implementasi criminal policy terhadap pertanggung jawaban

17
PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print) JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 193 IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN KEJAHATAN KORPORASI Arie Kartika Fakultas Hukum Universitas Medan Area Abstrak Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini hukum yang diberlakukan harus jelas untuk pemberian pemidanaan. Implementasi criminal policy sangat berperan didalam bervariasinya modus operandi dan luasnya kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi. Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana penal dan sarana non penal. Tiga teori yang tepat dalam sistem pertanggungjawaban korporasi adalah identifikasi teori, teori pertanggungjawaban pengganti dan teori pertanggungjawaban mutlak. Abstract Not only persoon, corporate can also condemnation because corporation is as the subject of law and corporate also get benefit of what has been done managers.in this case law imposed must be fought to give the punishment. The implementation of criminal policy so important role and the breadth of corporate crime. Prevention may be was conducted with two facilities, using penal and non penal. Three theory exact in corporate responsibility system are identification theory, vicarious liability theory ang strict liability. Keywords : criminal policy, vicarious liability, corporate responsibility. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu perubahan yang sangat berpengaruh didalam kehidupan masyarakat adalah perkembangan di bidang ekonomi, namun bukan berarti bidang tersebut dapat berjalan sendiri tanpa bantuan dari bidang-bidang lainnya, seperti hukum, politik, sosial dan lainnya (bagaikan suatu sistem yang tidak bisa dijalankan secara parsial). Titik berat pembangunan setelah krisis ekonomi melanda Indonesia adalah pembangunan di bidang ekonomi. Kejahatan pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan manusia. Alasan ekonomi cenderung menjadi prioritas setiap orang dalam melakukan kejahatan, dan tidak saja secara pribadi tetapi juga marak melakukan suatu tindak pidana dibalik dan dengan mengatasnamakan korporasi (badan hukum/ perusahaan). Jenis-jenisnya pun beraneka ragam, modus operandi yang dilakukan juga semakin bervariasi. Korporasi banyak memberikan kontribusi yang besar dalam

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 193

IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG

JAWABAN KEJAHATAN KORPORASI

Arie Kartika

Fakultas Hukum

Universitas Medan Area

Abstrak

Tidak hanya persoon, korporasi juga dapat dipidana karena korporasi sudah

sebagai subjek hukum dan korporasi juga mendapat keuntungan dari apa yang telah

dilakukan pengurusnya. Dalam hal ini hukum yang diberlakukan harus jelas untuk

pemberian pemidanaan. Implementasi criminal policy sangat berperan didalam

bervariasinya modus operandi dan luasnya kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi

adalah suatu perbuatan yang dilakukan korporasi. Penanggulangan kejahatan dapat

dilakukan melalui dua sarana, yakni sarana penal dan sarana non penal. Tiga teori yang

tepat dalam sistem pertanggungjawaban korporasi adalah identifikasi teori, teori

pertanggungjawaban pengganti dan teori pertanggungjawaban mutlak.

Abstract Not only persoon, corporate can also condemnation because corporation is as the subject of law

and corporate also get benefit of what has been done managers.in this case law imposed must be fought to

give the punishment. The implementation of criminal policy so important role and the breadth of corporate

crime. Prevention may be was conducted with two facilities, using penal and non penal. Three theory exact

in corporate responsibility system are identification theory, vicarious liability theory ang strict liability.

Keywords : criminal policy, vicarious liability, corporate responsibility.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu perubahan yang sangat

berpengaruh didalam kehidupan

masyarakat adalah perkembangan di

bidang ekonomi, namun bukan berarti

bidang tersebut dapat berjalan sendiri

tanpa bantuan dari bidang-bidang

lainnya, seperti hukum, politik, sosial

dan lainnya (bagaikan suatu sistem yang

tidak bisa dijalankan secara parsial).

Titik berat pembangunan setelah krisis

ekonomi melanda Indonesia adalah

pembangunan di bidang ekonomi.

Kejahatan pun selalu berkembang seiring

dengan perkembangan manusia. Alasan

ekonomi cenderung menjadi prioritas

setiap orang dalam melakukan kejahatan,

dan tidak saja secara pribadi tetapi juga

marak melakukan suatu tindak pidana

dibalik dan dengan mengatasnamakan

korporasi (badan hukum/ perusahaan).

Jenis-jenisnya pun beraneka ragam,

modus operandi yang dilakukan juga

semakin bervariasi.

Korporasi banyak memberikan

kontribusi yang besar dalam

Page 2: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 194

perkembangan suatu Negara kearah yang

positif, misalnya pemasukan Negara

dalam bentuk pajak maupun devisa, dan

membuka lowongan pekerjaan untuk

masyarakat. Namun di sisi lain, korporasi

juga tidak jarang menimbulkan dampak

negatif, seperti pencemaran lingkungan

hidup, pengurasan sumberdaya alam,

manipulasi pajak, persaingan secara

curang, eksploitasi terhadap para pekerja,

penipuan terhadap konsumen dan juga

seperti menghasilkan produk-produk

yang membahayakan konsumen. Karena

cakupan yang luas dan cenderung

bertahan lama dampak negatif akan

mendominasi dibanding-kan dampak

positifnya, maka hukum sebagai pengatur

dan pengayom masyarakat luas sudah

seharusnya memberikan perhatian dan

pengaturan yang tegas terhadap segala

aktifitas korporasi.

Sebagai salah satu dimensi

kehidupan bangsa Indonesia, Hukum

Indonesia adalah suatu kebutuhan

mendasar yang didambakan

kehadirannya sebagai alat pengukur

kehidupan, baik dalam kehidupan

individual, kehidupan sosial maupun

kehidupan bernegara. Keberadaan hukum

menjadi sangat mendesak pada saat ini,

di tengah-tengah situasi transisional

menuju Indonesia sebagai Negara Maju.

Hukum Pidana adalah salah satu hukum

positif di Indonesia. Dari isi atau materi

yang diatur, hukum kepidanaan terdiri

atas hukum pidana umum dan pidana

khusus. Pengaturan Hukum Pidana dapat

diberlakukan untuk Kejahatan

Korporasi.

