iklimatul khoeriah-i14130020 -praktikum 7

4
Praktikum ke-7 Sosum P08.2 Selasa, 25 Maret 2014 MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI Oleh : Djuhendi Tadjudin Iklimatul Khoeriah 1 , Tri Sintya 2 , Rizky Amelia 3 RESUME Warga Badui Luar di Kenekes lebih memilih untuk memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru-tua karena sudah dianggap pas dengan ukuran estetika, etika, budaya, dan bahkan dengan aturan-aturan spiritualnya. Mereka secara sadar menetapkan pilihan itu walaupun sebenarnya di dunia luar telah tersedia pilihan-pilihan lain yang penuh warna. Tamsil di atas dapat digunakan untuk menggambarkan situasi pengelolaan atau pengusahaan sumberdaya hutan. Kini telah berkembang pengakuan internasional: dalam era globalisasi ini, pola pengelolaan sektor-sektor lain cenderung mengglobal. Namun pengelolaan sumber daya hutan kian melokal. Konsep pengelolaan hutan yang disusun dengan mengedepankan aspek ekonomi dan mengesampingkan kelestarian lingkungan. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksial, yang cenderung membela pencapaian target produksi (Kartodihardjo 1999). Praktek pengelolaan sumberdaya hutan saat ini, termasuk hutan alam produksi menjadi sarat persengketaan. Faktor masalah persengketaan yaitu tata nilai, hak pemilikan yang meliputi common poll, resources, state property, private property, dan common property dan juga model pengelolaan. Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta. Perwujudan dalam pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan secara luas yaiu HKM (hutan kemasyarakatan). Disini kepentingan setiap pelaku dapat diakomodasikan dengan baik tanpa mengabaikan tujuan-tujuan pelestarian. Namun Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 667/1988 tentang “Hutan Kemasyarakatan” (SKM) mengandung banyak hal yang memberatkan pelaksanaan HKM. Kelembagaan yang diusulkan dalam pengelolaan hutan alam seharusnya mengandung unsur pokok yaitu batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan. Model kelembagaan yang dilakukan akan lebih efektif jika dilakukan oleh lembaga pemerintah yang ada di daerah. Bentuk pilihan masyarakat harus mencapai hasil akhir yang efisien, keadilan, keberlanjutan, dan prioritas pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Setiap bentuk upaya penyeragaman kelembagaan pengelolaan hutan di Indonesia selalu menghasilkan hal yang tidak realistik. Sering kali kearifan dan pengetahuan lokal tidak terakomodasi dengan baik. Untuk mengoptimalisasikan pengelolaan hutan berbasis kekuatan masyarakat lokal dapat dilakukan dengan memperhatikan tata nilai, hak pemilikan, dan pola pengelolaan yang efisien. 1 I14130020 2 I34110078 3 G74110009

Upload: iklimatul-khoeriah

Post on 23-Nov-2015

22 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

TUGAS SOSUM

TRANSCRIPT

  • Praktikum ke-7 Sosum P08.2 Selasa, 25 Maret 2014

    MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN

    ALAM PRODUKSI

    Oleh : Djuhendi Tadjudin

    Iklimatul Khoeriah1, Tri Sintya2, Rizky Amelia3

    RESUME

    Warga Badui Luar di Kenekes lebih memilih untuk memakai pakaian serba hitam dengan ikat

    kepala biru-tua karena sudah dianggap pas dengan ukuran estetika, etika, budaya, dan bahkan

    dengan aturan-aturan spiritualnya. Mereka secara sadar menetapkan pilihan itu walaupun sebenarnya

    di dunia luar telah tersedia pilihan-pilihan lain yang penuh warna. Tamsil di atas dapat digunakan

    untuk menggambarkan situasi pengelolaan atau pengusahaan sumberdaya hutan. Kini telah

    berkembang pengakuan internasional: dalam era globalisasi ini, pola pengelolaan sektor-sektor lain

    cenderung mengglobal. Namun pengelolaan sumber daya hutan kian melokal. Konsep pengelolaan

