iii - wiadnyadgr.lecture.ub.ac.idwiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/3_1-ancaman.pdf · oleh...

14
31 Ancaman pada sumber daya hayati laut III ANCAMAN PADA SUMBER DAYA HAYATI LAUT 3.1 Pendahuluan Pada pertengahan tahun 1800an, seorang naturalist berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace, mengunjungi Ambon. Catatan temuan Wallace tentang keragaman hayati laut, sekarang masih valid dan secara ilmiah disebut Wallace Line. Salah satu petikan tulisan Wallace, ialah sebagai berikut: “ketika saya melihat ke dalam air laut, dasar perairan tersembunyi dan ditutupi sepenuhnya oleh karang, spons, actinia dan produksi lainnya, dalam dimensi yang sangat indah, dalam berbagai bentuk dan warna yang sangat brillian”. Pada saat itu, terumbu karang Indonesia dipercaya masih dalam kondisi asli (pristine) dan dijadikan acuan dalam menentukan status kesehatan karang dewasa ini. Persentase tutupan karang hidup ialah satu diantara berbagai indikator tingkat kesehatan karang. Tingkat kesehatan karang dibedakan menjadi 4 (empat) kategori: excellence (sangat baik) ialah tutupan karang hidup > 75%; good (baik) dengan tutupan karang hidup antara 50 – 75%; moderate (sedang) antara 25 – 50%; dan poor (jelek), dengan tutupan karang hidup < 25%. Ketika Russel Wallace berkunjung ke Ambon, terumbu karang dijadikan titik acuan ( reference point), dengan tutupan karang hidup > 75%. Setelah kunjungan Wallace, terumbu karang Indonesia diduga mengalami degradasi secara bertahap. Meningkatnya penduduk, pembangunan dan permintaaan pada sumber daya laut berdampak nyata pada terumbu karang. Pada tahun 2000, Prof. Rokhmin Dahuri, seorang ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai pada kesimpulan bahwa luas terumbu karang Indonesia, dengan status tutupan karang keras > 75% hanya tersisa 6% dari kondisi 100 tahun sebelumnya. Terumbu karang mengalami kerusakan dengan laju antara 0,5 – 1,0% per tahun. Dengan luas total terumbu karang Indonesia 48.000 km 2 , bisa dikatakan terumbu karang mengalami kerusakan setara 24.000 ha per tahun. Tujuan pembelajaran: Memahami berbagai jenis sumber ancaman pada habitat dan keanekaragaman sumber daya hayati laut, terutama di wilayah Coral Triangle – perubahan iklim, polusi laut, pembangunan di wilayah pesisir, konversi lahan, penangkapan berlebih dan penangkapan tidak ramah lingkungan. Dari berbagai jenis ancaman tersebut, kita bedakan menjadi ancaman global dan ancaman lokal. Juga perlu untuk kita ketahui prioritas ancaman yang penting dan strategis untuk segera diatasi secara bersama oleh berbagai pihak.

Upload: ngodang

Post on 03-May-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

31 Ancaman pada sumber daya hayati laut

III

ANCAMAN PADA

SUMBER DAYA HAYATI

LAUT

3.1 Pendahuluan

Pada pertengahan tahun 1800an, seorang naturalist berkebangsaan Inggris, Alfred Russel

Wallace, mengunjungi Ambon. Catatan temuan Wallace tentang keragaman hayati laut, sekarang

masih valid dan secara ilmiah disebut Wallace Line. Salah satu petikan tulisan Wallace, ialah sebagai

berikut: “ketika saya melihat ke dalam air laut, dasar perairan tersembunyi dan ditutupi sepenuhnya

oleh karang, spons, actinia dan produksi lainnya, dalam dimensi yang sangat indah, dalam berbagai

bentuk dan warna yang sangat brillian”. Pada saat itu, terumbu karang Indonesia dipercaya masih

dalam kondisi asli (pristine) dan dijadikan acuan dalam menentukan status kesehatan karang dewasa

ini. Persentase tutupan karang hidup ialah satu diantara berbagai indikator tingkat kesehatan

karang. Tingkat kesehatan karang dibedakan menjadi 4 (empat) kategori: excellence (sangat baik)

ialah tutupan karang hidup > 75%; good (baik) dengan tutupan karang hidup antara 50 – 75%;

moderate (sedang) antara 25 – 50%; dan poor (jelek), dengan tutupan karang hidup < 25%. Ketika

Russel Wallace berkunjung ke Ambon, terumbu karang dijadikan titik acuan (reference point),

dengan tutupan karang hidup > 75%. Setelah kunjungan Wallace, terumbu karang Indonesia diduga

mengalami degradasi secara bertahap. Meningkatnya penduduk, pembangunan dan permintaaan

pada sumber daya laut berdampak nyata pada terumbu karang. Pada tahun 2000, Prof. Rokhmin

Dahuri, seorang ahli kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai pada kesimpulan bahwa luas

terumbu karang Indonesia, dengan status tutupan karang keras > 75% hanya tersisa 6% dari kondisi

100 tahun sebelumnya. Terumbu karang mengalami kerusakan dengan laju antara 0,5 – 1,0% per

tahun. Dengan luas total terumbu karang Indonesia 48.000 km2, bisa dikatakan terumbu karang

mengalami kerusakan setara 24.000 ha per tahun.

Tujuan pembelajaran:

Memahami berbagai jenis sumber

ancaman pada habitat dan

keanekaragaman sumber daya

hayati laut, terutama di wilayah

Coral Triangle – perubahan iklim,

polusi laut, pembangunan di

wilayah pesisir, konversi lahan,

penangkapan berlebih dan

penangkapan tidak ramah

lingkungan. Dari berbagai jenis

ancaman tersebut, kita bedakan

menjadi ancaman global dan

ancaman lokal. Juga perlu untuk

kita ketahui prioritas ancaman

yang penting dan strategis untuk

segera diatasi secara bersama oleh

berbagai pihak.

