kebijakan Perda No 2

Tahun 2010, sudah kami sosialisasikan

Dalam hal ini komunikasi yang terjadi

pada kebijakan perda no 2 tahun 2010

sudah dilaksanakan oleh pembuat

kebijakan seperti DPRD Kota Serang

dan pelaksana kebijakan seperti Dinas

Sosial dan Satpol PP dalam

mensosialisasikan perda no 2 tahun

2010, akan tetapi sosialisasi ini belum

berjalan secara optimal dan menyeluruh

serta tepat sasaran kepada masyarakat

dan gelandagan pengemis (Gepeng)

sehingga Implementasi Perda No 2

Tahun 2010 ini belum berjalan secara

optimal dalam mencegah, memberantas

dan menangulangi sebab masyarakat

belum banyak yang tau jelas isi perda

tersebut, untuk selanjutnya kami

mengharapkan kepahaman dan

ketegasan dari para pelaksana kebijakan

sosialisasi dapat disalurkan kepada

objek sasaran seperti masyarakat dan

para Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial di Kota Serang

(PMKS).

kepada para pelaksana kebijakan,

sosialisasi ini bertujuan demi

terciptanya kepahaman dan kejelasan

isi dari kebijakan perda no tahun 2010

ini, sehingga para implementor

kebijakan dapat mentransmisikanya

kepada masyarakat serta target

kebijakan, hal ini memang butuh kerja

keras dan kesabaran dalam

pelaksanaanya, oleh karena itu

dibutuhkan ketegaasan dan keinginan

para implementor serta sumber daya

yang memadai agar terlaksananya

kebijakan ini dengan baik dan berjalan

secara berkelanjutan.

Q2 : Apakah sosialisasi Perda No 2

Tahun 2010 sudah tepat sasaran

terhadap objek kebijakan seperti

masyarakat dan gelandangan pengemis

(Gepeng) ?

I1 : Sebenarnya para gepeng itu udah

mengetahui kurang lebih 75% tentang

perda pekat itu tersebut. Hanya saja ?

kendalanya karena faktor keisengan,

yang dimana walaupun dia sudah

mengetahui yah tapi masih tetap aja

turun kejalan, selain itu faktor yang lain

yah tidak adanya ketegasam dan

kejangkauan razia oleh pelaksana

kebijakan seperti satpol pp, bahkan

kadang” sebulan hanya beberapa kali

saja, akan tetapi jika umpamanya

kesiapan petugas untuk memantau

kegiatan gepeng ,pasti para gepeng

tersebut akan berfikir. Karena itu

kemungkinan faktor SDM yang

bukanlah tenaga ASN yang menjadi

penyebabnya karena selama ini yang

menjangkau razia lebih dominan tenaga

honorer yang bergantung pada bayaran

sehingga tidak rutin dalam

kegiatannya.”

I2 : ibu berasal dari keragilan, dek ibu

sebenernya udah tau tentang adanya

peraturan pemerintah tentang larangan

gelandangan dan pengemis karena udah

15 tahun ibu seperti ini, tapi yah ibu

tetap menghiraukan, yah karena selama

ini kepedulian pemerintah Kota Serang

nya kurang, kepeduliannya terhitung

paling setahun 3 kali, itu juga hanya

bantuan sembako, pembiayaan sekolah

untuk anak, dan sandang pangan, jadi

ya terpaksa karena miskin ibu

mengemis begini untuk kebutuhan

sehari-hari, kalo ga ngemis ibu engga

dapet uang, apalagi makan.

Q3 : Bagaimana pendapat anda

(masyarakat) tentang sosialisasi perda

no 2 tahun 2010 ini?

