sitotoksisitas ekstrak spons laut aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker...

13
i Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa NAMA : Ika Puspita Ningrum NRP : 1507 100 059 JURUSAN : Biologi Dosen Pembimbing : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si., M.Si Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons laut Aaptos suberitoides memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa. Penghambatan siklus sel dilihat dengan menggunakan metode flowcytometry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. suberitoides 38,25 μg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 μg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan cisplatin, akumulasi sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%. Kata Kunci : Ekstrak Spons Aaptos suberitoides, sel HeLa, Siklus Sel 1. Pendahuluan Kanker atau disebut juga dengan karsinoma, merupakan penyakit yang disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan dasar perilaku sel, khususnya mekanisme pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur oleh gen; sehingga faktor genetik diduga kuat sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah satu jenis kanker adalah kanker leher rahim (serviks). Kanker serviks merupakan salah satu ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di negara sedang berkembang, kanker serviks menduduki urutan teratas bagi kanker ginekologi wanita dan mencakup 20-30% dari keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita (Edianto, 2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga mempunyai sifat yang berbeda dengan sel serviks normal. Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7 terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada kultur primer keratinosit manusia, namun sel yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral onkogen tersebut tidak secara langsung menginduksi pembentukan tumor, tetapi menginduksi serangkaian proses yang pada akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker (Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal tersebut disebabkan karena kedua viral onkogen tersebut dapat menghambat ekspresi gen p53 (Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang mengendalikan apoptosis (Kumar et al., 2003) Berbagai macam senyawa telah dikembangkan melawan kanker yang meliputi senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit, obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang memuaskan dan tanpa efek samping yang merugikan (Astuti et al., 2005). Oleh karena itu mulai banyak dilakukan penelitian tentang bahan obat antikanker yang berasal dari alam. Keunggulan obat bahan alam adalah memiliki efek samping yang relatif kecil bila digunakan dengan benar dan tepat (Ixora, 2007). Keanekaragaman hayati perairan laut Indonesia memberi peluang untuk memanfaatkan biota laut untuk pencarian senyawa bioaktif yang baru, salah satunya adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap spons menghasilkan senyawa-senyawa baru dengan struktur yang unik dan memiliki aktivitas farmakologis (Astuti et al., 2005). Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons genus Aaptos adalah aaptamin yang berpotensi sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006), yang bekerja dengan mekanisme apoptosis (Mayer, 2008). Sebelum diaplikasikan kepada manusia, senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu

Upload: lykien

Post on 17-Sep-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

i

Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides

Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa

NAMA : Ika Puspita Ningrum

NRP : 1507 100 059

JURUSAN : Biologi

Dosen Pembimbing : Dra. Nurlita Abdulgani, M.Si

Nengah Dwianita Kuswytasari, S.Si., M.Si

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah senyawa antikanker dari spons laut Aaptos

suberitoides memiliki pengaruh terhadap siklus sel HeLa. Penghambatan siklus sel dilihat dengan

menggunakan metode flowcytometry. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak A. suberitoides 38,25

µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10% dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu

sebesar50,22%, sedangkan ekstrak A. suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar

7,45% dan akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar 48,50%. Setelah dikombinasi dengan

cisplatin, akumulasi sel terbesar terjadi pada fase S, yaitu sebesar 25,13%.

Kata Kunci : Ekstrak Spons Aaptos suberitoides, sel HeLa, Siklus Sel

1. Pendahuluan

Kanker atau disebut juga dengan

karsinoma, merupakan penyakit yang

disebabkan rusaknya mekanisme pengaturan

dasar perilaku sel, khususnya mekanisme

pertumbuhan dan diferensiasi sel yang diatur

oleh gen; sehingga faktor genetik diduga kuat

sebagai pencetus utama terjadinya kanker. Salah

satu jenis kanker adalah kanker leher rahim

(serviks). Kanker serviks merupakan salah satu

ancaman malignansi terbesar bagi wanita. Di

negara sedang berkembang, kanker serviks

menduduki urutan teratas bagi kanker

ginekologi wanita dan mencakup 20-30% dari

keseluruhan kanker yang menginfeksi wanita

(Edianto, 2006; Rosai, 2004). Sel kanker serviks

atau disebut juga sel HeLa terjadi akibat infeksi

Human Papillomavirus (HPV 18) sehingga

mempunyai sifat yang berbeda dengan sel

serviks normal. Sel kanker serviks yang

diinfeksi HPV diketahui mengekspresikan 2

onkogen, yaitu E6 dan E7. Protein E6 dan E7

terbukti dapat menyebabkan sifat imortal pada

kultur primer keratinosit manusia, namun sel

yang imortal ini tidak bersifat tumorigenik

hingga suatu proses genetik terjadi. Jadi, viral

onkogen tersebut tidak secara langsung

menginduksi pembentukan tumor, tetapi

menginduksi serangkaian proses yang pada

akhirnya dapat menyebabkan sifat kanker

(Goodwin dan DiMaio, 2000). Sifat immortal

tersebut disebabkan karena kedua viral onkogen

tersebut dapat menghambat ekspresi gen p53

(Prayitno et al., 2005). Gen p53 adalah gen yang

mengendalikan apoptosis (Kumar et al., 2003)

Berbagai macam senyawa telah

dikembangkan melawan kanker yang meliputi

senyawa-senyawa pengalkilasi, antimetabolit,

obat-obat radiomimetik, hormon dan senyawa

antagonis. Akan tetapi tak satupun jenis

senyawa-senyawa ini menghasilkan efek yang

memuaskan dan tanpa efek samping yang

merugikan (Astuti et al., 2005). Oleh karena itu

mulai banyak dilakukan penelitian tentang

bahan obat antikanker yang berasal dari alam.

Keunggulan obat bahan alam adalah memiliki

efek samping yang relatif kecil bila digunakan

dengan benar dan tepat (Ixora, 2007).

Keanekaragaman hayati perairan laut

Indonesia memberi peluang untuk

memanfaatkan biota laut untuk pencarian

senyawa bioaktif yang baru, salah satunya

adalah spons. Penelitian yang telah ada terhadap

spons menghasilkan senyawa-senyawa baru

dengan struktur yang unik dan memiliki

aktivitas farmakologis (Astuti et al., 2005).

Salah satu senyawa yang dihasilkan oleh spons

genus Aaptos adalah aaptamin yang berpotensi

sebagai senyawa antikanker (Aoki et al., 2006),

yang bekerja dengan mekanisme apoptosis

(Mayer, 2008).

Sebelum diaplikasikan kepada manusia,

senyawa bioaktif yang akan digunakan sebagai

produk farmasi harus diujikan terlebih dahulu

Page 2: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

ii

kepada hewan percobaan (Doyle dan Griffiths,

2000). Uji sitotoksisitas untuk skrining senyawa

antikanker adalah metode BST (Brine Shrimp

Test) (Astuti et al., 2005). Hasil dari uji BST

dari spons yang ditemukan di perairan

Situbondo menunjukkan bahwa A. suberitoides

memiliki tingkat toksisitas yang paling tinggi

dengan nilai LC50 134.14 ± 36.61 ppm

(Nurhayati et al, 2008). Selain uji BST juga

perlu dilakukan uji sitotoksisitas secara in vitro,

yaitu mendeteksi aktivitas suatu senyawa

dengan menggunakan kultur sel (Meyer, 1982).

Uji sitotoksisitas ini merupakan uji kualitatif dan

kuantitatif dengan cara menetapkan kematian sel

(Freshney, 2000).