32 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Gambar 3.1 Tutupan karang hidup yang tinggi, menunjukkan terumbu karang yang sehat (Foto:

diambil dari Wakatobi, oleh Purwanto)

Sumber daya hayati (habitat dan spesies) di laut mengalami ancaman serius oleh berbagai

aktifitas manusia di darat. Kegiatan tersebut bisa berdampak langsung atau secara tidak langsung

pada keanekaragaman hayati – ancaman langsung ialah jenis ancaman yang dampaknya langsung

kepada sumber daya laut, misalnya penangkapan ikan. Sedangkan ancaman tidak langsung ialah

kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan pengambilan sumber daya hayati di laut, namun

akhirnya berpengaruh pada penurunan sumber daya hayati. Sebagai contoh misalnya, penambangan

minyak di laut lepas, ketika kilang minyak mengalami kebocoran dan terjadi pencemaran minyak.

Berdasarkan cakupannya, ancaman pada sumber daya hayati laut bisa dibedakan menjadi:

ancaman yang bersifat lokal, dan ancaman global. Ancaman lokal ialah jenis ancaman dengan

sumber ancaman bersifat lokal, terjadi pada titik tertentu di laut. Pencemaran, konversi lahan atau

penangkapan ikan ialah termasuk jenis ancaman lokal. Ancaman global ialah tekanan pada sumber

daya hayati laut yang terjadi pada hampir semua wilayah di laut. Meningkatnya suhu permukaan air

laut ialah contoh dalam kategori ancaman global.

3.2 Perubahan iklim

Pertambahan penduduk dan pemenuhan kebutuhan manusia yang hampir tidak terbatas ialah

dua faktor yang menyebabkan perubahan ekologi di darat, dan akhirnya juga berdampak pada laut.

33 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Karena laut juga mempengaruhi daratan secara timbal balik, maka daratan menerima “double-blow

effect”, atau dampak ganda dari kegiatan yang dimulai dari darat. Pada akhirnya, manusia yang

tinggal di darat yang harus menerima atau menanggung kerugian ini secara bersama. Diantara kita

mungkin masih ingat dengan kata “freon”, yang banyak digunakan untuk kebutuhan rumah tangga,

terutama sebagai pendingin (refrigerant), penyemprot (propellant) dan pelarut. Freon ialah merek

dagang untuk senyawa organik chlorofluorocarbon (CFC) yang mengandung carbon, chlorine dan

fluorine. Belakangan, bahan ini diketahui menyebabkan penipisan lapisan ozon pada atmosphere.

Dampaknya ialah radiasi spektrum ultraviolet dari matahari yang diterima langsung oleh bumi, yang

sebelumnya ditahan (sebagian) pada lapisan ozon. Negara Eropa melarang total penggunaan CFC

sejak tahun 2000 – semua negara di dunia sudah harus menghentikan penggunaan bahan CFC paling

lambat tahun 2010. Cerita tentang CFC atau freon mungkin akan segera berakhir. Namun dampak

dari CFC masih akan kita terima sampai waktu yang relatif lama. CFC ialah senyawa yang stabil dan

bisa bertahan sampai 100 tahun lamanya. Andaikata benar bahwa produksi CFC sudah diakhiri, maka

dalam 100 tahun ke depan, CFC yang tersisa tetap bisa menyebabkan penipisan lapisan pada ozon.

Revolusi industri, dibarengi dengan pertambahan penduduk, memacu penggunaan sumber-

sumber energi fosil, seperti minyak bumi, gas alam dan batubara. Pengembangan pemukiman dan

industri memaksa pembukaan lahan hutan yang selama ini berfungsi sebagai penyedia oksigen dan

penyerap karbon pada atmosphere bumi. Dampak yang paling nyata ialah meningkatnya kandungan

CO2 pada atmosphere bumi. Dampak turunan yang dihasilkan dari pembakaran energi fosil dan

pembukaan lahan hutan ialah pada peningkatan suhu atmosphere dan hujan asam – lebih ekstrem

lagi, dia menghasilkan dampak turunan lain berupa hujan, disertai dengan intensitas badai tinggi.

Sebaliknya, bisa terjadi kemarau berkepanjangan, hujan asam dan banjir di darat. Semua dampak

turunan tersebut terangkum dalam istilah yang sekarang terkenal dengan sebutan perubahan iklim,

climate change. Perubahan iklim terjadi karena aktifitas manusia di darat. Sumber ancaman bisa

terjadi secara lokal, namun dengan intensitas yang cukup besar, atau umumnya bersifat global.

Dampak yang ditimbulkan (perubahan iklim) bersifat global, terjadi pada hampir semua wilayah di

dunia, bahkan pada wilayah kutub sekalipun. Jenis ancaman ini disebut dengan istilah ancaman

global.

Dampak perubahan iklim pada ekosistem laut sedang menjadi pembahasan hangat diatara

peneliti bidang kelautan. Sebagian ahli menyatakan bahwa lautlah yang menerima dampak pertama

dari perubahan iklim global. Ancaman yang ditimbulkan bisa terjadi dalam bentuk:

a. Perubahan susunan kimia air laut dalam bentuk asidifikasi air laut, sebagai akibat dari

hujan asam;

b. Meningkatnya suhu permukaan air laut sebagai akibat dari peningkatan suhu atmosphere;

c. Peningkatan permukaan air laut (sea level) karena pemuaian air pada suhu yang lebih tinggi

dan mencairnya lapisan es di kutub

3.2.1 Asidifikasi

Hujan asam, oleh para ahli, diduga akan menyebabkan perubahan susunan kimia dan

penurunan pH air laut. Dampak pertama yang ditimbulkan ialah perubahan sistem bikarbonat pada

air laut. Dampak turunannya ialah terganggunya pembentukan struktur eksoskeleton (rangka

penyangga) pada terumbu karang. Sistem bikarbonat pada air laut, pada dasarnya mengikuti

persamaan disosiasi sebagai berikut:

34 Ancaman pada sumber daya hayati laut

CO2 + H2O ↔ H2CO3; H2CO3 ↔ H+ + HCO3

-; HCO3

- ↔ H

+ + CO3

2-

Meningkatnya CO2 akan menurunkan konsentrasi ion carbonat pada air laut, reaksi bergeser

ke arah kanan. Hal ini akan mempengaruhi seluruh organisme yang hidupnya tergantung dari

kemampuan membentuk kerangka luar (eksoskeleton) dari karbonat. Coral polyp ialah diantara

organisme yang paling sensitif dan menerima dampak pertama dari hujan asam.

