6. bab iii

58
BAB III PENGARUH LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN DOMESTIK TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA Secara teoritis, lingkungan internasional dan domestik (nasional) beserta dinamika-dinamika yang terjadi didalamnya merupakan dua faktor yang turut mempengaruhi formulasi dan implementasi politik luar negeri suatu negara. Presiden SBY dalam berbagai pidatonya kerap menekankan pada pentingnya pelaksanaan politik luar negeri yang memberikan perhatian pada masalah-masalah yang berkembang pada tataran global, karena hal tersebut juga akan berimplikasi terhadap pelaksanaan diplomasi Indonesia dalam rangka pencapaian kepentingan nasional. Menlu Marty Natalegawa dalam pernyataan tahunannya pada 2010 juga mengatakan hal yang sama bahwa pelaksanaan politik luar negeri perlu memperhatikan kondisi lingkungan eksternal. Pernyataan ini mengasumsikan bahwa kondisi lingkungan eksternal selalu menjadi menjadi rujukan dalam proses perumusan 56

Upload: andhik-beni-saputra

Post on 14-Dec-2014

101 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

menggambarkan tentang faktor eksternal dan internal yang turut mempengaurhi kebijakan luar negeri Indonesia di bawah SBY.

TRANSCRIPT

Page 1: 6. BAB III

BAB III

PENGARUH LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN DOMESTIK

TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Secara teoritis, lingkungan internasional dan domestik (nasional) beserta

dinamika-dinamika yang terjadi didalamnya merupakan dua faktor yang turut

mempengaruhi formulasi dan implementasi politik luar negeri suatu negara.

Presiden SBY dalam berbagai pidatonya kerap menekankan pada pentingnya

pelaksanaan politik luar negeri yang memberikan perhatian pada masalah-masalah

yang berkembang pada tataran global, karena hal tersebut juga akan berimplikasi

terhadap pelaksanaan diplomasi Indonesia dalam rangka pencapaian kepentingan

nasional. Menlu Marty Natalegawa dalam pernyataan tahunannya pada 2010 juga

mengatakan hal yang sama bahwa pelaksanaan politik luar negeri perlu

memperhatikan kondisi lingkungan eksternal. Pernyataan ini mengasumsikan

bahwa kondisi lingkungan eksternal selalu menjadi menjadi rujukan dalam proses

perumusan kebijakan luar negeri untuk nantinya diimplementasikan melalui

kegiatan diplomasi.

3.1 Perubahan Kekuatan dalam Struktur Politik Global dan persaingan

antar major powers di Asia Tenggara

Runtuhnya Tembok Berlin dan disintegrasi Uni Soviet (Blok Komunis)

yang menjadi akhir Perang Dingin telah menempatkan Amerika Serikat sebagai

satu-satunya negara adidaya di dunia. Dengan produk domestik bruto (PDB)

sebesar 8 triliun dolar AS, anggaran pertahanan sebesar 340 miliar, ekspor barang

56

Page 2: 6. BAB III

dan jasa sebesar 560 miliar dolar setiap tahunnya,1 Amerika Serikat menjadi

negara dengan pengaruh dan kekuatan yang tak tertandingi oleh negara manapun

dalam setiap aspek kehidupan politik dan ekonomi global. Struktur politik global

pasca Perang Dingin telah berubah dari bipolar menjadi unipolar dengan

menempatkan Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal.

Para analis hubungan internasional menilai bahwa meskipun Amerika

Serikat memiliki kekuatan yang dominan dalam konstelasi politik global, namun

hal tersebut tidak menafikan munculnya kekuatan-kekuatan baru di berbagai

kawasan dunia lainnya. Perubahan konstelasi dunia dan regional yang begitu cepat

pasca Perang Dingin telah membawa konsekuensi pada persaingan untuk

menempati kekosongan kekuasaan dalam politik internasional yang ditinggalkan

Uni Soviet, baik pada tataran global ataupun kawasan.2 Para analis memandang

bahwa China, Jepang, India, dan Rusia akan tampil sebagai kekuatan baru yang

mampu menjadi penyeimbang Amerika Serikat dalam konstelasi politik global.

Presiden SBY tampaknya sangat memahami tentang sistem internasional

yang tengah berubah dari unipolar ke multipolar. Menurut SBY, dalam sistem

internasional yang multipolar, dunia terbagi atas tiga kutub kekuatan, yaitu

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Ketiga kutub kekuatan tersebut dalam

pandangan SBY bukan merupakan bentuk final dari sistem internasional yang

multipolar, kemunculan negara-negara emerging countries yang tergabung dalam

BRIC (Brazil, Rusia, India dan China) dan posisi negara Timur Tengah sebagai

1 Juwono Sudarsono, ‘Keamanan, Perdamaian dan Diplomasi Abad 21’, Global Jurnal Politik Internasional , Vol. II, No. 8, hal. 822 Ganewati Wuryandari & Nanto Sriyanto, “Tatanan Hubungan Internasional Pasca Perang Dingin”, dalam Ganewati Wuryandari (ed), Politik Luar Negeri Indonesia: Di Tengah Arus Perubahan Politik Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 36-37.