I1: sosialisasi dari pemerintah kota nya

kurang sih, jadinya masih banyak

berkeliaran itu gelandangan pengemis,

pemerintah nya juga kurang peduli

terhadap rakyat kecil dan jelata seperti

itu, yah akhirnya banyak yang miskin,

pengangguran dan sampe-sampe

mengemis dijalanan yang dapat

menagganggu ketertiban warga

I2 : saya sendiri yang biasa buka

warung di samping lampu merah

palima, biasanya kalo siang hari banyak

tuh pengemis minta-minta dilampu

merah, kadang anak sampai anak kecil

juga ada, terus kalo gelandangan sih

biasanya malam hari itu keluar yah

kadang tidur di trotoar kalo engga di

taman jalan, yah menurut saya

sosialisasi dari pemerintah kota nya

kurang sih, jadinya masih banyak

berkeliaran itu gelandangan pengemis,

pemerintah nya juga kurang peduli

terhadap rakyat kecil dan jelata seperti

itu, yah akhirnya banyak yang miskin,

pengangguran dan sampe-sampe

mengemis dijalanan yang dapat

menagganggu ketertiban warga

b. Kejelasan

Q4 : Apakah para pelaksana kebijakan

sudah mengetahui kejelasan dari

kebijakan Perda no 2 tahun 2010 yang

sudah ditransmisikan ?

I1 : sebenarnya kalau hal kejelasan

penyampaian kebijakan tentang

penyakit masyarakat (pekat) ini udah

jelas, hanya saja yah sosialisasi yang

efektif itu harus dilakukan langsung

terhadap target atau objek sasaran,

sehingga masih banyak PMKS dan

masyarakat yang belum tau jelas dari

kebijakan pekat itu.”

I2 : sekiranya perlu diketahui ya Tugas

Satpol pp hanya memberi peringatan,

menindak dan menangkap Gepeng

tersebut saat operasi razia, selebihnya

yakni tugas pembinaan dan rehabilitasi

itu merupakan tugas instansi terkait,

seperti Dinas Sosial Kota Serang, oleh

karenanya kami sudah ada kejelasan

dalam hal apa yang harus kami

persiapkan dalam mensukseskan

kebijakan pekat ini

I3 : kami sudah mengetahui kejelasan

perdanya, jadi dinas sosial Kota Serang

punya tugas pokok yang sudah jelas,

bahwa tugas kami ialah melakukan

pelayanan berupa pembinaan serta

rehabilitasi kepada Gelandangan

pengemis (Gepeng), tetapi sebelum itu

kami meminta pendataan terlebih

dahulu lewat kartu identitas yang

dimiliki karena satpol PP sudah

mendata yang diduga, lalu kami

menyaringnya dan kita tampung di

rumah singgah di Bandesh Pakupatan

lalu selanjutnya kita serahkan ke Jati

Luhur Bekasi untuk di rehabilitasi

karna memang kita tidak punya tempat

rehabilitasi di Kota Serangnya.

Q5 : Bagaimana pendapat Ibu tentang

kejelasan perda no 2 tahun 2010

tentang penyakit masyarakat ini ?

I4 : setau saya soal perda tentang pekat

itu ? ya saya sendiri sih baru tau nya

dari koran dan spanduk yang pernah

dipasang tuh di pinggiran jalan protokol

di depan kantor KP3B kota Serang, tapi

saya belum tau jelasnya itu seperti apa

isi dan sanksi-sanksinya, jadi harus ada

kejelasan dari pemerintahnya juga

dengan cara sosialisasi lagsung kepada

masyarakat agar masyarakat juga tau

apa maksud dan tujuan peraturan itu,

yah jadi saya akan tau apa yang harus

dipersiapkan dan dilaksanakan biar ikut

mensukseskan kebijakan tersebut secara

baik dan benar gitu loh”

c. Konsistensi

Q6 : Bagaimana konsistensi para

pelaksana kebijakan dalam

mengimplementasikan kebijakan Perda

No 2 Tahun 2010 dan apa bentuk

konsistensinya :

I1 : bahwa subtansi kebijakan perda

tentang pekat ini sebenarnya sudah

bagus namun dibutuhkan kesabaran dan

konsistensi dalam penerapannya agar

hasilnya maksimal dan dapat

meminimalisir gelandangan dan

pengemis, yah perda ini intinya? adalah

untuk mengatasi masalah gelandangan

dan pengemis yang ada di Kota Serang,

banyaknya keluhan dari masyarakat

serta mengganggu ketertiban, maka

dibentuklah perda ini, tujuanya adalah

untuk menciptakan ketertiban sosial.