    hutan yang disusun dengan mengedepankan aspek ekonomi dan mengesampingkan kelestarian

    lingkungan. Kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan saat ini bersifat paradoksial, yang cenderung

    membela pencapaian target produksi (Kartodihardjo 1999). Praktek pengelolaan sumberdaya hutan

    saat ini, termasuk hutan alam produksi menjadi sarat persengketaan. Faktor masalah persengketaan

    yaitu tata nilai, hak pemilikan yang meliputi common poll, resources, state property, private property,

    dan common property dan juga model pengelolaan. Ketiga hal itu dikaitkan dengan pelaku-pelaku

    terkait (stakeholder), yang sekurang-kurangnya terdiri dari: pemerintah, masyarakat, dan swasta.

    Perwujudan dalam pengelolaan hutan yang mengakomodasikan kepentingan secara luas yaiu

    HKM (hutan kemasyarakatan). Disini kepentingan setiap pelaku dapat diakomodasikan dengan baik

    tanpa mengabaikan tujuan-tujuan pelestarian. Namun Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

    No. 667/1988 tentang Hutan Kemasyarakatan (SKM) mengandung banyak hal yang memberatkan

    pelaksanaan HKM. Kelembagaan yang diusulkan dalam pengelolaan hutan alam seharusnya

    mengandung unsur pokok yaitu batas yuridiksi, aturan main, dan aturan perwakilan. Model

    kelembagaan yang dilakukan akan lebih efektif jika dilakukan oleh lembaga pemerintah yang ada di

    daerah. Bentuk pilihan masyarakat harus mencapai hasil akhir yang efisien, keadilan, keberlanjutan,

    dan prioritas pemeliharaan keanekaragaman sumber daya hayati. Setiap bentuk upaya

    penyeragaman kelembagaan pengelolaan hutan di Indonesia selalu menghasilkan hal yang tidak

    realistik. Sering kali kearifan dan pengetahuan lokal tidak terakomodasi dengan baik. Untuk

    mengoptimalisasikan pengelolaan hutan berbasis kekuatan masyarakat lokal dapat dilakukan dengan

    memperhatikan tata nilai, hak pemilikan, dan pola pengelolaan yang efisien.

    1 I14130020

    2 I34110078

    3 G74110009

  • Praktikum ke-7 Sosum P08.2 Selasa, 25 Maret 2014

    Analisis

    Kelembagaan menurut

    Bacaan

    Sektor public Pengelolaan HKM dari pemerintah oleh

    masyarakat.

    Sektor partisipatory Pembentukan koperasi sebagai

    prasyarat untuk memperoleh HPHKM

    Sektor private Produksi hasil hutan, dan

    ketergantungan masyarakat pada

    pengelolaan hutan.

    Tingkatan

    norma Bacaan

    Sanksi

    Moral Masyarakat

    Cara Pelarangan merusak hutan Tidak pantas Mendapat cemoohan

    Kebiasaan Kontrol pemerintah terhadap

    pengelolaan sumber daya.

    Malu Mendapat protes dari warga

    Tata kelakuan

    Kegiatan pengusahaan hutan

    dengan mengindahkan asas-

    asas pelestarian lingkungan

    sesuai hukum yang berlaku.

    Bersalah Adanya hukuman dari pihak

    yang berwajib

    Adat istiadat Adat Badui Berdosa Dikeluarkan dari suku Badui

  • Praktikum ke-7 Sosum P08.2 Selasa, 25 Maret 2014

    SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH

    Penelitian Hukum Pemilikan Tanah di Sebuah Daerah Pertanian yang

    Penduduknya Sangat Padat

    Oleh : Warner Roell

    Iklimatul Khoeriah4, Tri Sintya5, Rizky Amelia6

    RESUME

    Sistem bagi hasil (bagi garap) mempunyai arti penting dalam kehidupan pertanian di