57

Page 3: 6. BAB III

sumber penghasil minyak dan energi dunia merupakan kekuatan global baru yang

patut diperhitungkan peran dan pengaruhnya dalam konstelasi politik global.3

Jepang sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia

secara masif mulai menunjukan keinginannya untuk menjadi pelaku utama dalam

politik global. Jepang yang pada mulanya sangat tergantung pada proteksi

Amerika Serikat untuk masalah pertahanan, telah melakukan perubahan terhadap

kebijakan pertahanannya. Pasal 9 Konstitusi Jepang yang melarang Jepang

menggunakan instrumen militer dalam penyelesaian sengketa internasional

mengalami perubahan signifikan dengan tujuan Jepang dapat memainkan peran

lebih besar dalam hubungan internasional.4 Revisi pasal 9 Konstitusi Jepang

tersebut sekaligus menjadi isyarat yang menunjukkan keinginan Jepang untuk

menjadi “negara normal”.

Puncaknya pada 9 Januari 2007, parlemen Jepang menyetujui usulan

Perdana Menteri Shinzo Abe untuk membentuk Departemen Pertahanan sebagai

peningkatan status Badan Pertahanan Jepang (Japan Defence Agency) menjadi

sebuah Kementrian Pertahanan (Ministry of Defences). Perubahan kebijakan ini

menunjukan bahwa Jepang tengah berupaya menjaga jarak dengan Amerika

Serikat yang selama ini menjadi payung pelindung Jepang untuk aspek

pertahanan, dan secara jelas berupaya menjaga perimbangan kekuatan kawasan

seiring dengan meningkatnya persepsi ancaman dari China dan nuklir Korea Utara

3 Susilo Bambang Yudhoyono(e), “Sambutan Presiden Republik Indonesia pada Acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Pimpinan Kementrian Luar Negeri dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri”, Jakarta, 4 Februari 2010, < http://www.opensubscriber.com/message/[email protected]/13398847.html>, [diakses 6 April 2012].4 Syamsul Hadi, “Ambivalensi Politik Internasional Jepang”, Kompas, 21 Maret 2007. <http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=7796&coid=3&caid=31&gid=3>, [diakses 5 Oktober 2012].

58

Page 4: 6. BAB III

yang merupakan major destabilizing factors Asia Pasifik. Revisi Pasal 9

Konstitusi Jepang tersebut berdampak pada berubahnya orientasi kekuatan

pertahanan Jepang dari semula bersifat deterrent effect-oriented menjadi response

capability-oriented. Dengan kata lain, Jepang akan ikut berperan aktif dalam

berbagai aktivitas pemeliharaan perdamaian internasional.5

Pasca krisis global 2008, fenomena perlawanan terhadap dominasi

Amerika Serikat semakin kuat setelah datangnya krisis ekonomi global akhir

September 2008 yang dipicu oleh bangkrutnya sejumlah institusi keuangan di

Amerika Serikat akibat kegagalan kredit perumahan standar rendah (subprime

mortgage) sebesar US$ 6 triliun. Sejumlah negara Asia dan Eropa secara terbuka

mulai berani menantang dominasi Amerika Serikat. Ini terlihat dari salah satu

hasil KTT Asia-Europe Meeting (ASEM) di Beijing pada Oktober 2008 yang

menghasilkan kesepakatan untuk merombak sistem transaksi keuangan dunia

yang selama ini menggunakan mata uang dolar AS.6

China dan India merupakan dua negara Asia yang dianggap memiliki

kapabilitas untuk menjadi negara adidaya. Pertumbuhan ekonomi yang progresif

merupakan salah satu bukti konkret yang mengindikasikan bahwa kedua negara

tersebut mampu tampil sebagai major international powers. China yang memulai

reformasi dan liberalisasi ekonomi pada tahun 1978, selama tiga dasawarsa

terakhir PDB China tumbuh rata-rata 9,4 persen setahun.7 Pada tahun 2010, China 5 Anak Agung Banyu Perwita, “Sosok Baru Pertahanan Jepang”, Kompas, 19 Februari 2007, <http://perwita.wordpress.com/>, [diakses 24 November 2012].6 Syaefudin Simon, “Fukuyama dan Akhir Dominasi AS”, Koran Tempo, 31 Oktober 2008, < http://klipingopini.wordpress.com/2008/10/31/fukuyama-dan-akhir-dominasi-as/>, [diakses 20 November 2011].7 “Kampiun-Kampiun Globalisasi”, Kompas, 15 Agustus 2008, <http://nasional.kompas.com/read/2008/08/15/00582273/kampiun-.kampiun.globalisasi>, [diakses 27 Juli 2012]

