ikan bawal
DESCRIPTION
ikan bawal merupakan ikan yang bernilai ekonomis, sehingga sangat berpotensi untuk dibudidayakanTRANSCRIPT
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
KEBIASAAN MAKAN DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN MOTAN
(Thynnichthys polylepis) DI WADUK KOTOPANJANG, RIAU
Asyari dan Khoirul Fatah Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang
Teregistrasi I tanggal: 17 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 27 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011
ABSTRAK
Ikan motan (Thynnichthys polylepis) merupakan jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di
Kabupaten Kampar. Ikan motan di Waduk Kotopanjang termasuk jenis ikan yang dominan dan digemari masyarakat.
Penelitian ini untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan biologi reproduksi dilakukan pada
bulan Agustus sampai Nopember 2009. Penelitian ini dilakukan melalui metode survei dengan pengambilan contoh
dilakukan secara purposive sampling. Untuk mengetahui kebiasaan makan digunakan metode Indeks Preponderan,
kematangan gonad diamati secara morfologi dan penentuan fekunditas dihitung dengan metode gravimetrik. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa ikan motan tergolong jenis ikan herbivora dengan pakan utama makrofita 49,9%, pakan
pelengkapnya adalah phytoplankton 22,6% dan detritus 17,4%, dan pakan tambahan terdiri atas protozoa 0,8%, rotifera
0,5%, dan crustaceae 0,4%. Selain itu makanan yang tak teridentifikasi 8,4%. Ikan motan memijah secara bertahap
(parsial) dimulai pada bulan Nopember. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198 butir dengan diameter
telur pada kisaran antara 0,31-0,90 mm, serta indeks kematangan gonad antara 6,65-17,56%.
KATA KUNCI: Kebiasaan makan, biologi reproduksi, motan, Waduk Kotopanjang
ABSTRACT: Food habit and biology reproduction of motan (Thynnichthys polylepis) in Kotopanjang Reservoir,
Riau. By: Asyari and Khoirul Fatah
Motan (Thynnichthys polylepis) is one of fish species having the economically important value in Kampar Regency.
In Kotopanjang Reservoir motan is a kind of fish which is dominant and it is liked by the people. The objectives of the
research were to get data and information of food habit and the biology reproduction such as gonadal maturity,
fecundity, and egg diameter has been carried out on August to November 2009. The research is done with the survey
method, meanwhile the samples taken by purposive sampling. Food habit can used an index of preponderance method,
the gonadal maturity is used by the morphology, meanwhile fecundity is counted by gravimetric. The result of the
research shows that motan is belong to a herbivore fish with a mean food macrophyta of 49.9% as a mean food,
phytoplankton of 22.6% and detritus of 17.4% as complement food. Meanwhile the addition food such as protozoa of
0.8%, rotiferas of 0.5% and crustaceae of 0.4%. Beside that, the unidentify part is 8.4%. Motan spawning by partial
which is started on November. Fecundity of motan shows that the total egg varied between 25,360-61,198 with egg
diameter is between 0.31-0.90 mm. Meanwhile index maturity of gonads is between 6.15-17.56 %. Based on the aspects
some water quality.
KEYWORDS: food habit, biology reproduction, motan, Kotopanjang Reservoir
PENDAHULUAN
Waduk Kotopanjang merupakan waduk baru yang
dibangun pada tahun 1996, terjadi akibat dibendungnya
Sungai Kampar Kanan dan Sungai Mahat. Luas daerah
tangkapan air (cacthment area) diperkirakan mencapai
3.337 km2 dengan luas genangan sekitar 12.400 ha atau 124
km2 pada waktu air tinggi (Anonimous, 1996).
Karakteristik keanekaragaman sumber daya ikan di
Waduk Kotopanjang hampir sama dengan sungai yang
menjadi sumber air utamanya, yaitu Sungai Kampar Kanan,
Sungai Mahat, Sungai Tiwi, Sungai Takus, Sungai Osang,
dan Sungai Gulamo. Menurut Nurfiarini et al. (2009)
keragaman jenis ikan di Waduk Kotopanjang mencapai 24
spesies, beberapa di antaranya merupakan ikan yang
dominan tertangkap di perairan waduk, yaitu jenis ikan
barau atau kebarau (Hampala macrolepidota), motan,
baung (Mystus nemurus), siban (Cyclocheilichthys apogon),
toman (Channa micropeltes), kalui (Osphronemus
gouramy), katung (Pristolepis grooti), kapiek (Barbodes
schwanenfeldi), paweh (Osteochilus hasselti), toakang
(Helostoma temmincki), dan tapah (Wallago miostoma). Di
antara berbagai jenis ikan tangkapan tersebut, ikan baung,
toman, tabengalan (Puntius bulu), dan tapah merupakan
ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi.
Ikan motan merupakan salah satu jenis ikan yang
mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di
Kabupaten Kampar, ditemukan di habitat-habitat danau,
sungai, dan perairan umum lainnya. Di Riau dapat dijumpai
di Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Siak, dan Sungai
Indragiri (Hamidy et al., 1983).
Ciri morfologis ikan motan sebagai berikut (Gambar 1)
mempunyai sisik berwarna putih keperakan, ukuran
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
panjang lebih besar daripada ukuran tinggi tubuhnya, dan
bentuk bilateral simetris. Kepala meruncing, mulutnya
terletak di ujung depan kepala atau agak ke bawah dan
kecil, moncongnya dapat ditonjolkan ke depan, tapi tidak
ada bibir atas dan rahang bawah. Lipatan bibir yang kecil
pada sudut rahang, overculum mempunyai kelopak yang
besar, garis rusuk lurus dan memanjang ke tengah-tengah
ekor, sirip dorsal kecil, dan terletak sejajar dengan sirip
ventral. Memiliki tidak lebih delapan ruji bercabang, tapi
tidak mempunyai sisir insang. Gelembung renang terdiri
atas dua bagian, di mana bagian belakang lebih kecil dari
bagian depan (Mohsin & Ambak, 1992). Ikan motan
tergolong famili Cyprinidae dan klasifikasi selengkapnya
menurut Kottelat et al. (1993) adalah phylum Chordata,
kelas Pisces atau Teleostei, ordo Cypriniformes, famili
Cyprinidae, genus Thynnichthys, dan species Thynnichthys
polylepis.
Gambar 1. Bentuk morfologi ikan motan di Waduk Kotopanjang, Provinsi Riau
Figure 1. Morphological pattern of motan at Kotopanjang Reservoir, Riau Province
Makanan bagi ikan dapat merupakan faktor yang
menentukan populasi, pertumbuhan, dan kondisi ikan,
Macam makanan satu spesies ikan tergantung pada umur,
tempat, waktu, dan alat pencernaan dari ikan itu sendiri
(Effendie, 1992). Pakan ikan secara ekologis merupakan hal
yang utama dalam mempengaruhi penyebaran ikan
khususnya ikan air tawar (Macpherson, 1981). Dengan
mengetahui makanan atau kebiasaan makan satu jenis ikan
dapat dilihat hubungan ekologi antara ikan dengan
organisme lain yang ada di suatu perairan, misalnya bentuk-
bentuk pemangsaan, saingan, dan rantai makanan (Effendie,
1992).
Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari
suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi
reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti
mengenai tingkat kematangan gonad, fekunditas, frekuensi
dan musim pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali
matang gonad dan memijah (Nikolsky, 1963).
Aspek kebiasaan makan dan biologi reproduksi ikan
motan sejauh ini belum banyak diteliti dan dilaporkan, oleh
sebab itu penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan
data dan informasi mengenai kebiasaan makan dan tingkat
kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan indeks
kematangan gonad dari ikan motan, sehingga diharapkan
jadi masukan untuk pengelolaan ikan ini di masa
mendatang.
BAHAN DAN METODE
Data dan informasi dikumpulkan pada bulan Agustus,
Oktober, dan Nopember 2009 dengan metode survei secara
langsung di lapangan dan analisis di laboratorium. Contoh
ikan didapat dari hasil tangkapan nelayan dengan alat
tangkap jaring insang (gillnet). Pengambilan contoh
dilakukan pada beberapa lokasi yaitu Dam site (lokasi
pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang), Jembatan 1
(Desa Tanjung Alai), Jembatan 2 (Sungai Gulamo), Desa
Batu Besurat, dan Desa Muara Takus (Gambar 2). Ikan
motan yang tertangkap diukur panjang dan bobot tubuhnya.
Untuk menentukan kebiasaan makan ikan, diambil organ
pencernaannya yaitu lambung dan usus (Gambar 3). Jenis
dan jumlah makanan dianalisis dengan metode indeks
bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan &
Jhingran (Effendie, 1992):
VixFi
IP = -----------x100% ........................................... (1
∑ VixFi
di mana:
IP = index of preponderance
Vi = persentase volume satu macam makanan
Fi = persentase frekuensi kejadian satu macam
makanan
∑ Vi Fi = jumlah VixFi dari semua macam makanan
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Untuk mengidentifikasi makanan yang terdapat dalam
usus atau lambung digunakan acuan dari (American Public
Health Association, 1981; Merrit & Cummins, 1996;
Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).
Tingkat kematangan gonad didasarkan atas modifikasi
(Cassie, 1954 dalam Effendie, 1992):
1. Tingkat kematangan gonad I: ovari seperti benang,
panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, warna jernih
atau transparan, dan butir telur belum kelihatan.
2. Tingkat kematangan gonad II: ukuran ovari lebih besar,
berwarna lebih gelap kekuning-kuningan, butir telur
mulai terlihat tapi belum jelas.
3. Tingkat kematangan gonad III: ovari berwarna kuning.
Secara morfologi, telur mulai diamati butirannya
dengan mata.
4. Tingkat kematangan gonad IV: ovari makin besar, telur
berwarna kuning, butir telur mudah dipisahkan, mengisi
50-60% rongga perut, dan usus agak terdesak.
5. Tingkat kematangan gonad V: ovari berkerut habis
memijah, dinding tebal, dan butir telur sisa terdapat di
dekat pelepasan. Perkembangan ovari kembali seperti
pada tingkat II.
Pengamatan fekunditas dan diameter telur ditentukan
dari contoh ikan dengan tingkat kematangan gonad IV.
Fekunditas total dihitung berdasarkan atas metode
grafimetrik (Effendie, 1992):
F=(G/g)n ...................................................................... (2
di mana:
F = jumlah total telur dalam gonad (fekunditas)
G = bobot gonad tiap satu ekor ikan
g = bobot sebagian gonad (sampel) satu ekor ikan
n = jumlah telur dari contoh gonad
Indeks kematangan gonad mengacu kepada Effendie
(1992) sebagai berikut:
Bg
IKG = ____
x100% ........................................................ (3 Bi
di mana:
IKG = indeks kematangan gonad
Bg = bobot gonad (g)
Bi = bobot ikan (g)
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Waduk Kotopanjang Riau, tahun 2009.
Figure 2. Map showing research location at Kotopanjang Reservoir Riau, 2009. Keterangan/Remarks: 1. Dam site atau lokasi bendungan pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang, 2. Di bawah Jembatan 1 atau Desa Tanjung ALAI, 3. Di bawah Jembatan 2 atau Sungai Gulamo, 4. Desa Batu
Besurat, 5. Desa Muara Takus
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Gambar 3. Contoh organ pencernaan ikan motan yang akan diambil untuk pemeriksaan makanannya di laboratorium.
Figure 3. Digestive organ of motan taken for food analysis in the laboratorium.
HASIL DAN BAHASAN
Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan ikan adalah organisme hidup baik tumbuhan
ataupun hewan yang dapat dikonsumsi ikan di habitatnya,
dapat berupa tumbuhan (makrofita), algae, plankton, ikan,
udang, cacing, benthos, dan serangga atau larva serangga.
Menurut Nikolsky (1963) urutan kebiasaan makanan ikan
dikategorikan ke dalam tiga golongan yaitu pakan utama,
pelengkap, dan tambahan. Sebagai batasan yang dimaksud
dengan pakan utama adalah jenis pakan yang mempunyai
index of preponderance lebih besar dari 25%, pakan
pelengkap mempunyai index of preponderance antara 4-
25%, sedangkan pakan tambahan memiliki index of
preponderance kurang dari 4%.
Dari sejumlah ikan motan yang telah diperiksa isi usus
dan lambungnya, diketahui bahwa pakan utama ikan motan
adalah makrofita (tumbuh-tumbuhan air) 49,9%. Pakan
pelengkapnya terdiri atas phytoplankton 22,6%
(Cholorophyceae 10,4%; Bacillariophyceae 8,1%; dan
Cyanophyceae 4,1%), serta detritus (17,4%). Pakan
tambahannya berupa Protozoa 0,8%; Rotifera 0,5%; dan
Crustaceae 0,4% dan bagian yang tak teridentifikasi
ditemukan 8,4% (Gambar 4). Dengan demikian ikan motan
dapat digolongkan ke dalam kelompok ikan herbivora atau
pemakan tumbuhan. Menurut Aprilianti (2007), ikan motan
adalah pemakan plankton (plankton feeder) dan detritus
(detritus feeder), hasil penelitian Pulungan (1999)
menunjukan makanan yang paling banyak dikonsumsi ikan
motan adalah detritus 53,5-67,6% dan phytoplankton 21,5-
26,1%.
Gambar 4. Komposisi makanan alami ikan motan.
Figure 4. Food habit composition of motan.
Dari hasil analisis di laboratorium diketahui jenis-jenis
plankton yang terdapat dalam usus ikan motan terdiri atas
phytoplankton dan zooplankton (Tabel 1).
Menurut Andri (2006), makanan yang terdapat di
saluran pencernaan ikan motan (Cyprinidae) di Waduk
Kotopanjang adalah phytoplankton (Bacillariophyta,
0
10
20
30
40
50
60
Jenis pakan / Food content
Pers
enta
se (
%)
/ P
erc
enta
ge (
%)
Makrof ita
Phytoplankton
Detritus
Protozoa
Rotifera
Crustacea
Tak teridentif ikasi
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Chlorophyta, Chrysophyta, Cyanophyta, dan
Euglenophyta), makrofita, dan zooplankton. Kelompok
zooplankton terdiri atas Protozoa, Rotifera, Copepoda, dan
Cladocera. Penelitian oleh Suryaningsih (2000)
menemukan jenis plankton yang sering dimakan oleh ikan
motan adalah Ankistrodesmus. sp. dan Synedra sp. Menurut
Sanofel (2006) jenis Staurastrum dari Chlorophyceae
sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan motan.
Selanjutnya Lammens & Hoogenboezem (1981)
mengatakan semua saluran pencernaan ikan telah
disesuaikan dengan makanan yang dikonsumsi oleh ikan
tersebut, agar proses mencerna makanan dapat berlangsung
optimum. Ikan yang bersifat herbivora memiliki saluran
pencernaan yang lebih panjang dibandingkan ikan
omnivora dan karnívora karena jenis makanan yang
dimakan seperti tumbuh-tumbuhan dan lainnya lebih susah
hancur sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mencernanya. Menurut Mudjiman (1991) pada ikan
vegetaris (herbivora) saluran pencernaan dapat tiga kali
panjang tubuhnya. Dari pengamatan panjang usus ikan
motan, panjang saluran pencernaannya bahkan mencapai
5,9 kali panjang tubuh ikan tersebut.
Tabel 1. Komposisi jenis phytoplankton dan zooplankton (%) yang terdapat dalam usus ikan motan di Waduk
Kotopanjang
Table 1. The composition of phytoplankton and zooplankton organisms (%) found in stomach of motan at
Kotopanjang Reservoir
No.
Kelompok/Group
Phytoplankton
Bacillariophyceae (%) Chlorophyceae (%) Cyanophyceae (%) Euglenophyceae (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
12.
13.
Cyclotella (2,15)
Diatoma (3,76)
Fragillaria (1,92)
Navicula (6,44)
Nitzschia (7,70)
Pinnularia (0,68)
Stauroneis (1,28)
Surirella (0,86)
Synedra (7,38)
Ankistrodesmus (8)
Cladophora (2,14)
Closterium (4,75)
Cosmarium (5,66)
Desmidium (0,86)
Mougeotia (6,64)
Oedogonium (0,77)
Pediastrum (0,48)
Scenedesmus (1,31)
Spirogyra (3,82)
Staurastrum (10,26)
Ulothrix (1,06)
Zygnema (0,72)
Anabaena (3,28)
Aphanizomenon (3)
Ghomphosphaeria (2)
Oscillatoria (5,56)
Spirullina (1,77)
Euglena (1,69)
Zooplankton
Protozoa (%) Rotifera (%) Crustaceae (%)
1.
2.
3.
Brachionus (1,22)
Coleps (0,71)
Spirostomum (0,46)
Keratella (0,26)
Rotatoria (1,08)
Cyclop (0,21)
Nauplius (0,12)
Jumlah total phytoplankton dan zooplankton/Total of phytoplankton and zooplankton = 100%
Tingkat Kematangan Gonad
Kematangan gonad ikan adalah tahapan pada saat
perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah
(Utiah, 2007). Perkembangan gonad pada ikan secara garis
besarnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertumbuhan dan
tahap pematangan (Lagler et al., 1977). Penentuan tingkat
kematangan gonad dapat dilakukan secara morfologis dan
histologis. Secara morfologis, dapat dilihat dari bentuk,
panjang, dan bobot, warna, dan perkembangan gonad
melalui fase perkembangan gonad, pada umumnya
pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat matang
gonad (tingkat kematangan gonad IV) dapat mencapai 10-
25% dari bobot tubuh ikan, dan semakin meningkat tingkat
kematangan gonad, diameter telur yang ada dalam gonad
akan semakin besar. (Anonimus, 2007).
Pengamatan tingkat kematangan gonad yang dilakukan
selama tiga kali survei, diketahui bahwa ikan motan
mengalami proses pematangan gonad dari bulan Agustus
sampai Nopember secara bertahap (Tabel 2). Pada bulan
Nopember ikan motan banyak yang sudah memijah,
ditandai oleh banyaknya telur pada tingkat kematangan
gonad V. Secara keseluruhan, telur ikan motan akan
dipijahkan antara 2-3 kali sampai semua telur dikeluarkan.
Menurut Murtini (2006), ikan motan melakukan pemijahan
secara parsial dan berkala karena mengalami kematangan
gonad secara bertahap dari bulan ke bulan berikutnya.
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
Tabel 2. Tingkat kematangan gonad ikan motan di Waduk Kotopanjang
Table 2. Gonad maturity stage of motan in Kotopanjang Reservoir
Tingkat kematangan gonad/
Gonad maturity stage
Persentase tingkat kematangan gonad/
Percentage gonad maturity stage
Agustus Oktober November
I 34 - -
II 45 - -
III 21 32 -
IV - 68 26,5
V - - 73,5 Keterangan/Remarks: - tidak ada data/no data available
Fekunditas, Indeks Kematangan Gonad, dan Diameter
Telur
Fekunditas, indeks kematangan gonad, dan diameter
telur yang dihitung adalah telur dengan tingkat kematangan
gonad IV, karena telur pada saat itu sudah masak dan siap
untuk dipijahkan (Gambar 4). Fekunditas ikan motan di
Waduk Kotopanjang pada penelitian ini berada pada
kisaran antara 25.360-61.198 butir, dan indeks kematangan
gonad berada antara 6,6-17,5% (Tabel 3). Diameter telur
antara 0,31-0,90 mm (Gambar 5).
Gambar 5. Telur ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV.
Figure 5. The eggs of motan on gonad maturity stage IV.
Tabel 3. Fekunditas dan indeks kematangan gonad ikan motan pada tingkat kematangan gonad IV di Waduk
Kotopanjang, Provinsi Riau
Table 3. Fecundity and gonado somatic index of motan at stadium IV in Kotopanjang Reservoir, Riau Province
No. Panjang total/
Total length (cm)
Bobot total/
Total weight (g)
Bobot gonad
Gonad weight (g)
GSI
(%)
Fekunditas/
Fecundity
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
24,2
19,6
20,2
20,6
23,8
22,5
20,6
21,4
21,5
21,0
19,3
18,6
18,2
20,6
25,0
21,2
148
64
73
100
150
121
102
112
116
103
74
63
61
76
155
115
12,70
7,83
8,17
6,65
14,44
14,76
10,83
13,24
8,80
10,09
9,20
8,83
8,90
8,55
9,54
7,20
8,58
12,23
11,20
6,65
9,62
12,20
10,62
11,82
7,57
9,79
12,43
14,01
14,59
11,25
6,15
6,26
52.120
35.576
42.780
25.360
56.165
54.374
30.656
46.686
29.384
43.826
38.742
36.425
31.420
34.506
41.664
32.108
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
25,4
20,5
19,2
20,3
19,0
20,5
20,3
21,7
26,0
22,5
162
72
69
90
70
98
84
100
160
110
18,26
9,16
6,90
12,82
8,12
17,21
9,16
10,23
11,34
8,73
11,64
12,72
10,00
14,24
11,61
17,56
10,90
10,20
7,09
7,93
54.672
42.702
29.442
49.240
39.424
61.198
34.645
36.062
40.314
25.346
Murtini (2006) mendapatkan dari 40 ekor ikan motan
mempunyai fekunditas antara 36.057-83.968 butir.
Tingginya fekunditas ini mungkin disebabkan karena
ukuran ikan yang diperoleh relatif lebih besar bahkan ada
yang bobotnya mencapai 180 g.
Sementara pada penelitian ini bobot ikan motan hanya
berkisar 61-162 g. Nilai fekunditas ada hubungannya
dengan ukuran ikan, semakin besar atau bobot ukuran ikan
semakin bobot atau besar gonad sehingga fekunditas juga
semakin banyak. Royce (1984) mengatakan fekunditas satu
spesies ikan selain dipengaruhi oleh bobot dan panjang
ikan, juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, genetis,
ketersediaan pakan, dan juga berkaitan dengan umur ikan.
Menurut Nasution (2005), korelasi fekunditas dengan bobot
total ikan lebih tinggi dibandingkan dengan panjang total
ikan.
Indeks kematangan gonad adalah suatu nilai persentase
hasil perbandingan bobot gonad dengan bobot tubuh ikan
secara keseluruhan, nilai indeks kematangan gonad semakin
besar dengan semakin berkembangnya gonad sampai ikan
memijah atau mengeluarkan telur. Nilai indeks kematangan
gonad tertinggi sejalan dengan perkembangan gonad, dan
dicapai pada tingkat kematangan gonad IV (Nasution,
2005). Nilai indeks kematangan gonad ikan motan pada
tingkat kematangan gonad IV antara 6,65-17,56%. Dengan
demikian telur ikan motan berada pada indeks kematangan
gonad yang lebih kecil (<20%). Menurut (Bagenal, 1978
dalam Nasution, 2005), ikan betina yang mempunyai nilai
indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20 % dapat
melakukan pemijahan beberapa kali setiap tahunnya.
Dari 1.881 butir telur yang teramati, diameter telur ikan
motan pada tingkat kematangan gonad IV berada antara
0,31-0,90 mm (Gambar 5). Pada Gambar tersebut terlihat
bahwa ukuran telur ikan motan tidak seragam. Ukuran
diameter telur yang paling banyak ditemukan antara 0,61-
0,70 mm (D) 38,65% selanjutnya ukuran 0,71-0,80 mm (E)
35,57%. Selain itu ukuran diameter telur dari 0,31-0,40 mm
(A) hanya berjumlah 2,23%, dan ukuran yang paling besar
0,81-0,90 mm (F) hanya 6,11%. Analisis yang dilakukan
terhadap seluruh telur yang teramati rata-rata diameter telur
ikan motan 0,67 mm, telur yang paling banyak ditemukan
mempunyai diameter 0,70 mm. Beragamnya ukuran telur
ikan motan ini juga terjadi pada penelitian Murtini (2006),
di mana diameter telur ikan motan yang ditemukannya
berkisar antara 0,40-0,75 mm. Ukuran telur yang tidak
seragam menyebabkan ikan ini melakukan pemijahan
secara parsial karena telur belum siap dipijahkan secara
keseluruhan.
Gambar 6. Kisaran diameter telur ikan motan di Waduk Kotopanjang, tahun 2009.
Figure 6. Range of eggs diameter of motan in Kotopanjang Reservoir, 2009. Keterangan/Remarks: A = 0,31-0,40 mm; B = 0,41-0,50 mm; C = 0,51-0,60 mm; D = 0,61-0,70 mm; E = 0,71-
0,80 mm; F = 0,81-0,90 mm
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
45.00%
A B C D E F
D ia me t e r
Kebiasaan Makan dan Biologi ..... di Waduk Kotopanjang, Riau (Asyari & K. Fatah)
KESIMPULAN
1. Ikan motan merupakan ikan herbivora dengan pakan
utama makrofita, pakan pelengkap berupa
phytoplankton dan detritus, sedangkan pakan
tambahannya adalah Protozoa, Rotifera, dan Crustaceae.
2. Tingkat kematangan gonad stadium IV terjadi pada
awal musim hujan (bulan Oktober). Pemijahan terjadi
beberapa kali setelah musim hujan pada bulan
Nopember.
3. Fekunditas ikan motan berjumlah antara 25.360-61.198
butir dengan diameter 0,31-0,90 mm. Indeks
kematangan gonad antara 6,15-17,56%.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset pakan alami dan biologi reproduksi ikan motan
(Thynnichthys polylepis) di Waduk Kotopanjang, Provinsi
Riau, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Perairan Umum-
Mariana, Palembang dengan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association. 1981. Standart
Methods for Examinations of Water and Waste Water.
American Public Health Association Inc. New York.
1,134 pp.
Anonimus. 1996. Studi zonasi daerah genangan proyek
pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang. Buku I:
Utama. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian. Universitas
Padjadjaran. Bandung. 75 pp.