I2 : jadi begini dalam konsistensi

pelaksanaan Perda khususnya Dinas

Sosial, yah kita sudah dibuat tim satgas,

perintahnya dari Walikota melalui

SKnya langsung dan dperintahkan

untuk menerima hasil dari penjaringan

PMKS oleh Satpol PP, untuk

selanjutnya di data serta dibina dan

diarahkan agar tidak lagi turun kejalan

untuk menggelandang dan mengemis.

I3 : soal konsistensi ? jadi perlu

diketahui ya, dalam pelaksanaan Perda

khususnya Satpol PP Kota Serang, kita

tentunya sudah di buat tim penjaring

razia, yang Sknya langsung turun dari

Walikota Serang itu sendiri, dan

tentunya kita diperintah untuk wajib

melaksankan pengeksekusian masalah

penyakit masyarakat (pekat) ini, lalu

kita serahkan hasil dari proses eksekusi

kita tersebut, untuk diserahkan kepada

Dinsos Kota Serang sebagai arahan dan

pembinaanya, karena kita juga

berkerjasama dengan Dinsos Kota

Serang

Sumber Daya

a. Sumber Daya Manusia (Staf)

Q7 : Apakah SDM (Staf) yang dimiliki

para pelaksana kebijakan sudah

memadai seperti Dinas Sosial Kota

Serang ini ?

I1 : kalau masalah staf ya ? untuk di

Dinas Sosial ,saya sendiri belum

mempunyai staf untuk membantu

menangani gepeng tersebut, apalagi

Satgas disini cukup kurang untuk

menjangkau si gepeng tersebut, oleh

karna nya bapak sih sangat berharap

untuk penambahan staf sebanyak 5

orang honorer dan satgas sebanyak 30

orang waktu penjangkauan dibagi 3

shift, dimana pembagian waktunya

mulai dari shift 1 pukul 07.0 pagi s/d

12.00 siang, shift 2 pukul 12.00 siang

s/d 16.00 sore, dan shif 3 pukul 16.00

sore s/d 23.00 malam, kalau seperti itu

kegiatan tersebut kan bisa terpantau di

setiap lampu merah di Kota Serang ,

yah tapinya kan hambatan nya yah

masalah anggaran untuk membayar

pegawai satgas nya kurang memadai,

bpak sih Cuma ingin dimana jumlah

dan pembagian waktu tersebut sangat

Dapat ditarik kesimpulan bahwa

pelaksana kebijakan seperti Dinas

Sosial memiliki Sumber Daya yang

kurang memadai. Seperti yang telah

disebutkan seperti hal tidak memiliki

Anggaran yang dimiliki guna

menunjang keberhasilan

implementasi kebijakan ini

diantaranya tahun ini hanya terealisasi

50 juta yang dapat diakatakan kurang

memadai, selanjutnya dalam bentuk

anggota dan staf pelaksana kebijakan

yang jumlahnya kurang memadai

sehingga tidak dapat menunjang

keberhasilan suatu implementasi,

akan tetapi adapun sumber daya yang

memadai untuk sampai saat ini adalah

fasilitas yang berupa alat trasportasi

yang disediakan dalam pelaksanaan

patroli rutin terhadap gelandangan

dan pengemis di jalan-jalan kota

Serang dengan berkerja sama dengan

Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol

PP) dan tempat penampungan

sementara untuk memudahkan

melakukan pembinaan dan pelatihan.