Salah satu jenis pidana khusus

adalah Hukum Pidana Ekonomi, yakni

hukum pidana yang berlaku pada bidang

perekonomian Indonesia, yaitu semua

kegiatan yang menyebabkan kerugian

atau kelemahan perekonomian Negara.95

Dalam perkembangan hukum pidana di

Indonesia, pengaturan korporasi sebagai

subjek hukum pidana dilangsungkan

melalui tiga sistem, pertanggungjawaban

korporasi, yaitu (1) pengurus korporasi

sebagai pembuat, maka penguruslah yang

bertanggungjawab, (2) korporasi sebagai

pembuat, maka pengurus yang

bertanggungjawab, dan (3) korporasi

sebagai pembuat dan yang

bertanggungjawab.96

Sehubungan dengan masalah ini,

maka tujuan pemidanaan menurut Muladi

dalam Hukum Pidana Ekonomi adalah

untuk memperbaiki kerusakan, baik yang

bersifat individual maupun yang bersifat

sosial yang diakibatkan oleh tindak

pidana.97 Dalam kerangka ini maka

tujuan pemidanaan harus berorientasi

pada pandangan integratif, yang terdiri

dari beberapa tujuan pemidanaan yang

harus dipenuhi. Melihat kerugian yang

ditimbulkan dari pelanggaran ataupun

kejahatan terhadap perkembangan

ekonomi, maka tujuan pemidanaan serta

pemilihan sanksi pidana harus

mendapatkan evaluasi, dan penggunaan

hukum pidana sebagai pencegah

95 Ilhami Bisri, Sistem Hukum

Indonesia, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

2011), hal. 41. 96 Setiyono, Kejahatan Korporasi,

(Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hal. 2. 97 Muladi, Proyeksi Hukum Pidana

Materil Indonesia di masa datang, Pidato

Pengukuhan Sebagai Guru Besar UNDIP, 1990.

Page 3: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 195

(preventif), mengendalikan sekaligus

menanggulangi kejahatan di bidang

ekonomi tetap harus dipertahankan.

Penanggulangan kejahatan dapat

dilakukan melalui dua sarana, yakni

sarana penal dan sarana non penal.

Melalui dua sarana tersebut tidak sedikit

yang berpendapat bahwa penanggulan

secara non penal lebih efisien dalam

penyelesaiannya. Contoh kasus misalnya

pencemaran lingkungan hidup, bahwa

akibat dari pencemaran lingkungan

mungkin lebih cepat teratasi dengan

tindakan yang bersifat administratif.

Namun dengan menggunakan sarana non

penal juga memiliki kelemahan. Pertama,

yakni hubungan struktural bawahan

atasan dalam korporasi mudah sekali

menimbulkan tanggung jawab moral

yang tidak adil. Kedua, efek publisitas

cenderung melebar dan tidak terkendali,

contoh kasus Bank Century, yang mana

jajaran staf yang sebenarnya tidak

mengetahui apa-apa tentang ulah direksi.

Upaya kriminalisasi terhadap

perbuatan-perbuatan korporasi dapat

dilihat dengan adanya usaha untuk

memasukkan korporasi sebagai subjek

tindak pidana dalam rancangan KUHP.

Hal tersebut sampai saat ini masih

merupakan Ius Constituendum. Hal yang

tampak dalam tindakan-tindakan badan

legislatif sampai saat ini adalah

pengaturan korporasi sebagai subjek

tindak pidana dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di luar KUHP,

misalnya Undang-Undang tentang

Narkotika dan Psikotropika,

pemberantasan tindak pidan korupsi, dan

sebagainya.98

Sehubungan dengan

penanggulangan kejahatan dengan sarana

penal, mempunyai dua masalah sentral,

yakni masalah penentuan (1) perbuatan

apa yang seharusnya dijadikan tindak

pidana, dan (2) sanksi apa yang

seharusnya dikenakan kepada si pelaku

pelanggaran atau kejahatan. Memilih dan

menetapkan pidana sebagai sarana untuk

menanggulangi kejahatan korporasi tentu

harus memperhitungkan faktor-faktor

yang mendukung bekerjanya hukum

pidana dalam kenyataan, termasuk motif-

motif kejahatan korporasi yang bersifat

ekonomis.

Berdasarkan uraian latar belakang

di atas, akan dikaji mengenai bagaimana

Implementasi Criminal Policy Terhadap

Pertanggungjawaban Kejahatan

Korporasi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah

disampaikan dalam latar belakang di atas,

maka permasalahan yang mendasari

penulisan ini adalah sebagai berikut:

Bagaimana Implementasi Criminal

Policy terhadap Pertanggungjawaban

Kejahatan Korporasi?

C. Tujuan Penulisan

Terkait dengan judul dan

permasalahan yang dikemukakan dalam

penelitian ini, maka tujuan penelitian ini

yaitu sebagai berikut, Mengetahui tentang

Implementasi Criminal Policy terhadap

98 Ibid

Page 4: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 196

Pertanggungjawaban Kejahatan

Korporasi.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penulisan ini dapat

memberikan manfaat baik yang bersifat

praktis maupun teoretis.

Dari segi teoretis, hasil penulisan

ini diharapkan dapat memberikan

kontribusi pemikiran serta pemahaman

dan pandangan baru serta dapat menjadi

bahan kajian lebih lanjut untuk

melahirkan konsep-konsep ilmiah yang

ada. Dengan penulisan ini juga

diharapkan dapat memperkaya

pemahaman akademisi di bidang ilmu

hukum, khususnya hukum pidana

mengenai implementasi pertanggung-

jawaban ( penal policy ) terhadap

kejahatan Korporasi.

Manfaat dari segi praktis, diharapkan

penulisan ini dapat memberikan

sumbangan pemikiran terhadap strategi

penegakan hukum kejahatan korporasi

seiring perkembangan perekonomian

yang semakin pesat saat ini.

E. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan

dalam penulisan ini adalah penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum

normatif disebut juga penelitian hukum

doktrinal karena penelitian ini dilakukan

dengan cara menganalisa hukum yang

tertulis dari bahan pustaka atau data

sekunder yang lebih dikenal dengan nama

dan bahan acuan dalam bidang hukum

atau bahan rujukan bidang hukum.

2. Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan yang

digunakan dalam penulisan ini, data dan

sumber data yang digunakan adalah :

d. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan

hukum yang terdiri dari Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP), Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, dan Peraturan

Perundang-Undangan yang

berkaitan dengan Korporasi.

e. Bahan hukum sekunder, yaitu

berupa bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum

primer, yaitu hasil karya para ahli

hukum berupa buku-buku,

pendapat-pendapat para sarjana

yang berhubungan dengan

penelitian ini.

f. Bahan Hukum tersier atau bahan

hukum penunjang, yaitu bahan

hukum yang memberikan petunjuk

atau penjelasan bermakna terhadap

bahan hukum primer dan/atau bahan

hukum sekunder, yaitu Kamus

Hukum, dan lain-lain.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data yang

dipergunakan di dalam penelitian ini

adalah dengan cara “Penelitian

Kepustakaan” (Library Research) yaitu

penelitian yang dilakukan dengan cara

pengumpulan Literatur dengan sumber

data berupa bahan hukum primer dan

ataupun bahan hukum sekunder yang ada

hubungan dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini.

Page 5: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 197

4. Analisis Data

Di dalam penulisan ini yang

termasuk ke dalam tipe penelitian hukum

normatif, pengelolaan data pada

hakikatnya merupakan kegiatan untuk

melakukan analisis data terhadap

permasalahan yang dibahas. Hal ini

dilakukan dengan menganalisa bahan-

bahan yang diperoleh dari peraturan

produk perundang-undangan, buku, dan

karya ilmiah serta bahan dari internet

yang berkaitan erat dengan

“Implementasi Criminal Policy Terhadap

Pertanggungjawaban Kejahatan

Korporasi” yang kemudian dianalisa

secara induktif kualitatif.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi

1. Pengertian Korporasi dan

Kejahatan Korporasi

Pengertian Korporasi tidak lepas

kaitannya dari bidang hukum perdata,

yakni sebagai badan hukum

(rechtpersoon). Pengertian Badan Hukum

berdasarkan Pasal 1653 KUH Perdata

adalah himpunan dari orang sebagai

perkumpulan itu diadakan atau diakui

oleh pejabat umum, maupun perkumpulan

itu diterima sebagai diperolehkan, atau

telah didirikan untuk maksud tertentu

yang tidak bertentangan dengan Undang-

Undang dan kesusilaan yang baik.

Adanya Badan Hukum untuk

menunjukan suatu badan yang diberi

status sebagai subjek hukum, disamping

subjek hukum yang berwujud manusia

alamiah (natuurlijk persoon). Badan

hukum dianggap bisa menjalankan segala

tindakan hukum dengan segala harta

kekayaan yang timbul dari perbuatan itu.

Pemikiran untuk menunjuk subjek khusus

yang berupa badan hukum adalah karena

ingin kerja sama untuk memperoleh

keuntungan dan membagi resiko jika

sewaktu-waktu timbul kerugian. Bahkan

salah satu alasan lainnya untuk

memudahkan dalam menunjuk siapa

subjek hukum yang harus bertanggung

jawab di antara sedemikian banyak orang-

orang yang terhimpun dalam badan

tersebut, yaitu secara yuridis

mengonstruksikannya cukup dengan

menunjuk badan itu sebagai subjek

hukum yang harus bertanggungjawab.99

Pengertian korporasi dalam hukum

pidana positif kita lebih luas dari

pengertian badan hukum sebagaimana

dalam konsep itu. Beberapa peraturan

perundang-undangan di luar Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

merumuskan pengertian korporasi yang

beraneka ragam. Misalnya Pasal 1 butir

21 UU No.35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika memberikan pengertian

Korporasi adalah kumpulan yang

terorganisasi dari orang dan atau

kekayaan, baik merupakan badan hukum

maupun bukan badan hukum.100

Tidak hanya persoon, korporasi

juga dapat dipidana karena korporasi

sudah sebagai subjek hukum dan

korporasi juga mendapat keuntungan dari

apa yang telah dilakukan pengurusnya.

Korporasi merupakan badan hukum yang

beranggota, tetapi mempunyai hak dan

kewajiban anggota masing-masing.

99Setiyono.Op.Cit., hal. 3. 100 Lihat Pasal 1 Butir 21, UU No. 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika

Page 6: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 198

Penempatan korporasi sebagai subjek

dalam hukum pidana tidak lepas dari

modernisasi sosial, modernisasi sosial

dampaknya pertama harus diakui bahwa

semakin modern masyarakat itu semakin

kompleks sistem sosial, ekonomi dan

politik yang terdapat disitu maka

kebutuhan akan sistem pengendalian

kehidupan yang formal akan menjadi

semakin besar pula.101

Kejahatan korporasi adalah suatu

perbuatan yang dilakukan korporasi yang

dapat dijatuhi hukuman oleh Negara,

berdasarkan hukum administrasi, hukum

perdata dan hukum pidana. 102Kejahatan

korporasi merupakan salah satu bentuk

white collar crime. Bentuk-bentuk

kejahatan korporasi ini sangat beraneka

ragam dan pada umumnya bernilai

ekonomis. Kejahatan korporasi dilakukan

untuk kepentingan korporasi (crimes for

corporation) dan korporasi yang sengaja

dibentuk dan dikendalikan untuk

melakukan kejahatan (criminal

corporation).

2. Pemidanaan dan Pertanggung-

jawaban Pidana Korporasi

Pemidanaan adalah penjatuhan

hukuman kepada perbuatan pidana.

Istilah teori pemidanaan berasal dari

Inggris, yaitu comdemnation theory.

Perbuatan Pidana merupakan perbuatan

yang oleh suatu aturan hukum dilarang

101Muladi dan Dwidja Priyatno,

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010),

hal.43. 102 Setiyono.Op.Cit., hal. 22.

dan diancam pidana.103 Penentuan sanksi

pidana dalam hukum pidana terkait

dengan empat aspek: yakni yang

pertama, penetepan perbuatan yang

dilarang; kedua, penetapan ancaman

sanksi pidana terhadap perbuatan yang

dilarang; ketiga, tahap penjatuhan pidana

pada subjek hukum; keempat, tahap

pelaksanaan pidana. Keempat aspek

tersebut terkait antara satu dengan

lainnya dan merupakan satu jalinan

dalam wadah sistem hukum pidana.104

Beberapa teori

pertanggungjawaban pidana terhadap

korporasi adalah sebagai berikut:105

1) Teori Fiksi, menurut teori ini

kepribadian hukum atau

kesatuan-kesatuan lain daripada

manusia adalah hasil khayalan.