Andri, R. J. 2006. Analisis isi saluran pencernaan ikan
famili Cyprinidae yang memanfaatkan diatom di sekitar
keramba di waduk pembangkit listrik tenaga air
Kotopanjang, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau Pekanbaru. (Tidak
Diterbitkan). 119 pp.
Anonimus. 2007. Pemeriksaan Gonad Ikan. Diunduh
Tanggal 23 Nopember 2009.
http://jlcome,blogspot.Come/2007/05.
Aprilianti, R. 2007. Hubungan kelimpahan fitoplankton
dengan jumlah ikan motan (Thynnichthys polylepis) di
waduk pembangkit listrik tenaga air Kotopanjang.
Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak Dipublikasikan).
55 pp.
Effendie, M. I. 1992. Metoda Biologi Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bagian Ichtiology.
Institut Pertanian Bogor. 112 pp.
Hamidy, R., M. Ahmad, T. Dahril, H. Alawi, M. M.
Siregar, & C. P. Pulungan. 1983. Identifikasi dan
inventarisasi jenis ikan di Sungai Siak, Riau. Pusat
Penelitian. Universitas Riau. Pekanbaru. 63 pp.
Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S.
Wirjoatmodjo. 1993. Freshwater Fishes of Western
Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia
Bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Editions-Proyek
EMDI. Jakarta.
Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller, & D. R. M.
Passino. 1977. Ichthyology. 2nd
ed. New York. John
Wiley & Sons.
Lammens, E. H. R. R & W. Hoogenboezem. 1981. Diets
and feeding behavior. In Winfield, I. J. & J. S. Nelson
(Eds): Cyprinid Fishes: Systematics, Biology, and
Exploitation. Chapman & Hall. London. 353-376.
Macpherson, E. 1981. Resource partitioning in a
Mediterranian demersal fish community. Mar. Ecol.
Prog. Str. 39: 183-193.
Mudjiman, A. 1991. Makanan Ikan: Seri Perikanan. PT.
Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta. 190 pp.
Mohsin, A. K. M. & A. M. Ambak. 1992. Freshwater
Fishes of Western Peninsular Malaysia. Penerbit
University Pertanian. Malaysia.
Merrit, R. W. & K. W. Cummins. 1996. An Introduction to
the Aquatic Insect of North America.
Murtini, S. 2006. Biologi Reproduksi Ikan Motan
(Thynnichthys polylepis) secara Histologi di Waduk
Kotopanjang, Kabupaten Kampar, Riau. Manajemen
Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasikan). 59
pp.
Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater
Biology. Holden Day Inc. Sanfransisco. 108 pp.
Nikolsky, G. V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic
Press. 325 pp.
Nasution, S. H. 2005. Karakteristik reproduksi ikan
endemik rainbow selebensis (Telmatherina celebencis
Boulenger) di Danau Towuti. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia: Edisi Sumber Daya dan
Penangkapan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (2): 29-37.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Nurfiarini, A., F. N. Priyatna, & A. S. N. Krismono. 2009.
Status sosial budaya dan kelembagaan masyarakat
dalam pemanfaatan sumber daya perikanan di Waduk
Kotopanjang, Provinsi Riau. Prosiding Seminar
Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan
Kelautan Tahun 2009. Jilid II. Manajemen Sumber
Daya Perikanan dan Kelautan. Sosial Ekonomi
Perikanan/SE.01. Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan.
Fakultas Pertanian. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta. 1-7.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of United
Stated. Second Edition. A Wellow Inter Science
Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 803 pp.
Pulungan, C. P. 1999. Biologi reproduksi ikan motan
(Thynnichthys polylepis) dari waduk pembangkit listrik
tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung Bungsu,
Kecamatan XIII, Koto Kampar, Riau. Jurnal Terubuk.
31: 36-40.
Royce, W. 1984. Introduction to the Practice of Fishery
Science. Academic Press Inc. New York. 753 pp.
Suryaningsih. 2000. Aspek biologi ikan motan
(Thynnichthys polylepis C. V.) di waduk pembangkit
listrik tenaga air Kotopanjang di sekitar Desa Gunung
Bungsu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas
Riau. Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 67 pp.
Sanofel, D. 2006. Studi keberadaan ikan motan
(Thynnichthys polylepis) pada jenis vegetasi air yang
berada di waduk pembangkit listrik tenaga air
Kotopanjang, Kecamatan XIII, Koto Kampar,
Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Skripsi. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.
Pekanbaru. (Tidak Diterbitkan). 76 pp.
Utiah, A. 2007. Penampilan reproduksi induk ikan baung
(Mystus nemurus) dengan pemberian pakan buatan yang
ditambah asam lemak N-6 dan N-3 dan dengan
implantasi estradiol-17 B dan tiroksin. Makalah Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Tahun 2006.
http://www.damandiri.or.id/detail.php. Diunduh
Tanggal 25 Nopember 2009.
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN SEMBILANG (Plotosus canius)
DI PERAIRAN ESTUARIA BANYUASIN, SUMATERA SELATAN
Khoirul Fatah dan Asyari Peneliti pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang
Teregistrasi I tanggal: 21 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 24 September 2010; Disetujui terbit tanggal: 16 Pebruari 2011
ABSTRAK
Ikan sembilang (Plotosus canius) merupakan salah satu sumber daya ikan di perairan estuaria, Kabupaten Banyuasin,
Sumatera Selatan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan sembilang dilakukan pada bulan April sampai Juli 2007.
Contoh ikan diperoleh dari nelayan yang menangkap dengan alat tangkap belad dan rawai dasar. Hasil penelitian ini
menunjukan ratio kelamin jantan terhadap betina yaitu 1:2. Organisme yang ditemukan dalam saluran pencernaan terdiri
atas lima jenis yaitu potongan kepiting, udang, ikan, cacing, dan keong, sehingga ikan sembilang dapat digolongkan
sebagai ikan karnivora. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik (b=3), berarti pertumbuhan panjang seiring
dengan pertumbuhan bobot. Kelompok ukuran panjang ikan sembilang tertangkap didominansi oleh ukuran panjang
antara 25,1-30,1 cm.
KATA KUNCI: aspek biologi, ikan sembilang, estuaria Banyuasin
ABSTRACT: Some biological aspect of eeltailed catfish (Plotosus canius) in the estuarine waters of Banyuasin,
South Sumatera. By: Khoirul Fatah and Asyari
Eeltailed catfish (Plotasus canius) is one of the fish resources in the estuarine waters of Banyuasin South Sumatera.
Research on some biological aspect of Plotosus canius was conducted from April to July 2007. Fishes were caught by
fishermen using barrier traps and bottom long line. The results show that the sex ratio of male to female was 1:2.
Organisms found in the digestive tract consists of five types crabs, shrimp, fish, worms, and snails. Thus eeltailed catfish
can be classified as a carnivorous fish. The constant (=b) of length weight relationship of Plotosus canius was 3 (t-test)
suggesting this species was length increment as fast as weight increment. Based on total length size group measured, fish
dominontly caught in length of 25.1-30.1 cm.
KEYWORDS: fish biology, eeltailed catfish, Banyuasin estuary waters
PENDAHULUAN
Estuaria merupakan bagian dari daerah aliran sungai
yang berada di bagian hilir. Selain menjadi penangkap hara
dan polutan, perairan estuaria sangat dinamis, dipengaruhi
oleh pasang surut air laut dan aliran air dari hulu. Secara
ekologi, perairan estuaria mempunyai ciri khas oleh adanya
pengaruh pasang surut air laut dan fluktuasi salinitas
dengan keragaman jenis ikan air tawar maupun ikan laut.
Sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah estuari
mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan (Wardoyo et
al., 2001).
Ikan sembilang secara taksonomi, termasuk kelas
Actinopterygii, ordo Siluriformes, dan famili Plotosidae.
Daerah penyebarannya meliputi perairan laut, muara
sungai, dan perairan tawar. Ikan ini merupakan predator
yang memangsa anakan ikan dan hewan yang hidup di
dasar dari kelompok gastropoda, moluska, dan crustasea.
Menurut Webber & Beufort (1913), ikan sembilang terdiri
atas tujuh spesies yaitu satu dari genus Paraplotosus dan
enam spesies dari genus Plotosus. Ikan sembilang tersebar
di kawasan Indo-Pasifik barat dan kepulauan Indo-
Australia. Di Sumatera Selatan, ikan sembilang terdapat di
daerah Musi Banyuasin dan kadang-kadang di Sungai Musi
bagian tengah (Utomo, 2007). Menurut Gaffar et al. (2006),
ikan sembilang yang hidup di Banyuasin didominansi oleh
jenis Plotosus canius (Gambar 1). Selanjutnya (Webber &
Beufort, 1913; Kottelat et al., 1993) mengatakan ciri-ciri
ikan sembilang antara lain sirip punggung kedua terletak
pada garis tegak antara sirip dubur dan sirip perut; bibir atas
dapat membuka ke atas atau ke depan; sungut dapat
mencapai bagian belakang mata, dan berwarna gelap
kecoklatan. Panjang total dapat mencapai 134 cm.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Ikan sembilang.
Figure 1. Eeltailed catfish.
Sampai saat ini belum tersedia data produksi ikan
sembilang di Banyuasin, tetapi dari indikator di lapangan
menunjukan ikan sembilang yang di tangkap oleh nelayan
didominansi oleh ikan yang berukuran kecil dan belum
matang gonad. Ikannya tersebut ditangkap dengan alat
tangkap yang tidak selektif misal belad pantai yang
mempunyai ukuran mata jaring 0,5 inci. Upaya
penangkapan yang dilakukan terus-menerus, dikhawatirkan
akan menganggu proses rekruitmen karena banyak ikan
yang kecil tertangkap. Sementara upaya pengelolaan
sumber daya ikan di daerah estuaria Banyuasin belum
dilakukan. Penelitian beberapa aspek biologi ikan
sembilang merupakan tahap awal dalam mempelajari
dinamika populasinya sebagai masukan untuk
pengelolaanya. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui beberapa aspek biologi seperti kebiasaan,
makanan, dan hubungan panjang dan bobot ikan sembilang
di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin, Sumatera
Selatan.
BAHAN DAN METODE
Pengambilan Contoh Ikan
Penelitian tentang ikan sembilang dilakukan pada bulan
April sampai Juli 2007 di perairan estuaria Upang,
Sungsang, dan Banyuasin, Kabupaten Banyuasin (Gambar
2). Pengamatan biologi dilakukan di Laboratorium Biologi,
Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang.
Gambar 2. Peta lokasi daerah penelitian ikan sembilang di perairan estuaria Kabupaten Banyuasin.
Figure 2. Map showing the research location of eeltailed catfish in the estuarine waters of Banyuasin District. Keterangan/Remarks: A = estuaria Banyuasin; B = estuaria Musi; C = estuaria Upang
Waktu pengambilan contoh ikan dilakukan setiap bulan
pada minggu pertama. Contoh ikan dikumpulkan dari hasil
tangkapan nelayan yang mengunakan alat tangkap belad
(barrier trap), rawai dasar (long line), dan pancing (hook
and line). Pengamatan parameter biologi dilakukan
terhadap panjang total dan bobot individu serta kandungan
isi lambung dan nisbah kelamin.
BT
A B
C
2,5°
2,25°
2,0°
103° 104° 105°
U
LS
S
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
Identifikasi isi lambung mengacu pada (Kottelat et al.,
1993; Needham & Needham, 1962; Pennak, 1978).
Analisis Data
1. Parameter biologi
Untuk penentuan sebaran frekuensi panjang ikan
sembilang jantan dan betina didasarkan atas Walpole
(1993). Menentukan banyaknya selang kelas, k=1+3,32 log
n, menentukan wilayah kelas, r=db-dk (r = wilayah kelas,
db = data terbesar, dk = data terkecil), menghitung lebar
kelas, L = r/jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah
kelas), menentukan limit bawah kelas interval pertama dan
batas bawah kelas, mendaftarkan semua limit kelas dan
batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada
limit dan batas selang bawahnya, menentukan titik tengah
kelas bagi masing-masing selang dengan meratakan limit
kelas atau batas kelasnya, menentukan frekuensi bagi
masing-masing kelas.
Nisbah kelamin dihitung dengan cara membandingkan
jumlah ikan jantan dan betina yang diperoleh sesuai dengan
Haryani (1998). Penentuan seimbang atau tidaknya nisbah
kelamin jantan dan betina dilakukan uji Chi-square
(Walpole, 1993).
2. Kebiasaan makan
Untuk mengetahui kebiasan makan maka dilakukan
analisis isi lambung ikan dengan menghitung index of
preponderance yang merupakan gabungan dari metode
frekuensi kejadian dengan metode volumetrik sebagai
berikut (Effendie, 1979):
VixOi
IP = ----------- x100% .................................................. (1
∑Vi x Oi
di mana:
Vi = persentase volume satu macam makanan
Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam
makanan
∑VixOi = jumlah VixOi dari semua macam makanan
IP = index of preponderance
Suatu jenis organisme disebut sebagai makanan utama
jika memiliki nilai index of preponderance di atas 40% dan
dikatakan sebagai makanan pelengkap jika nilai index of
preponderance diantara 4-40%. Jika nilai index of
preponderance di bawah 4% maka termasuk kategori
makanan tambahan (Noor, 2001).
3. Hubungan panjang dengan bobot
Hubungan bobot tubuh dengan panjang (total) ikan
sembilang ditentukan berdasarkan atas rumus Effendie
(1979) yaitu:
W = aLb ....................................................................... (2
di mana:
W = bobot ikan (g)
L = panjang ikan (mm)
a dan b = konstanta regresi
4. Faktor kondisi
Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan
persamaan ponderal indeks untuk pertumbuhan isometrik
(b=3) dengan rumus (Effendie, 1979):
5x10
3L
WK = ………………………………………. (3
di mana:
K = faktor kondisi
W = bobot rata-rata ikan (g)
L = panjang rata-rata ikan (mm)
Bila pertumbuhan tersebut bersifat alometrik (b≠3)
maka faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus
(Effendie, 1979):
ncL
WKn = ………………………………………….. (4
di mana:
Kn = faktor kondisi nisbi
W = bobot rata-rata (g)
C = a dan n = b adalah konstanta yang diambil dari
hubungan panjang dan bobot ikan
HASIL DAN BAHASAN
Nisbah Kelamin
Jumlah contoh ikan sembilang yang dikumpulkan
selama penelitian 137 ekor, terdiri atas kelamin jantan 49
ekor (35,51%) dan betina 89 ekor (64,49%) atau dengan
perbandingan 1:2. Rasio kelamin diperlukan untuk
mengetahui perbandingan jenis kelamin, sehingga dapat
diduga keseimbangan populasinya. Populasi ikan sembilang
betina di daerah penelitian lebih banyak dibandingkan
dengan jantan. Menurut Rahmawati (2002), rasio kelamin
ikan sembilang jantan terhadap betina di perairan estuaria
Sungai Siak 1:2. Menurut Effendie (2002), kenyataan di
alam perbandingan kelamin jantan dan betina tidak mutlak.
Hal ini dipengaruhi oleh pola penyebaran yang disebabkan
oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, dan
keseimbangan rantai makanan.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Kebiasan Makan
Pengamatan isi lambung terhadap 137 ekor ikan
sembilang dengan ukuran panjang total antara 20,6-57,6
cm, diperoleh lima jenis makanan yaitu potongan ikan,
udang, kepiting, keong, dan cacing. Analisis kebiasaan
makanan dengan metode index of preponderance diperoleh
nilai masing-masing untuk udang 44,45%, kepiting 39,71%,
keong 11,34%, ikan 4,21%, dan cacing 0,29% (Gambar 3).
Makanan utama ikan sembilang adalah udang dengan
makanan pelengkap adalah kepiting, keong, ikan, dan
sebagai makanan tambahan adalah cacing. Jenis udang
yang dimakan ikan sembilang didominansi oleh udang ende
(Metapenaeus ensis) lokal pepe. Pada bulan April sampai
Juli diduga merupakan musim penangkapan udang ende
dan berdampak lebih banyaknya ikan sembilang memakan
udang bila dibandingkan dengan jenis makanan lainnya.
Gambar 3. Histogram nilai index of proponderance (%) ikan sembilang.
Figure 3. Histogram index of proponderance of eeltailed catfish.
Pengukuran panjang usus terhadap 130 ekor ikan
sembilang dengan panjang total berkisar antara 20,6-94,5
cm, rata-rata 32,5 cm diperoleh panjang usus 10-62 cm,
dengan rata-rata 25,5 cm. Panjang usus ikan sembilang
didapatkan 78,30% dari panjang total. Menurut Tamsil
(2000), panjang usus adalah panjang saluran pencernaan
ikan yang dikatakan dalam persen dari panjang badan total.
Ikan sembilang dapat digolongkan ke dalam ikan
karnivora, dan pada umumnya memiliki panjang usus yang
lebih pendek dari panjang total tubuh. Menurut (Effendie,
1979; Affandi et al., 1992; Lagler et al., 1977) Ikan
karnivora mempunyai usus pendek dan panjang usus
tersebut lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Kondisi
tersebut dikarenakan makanan ikan sembilang berupa
daging, dan dalam proses pencernaannya tidak memerlukan
waktu yang lama seperti pada ikan pemakan tumbuhan.
Hubungan Panjang dan Bobot
Analisis statistik terhadap hubungan panjang dan bobot
tubuh ikan sembilang diperoleh persamaan W=5x10-6
L3.0057
dengan nilai b sebesar 3,0057 dan r2 (koefisien korelasi)
sebesar 0,96 (Gambar 4). Besarnya nilai r2 tersebut
menunjukan bahwa antara panjang dan bobot tubuh
mempunyai hubungan yang erat. Uji t terhadap nilai b,
diperoleh thitung<ttabel sehingga ikan sembilang mempunyai
pola pertumbuhan isometrik (b=3), artinya pertumbuhan
panjang seiring dengan pertumbuhan bobotnya.
4,21%
44,45%
39,71%
11,34% 0,29%
Ikan Udang Kepiting Keong Cacing
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
Gambar 4. Hubungan panjang dan bobot ikan sembilang di perairan estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli
2007.
Figure 4. Length and weight relationship of eeltailed catfish in the estuarine water of Banyuasin, April until July
2007.
Nilai faktor kondisi ikan sembilang berkisar antara 0,58-
1, 50. Nilai tersebut menunjukan adanya variasi nilai.
Menurut Effendie (1979) yang menyebabkan bervariasinya
nilai faktor kondisi adalah tingkat kematangan gonad.
Perkembangan gonad seiring dengan pertambahan bobot
gonad yang dapat meningkatkan faktor kondisi.
Distribusi Panjang dan Bobot
Ikan sembilang yang tertangkap dengan belad pantai
pada bulan April sampai Juli 2007 sebanyak 125 ekor,
dengan distribusi panjang total dan bobot tubuh adalah ikan
jantan berukuran panjang total antara 234-597 mm dengan
modus panjang 378 mm dan bobot tubuh 61-924 g, ikan
betina berukuran panjang total antara 200-550 mm dengan
modus panjang 380 mm dan bobot antara 20-1110 g
Berdasarkan atas kelompok ukuran panjang total, ikan
sembilang baik yang jantan dan betina yang terbanyak pada
kelompok ukuran panjang antara 251-301 mm yaitu untuk
jantan sekitar 16,80% dan untuk betina sekitar 28,80%,
sedangkan pada kelompok ukuran 557-607 mm hanya
ditemukan kelompok ikan jantan (Gambar 5).
W=5x10-6L3,0057
R²=0,964
r=0,982
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
0 200 400 600 800 1.000
Panjang (mm)
Bob
ot
(g)
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
0
5
10
15
20
25
30
35
200 - 250 251 - 301 302 - 352 353 - 403 404 -454 455 - 505 506 - 556 557-607
Kelas panjang (mm)
Ju
mla
h (
%)
JANTAN BETINA
0
10
20
30
40
50
60
20 -158 159 -297 298 -436 437 -575 578 -716 71 - 855 856 - 994 995 -1133
Kelas berat (gr)
Ju
mla
h (
%)
JANTAN BETINA
Gambar 5. Histogram ukuran panjang total (A) dan bobot (B) ikan sembilang hasil tangkapan belad di perairan
estuaria Banyuasin, bulan April sampai Juli 2007.
Figure 5. Histogram of length and weight of eeltailed catfish caught by barrier trap in the estuarine water of
Banyuasin, Aprl until July 2007.
Bedasarkan atas ukuran panjang total dan bobot tubuh
ikan sembilang yang tertangkap, semakin besar ukuran
panjang dan bobot tubuhnya semakin sedikit yang
tertangkap, hal ini dikarenakan ikan sembilang sebelum
mencapai ukuran dan bobot tersebut tertangkap oleh
nelayan, sehingga tidak sempat tumbuh mencapai ukuran
dan bobot tubuh yang maksimal. Menurut Soumakil (1996),
ukuran ikan berbanding terbalik dengan jumlahnya, karena
semakin besar ukuran ikan jumlah tangkapan cendrung
semakin sedikit dan sebaliknya.
Pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan
persentase yang cukup besar antara ikan jantan dan betina.
Menurut Sumassetiyadi (2003) perbedaan tersebut antara
lain disebabkan oleh aktivitas ikan dalam perairan,
kemampuan beradaptasi, dan faktor genetik ikan jantan dan
betina berbeda.
KESIMPULAN
1. Rasio kelamin ikan sembilang jantan terhadap betina di
perairan estuaria Kabupaten Banyuasin adalah 1:2.
2. Pengamatan terhadap 137 ekor ikan sembilang
diperoleh komposisi jenis makanan terdiri atas potongan
udang 44,45%, kepiting 39,71%, keong 11,34%, ikan
A
B
Beberapa Aspek Biologi Ikan ….. Estuaria Banyuasin, Sumatera Selatan (K. Fatah & Asyari)
4,21%, dan cacing 0,29%. Ikan sembilang digolongkan
sebagai ikan karnivora dengan makanan utama adalah
udang.
3. Pola pertumbuhan ikan sembilang bersifat isometrik di
mana pertumbuhan panjang seiring dengan
pertumbuhan bobot.
4. Ukuran panjang ikan sembilang jantan dan betina yang
terbanyak berkisar antara 25,1-30,1 cm dengan
komposisi ikan jantan 16,80% dan ikan betina 28,80%.
5. Ukuran bobot ikan sembilang jantan dan betina yang
terbanyak berkisar antara 20-158 g dengan komposisi
ikan jantan 23,8% dan ikan betina 48,4%.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset penangkapan ikan di perairan estuaria Kabupaten
Banyuasin, Sumatera Selatan, T. A. 2007, di Balai Riset
Perikanan Perairan Umum-Mariana, Palembang.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R., D. S. Syafei, M. F. Rahardjo, & Sulistiono.
1992. Fisiologi Ikan: Pencernaan Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. 160
pp.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan
Dewi Sri. Bogor. 112 pp.
Effendie. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Nusantara. Yogyakarta. 163 pp.
Gaffar, A. K., K. Fatah, & Rupawan. 2006. Riset perikanan
tangkap di perairan estuaria yang bermuara di Selat
Bangka. Laporan Teknis Balai Riset Perikanan
Perairan Umum. Palembang. (Tidak Diterbitkan). 33
pp.
Haryani, G. S. 1998. Analisa histologi gonad ikan-ikan di
perairan Danau Semayang, Kalimantan Timur. Hasil
Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan
Limnologi Tahun 1997/1998. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Limnologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Cibinong. 632-637.
Kottelat, M., A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, & S.
Wirjoatmodjo. 1993. Ikan Air Tawar Indonesia Bagian
Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Limited. Jakarta.
293 pp.
Lagler, J. E. Bardach, R. P. Miller, & D. R. M. Passino.
1977. Ichthyology. Jhon Wiley & Sons. Inc. New York.
650 pp.
Needham, J. G. & D. R. Needham. 1962. Freshwater
Biology. Holden Day Inc San Francisco. 108 pp.
Noor, A. 2001. Makanan ikan belanak (Mugil dussumien)
di perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Skripsi.
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. 48 pp.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of the
United State. Jhon Wiley & Sons. New York. 803 pp.
Rahmawati, I. 2002. Aspek biologi reproduksi ikan
sembilang (Plotosus canius) di estuaria Sungai Siak,
Provinsi Riau. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber
Daya Perairan. Universitas Riau. (Tidak Dipublikasi.).
75 pp.
Soumakil, A. 1996. Telah beberapa parameter populasi ikan
moma putih (Decapterus rasselli) di perairan
Kecamatan Amahai, Maluku Tengah, dan alternatif
pengelolaanya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor. 60 pp.
Sumassetiyadi, M. A. 2003. Beberapa aspek reproduksi
ikan opudi (Telmaterina antoniae) di Danau Metano,
Sulawesi Selatan. Skripsi. Departemen Manajemen
Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 75 pp.
Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi
prapemijahan dan kemungkinan pemijahan buatan ikan
bungo (Glossogobius aureus) di Danau Tempe dan
Danau Sidenreng, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program
Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 80 pp.
Utomo, A. D. 2007. Dinamika sumber daya perikanan di
estuaria. Prosiding Seminar Nasional Kelautan III.
Universitas Hang Tuah. Surabaya. 12 pp.
Weber, M. & De Beufort. 1913. The Fishes of the Indo-
Australian Archipelago. E. J. Brill ltd. Leiden. Jilid 2.
Walpole, R. V. E. 1993. Pengantar Statistik. Terjemahan B.
Sumantri (Edisi Tiga). PT. Gramedia. Jakarta. 521 pp.
Wardoyo, H. Ferry, & P. Joko. 2001. Laporan Survei
Perikanan di Kawasan CTN Sembilang, Bulan Juli
2001. Proyek Konservasi Lahan Basah Pesisir Berbak-
Sembilang GEF MSP (TF-0240011). Wetland
International-Asia Pasipic Indonesia Program. 35 pp.