Uji sitotoksik digunakan untuk

menentukan parameter nilai IC50 (inhibitor

concentration 50). Nilai IC50 menunjukkan nilai

konsentrasi yang menghasilkan hambatan

proliferasi sel 50 % dan menunjukkan potensi

ketoksikan suatu senyawa terhadap sel

(Meiyanto, 2006). Penelitian yang telah

dilakukan oleh Fadjri (2010) mengenai uji

sitotoksisitas ekstrak spons A. suberitoides

terhadap sel kanker HeLa didapatkan nilai IC50

sebesar 153.007 µg/mL. Selanjutnya perlu

dilakukan analisis pertumbuhan sel untuk

mengetahui fase siklus sel dimana suatu

senyawa menghambat pertumbuhan sel (Givan,

2001). Metode yang digunakan untuk

menganalisis pertumbuhan sel adalah

flowcytometry. Flow cytometry adalah teknik

yang digunakan untuk menghitung dan

menganalisa partikel mikroskopis yang

tersuspensi dalam aliran fluida (Cytopathol,

2009). Flow cytometry dapat digunakan untuk

menganalisa DNA content sel melalui

pewarnaan sel dengan pewarna propidium

iodide (PI) atau 4’,6’-diamino-2-phenylindole

(DAPI) (Darzynkiewicz, 1996). Menurut

Ohizumi et al., dalam Xu (2000) spons A.

suberitoides mengandung senyawa aaptamin

yang mampu menghambat pertumbuhan sel

HeLa pada fase G2.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Deskripsi Spons Aaptos suberitoides

Spons Aaptos suberitoides merupakan

jenis spons yang membentuk massa lobus

globular (Voogd, 2004), lebih lanjut Brondsted

(1934) dalam Van Soest (1989) menjelaskan

struktur dari A. suberitoides adalah kumpulan

dari lobus globular osculiferus, berwana orange

kecoklatan, memiliki permukaan kasar (gambar

2.1) dan berwarna hitam apabila dimasukkan ke

dalam alkohol. Spikula dari kelas Demospongia

berbentuk monaxon atau tetraxon yang

mengandung silikat (Amir dan Agus, 1996).

Berikut merupakan klasifikasi dari Aaptos

suberitoides menurut Schmidt (1964) :

Domain : Eukariota

Kingdom : Animalia

Phylum : Porifera

Class : Demospongiae

Ordo : Hadromerida

Family : Suberitidae

Genus : Aaptos

Species : Aaptos suberitoides

2.3 Kanker

Menurut Franks L. M. dan Teich N. M.

(1998), sel kanker itu timbul dari sel normal

tubuh kita sendiri yang mengalami transformasi

menjadi ganas, karena adanya mutasi spontan

atau induksi karsinogen (bahan/agen pencetus

terjadinya kanker). Transformasi sel itu terjadi

karena mutasi gen yang mengatur pertumbuhan

dan diferensiasi sel, yaitu proto-onkogen dan

atau suppressor gen (anti onkogen). Sedangkan

paparan karsinogen antara lain berbagai jenis

virus, bahan kimia dan radiasi, ultraviolet.

Sebagian besar karsinogen tersebut memiliki

sifat biologis yang sama yaitu dapat

mengakibatkan kerusakan pada DNA.

Kesamaan sifat ini menimbulkan dugaan bahwa

DNA sel merupakan sasaran utama semua bahan

karsinogenik dan bahwa kanker disebabkan

perubahan DNA sel (Kresno, 2003).

Apabila perbaikan DNA karena adanya

perubahan DNA tersebut gagal, maka terjadi

mutasi genom. Adanya mutasi mengakibatkan

pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan,

perubahan gen yang mengendalikan

pertumbuhan, serta penonaktifan gen supresor

kanker. Ketiga hal tersebut mengakibatkan

timbulnya neoplasma ganas atau lebih dikenal

dengan kanker (Kumar et al., 2003).

2.3.1 Sel Kanker HeLa

Sel Hela adalah sel yang berasal dari

sel-sel kanker serviks yang diambil dari seorang

penderita kanker serviks bernama Henrietta

Lacks. Sel ini bersifat imortal dan produktif

sehingga banyak digunakan dalam penelitian

ilmiah (Rahbari et al., 2009; Capes et al., 2010;

Watts and Denise, 2010). Sel HeLa melakukan

proliferasi dengan sangat cepat dibandingkan

dengan sel kanker lainnya. Rebecca Skloot’s

dalam The Immortal Life of Henrietta Lacks

menjelaskan bahwa sel HeLa mempunyai

Page 3: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

iii

telomerase aktif selama pembelahan sel,

sehingga mencegah pemendekan telomere yang

menyangkut penuaan dan kematian sel (Sharrer,

2006). Transfer gen horizontal dari human

papillomavirus 18 (HPV18) ke sel serviks

manusia menghasilkan genom HeLa yang

berbeda dari genom induk dengan berbagai cara

termasuk jumlah kromosomnya (Macville et al.,

1999).

Sel kanker serviks yang diinfeksi HPV

diketahui mengekspresikan 2 onkogen, yaitu E6

dan E7. Protein E6 dan E7 dari HPV

memodulasi protein seluler yang mengatur daur

sel. Protein E6 berikatan dengan tumor

suppressor protein p53 dan mempercepat

degradasi p53 yang diperantarai ubiquitin.

Protein E6 juga menstimulasi aktivitas enzim

telomerase. Sedangkan protein E7 dapat

mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari

p105Rb dan anggota lain dari famili Rb. Ikatan

ini menyebabkan destabilisasi Rb dan pecahnya

kompleks Rb/E2F yang berperan menekan

transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle

progression (DeFilippis, et al., 2003). Sebagian

besar sel kanker serviks, termasuk sel HeLa,

mempunyai gen p53 dan p105Rb dalam bentuk

wild type. Jadi, gen pengatur pertumbuhan yang

aktif dalam sel normal ini juga terdapat dalam

sel kanker serviks. Namun, aktivitasnya

dihambat oleh ekspresi protein E6 dan E7 dari

HPV (Goodwin dan DiMaio, 2000).

2.4 Siklus Sel

Siklus sel terdiri dari beberapa fase yaitu

fase Gap 1 (G1), S (Sintesa), Gap 2 (G2), dan M

(Mitosis) (gambar 2.4) (Rang et al., 2003).

Lamanya siklus tersebut berbeda-beda pada

berbagai macam organisme. Pada sel normal

manusia sekitar 20-24 jam. Fase G1

membutuhkan waktu 8-10 jam, fase S 6-8 jam,

fase G2 5 jam dan fase M 1 jam. Waktu generasi

untuk kultur sel pada umumnya sama dengan sel

normal (Freshney, 2000).

Masuk dan berkembangnya sel melalui

siklus sel dikendalikan melalui perubahan pada

kadar dan aktivitas suatu kelompok protein yang

disebut siklin. Pada tahapan tertentu siklus

sel,kadar berbagai siklin meningkat setelah

didegradasi dengan cepat saat sel bergerak

melalui siklus tersebut. Siklin menjalankan

fungsi regulasinya melalui pembentukan

kompleks dengan (sehingga akan mengaktivasi)

protein yang disintesis secara konstitutif yang

disebut kinase bergantung siklin (CDK, cyclin-

dependent kinase). Kombinasi yang berbeda dari

siklin dan CDK berkaitan dengan setiap transisi

penting dalam siklus sel, dan kombinasi ini

menggunakan efeknya dengan memfosforilasi

sekelompok substrat protein tertentu (Kumar et

al., 2003).

2.4.1 Fase G1

Pada fase G1 terutama disintesis asam

ribonukleat, sel akan tumbuh, struktur

sitoplasma tertentu akan berdiferensiasi

(Mutschler, 1999). Selama fase ini nukleus

membesar dan volume sitoplasma meningkat

dengan cepat sehingga disebut fase sintesis,

protein yang dapat memacu pembelahan sel,

tubulin dan protein yang akan membentuk

spindel (Suryo, 2007).

2.4.2 Fase-S Pada fase-S ini dibentuk untai DNA

baru melalui proses replikasi. Replikasi DNA

terjadi dengan bantuan enzim DNA-polimerase.

Dengan dibentuknya DNA baru maka rantai

tunggal DNA menjadi rantai ganda (Sukardja,

2000). Pada fase S dengan pembentukan asam

deoksiribonukleat baru, jumlah kromosom akan

berlipat dua dan dengan ini pembelahan sel akan

dipersiapkan (Mutschler, 1999). Suryo (2007)

menyebutkan bahwa pada akhir fase ini

terbentuk 2 kromatid.

2.4.3 Fase-G2 Pada fase ini dibentuk RNA, protein,

enzim, dan sebagainya untuk persiapan fase

berikutnya yaitu fase-M (Sukardja, 2000). Fase

ini disebut juga fase pramitosis dengan ciri sel

berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali

lebih banyak daripada sel fase lain dan masih

berlangsungnya sintesis DNA dan protein

(Nafrialdi dan Gan, 1995). Selain itu, pada fase

G2 kromosom sudah ada dalam bentuk

kromatida (Mutschler, 1999).

Apabila terjadi kerusakan DNA dan

DNA tidak bereplikasi dengan sempurna, maka

proliferasi sel manuju fase M diblok dan

dihentikan pada fase G2. Kontrol siklus sel ini

dilakukan oleh protein kinase ChkI yang

memicu fosforilasi protein fosfate Cdc25

sehingga menjadi tidak aktif. Hal ini

menyebabkan fase M diblok karena tidak

terbentuknya cdk1/siklin B sebagai regulator

menuju fase M (Cooper, 2000). Penghentian

pada fase G2 dilakukan untuk perbaikan DNA,

tetapi jika perbaikan DNA tidak dapat dilakukan

maka terjadi apoptosis (Freshney, 2000).