Kepribadian yang sebenarnya

hanya ada pada manusia. Badan

hukum tidak dapat menjadi

subjek hokum, tetapi diperlukan

seolah-olah badan hukum itu

manusia.

2) Teori Konsesi, teori ini

menyatakan dengan tegas bahwa

badan hukum dalam Negara

tidak memiliki kepribadian

hukum kecuali kalau

dipekernankan oleh hukum, dan

ini berarti Negara.

3) Teori Zweckvermogen, menurut

teori ini hak milik badan-badan

hukum dapat diperuntukan dan

103HS.Salim, Perkembangan Teori

Dalam Ilmu Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012), hal 7.

104 Ibid., hal 82. 105 Abdulkadir Muhammad, Hukum

Perusahaan Indonesia. (Bandung:Citra Aditya

Bakti, 2010), hal. 102-103.

Page 7: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 199

mengikat secara sah pada

tujuan-tujuan tertentu tetapi

adalah milik tanpa subjek tanpa

pemilik.

4) Teori Ihering, menurut teori ini

bahwa subjek-subjek hak badan

hukum adalah manusia secara

nyata ada dibelakang (anggota-

anggota badan hukum) dan

mereka yang mendapatkan

keuntungan dari badan hukum

yang diberi kepribadian tersebut.

5) Teori Realitas atau Organik,

teori ini menekankan pada

pribadi-pribadi hukum yang

nyata sebagai sumber

kepribadian hukumnya.

Sistem hukum menjatuhkan

hukuman atau pidana adalah menyangkut

tentang perbuatan-perbuatan apa yang

diancam dengan pidana. Haruslah

terlebih dahulu telah tercantum secara

tegas dalam undang-undang pidana,

artinya jika tidak ada undang-undang

yang mengatur, maka pidana tidak dapat

dijatuhkan. Bab I Pasal 1 Ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

ada asas yang disebut “nullum delictum

nulla poena sine praevia lege poenale”,

yang pada intinya menyatakan bahwa

tiada suatu perbuatan dapat dipidana

kecuali sudah ada ketentuan undang-

undang yang mengatur sebelumnya.

Menurut Ketentuan Hukum Pidana para

pelaku tindak pidana itu pada dasarnya

dapat dibedakan atas beberapa kategori,

yakni:

1. Pelaku utama.

2. Pelaku peserta.

3. Pelaku pembantu.

Pertanggung jawaban pidana

dalam istilah asing disebut juga dengan

criminal responsibility yang menjurus

kepada pemidanaan dengan maksud

untuk menentukan apakah seseorang

tersangka atau terdakwa diminta

pertanggung jawabannya atas suatu

tindakan pidana yang terjadi atau tidak.

Untuk dapat dijatuhkan pidana bagi

pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana

yang dilakukannya itu harus memenuhi

unsur-unsur yang telah di tentukan dalam

Undang-Undang.

Seseorang akan dipertanggung

jawabkan atas tindakan-tindakan

tersebut, apabila tindakan tersebut

melawan hukum serta tidak ada alasan

pembenar atau peniadaan sifat melawan

hukum untuk tindak pidana yang

dilakukannya. Dan dilihat dari sudut

kemampuan bertanggung jawab maka

hanya seseorang yang mampu

bertanggung jawab yang dapat

dipertanggung jawabkan atas

perbuatannya. Tindak pidana jika tidak

ada kesalahan adalah merupakan asas

pertanggungjawaban pidana, oleh sebab

itu dalam hal dipidananya seseorang

yang melakukan perbuatan ini dia

mempunyai kesalahan.

Berdasarkan hal tersebut maka

pertanggungjawaban pidana, terdiri atas

tiga unsur yaitu:106

a. Kemampuan bertanggung jawab;

b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja

dan/ atau kealpaan;

c. Tidak ada alasan pemaaf.

106 Muladi, .Op.Cit., hal. 63.

Page 8: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 200

Terkait dengan pelaksanaan

kewajiban, hukum pidana baru dapat

diterapkan jika:107

a) Sama sekali tidak dilakukan

kewajibannya;

b) Tidak melaksanakan kewajibannya

tersebut dengan baik sebagaimana

mestinya, yang dapat berarti:

(1) Kurang melaksanakan

kewajibannya;

(2)Terlambat melaksanakan

kewajibannya;

(3) Salah melaksanakan

kewajibannya baik sengaja

maupun tidak;

c) Menyalahgunakan pelaksanaan

kewajiban.

Kewajiban adalah paksaan yang

harus dilaksanakan oleh pemegangnya,

sedangkan larangan adalah hal yang tidak

boleh dilakukan.

Penjelasan di atas memuncul

pertanyaan bagaimana pertanggung-

jawaban pidana dalam tindak pidana

korporasi. Masalah utama terhadap

pertanggungjawaban pidana dalam tindak

pidana korporasi adalah ketidakjelasan

siapa pelaku yang seharusnya

bertanggung jawab.

Karena ada beberapa sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi;

(1) pengurus korporasi sebagai pembuat

dan pengurus yang bertanggungjawab

(ketika pengurus yang melakukan

kejahatan maka pengurus yang

bertanggungjawab), (2) korporasi sebagai

pembuat dan pengurus yang

107 Alvin Syahrin. http://alviprofdr.

Blogspot.com/2013/01/ pertanggungjawaban-

korporasi-dalam. html # more. Diakses pada

pukul 13.50 WIB. Tanggal 8 April 2014.

bertanggungjawab, dan (3) korporasi

sebagai pembuat dan juga sebagai yang

bertanggungjawab.

Pengurus korporasi sebagai

pembuat dan penguruslah yang

bertanggungjawab mengandung makna

bahwa kepada pengurus korporasi

dibebankan kewajiban tertentu.