    Indonesia. Sistem bagi hasil yang banyak terdapat di daerah Jawa Tengah terjadi karena beberapa

    hal seperti : meledaknya jumlah penduduk, jumlah lahan pertanian yang semakin mengecil,

    pembagian pemilikan tanah yang tidak seimbang , mobilitas tanah yang rendah, dan semakin

    banyaknya jumlah pengangguran. Tidak dibuat perbedaan antara penggarap bagi hasil dalam

    pengertian sempit yang memiliki fungsi pengusaha individu dan buruh tani yang bekerja untuk pemilik

    tanah, tidak mandiri dan hanya memperoleh sedikit bagian dari hasil. Justru buruh dengan upah hasil

    bumi, buruh tani garapan, dan buruh bagi hasil memainkan peran penting dalam pertanian di

    Indonesia dan di daerah-darah lainnya di Asia Tenggara. Tanpa memperhatikan kesulitan dan

    kenyataan bahwa sampai sekarang tidak ada informasi yang dapat diandalkan mengenai perubahan

    kualitaf sistem bagi hasil. Bentuk khusus kerja upahan dan garapan ini telah meningkat dengan pesat

    dibandingkan pada awal abad ini. Proses ini merupakan pencerminan semakin meningkatnya jumlah

    penduduk tapi yang menganggur. Kelemahan struktur pertanian dan tidak ada cadangan tanah, maka

    jumlah lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah atau tanahnya sangat kecil, terus

    meningkat.

    Sistem bagi garap yang menebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah yang

    terlihat jelas dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Asal-usul sistem bagi hasil menjakau jauh

    ke sejarah dan berakar pada hukum kepemilikian tanah feodal di kerajaan Surakata dan Yogyakarta

    serta para pendahulunya. Sistem ini menyahkan kepemilikan tanah oleh bangsawan terhadap apa

    saja yang berada di daerah kekuasaanya. Penduduk tidak memiliki tanah dan lahan yang merupakan

    alat produksi utama. Keinginan pemilik tanah untuk mendapat lahan sering membebankan lebih

    banyak bagian efektif yang harus disediakan penggarap. Akibatnya, bagi hasil yang mereka terima

    menjadi sangat kecil. Sistem bagi hasil juga berakar dari kurangnya kesempatan kerja di bidang

    industri, teknik produksi yang relatif sederhana dan kurangnya modal penduduk. Bentuk-bentuk dasar

    bagi hasil ada tiga yaitu, sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat. Banyak kasus dimana

    penggarap dibebankan semua kerja dan ongkos produksi tersebut. Apalagi diperburuk dengan

    adanya smoro. Penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil ini harus dilakukan. Pelaksanaan

    4 I14130020

    5 I34110078

    6 G74110009

  • Praktikum ke-7 Sosum P08.2 Selasa, 25 Maret 2014

    perubahan Undang-Undang Agraria tahun 1960 dapat menjadi langkah awal menuju proses

    perubahan sosial yang lebih baik.

    Analisis

    Kelembagaan menurut Bacaan

    Sektor public -

    Sektor partisipatory Pemilik tanah dan penggarap dalam

    kelembagaan bagi hasil.

    Sektor private Pembagian hasil garap untuk

    memperoleh keuntungan oleh pemilik

    tanah.

    Adanya peminjam modal kepada petani

    untuk mengelola lahan pertaniannya

    Tingkatan norma Bacaan Sanksi

    Moral Masyarakat

    Cara

    Mengesahkan kepemilikan

    lahan tanah pertanian kepada

    kaum mampu terhadap apa

    saja yang berada di daerah

    kekuasannya.

    Tidak pantas Mendapat

    cemoohan dari

    masyarakat.

    Kebiasaan

    Kebiasaan masyarakat yang

    melakukan kontrak garapan

    secara lisan

    Malu Mendapat protes

    dari warga

    Tata kelakuan Adanya UU Agraria tahun 1990

    Bersalah Adanya hukuman

    dari pihak yang

    berwajib

    Adat istiadat

    Melakukan bagi hasil dengan

    sistem maro, sistem mertelu,

    sistem mrapat.

    Berdosa Dikeluarkan dari

    komunitas