6. bab iii
DESCRIPTION
menggambarkan tentang faktor eksternal dan internal yang turut mempengaurhi kebijakan luar negeri Indonesia di bawah SBY.TRANSCRIPT
BAB III
PENGARUH LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN DOMESTIK
TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
Secara teoritis, lingkungan internasional dan domestik (nasional) beserta
dinamika-dinamika yang terjadi didalamnya merupakan dua faktor yang turut
mempengaruhi formulasi dan implementasi politik luar negeri suatu negara.
Presiden SBY dalam berbagai pidatonya kerap menekankan pada pentingnya
pelaksanaan politik luar negeri yang memberikan perhatian pada masalah-masalah
yang berkembang pada tataran global, karena hal tersebut juga akan berimplikasi
terhadap pelaksanaan diplomasi Indonesia dalam rangka pencapaian kepentingan
nasional. Menlu Marty Natalegawa dalam pernyataan tahunannya pada 2010 juga
mengatakan hal yang sama bahwa pelaksanaan politik luar negeri perlu
memperhatikan kondisi lingkungan eksternal. Pernyataan ini mengasumsikan
bahwa kondisi lingkungan eksternal selalu menjadi menjadi rujukan dalam proses
perumusan kebijakan luar negeri untuk nantinya diimplementasikan melalui
kegiatan diplomasi.
3.1 Perubahan Kekuatan dalam Struktur Politik Global dan persaingan
antar major powers di Asia Tenggara
Runtuhnya Tembok Berlin dan disintegrasi Uni Soviet (Blok Komunis)
yang menjadi akhir Perang Dingin telah menempatkan Amerika Serikat sebagai
satu-satunya negara adidaya di dunia. Dengan produk domestik bruto (PDB)
sebesar 8 triliun dolar AS, anggaran pertahanan sebesar 340 miliar, ekspor barang
56
dan jasa sebesar 560 miliar dolar setiap tahunnya,1 Amerika Serikat menjadi
negara dengan pengaruh dan kekuatan yang tak tertandingi oleh negara manapun
dalam setiap aspek kehidupan politik dan ekonomi global. Struktur politik global
pasca Perang Dingin telah berubah dari bipolar menjadi unipolar dengan
menempatkan Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal.
Para analis hubungan internasional menilai bahwa meskipun Amerika
Serikat memiliki kekuatan yang dominan dalam konstelasi politik global, namun
hal tersebut tidak menafikan munculnya kekuatan-kekuatan baru di berbagai
kawasan dunia lainnya. Perubahan konstelasi dunia dan regional yang begitu cepat
pasca Perang Dingin telah membawa konsekuensi pada persaingan untuk
menempati kekosongan kekuasaan dalam politik internasional yang ditinggalkan
Uni Soviet, baik pada tataran global ataupun kawasan.2 Para analis memandang
bahwa China, Jepang, India, dan Rusia akan tampil sebagai kekuatan baru yang
mampu menjadi penyeimbang Amerika Serikat dalam konstelasi politik global.
Presiden SBY tampaknya sangat memahami tentang sistem internasional
yang tengah berubah dari unipolar ke multipolar. Menurut SBY, dalam sistem
internasional yang multipolar, dunia terbagi atas tiga kutub kekuatan, yaitu
Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Ketiga kutub kekuatan tersebut dalam
pandangan SBY bukan merupakan bentuk final dari sistem internasional yang
multipolar, kemunculan negara-negara emerging countries yang tergabung dalam
BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) dan posisi negara Timur Tengah sebagai
1 Juwono Sudarsono, ‘Keamanan, Perdamaian dan Diplomasi Abad 21’, Global Jurnal Politik Internasional , Vol. II, No. 8, hal. 822 Ganewati Wuryandari & Nanto Sriyanto, “Tatanan Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin”, dalam Ganewati Wuryandari (ed), Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Arus Perubahan Politik Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 36-37.
57
sumber penghasil minyak dan energi dunia merupakan kekuatan global baru yang
patut diperhitungkan peran dan pengaruhnya dalam konstelasi politik global.3
Jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia
secara masif mulai menunjukan keinginannya untuk menjadi pelaku utama dalam
politik global. Jepang yang pada mulanya sangat tergantung pada proteksi
Amerika Serikat untuk masalah pertahanan, telah melakukan perubahan terhadap
kebijakan pertahanannya. Pasal 9 Konstitusi Jepang yang melarang Jepang
menggunakan instrumen militer dalam penyelesaian sengketa internasional
mengalami perubahan signifikan dengan tujuan Jepang dapat memainkan peran
lebih besar dalam hubungan internasional.4 Revisi pasal 9 Konstitusi Jepang
tersebut sekaligus menjadi isyarat yang menunjukkan keinginan Jepang untuk
menjadi “negara normal”.
Puncaknya pada 9 Januari 2007, parlemen Jepang menyetujui usulan
Perdana Menteri Shinzo Abe untuk membentuk Departemen Pertahanan sebagai
peningkatan status Badan Pertahanan Jepang (Japan Defence Agency) menjadi
sebuah Kementrian Pertahanan (Ministry of Defences). Perubahan kebijakan ini
menunjukan bahwa Jepang tengah berupaya menjaga jarak dengan Amerika
Serikat yang selama ini menjadi payung pelindung Jepang untuk aspek
pertahanan, dan secara jelas berupaya menjaga perimbangan kekuatan kawasan
seiring dengan meningkatnya persepsi ancaman dari China dan nuklir Korea Utara
3 Susilo Bambang Yudhoyono(e), “Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Pimpinan Kementrian Luar Negeri dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri”, Jakarta, 4 Februari 2010, < http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/13398847.html>, [diakses 6 April 2012].4 Syamsul Hadi, “Ambivalensi Politik Internasional Jepang”, Kompas, 21 Maret 2007. <http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7796&coid=3&caid=31&gid=3>, [diakses 5 Oktober 2012].
58
yang merupakan major destabilizing factors Asia Pasifik. Revisi Pasal 9
Konstitusi Jepang tersebut berdampak pada berubahnya orientasi kekuatan
pertahanan Jepang dari semula bersifat deterrent effect-oriented menjadi response
capability-oriented. Dengan kata lain, Jepang akan ikut berperan aktif dalam
berbagai aktivitas pemeliharaan perdamaian internasional.5
Pasca krisis global 2008, fenomena perlawanan terhadap dominasi
Amerika Serikat semakin kuat setelah datangnya krisis ekonomi global akhir
September 2008 yang dipicu oleh bangkrutnya sejumlah institusi keuangan di
Amerika Serikat akibat kegagalan kredit perumahan standar rendah (subprime
mortgage) sebesar US$ 6 triliun. Sejumlah negara Asia dan Eropa secara terbuka
mulai berani menantang dominasi Amerika Serikat. Ini terlihat dari salah satu
hasil KTT Asia-Europe Meeting (ASEM) di Beijing pada Oktober 2008 yang
menghasilkan kesepakatan untuk merombak sistem transaksi keuangan dunia
yang selama ini menggunakan mata uang dolar AS.6
China dan India merupakan dua negara Asia yang dianggap memiliki
kapabilitas untuk menjadi negara adidaya. Pertumbuhan ekonomi yang progresif
merupakan salah satu bukti konkret yang mengindikasikan bahwa kedua negara
tersebut mampu tampil sebagai major international powers. China yang memulai
reformasi dan liberalisasi ekonomi pada tahun 1978, selama tiga dasawarsa
terakhir PDB China tumbuh rata-rata 9,4 persen setahun.7 Pada tahun 2010, China 5 Anak Agung Banyu Perwita, “Sosok Baru Pertahanan Jepang”, Kompas, 19 Februari 2007, <http://perwita.wordpress.com/>, [diakses 24 November 2012].6 Syaefudin Simon, “Fukuyama dan Akhir Dominasi AS”, Koran Tempo, 31 Oktober 2008, < http://klipingopini.wordpress.com/2008/10/31/fukuyama-dan-akhir-dominasi-as/>, [diakses 20 November 2011].7 “Kampiun-Kampiun Globalisasi”, Kompas, 15 Agustus 2008, <http://nasional.kompas.com/read/2008/08/15/00582273/kampiun-.kampiun.globalisasi>, [diakses 27 Juli 2012]
59
telah mengambil alih posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di
dunia dengan Gross Domestic Product (GDP) nominal yang mencapai USD 5,87
triliun. Sebagaimana halnya China, India juga muncul sebagai kekuatan ekonomi
global baru. Selama hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi India
rata-rata mencapai 7 persen per tahun, bahkan sejak tahun 2005, pertumbuhan
ekonomi India berkisar pada angka 9 persen setiap tahunnya. Goldman Sach
Economic Research mencatat bahwa pada tahun 2040, China dan India akan
posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia.8
Kebangkitan kedua negara tersebut dapat menjadi ancaman (threat)
sekaligus peluang (opportunity) bagi negara-negara di dunia. Pada satu sisi,
kebangkitan China dan India dapat menjadi faktor yang mampu memberi
kontribusi positif bagi kemakmuran dan stabilitas di kawasan. Kemajuan ekonomi
China dan India jelas membuka peluang baru dan melahirkan keuntungan bagi
semua pihak, termasuk negara-negara besar. Pada sisi lain, kebangkitan China dan
India dipandang dapat menjadi ancaman bagi stabilitas kawasan dan global.