Kewajiban yang dibebankan itu

sebenarnya merupakan kewajiban dari

korporasi. Pengurus yang tidak

memenuhi kewajiban itu diancam dengan

pidana. Dasar pemikiran dari konsep ini

yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat

dipertanggungjawabkan terhadap suatu

pelanggaran, melainkan selalu

pengurusla yang melakukan delik itu.108

Korporasi sebagai pembuat dang

pengurus yang bertanggungjawab

berkenaan dengan pandangan bahwa apa

yang dilakukan oleh korporasi

merupakan apa yang dilakukan oleh alat

perlengkapan korporasi menurut

wewenang berdasarkan anggaran

dasarnya. Orang yang memimpin

korporasi bertanggungjawab secara

pidana, terlepas dari apakah dia

mengetahui atau tidak mengenai

dilakukannya perbuatan itu. Prinsip ini

hanya berlaku untuk pelanggaran saja.109

Korporasi sebagai pembuat dan

yang bertanggungjawab menunjukkan

bahwa untuk beberapa delik tertentu

ditetapkannya pengurus saja sebagai

yang dapat dipidana ternyata tidak

108 Alvi Syahrin, http://alviprofdr

.blogspot.com/2013/02/pertanggung-

jawabanpidana -korporasi-oleh.html. Diakses

Pada pukul 13.00 WIB. Tanggal 22 Desember

2013. 109Ibid

Page 9: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 201

cukup. Dalam delik ekonomi bukan

mustahil denda yang dijatuhkan sebagai

hukuman kepada pengurus, jika

dibandingkan dengan keuntungan yang

telah diterima oleh korporasi dengan

melakukan perbuatan itu, atau kerugian

yang ditimbulkan dalam masyarakat, atau

yang diderita saingannya, keuntungan

dan/atau kerugian itu lebih besar

jumlahnya daripada denda yang

dijatuhkan sebagai pidana. Dipidananya

pengurus tidak memberikan jaminan

yang cukup bahwa korporasi tidak sekali

lagi melakukan perbuatan yang telah

dilarang oleh Undang-Undang itu.110

3. Doktrin Pertanggung-

jawaban Pidana Korporasi

Beberapa doktrin pertanggungjawaban

pidana korporasi adalah sebagai

berikut:111

a. Doktrin Strict Responsibility

(Pertanggungjawaban Mutlak)

Pertanggung- jawaban yang

dibebankan kepada pelaku

yang bersangkutan dengan

tidak perlu dibuktikan lagi

adanya kesalahan.

b. Doktrin Vicarious Respon-

sibility (Pertanggung-jawaban

Pengganti)

Pembebanan atau pelimpahan

dari pertanggungjawaban

pidana yang dilakukan

seseorang kepada korporasi.

c. Doktrin of Delegation

110 Ibid 111 Agus Budianto, Delik Suap

Korporasi di Indonesia. (Bandung: Karya Putra

Darwati, 2012), hal. 67.

Pembebanan pertanggung-

jawaban pidana kepada

korporasi dengan adanya

pendelegasian wewenang dari

seseorang kepada orang lain

untuk melaksanakan

kewenangan yang dimiliki.

d. Doctrine of Identification

Pembebanan pertanggung-

jawaban pidana kepada

korporasi dengan cara

mengidentifikasi tindak pidana

yang dilakukan oleh orang

yang mempunyai hubungan

langsung, mempunyai status

atau otoritas tertentu dari

korporasi. Hal yang di

identifikasi adalah per-buatan,

pelaku, pertanggung-jawaban,

serta kesalah korporasinya.

e. Doctrine of Aggregation

Doktrin yang memung-kinkan

agregasi atau kombinasi

kesalah dari sejumlah orang

untuk di atributkan kepada

korporasi sehingga korporasi

dapat di bebani

pertanggungjawaban

f. Doctrine of Corporate

Culture

Pertanggungjawaban yang

dapat dibebankan kepada

korporasi apabila berhasil

ditemukan bahwa seseorang

yang telah melakukan

perbuatan melanggar hukum

memiliki dasar yang rasional

untuk menyakini bahwa

anggota korporasi yang

memiliki kewenangan telah

Page 10: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 202

memberikanya izin untuk

dilakukanya tindakan tersebut.

Berdasarkan doktrin vicarious

responsibility, korporasi dan juga

pengurus juga dapat secara bersama-sama

dimintai pertanggungjawabannya dengan

merujuk kepada anggaran dasar korporasi

tersebut. Teori-teori serta doktrin-doktrin

mengenai pertanggung-jawaban pidana

korporasi tersebut di atas merupakan hal

yang saling melengkapi dan bukan saling

menghilangkan.

B. Kebijakan Penal dan Non

Penal dalam Penanggulangan

Kejahatan Korporasi

a. Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” yang

diterjemahkan dalam bahasa inggris

“policy” dan dalam bahasa belanda

“politiek” sedangkan untuk penggunaan

istilah “penal” diartikan sebagai

penggunaan hukum pidana. Jika

dirangkai dalam penggunaan bahasa

singkat kita, kebijakan hukum pidana

bisa disebut sebagai “politik hukum

pidana” yang merangkum pokok bahasan

politik hukum pidana adalah satu bagian

dari ilmu hukum.112

Teori Kebijakan Kriminal

sebagaimana di kemukakan oleh G.

Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan

Kriminal adalah113 “ suatu usaha yang

rasional dari pemerintah dan masyarakat

112 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy

Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan dan Kekerasan ( Medan: Pustaka Bangsa Press,

2008), hal. 65. 113 Barda Nawawi Arief, Bunga

Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta:

Kencana, 2008), hal. 46.

dalam melakukan penanggulangan

kejahatan. Politik kriminal dalam

pengertian praktis adalah segala usaha

yang rasional dari masyarakat untuk

menaggulangi kejahatan. Usaha ini

meliputi aktivitas dari pembentukan

undang-undang, kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan aparat eksekusi

pemidanaan. Aktivitas badan-badan

tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi

berkaitan satu sama lain sesuai dengan

fungsinya masing-masing. Oleh karena

itu, kebijakan atau politik hukum pidana

juga merupakan bagian integral dari

kebijakan atau politik sosial (social

policy). Kebijakan hukum pidana dapat

mencakup ruang lingkup kebijakan di

bidang hukum pidana materiil, di bidang

hukum pidana formal dan bidang hukum

pelaksanaan pidana.

