ikan bawal

62
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah) KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN (Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU Asyari dan Khoirul Fatah Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 17 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011 ABSTRAK Ikan motan (Thynnichthys polylepis) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar. Ikan motan di Waduk Kotopanjang termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat. Penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan biologi reproduksi dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2009. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui kebiasaan makan digunakan metode Indeks Preponderan, kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ikan motan tergolong jenis ikan herbivora dengan pakan utama makrofita 49,9%, pakan pelengkapnya adalah phytoplankton 22,6% dan detritus 17,4%, dan pakan tambahan terdiri atas protozoa 0,8%, rotifera 0,5%, dan crustaceae 0,4%. Selain itu makanan yang tak teridentifikasi 8,4%. Ikan motan memijah secara bertahap (parsial) dimulai pada bulan Nopember. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter telur pada kisaran antara 0,31-0,90 mm, serta indeks kematangan gonad antara 6,65-17,56%. KATA KUNCI: Kebiasaan makan, biologi reproduksi, motan, Waduk Kotopanjang ABSTRACT: Food habit and biology reproduction of motan (Thynnichthys polylepis) in Kotopanjang Reservoir, Riau. By: Asyari and Khoirul Fatah Motan (Thynnichthys polylepis) is one of fish species having the economically important value in Kampar Regency. In Kotopanjang Reservoir motan is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the research were to get data and information of food habit and the biology reproduction such as gonadal maturity, fecundity, and egg diameter has been carried out on August to November 2009. The research is done with the survey method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. Food habit can used an index of preponderance method, the gonadal maturity is used by the morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the research shows that motan is belong to a herbivore fish with a mean food macrophyta of 49.9% as a mean food, phytoplankton of 22.6% and detritus of 17.4% as complement food. Meanwhile the addition food such as protozoa of 0.8%, rotiferas of 0.5% and crustaceae of 0.4%. Beside that, the unidentify part is 8.4%. Motan spawning by partial which is started on November. Fecundity of motan shows that the total egg varied between 25,360-61,198 with egg diameter is between 0.31-0.90 mm. Meanwhile index maturity of gonads is between 6.15-17.56 %. Based on the aspects some water quality. KEYWORDS: food habit, biology reproduction, motan, Kotopanjang Reservoir PENDAHULUAN Waduk Kotopanjang merupakan waduk baru yang dibangun pada tahun 1996, terjadi akibat dibendungnya Sungai Kampar Kanan dan Sungai Mahat. Luas daerah tangkapan air (cacthment area) diperkirakan mencapai 3.337 km 2 dengan luas genangan sekitar 12.400 ha atau 124 km 2 pada waktu air tinggi (Anonimous, 1996). Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di Waduk Kotopanjang hampir sama dengan sungai yang menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Kampar Kanan, Sungai Mahat, Sungai Tiwi, Sungai Takus, Sungai Osang, dan Sungai Gulamo. Menurut Nurfiarini et al. (2009) keragaman jenis ikan di Waduk Kotopanjang mencapai 24 spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan barau atau kebarau (Hampala macrolepidota), motan, baung (Mystus nemurus), siban (Cyclocheilichthys apogon), toman (Channa micropeltes), kalui (Osphronemus gouramy), katung (Pristolepis grooti), kapiek (Barbodes schwanenfeldi), paweh (Osteochilus hasselti), toakang (Helostoma temmincki), dan tapah (Wallago miostoma). Di antara berbagai jenis ikan tangkapan tersebut, ikan baung, toman, tabengalan (Puntius bulu), dan tapah merupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi. Ikan motan merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di Kabupaten Kampar, ditemukan di habitat-habitat danau, sungai, dan perairan umum lainnya. Di Riau dapat dijumpai di Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai Indragiri (Hamidy et al., 1983). Ciri morfologis ikan motan sebagai berikut (Gambar 1) mempunyai sisik berwarna putih keperakan, ukuran

Upload: yulizar

Post on 22-Dec-2015

78 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

ikan bawal merupakan ikan yang bernilai ekonomis, sehingga sangat berpotensi untuk dibudidayakan

TRANSCRIPT

Page 1: ikan bawal

Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN

(Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU

Asyari dan Khoirul Fatah Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 17 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011

ABSTRAK

Ikan motan (Thynnichthys polylepis) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di

Kabupaten Kampar. Ikan motan di Waduk Kotopanjang termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat.

Penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan biologi reproduksi dilakukan pada

bulan Agustus sampai Nopember 2009. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh

dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui kebiasaan makan digunakan metode Indeks Preponderan,

kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa ikan motan tergolong jenis ikan herbivora dengan pakan utama makrofita 49,9%, pakan

pelengkapnya adalah phytoplankton 22,6% dan detritus 17,4%, dan pakan tambahan terdiri atas protozoa 0,8%, rotifera

0,5%, dan crustaceae 0,4%. Selain itu makanan yang tak teridentifikasi 8,4%. Ikan motan memijah secara bertahap

(parsial) dimulai pada bulan Nopember. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter

telur pada kisaran antara 0,31-0,90 mm, serta indeks kematangan gonad antara 6,65-17,56%.

KATA KUNCI: Kebiasaan makan, biologi reproduksi, motan, Waduk Kotopanjang

ABSTRACT: Food habit and biology reproduction of motan (Thynnichthys polylepis) in Kotopanjang Reservoir,

Riau. By: Asyari and Khoirul Fatah

Motan (Thynnichthys polylepis) is one of fish species having the economically important value in Kampar Regency.

In Kotopanjang Reservoir motan is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the

research were to get data and information of food habit and the biology reproduction such as gonadal maturity,

fecundity, and egg diameter has been carried out on August to November 2009. The research is done with the survey

method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. Food habit can used an index of preponderance method,

the gonadal maturity is used by the morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the

research shows that motan is belong to a herbivore fish with a mean food macrophyta of 49.9% as a mean food,

phytoplankton of 22.6% and detritus of 17.4% as complement food. Meanwhile the addition food such as protozoa of

0.8%, rotiferas of 0.5% and crustaceae of 0.4%. Beside that, the unidentify part is 8.4%. Motan spawning by partial

which is started on November. Fecundity of motan shows that the total egg varied between 25,360-61,198 with egg

diameter is between 0.31-0.90 mm. Meanwhile index maturity of gonads is between 6.15-17.56 %. Based on the aspects

some water quality.

KEYWORDS: food habit, biology reproduction, motan, Kotopanjang Reservoir

PENDAHULUAN

Waduk Kotopanjang merupakan waduk baru yang

dibangun pada tahun 1996, terjadi akibat dibendungnya

Sungai Kampar Kanan dan Sungai Mahat. Luas daerah

tangkapan air (cacthment area) diperkirakan mencapai

3.337 km2 dengan luas genangan sekitar 12.400 ha atau 124

km2 pada waktu air tinggi (Anonimous, 1996).

Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di

Waduk Kotopanjang hampir sama dengan sungai yang

menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Kampar Kanan,

Sungai Mahat, Sungai Tiwi, Sungai Takus, Sungai Osang,

dan Sungai Gulamo. Menurut Nurfiarini et al. (2009)

keragaman jenis ikan di Waduk Kotopanjang mencapai 24

spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang

dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan

barau atau kebarau (Hampala macrolepidota), motan,

baung (Mystus nemurus), siban (Cyclocheilichthys apogon),

toman (Channa micropeltes), kalui (Osphronemus

gouramy), katung (Pristolepis grooti), kapiek (Barbodes

schwanenfeldi), paweh (Osteochilus hasselti), toakang

(Helostoma temmincki), dan tapah (Wallago miostoma). Di

antara berbagai jenis ikan tangkapan tersebut, ikan baung,

toman, tabengalan (Puntius bulu), dan tapah merupakan

ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi.

Ikan motan merupakan salah satu jenis ikan yang

mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di

Kabupaten Kampar, ditemukan di habitat-habitat danau,

sungai, dan perairan umum lainnya. Di Riau dapat dijumpai

di Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai

Indragiri (Hamidy et al., 1983).

Ciri morfologis ikan motan sebagai berikut (Gambar 1)

mempunyai sisik berwarna putih keperakan, ukuran

Page 2: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

panjang lebih besar daripada ukuran tinggi tubuhnya, dan

bentuk bilateral simetris. Kepala meruncing, mulutnya

terletak di ujung depan kepala atau agak ke bawah dan

kecil, moncongnya dapat ditonjolkan ke depan, tapi tidak

ada bibir atas dan rahang bawah. Lipatan bibir yang kecil

pada sudut rahang, overculum mempunyai kelopak yang

besar, garis rusuk lurus dan memanjang ke tengah-tengah

ekor, sirip dorsal kecil, dan terletak sejajar dengan sirip

ventral. Memiliki tidak lebih delapan ruji bercabang, tapi

tidak mempunyai sisir insang. Gelembung renang terdiri

atas dua bagian, di mana bagian belakang lebih kecil dari

bagian depan (Mohsin & Ambak, 1992). Ikan motan

tergolong famili Cyprinidae dan klasifikasi selengkapnya

menurut Kottelat et al. (1993) adalah phylum Chordata,

kelas Pisces atau Teleostei, ordo Cypriniformes, famili

Cyprinidae, genus Thynnichthys, dan species Thynnichthys

polylepis.

Gambar 1. Bentuk morfologi ikan motan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau

Figure 1. Morphological pattern of motan at Kotopanjang Reservoir, Riau Province

Makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang

menentukan populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan,

Macam makanan satu spesies ikan tergantung pada umur,

tempat, waktu, dan alat pencernaan dari ikan itu sendiri

(Effendie, 1992). Pakan ikan secara ekologis merupakan hal

yang utama dalam mempengaruhi penyebaran ikan

khususnya ikan air tawar (Macpherson, 1981). Dengan

mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu jenis ikan

dapat dilihat hubungan ekologi antara ikan dengan

organisme lain yang ada di suatu perairan, misalnya bentuk-

bentuk pemangsaan, saingan, dan rantai makanan (Effendie,

1992).

Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari

suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi

reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti

mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, frekuensi

dan musim pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali

matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963).

Aspek kebiasaan makan dan biologi reproduksi ikan

motan sejauh ini belum banyak diteliti dan dilaporkan, oleh

sebab itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan

data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan tingkat

kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan indeks

kematangan gonad dari ikan motan, sehingga diharapkan

jadi masukan untuk pengelolaan ikan ini di masa

mendatang.

BAHAN DAN METODE

Data dan informasi dikumpulkan pada bulan Agustus,

Oktober, dan Nopember 2009 dengan metode survei secara

langsung di lapangan dan analisis di laboratorium. Contoh

ikan didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat

tangkap jaring insang (gillnet). Pengambilan contoh

dilakukan pada beberapa lokasi yaitu Dam site (lokasi

pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang), Jembatan 1

(Desa Tanjung Alai), Jembatan 2 (Sungai Gulamo), Desa

Batu Besurat, dan Desa Muara Takus (Gambar 2). Ikan

motan yang tertangkap diukur panjang dan bobot tubuhnya.

Untuk menentukan kebiasaan makan ikan, diambil organ

pencernaannya yaitu lambung dan usus (Gambar 3). Jenis

dan jumlah makanan dianalisis dengan metode indeks

bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan &

Jhingran (Effendie, 1992):

VixFi

IP = -----------x100% ........................................... (1

∑ VixFi

di mana:

IP = index of preponderance

Vi = persentase volume satu macam makanan

Fi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

∑ Vi Fi = jumlah VixFi dari semua macam makanan

Page 3: ikan bawal

Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Untuk mengidentifikasi makanan yang terdapat dalam

usus atau lambung digunakan acuan dari (American Public

Health Association, 1981; Merrit & Cummins, 1996;

Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).

Tingkat kematangan gonad didasarkan atas modifikasi

(Cassie, 1954 dalam Effendie, 1992):

1. Tingkat kematangan gonad I: ovari seperti benang,

panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih

atau transparan, dan butir telur belum kelihatan.

2. Tingkat kematangan gonad II: ukuran ovari lebih besar,

berwarna lebih gelap kekuning-kuningan, butir telur

mulai terlihat tapi belum jelas.

3. Tingkat kematangan gonad III: ovari berwarna kuning.

Secara morfologi, telur mulai diamati butirannya

dengan mata.

4. Tingkat kematangan gonad IV: ovari makin besar, telur

berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan, mengisi

50-60% rongga perut, dan usus agak terdesak.

5. Tingkat kematangan gonad V: ovari berkerut habis

memijah, dinding tebal, dan butir telur sisa terdapat di

dekat pelepasan. Perkembangan ovari kembali seperti

pada tingkat II.

Pengamatan fekunditas dan diameter telur ditentukan

dari contoh ikan dengan tingkat kematangan gonad IV.

Fekunditas total dihitung berdasarkan atas metode

grafimetrik (Effendie, 1992):

F=(G/g)n ...................................................................... (2

di mana:

F = jumlah total telur dalam gonad (fekunditas)

G = bobot gonad tiap satu ekor ikan

g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan

n = jumlah telur dari contoh gonad

Indeks kematangan gonad mengacu kepada Effendie

(1992) sebagai berikut:

Bg

IKG = ____

x100% ........................................................ (3 Bi

di mana:

IKG = indeks kematangan gonad

Bg = bobot gonad (g)

Bi = bobot ikan (g)

Page 4: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Waduk Kotopanjang Riau, tahun 2009.

Figure 2. Map showing research location at Kotopanjang Reservoir Riau, 2009. Keterangan/Remarks: 1. Dam site atau lokasi bendungan pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, 2. Di bawah Jembatan 1 atau Desa Tanjung ALAI, 3. Di bawah Jembatan 2 atau Sungai Gulamo, 4. Desa Batu

Besurat, 5. Desa Muara Takus

Page 5: ikan bawal

Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Gambar 3. Contoh organ pencernaan ikan motan yang akan diambil untuk pemeriksaan makanannya di laboratorium.

Figure 3. Digestive organ of motan taken for food analysis in the laboratorium.

HASIL DAN BAHASAN

Makanan dan Kebiasaan Makan

Makanan ikan adalah organisme hidup baik tumbuhan

ataupun hewan yang dapat dikonsumsi ikan di habitatnya,

dapat berupa tumbuhan (makrofita), algae, plankton, ikan,

udang, cacing, benthos, dan serangga atau larva serangga.

Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan ikan

dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu pakan utama,

pelengkap, dan tambahan. Sebagai batasan yang dimaksud

dengan pakan utama adalah jenis pakan yang mempunyai

index of preponderance lebih besar dari 25%, pakan

pelengkap mempunyai index of preponderance antara 4-

25%, sedangkan pakan tambahan memiliki index of

preponderance kurang dari 4%.

Dari sejumlah ikan motan yang telah diperiksa isi usus

dan lambungnya, diketahui bahwa pakan utama ikan motan

adalah makrofita (tumbuh-tumbuhan air) 49,9%. Pakan

pelengkapnya terdiri atas phytoplankton 22,6%

(Cholorophyceae 10,4%; Bacillariophyceae 8,1%; dan

Cyanophyceae 4,1%), serta detritus (17,4%). Pakan

tambahannya berupa Protozoa 0,8%; Rotifera 0,5%; dan

Crustaceae 0,4% dan bagian yang tak teridentifikasi

ditemukan 8,4% (Gambar 4). Dengan demikian ikan motan

dapat digolongkan ke dalam kelompok ikan herbivora atau

pemakan tumbuhan. Menurut Aprilianti (2007), ikan motan

adalah pemakan plankton (plankton feeder) dan detritus

(detritus feeder), hasil penelitian Pulungan (1999)

menunjukan makanan yang paling banyak dikonsumsi ikan

motan adalah detritus 53,5-67,6% dan phytoplankton 21,5-

26,1%.

Gambar 4. Komposisi makanan alami ikan motan.

Figure 4. Food habit composition of motan.

Dari hasil analisis di laboratorium diketahui jenis-jenis

plankton yang terdapat dalam usus ikan motan terdiri atas

phytoplankton dan zooplankton (Tabel 1).

Menurut Andri (2006), makanan yang terdapat di

saluran pencernaan ikan motan (Cyprinidae) di Waduk

Kotopanjang adalah phytoplankton (Bacillariophyta,

0

10

20

30

40

50

60

Jenis pakan / Food content

Pers

enta

se (

%)

/ P

erc

enta

ge (

%)

Makrof ita

Phytoplankton

Detritus

Protozoa

Rotifera

Crustacea

Tak teridentif ikasi

Page 6: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta, dan

Euglenophyta), makrofita, dan zooplankton. Kelompok

zooplankton terdiri atas Protozoa, Rotifera, Copepoda, dan

Cladocera. Penelitian oleh Suryaningsih (2000)

menemukan jenis plankton yang sering dimakan oleh ikan

motan adalah Ankistrodesmus. sp. dan Synedra sp. Menurut

Sanofel (2006) jenis Staurastrum dari Chlorophyceae

sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan motan.

Selanjutnya Lammens & Hoogenboezem (1981)

mengatakan semua saluran pencernaan ikan telah

disesuaikan dengan makanan yang dikonsumsi oleh ikan

tersebut, agar proses mencerna makanan dapat berlangsung

optimum. Ikan yang bersifat herbivora memiliki saluran

pencernaan yang lebih panjang dibandingkan ikan

omnivora dan karnívora karena jenis makanan yang

dimakan seperti tumbuh-tumbuhan dan lainnya lebih susah

hancur sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama

untuk mencernanya. Menurut Mudjiman (1991) pada ikan

vegetaris (herbivora) saluran pencernaan dapat tiga kali

panjang tubuhnya. Dari pengamatan panjang usus ikan

motan, panjang saluran pencernaannya bahkan mencapai

5,9 kali panjang tubuh ikan tersebut.

Tabel 1. Komposisi jenis phytoplankton dan zooplankton (%) yang terdapat dalam usus ikan motan di Waduk

Kotopanjang

Table 1. The composition of phytoplankton and zooplankton organisms (%) found in stomach of motan at

Kotopanjang Reservoir

No.

Kelompok/Group

Phytoplankton

Bacillariophyceae (%) Chlorophyceae (%) Cyanophyceae (%) Euglenophyceae (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10

11.

12.

13.

Cyclotella (2,15)

Diatoma (3,76)

Fragillaria (1,92)

Navicula (6,44)

Nitzschia (7,70)

Pinnularia (0,68)

Stauroneis (1,28)

Surirella (0,86)

Synedra (7,38)

Ankistrodesmus (8)

Cladophora (2,14)

Closterium (4,75)

Cosmarium (5,66)

Desmidium (0,86)

Mougeotia (6,64)

Oedogonium (0,77)

Pediastrum (0,48)

Scenedesmus (1,31)

Spirogyra (3,82)

Staurastrum (10,26)

Ulothrix (1,06)

Zygnema (0,72)

Anabaena (3,28)

Aphanizomenon (3)

Ghomphosphaeria (2)

Oscillatoria (5,56)

Spirullina (1,77)

Euglena (1,69)

Zooplankton

Protozoa (%) Rotifera (%) Crustaceae (%)

1.

2.

3.

Brachionus (1,22)

Coleps (0,71)

Spirostomum (0,46)

Keratella (0,26)

Rotatoria (1,08)

Cyclop (0,21)

Nauplius (0,12)

Jumlah total phytoplankton dan zooplankton/Total of phytoplankton and zooplankton = 100%

Tingkat Kematangan Gonad

Kematangan gonad ikan adalah tahapan pada saat

perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah

(Utiah, 2007). Perkembangan gonad pada ikan secara garis

besarnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan

tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Penentuan tingkat

kematangan gonad dapat dilakukan secara morfologis dan

histologis. Secara morfologis, dapat dilihat dari bentuk,

panjang, dan bobot, warna, dan perkembangan gonad

melalui fase perkembangan gonad, pada umumnya

pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat matang

gonad (tingkat kematangan gonad IV) dapat mencapai 10-

25% dari bobot tubuh ikan, dan semakin meningkat tingkat

kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad

akan semakin besar. (Anonimus, 2007).

Pengamatan tingkat kematangan gonad yang dilakukan

selama tiga kali survei, diketahui bahwa ikan motan

mengalami proses pematangan gonad dari bulan Agustus

sampai Nopember secara bertahap (Tabel 2). Pada bulan

Nopember ikan motan banyak yang sudah memijah,

ditandai oleh banyaknya telur pada tingkat kematangan

gonad V. Secara keseluruhan, telur ikan motan akan

dipijahkan antara 2-3 kali sampai semua telur dikeluarkan.

Menurut Murtini (2006), ikan motan melakukan pemijahan

secara parsial dan berkala karena mengalami kematangan

gonad secara bertahap dari bulan ke bulan berikutnya.

Page 7: ikan bawal

Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

Tabel 2. Tingkat kematangan gonad ikan motan di Waduk Kotopanjang

Table 2. Gonad maturity stage of motan in Kotopanjang Reservoir

Tingkat kematangan gonad/

Gonad maturity stage

Persentase tingkat kematangan gonad/

Percentage gonad maturity stage

Agustus Oktober November

I 34 - -

II 45 - -

III 21 32 -

IV - 68 26,5

V - - 73,5 Keterangan/Remarks: - tidak ada data/no data available

Fekunditas, Indeks Kematangan Gonad, dan Diameter

Telur

Fekunditas, indeks kematangan gonad, dan diameter

telur yang dihitung adalah telur dengan tingkat kematangan

gonad IV, karena telur pada saat itu sudah masak dan siap

untuk dipijahkan (Gambar 4). Fekunditas ikan motan di

Waduk Kotopanjang pada penelitian ini berada pada

kisaran antara 25.360-61.198 butir, dan indeks kematangan

gonad berada antara 6,6-17,5% (Tabel 3). Diameter telur

antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5).

Gambar 5. Telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV.

Figure 5. The eggs of motan on gonad maturity stage IV.

Tabel 3. Fekunditas dan indeks kematangan gonad ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV di Waduk

Kotopanjang, Provinsi Riau

Table 3. Fecundity and gonado somatic index of motan at stadium IV in Kotopanjang Reservoir, Riau Province

No. Panjang total/

Total length (cm)

Bobot total/

Total weight (g)

Bobot gonad

Gonad weight (g)

GSI

(%)

Fekunditas/

Fecundity

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

24,2

19,6

20,2

20,6

23,8

22,5

20,6

21,4

21,5

21,0

19,3

18,6

18,2

20,6

25,0

21,2

148

64

73

100

150

121

102

112

116

103

74

63

61

76

155

115

12,70

7,83

8,17

6,65

14,44

14,76

10,83

13,24

8,80

10,09

9,20

8,83

8,90

8,55

9,54

7,20

8,58

12,23

11,20

6,65

9,62

12,20

10,62

11,82

7,57

9,79

12,43

14,01

14,59

11,25

6,15

6,26

52.120

35.576

42.780

25.360

56.165

54.374

30.656

46.686

29.384

43.826

38.742

36.425

31.420

34.506

41.664

32.108

Page 8: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

25,4

20,5

19,2

20,3

19,0

20,5

20,3

21,7

26,0

22,5

162

72

69

90

70

98

84

100

160

110

18,26

9,16

6,90

12,82

8,12

17,21

9,16

10,23

11,34

8,73

11,64

12,72

10,00

14,24

11,61

17,56

10,90

10,20

7,09

7,93

54.672

42.702

29.442

49.240

39.424

61.198

34.645

36.062

40.314

25.346

Murtini (2006) mendapatkan dari 40 ekor ikan motan

mempunyai fekunditas antara 36.057-83.968 butir.

Tingginya fekunditas ini mungkin disebabkan karena

ukuran ikan yang diperoleh relatif lebih besar bahkan ada

yang bobotnya mencapai 180 g.

Sementara pada penelitian ini bobot ikan motan hanya

berkisar 61-162 g. Nilai fekunditas ada hubungannya

dengan ukuran ikan, semakin besar atau bobot ukuran ikan

semakin bobot atau besar gonad sehingga fekunditas juga

semakin banyak. Royce (1984) mengatakan fekunditas satu

spesies ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang

ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetis,

ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan.

Menurut Nasution (2005), korelasi fekunditas dengan bobot

total ikan lebih tinggi dibandingkan dengan panjang total

ikan.

Indeks kematangan gonad adalah suatu nilai persentase

hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan

secara keseluruhan, nilai indeks kematangan gonad semakin

besar dengan semakin berkembangnya gonad sampai ikan

memijah atau mengeluarkan telur. Nilai indeks kematangan

gonad tertinggi sejalan dengan perkembangan gonad, dan

dicapai pada tingkat kematangan gonad IV (Nasution,

2005). Nilai indeks kematangan gonad ikan motan pada

tingkat kematangan gonad IV antara 6,65-17,56%. Dengan

demikian telur ikan motan berada pada indeks kematangan

gonad yang lebih kecil (<20%). Menurut (Bagenal, 1978

dalam Nasution, 2005), ikan betina yang mempunyai nilai

indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20 % dapat

melakukan pemijahan beberapa kali setiap tahunnya.