Amerika Serikat misalnya, menganggap kebangkitan China akan
menimbulkan ketidakpastian pada tataran global, bahkan secara khusus Council
on Foreign Relations menyatakan bahwa kekuatan ekonomi, militer dan politik
China yang berkembang signifikan merupakan tantangan terberat bagi Amerika
8 Goldman Sach memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) China akan melampaui Jerman pada 2010, melampaui Jepang pada 2015 dan melampaui AS pada 2040. Sementara India, pada 2015 PDB India akan mengalahkan Italia; tahun 2020 mengalahkan Prancis dan mengalahkan Jerman pada tahun 2025. India akan mengalahkan PDB Jepang antara 2030 dan 2035, serta mengalahkan PDB AS pada 2040. Lihat selengkapnya di Siswono Yudo Husodo, “Indonesia, Ayo Kita Kejar China dan India!”, <http://artikel.sabda.org/indonesia_ayo_kita_kejar_china_dan_india>, [diakses 28 Juli 2012].
60
Serikat dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.9 Persepsi ancaman ini
umumnya didasarkan pada realitas bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang
semakin kuat telah memungkinkan China untuk melakukan modernisasi terhadap
kekuatan militer yang mereka miliki. Menurut data Stockholm International Peace
Research Institute (SIPRI), belanja militer China selama 2001 sampai 2010
mengalami kenaikan sebesar tiga kali lipat dengan nilai perkiraan mencapai 119
miliar dolar AS.10
Terlepas dari persepsi ancaman ataupun peluang dari kebangkitan China
dan negara-negara kekuatan global lain, setidaknya hal tersebut telah menjadi
suatu catatan penting bagi setiap negara akan kembali munculnya persaingan
diantara negara-negara besar dalam memperebutkan hegemoni dunia. Mengingat
dalam konteks anarkisme internasional tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari
negara seperti yang diasumsikan oleh kaum realis, sehingga selalu terdapat
kemungkinan terjadinya rivalitas politik dan benturan kepentingan diantara
negara-negara besar yang secara geo-politik dan geo-ekonomi menyangkutnya
kepentingan strategisnya di suatu kawasan.
Kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan militer di Asia Pasifik
memiliki implikasi yang signifikan bagi masa depan keamanan dan ekonomi Asia
Tenggara. Pada bidang ekonomi, kebangkitan China merupakan peluang dan
tantangan. China membutuhkan negara-negara ASEAN sebagai sumber bahan
baku sekaligus pasar bagi produk-produk industrinya. China juga membutuhkan
9 Anak Agung Banyu Perwita, “Rising China and Implications for SE Asia”, The Jakarta Post, 4 November 2008. <http://perwita.wordpress.com/>, [diakses 8 mei 2012].10 Rahmad Budi Harto, ‘Dampak Ekonomi dari Kemungkinan Bentursan Strategis Antara Amerika Serikat dan China’, Jurnal Pertahanan, Vol.1 No. 3 Oktober 2011, hal. 28
61
dukungan dan kerjasama dari negara-negara ASEAN untuk mewujudkan ambisi
China sebagai pemimpin Asia dan dunia. Pada bidang keamanan, implikasi dari
pembangunan kekuatan militer China merupakan perhatian utama negara-negara
kawasan, karena adanya pandangan bahwa kebangkitan China akan diwujudkan
ke dalam kebijakan yang ekspansionis ataupun pencarian dominasi strategis atas
kawasan.11
Pendekatan China dalam meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-
negara ASEAN dalam beberapa dekade terakhir dapat dicirikan dengan keinginan
China untuk terlibat aktif dalam dialog multilateral dan institusional, penggunaan
retorika sebagai tetangga yang baik dan keuntungan bersama, mengusulkan
perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN, serta menjadi negara pertama
diluar ASEAN yang menyetujui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ASEAN
pada 2003. China juga meninggalkan pendekatan koersif dalam sengketa wilayah
di Laut China Selatan dengan menandatangani Declaration on the Conduct of
Parties in the South China Sea pada 2002. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya
untuk menghilangkan persepsi ancaman terhadap China, di mana Beijing
menggunakan berbagai kebijakan yang kooperatif di Asia Tenggara dengan
menunjukan keinginan untuk berperilaku sebagai pemain internasional (global
player) yang ramah dan bertanggungjawab.12
Citra positif China di Asia Tenggara semakin mengemuka semasa krisis
finansial melanda negara-negara Asia Tenggara pada 1997. Pada saat itu, China
11 Amitav Acharya, 2003, Seeking Security in the Dragon’s Shadow: China and Southeast Asia in the Emerging Asian Order, Institute of Defense and Strategic Studies (IDSS), hal. 1-2. <http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP44.pdf>, [diakses 24 Juli 2012].12 Evelyn Goh, China and Southeast Asia, <http://www.fpif.org/articles/china_and_southeast_asia>, [diakses 4 Juli 2012].
62
memberikan jaminan kepada negara-negara ASEAN atas konsistensi
kebijakannya untuk tidak mendevaluasi mata uangnya dan memberi bantuan
empat miliar dollar AS melalui IMF dan jalur bilateral.13 Pada tahun 2002, China
dan ASEAN telah menyepakati kerangka persetujuan mengenai kerjasama
ekonomi komprehensif untuk menciptakan pasar bebas ASEAN-China (ASEAN-
China Free Trade Area) yang akan mulai direalisasikan pada 2010. Melalui
ACFTA ini diperkirakan dapat meningkatkan GDP ASEAN dan China masing-
masing sebesar 0,9 persen dan 0,3 persen, serta meningkatkan ekspor ASEAN ke
China sebesar 48 persen dan ekspor China ke ASEAN sebesar 55 persen.14
Pergerakan dan pengaruh China yang semakin asertif di Asia Tenggara
membawa implikasi terhadap memudarnya pengaruh dan eksistensi Amerika
Serikat yang juga memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan terhadap
kawasan. Hal ini merupakan implikasi dari kebijakan luar negeri AS pada masa
George Bush yang lebih memberikan prioritas pada perang melawan terorisme,
perang Irak dan Afghanistan, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan kepentingan
strategis AS di Timur Tengah. Secara khusus kepentingan Amerika Serikat
terhadap kawasan Asia Tenggara mencakup kelangsungan stabilitas dan
keseimbangan kekuatan dengan tujuan strategis menjaga Asia Tenggara dari
dominasi kekuatan hegemon lain, melindungi kebebasan navigasi dan jalur laut,
perdagangan dan investasi, mempromosikan demokrasi, rule of law, HAM, dan
kebebasan beragama.15 13 Syamsul Hadi, “Menyikapi Kebangkitan China”, Kompas, 2 September 2008, < http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10622&coid=1&caid=34&gid=3>, [diakses 25 April 2012].14 Amitav Acharya, op. cit. hal. 10.15 Bruce Vaughn & Wayne M. Morison, ‘China-Southesat Asia Relations: Trends, Issues, and Implications for the United States’, Congressional Research Service, The Library of Congress (4
63
Pada era Obama, Amerika Serikat menempatkan kebijakan luar negerinya
dengan dasar ”kebijakan melihat ke Timur” di tengah era kebangkitan Asia.