Pembentukan kerangka kapur (eksoskeleton) oleh coral polyp ditentukan oleh nilai kejenuhan

aragonite, Ω, yang merupakan fungsi dari konsentrasi CO2 pada air laut dan suhu permukaan air.

Peningkatan CO2 akan menurunkan kejenuhan aragonite, dan sebagai konsekuensinya, menurunkan

laju pembentukan kerangka kapur oleh coral polyp. Para ahli membuat dugaan bahwa kondisi CO2

dan suhu permukaan laut pada tahun 1850an, ialah kondisi optimal untuk mendukung pembentukan

kerangka kapur oleh binatang karang, termasuk di dalam dan di sekitar wilayah Coral Triangle. Sejak

pertengahan tahun 1850an, terjadi peningkatan kandungan CO2 dan suhu atmosphere, sebagai

dampak dari revolusi industri. Perkembangan industri terus berjalan sampai awal tahun 2010,

walaupun negara berkembang sudah mulai membatasi penggunaan bahan-bahan yang bisa

menyebabkan peningkatan CO2 pada atmosphere. Saat ini, tingkat kejenuhan aragonite diduga

masih cukup (walaupun berada pada kondisi di bawah optimal) untuk mendukung pembentukan

kerangka kapur oleh coral polyp. Namun jika skenario pembangunan tetap berjalan pada laju

peningkatan CO2 seperti saat ini, dalam 50 tahun kedepan, para ahli meramalkan bahwa terumbu

karang akan mengalami erosi yang lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kerangka kapur

oleh binatang karang. Peningkatan CO2, melalui hujan asam akan melemahkan struktur carbonat

pada kerangka luar terumbu karang. Sebagai akibatnya, kerangka kapur akan mengalami erosi. Jika

kecepatan erosi alami lebih cepat dari laju pembentukan kerangka kapur oleh binatang karang, luas

dan kualitas (kekuatan struktur) terumbu karang akan menurun. Penurunan luas dan kekuatan

terumbu karang akan berdampak buruk bagi terumbu karang, terkait dengan fungsi alaminya

sebagai pelindung daratan dari serangan gelombang pasang.

Asidifikasi pada air laut juga diramalkan akan berpengaruh pada organisme yang hidupnya

tidak ditopang oleh kerangka kapur, seperti ikan dan organisme akuatik (perairan) lainnya.

Asidifikasi, melalui hujan asam, diduga akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut asidosis.

Asidosis ialah meningkatnya, atau tepatnya, turunnya nilai pH pada plasma darah. Gejala asidosis

terjadi ketika pH plasma darah turun < 7,35 (namun tergantung dari spesies). Asidemia ialah gejala

yang ditimbulkan oleh peristiwa asidosis, ialah kondisi melemahnya sistem kekebalan tubuh

(imunitas) dan terganggunya proses metabolisme tubuh pada sebagian besar organisme akuatik.

Gejala lainnya ialah menurunnya kapasitas reproduksi, terutama ikan-ikan di laut. Jika ramalan para

ahli benar, kita akan berpeluang menerima resiko dari menurunnya potensi laut sebagai penyedia

protein hewani bagi manusia.

3.2.2 Suhu permukaan air laut

Suhu udara (atmosphere) mempengaruhi suhu permukaan air laut, biasa diukur dalam istilah

SST (Sea Surface Temperature). Meningkatnya suhu permukaan air laut, bersama radiasi sinar

matahari akan menyebabkan efek “Photo-Thermal Stress” pada binatang karang (coral polyp). Pada

kondisi stress, Coral Polyp akan melepas simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya – zooxanthellae

ialah simbion yang menyebabkan terumbu karang tampak berwarna, sesuai dengan jenis

zooxanthellae. Ketika alga zooxanthella dilepas, coral polyp menjadi transparan. Akibatnya, kita

35 Ancaman pada sumber daya hayati laut

melihat seolah-olah terumbu karang berwarna putih. Warna putih yang terlihat ialah warna dari

kerangka luar (eksoskeleton) dari karbonat. Peristiwa ini disebut dengan istilah bleaching.

Bleaching pada karang bisa digambarkan dalam beberapa mekanisme yang berbeda (Gambar

3.2). Peningkatan suhu dan sinar matahari menyebabkan binatang karang mengalami stress dan

berdampak pada kematian secara langsung, atau dalam periode yang relatif pendek. Ketika

mengalami kematian, zooxanthellae akan keluar dari dalam tubuh binatang karang. Akibatnya,

terumbu karang mengalami bleaching. Tidak beberapa lama setelah proses ini, permukaan karang

akan ditumbuhi lumut. Jika peristiwa bleaching diikuti dengan tumbuhnya lumut, dengan demikian,

artinya binatang karang (coral polyp) sudah mati. Pemulihan mungkin terjadi dalam waktu lama,

melalui dua kriteria dasar, ialah: terdapat cukup ikan herbivor pemakan lumut (seperti ikan kakatua

dari famili Scaridae, ikan kulit pasir dari famili Acanthuridae atau ikan beronang dari famili

Siganidae); dan ada terumbu karang sehat di sekitar lokasi bleaching (proses perpindahan larva

karang, planula, dari wilayah sekitarnya).

Mekanisme kedua ialah: stress photo-thermal menyebabkan coral bleaching, karena binatang

karang melepas zooxanthellae. Pada kondisi ini, binatang karang: bisa mati (indikatornya ialah

ditumbuhi lumut), atau bisa bertahan dan setelah beberapa lama, kembali normal. Setelah pulih,

binatang karang akan menyerap simbion zooxanthellae dan berwarna kembali, sesuai dengan jenis

zooxanthella yang tinggal di dalam tubuhnya. Terumbu karang yang mampu pulih kembali setelah

mengalami stres disebut mempunyai kemampuan resilience. Resilience ialah suatu kemampuan

untuk mengembangkan mekanisme pertahanan dari stressor luar, atau jika terkena stress, mampu

untuk beradaptasi dan pulih kembali, seperti semula. Sifat resiliensi ini ialah salah satu indikator kuat

pemilihan lokasi terumbu karang atau habitat lainnya untuk dilindungi.