Namun dibalik itu para pelaksana

kebijakan memiliki pegawai yang

cukup dalam melaksanakan tugasnya

serta memiliki kewenangan yang jelas

diharapkan agar proses penjangkauan

berjalan dengan baik dengan

memberikan hasil yang maksimal demi

netralisasi dari kegiatan PMKS.

Q8 : Bagaimana pak kalau masalah staf

di Satpol PP sini dalam penanganan

Gepeng nya ?

I1 : kalo saya sendiri sih merasa udah

cukup dengan jumlah staf dan personil

anggota yang sudah ada seperti anggota

untuk melaksanakan razia berjumlah 25

orang, staf administrasi 2 orang dan

skretaris saya 2 orang ,mereka rata-rata

masih honorer, tapi di sisi lain proses

dan kegiatan penertiban nya saja yang

terbilang kurang, yah mau gimana lagi?

Pegawai honorer kami kasian tidak ada

gaji apa lagi tunjangan, yah mereka

paling dapat anggaran cuma” sebatas

insentif bulanan , sehingga kerjanya

pun ala kadarnya dan terbilang jarang

kalo urusan kegiatan razia gelandangan

dan pengemis itu, yah kalo di itung”

sebulan sebanyak 3 kali saja

dalam pelaksanaan tugas dan

tanggung jawab dalam menegakan

Perda No 2 Tahun 2010

b. Sumber Daya Anggaran (Budgeting)

Q9 : Bagaimana persoalan masalah

anggaran yang didapat dalam

penanganan masalah gelandangan dan

pengemis ini ?

I1 : ini kan masalah kita bersama,

tentunya penangananya pun harus

bersama-sama serta kita dukung

bersama-sama. Kita memang saat ini

dalam penanganan PMKS terhambat

dengan masalah anggaran yang kurang

memadai, termasuk dalam hal

penanganan gelandangan dan pengemis

serta pembangunan tempat Rehabilitasi

di Kota Serang, Namun Dinsos dan

Satpol PP selaku satuan kerja yang

menangani masalah ini, yah harus pro-

aktif. Apalagi belakangan masalah

PMKS seperti gepeng, anak terlantar,

penyandang cacat, termasuk anak-anak

punk marak lagi dibeberapa simpang

lampu merah di Kota , oleh karenanya

meski tidak adanya anggaran yang

memadai jangan sampai menyurutkan

kinerja Dinsos dan Satpol PP Kota

Serang dalam penanganan gelandangan

dan pengemis di Kota Serang ini.

