iii. bab 1 - bab 6

49
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare merupakan penyakit kedua terbanyak di seluruh dunia setelah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ini diperkirakan ditemukan 1 milyar kasus per tahun dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak-anak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Abdullah, 2006). Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan. Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar (Depkes RI, 2005b). Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000 penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan merupakan

Upload: stefani-maharani-r-dairi

Post on 01-Jul-2015

1.328 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: III. BAB 1 - BAB 6

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit diare merupakan penyakit kedua terbanyak di seluruh dunia

setelah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). Penyakit ini diperkirakan

ditemukan 1 milyar kasus per tahun dan merupakan penyebab utama morbiditas

dan mortalitas anak-anak di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Abdullah, 2006).

Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu

penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di

masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau

musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan.

Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun

1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit

terbesar (Depkes RI, 2005b).

Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare di Indonesia menyebutkan

bahwa angka kesakitan diare di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per 1.000

penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0 – 1,5 kali per tahun. Tahun 2003

angka kesakitan penyakit ini meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk dan

merupakan penyakit dengan frekuensi KLB kedua tertinggi setelah DBD. Survei

Departemen Kesehatan pada tahun 2003, penyakit diare menjadi penyebab

kematian nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada

semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional lebih

banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar

55% (Depkes RI, 2005b).

Pemberian ASI di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya. Upaya

meningkatkan perilaku menyusui pada ibu yang memiliki bayi khususnya ASI

eksklusif masih dirasa kurang. Permasalahan yang utama adalah faktor sosial

budaya, kesadaran akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas

kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian

ASI, gencarnya promosi susu formula, dan ibu bekerja (Depkes RI, 2005a).

Page 2: III. BAB 1 - BAB 6

2

Dari data SDKI 1997 cakupan ASI eksklusif masih 52%, pemberian ASI

satu jam pasca persalinan 8%, pemberian hari pertama 52,7%. Rendahnya

pemberian ASI eksklusif menjadi pemicu rendahnya status gizi bayi dan balita.

Dari survei yang dilaksanakan pada tahun 2002 oleh Nutrition & Health

Surveillance System (NSS) kerjasama dengan Balitbangkes dan Helen Keller

International di 4 perkotaan (Jakarta, Surabaya, Semarang, Makasar) dan 8

perdesaan (Sumbar, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB, Sulsel),

menunjukan bahwa cakupan ASI eksklusif 4-5 bulan di perkotaan antara 4%-

12%, sedangkan dipedesaan 4%-25%. Pencapaian ASI eksklusif 5-6 bulan di

perkotaan berkisar antara 1%-13% sedangkan di pedesaan 2%-13% (Depkes RI,

2005a).

ASI, selain mengandung gizi yang cukup lengkap, mengandung imun

untuk kekebalan tubuh bayi. Keunggulan lainnya, ASI disesuaikan dengan sistem

pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu formula

atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi. Susu formula

sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit buang air besar. Apabila

pembuatan susu formula tidak steril, bayi pun rawan diare. Kandungan gizinya

pun tidak sama dengan kandungan gizi pada ASI (Arianto, 2008).

Kejadian diare pada balita dapat saja terjadi karena ketidaktahuan ibu

mengenai tata cara pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai aspek kehidupan

kota telah membawa pengaruh terhadap ibu untuk tidak menyusui bayi mereka,

padahal makanan pengganti yang bergizi tinggi, jauh dari jangkauan ekonomi

mereka. Pengaruh buruk itu kian hari kian jauh menjalar ke pedesaan, dan dapat

dibuktikan dengan berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayi mereka dari

tahun ke tahun. Keadaan ini juga membawa pengaruh buruk terhadap kejadian

diare pada anak (Arianto, 2008).

Kecamatan Medan Area mempunyai angka kejadian diare yang cukup

tinggi untuk kota Medan (BPS, 2007). Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan

penelitian tentang diare di kecamatan tersebut.

Page 3: III. BAB 1 - BAB 6

3

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah “apakah ada

perbedaan antara frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapat ASI

eksklusif dengan yang tidak mendapat ASI eksklusif.”

1.3 Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-

12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapat ASI

eksklusif.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif pada bayi berusia

7-12 bulan di Puskesmas Medan Area Selatan, Medan tahun 2009.

2. Untuk mengetahui gambaran frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan

yang mendapatkan ASI eksklusif di Puskesmas Medan Area Selatan,

Medan tahun 2009.

3. Untuk mengetahui gambaran frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan

yang tidak mendapatkan ASI eksklusif di Puskesmas Medan Area Selatan,

Medan tahun 2009.

1.4 Manfaat

1. Bagi puskesmas, sebagai bahan masukan untuk evaluasi program

peningkatan pemberian ASI secara eksklusif, sehingga angka kejadian

diare dapat ditekan.

2. Sebagai penambah pengetahuan tentang pemberian ASI bagi masyarakat

di lokasi penelitian.

3. Sebagai pengalaman yang sangat berharga sekaligus tambahan

pengetahuan bagi penulis.

Page 4: III. BAB 1 - BAB 6

4

4. Dengan terwujudnya hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi

sumbangan pemikiran serta referensi bagi rekan-rekan mahasiswa,

khususnya para peneliti berikutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare Akut

2.1.1. Definisi

Diare adalah keluarnya tinja yang lunak atau cair sebanyak 3 kali atau

lebih per hari, atau yang lebih sering daripada orang yang sehat. Diare biasanya

merupakan gejala dari infeksi gastrointestinal, yang bisa disebabkan oleh beragam

bakteri, virus, maupun parasit (WHO, 2009a) & (Riley, 2008).

Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan/tanpa darah

dan/atau lendir dalam tinja. Diare akut ialah diare yang terjadi secara mendadak

pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Noerasid, 2003).

Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI (2007), Diare

diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer

dan frekuensinya lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila

frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali. Sedangkan untuk bayi berumur

lebih dari satu bulan dan anak dikatakan diare bila frekuensinya lebih dari 3 kali.