Mengacu pada Sustaining US Leadership: Priorities for 21st Century Defense,
prioritas utama pertahanan Amerika Serikat saat ini dan ke depan adalah kawasan
Pasifik. Sebagai implementasi kebijakan tersebut, Amerika Serikat mulai
memusatkan kembali sumber daya nasionalnya ke kawasan ini, misalnya dalam
bentuk tidak adanya pemotongan anggaran pertahanan yang berkaitan dengan
kawasan Pasifik dan peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia.16
Kekhawatiran AS akan meningkatnya dominasi China di kawasan juga terlihat
jelas dari keputusan Presiden Barack Obama yang menempatkan 2.500 marinir di
Darwin, Australia, dan dua kapal tempur di Singapura sebagai langkah simbolik
yang secara jelas ditujukan untuk membendung pengaruh China.
Kebijakan ini merupakan turunan dari kerangka kerja sama trans-Pasifik
(Trans-Pacific Partnership) yang berusaha dibangun Amerika Serikat di Asia
Timur. Amerika Serikat memandang stabilitas ekonomi dan keuangan yang lebih
baik di Asia sebagai potensi pasar dan investasi yang akan memberikan dampak
langsung terhadap pemulihan ekonomi Amerika Serikat pasca krisis 2008. Sekitar
23,4 persen utang yang diterbitkan dari surat berharga AS ditopang oleh Asia
(terutama China) atau sekitar 877,5 miliar dollar AS hingga Februari 2010.17
April 2006), hal. 4. <http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL32688.pdf>, [diakses 2 Agustus 2012].16 Budi Susilo Soepandji, Pengaruh Keamanan Regional bagi Keamanan Nasional, < http://lemhannasjurnal.com/pdf/pengaruh%20keamanan%20regional%20bagi%20keamanan%20nasional%20indonesia%20(kasus%20sengketa%20laut%20cina%20selatan)%20.pdf>, [diakses 16 Agustus 2012].17 Pamungkas Ayudhaning Dewanto, ‘Geopolitik AS-ASEAN’, KOMPAS, 26 Juli 2010, <http://nasional.kompas.com/read/2010/07/26/03084259/>, [diakses 8 September 2012]
64
Amerika Serikat mengutamakan pendekatan bilateralisme terhadap
negara-negara ASEAN sebagai wujud upaya Amerika untuk menancapkan
kembali pengaruhnya terhadap kawasan Asia Tenggara. Pendekatan ini dipandang
lebih efektif untuk diimplementasikan dibandingkan dengan pendekatan
multilateralisme. Sesuai dengan teori “powerplay”, pendekatan bilateralisme
terkait erat dengan strategi negara besar untuk mengendalikan negara-negara lebih
kecil. Pada sisi lain, multilateralisme merupakan metode paling efektif terkait
dengan penggunaan kekuasaan saat negara-negara lebih kecil hendak
mengendalikan negara yang lebih besar.18
Secara keseluruhan negara-negara Asia Tenggara memiliki hubungan
dengan Amerika Serikat dalam tingkatan yang bervariasi. Filipina, Singapura,
Malaysia dan Indonesia merupakan negara-negara yang memiliki hubungan yang
sangat dekat dengan AS. Filipina merupakan satu-satunya negara yang secara
resmi menjalin aliansi militer dan menjadi sekutu utama AS di Asia Tenggara
sejak 1951. Singapura merupakan negara ASEAN yang menjadi pangkalan
sementara Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat. Vietnam yang pernah
membekukan hubungan dengan AS sejak 1975 secara drastis mengubah orientasi
kebijakan luar negerinya dengan menyambut baik kehadira AS di Asia Tenggara.
Pada 2010, kapal induk AS USS John McCain secara simbolik mengunjungi
Pelabuhan Danang (Vietnam) dalam rangka perayaan restorasi hubungan
18 Connie Rahakundini Bakrie, ‘Globalisasi dan Intervensi Kekuatan Militer di Kawasan’, SINAR HARAPAN, 11 Juni 2011.
65
diplomatik AS-Vietnam yang ke-15. Bahkan pada 2011, AS dan Vietnam
mengelar latihan perang bersama meskipun mendapat protes dari China.19
Negara-negara ASEAN lain yang dianggap berada pada pengaruh orbit
ekonomi China adalah Laos, Kamboja, dan Myanmar. Kamboja dan Myanmar
merupakan dua negara yang paling banyak mendapatkan bantuan ekonomi dari
China. Untuk Kamboja misalnya, China memberikan 6 miliar dolar untuk
investasi dan bantuan tanpa syarat sebesar 2 miliar dolar. Hal yang sama juga
terjadi pada Myanmar dimana China menjadi pemasok utama barang-barang
kebutuhan Myanmar akibat sanksi ekonomi internasional dan pemberi bantuan
utama terhadap Myanmar selama 2006-2010 yang turut menyumbang terhadap
GDP Myanmar sebesar 11 miliar dolar AS pada 2010.20
Sebenarnya tidak hanya China dan Amerika yang memiliki kepentingan
strategis atas kawasan Asia Tenggara, Jepang dan India sebagai major powers
sekaligus extra-regional powers juga memiliki kepentingan strategis atas kawasan
ini. Bagi Jepang, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat penting dan
strategis bagi perkembangan ekonominya. Terdapat tiga ciri utama dari kebijakan
Jepang terhadap Asia Tenggara. Pertama, penekanan terhadap hubungan
perdagangan dan investasi. Jepang merupakan sumber investasi, modal, teknologi
dan tujuan ekspor utama negara-negara Asia Tenggara. Kedua, aspek sumber
daya. Hubungan Jepang dengan negara-negara Asia Tenggara melibatkan aspek
resources diplomacy yang meliputi energi, bahan mentah, kayu, mineral dan
19 Jessica Brown, ‘Southeast Asia’s American Embrace’, Foreign Policy Analysis, No. 7, 29 Marc 2012, hal. 5-6. <http://www.cis.org.au/images/stories/foreign-policy-analysis/fpa-7.pdf>, [diakses 30 September 2012].20 Jessica Brown, ibid, hal. 9.
66
makanan. Ketiga, aspek keamanan nasional Jepang yang meliputi keamanan di
bidang ekonomi dan militer.21
Jepang yang semula menjadi leading economic power di kawasan Asia,
memandang statusnya sebagai pemimpin regional mulai diambil alih oleh China.
Hasil survei Kementrian Luar Negeri Jepang di enam negara ASEAN (2008)
menghasilkan kesimpulan, pengaruh China di Asia Tenggara telah melampaui
Jepang.22 Baik Jepang maupun China sama-sama memiliki kepentingan yang
saling berbenturan di Asia Tenggara. Seperti diketahui, seiring dengan fenomena
kebangkitan ekonomi China, China juga memiliki kepentingan di kawasan Asia
Tenggara yang diarahkan untuk memperluas pengaruhnya di kawasan ini.
Beberapa kepentingan Jepang yang dinilai berbenturan dengan kepentingan China
adalah: dalam hal peningkatan perdagangan dan investasi; akses bahan mentah;
upaya Jepang mempertahankan pengaruh di ASEAN dan usaha China
memperbesar pengaruh di ASEAN. Jepang maupun China sama-sama melihat
kawasan ini sebagai kawasan yang strategis untuk membantu peningkatan
ekonomi kedua negara.23
India merupakan extra-regional powers dengan kepentingan dan pengaruh
yang relatif terbatas atas kawasan ini. Seiring dengan kemajuan ekonomi, pada
saat ini India tengah memproyeksikan citra baru sebagai major power. India
memandang kawasan Asia Tenggara sebagai bagian penting yang dapat
mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan posisi internasional India.
21 Shanti Darmastuti, ‘Persaingan Ekonomi Antara Jepang dan China di ASEAN: Tantangan dan Pengaruhnya bagi Indonesia’, dalam I. Wibowo & Syamsul Hadi, Merangkul China: Hubungan Indonesia-China Pasca Soeharto, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal 209.22 Syamsul Hadi, ‘Checkbook Diplomacy Jepang dalam Hubungan dengan ASEAN: Relevansi dan Tantangan bagi Indonesia’, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6, No. 2 Januari 2009, hal. 217.23 Ibid, hal. 220.