Meningkatnya suhu permukaan air laut terjadi secara global pada semua wilayah permukaan

laut di dunia, sampai ke wilayah kutub. Peningkatan suhu permukaan air laut telah berdampak nyata

pada pencairan sebagian islet atau bongkahan es di kutub. Beberapa wilayah di dunia, mempunyai

mekanisme lokal yang secara tidak langsung berpengaruh dalam proses penetralan suhu permukaan

air laut. Contoh yang paling kuat ialah upwelling dan/atau percampuran antara air laut yang dingin

dan hangat, oleh pengaruh photo-thermal. Suhu permukaan air laut mengalami peningkatan secara

perlahan, namun tidak semua terumbu karang akan mengalami bleaching secara bersamaan.

Resiliensi, proses-proses lokal dan jenis spesies karang dominan akan mempengaruhi terjadinya

bleaching karena stress photo-thermal.

36 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Gambar 3.2 Dua mekanisme proses bleaching karang yang bisa menyebabkan kematian pada coral

polyp. Mekanisme pertama ialah coral polyp mengalami kematian setelah stress yang

ditandai dengan bleacing dan ditumbuhi lumut. Mekanisme kedua ialah stress yang

diikuti oleh bleaching dengan dua kemungkinan dampak lanjutan: mengalami

kematian atau bisa pulih kembali. Karang jenis ini disebut mempunyai sifat resilience.

Secara global, peningkatan suhu permukaan air laut telah menyebabkan terjadinya bleaching

pada beberapa terumbu karang di laut. Laporan UNEP (United Nations Environmental Program) dan

data Reef Base pada tahun 1998 membuktikan terjadinya peristiwa bleaching pada beberapa lokasi

di laut. Sepuluh tahun kemudian (tahun 2008), UNEP melaporkan lokasi kejadian bleaching karang

yang jauh lebih banyak dibandingkan tahun 1998. Hal ini hanya mempunyai arti bahwa perubahan

iklim, melalui peningkatan suhu permukaan air laut, sudah riil atau nyata terjadi di depan mata, dan

berpengaruh pada kehidupan ekosistem terumbu karang. Para ahli terus mencari indikator lapang

yang bisa dikaitkan dengan ramalan akan terjadinya bleaching pada suatu tempat. Mereka

menemukan indikator DHW, Degree Heating Week, untuk mengembangkan mekanisme peringatan

awal akan terjadinya bleaching. DHW ialah nilai besaran peningkatan suhu dalam satuan minggu.

DHW = 2, bisa diartikan sebagai meningkatnya suhu permukaan air laut setara 1°C, dari kondisi rata-

rata, selama periode dua minggu, atau peningkatan 2°C selama periode waktu satu minggu.

Seperti telah disebutkan, salah satu dampak dari perubahan iklim ialah meningkatnya suhu

udara atau atmosphere bumi. Dengan cara yang sama, suhu udara berpengaruh pada meningkatnya

suhu permukaan air laut. Terumbu karang ialah habitat di laut yang diduga paling sensitif

menghadapi photo-thermal stress. Mekanisme stress dari coral polyp bisa ditunjukkan dari keluarnya

zooxanthellae dari dalam tubuh coral polyp. Jika tidak bisa bertahan terhadap stress, coral polyp

akan mati dan permukaan terumbu karang segera ditumbuhi lumut. Jika karang bisa bertahan, dan

normal kembali, dia akan menyerap zooxanthellae dan bisa mengatasi stress (resilience). Pada

beberapa tempat di laut, terjadi upwelling dan/atau pengadukan masa air lokal, sehingga

peningkatan suhu permukaan air laut akan segera dinetralkan dan tidak mempengaruhi terumbu

karang. Beberapa lokasi terumbu karang di Indonesia dilaporkan mengalami bleaching karena

pengaruh dari peningkatan SST. Wilayah Bali Utara (Taman Nasional Bali Barat) dan Pulau Seribu

ialah dua tempat yang tercatat mengalami bleaching. Jadi, perubahan iklim pada dasarnya sudah

mulai mengancam kehidupan di laut, dan ini cukup berbahaya bagi laut sebagai sumber

penghidupan penduduk di darat.

37 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Terjadinya bleaching pada karang tidak selalu disebabkan oleh peningkatan suhu permukaan

air laut. Penyakit, predasi atau racun seperti potasium sianida juga bisa menyebabkan terumbu

karang terlihat mengalami bleaching. Crown-Of-Thorn (COT), starfish atau Mahkota Bintang Berduri

(MBB) dan siput, Drupella cornus (Röding, 1798), ialah dua predator karang yang umum diketahui.

Kedua jenis organisme ini memakan coral polyp dan menyebabkan terjadinya bleaching, sebelum

permukaan karang ditumbuhi oleh lumut. Namun, bleaching oleh predasi atau penyakit sangat

berbeda dengan mekanisme bleaching yang disebabkan oleh pengaruh SST. Bleaching karena

pengaruh predasi atau penyakit bersifat lokal, disebut juga spot bleaching. Sebaliknya, bersifat masal

(mass bleaching) dan terjadi atau mencakup wilayah yang lebih luas. Persamaannya ialah bahwa

keduanya akan merugikan bagi keberlanjutan sumber daya hayati laut, termasuk perikanan.

Selain terumbu karang, SST juga berpengaruh pada habitat lain di laut, terutama jenis habitat

yang menempati wilayah dekat pantai. Peningkatan suhu udara, diduga akan menurunkan

kemampuan pembentukan daun pada jenis tumbuhan bakau. Habitat padang lamun akan

mengalami peristiwa seagrass burning. Dampaknya, laju metabolisme dan pertumbuhan lamun akan

terhambat, dan mekanisme reproduksi menurun. Sebaliknya, pertumbuhan alga kompetitor

(pesaing) lamun akan meningkat dan merubah komposisi habitat, dari lamun menjadi habitat yang

didominasi oleh alga. Perubahan ini tentu saja akan berdampak pada struktur komunitas dan

populasi organisme penghuni lamun. Peningkatan SST diramalkan akan berdampak pada tumbuhan

rumput laut (seaweed). Sebagian masyarakat pantai menjadikan budidaya rumput laut sebagai

usaha tambahan untuk menghidupi keluarga. Walaupun bukan penghasilan utama, kerugian dari

tumbuhan rumput laut bisa berpengaruh pada penghasilan keluarga. Selain habitat, peningkatan

suhu permukaan air laut juga berpengaruh pada sumber hayati spesies. Dampak perubahan suhu

diduga akan berpengaruh pada ratio tukik pada penyu, turtle. Penyu selalu meletakkan telur pada

pasir di pinggir pantai. Peningkatan suhu inkubasi pada sarang, secara teoritis, akan meningkatkan

jumlah tukik betina, dibandingkan jantan. Pada kondisi dewasa, setiap satu ekor induk betina

membutuhkan beberapa induk jantan dalam proses kelengkapan siklus reproduksi (memperkaya

keragaman genetik). Perubahan iklim global bisa menimbulkan kondisi yang sebaliknya.