2.1.2. Epidemiologi

Penyakit diare akut lebih sering terjadi pada balita dari pada anak yang

lebih besar. Kejadian diare akut pada anak laki-laki 4actor sama dengan anak

perempuan. Penyakit ini ditularkan secara fecal-oral melalui makanan dan

minuman yang tercemar atau kontak langsung dengan tinja penderita. Prevalensi

diare yang tinggi di 4actor berkembang merupakan kombinasi dari sumber air

yang tercemar, kekurangan protein yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh.

Penurunan angka kejadian diare pada bayi di 4actor-negara maju, erat kaitannya

dengan pemberian ASI, yang sebagian disebabkan oleh kurangnya pencemaran

Page 5: III. BAB 1 - BAB 6

5

minum anak dan sebagian lagi karena 5actor pencegahan imunologik dari ASI

(Noerasid, 2003).

2.1.3. Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari patofisiologi berikut,

yakni gangguan osmotik dan gangguan sekretorik. (Riley, 2008):

a. Gangguan Osmotik

Terjadi apabila ada zat makanan yang tidak diserap di usus halus. Hal

tersebut dapat menyebabkan tekanan osmotik di dalam usus meninggi. Sehingga

terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus.

b. Gangguan Sekretorik

Akibat rangsangan enterotoksin, terjadi perubahan status ion transport

pada sel-sel epitel usus halus menjadi aktif sekresi (Guandalini, 2009). Hal ini

menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi

rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga

timbul diare.

2.1.4. Penyebab

Berdasarkan patofisiologinya, penyebab diare dibagi menjadi (Noerasid,

2003):

a. Diare Sekresi

a. Infeksi, Penyebab utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus, virus

Norwalk, Adenovirus. Bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah

Aeromonas hydrophilia, Bacillus cereus, Compylobacter jejuni, Clostridium

defficile, Clostridium perfringens, E. coli, Shigelloides, Salmonella spp,

Staphylococus aureus , Vibrio cholera, dan Yersinia enterocolitica. Penyebab

diare oleh parasit adalah Balantidium coli, Cryptosporodium, Entamoba

hystolitica, Giardia lambdia, Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis

suihominis, Strongiloides stercoralis, dan Trichuris trichiura.

b. Hiperperistaltis usus halus

c. Defisiensi imun, terutama SIgA (secretory Immunoglobulin A).

Page 6: III. BAB 1 - BAB 6

6

b. Diare Osmotik

a. Malabsorbsi makanan

b. Kekurangan kalori protein

c. Bayi dengan berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir

2.1.5. Manifestasi Klinis

Mula-mula anak balita menjadi cengeng, gelisah, suhu badan meningkat,

nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair,

mungkin disertai lendir atau lendir dan darah. Warna tinja makin lama berubah

kehijau-hijauan karena tercampur empedu, karena seringnya defekasi, anus dan

sekitarnya lecet karena tinja makin lama menjadi asam akibat banyaknya asam

laktat, yang berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi oleh usus selama diare.

Gejala muntah dapat terjadi sebelum dan atau sesudah diare. Anak-anak yang

tidak mendapatkan perawatan yang baik selama diare akan jatuh pada keadaan-

keadaan seperti dehidrasi, gangguan keseimbangan asam-basa, hipoglikemia,

gangguan gizi, gangguan sirkulasi. (Noerasid, 2003).

2.1.6. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis

(kausal) yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang tepat pula.

Pemeriksaan yang perlu dikerjakan antara lain:

a. Pemeriksaan tinja, meliputi pemeriksaan makroskopis dan

mikroskopis, biakan kuman untuk mencari kuman penyebab, dan tes

resistensi terhadap antibiotik

b. Pemeriksaan darah, meliputi pemeriksaan darah lengkap, pH darah dan

elektrolit, dan kadar ureum untuk mengetahui faal ginjal

2.1.7. Komplikasi

Menurut Noerasid (2003), beberapa komplikasi diare yang dapat terjadi,

antara lain:

a. Dehidrasi

Page 7: III. BAB 1 - BAB 6

7

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak daripada pemasukan

air. Derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan gejala klinis dan kehilangan berat

badan. Derajat dehidrasi menurut kehilangan berat badan, diklasifikasikan

menjadi empat, dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 2.1 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Kehilangan Berat Badan

Derajat dehidrasi Penurunan berat badan (%)

Tidak dehidrasi < 2 ½

Dehidrasi ringan 2 ½ - 5

Dehidrasi sedang 5-10

Dehidrasi berat 10

( Noerasid, 2003)

Derajat dehidrasi berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel 2.2 Derajat Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis

Penilaian A B C

Keadaan umum Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, tidak sadar

Mata Normal Cekung Sangat cekung

Air mata Ada Tidak ada Tidak ada

Mulut, lidah Basah Kering Sangat kering

Rasa haus Minum seperti

biasa

Haus, ingin

minum banyak

Malas minum,

tidak bisa minum

Periksa:Turgor

kulit

Kembali cepat Kembali lambat Kembali sangat

lambat

Hasil pemeriksaan Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan/

sedang Bila ada

1 tanda ditambah

1/lebih tanda lain

Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda

ditambah 1/lebih

tanda lain

Terapi Rencana Rencana Rencana

Page 8: III. BAB 1 - BAB 6

8

pengobatan A pengobatan B pengobatanC

(Depkes RI, 2006)

b. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa

Gangguan keseimbangan asam basa yang biasa terjadi adalah metabolik

asidosis. Metabolik asidosis ini terjadi karena kehilangan Na-bikarbonat bersama

tinja, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia jaringan, produk

metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh

ginjal, pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.

c. Hipoglikemia

Pada anak-anak dengan gizi cukup/baik, hipoglikemia ini jarang terjadi,

lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan

kalori protein (KKP). Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah

menurun sampai 40 mg% pada bayi dan 50 mg% pada anak-anak. Gejala

hipoglikemia tersebut dapat berupa lemas, apatis, tremor, berkeringat, pucat, syok,

kejang, sampai koma.

d. Gangguan Gizi

Sewaktu anak menderita diare, sering terjadi gangguan gizi dengan

akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini

disebabkan karena makanan sering dihentikan oleh orang tua. Walaupun susu

diteruskan, sering diberikan pengenceran. Makanan yang diberikan sering tidak

dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.

e. Gangguan Sirkulasi

Gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau shock hipovolemik.

Akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah

berat, dapat mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila

tidak segera ditolong penderita dapat meninggal

2.1.8. Pengobatan

Page 9: III. BAB 1 - BAB 6

9

Menurut Andrianto (1995), prinsip penatalaksanaan diare akut antara lain

dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa.

a. Rehidrasi

Diare cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit tanpa melihat

etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah cairan yang

telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan

yang hilang melalui keringat, urin, pernapasan dan ditambah dengan banyaknya

cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung.

Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat badan masing-masing

anak atau golongan umur.

Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi

menjadi tiga, yakni rencana pengobatan A, B dan C.

1) Rencana Pengobatan A

Digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi

diare di rumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah

tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair (sup, air tajin), air matang.

Gunakan larutan oralit untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut :

Tabel 2.3 Kebutuhan Oralit per Kelompok Umur

Umur Jumlah oralit yang

diberikan tiap BAB

Jumlah oralit yang disediakan di

rumah

< 12 bulan 50-100 ml 400 ml/hari ( 2 bungkus)

1-4 tahun 100-200 ml 600-800 ml/hari ( 3-4 bungkus)

> 5 tahun 200-300 ml 800-1000 ml/hari (4-5 bungkus)

(Depkes RI, 2006)

2) Rencana Pengobatan B

Page 10: III. BAB 1 - BAB 6

10

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan

sedang, dengan cara ; dalam 3 jam pertama, berikan 75 ml/KgBB. Berat badan

anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut:

Tabel 2.4 Jumlah Oralit yang Diberikan pada 3 Jam Pertama

Umur Sampai 4

bulan

4-12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun

Berat badan < 6 kg 6 - <10 kg 10 - <12 kg 12 - 19 kg

Jumlah oralit 200-400 ml 400-700 ml 700-900 ml 900-1400 ml

(Depkes RI, 2006)

Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu

untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI,

berikan juga 100-200 ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak

menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B atau C untuk

melanjutkan pengobatan.

3) Rencana Pengobatan C

Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi berat.

Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak

sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak

dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai (Depkes RI, 2006).

b. Nutrisi

Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk

menghindarkan efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak

dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang

mempengaruhi keadaan gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai

berikut yakni, pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24

Page 11: III. BAB 1 - BAB 6

11

jam pertama, makanan cukup energi dan protein, makanan tidak merangsang,

makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan

diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan

pada bayi, pemberian cairan dan elektolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin

dan mineral dalam jumlah yang cukup. Khusus untuk penderita diare karena

malabsorbsi diberikan makanan sesuai dengan penyebabnya, antara lain:

Malabsorbsi lemak berikan trigliserida rantai menengah, Intoleransi laktosa

berikan makanan rendah atau bebas laktosa, Panmalabsorbsi berikan makanan

rendah laktosa, parenteral nutrisi dapat dimulai apabila ternyata dalam 5-7 hari

masukan nutrisi tidak optimal (Suandi, 1999)

c. Medikamentosa

Antibiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, karena

pada umumnya diare merupakan self-limiting disease, kecuali bila agen penyebab

telah diketahui. Obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid,

difenoksilat, kodein, opium, dapat menyebabkan terkumpulnya cairan di lumen

usus dan akan menyebabkan bacterial overgrowth, gangguan absorpsi dan digesti.

Adsorben seperti Norit, kaolin, attapulgit telah terbukti tidak ada manfaatnya. Anti

muntah termasuk prometazin dan klorpromazin terbukti selain mencegah muntah,

juga dapat mengurangi sekresi dan kehilangan cairan bersama tinja (Noerasid,

2003).

2.2 ASI

2.2.1. Pengertian ASI

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan yang sempurna untuk bayi segera

setelah lahir. ASI mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi

dengan komposisi sesuai dengan kebutuhan bayi.

Menurut Siregar (2004), ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan

protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang sekresi oleh kelenjar mamae

ibu, yang berguna sebagai makanan bagi bayinya.

Page 12: III. BAB 1 - BAB 6

12

ASI merupakan sumber gizi yang ideal dengan komposisi yang seimbang

dam disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan bayi. Sebenarnya ASI tersebut

akan dapat memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi normal sampai usia 6

bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat. ASI dapat

diteruskan sampai usia 2 tahun (Depkes RI, 1997).

2.2.2. Komposisi ASI

Komposisi ASI pada masa laktasi dibagi menjadi 3 (Roesli, 2005), yaitu:

a. Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan pertama yang berwarna kekuning-kuningan

(lebih kuning dibandingkan susu matur). Cairan ini dari kelenjar payudara dan

keluar pada hari kesatu sampai hari keempat-tujuh dengan komposisi yang selalu

berubah dari hari kehari. Kolostrum mengandung zat anti infeksi 10-17 kali lebih

banyak dibandingkan ASI matur. Selain itu, kolostrum dapat berfungsi sebagai

pencahar yang ideal untuk membersihkan zat yang tidak terpakai dari usus bayi

yang baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaan makanan bayi bagi

makanan yang akan datang.

b. ASI Peralihan

ASI transisi diproduksi pada hari ke-4 sampai 7 hari ke-10 sampai 14.

Pada masa ini kadar protein berkurang, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak

serta volumenya semakin meningkat.

c. ASI Matur

ASI mature merupakan ASI yang diproduksi sejak hari ke-14 dan

seterusnya dengan komposisi yang relatif konstan. Pada ibu yang sehat dan

memiliki jumlah ASI yang cukup, ASI ini merupakan makanan satu-satunya yang

paling baik bagi bayi sampai umur enam bulan.

2.2.3. Aspek Imunologis ASI

Imunoglobulin adalah suatu golongan protein yang mempunyai daya zat

anti terhadap infeksi.