59

Page 5: 6. BAB III

telah mengambil alih posisi Jepang sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di

dunia dengan Gross Domestic Product (GDP) nominal yang mencapai USD 5,87

triliun. Sebagaimana halnya China, India juga muncul sebagai kekuatan ekonomi

global baru. Selama hampir satu dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi India

rata-rata mencapai 7 persen per tahun, bahkan sejak tahun 2005, pertumbuhan

ekonomi India berkisar pada angka 9 persen setiap tahunnya. Goldman Sach

Economic Research mencatat bahwa pada tahun 2040, China dan India akan

posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar dunia.8

Kebangkitan kedua negara tersebut dapat menjadi ancaman (threat)

sekaligus peluang (opportunity) bagi negara-negara di dunia. Pada satu sisi,

kebangkitan China dan India dapat menjadi faktor yang mampu memberi

kontribusi positif bagi kemakmuran dan stabilitas di kawasan. Kemajuan ekonomi

China dan India jelas membuka peluang baru dan melahirkan keuntungan bagi

semua pihak, termasuk negara-negara besar. Pada sisi lain, kebangkitan China dan

India dipandang dapat menjadi ancaman bagi stabilitas kawasan dan global.

Amerika Serikat misalnya, menganggap kebangkitan China akan

menimbulkan ketidakpastian pada tataran global, bahkan secara khusus Council

on Foreign Relations menyatakan bahwa kekuatan ekonomi, militer dan politik

China yang berkembang signifikan merupakan tantangan terberat bagi Amerika

8 Goldman Sach memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) China akan melampaui Jerman pada 2010, melampaui Jepang pada 2015 dan melampaui AS pada 2040. Sementara India, pada 2015 PDB India akan mengalahkan Italia; tahun 2020 mengalahkan Prancis dan mengalahkan Jerman pada tahun 2025. India akan mengalahkan PDB Jepang antara 2030 dan 2035, serta mengalahkan PDB AS pada 2040. Lihat selengkapnya di Siswono Yudo Husodo, “Indonesia, Ayo Kita Kejar China dan India!”, <http://artikel.sabda.org/indonesia_ayo_kita_kejar_china_dan_india>, [diakses 28 Juli 2012].

60

Page 6: 6. BAB III

Serikat dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.9 Persepsi ancaman ini

umumnya didasarkan pada realitas bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang

semakin kuat telah memungkinkan China untuk melakukan modernisasi terhadap

kekuatan militer yang mereka miliki. Menurut data Stockholm International Peace

Research Institute (SIPRI), belanja militer China selama 2001 sampai 2010

mengalami kenaikan sebesar tiga kali lipat dengan nilai perkiraan mencapai 119

miliar dolar AS.10

Terlepas dari persepsi ancaman ataupun peluang dari kebangkitan China

dan negara-negara kekuatan global lain, setidaknya hal tersebut telah menjadi

suatu catatan penting bagi setiap negara akan kembali munculnya persaingan

diantara negara-negara besar dalam memperebutkan hegemoni dunia. Mengingat

dalam konteks anarkisme internasional tidak ada otoritas yang lebih tinggi dari

negara seperti yang diasumsikan oleh kaum realis, sehingga selalu terdapat

kemungkinan terjadinya rivalitas politik dan benturan kepentingan diantara

negara-negara besar yang secara geo-politik dan geo-ekonomi menyangkutnya

kepentingan strategisnya di suatu kawasan.

Kebangkitan China sebagai kekuatan ekonomi dan militer di Asia Pasifik

memiliki implikasi yang signifikan bagi masa depan keamanan dan ekonomi Asia

Tenggara. Pada bidang ekonomi, kebangkitan China merupakan peluang dan

tantangan. China membutuhkan negara-negara ASEAN sebagai sumber bahan

baku sekaligus pasar bagi produk-produk industrinya. China juga membutuhkan

9 Anak Agung Banyu Perwita, “Rising China and Implications for SE Asia”, The Jakarta Post, 4 November 2008. <http://perwita.wordpress.com/>, [diakses 8 mei 2012].10 Rahmad Budi Harto, ‘Dampak Ekonomi dari Kemungkinan Bentursan Strategis Antara Amerika Serikat dan China’, Jurnal Pertahanan, Vol.1 No. 3 Oktober 2011, hal. 28