67
Di kawasan ini, India hadir sebagai potensial major power baru dengan konsep
“Look East Policy (LEP)” yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Narashima Rao
(1991) sebagai upaya mendekatkan diri terhadap kawasan Asia Tenggara. LEP ini
diimpelementasikan dengan tujuan membangun kembali hubungan ekonomi India
dengan negara-negara Asia Tenggara dalam rangka diversifikasi perdagangan dari
mitra dagang utama India seperti Uni Soviet, Amerika Utara dan Eropa.24
Dalam konteks perubahan kekuatan global dan persaingan antara negara-
negara besar dalam memperebutkan pengaruh kawasan Asia Tenggara, Indonesia
memiliki posisi geostrategi yang strategis dihadapan negara-negara major powers
tersebut. Indonesia merupakan negara yang berada ditengah-tengah
“persimpangan jalan” antara Samudera Hindia dan Pasifik serta antara benua Asia
dan Australia. Indonesia juga mengontrol empat dari tujuh jalur pelayaran maritim
internasional, yaitu Selat Malaka, Sunda, Lombok dan Makasar. Keempat selat
tersebut tidak hanya menjadi tiga jalur utama pelayaran di Asia Tenggara, tetapi
juga merupakan jalur pelayaran vital bagi dunia, khususnya jalur pelayaran
internasional di Selat Malaka yang menduduki peringkat sebagai selat tersibuk di
dunia. Data menunjukan bahwa jumlah kapal yang melalui Selat Malaka sejak
tahun 1998-2008 meningkat sebanyak 74 % dan data Kementrian Pertahanan
memprediksikan akan ada 114.000 kapal yang menggunakan Selat Malaka pada
2020.25
24 Seung-Yoon Yang, Rejuvenating Indonesia-India Relations in the 21st Century: Security and Economic Cooperation, <www.asia-studies.org/.../board_download.php>, [diakses 30 September 2012].25 Simon W. Sheldon, “Safety and Security in the Malaca Strait: The Limits of Collaboration”, The National Bureaue of Asian Research, November 2010, hal. 3. Seperti dikutip oleh Wisnu Tjandra, ‘Strategi Pertahanan Alur Laut Kepulauan Indonesia I ‒ Selat Sunda’, Jurnal Pertahanan Edisi I (2012), hal. 2, <http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=61&tmpl=component&format=raw&Itemid=309>, [diakses 3
68
Jika terjadi suatu hambatan dalam hal pelayaran di Selat Malaka, maka
alternatif pelayaran yang paling strategis berikutnya adalah Selat Sunda karena
perbedaan jarak tempuh antara Selat Malaka dan Selat Sunda menuju Samudera
Hindia kurang lebih 630 nm atau dua hari perjalanan. Selat Sunda merupakan
jalur pelayaran yang strategis dan secara geopolitik merupakan jalur pelayaran
yang menjadi perhatian negara adidaya seperti Amerika, Jepang dan China.
Walaupun saat ini jumlah aktifitas ekonomi yang menggunakan Selat Sunda lebih
sedikit dari Selat Malaka, pilihan melalui Selat Sunda digunakan oleh sejumlah
negara sebagai jalur ekspor atau impor negaranya.26
Bagi negara produsen dunia seperti China, kepentingan mereka terhadap
Selat Sunda adalah untuk membawa barang logistik dan mineral dari negara
Timur Tengah dan Afrika menuju ke China serta sebaliknya, membawa produk
China ke pasaran di Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Bagi negara adidaya,
seperti Amerika, kepentingan terhadap Selat Sunda, antara lain, adalah untuk
mobilisasi armada militer dari dan menuju Laut China Selatan. Freedom of the sea
and freedom of navigation menjadi prinsip utama armada laut Amerika.27 Kondisi
ini secara tidak langsung turut mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik dan
militer negara-negara besar di Asia Pasifik – Amerika Serikat, China, Jepang –
tergantung pada stabilitas, kebijakan luar negeri dan pemikiran geopolitik
Jakarta.28 Gambar berikut ini memperlihatkan posisi Indonesia sebagai
penghubung dalam jalur pelayaran internasional.
Agustus 2012].26 Ibid, hal. 9.27 Ibid, hal. 14.28 Evan A. Laksamana, ‘The Enduring Strategic Trinity: Explaining Indonesia’s Geopolitical Architecture’, Journal of the Indian Ocean Region, Vol. 7, No. 1, June 2011, hal. 96.
69
Gambar 1.1 Posisi Indonesia dalam Jalur Pelayaran Internasional29
Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam geopolitik
kawasan dan secara de facto menempatkan posisinya sebagai pemimpin alami
(natural leader) ASEAN tengah dihadapkan pada situasi persaingan diantara
negara-negara besar dalam memperebutkan pengaruh atas kawasan Asia.
Kemungkinan implikasi yang muncul dari persaingan negara-negara besar
tersebut ‒ khususnya Amerika (Pax-Americana) dan China (Pax-Sinica)‒ dalam
memperebutkan pengaruh atas kawasan adalah terpolarisasinya negara-negara
ASEAN ke dalam kubu yang memihak Amerika Serikat atau China. Hal ini
menjadi pilihan sulit dan memberikan resiko besar bagi Indonesia untuk berpihak
kepentingan strategis Amerika atau China. Berpihak pada China pasti akan
membuat Indonesia berada di bawah tekanan Amerika, demikian pula sebaliknya.
Resiko lain dari persaingan major powers dalam memperebutkan pengaruh atas
29 Wisnu Tjandra, op. Cit., hal. 6.
70
kawasan akan berakibat langsung pada marjinalisasi peran strategis Indonesia dan
ASEAN sebagai salah satu pilar arsitektur keamanan Asia Timur.30
3.2 Mempromosikan Demokrasi
Secara akademik, politik luar negeri suatu negara merupakan kelanjutan
sekaligus refleksi politik dalam negeri. Sejak kejatuhan pemerintah Orde Baru
pada Mei 1998, Indonesia dalam waktu yang relatif singkat telah sukses dalam
menjalankan transformasi sistem politik domestiknya dari sistem otoriter ke
sistem demokrasi tanpa adanya pertumpahan darah. Sebagai elemen penting dari
perubahan politik dalam negeri sejak tahun 1998, figur demokrasi tidak dapat
diabaikan sebagai elemen utama dari kebijakan luar negeri Indonesia. Seiring
dengan semakin terkonsolidasinya demokrasi, terdapat dukungan yang luas dari
publik, terutama kalangan akademisi, aktivis, LSM dan anggota parlemen untuk
memasukan nilai-nilai demokrasi dan agenda proyeksi demokrasi ke dalam
kebijakan luar negeri Indonesia.31 Dalam hal ini, demokrasi telah menjadi identitas
baru dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sebagaimana yang
diungkapkan oleh Presiden SBY dihadapan forum ICWA pada 2005.
Demokratisasi yang berlangsung di Indonesia turut mempengaruhi matra
politik luar negeri Indonesia dalam beberapa hal. Dalam konteks ini, sebagai
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, terdapat keharusan bagi politik luar
negeri Indonesia untuk mempromosikan nilai-nilai baru yang berkembang di
dalam negeri. Dalam hal ini, demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia
30 Rizal Sukma, “Rivalitas AS-China dan Posisi Kita”, Kompas, 21 Desember 2011, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=845>, [diakses 18 April 2012].31 Rizal Sukma, “Figur Demokrasi menjadi elemen utama bagi kebijakan luar negei Indonesia”, Tabloid Diplomasi, No. 53 Tahun V (15 Maret – 14 April 2012), hal .17.
71
(HAM) merupakan dua nilai baru terpenting yang memberi nilai tambah bagi
Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bersandar pada demokrasi dan
Hak Asasi Manusia (HAM) akan menjadi modal berharga dalam rangka
meningkatkan citra Indonesia dimata dunia internasional.32
Demokrasi Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri jika
dibandingkan dengan negara-negara demokrasi besar lainnya. Ciri khas tersebut
terletak pada adanya kesesuaian ataupun harmonisasi antara Islam dan demokrasi.
Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan persepsi negara-negara Barat yang
memberi stigma dan mengasosiasikan Islam sebagai masyarakat yang ekstrim,
tidak toleran, mendukung terorisme dan tidak demokratis. Indonesia dengan
penduduk yang mayoritas beragam Islam (sekitar 88,7% dari 240 juta penduduk)
sekaligus menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia justru mampu
mempraktekan demokrasi tanpa adanya pertentangan dengan Islam. Vali Nasr
bahkan menempatkan Indonesia sebagai model yang sangat baik dalam hal
hubungan antara Islam dan demokrasi sekaligus menjadi alternatif bagi model
Turki sekuler (Kemalisme) yang cenderung bermusuhan terhadap agama.33
Menurut Juwono Sudarsono, terdapat tiga alasan mengapa Indonesia
menjadi model terbaik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi
dibandingkan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pertama, Islam di Turki dipandang terlalu sekuler dan dekat Barat, karena negara
itu lama terikat pakta pertahanan NATO dan sedang melamar masuk ke dalam
32 Rizal Sukma, “Dimensi Domestik Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), hal 86.33 Azyumardi Azra, “Indonesia menjadi model bagi hubungan Islam dan Demokrasi”, Tabloid Diplomasi, No. 53, Tahun V (15 Maret – 14 April 2012), hal. 16.