I2: Anggaran yang direalisasikan

PMKS untuk tahun 2017 dan 2018

terbilang jauh sekali untuk memadai

dalam pelaksanaan program seperti

pembinaan dan pelatihan termasuk juga

tempat rehabilitasi. Akan tetapi rencana

untuk tahun berikutnya pada tahun

2019 kedepan anggaran yang

dikucurkan oleh Kementrian Sosial

akan melonjak tinggi yang dapat

melebihi anggaran tahun sebelumnya

(melebihi 100%), yang dimana jumlah

anggaran tahun sebelumnya yakni

tahun 2017 dan tahun 2018 masing-

masing hanya 70 juta akan tetapi untuk

saat tahun depan akan melonjak tinggi

hingga sampai 500 juta yang akan

diangkat tahun 2019 mendatang,

mengapa demikian karena dianggapnya

mungkin artinya masalah PMKS itu

termasuk diwajibkan dalam program

pemerintahan khususnya di Dinas

Sosial Kota Serang. hanya saja selain

permasalahan Anggaran, seharusnya

pemerintah daerah pun segera

menertibkan masalah Kantor Dinas dan

tempat rehabilitasinya. Walaupun

mendapatkan anggaran yang besar,

akan tetapi tetap saja tidak memiliki

tempat rehabilitasi yang mampu

menampung dan memberikan binaan

serta pelatihan, terkecuali anggaran itu

bisa digunakan untuk pendidikan dan

pelatihan dirumah singgah, pembelian

modal alat pelatihan dan pendidikan

PMKS, sandang pangan bagi para

PMKS serta petugas yang menjangkau

Gepeng tsb, yang dimana Satgas

(Satuan Petugas) itu berjumlah 10

orang dan 10 petugas itupun honornya

itu hanya sebanyak 10 kali penjaringan,

dan jika dihitung” sebulan hanya sekali

penjaringan, maka dari itu banyak

gelandangan pengemis yang masih

turun kejalan dan berkeliaran untuk

melakukan kegiatanya

c. Sumber Daya Kewenangan

Q10 : Bagaimana Sumber Daya

Kewenangan yang dimiliki oleh Dinas

Sosial Kota Serang ?

I1 : kewenangan bapak sendiri sih ?

yaitu melakukan penertiban hasil dari

penjaringan atau hasil razia

gelandangan dan pengemis oleh Satpol

PP yaitu untuk di data, seteelah didata

dihubungi pihak keluarganya dan

diantarkan kekeluarganya, setelah itu

dipanggilkan lagi untuk dibina secara

keseluruhan satmbil di tawarkan

program-program Dinas Sosial seperti

hal nya diberikan pendidikan dan

pelatihan, baik itu melalui Dinas Sosial

Provinsi, Balai Pemulihan Sosial di

Pasir Ona, Setelah itu juga dikirim ke

Bekasi yaitu yang mempunyai

kementrian sosial, panti sosial bina

karya”

Q11 : Apa Sumber Daya Kewenangan

yang dimiliki oleh Satpol PP Kota

Serang dalam menangani gepeng ?

I1 : Dalam penindakan kegiatan razia

dan pembinaan para PMKS kami selaku

pelaksana Binluhwassosmay

berkewenangan terhadap tahapan

proses pembinaan yang sudah dibuat

sebelumnya, tahapan tindakan tersebut

sudah sesuai berdasarkan peraturan

yang dibuat oleh Bidang Penegakan

Hukum Satpol PP Kota Serang, ini

merupakan pedoman kami dalam

melakukan pembinaan dan penindakan

terhadap PMKS termasuk Gelandangan

dan Pengemis di Kota Serang.

d. Sumber Daya Peralatan

Q12 : Sumber daya peralatan apa yang

dimiliki Dinas Sosial dalam

mensukseskan kebijakan pekat ini ?

I1 : untuk peralatan dan kelengakapan

kami dalam menangani gelandangan

pengemis kurang memadai, kita hanya

punya fasilitas kendaraan roda 2 dan

roda 4 dan Rumah Singgah itu juga

buat bawa para gepeng ,yah rumah

singgah yang kami gunakan untuk

menampung sementara para

gelandangan dan pengemis(gepeng)

bersifat tidak tetap masih suka

berpindah tempat, paling sesuai

kenyamanan dan daya tampung,

fasilitas yang lain yah paling berupa

peralatan komunikasi (HT), serta

tempat kantor yang yang masih

ngontrak, sedangkan fasilitas yang

belum memadai itu seperti tempat

rehabilitasi karna itu sangat diperlukan

sekali dalam mengatasi gepeng, kalo

untuk kelengkapan kami itu sendiri

dalam melaksanakan pendataan dan

pembinaan gelandangan pengemis, yah

seperti surat tugas, kartu tanda anggota

resmi, memakai dinas lapangan,

perlengakapan pendukung (HT, Laptop,

Buku Daftar, dan Kamera).

Q13 : Untuk sumber daya peralatan

yang dimiliki Satpol PP itu dalam

penanganan gepeng itu apa saja yang

sudah dipersiapkan ?