Dari 1.881 butir telur yang teramati, diameter telur ikan

motan pada tingkat kematangan gonad IV berada antara

0,31-0,90 mm (Gambar 5). Pada Gambar tersebut terlihat

bahwa ukuran telur ikan motan tidak seragam. Ukuran

diameter telur yang paling banyak ditemukan antara 0,61-

0,70 mm (D) 38,65% selanjutnya ukuran 0,71-0,80 mm (E)

35,57%. Selain itu ukuran diameter telur dari 0,31-0,40 mm

(A) hanya berjumlah 2,23%, dan ukuran yang paling besar

0,81-0,90 mm (F) hanya 6,11%. Analisis yang dilakukan

terhadap seluruh telur yang teramati rata-rata diameter telur

ikan motan 0,67 mm, telur yang paling banyak ditemukan

mempunyai diameter 0,70 mm. Beragamnya ukuran telur

ikan motan ini juga terjadi pada penelitian Murtini (2006),

di mana diameter telur ikan motan yang ditemukannya

berkisar antara 0,40-0,75 mm. Ukuran telur yang tidak

seragam menyebabkan ikan ini melakukan pemijahan

secara parsial karena telur belum siap dipijahkan secara

keseluruhan.

Gambar 6. Kisaran diameter telur ikan motan di Waduk Kotopanjang, tahun 2009.

Figure 6. Range of eggs diameter of motan in Kotopanjang Reservoir, 2009. Keterangan/Remarks: A = 0,31-0,40 mm; B = 0,41-0,50 mm; C = 0,51-0,60 mm; D = 0,61-0,70 mm; E = 0,71-

0,80 mm; F = 0,81-0,90 mm

0.00%

5.00%

10.00%

15.00%

20.00%

25.00%

30.00%

35.00%

40.00%

45.00%

A B C D E F

D ia me t e r

Page 9: ikan bawal

Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)

KESIMPULAN

1. Ikan motan merupakan ikan herbivora dengan pakan

utama makrofita, pakan pelengkap berupa

phytoplankton dan detritus, sedangkan pakan

tambahannya adalah Protozoa, Rotifera, dan Crustaceae.

2. Tingkat kematangan gonad stadium IV terjadi pada

awal musim hujan (bulan Oktober). Pemijahan terjadi

beberapa kali setelah musim hujan pada bulan

Nopember.

3. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198

butir dengan diameter 0,31-0,90 mm. Indeks

kematangan gonad antara 6,15-17,56%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset pakan alami dan biologi reproduksi ikan motan

(Thynnichthys polylepis) di Waduk Kotopanjang, Provinsi

Riau, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-

Mariana, Palembang dengan Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association. 1981. Standart

Methods for Examinations of Water and Waste Water.

American Public Health Association Inc. New York.

1,134 pp.

Anonimus. 1996. Studi zonasi daerah genangan proyek

pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Buku I:

Utama. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian. Universitas

Padjadjaran. Bandung. 75 pp.

Andri, R. J. 2006. Analisis isi saluran pencernaan ikan

famili Cyprinidae yang memanfaatkan diatom di sekitar

keramba di waduk pembangkit listrik tenaga air

Kotopanjang, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau Pekanbaru. (Tidak

Diterbitkan). 119 pp.

Anonimus. 2007. Pemeriksaan Gonad Ikan. Diunduh

Tanggal 23 Nopember 2009.

http://jlcome,blogspot.Come/2007/05.

Aprilianti, R. 2007. Hubungan kelimpahan fitoplankton

dengan jumlah ikan motan (Thynnichthys polylepis) di

waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang.

Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Dipublikasikan).

55 pp.

Effendie, M. I. 1992. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bagian Ichtiology.

Institut Pertanian Bogor. 112 pp.

Hamidy, R., M. Ahmad, T. Dahril, H. Alawi, M. M.

Siregar, & C. P. Pulungan. 1983. Identifikasi dan

inventarisasi jenis ikan di Sungai Siak, Riau. Pusat

Penelitian. Universitas Riau. Pekanbaru. 63 pp.

Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S.

Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western

Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia

Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-Proyek

EMDI. Jakarta.

Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. R. M.

Passino. 1977. Ichthyology. 2nd

ed. New York. John

Wiley & Sons.

Lammens, E. H. R. R & W. Hoogenboezem. 1981. Diets

and feeding behavior. In Winfield, I. J. & J. S. Nelson

(Eds): Cyprinid Fishes: Systematics, Biology, and

Exploitation. Chapman & Hall. London. 353-376.

Macpherson, E. 1981. Resource partitioning in a

Mediterranian demersal fish community. Mar. Ecol.

Prog. Str. 39: 183-193.

Mudjiman, A. 1991. Makanan Ikan: Seri Perikanan. PT.

Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta. 190 pp.

Mohsin, A. K. M. & A. M. Ambak. 1992. Freshwater

Fishes of Western Peninsular Malaysia. Penerbit

University Pertanian. Malaysia.

Merrit, R. W. & K. W. Cummins. 1996. An Introduction to

the Aquatic Insect of North America.

Murtini, S. 2006. Biologi Reproduksi Ikan Motan

(Thynnichthys polylepis) secara Histologi di Waduk

Kotopanjang, Kabupaten Kampar, Riau. Manajemen

Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasikan). 59

pp.

Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater

Biology. Holden Day Inc. Sanfransisco. 108 pp.

Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic

Press. 325 pp.

Nasution, S. H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan

endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebencis

Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan

Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (2): 29-37.

Page 10: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Nurfiarini, A., F. N. Priyatna, & A. S. N. Krismono. 2009.

Status sosial budaya dan kelembagaan masyarakat

dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di Waduk

Kotopanjang, Provinsi Riau. Prosiding Seminar

Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan

Kelautan Tahun 2009. Jilid II. Manajemen Sumber

Daya Perikanan dan Kelautan. Sosial Ekonomi

Perikanan/SE.01. Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan.

Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada.

Yogyakarta. 1-7.

Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of United

Stated. Second Edition. A Wellow Inter Science

Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 803 pp.

Pulungan, C. P. 1999. Biologi reproduksi ikan motan

(Thynnichthys polylepis) dari waduk pembangkit listrik

tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu,

Kecamatan XIII, Koto Kampar, Riau. Jurnal Terubuk.

31: 36-40.

Royce, W. 1984. Introduction to the Practice of Fishery

Science. Academic Press Inc. New York. 753 pp.

Suryaningsih. 2000. Aspek biologi ikan motan

(Thynnichthys polylepis C. V.) di waduk pembangkit

listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung

Bungsu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas

Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 67 pp.

Sanofel, D. 2006. Studi keberadaan ikan motan

(Thynnichthys polylepis) pada jenis vegetasi air yang

berada di waduk pembangkit listrik tenaga air

Kotopanjang, Kecamatan XIII, Koto Kampar,

Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.

Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 76 pp.

Utiah, A. 2007. Penampilan reproduksi induk ikan baung

(Mystus nemurus) dengan pemberian pakan buatan yang

ditambah asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan

implantasi estradiol-17 B dan tiroksin. Makalah Sekolah

Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2006.

http://www.damandiri.or.id/detail.php. Diunduh

Tanggal 25 Nopember 2009.

Page 11: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN SEMBILANG (Plotosus canius)

DI PERAIRAN ESTUARIA BANYUASIN, SUMATERA SELATAN

Khoirul Fatah dan Asyari Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 21 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 24 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011

ABSTRAK

Ikan sembilang (Plotosus canius) merupakan salah satu sumber daya ikan di perairan estuaria, Kabupaten Banyuasin,

Sumatera Selatan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007.

Contoh ikan diperoleh dari nelayan yang menangkap dengan alat tangkap belad dan rawai dasar. Hasil penelitian ini

menunjukan ratio kelamin jantan terhadap betina yaitu 1:2. Organisme yang ditemukan dalam saluran pencernaan terdiri

atas lima jenis yaitu potongan kepiting, udang, ikan, cacing, dan keong, sehingga ikan sembilang dapat digolongkan

sebagai ikan karnivora. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik (b=3), berarti pertumbuhan panjang seiring

dengan pertumbuhan bobot. Kelompok ukuran panjang ikan sembilang tertangkap didominansi oleh ukuran panjang

antara 25,1-30,1 cm.

KATA KUNCI: aspek biologi, ikan sembilang, estuaria Banyuasin

ABSTRACT: Some biological aspect of eeltailed catfish (Plotosus canius) in the estuarine waters of Banyuasin,

South Sumatera. By: Khoirul Fatah and Asyari

Eeltailed catfish (Plotasus canius) is one of the fish resources in the estuarine waters of Banyuasin South Sumatera.

Research on some biological aspect of Plotosus canius was conducted from April to July 2007. Fishes were caught by

fishermen using barrier traps and bottom long line. The results show that the sex ratio of male to female was 1:2.

Organisms found in the digestive tract consists of five types crabs, shrimp, fish, worms, and snails. Thus eeltailed catfish

can be classified as a carnivorous fish. The constant (=b) of length weight relationship of Plotosus canius was 3 (t-test)

suggesting this species was length increment as fast as weight increment. Based on total length size group measured, fish

dominontly caught in length of 25.1-30.1 cm.

KEYWORDS: fish biology, eeltailed catfish, Banyuasin estuary waters

PENDAHULUAN

Estuaria merupakan bagian dari daerah aliran sungai

yang berada di bagian hilir. Selain menjadi penangkap hara

dan polutan, perairan estuaria sangat dinamis, dipengaruhi

oleh pasang surut air laut dan aliran air dari hulu. Secara

ekologi, perairan estuaria mempunyai ciri khas oleh adanya

pengaruh pasang surut air laut dan fluktuasi salinitas

dengan keragaman jenis ikan air tawar maupun ikan laut.

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah estuari

mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan (Wardoyo et

al., 2001).

Ikan sembilang secara taksonomi, termasuk kelas

Actinopterygii, ordo Siluriformes, dan famili Plotosidae.

Daerah penyebarannya meliputi perairan laut, muara

sungai, dan perairan tawar. Ikan ini merupakan predator

yang memangsa anakan ikan dan hewan yang hidup di

dasar dari kelompok gastropoda, moluska, dan crustasea.

Menurut Webber & Beufort (1913), ikan sembilang terdiri

atas tujuh spesies yaitu satu dari genus Paraplotosus dan

enam spesies dari genus Plotosus. Ikan sembilang tersebar

di kawasan Indo-Pasifik barat dan kepulauan Indo-

Australia. Di Sumatera Selatan, ikan sembilang terdapat di

daerah Musi Banyuasin dan kadang-kadang di Sungai Musi

bagian tengah (Utomo, 2007). Menurut Gaffar et al. (2006),

ikan sembilang yang hidup di Banyuasin didominansi oleh

jenis Plotosus canius (Gambar 1). Selanjutnya (Webber &

Beufort, 1913; Kottelat et al., 1993) mengatakan ciri-ciri

ikan sembilang antara lain sirip punggung kedua terletak

pada garis tegak antara sirip dubur dan sirip perut; bibir atas

dapat membuka ke atas atau ke depan; sungut dapat

mencapai bagian belakang mata, dan berwarna gelap

kecoklatan. Panjang total dapat mencapai 134 cm.

Page 12: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 1. Ikan sembilang.

Figure 1. Eeltailed catfish.

Sampai saat ini belum tersedia data produksi ikan

sembilang di Banyuasin, tetapi dari indikator di lapangan

menunjukan ikan sembilang yang di tangkap oleh nelayan

didominansi oleh ikan yang berukuran kecil dan belum

matang gonad. Ikannya tersebut ditangkap dengan alat

tangkap yang tidak selektif misal belad pantai yang

mempunyai ukuran mata jaring 0,5 inci. Upaya

penangkapan yang dilakukan terus-menerus, dikhawatirkan

akan menganggu proses rekruitmen karena banyak ikan

yang kecil tertangkap. Sementara upaya pengelolaan

sumber daya ikan di daerah estuaria Banyuasin belum

dilakukan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan

sembilang merupakan tahap awal dalam mempelajari

dinamika populasinya sebagai masukan untuk

pengelolaanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui beberapa aspek biologi seperti kebiasaan,

makanan, dan hubungan panjang dan bobot ikan sembilang

di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera

Selatan.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan Contoh Ikan

Penelitian tentang ikan sembilang dilakukan pada bulan

April sampai Juli 2007 di perairan estuaria Upang,

Sungsang, dan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin (Gambar

2). Pengamatan biologi dilakukan di Laboratorium Biologi,

Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.

Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin.

Figure 2. Map showing the research location of eeltailed catfish in the estuarine waters of Banyuasin District. Keterangan/Remarks: A = estuaria Banyuasin; B = estuaria Musi; C = estuaria Upang

Waktu pengambilan contoh ikan dilakukan setiap bulan

pada minggu pertama. Contoh ikan dikumpulkan dari hasil

tangkapan nelayan yang mengunakan alat tangkap belad

(barrier trap), rawai dasar (long line), dan pancing (hook

and line). Pengamatan parameter biologi dilakukan

terhadap panjang total dan bobot individu serta kandungan

isi lambung dan nisbah kelamin.

BT

A B

C

2,5°

2,25°

2,0°

103° 104° 105°

U

LS

S

Page 13: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

Identifikasi isi lambung mengacu pada (Kottelat et al.,

1993; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).

Analisis Data

1. Parameter biologi

Untuk penentuan sebaran frekuensi panjang ikan

sembilang jantan dan betina didasarkan atas Walpole

(1993). Menentukan banyaknya selang kelas, k=1+3,32 log

n, menentukan wilayah kelas, r=db-dk (r = wilayah kelas,

db = data terbesar, dk = data terkecil), menghitung lebar

kelas, L = r/jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah

kelas), menentukan limit bawah kelas interval pertama dan

batas bawah kelas, mendaftarkan semua limit kelas dan

batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada

limit dan batas selang bawahnya, menentukan titik tengah

kelas bagi masing-masing selang dengan meratakan limit

kelas atau batas kelasnya, menentukan frekuensi bagi

masing-masing kelas.

Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan

jumlah ikan jantan dan betina yang diperoleh sesuai dengan

Haryani (1998). Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah

kelamin jantan dan betina dilakukan uji Chi-square

(Walpole, 1993).

2. Kebiasaan makan

Untuk mengetahui kebiasan makan maka dilakukan

analisis isi lambung ikan dengan menghitung index of

preponderance yang merupakan gabungan dari metode

frekuensi kejadian dengan metode volumetrik sebagai

berikut (Effendie, 1979):

VixOi

IP = ----------- x100% .................................................. (1

∑Vi x Oi

di mana:

Vi = persentase volume satu macam makanan

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

∑VixOi = jumlah VixOi dari semua macam makanan

IP = index of preponderance

Suatu jenis organisme disebut sebagai makanan utama

jika memiliki nilai index of preponderance di atas 40% dan

dikatakan sebagai makanan pelengkap jika nilai index of

preponderance diantara 4-40%. Jika nilai index of

preponderance di bawah 4% maka termasuk kategori

makanan tambahan (Noor, 2001).

3. Hubungan panjang dengan bobot

Hubungan bobot tubuh dengan panjang (total) ikan

sembilang ditentukan berdasarkan atas rumus Effendie

(1979) yaitu:

W = aLb ....................................................................... (2

di mana:

W = bobot ikan (g)

L = panjang ikan (mm)

a dan b = konstanta regresi

4. Faktor kondisi

Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan

persamaan ponderal indeks untuk pertumbuhan isometrik

(b=3) dengan rumus (Effendie, 1979):

5x10

3L

WK = ………………………………………. (3

di mana:

K = faktor kondisi

W = bobot rata-rata ikan (g)

L = panjang rata-rata ikan (mm)

Bila pertumbuhan tersebut bersifat alometrik (b≠3)

maka faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus

(Effendie, 1979):

ncL

WKn = ………………………………………….. (4

di mana:

Kn = faktor kondisi nisbi

W = bobot rata-rata (g)

C = a dan n = b adalah konstanta yang diambil dari

hubungan panjang dan bobot ikan

HASIL DAN BAHASAN

Nisbah Kelamin

Jumlah contoh ikan sembilang yang dikumpulkan

selama penelitian 137 ekor, terdiri atas kelamin jantan 49

ekor (35,51%) dan betina 89 ekor (64,49%) atau dengan

perbandingan 1:2. Rasio kelamin diperlukan untuk

mengetahui perbandingan jenis kelamin, sehingga dapat

diduga keseimbangan populasinya. Populasi ikan sembilang

betina di daerah penelitian lebih banyak dibandingkan

dengan jantan. Menurut Rahmawati (2002), rasio kelamin

ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria

Sungai Siak 1:2. Menurut Effendie (2002), kenyataan di

alam perbandingan kelamin jantan dan betina tidak mutlak.

Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran yang disebabkan

oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, dan

keseimbangan rantai makanan.

Page 14: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Kebiasan Makan

Pengamatan isi lambung terhadap 137 ekor ikan

sembilang dengan ukuran panjang total antara 20,6-57,6

cm, diperoleh lima jenis makanan yaitu potongan ikan,

udang, kepiting, keong, dan cacing. Analisis kebiasaan

makanan dengan metode index of preponderance diperoleh

nilai masing-masing untuk udang 44,45%, kepiting 39,71%,

keong 11,34%, ikan 4,21%, dan cacing 0,29% (Gambar 3).

Makanan utama ikan sembilang adalah udang dengan

makanan pelengkap adalah kepiting, keong, ikan, dan

sebagai makanan tambahan adalah cacing. Jenis udang

yang dimakan ikan sembilang didominansi oleh udang ende

(Metapenaeus ensis) lokal pepe. Pada bulan April sampai

Juli diduga merupakan musim penangkapan udang ende

dan berdampak lebih banyaknya ikan sembilang memakan

udang bila dibandingkan dengan jenis makanan lainnya.

Gambar 3. Histogram nilai index of proponderance (%) ikan sembilang.

Figure 3. Histogram index of proponderance of eeltailed catfish.

Pengukuran panjang usus terhadap 130 ekor ikan

sembilang dengan panjang total berkisar antara 20,6-94,5

cm, rata-rata 32,5 cm diperoleh panjang usus 10-62 cm,

dengan rata-rata 25,5 cm. Panjang usus ikan sembilang

didapatkan 78,30% dari panjang total. Menurut Tamsil

(2000), panjang usus adalah panjang saluran pencernaan

ikan yang dikatakan dalam persen dari panjang badan total.

Ikan sembilang dapat digolongkan ke dalam ikan

karnivora, dan pada umumnya memiliki panjang usus yang

lebih pendek dari panjang total tubuh. Menurut (Effendie,

1979; Affandi et al., 1992; Lagler et al., 1977) Ikan

karnivora mempunyai usus pendek dan panjang usus

tersebut lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Kondisi

tersebut dikarenakan makanan ikan sembilang berupa

daging, dan dalam proses pencernaannya tidak memerlukan

waktu yang lama seperti pada ikan pemakan tumbuhan.

Hubungan Panjang dan Bobot

Analisis statistik terhadap hubungan panjang dan bobot

tubuh ikan sembilang diperoleh persamaan W=5x10-6

L3.0057

dengan nilai b sebesar 3,0057 dan r2 (koefisien korelasi)

sebesar 0,96 (Gambar 4). Besarnya nilai r2 tersebut

menunjukan bahwa antara panjang dan bobot tubuh

mempunyai hubungan yang erat. Uji t terhadap nilai b,

diperoleh thitung<ttabel sehingga ikan sembilang mempunyai

pola pertumbuhan isometrik (b=3), artinya pertumbuhan

panjang seiring dengan pertumbuhan bobotnya.

4,21%

44,45%

39,71%

11,34% 0,29%

Ikan Udang Kepiting Keong Cacing

Page 15: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli

2007.

Figure 4. Length and weight relationship of eeltailed catfish in the estuarine water of Banyuasin, April until July

2007.

Nilai faktor kondisi ikan sembilang berkisar antara 0,58-

1, 50. Nilai tersebut menunjukan adanya variasi nilai.

Menurut Effendie (1979) yang menyebabkan bervariasinya

nilai faktor kondisi adalah tingkat kematangan gonad.

Perkembangan gonad seiring dengan pertambahan bobot

gonad yang dapat meningkatkan faktor kondisi.

Distribusi Panjang dan Bobot

Ikan sembilang yang tertangkap dengan belad pantai

pada bulan April sampai Juli 2007 sebanyak 125 ekor,

dengan distribusi panjang total dan bobot tubuh adalah ikan

jantan berukuran panjang total antara 234-597 mm dengan

modus panjang 378 mm dan bobot tubuh 61-924 g, ikan

betina berukuran panjang total antara 200-550 mm dengan

modus panjang 380 mm dan bobot antara 20-1110 g

Berdasarkan atas kelompok ukuran panjang total, ikan

sembilang baik yang jantan dan betina yang terbanyak pada

kelompok ukuran panjang antara 251-301 mm yaitu untuk

jantan sekitar 16,80% dan untuk betina sekitar 28,80%,

sedangkan pada kelompok ukuran 557-607 mm hanya

ditemukan kelompok ikan jantan (Gambar 5).

W=5x10-6L3,0057

R²=0,964

r=0,982

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

0 200 400 600 800 1.000

Panjang (mm)

Bob

ot

(g)

Page 16: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

0

5

10

15

20

25

30

35

200 - 250 251 - 301 302 - 352 353 - 403 404 -454 455 - 505 506 - 556 557-607

Kelas panjang (mm)

Ju

mla

h (

%)

JANTAN BETINA

0

10

20

30

40

50

60

20 -158 159 -297 298 -436 437 -575 578 -716 71 - 855 856 - 994 995 -1133

Kelas berat (gr)

Ju

mla

h (

%)

JANTAN BETINA

Gambar 5. Histogram ukuran panjang total (A) dan bobot (B) ikan sembilang hasil tangkapan belad di perairan

estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007.

Figure 5. Histogram of length and weight of eeltailed catfish caught by barrier trap in the estuarine water of

Banyuasin, Aprl until July 2007.

Bedasarkan atas ukuran panjang total dan bobot tubuh

ikan sembilang yang tertangkap, semakin besar ukuran

panjang dan bobot tubuhnya semakin sedikit yang

tertangkap, hal ini dikarenakan ikan sembilang sebelum

mencapai ukuran dan bobot tersebut tertangkap oleh

nelayan, sehingga tidak sempat tumbuh mencapai ukuran

dan bobot tubuh yang maksimal. Menurut Soumakil (1996),

ukuran ikan berbanding terbalik dengan jumlahnya, karena

semakin besar ukuran ikan jumlah tangkapan cendrung

semakin sedikit dan sebaliknya.

Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan

persentase yang cukup besar antara ikan jantan dan betina.

Menurut Sumassetiyadi (2003) perbedaan tersebut antara

lain disebabkan oleh aktivitas ikan dalam perairan,

kemampuan beradaptasi, dan faktor genetik ikan jantan dan

betina berbeda.

KESIMPULAN

1. Rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di

perairan estuaria Kabupaten Banyuasin adalah 1:2.

2. Pengamatan terhadap 137 ekor ikan sembilang

diperoleh komposisi jenis makanan terdiri atas potongan

udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan

A

B

Page 17: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)

4,21%, dan cacing 0,29%. Ikan sembilang digolongkan

sebagai ikan karnivora dengan makanan utama adalah

udang.

3. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik di

mana pertumbuhan panjang seiring dengan

pertumbuhan bobot.

4. Ukuran panjang ikan sembilang jantan dan betina yang

terbanyak berkisar antara 25,1-30,1 cm dengan

komposisi ikan jantan 16,80% dan ikan betina 28,80%.

5. Ukuran bobot ikan sembilang jantan dan betina yang

terbanyak berkisar antara 20-158 g dengan komposisi

ikan jantan 23,8% dan ikan betina 48,4%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset penangkapan ikan di perairan estuaria Kabupaten

Banyuasin, Sumatera Selatan, T. A. 2007, di Balai Riset

Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R., D. S. Syafei, M. F. Rahardjo, & Sulistiono.

1992. Fisiologi Ikan: Pencernaan Pusat Antar

Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. 160

pp.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan

Dewi Sri. Bogor. 112 pp.

Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka

Nusantara. Yogyakarta. 163 pp.

Gaffar, A. K., K. Fatah, & Rupawan. 2006. Riset perikanan

tangkap di perairan estuaria yang bermuara di Selat

Bangka. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan

Perairan Umum. Palembang. (Tidak Diterbitkan). 33

pp.

Haryani, G. S. 1998. Analisa histologi gonad ikan-ikan di

perairan Danau Semayang, Kalimantan Timur. Hasil

Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan

Limnologi Tahun 1997/1998. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia. Cibinong. 632-637.

Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S.

Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian

Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta.

293 pp.

Lagler, J. E. Bardach, R. P. Miller, & D. R. M. Passino.