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
EVALUASI KEBERHASILAN PENEBARAN IKAN BANDENG (Chanos chanos)
DI WADUK IR. H. DJUANDA
Didik Wahju Hendro Tjahjo1)
, Sri Endah Purnamaningtyas1)
, dan Endi Setiadi Kartamihardja2)
1) Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta
2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 13 April 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010;
Disetujui terbit tanggal: 4 Pebruari 2011
ABSTRAK
Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai potensi pengembangan budi daya ikan yang tinggi, dan pertumbuhan budi daya
tersebut berkembang sangat pesat. Perkembangan yang pesat tersebut sangat berdampak pada penurunan kualitas air dan
mendorong peningkatan kelimpahan plankton yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemerintah melakukan penebaran ikan
bandeng (Chanos chanos) pada bulan Juli sampai Agustus 2008 sebanyak 2.116.000 ekor benih dalam upaya
menanggulangi kelimpahan plankton yang tinggi dan sekaligus meningkatkan produksi ikannya. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat.
Penelitian ini dilakukan setiap bulan pada periode bulan Juli 2008 sampai Januari 2009. Pengamatan dilakukan dengan
metode teratifikasi dengan enam titik stasiun pengamatan. Evaluasi keberhasilan penebaran ikan bandeng dievaluasi
kemampuan memanfaatkan kelimpahan plankton, pertumbuhannya, dan dapat tertangkap kembali. Hasil analisis
kebiasaan makan, ikan bandeng mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan kelimpahan plankton di perairan
tersebut, dan ikan ini mempunyai laju pertumbuhan yang sangat cepat (K=3.381 dengan L∞=45 cm). Ikan bandeng ini
dapat tertangkap kembali oleh nelayan setempat pada bulan September 2008 sampai Pebuari 2009 dan juga secara tidak
langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan
dampak penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka
perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada.
KATA KUNCI: ikan bandeng (Chanos chanos), kebiasaan makan, pertumbuhan, tertangkap kembali, Waduk
Ir. H. Djuanda
ABSTRACT: Evaluation of successfulness of fish stocking on bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda
Reservoir. By: Didik Wahju Hendro Tjahjo, Sri Endah Purnamaningtyas, and Endi Setiadi
Kartamihardja
Ir. H. Djuanda Reservoir has high potency in developing of fish culture, that the growth has developed very fast. The
fast growth of fish culture affected the degradation of water quality and push increasing of plankton abundance.
Therefore, government conduct stocking of bandeng on July until August 2008 as much 2,116,000 individual as on effort
of overcoming of plankton bloom and increasing of fish production. The aim of this study is to evaluate the successfulness
of fish stocking of bandeng (Chanos chanos) in Ir. H. Djuanda Reservoir, Purwakarta, and West Java. The research was
conducted every month at period of July 2008 until January 2009. Observation was done by sampling stratification
method at 6 point of observation station. Evaluation of successfulness fish stocking base on the ability using of plankton,
the growth and percentage of recaptured. The result should that bandeng have high ability inusing of plankton in waters
as a feed (97.8%), and this fish had high growth rate (K=3.381 and L∞=45 cm). This fish could be recaptured by local
fisherman in September 2008 until February 2009. Beside, this bandeng stocking indirectly have been able to improve
waters quality of Ir. H. Djuanda Reservoir. Therefore, the effort of increasing impact of bandeng stocking improved
waters quality and improvement of fisherman prosperity, thus require to be continued of bandeng stocking and
reinforcement institute of local fisherman.
KEYWORDS: bandeng (Chanos chanos), food habit, growth, recaptured, Ir. H. Djuanda Reservoir
PENDAHULUAN
Waduk Ir. H. Djuanda terletak di Kabupaten
Purwakarta, Provinsi Jawa Barat dan selesai dibangun
tahun 1967. Waduk ini mempunyai luas genangan
maksimum 8.300 ha dengan kedalaman maksimum 95 m,
kedalaman rata-rata 36,4 m dan pengembangan garis pantai
5,96 (Tjahjo, 1986) atau panjang garis pantai 163 km dan
terletak pada ketinggian 111,5 m di atas permukaan laut.
Waduk ini merupakan waduk serbaguna dan mempunyai
fungsi utama untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air, irigasi,
pencegah banjir, dan penyedia bahan baku air minum. Saat
ini Waduk Ir. H. Djuanda lebih diutamakan ke fungsi
penyedia bahan baku air minum untuk wilayah Purwakarta,
Karawang, Bekasi, dan Jakarta. Selain fungsi utama waduk
tersebut di atas, waduk ini juga dimanfaatkan untuk
perikanan, pariwisata, dan transportasi yang disebut sebagai
kegiatan tambahan.
Pengembangan kegiatan budi daya ikan dalam keramba
jaring apung di Waduk Ir. H. Djuanda telah jauh melampaui
jumlah yang diizinkan, pada tahun 2005 telah mencapai
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
lebih dari 15.000 unit dan jumlah yang diizinkan 2.100 unit
(berdasarkan atas Surat Keputusan Bupati Purwakarta
No.06/2000). Perkiraan limbah organik yang berasal dari
kegiatan budi daya di Waduk Ir. H. Djuanda mencapai
21.365,1 ton/tahun (Nastiti et al., 2001) dan meyebabkan
perairan tersebut telah mencapai eutrofik dan hipertrofik.
Dampaknya terhadap perairan, antara lain blooming algae
dan perairan dalam kondisi anoxia yang menghasilkan gas
beracun seperti NH3 dan H2S, sehingga sering terjadi
kematian massal (Tjahjo et al., 2008).
Waduk Ir. H. Djuanda mempunyai luas 8.300 ha dengan
kedalaman maksimum 97 m, dan luas daerah limnetiknya
berkisar antara 5.200-7.100 ha atau 63-86% dari luas total
(Kartamihardja, 2007). Perkembangan budi daya ikan
dalam keramba jaring apung di waduk ini telah berkembang
dengan pesat, bahkan telah melampaui daya dukung
perairan itu sendiri. Unsur hara (N dan P) yang dihasilkan
dari kegiatan budi daya ikan dalam keramba jaring apung di
waduk ini pada tahun 1996 ditaksir 36.531,3 ton untuk total
N dan 33.968,4 ton untuk total P (Nastiti et al., 2001).
Peningkatan unsur hara tersebut telah berdampak terhadap
peningkatan pertumbuhan fitoplankton yang tinggi dalam
waktu yang singkat (blooming). Daerah limnetik yang kaya
akan fitoplankton tersebut dihuni oleh sedikit jenis ikan
pemakan plankton.
Hasil penelitian aliran energi biomassa di daerah
limnetik oleh Kartamihardja (2007) menunjukan bahwa
untuk meningkatkan optimasi pemanfaatan plankton di
daerah limnetik, dapat dilakukan penebaran ikan pemakan
plankton 4,118 juta ekor pada tahun pertama dan 1,235 juta
ekor pada tahun berikutnya. Berdasarkan atas hasil
penelitian tersebut, ditindaklanjuti oleh pemerintah telah
melakukan penebaran ikan bandeng pada bulan Juli sampai
Agustus 2008 dengan jumlah total benih 2.116.000 ekor.
Penebaran ikan bandeng tersebut dilaksanakan 28 kali
selama tanggal 2 Juli sampai 20 Agustus 2008 dengan
ukuran panjang total 2,8-8,5 cm atau bobot 0,1-5,1 g.
Tujuan penebaran ikan bandeng ini untuk
memanfaatkan kelimpahan plankton yang tinggi,
peningkatan hasil tangkapan nelayan, dan secara tidak
langsung mampu memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir.
H. Djuanda. Dalam kaitan tersebut, tujuan penelitian ini
adalah untuk mengevaluasi keberhasilan penebaran ikan
bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, Purwakarta, Jawa Barat.
BAHAN DAN METODE
Metode Pengumpulan Data
Pelaksanaan penelitian dilakukan di Waduk Ir. H.
Djuanda (Kabupaten Purwakarta). Pengumpulan data
tangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan metode
survei (stratified sampling method) (Nielsen & Johnson,
1985). Pengumpulan data tersebut di lapangan
direncanakan tujuh kali, setiap bulan selama periode bulan
Juli 2008 sampai Januari 2009. Titik pengambilan contoh
ditentukan enam titik stasiun pengamatan untuk Waduk Ir.
H. Djuanda, yaitu Sodong, Bojong-Jamaras, Kerenceng,
Baras Barat-DAM, Taroko, dan Cilalawi (Gambar 1).
Pengambilan contoh ikan dilakukan dengan
menggunakan jaring insang percobaan dan ukuran mata
jaringnya 1; 1,5; 2; 2,5; 3; 3,5; dan 4 inci dengan panjang
37,5 m dan dalam 100 mata. Jaring insang tersebut
dipasang pada sore hari (pukul 17.00 WIB) dan diangkat
pagi hari berikutnya (pukul 7.00 WIB). Ikan bandeng yang
tertangkap diukur panjang dan bobotnya, dan diambil
lambungnya. Lambung ikan tersebut diawetkan dalam
formalin 4%, selanjutnya dianalisis kebiasaan makannya di
Laboratorium Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Jatiluhur.
Analisis Data
Ada tiga faktor untuk mengevaluasi keberhasilan
penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda, yaitu
ikan bandeng dapat ditangkap kembali, ikan bandeng
mampu memanfaatkan plankton sebagai makanannya, dan
ikan bandeng mampu tumbuh dengan cepat.
Kemampuan ikan bandeng dalam memanfaatkan
sumber daya pakan melalui analisis kebiasaan makan
dengan menggunakan indeks preponderance (Natarajan &
Jhingran dalam Effendie, 1979) dengan rumus sebagai
berikut:
( )100
iO
iV
iOiV
iI ×
∑ ×
×
= …........................................... (1
di mana:
Vi = persentase volume satu macam makanan
Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam
makanan
Σ(VixOi) = jumlah VixOi dari semua macam makanan
Variabel pertumbuhan panjang ikan bandeng dengan
analisis pergerakan modus dan pengukuran pertumbuhan
panjang menggunakan rumus yang dikatakan von
Bertalanffy dalam King (1995); Quinn II & Deriso (1999);
Sparre & Venema (1999), yaitu:
−−
−∞
=
)0
t1
K(te1LtL ....................................... (2
di mana:
Lt = panjang ikan pada umur t
L∞ = panjang ikan tak terhingga (panjang asimtotik)
K = laju pertumbuhan
(t1-t0) = umur ikan
Ikan bandeng dapat tertangkap kembali melalui
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
pengoperasian jaring insang percobaan pada bulan Juli
2008 sampai Januari 2009. Analisis komposisi jenis ikan
yang tertangkap berdasarkan atas persentase jumlah, bobot,
dan frekuensi kejadian. Di samping itu, juga dilakukan
wawancara dengan nelayan kaitannya dengan penangkapan
ikan bandeng.
Gambar 1. Peta Waduk Ir. H. Djuanda dan stasiun pengamatannya.
Figure 1. Ir. H. Djuanda Reservoir map and observation station.
HASIL DAN BAHASAN
Evaluasi keberasilan penebaran ikan di suatu badan air
secara biologis ada tiga faktor, yaitu ikan yang ditebar
dapat ditangkap kembali, ikan yang ditebar mampu
memanfaatkan sumber pakan alami yang tersedia, dan ikan
tersebut mampu tumbuh cepat (Tjahjo, 2004).
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan
Hasil percobaan penangkapan ikan selama periode
penelitian menunjukan bahwa ada 22 jenis ikan yang
tertangkap, yaitu ikan gabus (Channa striata), tagih
(Mystus nemurus), hampal (Hampala macrolepidota),
kebogerang (M. negriceps), lalawak (Barbonymus
bramoides), beunter (Puntius binotatus), lepuk (Ompok
bimaculatus), nila (Oreochromis niloticus), patin
(Pangasionodon hypopthalmus), mas (Cyprinus carpio),
mola (Hypophthalmichthys molitrix), bandeng, tawes
(Barbonymus gonionotus), nilem (Osteochilus hasselti), dan
sepat (Trichogaster pectoralis). Komposisi jenis ikan yang
tertangkap berdasarkan atas bobot ikan di Waduk Ir. H.
Djuanda didominansi oleh ikan oskar (Amphilophus
citrinellus) (21,468 kg), bandeng (20,173 kg), golsom
(Amphilophus alfari) (11,951 kg), nila (6,005 kg), dan
hampal (3,908 kg) (Gambar 2). Komposisi berdasarkan atas
frekuensi kejadian didominansi oleh ikan golsom (62,3%),
bandeng (57,1%), oskar (52%), nila (20%), dan kebogerang
(16,4%). Sedangkan berdasarkan atas jumlah individu
didominansi oleh ikan oskar (575 ekor), golsom (319 ekor),
bandeng (134 ekor), kebogerang (74 ekor), dan kepiat
(Thynnichthys thynnoides) (46 ekor). Sehingga secara
umum, komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda baik
secara bobot, frekuensi kejadian, dan jumlah, didominansi
ikan introduksi, yaitu ikan oskar, golsom, dan bandeng.
Hasil tangkapan ikan bandeng menduduki urutan ketiga
baik secara jumlah, bobot, maupun frekuensi kejadian.
kondisi tersebut menunjukan bahwa ikan bandeng dapat
mudah tertangkap kembali, sehingga menunjukan
keberhasilan penebaran ikan bandeng di perairan Waduk Ir.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
H. Djuanda.
Hasil penangkapan ikan bandeng oleh nelayan tertingi
pada bulan September 2008, dengan rata-rata hasil
tangkapan nelayan berkisar 100-150 kg/orang/hari dan
ukuran ikan berkisar antara 200-250 g/ekor. Ukuran mata
jaring insang yang digunakan nelayan pun cepat berubah,
rata-rata setiap dua minggu sekali mata jaringnya dinaikan
0,25 inci dari 2-2,5 inci. Pada bulan Oktober 2008 hasil
tangkapan ikan bandeng mulai menurun, dan bulan Pebuari
2009 ikan bandeng sudah jarang tertangkap. Hal tersebut
disebabkan ikan bandeng ini bersifat bergerombol dalam
jumlah yang besar, dan intensif penangkapan oleh nelayan.
Karakteristik ikan bandeng tersebut sangat baik untuk
digunakan sebagai jenis ikan stoking dalam rangka
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.
Gambar 2. Komposisi jenis ikan di Waduk Ir. H. Djuanda.
Figure 2. Fish species composition in Ir. H. Djuanda Reservoir.
Pertumbuhan
Komposisi ukuran panjang hasil tangkapan ikan
bandeng pada pengamatan bulan September, Oktober,
Nopember, dan Desember 2008, serta bulan Januari 2009
tertera dalam Tabel 1. Pada bulan September 2008 ikan
bandeng yang tertangkap 61 ekor dengan rata-rata panjang
total 23,7 cm (14,7-31,0 cm) dan rata-rata bobot 134 g (25-
280 g). Pada bulan Oktober 2008 ikan bandeng yang
tertangkap 35 ekor dengan rata-rata panjang totalnya 27,3
cm (20,7-32,5 cm) dan rata-rata bobotnya 179 g (67-342 g).
Pada bulan Nopember 2008 ikan yang tertangkap 38 ekor
dengan rata-rata panjangnya 26,9 cm (20,0-34,5 cm) dan
rata-rata bobotnya 158 g (66-347 g). Bulan Desember 2008
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
ikan bandeng yang tertangkap 54 ekor dengan rata-rata
ukuran panjang totalnya 27,5 cm (23,0-31,5 cm) dan rata-
rata bobotnya 159 g (95-230 g). Terakhir pengamatan bulan
Januari 2009 ikan bandeng yang tertangkap 17 ekor dengan
rata-rata ukuran panjang totalnya 31,5 cm (27,6-38,5 cm)
dan rata-rata bobotnya 220 g (143-375 g). Perubahan
ukuran ikan bandeng menurut waktu pengamatan
menunjukan laju pertumbuhan yang sangat cepat. Hal
tersebut juga terlihat dari hasil analisis pentumbuhan von
Bertalanfii menunjukan bahwa laju pertumbuhan (K) ikan
bandeng ini mencapai 3,381 dengan panjang asimtotnya
(L∞) mencapai 45 cm (Gambar 3).
Tabel 1. Jumlah dan ukuran (panjang total dan bobot) benih ikan bandeng yang ditebar dan ditangkap menurut
waktu pengamatan
Table 1. Number and size (total length and weight) of seed for stocking and bandeng recaptured during
observation
Peubah/Variables
Benih yang ditebar/
Seeds are stocked Hasil ikan yang ditangkap/The result of the fish caught
Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Januari
Jumlah (individu) 2.116.000 61 35 38 54 17
Panjang (cm) Rata-rata 5,8 4,7 23,7 27,3 26,9 27,5 31,5
Minimum 3,2 2,8 14,7 20,7 20,0 23,0 27,6
Maksimum 7,8 8,5 31 32,5 34,5 31,5 38,5
Bobot (g) Rata-rata 1,3 0,8 134 179 158 159 220
Minimum 0,3 0,1 25 67 66 95 143
Maksimum 3,3 5,1 280 342 347 230 375
Regresi panjang dan
bobot a 0,0033 0,0015 0,0079 0,0244 0,007
b 3,32 3,52 2,99 2,65 3,00
R2 0,99 0,97 0,96 0,61 0,93
Pertumbuhan bobot ikan bandeng ini mulai bulan
Nopember menunjukan penurunan, sehingga ikan tersebut
cenderung lebih langsing. Hal tersebut terlihat nyata dari
hubungan panjang dan bobot untuk bulan September,
Oktober, Nopember, dan Desember 2008, serta bulan
Januari 2009 masing-masing adalah 3,32; 3,52; 2,99; 2,65;
dan 3,00. Hal tersebut diduga berhubungan dengan
kandungan oksigen terlarut yang menurun dan kembali naik
pada bulan Januari 2009 (Gambar 4), dan ikan bandeng
tidak tahan terhadap oksigen terlarut rendah (Anonimus,
2009). Secara umum, hubungan faktor kondisi ikan
bandeng terhadap waktu relatif sama dengan hasil
penelitian Kumagai et al. (1985) di Pulau Naburut,
Philipina.
Gambar 3. Komposisi ukuran ikan bandeng dan pertumbuhan di Waduk Ir. H. Djuanda.
Figure 3. Size of bandeng composition and its growth in Ir. H. Djuanda Reservoir.
L∞=45 cm
K=3,381
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
JUL AGU SEP OKT NOV DES JAN
O2 (
mg
/L)
Gambar 4. Kandungan rata-rata oksigen terlarut di Waduk Ir. H. Djuanda pada periode bulan Juli 2008 sampai
Januari 2009.
Figure 4. Concentration mean of dissolved oxygen in period of July 2008 until Januari 2009 at Ir. H. Djuanda
Reservoir. Sumber/Sources: Tjahjo et al. (2009)
Kemampuan Memanfaatkan Plankton
Ikan bandeng distribusi terbatas di daerah tropik
maupun belahan bumi sebelah utara yang sub tropis
sepanjang laut perairan kontinetal dan di sekitar pulau, di
mana suhu adalah lebih besar dibanding 20ºC (Anonimus,
2009). Ikan ini mempunyai makanan alami berupa klekap
(lab-lab) atau kombinasi antara fitoplankton dan makro
algae (Anonimus, 2009). Hasil penelitian kebiasaan makan
ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda sangat bervariasi.
Pada bulan September 2008, ikan ini mempunyai makanan
utama berupa fitoplankton (50,16%) dan zooplankton
(48,72%) (Gambar 5). Pada bulan Oktober dan Nopember
2008 konsumsi akan fitoplankton meningkat secara nyata
(77,33-77,76%) dan sebaliknya zooplankton (20,02-
20,44%). Pada bulan Desember 2008, konsumsi ikan
bandeng terhadap fitoplankton sedikit menurun menjadi
70,91%, zooplankton menurun secara nyata menjadi 1,62%,
dan sebaliknya terhadap detritus (27,48%). Penurunan
konsumsi ikan bandeng tersebut akan fitoplankton terus
berlanjut sampai bulan Januari 2009 menjadi 47,51% dan
detritus menjadi 3,88%, sebaliknya untuk zooplankton
meningkat menjadi 48,35%. Dinamika kebiasaan makan
ikan bandeng yang cukup tinggi ini diduga dipengaruhi
oleh perkembangan umur dari ikan tersebut, kesediaan
makanan alami dan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kumagai & Bagarinao
dalam Kumagai et al. (1985) bahwa ikan bandeng ini
mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi dan sangat
baik terhadap perubahan habitat dan makanan.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
KO
MP
OS
ISI P
AK
AN
SEP OKT NOV DES JAN
Fitopl. Zoopl. Makrofita Detritus
Gambar 5. Kebiasaan makan ikan bandeng menurut waktu pengamatan.
Figure 5. Food habit of bandeng according to observation time.
Keberhasilan penebaran ikan bandeng ini di samping
mudah ditangkap kembali dan laju pertumbuhannya yang
tinggi, tetapi juga kemampuannya memanfaatkan
kelimpahan plankton yang tinggi. Penebaran ikan ini secara
Evaluasi Keberhasilan Penebaran Ikan Bandeng (Chanos chanos) di Waduk Ir. H. Djuanda (Tjahjo, D.W.H., et al.)
tidak langsung meningkatkan kualitas air lebih baik. Hal
tersebut disebabkan tingginya tingkat konsumsi ikan
bandeng terhadap fitoplankton, akan merangsang
fitoplankton tersebut tumbuh dengan cepat dengan
memanfaatkan unsur hara yang berlimpah. Akibat dari
siklus tersebut secara tidak langsung mendorong
peningkatan kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Penebaran ikan bandeng di Waduk Ir. H. Djuanda
menunjukan tingkat keberhasilan yang cukup tinggi.
Hal tersebut terbukti bahwa ikan ini dengan mudah
dapat ditangkap kembali, mempunyai kemampuan yang
tinggi dalam pemanfaatkan kelimpahan plankton dan
laju pertumbuhannya sangat cepat.
2. Dampak penebaran ikan ini dapat mencegah terjadinya
blooming plankton dan secara tidak langsung mampu
memperbaiki kualitas perairan Waduk Ir. H. Djuanda.
3. Langkah selanjutnya, dalam upaya peningkatan dampak
penebaran ikan bandeng untuk memperbaiki kualitas
perairan dan peningkatan kesejahteraan nelayan, maka
perlu dilanjutkan penelitian strategi penebaran ikan
bandeng dan penguatan kelembagaan nelayan yang ada.
Saran
1. Kelembagaan nelayan belum terlalu siap mendukung
program ini, sehingga pencatatan hasil tangkapan ikan
bandeng sangat minim. Selanjutnya kelembagaan
tersebut setelah ada dan berfungsi, perlu program
penebaran secara swadaya oleh nelayan.
2. Ikan bandeng ini terlalu mudah untuk ditangkap
kembali dan pertumbuhannya sangat cepat, sehingga
perlu disusun kembali strategi penebaran ikan ini agar
manfaatnya dapat dirasakan oleh nelayan sepanjang
tahun.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai
Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008-2009, di Balai Riset
Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2009. Chanos chanos, Cultured Aquatic
Species Information Programme.
http://fao.org/fishery/culturedspecies/Chanos_chanos/en
. Tanggal 25 Juli 2009.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan
Dewi Sri. Bogor. 112 pp.
Kumagai, S., T. Bagarinao, & A. Unggui. 1985. Growth of
juvenile milkfish Chano chanos in natural habitat. Mar.
Ecol. Prog. Ser. 22: 1-6.
King, M. 1995. Fisheries Biology Assessment and
Management. Blackwell Science Ltd. London. 341 pp.
Kartamihardja, E. S. 2007. Spektra ukuran biomassa
plankton dan potensi pemanfaatannya bagi komunitas
ikan di zona limnetik Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa
Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 137 pp.
Nielsen, L. A. & D. L. Johnson. 1985. Fisheries
Techniques. American Fisheries Society. Bethesda.
Maryland. 468 pp.
Nastiti, A. S., Krismono, & E. S. Kartamihardja. 2001.
Daya dukung perairan Waduk Jatiluhur untuk budi daya
ikan dalam keramba jaring apung. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. 7 (2): 14-21.
Quinn II, T. J. & R. B. Deriso. 1999. Quantitative Fish
Dynamics. Oxford University Press. New York. 542 pp.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian
Stok Ikan Tropis. Buku 1. Manual. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp.
Tjahjo, D. W. H. 1986. Ciri-ciri morphologi Waduk
Saguling dan beberapa waduk lainnya hubungannya
dengan potensi pengembangan perikanan. Buletin
Penelitian Perikanan Darat. 5 (1): 47-55.
Tjahjo, D. W. H. 2004. Kemantapan hasil tangkapan,
keterkaitannya dengan sintasan, pertumbuhan, dan
intensitas penangkapan udang galah (Macrobrachium
rosenbergii) yang ditebarkan di Waduk Darma,
Kuningan, Jawa Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 pp.
Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, A. Suryandari, Y.
Sugianti, & Rahmadi. 2008. Biolimnologi dan hidrologi
waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat. Laporan
Kegiatan Riset 2008. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan.
Jatiluhur.
Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, Y.
Sugianti, & H. Saifullah. 2009. Biolimnologi dan
hidrologi waduk kaskade Sungai Citarum, Jawa Barat.
Laporan Kegiatan Riset 2009. Loka Riset Pemacuan
Stok Ikan. Jatiluhur.
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
BEBERAPA PARAMETER POPULASI IKAN BAWAL AIR TAWAR
(Colossoma macropomum) DI WADUK CIRATA, JAWA BARAT
Masayu Rahmia Anwar Putri dan Didik Wahju Hendro Tjahjo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta
Teregistrasi I tanggal: 1 Juli 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 7 Pebruari 2011
ABSTRAK
Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) saat ini merupakan ikan konsumsi yang telah banyak dibudidayakan
karena proses produksinya yang cukup singkat dan tahan terhadap serangan penyakit. Penelitian ini dilakukan untuk
menduga hubungan panjang dan bobot, parameter pertumbuhan, mortalitas, dan upaya penangkapan ikan bawal air tawar.
Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata Jawa Barat pada tahun 2008 dan 2009. Hubungan panjang dan bobot ikan bawal
air tawar digambarkan dalam persamaan W=0,0365L2,7788 dengan faktor kondisi 1,07. Pendugaan parameter pertumbuhan
yang diperoleh adalah L∞=29,40 cm, K=0,19 per tahun, dan t0=0,89 tahun. Nilai Z=0,82 per tahun, M=0,61 per tahun,
F=0,20 per tahun, dan E=0,25, karena E<Eopt maka diduga belum terjadi lebih tangkap.
KATA KUNCI: parameter populasi, Colossoma macropomum, Waduk Cirata
ABSTRACT: Some population parameters of bawal freshwater (Colossoma macropomum) at Cirata Reservoir,
West Java. By: Masayu Rahmia Anwar Putri and Didik Wahju Hendro Tjahjo
Present, bawal freshwater (Colossoma macropomum) was a consumption fish that have been cultivated because the
short production process and was very resistant to diseases. This study was carried out for estimating length weight
relationship, growth parameter, mortality, and catching effort of bawal freshwater. This research was carried out at
Cirata Reservoir, West Java on 2008 and 2009. The length weight relationship was described by the equation
W=0.0365L2.7788 with condition factor 1.07. Estimating of growth parameters which obtained were L∞=29.40 cm, K=0.19
per year, and t0=0.89 year. The value of Z=0.82 per year, M=0.61 per year, F=0.20 per year and E=0.25. Because
E<Eopt, then estimated, that the fish population has not over exploited.
KEYWORDS: population parameters, Colossoma macropomum, Cirata Reservoir
PENDAHULUAN
Ikan bawal air tawar bukan ikan asli Indonesia tetapi
merupakan ikan asli yang berasal dari Brazil, Amerika
Selatan. Ikan ini didatangkan ke Indonesia dari Taiwan
pada tahun 1986. Awalnya ikan ini didatangkan sebagai
ikan hias yang dipelihara di akuarium ataupun kolam-
kolam. Akan tetapi karena memiliki laju pertumbuhan yang
sangat cepat dan dapat mencapai ukuran besar, ikan ini
menjadi kurang pantas untuk dipajang (Anonimus, 2009).
Oleh karena itu, ikan ini kemudian lebih populer menjadi
ikan konsumsi dikarenakan rasa dagingnya enak dan gurih.
Ikan ini pun mulai banyak dibudidayakan karena proses
produksinya yang cukup singkat dan termasuk jenis ikan
yang tahan terhadap serangan penyakit. Menurut Hakim
(2009), saat ini harga ikan bawal air tawar mencapai
Rp.16.000/kg. Jika dibandingkan dengan harga jual ikan
patin (Pangasius spp.) (Rp.6.000/kg) dan lele (Clarias sp.)
(Rp. 9.000/kg) maka ikan bawal air tawar dapat dikatakan
sebagai ikan ekonomis tinggi.
Keberadaan ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak
sengaja ditebar dan merupakan ikutan dari dari penebaran
yang dilakukan untuk menunjang potensi perikanan di
waduk tersebut. Waduk ini menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat sekitar melalui aktivitas perikanan
tangkap dan budi daya ikan dengan menggunakan keramba
jaring apung. Sama halnya dengan ikan introduksi lainnya,
ikan ini juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian ikan
asli di perairan Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian akan keberadaan ikan ini agar tidak
mengganggu keberadaan dari ikan-ikan asli di Waduk
Cirata. Sebagai langkah awal, perlu diketahui parameter
populasi dari ikan bawal air tawar di antaranya hubungan
panjang dan bobot, faktor kondisi, parameter pertumbuhan,
dan mortalitas ikan ini di Waduk Cirata.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata, Jawa Barat
(Gambar 1) pada tahun 2008 dan 2009. Contoh ikan
didapatkan dari hasil tangkapan nelayan dan enumerator di
Waduk Cirata dengan menggunakan gill net ukuran 2-4
inci. Ikan yang tertangkap diukur panjang dan bobotnya
untuk kemudian data tersebut dianalisis.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Peta Waduk Cirata.
Figure 1. Map of Cirata Reservoir.
Analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan bawal
air tawar menggunakan rumus sebagai berikut:
baLW = ..................................................................... (1
di mana:
W = bobot ikan (g)
L = panjang ikan (mm)
a dan b = konstanta
Rumus umum tersebut bila ditranformasikan ke dalam
logaritma, maka akan mendapatkan persamaan Log W=log
a+b log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis
lurus. Harga konstanta b adalah nilai pangkat yang cocok
dari panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan (Effendie,
1997). Nilai konstanta b kemudian diuji ketepatannya
terhadap b≠3 menggunakan uji t.
Faktor kondisi dihitung menggunakan rata-rata panjang
total dan bobot ikan bawal air tawar. Persamaan rumus
perhitungannya seperti berikut (Effendie, 1997):
bLa
W K = ................................................................... (2
di mana:
K = faktor kondisi
W = bobot rata-rata ikan yang sebenarnya (g)
L = panjang total rata-rata ikan (cm)
a dan b = konstanta
Analisis data untuk mengetahui parameter pertumbuhan
ikan dilakukan dengan menggunakan FiSAT II. Program
ELEFAN adalah modul dalam program FiSAT yang
menggunakan data frekuensi panjang. Persamaan yang
digunakan oleh ELEFAN adalah rumus Von Bertalanffy
Growth Function (Sparre & Venema, 1999). Sedangkan
total mortalitas (Z) didapatkan dengan menggunakan
persamaan Beverton and Holt (Gayanilo et al., 2005).
Untuk koefisien mortalitas alami (M) menggunakan
persamaan empiris Pauly (1980) dalam Sparre & Venema
(1999), di mana:
Log (M)=-0,0066-0,279 Log (L∞)+0,654 Log (K)+0,4634 Log (T) .. (3
di mana:
M = mortalitas alami
L∞ = panjang asimtotik
K = percepatan pertumbuhan
T = suhu rata-rata perairan
Mortalitas penangkapan (F) didapatkan dari
pengurangan total mortalitas terhadap mortalitas alami, dan
upaya penangkapan (E) didapatkan dari pembagian
mortalitas penangkapan dengan total mortaliltas (Gayanilo
et al., 2005). Rasio penangkapan akan mencapai optimal
jika E=0,50, yang artinya hasil tangkapan terhadap suatu
populasi atau suatu stok ikan akan mencapai tangkapan
yang lestari (maximum sustainable yield) jika mortalitas
penangkapan sebesar mortalitas alami (F=M) (Gulland,
1971 dalam Wouthuyzen et al., 1984).
HASIL DAN BAHASAN
Contoh ikan bawal air tawar yang didapatkan di Waduk
Cirata merupakan salah satu jenis ikan dari famili
Characidae dan satu-satunya spesies dari genus Colossoma.
Ikan ini dapat berumur panjang (dapat mencapai 15 tahun)
dan memiliki perilaku migrasi musiman yang kompleks,
baik dari segi reproduksi maupun kebiasaan makan
(Nozawa et al., 2008).
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
Ikan bawal air tawar bersifat soliter dan merupakan ikan
omnivor yang mengkonsumsi zooplankton, insekta, siput,
dan tumbuh-tumbuhan yang telah hancur. Ikan ini dapat
hidup dalam perairan yang miskin mineral dan juga tahan
terhadap penyakit (Anonimus, 2010).
Total tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi
didapatkan pada bulan Juni, baik pada tahun 2008 maupun
2009. Total ikan bawal air tawar yang diperoleh pada
penelitian ini berjumlah 434 ekor dengan panjang antara
10-28 cm dan bobot 18-380 g. Ikan bawal air tawar yang
ditemukan di Waduk Cirata ditampilkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ikan bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata.
Figure 2. Bawal freshwater found at Cirata Reservoir.
Hubungan Panjang, Bobot, dan Faktor Kondisi
Hasil analisis hubungan panjang dan bobot dari ikan
bawal air tawar di Waduk Cirata dihasilkan persamaan
W=0,0407L2,7323
(r2=0,8536) dengan nilai b=2,7323.
Setelah dilakukan uji t, nilai t hitung (thitung=131,16) lebih
besar dari t table (ttabel=1.965) dengan tingkat kepercayaan
95% yang artinya peningkatan pertambahan bobot tidak
sebanding dengan pertambahan panjangnya (≠3).
Berdasarkan atas perhitungan tersebut dapat
diindikasikan bahwa ikan bawal air tawar di Waduk Cirata
mempunyai pola pertumbuhan alometrik negatif dengan b
lebih kecil dari 3 (b=2,73) yang menunjukan pertumbuhan
bobot dari ikan ini tidak secepat pertambahan panjangnya
(Gambar 3). Pola pertumbuhan ikan bawal air tawar di
Waduk Cirata juga sama dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Villacorta-Correa & Saint-Paul (1999) yang
memiliki pola pertumbuhan alometrik dengan b=2,904.
y = 0.0407x2.7323
R2 = 0.8536
0
50
100
150
200
250
300
350
400
0 5 10 15 20 25 30
Panjang Total (cm)
Berat
(gram
)
Gambar 3. Hubungan panjang dan bobot ikan bawal air tawar.
Figure 3. Length and weigth relationship of bawal freshwater.
Nilai rata-rata faktor kondisi dari ikan bawal air tawar
yang ditemukan di Waduk Cirata 1,07. Faktor kondisi (k)
dari ikan bawal air tawar di Waduk Cirata tidak jauh
berbeda dengan yang ditemukan di Amazon, Brazil yaitu
W=0,0407L2,7323
R2=0,8536
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
berkisar antara 0,9-1,08 (Villacorta-Corea & Saint-Paul,
1999). Faktor kondisi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata
tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan terendah pada
bulan Juni. Jika dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan di Amazon diketahui bahwa faktor kondisi
berfluktuasi setiap bulannya, di mana nilai rata-rata
terendah ditemukan pada bulan Agustus dan Oktober ketika
akhir musim kemarau dan turunnya muka air, kemudian
saat air naik terjadi kenaikan nilai rata-rata faktor kondisi
dari ikan bawal ini. Gambar 4 menunjukan perbandingan
fluktuasi faktor kondisi (k) ikan bawal air tawar di Amazon
dan Waduk Cirata. Perbedaan faktor kondisi menurut
Olurin & Aderibigbe (2006) dipengaruhi oleh jenis
kelamin, musim, kondisi lingkungan, stress, dan
ketersediaan makanan.
(a)
0.85
0.9
0.95
1
1.05
1.1
1.15
April
Juni
Agustu
s
Okto
ber
Desem
ber
April
Juni
Agustu
s
(b)
Gambar 4. Perbandingan fluktuasi nilai rata-rata faktor kondisi ikan bawal air tawar (a) Amazon, Brazil (Villacorta-
Corea & Saint Paul, 1999) dan (b) Waduk Cirata.
Figure 4. Comparison of fluctuations in average condition factor of fish, bawal freshwater (a) Amazon, Brazil
(Villacorta-Corea & Saint Paul, 1999) and (b) Reservoir Cirata.
Pendugaan Parameter Pertumbuhan
Panjang total maksimum ikan bawal air tawar di Waduk
Cirata 28 cm. Diduga ikan bawal air tawar yang tertangkap
di Waduk Cirata selama pengamatan bukan ikan dewasa
karena jika dibandingkan dengan pendugaan laju
pertumbuhan dari ikan bawal air tawar di habitat aslinya,
perairan Amazon, Brazil, panjang asimtotik ikan ini dapat
mencapai lebih dari 1 m (Tabel 1). Panjang maksimum ini
tentu jauh berbeda dengan estimasi panjang asimtotik ikan
bawal air tawar yang ditemukan di Waduk Cirata.
Perbedaan karakteristik lingkungan diduga menjadi faktor
utama kecilnya ukuran ikan bawal air tawar yang
ditemukan di Waduk Cirata. Menurut Tjahjo et al. (2009),
limbah organik di Waduk Cirata mencapai 338.462,6
ton/tahun yang berasal dari kegiatan budi daya. Tingginya
beban bahan organik di suatu perairan akan mempengaruhi
pertumbuhan dari biota yang hidup di perairan tersebut. Hal
ini dikarenakan tingginya bahan organik akan mengganggu
proses fotosintesis yang menghasilkan oksigen yang
digunakan untuk respirasi biota air sehingga akhirnya
secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan
dari biota air tersebut dalam hal ini adalah ikan bawal air
tawar.
Beberapa Parameter Populasi Ikan ….. Waduk Cirata, Jawa Barat (Putri, M.R.A & D.W.H. Tjahjo)
Tabel 1. Panjang asimtotik (L∞) beberapa penelitian dari ikan bawal air tawar
Table 1. Asymptotic length (L∞), several studies of bawal freshwater
Penulis/Author Lokasi/Location L∞ (cm) k (tahun/year)
Petrere (1983) Brazil 107,3 0,23
Isaac & Ruffino (1996) dalam Penna et al. (2005) Brazil 119,85 0,23
Villacorta-Correa & Saint Paul (1999)-otolith Brazil 92,316 0,16
Costa (1998) dalam Penna et al. (2005) 107,4 0,156
Penna et al. (2005)-otholith Brazil 100,39 0,137
Penna et al. (2005)-scales Brazil 85,125 0,225
Dengan mengasumsikan L∞=29,40 cm maka nilai K dari
ikan bawal air tawar di Waduk Cirata 0,19 pertahun dengan
t0=0,89 tahun. Nilai K sendiri menentukan seberapa cepat
ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K
yang tinggi pada umumnya memiliki umur yang relatif
pendek (Pauly, 1980 dalam OTS Ongkers, 2008). Nilai k
yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian dari
Petrere (1983); Villacorta-Correa & Saint Paul (1999);
Penna et al. (2005) yang masing-masing percepatan
pertumbuhannya 0,23; 0,16; dan 0,13. Nozawa et al. (2008)
bahwa ikan ini dapat berumur panjang sampai berumur 15
tahun sangat mungkin terjadi jika melihat nilai k yang tidak
tinggi. Gambar 5 menampilkan grafik Von Bertalanffy
Growth Function dari ikan bawal air tawar.
Gambar 5. Grafik Von Bertalanffy Growth Function dari ikan bawal air tawar.
Figure 5. Graph Von Bertalanffy Growth Function of bawal freshwater.
Ikan bawal yang tertangkap di Waduk Cirata diduga
merupakan ikan yang terlepas dari kolam budi daya. Ikan
ini tidak melakukan reproduksi secara alami sehingga
pendugaan pola rekruitment (masuknya kohort baru ke
dalam suatu perairan) tidak dapat dilakukan. Menurut
Frimodt (1995) dalam Anonimus (2010), ikan bawal air
tawar dijadikan sebagai ikan budi daya karena ikan ini
dapat hidup dalam perairan yang miskin mineral serta tahan
terhadap berbagai macam penyakit yang sering menyerang
ikan.
Mortalitas
Total mortalitas (Z) dari ikan bawal air tawar yang
ditemukan di Waduk Cirata 0,82 per tahun (selang
kepercayaan Z antara 0,65-0,99). Rata-rata suhu tahunan di
Waduk Cirata 28,8°C, maka jika dimasukan dalam
persamaan empiris Pauly (1980) didapatkan mortalitas
alami (M) dari ikan ini 0,614 per tahun.
Mortalitas penangkapan yang didapatkan dari F=Z-M
adalah 0,206 per tahun dengan rasio eksploitasi yang
diperoleh 0,25 per tahun. Menurut Gulland (1971) dalam
Wouthuyzen et al. (1984), suatu stok ikan akan mencapai
tangkapan maksimum yang lestari (maximum sustainable
yield) jika mortalitas penangkapan sebesar mortalitas alami,
sehingga rasio eksploitasi akan mencapai optimal jika
Eopt=0,5. Dari nilai tersebut dapat dikatakan belum terjadi
lebih tangkap (over fishing) terhadap ikan bawal air tawar
di Waduk Cirata. Walaupun begitu, pemakaian jaring
dengan ukuran mata jaring yang kecil (tidak selektif)
diharapkan dapat dikendalikan sehingga ikan-ikan yang
kecil dapat tumbuh menjadi lebih besar. Kondisi ini
tentunya dapat menguntungkan nelayan karena ikan dengan
ukuran yang lebih besar tentunya memiliki harga yang lebih
mahal dibandingkan ikan yang berupa anakan.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
KESIMPULAN
1. Tangkapan ikan bawal air tawar tertinggi terjadi pada
bulan Juni.
2. Persamaan dari hubungan panjang dan bobot dari ikan
bawal air tawar adalah W=0,0407L2,7323
(r2=0,8536)
dengan faktor kondisi 1,07.
3. Hasil pendugaan parameter pertumbuhan ikan bawal air
tawar di Waduk Cirata didapatkan L∞=29,4 cm, K=0,19
per tahun, dan t0=0,89 tahun.
4. Nilai total mortalitas ikan bawal air tawar adalah 0,82
per tahun dengan mortalitas alami dan mortalitas
penangkapan masing-masing 0,614 dan 0,206 per tahun.
5. Rasio eksploitasi ikan bawal air tawar di Waduk Cirata
belum mencapai over fishing dengan rasio eksploitasi
0,25 per tahun.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset biolimnologi dan hidrologi waduk kaskade Sungai
Citarum, Jawa Barat, T. A. 2008, di Balai Riset Pemulihan
Sumber Daya Ikan-Jatiluhur, Purwakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2009. Ikan Hias: Kenali tentang Ikan Bawal Air
Tawar. Download dari http://acan-on-
skyes.blogspot.com/search/label/ikan%20hias. Tanggal
12 Maret 2010.
Anonimus. 2010. Colossoma macropomum (Cuvier, 1816). http://fishbase.org/Summary/speciesSummary.php?ID=
263&genusname=Colossoma&speciesname=macropom
um&lang=English Download 12 Maret 2010.
Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Utama.Yogyakarta.
Gayanilo, F., C. P. Sparre, & D. Pauly. 2005. Food and
Agriculture Organization-ICLARM Stock Assessment
Tools II Revised Version: User’s Guide. Food and
Agriculture Organization of the United Nations.
Download dari
ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/009/y5997e/y5997e07.pdf
28 Juli 2009.
Hakim, L. L. 2009. Upaya Forum Lingkar Kampus
Kembangbiakan Ikan Bawal (2-habis): Mudah
Dibudidayakan, Punya Nilai Ekonomi Tinggi.
Didownload dari http://www.radar-bogor.co.id. Tanggal
12 Maret 2010.
Nozawa, S. R., F. M. Casanova, M. S. Ferreira-Nozawa, R.
T. Honda, P. H. R. Aride, A. L. Val, & V. M. F
Almeida-Val. 2008. Identification and characterization
of genes in amazonian tambaqui (Colossoma
macropomum) exposed to copper and cadmium. The
proceedings of the 5th
World Fisheries Congress. Japan.
Olurin, K. B. & O. A. Aderibigbe. 2006. Length and weight
relationship and condition factor of pond reared juvenile
Oreochromis niloticus. World Journal of Zoology. 1 (2):
82-85.
OTS Ongkers. 2008. Parameter populasi ikan teri putih
(Stolephorus indicus) di Teluk Ambon bagian dalam.
Jurnal ikhtiologi Indonesia. 8 (2): 85-92.
Pauly, D. 1980. On the interrelationships between natural
mortality, growth parameters, and mean environmental
temperature in 175 fish stocks. J. Cons. CIEM. 39 (2):
175-192.
Petrere, M. 1983. Yield per recruit of the tambaqui,
Colossoma macropomum cuvier, in the Amazonas State,
Brazil. Journal of Fish Biology. 22: 133-144.
Penna, M. A. H., M. A. Villacorta-Corrêa, T. Walter, & M.
Petrere-Jr. 2005. Growth of the tambaqui Colossoma
macropomum (Cuvier) (Characiformes: Characidae):
Which is the best model?. Brazilian Journal Biology. 65
(1): 129-139.
Sparre, P. & S. C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian
Ikan Tropis. Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. Jakarta. 438 pp.
Tjahjo, D. W. H., S. E. Purnamaningtyas, M. R. A. Putri, &
D. I. Kusumaningtyas. 2009. Laporan Tahunan
Kegiatan Biolimnologi dan Hidrologi Waduk Kaskade
Sungai Citarum, Jawa Barat Tahun 2008. Loka Riset
Pemacuan Stok Ikan Jatiluhur. Tidak Dipublikasikan.
Villacorta-Corrêa, M. A. & U. Saint-Paul. 1999. Structural
index and sexual maturity of tambaqui Colossoma
macropomum (Cuvier, 1818) (Characiformes:
Characidae) in Central Amazon, Brazil. Rev. Bras. Biol.
59: 637-652.
Wouthuyzen, S., A. Suwartana, & O. K. Sumadhiharga.
1984. Studi tentang populasi ikan kuri merah,
Stolephorus heterolobus (ruppel) dan kaitannya dengan
perikanan umpan di Teluk Ambon bagian dalam.
Oseanologi di Indonesia. 18: 1-20.
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DI SITU PANJALU,
KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT
Andri Warsa dan Kunto Purnomo Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta
Teregistrasi I tanggal: 17 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 31 Desember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011
ABSTRAK
Situ Panjalu merupakan badan air yang secara administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat dengan luas 45
ha. Produktivitas primer adalah laju produksi karbon organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik yang
merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui
fotosintesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu. Penelitian
di lakukan pada bulan Agustus 2010. Pengukuran produktivitas primer fitoplankton horisontal dilakukan pada tiga stasiun
penelitian yaitu Kampung Duku, Banjar Waru, dan Simpar sedangkan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan)
dan 2 m dengan metode botol gelap dan terang. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Situ Panjalu merupakan perairan
yang subur (eutrofik dan hipertrofik) dengan nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi masing-masing
berkisar antara 47,1-207,8; 2,2-193,8; dan 9,4-173,3 mgC/m3/jam. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006-
437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae, genera
Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera Peridinium dari kelas Dinophyceae.
KATA KUNCI: produktivitas primer, fitplankton, status tropik, Situ Panjalu
ABSTRACT: The primary productivity of phytoplankton at Panjalu Pond, Ciamis Regency, West Java Province.
By: Andri Warsa and Kunto purnomo
Panjalu Pond located at Ciamis Regency, West Java Province with area is 45 ha. Primary productivity represents the
synthesis of organic matter of aquatic system. The aim of this research to know primary productivity of phytoplankton at
Panjalu Pond. This research was done in August 2010 at 3 stations include Kampung Duku, Banjar Waru, and Simpar.
Sampling site was at 2 in depth that were surface (0.5 m) and 2 m. Sampling method was done with dark light bottle
method. Result of the research showed that Panjalu Pond was eutrophic and hypereutrophic level with gross primary
productivity, net primary productivity, and respiration respectively range from 47.1-207.8; 2.2-193.8; and 9.4-173.3
mgC/m3/h. Abundance of phytoplankton range from 1,006-437,610 ind./L with dominant genera Closterium from class
Chlorophyceae, genera Oscillatoria from class Cyanophycea, and genera Peridinium from class Dinophyceae.
KEYWORDS: primary productivity, phytoplankton, trophic level, Panjalu Pond
PENDAHULUAN
Produktivitas primer adalah laju produksi karbon
organik per satuan waktu pada suatu ekosistem akuatik
yang merupakan hasil penangkapan energi matahari oleh
tumbuhan hijau untuk diubah menjadi energi kimia melalui
fotosintesis (Jorgensen, 1980; Odum, 1995). Proses tersebut
tergantung pada faktor biotik dan abiotik misalnya cahaya,
subtrat anorganik (CO2 dan H2S), serta nutrien anorganik
(N, P, dan Si) (Noges & Kangro, 2005). Produktivitas
primer, biomassa fitoplankton dan kandungan klorofil-a
merupakan tiga komponen yang dapat menjelaskan
karakteristik fitoplankton di perairan lentik (Hasan, 2008).
Situ Panjalu merupakan badan air yang secara
administratif terdapat di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Situ ini memiliki luas 45 ha yang merupakan sumber mata
pencaharian bagi penduduk sekitar yang berprofesi sebagai
nelayan. Badan air tersebut memiliki keragaman jenis ikan
yang tinggi dengan jenis-jenis ikan antara lain ikan
beunteur (Puntius binotatus), oskar (Amphilopus
citrinellus), keril (Aequidens rivulatus), goldsom
(Aequidens goldsom), patin (Pangasianodon
hypophthalmus), nila (Oreochromus niloticus), betok
(Anabas testudineus), nilem (Osteochilus hasselti), dan lele
(Clarias batrachus). Beberapa jenis ikan tersebut dapat
memanfaatkan fitoplankton sebagai pakan alaminya antara
lain ikan patin, nila, dan beunteur (Purnomo et al., 2009).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
produktivitas primer fitoplanton di Situ Panjalu.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi
Penelitian di lakukan di Situ Panjalu, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat pada bulan Agustus 2010. Pengukuran
produktivitas primer fitoplankton secara horisontal
dilakukan pada tiga stasiun penelitian (Gambar 1 dan Tabel
1). dan secara vertikal pada kedalaman 0,5 m (permukaan)
dan 2 m.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Figure 1. Research locations.
Tabel 1. Karakteristik stasiun penelitian di Situ Panjalu
Tabel 1. Characteristic of research stations at Panjalu Pond
Lokasi/
Locations
Posisi geografi/
Geography positions Kondisi lingkungan/Environmental conditions
Kampung Dukuh S=07°07’31,68”
E=108°16’19,98”
Daerah sekitar merupakan tanah gundul, banyak aktivitas
penangkapan, dan dekat dengan pemukiman penduduk.