Ringkasnya, ancaman global pada dasarnya terjadi melalui pemanasan global suhu permukaan

air laut dan asidifikasi. Peningkatan suhu permukaan air laut akan memberikan dampak negatif pada

habitat dan spesies di laut – terumbu karang mengalami bleaching, pembentukan daun dan

kemampuan fotosistensis pada tanaman bakau menurun, seagrass burning pada habitat lamun,

kematian pada tumbuhan rumput laut dan perubahan ratio kelamin pada tukik (anak penyu).

Bleaching bisa menyebabkan kematian binatang karang dan dominasi lumut. Hal ini akan

mengurangi fungsi terumbu karang sebagai rumah bagi ikan sehingga produksi ikan karang

kemungkinan akan menurun. Kapasitas produksi petani rumput laut kemungkinan akan berkurang.

Hal yang sama juga bisa terjadi sebagai akibat dari perubahan struktur habitat pada bakau dan

lamun. Asidifikasi akan melemahkan struktur kerangka kapur pada terumbu karang – bisa terjadi

erosi kerangka kapur lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan kerangka yang sama oleh

binatang karang. Hal ini akan melemahkan fungsi terumbu karang sebagai pelindung pantai.

Asidifikasi, pada ikan dan organisme laut lainnya, bisa menyebabkan gejala asidemia, menurunnya

pH plasma darah. Pada kondisi seperti ini tingkat kekebalan ikan dan organisme laut lainnya akan

menurun, serta menurunnya kemampuan reproduksi. Dengan demikian, ancaman global akan

berdampak negatif pada kemampuan laut untuk menyediakan sumber daya bagi manusia serta

menurunnya fungsi laut dalam memberikan jasa ekosistem lainnya.

38 Ancaman pada sumber daya hayati laut

3.3 Ancaman lokal

Sumber daya hayati laut bisa terancam oleh aktifitas manusia di darat maupun di laut. Namun

dampak dari ancaman tersebut bersifat terlokalisir, pada wilayah yang sangat terbatas di laut – jenis

anmacan ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya, disebut ancaman lokal (local threats). Pelabuhan,

port atau harbour, ialah tempat di pinggir pantai, secara umum kita kenal sebagai lokasi untuk

menambatkan perahu atau kapal, menurunkan atau menaikkan barang, atau komoditas perikanan

dan lainnya, sebelum berangkat ke tempat tujuan pelabuhan lain. Karakteristik yang paling spesifik

dari pelabuhan ialah banyak tumpahan minyak atau sejenisnya yang menutupi permukaan air di

pantai. Tutupan minyak akan mempengaruhi kehidupan organisme dan habitat di laut sekitarnya.

Namun tutupan minyak tersebut hanya terkonsentrasi dalam radius terbatas, di sekitar pelabuhan.

Pembangunan atau pengembangan pelabuhan dikatakan sebagai sumber ancaman lokal pada

organisme dan habitat (sumber daya hayati) laut. Ancaman lokal pada sumber daya hayati laut, pada

dasarnya, bisa dibedakan ke dalam kategori: pembangunan di wilayah pantai, konversi lahan pantai,

sedimentasi, polusi atau pencemaran, penangkapan destruktif dan penangkapan berlebih.

3.3.1 Pembangunan wilayah pesisir

Hasil kajian ahli pesisir di Asia Tenggara menyatakan, 80% penduduk terkonsentrasi pada

wilayah antara 0 – 60 km dari laut. Pembangunan perumahan, fasilitas transportasi, pemanfaatan

sumber daya, pariwisata dan pembuangan sampah maupun limbah akan terkonsentrasi di wilayah

pesisir. Semua aktifitas tersebut di atas akan menekan dan mengancam sumber daya habitat dan

hayati laut. Kebanyakan dari kita pernah berkunjung ke pantai Sanur – lokasi pariwisata kedua di

Bali, setelah Kuta atau Legian. Sebelum tahun 1970an, masyarakat melakukan penambangan karang

untuk bahan bangunan. Bongkahan karang yang diambil dari laut dibakar di pinggir pantai.

Belakangan, Sanur menjadi lokasi wisata, termasuk penyelaman (terumbu karang). Secara perlahan,

masyarakat menurunkan dan akhirnya menghentikan kegiatan penambangan karang. Namun

dampaknya segera terlihat – pantai mengalami abrasi, daratan terkikis secara perlahan dan tamu

hotel merasa terganggu karena bangunan terus diserang ombak. Contoh kedua bisa dilihat di

wilayah Candi Dasa, berjarak sekitar 40 km dari Sanur, ke arah timur. Untuk mengurangi serangan

ombak, pemerintah membangun break-water atau pemecah gelombang. Tindakan ini sebenarnya

tidak diperlukan jika terumbu karang terpelihara dengan baik.

Penambangan karang sampai saat ini masih dilakukan di Indonesia – Nusa Tenggara Timur,

Wakatobi dan sebagian wilayah Papua, masyarakat melakukan pengambilan terumbu karang untuk

tujuan yang beragam, baik secara subsisten maupun dilakukan untuk tujuan komersial. Walaupun

secara terbatas, pemerintah masih mengeluarkan ijin beberapa perusahaan untuk melakukan

pengambilan terumbu karang. Jumlah pengambilan ditentukan berdasarkan kuota per wilayah.

Namun pemerintah tidak selalu bisa melakukan pengawasan secara ketat. Akibatnya, sering terjadi

pelanggaran dalam aktifitas penambangan terumbu karang. Seorang Kepala Dinas di Kabupaten Alor

pernah dituntut di Pengadilan Negeri karena melarang usaha pengambilan karang di wilayahnya.