2.4.4 Fase-M Pada fase ini sintesis protein dan RNA

berkurang secara tiba-tiba dan terjadi

Page 4: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

iv

pembelahan menjadi dua sel (Nafrialdi dan Gan,

1995). Pembelahan menjadi dua sel ini terdiri

dari empat tahap, yaitu profase, metaphase,

anaphase, dan telofase. Pada awal fase mitosis

ditandai dengan terbentuknya benang spindel

dan pada akhirnya terjadi pemisahan kromosom

(pusztai et al., 1996).

2.5 Apoptosis

Apoptosis adalah program kematian sel

sebagai respon fisiologis sel untuk

mengeliminasi sel-sel yang tidak dibutuhkan

tubuh. Apoptosis berperan secara esensial dalam

embryogenesis dengan mengeliminasi sel-sel

yang jumlahnya berlebihan. Apoptosis juga

berperan dalam memantau perubahan pada sel-

sel kanker. Apoptosis menjadi garis pertahanan

pertama untuk melawan mutasi dengan

membersihkan sel-sel DNA abnormal yang

dapat menjadi ganas. Dengan demikian

apoptosis merupakan bagian dari system imun

dan juga untuk mengontrol populasi sel normal

dalam tubuh (Rang et al., 2003 dalam Meye,

2009).

Proses apoptosis diawali dengan

terkondensasinya kromatin di dalam nukleus

menjadi suatu massa yang padat dan DNA

terfragmentasi kemudian sitoplasmanya

menyusut (gambar 2.5). Selanjutnya terjadi

pelekukan (blebbing) pada membran sel.

Organel sel dan DNA yang telah terfragmentasi

menyebar menuju ke lekukan-lekukan membran

sel membentuk badan apoptosis yang akan

difagosit oleh makrofag (Doyle & Ggriffiths,

2000; King, 2000).

Proses apoptosis dikendalikan oleh

berbagai tingkat sinyal sel, yang dapat berasal

dari pencetus ekstrinsik maupun intrinsik. Yang

termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain

hormon, faktor pertumbuhan, dan cytokine.

Semua sinyal tersebut harus dapat menembus

membran plasma ataupun transduksi untuk dapat

menimbulkan respon (Lumongga, 2008).

Sinyal intrinsik apoptosis merupakan

suatu respon yang diinisiasi oleh sel sebagai

respon terhadap stress dan akhirnya dapat

mengakibatkan kematian sel. Pengikatan

reseptor nuclear oleh glukokortikoid, panas,

radiasi, kekurangan nutrisi, infeksi virus dan

hipoksia merupakan kedaan yang dapat

menimbulkan pelepasan sinyal apoptosis

intrinsic melalui kerusakan sel (Lumongga,

2008).

Sebelum terjadi proses kematian sel

melalui enzym, sinyal apoptosis harus

dihubungkan dengan pathway kematian sel

melalui regulasi protein. Pada regulasi ini

terdapat dua metode yang telah dikenali untuk

mekanisme apoptosis, yaitu : melalui

mitokondria dan penghantaran sinyal secara

langsung melalui adapter protein (Lumongga,

2008).

1. Extrinsic Pathway (di inisiasi oleh

kematian receptor)

Pathway ini diinisiasi oleh

pengikatan receptor kematian pada

permukaan sel pada berbagai sel.

Reseptor kematian merupakan bagian

dari reseptor tumor nekrosis faktor yang

terdiri dari cytoplasmic domain,

berfungsi untuk mengirim sinyal

apoptotis. Reseptor kematian yang

diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1

yang dihubungkan dengan protein Fas

(CD95). Pada saat Fas berikatan dengan

ligandnya, membran menuju ligand

(FasL). Tiga atau lebih molekul Fas

bergabung dan cytoplasmic death

domain membentuk binding site untuk

adapter protein FADD (Fas-associated

death domain). FADD ini melekat pada

reseptor kematian dan mulai berikatan

dengan bentuk inaktif dari caspase 8.

Molekul procaspase ini kemudian

dibawa ke atas dan kemudian pecah

menjadi caspase 8 aktif. Enzym ini

kemudian mencetuskan cascade aktifasi

caspase dan kemudian mengaktifkan

procaspase lainnya dan mengaktifkan

enzym untuk mediator pada fase

eksekusi. Pathway ini dapat dihambat

oleh protein FLIP, tidak menyebabkan

pecahnya enzym procaspase 8 dan tidak

menjadi aktif (Lumongga, 2008).

2. Intrinsic pathway (Mitokondrial)

Pathway ini terjadi oleh karena

adanya permeabilitas mitokondria dan

pelepasan mollekul pro-apoptosis ke

dalam sitoplasma,tanpa memerlukan

reseptor kematian. Faktor pertumbuhan

dan sinyal lainnya dapat merangsang

pembentukan protein antiapoptosis

Bcl2,yang berfungsi sebagai regulasi

apoptosis. Protein apoptosis yang utama

adalah : Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada

keadaan normal terdapat pada membran

mitokondria dan sitoplasma. Pada saat

sel mengalami stress, Bcl-2 dan Bcl-x

menghilang dari membran mitokondria

dan digantikan oleh pro-apoptosis

Page 5: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

v

protein, seperti Bak, Bax. Bim. Sewaktu

kadar Bcl-2, Bcl-x menurun,

permeabilitas membran mitokondria

meningkat, beberapa protein dapat

mengaktifkan cascade caspase. Salah

satu protein tersebut adalah cytochrom-c

yang diperlukan untuk proses respirasi

pada motokondria. Di dalam sitosol,

cytochrom c berikatan dengan protein

Apaf-1 (apoptosis activating factor-1)

dan mengaktifasi caspase-9. Protein

mitokondria lainnya, seperti Apoptosis

Including Factor (AIF) memasuki

sitoplasma dengan berbagai inhibitor

apoptosis yang pada keadaan normal

untuk menghambat aktivasi caspase

(Lumongga, 2008).

2.6 Flow cytometry

Flow cytometry adalah teknik yang

digunakan untuk menghitung dan menganalisa

partikel mikroskopis yang tersuspensi dalam

aliran fluida (Cytopathol, 2009). Prinsip dasar

dari metode ini adalah berdasarkan flourosensi.

Suspensi sel atau partikel yang hendak dianalisa

disedot atau dialirkan. Aliran dikelilingi oleh

fluida yang sempit, sel akan melewati satu demi

satu melalui sinar laser terfokus (gambar 2.6).

Sinar laser akan menyerang sel tersebut. Sel

yang sesuai dengan cahaya laser dan panjang

gelombang yang tepat dapat dipancarkan

kembali sebagai fluoresensi jika sel

mengandung zat alami fluorescent satu atau

lebih fluorochrome-label antibodi melekat pada

permukaan atau struktur internal sel. Penyerapan

cahaya tergantung pada struktur internal sel dan

ukuran dan bentuknya. Cahaya fluoresensi

terdeteksi oleh serangkaian dioda. Filter optik

berfungsi untuk memblokir cahaya yang tidak

diinginkan. Hasil data disimpan melalui

komputer (Ulfah, 2010).

Flow cytometry merupakan analisis

mikroskopis yang memiliki kemampuan untuk

menganalisis sel-sel secara individu. Kelebihan

flow cytometry setidaknya ada tiga faktor utama,

yaitu multiparameter akuisisi data dan analisis

data multivariate, kecepatan analisis sel, dan

kemampuan dalam penyortiran sel (Davey dan

Douglas, 1996) :

Multiparameter akuisisi data dan

analisis data multivariate

Analisis sel secara konvensional

cenderung mengukur hanya satu

determinan suatu sampel pada satu

waktu. Namun, pada flow cytometry,

kombinasi dari pewarna dan eksitasi

panjang gelombang memungkinkan

estimasi multiple determinan pada

setiap sel, misalnya dapat dibedakan

antara berbagai jenis sel dalam populasi

sel campuran atau menunjukkan

hubungan antara variable seluler yang

berbeda.