61

Page 7: 6. BAB III

dukungan dan kerjasama dari negara-negara ASEAN untuk mewujudkan ambisi

China sebagai pemimpin Asia dan dunia. Pada bidang keamanan, implikasi dari

pembangunan kekuatan militer China merupakan perhatian utama negara-negara

kawasan, karena adanya pandangan bahwa kebangkitan China akan diwujudkan

ke dalam kebijakan yang ekspansionis ataupun pencarian dominasi strategis atas

kawasan.11

Pendekatan China dalam meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-

negara ASEAN dalam beberapa dekade terakhir dapat dicirikan dengan keinginan

China untuk terlibat aktif dalam dialog multilateral dan institusional, penggunaan

retorika sebagai tetangga yang baik dan keuntungan bersama, mengusulkan

perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN, serta menjadi negara pertama

diluar ASEAN yang menyetujui Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ASEAN

pada 2003. China juga meninggalkan pendekatan koersif dalam sengketa wilayah

di Laut China Selatan dengan menandatangani Declaration on the Conduct of

Parties in the South China Sea pada 2002. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya

untuk menghilangkan persepsi ancaman terhadap China, di mana Beijing

menggunakan berbagai kebijakan yang kooperatif di Asia Tenggara dengan

menunjukan keinginan untuk berperilaku sebagai pemain internasional (global

player) yang ramah dan bertanggungjawab.12

Citra positif China di Asia Tenggara semakin mengemuka semasa krisis

finansial melanda negara-negara Asia Tenggara pada 1997. Pada saat itu, China

11 Amitav Acharya, 2003, Seeking Security in the Dragon’s Shadow: China and Southeast Asia in the Emerging Asian Order, Institute of Defense and Strategic Studies (IDSS), hal. 1-2. <http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP44.pdf>, [diakses 24 Juli 2012].12 Evelyn Goh, China and Southeast Asia, <http://www.fpif.org/articles/china_and_southeast_asia>, [diakses 4 Juli 2012].

62

Page 8: 6. BAB III

memberikan jaminan kepada negara-negara ASEAN atas konsistensi

kebijakannya untuk tidak mendevaluasi mata uangnya dan memberi bantuan

empat miliar dollar AS melalui IMF dan jalur bilateral.13 Pada tahun 2002, China

dan ASEAN telah menyepakati kerangka persetujuan mengenai kerjasama

ekonomi komprehensif untuk menciptakan pasar bebas ASEAN-China (ASEAN-

China Free Trade Area) yang akan mulai direalisasikan pada 2010. Melalui

ACFTA ini diperkirakan dapat meningkatkan GDP ASEAN dan China masing-

masing sebesar 0,9 persen dan 0,3 persen, serta meningkatkan ekspor ASEAN ke

China sebesar 48 persen dan ekspor China ke ASEAN sebesar 55 persen.14

Pergerakan dan pengaruh China yang semakin asertif di Asia Tenggara

membawa implikasi terhadap memudarnya pengaruh dan eksistensi Amerika

Serikat yang juga memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan terhadap

kawasan. Hal ini merupakan implikasi dari kebijakan luar negeri AS pada masa

George Bush yang lebih memberikan prioritas pada perang melawan terorisme,

perang Irak dan Afghanistan, serta isu-isu lain yang berkaitan dengan kepentingan

strategis AS di Timur Tengah. Secara khusus kepentingan Amerika Serikat

terhadap kawasan Asia Tenggara mencakup kelangsungan stabilitas dan

keseimbangan kekuatan dengan tujuan strategis menjaga Asia Tenggara dari

dominasi kekuatan hegemon lain, melindungi kebebasan navigasi dan jalur laut,

perdagangan dan investasi, mempromosikan demokrasi, rule of law, HAM, dan

kebebasan beragama.15 13 Syamsul Hadi, “Menyikapi Kebangkitan China”, Kompas, 2 September 2008, < http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=10622&coid=1&caid=34&gid=3>, [diakses 25 April 2012].14 Amitav Acharya, op. cit. hal. 10.15 Bruce Vaughn & Wayne M. Morison, ‘China-Southesat Asia Relations: Trends, Issues, and Implications for the United States’, Congressional Research Service, The Library of Congress (4

63

Page 9: 6. BAB III

Pada era Obama, Amerika Serikat menempatkan kebijakan luar negerinya

dengan dasar ”kebijakan melihat ke Timur” di tengah era kebangkitan Asia.