72
lingkar Uni Eropa. Kedua, Islam di Pakistan dinilai terlalu sarat warna
permusuhan sektarian dengan India yang berpenduduk mayoritas Hindu,
sedangkan Islam di Malaysia terlalu melekat dengan etnis Melayu dan jumlahnya
terlalu sedikit untuk menjadi perbandingan yang berarti. Ketiga, Islam di negara
Timur Tengah terlalu terjerat konflik Arab-Israel dan persaingan strategis antara
negara-negara besar sekitar minyak, gas, dan energi, sehingga tidak bisa menjadi
model yang ideal.34 Indonesia dengan demikian memiliki posisi strategis untuk
menjadi aktor utama dalam mempromosikan demokrasi ke dalam tatanan
masyarakat internasional.
Pencitraan diri Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri dapat
memberi sumbangan positif bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri.
Karena itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk menciptakan lingkungan
eksternal yang kondusif bagi proses konsolidasi tersebut. Menciptakan kawasan
Asia Tenggara yang dihuni negara-negara yang demokratis seharusnya menjadi
salah satu tujuan politik luar negeri Indonesia, bukan dalam pengertian
‘mengekspor demokrasi’, tetapi sebagai lingkungan eksternal terdekat bagi
Indonesia, demokratisnya kawasan Asia Tenggara akan turut mempengaruhi
situasi politik Indonesia di masa depan.35
Sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, pemerintah
Indonesia meyakini tentang pentingnya pelaksanaan demokrasi sebagai suatu
objektif yang baik bagi semua manusia. Pada saat yang bersamaan, kawasan Asia
Pasifik memperlihatkan sebuah kondisi tidak adanya keseimbangan antara
34 Juwono Sudarsono, “Tiga Sorotan Luar Negeri terhadap RI”, Kompas, 29 Oktober 2003.35 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri: Membangun Citra Diri”, dalam Bantarto Bandoro (ed), loc. cit., hal. 39.
73
pembangunan ekonomi dengan politik. Jika dilihat dari segi ekonomi, kawasan ini
memiliki tingkat perekonomian yang cenderung berkembang pesat, namun dari
segi politik mengalami keterbatasan dan defisit demokrasi jika dibandingkan
dengan kawasan Eropa atau Amerika Latin.
Negara-negara di Asia Pasifik selama ini pada umumnya menganggap
demokrasi sebagai produk sekaligus instrumen diplomasi Barat (Amerika Serikat
dan Eropa) untuk menekan dan menghakimi negara lain, sehingga terdapat
resistensi yang cukup besar dari negara-negara di kawasan terhadap demokrasi,
karena itu demokrasi tidak sesuai untuk dimasukan atau diaplikasikan di negara-
negara Asia Pasifik. Sementara jika ada negara Asia Pasifik yang telah menganut
dan aktif mempromosikan demokrasi dengan menggunakan sistem yang bersifat
lebih bermitra, tidak menghukum, tidak melecehkan ataupun mengecam,
melainkan mendorong kemajuan bersama-sama, maka upaya memajukan
demokrasi tersebut dianggap sebagai sesuatu langkah yang lebih bersahabat, lebih
lunak, tidak mengurui ataupun menghakimi. Pemerintah Indonesia memandang
hal tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat diterima secara pelan-
pelan.36 Untuk merealisasikan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia harus
menggunakan sebuah forum yang bersifat terbuka dan tidak memaksa negara-
negara peserta. Dalam hal ini, Bali Democracy Forum yang didirikan atas inisiatif
Presiden SBY dan Menlu Hasan Wirajuda pada tahun 2008 merupakan forum
yang tepat untuk mempromosikan demokrasi ke negara-negara kawasan.
3.3 Pendekatan Konstruktif Politik Luar Negeri SBY36 Dewi Fortuna Anwar, “Menjadikan Demokrasi sebagai Kekuatan Lunak”, Tabloid Diplomasi, No. 1, Tahun II (15 Januari 2009 – 14 Februari 2009), hal. 17.
74
Politik luar negeri Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY tetap
berpegang teguh pada prinsip “bebas aktif”. Namun prinsip bebas aktif yang telah
menjadi ruh bagi politik luar negeri Indonesia tersebut memerlukan sebuah
revitalisasi ataupun penyegaran pemikiran yang memiliki relevansi dengan
dinamika yang terjadi pada saat ini. Pada pidato yang bertajuk “an independent
and active foreign policy for 21st century” dihadapan Indonesian Council on
World Affairs (ICWA), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa
politik luar negeri “bebas aktif” diintrepretasikan sebagai ‘kebebasan memilih’
dan ‘kebebasan bertindak’ (freedom of judgment and freedom of action). Menurut
Presiden SBY, prinsip politik politik luar negeri yang bebas aktif harus dibangun
atas dasar pola pikir atau pendekatan yang konstruktif dalam memperjuangkan
kepentingan nasional diberbagai forum global. Pendekatan konstruktif dapat
dimaknai sebagai kemampuan untuk merubah musuh menjadi teman, dan dari
teman berubah menjadi mitra kerja sama. Pendekatan konstruktif juga merujuk
pada penguasaan terhadap kelihaian dalam diplomasi, kapasitas intelektual dan
emosional, dan responsif terhadap kompleksitas kebijakan luar negeri.37
Pendekatan konstruktif inilah yang akan membantu Indonesia untuk
menggunakan independensi dan aktifisme diplomasi Indonesia di berbagai fora
internasional.
Politik luar negeri Indonesia era Presiden SBY bukan lagi
diinterpretasikan sekedar “mendayung antara dua karang” seperti yang
37 Lihat selengkapnya dalam Susilo Bambang Yudhoyono(b), “Speech Before The Indonesian Council on World Affairs (ICWA)”, Jakarta, 19 Mei 2005, < http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2005/05/19/332.html>, [diakses pada 12 Desember 2011].
75
dikemukakan oleh Muhamad Hatta dalam menyiasati rivalitas antara blok
Amerika dan blok Uni Soviet, melainkan “navigating in a turbulent ocean” untuk
menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia pada
masa pemerintahannya. Makna ‘navigating’ dalam metafora navigating in a
turbulent ocean dimaknai sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh top
decision makers dan diplomat-diplomat Indonesia dalam mengubah tantangan
menjadi peluang untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Kemudian,
‘ocean’ didefinisikan sebagai dunia yang bergejolak (turbulent world),
berkembang secara dinamis dan selalu menghadirkan berbagai tantangan serta
permasalahan-permasalahan baru.38
Metafora navigating in a turbulent ocean pada saat yang sama juga
mengindikasikan terjadinya pergeseran dalam sistem internasional dari
bipolarisme ke multipolarisme yang ditandai dengan munculnya negara-negara
emerging powers seperti China, India, Rusia yang memiliki potensi untuk
menyaingi bahkan mengantikan peran internasional negara adidaya, Amerika
Serikat. Karena itu, diplomasi Indonesia dewasa ini dianalogikan seperti samudera
yang sarat dengan empasan gelombang yang penuh dengan ketidakpastian yang
harus dilalui dengan baik. Tidak ada lagi karang yang dapat gunakan untuk
berlabuh sesaat atau bahkan menjadi destinasi politik luar negeri Indonesia.39
Menurut SBY, melalui pendakatan konstruktif tersebut terdapat empat
peran yang harus dimainkan oleh Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam
38 Susilo Bambang Yudhoyono(c), “Keynote Speech Presiden RI pada Foreign Policy Breakfast dalam Rangka Memperingati HUT ke-63 DEPLU RI”, (Jakarta, 19 Agustus 2008), <http://www.kemlu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?Name1=Pidato&Name2=Presiden&IDP=275&l=id>, [diakses 12 Desember 2011].39 Muhammad Takdir, loc. cit.