Penanggulangan lewat jalur

kebijakan penal, diartikan satu usaha

penanggulangan kejahatan yang menitik

beratkan pada sifat “revresif” yakni:

(penindasan/ pemberantasan/

penumpasan) setelah kejahatan itu

terjadi. Marc Ancel menyatakan bahwa

“modern criminal science” terdiri dari

tiga komponen “criminology”, criminal

law, dan penal policy. Lebih lanjut

disebutkan beliau “penal policy” adalah

suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis

untuk memungkinkan peraturan hukum

positif dirumuskan secara lebih baik dan

untuk member pedoman tidak hanya

kepada pembuat Undang-Undang, tetapi

juga kepada pengadilan yang

menerapkan Undamg-Undang dan juga

Page 11: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 203

kepada para penyelenggara atau

pelaksana putusan pengadilan.114

Menurut Solly Lubis Politik

Hukum adalah kebijaksanaan Politik

yang menentukan peraturan hukum apa

yang seharusnya berlaku, mengatur

berbagai hal kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.115 Menurut Sudarto,

Politik Hukum adalah usaha mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik sesuai

dengan keadaan dan situasi pada suatu

saat; dan kebijakan dari Negara melalui

badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang

dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa

yang terkandung dalam masyarakat dan

mencapai apa yg dicita-citakan.116

Pengertian diatas menyatakan

bahwa pelaksanaan politik hukum pidana

merupakan satu wujud pilihan untuk

mencapai hasil perundang-undangan

pidana yang paling baik dalam arti

memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.

Dalam kesempatan lain beliau

menyatakan, bahwa melaksanakan

politik hukum pidana berarti, usaha

mewujudkan peraturan perundang-

undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan

untuk masa-masa yang akan dating.117

Dua masalah sentral dalam

kebijakan kriminal dengan menggunakan

sarana penal (hukum pidana) adalah

114 Ibid. hal.23. 115 M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik

&Hukum. ( Jakarta: PT Sofmedia, 201), hal. 51. 116 Barda Nawawi Arief. Ibid.hal. 26 117 Ibid

masalah penentuan:118 (a) perbuatan apa

yang seharusnya dijadikan tindakan

pidana itu, dan (b) sanksi apa yang

sebaiknya digunakan atau dikenakan

kepada si pelanggar. Kebijakan hukum

pidana harus dilakukan dengan

pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (policy oriented approach).

Upaya penanggulangan kejahatan

mempergunakan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan suatu usaha

penegakan hukum, artinya secara politik

atau kebijakan hukum pidana, itu

merupakan satu bagian kebijakan dalam

penegakan hukum (law inforcement

policy), sedangkan proses perumusan

atau pembuatan hukumnya (Undang-

Undang) pidana menjadi bagian

terintegral bagi usaha melindungi

masyarakat (social welfare) yang disebut

sebagai bagian kebijakan atau politik

sosial (social policy),yang dapat

diartikan bahwa kebijakan sosial itu

segala usaha yang rasional dalam

pencapaian kesejahteraan masyarakat dan

sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat.119

1) Dasar dalam Menetapkan

Perbuatan sebagai Tindak

Pidana

Hukum pidana berpokok pada

perbuatan yang dapat dipidana dan ada

pidananya. Perbuatan yang dapat

dipidana itu merupakan obyek ilmu

118 Muladi dan Barda Nawawi Arief.

Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. (Bandung:

Alumni, 1984), hal 160. 119 Barda Nawai Arief, Ibid. hal.28

Page 12: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 204

pengetahuan hukum pidana dalam arti

luas, dan harus dibedakan: 120

a. Perbuatan jahat sebagai gejala

masyarakat dipandang secara kongkrit

sebagaimana terwujud dalam

masyarakat adalah perbuatan manusia

yang menyalahi norma-norma dasar

masyarakat. Ini adalah pengertian

perbuatan jahat dalam arti

kriminologis.

b. Perbuatan jahat dalam arti hukum

pidana, yaitu sebagaimana terwujud in

abstracto dalam peraturan-peraturan

hukum pidana.

Moeljatno mendefinisikan

perbuatan pidana sebagai perbuatan yang

dilarang dan diancam dengan pidana

barang siapa yang melanggar larangan

tersebut.121 Tindak pidana adalah

perbuatan yang oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana, asal saja

diingat bahwa larangannya ditujukan

kepada perbuatan, yaitu menurut Van

Hamel dikatakan sebagai suatu gerakan

yang menampakkan diri sebagai

pernyataan dari kehendak dan

menyebabkan akibat-akibat di alam

nyata.122 Atau merupakan suatu keadaan

atau kejadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang, kelakuan orang disini

atau tingkah laku didefinisikan oleh

Duyker sebagai “gerakan yang berarti,

yaitu gerakan dimana ada suatu

hubungan antara satu subyek dengan

sekelilingnya. Di sini subyek bertindak

120 Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA.

(Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1975), hal 30.

121 Andi, Hamzah. Hukum Pidana dan

Acara Pidana. (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1986). 122 Sudarto, Op.Cit, hal 34.

dalam suatu hubungan maka ia selalu

mempunyai beberapa alternatif. Dimana

tingkah laku itu berpangkal pada

alternatif tersebut.

2) Ketentuan Pidana dalam

Undang-Undang (di luar

KUHP) yang berhubungan

dengan Korporasi

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas Pasal

155, ketentuan mengenai tanggung

jawab Direksi dan/atau Dewaan

Komisaris ataskesalahan dan

kelalaiannya yang diatur dalam

Undang-Undang ini tidak

mengurangi ketentuan yang diatur

dalam Undang-Undang Tentang

Hukum Pidana.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

yo. No 10/ 1998 Tentang Perbankan

Pasal 46 (1) Barang siapa

menghimpun dana dari masyarakat

dalam bentuk simpanan berupa giro,

deposito berjangka… tanpa izin

usaha dari menteri sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal

17 diancam dengan pidana penjara.

(2) dalam hal kegiatan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

oleh badan hukum yang berbentuk

perseroan terbatas, yayasan atau

koperasi, maka penuntutan terhadap

badan-badan dimaksud dilakukan

baik terhadap mereka yang member

perintah melakukan perbuatan itu

atau yang bertindak sebagai

pimpinan dalam perbuatan itu atau

terhadap kedua-duanya.