Kecepatan analisis sel

Mengingat kebutuhan untuk

menghindari kesalahan perhitungan dan

kerusakan mekanisme dari sel yang

hendak dianalisa, kombinasi

konsentrasi sel dan laju aliran linear

yang umumnya digunakan pada analisa

flow cytometry yaitu 100-1000 sel per

detik. Sehingga apabila ingin

mendapatkan tingkat presisi yang

memadai dalam penilaian distribusi

populasi sel yang berbeda, misalnya

jika peristiwa yang diakuisisi sebanyak

10000, maka waktu yang dibutuhkan

hanya 10-100 detik.

Kemampuan penyortiran sel

Data yang diperoleh dari pengukuran

flow cytometry dianalisa dengan cukup

cepat sehingga perlu digunakan

penyortiran sel untuk memisahkan atau

membedakan sel dengan sifat yang

diinginkan. Prosedur ini biasanya

dikenal dengan fluorescence-activated

cell sorting.

Kelemahan flow cytometry menurut

Davey dan Douglas (1996) ada dua, yaitu biaya

yang besar dan diperlukan operator yang

terampil untuk mendapatkan kinerja yang

optimal. Hite dan Ann (2001) menambahkan

kelemahan metode flow cytometry adalah

pengujian secara subyektif, yaitu operator dapat

menginterpretasi data dengan beberapa cara

yang berbeda.

3. Metodologi

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di

Laboratorium Penelitian dan pengujian Terpadu

(LPPT) dan laboratorium patologi klinik

fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta pada bulan Januari - Juni 2011.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah ekstraktor soxhlet, rotary

Page 6: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

vi

evaporator, autoclave, cawan porselin, inkubator

CO2, tangki nitrogen cair, tabung conical steril,

sentrifuge, timbangan analitik, lemari pendingin,

vorteks, laminar air flow cabinet, tissue culture

flask, mikropipet, blue tip, yellow tip, cell

counter, haemacytometer, 6-well plate, tabung

eppendorf, coverslip, gelas benda Poly-L-

Lysine, gelas penutup, mikroskop inverted,

aluminium foil, tabung flowcyto, flowcytometer

FACS Calibur dan kamera.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah ekstrak spons Aaptos

suberitoides koleksi Laboratorium Zoologi

Jurusan Biologi FMIPA ITS yang diperoleh dari

Perairan Pesisir Situbondo Jawa Timur. Sel

kanker HeLa diperoleh dari Laboratorium

Parasitologi Kedokteran UGM Yogyakarta.

Bahan lain yang diperlukan adalah medium

RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) 1640

(Sigma), medium kultur (penumbuh) RPMI

1640 yang mengandung Fetal Bovin Serum

(FBS) 10%, Fungizon 0.5% (v/v) dan antibiotik

Penisilin-Streptomisin 1% (v/v), phosphate

buffered saline (PBS) 20%, dan Cisplatin

sebagai kontrol positif. Pada uji apoptosis bahan

yang digunakan adalah PBS, tripsin-EDTA

0,25%, dan reagen flow cytometry.

3.3 Cara Kerja

3.3.1. Ekstraksi Spons Laut

Ekstraksi spons dilakukan dengan

metode yang dilakukan oleh Harada dan Kamei

(1997) dan Horikawa et al (1999). Spons

diambil dan dipotong-potong menggunakan

pisau, selanjutnya ditambahkan alkohol.

Potongan spons dikeringanginkan selama 1

minggu hingga kering. Selanjutnya potongan

spons yang telah kering dihaluskan dengan

menggunakan blender sehingga terbentuk

ekstrak kasar. Ekstrak kasar yang telah didapat

kemudian dimaserasi. Ekstrak kasar spons

dimasukkan ke dalam maserator dengan

kapasitas 2,5 kg. Ekstrak kasar spons direndam

dalam etanol sampai seluruh ekstrak spon

terendam, campuran disaring dan dihasilkan

ekstrak spons. Filtrat spons yang telah didapat

dievaporasi. Proses selanjutnya yaitu

pengadukan filtrat dengan stiring magnetic

mulai dari pelarut polar hingga pelarut non

polar. Filtrat diaduk dengan pelarut kloroform

dengan perbandingan 1:5. Pengadukan

dilakukan dengan replikasi 3 kali selama 2 jam

untuk tiap kali replikasi. Dari proses tersebut

akan didapatkan filtrat dan supernatan. Filtrat

yang diperoleh dievaporasi untuk

menghilangkan etanol.

3.3.2 Pembuatan Medium Kultur

(Penumbuh) RPMI 1640 Medium kultur dibuat dari 20 mL Fetal

Bovine Serum (FBS) 10% yang dimasukkan ke

dalam botol steril, ditambah 2 mL penisilin-

streptomisin 1%, 1mL fungizon 0,5% dan 200

mL medium RPMI 1640 murni. Medium kultur

dibuat di dalam LAF dan disimpan di dalam

lemari pendingin pada suhu ± 4°C (Nurulita &

Mahdalena, 2006; Mae et al., 2000 dalam Meye,

2009)

3.3.3 Propagasi Sel HeLa

Kultur sel HeLa diambil dari stok yang

disimpan dalam tangki cair yang diletakkan

dalam lokator pada suhu -196°C. Ampul yang

berisi sel dicairkan dalam air ± 37.7 °C,

kemudian ampul disemprot dengan alkohol

70%. Ampul dibuka dan sel dipindahkan ke

dalam tabung conical steril yang berisi 10 ml

medium RPMI 1640. Suspensi sel disentrifuge

dengan kecepatan 1500 rpm selama ± 5 menit.

Supernatan dibuang, pellet ditambah 1 ml

medium penumbuh RPMI 1640 yang

mengandung FBS 10%. Lalu diresuspensikan

perlahan sampai homogen. Selanjutnya sel

ditumbuhkan dalam beberapa (2-3) buah tissue

culture flask kecil dan diinkubasi dalam

inkubator pada suhu 37°C dengan aliran 5%

CO2 dan 95% O2. Setelah 24 jam, media diganti

dan sel ditumbuhkan sampai konfluen dan

jumlahnya cukup untuk penelitian (Ola et al.,

2008; Mae et al., 2000 dalam Meye, 2009).

3.3.4 Pemanenan Sel HeLa

Setelah jumlah sel HeLa cukup atau

konfluen (± 70%), medium dibuang. Selanjutnya

dicuci dengan PBS sebanyak dua kali.

Kemudian ditambahkan tripsin 0,25% sebanyak

300 µL, dan diinkubasi selama tiga menit di

dalam inkubator. Selanjutnya ditambahkan ± 5

mL medium kultur, lalu diresuspensi secara

perlahan menggunakan pipet. Sel telah siap

digunakan untuk penelitian (CCRC, 2009).

3.3.5 Analisis Siklus Sel

3.3.5.1 Treatmen Flow cytometri

Sel ditransfer ke dalam sumuran 6 well

plate, masing-masing 1000 μL (untuk perlakuan

dan untuk kontrol sel) dengan kepadatan 5 x 105

sel/ 1000 µl media. Dibuat seri konsentrasi

Page 7: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

vii

sampel dan agen kemoterapi (Cisplatin) untuk

perlakuan. Seri konsentrasi terdiri dari 2

konsentrasi: ¼ IC50 dan 1/10 IC50. IC50 ekstrak

spons A. suberitoides adalah 153.007 µg/mL,

dan IC50 Cisplatin adalah 33.424 µg/mL (Fadjri,

2010). Untuk masing-masing konsentrasi sampel

dan agen kemoterapi dibuat volume 500 μL

(bisa dilebihkan sedikit). Plate yang telah berisi

sel diambil dari inkubator. Media sel dibuang

dengan menggunakan pipet Pasteur secara

perlahan-lahan. Selanjutnya dicuci dengan 500

μL PBS ke dalam semua sumuran yang terisi sel.

PBS dibuang dengan pipet Pasteur secara

perlahan-lahan. Untuk kelompok perlakuan

kombinasi : dimasukkan 500 μL seri konsentrasi

sampel ke dalam sumuran. Kemudian

tambahkan 500 μL seri konsentrasi Cisplatin

untuk kombinasi. Untuk perlakuan tunggal :

dimasukkan 500 μL seri konsentrasi sampel atau

Cisplatin ke dalam sumuran. Kemudian

ditambahkan 500 μL MK (media kultur). Untuk

kontrol sel : ditambahkan 1000 μL MK ke dalam

sumuran. Selanjutnya semua well plate

diinkubasi di dalam inkubator CO2 selama 24

jam (CCRC, 2009).