Banjar Waru S=07°07’42,30”
E=108°16’25,92”
Lokasi lebih ke tengah badan air, tidak terdapat tumbuhan air, dan
aktivitas penangkapan sedikit.
Simpar S=07°07’42,96”
E=108°16’6,30”
Dekat lokasi pariwisata, transportasi air padat, dan banyak tumbuhan
tingkat tinggi.
Cara Kerja
Salah satu alternatif yang digunakan untuk menghitung
produktivitas primer perairan adalah dengan menghitung
besarnya perubahan oksigen dalam suatu medium, karena
oksigen merupakan zat yang dilepaskan dalam proses
fotosintesis dan digunakan untuk penguraian hasil
fotosintesis dalam respirasi (Pitoyo & Wiryanto, 2002).
Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan
menggunakan metode oksigen (botol gelap dan terang atau
dark and light bottle). Contoh air diambil pada kedalaman
0,5 dan 2 m dengan menggunakan kemmerer water sampler
bervolume 5 L. Air contoh yang diperoleh kemudian
dimasukan ke dalam botol gelap dan terang dan diinkubasi
selama 4 jam sesuai dengan kedalaman pengambilan contoh
yaitu 0,5 dan 2 m. Perhitungan produktivitas primer
fitoplankton berdasarkan atas botol gelap dan terang (dark
and light bottles) menggunakan rumus dari Wetzel &
Likens (2000), sebagai berikut:
t
BG)(BT −
xPQ
1.000x0,375
...................................... (1
1 t
BA)(BT −
xPQ
1.000x0,375
............................... (2
t
0,37510.00xRQBG)x(BA −
............................ (3
di mana:
GPP = produktivitas primer kotor (mg C/m3/Jam)
NPP = produktivitas primer bersih (mg C/m3/Jam)
R = resiprasi (mg C/m3/Jam)
BA = konsentrasi okasigen terlarut awal (mg/L)
BT = konsentrasi okasigen terlarut dalam botol
terang (mg/L)
BG = konsentrasi okasigen terlarut dalam botol gelap
(mg/L)
t = lamanya waktu inkubasi (jam)
0,375 = faktor konversi dari oksigen terlarut ke karbon
PQ = 1,2
RQ = 1,0
Pengukuran beberapa parameter kualitas air dilakukan
baik langsung di lapangan (insitu) maupun di laboratorium.
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Analisis parameter kualitas air berdasarkan atas metode
American Public Health Association (2005). Metode atau
alat yang digunakan di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter lingkungan dan metode atau alat yang digunakan
Table 2. Environmental parameters and method or equipment used
Parameter/Parameters Satuan/Unit Metode/Methods
Fisika/Physical parameters
1. Kecerahan/Transparency cm Secchi disk
2. Suhu/Temperature oC Termometer
Kimia/Chemical parameters
1. pH pH indicator solution 4-10
2. N-NO3 mg/L Brucine sulfat/Spektrofotometri
3. N-NO2 mg/L Naftilamine/Spektrofotometri
4. N-NH4 mg/L Nessler/Spektrofotomettri
5. P-PO4 mg/L SnCl2/Spektrofotometri
Analisis kandungan klorofil-a dilakukan dengan
menggunakan metode trichromatik (determinasi
spektrofotometrik klorofil-a, b, dan c). Contoh air dengan
volume 250 mL kemudian disaring dengan menggunakan
kertas saring wahtman dengan diameter pori 0,45 µm yang
sebelumnya telah diawetkan terlebih dahulu dengan larutan
MgCO3 sebanyak 1 mL. Kertas saring kemudian diekstrasi
dengan menggunakan aseton 90% setelah itu disentrifuse
selama 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm. Perhitungan
klorofil-a mengikuti persamaan American Public Health
Association (2005) sebagai berikut:
Ca=11,85(OD664)-1,54(OD647)-0,08 (OD630)
Klorofil-a (mg chlorofil-a/m3)= .... (4
di mana:
Ca = konsentrasi klorofil-a
dalam ekstrak (mg/L)
Volume ekstrak = volume contoh setelah
dilarutkan dalam aseton
(L)
Volume contoh = volume air yang disaring
(m3)
d = diameter atau celah kuvet
yang digunakan (1 cm)
OD664 ,OD647, OD630 = absorban yang diperiksa
(celah cahaya 1 cm) pada
setiap panjang
gelombang (664, 647,
dan 630 nm) setelah
dikurangi dengan
absorban pada panjang
gelombang 750 nm.
Contoh plankton diperoleh dengan menyaring contoh air
5 L menggunakan plankton net dengan mesh size 40 µm
dan dimasukan ke dalam botol bervolume 25 mL. Contoh
kemudian diawetkan dengan larutan lugol 1% dan diberi
label. Jenis dan kelimpahan fitoplankton diidentifikasi di
bawah miskroskop Olympus dengan pembesaran 10 kali.
Identifikasi fitoplankton berdasarkan atas Edmonson
(1959); Needham & Needham (1963). Penentuan
kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan
metode lackey drop microtransect counting chamber
(American Public Health Association, 2005) dengan
persamaan sebagai berikut:
N=nxA/BxC/Dx1/E .............................................. (5
di mana:
N = jumlah total fitoplankton (ind./L)
n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang
(ind./lapang pandang)
A = luas gelap penutup (mm2)
B = luas satu lapang pandang (mm2)
C = volume air terkonsentrasi (mL)
D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup
E = volume air yang disaring (L)
Penentuan status kesuburan Situ Panjalu menggunakan
trophic state index Carlson (Carlson, 1977) berdasarkan
atas parameter kecerahan (SD) dan klorofil-a (CHL) dengan
rumus sebagai berikut:
................................................. (6
............................. (7
............................................ (8
Nilai trophic state index yang dihitung berdasarkan atas
parameter kecerahan dan klorofil-a kemudian dibandingkan
dengan kategori status kesuburan perairan berdasarkan atas
Carlson (1977) (Gambar 2).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Klasifikasi kesuburan perairan berdasarkan atas indeks Carlson.
Figure 2. Trophic level classification based on Carlson index.
Untuk memperkuat status kesuburan perairan di Situ
Panjalu, maka digunakan juga kriteria kesuburan perairan
menurut Linkens (1975) dalam Jorgensen (1980) (Tabel 3).
Tabel 3. Klasifikasi status trofik menurut Likens (1975) dalam Jorgensen (1980)
Table 3. Trophic status classification according Likens (1975) in Jorgensen (1980)
Status trofik/Trophic status Klorofil-a/Chlorophyll-a (mg/m3) Kecerahan/Transparency (m)
Oligotrofik/Oligotrophic <2,5 >6
Mesotrofik/Mesotrophic 2,5-8 6-3
Eutrofik/Eutrophic 8-25 3-1,5
Hypereutrofik/Hypereutrophic >25 <1,5
Untuk mengetahui pengaruh nutrien N dan P terhadap
produktivitas primer, dilakukan analisis dengan
menggunakan regresi linier berganda menggunakan
bantuan program Minitab Versi 15. Persamaan yang
digunakan yaitu:
Y=a+bx+ ...+ nx .......................................................... (9
di mana:
Y = variabel bergantung (produktivitas primer)
x = variabel bebas (N-NH4, N-NO2, N-NO3, dan P-
PO4)
a,b,n = konstanta
HASIL DAN BAHASAN
Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di
Situ Panjalu disajikan pada Tabel 4. Konsentrasi nitrat dan
ammonium di Situ Panjalu masing-masing berkisar 0,063-
0,322 mg/L dengan rata-rata 0,32 mg/L dan 0,254-0,388
mg/L dengan rata-rata 0,322 mg/L. Konsentrasi ammonium
tertinggi terdapat di Stasiun Kampung Dukuh pada
permukaan dan terendah terdapat di Stasiun Banjar Waru
pada dasar perairan. Konsentrasi nitrat tertinggi terdapat
pada lokasi penelitian Simpar pada permukaan. Konsentrasi
amonium yang tinggi di Stasiun Kampung Dukuh dan nitrat
di Simpar kemungkinan berasal dari limbah domestik
karena kedua lokasi tersebut dekat dengan pemukimam
penduduk dan merupakan lokasi wisata. Konsentrasi
ammonium dan nitrat membentuk kesetimbangan di mana
nitrat dapat berasal dari oksidasi ammonium dengan
bantuan oksigen terlarut (Effendie, 2003).
Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu berkisar 0,017-
0,030 mg/L dengan rata-rata 0,022 mg/L dan pada
umumnya tinggi di dasar perairan. Tingginya konsentrasi
orthofosfat di dasar perairan kemungkinan dikarenakan
lepasnya ikatan fosfor dari sedimen pada kondisi anaerob
(Ji, 2008). Konsentrasi orthofosfat tertinggi terdapat di
stasiun pengamatan Simpar. Sumber utama nutrien fosfor di
Simpar kemungkinan berasal dari dekomposisi bahan
organik baik dari seresah tumbuhan dan limpasan
catchment area. Daerah sekitar Situ Panjalu berupa daerah
pemukiman penduduk, lahan pertanian, dan di tengah-
tengah perairan terdapat pulau yang banyak ditumbuhi
tanaman yang dapat menjadi sumber seresah tanaman.
Konsentrasi orthofosfat yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,9-3,5 mg/L dan 0,09-
1,8 mg/L (Mackentum, 1969 dalam Yuliana & Thamrin,
2006). Konsentrasi orthofosfat di Situ Panjalu secara umum
dapat mendukung kehidupan fitoplankton.
Kisaran suhu air di Situ Panjalu 27-29°C dengan rata-
rata 28°C. Fitoplankton dapat tumbuh optimal pada kisaran
suhu air antara 28-32°C (Ray & Rao dalam Pratiwi et al.,
2000), sehingga suhu air di Situ Panjalu dapat mendukung
kehidupan fitoplankton. Di daerah perairan yang hangat
laju fotosintesis pada umumnya cukup tinggi (Widodo &
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Suadi, 2006). Kecerahan di Situ Panjalu berkisar antara 80-
90 cm. Menurut Siagian (2004) mengatakan bahwa
kecerahan yang produktif berkisar 20-60 cm di mana proses
fotosintesis dapat berlangsung dengan baik.
Kandungan klorofil-a di Situ Panjalu berkisar 47,7-87,3
mg/m3 dengan rata-rata 71,367 mg/m3 dan tertinggi terdapat
di Stasiun Simpar. Hal ini diduga karena memiliki
kelimpahan fitoplankton di Stasiun Simpar juga lebih tinggi
dibandingkan dengan lokasi lainnya. Beberapa genera
fitoplankton yang terdapat di Situ Panjalu (Tabel 6) yaitu
Microcystis dan Oscilatoria mempuyai kandungan klorofil-
a masing-masing 1,12 dan 0,84% dari bobot keringnya
(Reynold, 1984) atau untuk Mycrocystis dan Anabaena
masing-masing memiliki konsentrasi klorofil-a 32 dan 45
pg/sel (Reynold, 2006).
Berdasarkan atas parameter kecerahan dan klorofil-a
perairan Situ Panjalu masuk ke dalam kategori
hypereutrofik seperti klasifikasi pada Tabel 3. Nilai indeks
status trofik yang dihitung berdasarkan atas indeks
Carlson’s perairan Situ Panjalu juga masuk ke dalam
kategori eutrofik dan hypereutrofik dengan nilai trophic
state index 61,5. Status trofik ini juga diperkuat dengan
adanya dominansi fitoplankton dari kelas Cyanophyceae
dan Clorophyceae (Tabel 5) yang menandakan perairan
tersebut bersifat eutrofik (Jorgensen, 1980). Kehadiran
jenis-jenis dari golongan Cyanophyceae terutama dalam
bentuk koloni misalnya Microcystis dan Oscilatoria
memberi gambaran perairan yang eutrofik ke hipertrofik
dan kondisi eutrofikasi yang parah dapat menyebabkan
terjadinya blooming alga pengganggu (Wetzel, 2001;
Manage et al., 1999 dalam Hartoto, 2004).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Tabel 4. Beberapa parameter lingkungan di Situ Panjalu
Table 4. Environmental parameters at Panjalu Pond
Stasiun/
Stations
Kedalaman/
Depth
(m)
Suhu air/
Water temperature
(°C)
Kecerahan/
Transparency
(cm)
pH/
pH
Nitrit/
Nitrite
(mg/L)
Nitrat/
Nitrate
(mg/L)
Amonium/
Ammonium
(mg/L)
Ortofosfat
Orthophosphate
(mg/L)
Klorofil-a/
Chlorophyl-a
(mg/m3)
Simpar 0 28,6 90 7,0 0,011 0,340 0,331 0,023 83,9
2 27,5 7,0 0,013 0,092 0,366 0,030 79,7
Banjar Waru 0 27,4 80 7,0 0,015 0,086 0,289 0,018 87,5
2 27,1 7,0 0,013 0,083 0,254 0,025 47,7
Kampung Dukuh 0 28,8 80 7,5 0,010 0,074 0,388 0,018 70,7
2 27,5 7,0 0,011 0,063 0,303 0,017 58,7
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Pada ekosistem akuatik tergenang sebagian besar
produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton (Wetzel,
1983). Spesies fitoplankton memberikan kontribusi sekitar
95% dari produktivitas primer di perairan (Nielson, 1975
dalam Valiela, 1995). Biomassa fitoplankton yang
berukuran lebih kecil akan mempunyai biomassa yang lebih
besar jika dibandingkan dengan fitoplankton yang
berukuran lebih besar. Pada daerah tropis picoplankton
menyusun 39-63% dari total klorofil-a sedangkan
nanoplankton dan microplankton masing-masing hanya 27-
42% dan 9-16% (Pena et al., 1990). Cyanophyceae adalah
kelas fitoplankton yang termasuk ke dalam kelompok
picoplankton (ultrananoplankton) yang mempunyai ukuran
<2 µm (Dussart, 1965 dalam Basmi, 2000). Ukuran sel
fitoplankton yang lebih kecil dapat menggunakan nutrin
lebih cepat dibandingkan dengan fitoplankton yang
mempunyai sel yang berukuran lebih besar di badan air
yang tidak terlalu subur (Valiela, 1995). Kelimpahan
fitoplankton di Situ Panjalu disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kelimpahan fitoplankton di Situ Panjalu
Table 5. Phytoplankton abundance at Situ Panjalu
No. Kelas/Genus/
Class/Genus
Simpar Dukuh Banjar Waru
0 m % 2 m % 0 m % 2 m % 0 m % 2 M %
A. Clorophyceae 498.976 67,4 462.760 68,6 342.040 65,6 338.016 66,9 269.608 65,8 164.984 62,4
1. Ankistrodesmus 1.006 0,1 1.006 0,2
2. Aphanocapsa 1.006 0,1 2.012 0,3 2.012 0,4
3. Arthrodesmus 2.012 0,3
4. Chlorella 10.060 1,4 12.072 1,8 20.120 3,9 12.072 2,4 11.066 2,7 5.030 1,9
5. Chrococcus 3.018 0,4 8.048 1,2 1.006 0,2 11.066 2,7
6. Chodatella
7. Coelastrum 1.006 0,1
8. Closterium 418.496 56,5 379.262 56,2 269.608 51,7 279.668 55,4 223.332 54,5 146.876 55,5
9. Cosmarium 24.144 3,3 21.126 3,1 11.066 2,1 14.084 2,8 6.036 1,5 1.006 0,4 10. Crucigenia 4.024 0,5 1.006 0,2 5.030 1,0 1.006 0,4
11. Dictyosphaerium 1.006 0,1
12. Pandorina 2.012 0,3 13. Pediastrum 2.012 0,3 3.018 0,4 1.006 0,2 1.006 0,2 1.006 0,2
14. Radiococcus 1.006 0,2
15. Raphidiosis 1.006 0,2 1.006 0,2
16. Scenedesmus 3.018 0,4 2.012 0,3 4.024 0,8 4.024 0,8 1.006 0,2 1.006 0,4
17. Staurastrum 25.150 3,4 28.168 4,2 28.168 5,4 18.108 3,6 14.084 3,4 10.060 3,8 18. Tetraedron 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2
19. Ulothrix 3.018 0,4 4.024 0,6 1.006 0,2 2.012 0,4
20. Xanthidium 0,0 1.006 0,2
B. Cyanophyceae 182.086 24,6 156.936 23,2 119.714 23,0 115.690 22,9 103.618 25,3 75.450 28,5
21. Lyngbya 1.006 0,2
22. Microcystis 24.144 3,3 13.078 1,9 4.024 0,8 14.084 2,8 5.030 1,2 10.060 3,8
23. Oscilatoria 157.942 21,3 143.858 21,3 114.684 22,0 101.606 20,1 98.588 24,1 65.390 24,7
C. Bacillariophyceae 4.024 0,5 2.012 0,3 1.006 0,2 2.012 0,4 3.018 0,7 2.012 0,8
24. Asterionella 1.006 0,2 25. Cyclotella 1.006 0,2
26. Navicula 2.012 0,3 1.006 0,2 2.012 0,5
27. Nitzschia 1.006 0,4 28. Pinnularia 2.012 0,3 1.006 0,4
29. Synedra 1.006 0,1 1.006 0,2
30. Surirella 1.006 0,1
D. Dinophyceae 54.324 7,3 52.312 7,7 57.342 11,0 48.288 9,6 33.198 8,1 22.132 8,4
31. Ceratium 1.006 0,1 1.006 0,2
32. Peridinium 54.324 7,3 51.306 7,6 57.342 11,0 47.282 9,4 33.198 8,1 22.132 8,4
E. Euglenophyceae 1.006 0,1 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2
33. Phacus 1.006 0,1
34. Trachelomonas 1.006 0,1 1.006 0,2 1.006 0,2
Jumlah Total 740.416 675.026 521.108 505.012 409.442 264.578
Jumlah Genera 24 22 23 21 17 14
Di Situ Panjalu ditemukan lima kelas fitoplankton yaitu
Chlorophyceae (20 genera), Cyanophyceae (tiga genera),
Bacillariophyceae (tujuh genera), Dinophyceaea (dua
genera), dan Euglenaphyceae (dua genera). Kelimpahan
individu fitoplankton yang ditemukan di Situ Panjalu
berkisar 1.006-437.610 ind./L. Kelimpahan fitoplankton
tertinggi terdapat di Stasiun Simpar dan terendah terdapat
di Banjar Waru. Hal ini diduga karena konsentrasi
ortofosfat, nitrat, amonium, serta kecerahan di Stasiun
Simpar yang lebih tinggi dibandingkan dua stasiun lainnya.
Chlorophyceae dan Cyanophyceae merupakan kelas
fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu dengan
kelimpahan kelas masing-masing berkisar antara 164.984-
462.760 ind./L dan 75.450-182.086 ind./L (Tabel 6).
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Genera fitoplankton yang banyak ditemukan di Situ Panjalu
adalah Closterium, Oscillatoria, dan Peridinium. Genera
yang sama juga ditemukan di Danau Limboto yang
merupakan danau yang subur (eutrofik) (Krismono et al.,
2009). Genera Closteriun sangat umum ditemukan pada
danau eutrofik dan mesotrofik dengan kelimpahan yang
tinggi (Gonulol et al., 1993 dalam Naz & Turkmen, 2005).
Oscillatoria membutuhkan suhu air 28°C dan 30°C untuk
pertumbuhan optimalnya (Whitton, 1973) dan suhu di Situ
Panjalu berada pada kisaran tersebut sehingga mendukung
pertumbuhan Oscillatoria.
Produktivitas primer suatu ekosistem perairan pada
dasarnya merupakan hasil perubahan energi cahaya
matahari menjadi energi kimia dalam tubuh organisme
autotrof perairan tersebut melalui fotosintesis. Sebagian
organisme autotrof dapat melakukan sintesis tanpa bantuan
cahaya matahari, namun persentasenya sangat kecil (Barnes
& Mann, 1994 dalam Pitoyo & Wiryanto, 2002). Hasil
pengukuran produktivitas primer fitoplankton di Situ
Panjalu disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Produktivitas primer fitoplankton di Situ Panjalu
Table 6. Primary productivity of phytoplankton at Situ Panjalu
Stasiun/
Stations
Kedalaman/
Depth (m)
Produktivitas primer kotor/
Gross primary productivity
(mgC/m3/jam)
Produktivitas primer
bersih/
Net primary productivity
(mgC/m3/jam)
Respirasi/
Respiration
(mgC/m3/jam)
Kampung Dukuh 0,5 118,1 85,3 39,7
2,0 47,1 2,20 59,1
Banjar Waru 2,0 91,4 50,6 49,9
0,5 78,3 -95 173,3
Simpar 0,5 107,8 100,0 9,40
2,0 207,8 193,8 16,9
Faktor yang mempengaruhi produktivitas primer
fitoplankton adalah cahaya, nutrien, dan suhu air
(Bourterfas et al., 2002). Penggunaan nutrien yang
berhubungan dengan kecepatan fotosintesis yang
dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Nutrien ammonium
dapat digunakan oleh fitoplankton secara perlahan pada
kondisi gelap. Pengkayaan suatu badan air oleh nutrien
khususnya nitrogen atau fosfor merangsang pertumbuhan
fitoplankton yang akan kemungkinan dapat mengganggu
keseimbangan organisme hidup dan kualitas air (Loureiro et
al., 2005). Hasil analisis regresi linier berganda
menunjukan bahwa nutrien yang berpengaruh secara nyata
(P<0,05 dan R2=0,998) terhadap produktivitas primer di
Situ Panjalu adalah amonium dan orthofosfat. Nitrat tidak
berpengaruh secara nyata (P>0,05) terhadap produktivitas
primer di Situ Panjalu. Persamaan hubungan regresi linier
berganda sebagai berikut:
Y=-466,6+896,6 N-NH4+603,6 P-PO4 ...................... (10
Alga menggunakan amonium dan nitrat untuk
pertumbuhanya melalui proses fotosintesis, namun
amonium merupakan bentuk nitrogen yang lebih disukai
oleh fitoplankton dari pada nitrat. Amonium tersebut
digunakan untuk membentuk protein selama proses
fotosintesis. Orthofosfat dapat merupakan senyawa fosfor
yang secara mudah dapat digunakan oleh fitoplankton
(Effendie, 2003; Ji, 2008). Yuliana et al. (2002) juga
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara
kandungan nutrien orthofosfat dan produktivitas primer.
Produktivitas primer kotor adalah jumlah total
fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan dalam jangka
waktu tertentu. Sedangkan produktivitas primer bersih
adalah besarnya sintesis senyawa karbon organik selama
proses fotosintesis dikurangi besarnya aktivitas total
respirasi pada waktu terang dan gelap dalam jangka waktu
tertentu (Folkowski & Raven, 1997 dalam Pitoyo &
Wiryanto, 2002). Produktivitas primer fitoplankton di Situ
Panjalu pada umumnya tinggi pada permukaan
dibandingkan dengan kedalaman 2 m. Hal ini diduga karena
pada permukaan mempunyai kelimpahan fitoplankton yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kedalama 2 m. Nilai
produktivitas primer lebih tinggi di permukaan
dibandingkan dengan lapisan yang lebih dalam juga
terdapat di Waduk Cengklik, Jawa Tengah (Pitoyo &
Wiryanto, 2002) dan Danau Batu, Kalimantan Tengah
(Veronica & Ardianor, 2007). Besarnya produktivitas
primer suatu perairan mengindikasikan besarnya
ketersediaan nutrien terlarut (Krismono & Kartamihardja,
1995). Produktivitas pimer kotor fitoplankton tertinggi
terdapat pada stasiun pengamatan Simpar dengan nilai
207,8 mgC/m3/jam dan terendah pada Stasiun Kampung
Dukuh dengan nilai 47,1 mgC/m3/jam. Nilai produktivitas
primer kotor, bersih, dan respirasi di Situ Panjalu lebih
tinggi jika dibandingkan Danau Batu, Kalimantan Tengah
dengan nilai masing-masing 12,8; 7,7; dan 20,5
mgC/m3/jam (Veronica & Ardianor, 2007) namum jauh
lebih rendah dibandingkan dengan Waduk Cengklik,
Boyolali, Jawa Tengah dengan nilai produktivitas primer
kotor di permukaan berkisar 11.122.500-22.545.600
mgC/m3/hari (Pitoyo & Wiryanto, 2002). Perairan Situ
Produktivitas Primer Fitoplankton di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat (Warsa, A. & K. Purnomo)
Panjalu berdasarkan atas nilai produktivitas primer kotor
termasuk ke dalam kategori eutrofik dengan nilai
produktivitas primer >62,5 mgC/m3/jam (Suwignyo, 1983;
Linken, 1975 dalam Hartoto, 2004).
KESIMPULAN
1. Perairan Situ Panjalu merupakan perairan yang subur
(eutrofik dan hypertrofik).
2. Nilai produktivitas primer kotor, bersih, dan respirasi
masing-masing berkisar antara 47,1-207,8 mgC/m3/jam,
2,2-193,8 mgC/m3/jam, dan 9,4-173,3 mgC/m
3/jam.
3. Kelimpahan individu fitoplankton berkisar 1.006-
437.610 ind./L dengan genera yang banyak ditemukan
adalah genera Closterium dari kelas Chlorophyceae,
genera Oscillatoria dari kelas Cyanophycea, dan genera
Peridinium dari kelas Dinophyceae.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset perikanan berbasis budi daya (culture base fisheries)
di Situ Panjalu, Kabupaten Ciamis-Jawa Barat dan Waduk
Malahayu, Kabupaten Brebes-Jawa Tengah, T. A. 2010, di
Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan-Jatiluhur,
Purwakarta.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association. 2005. Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water
Including Bottom Sediment and Sludges. 21st Edited.
Eaton, A. D., L. S. Clesceri, E. W. Rice, & A. E.