1977. Ichthyology. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York.

650 pp.

Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater

Biology. Holden Day Inc San Francisco. 108 pp.

Noor, A. 2001. Makanan ikan belanak (Mugil dussumien)

di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Skripsi.

Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut

Pertanian Bogor. 48 pp.

Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of the

United State. Jhon Wiley & Sons. New York. 803 pp.

Rahmawati, I. 2002. Aspek biologi reproduksi ikan

sembilang (Plotosus canius) di estuaria Sungai Siak,

Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber

Daya Perairan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasi.).

75 pp.

Soumakil, A. 1996. Telah beberapa parameter populasi ikan

moma putih (Decapterus rasselli) di perairan

Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, dan alternatif

pengelolaanya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut

Pertanian Bogor. 60 pp.

Sumassetiyadi, M. A. 2003. Beberapa aspek reproduksi

ikan opudi (Telmaterina antoniae) di Danau Metano,

Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Manajemen

Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 75 pp.

Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi

prapemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan

bungo (Glossogobius aureus) di Danau Tempe dan

Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program

Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 80 pp.

Utomo, A. D. 2007. Dinamika sumber daya perikanan di

estuaria. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III.

Universitas Hang Tuah. Surabaya. 12 pp.

Weber, M. & De Beufort. 1913. The Fishes of the Indo-

Australian Archipelago. E. J. Brill ltd. Leiden. Jilid 2.

Walpole, R. V. E. 1993. Pengantar Statistik. Terjemahan B.

Sumantri (Edisi Tiga). PT. Gramedia. Jakarta. 521 pp.

Wardoyo, H. Ferry, & P. Joko. 2001. Laporan Survei

Perikanan di Kawasan CTN Sembilang, Bulan Juli

2001. Proyek Konservasi Lahan Basah Pesisir Berbak-

Sembilang GEF MSP (TF-0240011). Wetland

International-Asia Pasipic Indonesia Program. 35 pp.

Page 18: ikan bawal

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

EVALUASI KEBERHASILAN PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)

DI WADUK IR. H. DJUANDA

Didik Wahju Hendro Tjahjo1)

, Sri Endah Purnamaningtyas1)

, dan Endi Setiadi Kartamihardja2)

1) Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta

2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 April 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010;

Disetujui terbit tanggal: 4 Pebruari 2011

ABSTRAK

Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai potensi pengembangan budi daya ikan yang tinggi, dan pertumbuhan budi daya

tersebut berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut sangat berdampak pada penurunan kualitas air dan

mendorong peningkatan kelimpahan plankton yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melakukan penebaran ikan

bandeng (Chanos chanos) pada bulan Juli sampai Agustus 2008 sebanyak 2.116.000 ekor benih dalam upaya

menanggulangi kelimpahan plankton yang tinggi dan sekaligus meningkatkan produksi ikannya. Tujuan penelitian ini

adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat.

Penelitian ini dilakukan setiap bulan pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Pengamatan dilakukan dengan

metode teratifikasi dengan enam titik stasiun pengamatan. Evaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng dievaluasi

kemampuan memanfaatkan kelimpahan plankton, pertumbuhannya, dan dapat tertangkap kembali. Hasil analisis

kebiasaan makan, ikan bandeng mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan kelimpahan plankton di perairan

tersebut, dan ikan ini mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat (K=3.381 dengan L∞=45 cm). Ikan bandeng ini

dapat tertangkap kembali oleh nelayan setempat pada bulan September 2008 sampai Pebuari 2009 dan juga secara tidak

langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan

dampak penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka

perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada.

KATA KUNCI: ikan bandeng (Chanos chanos), kebiasaan makan, pertumbuhan, tertangkap kembali, Waduk

Ir. H. Djuanda

ABSTRACT: Evaluation of successfulness of fish stocking on bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda

Reservoir. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo, Sri Endah Purnamaningtyas, and Endi Setiadi

Kartamihardja

Ir. H. Djuanda Reservoir has high potency in developing of fish culture, that the growth has developed very fast. The

fast growth of fish culture affected the degradation of water quality and push increasing of plankton abundance.

Therefore, government conduct stocking of bandeng on July until August 2008 as much 2,116,000 individual as on effort

of overcoming of plankton bloom and increasing of fish production. The aim of this study is to evaluate the successfulness

of fish stocking of bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir, Purwakarta, and West Java. The research was

conducted every month at period of July 2008 until January 2009. Observation was done by sampling stratification

method at 6 point of observation station. Evaluation of successfulness fish stocking base on the ability using of plankton,

the growth and percentage of recaptured. The result should that bandeng have high ability inusing of plankton in waters

as a feed (97.8%), and this fish had high growth rate (K=3.381 and L∞=45 cm). This fish could be recaptured by local

fisherman in September 2008 until February 2009. Beside, this bandeng stocking indirectly have been able to improve

waters quality of Ir. H. Djuanda Reservoir. Therefore, the effort of increasing impact of bandeng stocking improved

waters quality and improvement of fisherman prosperity, thus require to be continued of bandeng stocking and

reinforcement institute of local fisherman.

KEYWORDS: bandeng (Chanos chanos), food habit, growth, recaptured, Ir. H. Djuanda Reservoir

PENDAHULUAN

Waduk Ir. H. Djuanda terletak di Kabupaten

Purwakarta, Provinsi Jawa Barat dan selesai dibangun

tahun 1967. Waduk ini mempunyai luas genangan

maksimum 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 95 m,

kedalaman rata-rata 36,4 m dan pengembangan garis pantai

5,96 (Tjahjo, 1986) atau panjang garis pantai 163 km dan

terletak pada ketinggian 111,5 m di atas permukaan laut.

Waduk ini merupakan waduk serbaguna dan mempunyai

fungsi utama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air, irigasi,

pencegah banjir, dan penyedia bahan baku air minum. Saat

ini Waduk Ir. H. Djuanda lebih diutamakan ke fungsi

penyedia bahan baku air minum untuk wilayah Purwakarta,

Karawang, Bekasi, dan Jakarta. Selain fungsi utama waduk

tersebut di atas, waduk ini juga dimanfaatkan untuk

perikanan, pariwisata, dan transportasi yang disebut sebagai

kegiatan tambahan.

Pengembangan kegiatan budi daya ikan dalam keramba

jaring apung di Waduk Ir. H. Djuanda telah jauh melampaui

jumlah yang diizinkan, pada tahun 2005 telah mencapai

Page 19: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

lebih dari 15.000 unit dan jumlah yang diizinkan 2.100 unit

(berdasarkan atas Surat Keputusan Bupati Purwakarta

No.06/2000). Perkiraan limbah organik yang berasal dari

kegiatan budi daya di Waduk Ir. H. Djuanda mencapai

21.365,1 ton/tahun (Nastiti et al., 2001) dan meyebabkan

perairan tersebut telah mencapai eutrofik dan hipertrofik.

Dampaknya terhadap perairan, antara lain blooming algae

dan perairan dalam kondisi anoxia yang menghasilkan gas

beracun seperti NH3 dan H2S, sehingga sering terjadi

kematian massal (Tjahjo et al., 2008).

Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai luas 8.300 ha dengan

kedalaman maksimum 97 m, dan luas daerah limnetiknya

berkisar antara 5.200-7.100 ha atau 63-86% dari luas total

(Kartamihardja, 2007). Perkembangan budi daya ikan

dalam keramba jaring apung di waduk ini telah berkembang

dengan pesat, bahkan telah melampaui daya dukung

perairan itu sendiri. Unsur hara (N dan P) yang dihasilkan

dari kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di

waduk ini pada tahun 1996 ditaksir 36.531,3 ton untuk total

N dan 33.968,4 ton untuk total P (Nastiti et al., 2001).

Peningkatan unsur hara tersebut telah berdampak terhadap

peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi dalam

waktu yang singkat (blooming). Daerah limnetik yang kaya

akan fitoplankton tersebut dihuni oleh sedikit jenis ikan

pemakan plankton.

Hasil penelitian aliran energi biomassa di daerah

limnetik oleh Kartamihardja (2007) menunjukan bahwa

untuk meningkatkan optimasi pemanfaatan plankton di

daerah limnetik, dapat dilakukan penebaran ikan pemakan

plankton 4,118 juta ekor pada tahun pertama dan 1,235 juta

ekor pada tahun berikutnya. Berdasarkan atas hasil

penelitian tersebut, ditindaklanjuti oleh pemerintah telah

melakukan penebaran ikan bandeng pada bulan Juli sampai

Agustus 2008 dengan jumlah total benih 2.116.000 ekor.

Penebaran ikan bandeng tersebut dilaksanakan 28 kali

selama tanggal 2 Juli sampai 20 Agustus 2008 dengan

ukuran panjang total 2,8-8,5 cm atau bobot 0,1-5,1 g.

Tujuan penebaran ikan bandeng ini untuk

memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi,

peningkatan hasil tangkapan nelayan, dan secara tidak

langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir.

H. Djuanda. Dalam kaitan tersebut, tujuan penelitian ini

adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan

bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat.

BAHAN DAN METODE

Metode Pengumpulan Data

Pelaksanaan penelitian dilakukan di Waduk Ir. H.

Djuanda (Kabupaten Purwakarta). Pengumpulan data

tangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan metode

survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson,

1985). Pengumpulan data tersebut di lapangan

direncanakan tujuh kali, setiap bulan selama periode bulan

Juli 2008 sampai Januari 2009. Titik pengambilan contoh

ditentukan enam titik stasiun pengamatan untuk Waduk Ir.

H. Djuanda, yaitu Sodong, Bojong-Jamaras, Kerenceng,

Baras Barat-DAM, Taroko, dan Cilalawi (Gambar 1).

Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan

menggunakan jaring insang percobaan dan ukuran mata

jaringnya 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 inci dengan panjang

37,5 m dan dalam 100 mata. Jaring insang tersebut

dipasang pada sore hari (pukul 17.00 WIB) dan diangkat

pagi hari berikutnya (pukul 7.00 WIB). Ikan bandeng yang

tertangkap diukur panjang dan bobotnya, dan diambil

lambungnya. Lambung ikan tersebut diawetkan dalam

formalin 4%, selanjutnya dianalisis kebiasaan makannya di

Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Jatiluhur.

Analisis Data

Ada tiga faktor untuk mengevaluasi keberhasilan

penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu

ikan bandeng dapat ditangkap kembali, ikan bandeng

mampu memanfaatkan plankton sebagai makanannya, dan

ikan bandeng mampu tumbuh dengan cepat.

Kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan

sumber daya pakan melalui analisis kebiasaan makan

dengan menggunakan indeks preponderance (Natarajan &

Jhingran dalam Effendie, 1979) dengan rumus sebagai

berikut:

( )100

iO

iV

iOiV

iI ×

∑ ×

×

= …........................................... (1

di mana:

Vi = persentase volume satu macam makanan

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam

makanan

Σ(VixOi) = jumlah VixOi dari semua macam makanan

Variabel pertumbuhan panjang ikan bandeng dengan

analisis pergerakan modus dan pengukuran pertumbuhan

panjang menggunakan rumus yang dikatakan von

Bertalanffy dalam King (1995); Quinn II & Deriso (1999);

Sparre & Venema (1999), yaitu:

−−

−∞

=

)0

t1

K(te1LtL ....................................... (2

di mana:

Lt = panjang ikan pada umur t

L∞ = panjang ikan tak terhingga (panjang asimtotik)

K = laju pertumbuhan

(t1-t0) = umur ikan

Ikan bandeng dapat tertangkap kembali melalui

Page 20: ikan bawal

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

pengoperasian jaring insang percobaan pada bulan Juli

2008 sampai Januari 2009. Analisis komposisi jenis ikan

yang tertangkap berdasarkan atas persentase jumlah, bobot,

dan frekuensi kejadian. Di samping itu, juga dilakukan

wawancara dengan nelayan kaitannya dengan penangkapan

ikan bandeng.

Gambar 1. Peta Waduk Ir. H. Djuanda dan stasiun pengamatannya.

Figure 1. Ir. H. Djuanda Reservoir map and observation station.

HASIL DAN BAHASAN

Evaluasi keberasilan penebaran ikan di suatu badan air

secara biologis ada tiga faktor, yaitu ikan yang ditebar

dapat ditangkap kembali, ikan yang ditebar mampu

memanfaatkan sumber pakan alami yang tersedia, dan ikan

tersebut mampu tumbuh cepat (Tjahjo, 2004).

Komposisi Hasil Tangkapan Ikan

Hasil percobaan penangkapan ikan selama periode

penelitian menunjukan bahwa ada 22 jenis ikan yang

tertangkap, yaitu ikan gabus (Channa striata), tagih

(Mystus nemurus), hampal (Hampala macrolepidota),

kebogerang (M. negriceps), lalawak (Barbonymus

bramoides), beunter (Puntius binotatus), lepuk (Ompok

bimaculatus), nila (Oreochromis niloticus), patin

(Pangasionodon hypopthalmus), mas (Cyprinus carpio),

mola (Hypophthalmichthys molitrix), bandeng, tawes

(Barbonymus gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), dan

sepat (Trichogaster pectoralis). Komposisi jenis ikan yang

tertangkap berdasarkan atas bobot ikan di Waduk Ir. H.

Djuanda didominansi oleh ikan oskar (Amphilophus

citrinellus) (21,468 kg), bandeng (20,173 kg), golsom

(Amphilophus alfari) (11,951 kg), nila (6,005 kg), dan

hampal (3,908 kg) (Gambar 2). Komposisi berdasarkan atas

frekuensi kejadian didominansi oleh ikan golsom (62,3%),

bandeng (57,1%), oskar (52%), nila (20%), dan kebogerang

(16,4%). Sedangkan berdasarkan atas jumlah individu

didominansi oleh ikan oskar (575 ekor), golsom (319 ekor),

bandeng (134 ekor), kebogerang (74 ekor), dan kepiat

(Thynnichthys thynnoides) (46 ekor). Sehingga secara

umum, komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda baik

secara bobot, frekuensi kejadian, dan jumlah, didominansi

ikan introduksi, yaitu ikan oskar, golsom, dan bandeng.

Hasil tangkapan ikan bandeng menduduki urutan ketiga

baik secara jumlah, bobot, maupun frekuensi kejadian.

kondisi tersebut menunjukan bahwa ikan bandeng dapat

mudah tertangkap kembali, sehingga menunjukan

keberhasilan penebaran ikan bandeng di perairan Waduk Ir.

Page 21: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

H. Djuanda.

Hasil penangkapan ikan bandeng oleh nelayan tertingi

pada bulan September 2008, dengan rata-rata hasil

tangkapan nelayan berkisar 100-150 kg/orang/hari dan

ukuran ikan berkisar antara 200-250 g/ekor. Ukuran mata

jaring insang yang digunakan nelayan pun cepat berubah,

rata-rata setiap dua minggu sekali mata jaringnya dinaikan

0,25 inci dari 2-2,5 inci. Pada bulan Oktober 2008 hasil

tangkapan ikan bandeng mulai menurun, dan bulan Pebuari

2009 ikan bandeng sudah jarang tertangkap. Hal tersebut

disebabkan ikan bandeng ini bersifat bergerombol dalam

jumlah yang besar, dan intensif penangkapan oleh nelayan.

Karakteristik ikan bandeng tersebut sangat baik untuk

digunakan sebagai jenis ikan stoking dalam rangka

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.

Gambar 2. Komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda.

Figure 2. Fish species composition in Ir. H. Djuanda Reservoir.

Pertumbuhan

Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan ikan

bandeng pada pengamatan bulan September, Oktober,

Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009

tertera dalam Tabel 1. Pada bulan September 2008 ikan

bandeng yang tertangkap 61 ekor dengan rata-rata panjang

total 23,7 cm (14,7-31,0 cm) dan rata-rata bobot 134 g (25-

280 g). Pada bulan Oktober 2008 ikan bandeng yang

tertangkap 35 ekor dengan rata-rata panjang totalnya 27,3

cm (20,7-32,5 cm) dan rata-rata bobotnya 179 g (67-342 g).

Pada bulan Nopember 2008 ikan yang tertangkap 38 ekor

dengan rata-rata panjangnya 26,9 cm (20,0-34,5 cm) dan

rata-rata bobotnya 158 g (66-347 g). Bulan Desember 2008

Page 22: ikan bawal

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

ikan bandeng yang tertangkap 54 ekor dengan rata-rata

ukuran panjang totalnya 27,5 cm (23,0-31,5 cm) dan rata-

rata bobotnya 159 g (95-230 g). Terakhir pengamatan bulan

Januari 2009 ikan bandeng yang tertangkap 17 ekor dengan

rata-rata ukuran panjang totalnya 31,5 cm (27,6-38,5 cm)

dan rata-rata bobotnya 220 g (143-375 g). Perubahan

ukuran ikan bandeng menurut waktu pengamatan

menunjukan laju pertumbuhan yang sangat cepat. Hal

tersebut juga terlihat dari hasil analisis pentumbuhan von

Bertalanfii menunjukan bahwa laju pertumbuhan (K) ikan

bandeng ini mencapai 3,381 dengan panjang asimtotnya

(L∞) mencapai 45 cm (Gambar 3).

Tabel 1. Jumlah dan ukuran (panjang total dan bobot) benih ikan bandeng yang ditebar dan ditangkap menurut

waktu pengamatan

Table 1. Number and size (total length and weight) of seed for stocking and bandeng recaptured during

observation

Peubah/Variables

Benih yang ditebar/

Seeds are stocked Hasil ikan yang ditangkap/The result of the fish caught

Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari

Jumlah (individu) 2.116.000 61 35 38 54 17

Panjang (cm) Rata-rata 5,8 4,7 23,7 27,3 26,9 27,5 31,5

Minimum 3,2 2,8 14,7 20,7 20,0 23,0 27,6

Maksimum 7,8 8,5 31 32,5 34,5 31,5 38,5

Bobot (g) Rata-rata 1,3 0,8 134 179 158 159 220

Minimum 0,3 0,1 25 67 66 95 143

Maksimum 3,3 5,1 280 342 347 230 375

Regresi panjang dan

bobot a 0,0033 0,0015 0,0079 0,0244 0,007

b 3,32 3,52 2,99 2,65 3,00

R2 0,99 0,97 0,96 0,61 0,93

Pertumbuhan bobot ikan bandeng ini mulai bulan

Nopember menunjukan penurunan, sehingga ikan tersebut

cenderung lebih langsing. Hal tersebut terlihat nyata dari

hubungan panjang dan bobot untuk bulan September,

Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan

Januari 2009 masing-masing adalah 3,32; 3,52; 2,99; 2,65;

dan 3,00. Hal tersebut diduga berhubungan dengan

kandungan oksigen terlarut yang menurun dan kembali naik

pada bulan Januari 2009 (Gambar 4), dan ikan bandeng

tidak tahan terhadap oksigen terlarut rendah (Anonimus,

2009). Secara umum, hubungan faktor kondisi ikan

bandeng terhadap waktu relatif sama dengan hasil

penelitian Kumagai et al. (1985) di Pulau Naburut,

Philipina.

Gambar 3. Komposisi ukuran ikan bandeng dan pertumbuhan di Waduk Ir. H. Djuanda.

Figure 3. Size of bandeng composition and its growth in Ir. H. Djuanda Reservoir.

L∞=45 cm

K=3,381

Page 23: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

4.0

4.5

JUL AGU SEP OKT NOV DES JAN

O2 (

mg

/L)

Gambar 4. Kandungan rata-rata oksigen terlarut di Waduk Ir. H. Djuanda pada periode bulan Juli 2008 sampai

Januari 2009.

Figure 4. Concentration mean of dissolved oxygen in period of July 2008 until Januari 2009 at Ir. H. Djuanda

Reservoir. Sumber/Sources: Tjahjo et al. (2009)

Kemampuan Memanfaatkan Plankton

Ikan bandeng distribusi terbatas di daerah tropik

maupun belahan bumi sebelah utara yang sub tropis

sepanjang laut perairan kontinetal dan di sekitar pulau, di

mana suhu adalah lebih besar dibanding 20ºC (Anonimus,

2009). Ikan ini mempunyai makanan alami berupa klekap

(lab-lab) atau kombinasi antara fitoplankton dan makro

algae (Anonimus, 2009). Hasil penelitian kebiasaan makan

ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda sangat bervariasi.

Pada bulan September 2008, ikan ini mempunyai makanan

utama berupa fitoplankton (50,16%) dan zooplankton

(48,72%) (Gambar 5). Pada bulan Oktober dan Nopember

2008 konsumsi akan fitoplankton meningkat secara nyata

(77,33-77,76%) dan sebaliknya zooplankton (20,02-

20,44%). Pada bulan Desember 2008, konsumsi ikan

bandeng terhadap fitoplankton sedikit menurun menjadi

70,91%, zooplankton menurun secara nyata menjadi 1,62%,

dan sebaliknya terhadap detritus (27,48%). Penurunan

konsumsi ikan bandeng tersebut akan fitoplankton terus

berlanjut sampai bulan Januari 2009 menjadi 47,51% dan

detritus menjadi 3,88%, sebaliknya untuk zooplankton

meningkat menjadi 48,35%. Dinamika kebiasaan makan

ikan bandeng yang cukup tinggi ini diduga dipengaruhi

oleh perkembangan umur dari ikan tersebut, kesediaan

makanan alami dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumagai & Bagarinao

dalam Kumagai et al. (1985) bahwa ikan bandeng ini

mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat

baik terhadap perubahan habitat dan makanan.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

KO

MP

OS

ISI P

AK

AN

SEP OKT NOV DES JAN

Fitopl. Zoopl. Makrofita Detritus

Gambar 5. Kebiasaan makan ikan bandeng menurut waktu pengamatan.

Figure 5. Food habit of bandeng according to observation time.

Keberhasilan penebaran ikan bandeng ini di samping

mudah ditangkap kembali dan laju pertumbuhannya yang

tinggi, tetapi juga kemampuannya memanfaatkan

kelimpahan plankton yang tinggi. Penebaran ikan ini secara

Page 24: ikan bawal

Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)

tidak langsung meningkatkan kualitas air lebih baik. Hal

tersebut disebabkan tingginya tingkat konsumsi ikan

bandeng terhadap fitoplankton, akan merangsang

fitoplankton tersebut tumbuh dengan cepat dengan

memanfaatkan unsur hara yang berlimpah. Akibat dari

siklus tersebut secara tidak langsung mendorong

peningkatan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda

menunjukan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.

Hal tersebut terbukti bahwa ikan ini dengan mudah

dapat ditangkap kembali, mempunyai kemampuan yang

tinggi dalam pemanfaatkan kelimpahan plankton dan

laju pertumbuhannya sangat cepat.

2. Dampak penebaran ikan ini dapat mencegah terjadinya

blooming plankton dan secara tidak langsung mampu

memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.

3. Langkah selanjutnya, dalam upaya peningkatan dampak

penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas

perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka

perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan

bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada.

Saran

1. Kelembagaan nelayan belum terlalu siap mendukung

program ini, sehingga pencatatan hasil tangkapan ikan

bandeng sangat minim. Selanjutnya kelembagaan

tersebut setelah ada dan berfungsi, perlu program

penebaran secara swadaya oleh nelayan.

2. Ikan bandeng ini terlalu mudah untuk ditangkap

kembali dan pertumbuhannya sangat cepat, sehingga

perlu disusun kembali strategi penebaran ikan ini agar

manfaatnya dapat dirasakan oleh nelayan sepanjang

tahun.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai

Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008-2009, di Balai Riset

Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2009. Chanos chanos, Cultured Aquatic

Species Information Programme.

http://fao.org/fishery/culturedspecies/Chanos_chanos/en

. Tanggal 25 Juli 2009.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan

Dewi Sri. Bogor. 112 pp.

Kumagai, S., T. Bagarinao, & A. Unggui. 1985. Growth of

juvenile milkfish Chano chanos in natural habitat. Mar.

Ecol. Prog. Ser. 22: 1-6.

King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and

Management. Blackwell Science Ltd. London. 341 pp.

Kartamihardja, E. S. 2007. Spektra ukuran biomassa

plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas

ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa

Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 137 pp.

Nielsen, L. A. & D. L. Johnson. 1985. Fisheries

Techniques. American Fisheries Society. Bethesda.

Maryland. 468 pp.

Nastiti, A. S., Krismono, & E. S. Kartamihardja. 2001.

Daya dukung perairan Waduk Jatiluhur untuk budi daya

ikan dalam keramba jaring apung. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. 7 (2): 14-21.

Quinn II, T. J. & R. B. Deriso. 1999. Quantitative Fish

Dynamics. Oxford University Press. New York. 542 pp.

Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian

Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp.

Tjahjo, D. W. H. 1986. Ciri-ciri morphologi Waduk

Saguling dan beberapa waduk lainnya hubungannya

dengan potensi pengembangan perikanan. Buletin

Penelitian Perikanan Darat. 5 (1): 47-55.