3.3.5.2 Preparasi sampel untuk flow

cytometry

Pertama-tama disiapkan 2 eppendorf

untuk 1 jenis perlakuan yaitu eppendorf I dan

eppendorf II. Selanjutnya media diambil dari

sumuran dengan mikropipet 1 ml, lalu ditransfer

ke eppendorf I, jika kurang dimasukkan ke

eppendorf II. Kemudian disentrifus dengan

kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. Media

dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya

diisikan 500 μL PBS ke dalam setiap sumuran.

PBS diambil dengan mikropipet dan ditransfer

ke dalam eppendorf I. Disentrifus kembali

dengan kecepatan 2000 rpm selama 3 menit.

PBS dibuang dengan cara dituang. Diulangi

pencucian dengan PBS sekali lagi. Kemudian

ditambahkan 150 μL tripsin-EDTA 0,25%, lalu

diinkubasi di inkubator selama 3 menit. Langkah

selanjutnya ditambahkan 1 ml MK pada tiap

sumuran, diresuspensi sampai sel lepas satu per

satu, dan diamati di bawah mikroskop. MK

untuk menginaktivasi tripsin. Setelah sel terlepas

satu-satu, sel ditransfer ke eppendorf I dan/ II.

PBS ditambahkan kembali sebanyak 500 μl ke

dalam sumuran untuk mengambil sisa sel,

kemudian ditransfer ke dalam eppendorf II.

Semua eppendorf disentrifus dengan kecepatan

2000 rpm selama 3 menit. MK/PBS dibuang

dengan cara dituang, kemudian ditambahkan dan

resuspen pellet sel dengan 500 μL PBS dingin.

Suspensi sel digabungkan dalam kedua

eppendorf ke dalam eppendorf I. Eppendorf

kosong dibilas dengan PBS, lalu ditransfer ke

eppendorf I. Eppendorf I disentrifuse dengan

kecepatan 2000 rpm selama 3 menit. PBS

dibuang dengan cara dituang. Selanjutnya

ditambahkan reagen flow cytometry sebanyak

400 μL pada tiap eppendorf, diresuspen dengan

homogen. Tiap eppendorf dibungkus dengan

alumunium foil dan diberi penandaan pada

bagian atas eppendorf. Semua eppendorf

diinkubasi di waterbath 37°C, 10 menit untuk

mengaktivasi RNase. Diresuspen lagi sebelum

ditransfer ke flowcyto-tube. Suspensi sel

ditransfer ke dalam flowcyto-tube melalui filter

(kain nylon/kain kaca) menggunakan mikropipet

1 ml. Tutup flowcyto-tube dilubangi terlebih

dahulu. Selanjutnya dibaca dengan flow

cytometer FACS Calibur untuk mengetahui

profil cell cycle. Data flow cytometry dianalisis

dengan program cell quest untuk melihat

distribusi sel pada fase-fase daur sel sub G1, S,

G2/M dan sel yang mengalami poliploidi

(CCRC, 2009). Flow cytometry dilakukan

dengan pancaran cahaya 488 nm dan dengan

kecepatan medium (500 sel/detik).

3.4 Analisis Data

Analisa data dilakukan secara deskriptif,

yaitu dengan membandingkan antara perlakuan

dengan kontrol. Analisis siklus sel dilakukan

pada fase siklus sel dimana terjadi akumulasi sel

terbesar pada masing-masing perlakuan.

4. Hasil dan Pembahasan

Kultur sel HeLa sering digunakan

sebagai model dalam penelitian karena tumbuh

lebih cepat sehingga mampu memproduksi lebih

banyak sel dalam satu flask dan merupakan sel

manusia yang umum digunakan untuk

kepentingan kultur sel. Kultur sel HeLa

memiliki sifat semi melekat. Hal ini disebabkan

karena sel kultur melepas suatu protein matriks

ekstraseluler sehingga menyebabkan sel–sel

tersebut menempel satu sama lain dan menempel

pada dasar microplate (Syaifuddin, 2007).

Uji sitotoksisitas diawali dengan

menumbuhkan sel HeLa hingga konfluen (70-

80% memenuhi dinding flask) pada medium

RPMI 1640-serum. Menurut Freshney (2000)

dalam medium ini terkandung nutrisi yang

cukup untuk pertumbuhan, yaitu asam amino,

vitamin, garam-garam anorganik, dan glukosa.

Serum yang ditambahkan mengandung hormon-

Page 8: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

viii

hormon yang mampu memacu pertumbuhan sel.

Albumin berfungsi sebagai protein transport,

lipid diperlukan untuk pertumbuhan sel, dan

mineral berfungsi sebagai kofaktor enzim.

Setelah sel yang akan digunakan sebagai

model uji jumlahnya cukup kemudian dilakukan

pemanenan sel yang dilanjutkan dengan

pencucian menggunakan PBS. Hal ini bertujuan

untuk membersihkan serum yang terkandung

dalam medium RPMI karena serum ini dapat

menghambat kerja tripsin. Selanjutnya

dilakukan penambahan tripsin untuk melepas sel

dari dasar tabung dan dilanjutkan dengan

penambahan medium RPMI sehingga diperoleh

suspensi sel yang dapat langsung dipindahkan ke

dalam microplate.

Setelah sel dalam microplate siap,

kemudian dilakukan penambahan seri

konsentrasi ekstrak spons A. suberitoides,

cisplatin, kombinasi ekstrak A. suberitoides dan

cisplatin serta kontrol. Setelah inkubasi 24 jam

dan diamati di bawah mikroskop maka terlihat

adanya perubahan dari morfologi sel. Morfologi

sel kontrol dan setelah perlakuan dapat dilihat

pada gambar 4.1. Pengamatan mikroskopis

menunjukkan adanya perbedaan morfologi pada

sel HeLa kontrol dan perlakuan. Sel kontrol

tampak berbentuk seperti daun, menempel di

dasar sumuran, sedangkan sel dengan perlakuan

ekstrak A. suberitoides, cisplatin, dan kombinasi

terdapat sel yang mati. Sel yang mati tampak

berubah bentuknya, keruh dan mengapung.

Akumulasi sel pada siklus sel

merupakan salah satu target utama agen

antikanker. Pada penelitian ini pengamatan

siklus sel dilakukan dengan metode

flowcytometry. Dengan metode ini, dapat dilihat

distribusi sel pada masing-masing fase dalam

siklus sel setelah perlakuan, sehingga dapat

diperkirakan jalur penghambatan ekstrak A.

suberitoides serta kombinasinya dengan

cisplatin dalam menghambat siklus sel. Fase-

fase dalam siklus sel normal memiliki perbedaan

pada jumlah set kromosom yaitu fase G1 jumlah

set kromosomnya adalah 2n. Berlanjut pada fase

S, jumlah set kromosomnya antara 2n dan 4n

karena terjadi proses replikasi, sedangkan pada

fase G2 dan M, replikasi telah sempurna

membentuk set kromosom 4n. Begitu juga yang

terjadi pada sel HeLa, dimana pada fase G1

memiliki 2 set kromosom (2n), pada fase G2

antara 2n-4n, dan pada fase G2/M adalah 4n

(Collins et al., 1997). Dengan adanya

fluorochrome yang memiliki kemampuan

berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti

propium iodide maka tiap sel yang memiliki

jumlah set kromosom yang berbeda akan

memberikan intensitas fluoresensi yang berbeda.

Semakin banyak set kromosom maka intensitas

fluoresensi akan semakin besar. Alat yang

digunakan untuk membaca intensitas fluoresensi

tiap sel pada penelitian ini adalah FACS

(Fluorescence Activated Cell Sorting) atau

flowcytometer (Givan, 2001). Profil siklus sel

Hela dan distribusi sel HeLa setelah perlakuan

dapat dilihat pada gambar 4.2 dan table 4.1.

Salah satu kelemahan dari flow

cytometry dalam analisis siklus sel adalah

pengukuran yang bersifat subyektif, yaitu

operator dapat menginterpretasi data dengan

beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus

sel dengan metode flow cytometry, tidak ada

aturan baku untuk menetapkan range intensitas

fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam

siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam

menentukan dimana 2n (fase G0/G1) berakhir

dan dimana dimulainya fase S. Begitu pula

untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan

dimulainya fase G2/M (4n). Metode yang paling

sederhana untuk menentukan range intensitas

fluoresensi disebut peak reflect method, dimana

puncak dari G0/G1 diasumsikan terdistribusi

simetris di sekitar puncak tertinggi. Berdasarkan

asumsi ini, lebar dari puncak G0/G1, dari

puncak tertinggi ke arah kiri (fluoresen rendah)

dicopy ke kanan (fluoresen tinggi). Hal yang

sama dilakukan pada puncak G2/M. Selanjutnya

area yang berada di tengah-tengah antara kedua

wilayah tersebut (antara G0/G1 dan G2/M)

dianggap sebagai fase S (Givan, 2001). Metode

untuk menentukan range intensitas fluoresensi

untuk menentukan fase siklus sel ini dilakukan

pada sel kontrol atau tanpa perlakuan,

sedangkan untuk sel dengan perlakuan,

penentuan fase-fase siklus sel mengikuti yang

telah ditetapkan pada kontrol.