76
membentuk tatanan regional dan global.40 Pertama, peran sebagai norm setter
(pembentuk norma). Kedua, peran sebagai consensus builder (pembangun
kesepakatan) yang diarahkan oleh visi yang jelas, kebulatan tekad, dan
pragmatisme. Ketiga, peran sebagai peace keeper (penjaga perdamaian).
Keempat, peran sebagai bridge builder (pembangun jembatan) yang
mempromosikan dialog antarperadaban maupun antara Islam dan Barat. Keempat,
peran sebagai voice of developing world (penyuara negara-negara berkembang).
Pendekatan yang harus Indonesia utamakan dalam menyelesaikan
sengketa ataupun masalah-masalah internasional menurut SBY adalah pendekatan
lunak (soft power). Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa pendekatan keras
(hard power) akan menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan
jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun
soft power dapat menghasilkan sinergi positif. Penggunaan soft power ini sejalan
dengan politik bebas aktif yang menjadi panduan politik luar negeri Indonesia,
mengingat pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih
banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi daripada faktor kekuatan
militer.41 Perlu diingat pula bahwa salah satu tujuan pokok dalam politik bebas
aktif yang dirumuskan oleh Hatta adalah perdamaian universal, karena hanya
dalam kondisi damai Indonesia dapat melaksanakan pembangunan nasional untuk
mencapai kesejahteraan rakyat.
40 Susilo Bambang Yudhoyono, “Indonesia’s Roles as Regional and Global Actor”, Speech at the Wilton Park Annual Leader, London, 2 November 2012, <http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2012/11/02/2000.html>, [diakses 2 November 2012].41 Dino Patti Djalal, SBY dan ‘Soft Power’, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm>, [diakses 11 Agustus 2012].
77
Presiden SBY juga berupaya untuk mengaplikasikan politik luar negeri
segala arah (all directions foreign policy) sebagai suatu cara pandang progresif
dimana Indonesia secara aktif, asertif dan leluasa menjalin hubungan dengan
negara manapun demi pemajuan kepentingan bangsa dan negara.42 All directions
foreign policy ini paralel dengan interpretasi SBY atas prinsip bebas aktif dimana
politik luar negeri merefleksikan kemampuan Indonesia dalam membangun
hubungan kerjasama dengan aktor-aktor internasional. Pernyataan SBY bahwa
“tidak ada negara yang mempersepsikan Indonesia sebagai musuh dan tidak pula
ada negara yang oleh Indonesia dianggap musuh dimana kita mempunyai sejuta
teman tanpa musuh”, sebenarnya telah menjadi sebuah isyarat yang cukup jelas
bahwa Indonesia dibawah kepemimpinan SBY akan melaksanakan kebijakan luar
negeri secara bebas di segala arah dengan memiliki satu juta teman tanpa musuh
dimana Indonesia tidak akan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang
offensive melainkan kebijakan yang kooperatif pragmatis.
3.4 Penurunan Kekuatan Militer Indonesia
Kekuatan militer yang dimiliki suatu negara dibangun untuk
mempertahankan negara melawan berbagai jenis ancaman militer. Menurut Peter
Paret, kekuatan militer merupakan ekspresi implementatif dari total kekuatan
negara yang diwujudkan dalam berbagai bentuk gelar kekuatan bersenjata.
42 Yanyan Mochamad Yani, “GNB Masih Tetap Relevan sebagai Driving Force bagi Upaya Peningkatan Kerjasama Konstruktif dalam Hubungan Internasional”, Tabloid Diplomasi, No. 44 Tahun IV (15 Juni-14 Juli 2011), hal. 19.
78
Berpijak pada argumen ini, pengembangan kekuatan militer suatu negara harus
melambangkan total kekuatan nasional yang dimiliki oleh negara tersebut.
Kegagalan suatu negara untuk membangun kekuatan militer yang tangguh dapat
dipandang sebagai bentuk kelemahan pemerintah nasional untuk mengalokasikan
kekuatan nasional ke bidang pertahanan negara.43
Sejak Amerika Serikat memberlakukan embargo atas perangkat militer
yang berkategori mematikan (lethal weapon) pada tahun 1999, kondisi kapabilitas
relatif militer Indonesia (TNI) mengalami penurunan signifikan dalam satu
dekade terakhir. Berbagai pesawat tempur TNI Angkatan Udara (TNI AU)
terpaksa digudangkan. Mobilitas pasukan, khususnya Angkatan Darat (AD),
menjadi amat terbatas karena kekurangan suku cadang alat transportasi.
Singkatnya, pemerintah Indonesia mendapat kesulitan dalam memenuhi Kekuatan
Pokok Minimal (Minimum Essential Force/MEF) yang dibutuhkan oleh TNI.44
Embargo senjata dari Amerika Serikat juga berdampak pada keberadaan alat
utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia yang secara signifikan kurang
memiliki kapasitas penangkalan maupun penindakan, terutama apabila dilihat
berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-negara tetangga di kawasan
Asia-Pasifik.
Postur pertahanan Indonesia yang ada saat ini dapat dikatakan kurang ideal
atau belum mencapai standar Kekuatan Pokok Minimal, yaitu tingkat kekuatan
43 Andi Widjajanto, Edy Prasetyono & Makmur Keliat, “Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Pertahanan”, Monograph No. 10, 10 November 2007, hal. 5. <http://ina.propatria.or.id/download/Monograph/Monograph%20No-10%20tentang%20Pengelolaan%20dan%20Pengawasan%20Sumber%20Daya%20Pertahanan%20Indonesia.pdf>, [diakses pada 16 Oktober 2012].44 Rizal Sukma, Setelah Embargo dicabut, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=433> [diakses 10 Oktober 2012].
79
yang mampu menjamin kepentingan strategi pertahanan yang mendesak.
Kekuatan personel sebagai komponen utama TNI dalam menjalankan tugas
penjagaan kedaulatan negara masih sangat terbatas. Personel TNI hanya
berjumlah 376.375 prajurit (2007) yang terdiri atas 288.857 prajurit TNI
Angkatan Darat, 59.189 prajurit TNI Angkatan Laut, dan 28. 329 prajurit TNI
Angkatan Udara.45
Dari segi alutsista, kekuatan TNI masih dihadapkan dengan kondisi
keterbatasan dan kekurangan dari segi jumlah serta kesiapan sebagai akibat dari
alutsista yang ada saat ini pada umumnya merupakan aset yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan teknologi terkini. Sebagian besar alutsista TNI berusia
lebih dari 20 tahun dan sebagian lagi berusia 7-15 tahun. Kondisi keterbatasan
alutsista ini secara signifikan berpengaruh langsung terhadap kemampuan
pertahanan alutsista yang tidak sebanding dengan luas wilayah dan besarnya
ancaman yang dihadapi Indonesia.
Secara keseluruhan, jika berpijak pada kondisi alutsista yang ada saat ini,
maka tingkat kesiapan tempur TNI pada kekuatan matra darat, laut, dan udara
rata-rata kurang dari 100 % siap untuk dioperasikan. Tingkat kesiapan alutsista
TNI Angkatan Darat rata-rata mencapai 68,85 persen. Tingkat kesiapan kekuatan
TNI Angkatan Laut rata-rata mencapai 46,27 persen. Kekuatan alutsista TNI
Angkatan Udara yang bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter
dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal kesiapan rata-rata saat
45 Yuddy Chrisnandi, ‘Dilema Politik Anggaran Pertahanan’, Makalah pada Diskusi Publik Propatria “Pengelolaan dan Pengawasan Anggaran Pertahanan”, 4 September 2007. <http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Dilema%20Politik%20Anggaran%20Pertahanan%20-%20Yuddy%20Chrisnandi.pdf>, [diakses 16 Oktober 2012].
80
ini mencapai 78,93 persen.46 Grafik berikut ini memperlihatkan kondisi kesiapan
alutsista Indonesia dalam operasi militer perang (OMP).
Gambar 1.2 Kekuatan dan Kondisi Kesiapan Alutsista TNI
Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. (Bab VII Perthanan dan Keamanan).
Tidak hanya alutsista, anggaran pertahanan Indonesia juga masih kurang
ideal untuk mengembangkan postur pertahanan TNI yang mampu menjaga negara
dari ancaman ataupun pelanggaran kedaulatan. Anggaran pertahanan yang
dialokasikan oleh pemerintah setiap tahunnya masih kurang dari 1 persen GDP.