Page 13: III. BAB 1 - BAB 6

13

ASI mengandung antibodi terhadap virus dan bakteri, yaitu Secretory

Immunoglobulin A (SIgA) dengan konsentrasi yang relatif tinggi. SIgA mencegah

perlekatan mikroorganisme dengan mukosa usus (Kliegman, 2007).

Selain imunoglobulin, ASI mengandung pula faktor-faktor kekebalan

seperti berikut ini (Lubis, 2003) dan (Kliegman, 2007):

a. Faktor Bifidus

Merupakan suatu karbohidrat yang mengandung nitrogen, diperlukan

untuk pertumbuhan bakteri Lactobacillus bifidus. Dalam usus bayi yang diberi

ASI, bakteri ini mendominasi flora bakteri dan memproduksi asam laktat dari

laktosa. Asam laktat ini akan menghambat pertumbuhan bakteri yang berbahaya

dan parasit lainnya.

b. Faktor Laktoferin

Suatu protein yang mengikat zat besi ditemukan terdapat dalam ASI. Zat

besi yang terikat tersebut tidak dapat digunakan oleh bakteri-bakteri usus yang

berbahaya, yang membutuhkannya untuk pertumbuhan. Oleh karena itu,

pemberian zat besi tambahan kepada bayi yang disusui harus dicegah, karena

mungkin dapat mempengaruhi daya perlindungan yang diberikan laktoferin

c. Faktor Laktoperoksidase

Merupakan enzim yang terdapat dalam ASI dan bersama-sama dengan

hidrogen peroksidase dan ion tiosinat membantu membunuh streptokokus

d. Faktor Anti Staphylococcus

Faktor tersebut merupakan asam lemak yang melindungi bayi terhadap

bakteri stafilokokus.

e. Faktor Sel -Sel Fagosit

Merupakan pemakan bakteri yang bersifat patogen.

f. Sel Limfosit

Berfungsi untuk mengeluarkan zat antibodi untuk meningkatkan imunitas

terhadap penyakit.

g. Lisozim

Page 14: III. BAB 1 - BAB 6

14

Lisozim berfungsi untuk menghancurkan dinding sel bakteri.

2.2.4. ASI Eksklusif

a. Pemberian ASI Eksklusif

Menurut WHO (2009b), ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja

kepada bayi mulai dari sejak lahir hingga umur 6 bulan. Kemudian bisa

dilanjutkan hingga bayi berusia 2 tahun.

ASI eksklusif atau lebih tepatnya pemberian ASI secara eksklusif adalah

bayi hanya diberi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk,

madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang,

pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Roesli, 2005).

Lubis (2003) menambahkan, Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI

eksklusif, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, dan pemberian

ASI dapat diteruskan sampai bayi berusia 2 tahun.

b. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif

Menurut Roesli (2005), manfaat pemberian ASI sangat banyak antara lain:

1) Sebagai Nutrisi Terbaik

ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang

seimbang karena disesuaikan dengan kebutuhan bayi pada masa pertumbuhannya.

ASI adalah makanan yang paling sempurna, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Dengan melaksanakan tata laksana menyusui yang tepat dan benar, produksi ASI

seorang ibu akan cukup sebagai makanan tunggal bagi bayi normal sampai dengan

usia 6 bulan.

2) Meningkatkan Daya Tahan Tubuh

Bayi yang baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan atau daya

tahan tubuh dari ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat

menurun setelah kelahiran bayi. Sedangkan kemampuan bayi membantu daya

tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat, selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya

tahan tubuh. Kesenjangan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI sebab ASI

Page 15: III. BAB 1 - BAB 6

15

adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi

dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, dan jamur.

3) Tidak Mudah Tercemar

ASI steril dan tidak mudah tercemar, sedangkan susu formula mudah dan

sering tercemar bakteri, terutama bila ibu kurang mengetahui cara pembuatan susu

formula yang benar dan baik.

4) Melindungi Bayi dari Infeksi

ASI mengandung berbagai antibodi terhadap penyakit yang disebabkan

bakteri, virus, jamur dan parasit yang menyerang manusia..

5) Mudah Dicerna

ASI mudah dicerna, sedangkan susu sapi sulit dicerna karena tidak

mengandung enzim pencernaan.

6) Menghindarkan Bayi dari Alergi

Bayi yang diberi susu sapi terlalu dini mungkin menderita lebih banyak

masalah alergi, misalnya asma dan alergi terhadap susu sapi.

2.4 Hubungan Pemberian ASI secara Eksklusif dengan Kejadian Diare

Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh

dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah

kelahiran bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan,

bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. Sehingga

kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat

selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan

tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI (Roesli, 2005).

Persentase bayi yang terkena diare lebih tinggi pada bayi yang tidak

mendapatkan ASI Eksklusif (Kamalia, 2005).

Pemberian makanan berupa ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan,

akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit

karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat

Page 16: III. BAB 1 - BAB 6

16

melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit.

Oleh karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif

akan terlindungi dari berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri,

virus, jamur dan parasit.

Menurut Puspitaningrum (2006) bahwa ada perbedaan yang signifikan

antara bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan dengan bayi yang hanya diberi

susu formula. Bayi yang diberikan ASI biasanya jarang mendapat sakit dan

kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang memerlukan perawatan.

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Independen

Variabel Dependen

3.2 Definisi Operasional

1. Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi selama 6

bulan. Riwayat pemberian ASI diperoleh dengan wawancara.

2. Diare adalah defekasi encer sebanyak tiga kali atau lebih dalam satu hari,

dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja. Data diperoleh dengan

wawancara.

3. Frekuensi diare adalah jumlah kejadian diare yang terjadi pada bayi setiap

1 bulan. Kejadian diare dihitung dari saat bayi berusia 7 bulan hingga pada

saat dilakukan wawancara. Frekuensi diare pada bayi dikelompokkan

Pemberian ASI

Eksklusif

Frekuensi diare pada bayi usia 7-12 bulan

Pemberian ASI

Tidak Eksklusif

Page 17: III. BAB 1 - BAB 6

17

menjadi ≤1 kali/bulan untuk kejadian diare hingga satu kali dalam satu

bulan, dan >1 kali/bulan untuk kejadian diare lebih dari satu kali dalam

satu bulan.