Terdapat satu masalah penting dalam

analisa siklus sel menggunakan flow cytometry

yaitu kemungkinan terjadi agregat atau

pengelompokan sel. Dua sel pada fase G1 yang

berkumpul saat penyinaran akan memantulkan

flouresen dua kali DNA content normal, dan

tampak seperti satu sel yang berada pada fase

G2/M. Salah satu cara mendiagnosa adanya

sampel yang berkelompok adalah dengan

melihat puncak pada posisi 6n (merupakan hasil

tiga inti yang berkelompok). Apabila ditemukan

tiga sel yang berkelompok, maka secara statistik,

dua sel yang berkelompok akan lebih banyak.

Pada gambar 4.2 sel yang berada pada posisi 6n

Page 9: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

ix

(angka 600 pada sumbu x histogram) sangat

rendah, ini menunjukkan double cell atau sel

yang berkelompok ketika penyinaran sangat

kecil, sehingga data yang didapatkan cukup

valid. Tabel 4.1 Distribusi sel HeLa setelah perlakuan

dengan berbagai konsentrasi ekstrak A. suberitoides,

cisplatin, dan kombinasi keduanya

Jenis

Perlakuan

Kad

ar

Fase Sel (%)

subG

1

G1 S G2/

M

Kontrol 0 6,41 46,44 8,04 8,53

Ekstrak A.

suberitoides

¼

IC50

10,00 48,50 8,25 7,98

1/10

IC50

7,45 50,22 8,03 8,22

Cisplatin ¼

IC50

8,34 23,76 24,2

8

11,1

7

1/10

IC50

9,35 24,50 22,1

9

12,5

2

Kombinasi

Cisplatin –

Ekstrak A.

suberitoides

¼

IC50

- ¼

IC50

7,55 21,13 25,1

3

17,6

5

Akumulasi sel terbesar pada perlakuan

ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi 38,25

µg/ml (¼ IC50) adalah pada fase G1 sebesar

48,50%. Pada perlakuan ekstrak A. suberitoides

dengan konsentrasi 15,30 µg/ml (1/10 IC50)

akumulasi terbesar juga terjadi pada fase G1

yaitu sebesar 50,22%. Apabila dibandingkan

dengan kontrol, efek perlakuan ekstrak pada fase

G1 tidak jauh berbeda, sehingga dapat dikatakan

bahwa ekstrak A. suberitoides pada konsentrasi

1/10 IC50 dan ¼ IC50 tidak menunjukkan

pengaruh pada siklus sel HeLa. Menurut Xu

(2000) spons A. suberitoides mengandung

senyawa alkaloid utama yaitu aaptamin dan

derivatnya. Aaptamin murni mampu

menyebabkan G2 arrest pada sel HeLa, namun

pada penelitian ini akumulasi sel terbesar adalah

pada fase G1 sehingga kemungkinan terjadi

penahanan fase G1 sel HeLa oleh ekstrak A.

suberitoides. Pada percobaan ini ekstrak A.

suberitoides yang digunakan masih merupakan

ekstrak kasar (crude extract) sehingga

kemungkinan ada senyawa lain yang mekanisme

aksinya menghambat fase G1, dimana menurut

Nurhayati (2010) spons A. suberitoides tidak

hanya mengandung senyawa alkaloid, namun

juga terpenoid. Ircinin merupakan salah satu

senyawa terpenoid yang dilaporkan aksinya

menyebabkan G1 arrest pada sel kanker kulit

(Mayer dan Kirk, 2008 dan Choi et al., 2005).

Kandungan terpenoid ini kemungkinan memiliki

aktivitas serupa dengan ircinin dan beraksi lebih

dominan sehingga terjadi G1 arrest. Menurut

Choi et al., (2005) ircinin menyebabkan G1

arrest melalui induksi p21 dan p27, dimana p21

dan p27 merupakan protein yang termasuk

dalam inhibitor CDK (CDKIs). Ekspresi p21

dan p27 menyebabkan penurunan kadar cyclin D

sehingga tidak terjadi aktivasi CDK4 dan

CDK6. Aktivasi CDK4 dan CDK6 berfungsi

untuk fosforilasi protein Rb (retinoblastoma),

sehingga apabila terjadi pemblokiran aktivasi

CDK4 dan CDK6 maka tidak terjadi fosforilasi

protein Rb. Rb yang tidak terfosforilasi akan

berikatan dengan faktor transkripsi E2F

mengikat DNA dan menghambat transkripsi gen

yang produknya diperlukan untuk fase S siklus

sel sehingga sel tertahan di fase G1 atau terjadi

G1 arrest (Kumar et al., 2003).

Cisplatin digunakan sebagai kontrol

positif pada penelitian ini karena Cisplatin

merupakan agen kemoterapi dalam pengobatan

kanker serviks (Mardiani, 2010). Akumulasi sel

terbesar pada perlakuan cispatin konsentrasi

8,35 µg/ml (¼ IC50) terjadi pada fase S yaitu

sebesar 24,28%, sedangkan pada perlakuan

cisplatin konsentrasi 3,34 µg/ml (1/10 IC50)

terjadi pada fase G1 sebesar 24,50%.

Koprinarova et al. (2010) menyebutkan bahwa

perlakuan menggunakan cisplatin menyebabkan

terjadi arrest pada fase G1 dan S pada siklus sel.

Ho (1995) menjelaskan bahwa progresi siklus

sel dikontrol oleh cyclin-dependent kinases

(cdks). CDKs merupakan kontrol pusat dan

pembatas pada regulasi tiap fase siklus sel. cdks

yang esensial untuk transisi dari fase G1 ke fase

S adalah CDK2 dan CDK3. Salah satu substrat

utama CDK yang mengontrol progresi G1/S

adalah penekan (suppressor) tumor, protein

retinoblastoma (Rb). Rb menghentikan siklus sel

dengan cara mengikat faktor transkripsi E2F,

dan membatasi potensi untuk transaktivasi gen

yang diperlukan untuk melewati fase G1

sehingga terjadi G1 arrest (Ho, 1995).

Sedangkan kerja cisplatin dalam menghambat

sintesis DNA merupakan hasil dari penahanan

fase S (S arrest) karena terjadi pemblokiran

elongasi DNA (Koprinarova et al., 2010). Lebih

lanjut Sorenson dan Alan (1988) menyebutkan

bahwa cisplatin mereduksi penggabungan

timidin, uridin dan leusin menjadi

makromolekul sehingga terjadi penghambatan

sintesis DNA.

Perlakuan kombinasi ekstrak A.

suberitoides dan cisplatin dilakukan untuk

Page 10: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

x

mengetahui bagaimana pengaruh kombinasi

tersebut terhadap siklus sel HeLa. Pada

perlakuan kombinasi, akumulasi terbesar adalah

pada fase S yaitu 25,13%, dimana pada fase S

terjadi sintesis DNA. Telah disebutkan

sebelumnya bahwa target utama antikanker

cisplatin adalah DNA dimana cisplatin akan

menghambat sintesis DNA, sehingga terjadi S

arrest. Selain itu spons A. suberitoides

mengandung senyawa derivat dari aaptamin,

yaitu histidin yang juga berfungsi untuk

menghambat sintesis DNA (Tsukamoto et al.,

2010). Oleh karena itu pada perlakuan

kombinasi ini kemungkinan terjadi kerja sinergis

antara cisplatin dan ekstrak spons A.

suberitoides dalam menghambat fase S pada sel

HeLa. Pada perlakuan kombinasi sel yang

berada pada fase G2/M paling banyak

dibandingkan perlakuan yang lain, hal ini

kemungkinan karena efek DNA repair. Adanya

mekanisme kontrol cek point pada transisi fase

G1/S dan G2/M mencegah adanya perubahan

genetik dengan memastikan bahwa kerusakan

DNA telah diperbaiki sebelum replikasi DNA

pada fase S dan pembelahan pada fase M.