I1 : Dalam penindakan kegiatan razia

dan pembinaan para PMKS kami selaku

pelaksana Binluhwassosmay

berkewenangan terhadap tahapan

proses pembinaan yang sudah dibuat

sebelumnya, tahapan tindakan tersebut

sudah sesuai berdasarkan peraturan

yang dibuat oleh Bidang Penegakan

Hukum Satpol PP Kota Serang, ini

merupakan pedoman kami dalam

melakukan pembinaan dan penindakan

terhadap PMKS termasuk Gelandangan

dan Pengemis di Kota Serang.

Disposisi (Sikap)

Q14 : Bagaimana Sikap yang dimiliki

para pelaksana kebijakan untuk sampai

saat ini dalam mensukseskan kebijakan

perda no 2 tahun 2010 ?

I1 : dalam melaksanakan kebijakan

penyakit masyarakat kami senantiasa

optimis dan beerkelanjutan, tapi kami

kadang malas juga sih menangani

gepeng itu yah susah diatur dan ga ada

bahwa sikap (Disposisi)

pelaksanaan dalam implementasi

kebijakan perda tentang penyakit

masyarakat (pekat) khsususnya

gelandangan dan pengemis di

Kota Serang ditanggapi cukup

baik. Dalam hal ini pelaksana

kebijakan pekat tersebut

menjalankan tugas dan

tanggungjawab seperti yang

diharapkan sesuai dengan

instruksi dari pusat. Karena

jera nya, pasti balik lagi tuh ke jalan

untuk minta-minta, jadinya saya

berserta pegawai ataupun petugas

dilapangan yang lain kadang merasa

jengkel dan malas untuk turun kejalan

lagi, apalagi ditambah ga ada insentif

untuk petugas lapanganya jadinya

penanganan gepeng nya pun terhambat,

terus petugas kami pun jarang turun

kejalan lagi, yah alhasil banyak

dibiarkan tuh gepeng

I2 : saya dan anggota saya sesuai

perintah dan istruksi yang di keluar kan

oleh pemerintah pusat lewat surat

edaran walikota, untuk menindaklanjuti

dan bertanggungjawab dalam

pelaksanaan kebijakan pekat ini, dan

kami pun optimis dalam pelaksanaanya

agar dapat mencegah, membrantas dan

menanggulangi penyakit masyarakat

seperti gelandanagan dan pengemis.

ketika pelaksana memiliki sifat

atau perspektif yang berbeda

dengan pembuat kebijakan, maka

proses implementasi kebijakan

juga menjadi tidak efektif ,akan

tetapi adapun faktor yang

mempengaruhi kurang efektifnya

kinerja pelaksana kebijakan

yakni dipengaruhi oleh

ketidaktersedianya insentif

sehingga menghambat proses

kerja secara rutin dan efektif.

Struktur Birokrasi

a. a. Standar Operasional Prosedur

b. Q15 : Apakah Dinas Sosial sudah

berkerja sesuai SOP yang dibentuk

dalam pencegahan, pemberantasan dan

penanggulangan Gelandangan dan

pengemis ?