3.3 Hipotesis

Terdapat perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang

mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis PenelitianJenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian

yang digunakan adalah cross-sectional, di mana pengumpulan data atau variabel

yang akan diteliti dilakukan secara bersamaan dan diambil pada satu waktu.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Medan Area Selatan, Kecamatan

Medan Area, Medan. Pengambilan dan pengumpulan data dilakukan selama bulan

Juli – Nopember 2009.

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh bayi berusia 7-12 bulan di

wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan yang ada pada bulan Juli –

Nopember 2009 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling.

Adapun kriteria inklusi adalah bayi berusia 7-12 yang dibawa ke

Puskesmas Medan Area.

Page 18: III. BAB 1 - BAB 6

18

Sedangkan kriteria eksklusi yang digunakan adalah bayi dengan orang tua

yang tidak bersedia diikutsertakan dalam penelitian.

Besar sampel yang diambil dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus:

n = (Zα)²pq

Keterangan rumus:

n = jumlah/besar sampel

Zα = Confidence interval penelitian ini sebesar 1,96.

p = proporsi keadaan yang akan dicari = 0,5

q = 1-p = 0,5

d = tingkat ketepatan absolute yang dikehendaki. Dalam penelitian ini,

ditetapkan d = 0,1

Angka-angka di atas dimasukkan kembali ke rumus besar sampel:

n = (1,96)²(0,5)(0,5)

0,1²

= 96,4 orang

≈ 97 orang .

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 97 orang, dan

diambil sebanyak 100 orang.

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

diambil dengan menggunakan metode wawancara dengan orang tua yang

memiliki bayi berusia 7-12 bulan dengan bantuan kuesioner. Dari pertanyaan

kuesioner tersebut akan diperoleh data mengenai riwayat pemberian ASI dan

riwayat mendapatkan diare.

4.5 Pengolahan dan Analisa Data

Page 19: III. BAB 1 - BAB 6

19

Data yang diperoleh melalui penelitian ini akan dianalisis menggunakan

program SPSS versi 15.0 menggunakan uji chi square untuk perbedaan frekuensi

diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang

tidak mendapatkan ASI eksklusif.

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

a. Lokasi Puskesmas Medan Area Selatan

Puskesmas Medan Area Selatan berada di Kecamatan Medan Area Kota

Medan tepatnya di Jalan Medan Area Selatan. Secara geografis, Puskesmas

Medan Area Selatan berbatasan dengan :

1. Sebelah Utara : Sei Kera Hulu

2. Sebelah Selatan : Pusat Pasar Medan

3. Sebelah Barat : Jl. AR Hakim

4. Sebelah Timur : Jl. Thamrin

b. Wilayah Kerja Puskesmas Medan Area Selatan

Batasan wilayah kerja puskesmas yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan

berdasarkan keadaan geografis, demografis, sarana transportasi, masalah

kesehatan setempat, sumber daya dan lain-lain.

Wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan terdiri dari 4 kelurahan

yaitu :

1. Kelurahan Sukaramai I

Page 20: III. BAB 1 - BAB 6

20

2. Kelurahan Sukaramai II

3. Kelurahan Sei Rengas II

4. Kelurahan Pandau Hulu

Luas wilayah kerja Puskesmas Medan Area Selatan adalah 150,23 Ha

dengan masing-masing luas kelurahan di wilayah kerja Puskesmas Medan Area

Selatan :

1. Kelurahan Sukaramai I : 35,70 Ha

2. Kelurahan Sukaramai II : 31,20 Ha

3. Kelurahan Sei Rengas II : 35,78 Ha

4. Kelurahan P. Hulu : 47,55 Ha

5.1.2. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki bayi berusia 7 –

12 bulan yang datang ke Puskesmas Medan Area.

a. Usia

Kelompok usia responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Usia di Puskesmas

Medan Area Selatan

Kelompok Usia Frekuensi %

20 – 24

25 – 29

30 – 34

35 – 39

10

39

41

10

10,00

39,00

41,00

10,00

Total 100 100,00

Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya responden berusia 30 – 34

tahun, yaitu 41 orang (41,00%). Umur responden termuda adalah 22 tahun,

sebanyak 5 orang (5,00%), dan yang paling tua adalah 38 tahun, yaitu 3 orang

(3,00%).

b. Tingkat Pendidikan

Page 21: III. BAB 1 - BAB 6

21

Tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di

Puskesmas Medan Area Selatan

Tingkat Pendidikan Frekuensi %

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi

9

67

19

5

9,00

67,00

19,00

5,00

Total 100 100,00

Berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir

responden terbanyak adalah SMP, yakni sebanyak 67 orang (67,00%). Dan yang

paling sedikit adalah Perguruan Tinggi, yakni 5 orang (5,00%).

c. Pekerjaan

Pekerjaan responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Puskesmas

Medan Area Selatan

Pekerjaan Frekuensi %

Ibu Rumah Tangga

Pegawai Swasta

Pegawai Negeri

90

8

2

90,00

8,00

2,00

Total 100 100,00

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa pekerjaan responden yang terbanyak adalah

sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 90 orang (90,00%) dan 10 orang yang

bekerja, yakni pegawai swasta sebanyak 8 orang (8,00%) dan pegawai negeri

sebanyak 2 orang (2,00%).