Tjahjo, D. W. H. 2004. Kemantapan hasil tangkapan,

keterkaitannya dengan sintasan, pertumbuhan, dan

intensitas penangkapan udang galah (Macrobrachium

rosenbergii) yang ditebarkan di Waduk Darma,

Kuningan, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.

Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 pp.

Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, A. Suryandari, Y.

Sugianti, & Rahmadi. 2008. Biolimnologi dan hidrologi

waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat. Laporan

Kegiatan Riset 2008. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan.

Jatiluhur.

Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, Y.

Sugianti, & H. Saifullah. 2009. Biolimnologi dan

hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat.

Laporan Kegiatan Riset 2009. Loka Riset Pemacuan

Stok Ikan. Jatiluhur.

Page 25: ikan bawal

Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)

BEBERAPA PARAMETER POPULASI IKAN BAWAL AIR TAWAR

(Colossoma macropomum) DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT

Masayu Rahmia Anwar Putri dan Didik Wahju Hendro Tjahjo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta

Teregistrasi I tanggal: 1 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 7 Pebruari 2011

ABSTRAK

Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) saat ini merupakan ikan konsumsi yang telah banyak dibudidayakan

karena proses produksinya yang cukup singkat dan tahan terhadap serangan penyakit. Penelitian ini dilakukan untuk

menduga hubungan panjang dan bobot, parameter pertumbuhan, mortalitas, dan upaya penangkapan ikan bawal air tawar.

Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata Jawa Barat pada tahun 2008 dan 2009. Hubungan panjang dan bobot ikan bawal

air tawar digambarkan dalam persamaan W=0,0365L2,7788 dengan faktor kondisi 1,07. Pendugaan parameter pertumbuhan

yang diperoleh adalah L∞=29,40 cm, K=0,19 per tahun, dan t0=0,89 tahun. Nilai Z=0,82 per tahun, M=0,61 per tahun,

F=0,20 per tahun, dan E=0,25, karena E<Eopt maka diduga belum terjadi lebih tangkap.

KATA KUNCI: parameter populasi, Colossoma macropomum, Waduk Cirata

ABSTRACT: Some population parameters of bawal freshwater (Colossoma macropomum) at Cirata Reservoir,

West Java. By: Masayu Rahmia Anwar Putri and Didik Wahju Hendro Tjahjo

Present, bawal freshwater (Colossoma macropomum) was a consumption fish that have been cultivated because the

short production process and was very resistant to diseases. This study was carried out for estimating length weight

relationship, growth parameter, mortality, and catching effort of bawal freshwater. This research was carried out at

Cirata Reservoir, West Java on 2008 and 2009. The length weight relationship was described by the equation

W=0.0365L2.7788 with condition factor 1.07. Estimating of growth parameters which obtained were L∞=29.40 cm, K=0.19

per year, and t0=0.89 year. The value of Z=0.82 per year, M=0.61 per year, F=0.20 per year and E=0.25. Because

E<Eopt, then estimated, that the fish population has not over exploited.

KEYWORDS: population parameters, Colossoma macropomum, Cirata Reservoir

PENDAHULUAN

Ikan bawal air tawar bukan ikan asli Indonesia tetapi

merupakan ikan asli yang berasal dari Brazil, Amerika

Selatan. Ikan ini didatangkan ke Indonesia dari Taiwan

pada tahun 1986. Awalnya ikan ini didatangkan sebagai

ikan hias yang dipelihara di akuarium ataupun kolam-

kolam. Akan tetapi karena memiliki laju pertumbuhan yang

sangat cepat dan dapat mencapai ukuran besar, ikan ini

menjadi kurang pantas untuk dipajang (Anonimus, 2009).

Oleh karena itu, ikan ini kemudian lebih populer menjadi

ikan konsumsi dikarenakan rasa dagingnya enak dan gurih.

Ikan ini pun mulai banyak dibudidayakan karena proses

produksinya yang cukup singkat dan termasuk jenis ikan

yang tahan terhadap serangan penyakit. Menurut Hakim

(2009), saat ini harga ikan bawal air tawar mencapai

Rp.16.000/kg. Jika dibandingkan dengan harga jual ikan

patin (Pangasius spp.) (Rp.6.000/kg) dan lele (Clarias sp.)

(Rp. 9.000/kg) maka ikan bawal air tawar dapat dikatakan

sebagai ikan ekonomis tinggi.

Keberadaan ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak

sengaja ditebar dan merupakan ikutan dari dari penebaran

yang dilakukan untuk menunjang potensi perikanan di

waduk tersebut. Waduk ini menjadi sumber mata

pencaharian masyarakat sekitar melalui aktivitas perikanan

tangkap dan budi daya ikan dengan menggunakan keramba

jaring apung. Sama halnya dengan ikan introduksi lainnya,

ikan ini juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian ikan

asli di perairan Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan

pengendalian akan keberadaan ikan ini agar tidak

mengganggu keberadaan dari ikan-ikan asli di Waduk

Cirata. Sebagai langkah awal, perlu diketahui parameter

populasi dari ikan bawal air tawar di antaranya hubungan

panjang dan bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan,

dan mortalitas ikan ini di Waduk Cirata.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata, Jawa Barat

(Gambar 1) pada tahun 2008 dan 2009. Contoh ikan

didapatkan dari hasil tangkapan nelayan dan enumerator di

Waduk Cirata dengan menggunakan gill net ukuran 2-4

inci. Ikan yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya

untuk kemudian data tersebut dianalisis.

Page 26: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 1. Peta Waduk Cirata.

Figure 1. Map of Cirata Reservoir.

Analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan bawal

air tawar menggunakan rumus sebagai berikut:

baLW = ..................................................................... (1

di mana:

W = bobot ikan (g)

L = panjang ikan (mm)

a dan b = konstanta

Rumus umum tersebut bila ditranformasikan ke dalam

logaritma, maka akan mendapatkan persamaan Log W=log

a+b log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis

lurus. Harga konstanta b adalah nilai pangkat yang cocok

dari panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan (Effendie,

1997). Nilai konstanta b kemudian diuji ketepatannya

terhadap b≠3 menggunakan uji t.

Faktor kondisi dihitung menggunakan rata-rata panjang

total dan bobot ikan bawal air tawar. Persamaan rumus

perhitungannya seperti berikut (Effendie, 1997):

bLa

W K = ................................................................... (2

di mana:

K = faktor kondisi

W = bobot rata-rata ikan yang sebenarnya (g)

L = panjang total rata-rata ikan (cm)

a dan b = konstanta

Analisis data untuk mengetahui parameter pertumbuhan

ikan dilakukan dengan menggunakan FiSAT II. Program

ELEFAN adalah modul dalam program FiSAT yang

menggunakan data frekuensi panjang. Persamaan yang

digunakan oleh ELEFAN adalah rumus Von Bertalanffy

Growth Function (Sparre & Venema, 1999). Sedangkan

total mortalitas (Z) didapatkan dengan menggunakan

persamaan Beverton and Holt (Gayanilo et al., 2005).

Untuk koefisien mortalitas alami (M) menggunakan

persamaan empiris Pauly (1980) dalam Sparre & Venema

(1999), di mana:

Log (M)=-0,0066-0,279 Log (L∞)+0,654 Log (K)+0,4634 Log (T) .. (3

di mana:

M = mortalitas alami

L∞ = panjang asimtotik

K = percepatan pertumbuhan

T = suhu rata-rata perairan

Mortalitas penangkapan (F) didapatkan dari

pengurangan total mortalitas terhadap mortalitas alami, dan

upaya penangkapan (E) didapatkan dari pembagian

mortalitas penangkapan dengan total mortaliltas (Gayanilo

et al., 2005). Rasio penangkapan akan mencapai optimal

jika E=0,50, yang artinya hasil tangkapan terhadap suatu

populasi atau suatu stok ikan akan mencapai tangkapan

yang lestari (maximum sustainable yield) jika mortalitas

penangkapan sebesar mortalitas alami (F=M) (Gulland,

1971 dalam Wouthuyzen et al., 1984).

HASIL DAN BAHASAN

Contoh ikan bawal air tawar yang didapatkan di Waduk

Cirata merupakan salah satu jenis ikan dari famili

Characidae dan satu-satunya spesies dari genus Colossoma.

Ikan ini dapat berumur panjang (dapat mencapai 15 tahun)

dan memiliki perilaku migrasi musiman yang kompleks,

baik dari segi reproduksi maupun kebiasaan makan

(Nozawa et al., 2008).

Page 27: ikan bawal

Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)

Ikan bawal air tawar bersifat soliter dan merupakan ikan

omnivor yang mengkonsumsi zooplankton, insekta, siput,

dan tumbuh-tumbuhan yang telah hancur. Ikan ini dapat

hidup dalam perairan yang miskin mineral dan juga tahan

terhadap penyakit (Anonimus, 2010).

Total tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi

didapatkan pada bulan Juni, baik pada tahun 2008 maupun

2009. Total ikan bawal air tawar yang diperoleh pada

penelitian ini berjumlah 434 ekor dengan panjang antara

10-28 cm dan bobot 18-380 g. Ikan bawal air tawar yang

ditemukan di Waduk Cirata ditampilkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata.

Figure 2. Bawal freshwater found at Cirata Reservoir.

Hubungan Panjang, Bobot, dan Faktor Kondisi

Hasil analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan

bawal air tawar di Waduk Cirata dihasilkan persamaan

W=0,0407L2,7323

(r2=0,8536) dengan nilai b=2,7323.

Setelah dilakukan uji t, nilai t hitung (thitung=131,16) lebih

besar dari t table (ttabel=1.965) dengan tingkat kepercayaan

95% yang artinya peningkatan pertambahan bobot tidak

sebanding dengan pertambahan panjangnya (≠3).

Berdasarkan atas perhitungan tersebut dapat

diindikasikan bahwa ikan bawal air tawar di Waduk Cirata

mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif dengan b

lebih kecil dari 3 (b=2,73) yang menunjukan pertumbuhan

bobot dari ikan ini tidak secepat pertambahan panjangnya

(Gambar 3). Pola pertumbuhan ikan bawal air tawar di

Waduk Cirata juga sama dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999) yang

memiliki pola pertumbuhan alometrik dengan b=2,904.

y = 0.0407x2.7323

R2 = 0.8536

0

50

100

150

200

250

300

350

400

0 5 10 15 20 25 30

Panjang Total (cm)

Berat

(gram

)

Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan bawal air tawar.

Figure 3. Length and weigth relationship of bawal freshwater.

Nilai rata-rata faktor kondisi dari ikan bawal air tawar

yang ditemukan di Waduk Cirata 1,07. Faktor kondisi (k)

dari ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak jauh

berbeda dengan yang ditemukan di Amazon, Brazil yaitu

W=0,0407L2,7323

R2=0,8536

Page 28: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

berkisar antara 0,9-1,08 (Villacorta-Corea & Saint-Paul,

1999). Faktor kondisi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata

tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada

bulan Juni. Jika dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan di Amazon diketahui bahwa faktor kondisi

berfluktuasi setiap bulannya, di mana nilai rata-rata

terendah ditemukan pada bulan Agustus dan Oktober ketika

akhir musim kemarau dan turunnya muka air, kemudian

saat air naik terjadi kenaikan nilai rata-rata faktor kondisi

dari ikan bawal ini. Gambar 4 menunjukan perbandingan

fluktuasi faktor kondisi (k) ikan bawal air tawar di Amazon

dan Waduk Cirata. Perbedaan faktor kondisi menurut

Olurin & Aderibigbe (2006) dipengaruhi oleh jenis

kelamin, musim, kondisi lingkungan, stress, dan

ketersediaan makanan.

(a)

0.85

0.9

0.95

1

1.05

1.1

1.15

April

Juni

Agustu

s

Okto

ber

Desem

ber

April

Juni

Agustu

s

(b)

Gambar 4. Perbandingan fluktuasi nilai rata-rata faktor kondisi ikan bawal air tawar (a) Amazon, Brazil (Villacorta-

Corea & Saint Paul, 1999) dan (b) Waduk Cirata.

Figure 4. Comparison of fluctuations in average condition factor of fish, bawal freshwater (a) Amazon, Brazil

(Villacorta-Corea & Saint Paul, 1999) and (b) Reservoir Cirata.

Pendugaan Parameter Pertumbuhan

Panjang total maksimum ikan bawal air tawar di Waduk

Cirata 28 cm. Diduga ikan bawal air tawar yang tertangkap

di Waduk Cirata selama pengamatan bukan ikan dewasa

karena jika dibandingkan dengan pendugaan laju

pertumbuhan dari ikan bawal air tawar di habitat aslinya,

perairan Amazon, Brazil, panjang asimtotik ikan ini dapat

mencapai lebih dari 1 m (Tabel 1). Panjang maksimum ini

tentu jauh berbeda dengan estimasi panjang asimtotik ikan

bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata.

Perbedaan karakteristik lingkungan diduga menjadi faktor

utama kecilnya ukuran ikan bawal air tawar yang

ditemukan di Waduk Cirata. Menurut Tjahjo et al. (2009),

limbah organik di Waduk Cirata mencapai 338.462,6

ton/tahun yang berasal dari kegiatan budi daya. Tingginya

beban bahan organik di suatu perairan akan mempengaruhi

pertumbuhan dari biota yang hidup di perairan tersebut. Hal

ini dikarenakan tingginya bahan organik akan mengganggu

proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen yang

digunakan untuk respirasi biota air sehingga akhirnya

secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan

dari biota air tersebut dalam hal ini adalah ikan bawal air

tawar.

Page 29: ikan bawal

Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)

Tabel 1. Panjang asimtotik (L∞) beberapa penelitian dari ikan bawal air tawar

Table 1. Asymptotic length (L∞), several studies of bawal freshwater

Penulis/Author Lokasi/Location L∞ (cm) k (tahun/year)

Petrere (1983) Brazil 107,3 0,23

Isaac & Ruffino (1996) dalam Penna et al. (2005) Brazil 119,85 0,23

Villacorta-Correa & Saint Paul (1999)-otolith Brazil 92,316 0,16

Costa (1998) dalam Penna et al. (2005) 107,4 0,156

Penna et al. (2005)-otholith Brazil 100,39 0,137

Penna et al. (2005)-scales Brazil 85,125 0,225

Dengan mengasumsikan L∞=29,40 cm maka nilai K dari

ikan bawal air tawar di Waduk Cirata 0,19 pertahun dengan

t0=0,89 tahun. Nilai K sendiri menentukan seberapa cepat

ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K

yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif

pendek (Pauly, 1980 dalam OTS Ongkers, 2008). Nilai k

yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian dari

Petrere (1983); Villacorta-Correa & Saint Paul (1999);

Penna et al. (2005) yang masing-masing percepatan

pertumbuhannya 0,23; 0,16; dan 0,13. Nozawa et al. (2008)

bahwa ikan ini dapat berumur panjang sampai berumur 15

tahun sangat mungkin terjadi jika melihat nilai k yang tidak

tinggi. Gambar 5 menampilkan grafik Von Bertalanffy

Growth Function dari ikan bawal air tawar.

Gambar 5. Grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan bawal air tawar.

Figure 5. Graph Von Bertalanffy Growth Function of bawal freshwater.

Ikan bawal yang tertangkap di Waduk Cirata diduga

merupakan ikan yang terlepas dari kolam budi daya. Ikan

ini tidak melakukan reproduksi secara alami sehingga

pendugaan pola rekruitment (masuknya kohort baru ke

dalam suatu perairan) tidak dapat dilakukan. Menurut

Frimodt (1995) dalam Anonimus (2010), ikan bawal air

tawar dijadikan sebagai ikan budi daya karena ikan ini

dapat hidup dalam perairan yang miskin mineral serta tahan

terhadap berbagai macam penyakit yang sering menyerang

ikan.

Mortalitas

Total mortalitas (Z) dari ikan bawal air tawar yang

ditemukan di Waduk Cirata 0,82 per tahun (selang

kepercayaan Z antara 0,65-0,99). Rata-rata suhu tahunan di

Waduk Cirata 28,8°C, maka jika dimasukan dalam

persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan mortalitas

alami (M) dari ikan ini 0,614 per tahun.

Mortalitas penangkapan yang didapatkan dari F=Z-M

adalah 0,206 per tahun dengan rasio eksploitasi yang

diperoleh 0,25 per tahun. Menurut Gulland (1971) dalam

Wouthuyzen et al. (1984), suatu stok ikan akan mencapai

tangkapan maksimum yang lestari (maximum sustainable

yield) jika mortalitas penangkapan sebesar mortalitas alami,

sehingga rasio eksploitasi akan mencapai optimal jika

Eopt=0,5. Dari nilai tersebut dapat dikatakan belum terjadi

lebih tangkap (over fishing) terhadap ikan bawal air tawar

di Waduk Cirata. Walaupun begitu, pemakaian jaring

dengan ukuran mata jaring yang kecil (tidak selektif)

diharapkan dapat dikendalikan sehingga ikan-ikan yang

kecil dapat tumbuh menjadi lebih besar. Kondisi ini

tentunya dapat menguntungkan nelayan karena ikan dengan

ukuran yang lebih besar tentunya memiliki harga yang lebih

mahal dibandingkan ikan yang berupa anakan.

Page 30: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

KESIMPULAN

1. Tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi terjadi pada

bulan Juni.

2. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot dari ikan

bawal air tawar adalah W=0,0407L2,7323

(r2=0,8536)

dengan faktor kondisi 1,07.

3. Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan bawal air

tawar di Waduk Cirata didapatkan L∞=29,4 cm, K=0,19

per tahun, dan t0=0,89 tahun.

4. Nilai total mortalitas ikan bawal air tawar adalah 0,82

per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas

penangkapan masing-masing 0,614 dan 0,206 per tahun.

5. Rasio eksploitasi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata

belum mencapai over fishing dengan rasio eksploitasi

0,25 per tahun.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai

Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008, di Balai Riset Pemulihan

Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2009. Ikan Hias: Kenali tentang Ikan Bawal Air

Tawar. Download dari http://acan-on-

skyes.blogspot.com/search/label/ikan%20hias. Tanggal

12 Maret 2010.

Anonimus. 2010. Colossoma macropomum (Cuvier, 1816). http://fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?ID=

263&genusname=Colossoma&speciesname=macropom

um&lang=English Download 12 Maret 2010.

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka

Utama.Yogyakarta.

Gayanilo, F., C. P. Sparre, & D. Pauly. 2005. Food and

Agriculture Organization-ICLARM Stock Assessment

Tools II Revised Version: User’s Guide. Food and

Agriculture Organization of the United Nations.

Download dari

ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/y5997e/y5997e07.pdf

28 Juli 2009.

Hakim, L. L. 2009. Upaya Forum Lingkar Kampus

Kembangbiakan Ikan Bawal (2-habis): Mudah

Dibudidayakan, Punya Nilai Ekonomi Tinggi.

Didownload dari http://www.radar-bogor.co.id. Tanggal

12 Maret 2010.

Nozawa, S. R., F. M. Casanova, M. S. Ferreira-Nozawa, R.

T. Honda, P. H. R. Aride, A. L. Val, & V. M. F

Almeida-Val. 2008. Identification and characterization

of genes in amazonian tambaqui (Colossoma

macropomum) exposed to copper and cadmium. The

proceedings of the 5th

World Fisheries Congress. Japan.

Olurin, K. B. & O. A. Aderibigbe. 2006. Length and weight

relationship and condition factor of pond reared juvenile

Oreochromis niloticus. World Journal of Zoology. 1 (2):

82-85.

OTS Ongkers. 2008. Parameter populasi ikan teri putih

(Stolephorus indicus) di Teluk Ambon bagian dalam.

Jurnal ikhtiologi Indonesia. 8 (2): 85-92.

Pauly, D. 1980. On the interrelationships between natural

mortality, growth parameters, and mean environmental

temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM. 39 (2):

175-192.

Petrere, M. 1983. Yield per recruit of the tambaqui,

Colossoma macropomum cuvier, in the Amazonas State,

Brazil. Journal of Fish Biology. 22: 133-144.

Penna, M. A. H., M. A. Villacorta-Corrêa, T. Walter, & M.

Petrere-Jr. 2005. Growth of the tambaqui Colossoma

macropomum (Cuvier) (Characiformes: Characidae):

Which is the best model?. Brazilian Journal Biology. 65

(1): 129-139.

Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian

Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp.

Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, &

D. I. Kusumaningtyas. 2009. Laporan Tahunan

Kegiatan Biolimnologi dan Hidrologi Waduk Kaskade

Sungai Citarum, Jawa Barat Tahun 2008. Loka Riset

Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur. Tidak Dipublikasikan.

Villacorta-Corrêa, M. A. & U. Saint-Paul. 1999. Structural

index and sexual maturity of tambaqui Colossoma

macropomum (Cuvier, 1818) (Characiformes:

Characidae) in Central Amazon, Brazil. Rev. Bras. Biol.

59: 637-652.

Wouthuyzen, S., A. Suwartana, & O. K. Sumadhiharga.

1984. Studi tentang populasi ikan kuri merah,

Stolephorus heterolobus (ruppel) dan kaitannya dengan

perikanan umpan di Teluk Ambon bagian dalam.

Oseanologi di Indonesia. 18: 1-20.

Page 31: ikan bawal

Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DI SITU PANJALU,

KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Andri Warsa dan Kunto Purnomo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta

Teregistrasi I tanggal: 17 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011

ABSTRAK

Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan luas 45

ha. Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik yang

merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui

fotosintesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu. Penelitian

di lakukan pada bulan Agustus 2010. Pengukuran produktivitas primer fitoplankton horisontal dilakukan pada tiga stasiun

penelitian yaitu Kampung Duku, Banjar Waru, dan Simpar sedangkan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan)

dan 2 m dengan metode botol gelap dan terang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Situ Panjalu merupakan perairan

yang subur (eutrofik dan hipertrofik) dengan nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi masing-masing

berkisar antara 47,1-207,8; 2,2-193,8; dan 9,4-173,3 mgC/m3/jam. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006-

437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae, genera

Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera Peridinium dari kelas Dinophyceae.

KATA KUNCI: produktivitas primer, fitplankton, status tropik, Situ Panjalu

ABSTRACT: The primary productivity of phytoplankton at Panjalu Pond, Ciamis Regency, West Java Province.

By: Andri Warsa and Kunto purnomo

Panjalu Pond located at Ciamis Regency, West Java Province with area is 45 ha. Primary productivity represents the

synthesis of organic matter of aquatic system. The aim of this research to know primary productivity of phytoplankton at

Panjalu Pond. This research was done in August 2010 at 3 stations include Kampung Duku, Banjar Waru, and Simpar.

Sampling site was at 2 in depth that were surface (0.5 m) and 2 m. Sampling method was done with dark light bottle

method. Result of the research showed that Panjalu Pond was eutrophic and hypereutrophic level with gross primary

productivity, net primary productivity, and respiration respectively range from 47.1-207.8; 2.2-193.8; and 9.4-173.3

mgC/m3/h. Abundance of phytoplankton range from 1,006-437,610 ind./L with dominant genera Closterium from class

Chlorophyceae, genera Oscillatoria from class Cyanophycea, and genera Peridinium from class Dinophyceae.

KEYWORDS: primary productivity, phytoplankton, trophic level, Panjalu Pond

PENDAHULUAN

Produktivitas primer adalah laju produksi karbon

organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik

yang merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh

tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui

fotosintesis (Jorgensen, 1980; Odum, 1995). Proses tersebut

tergantung pada faktor biotik dan abiotik misalnya cahaya,

subtrat anorganik (CO2 dan H2S), serta nutrien anorganik

(N, P, dan Si) (Noges & Kangro, 2005). Produktivitas

primer, biomassa fitoplankton dan kandungan klorofil-a

merupakan tiga komponen yang dapat menjelaskan

karakteristik fitoplankton di perairan lentik (Hasan, 2008).

Situ Panjalu merupakan badan air yang secara

administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Situ ini memiliki luas 45 ha yang merupakan sumber mata

pencaharian bagi penduduk sekitar yang berprofesi sebagai

nelayan. Badan air tersebut memiliki keragaman jenis ikan

yang tinggi dengan jenis-jenis ikan antara lain ikan

beunteur (Puntius binotatus), oskar (Amphilopus

citrinellus), keril (Aequidens rivulatus), goldsom

(Aequidens goldsom), patin (Pangasianodon

hypophthalmus), nila (Oreochromus niloticus), betok

(Anabas testudineus), nilem (Osteochilus hasselti), dan lele

(Clarias batrachus). Beberapa jenis ikan tersebut dapat

memanfaatkan fitoplankton sebagai pakan alaminya antara

lain ikan patin, nila, dan beunteur (Purnomo et al., 2009).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

produktivitas primer fitoplanton di Situ Panjalu.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian di lakukan di Situ Panjalu, Kabupaten

Ciamis, Jawa Barat pada bulan Agustus 2010. Pengukuran

produktivitas primer fitoplankton secara horisontal

dilakukan pada tiga stasiun penelitian (Gambar 1 dan Tabel

1). dan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan)

dan 2 m.