Putusan pengadilan, bahkan, memenangkan pengusaha yang mengambil karang.

39 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Gambar 3.3 Pemukiman di atas hamparan karang, sangat beresiko merusak lingkungan terumbu

karang (photo: Misool, Raja Ampat, oleh Andreas Muljadi)

3.3.2 Konversi Lahan

Saat ini, beberapa tempat di dunia, bisa dipelajari secara detail dengan tersedianya informasi

melalui citra satelite – Google Earth misalnya, menyajikan fasilitas sampai citra geo-eye, hanya

beberapa ratus meter dari permukaan daratan. Kalau kita perhatikan pesisir pantai wilayah utara

Pulau Jawa melalui Google Earth, bisa dibayangkan wilayah tersebut ditutupi oleh hutan bakau

(mangroves) yang sangat lebat. Alasan klasik, tuntutan pembangunan dan teknologi, memaksa

konversi hutan bakau menjadi tambak dan peruntukan lainnya. Konversi lahan bakau tidak saja

terjadi pada wilayah dengan populasi penduduk yang padat. Pemandangan dari pelabuhan udara

Bima, Sumbawa, menunjukkan sebagian besar dari hutan bakau sudah dirubah menjadi lahan

tambak dan kolam garam.

Hutan bakau berfungsi untuk menjebak bahan organik, mejadi perangkap bahan pencemar

dan menahan bahan-bahan partikulat sebelum sampai di pantai. Hutan bakau juga berfungsi sebagai

penyangga untuk mencegah intrusi air laut ke arah daratan. Secara fisik, hutan bakau bisa menahan

pantai dari serangan gelombang, tsunami, dan angin topan. Secara ekologis, hutan bakau

merupakan asuhan (nursery ground) bagi ikan kecil, tempat mencari makan ikan-ikan dari laut dan

sebagai lokasi pemijahan. Hampir semua hutan bakau pada wilayah pasang surut menghasilkan

kepiting soka atau kepiting bakau, Scylla serrata (Forskål, 1775). Konversi lahan sering

mengorbankan hutan bakau yang ada di pinggir pantai. Jika alih fungsi hutan bakau dilakukan secara

berlebihan, bakau akan kehilangan berbagai fungsi seperti tersebut di atas. Ancaman terhadap

bakau, dengan kata lain, bisa berdampak negatif pada perikanan tangkap, misalnya.

40 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Gambar 3.4 Konserversi lahan bakau yang berubah menjadi tambak udang dan/atau

garam. Pada saat yang sama kita juga akan kehilangan potensi perikanan

tangkap (photo: Bima, Sumbawa Besar, oleh Peter Mous, TNC)

3.3.3 Sedimentasi

Hasil studi resiko kerusakan terumbu karang di Asia Tenggara mendapatkan bahwa lebih dari

80% lahan di Pulau Jawa dan Bali sudah dibuka untuk berbagai kepentingan yang berbeda.

Pembukaan lahan di Pulau Sumatera dan Sulawesi mencapai 61 – 80%. Hanya sebagian wilayah

Kalimantan Timur dan Papua yang masih cukup baik, dengan pembukaan lahan antara 0 – 20%.

Pembukaan lahan membuat tanah permukaan labil dan terbawa bersama air permukaan pada saat

hujan. Seluruh bahan tersebut hanyut dan sampai di wilayah muara sungai. Dengan semakin

berkurangnya lahan bakau, air sungai bersama partikel lumpur akan mengendap pada wilayah

littoral dan paparan benua. Sedimentasi ini menjadi ancaman bagi lingkungan terumbu karang.

Sedimentasi menutupi coral polyp dengan partikel lumpur. Kekeruhan oleh partikel lumpur juga

menghambat radiasi sinar matahari sehingga tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh

zooxanthellae, simbion dari coral polyp.

Habitat terumbu karang yang baik hampir tidak pernah ditemukan dekat dengan muara sungai

besar. Hal ini disebabkan karena sungai di Indonesia selalu membawa partikel lumpur dan bahan

pencemar lainnya yang membuat habitat terumbu karang sulit berkembang. Sebaliknya, terumbu

karang bisa tumbuh baik pada lokasi pulau-pulau kecil yang relatif tidak memiliki sungai besar.

Komodo, Teluk Maumere, Wakatobi dan Raja Ampat ialah beberapa wilayah di Indonesia dengan

populasi terumbu karang yang masih relatif baik dan tidak terpengaruh oleh partikel lumpur dari

sungai. Hasil studi yang dilakukan oleh Tomascik mendapatkan kedalaman optimal terumbu karang

di Kepulauan Seribu mencapai 8 – 12 m dari permukaan. Kondisi terumbu karang sehat ini terjadi

41 Ancaman pada sumber daya hayati laut

pada tahun 1931 dimana Sungai Ciliwung belum menghasilkan partikel lumpur dan bahan pencemar

lainnya dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Setelah pasca kemerdekaan dan Jakarta menjadi pusat

kota dan ibu kota negara, populasi terumbu karang tidak mencapai kedalaman 12 m. Hasil studi yang

dilakukan pada tahun 1986 mendapatkan bahwa kedalaman optimal terumbu karang di Pulau Seribu

hanya mencapai 4 m dari permukaan. Bahkan, studi yang dilakukan pada tahun 1993, kedalaman

optimal populasi terumbu karang lebih dangkal dari 4 m. Sedimentasi oleh partikel lumpur dan

bahan pencemar lainnya terakumulasi di wilayah Teluk Jakarta, yang dibawa oleh aliran Kali

Ciliwung. Partikel lumpur terbawa oleh arus ke arah Pulau Seribu. Kekeruhan akibat sedimentasi

tersebut membuat terumbu karang tidak bisa tumbuh dengan optimal.

Perubahan tata guna lahan di darat bersama sistem pertanian yang tidak berkelanjutan,

keduanya menyebabkan pencemaran pada badan dan tangkapan air. Pencemaran tersebut bisa

bersifat poin-source yang mudah dilacak maupun non-point-source yang tidak mudah dilacak. Tipe

pencemaran ini biasanya membawa nutrien secara berlebihan dan menyebabkan eutrofikasi di

wilayah muara sungai dan pantai. Eutrofikasi berdampak pada pertumbuhan lumut dan alga lain

secara berlebihan dan mendominasi permukaan perairan. Alga atau lumut menutupi permukaan

coral polyp dan menyebabkan stress atau kematian. Dominasi alga juga mengurangi infiltrasi sinar

matahari yang seharusnya optimal untuk pertumbuhan polyp dan pembentukan kerangka kapur.