5.1.3. Karakteristik Bayi

Page 22: III. BAB 1 - BAB 6

22

Bayi yang menjadi sampel penelitian adalah bayi berusia 7-12 bulan yang

dibawa ke Puskesmas Medan Area.

a. Usia

Usia bayi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.4 Distribusi Bayi Berdasarkan Usia di Puskesmas Medan Area

Selatan

Usia (bulan) Frekuensi %

7

8

9

10

11

12

23

24

18

17

9

9

23,00

24,00

18,00

17,00

9,00

9,00

Total 100 100,00

Dari tabel di atas, bayi berusia 8 bulan adalah bayi terbanyak, yaitu 24

orang (24,00%) dan bayi berusia 11 dan 12 bulan adalah bayi dengan umur yang

sedikit ditemukan, yaitu masing-masing 9 orang (9,00%).

b. Jenis Kelamin

Jenis kelamin bayi dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.5 Distribusi Bayi Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Medan

Area Selatan

Jenis Kelamin Frekuensi %

Laki-laki 57 57,00

Page 23: III. BAB 1 - BAB 6

23

Perempuan

43

43,00

Total 100 100,00

Dari tabel di atas, terdapat bayi laki-laki sebanyak 57 orang (57,00%) dan

bayi perempuan sebanyak 43 orang (43,00%).

c. Riwayat Pemberian ASI

Riwayat pemberian ASI pada bayi di Puskesmas Medan Area Selatan

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.6 Distribusi Bayi Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI di Puskesmas

Medan Area Selatan

Pemberian ASI Frekuensi %

ASI Eksklusif

ASI Tidak Eksklusif

14

86

14,00

86,00

Total 100 100,00

Dari tabel di atas, jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sebanyak

14 orang (14,00%). Sedangkan 86 orang (86,00%) bayi lainnya tidak

mendapatkan ASI eksklusif.

d. Frekuensi Diare

Frekuensi diare pada bayi dikelompokkan menjadi ≤1 kali/bulan untuk

kejadian diare hingga satu kali dalam satu bulan, dan >1 kali/bulan untuk kejadian

diare lebih dari satu kali dalam satu bulan. Kejadian diare dihitung dari saat bayi

berusia 7 bulan hingga pada saat dilakukan wawancara.

Tabel 5.7 Distribusi Bayi Berdasarkan Frekuensi Diare di Puskesmas Medan

Area Selatan

Frekuensi Diare Frekuensi %

≤1 kali/bulan 39 39,00

Page 24: III. BAB 1 - BAB 6

24

>1 kali/bulan 61 61,00

Total 100 100,00

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebanyak 39 (39,00%) bayi

mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan sebanyak 61 (61,00%) bayi mengalami >1

kali/bulan.

5.1.4. Hasil Analisis Statistik antara Riwayat Pemberian ASI dengan

Frekuensi Diare

Dari hasil penelitian, diperoleh tabel frekuensi diare berdasarkan riwayat

pemberian ASI.

Tabel 5.8 Frekuensi Diare Berdasarkan Riwayat Pemberian ASI di

Puskesmas Medan Area Selatan

Riwayat Pemberian

ASI

Frekuensi Diare

Totalp value≤1 kali/bulan >1 kali/bulan

n % n % n %

ASI Eksklusif

ASI Tidak Eksklusif

11

28

11,00

28,00

3

58

3,00

58,00

14

86

14,00

86,000,001

Total 39 39,00 61 61,00 100 100,00

Berdasarkan tabel 5.8, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif yang

mengalami frekuensi diare ≤1 kali/bulan sebanyak 11 orang (11,00%) dan yang

mengalami frekuensi diare >1 kali/bulan sebanyak 3 orang (3,00%). Sedangkan

pada bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, terdapat 28 orang (28,00%)

yang mengalami frekuensi diare ≤1 kali/bulan, dan 58 orang (58,00%) yang

mengalami frekuensi diare >1 kali/bulan.

Untuk mengetahui apakah memang benar ada perbedaan frekuensi diare

pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif, maka dilakukan uji chi square antara riwayat

pemberian ASI dengan frekuensi diare. Dari hasil uji chi square, didapati nilai p

Page 25: III. BAB 1 - BAB 6

25

value sebesar 0,001 (p<0,05) dan Odd Ratio sebesar 7,595. Hal ini berarti ada

perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI

eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

5.2 Pembahasan

5.2.1. Pemberian ASI Eksklusif

Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat pada tabel 5.6 di atas, jumlah

bayi berusia 7-12 bulan yang memiliki riwayat mendapatkan ASI eksklusif

sebanyak 14 orang (14,00%). Sedangkan 86 orang (86,00%) bayi lainnya tidak

mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini menunjukkan rendahnya pencapaian cakupan

pemberian ASI eksklusif pada ibu yang datang ke Puskesmas Medan Area

Selatan. Sementara target cakupan pemberian ASI Eksklusif Nasional adalah 80%

(Depkes RI, 1997).

Menurut Roesli (2005), ada beberapa alasan ibu untuk tidak menyusui

anaknya terutama secara eksklusif, yaitu ibu merasa ASI yang dihasilkannya tidak

cukup, ibu sibuk bekerja, ibu takut ditinggal suami karena mereka percaya mitos

bahwa dengan menyusui dapat merubah bentuk payudara dan menyebabkan

kegemukan, dan karena ibu menganggap penggunaan susu formula lebih praktis

daripada memberikan ASI.

Menurut Arianto (2008), salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya

pemberian ASI eksklusif adalah kesibukan ibu turut bekerja untuk mencari

nafkah, sehingga tidak dapat menyusui bayinya dengan baik dan teratur. Namun,

berdasarkan hasil penelitian, 90 orang responden (90,00%) tidak bekerja dan

hanya sebagai ibu rumah tangga. Arianto juga menambahkan, beberapa faktor lain

yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif adalah pengaruh,

perubahan kultur masyarakat, dan gencarnya promosi susu formula.

5.2.2. Kejadian Diare

Dari tabel 5.7, dapat dilihat bahwa sebanyak 39 (39,00%) bayi mengalami

diare ≤1 kali/bulan, dan sebanyak 61 (61,00%) bayi mengalami >1 kali/bulan. Hal

Page 26: III. BAB 1 - BAB 6

26

ini menunjukkan sebagian besar bayi berusia 7-12 bulan di Puskesmas Medan

Area masih sering mengalami diare.

Menurut Kliegman (2007), terjadinya diare pada bayi terutama disebabkan

oleh sanitasi lingkungan yang tidak bersih dan tingginya paparan kuman

enteropatogen. Resiko tambahan antara lain adalah bayi pada usia yang lebih

muda, defisiensi sistem imun, bayi sedang mengalami campak, malnutrisi, tidak

mendapatkan ASI eksklusif maupun tidak diberi ASI sama sekali.