Mengacu pada Sustaining US Leadership: Priorities for 21st Century Defense,

prioritas utama pertahanan Amerika Serikat saat ini dan ke depan adalah kawasan

Pasifik. Sebagai implementasi kebijakan tersebut, Amerika Serikat mulai

memusatkan kembali sumber daya nasionalnya ke kawasan ini, misalnya dalam

bentuk tidak adanya pemotongan anggaran pertahanan yang berkaitan dengan

kawasan Pasifik dan peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Australia.16

Kekhawatiran AS akan meningkatnya dominasi China di kawasan juga terlihat

jelas dari keputusan Presiden Barack Obama yang menempatkan 2.500 marinir di

Darwin, Australia, dan dua kapal tempur di Singapura sebagai langkah simbolik

yang secara jelas ditujukan untuk membendung pengaruh China.

Kebijakan ini merupakan turunan dari kerangka kerja sama trans-Pasifik

(Trans-Pacific Partnership) yang berusaha dibangun Amerika Serikat di Asia

Timur. Amerika Serikat memandang stabilitas ekonomi dan keuangan yang lebih

baik di Asia sebagai potensi pasar dan investasi yang akan memberikan dampak

langsung terhadap pemulihan ekonomi Amerika Serikat pasca krisis 2008. Sekitar

23,4 persen utang yang diterbitkan dari surat berharga AS ditopang oleh Asia

(terutama China) atau sekitar 877,5 miliar dollar AS hingga Februari 2010.17

April 2006), hal. 4. <http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL32688.pdf>, [diakses 2 Agustus 2012].16 Budi Susilo Soepandji, Pengaruh Keamanan Regional bagi Keamanan Nasional, < http://lemhannasjurnal.com/pdf/pengaruh%20keamanan%20regional%20bagi%20keamanan%20nasional%20indonesia%20(kasus%20sengketa%20laut%20cina%20selatan)%20.pdf>, [diakses 16 Agustus 2012].17 Pamungkas Ayudhaning Dewanto, ‘Geopolitik AS-ASEAN’, KOMPAS, 26 Juli 2010, <http://nasional.kompas.com/read/2010/07/26/03084259/>, [diakses 8 September 2012]

64

Page 10: 6. BAB III

Amerika Serikat mengutamakan pendekatan bilateralisme terhadap

negara-negara ASEAN sebagai wujud upaya Amerika untuk menancapkan

kembali pengaruhnya terhadap kawasan Asia Tenggara. Pendekatan ini dipandang

lebih efektif untuk diimplementasikan dibandingkan dengan pendekatan

multilateralisme. Sesuai dengan teori “powerplay”, pendekatan bilateralisme

terkait erat dengan strategi negara besar untuk mengendalikan negara-negara lebih

kecil. Pada sisi lain, multilateralisme merupakan metode paling efektif terkait

dengan penggunaan kekuasaan saat negara-negara lebih kecil hendak

mengendalikan negara yang lebih besar.18

Secara keseluruhan negara-negara Asia Tenggara memiliki hubungan

dengan Amerika Serikat dalam tingkatan yang bervariasi. Filipina, Singapura,

Malaysia dan Indonesia merupakan negara-negara yang memiliki hubungan yang

sangat dekat dengan AS. Filipina merupakan satu-satunya negara yang secara

resmi menjalin aliansi militer dan menjadi sekutu utama AS di Asia Tenggara

sejak 1951. Singapura merupakan negara ASEAN yang menjadi pangkalan

sementara Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat. Vietnam yang pernah

membekukan hubungan dengan AS sejak 1975 secara drastis mengubah orientasi

kebijakan luar negerinya dengan menyambut baik kehadira AS di Asia Tenggara.

Pada 2010, kapal induk AS USS John McCain secara simbolik mengunjungi

Pelabuhan Danang (Vietnam) dalam rangka perayaan restorasi hubungan

18 Connie Rahakundini Bakrie, ‘Globalisasi dan Intervensi Kekuatan Militer di Kawasan’, SINAR HARAPAN, 11 Juni 2011.

65

Page 11: 6. BAB III

diplomatik AS-Vietnam yang ke-15. Bahkan pada 2011, AS dan Vietnam

mengelar latihan perang bersama meskipun mendapat protes dari China.19

Negara-negara ASEAN lain yang dianggap berada pada pengaruh orbit

ekonomi China adalah Laos, Kamboja, dan Myanmar. Kamboja dan Myanmar

merupakan dua negara yang paling banyak mendapatkan bantuan ekonomi dari

China. Untuk Kamboja misalnya, China memberikan 6 miliar dolar untuk

investasi dan bantuan tanpa syarat sebesar 2 miliar dolar. Hal yang sama juga

terjadi pada Myanmar dimana China menjadi pemasok utama barang-barang

kebutuhan Myanmar akibat sanksi ekonomi internasional dan pemberi bantuan

utama terhadap Myanmar selama 2006-2010 yang turut menyumbang terhadap

GDP Myanmar sebesar 11 miliar dolar AS pada 2010.20

Sebenarnya tidak hanya China dan Amerika yang memiliki kepentingan

strategis atas kawasan Asia Tenggara, Jepang dan India sebagai major powers

sekaligus extra-regional powers juga memiliki kepentingan strategis atas kawasan

ini. Bagi Jepang, Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat penting dan