Pasal 47 ayat (2)

Page 13: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 205

Anggota dewan komisaris, direksi,

pegawai bank atau pihak terafilasi

lainnya yang dengan sengaja

memberikan keterangan yang wajib

dirahasiakan menurut Pasal 40,

diancam dengan pidana. Penjelasan,

yang dimaksud dengan pegawai

bank adalah semua pejabat dan

karyawan bank.

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2004 Tentang Lembaga Penjamin

Simpanan

Pasal 95 ayat (3)

Setiap orang atau badan yang

memberikan data, informasi, dan

atau laporan, yang berkaitan dengan

penjaminan simpanan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 7

yang tidak benar, palsu, dan/atau

menyesatkan, dipidana dengan

pidana penjara serta denda

4. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

yo. Perpu No. 1 Tahun 2004 Tentang

Kehutanan Pasal 78 ayat (14)

Tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 50 ayat (1) ayat (2), dan

ayat (3) apabila dilakukan oleh dan

atas nama badan hukum atau badan

usaha, tuntutan dan sanksi pidananya

dijatuhkan terhadap pengurus, baik

sendiri-sendiri maupun bersama-sama,

dikenakan pidana sesuai dengan

ancaman pidana masing-masing

ditambah dengan 1/3 dari pidana

yang dijatuhkan.

5. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001

yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang

Yayasan

Pasal 70

(1) setiap anggota organ yayasan

yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal

5, dipidana dengan pidana penjara

(2) selain pidana penjara anggota

organ yayasan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) juga

dikenakan pidana tambahan berupa

kewajiban mengembalikan uang,

barang atau kekayaan yayasan yang

dialihkan atau dibagikan.

6. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika

Pasal 130

(1) dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam pasal

111,.. sampai dengan Pasal 126 dan

Pasal 129 dilakukan oleh korporasi,

selain pidana penjara dan denda

terhadap pengurusannya, selain pidana

penjara dan denda terhadap

pengurusnya, pidana yang dapat

dijatuhkan terhadap korporasi berupa

pidana denda dengan 3 (tiga) kali dari

pidana denda dalam pasal-pasal

tersebut.

(2) selain pidana denda sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), korporasi

dapat dijatuhi pidana tambahan

berupa:

a. Pencabutan izin usaha; dan/atau

b. pencabutan status badan hukum.

Pasal 135

Pengurus industry Farmasi yang tidak

melaksanakan kewajiban sebagaimana

dimaksud dalam Pasal dipidana

dengan pidana penjara.

7. Undang-Undang 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan

Pengelolahan Lingkungan hidup

Page 14: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 206

Pasal 100

(1) setiap orang yang melanggar baku

mutu air limbah, baku mutu emisi atau

baku mutu gangguan, dipidana dengan

pidana penjara

(2) Tindak pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dikenakan apabila sanksi administratif

yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi

atau pelanggaran dilakukan lebih dari

satu kali.

Pasal 109

Setiap orang yang melakukan usaha

dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin

lingkungan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana

dengan pidana penjara

Pasal 1 Angka 32

Setiap orang adalah orang

perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbadan hukum maupun yang

tidak berbadan hukum

Pasal 116

(1) Apabila tindak pidana lingkungan

hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas

nama badan usaha, tuntutan pidana

dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; daan/atau

b. orang yang member perintah untuk

melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai

pemimpin kegiatan dalam tindak

pidana tersebut.

(2) apabila tidak pidana lingkungan

hidup sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh orang yang

berdasarkan hubungan kerja atau

berdasarkan hubungan lain yang

bertindak dalam lingkup kerja badan

usaha, sanksi pidana dijatuhkan

terhadap pemberian perintah atau

pemimpin dalam tindak pidana

tersebut tanpa memperhatikan tindak

pidana tersebut tanpa memperhatikan

tindak pidana tersebut dilakukan

secara sendiri atau bersama-sama.

Dari beberapa Undang-Undang

yang disebutkan diatas disimpulkan

bahwa korporasi sudah diakui sebagai

subjek hukum, tetapi tetap saja

manusianya, bukan korporasinya yang

dipidana.

b. Kebijakan Non Penal (Non

Penal Policy)

Kebijakan Kriminal meliputi

ruang lingkup dengan menggunakan

hukum pidana (penal policy) dan

menggunakan upaya nonpenal. Dengan

menggunakan upaya non penal dapat

meliputi bidang yang sangat luas yakni di

seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan

utama dari upaya nonpenal adalah guna

memperbaiki kondisi-kondisi sosial

tertentu, namun secara tidak langsung

mempunyai pengaruh preventif terhadap

kejahatan. Upaya keseluruhan kegiatan

preventif non penal itu memiliki

kedudukan strategis dalam memegang

posisi kunci yang seyogianya terus

diintensifkan dan diefektifkan.

Kerangka teori yang dirangkum

dari pendapat Peter Hofnagel dalam

kebijakan pencegahan dan

penanggulangan kejahatan sebagaimana

halnya dikemukakan oleh Barda Nawawi

yakni:

Page 15: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 207

1. Penerapan hukum pidana

(criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana

(prevention without punishment);

3. Mempengaruhi pandangan

masyarakat mengenai kejahatan

dan pemindanaan lewat media

massa (influencing views of

society on crime and punishment

mass media).

Maka kebijakan non penal ini

lebih kearah pencegahan terhadap

timbulnya suatu kejahatan dengan melalui

pendekatan non penal yang adalah

pendekatan terhadap kejahatan tanpa

menggunakan sarana pemidanaan.

Penerapan kebijakan non penal lebih

menitikberatkan terhadap tindakan

pencegahan sebelum terjadinya kejahatan.

Sasaran utamanya bagaimana kebijakan

itu mampu menangani faktor-faktor

penyebab terjadinya kejahatan tindak

pidana korporasi dengan upaya preventif

agar semua pihak bisa bergerak dan

bersinergi terhadap permasalahan-

permasalahan sosial yang secara langsung

atau tidak langsung dapat meningkatkan

kejahatan korporasi. Namun timbul

permasalahan dalam kasus kejahatan

korporasi apabila digunakan dengan

sarana nonpenal yakni kejahatan

korporasi umunya terungkap setelah

adanya kerugian, maka kelemahan sarana

non penal disini dianggap belum dapat

mengoptimalkan dengan pendekatan

sosial.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan,

dapat disimpulkan implementasi criminal

policy terhadap kejahatan korporasi yakni

menggunakan sarana penal dan sarana

non penal menjadi pilihan dalam

pemidanaan terhadap kejahatan korporasi.