c. I1 : pada pelaksanaan kebijakan perda

tentang penyakit masyarakat (pekat) di

Kota Serang khsususnya dalam

penjaringan pekat, instansi bapak

sendiri sudah melaksanakan kegiatan

sesuai dengan standar prosedur yang

berupa teknis atau juknis pelaksanaan

kebijakan pekat, kegiatan pelaksanaan

kebijakan pekat secara garis besar

dengan melalui persiapan, pelaksanaan

monitoring ataupun

penjangakauan/penjaringan dan

evaluasi

d. I2 : pedoman kami saat bertugas

dilapangan hanya SOP, bagi kami SOP

yang sudah dibuat itu jelas dan dapat

Dapat disimpulkan fakta yang didapat

bahwa para pelaksana kebijakan

seperti Dinas Sosial dan Satpol PP

Kota Serang sudah memiliki Struktur

Birokrasi yang terstruktur dan jelas

dimana bahwa dalam pelaksanaan

kebijakan pencegahan,

pemberantasan dan penanggulangan

penyakit masyarakat di kota Serang

telah sesuai dalam peran dan tugas

serta koordinasi antar instansi

pelaksana kebijakan yang telah

ditetapkan oleh pemerintah pusat

yakini Dinas Sosial Kota Serang dan

Satpol PP Kota Serang. Pembagian

peran dimaksudkan untuk

mempermudah pelaksanaan

kebijakan ini, walaupun masing-

masing aparat pelaksana kebijakan

mempunyai tugas dan tanggungjawab

yang berbeda-beda, tetap diperlukan

koordinasi antara aparat pelaksana

kebijakan.

e. dimengerti ,hanya saja sebelum kita

bertugas, kita engga sembarangan

mengambil keputusan secara sepihak,

oleh karenanya harus dikeluarkan dulu

surat perintah penjaringan dari Kabid

f. Q16 : Apakah untuk Satpol PP itu

sendiri sudah melaksanakan tugas dan

tanggung jawab dalam menangani

gelandangan dan pengemis sudah

sesuai SOP yang dibentuk ?

g. I1 : dalam operasi penjaringan

gelandangan pengemis(gepeng) kami

sudah mengikuti SOP yang telah

diterbitkan dan disahkan oleh Kepala

Satuan berdasarkan petunjuk pelaksana

dan petunjuk teknis yang berlandasrkan

dari Perwal no 41 tahun 2017, sehingga

pemecahan persoalan masalah

gelandangan dan pengemis dapat

segera diselesaikan.

h. b. Fragmentasi

Q17 : bagaimana bentuk fragmentasi

oleh masing-masing para pelaksana

kebijakan seperti Dinas Sosial dan

Satpol PP Kota Serang?

I1: koordinasi antar pelaksana

Kebijakan Pekat di Kota Serang yaitu

melalui kerjasama antara Dinas Sosial

dan Satpol PP kota Serang. Melalui

kerjasama atau koordinasi yang baik

dalam pelakasanaan masing-masing

tugas, Dinas Sosial sebagai perpanjang

tangan dari pemerintah pusat yang

bertanggung jawab untuk

mempersiapkan para Staf dan Anggota

Tim lainya dalam memahami dan

melaksanakan kebijakan tentang pekat

kepada instansi terkait dan

menyebarluaskan informasi

pelakasanaan kebijakan pekat kepada

instansi terkait serta melaksanakan

pembinaan atau pelatihan dirumah

singgah maupun bina karya

I2 : kami sudah bertugas sesuai dengan

peraturan dan perintah yang sudah

dibuat dalam lembar tugas bidang

PPUD yang sudah dibuat dan

diterbitkan Kepala Satuan, sudah sangat

jelas tugas kami harus sesuai dengan

Perda no 2 tahun 2010 dalam

menyelesaikan masalah gelandangan

pengemis, yang terpenting koordinasi

dengan pihak terkait seperti Dinas

Sosial Kota Serang jangan sampai

miskomunikasi, karena ini tanggung

jawab kami bersama dalam menegakan

perda no 2 tahun 2010.

Sumber : Peneliti, 2018

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Hamdan Nurkholis

Tempat, Tanggal Lahir : Serang, 20 November 1994

Jenis Kelamin : Laki Laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Jl. Ahmad Yani No 16, Kel. Cimuncang, Rt/Rw

01/09 Link. Asem Gede , Kecamatan Serang, Kota

Serang

Telepone : 081911211576

Latar Belakang Pendidikan

Formal

1999 – 2001 TK PGRI Kota Serang

2001 – 2007 SD Negeri Bhayangkari Kota Serang

2007 – 2010 SMP Negeri 15 Kota Serang

2010 – 2013 SMA Negeri 2 Kota Serang

Pengalaman Kerja

2013 Staf di Kantor KORPRI Kota Serang

2016 Staf di UPT Pendidikan Taktakan Kota Serang