strategis bagi perkembangan ekonominya. Terdapat tiga ciri utama dari kebijakan

Jepang terhadap Asia Tenggara. Pertama, penekanan terhadap hubungan

perdagangan dan investasi. Jepang merupakan sumber investasi, modal, teknologi

dan tujuan ekspor utama negara-negara Asia Tenggara. Kedua, aspek sumber

daya. Hubungan Jepang dengan negara-negara Asia Tenggara melibatkan aspek

resources diplomacy yang meliputi energi, bahan mentah, kayu, mineral dan

19 Jessica Brown, ‘Southeast Asia’s American Embrace’, Foreign Policy Analysis, No. 7, 29 Marc 2012, hal. 5-6. <http://www.cis.org.au/images/stories/foreign-policy-analysis/fpa-7.pdf>, [diakses 30 September 2012].20 Jessica Brown, ibid, hal. 9.

66

Page 12: 6. BAB III

makanan. Ketiga, aspek keamanan nasional Jepang yang meliputi keamanan di

bidang ekonomi dan militer.21

Jepang yang semula menjadi leading economic power di kawasan Asia,

memandang statusnya sebagai pemimpin regional mulai diambil alih oleh China.

Hasil survei Kementrian Luar Negeri Jepang di enam negara ASEAN (2008)

menghasilkan kesimpulan, pengaruh China di Asia Tenggara telah melampaui

Jepang.22 Baik Jepang maupun China sama-sama memiliki kepentingan yang

saling berbenturan di Asia Tenggara. Seperti diketahui, seiring dengan fenomena

kebangkitan ekonomi China, China juga memiliki kepentingan di kawasan Asia

Tenggara yang diarahkan untuk memperluas pengaruhnya di kawasan ini.

Beberapa kepentingan Jepang yang dinilai berbenturan dengan kepentingan China

adalah: dalam hal peningkatan perdagangan dan investasi; akses bahan mentah;

upaya Jepang mempertahankan pengaruh di ASEAN dan usaha China

memperbesar pengaruh di ASEAN. Jepang maupun China sama-sama melihat

kawasan ini sebagai kawasan yang strategis untuk membantu peningkatan

ekonomi kedua negara.23

India merupakan extra-regional powers dengan kepentingan dan pengaruh

yang relatif terbatas atas kawasan ini. Seiring dengan kemajuan ekonomi, pada

saat ini India tengah memproyeksikan citra baru sebagai major power. India

memandang kawasan Asia Tenggara sebagai bagian penting yang dapat

mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan posisi internasional India.

21 Shanti Darmastuti, ‘Persaingan Ekonomi Antara Jepang dan China di ASEAN: Tantangan dan Pengaruhnya bagi Indonesia’, dalam I. Wibowo & Syamsul Hadi, Merangkul China: Hubungan Indonesia-China Pasca Soeharto, (Jakarta: Gramedia, 2009), hal 209.22 Syamsul Hadi, ‘Checkbook Diplomacy Jepang dalam Hubungan dengan ASEAN: Relevansi dan Tantangan bagi Indonesia’, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 6, No. 2 Januari 2009, hal. 217.23 Ibid, hal. 220.

67

Page 13: 6. BAB III

Di kawasan ini, India hadir sebagai potensial major power baru dengan konsep

“Look East Policy (LEP)” yang dicetuskan oleh Perdana Menteri Narashima Rao

(1991) sebagai upaya mendekatkan diri terhadap kawasan Asia Tenggara. LEP ini

diimpelementasikan dengan tujuan membangun kembali hubungan ekonomi India

dengan negara-negara Asia Tenggara dalam rangka diversifikasi perdagangan dari

mitra dagang utama India seperti Uni Soviet, Amerika Utara dan Eropa.24

Dalam konteks perubahan kekuatan global dan persaingan antara negara-

negara besar dalam memperebutkan pengaruh kawasan Asia Tenggara, Indonesia

memiliki posisi geostrategi yang strategis dihadapan negara-negara major powers

tersebut. Indonesia merupakan negara yang berada ditengah-tengah

“persimpangan jalan” antara Samudera Hindia dan Pasifik serta antara benua Asia

dan Australia. Indonesia juga mengontrol empat dari tujuh jalur pelayaran maritim