Apabila kerusakan DNA tidak berhasil

diperbaiki oleh sistem cek point, maka daur sel

akan berhenti pada fase G2/M. apabila

kerusakan DNA dapat diperbaiki maka daur sel

akan berlanjut. Setelah fase M, sel dapat masuk

ke fase G1 atau G0 (Dipaola, 2002). Senyawa

hymenialdisine dari beberapa spesies sponge

seperti Phakellia mauritiana, Pseudaxinyssa

cantharella dan Agelas longissima dilaporkan

memiliki aksi DNA repair melalui mekanisme

inhibitor CHK1 yang merupakan protein yang

berperan pada cek point transisi fase G1/S dan

G2/M (Meijer et al., 2000 dan Lord et al., 2006).

Pada ekstrak A. suberitoides kemungkinan

memiliki kandungan senyawa dengan

mekanisme aksi seperti hymenialdisine sehingga

terjadi DNA repair pada perlakuan kombinasi.

Setelah DNA diperbaiki, maka sel dapat

melanjutkan ke fase selanjutnya dalam siklus

sel. Oleh karena itu pada perlakuan kombinasi,

sel yang berada pada fase G2/M lebih banyak

dibandingkan dengan perlakuan ekstrak A.

suberitoides tunggal.

Akumulasi sel pada fase subG1 yang

diasumsikan sebagai apoptosis paling tinggi

adalah pada perlakuan ekstrak A. suberitoides

konsentrasi ¼ IC50 (38,25 µg/ml) yaitu sebesar

10,00%. Aoki et al., (2006) menyatakan bahwa

senyawa aaptamin yang terdapat pada sponge A.

suberitoides mengaktivasi promoter p21 yang

merupakan target dari gen p53. Aktivasi ini

menyebabkan aktivasi protein proapoptosis

seperti Bax, Bak, dan Bad. Selanjutnya

mitokondria melepas cytokrom c. Sitokrom

selanjutnya akan mengaktivasi caspase cascade

melalui aktivasi protein adaptor Apaf-1 yang

akan mengaktivasi procaspase 9 (Simstein et al.,

2003). Procaspase 9 selanjutnya akan

mengaktivasi caspase 9 yang merupakan caspase

inisiator. Caspase inisiator ini akan mengaktivasi

caspase efektor yang berperan dalam apoptosis.

Yang tergolong caspase efektor adalah caspase

3, caspase 6, dan caspase 7 (Kiaris, 2006). Pada

perlakuan kombinasi ekstrak A. suberitoides

dengan cisplatin, akumulasi pada fase subG1

sebesar 7,55%. Telah dijelaskan sebelumnya

bahwa pada perlakuan kombinasi kemungkinan

terdapat efek DNA repair. Abeloff et al. (2004)

menyebutkan bahwa efek DNA repair dapat

menurunkan angka apoptosis. Oleh karena itu

akumulasi sel pada fase subG1 pada perlakuan

kombinasi nilainya lebih kecil daripada

perlakuan ekstrak A. suberitoides dosis tunggal.

5. Kesimpulan

Ekstrak A. suberitoides 38,25 µg/mL

menyebabkan terjadinya apoptosis sebesar 10%

dan akumulasi sel terbesar pada fase G1 yaitu

sebesar 50,22%, sedangkan ekstrak A.

suberitoides 15,3 µg/mL menyebabkan

terjadinya apoptosis sebesar 7,45% dan

akumulasi sel terbesar juga pada fase G1 sebesar

48,50%.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

menggunakan ekstrak Aaptos suberitoides

dengan konsentrasi yang lebih tinggi agar

pengaruh ekstrak terhadap siklus sel HeLa dapat

terlihat dengan lebih jelas. Selain itu ekstrak

spons A. suberitoides yang digunakan untuk

penelitian perlu dimurnikan terlebih dahulu

menjadi bentuk senyawa murni sehingga

memiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Abeloff, M., Arnitage J., Niederhuber J., Kastan

M., dan McKenna W. 2004. Clinical

Oncology 3rd ed. Elsevier Churchill

Livingstone: Philadelphia.

Ahmad, T., Panrerengi, A., dan Suryati, E. 2000.

”Potensi Sponge Penghasil Bakterisida

dan Fungisida Alami Belum Banyak

Dimanfaatkan”. Warta Penelitian

Perikanan Indonesia 8 (3) : 34-45.

Page 11: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

xi

American Type Culture Collection (ATTC).

2001. MTT Proliferation Assay.

Instruction. P.O.Bx 1549, Manasan

USA.

Amir, I. dan Agus B. 1996. “ Mengenal Spons

Laut (Demospongia) Secara Umum”.

Oseana 21 (2) : 15-31.

Aoki, S., Dexin K., Hideaki S., Yoshihiro S.,

Toshiyuki S., Andi S., dan Motomasa K.

2006. “Aaptamin, a Spongean Alkaloid,

Activates p21 Promoter in a p53-

Independent Manner”. Biochemical and

Biophysical Research

Communications 342 : 101-106.

Astuti, P., Alam, G., Hartati, M.S., Sari, D., dan

Wahyuono, S. 2005. “Uji sitotoksik

senyawa alkaloid dari spons Petrosia sp:

potensial pengembangan sebagai

Antikanker”. Majalah Farmasi

Indonesia 16 (1) : 58 – 62.

Burger, F. J. 1970. “Aaptos”. South African

Medical Journal 44 : 899.

Capes, D., Theodosopoulos G., dan Atkin I.

2010. “Check your cultures! A list of

cross-contaminated or misidentified cell

lines”. Int J Cancer 127 (1) : 1–8.

CCRC (Cancer Chemoprevention Research

Center). 2009. Preparasi Sampel

untuk Flowcytometry.

<URL:http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.i

d >.

Choi, H., Yung H., Su-Bog Y., Eunok I., Jee H.,

dan Nam D. 2005. “Ircinin-1 Induces

Cell Cycle Arrest and Apoptosis in SK-

MEL-2 Human Melanoma Cells”.

Molecular Carcinogenesis 44 (3) :

162-173

Collins, J., David E., dan Carrington S. 1997.

Structure of Parental Deoxyribonucleic

Acid of Synchronized HeLa Cells.

Biochemistry 16 (25) : 5438-5444.

Cooper, G. M. 2000. The Cell A Molecular

Approach. Second Edition.

<URL:http://www.ncbi.nih.gow/books>

Cytopathol, D. 2009. “Evaluation of flow

cytometric immunophenotyping and

DNA analysis for detection of malignant

cells in serosal cavity fluids”. Juli 37 (7)

: 498-504.

Danaei, G., Eric L., dariush M., Ben T., jurgen

R., Christopher J., dan Majid, E. 2005.

Cancer. <URL:http://www.who.int>.

Darzynkiewicz, Z. 1996. Detection of

Apoptosis by Flow cytometry. pada

"Educational Program of the 26th

Congress of the International Society of

Hematology". Singapura.

Davey, H. dan Douglas K. 1996. Flow

Cytometry and Cell Sorting of

Heterogeneous Microbial opulations :

the Importance of Single-Cell Analyses.

Microbiological Reviews 60 (4) : 641-

696.

DeFillippis, R.A., Goodwin, E.C., Wu, L., dan

DiMaio, D. 2003. “Endogenous Human

Papillomavirus E6 and E7 Proteins

Differentially Regulate Proliferation,

Senescence, and Apoptosis in Hela

Cervical Carcinoma Cells”. Journal of

Virology 77 (2) : 1551-1563.

Dipaola, R. 2002. “To Arrest or Not To G2-M

cell Cycle Arrest”. Clinical Cancer

Research 8 : 3311-3314.

Dolezel, J., Binarova P., dan Lucretti S. 1989.

“Analysis of nuclear DNA content in

plant cells by flow cytometry”. Biologia

Plantarum 31: 113 – 120.

Doyle, A., dan Griffiths, J. B. 2000. Cell and

Tissue Culture for Medical Research.

John Willey and Sons Ltd. : New York.

Edianto, D. 2006. Kanker Serviks. Yayasan

Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo :

Jakarta.

Fadjri, H. T. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak

Spons Laut Aaptos suberitoides

Terhadap Sel Kanker HeLa Secara In

Vitro. Prodi Biologi ITS : Surabaya.

Franks L.M dan Teich N.M. 1998. Cellular and

Molecular Biology of Cancer, Third

edition Oxford University Press Inc. :

New York.

Freshney, R. 2000. Culture of Animal Cells: A

Manual of Basic Technique, Fourth

Ed. A John Wiley and Sons, Inc. : USA.

Givan, A.L., 2001. Flow Cytometry First

Principles. Wiley-Liss, Inc. : New

York.