Page 32: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Figure 1. Research locations.

Tabel 1. Karakteristik stasiun penelitian di Situ Panjalu

Tabel 1. Characteristic of research stations at Panjalu Pond

Lokasi/

Locations

Posisi geografi/

Geography positions Kondisi lingkungan/Environmental conditions

Kampung Dukuh S=07°07’31,68”

E=108°16’19,98”

Daerah sekitar merupakan tanah gundul, banyak aktivitas

penangkapan, dan dekat dengan pemukiman penduduk.

Banjar Waru S=07°07’42,30”

E=108°16’25,92”

Lokasi lebih ke tengah badan air, tidak terdapat tumbuhan air, dan

aktivitas penangkapan sedikit.

Simpar S=07°07’42,96”

E=108°16’6,30”

Dekat lokasi pariwisata, transportasi air padat, dan banyak tumbuhan

tingkat tinggi.

Cara Kerja

Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung

produktivitas primer perairan adalah dengan menghitung

besarnya perubahan oksigen dalam suatu medium, karena

oksigen merupakan zat yang dilepaskan dalam proses

fotosintesis dan digunakan untuk penguraian hasil

fotosintesis dalam respirasi (Pitoyo & Wiryanto, 2002).

Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan

menggunakan metode oksigen (botol gelap dan terang atau

dark and light bottle). Contoh air diambil pada kedalaman

0,5 dan 2 m dengan menggunakan kemmerer water sampler

bervolume 5 L. Air contoh yang diperoleh kemudian

dimasukan ke dalam botol gelap dan terang dan diinkubasi

selama 4 jam sesuai dengan kedalaman pengambilan contoh

yaitu 0,5 dan 2 m. Perhitungan produktivitas primer

fitoplankton berdasarkan atas botol gelap dan terang (dark

and light bottles) menggunakan rumus dari Wetzel &

Likens (2000), sebagai berikut:

t

BG)(BT −

xPQ

1.000x0,375

...................................... (1

1 t

BA)(BT −

xPQ

1.000x0,375

............................... (2

t

0,37510.00xRQBG)x(BA −

............................ (3

di mana:

GPP = produktivitas primer kotor (mg C/m3/Jam)

NPP = produktivitas primer bersih (mg C/m3/Jam)

R = resiprasi (mg C/m3/Jam)

BA = konsentrasi okasigen terlarut awal (mg/L)

BT = konsentrasi okasigen terlarut dalam botol

terang (mg/L)

BG = konsentrasi okasigen terlarut dalam botol gelap

(mg/L)

t = lamanya waktu inkubasi (jam)

0,375 = faktor konversi dari oksigen terlarut ke karbon

PQ = 1,2

RQ = 1,0

Pengukuran beberapa parameter kualitas air dilakukan

baik langsung di lapangan (insitu) maupun di laboratorium.

Page 33: ikan bawal

Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)

Analisis parameter kualitas air berdasarkan atas metode

American Public Health Association (2005). Metode atau

alat yang digunakan di sajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter lingkungan dan metode atau alat yang digunakan

Table 2. Environmental parameters and method or equipment used

Parameter/Parameters Satuan/Unit Metode/Methods

Fisika/Physical parameters

1. Kecerahan/Transparency cm Secchi disk

2. Suhu/Temperature oC Termometer

Kimia/Chemical parameters

1. pH pH indicator solution 4-10

2. N-NO3 mg/L Brucine sulfat/Spektrofotometri

3. N-NO2 mg/L Naftilamine/Spektrofotometri

4. N-NH4 mg/L Nessler/Spektrofotomettri

5. P-PO4 mg/L SnCl2/Spektrofotometri

Analisis kandungan klorofil-a dilakukan dengan

menggunakan metode trichromatik (determinasi

spektrofotometrik klorofil-a, b, dan c). Contoh air dengan

volume 250 mL kemudian disaring dengan menggunakan

kertas saring wahtman dengan diameter pori 0,45 µm yang

sebelumnya telah diawetkan terlebih dahulu dengan larutan

MgCO3 sebanyak 1 mL. Kertas saring kemudian diekstrasi

dengan menggunakan aseton 90% setelah itu disentrifuse

selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm. Perhitungan

klorofil-a mengikuti persamaan American Public Health

Association (2005) sebagai berikut:

Ca=11,85(OD664)-1,54(OD647)-0,08 (OD630)

Klorofil-a (mg chlorofil-a/m3)= .... (4

di mana:

Ca = konsentrasi klorofil-a

dalam ekstrak (mg/L)

Volume ekstrak = volume contoh setelah

dilarutkan dalam aseton

(L)

Volume contoh = volume air yang disaring

(m3)

d = diameter atau celah kuvet

yang digunakan (1 cm)

OD664 ,OD647, OD630 = absorban yang diperiksa

(celah cahaya 1 cm) pada

setiap panjang

gelombang (664, 647,

dan 630 nm) setelah

dikurangi dengan

absorban pada panjang

gelombang 750 nm.

Contoh plankton diperoleh dengan menyaring contoh air

5 L menggunakan plankton net dengan mesh size 40 µm

dan dimasukan ke dalam botol bervolume 25 mL. Contoh

kemudian diawetkan dengan larutan lugol 1% dan diberi

label. Jenis dan kelimpahan fitoplankton diidentifikasi di

bawah miskroskop Olympus dengan pembesaran 10 kali.

Identifikasi fitoplankton berdasarkan atas Edmonson

(1959); Needham & Needham (1963). Penentuan

kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan

metode lackey drop microtransect counting chamber

(American Public Health Association, 2005) dengan

persamaan sebagai berikut:

N=nxA/BxC/Dx1/E .............................................. (5

di mana:

N = jumlah total fitoplankton (ind./L)

n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang

(ind./lapang pandang)

A = luas gelap penutup (mm2)

B = luas satu lapang pandang (mm2)

C = volume air terkonsentrasi (mL)

D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup

E = volume air yang disaring (L)

Penentuan status kesuburan Situ Panjalu menggunakan

trophic state index Carlson (Carlson, 1977) berdasarkan

atas parameter kecerahan (SD) dan klorofil-a (CHL) dengan

rumus sebagai berikut:

................................................. (6

............................. (7

............................................ (8

Nilai trophic state index yang dihitung berdasarkan atas

parameter kecerahan dan klorofil-a kemudian dibandingkan

dengan kategori status kesuburan perairan berdasarkan atas

Carlson (1977) (Gambar 2).

Page 34: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 2. Klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan atas indeks Carlson.

Figure 2. Trophic level classification based on Carlson index.

Untuk memperkuat status kesuburan perairan di Situ

Panjalu, maka digunakan juga kriteria kesuburan perairan

menurut Linkens (1975) dalam Jorgensen (1980) (Tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi status trofik menurut Likens (1975) dalam Jorgensen (1980)

Table 3. Trophic status classification according Likens (1975) in Jorgensen (1980)

Status trofik/Trophic status Klorofil-a/Chlorophyll-a (mg/m3) Kecerahan/Transparency (m)

Oligotrofik/Oligotrophic <2,5 >6

Mesotrofik/Mesotrophic 2,5-8 6-3

Eutrofik/Eutrophic 8-25 3-1,5

Hypereutrofik/Hypereutrophic >25 <1,5

Untuk mengetahui pengaruh nutrien N dan P terhadap

produktivitas primer, dilakukan analisis dengan

menggunakan regresi linier berganda menggunakan

bantuan program Minitab Versi 15. Persamaan yang

digunakan yaitu:

Y=a+bx+ ...+ nx .......................................................... (9

di mana:

Y = variabel bergantung (produktivitas primer)

x = variabel bebas (N-NH4, N-NO2, N-NO3, dan P-

PO4)

a,b,n = konstanta

HASIL DAN BAHASAN

Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di

Situ Panjalu disajikan pada Tabel 4. Konsentrasi nitrat dan

ammonium di Situ Panjalu masing-masing berkisar 0,063-

0,322 mg/L dengan rata-rata 0,32 mg/L dan 0,254-0,388

mg/L dengan rata-rata 0,322 mg/L. Konsentrasi ammonium

tertinggi terdapat di Stasiun Kampung Dukuh pada

permukaan dan terendah terdapat di Stasiun Banjar Waru

pada dasar perairan. Konsentrasi nitrat tertinggi terdapat

pada lokasi penelitian Simpar pada permukaan. Konsentrasi

amonium yang tinggi di Stasiun Kampung Dukuh dan nitrat

di Simpar kemungkinan berasal dari limbah domestik

karena kedua lokasi tersebut dekat dengan pemukimam

penduduk dan merupakan lokasi wisata. Konsentrasi

ammonium dan nitrat membentuk kesetimbangan di mana

nitrat dapat berasal dari oksidasi ammonium dengan

bantuan oksigen terlarut (Effendie, 2003).

Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu berkisar 0,017-

0,030 mg/L dengan rata-rata 0,022 mg/L dan pada

umumnya tinggi di dasar perairan. Tingginya konsentrasi

orthofosfat di dasar perairan kemungkinan dikarenakan

lepasnya ikatan fosfor dari sedimen pada kondisi anaerob

(Ji, 2008). Konsentrasi orthofosfat tertinggi terdapat di

stasiun pengamatan Simpar. Sumber utama nutrien fosfor di

Simpar kemungkinan berasal dari dekomposisi bahan

organik baik dari seresah tumbuhan dan limpasan

catchment area. Daerah sekitar Situ Panjalu berupa daerah

pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan di tengah-

tengah perairan terdapat pulau yang banyak ditumbuhi

tanaman yang dapat menjadi sumber seresah tanaman.

Konsentrasi orthofosfat yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,9-3,5 mg/L dan 0,09-

1,8 mg/L (Mackentum, 1969 dalam Yuliana & Thamrin,

2006). Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu secara umum

dapat mendukung kehidupan fitoplankton.

Kisaran suhu air di Situ Panjalu 27-29°C dengan rata-

rata 28°C. Fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kisaran

suhu air antara 28-32°C (Ray & Rao dalam Pratiwi et al.,

2000), sehingga suhu air di Situ Panjalu dapat mendukung

kehidupan fitoplankton. Di daerah perairan yang hangat

laju fotosintesis pada umumnya cukup tinggi (Widodo &

Page 35: ikan bawal

Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)

Suadi, 2006). Kecerahan di Situ Panjalu berkisar antara 80-

90 cm. Menurut Siagian (2004) mengatakan bahwa

kecerahan yang produktif berkisar 20-60 cm di mana proses

fotosintesis dapat berlangsung dengan baik.

Kandungan klorofil-a di Situ Panjalu berkisar 47,7-87,3

mg/m3 dengan rata-rata 71,367 mg/m3 dan tertinggi terdapat

di Stasiun Simpar. Hal ini diduga karena memiliki

kelimpahan fitoplankton di Stasiun Simpar juga lebih tinggi

dibandingkan dengan lokasi lainnya. Beberapa genera

fitoplankton yang terdapat di Situ Panjalu (Tabel 6) yaitu

Microcystis dan Oscilatoria mempuyai kandungan klorofil-

a masing-masing 1,12 dan 0,84% dari bobot keringnya

(Reynold, 1984) atau untuk Mycrocystis dan Anabaena

masing-masing memiliki konsentrasi klorofil-a 32 dan 45

pg/sel (Reynold, 2006).

Berdasarkan atas parameter kecerahan dan klorofil-a

perairan Situ Panjalu masuk ke dalam kategori

hypereutrofik seperti klasifikasi pada Tabel 3. Nilai indeks

status trofik yang dihitung berdasarkan atas indeks

Carlson’s perairan Situ Panjalu juga masuk ke dalam

kategori eutrofik dan hypereutrofik dengan nilai trophic

state index 61,5. Status trofik ini juga diperkuat dengan

adanya dominansi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae

dan Clorophyceae (Tabel 5) yang menandakan perairan

tersebut bersifat eutrofik (Jorgensen, 1980). Kehadiran

jenis-jenis dari golongan Cyanophyceae terutama dalam

bentuk koloni misalnya Microcystis dan Oscilatoria

memberi gambaran perairan yang eutrofik ke hipertrofik

dan kondisi eutrofikasi yang parah dapat menyebabkan

terjadinya blooming alga pengganggu (Wetzel, 2001;

Manage et al., 1999 dalam Hartoto, 2004).

Page 36: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Tabel 4. Beberapa parameter lingkungan di Situ Panjalu

Table 4. Environmental parameters at Panjalu Pond

Stasiun/

Stations

Kedalaman/

Depth

(m)

Suhu air/

Water temperature

(°C)

Kecerahan/

Transparency

(cm)

pH/

pH

Nitrit/

Nitrite

(mg/L)

Nitrat/

Nitrate

(mg/L)

Amonium/

Ammonium

(mg/L)

Ortofosfat

Orthophosphate

(mg/L)

Klorofil-a/

Chlorophyl-a

(mg/m3)

Simpar 0 28,6 90 7,0 0,011 0,340 0,331 0,023 83,9

2 27,5 7,0 0,013 0,092 0,366 0,030 79,7

Banjar Waru 0 27,4 80 7,0 0,015 0,086 0,289 0,018 87,5

2 27,1 7,0 0,013 0,083 0,254 0,025 47,7

Kampung Dukuh 0 28,8 80 7,5 0,010 0,074 0,388 0,018 70,7

2 27,5 7,0 0,011 0,063 0,303 0,017 58,7

Page 37: ikan bawal

Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)

Pada ekosistem akuatik tergenang sebagian besar

produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton (Wetzel,

1983). Spesies fitoplankton memberikan kontribusi sekitar

95% dari produktivitas primer di perairan (Nielson, 1975

dalam Valiela, 1995). Biomassa fitoplankton yang

berukuran lebih kecil akan mempunyai biomassa yang lebih

besar jika dibandingkan dengan fitoplankton yang

berukuran lebih besar. Pada daerah tropis picoplankton

menyusun 39-63% dari total klorofil-a sedangkan

nanoplankton dan microplankton masing-masing hanya 27-

42% dan 9-16% (Pena et al., 1990). Cyanophyceae adalah

kelas fitoplankton yang termasuk ke dalam kelompok

picoplankton (ultrananoplankton) yang mempunyai ukuran

<2 µm (Dussart, 1965 dalam Basmi, 2000). Ukuran sel

fitoplankton yang lebih kecil dapat menggunakan nutrin

lebih cepat dibandingkan dengan fitoplankton yang

mempunyai sel yang berukuran lebih besar di badan air

yang tidak terlalu subur (Valiela, 1995). Kelimpahan

fitoplankton di Situ Panjalu disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kelimpahan fitoplankton di Situ Panjalu

Table 5. Phytoplankton abundance at Situ Panjalu

No. Kelas/Genus/

Class/Genus

Simpar Dukuh Banjar Waru

0 m % 2 m % 0 m % 2 m % 0 m % 2 M %

A. Clorophyceae 498.976 67,4 462.760 68,6 342.040 65,6 338.016 66,9 269.608 65,8 164.984 62,4

1. Ankistrodesmus 1.006 0,1 1.006 0,2

2. Aphanocapsa 1.006 0,1 2.012 0,3 2.012 0,4

3. Arthrodesmus 2.012 0,3

4. Chlorella 10.060 1,4 12.072 1,8 20.120 3,9 12.072 2,4 11.066 2,7 5.030 1,9

5. Chrococcus 3.018 0,4 8.048 1,2 1.006 0,2 11.066 2,7

6. Chodatella

7. Coelastrum 1.006 0,1

8. Closterium 418.496 56,5 379.262 56,2 269.608 51,7 279.668 55,4 223.332 54,5 146.876 55,5

9. Cosmarium 24.144 3,3 21.126 3,1 11.066 2,1 14.084 2,8 6.036 1,5 1.006 0,4 10. Crucigenia 4.024 0,5 1.006 0,2 5.030 1,0 1.006 0,4

11. Dictyosphaerium 1.006 0,1

12. Pandorina 2.012 0,3 13. Pediastrum 2.012 0,3 3.018 0,4 1.006 0,2 1.006 0,2 1.006 0,2

14. Radiococcus 1.006 0,2

15. Raphidiosis 1.006 0,2 1.006 0,2

16. Scenedesmus 3.018 0,4 2.012 0,3 4.024 0,8 4.024 0,8 1.006 0,2 1.006 0,4

17. Staurastrum 25.150 3,4 28.168 4,2 28.168 5,4 18.108 3,6 14.084 3,4 10.060 3,8 18. Tetraedron 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2

19. Ulothrix 3.018 0,4 4.024 0,6 1.006 0,2 2.012 0,4

20. Xanthidium 0,0 1.006 0,2

B. Cyanophyceae 182.086 24,6 156.936 23,2 119.714 23,0 115.690 22,9 103.618 25,3 75.450 28,5

21. Lyngbya 1.006 0,2

22. Microcystis 24.144 3,3 13.078 1,9 4.024 0,8 14.084 2,8 5.030 1,2 10.060 3,8

23. Oscilatoria 157.942 21,3 143.858 21,3 114.684 22,0 101.606 20,1 98.588 24,1 65.390 24,7

C. Bacillariophyceae 4.024 0,5 2.012 0,3 1.006 0,2 2.012 0,4 3.018 0,7 2.012 0,8

24. Asterionella 1.006 0,2 25. Cyclotella 1.006 0,2

26. Navicula 2.012 0,3 1.006 0,2 2.012 0,5

27. Nitzschia 1.006 0,4 28. Pinnularia 2.012 0,3 1.006 0,4

29. Synedra 1.006 0,1 1.006 0,2

30. Surirella 1.006 0,1

D. Dinophyceae 54.324 7,3 52.312 7,7 57.342 11,0 48.288 9,6 33.198 8,1 22.132 8,4

31. Ceratium 1.006 0,1 1.006 0,2

32. Peridinium 54.324 7,3 51.306 7,6 57.342 11,0 47.282 9,4 33.198 8,1 22.132 8,4

E. Euglenophyceae 1.006 0,1 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2

33. Phacus 1.006 0,1

34. Trachelomonas 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2

Jumlah Total 740.416 675.026 521.108 505.012 409.442 264.578

Jumlah Genera 24 22 23 21 17 14

Di Situ Panjalu ditemukan lima kelas fitoplankton yaitu

Chlorophyceae (20 genera), Cyanophyceae (tiga genera),

Bacillariophyceae (tujuh genera), Dinophyceaea (dua

genera), dan Euglenaphyceae (dua genera). Kelimpahan

individu fitoplankton yang ditemukan di Situ Panjalu

berkisar 1.006-437.610 ind./L. Kelimpahan fitoplankton

tertinggi terdapat di Stasiun Simpar dan terendah terdapat

di Banjar Waru. Hal ini diduga karena konsentrasi

ortofosfat, nitrat, amonium, serta kecerahan di Stasiun

Simpar yang lebih tinggi dibandingkan dua stasiun lainnya.

Chlorophyceae dan Cyanophyceae merupakan kelas

fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu dengan

kelimpahan kelas masing-masing berkisar antara 164.984-

462.760 ind./L dan 75.450-182.086 ind./L (Tabel 6).

Page 38: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Genera fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu

adalah Closterium, Oscillatoria, dan Peridinium. Genera

yang sama juga ditemukan di Danau Limboto yang

merupakan danau yang subur (eutrofik) (Krismono et al.,

2009). Genera Closteriun sangat umum ditemukan pada

danau eutrofik dan mesotrofik dengan kelimpahan yang

tinggi (Gonulol et al., 1993 dalam Naz & Turkmen, 2005).

Oscillatoria membutuhkan suhu air 28°C dan 30°C untuk

pertumbuhan optimalnya (Whitton, 1973) dan suhu di Situ

Panjalu berada pada kisaran tersebut sehingga mendukung

pertumbuhan Oscillatoria.

Produktivitas primer suatu ekosistem perairan pada

dasarnya merupakan hasil perubahan energi cahaya

matahari menjadi energi kimia dalam tubuh organisme

autotrof perairan tersebut melalui fotosintesis. Sebagian

organisme autotrof dapat melakukan sintesis tanpa bantuan

cahaya matahari, namun persentasenya sangat kecil (Barnes

& Mann, 1994 dalam Pitoyo & Wiryanto, 2002). Hasil

pengukuran produktivitas primer fitoplankton di Situ

Panjalu disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu

Table 6. Primary productivity of phytoplankton at Situ Panjalu

Stasiun/

Stations

Kedalaman/

Depth (m)

Produktivitas primer kotor/

Gross primary productivity

(mgC/m3/jam)

Produktivitas primer

bersih/

Net primary productivity

(mgC/m3/jam)

Respirasi/

Respiration

(mgC/m3/jam)

Kampung Dukuh 0,5 118,1 85,3 39,7

2,0 47,1 2,20 59,1

Banjar Waru 2,0 91,4 50,6 49,9

0,5 78,3 -95 173,3

Simpar 0,5 107,8 100,0 9,40

2,0 207,8 193,8 16,9

Faktor yang mempengaruhi produktivitas primer

fitoplankton adalah cahaya, nutrien, dan suhu air

(Bourterfas et al., 2002). Penggunaan nutrien yang

berhubungan dengan kecepatan fotosintesis yang

dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Nutrien ammonium

dapat digunakan oleh fitoplankton secara perlahan pada

kondisi gelap. Pengkayaan suatu badan air oleh nutrien

khususnya nitrogen atau fosfor merangsang pertumbuhan

fitoplankton yang akan kemungkinan dapat mengganggu

keseimbangan organisme hidup dan kualitas air (Loureiro et

al., 2005). Hasil analisis regresi linier berganda

menunjukan bahwa nutrien yang berpengaruh secara nyata

(P<0,05 dan R2=0,998) terhadap produktivitas primer di

Situ Panjalu adalah amonium dan orthofosfat. Nitrat tidak

berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap produktivitas

primer di Situ Panjalu. Persamaan hubungan regresi linier

berganda sebagai berikut:

Y=-466,6+896,6 N-NH4+603,6 P-PO4 ...................... (10

Alga menggunakan amonium dan nitrat untuk

pertumbuhanya melalui proses fotosintesis, namun

amonium merupakan bentuk nitrogen yang lebih disukai

oleh fitoplankton dari pada nitrat. Amonium tersebut

digunakan untuk membentuk protein selama proses

fotosintesis. Orthofosfat dapat merupakan senyawa fosfor

yang secara mudah dapat digunakan oleh fitoplankton

(Effendie, 2003; Ji, 2008). Yuliana et al. (2002) juga

mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara

kandungan nutrien orthofosfat dan produktivitas primer.

Produktivitas primer kotor adalah jumlah total

fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan dalam jangka

waktu tertentu. Sedangkan produktivitas primer bersih

adalah besarnya sintesis senyawa karbon organik selama

proses fotosintesis dikurangi besarnya aktivitas total

respirasi pada waktu terang dan gelap dalam jangka waktu

tertentu (Folkowski & Raven, 1997 dalam Pitoyo &

Wiryanto, 2002). Produktivitas primer fitoplankton di Situ

Panjalu pada umumnya tinggi pada permukaan

dibandingkan dengan kedalaman 2 m. Hal ini diduga karena

pada permukaan mempunyai kelimpahan fitoplankton yang

lebih tinggi dibandingkan dengan kedalama 2 m. Nilai

produktivitas primer lebih tinggi di permukaan

dibandingkan dengan lapisan yang lebih dalam juga

terdapat di Waduk Cengklik, Jawa Tengah (Pitoyo &

Wiryanto, 2002) dan Danau Batu, Kalimantan Tengah

(Veronica & Ardianor, 2007). Besarnya produktivitas

primer suatu perairan mengindikasikan besarnya

ketersediaan nutrien terlarut (Krismono & Kartamihardja,

1995). Produktivitas pimer kotor fitoplankton tertinggi

terdapat pada stasiun pengamatan Simpar dengan nilai

207,8 mgC/m3/jam dan terendah pada Stasiun Kampung

Dukuh dengan nilai 47,1 mgC/m3/jam. Nilai produktivitas

primer kotor, bersih, dan respirasi di Situ Panjalu lebih

tinggi jika dibandingkan Danau Batu, Kalimantan Tengah

dengan nilai masing-masing 12,8; 7,7; dan 20,5

mgC/m3/jam (Veronica & Ardianor, 2007) namum jauh

lebih rendah dibandingkan dengan Waduk Cengklik,

Boyolali, Jawa Tengah dengan nilai produktivitas primer

kotor di permukaan berkisar 11.122.500-22.545.600

mgC/m3/hari (Pitoyo & Wiryanto, 2002). Perairan Situ

Page 39: ikan bawal

Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)

Panjalu berdasarkan atas nilai produktivitas primer kotor

termasuk ke dalam kategori eutrofik dengan nilai

produktivitas primer >62,5 mgC/m3/jam (Suwignyo, 1983;

Linken, 1975 dalam Hartoto, 2004).