Greenberg. Amer. Publ. Health Association Inc. New
York. 1,296 pp.
Basmi, H. J. 2000. Planktonologi: Terminologi dan
Adaptasi. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 55 pp.
Bouterfas, R. M., M. Belkoura, & A. Duta. 2002. Light and
temperature effect on the growth rate of three freshwater
algae isolated from eutrophic lake. Hydrobiologia. 489:
207-217.
Carlson, R. E. 1977. A Trophic State Index for Lake,
Limnology, and Oceanography. 22 (2): 361-369.
Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biology. 2nd Ed. John
Wiley & Sonc. Inc. New York. 1,248 pp.
Effendie, H. 2003. Telaah Kualitas air: Bagi Pengelolaan
Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.
Yogyakarta. 257 pp.
Hartoto, D. I. 2004. Pengembangan Budi Daya Perikanan
di Perairan Waduk Suatu Upaya Pemecahan Masalah
Budi Daya Ikan dalam Keramba Jaring Apung:
Dinamika Populasi Plankton sebagai Indikator
Pencemaran pada Perairan Waduk. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 57-74.
Hasan, Z. 2008. Spatial and temporal distribution of
phytoplankton at Cirata Reservoir in relation to aquatic
primary produktivity. In Procedding Internastional
Conference on Indonesia Inland Waters. Research
Institute for Inland Fisheries. 191-195.
Jorgensen, S. E. 1980. Lake Management: Water
Devolopment, Supplay, and Management. Volume 14.
Pergamon Press. 167 pp.
Ji, Zhen-Gang. 2008. Hydrodynamics and Water Quality:
Modeling Rivers, Lakes, and Estuaries. John Willey &
Sons. New Jersey. 676 pp.
Krismono, A. S. N. & E. S. Kartamihardja. 1995. Status
trofik perairan Waduk Kedungombo, Jawa Tengah,
sebagai dasar pengelolaan perikanannya. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 1 (3): 26-35.
Krismono, L. P Astuti, & Y. Sugianti. 2009. Karakteristik
kualitas air Danau Limboto, Provinsi Gorontalo. Jurnal
Penelitian Perikanan Indonesia. 15 (1): 59-68.
Loureiro, S. A., Newton 2, & J. Icely. 2005. Effects of
nutrient enrichments on primary production in the Ria
Formosa coastal lagoon (Southern Portugal).
Hydrobiologia. 550: 29-45.
Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the
Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and
Enlarged. Holden Day. Inc. San. Fransisco. 180 pp.
Naz, M. & M. Turkmen. 2005. Phytoplankton biomass and
spesies composition of Lake Golbasi (Hatay-Turkey).
Turkey Journal Biology. 9: 49-56.
Noges, T. & K. Kangro. 2005. Primary production of
phytoplankton in a strongly stratified temperate lake.
Hydrobiologia. 547: 105-122.
Odum, P. 1995. Dasar-Dasar Ekologi. (Terjemahan).
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 674 pp.
Pena, M. A., M. R. Lewis, & W. G. Horrison. 1990.
Primary productivity and size structure of
phytoplankton biomassa on transect bb equator at
135oW in the Pasific Ocean. Deep-Sea Res. 37: 295-
315.
Pratiwi, N. T. M, K. Praptokardiyo, & N. Indrayani. 2000.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Tingkat kesuburan perairan Situ Ciguded, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Prosiding Semiloka Nasional
Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau dan Waduk.
Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Pitoyo, A. & Wiryanto. 2002. Produktivitas primer perairan
Waduk Cengklik, Boyolali. Biodiversitas. 3 (1): 189-
195.
Purnomo, K., E. S Kartamihardja, A. Nurfiarini, & Z.
Nasution. 2009. Penelitian Perikanan Berbasis Budi
Daya (Culture Based Fisheries) di Perairan
Waduk/Danau di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Loka
Riset Pemacuan Stok Ikan. (Tidak Dipublikasi). 98 pp.
Reynold, C. S. 1984. The Ecology of Freshwater
Phytoplankton. Cambridge University Press. 357 pp.
Reynold, C. 2006. Ecology, Biodiversity, and
Conservation: Ecology of Phytoplankton. Cambridge.
535 pp.
Suwignyo. 1983. Penyelidikan Tanaman Air dan Perikanan
pada Proyek Irigasi Widas. Biotrop. Seameo. Regional
Center for Tropical Biology. Bogor. Indonesia.
Siagian, M. 2004. Diktat Kuliah Ekologi Perairan. Fakultas
perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau.
Pekabaru. (Tidak Diterbitkan). 50 pp.
Valiela, I. 1995. Marine Ecological Processes. Second
Edition. Springer. 686 pp.
Veronica, E. & Ardianor. 2007. Primary production of
phytoplankton in Lake Batu, a tropical oxbow lake of
central Kalimantan. Journal of Tropical Fisheries. 2 (1):
165-171.
Whitton, B. A. 1973. Freshwater Plankton in Botanical
Monograf Vol 9: The Biology of Blue Green Algae.
Blackwell scientific publication. 676 pp.
Wetzel, R. G. 1983. Limnology. Saunder Company.
Philadelphia. 919 pp.
Wetzel, R. G. & G. E. Likens 2000. Limnological Analyses.
3rd
edition. Springer. Verlag New York. Inc. USA. 429
pp.
Wetzel, R. G. 2001. Limnology: Lake and River
Ecosystems. Third Edition. Academic Press. 1,006 pp.
Widodo, J. & Suadi. 2006. Pengelolaan Sumber Daya
Perikanan Laut. Gadjah Mada University Press. 252 pp.
Yuliana, E. M. Adiwilaga, & R. F. Kaswadji. 2002.
Hubungan antara kandungan nutrien dan intensitas
cahaya dengan produktivitas primer fitoplankton di
perairan Teluk Lmpung. Forum Pasca Sarjana. 25 (4):
321-330.
Yuliana & Tamrin. 2006. Struktur komunitas dan
kemelimpahan fitoplankton dalam kaitannya dengan
parameter fisika kimia perairan di Danau Laguna
Ternate, Maluku Utara. Dalam Prosiding Seminar
Nasional Limnologi 2006: Pengelolaan Sumber Daya
Perairan Darat secara Terpadu di Indonesia. Pusat
Penelitian Limnologi. Jakarta.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
BENTUK PERTUMBUHAN KARANG DAERAH TERTUTUP DAN TERBUKA
DI PERAIRAN SEKITAR PULAU PAMEGARAN, TELUK JAKARTA
Anthony Sisco Panggabean dan Bram Setiadji Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 17 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 27 Januari 2011
ABSTRAK
Lingkungan perairan dapat membedakan bentuk pertumbuhan karang. Untuk mengetahui bentuk pertumbuhan karang
pada dua lingkungan perairan karang yang berbeda di perairan sekitar Pulau Pamegaran Teluk Jakarta menggunakan
metode life form transek (line intercept transec). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juli 2005. Hasil
pengamatan menunjukan bahwa genus karang yang mendominansi adalah Acropora, Porites, dan Montipora dengan
bentuk pertumbuhan karang bercabang dan karang batu atau masif. Adaptasi bentuk pertumbuhan karang yang dominan
pada daerah tertutup (leeward) yaitu bercabang dan genus dominan Acropora. Pada daerah terbuka (windward) bentuk
pertumbuhan karang yang dominan yaitu karang batu dari genus Porites. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di
bagian utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand) dan di perairan tertutup bagian timur kerikil (pebble) dan
pecahan karang mati (rubble).
KATA KUNCI: pertumbuhan karang, perairan tertutup, perairan terbuka, Pulau Pamegaran
ABSTRACT: The bend of coral shape in leeward and winward areas at Pamegaran Island, Jakarta Bay. By:
Anthony Sisco Panggabean and Bram Setiadji
Marine envinronment can make the bend of coral shape were different in the certain areas. Line intercept transec
was used to study live coral cover in the waters around of Pamegaran Island, Jakarta Bay. The research was done in
May until July 2005. The results showed that Acropora, Porites, and Montipora were dominat with the bend of coral
shape branching and massive. Adaptation of the bend of coral shape in leeward was branching with the dominat genera
Acropora. Meanwhile, in the windward area the dominat genera was Porites with bend of coral shape massive. Substrat
condition in leeward ares at Pamegaran Island wre dominated by medium sand and the winward areas were dominated
by pebble and rubble
KEYWORDS: bend of coral shape leeward, windward, Pamegaran Island
PENDAHULUAN
Perairan karang mempunyai produktivitas dan
keragaman jenis yang tinggi dan berfungsi sebagai feeding
ground (daerah mencari makan), spawning ground (daerah
untuk berkembang biak), dan nursery ground (daerah
asuhan) serta sebagai shelter (tempat berlindung) bagi
beberapa jenis ikan (Nybakken, 1993). Ekosistem terumbu
karang sangat rapuh dan peka, sedikit terjadi perubahan
pada lingkungan akan mempengaruhi kondisinya.
Walaupun demikian karang memiliki daya pemulihan yang
sangat baik. Faktor lingkungan perairan secara langsung
akan mempengaruhi kondisi dan bentuk pertumbuhan
karang serta simbiosa antara ikan karang dengan karang.
Terumbu karang di perairan Kepulauan Seribu
mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga
keanekaragaman dan kelimpahan jenis ikan karang juga
tinggi dan dengan pertambahan penduduk yang cepat serta
kemajuan teknologi mempercepat eksploitasi dan
pemanfaatan ekosistem terumbu karang (Kementerian
Lingkungan Hidup, 1990). Meningkatnya pemanfaatan
sumber daya ekosistem terumbu karang, maka
permasalahan yang timbul adalah seringkali terjadi aktivitas
manusia (anthropogenic causes) dan alam (natural causas)
yang dapat merusak pertumbuhan dan perkembangan
terumbu karang.
Hampir seluruh penduduk yang hidup di daerah
Kepulauan Seribu bergantung kepada sumber daya ikan
yang berada di terumbu karang untuk penghasilan dan
pemenuhan kebutuhan hidupnya sehingga terjadi
pemanfaatan yang berlebih yang dapat mengancam
ekosistem terumbu karang terdegredasi (Balai Taman
Nasional Kepulauan Seribu, 2000).
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan
mengungkapkan bahwa degredasi ekosistem terumbu
karang yang terjadi di Kepulauan Seribu pada saat ini
disebabkan oleh adanya kegiatan manusia yang
memanfaatkan karang tersebut untuk kepentingan pribadi
antara lain pengembangan wilayah pesisir, penambangan
karang batu, tangkap lebih (over exploitation),
penangkapan merusak, dan pemanfaatan rekreasi intensif.
Hasil penelitian Yosephine et al. (1995) mengatakan
bahwa persen tutupan karang Acropora branching
(Acropora bercabang) dan coral massive (karang batu) di
Pulau Nyamuk Besar, Pulau Damar Besar, PulauTikus, dan
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Pulau Kotok Besar Kepulauan Seribu pada tahun 1985
berkisar antara 5-37%, persen tersebut semakin membesar
semakin ke utara kemudian perbandingan persen tutupan
karang tersebut menunjukan penurunan pada tahun 1995
yaitu berkisar 1-24%.
Kondisi perairan di Pulau Pamegaran didominansi oleh
substrat pasir untuk bagian permukaan dan pecahan karang
pada bagian dasar perairan yang berbentuk bagian-bagian
kecil yang terpisah-pisah (patch reef). Tipe terumbu karang
adalah tipe terumbu karang tepi atau pantai (fringing reef)
dengan kedalaman pertumbuhan karang kurang dari 40 m.
Pada bagian utara merupakan perairan karang yang tertutup
dikarenakan terdapat Pulau Bira Kecil dan Pulau Bulat
yang menghalangi dari gerakan arus dan gelombang yang
kuat sedangkan pada bagian timur merupakan perairan
karang yang bebas tanpa ada penghalang (barrier).
Beberapa faktor lingkungan perairan yang erat
kaitannya dengan pertumbuhan karang yaitu antara lain
suhu (mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang dan
metabolisme karang baik secara langsung dan tak
langsung), salinitas (secara fisiologis berhubungan dengan
penyesuaian tekanan osmotik sitoplasma sel tubuh),
phospat dan nitrat (zat hara yang dibutuhkan), substrat
(media yang menentukan bentuk pertumbuhan), dan arus
(gerakan air yang dapat merubah suhu menjadi lebih dingin,
salinitas tinggi, dan zat hara).
Kondisi suatu perairan karang yang mendapat pengaruh
atau tekanan secara langsung terhadap faktor lingkungan
perairan setiap waktu atau secara terus-menerus setiap
musim merupakan lokasi perairan yang berada pada
perairan terbuka (windward) sebaliknya apabila lokasi
perairan tersebut berada pada daerah yang terlindung dari
tekanan faktor lingkungan perairan dikarenakan adanya
daerah atau daratan sebagai penghalang (barrier) terhadap
pengaruh lingkungan disebut daerah perairan tertutup
(leeward) (Sukarno et al., 1983).
Ciri-ciri habitat karang tertutup yaitu jarang sekali
mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar nutrien
yang disebabkan oleh pengaruh gerakan arus dan
gelombang yang kuat atau dapat dikatakan selalu berada
pada suhu dan salinitas rata-rata tahunan (suhu 23-25°C dan
salinitas 32-35‰) sedangkan habitat karang terbuka lebih
sering mengalami perubahan suhu, salinitas, dan kadar
nutrien dikarenakan terkena pengaruh langsung gerakan
arus dan gelombang yang kuat sehingga suhu, salinitas, dan
kadar nutrien akan berubah tergantung pada musim atau
iklim.
Bentuk pertumbuhan dari beberapa jenis karang juga
bervariasi, tergantung kepada lokasi di mana karang
tersebut hidup. Jenis karang yang terdapat di perairan yang
lebih dalam mempunyai bentuk lebih tipis dan kurus
dikarenakan kurangnya klasifikasi. Gerakan gelombang
cenderung memaksa tipe karang bercabang mempunyai
bentuk cabang yang pendek dan tumpul dengan bentuk
percabangan sesuai dengan arah arus air laut (Bengen &
Widnugraheni, 1995).
Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang bentuk pertumbuhan dan perkembangan karang
pada dua lokasi lingkungan perairan yang berbeda
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Pulau Pamegaran, Teluk
Jakarta pada posisi geografis antara 05°24'-05°45' LS dan
106°25'-106°40' BT (Gambar 1). Wilayah penelitian
mencakup perairan karang yang tertutup (leeward) di
bagian utara dan terbuka (windward) di bagian timur.
Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Juli
2005.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Figure 1. Research location. Keterangan/Remarks: U = daerah bagian utara atau perairan karang yang
tertutup (leeward); T = daerah bagian timur atau
perairan karang yang terbuka (winward)
Peralatan penelitian yang dipergunakan yaitu global
positioning system, peralatan selam, dan alat pencatat
identifikasi jenis.
Metode penelitian yang digunakan adalah garis transek
(line intercept transec atau life form) (Gomez & Yop,
1984). Transek garis sepanjang 30 m dan diletakan sejajar
garis pantai pada kedalaman 5 m dengan pengamatan tiga
kali ulangan.
HASIL DAN BAHASAN
Bentuk Pertumbuhan Karang
Pembagian klasifikasi pertumbuhan karang dapat dilihat
melalui tipe substrat yang terdapat di perairan tersebut.
Menurut Sukarno (1995) bahwa pertumbuhan karang batu
terdapat pada substrat yang keras seperti pada karang mati
dan berpasir. Kondisi substrat yang demikian cocok untuk
tempat melekatnya karang-karang muda serta untuk
pertumbuhan dan perkembangan karang. Planula karang
hanya dapat menempel pada substrat yang keras dan kuat
106°40’ 106°25’
106°40’ 106°25’
5’’40’
5’’24’
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
seperti kerikil, pecahan karang mati, karang batu yang telah
mati, dan kerangka dari organisme lain (cangkang
moluska).
Berdasarkan atas tipe substratnya merupakan kombinasi
dasar perairan yang terdiri atas pasir, kerikil dan dan
pecahan karang mati (coral rubble) merupakan habitat yang
cocok bagi kehidupan jenis-jenis karang dan merupakan
faktor pembeda klasifikasi karang yang mendiami subtrat
tersebut. Pecahan karang yang terdapat pada habitat karang
berasal dari patahan karang Acropora dan non Acropora
yang merupakan hasil dari degredasi karang.
Penelitian Lazuardi & Wijoyo (1999) Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor yang
dilakukan di perairan karang gugusan Pulau Kelapa,
Kepulauan Seribu menunjukan pada kedalaman 3 m
penurunan persen tutupan karang masif berkisar 0,84-
41,36% sedangkan karang lunak berkisar 0,26-15,14% dan
peningkatan persen tutupan karang masif berkisar 2,64-
29,14% sedangkan karang lunak berkisar 0,40-4,20%. Pada
kedalaman 10 m penurunan persen tutupan karang masif
berkisar 2,60-12,06% sedangkan karang lunak berkisar
0,34-15,26% dan peningkatan persen tutupan karang masif
berkisar 1,82-16,08% sedangkan karang lunak berkisar
1,00-15,50%.
Pada daerah penelitian kategori karang Acropora
bercabang (Acropora branching) dan karang batu (coral
massive) tumbuh dominan di sekitar Pulau Pamegaran.
Karang bercabang dan karang batu atau masif lebih
menyukai daerah yang bersubstrat keras dan yang berarus
dikarenakan adanya sirkulasi unsur hara yang cukup
berlimpah. Sebagian besar jenis karang batu dapat tumbuh
di perairan dengan kecepatan arus permukaan yang relatif
kuat sehingga dapat mensuplai bahan-bahan makanan.
Pada umumnya kategori karang bercabang dan karang
batu atau masif merupakan koloni karang yang menempati
daerah tubir.
Bentuk pertumbuhan cabang atau adaptasi morfologi
karang di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor
lingkungan perairan terutama arus. Arus permukaan sangat
mempengaruhi bentuk pertumbuhan cabang karang.
Keberadaan karang pada perairan yang dangkal (0-5 m)
pada umumnya mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang
yang merupakan adaptasi morfologi terhadap arus
permukaan.
Kondisi tutupan karang hidup dan karang mati
merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan dan
perkembangan karang. Hasil pengamatan menunjukan
tutupan karang di sekitar Pulau Pamegaran berbeda. Secara
umum, lebih dari 60% berupa tutupan karang hidup, baik
pada lingkungan yang terbuka maupun tertutup (Tabel 1).
Tabel 1. Tutupan karang hidup dan mati di sekitar Pulau Pamegaran
Table 1. Life and dead coral reef coverage in the waters arround of Pamegaran Island
Lingkungan perairan/Environmental waters Persen tutupan karang/Percent coral cover (%)
Hidup/Life Mati/Dead Lainnya/Other
Tertutup 64,26 14,36 21,38
Terbuka 62,35 15,36 22,29
Pada lingkungan perairan tertutup di sebelah utara Pulau
Pamegaran dijumpai bentuk pertumbuhan karang yang
dominan adalah bercabang (branching) dari genus
Acropora (Acropora branching) (Gambar 2). Di lingkungan
perairan terbuka bagian timur Pulau Pamegaran yang
banyak dijumpai pertumbuhan karang yang dominan adalah
karang batu atau masif (coral massive) dari genus Porites.
Karang Acropora tidak dapat tumbuh optimum di daerah
berombak kuat. Bentuk karang ini lebih sesuai untuk
mengalirkan air dan menghadapi tekanan arus yang cukup
kuat dibandingkan dengan bentuk yang lain.
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
Gambar 2. Genus Acropora bercabang yang tumbuh di lingkungan perairan tertutup.
Figure 2. Acropora branching as a dominant coral in the leeward area.
Karena memiliki percabangan yang pertumbuhannya
cepat, maka komunitas Acropora mengalahkan
pertumbuhan jenis lain dalam kompetisi ruang dan akan
berlimpah di daerah yang massa airnya senantiasa bergerak
dan bukan di daerah pecahan ombak (surf zone). Karang
batu mampu beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan
perairan dan merupakan tipe karang yang banyak
ditemukan pada daerah dengan tutupan karang mati yang
tinggi.
Kecepatan pertumbuhan karang bervariasi sesuai
dengan jenis, umur, dan habitat. Bentuk pertumbuhannya
dipengaruhi oleh suhu, intensitas cahaya, dan sirkulasi air.
Koloni yang muda dan bentuknya kecil cenderung tumbuh
lebih cepat daripada koloni yang sudah tua. Di samping itu
koloni yang besar dan bercabang atau berbentuk seperti
daun tumbuh lebih cepat daripada karang otak (Boarden &
Seed, 1985).
Keberadaan karang lunak (soft coral) dapat merupakan
indikator kondisi karang keras (hard coral). Pertumbuhan
jenis karang lunak mengalami blooming apabila kondisi
karang keras sudah dalam keadaan kritis atau rusak. Karang
ini tumbuh dengan baik pada kondisi air yang kecerahannya
rendah dan kandungan nutriennya tinggi. Selain karang
batu, di sebelah utara dan timur Pulau Pamegaran ada dua
genus karang lunak yang dapat tumbuh baik yaitu Xenia
dan Nepthea (Gambar 3 dan 4).
Gambar 3. Karang lunak genus Xenia di perairan Pulau Pamegaran.
Figure 3. Soft corals from genus Xenia in the waters around of Pamegaran Island.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 4. Karang lunak genus Nepthea di perairan Pulau Pamegaran.
Figure 4. Soft corals from genus Nepthea in the waters around of Pamegaran Island.
Karang lunak merupakan kelompok karang yang relatif
mudah tumbuh dalam waktu singkat dibandingkan dengan
karang batu. Gerakan air yang disebabkan oleh arus
menyebabkan karang lunak mampu bertahan dan melekat
pada substrat yang keras dan mendukung proses
pertumbuhan.
Profil Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang. Hasil
pengamatan substrat di sekitar Pulau Pamegaran
menunjukan bahwa pasir (medium sand) sangat dominan di
bagian utara sedangkan di bagian timur didominansi oleh
kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble).
Tipe substrat di suatu perairan juga dipengaruhi oleh
kondisi arus. Arus yang deras menyebabkan partikel halus
di dasar perairan tidak dapat mengendap. Pada perairan
yang relatif tenang memungkinkan terjadinya endapan
partikel halus sehingga terbentuk dasar perairan yang
berlumpur. Kecepatan arus permukaan (drift currents)
merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi penyebaran karang, bentuk cabang, dan
perkembangan karang. Profil substrat dasar pada lokasi
penelitian di Pulau Pamegaran dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Profil dasar perairan di sekitar Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta.
Figure 5. Bottom profile in the waters arround of Pamegaran Island, Jakarta Bay. Keterangan/Remarks: Pb: pebble (kerikil); Rb: rubble (pecahan karang); Gr: granule (butiran); Cs: coarse sand (pasir
kasar); ACB: Acropora branching; Ms: medium sand (pasir); Fs: fine sand (pasir halus); S: silt
(lanau); CM: coral massive
Bentuk pertumbuhan karang batu (massive), melebar
(encrusting), dan lembaran (foliose) merupakan suatu cara
bagi karang tersebut untuk mentoleransi kondisi kecepatan
arus permukaan yang dapat menyebabkan perairan yang
keruh agar dapat menyerap sinar matahari untuk kegiatan
fotosintesis Zooxanthelae yang melekat di atas karang
tersebut.
Dasar perairan yang relatif dangkal sangat ideal bagi
pertumbuhan karang secara horisontal sehingga
Pb
Rb
Gr
Es
Cs
Ms
S
L
5 m
CM
gerakan gelombang
ACB
Bentuk Pertumbuhan Karang Daerah ..... Pulau Pamegaran, Teluk Jakarta (Panggabean, A.S. & B. Setiadji)
memungkinkan penetrasi cahaya matahari mencapai dasar
perairan.
KESIMPULAN
1. Pada perairan tertutup di bagian utara Pulau Pamegaran
bentuk pertumbuhan karang yang dominan bercabang
atau branching genus Acropora dan di perairan terbuka
bagian timur Pulau Pamegaran bentuk pertumbuhan
karang yang dominan karang batu atau massive genus
Porites.
2. Bentuk pertumbuhan karang lainnya di sekitar perairan
Pulau Pamegaran adalah karang lunak yaitu genus
Xenia dan Nepthea.
3. Kondisi substrat di sekitar perairan terbuka di bagian
utara Pulau Pamegaran terdiri atas pasir (medium sand)
yang sangat dominan dan di perairan tertutup bagian
timur kerikil (pebble) dan pecahan karang mati (rubble)
sangat mendominansi.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset usaha perikanan teripang melalui pengkayaan stok
(stock enchancement) di Kepulauan Seribu, T. A. 2004-
2005, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Boarden, P. J. S. & R. Seed. 1985. An Introduction to
Coastal Ecology Tertiary Level Biologi. Breackie Son
Ltd. Chapman and Hall. New York. 90-105.
Bengen, D. G. & P. Widnugraheni. 1995. Sebaran spatial
karang Scleractinia dan asosiasinya dengan karakteristik
habitat di Pantai Blebu dan Pulau Sekapal, Lampung
Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan
Terumbu Karang. 81-95.
Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2000. Laporan
inventarisasi terumbu karang dan ikan hias di wilayah
perairan Pulau Putri Timur, Putri Barat, Putri Gundul,
Matahari, dan Macan Kecil. Laporan Proyek
Pengembangan Taman Nasional Laut Pulau Seribu.
Jakarta.
Gomez, E. D. & H. S. Yop. 1984. Monitoring reef
condition. Kenchington, R. A. & B. E. T. Hudson (Eds)
In Coral Reef Management Handbook Unesco
Publisher. Jakarta. 171 pp.
Kementrian Lingkungan Hidup. 1990. Perlindungan
Lingkungan Laut dalam Proyek Pembinaan Kelestarian
Sumber Daya Laut dan Pantai. Jakarta. 43 pp.