Hiswani (2007) menambahkan bahwa kasus penyakit diare ini sangat

berkaitan dengan perilaku manusia, sarana air bersih, sarana pembuangan air

limbah dan kesehatan lingkungan pada musim kemarau. Penyebab diare adalah

terjadinya peradangan usus yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau agent

penyebab penyakit diare lainnya. Penyebab lain yang dapat menimbulkan

penyakit diare adalah keracunan makanan, kurang gizi, alergi makanan tertentu,

kurang penyediaan air bersih.

5.2.3. Perbedaan Frekuensi Diare pada Bayi Berusia 7–12 Bulan yang

Mendapat ASI Eksklusif dengan yang Tidak Mendapat ASI Eksklusif

Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan frekuensi diare pada

bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitian Kamalia (2005)

bahwa diare lebih jarang terjadi pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif

dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Fatmawati

(2003) juga menyatakan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif

dengan kejadian diare pada bayi 4-12 bulan. Dia menyatakan bahwa kejadian

diare pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif lebih sedikit dibandingkan bayi

yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

Puspitaningrum (2006) juga menambahkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan antara bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan dengan bayi yang

hanya diberi susu formula. Bayi yang diberikan ASI lebih jarang mendapat sakit

dan kalaupun sakit biasanya ringan dan jarang memerlukan perawatan.

Page 27: III. BAB 1 - BAB 6

27

Simatupang (2004) juga menambahkan, proporsi kejadian diare pada

balita lebih besar terjadi pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, yaitu

77,90%. Sedangkan balita yang diberikan ASI eksklusif hanya 22,10%. Penelitian

tersebut menunjukkan p<0,05, dengan kata lain, terdapat hubungan yang

bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare.

Pada waktu bayi baru lahir, secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh

(imunoglobulin) dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat

turun setelah kelahiran bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia

beberapa bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna.

Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi

lambat selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya

tahan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI, karena ASI adalah cairan

hidup yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi dari berbagai

penyakit infeksi bakteri, virus, parasit, dan jamur. Zat kekebalan yang terdapat

pada ASI antara lain akan melindungi bayi dari penyakit diare (Roesli, 2005).

Selain itu, inisiasi dini menyusui pada bayi baru lahir dapat menurunkan

resiko terjadinya diare pada 6 bulan pertama kehidupan bayi. Hal tersebut

kemungkinan disebabkan efek dari kolostrum yang terkandung pada awal

permulaan pemberian ASI. (Clemens, 1999)

Pemberian ASI meminimalisasi terjadinya diare dengan cara menyediakan

faktor-faktor perlindungan dan mengurangi paparan terhadap makanan atau air

yang mengandung enteropatogen. Sejak resistensi terhadap antibiotik menjadi

masalah global, efek perlindungan dari ASI pada bayi yang sedang sakit menjadi

semakin penting (Riordan, 2005).

Menurut Lubis (2003), ASI bermanfaat pada kelainan gastrointestinal

terutama disebabkan adanya faktor peningkatan pertumbuhan sel usus (intestinal

cell growth promoting factor) pada ASI, faktor-faktor perlindungan berupa zat-zat

imumologi atau anti infeksi sehingga vili dinding usus cepat mengalami

penyembuhan (setelah rusak karena diare), diare cepat berhenti akibatnya

pertumbuhan dan perkembangan anak kembali normal seperti semula.

Page 28: III. BAB 1 - BAB 6

28

Pemberian ASI secara benar penting bagi upaya pencegahan diare pada

bayi melalui mekanisme menurunkan paparan terhadap kuman enteropatogen,

meningkatkan respon imunologi pada bayi terutama imunisasi pasif dari ibu,

meningkatkan status gizi bayi, melindungi saluran pencernaan dan mengurangi

kemungkinan dehidrasi apabila bayi mengalami diare (Simatupang, 2004).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan

bahwa:

1. Terdapat 14,00% bayi berusia 7-12 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif

2. Pada bayi berusia 7-12 yang mendapat ASI eksklusif, terdapat 11,00%

bayi yang mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan terdapat 3,00% bayi yang

mengalami diare >1 kali/bulan

3. Pada bayi berusia 7-12 yang tidak mendapat ASI eksklusif, terdapat

28,00% bayi yang mengalami diare ≤1 kali/bulan, dan terdapat 58,00%

bayi yang mengalami diare >1 kali/bulan

4. Terdapat perbedaan frekuensi diare pada bayi berusia 7-12 bulan yang

mendapatkan ASI eksklusif dengan yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

(p = 0,001).

Page 29: III. BAB 1 - BAB 6

29

6.2 Saran

1. Kepada Puskesmas Medan Area Selatan, agar dapat meningkatkan kinerja

petugas kesehatan untuk dapat menyosialisasikan serta membina ibu-ibu

untuk dapat memberikan ASI secara eksklusif agar terciptanya generasi

sumberdaya yang cerdas dan sehat.

2. Kepada petugas kesehatan agar lebih aktif dalam memberikan penyuluhan

tentang penyakit diare.

3. Masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, oleh karena itu, bagi

peneliti selanjutnya, diharapkan dapat meneliti tentang faktor-faktor lain

yang berhubungan dengan pemberian ASI maupun yang berhubungan

dengan kejadian diare.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S., Uloli, R., Liputo, R., Mansyur, E., Buhang, S., 2006. Penyelidikan

KLB Diare di Wilayah Puskesmas Mananggu Kabupaten Boalemo

Pebruari 2006. Berita Epidemiologi, Edisi Juni 2006.

Andrianto, P., 1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi 2.

Jakarta : EGC.

Arianto, R., 2008. Status Gizi Bayi Ditinjau dari Pemberian Asi Eksklusif,

Pemberian MP-ASI, dan Kelengkapan Imunisasi di Kecamatan Medan

Selayang Tahun 2008. Skripsi. FKM USU, Medan.

Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2007. Medan dalam Angka 2007. Available

from: http://www.pemkomedan.go.id/file/h_1211791706.pdf [Accessed 25

March 2009]

Clemens, John, et. al, 1999. Early Initiation of Breastfeeding and the Risk of

Infant Diarrhea in Rural Egypt. Available From:

Page 30: III. BAB 1 - BAB 6

30

http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/104/1/e3 [Accesed

25 November 2009]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997. Petunjuk Pelaksanaan

Peningkatan ASI Eksklusif Bagi Petugas Puskesmas. Jakarta.

Departemen Kesahatan Republik Indonesia, 2000. Buku Pedoman

Penatalaksanaan Program P2 Diare. Direktrorat Jendral Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005a. Kebijakan Peningkatan

Pemberian ASI. Available From:

http://www.dinkes-kotasemarang.go.id/staticfiles/dokumen/

Kebijakan_asi.pdf [Accessed 25 March 2009]

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005b. Keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor: 1216/MENKES/SK/XI/2001 tentang Pedoman Pemberantasan

Penyakit Diare, Edisi ke-4, Jakarta

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Buku Bagan Manajemen

Terpadu Balita Sakit. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Indikator Indonesia Sehat 2010.

Available From:

www.dinkes - kotasemarang.go.id/staticfiles/dokumen/

indikator_ina_2010 .pdf [Accessed 25 March 2009]

Fatmawati, Heny, 2003. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif, MPASI, Higine

Perorangan, dan Sanitasi Lingkungan Dengan Kejadian Diare Bayi 4-12

Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Purwosari Kudus. Skripsi. Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran.

Guandalini, S., Fyre, R.E., Tamer, M.A., 2009. Diarrhea, Emedicine. Available

From : http://emedicine. m edscape. c om/article/928598-overvie w . [Accesed

5 April 2009]

Page 31: III. BAB 1 - BAB 6

31

Hiswani, 2003. Diare Merupakan Masalah Kesehatan yang Kejadiannya Sangat

Erat dengan Keadaan Saritasi lingkungan. Available From:

http://library.usu.ac.id/do w nload/fkm/fkm- hiswani7 .pdf . [ Acced 4 April

2009]

Kamalia, D., 2005. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif dengan Kejadian Diare

pada Bayi Usia 1-6 Bulan di Wilayah Kerja Pukesmas Kedung Wuni I

Tahun 2004–2005. Skripsi. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu

Kesehatan masyarakat Universitas Negeri Semarang, Semarang. Available

from:

http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/HASH01da/

90431471.dir/doc.pdf [Accessed 25 March 2009]

Kliegman, R.M, Behrman, R.E., Stanton, B.F., Jenson, H.B., 2006. Nelson

Essentials of Pediatrics. Edisi 5. Philadelphia: Saunders.

Kliegman, R.M, Behrman, R.E., Stanton, B.F., Jenson, H.B., 2007. Nelson

Textbook of Pediatrics. Edisi 18. Philadelphia: Saunders

Lubis, C.P., 2003. Peranan Air Susu Ibu dalam Mencegah Diare dan Penyakit

Usus Lainnya. Available From : http:// library.usu.ac.id/download/fk/ anak -

chairuddin2 .pdf . [ Accessed 4 April 2009]

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W.I., Setiowulan, W., 2000. Kapita Selekta

Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Notoadmodjo, S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Noerasid, H., Suraatmadja, S., Asnil, P.O., 2003. Gastroenteritis (Diare) Akut. In :

Suharyono, Boediarso, A., Halimun, E.M., Gastroenterologi Anak Praktis.

Balai Penerbit FK UI, Jakarta.

Puspitaningrum, C., Rahayu, Y.S.E., Rusana, 2006. Perbedaan Frekuensi Diare

Antara Bayi Yang Diberi Asi Eksklusif Dengan Bayi Yang Diberi Susu

Page 32: III. BAB 1 - BAB 6

32

Formula Di Wilayah Kerja Puskesmas Gandrungmangu I Kabupaten

Cilacap Tahun 2006. Available from:

http://litbangstikesalirsyad.files.wordpress.com/2008/01/perbedaan-frek-diare.pdf

[Accessed 25 March 2009]

Riley, M.R., Bass, D., 2008. Infectious Diarrhea. In : Liacouras, C.A., Piccoli,

D.A., Pediatric Gastroenterology : The Requisites In Pediatrics. Mosby

Elsevier, Philadelphia.

Riordan, Jan, 2005. Breastfeeding and Human Lactation. Massachusetts: Jones

and Bartlett Publishers.

Roesli, U., 2005. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya.

Sinuhaji, A.B., Sutanto, A.H., 1992. Mekanisme Infektisius Diare Akut. Cermin

Dunia Kedokteran, 80.

Simatupang, Mel Yati, 2004. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Diare pada Balita di Kota Sibolga pada Tahun 2003. Thesis.

Progam Magister Epidemiologi, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan

Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Siregar, M.A., 2004. Pemberian ASI Eksklusif dan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhinya. Available From :

http://library.usu.ac.id/do w nload/fkm/fkm- arifin4 .pdf . [ Accessed 4 April

2009]

Soetjiningsih, 2003. Peranan ASI pada Pengobatan Diare. In : Suharyono,

Boediarso, A. Halimun, E.M., Gastroenterologi Anak Praktis. Balai

Penerbit FK UI, Jakarta.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2007. Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 1.

Jakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

Suffrie, M., Darmawan, I., 2003. Panduan Praktek Pediatrik., Yogyakarta : Gajah

Mada University Press.

Page 33: III. BAB 1 - BAB 6

33

Tjokronegoro, A., Sudarsono, S., 2007. Metodologi Penelitian Bidang

Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI

Wahyuni, A.S., 2008. Statistika Kedokteran. Medan : Fakultas Kedokteran USU.

World Health Organization, 2009a. Diarrhoea. Available from :

http://www.who.int/topics/diarrhoe a /en/ [Accessed 25 March 2009]

World Health Organization, 2009b. Exclusive Breastfeeding. Available from :

http://www.who.int/nutrition/topics/exclusive_breastfeeding/en/index.html

[Accessed 25 March 2009 ]