Sumatera, Utara Jawa dan Kalimantan ialah tiga pulau besar di Indonesia yang juga mempunyai

muara sungai besar. Meningkatnya pembukaan lahan, perubahan tata guna lahan serta sistem

pertanian yang tidak berkelanjutan terus meningkatkan sedimentasi dan nutrien ke wilayah pesisir

pantai. Terumbu karang pada muara sungai dari tiga pulau ini relatif sudah terdegradasi

dibandingkan dengan di wilayah timur Indonesia. Contoh nyata yang bisa dilihat ialah pada Taman

Nasional Kepulauan Seribu, yang berada sangat dekat dengan muara sungai Ciliwung. Berbeda

dengan Teluk Bintuni di wilayah Papua, dengan pembukaan lahan dan sistem pertanian yang relatif

masih konvensiaonal. Laporan beberapa pegiat konservasi kelautan dan pemerintah menunjukkan

kondisi terumbu karang di sekitarnya masih relatif baik.

42 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Gambar 3.5 Sedimentasi di laut dan beresiko mengancam terumbu karang, sebagai akibat dari

pembukaan lahan hutan di darat (Foto oleh Peter J. Mous)

3.3.4 Pencemaran Minyak

Beberapa kegiatan manusia yang berbasis di laut dan menyebabkan degradasi sumber daya

laut, antara lain ialah termasuk: pelabuhan, tumpahan minyak di laut, bangkai kapal yang

ditinggalkan pemilik, pembuangan sampah dari atas kapal, pelemparan jangkar tambak (anchor),

pembuangan air ballast dan aktifitas pengeboran minyak (di pantai atau lepas pantai). Wilayah

sekitar pelabuhan umumnya didominasi oleh tiga kategori pencemaran: pembuangan minyak dari

limbah pembakaran, pembuangan air ballast dan sampah. Intensitas pencemaran minyak bisa

terlihat pada permukaan air laut karena berat jenis minyak yang lebih rendah. Komposisi kimia

hidro-karbon minyak lebih banyak berdampak negatif pada organisme permukaan (pelagis). Lapisan

permukaan minyak bisa membentuk micro-film yang berdampak pada serapan energi matahari yang

seharusnya bisa diterima oleh zooxanthella pada coral-polyp. Pembuangan air ballast umumnya

mengandung bahan organik dan organisme infasive yang akhirnya menjadi kompetitor keragaman

hayati lokal. Beberapa jenis kapal harus berlabuh dan melemparkan jangkar di luar pelabuhan.

Secara fisik, dia bisa merubah struktur dasar perairan di sekitar pelabuhan.

Pada dasarnya, pencemaran di laut bersifat lokal di sekitar sumber pencemaran. Beberapa

jenis pencemar, terutama yang tidak bisa diencerkan oleh air laut, terbawa oleh arus laut dan

menyebabkan dampak negatif pada area yang lebih luas. Kejadian-kejadian seperti tumpahan

minyak di Selat Malaka yang terjadi karena karamnya Kapal Showa Maru, pada tahun 1975. Showa

Maru menumpahkan sekitar 1 juta ton minyak di wilayah perairan Selat Malaka. Tumpahan minyak

43 Ancaman pada sumber daya hayati laut

ini terus meluas, mencemari wilayah perairan laut yang dilewati bersama arus. Beberapa lokasi di

Indonesia yang rawan dari pencemaran minyak ialah Selat Malaka, Selat Makasar, Cilacap,

Lhokseumawe, Pulau Natuna dan Tanjung Emas (Semarang). Kebocoran bahan radioaktif yang baru

saja terjadi di Jepang, diduga meluas sampai di wilayah perairan Amerika Serikat. Beberapa jenis ikan

komersial yang ditangkap oleh nelayan sudah terkena radiasi dan mengkhawatirkan konsumen.

3.3.5 Penangkapan Berlebih

Penangkapan berlebih (over-exploitation), didefinisikan sebagai pengambilan sumber daya

hayati laut (ikan) pada laju yang melebihi kemampuan sumber daya untuk melakukan pemulihan

secara alami. Indikasi awal penangkapan berlebih ialah berkurangnya stok populasi, dan akhirnya,

hasil tangkapan nelayan. Indikasi lainnya ialah pada semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap

oleh nelayan. Penangkapan berlebih, jelas akan merugikan nelayan dan masyarakat karena potensi

sumber daya yang bisa dimanfaatkan akan semakin menurun. Hal ini akan berdampak pada kerugian

ekonomi masyarakat lokal, bahkan bisa terjadi dalam bentuk hilangnya salah satu sumber

penghidupan masyarakat pesisir dari penangkapan ikan. Ketika sumber daya mulai berkurang, kita

bisa melihat frekuensi konflik diantara nelayan pengguna sumber daya yang semakin intens. Konflik

nelayan di Selat Madura (Jawa Timur) atau di Selat Malaka (Sumatera) ialah dua contoh yang masih

kita bisa lihat sampai saat ini.

Sumber daya hayati laut tinggal pada habitat atau ekosistem dan membentuk simbion, satu

sama lain saling terkait, membentuk kesimbangan ekosistem. Penangkapan berlebih dari salah satu

sumber daya hayati menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem secara biologis – Ikan

napoleon, Cheilinus undulatus (Rüppell, 1835) dan siput terompet, Charonia tritonis (Linnaeus, 1758)

ialah dua jenis spesies yang dipercaya sudah mengalami penangkapan berlebih. Ikan napoleon

diburu karena nilai ekonomisnya yang sangat tinggi pada perdagangan ikan karang hidup di

Hongkong. Kedua jenis spesies ini diduga merupakan pemangsa telur Crown-Of-Thorn. Sedangkan

Crown-of-Thorn ialah jenis organisme (Echinodermata) yang menjadi predator coral polyp.