Goodwin, E., dan DiMaio, D. 2000. “Repression

of human papillomavirus oncogenes in

Hela cervical carcinoma cells causes the

orderly reactivation of dormant tumor

suppressor pathways”. Biochemistry 97

(23) : 12513-12518.

Hite, R. dan Ann M. 2001. Strengths and

Weakness of Flow Cytometry.

<URL:http://www.unc.edu>. 19 Juli

2011.

Page 12: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

xii

Ho, Duncan. 1995. The Biochemical and Cell

Cycle Effects of the Antitumour Drug

Fostriecin. University of British

Columbia : Columbia.

Hooper, J.N.A. 1997. Sponge Guide: Guide to

Sponge Collection and Identification.

Quensland Museum : Brisbane.

Ixora. 2007. Antikanker yang Alami.

<URL:http://www.ixoranet.com/index.p

hp>. 12 Oktober 2010.

Kiaris, H. 2006. Understanding

Carcinogenesis: an Introduction to

the Molecular Basis of Cancer.

Willey-vch Verlag GmbH & Co. KGaA

: Weinhem.

King, S. B. 1996. Cancer Biology second

edition. Pearson Education : London.

Koprinarova, M., Petya M., Ivan I., Boyka A.,

dan George R. 2010. “Sodium Butyrate

Enhances the Cytotoxic Effect of

Cisplatin by Abrogating the Cisplatin

Imposed Cell Cycle Arrest”. BMC

molevular Biology.

Kresno, S. 2003. Ilmu Dasar Onkologi. PT

Quparada Makuda Perkasa: Jakarta.

Kumar, V., Ramzi S., dan Stanley L. 2003.

Robbins Basic Pathology 7th ed.

Elsevier Inc. : New York.

Leland, H., hartwell, T., dan Hunt, P. M. 2001.

Key Regulators of the Cell Cycle.

<URL:http://www.nobelprizes/medicine

>.

Lord, C., michelle D., dan Alan A. 2006.

“Targeting the Double-Strand DNA

Break Repair Pathway as a Therapeutic

Strategy”. Clinical Cancer Research

12 (15) : 4463-4468.

Lumongga, F. 2008. Apoptosis. USU: Medan.

Macville M, Schröck E, Padilla-Nash H, et al.

1999. “Comprehensive and definitive

molecular cytogenetic characterization

of HeLa cells by spectral karyotyping”.

Cancer Res. 59 (1) : 141–150.

Mardiani, R. 2010. Evaluasi penggunaan

Antiemetika pada Pasien kanker

Serviks dengan Terapi Sitostatika di

Instalasi Rawat Inap RSUD. Dr.

Moewardi Surakarta pada tahun

2009. Fakultas Farmasi Universitas

Muhammadiyah Surakarta : Surakarta.

Mayer, M. S., dan Kirk R. 2008. “Marine

pharmacology in 2005–2006:

Antitumour and cytotoxic compounds”.

European Journal of Cancer 44:

2357–2387.

Meijer, L., Thunnissen, A. White, Garnier,

Nikolic, Tsai, Walter, K. Cleverley,

Salinas, Y. Wu, Biemat, Mandelkow, S.

Kim dan G. Pettit. “Inhibition of Cyclin-

Dependent Kinases, GSK-3β and CK1

by HYmenialdisine, a Marine Sponge

Constituent”. Chemistry and Biology 7

: 51-63.

Meiyanto, E., Supardjan, Muhammad D., dan

Dewi A. 2006. “Efek antiproliferatif

Pentagamavunon-0 terhadap Sel Kanker

Payudara T47D”. Jurnal Kedokteran

Yarsi 14 1.

Meye, E. 2009. Sitotoksisitas dan Efek

Ekstrak Etanol Kulit Buah Jambu

Mente (Anacardium occidentale L.)

Terhadap Sel Mieloma. Fakultas

Biologi UGM. Yogyakarta.

Meyer, F., Putnam, Jacobsen N., dan Mc.

Laughlin. 1982. “Brine Shrimp: A

Convenient General Bioassay for Active

Lant Constituents”. Plant Medica 45.

Mutschler, E. 1999. Dinamika Obat, Ed. V,

cetakan ketiga. ITB Press: Bandung.

Nafrialdi, Gan Sulistia. 1995. Antikanker,

Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4.

Farmakologi Fakultas Kedokteran

Indonesia : Jakarta.

Prayitno, A., Ruben D., Istar Y., dan Ambar M.

2005. ”Ekspresi Protein p53, Rb, dan c-

myc pada Kanker Serviks Uteri dengan

Pengecatan Immunohistokimia”.

Biodiversitas 6 (3) : 157-159.

Pusztai, L., dan lewis E. 1996. Cell

Proliferation in Cancer, Regulatory

Mechanism of Neoplastic Cell

Growth. Oxford University Press

Oxford : New York.

Rahbari R., Tom S., Modes V., Pam C., Catriona

M., dan Richard M. 2009. "A novel L1

Retrotransposon Marker for HeLa Cell

Line Identification”. Biotechniques 46

(4): 277–84.

Rang, H., M. Dole, Ritter, dan Moore. 2003.

Pharmachology. 5th ed. Churchill

Livingstone : New York.

Rosai, I, 2004. Surgical Pathology, 9 th ed. St

louis, Missouri: Mosby.

Sagar, L. 2005. Intro to Myeloma.

<URL:http://www.mulltiplemyeloma.or

g>.

Page 13: Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides ... · menduduki urutan teratas bagi kanker ... dari lobus globular osculiferus, berwana orange kecoklatan, memiliki permukaan

xiii

Schmidt, O. 1864. Supplement der Spongien

des Adriatischen Meeres Enthaltend

Die Histologie und Systematiche

Erganzungen. Wilhelm Engelmann:

Leipzig.

Sharrer, T. 2006. “HeLa Herself”. The Scientist

20 (7): 22.

Simstein, R., Burow M., Parker A., Weldon C,

dan Beckman B. 2003. “Apoptosis,

Chemoresistance, and Breast Cancer.

Insight from the MCF7 Cell Model

System”. Experimental biology and

medicine 228 : 995-1003.

Sorenson, C. dan Alan E. “Influence of cis-

Diaminedichloroplatinum(II) on DNA

Synthesis and Cell Cycle Progression in

Excision Repair Proficient and Deficient

Chinese Hamster Ovary Cells”. Cancer

Research 48 : 6703-6707.

Sukardja, 2000. Onkologi Klinik Edisi 2.

Airlangga University Press: Jakarta.

Suryati, E., Parenrengi A., dan Rosmiati. 2000.

“Penapisan Serta Analisis Kandungan

Bioaktif Sponge Clathria sp. yang

efektif sebagai Antibiofouling pada

teritif (Balanus amphitrit)”. Jurnal

Penelitian Perikanan Indonesia 5 (3).

Suryo. 2007. Genetika Manusia. Gadjah Mada

University Press: Yogyakarta.

Syaifuddin, M. 2007. “Gen Penekan Tumor p53,

Kanker dan Radiasi Pengion”. Buletin

Alara, 8 (3) : 119 – 128.

Tsukamoto, S., rumi Y., Makiko Y., Kohei S.,

Tsuyoshi I., Henki R., Remy E., Nicole

J., dan Rob W. “Aaptamine, an Alkaloid

from the Sponge Aaptos suberitoides,

Functions as a Proteasome Inhibitor”.

Bioorganic and Medicinal Chemistry

Letters 20 : 3341-3343.

Ulfah, Maria. 2010. “Flow cytometry untuk

Evaluasi Aktifitas Obat Antiplasmodial

pada Gametosit Plasmodium

falciparum”. Malaria Journal 9:49.

Van Soest, R.M.W. 1989. “The Indonesian

Sponge Fauna: Status Report”.

Netherland Journal of Sea Research

23 (2) : 223-230.

Watts, Denise Watson. 2010. “HeLa Cancer

Cells Killed Henrietta Lacks. Then They

Made Her Immortal”. The Virginian-

Pilot 1 : 12–14.

Voogd, N., Leontine E., Bert W., Alfian N., dan

Robert W. 2004. “Sponge Interactions

with Spatial Competitors in the

Spermonde Archipelago”. Boll. Mus.

Ist. Biol. Univ. Genova 68: 253-261.

Xu, L. 2000. Novel G2 Cell Cycle Checkpoint

Inhibitors and Antimitotic Agents

Isolated Through Two New HTS

Bioassays. University of British:

Columbia.

Zachary, I. 2003. Determination of Cell

Number. In : Hughes, D and Mehmet,

H (eds). Cell Proliferation and

Apoptosis. BIOS Scientific Publisher

Limited.