Lazuardi, M. E. & N. S. Wijoyo. 1999. Perubahan kondisi
terumbu karang di Gugusan Pulau Kelapa, Kepulauan
Seribu, Jakarta. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Prosiding Lokakarya dan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi Terumbu Karang
Indonesia. Jakarta. Tanggal 22-23 Nopember 1999.
214-221.
Nybakken, J. W. 1993. Marine Biology: An Ecological
Approach. Third Edition. U. S. A. Harper Collins
College Publisher. X+462.
Sukarno, M. Hutomo, M. K. Moosa, & P. Prapto. 1983.
Terumbu karang di Indonesia sumber daya,
permasalahan, dan pengelolaannya. Proyek Penelitian
Potensi Sumber Alam Indonesia. Lembaga Oseanologi
Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Jakarta.
Sukarno. 1995. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah
Pengelolaannya dalam Materi Kursus Pelatihan
Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu
Karang. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 1-8.
Yosephine, M. I., Suharsono, & I. Amir. 1995. Kondisi
terumbu karang pada tahun 1985 dan 1995 di beberapa
pulau di Kepulauan Seribu. P3O. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
Pengelolaan Terumbu Karang. Jakarta. Tanggal 10-12
Oktober 1995. 182-188.
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
BEBERAPA ASPEK BIOLOGI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus)
DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA
Duranta Diandria Kembaren dan Tri Ernawati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 24 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 10 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 20 Januari 2011
ABSTRAK
Ikan kuniran (Upeneus sulphureus) merupakan salah satu ikan demersal dari famili Mullidae banyak tertangkap di
perairan Laut Jawa. Penelitian ini tentang beberapa aspek biologi ikan kuniran di perairan Tegal dan sekitarnya dilakukan
pada bulan Maret, April, dan Agustus 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran,
seperti nisbah kelamin, sebaran frekuensi panjang, hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan gonad, panjang
pertama kali matang gonad (length at first maturity), dan faktor kondisi. Ikan yang diamati 358 ekor yang terdiri atas 170
jantan dan 188 betina. Perbandingan jumlah ikan jantan dan betina menunjukan rasio kelamin yang tidak seimbang.
Berdasarkan atas sebaran frekuensi panjang, ikan dengan panjang 9 cmFL mendominansi hasil tangkapan pada bulan
Maret dan April dan pada bulan Agustus didominansi ikan dengan panjang 11 cmFL. Pertumbuhan ikan kuniran pada
bulan Maret bersifat allometrik negatif, sedangkan pada bulan April dan Agustus bersifat isometrik. Analisis tingkat
kematangan gonad menunjukan bahwa pada bulan Agustus banyak ditemukan tingkat kematangan gonad I dan II dan
pada bulan Maret banyak ditemukan tingkat kematangan gonad III dan IV. Ikan kuniran diduga pertama kali matang
gonad pada ukuran panjang 9,87 cmFL. Faktor kondisi menunjukan tidak ada perbedaan antara bulan Maret, April, dan
Agustus.
KATA KUNCI: ikan kuniran, rasio kelamin, sebaran frekuensi panjang, lenght at first maturity
ABSTRACT: Some biological aspects of the silver goatfish (Upeneus sulphureus) in the Tegal and adjacent
waters. By: Duranta Diandria Kembaren and Tri Ernawati
The silver goatfish (Upeneus sulphureus) is demersal fish which caught excessively in the Java Sea and
taxonomically belong to the family Mullidae. Some biological aspects of the silver goatfish in Tegal and adjacent waters
were studied on March, April, and August in 2009. The objective of this research were to know some biological aspects,
i.e. sex ratio, length frequency distribution, length weight relationship, gonad maturity stage, length at first maturity, and
condition factor. A total of 358 fishes that consisted of 170 males and 188 females were examinated their biological
aspects. The composition of male and female showed an unequal sex ratio. According to the lenght frequency
distribution, the fishes of 9 cmFL were dominant on March and April, while on August was dominated by the fishes of 11
cmFL. The growth characteristic of the silver goatfish were allometric negative on March and isometric on April and
August. Gonad maturity stage level 1 and 2 were dominant on August and level 3 and 4 on March. Lenght at first
maturity (Lm) of silver goatfish were 9,87 cmFL. The condition factor showed that there is no difference on March, April,
and August.
KEYWORDS: silver goatfish, sex ratio, lenght frequency distribution, lenght at first maturity
PENDAHULUAN
Ikan kuniran termasuk salah satu ikan demersal
ekonomis penting yang banyak tertangkap di perairan Laut
Jawa. Sejak tahun 2000-an ikan ini banyak dicari untuk
dijadikan fillet dan kemudian diolah menjadi makanan
ringan untuk diekspor. Negara tujuan utama dari makanan
ringan dengan bahan baku ikan kuniran ini adalah Malaysia
(Anonimus, 2010). Nilai produksi ikan kuniran baru tercatat
dalam Statistik Perikanan Tangkap Indonesia Tahun 2004
(Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006).
Secara taksonomis, ikan ini termasuk famili Mullidae
dengan ciri khusus yaitu di bagian dagu memiliki sepasang
sungut yang panjang dan tidak bercabang, menyerupai
jenggot pada kambing sehingga dinamakan goatfish.
Sungut ini merupakan organ sensoris untuk membantu
mencari makanan. Ciri-ciri lainnya antara lain bentuk badan
memanjang dan langsing, panjangnya dapat mencapai 23
cm, sungut lebih pendek dibandingkan jenis lain dalam
famili Mullidae, mempunyai dua sirip punggung,
cenderung hidup di perairan yang relatif dalam yaitu antara
10-90 m, dan kadang membentuk gerombolan yang besar
(schooling) (Sommers et al., 1996; Food and Agriculture
Organization, 1974; Pauly et al., 1996).
Ikan kuniran ini tersebar di perairan tropis bahkan
sampai ke perairan sub tropis di sebelah utara Cina dan
selatan Australia (Food and Agriculture Organization,
1974). Di Indonesia ikan kuniran tersebar dari Sumatera,
Jawa, Bali, Flores, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, sampai
Seram (Weber & Beaufort, 1931). Ikan kuniran juga
ditangkap di perairan Selat Sunda (Genisa, 2003), Teluk
Jakarta (Martosejowo & Djamali, 1980), perairan utara
Jawa Tengah (Pujiati et al., 2008), perairaan utara Jawa
Timur (Sumiono & Nuraini, 2007), dan Teluk Kwandang,
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gorontalo (Fahmi & Adrim, 2002). Menurut Garces et al.
(2006), ikan kuniran paling tinggi kelimpahannya di
perairan Bengal, Banglades. Menurut Badrudin (1978),
potensi ikan kuniran (potential annual yield) di Laut Jawa
sekitar 51.000 ton dan merupakan 18% dari total potensi
yield tahunan foodfish.
Alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan
kuniran adalah cantrang. Alat ini merupakan alat
penangkap ikan tradisional yang keberadaannya
dipertahankan oleh para nelayan, khususnya di pantai utara
Jawa (Sumiono & Nuraini, 2007). Selain alat tangkap
cantrang, ikan kuniran juga ditangkap dengan bottom trawl
(Genisa, 2003; Fahmi & Adrim, 2002; Pujiati et al., 2008).
Tulisan ini membahas secara ringkas beberapa aspek
biologi ikan kuniran di Laut Jawa, khususnya di perairan
Tegal dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji beberapa aspek biologi ikan kuniran, seperti
nisabah kelamin, sebaran frekuensi panjang cagak (fork
lenght), hubungan panjang dan bobot, tingkat kematangan
gonad, panjang pertama kali matang gonad (length at first
maturity), dan faktor kondisi. Aspek biologi yang diperoleh
berguna untuk mendapatkan informasi dasar bagi penelitian
selanjutnya dan juga sebagai masukan untuk tujuan
pengelolaan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009. Pengambilan
contoh dilakukan pada bulan Maret, April, dan Agustus
2009. Ikan diperoleh dari hasil tangkapan alat cantrang
yang di daratkan di Tempat Pelelangan Ikan Tegalsari,
Tegal. Panjang yang diukur adalah panjang cagak (fork
lenght) yang dikatakan dalam cm dan bobot dikatakan
dalam gram (g).
Analisis hubungan panjang dan bobot panjang ikan
kuniran digunakan fungsi berpangkat (Hile,1936 dalam
Effendie, 1979) yaitu:
W=a.Lb ........................................................................ (1
di mana:
W = bobot tubuh ikan (g)
L = panjang tubuh ikan (cm)
a dan b = konstanta
Untuk mengetahui nilai konstanta b sama dengan 3 atau
tidak maka dilakukan uji statistik (uji-t). Untuk
mendapatkan nilai faktor kondisi (K) berdasarkan atas
hubungan panjang dan bobot menggunakan persamaan
W=a.Lb, maka nilai faktor kondisi relatif (Kn) dihitung
dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979):
Kn = W ....................................................................... (2
a.Lb
Harga b adalah harga pangkat yang cocok dengan
panjang ikan agar sesuai dengan bobot ikan. Nilai praktis
yang didapat dari perhitungan panjang dan bobot ini dapat
digunakan untuk menduga bobot dan panjang ikan atau
sebaliknya, serta kondisi ikan mengenai pertumbuhan
kemontokan dan perubahan dari lingkungan.
Penentuan tingkat kematangan gonad dilakukan
berdasarkan atas acuan Holden & Raitt (1974), yang terdiri
atas lima tingkatan (Tabel 1).
Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ikan
Table 1. Gonad maturity stage of fish
Tingkat kematangan gonad/
Gonad maturity stage Keterangan/Remarks
I
(belum matang)
Ovarium dan testes, panjang 1/3 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerah-
merahan. Telur tidak dapat dilihat dengan mata biasa.
II
(belum matang)
Panjang ovarium sekitar 1/2 rongga perut. Ovarium transparan dan kemerah-
merahan. Telur belum dapat dilihat dengan mata biasa.
III
(matang)
Panjang ovarium dan testes sekitar 2/3 rongga perut. Warna ovarium pink-kuning
dan butiran telur sudah tampak.
IV
(matang)
Panjang ovarium 2/3 memenuhi rongga perut. Ovarium berwarna orange dengan
pembuluh darah sudah mulai kurang jelas. Transparan dan butiran telur terlihat
jelas.
V
(spent)
Ovarium mengerut sampai panjang 1/2 rongga perut sebagai tanda pemijahan tetapi
ada butir-butir telur. Sumber/Sources : Holden & Raitt (1974)
Pendugaan panjang saat pertama matang gonad (length
at first maturity), dilakukan sesuai dengan metode
Spearman-Karber dengan persamaan sebagai berikut
(Udupa, 1986):
m=Xk+X/2-(X∑pi) ................................................ (3
di mana:
m = log ukuran ikan saat pertama matang ovarium
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah
matang
X = selang log ukuran (log size increment)
pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
Rata-rata ukuran ikan pertama kali matang gonad
diperoleh dari nilai antilog (m).
HASIL DAN BAHASAN
Nisbah Kelamin
Ikan kuniran yang dihasilkan dari tiga kali pengamatan
terkumpul 525 ekor, terdiri atas 170 jantan dan 188 betina,
sedangkan sisanya tidak terindentifikasi jenis kelaminnya
(Tabel 2). Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1,1.
Berdasarkan atas uji X2 (chi-square) nisbah kelamin jantan
betina berada pada keadaan tidak seimbang. Di perairan
Demak, Jawa Tengah, nisbah kelamin ikan kuniran juga
menunjukan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu
1:1,1 (Saputra et al., 2009). Nisbah kelamin digunakan
untuk melihat populasi ikan dalam mempertahankan
kelestariannya. Agar kelestarian populasi tetap terjaga
idealnya nisbah kelamin berada pada keadaan seimbang
atau betina lebih banyak (Wahyuono et al., 1983). Pada
penelitian ini, jumlah betina lebih banyak daripada jantan
sehingga diduga bahwa kelestarian ikan kuniran di perairan
Tegal dan sekitarnya tetap terjaga.
Sebaran Frekuensi Panjang
Kisaran panjang pada masing-masing pengamatan dapat
dilihat pada Tabel 2. Secara keseluruhan, kisaran panjang
ikan jantan dan betina secara berurutan 7-15 cm dan 8,5-
13,8 cm.
Tabel 2. Kisaran panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009
Table 2. Lenght and weight scale of silver goatfish, 2009
Bulan/
Month
Jantan/Male Betina/Female
N (ekor) Kisaran panjang/
Long range (cm) N (ekor)
Kisaran panjang/
Long range (cm)
Maret 49 8,5-11,5 76 8,5-12
April 54 7-11 51 8,5-11,5
Agustus 67 7,7-15 61 9-13,8
Jumlah 170 188
Ikan dengan panjang 9,5 cmFL mendominansi hasil
tangkapan pada bulan Maret dan April, sedangkan pada
bulan Agustus didominansi oleh ikan dengan panjang 11
cmFL (Gambar 1). Berdasarkan atas hasil tersebut dapat
dilihat bahwa ikan kuniran yang tertangkap pada bulan
Agustus memiliki ukuran yang lebih besar dibanding bulan
Maret dan April, dan diduga ikan yang ditangkap pada
bulan Agustus berusia lebih tua dibanding ikan yang
ditangkap pada bulan Maret dan April. Hasil penelitian
Beck & Sudradjat (1978) di Laut Jawa, kisaran panjang
ikan kuniran 8-15,8 cm, tidak berbeda nyata dengan
penelitian ini. Di Selat Sunda kisaran panjang ikan kuniran
ini berkisar antara 5,41-17,3 cm (Genisa, 2003), dan di
Teluk Kwandang, Gorontalo berkisar antara 5,4-13,7 cm
(Fahmi & Adrim, 2002). Di perairan Andhra-Orissa, India
kisaran panjang ikan kuniran antara 9,1-20 cm (Reuben et
al., 1994). Ikan kuniran berukuran 20 cm tidak pernah
ditemukan di perairan Laut Jawa (Beck & Sudrajat, 1978).
Hal ini mirip dengan ukuran panjang ikan kuniran pada
penelitian ini yang hanya memperoleh ikan dengan ukuran
panjang maksimum 15 cm.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 1. Frekuensi panjang ikan kuniran, tahun 2009.
Figure 1. Lenght frequency of silver goatfish, 2009.
Hubungan Panjang dan Bobot
Hubungan panjang dan bobot menggambarkan sifat
pertumbuhan ikan. Persamaan eksponensial hubungan
panjang dan bobot ikan kuniran yang dihasilkan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai b dari
persamaan hubungan panjang dan bobot ikan total telah
diuji-t pada selang kepercayaan 95%. Hasil uji pada bulan
Maret menunjukan hasil yang berbeda nyata, sedangkan
pada bulan April dan Agustus tidak berbeda nyata. Pola
pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret adalah
allometrik negatif dengan nilai b sebesar 2,576
(pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan
bobotnya), pada bulan April dan Agustus pola pertumbuhan
ikan tersebut adalah isometrik dengan nilai b secara
berurutan 3,2478 dan 2,9915 (pertambahan panjang
seimbang dengan pertambahan bobotnya). Penelitian yang
dilakukan oleh Badrudin (1978), menunjukan sifat
pertumbuhan ikan kuniran di Laut Jawa bagian tengah
bersifat isometrik. Di perairan Demak, sifat pertumbuhan
ikan kuniran allometrik negatif (Saputra et al., 2009).
Tabel 3. Hubungan panjang dan bobot ikan kuniran, tahun 2009
Table 3. Lenght and weight relationship of silver goatfish, 2009
Pengamatan/
Observation Jantan/Male Betina/Female
Kombinasi/
Combination
α
(Kombinasi/
Combination)
Sifat pertumbuhan/
Growth properties
Maret W=0,0568 L2,5574
W=0,0514 L2,6026
W=0,0547 L2,576
95% Allometrik
April W=0,0095 L3,3113
W=0,0068 L3,4555
W=0,0110 L3,2478
95% Isometrik
Agustus W=0,0140 L3,0826
W=0,0236 L2,8715
W=0,0176 L2,9915
95% Isometrik
Fre
ku
ensi
/Fre
qu
ency (
%)
Beberapa Aspek Biologi Ikan ..... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Kembaren, D.D. & T. Ernawati)
Tingkat Kematangan Gonad
Analisis tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang
didaratkan di Tegal menunjukan bahwa tingkat kematangan
gonad I dan II ikan betina banyak ditemukan pada
pengamatan bulan Agustus masing-masing 62,30 dan
36,07%. Sedangkan tingkat kematangan gonad III dan IV
banyak ditemukan pada bulan Maret masing-masing 40,79
dan 19,74% (Tabel 4). Dengan demikian dapat diduga
bahwa stok ikan kuniran setelah bulan Maret memasuki
masa pemijahan.
Tabel 4. Komposisi tingkat kematangan gonad ikan kuniran yang didaratkan di Tegal, tahun 2009
Table 4. Gonad maturity stage composition of silver goatfish landed at Tegal, 2009
Tingkat kematangan gonad/
Gonad maturity stage
Maret April Agustus
Jantan/
Male Betina/
Female Jantan/
Male Betina/
Female Jantan/
Male Betina/
Female
N % N % N % N % N % N %
I 32 65,31 16 21,05 48 88,89 22 43,14 58 86,57 38 62,30
II 11 22,45 14 18,42 6 11,11 12 23,53 9 13,43 22 36,07
III 6 12,24 31 40,79 0 0,00 16 31,37 0 0,00 1 1,64
IV 0 0,00 15 19,74 0 0,00 1 1,96 0 0,00 0 0,00
Jumlah 49 100 76 100 54 100 51 100 67 100 61 100
Hasil penelitian Saputra et al. (2009) menunjukan
bahwa ikan kuniran betina di perairan Demak paling
banyak ditemukan pada tingkat kematangan gonad I dan
paling sedikit tingkat kematangan gonad IV. Hasil tersebut
tidak berbeda dengan penelitian ini.
Panjang Pertama Kali Matang Gonad (Length at First
Maturity)
Analisis kematangan gonad dengan menggunakan
metode Spearman-Karber, diketahui bahwa ikan kuniran
pertama kali matang gonad pada ukuran panjang (length at
first maturity) 9,87 cmFL dan berkisar antara 9,39-10,30
cmFL (Lampiran 1). Hasil penelitian Saputra et al. (2009)
di perairan Demak, diperoleh ukuran pertama kali matang
gonad 21,97 cmFL. Penelitian oleh Herianti & Subani
(1993), diperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan
kuniran di Laut Jawa 12 cmFL dengan kisaran antara 11,4-
12,6 cmFL. Kondisi ini menunjukan adanya penurunan
nilai length at first maturity jenis ikan kuniran. Hal ini
diduga disebabkan oleh tekanan penangkapan yang intensif
di perairan Laut Jawa sehingga ikan-ikan yang berukuran
relatif kecil sudah matang gonad untuk mempertahankan
keberadaan populasinya.
Faktor Kondisi
Faktor kondisi ikan merupakan suatu nilai yang
mengatakan kemontokan ikan. Faktor kondisi ikan kuniran
pada penelitian ini sebagai berikut 1,005 (bulan Maret),
1,019 (bulan April), dan 1,009 (bulan Agustus). Hasil ini
menunjukan faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan
Agustus tidak berbeda. Menurut Effendie (1979), faktor
kondisi ikan-ikan yang memiliki bentuk badan pipih
(compressed) berkisar antara 1-3. Faktor kondisi ikan
kuniran yang diperoleh penelitian ini tergolong rendah.
Rendahnya nilai faktor kondisi ini disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain persediaan dan jenis makanan
yang kurang mencukupi atau terbatas, persaingan dari
kompetitor lain dan kondisi lingkungan yang kurang baik.
KESIMPULAN
1. Nisbah kelamin ikan kuniran jantan dan betina adalah
1:1,1, dan kondisi ini berada pada keadaan tidak
seimbang.
2. Ikan kuniran yang tertangkap pada bulan Agustus
memiliki ukuran yang lebih besar dibanding pada bulan
Maret dan April.
3. Pola pertumbuhan ikan kuniran pada bulan Maret
adalah allometrik negatif, dan pada bulan April dan
Agustus adalah isometrik.
4. Faktor kondisi pada bulan Maret, April, dan Agustus
tidak berbeda nyata.
5. Panjang pertama kali matang gonad ikan kuniran 9,87
cmFL dengan kisaran antara 9,39-10,30 cmFL.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset dinamika populasi dan lingkungan sumber daya ikan
demersal dan udang penaeid di Laut Jawa (losari transect),
T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru,
Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2010. Panganan Olahan Membalik Nasib
Nelayan Setempat dan Nasib Ikan Kuniran.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
http://www.trobos.com/show_article.php?rid=23&aid=1
017. Diunduh Tanggal 15 Juni 2010.
Badrudin. 1978. Stok ikan kuniran (Upeneus sulphureus) di
perairan Laut Jawa dan beberapa aspek biologinya.
Simposium Moderenisasi Perikanan Rakyat. Jakarta.
Tanggal 27-30 Juni 1978. 43 pp.
Beck, U. & A. Sudradjat. 1978. Variation in size and
composition of demersal trawl cathces from the north
coast of Java with estimated growth parameters for three
important food fish Species. Laporan Penelitian
Perikanan Laut. (4): 1-80.
Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. 2006. Statistik
Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Effendie, M. I. 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan
Dewi Sri. Bogor.
Food and Agriculture Organization. 1974. Species
Identification Sheet for Fishery Purpose I-IV. Rome.
Fahmi & M. Adrim. 2002. Fauna ikan demersal di Teluk
Kwandang, Kecamatan Kwandang, Kabupaten
Gorontalo, Sulawesi Utara. Perairan Sulawesi dan
Sekitarnya: Biologi, Lingkungan, dan Oseanografi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 19-24.
Genisa, A. S. 2003. Struktur komunitas ikan dan
sebarannya di perairan Selat Sunda, Jawa Barat. Torani.
13 (3): 109-114.
Garces, L. R., I. Stobutzki, M. Alias, W. Campos, N.
Koongchai, L. Lachica-Alino, G. Mustafa, S. Nurhakim,
M. Srinath, & G. Silvestre. 2006. Spatial structure of
demersal fish assemblages in South and Southeast Asia
and implications for fisheries management. Journal
Fishres Elsevier. 143-157.
Holden, M. J. & D. F. S. Raitt. 1974. Manual of Fisheries
Science. Food and Agriculture Organization. Rome. Part
2. Methods of Resources Investigation and their
Application. 135 pp.
Herianti, I. & W. Subani. 1993. Perbandingan ukuran
pertama kali matang gonad beberapa jenis ikan
demersal di perairan utara Jawa. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. 78: 46-58.
Martosewojo, S. & A. Djamali. 1980. Distribusi dan
komposisi jenis ikan di perairan Teluk Jakarta. Evaluasi
Hasil Akhir Pemonitoran Kondisi Perairan Teluk
Jakarta Tahun 1975-1979. 67-76.
Pauly, D., A. Cabanban, & F. S. B. Torres, Jr. 1996.
Fishery biology of 40 trawl caught teleosts of western
Indonesia. 135-216. In D. Pauly & P. Martosubroto
(Eds.) Baseline Studies of Biodiversity: The Fish
Resource of Western Indonesia. ICLARM Studies and
Reviews 23.
Pujiati, S., Suwarso, B. P. Pasaribu, I. Jaya, & D.
Manurung. 2008. Pendekatan metode hidroakustik
untuk eksplorasi sumber daya ikan demersal di perairan
utara Jawa Tengah. Ichtyos. 7 (1): 15-20.
Reuben, S., K. Vijayakumaran, & Kchittibabus. 1994.
Growth, maturity, and mortality of Upeneus sulphureus
from Andhra-Orissa coast. Indian Journal of Fisheries.
2: 87-91.
Sommer, C., W. Schneider, & J. M. Poutiers. 1996. Food
and Agriculture Organization Species Identification
Field Guide for Fishery Purposes. The Living Marine
Resources of Somalia. Food and Agriculture
Organization. Rome. 376 pp.
Sumiono, B. & S. Nuraini. 2007. Beberapa parameter
biologi ikan kuniran (Upeneus sulphureus) hasil
tangkapan cantrang yang didaratkan di Brondong, Jawa
Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 7 (2): 83 pp.
Saputra, S. W., P. Soedarsono, & G. A. Sulistyawati. 2009.
Beberapa aspek biologi ikan kuniran (Upeneus spp.) di
perairan Demak. Jurnal Saintek Perikanan. 5 (1): 1-6.
Udupa, K. S. 1986. Statistical method of estimating the size
of first maturity in fish. Fishbyte. ICLARM. Manila. 4
(2): 8-1.
Weber, M. & L. F. de Beaufort. 1931. The Fishes of the
Indo Australian Archipelago. Perciformes (Serranidae,
Mullidae). E. J. Brill. Laiden. 6: 448 pp.
Wahyuono, H., S. Budihardjo, Wudianto, & R. Rustam.
1983. Pengamatan parameter biologi beberapa jenis
ikan demersal di perairan Selat Malaka, Sumatera Utara.
Laporan Penelitian Perikanan Laut. 26: 29-48.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Lampiran 1. Penghitungan panjang pertama kali matang gonad (length at first maturity)
Appendix 1. Measurement of length at first maturity
Maturity stage
Midlength Log Midlength No.Sample I II III IV Fully
mature
Prop.fully
mature Xi+1-Xi=X qi=1-pi (pi.qi)/(ni-1)
(Xi) (ni) Immature Immature Maturing Maturing (ri) (pi)
8 0,9031 0 0 0 0 0 0 #DIV/0!
8,5 0,9294 1 1 0 0 0 0 0,000 0,0263 1,000 #DIV/0!