KESIMPULAN

1. Perairan Situ Panjalu merupakan perairan yang subur

(eutrofik dan hypertrofik).

2. Nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi

masing-masing berkisar antara 47,1-207,8 mgC/m3/jam,

2,2-193,8 mgC/m3/jam, dan 9,4-173,3 mgC/m

3/jam.

3. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006-

437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan

adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae,

genera Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera

Peridinium dari kelas Dinophyceae.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset perikanan berbasis budi daya (culture base fisheries)

di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat dan Waduk

Malahayu, Kabupaten Brebes-Jawa Tengah, T. A. 2010, di

Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur,

Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association. 2005. Standard

Methods for the Examination of Water and Waste Water

Including Bottom Sediment and Sludges. 21st Edited.

Eaton, A. D., L. S. Clesceri, E. W. Rice, & A. E.

Greenberg. Amer. Publ. Health Association Inc. New

York. 1,296 pp.

Basmi, H. J. 2000. Planktonologi: Terminologi dan

Adaptasi. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut

Pertanian Bogor. Bogor. 55 pp.

Bouterfas, R. M., M. Belkoura, & A. Duta. 2002. Light and

temperature effect on the growth rate of three freshwater

algae isolated from eutrophic lake. Hydrobiologia. 489:

207-217.

Carlson, R. E. 1977. A Trophic State Index for Lake,

Limnology, and Oceanography. 22 (2): 361-369.

Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biology. 2nd Ed. John

Wiley & Sonc. Inc. New York. 1,248 pp.

Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas air: Bagi Pengelolaan

Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.

Yogyakarta. 257 pp.

Hartoto, D. I. 2004. Pengembangan Budi Daya Perikanan

di Perairan Waduk Suatu Upaya Pemecahan Masalah

Budi Daya Ikan dalam Keramba Jaring Apung:

Dinamika Populasi Plankton sebagai Indikator

Pencemaran pada Perairan Waduk. Departemen

Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 57-74.

Hasan, Z. 2008. Spatial and temporal distribution of

phytoplankton at Cirata Reservoir in relation to aquatic

primary produktivity. In Procedding Internastional

Conference on Indonesia Inland Waters. Research

Institute for Inland Fisheries. 191-195.

Jorgensen, S. E. 1980. Lake Management: Water

Devolopment, Supplay, and Management. Volume 14.

Pergamon Press. 167 pp.

Ji, Zhen-Gang. 2008. Hydrodynamics and Water Quality:

Modeling Rivers, Lakes, and Estuaries. John Willey &

Sons. New Jersey. 676 pp.

Krismono, A. S. N. & E. S. Kartamihardja. 1995. Status

trofik perairan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah,

sebagai dasar pengelolaan perikanannya. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia. 1 (3): 26-35.

Krismono, L. P Astuti, & Y. Sugianti. 2009. Karakteristik

kualitas air Danau Limboto, Provinsi Gorontalo. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (1): 59-68.

Loureiro, S. A., Newton 2, & J. Icely. 2005. Effects of

nutrient enrichments on primary production in the Ria

Formosa coastal lagoon (Southern Portugal).

Hydrobiologia. 550: 29-45.

Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the

Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and

Enlarged. Holden Day. Inc. San. Fransisco. 180 pp.

Naz, M. & M. Turkmen. 2005. Phytoplankton biomass and

spesies composition of Lake Golbasi (Hatay-Turkey).

Turkey Journal Biology. 9: 49-56.

Noges, T. & K. Kangro. 2005. Primary production of

phytoplankton in a strongly stratified temperate lake.

Hydrobiologia. 547: 105-122.

Odum, P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. (Terjemahan).

Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 674 pp.

Pena, M. A., M. R. Lewis, & W. G. Horrison. 1990.

Primary productivity and size structure of

phytoplankton biomassa on transect bb equator at

135oW in the Pasific Ocean. Deep-Sea Res. 37: 295-

315.

Pratiwi, N. T. M, K. Praptokardiyo, & N. Indrayani. 2000.

Page 40: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Tingkat kesuburan perairan Situ Ciguded, Kabupaten

Bogor, Jawa Barat. Prosiding Semiloka Nasional

Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk.

Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas

Padjajaran. Bandung.

Pitoyo, A. & Wiryanto. 2002. Produktivitas primer perairan

Waduk Cengklik, Boyolali. Biodiversitas. 3 (1): 189-

195.

Purnomo, K., E. S Kartamihardja, A. Nurfiarini, & Z.

Nasution. 2009. Penelitian Perikanan Berbasis Budi

Daya (Culture Based Fisheries) di Perairan

Waduk/Danau di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Loka

Riset Pemacuan Stok Ikan. (Tidak Dipublikasi). 98 pp.

Reynold, C. S. 1984. The Ecology of Freshwater

Phytoplankton. Cambridge University Press. 357 pp.

Reynold, C. 2006. Ecology, Biodiversity, and

Conservation: Ecology of Phytoplankton. Cambridge.

535 pp.

Suwignyo. 1983. Penyelidikan Tanaman Air dan Perikanan

pada Proyek Irigasi Widas. Biotrop. Seameo. Regional

Center for Tropical Biology. Bogor. Indonesia.

Siagian, M. 2004. Diktat Kuliah Ekologi Perairan. Fakultas

perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.

Pekabaru. (Tidak Diterbitkan). 50 pp.

Valiela, I. 1995. Marine Ecological Processes. Second

Edition. Springer. 686 pp.

Veronica, E. & Ardianor. 2007. Primary production of

phytoplankton in Lake Batu, a tropical oxbow lake of

central Kalimantan. Journal of Tropical Fisheries. 2 (1):

165-171.

Whitton, B. A. 1973. Freshwater Plankton in Botanical

Monograf Vol 9: The Biology of Blue Green Algae.

Blackwell scientific publication. 676 pp.

Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Saunder Company.

Philadelphia. 919 pp.

Wetzel, R. G. & G. E. Likens 2000. Limnological Analyses.

3rd

edition. Springer. Verlag New York. Inc. USA. 429

pp.

Wetzel, R. G. 2001. Limnology: Lake and River

Ecosystems. Third Edition. Academic Press. 1,006 pp.

Widodo, J. & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber Daya

Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. 252 pp.

Yuliana, E. M. Adiwilaga, & R. F. Kaswadji. 2002.

Hubungan antara kandungan nutrien dan intensitas

cahaya dengan produktivitas primer fitoplankton di

perairan Teluk Lmpung. Forum Pasca Sarjana. 25 (4):

321-330.

Yuliana & Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan

kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan

parameter fisika kimia perairan di Danau Laguna

Ternate, Maluku Utara. Dalam Prosiding Seminar

Nasional Limnologi 2006: Pengelolaan Sumber Daya

Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat

Penelitian Limnologi. Jakarta.

Page 41: ikan bawal

Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)

BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAERAH TERTUTUP DAN TERBUKA

DI PERAIRAN SEKITAR PULAU PAMEGARAN, TELUK JAKARTA

Anthony Sisco Panggabean dan Bram Setiadji Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 17 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 27 Januari 2011

ABSTRAK

Lingkungan perairan dapat membedakan bentuk pertumbuhan karang. Untuk mengetahui bentuk pertumbuhan karang

pada dua lingkungan perairan karang yang berbeda di perairan sekitar Pulau Pamegaran Teluk Jakarta menggunakan

metode life form transek (line intercept transec). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2005. Hasil

pengamatan menunjukan bahwa genus karang yang mendominansi adalah Acropora, Porites, dan Montipora dengan

bentuk pertumbuhan karang bercabang dan karang batu atau masif. Adaptasi bentuk pertumbuhan karang yang dominan

pada daerah tertutup (leeward) yaitu bercabang dan genus dominan Acropora. Pada daerah terbuka (windward) bentuk

pertumbuhan karang yang dominan yaitu karang batu dari genus Porites. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di

bagian utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand) dan di perairan tertutup bagian timur kerikil (pebble) dan

pecahan karang mati (rubble).

KATA KUNCI: pertumbuhan karang, perairan tertutup, perairan terbuka, Pulau Pamegaran

ABSTRACT: The bend of coral shape in leeward and winward areas at Pamegaran Island, Jakarta Bay. By:

Anthony Sisco Panggabean and Bram Setiadji

Marine envinronment can make the bend of coral shape were different in the certain areas. Line intercept transec

was used to study live coral cover in the waters around of Pamegaran Island, Jakarta Bay. The research was done in

May until July 2005. The results showed that Acropora, Porites, and Montipora were dominat with the bend of coral

shape branching and massive. Adaptation of the bend of coral shape in leeward was branching with the dominat genera

Acropora. Meanwhile, in the windward area the dominat genera was Porites with bend of coral shape massive. Substrat

condition in leeward ares at Pamegaran Island wre dominated by medium sand and the winward areas were dominated

by pebble and rubble

KEYWORDS: bend of coral shape leeward, windward, Pamegaran Island

PENDAHULUAN

Perairan karang mempunyai produktivitas dan

keragaman jenis yang tinggi dan berfungsi sebagai feeding

ground (daerah mencari makan), spawning ground (daerah

untuk berkembang biak), dan nursery ground (daerah

asuhan) serta sebagai shelter (tempat berlindung) bagi

beberapa jenis ikan (Nybakken, 1993). Ekosistem terumbu

karang sangat rapuh dan peka, sedikit terjadi perubahan

pada lingkungan akan mempengaruhi kondisinya.

Walaupun demikian karang memiliki daya pemulihan yang

sangat baik. Faktor lingkungan perairan secara langsung

akan mempengaruhi kondisi dan bentuk pertumbuhan

karang serta simbiosa antara ikan karang dengan karang.

Terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu

mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga

keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan karang juga

tinggi dan dengan pertambahan penduduk yang cepat serta

kemajuan teknologi mempercepat eksploitasi dan

pemanfaatan ekosistem terumbu karang (Kementerian

Lingkungan Hidup, 1990). Meningkatnya pemanfaatan

sumber daya ekosistem terumbu karang, maka

permasalahan yang timbul adalah seringkali terjadi aktivitas

manusia (anthropogenic causes) dan alam (natural causas)

yang dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan

terumbu karang.

Hampir seluruh penduduk yang hidup di daerah

Kepulauan Seribu bergantung kepada sumber daya ikan

yang berada di terumbu karang untuk penghasilan dan

pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga terjadi

pemanfaatan yang berlebih yang dapat mengancam

ekosistem terumbu karang terdegredasi (Balai Taman

Nasional Kepulauan Seribu, 2000).

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Perlindungan

Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan

mengungkapkan bahwa degredasi ekosistem terumbu

karang yang terjadi di Kepulauan Seribu pada saat ini

disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang

memanfaatkan karang tersebut untuk kepentingan pribadi

antara lain pengembangan wilayah pesisir, penambangan

karang batu, tangkap lebih (over exploitation),

penangkapan merusak, dan pemanfaatan rekreasi intensif.

Hasil penelitian Yosephine et al. (1995) mengatakan

bahwa persen tutupan karang Acropora branching

(Acropora bercabang) dan coral massive (karang batu) di

Pulau Nyamuk Besar, Pulau Damar Besar, PulauTikus, dan

Page 42: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Pulau Kotok Besar Kepulauan Seribu pada tahun 1985

berkisar antara 5-37%, persen tersebut semakin membesar

semakin ke utara kemudian perbandingan persen tutupan

karang tersebut menunjukan penurunan pada tahun 1995

yaitu berkisar 1-24%.

Kondisi perairan di Pulau Pamegaran didominansi oleh

substrat pasir untuk bagian permukaan dan pecahan karang

pada bagian dasar perairan yang berbentuk bagian-bagian

kecil yang terpisah-pisah (patch reef). Tipe terumbu karang

adalah tipe terumbu karang tepi atau pantai (fringing reef)

dengan kedalaman pertumbuhan karang kurang dari 40 m.

Pada bagian utara merupakan perairan karang yang tertutup

dikarenakan terdapat Pulau Bira Kecil dan Pulau Bulat

yang menghalangi dari gerakan arus dan gelombang yang

kuat sedangkan pada bagian timur merupakan perairan

karang yang bebas tanpa ada penghalang (barrier).

Beberapa faktor lingkungan perairan yang erat

kaitannya dengan pertumbuhan karang yaitu antara lain

suhu (mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang dan

metabolisme karang baik secara langsung dan tak

langsung), salinitas (secara fisiologis berhubungan dengan

penyesuaian tekanan osmotik sitoplasma sel tubuh),

phospat dan nitrat (zat hara yang dibutuhkan), substrat

(media yang menentukan bentuk pertumbuhan), dan arus

(gerakan air yang dapat merubah suhu menjadi lebih dingin,

salinitas tinggi, dan zat hara).

Kondisi suatu perairan karang yang mendapat pengaruh

atau tekanan secara langsung terhadap faktor lingkungan

perairan setiap waktu atau secara terus-menerus setiap

musim merupakan lokasi perairan yang berada pada

perairan terbuka (windward) sebaliknya apabila lokasi

perairan tersebut berada pada daerah yang terlindung dari

tekanan faktor lingkungan perairan dikarenakan adanya

daerah atau daratan sebagai penghalang (barrier) terhadap

pengaruh lingkungan disebut daerah perairan tertutup

(leeward) (Sukarno et al., 1983).

Ciri-ciri habitat karang tertutup yaitu jarang sekali

mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar nutrien

yang disebabkan oleh pengaruh gerakan arus dan

gelombang yang kuat atau dapat dikatakan selalu berada

pada suhu dan salinitas rata-rata tahunan (suhu 23-25°C dan

salinitas 32-35‰) sedangkan habitat karang terbuka lebih

sering mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar

nutrien dikarenakan terkena pengaruh langsung gerakan

arus dan gelombang yang kuat sehingga suhu, salinitas, dan

kadar nutrien akan berubah tergantung pada musim atau

iklim.

Bentuk pertumbuhan dari beberapa jenis karang juga

bervariasi, tergantung kepada lokasi di mana karang

tersebut hidup. Jenis karang yang terdapat di perairan yang

lebih dalam mempunyai bentuk lebih tipis dan kurus

dikarenakan kurangnya klasifikasi. Gerakan gelombang

cenderung memaksa tipe karang bercabang mempunyai

bentuk cabang yang pendek dan tumpul dengan bentuk

percabangan sesuai dengan arah arus air laut (Bengen &

Widnugraheni, 1995).

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang bentuk pertumbuhan dan perkembangan karang

pada dua lokasi lingkungan perairan yang berbeda

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di Pulau Pamegaran, Teluk

Jakarta pada posisi geografis antara 05°24'-05°45' LS dan

106°25'-106°40' BT (Gambar 1). Wilayah penelitian

mencakup perairan karang yang tertutup (leeward) di

bagian utara dan terbuka (windward) di bagian timur.

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juli

2005.

Page 43: ikan bawal

Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Figure 1. Research location. Keterangan/Remarks: U = daerah bagian utara atau perairan karang yang

tertutup (leeward); T = daerah bagian timur atau

perairan karang yang terbuka (winward)

Peralatan penelitian yang dipergunakan yaitu global

positioning system, peralatan selam, dan alat pencatat

identifikasi jenis.

Metode penelitian yang digunakan adalah garis transek

(line intercept transec atau life form) (Gomez & Yop,

1984). Transek garis sepanjang 30 m dan diletakan sejajar

garis pantai pada kedalaman 5 m dengan pengamatan tiga

kali ulangan.

HASIL DAN BAHASAN

Bentuk Pertumbuhan Karang

Pembagian klasifikasi pertumbuhan karang dapat dilihat

melalui tipe substrat yang terdapat di perairan tersebut.

Menurut Sukarno (1995) bahwa pertumbuhan karang batu

terdapat pada substrat yang keras seperti pada karang mati

dan berpasir. Kondisi substrat yang demikian cocok untuk

tempat melekatnya karang-karang muda serta untuk

pertumbuhan dan perkembangan karang. Planula karang

hanya dapat menempel pada substrat yang keras dan kuat

106°40’ 106°25’

106°40’ 106°25’

5’’40’

5’’24’

Page 44: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

seperti kerikil, pecahan karang mati, karang batu yang telah

mati, dan kerangka dari organisme lain (cangkang

moluska).

Berdasarkan atas tipe substratnya merupakan kombinasi

dasar perairan yang terdiri atas pasir, kerikil dan dan

pecahan karang mati (coral rubble) merupakan habitat yang

cocok bagi kehidupan jenis-jenis karang dan merupakan

faktor pembeda klasifikasi karang yang mendiami subtrat

tersebut. Pecahan karang yang terdapat pada habitat karang

berasal dari patahan karang Acropora dan non Acropora

yang merupakan hasil dari degredasi karang.

Penelitian Lazuardi & Wijoyo (1999) Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang

dilakukan di perairan karang gugusan Pulau Kelapa,

Kepulauan Seribu menunjukan pada kedalaman 3 m

penurunan persen tutupan karang masif berkisar 0,84-

41,36% sedangkan karang lunak berkisar 0,26-15,14% dan

peningkatan persen tutupan karang masif berkisar 2,64-

29,14% sedangkan karang lunak berkisar 0,40-4,20%. Pada

kedalaman 10 m penurunan persen tutupan karang masif

berkisar 2,60-12,06% sedangkan karang lunak berkisar

0,34-15,26% dan peningkatan persen tutupan karang masif

berkisar 1,82-16,08% sedangkan karang lunak berkisar

1,00-15,50%.

Pada daerah penelitian kategori karang Acropora

bercabang (Acropora branching) dan karang batu (coral

massive) tumbuh dominan di sekitar Pulau Pamegaran.

Karang bercabang dan karang batu atau masif lebih

menyukai daerah yang bersubstrat keras dan yang berarus

dikarenakan adanya sirkulasi unsur hara yang cukup

berlimpah. Sebagian besar jenis karang batu dapat tumbuh

di perairan dengan kecepatan arus permukaan yang relatif

kuat sehingga dapat mensuplai bahan-bahan makanan.

Pada umumnya kategori karang bercabang dan karang

batu atau masif merupakan koloni karang yang menempati

daerah tubir.

Bentuk pertumbuhan cabang atau adaptasi morfologi

karang di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor

lingkungan perairan terutama arus. Arus permukaan sangat

mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang karang.

Keberadaan karang pada perairan yang dangkal (0-5 m)

pada umumnya mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang

yang merupakan adaptasi morfologi terhadap arus

permukaan.

Kondisi tutupan karang hidup dan karang mati

merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan dan

perkembangan karang. Hasil pengamatan menunjukan

tutupan karang di sekitar Pulau Pamegaran berbeda. Secara

umum, lebih dari 60% berupa tutupan karang hidup, baik

pada lingkungan yang terbuka maupun tertutup (Tabel 1).

Tabel 1. Tutupan karang hidup dan mati di sekitar Pulau Pamegaran

Table 1. Life and dead coral reef coverage in the waters arround of Pamegaran Island

Lingkungan perairan/Environmental waters Persen tutupan karang/Percent coral cover (%)

Hidup/Life Mati/Dead Lainnya/Other

Tertutup 64,26 14,36 21,38

Terbuka 62,35 15,36 22,29

Pada lingkungan perairan tertutup di sebelah utara Pulau

Pamegaran dijumpai bentuk pertumbuhan karang yang

dominan adalah bercabang (branching) dari genus

Acropora (Acropora branching) (Gambar 2). Di lingkungan

perairan terbuka bagian timur Pulau Pamegaran yang

banyak dijumpai pertumbuhan karang yang dominan adalah

karang batu atau masif (coral massive) dari genus Porites.

Karang Acropora tidak dapat tumbuh optimum di daerah

berombak kuat. Bentuk karang ini lebih sesuai untuk

mengalirkan air dan menghadapi tekanan arus yang cukup

kuat dibandingkan dengan bentuk yang lain.

Page 45: ikan bawal

Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)

Gambar 2. Genus Acropora bercabang yang tumbuh di lingkungan perairan tertutup.

Figure 2. Acropora branching as a dominant coral in the leeward area.

Karena memiliki percabangan yang pertumbuhannya

cepat, maka komunitas Acropora mengalahkan

pertumbuhan jenis lain dalam kompetisi ruang dan akan

berlimpah di daerah yang massa airnya senantiasa bergerak

dan bukan di daerah pecahan ombak (surf zone). Karang

batu mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan

perairan dan merupakan tipe karang yang banyak

ditemukan pada daerah dengan tutupan karang mati yang

tinggi.

Kecepatan pertumbuhan karang bervariasi sesuai

dengan jenis, umur, dan habitat. Bentuk pertumbuhannya

dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, dan sirkulasi air.

Koloni yang muda dan bentuknya kecil cenderung tumbuh

lebih cepat daripada koloni yang sudah tua. Di samping itu

koloni yang besar dan bercabang atau berbentuk seperti

daun tumbuh lebih cepat daripada karang otak (Boarden &

Seed, 1985).

Keberadaan karang lunak (soft coral) dapat merupakan

indikator kondisi karang keras (hard coral). Pertumbuhan

jenis karang lunak mengalami blooming apabila kondisi

karang keras sudah dalam keadaan kritis atau rusak. Karang

ini tumbuh dengan baik pada kondisi air yang kecerahannya

rendah dan kandungan nutriennya tinggi. Selain karang

batu, di sebelah utara dan timur Pulau Pamegaran ada dua

genus karang lunak yang dapat tumbuh baik yaitu Xenia

dan Nepthea (Gambar 3 dan 4).

Gambar 3. Karang lunak genus Xenia di perairan Pulau Pamegaran.

Figure 3. Soft corals from genus Xenia in the waters around of Pamegaran Island.

Page 46: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 4. Karang lunak genus Nepthea di perairan Pulau Pamegaran.

Figure 4. Soft corals from genus Nepthea in the waters around of Pamegaran Island.

Karang lunak merupakan kelompok karang yang relatif

mudah tumbuh dalam waktu singkat dibandingkan dengan

karang batu. Gerakan air yang disebabkan oleh arus

menyebabkan karang lunak mampu bertahan dan melekat

pada substrat yang keras dan mendukung proses

pertumbuhan.

Profil Dasar Perairan

Kondisi dasar perairan merupakan faktor utama yang

mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang. Hasil

pengamatan substrat di sekitar Pulau Pamegaran

menunjukan bahwa pasir (medium sand) sangat dominan di

bagian utara sedangkan di bagian timur didominansi oleh

kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble).

Tipe substrat di suatu perairan juga dipengaruhi oleh

kondisi arus. Arus yang deras menyebabkan partikel halus

di dasar perairan tidak dapat mengendap. Pada perairan

yang relatif tenang memungkinkan terjadinya endapan

partikel halus sehingga terbentuk dasar perairan yang

berlumpur. Kecepatan arus permukaan (drift currents)

merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi penyebaran karang, bentuk cabang, dan

perkembangan karang. Profil substrat dasar pada lokasi

penelitian di Pulau Pamegaran dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Profil dasar perairan di sekitar Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta.

Figure 5. Bottom profile in the waters arround of Pamegaran Island, Jakarta Bay. Keterangan/Remarks: Pb: pebble (kerikil); Rb: rubble (pecahan karang); Gr: granule (butiran); Cs: coarse sand (pasir

kasar); ACB: Acropora branching; Ms: medium sand (pasir); Fs: fine sand (pasir halus); S: silt

(lanau); CM: coral massive

Bentuk pertumbuhan karang batu (massive), melebar

(encrusting), dan lembaran (foliose) merupakan suatu cara

bagi karang tersebut untuk mentoleransi kondisi kecepatan

arus permukaan yang dapat menyebabkan perairan yang

keruh agar dapat menyerap sinar matahari untuk kegiatan

fotosintesis Zooxanthelae yang melekat di atas karang

tersebut.

Dasar perairan yang relatif dangkal sangat ideal bagi

pertumbuhan karang secara horisontal sehingga

Pb

Rb

Gr

Es

Cs

Ms

S

L

5 m

CM

gerakan gelombang

ACB

Page 47: ikan bawal

Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)

memungkinkan penetrasi cahaya matahari mencapai dasar

perairan.

KESIMPULAN

1. Pada perairan tertutup di bagian utara Pulau Pamegaran

bentuk pertumbuhan karang yang dominan bercabang

atau branching genus Acropora dan di perairan terbuka

bagian timur Pulau Pamegaran bentuk pertumbuhan

karang yang dominan karang batu atau massive genus

Porites.

2. Bentuk pertumbuhan karang lainnya di sekitar perairan

Pulau Pamegaran adalah karang lunak yaitu genus

Xenia dan Nepthea.

3. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di bagian

utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand)

yang sangat dominan dan di perairan tertutup bagian

timur kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble)

sangat mendominansi.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset usaha perikanan teripang melalui pengkayaan stok

(stock enchancement) di Kepulauan Seribu, T. A. 2004-

2005, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Boarden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to

Coastal Ecology Tertiary Level Biologi. Breackie Son

Ltd. Chapman and Hall. New York. 90-105.