internasional, yaitu Selat Malaka, Sunda, Lombok dan Makasar. Keempat selat

tersebut tidak hanya menjadi tiga jalur utama pelayaran di Asia Tenggara, tetapi

juga merupakan jalur pelayaran vital bagi dunia, khususnya jalur pelayaran

internasional di Selat Malaka yang menduduki peringkat sebagai selat tersibuk di

dunia. Data menunjukan bahwa jumlah kapal yang melalui Selat Malaka sejak

tahun 1998-2008 meningkat sebanyak 74 % dan data Kementrian Pertahanan

memprediksikan akan ada 114.000 kapal yang menggunakan Selat Malaka pada

2020.25

24 Seung-Yoon Yang, Rejuvenating Indonesia-India Relations in the 21st Century: Security and Economic Cooperation, <www.asia-studies.org/.../board_download.php>, [diakses 30 September 2012].25 Simon W. Sheldon, “Safety and Security in the Malaca Strait: The Limits of Collaboration”, The National Bureaue of Asian Research, November 2010, hal. 3. Seperti dikutip oleh Wisnu Tjandra, ‘Strategi Pertahanan Alur Laut Kepulauan Indonesia I ‒ Selat Sunda’, Jurnal Pertahanan Edisi I (2012), hal. 2, <http://idu.ac.id/index.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=61&tmpl=component&format=raw&Itemid=309>, [diakses 3

68

Page 14: 6. BAB III

Jika terjadi suatu hambatan dalam hal pelayaran di Selat Malaka, maka

alternatif pelayaran yang paling strategis berikutnya adalah Selat Sunda karena

perbedaan jarak tempuh antara Selat Malaka dan Selat Sunda menuju Samudera

Hindia kurang lebih 630 nm atau dua hari perjalanan. Selat Sunda merupakan

jalur pelayaran yang strategis dan secara geopolitik merupakan jalur pelayaran

yang menjadi perhatian negara adidaya seperti Amerika, Jepang dan China.

Walaupun saat ini jumlah aktifitas ekonomi yang menggunakan Selat Sunda lebih

sedikit dari Selat Malaka, pilihan melalui Selat Sunda digunakan oleh sejumlah

negara sebagai jalur ekspor atau impor negaranya.26

Bagi negara produsen dunia seperti China, kepentingan mereka terhadap

Selat Sunda adalah untuk membawa barang logistik dan mineral dari negara

Timur Tengah dan Afrika menuju ke China serta sebaliknya, membawa produk

China ke pasaran di Timur Tengah, Afrika, dan Eropa. Bagi negara adidaya,

seperti Amerika, kepentingan terhadap Selat Sunda, antara lain, adalah untuk

mobilisasi armada militer dari dan menuju Laut China Selatan. Freedom of the sea

and freedom of navigation menjadi prinsip utama armada laut Amerika.27 Kondisi

ini secara tidak langsung turut mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik dan

militer negara-negara besar di Asia Pasifik – Amerika Serikat, China, Jepang –

tergantung pada stabilitas, kebijakan luar negeri dan pemikiran geopolitik

Jakarta.28 Gambar berikut ini memperlihatkan posisi Indonesia sebagai

penghubung dalam jalur pelayaran internasional.

Agustus 2012].26 Ibid, hal. 9.27 Ibid, hal. 14.28 Evan A. Laksamana, ‘The Enduring Strategic Trinity: Explaining Indonesia’s Geopolitical Architecture’, Journal of the Indian Ocean Region, Vol. 7, No. 1, June 2011, hal. 96.

69

Page 15: 6. BAB III

Gambar 1.1 Posisi Indonesia dalam Jalur Pelayaran Internasional29

Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam geopolitik

kawasan dan secara de facto menempatkan posisinya sebagai pemimpin alami

(natural leader) ASEAN tengah dihadapkan pada situasi persaingan diantara

negara-negara besar dalam memperebutkan pengaruh atas kawasan Asia.

Kemungkinan implikasi yang muncul dari persaingan negara-negara besar

tersebut ‒ khususnya Amerika (Pax-Americana) dan China (Pax-Sinica)‒ dalam

memperebutkan pengaruh atas kawasan adalah terpolarisasinya negara-negara

ASEAN ke dalam kubu yang memihak Amerika Serikat atau China. Hal ini

menjadi pilihan sulit dan memberikan resiko besar bagi Indonesia untuk berpihak

kepentingan strategis Amerika atau China. Berpihak pada China pasti akan

membuat Indonesia berada di bawah tekanan Amerika, demikian pula sebaliknya.