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang

(di luar KUHP) yang berhubungan dengan

korporasi/ atau hukum pidana khusus

diluar KUHP ternyata bervariasi.

Penegakan hukum dalam kejahatan

korporasi dipengaruhi karena adanya

ketidakjelasan (multi tafsir) dan tidak

konsistennya pemidanaan yang diberikan.

Penanaggulangan atau sanksi

pidana terhadap korporasi haruslah secara

selektif. Dalam memilih dan menetapkan

tentu harus memperhitungkan faktor-

faktor yang mendukung bekerjanya

hukum pidana dalam kenyataan, termasuk

motif-motif kejahatan korporasi yang

bersifat ekonomis. Dengan teori

identifikasi (identification theori)

merupakan salah satu cara menarik pelaku

kejahatan korporasi ke pengadilan. Teori

ini bekerja dengan mengidentifikasi

terlebih dahulu siapa yang melakukan

kejahatan/ kesalahan, kemudian setelah

diketahui pelakunya selanjutnya

diidentifikasi apakah directing mind

(orang yang diberi wewenang) untuk

bertindak atas nama korporasi, maka baru

dapat dinyatakan korporasi dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana.

Selanjutnya dengan teori

pertanggungjawaban pengganti (vicarious

liablity), yakni suatu pertanggungjawaban

pidana yang dibebankan kepada seseorang

atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh

Page 16: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 208

orang lain, yang mana dalam hal ini

apabila karyawan atau pekerja yang

melakukan tindak pidana maka yang

bertanggungjawab adalah pimpinannya.

Dan penanggulangan yang terakhir

dengan teori pertanggungjawaban mutlak

(strict liability), yakni

pertanggungjawaban pidana dibebankan

kepada pelaku tindak pidana tertentu,

tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur

kesalahan (baik itu kesengajaan ataupun

kelalaian, unsur kesalahan tidak perlu

dibuktikan dalam pembebanan

pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang dilakukan, tetapi cukup dibuktikan

bahwa perbuatan pidana telah dilakukan.

Sedangkan dalam masalah

penanggulangan kejahatan korporasi

dengan sarana non penal dapat

dicontohkan dengan salah satu kasus,

yakni kasus pencemaran lingkungan

hidup, yang mana pencemaran lingkungan

hidup dapat diatasi dengan cara

pemberian sanksi administratif bagi para

pejabat. Munurut Tri Maryono dalam

Kejahatan Korporasi, menyatakan sanksi

sosial dapat berlaku efektif, artinya setiap

pelaku pencemaran harus diumumkan

secara gencar di tengah masyarakat luas.

Penulis menyimpulkan bahwa pernyataan

tersebut guna menyadarkan pelaku

dengan menimbulkan rasa malu akibat

moral yang buruk.

B. Saran

Adapun saran yang

dikemukakan dalam penulisan ini adalah

perlu adanya perubahan dalam penetapan

yang diberikan untuk sanksi terhadap

kejahatan korporasi. Penegakan hukum

dengan menggunakan hukum pidana yang

mana sudah seharusnya Asas Primum

Remedium diberlakukan dengan tegas,

sehingga tujuan pemidanaan dengan teori

deterrence (bahwa tujuan pemidanaan

adalah untuk mencegah seseorang supaya

tidak melakukan kejahatan, dan bukan

sebagai sarana pembalasan masyarakat)

dan social defence (perlindungan sosial)

dapat tercapai, tetapi harus tetap disertai

ganti rugi dan memegang kehati-hatian

dikarenakan berdampak sangat besar

terhadap kehidupan msyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Agus Budianto. Delik Suap Korporasi di

Indonesia. Bandung: Karya Putra

Darwati, 2012.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai

Kebijakan Hukum Pidana .

Jakarta; Kencana, 2008.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum

Pidana dan Acara Pidana.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia.

Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2011.

M. Solly Lubis. Serba-serbi Politik &

Hukum. Jakarta: PT Sofmedia,

2011.

Muhammad Abdulkadir . Hukum

Perusahaan Indonesia.

Bandung: Citra Aditya Bakti,

2010.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-

Teori dan Kebijakan Pidana.

Bandung: Alumni, 1984.

Muladi dan Dwidja Priyatno.

Pertanggungjawaban Pidana

Page 17: IMPLEMENTASI CRIMINAL POLICY TERHADAP PERTANGGUNG JAWABAN

PENEGAKAN HUKUM/VOLUME 2/NOMOR 2/DESEMBER 2015 ISSN 2355-987X (Print)

JURNAL ILMIAH FAKULTAS HUKUM UMA 209

Korporasi. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010.

Mulyadi, Mahmud. Criminal Policy,

Pendekatan Integral Penal Policy

dan Non-Penal Policy dalam

Penangan Kejahatan Kekerasan.

Medan: Pustaka Bangsa Press,

2008.

Salim, HS. Perkembangan Teori dalam

Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2012.

Sudarto. Hukum Pidana, Jilid IA.

Semarang: Fakultas Hukum

Undip.

Setiyono. Kejahatan Korporasi.Malang:

Bayumedia Publishing, 2009

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Tentang Perbankan

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004

Tentang Lembaga Penjamin

Simpanan

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

yo. Perpu No. 1 Tahun 2004

Tentang Kehutanan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2001

yo. No. 28 Tahun 2004 Tentang

Yayasan

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan

Pengelolahan Linkungan hidup

C. Internet

Alvin Syahrin. http://alviprofdr.

Blogspot.com/2013/01/

pertanggungjawaban-korporasi-dalam.

html # more. Diakses pada pukul 13.50

WIB. Tanggal 8 April 2014.

Alvi Syahrin, http://alviprofdr

.blogspot.com/2013/02/ pertanggung

jawabanpidana-korporasi-oleh.html.

Diakses Pada pukul 13.00 WIB.

Tanggal 22 Desember 2013.