Bengen, D. G. & P. Widnugraheni. 1995. Sebaran spatial

karang Scleractinia dan asosiasinya dengan karakteristik

habitat di Pantai Blebu dan Pulau Sekapal, Lampung

Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan

Terumbu Karang. 81-95.

Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2000. Laporan

inventarisasi terumbu karang dan ikan hias di wilayah

perairan Pulau Putri Timur, Putri Barat, Putri Gundul,

Matahari, dan Macan Kecil. Laporan Proyek

Pengembangan Taman Nasional Laut Pulau Seribu.

Jakarta.

Gomez, E. D. & H. S. Yop. 1984. Monitoring reef

condition. Kenchington, R. A. & B. E. T. Hudson (Eds)

In Coral Reef Management Handbook Unesco

Publisher. Jakarta. 171 pp.

Kementrian Lingkungan Hidup. 1990. Perlindungan

Lingkungan Laut dalam Proyek Pembinaan Kelestarian

Sumber Daya Laut dan Pantai. Jakarta. 43 pp.

Lazuardi, M. E. & N. S. Wijoyo. 1999. Perubahan kondisi

terumbu karang di Gugusan Pulau Kelapa, Kepulauan

Seribu, Jakarta. Fakultas Perikanan dan Kelautan.

Institut Pertanian Bogor. Prosiding Lokakarya dan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi Terumbu Karang

Indonesia. Jakarta. Tanggal 22-23 Nopember 1999.

214-221.

Nybakken, J. W. 1993. Marine Biology: An Ecological

Approach. Third Edition. U. S. A. Harper Collins

College Publisher. X+462.

Sukarno, M. Hutomo, M. K. Moosa, & P. Prapto. 1983.

Terumbu karang di Indonesia sumber daya,

permasalahan, dan pengelolaannya. Proyek Penelitian

Potensi Sumber Alam Indonesia. Lembaga Oseanologi

Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Jakarta.

Sukarno. 1995. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah

Pengelolaannya dalam Materi Kursus Pelatihan

Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu

Karang. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1-8.

Yosephine, M. I., Suharsono, & I. Amir. 1995. Kondisi

terumbu karang pada tahun 1985 dan 1995 di beberapa

pulau di Kepulauan Seribu. P3O. Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional

Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta. Tanggal 10-12

Oktober 1995. 182-188.

Page 48: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)

BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus)

DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA

Duranta Diandria Kembaren dan Tri Ernawati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 20 Januari 2011

ABSTRAK

Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dari famili Mullidae banyak tertangkap di

perairan Laut Jawa. Penelitian ini tentang beberapa aspek biologi ikan kuniran di perairan Tegal dan sekitarnya dilakukan

pada bulan Maret, April, dan Agustus 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran,

seperti nisbah kelamin, sebaran frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan gonad, panjang

pertama kali matang gonad (length at first maturity), dan faktor kondisi. Ikan yang diamati 358 ekor yang terdiri atas 170

jantan dan 188 betina. Perbandingan jumlah ikan jantan dan betina menunjukan rasio kelamin yang tidak seimbang.

Berdasarkan atas sebaran frekuensi panjang, ikan dengan panjang 9 cmFL mendominansi hasil tangkapan pada bulan

Maret dan April dan pada bulan Agustus didominansi ikan dengan panjang 11 cmFL. Pertumbuhan ikan kuniran pada

bulan Maret bersifat allometrik negatif, sedangkan pada bulan April dan Agustus bersifat isometrik. Analisis tingkat

kematangan gonad menunjukan bahwa pada bulan Agustus banyak ditemukan tingkat kematangan gonad I dan II dan

pada bulan Maret banyak ditemukan tingkat kematangan gonad III dan IV. Ikan kuniran diduga pertama kali matang

gonad pada ukuran panjang 9,87 cmFL. Faktor kondisi menunjukan tidak ada perbedaan antara bulan Maret, April, dan

Agustus.

KATA KUNCI: ikan kuniran, rasio kelamin, sebaran frekuensi panjang, lenght at first maturity

ABSTRACT: Some biological aspects of the silver goatfish (Upeneus sulphureus) in the Tegal and adjacent

waters. By: Duranta Diandria Kembaren and Tri Ernawati

The silver goatfish (Upeneus sulphureus) is demersal fish which caught excessively in the Java Sea and

taxonomically belong to the family Mullidae. Some biological aspects of the silver goatfish in Tegal and adjacent waters

were studied on March, April, and August in 2009. The objective of this research were to know some biological aspects,

i.e. sex ratio, length frequency distribution, length weight relationship, gonad maturity stage, length at first maturity, and

condition factor. A total of 358 fishes that consisted of 170 males and 188 females were examinated their biological

aspects. The composition of male and female showed an unequal sex ratio. According to the lenght frequency

distribution, the fishes of 9 cmFL were dominant on March and April, while on August was dominated by the fishes of 11

cmFL. The growth characteristic of the silver goatfish were allometric negative on March and isometric on April and

August. Gonad maturity stage level 1 and 2 were dominant on August and level 3 and 4 on March. Lenght at first

maturity (Lm) of silver goatfish were 9,87 cmFL. The condition factor showed that there is no difference on March, April,

and August.

KEYWORDS: silver goatfish, sex ratio, lenght frequency distribution, lenght at first maturity

PENDAHULUAN

Ikan kuniran termasuk salah satu ikan demersal

ekonomis penting yang banyak tertangkap di perairan Laut

Jawa. Sejak tahun 2000-an ikan ini banyak dicari untuk

dijadikan fillet dan kemudian diolah menjadi makanan

ringan untuk diekspor. Negara tujuan utama dari makanan

ringan dengan bahan baku ikan kuniran ini adalah Malaysia

(Anonimus, 2010). Nilai produksi ikan kuniran baru tercatat

dalam Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2004

(Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006).

Secara taksonomis, ikan ini termasuk famili Mullidae

dengan ciri khusus yaitu di bagian dagu memiliki sepasang

sungut yang panjang dan tidak bercabang, menyerupai

jenggot pada kambing sehingga dinamakan goatfish.

Sungut ini merupakan organ sensoris untuk membantu

mencari makanan. Ciri-ciri lainnya antara lain bentuk badan

memanjang dan langsing, panjangnya dapat mencapai 23

cm, sungut lebih pendek dibandingkan jenis lain dalam

famili Mullidae, mempunyai dua sirip punggung,

cenderung hidup di perairan yang relatif dalam yaitu antara

10-90 m, dan kadang membentuk gerombolan yang besar

(schooling) (Sommers et al., 1996; Food and Agriculture

Organization, 1974; Pauly et al., 1996).

Ikan kuniran ini tersebar di perairan tropis bahkan

sampai ke perairan sub tropis di sebelah utara Cina dan

selatan Australia (Food and Agriculture Organization,

1974). Di Indonesia ikan kuniran tersebar dari Sumatera,

Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, sampai

Seram (Weber & Beaufort, 1931). Ikan kuniran juga

ditangkap di perairan Selat Sunda (Genisa, 2003), Teluk

Jakarta (Martosejowo & Djamali, 1980), perairan utara

Jawa Tengah (Pujiati et al., 2008), perairaan utara Jawa

Timur (Sumiono & Nuraini, 2007), dan Teluk Kwandang,

Page 49: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gorontalo (Fahmi & Adrim, 2002). Menurut Garces et al.

(2006), ikan kuniran paling tinggi kelimpahannya di

perairan Bengal, Banglades. Menurut Badrudin (1978),

potensi ikan kuniran (potential annual yield) di Laut Jawa

sekitar 51.000 ton dan merupakan 18% dari total potensi

yield tahunan foodfish.

Alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan

kuniran adalah cantrang. Alat ini merupakan alat

penangkap ikan tradisional yang keberadaannya

dipertahankan oleh para nelayan, khususnya di pantai utara

Jawa (Sumiono & Nuraini, 2007). Selain alat tangkap

cantrang, ikan kuniran juga ditangkap dengan bottom trawl

(Genisa, 2003; Fahmi & Adrim, 2002; Pujiati et al., 2008).

Tulisan ini membahas secara ringkas beberapa aspek

biologi ikan kuniran di Laut Jawa, khususnya di perairan

Tegal dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk

mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran, seperti

nisabah kelamin, sebaran frekuensi panjang cagak (fork

lenght), hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan

gonad, panjang pertama kali matang gonad (length at first

maturity), dan faktor kondisi. Aspek biologi yang diperoleh

berguna untuk mendapatkan informasi dasar bagi penelitian

selanjutnya dan juga sebagai masukan untuk tujuan

pengelolaan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Pengambilan

contoh dilakukan pada bulan Maret, April, dan Agustus

2009. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan alat cantrang

yang di daratkan di Tempat Pelelangan Ikan Tegalsari,

Tegal. Panjang yang diukur adalah panjang cagak (fork

lenght) yang dikatakan dalam cm dan bobot dikatakan

dalam gram (g).

Analisis hubungan panjang dan bobot panjang ikan

kuniran digunakan fungsi berpangkat (Hile,1936 dalam

Effendie, 1979) yaitu:

W=a.Lb ........................................................................ (1

di mana:

W = bobot tubuh ikan (g)

L = panjang tubuh ikan (cm)

a dan b = konstanta

Untuk mengetahui nilai konstanta b sama dengan 3 atau

tidak maka dilakukan uji statistik (uji-t). Untuk

mendapatkan nilai faktor kondisi (K) berdasarkan atas

hubungan panjang dan bobot menggunakan persamaan

W=a.Lb, maka nilai faktor kondisi relatif (Kn) dihitung

dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979):

Kn = W ....................................................................... (2

a.Lb

Harga b adalah harga pangkat yang cocok dengan

panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan. Nilai praktis

yang didapat dari perhitungan panjang dan bobot ini dapat

digunakan untuk menduga bobot dan panjang ikan atau

sebaliknya, serta kondisi ikan mengenai pertumbuhan

kemontokan dan perubahan dari lingkungan.

Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan

berdasarkan atas acuan Holden & Raitt (1974), yang terdiri

atas lima tingkatan (Tabel 1).

Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan

Table 1. Gonad maturity stage of fish

Tingkat kematangan gonad/

Gonad maturity stage Keterangan/Remarks

I

(belum matang)

Ovarium dan testes, panjang 1/3 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerah-

merahan. Telur tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

II

(belum matang)

Panjang ovarium sekitar 1/2 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerah-

merahan. Telur belum dapat dilihat dengan mata biasa.

III

(matang)

Panjang ovarium dan testes sekitar 2/3 rongga perut. Warna ovarium pink-kuning

dan butiran telur sudah tampak.

IV

(matang)

Panjang ovarium 2/3 memenuhi rongga perut. Ovarium berwarna orange dengan

pembuluh darah sudah mulai kurang jelas. Transparan dan butiran telur terlihat

jelas.

V

(spent)

Ovarium mengerut sampai panjang 1/2 rongga perut sebagai tanda pemijahan tetapi

ada butir-butir telur. Sumber/Sources : Holden & Raitt (1974)

Pendugaan panjang saat pertama matang gonad (length

at first maturity), dilakukan sesuai dengan metode

Spearman-Karber dengan persamaan sebagai berikut

(Udupa, 1986):

m=Xk+X/2-(X∑pi) ................................................ (3

di mana:

m = log ukuran ikan saat pertama matang ovarium

Page 50: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)

Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah

matang

X = selang log ukuran (log size increment)

pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i

Rata-rata ukuran ikan pertama kali matang gonad

diperoleh dari nilai antilog (m).

HASIL DAN BAHASAN

Nisbah Kelamin

Ikan kuniran yang dihasilkan dari tiga kali pengamatan

terkumpul 525 ekor, terdiri atas 170 jantan dan 188 betina,

sedangkan sisanya tidak terindentifikasi jenis kelaminnya

(Tabel 2). Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1,1.

Berdasarkan atas uji X2 (chi-square) nisbah kelamin jantan

betina berada pada keadaan tidak seimbang. Di perairan

Demak, Jawa Tengah, nisbah kelamin ikan kuniran juga

menunjukan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu

1:1,1 (Saputra et al., 2009). Nisbah kelamin digunakan

untuk melihat populasi ikan dalam mempertahankan

kelestariannya. Agar kelestarian populasi tetap terjaga

idealnya nisbah kelamin berada pada keadaan seimbang

atau betina lebih banyak (Wahyuono et al., 1983). Pada

penelitian ini, jumlah betina lebih banyak daripada jantan

sehingga diduga bahwa kelestarian ikan kuniran di perairan

Tegal dan sekitarnya tetap terjaga.

Sebaran Frekuensi Panjang

Kisaran panjang pada masing-masing pengamatan dapat

dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan, kisaran panjang

ikan jantan dan betina secara berurutan 7-15 cm dan 8,5-

13,8 cm.

Tabel 2. Kisaran panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009

Table 2. Lenght and weight scale of silver goatfish, 2009

Bulan/

Month

Jantan/Male Betina/Female

N (ekor) Kisaran panjang/

Long range (cm) N (ekor)

Kisaran panjang/

Long range (cm)

Maret 49 8,5-11,5 76 8,5-12

April 54 7-11 51 8,5-11,5

Agustus 67 7,7-15 61 9-13,8

Jumlah 170 188

Ikan dengan panjang 9,5 cmFL mendominansi hasil

tangkapan pada bulan Maret dan April, sedangkan pada

bulan Agustus didominansi oleh ikan dengan panjang 11

cmFL (Gambar 1). Berdasarkan atas hasil tersebut dapat

dilihat bahwa ikan kuniran yang tertangkap pada bulan

Agustus memiliki ukuran yang lebih besar dibanding bulan

Maret dan April, dan diduga ikan yang ditangkap pada

bulan Agustus berusia lebih tua dibanding ikan yang

ditangkap pada bulan Maret dan April. Hasil penelitian

Beck & Sudradjat (1978) di Laut Jawa, kisaran panjang

ikan kuniran 8-15,8 cm, tidak berbeda nyata dengan

penelitian ini. Di Selat Sunda kisaran panjang ikan kuniran

ini berkisar antara 5,41-17,3 cm (Genisa, 2003), dan di

Teluk Kwandang, Gorontalo berkisar antara 5,4-13,7 cm

(Fahmi & Adrim, 2002). Di perairan Andhra-Orissa, India

kisaran panjang ikan kuniran antara 9,1-20 cm (Reuben et

al., 1994). Ikan kuniran berukuran 20 cm tidak pernah

ditemukan di perairan Laut Jawa (Beck & Sudrajat, 1978).

Hal ini mirip dengan ukuran panjang ikan kuniran pada

penelitian ini yang hanya memperoleh ikan dengan ukuran

panjang maksimum 15 cm.

Page 51: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 1. Frekuensi panjang ikan kuniran, tahun 2009.

Figure 1. Lenght frequency of silver goatfish, 2009.

Hubungan Panjang dan Bobot

Hubungan panjang dan bobot menggambarkan sifat

pertumbuhan ikan. Persamaan eksponensial hubungan

panjang dan bobot ikan kuniran yang dihasilkan pada

penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai b dari

persamaan hubungan panjang dan bobot ikan total telah

diuji-t pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji pada bulan

Maret menunjukan hasil yang berbeda nyata, sedangkan

pada bulan April dan Agustus tidak berbeda nyata. Pola

pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret adalah

allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,576

(pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan

bobotnya), pada bulan April dan Agustus pola pertumbuhan

ikan tersebut adalah isometrik dengan nilai b secara

berurutan 3,2478 dan 2,9915 (pertambahan panjang

seimbang dengan pertambahan bobotnya). Penelitian yang

dilakukan oleh Badrudin (1978), menunjukan sifat

pertumbuhan ikan kuniran di Laut Jawa bagian tengah

bersifat isometrik. Di perairan Demak, sifat pertumbuhan

ikan kuniran allometrik negatif (Saputra et al., 2009).

Tabel 3. Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009

Table 3. Lenght and weight relationship of silver goatfish, 2009

Pengamatan/

Observation Jantan/Male Betina/Female

Kombinasi/

Combination

α

(Kombinasi/

Combination)

Sifat pertumbuhan/

Growth properties

Maret W=0,0568 L2,5574

W=0,0514 L2,6026

W=0,0547 L2,576

95% Allometrik

April W=0,0095 L3,3113

W=0,0068 L3,4555

W=0,0110 L3,2478

95% Isometrik

Agustus W=0,0140 L3,0826

W=0,0236 L2,8715

W=0,0176 L2,9915

95% Isometrik

Fre

ku

ensi

/Fre

qu

ency (

%)

Page 52: ikan bawal

Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)

Tingkat Kematangan Gonad

Analisis tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang

didaratkan di Tegal menunjukan bahwa tingkat kematangan

gonad I dan II ikan betina banyak ditemukan pada

pengamatan bulan Agustus masing-masing 62,30 dan

36,07%. Sedangkan tingkat kematangan gonad III dan IV

banyak ditemukan pada bulan Maret masing-masing 40,79

dan 19,74% (Tabel 4). Dengan demikian dapat diduga

bahwa stok ikan kuniran setelah bulan Maret memasuki

masa pemijahan.

Tabel 4. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang didaratkan di Tegal, tahun 2009

Table 4. Gonad maturity stage composition of silver goatfish landed at Tegal, 2009

Tingkat kematangan gonad/

Gonad maturity stage

Maret April Agustus

Jantan/

Male Betina/

Female Jantan/

Male Betina/

Female Jantan/

Male Betina/

Female

N % N % N % N % N % N %

I 32 65,31 16 21,05 48 88,89 22 43,14 58 86,57 38 62,30

II 11 22,45 14 18,42 6 11,11 12 23,53 9 13,43 22 36,07

III 6 12,24 31 40,79 0 0,00 16 31,37 0 0,00 1 1,64

IV 0 0,00 15 19,74 0 0,00 1 1,96 0 0,00 0 0,00

Jumlah 49 100 76 100 54 100 51 100 67 100 61 100

Hasil penelitian Saputra et al. (2009) menunjukan

bahwa ikan kuniran betina di perairan Demak paling

banyak ditemukan pada tingkat kematangan gonad I dan

paling sedikit tingkat kematangan gonad IV. Hasil tersebut

tidak berbeda dengan penelitian ini.

Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Length at First

Maturity)

Analisis kematangan gonad dengan menggunakan

metode Spearman-Karber, diketahui bahwa ikan kuniran

pertama kali matang gonad pada ukuran panjang (length at

first maturity) 9,87 cmFL dan berkisar antara 9,39-10,30

cmFL (Lampiran 1). Hasil penelitian Saputra et al. (2009)

di perairan Demak, diperoleh ukuran pertama kali matang

gonad 21,97 cmFL. Penelitian oleh Herianti & Subani

(1993), diperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan

kuniran di Laut Jawa 12 cmFL dengan kisaran antara 11,4-

12,6 cmFL. Kondisi ini menunjukan adanya penurunan

nilai length at first maturity jenis ikan kuniran. Hal ini

diduga disebabkan oleh tekanan penangkapan yang intensif

di perairan Laut Jawa sehingga ikan-ikan yang berukuran

relatif kecil sudah matang gonad untuk mempertahankan

keberadaan populasinya.

Faktor Kondisi

Faktor kondisi ikan merupakan suatu nilai yang

mengatakan kemontokan ikan. Faktor kondisi ikan kuniran

pada penelitian ini sebagai berikut 1,005 (bulan Maret),

1,019 (bulan April), dan 1,009 (bulan Agustus). Hasil ini

menunjukan faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan

Agustus tidak berbeda. Menurut Effendie (1979), faktor

kondisi ikan-ikan yang memiliki bentuk badan pipih

(compressed) berkisar antara 1-3. Faktor kondisi ikan

kuniran yang diperoleh penelitian ini tergolong rendah.

Rendahnya nilai faktor kondisi ini disebabkan oleh

beberapa hal, antara lain persediaan dan jenis makanan

yang kurang mencukupi atau terbatas, persaingan dari

kompetitor lain dan kondisi lingkungan yang kurang baik.

KESIMPULAN

1. Nisbah kelamin ikan kuniran jantan dan betina adalah

1:1,1, dan kondisi ini berada pada keadaan tidak

seimbang.

2. Ikan kuniran yang tertangkap pada bulan Agustus

memiliki ukuran yang lebih besar dibanding pada bulan

Maret dan April.

3. Pola pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret

adalah allometrik negatif, dan pada bulan April dan

Agustus adalah isometrik.

4. Faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan Agustus

tidak berbeda nyata.

5. Panjang pertama kali matang gonad ikan kuniran 9,87

cmFL dengan kisaran antara 9,39-10,30 cmFL.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset dinamika populasi dan lingkungan sumber daya ikan

demersal dan udang penaeid di Laut Jawa (losari transect),

T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru,

Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2010. Panganan Olahan Membalik Nasib

Nelayan Setempat dan Nasib Ikan Kuniran.

Page 53: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

http://www.trobos.com/show_article.php?rid=23&aid=1

017. Diunduh Tanggal 15 Juni 2010.

Badrudin. 1978. Stok ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di

perairan Laut Jawa dan beberapa aspek biologinya.

Simposium Moderenisasi Perikanan Rakyat. Jakarta.

Tanggal 27-30 Juni 1978. 43 pp.

Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variation in size and

composition of demersal trawl cathces from the north

coast of Java with estimated growth parameters for three

important food fish Species. Laporan Penelitian

Perikanan Laut. (4): 1-80.

Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2006. Statistik

Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Departemen

Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan

Dewi Sri. Bogor.

Food and Agriculture Organization. 1974. Species

Identification Sheet for Fishery Purpose I-IV. Rome.

Fahmi & M. Adrim. 2002. Fauna ikan demersal di Teluk

Kwandang, Kecamatan Kwandang, Kabupaten

Gorontalo, Sulawesi Utara. Perairan Sulawesi dan

Sekitarnya: Biologi, Lingkungan, dan Oseanografi.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19-24.

Genisa, A. S. 2003. Struktur komunitas ikan dan

sebarannya di perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Torani.

13 (3): 109-114.

Garces, L. R., I. Stobutzki, M. Alias, W. Campos, N.

Koongchai, L. Lachica-Alino, G. Mustafa, S. Nurhakim,

M. Srinath, & G. Silvestre. 2006. Spatial structure of

demersal fish assemblages in South and Southeast Asia

and implications for fisheries management. Journal

Fishres Elsevier. 143-157.

Holden, M. J. & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries

Science. Food and Agriculture Organization. Rome. Part

2. Methods of Resources Investigation and their

Application. 135 pp.

Herianti, I. & W. Subani. 1993. Perbandingan ukuran

pertama kali matang gonad beberapa jenis ikan

demersal di perairan utara Jawa. Jurnal Penelitian

Perikanan Laut. 78: 46-58.

Martosewojo, S. & A. Djamali. 1980. Distribusi dan

komposisi jenis ikan di perairan Teluk Jakarta. Evaluasi

Hasil Akhir Pemonitoran Kondisi Perairan Teluk

Jakarta Tahun 1975-1979. 67-76.

Pauly, D., A. Cabanban, & F. S. B. Torres, Jr. 1996.

Fishery biology of 40 trawl caught teleosts of western

Indonesia. 135-216. In D. Pauly & P. Martosubroto

(Eds.) Baseline Studies of Biodiversity: The Fish

Resource of Western Indonesia. ICLARM Studies and

Reviews 23.

Pujiati, S., Suwarso, B. P. Pasaribu, I. Jaya, & D.

Manurung. 2008. Pendekatan metode hidroakustik

untuk eksplorasi sumber daya ikan demersal di perairan

utara Jawa Tengah. Ichtyos. 7 (1): 15-20.

Reuben, S., K. Vijayakumaran, & Kchittibabus. 1994.

Growth, maturity, and mortality of Upeneus sulphureus

from Andhra-Orissa coast. Indian Journal of Fisheries.

2: 87-91.

Sommer, C., W. Schneider, & J. M. Poutiers. 1996. Food

and Agriculture Organization Species Identification

Field Guide for Fishery Purposes. The Living Marine

Resources of Somalia. Food and Agriculture

Organization. Rome. 376 pp.

Sumiono, B. & S. Nuraini. 2007. Beberapa parameter

biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil

tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong, Jawa

Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 7 (2): 83 pp.

Saputra, S. W., P. Soedarsono, & G. A. Sulistyawati. 2009.

Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp.) di

perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1): 1-6.

Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size

of first maturity in fish. Fishbyte. ICLARM. Manila. 4

(2): 8-1.

Weber, M. & L. F. de Beaufort. 1931. The Fishes of the

Indo Australian Archipelago. Perciformes (Serranidae,

Mullidae). E. J. Brill. Laiden. 6: 448 pp.

Wahyuono, H., S. Budihardjo, Wudianto, & R. Rustam.