9 0,9542 9 7 2 0 0 0 0,000 0,0248 1,000 0
9,5 0,9777 12 5 2 4 1 5 0,417 0,0235 0,583 0,022096
10 1,0000 26 3 4 13 6 19 0,731 0,0223 0,269 0,00787
10,5 1,0212 14 0 3 7 4 11 0,786 0,0212 0,214 0,012951
11 1,0414 8 0 2 5 1 6 0,750 0,0202 0,250 0,026786
11,5 1,0607 3 0 1 1 1 2 0,667 0,0193 0,333 0,111111
12 1,0792 3 0 0 1 2 3 1,000 0,0185
Total 4,350 0,181
Average 0,022
m = Xk+X/2-(X∑pi) m = log ukuran ikan saat pertama matang ovarium
m = 1,0792+(0,022/2)-(0,022*4,350) Xk = log ukuran ikan di mana 100% ikan contoh sudah matang
m = 0,9945 X = selang log ukuran (log size increment)
Pi = proporsi ikan matang pada kelompok ke-i
Antilog (0,9945) = 9,87
Panjang ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity) 9,87 cm
95% CL Upper limit Antilog (0,9945+1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181)
Lowerlimit Antilog (0,9945-1,96 Sqrt (0,022) kwadrat (0,181)
0,9945+(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5) 1,0128 Antilog (1,0128) 10,30
0,9945-(1,96*((0,022^2)*(0,181))^0,5) 0,9762 Antilog (0,9762) 9,39
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
SEBARAN LONGITUDINAL FITOPLANKTON DI SUNGAI MARO,
KABUPATEN MERAUKE, PROVINSI PAPUA
Lismining Pujiyani Astuti dan Yayuk Sugianti Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta
Teregistrasi I tanggal: 4 Maret 2009; Diterima setelah perbaikan tanggal: 1 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 12 Januari 2011
ABSTRAK
Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di Kabupaten Merauke, berfungsi sebagai habitat ikan hias yang
bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana (Scleropages jardinii) dan kakap batu (Datnioide aquadraticus). Wilayah
sekitar sungai merupakan rawa-rawa yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah tengah sampai hulu
sungai. Fitoplankton merupakan produser dan pakan alami beberapa jenis ikan di Sungai Maro. Tujuan penelitian ini
untuk mengetahui sebaran longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro, Kabupaten Merauke. Penelitian ini
dilakukan dengan survei dan pengambilan contoh dilakukan pada bulan Desember 2007 di lima stasiun pengamatan pada
lokasi pemijahan ikan arwana di ruas Sungai Maro. Parameter yang dianalisis adalah komposisi jenis dan kelimpahan
fitoplankton. Hasil pengamatan di lima stasiun pengamatan, ditemukan lima kelas fitoplankton yang terdiri atas kelas
Chlorophyceae (14 genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae (tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan
Euglenaphyceae (satu genus), dengan kelimpahan fitoplankton berkisar 49.294-66.396 ind./L. Persentase fitoplankton
tertinggi dari ruas atas sampai bawah adalah Staurastrum dominan dari Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di Stasiun
Mouwer dan Toray, Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Sedangkan urutan keberadaan kelas fitoplankton dari ruas atas
sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer, kemudian
Bacillariophyceae di Stasiun Toray dan Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo.
KATA KUNCI: sebaran longitudinal, fitoplankton, Sungai Maro, Merauke Papua
ABSTRACT: Longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River, Merauke Regency, Papua Province. By:
Lismining Pujiyani Astuti and Yayuk Sugianti
Maro River is one of big river in Merauke Regency and serve as ornamental fish habitat of arowana (Sleropages
jardinii) and Datnioides aquadraticus that economically has high value. Around of this river are wetland area that is
arwana habitat mainly at middle and upper river. Phytoplankton is natural feed producer for several fishes species at
Maro River. Aim of this paper was to know longitudinal distribution of phytoplankton at Maro River. The research was
conducted by survey method and sampling was conducted in December 2007 at 5 sampling stations on arwana fish
spawning sites located at Maro River. The parameters were analyzed include composition and abundance of
phytoplankton. Result showed that at five sampling stations were found 5 classes of phytoplankton which consists of the
class Chlorophyceae (14 genera), Cyanophyceae (1 genera), Bacillariophyceae (7 genera), Dinophyceae (2 genera), and
Euglenaphyceae (1 genera) with the abundance of phytoplankton ranges from 49,294-66,396 ind./L. The highest
percentage of phytoplankton in each station was found from upper to lower segment was Staurastrum found at Barkey
and Weloyah Synedra at Mouwer and Toray, Ulothrix at Kaliwanggo. While the presence of phytoplankton class was
found from upper to lower on Maro River was Chlorophyceae at Barkey, Weloyah, and Mouwer, Bacillariophyceae at
Toray and Chlorophyceae at Kaliwanggo.
KEYWORDS: longitudinal distribution, phytoplankton, Maro River, Merauke Papua
PENDAHULUAN
Sungai Maro merupakan salah satu sungai besar di
Kabupaten Merauke dengan panjang 207 km dan lebar 47-
900 m yang dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan dan
transportasi. Sungai ini juga berfungsi sebagai habitat ikan
hias yang bernilai ekonomis penting yaitu ikan arwana dan
kakap batu. Wilayah sekitar sungai merupakan rawa-rawa
yang merupakan habitat ikan arwana terutama di wilayah
tengah sampai hulu sungai.
Ikan-ikan di sepanjang Sungai Maro bardasarkan atas
hasil penelitian 2007 selain ikan arwana dan kakap batu
antara lain ikan tulang (Nematalosa flyensis), bulanak
(Mugil sp.), nila (Oreochromis niloticus), gabus (Channa
striata), saku (Strongylura kreffti), duri (Arius sp.), kaca
(Parambassis sp.), sumpit (Toxotes chatareus), serta kakap
rawa (Lates calcarifer). Ikan-ikan yang memanfaatkan
plankton sebagai makanannya adalah ikan tulang, nila, dan
bulanak (Satria et al., 2008).
Plankton terutama fitoplankton merupakan komponen
penting dalam rantai makanan pada ekosistem perairan.
Fitoplankton merupakan produser primer dan pakan alami
beberapa jenis ikan di Sungai Maro seperti ikan tulang, nila,
dan bulanak (Satria et al., 2008).
Menurut Kim & Joo (2000) perubahan menyeluruh
fungsi ekologi sistem sungai berperan penting dalam
dinamika plankton. Komunitas plankton sungai
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
berkembang di sungai pada umumnya terjadi pada sungai
yang panjang di mana organisme ini mempunyai cukup
waktu untuk tumbuh dan berkembang biak (Walks & Cyr,
2004). Fitoplankton di sungai pada umumnya mempunyai
pertumbuhan yang cepat dan berukuran lebih kecil
dibandingkan fitoplankton danau atau waduk (Wetzel,
2001). Tujuan penulisan ini untuk mengetahui sebaran
longitudinal fitoplankton yang ada di Sungai Maro,
Kabupaten Merauke.
BAHAN DAN METODE
Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan pada bulan
Desember 2007 saat musim pemijahan ikan arwana di lima
stasiun pengamatan di Sungai Maro bagian tengah pada
daerah pemijahan ikan arwana yaitu dari wilayah Barkey
sampai Kaliwanggo Kabupaten Merauke (Gambar 1).
Karakteristik masing-masing lokasi pengamatan disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik fisik dan posisi geografi stasiun pengamatan
Table 1. Physical characteristic and geographical position of sampling stations
No. Stasiun pengamatan/
Observation station
Posisi geografi/
Geographical position Keterangan/Remarks
1. Barkey S=07°51’24.7”
E=140°58’10.6”
Ruas atas, arus lambat, dan daerah sekitar
rawa.
2. Weloyah S=07°52'12.2"
E=140°54'26.6"
Daerah rawa dan ada masukan air dari
sungai-sungai kecil.
3. Mouwer S=07°57'53.6"
E=140°58'12.8"
Ruas tengah.
4. Toray S=08°00’29.2”
E=140°58’36.4”
Ruas bawah, dekat dengan perkampungan
Toray, dan banyak tumbuhan air.
5. Kaliwanggo S=08°02’29.6”
E=140°58’27.0”
Ruas bawah dengan arus yang deras dan
terdapat masukan air dari anak Sungai
Maro.
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Figure 1. Research site.
Contoh plankton diambil menggunakan kemmerer water
sampler 5 L, kemudian disaring memakai plakton net
nomor 25 (mesh size 60 µm) dan dimasukan ke dalam botol
contoh berukuran 25 mL. Contoh plankton hasil proses
penyaringan selanjutnya diawetkan dengan larutan lugol
1%. Pengamatan dilakukan terhadap 20 lapang pandang
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
dengan menggunakan mikroskop binokuler pada perbesaran
100x. Rujukan yang digunakan untuk identifikasi
fitoplankton adalah dari Whiple (1947); Edmonson (1959);
Needham & Needham (1963); Sachlan (1982).
Penentuan kelimpahan sel dilakukan dengan
menggunakan metode lackey drop microtransect counting
chamber (American Public Health Association, 1989)
dengan persamaan sebagai berikut:
E
1x
D
Cx
B
AxnN =
..................................................... (1
di mana:
N = jumlah total fitoplankton (ind./L)
n = jumlah rata-rata total individu per lapang pandang
A = luas gelap penutup (mm2)
B = luas satu lapang pandang (mm2)
C = volume air terkonsentrasi (mL)
D = volume air satu tetes (mL) di bawah gelas penutup
E = volume air yang disaring (L)
HASIL DAN BAHASAN
Jenis-Jenis Plankton
Ditemukan 25 genus dari lima kelas fitoplankton (Tabel
2) di Sungai Maro dengan persentase yang berbeda-beda.
Persentase tertinggi adalah Synedra di Stasiun Toray
kemudian Ulothrix di Stasiun Kaliwanggo. Secara urut, dari
ruas atas yaitu Stasiun Barkey, Weloyah, Mouwer, Toray,
dan Kaliwanggo mempunyai fitoplankton dengan
persentase tertinggi yang berbeda-beda yaitu Staurastrum
dominan di Stasiun Barkey dan Weloyah, Synedra di
Stasiun Mouwer dan Toray serta Ulothrix di Stasiun
Kaliwanggo atau secara rinci disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase keberadaan fitoplankton pada masing-masing stasiun pengamatan
Table 2. Percentage of phytoplankton existance at every sampling station
No. Kelas dan genus/
Classes and genus
Persentase/Percentage (%)
Barkey Weloyah Mouwer Toray Kaliwango
Chlorophyceae 1. Anthordesmus 6,9
2. Ankistrodesmus 1,52
3. Cosmarium 10,2 7,58 10,34 9,52
4. Crucigenia 0
5. Dictyosphaerium 8,16 7,58 3,45
6. Eudorina 1,52
7. Euastrum
8. Oocystis 10,2 5,17
9. Scenedesmus 3,03
10. Spirogyra 14,81
11. Staurastum 22,45 30,3 10,34 6,35
12. Tetraedron 16,33 9,09 13,79
13. Ulothrix 4,55 8,62 31,75
14. Xanthidium 10,2 12,12 5,17
Cyanophyceae
1. Oscllatoria 5,17 22,22
Bacillriophyceae
1. Asterionella 8,16 10,61
2. Melosira 2,04 3,03
3. Navicula 2,04 6,9 5,56 11,11
4. Nitzchia 4,08 1,52 3,45
5. Penium 4,08 3,03
6. Surirella 4,76
7. Synedra 18,97 38,89 23,81
Dinophyceae
1. Ceratium 1,52 18,52
2. Peridinium 1,72 12,7
Euglenaphyceae
1. Euglena 2,04 3,03
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Secara umum, Staurastrum ditemukan di semua stasiun
pengamatan. Staurastrum merupakan desmid uniselluler
dengan 8-12 dan 20 lengan yang banyak ditemukan pada air
lunak (soft water) dan pH rendah (Silva, 2006) dan hal ini
sesuai dengan kondisi perairan yang mempunyai pH 5
(Tabel 3). Menurut Cousel (1983) dalam Henny & Susanti
(2009), Staurastrum merupakan salah satu jenis famili
Chlorophyta yang menjadi indikator kondisi perairan
eutrofik selain Cosmarium dan Closterium. Staurastrum
tertinggi di wilayah Barkey (22,45%) dan Weloyah
(30,30%). Synedra ditemukan dengan persentase tertinggi
di wilayah Toray (38,89%) yang diduga berkaitan dengan
kondisi perairan yang telah mendapat gangguan
antropogenik karena wilayah ini dekat dengan permukiman
penduduk. Sedangkan di wilayah Kaliwanggo yang banyak
ditemukan adalah Ulothrix mencapai 31,75%. Untuk
Cyanophyceae hanya ditemukan Oscillatoria dan hasil ini
sama dengan hasil penelitian Mansor & Muthaiya (1998) di
sungai wilayah Kinibalu Park, Sabah. Jenis ini
memproduksi neurotoksin jenis anatoxin a dan
homoanatoxin a yang berbahaya bagi organisme. Anatoxin
a merupakan alcaloid neurotoxic yang beraksi sebagai
neuromuscular blocking agent (Hamill, 2001).
Hasil pengamatan di Sungai Ciliwung, Jakarta yang
merupakan sungai dengan pencemaran berat menunjukan
bahwa Microcystis sp. dan Merismopedia sp. dari kelas
Cyanophyceae serta Closteriopasis sp., dan Ankistrodesmus
sp. dari kelas Chlorophyceae yang dominan (Fachrul et al.,
2008). Sementara di hulu Sungai Asahan, Porsea, Sumatera
Utara yang melimpah adalah Ulothrix dan Pediastrum dari
kelas Chlorophyceae serta Pinnularia dan Navicula dari
kelas Bacillariophyceae (Siregar, 2009).
Tabel 3. Kualitas air di Sungai Maro
Table 3. Water quality at Maro River
No. Parameter/Parameter Satuan/Unit Barkey Weloyah Mouwer Torai Kaliwanggo
1. Kecerahan cm 50 100 70 80 80
2. pH 5 5 5 5 5
3. Total alkalinitas mg/L eq CaCO3 10 10 10 12,5 7,5
4. N-NO3 mg/L 2,012 1,173 1,132 1,214 1,903
5. P-PO4 mg/L 0,16 0,208 0,22 0,291 0,754 Sumber/Sources: Astuti & Satria (2009)
Kelimpahan Fitoplankton
Kelimpahan fitoplankton berfluktuasi, berkisar 49.294-
66.396 ind./L dan tertinggi di wilayah Weloyah kemudian
Kaliwanggo (Gambar 2). Berdasarkan atas kelimpahan
fitoplankton yang >15.000 ind./L maka perairan Sungai
Maro termasuk perairan yang subur (Lander dalam Basmi,
1991). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi penelitian
yang sebagian merupakan rawa-rawa yang kaya akan bahan
organik yang bersumber dari dedaunan dan tumbuhan air
yang ada di rawa-rawa. Dedaunan dan tumbuhan air yang
telah membusuk dan terdekomposisi akan menghasilkan
unsur hara bagi pertumbuhan fitoplankton. Perairan wilayah
Weloyah merupakan daerah rawa-rawa dan mendapatkan
masukan dari beberapa sungai kecil sehingga nutrien bagi
fitoplankton tinggi yaitu NO3 sebesar 1,173 mg/L dan PO4
sebesar 0,208 mg/L (Tabel 3) Wilayah Kaliwanggo
merupakan daerah lebih bawah dan mendapatkan masukan
dari sungai yang cukup besar.
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
Gambar 2. Fluktuasi kelimpahan fitoplankton berdasarkan atas stasiun pengamatan.
Figure 2. Fluctuation of phytoplankton abundance base on station of observation.
Pada lokasi pengamatan ditemukan lima kelas
fitoplankton (Tabel 2) terdiri atas kelas Chlorophyceae (14
genus), Cyanophyceae (satu genus), Bacillariophyceae
(tujuh genus), Dinophyceae (dua genus), dan
Euglenaphyceae (satu genus). Jumlah genus yang paling
banyak ditemukan adalah Chlorophyceae kemudian disusul
Bacillariophyceae dan ini sama dengan hasil penelitian di
Sungai Lithuania di daerah temperate (Kostkeviciene et al.,
2001). Namun demikian pada tiap-tiap stasiun pengamatan
tidak semua kelas tersebut ditemukan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Onyema (2007); Zalocar de Domitrovic et al.
(2007), bahwa komposisi fitoplankton tidak selalu merata
pada setiap lokasi di dalam suatu ekosistem, di mana pada
suatu ekosistem sering ditemukan beberapa jenis melimpah
sedangkan yang lain tidak. Hanya kelas Chlorophyceae dan
Bacillariophyceae yang ditemukan pada tiap stasiun
pengamatan seperti tertera pada Tabel 4. Hal ini serupa
dengan hasil penelitian Patriono et al. (2005) di daerah
lebak lebung dengan pH berkisar 4,5-5 dan fitoplankton
yang dominan ditemukan adalah Bacillariophyceae
(73,45%) dan Chlorophyceae (26,00%). Berikut ini urutan
keberadaan kelas fitoplankton yang dominan dari ruas atas
sampai bawah di Sungai Maro adalah Chlorophyceae
dominan di Stasiun Barkey, Weloyah, dan Mouwer dan
Bacillariophyceae di Stasiun Toray serta Chlorophyceae di
Stasiun Kaliwanggo.
Kelas Chlorophyceae sendiri merupakan kelas plankton
yang banyak, sekitar 64% terdapat di perairan tawar,
mempunyai flagel yang sama panjangnya (isokon),
mempunyai pigmen antara lain klorofil-a dan b, karoten,
dan santofil, berkembang biak secara aseksual dengan
membentuk spora juga dengan membelah diri (Sachlan,
1982). Chlorophyceae menempati persentase tertinggi pada
setiap lokasi pengamatan kecuali di Toray (Tabel 4).
Menurut Presscot (1951) dalam Patriono et al. (2005), kelas
Chlorophyceae akan melimpah baik kualitas maupun
kuantitas pada perairan dengan pH<7 atau perairan yang
bersifat asam. Kelas Chlorophyceaea tertinggi di wilayah
Weloyah yang diduga berkaitan dengan kecukupan nutrien
karena wilayah ini merupakan daerah rawa dan mendapat
masukan dari beberapa anak sungai kecil.
Di Toray didominansi oleh Bacillariophyceae yaitu
44,44% (Tabel 4). Hal ini diduga berkaitan dengan lokasi
penelitian yang sekitarnya banyak tumbuhan air yang
merupakan salah satu tempat hidup alga penempel.
Menurut Sulawesty & Lukman (2009), kelas
Bacillariophyceae dapat merupakan bagian dari komunitas
alga penempel.
Kelas Cyanophyceae hanya ditemukan di Toray dan
Mouwer, di wilayah Toray yang merupakan daerah
permukiman mempunyai Cyanophyceae lebih tinggi
dibandingkan Chlorophyceae. Hal ini diduga berkaitan
dengan adanya masukan limbah antropogenik dari
penduduk sekitar. Menurut Hum & Wicks (1980) dalam
Patriono et al. (2005) Cyanophyceae dapat berlimpah pada
habitat dengan pH netral atau sedikit basa dan kelas ini
sedikit atau bahkan tidak ditemukan pada perairan dengan
pH kurang dari empat atau lima.
Sebaran Longitudinal Fitoplankton di Sungai Maro, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua (Astuti, L.P. & Y. Sugianti)
Tabel 4. Persentase keberadaan kelas fitoplankton pada masing-masing stasiun
Table 4. Percentage of class phytoplankton existence at each sampling site
Kelas/Classes Stasiun/Station
Barkey (%) Weloyah (%) Mouwer (%) Toray (%) Kaliwango (%)
Chlorophyceae 77,55 77,27 63,79 14,81 47,62
Cyanophyceae 0,00 0,00 5,17 22,22 0,00
Bacillariophyceae 20,41 18,18 29,31 44,44 39,68
Dinophyceae 0,00 1,52 1,72 18,52 12,70
Euglenaphyceae 2,04 3,03 0,00 0,00 0,00
KESIMPULAN
1. Sebaran longitudinal fitoplankton di Sungai Maro
didominansi oleh genus Staurastrum dari kelas
Chlorophyceae dan Synedra dari kelas
Bacillariophyceae dengan urutan dari ruas atas sampai
bawah adalah Staurastrum dominan di Barkey 22,45%
dan Weloyah 30,3%; Synedra di Stasiun Mouwer
18,97% dan Toray 38,89%; serta Ulothrix di Stasiun
Kaliwanggo 31,75%. Urutan keberadaan kelas
fitoplankton dari ruas atas sampai bawah di Sungai
Maro adalah Chlorophyceae di Stasiun Barkey 77,55%;
Weloyah 77,27% dan Mouwer 63,79%;
Bacillariophyceae di Stasiun Toray 44,44% dan
Chlorophyceae di Stasiun Kaliwanggo 47,62%.
2. Kelimpahan fitoplankton selama pengamatan berkisar
49.294-66.396 ind./L sehingga termasuk perairan yang
subur.
3. Kelimpahan fitoplankton dari ruas atas sampai bawah
berfluktuasi dan tertinggi di daerah Weloyah yang
merupakan daerah rawa-rawa dengan beberapa masukan
air dari sungai kecil.
PERSANTUNAN
Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil
riset peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii)
melalui konservasi habitat di Sungai Maro, Merauke, T. A.
2007, di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan-Jatiluhur,
Purwakarta.
DAFTAR PUSTAKA
American Public Health Association. 1989. Standard
Methods for the Examination of Water and Waste Water
Including Bottom Sediment and Sludges. Amer. Publ.
Health Association Inc. New York. 1,134 pp.
Astuti, L. P. & H. Satria. 2009. Kondisi perairan pada
musim pemijahan ikan arwana Irian (Scleropages
jardinii) di Sungai Maro bagian tengah, Kabupaten
Merauke. BAWAL-Widya Riset Perikanan Tangkap. 2
(4): 155-161.
Basmi, J. 1991. Fitoplankton sebagai Indikator Biologis
Lingkungan Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 pp.
Edmonson, W. T. 1959. Freshwater Biologi. 2nd
Ed. John
Wiley & Sonc. Inc. New York.1,248 pp.
Fachrul, M. F., S. H Ediyono, & M. Wulandari. 2008.
Komposisi dan model kemelimpahan fitoplankton di
perairan Sungai Ciliwung. Biodiversitas. Jakarta. 9 (4):
296-300.
Hamill, K. D. 2001. Toxicity in benthic freshwater
cyanobacteria (blue-green alga) first observation in New
Zealand. New Zealand Journal of Marine and
Freshwater Research. 35: 1,057-1,059.
Henny, C. & E. Susanti. 2009. Karakteristik limnologis
kolong bekas tambang timah di Pulau Bangka.
Limnotek. XVI (2): 119-131.
Kim, H. W. & G. J. Joo. 2000. The longitudinal distribution
and community dynamics of zooplankton a regulated
large river: A case study of the Nakdong River (Korea).
Hydrobiologia. 438: 171-184.
Kostkeviciene, J., J. Bakunaite, & J. R. Naujilis. 2001.
Analysis of phytoplankton structure in Lithuanian
River. Biologija Nr. 2: 84-87.
Mansor, M. & G. Muthaiya. 1998. Notes on Montane
stream algae of sayap Kinabalu Park. Sabah. ASEAN
Review of Biodiversity and Environmental
Conservation. Article V.
Needham, J. G. & P. R. Needham. 1963. A Guide to the
Study of Freshwater Biology. Fifth Edition. Revised and
Enlarged. Holden Day. Inc. San Fransisco. 180 pp.
Onyema, I. C. 2007. The phytoplankton composition.
abundance and temporal variation of a polluted
estuarine creek in Lagos. Nigeria. Turkish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences. 7: 89-96.
Patriono, E., D. Anggraeni, & E. Nofyan. 2005. Studi
komposisi fitoplankton sebagai pakan alami ikan sepat
BAWAL: Vol.3 No.4-April 2011:
rawa (Trichogaster trichopterus Pall) stadium muda di
lebak lebung Teluko, Sumatera Selatan. Prosiding
Forum Perikanan Indonesia I. Pusat Riset Perikanan
Tangkap. 149-153.
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan
Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. 156 pp.
Silva, E. I. L. 2006. Ecology of phytoplankton in tropical
water: Introduction to the topic and ecosystem chane
from Sri Lanka. Asian Journal of Water, Environment,
and Pollution. 4 (1): 25-35.
Satria, H., K. Purnomo, E. S. Kartamiharja, A. S. Ronny, L.
P. Astuti, Y. Sugianti, A. Warsa, & Haryono. 2008.
Peningkatan stok ikan arwana (Scleropages jardinii) di
Sungai Maro melalui konservasi. Laporan Akhir Tahun.
Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. 64 pp.
Siregar, M. H. 2009. Studi keanekaragaman plankton di
hulu Sungai Asahan, Porsea. Skripsi. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas
Sumatera Utara. 76 pp.
Sulawesty, F. & Lukman. 2009. Komunitas Fitoplankton
Danau Paparan Banjir. Kalimantan Timur. Limnotek.
XVI (2): 99-108.
Whipple, G. C. 1947. The Microscopy of Drinking Water.
John Wiley & Sons. Inc. London. Chapman & Hall.
Limited. 586 pp.
Wetzel, R. G. 2001. Lymnology Lake and River Ecosystem.
Third Edition. Academic Press. California. 1,006 pp.
Walks, D. J. & H. Cyr. 2004. Movement of plankton
through lake stream systems. Freshwater Biology. 49:
745-759.
Zalocar de Domitrovic, Z. Y., A. S. G. Poi de Neiff, & S. L.
Casco. 2007. Abundance and diversity of phytoplankton
in the Paraná River (Argentina) 220 km downstream of
the Yacyretá reservoir. Brazilian Journal of Biology. 67
(1): 53-63.