Secara berturut-turut anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah hanya
sebesar 0,97 % PDB (2007); 0,70 % PDB (2008); 0,63 % PDB (2009).47
Minimnya anggaran pertahanan yang dialokasikan secara otomatis berpengaruh
langsung terhadap posisi perimbangan kekuatan militer Indonesia dengan negara
lain. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, angaran
46 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. (Bab VII Perthanan dan Keamanan), hal. 11.47 Ibid.
81
pertahanan Indonesia tidak mampu menempatkan kekuatan pertahan Indonesia
sejajar dengan Malaysia, Singapura dan Thailand. Gambar berikut ini
memperlihatkan posisi anggaran pertahanan Indonesia dalam lingkup regional dan
global.
Gambar 1.3 Peta Anggaran Pertahanan di Asia Tenggara
Gambar 1.4 Peta Anggaran Pertahanan Global
82
Sumber: Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, (Jakarta: 2008), hal. 8-9
Postur pertahanan Indonesia yang secara signifikan lebih kecil jika
dibandingkan dengan negara-negara kawasan ataupun global menjadi salah satu
faktor yang dapat melemahkan posisi tawar Indonesia dalam ajang diplomasi
internasional. Mengingat militer dan diplomasi merupakan dua sisi yang saling
terkait satu sama lain, dimana kekuatan militer (baca: perang) menjadi kelanjutan
atau jalan lain dari dari diplomasi, sedangkan diplomasi merupakan kelanjutan
dari perang dengan cara atau alat lain. Setidaknya terdapat empat fungsi militer
yang dapat digunakan oleh negara dalam konteks politik internasional. Pertama,
kekuatan militer diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara
menunjukan keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan
daya penghancur yang dapat mengentarkan lawan. Kedua, kekuatan militer
digunakan sebagai kekuatan penangkal (deterrent power). Ketiga, kekuatan
militer dibangun sebagai kekuatan defensif untuk melindungi diri dari kekuatan
musuh. Keempat, kekuatan militer dapat digunakan sebagai alat pemaksa
83
(coercive diplomacy) guna menekan suatu negara agar mengikuti keinginan dari
negara yang menekan.48
Berpijak pada kondisi riil kekuatan militer Indonesia yang masih jauh dari
Kekuatan Pokok Minimal, maka sangat sulit bagi Indonesia untuk menggunakan
empat fungsi kekuatan militer diatas secara optimal. Diplomasi dengan
mengedepankan cara-cara damai dan akomodatif merupakan tetap menjadi
alternatif terbaik untuk diimplemetasikan pemerintah Indonesia dibandingan
dengan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat ofensif ataupun konfrontatif.
Bahkan dalam Doktrin Pertahanan dan Strategi Pertahanan Indonesia (2008),
disebutkan bahwa Indonesia mengandalkan pada pendekatan “defensif aktif” yang
mengutamakan kekuatan diplomasi, pendekatan nir-militer, dan kemampuan
pertahanan yang non-ofensif sampai 2029.49
3.5 Krisis Ekonomi Global dan Kebutuhan Meningkatkan Pertumbuhan
Ekonomi Nasional
Kondisi ekonomi global tengah menghadapi tekanan yang berat dari krisis
keuangan Zona Euro setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008.
Krisis ekonomi global menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan
SBY dalam membangun stabilitas perekonomian Indonesia. Masalah
perekonomian menjadi krusial mengingat salah satu indikator terwujudnya
kesejahteraan rakyat adalah terciptanya perekonomian nasional yang stabil dan
tahan terhadap goncangan krisis. Krisis keuangan global tahun 2008, yang
48 Aleksius Jemadu, op. cit., hal. 146-147.49 Kusnanto Anggoro, ‘Strategi Pertahanan Kepulauan, Diplomasi Kelautan dan Kekuatan Matra Laut Indonesia’ Jurnal Diplomasi, Vol. 1 No.2 September 2009, hal. 74.
84
bermula dari krisis finansial Amerika Serikat akibat kredit macet perumahan
rakyat telah membawa perekonomian global ke dalam resesi dan deflasi. Tidak
hanya negara maju, tetapi juga negara berkembang terkena dampak negatif krisis
perekonomian Amerika Serikat tersebut.
Krisis ekonomi global yang bermula pada 2008 tersebut oleh para analis
dipandang sangat berbeda dengan krisis-krisis ekonomi global yang pernah terjadi
sebelumnya. Pada krisis Asia 1997/1998, krisis ditandai tekanan terhadap
keseimbangan eksternal, yakni kewajiban utang luar negeri yang besar tidak dapat
diimbangi oleh ketersediaan cadangan devisa. Krisis 2008 terjadi karena
meletusnya gelembung ekonomi dan finansial (economic and financial bubbles)
di Amerika Serikat yang menyebabkan bursa efek mengalami kegoncangan
karena emiten (perusahaan yang menjual sahamnya di bursa) mengalami tekanan
jual (panic selling), menurunnya harga dan kinerja perusahaan yang berimplikasi
pada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran.50
Episentrum krisis ekonomi global tidak hanya berpusat di Amerika
Serikat, Uni Eropa menjadi episentrum lain bagi krisis ekonomi global yang
berdampak langsung terhadap melambatnya perekonomian sejumlah negara.
Gejolak finansial Uni Eropa yang berawal dari krisis utang di Yunani dalam
waktu yang relatif singkat semakin meluas dan menyeret negara-negara pemakai
euro – Irlandia, Portugal, Siprus, Spanyol – ke dalam jurang resesi. Krisis
keuangan yang terjadi di Zona Euro (Uni Eropa) merupakan kombinasi antara
krisis fiskal dan krisis perbankan serta rendahnya produktivitas dan daya saing
50 A. Tony Prasetianto, ‘Krisis Kali Ini Beda’, Kompas Online, 21 September 2012, <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/09/21/02163688/Krisis.Kali.Ini.Beda>, [diakses 5 Oktober 2012].
85
perekonomian di beberapa negara anggota. Krisis fiskal tecermin dari tingginya
rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga pemerintah tak
mampu melunasi utang tepat waktu.51
Kedalaman krisis keuangan Eropa yang menjadi krisis global
dikhawatirkan akan memberi dampak negatif yang besar terhadap perekonomian
Indonesia. Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis
global diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama
perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-
negara maju. Krisis global tidak berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan
langsung antara Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat, namun
jalur perdagangan tidak langsung Indonesia dengan Eropa dan Amerika akan
terpengaruh melalui China. China yang merupakan importer terbesar barang
Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya disebabkan permintaan
negara-negara maju menurun terhadap barang China.52
Krisis ekonomi global tersebut sebenarnya merupakan dampak dari tidak
berimbangnya sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional dalam hal
regulasi sektor keuangan yang kurang accountable. Dalam kaitan ini, Indonesia
sangat berkepentingan dalam menjaga keseimbangan ekonomi global untuk
menyokong akselerasi pembangunan dan pemerataan ekonomi nasional.53 Pada
51 Anwar Nasution, ‘Krisis Eropa Masih Akan Lama’, Kompas Online, 17 Juli 2012, <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/17/02234193/Krisis.Eropa.Masih.Akan.Lama>, [diakses 5 Oktober 2012].52 BAPPENAS, Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia, (BAPPENAS: 2011), hal. iii.53 Firmanzah, “Indonesia dan Pemulihan Krisis Ekonomi Global”, Koran Tempo Online, 23 Juli 2012, <http://www.tempo.co/read/kolom/2012/07/23/620/Indonesia-dan-Pemulihan-Krisis-Ekonomi-Global>, [diakses 8 September 2012].
86
saat yang sama, krisis ekonomi global ini menjadi momentum bagi Indonesia
untuk mengajukan tuntutan terhadap reformasi dan restrukturisasi tata kelola
ekonomi global, sehingga merepresentasikan keadilan bagi seluruh negara.
Presiden SBY tampaknya sangat menyadari tentang tata kelola perekonomian
dunia yang tidak adil tersebut. Hal ini terlihat jelas dari berbagai pidatonya yang
selalu memberikan penekanan terhadap masalah-masalah regulasi dan tata
perekonomian global, karena hal ini juga akan berdampak langsung pada masa
depan perekonomian nasional Indonesia.