1983. Pengamatan parameter biologi beberapa jenis

ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara.

Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26: 29-48.

Page 54: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Lampiran 1. Penghitungan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity)

Appendix 1. Measurement of length at first maturity

Maturity stage

Midlength Log Midlength No.Sample I II III IV Fully

mature

Prop.fully

mature Xi+1-Xi=X qi=1-pi (pi.qi)/(ni-1)

(Xi) (ni) Immature Immature Maturing Maturing (ri) (pi)

8 0,9031 0 0 0 0 0 0 #DIV/0!

8,5 0,9294 1 1 0 0 0 0 0,000 0,0263 1,000 #DIV/0!

9 0,9542 9 7 2 0 0 0 0,000 0,0248 1,000 0

9,5 0,9777 12 5 2 4 1 5 0,417 0,0235 0,583 0,022096

10 1,0000 26 3 4 13 6 19 0,731 0,0223 0,269 0,00787

10,5 1,0212 14 0 3 7 4 11 0,786 0,0212 0,214 0,012951

11 1,0414 8 0 2 5 1 6 0,750 0,0202 0,250 0,026786

11,5 1,0607 3 0 1 1 1 2 0,667 0,0193 0,333 0,111111

12 1,0792 3 0 0 1 2 3 1,000 0,0185

Total 4,350 0,181

Average 0,022

m = Xk+X/2-(X∑pi) m = log ukuran ikan saat pertama matang ovarium

m = 1,0792+(0,022/2)-(0,022*4,350) Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang

m = 0,9945 X = selang log ukuran (log size increment)

Pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i

Antilog (0,9945) = 9,87

Panjang ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity) 9,87 cm

95% CL Upper limit Antilog (0,9945+1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181)

Lowerlimit Antilog (0,9945-1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181)

0,9945+(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5) 1,0128 Antilog (1,0128) 10,30

0,9945-(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5) 0,9762 Antilog (0,9762) 9,39

Page 55: ikan bawal

Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)

SEBARAN LONGITUDINAL FITOPLANKTON DI SUNGAI MARO,

KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA

Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta

Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2009; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011

ABSTRAK

Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Merauke, berfungsi sebagai habitat ikan hias yang

bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana (Scleropages jardinii) dan kakap batu (Datnioide aquadraticus). Wilayah

sekitar sungai merupakan rawa-rawa yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah tengah sampai hulu

sungai. Fitoplankton merupakan produser dan pakan alami beberapa jenis ikan di Sungai Maro. Tujuan penelitian ini

untuk mengetahui sebaran longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro, Kabupaten Merauke. Penelitian ini

dilakukan dengan survei dan pengambilan contoh dilakukan pada bulan Desember 2007 di lima stasiun pengamatan pada

lokasi pemijahan ikan arwana di ruas Sungai Maro. Parameter yang dianalisis adalah komposisi jenis dan kelimpahan

fitoplankton. Hasil pengamatan di lima stasiun pengamatan, ditemukan lima kelas fitoplankton yang terdiri atas kelas

Chlorophyceae (14 genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae (tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan

Euglenaphyceae (satu genus), dengan kelimpahan fitoplankton berkisar 49.294-66.396 ind./L. Persentase fitoplankton

tertinggi dari ruas atas sampai bawah adalah Staurastrum dominan dari Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di Stasiun

Mouwer dan Toray, Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Sedangkan urutan keberadaan kelas fitoplankton dari ruas atas

sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer, kemudian

Bacillariophyceae di Stasiun Toray dan Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo.

KATA KUNCI: sebaran longitudinal, fitoplankton, Sungai Maro, Merauke Papua

ABSTRACT: Longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River, Merauke Regency, Papua Province. By:

Lismining Pujiyani Astuti and Yayuk Sugianti

Maro River is one of big river in Merauke Regency and serve as ornamental fish habitat of arowana (Sleropages

jardinii) and Datnioides aquadraticus that economically has high value. Around of this river are wetland area that is

arwana habitat mainly at middle and upper river. Phytoplankton is natural feed producer for several fishes species at

Maro River. Aim of this paper was to know longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River. The research was

conducted by survey method and sampling was conducted in December 2007 at 5 sampling stations on arwana fish

spawning sites located at Maro River. The parameters were analyzed include composition and abundance of

phytoplankton. Result showed that at five sampling stations were found 5 classes of phytoplankton which consists of the

class Chlorophyceae (14 genera), Cyanophyceae (1 genera), Bacillariophyceae (7 genera), Dinophyceae (2 genera), and

Euglenaphyceae (1 genera) with the abundance of phytoplankton ranges from 49,294-66,396 ind./L. The highest

percentage of phytoplankton in each station was found from upper to lower segment was Staurastrum found at Barkey

and Weloyah Synedra at Mouwer and Toray, Ulothrix at Kaliwanggo. While the presence of phytoplankton class was

found from upper to lower on Maro River was Chlorophyceae at Barkey, Weloyah, and Mouwer, Bacillariophyceae at

Toray and Chlorophyceae at Kaliwanggo.

KEYWORDS: longitudinal distribution, phytoplankton, Maro River, Merauke Papua

PENDAHULUAN

Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di

Kabupaten Merauke dengan panjang 207 km dan lebar 47-

900 m yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan

transportasi. Sungai ini juga berfungsi sebagai habitat ikan

hias yang bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana dan

kakap batu. Wilayah sekitar sungai merupakan rawa-rawa

yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah

tengah sampai hulu sungai.

Ikan-ikan di sepanjang Sungai Maro bardasarkan atas

hasil penelitian 2007 selain ikan arwana dan kakap batu

antara lain ikan tulang (Nematalosa flyensis), bulanak

(Mugil sp.), nila (Oreochromis niloticus), gabus (Channa

striata), saku (Strongylura kreffti), duri (Arius sp.), kaca

(Parambassis sp.), sumpit (Toxotes chatareus), serta kakap

rawa (Lates calcarifer). Ikan-ikan yang memanfaatkan

plankton sebagai makanannya adalah ikan tulang, nila, dan

bulanak (Satria et al., 2008).

Plankton terutama fitoplankton merupakan komponen

penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan.

Fitoplankton merupakan produser primer dan pakan alami

beberapa jenis ikan di Sungai Maro seperti ikan tulang, nila,

dan bulanak (Satria et al., 2008).

Menurut Kim & Joo (2000) perubahan menyeluruh

fungsi ekologi sistem sungai berperan penting dalam

dinamika plankton. Komunitas plankton sungai

Page 56: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

berkembang di sungai pada umumnya terjadi pada sungai

yang panjang di mana organisme ini mempunyai cukup

waktu untuk tumbuh dan berkembang biak (Walks & Cyr,

2004). Fitoplankton di sungai pada umumnya mempunyai

pertumbuhan yang cepat dan berukuran lebih kecil

dibandingkan fitoplankton danau atau waduk (Wetzel,

2001). Tujuan penulisan ini untuk mengetahui sebaran

longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro,

Kabupaten Merauke.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan pada bulan

Desember 2007 saat musim pemijahan ikan arwana di lima

stasiun pengamatan di Sungai Maro bagian tengah pada

daerah pemijahan ikan arwana yaitu dari wilayah Barkey

sampai Kaliwanggo Kabupaten Merauke (Gambar 1).

Karakteristik masing-masing lokasi pengamatan disajikan

pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik fisik dan posisi geografi stasiun pengamatan

Table 1. Physical characteristic and geographical position of sampling stations

No. Stasiun pengamatan/

Observation station

Posisi geografi/

Geographical position Keterangan/Remarks

1. Barkey S=07°51’24.7”

E=140°58’10.6”

Ruas atas, arus lambat, dan daerah sekitar

rawa.

2. Weloyah S=07°52'12.2"

E=140°54'26.6"

Daerah rawa dan ada masukan air dari

sungai-sungai kecil.

3. Mouwer S=07°57'53.6"

E=140°58'12.8"

Ruas tengah.

4. Toray S=08°00’29.2”

E=140°58’36.4”

Ruas bawah, dekat dengan perkampungan

Toray, dan banyak tumbuhan air.

5. Kaliwanggo S=08°02’29.6”

E=140°58’27.0”

Ruas bawah dengan arus yang deras dan

terdapat masukan air dari anak Sungai

Maro.

Page 57: ikan bawal

Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Figure 1. Research site.

Contoh plankton diambil menggunakan kemmerer water

sampler 5 L, kemudian disaring memakai plakton net

nomor 25 (mesh size 60 µm) dan dimasukan ke dalam botol

contoh berukuran 25 mL. Contoh plankton hasil proses

penyaringan selanjutnya diawetkan dengan larutan lugol

1%. Pengamatan dilakukan terhadap 20 lapang pandang

Page 58: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

dengan menggunakan mikroskop binokuler pada perbesaran

100x. Rujukan yang digunakan untuk identifikasi

fitoplankton adalah dari Whiple (1947); Edmonson (1959);

Needham & Needham (1963); Sachlan (1982).

Penentuan kelimpahan sel dilakukan dengan

menggunakan metode lackey drop microtransect counting

chamber (American Public Health Association, 1989)

dengan persamaan sebagai berikut:

E

1x

D

Cx

B

AxnN =

..................................................... (1

di mana:

N = jumlah total fitoplankton (ind./L)

n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang

A = luas gelap penutup (mm2)

B = luas satu lapang pandang (mm2)

C = volume air terkonsentrasi (mL)

D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup

E = volume air yang disaring (L)

HASIL DAN BAHASAN

Jenis-Jenis Plankton

Ditemukan 25 genus dari lima kelas fitoplankton (Tabel

2) di Sungai Maro dengan persentase yang berbeda-beda.

Persentase tertinggi adalah Synedra di Stasiun Toray

kemudian Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Secara urut, dari

ruas atas yaitu Stasiun Barkey, Weloyah, Mouwer, Toray,

dan Kaliwanggo mempunyai fitoplankton dengan

persentase tertinggi yang berbeda-beda yaitu Staurastrum

dominan di Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di

Stasiun Mouwer dan Toray serta Ulothrix di Stasiun

Kaliwanggo atau secara rinci disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase keberadaan fitoplankton pada masing-masing stasiun pengamatan

Table 2. Percentage of phytoplankton existance at every sampling station

No. Kelas dan genus/

Classes and genus

Persentase/Percentage (%)

Barkey Weloyah Mouwer Toray Kaliwango

Chlorophyceae 1. Anthordesmus 6,9

2. Ankistrodesmus 1,52

3. Cosmarium 10,2 7,58 10,34 9,52

4. Crucigenia 0

5. Dictyosphaerium 8,16 7,58 3,45

6. Eudorina 1,52

7. Euastrum

8. Oocystis 10,2 5,17

9. Scenedesmus 3,03

10. Spirogyra 14,81

11. Staurastum 22,45 30,3 10,34 6,35

12. Tetraedron 16,33 9,09 13,79

13. Ulothrix 4,55 8,62 31,75

14. Xanthidium 10,2 12,12 5,17

Cyanophyceae

1. Oscllatoria 5,17 22,22

Bacillriophyceae

1. Asterionella 8,16 10,61

2. Melosira 2,04 3,03

3. Navicula 2,04 6,9 5,56 11,11

4. Nitzchia 4,08 1,52 3,45

5. Penium 4,08 3,03

6. Surirella 4,76

7. Synedra 18,97 38,89 23,81

Dinophyceae

1. Ceratium 1,52 18,52

2. Peridinium 1,72 12,7

Euglenaphyceae

1. Euglena 2,04 3,03

Page 59: ikan bawal

Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)

Secara umum, Staurastrum ditemukan di semua stasiun

pengamatan. Staurastrum merupakan desmid uniselluler

dengan 8-12 dan 20 lengan yang banyak ditemukan pada air

lunak (soft water) dan pH rendah (Silva, 2006) dan hal ini

sesuai dengan kondisi perairan yang mempunyai pH 5

(Tabel 3). Menurut Cousel (1983) dalam Henny & Susanti

(2009), Staurastrum merupakan salah satu jenis famili

Chlorophyta yang menjadi indikator kondisi perairan

eutrofik selain Cosmarium dan Closterium. Staurastrum

tertinggi di wilayah Barkey (22,45%) dan Weloyah

(30,30%). Synedra ditemukan dengan persentase tertinggi

di wilayah Toray (38,89%) yang diduga berkaitan dengan

kondisi perairan yang telah mendapat gangguan

antropogenik karena wilayah ini dekat dengan permukiman

penduduk. Sedangkan di wilayah Kaliwanggo yang banyak

ditemukan adalah Ulothrix mencapai 31,75%. Untuk

Cyanophyceae hanya ditemukan Oscillatoria dan hasil ini

sama dengan hasil penelitian Mansor & Muthaiya (1998) di

sungai wilayah Kinibalu Park, Sabah. Jenis ini

memproduksi neurotoksin jenis anatoxin a dan

homoanatoxin a yang berbahaya bagi organisme. Anatoxin

a merupakan alcaloid neurotoxic yang beraksi sebagai

neuromuscular blocking agent (Hamill, 2001).

Hasil pengamatan di Sungai Ciliwung, Jakarta yang

merupakan sungai dengan pencemaran berat menunjukan

bahwa Microcystis sp. dan Merismopedia sp. dari kelas

Cyanophyceae serta Closteriopasis sp., dan Ankistrodesmus

sp. dari kelas Chlorophyceae yang dominan (Fachrul et al.,

2008). Sementara di hulu Sungai Asahan, Porsea, Sumatera

Utara yang melimpah adalah Ulothrix dan Pediastrum dari

kelas Chlorophyceae serta Pinnularia dan Navicula dari

kelas Bacillariophyceae (Siregar, 2009).

Tabel 3. Kualitas air di Sungai Maro

Table 3. Water quality at Maro River

No. Parameter/Parameter Satuan/Unit Barkey Weloyah Mouwer Torai Kaliwanggo

1. Kecerahan cm 50 100 70 80 80

2. pH 5 5 5 5 5

3. Total alkalinitas mg/L eq CaCO3 10 10 10 12,5 7,5

4. N-NO3 mg/L 2,012 1,173 1,132 1,214 1,903

5. P-PO4 mg/L 0,16 0,208 0,22 0,291 0,754 Sumber/Sources: Astuti & Satria (2009)

Kelimpahan Fitoplankton

Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi, berkisar 49.294-

66.396 ind./L dan tertinggi di wilayah Weloyah kemudian

Kaliwanggo (Gambar 2). Berdasarkan atas kelimpahan

fitoplankton yang >15.000 ind./L maka perairan Sungai

Maro termasuk perairan yang subur (Lander dalam Basmi,

1991). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi penelitian

yang sebagian merupakan rawa-rawa yang kaya akan bahan

organik yang bersumber dari dedaunan dan tumbuhan air

yang ada di rawa-rawa. Dedaunan dan tumbuhan air yang

telah membusuk dan terdekomposisi akan menghasilkan

unsur hara bagi pertumbuhan fitoplankton. Perairan wilayah

Weloyah merupakan daerah rawa-rawa dan mendapatkan

masukan dari beberapa sungai kecil sehingga nutrien bagi

fitoplankton tinggi yaitu NO3 sebesar 1,173 mg/L dan PO4

sebesar 0,208 mg/L (Tabel 3) Wilayah Kaliwanggo

merupakan daerah lebih bawah dan mendapatkan masukan

dari sungai yang cukup besar.

Page 60: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

Gambar 2. Fluktuasi kelimpahan fitoplankton berdasarkan atas stasiun pengamatan.

Figure 2. Fluctuation of phytoplankton abundance base on station of observation.

Pada lokasi pengamatan ditemukan lima kelas

fitoplankton (Tabel 2) terdiri atas kelas Chlorophyceae (14

genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae

(tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan

Euglenaphyceae (satu genus). Jumlah genus yang paling

banyak ditemukan adalah Chlorophyceae kemudian disusul

Bacillariophyceae dan ini sama dengan hasil penelitian di

Sungai Lithuania di daerah temperate (Kostkeviciene et al.,

2001). Namun demikian pada tiap-tiap stasiun pengamatan

tidak semua kelas tersebut ditemukan. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Onyema (2007); Zalocar de Domitrovic et al.

(2007), bahwa komposisi fitoplankton tidak selalu merata

pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, di mana pada

suatu ekosistem sering ditemukan beberapa jenis melimpah

sedangkan yang lain tidak. Hanya kelas Chlorophyceae dan

Bacillariophyceae yang ditemukan pada tiap stasiun

pengamatan seperti tertera pada Tabel 4. Hal ini serupa

dengan hasil penelitian Patriono et al. (2005) di daerah

lebak lebung dengan pH berkisar 4,5-5 dan fitoplankton

yang dominan ditemukan adalah Bacillariophyceae

(73,45%) dan Chlorophyceae (26,00%). Berikut ini urutan

keberadaan kelas fitoplankton yang dominan dari ruas atas

sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae

dominan di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer dan

Bacillariophyceae di Stasiun Toray serta Chlorophyceae di

Stasiun Kaliwanggo.

Kelas Chlorophyceae sendiri merupakan kelas plankton

yang banyak, sekitar 64% terdapat di perairan tawar,

mempunyai flagel yang sama panjangnya (isokon),

mempunyai pigmen antara lain klorofil-a dan b, karoten,

dan santofil, berkembang biak secara aseksual dengan

membentuk spora juga dengan membelah diri (Sachlan,

1982). Chlorophyceae menempati persentase tertinggi pada

setiap lokasi pengamatan kecuali di Toray (Tabel 4).

Menurut Presscot (1951) dalam Patriono et al. (2005), kelas

Chlorophyceae akan melimpah baik kualitas maupun

kuantitas pada perairan dengan pH<7 atau perairan yang

bersifat asam. Kelas Chlorophyceaea tertinggi di wilayah

Weloyah yang diduga berkaitan dengan kecukupan nutrien

karena wilayah ini merupakan daerah rawa dan mendapat

masukan dari beberapa anak sungai kecil.

Di Toray didominansi oleh Bacillariophyceae yaitu

44,44% (Tabel 4). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi

penelitian yang sekitarnya banyak tumbuhan air yang

merupakan salah satu tempat hidup alga penempel.

Menurut Sulawesty & Lukman (2009), kelas

Bacillariophyceae dapat merupakan bagian dari komunitas

alga penempel.

Kelas Cyanophyceae hanya ditemukan di Toray dan

Mouwer, di wilayah Toray yang merupakan daerah

permukiman mempunyai Cyanophyceae lebih tinggi

dibandingkan Chlorophyceae. Hal ini diduga berkaitan

dengan adanya masukan limbah antropogenik dari

penduduk sekitar. Menurut Hum & Wicks (1980) dalam

Patriono et al. (2005) Cyanophyceae dapat berlimpah pada

habitat dengan pH netral atau sedikit basa dan kelas ini

sedikit atau bahkan tidak ditemukan pada perairan dengan

pH kurang dari empat atau lima.

Page 61: ikan bawal

Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)

Tabel 4. Persentase keberadaan kelas fitoplankton pada masing-masing stasiun

Table 4. Percentage of class phytoplankton existence at each sampling site

Kelas/Classes Stasiun/Station

Barkey (%) Weloyah (%) Mouwer (%) Toray (%) Kaliwango (%)

Chlorophyceae 77,55 77,27 63,79 14,81 47,62

Cyanophyceae 0,00 0,00 5,17 22,22 0,00

Bacillariophyceae 20,41 18,18 29,31 44,44 39,68

Dinophyceae 0,00 1,52 1,72 18,52 12,70

Euglenaphyceae 2,04 3,03 0,00 0,00 0,00

KESIMPULAN

1. Sebaran longitudinal fitoplankton di Sungai Maro

didominansi oleh genus Staurastrum dari kelas

Chlorophyceae dan Synedra dari kelas

Bacillariophyceae dengan urutan dari ruas atas sampai

bawah adalah Staurastrum dominan di Barkey 22,45%

dan Weloyah 30,3%; Synedra di Stasiun Mouwer

18,97% dan Toray 38,89%; serta Ulothrix di Stasiun

Kaliwanggo 31,75%. Urutan keberadaan kelas

fitoplankton dari ruas atas sampai bawah di Sungai

Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey 77,55%;

Weloyah 77,27% dan Mouwer 63,79%;

Bacillariophyceae di Stasiun Toray 44,44% dan

Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo 47,62%.

2. Kelimpahan fitoplankton selama pengamatan berkisar

49.294-66.396 ind./L sehingga termasuk perairan yang

subur.

3. Kelimpahan fitoplankton dari ruas atas sampai bawah

berfluktuasi dan tertinggi di daerah Weloyah yang

merupakan daerah rawa-rawa dengan beberapa masukan

air dari sungai kecil.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil

riset peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii)

melalui konservasi habitat di Sungai Maro, Merauke, T. A.

2007, di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan-Jatiluhur,

Purwakarta.

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association. 1989. Standard

Methods for the Examination of Water and Waste Water

Including Bottom Sediment and Sludges. Amer. Publ.

Health Association Inc. New York. 1,134 pp.

Astuti, L. P. & H. Satria. 2009. Kondisi perairan pada

musim pemijahan ikan arwana Irian (Scleropages

jardinii) di Sungai Maro bagian tengah, Kabupaten

Merauke. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2

(4): 155-161.

Basmi, J. 1991. Fitoplankton sebagai Indikator Biologis

Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 pp.

Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biologi. 2nd

Ed. John

Wiley & Sonc. Inc. New York.1,248 pp.

Fachrul, M. F., S. H Ediyono, & M. Wulandari. 2008.

Komposisi dan model kemelimpahan fitoplankton di

perairan Sungai Ciliwung. Biodiversitas. Jakarta. 9 (4):

296-300.

Hamill, K. D. 2001. Toxicity in benthic freshwater

cyanobacteria (blue-green alga) first observation in New

Zealand. New Zealand Journal of Marine and

Freshwater Research. 35: 1,057-1,059.

Henny, C. & E. Susanti. 2009. Karakteristik limnologis

kolong bekas tambang timah di Pulau Bangka.

Limnotek. XVI (2): 119-131.

Kim, H. W. & G. J. Joo. 2000. The longitudinal distribution

and community dynamics of zooplankton a regulated

large river: A case study of the Nakdong River (Korea).

Hydrobiologia. 438: 171-184.

Kostkeviciene, J., J. Bakunaite, & J. R. Naujilis. 2001.

Analysis of phytoplankton structure in Lithuanian

River. Biologija Nr. 2: 84-87.

Mansor, M. & G. Muthaiya. 1998. Notes on Montane

stream algae of sayap Kinabalu Park. Sabah. ASEAN

Review of Biodiversity and Environmental

Conservation. Article V.

Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the

Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and

Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. 180 pp.

Onyema, I. C. 2007. The phytoplankton composition.

abundance and temporal variation of a polluted

estuarine creek in Lagos. Nigeria. Turkish Journal of

Fisheries and Aquatic Sciences. 7: 89-96.

Patriono, E., D. Anggraeni, & E. Nofyan. 2005. Studi

komposisi fitoplankton sebagai pakan alami ikan sepat

Page 62: ikan bawal

BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:

rawa (Trichogaster trichopterus Pall) stadium muda di

lebak lebung Teluko, Sumatera Selatan. Prosiding

Forum Perikanan Indonesia I. Pusat Riset Perikanan

Tangkap. 149-153.

Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan

Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. 156 pp.

Silva, E. I. L. 2006. Ecology of phytoplankton in tropical

water: Introduction to the topic and ecosystem chane

from Sri Lanka. Asian Journal of Water, Environment,

and Pollution. 4 (1): 25-35.

Satria, H., K. Purnomo, E. S. Kartamiharja, A. S. Ronny, L.

P. Astuti, Y. Sugianti, A. Warsa, & Haryono. 2008.

Peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii) di

Sungai Maro melalui konservasi. Laporan Akhir Tahun.

Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. 64 pp.

Siregar, M. H. 2009. Studi keanekaragaman plankton di

hulu Sungai Asahan, Porsea. Skripsi. Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas

Sumatera Utara. 76 pp.

Sulawesty, F. & Lukman. 2009. Komunitas Fitoplankton

Danau Paparan Banjir. Kalimantan Timur. Limnotek.

XVI (2): 99-108.

Whipple, G. C. 1947. The Microscopy of Drinking Water.

John Wiley & Sons. Inc. London. Chapman & Hall.

Limited. 586 pp.

Wetzel, R. G. 2001. Lymnology Lake and River Ecosystem.

Third Edition. Academic Press. California. 1,006 pp.

Walks, D. J. & H. Cyr. 2004. Movement of plankton

through lake stream systems. Freshwater Biology. 49:

745-759.

Zalocar de Domitrovic, Z. Y., A. S. G. Poi de Neiff, & S. L.

Casco. 2007. Abundance and diversity of phytoplankton

in the Paraná River (Argentina) 220 km downstream of

the Yacyretá reservoir. Brazilian Journal of Biology. 67

(1): 53-63.