Penangkapan berlebih pada ikan napoleon dan siput terompet (triton) akan menyebabkan

meledaknya populasi COT secara mendadak. Penangkapan berlebih pada kondisi ini lebih disebut

sebagai ecological over-fishing yang tentu saja berdampak buruk pada ekosistem terumbu karang.

Ikan napoleon dan siput terompet (triton) sering disebut sebagai keystone species, yang merupakan

indikator kesehatan karang.

Beberapa tempat di laut menjadi lokasi perkawinan ikan, sering disingkat SPAGs (Spawning

Aggregation Sites). Gili Lawa Laut (Taman Nasional Komodo), Ayau (Raja Ampat), Gebe (Kofiau, Raja

Ampat) ialah tempat-tempat yang sudah disurvei sebagai lokasi potensial perkawinan ikan karang

(seperti ikan kerapu). Lokasi tersebut umumnya merupakan area yang sangat kecil, pada ujung

terumbu luar dan sering kali sudah diketahui oleh nelayan. Bahkan nelayan sudah sangat tahu saat,

tepatnya, waktu induk-induk berkumpul melakukan pemijahan. Induk-induk tersebut berasal dari

tempat berbeda, berkumpul (agregasi) dalam waktu yang singkat dan melakukan pemijahan. Setelah

menyelesaikan siklus pemijahan dia akan kembali ke tempat aslinya. Karena waktu dan lokasi

pemijahan sering diketahui oleh nelayan, bisa terjadi penangkapan berlebih pada induk yang akan

melakukan pemijahan. Jika sebagian besar calon induk yang akan memijah tersebut ditangkap

nelayan, pemijahan tidak terjadi dan tidak ada individu baru pada tahun berikutnya. Penangkapan

berlebih tipe ini sering disebut dengan istilah recruitment over-fishing.

44 Ancaman pada sumber daya hayati laut

Penangkapan berlebih bisa terjadi dalam beberapa bentuk – growth over fishing, recruitment

over-fishing dan ecological over-fishing. Growth over-fishing terlihat dari gejala ukuran ikan hasil

tangkap yang semakin kecil. Ecological over-fishing menyebabkan perubahan susunan rakitan

spesies yang selanjutnya berdampak pada tidak seimbangnya struktur ekosistem. Recruitment over-

fishing dicirikan dari menghilangnya individu baru secara mendadak sebagai dampak dari

pengurasan induk potensial. Ketiga jenis penangkapan berlebih ini tentu saja merupakan ancaman

bagi sumber daya dan keragaman hayati laut.

3.3.6 Penangkapan Destruktif

Penangkapan destruktif ialah jenis kegiatan pengambilan ikan dengan cara atau metode yang

berdampak negatif pada populasi ikan dan habitat atau lingkungan tempat tinggal ikan.

Penangkapan destruktif disebut juga dengan istilah penangkapan tidak ramah lingkungan, Unfriendly

Fishing Methods. Peledak (bom ikan, dinamit) dan racun ikan (potasium sianida, tuba, akar bore,

deris) ialah dua jenis metode penangkapan di Indonesia yang sangat terkenal, tergolong dalam

metode destruktif. Trawl atau pukat hariamau juga termasuk dalam kategori alat destruktif bersama

penangkapan dengan menggunakan strum listrik, electro-fishing.

Dampak dari penangkapan destruktif dibedakan dalam dua kategori, ialah: tertangkapnya ikan

non-target dan menyebabkan hasil sampling (by-catch), dan kerusakan kolateral. Trawl dan electro-

fishing sering kali atau hampir selalu menghasilkan by-catch yang sering kali tidak bermanfaat secara

ekonomis dan terpaksa harus dibuang oleh nelayan. Kerusakan kolateral ialah dampak negatif, baik

kerusakan habitat atau ikan-ikan kecil yang tidak pernah bisa dihitung, sebagai akibat dari cara

operasi alat tangkap. Trawl dasar, bom ikan dan racun ikan sering kali menimbulkan dampak dalam

bentuk kerusakan kolateral ini. Bom ikan umumnya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang

bergerombol di atas terumbu karang, seperti ikan ekor kuning, Caesio spp, atau ikan kuwe, Caranx

spp. Ledakan oleh bom akan menimbulkan kerusakan fisik pada terumbu karang, menjadi serpihan

kecil yang disebut rubble. Bom menyebabkan perubahan struktur dasar, dari substrat keras (fix)

menjadi substrat yang labil. Pada kondisi seperti ini, terumbu karang akan sulit tumbuh kembali

karena bayi karang (planula) selalu membutuhkan subsrat keras untuk menempel.

Trawl, disebut juga Pukat Harimau atau Pukat Hela, lebih banyak dioperasikan pada dasar

berpasir atau pasir berlumpur. Dalam operasi, jaring ini menggaruk dasar perairan. Akibatnya, terjadi

perubahan struktur dan kualitas habitat dasar yang sebelumnya sangat cocok untuk ikan. Ukuran

mata jaring cod-end pada Trawl dibuat berukuran sangat kecil. Hal ini dimaksudkan agar udang, yang

menjadi target utama penangkapan, tertinggal pada jaring cod-end. Namun, pada saat yang sama,

ikan-ikan lain yang tidak menjadi target penangkapan juga tertangkap. Sebagian besar ikan-ikan ini

tidak bernilai ekonomis untuk dibawa ke darat – nelayan harus membuang ikan-ikan tersebut ke

tengah laut, disebut dengan istilah discard. Untuk mendapatkan 1 kg udang, operasi jaring Trawl di

Australia Utara dilaporkan sampai membuang 20 kg ikan hasil samping atau by-catch.

Ringkasnya, penangkapan dengan alat tangkap atau metode yang tidak ramah lingkungan

mengancam keberlanjutan sumber daya dan keanekaragaman hayati laut. Ancaman tersebut terjadi

dalam bentuk tingginya hasil samping dan kerusakan kolateral yang ditimbulkan oleh operasi alat.

Harus diingat pula bahwa alat tangkap destruktif juga memberikan kontribusi nyata terjadinya

penangkapan berlebih. Jadi, alat tangkap destruktif disebut menyebabkan terjadinya double-blow

effect, penangkapan berlebih dan pada saat yang sama juga menyebabkan kerusakan habitat

potensial bagi ikan.