Menurut SBY, permasalahan yang menjadi akar dan penyebab utama dari
ketidakamanan dan ketidakadilan dari tata kelola perekonomian global saat ini
mencakup tiga hal. Pertama, adanya ketimpangan mendasar (fundamental
imbalances). Ketimpangan antara negara maju dan negara terbelakang,
ketimpangan antara supply dengan demand, ketimpangan antara global
production dengan global comsuption, serta ketidakmerataan dalam hal
ketersediaan sumber daya alam, teknologi, dan modal finansial di antara negara-
negara dunia. Kedua, adanya bubble economy (ekonomi gelembung) dimana
ekonomi tidak mencerminkan kekuatan ekonomi yang riil tetapi lebih
diasumsikan pada permainan pasar modal atau spekulasi. Ketiga, rules,
governance, dan institusi yang tidak mencerminkan keadilan karena dalam
realitasnya hanya menguntungkan negara-negara pemilik modal dan perusahaan
multi nasional.54
54 Susilo Bambang Yudhoyono, “Ekonomi Indonesia Abad 21 Menjawab Tantangan Globalisasi”, Orasi Ilmiah Presiden Republik Indonesia pada acara Sidang Terbuka Dies Natalis ke-45 IPB, <http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=2&Itemid=26&limit=15&limitstart=435>, [diakses 6 April 2012].
87
Indonesia merupakan negara yang menempati posisi ke-16 ekonomi
terbesar di dunia sekaligus anggota tetap G-20. Krisis ekonomi global yang turut
membawa dampak terhadap kinerja perekonomian nasional ini telah mengarahkan
politik luar negeri Indonesia untuk melakukan kolaborasi atau kerja sama
internasional dalam mengupayakan mencari solusi atas krisis global tersebut.
Secara khusus, G-20 memberikan peluang bagi Indonesia untuk turut menentukan
agenda ekonomi internasional, terutama dalam penanganan krisis global dan
melakukan perubahan arsitektur ekonomi dunia. Selain itu, G-20 memberi ruang bagi
Indonesia untuk mendorong agenda-agenda pembangunan nasional di tingkat
internasional. Prioritas-prioritas inilah yang tercerminkan dalam posisi yang
dikedepankan oleh Indonesia dalam G-20.55
Perekonomian Indonesia pada era tahun 1990-an, pernah disebut-sebut
sebagai salah satu macan Asia dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat
itu mencapai rata-rata tumbuh sekitar 7 persen per tahun. Namun pada
pertengahan tahun 1997 badai krisis ekonomi melanda Indonesia dan beberapa
negara dikawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Akibat dari badai krisis tersebut
secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merosot tajam
menjadi 4,9 persen bahkan sampai minus 17,13 persen pada triwulan III tahun
1998.56
55 Brasakura G. Sudjana, Peran Indonesia dalam Pergeseran Perekonomian Global, <http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/2012%5Ckajian%5Cpkppim%5CKajianG20%5CPeran%20Indonesia%20dalam%20pergeseran%20perekonomian%20global.pdf>, [diakses 17 November 2012].56 Kuncoro, Akankah Ekonomi Indonesia menjadi “Macan” Asia, <http://setkab.go.id/artikel-5642-akankah-ekonomi-indonesia-kembali-menjadi-macan-asia.html>, [diakses 30 September 2012].
88
Secara perlahan perekonomian Indonesia mulai menunjukan perbaikan
dengan tumbuh mencapai 6,1 persen pada 2008. Pada tahun 2009, pertumbuhan
ekonomi Indonesia mengalami penurunan menjadi 4,5 persen akibat krisis
finansial global, namun angka ini menjadi pertumbuhan terbesar ketiga di Asia
setelah China dan India. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia
memperlihatkan pertumbuhan yang cukup tinggi, bagi sebagian besar kalangan
menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkarakteristik pertumbuhan
eksklusif. Artinya, pertumbuhan yang dicapai tidak mengalami pemerataan karena
hanya dinikmati oleh golongan ekonomi atas.
Terdapat ketimpangan pendapatan per kapita dimana sebagian besar
penduduk Indonesia berpendapatan 1,25 - 2 dolar per hari mencapai 32,4 persen.
Distribusi kekayaan penduduk Indonesia juga tidak merata. Data Credit Suisse
Global Wealth Report (2010) menjelaskan bahwa sebagian besar kekayaan
penduduk Indonesia berada dalam kategori kurang dari USD 1,000-10,000
mencapai 53 persen sedangkan penduduk berpendapatan di bawah USD 1,000
masih relatif tinggi sekitar 24,70 persen. Sementara penduduk yang berpendapatan
antara USD 10,000-100,000 sekitar 20,30 persen. Pada bagian lain, hanya 2
persen saja penduduk Indonesia yang berpendapatan di atas USD 100,000 per
tahun.57
Pada saat bersamaan, ketimpangan pertumbuhan ekonomi antardaerah
memperlihatkan angka yang semakin besar. Secara spasial, data pertumbuhan
ekonomi pada triwulan pertama tahun 2011 menunjukkan: 57,5 persen PDB
57 Abdul Manap Pulungan, ‘Memacu Kinerja Ekonomi Indonesia: Tinjauan Sisi Permintaan’, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 19 Tahun 2011, hal. 150-151.
89
berasal dari Pulau Jawa diikuti Pulau Sumatera sebesar 23,6 persen, Pulau
Kalimantan 9,8 persen, Pulau Sulawesi 4,5 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,4
persen. Sementara kontribusi terkecil berasal dari kelompok provinsi di Pulau
Maluku dan Papua, yakni sebesar 2,2 persen.58
Terlepas dari kondisi ketimpangan yang ada, Indonesia sebagai negara
yang tengah berkembang (emerging economy) dan merencanakan untuk menjadi
negara maju pada 2030 sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk
merealisasikan hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi yang
dibutuhkan (necessary condition) meskipun belum sufficient untuk meningkatkan
kesejahteraan serta mengurangi jumlah pengangguran – dengan kalkulasi setiap 1
persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 300 ribu tenaga kerja.
Pertumbuhan ekonomi yang Indonesia dibutuhkan tidak hanya pertumbuhan yang
tinggi tetapi juga pertumbuhan yang berkualitas. Maksud dari pertumbuhan yang
berkualitas adalah pertumbuhan yang berkesinambungan (sustainable) dalam arti
tidak rentan terhadap guncangan eksternal, efisien dalam menggunakan sumber
daya alam, dan terdistribusi secara baik bagi seluruh segmen masyarakat.59
Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) menargetkan Indonesia sebagai negara maju pada 2025
dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara US $ 14.250 – US $ 15.500
dengan nilai total perekonomian nasional (PDB) berkisar antara US $ 4,0 – 4,5
triliun. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan pertumbuhan ekonomi riil
58 Jusman Dalle, “Kebangkitan Ekonomi Pasca Reformasi”, Jurnal Nasional, 4 Juni 2012, <http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-06-04/211199>, [diakses 30 September 2012].59 Ari A. Perdana, Melihat ke depan Ekonomi Indonesia, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=72>, [diakses 5 Oktober 2012].
90
sebesar 6,4 - 7,5 pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada
periode 2015-2025.60 Dua komponen yang cukup penting menunjang
pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang ditargetkan oleh pemerintah adalah
perdagangan dan investasi. Misalnya, untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi sekitar 7 persen seperti yang ditargetkan oleh pemerintah pada 2014,
rata-rata setiap tahunnya Indonesia memerlukan investasi sebesar US$ 200 miliar.
Berkaitan dengan terjadinya krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis
ekonomi di Amerika Serikat pada September 2008, upaya untuk mempertahankan
bahkan menarik investasi asing untuk berusaha di Indonesia menjadi tantangan
yang berat. Dalam hal ini diplomasi ekonomi sangat dibutuhkan guna mendukung
sasaran pencapaian rencana pembangunan ekonomi nasional yang telah
ditetapkan. Signifikansi dari diplomasi ekonomi ini adalah untuk meningkatkan
pengaruh dan hubungan politik dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut antara
lain untuk mempromosikan perdagangan internasional dan investasi,
meningkatkan fungsi pasar, mengurangi biaya dan resiko dari transaksi
antarwilayah, mencapai standar internasional, serta yang paling utama adalah
mengonsolidasikan iklim politik secara tepat untuk menfasilitasi tujuan-tujuan
tersebut.61
60 Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, hal. 2. <http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6628&Itemid=29>, [diakses 1 Desember 2012].61 Adriana Elisabeth, ‘Globalisasi Ekonomi dan Politik Luar Negeri Indonesia’, dalam Ganewati Wuryandari (ed), op. cit., hal. 112-113.
91