Resiko lain dari persaingan major powers dalam memperebutkan pengaruh atas

29 Wisnu Tjandra, op. Cit., hal. 6.

70

Page 16: 6. BAB III

kawasan akan berakibat langsung pada marjinalisasi peran strategis Indonesia dan

ASEAN sebagai salah satu pilar arsitektur keamanan Asia Timur.30

3.2 Mempromosikan Demokrasi

Secara akademik, politik luar negeri suatu negara merupakan kelanjutan

sekaligus refleksi politik dalam negeri. Sejak kejatuhan pemerintah Orde Baru

pada Mei 1998, Indonesia dalam waktu yang relatif singkat telah sukses dalam

menjalankan transformasi sistem politik domestiknya dari sistem otoriter ke

sistem demokrasi tanpa adanya pertumpahan darah. Sebagai elemen penting dari

perubahan politik dalam negeri sejak tahun 1998, figur demokrasi tidak dapat

diabaikan sebagai elemen utama dari kebijakan luar negeri Indonesia. Seiring

dengan semakin terkonsolidasinya demokrasi, terdapat dukungan yang luas dari

publik, terutama kalangan akademisi, aktivis, LSM dan anggota parlemen untuk

memasukan nilai-nilai demokrasi dan agenda proyeksi demokrasi ke dalam

kebijakan luar negeri Indonesia.31 Dalam hal ini, demokrasi telah menjadi identitas

baru dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sebagaimana yang

diungkapkan oleh Presiden SBY dihadapan forum ICWA pada 2005.

Demokratisasi yang berlangsung di Indonesia turut mempengaruhi matra

politik luar negeri Indonesia dalam beberapa hal. Dalam konteks ini, sebagai

negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, terdapat keharusan bagi politik luar

negeri Indonesia untuk mempromosikan nilai-nilai baru yang berkembang di

dalam negeri. Dalam hal ini, demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia

30 Rizal Sukma, “Rivalitas AS-China dan Posisi Kita”, Kompas, 21 Desember 2011, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=845>, [diakses 18 April 2012].31 Rizal Sukma, “Figur Demokrasi menjadi elemen utama bagi kebijakan luar negei Indonesia”, Tabloid Diplomasi, No. 53 Tahun V (15 Maret – 14 April 2012), hal .17.

71

Page 17: 6. BAB III

(HAM) merupakan dua nilai baru terpenting yang memberi nilai tambah bagi

Indonesia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bersandar pada demokrasi dan

Hak Asasi Manusia (HAM) akan menjadi modal berharga dalam rangka

meningkatkan citra Indonesia dimata dunia internasional.32

Demokrasi Indonesia memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri jika

dibandingkan dengan negara-negara demokrasi besar lainnya. Ciri khas tersebut

terletak pada adanya kesesuaian ataupun harmonisasi antara Islam dan demokrasi.

Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan persepsi negara-negara Barat yang

memberi stigma dan mengasosiasikan Islam sebagai masyarakat yang ekstrim,

tidak toleran, mendukung terorisme dan tidak demokratis. Indonesia dengan

penduduk yang mayoritas beragam Islam (sekitar 88,7% dari 240 juta penduduk)

sekaligus menjadi negara dengan populasi muslim terbesar di dunia justru mampu

mempraktekan demokrasi tanpa adanya pertentangan dengan Islam. Vali Nasr

bahkan menempatkan Indonesia sebagai model yang sangat baik dalam hal

hubungan antara Islam dan demokrasi sekaligus menjadi alternatif bagi model

Turki sekuler (Kemalisme) yang cenderung bermusuhan terhadap agama.33

Menurut Juwono Sudarsono, terdapat tiga alasan mengapa Indonesia

menjadi model terbaik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi

dibandingkan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Pertama, Islam di Turki dipandang terlalu sekuler dan dekat Barat, karena negara

itu lama terikat pakta pertahanan NATO dan sedang melamar masuk ke dalam

32 Rizal Sukma, “Dimensi Domestik Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Bantarto Bandoro (ed), Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: CSIS, 2005), hal 86.33 Azyumardi Azra, “Indonesia menjadi model bagi hubungan Islam dan Demokrasi”, Tabloid Diplomasi, No. 53, Tahun V (15 Maret – 14 April 2012), hal. 16.

72

Page 18: 6. BAB III

lingkar Uni Eropa. Kedua, Islam di Pakistan dinilai terlalu sarat warna

permusuhan sektarian dengan India yang berpenduduk mayoritas Hindu,

sedangkan Islam di Malaysia terlalu melekat dengan etnis Melayu dan jumlahnya

terlalu sedikit untuk menjadi perbandingan yang berarti. Ketiga, Islam di negara

Timur Tengah terlalu terjerat konflik Arab-Israel dan persaingan strategis antara

negara-negara besar sekitar minyak, gas, dan energi, sehingga tidak bisa menjadi

model yang ideal.34 Indonesia dengan demikian memiliki posisi strategis untuk

menjadi aktor utama dalam mempromosikan demokrasi ke dalam tatanan

masyarakat internasional.

Pencitraan diri Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri dapat

memberi sumbangan positif bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri.

Karena itu, Indonesia sangat berkepentingan untuk menciptakan lingkungan

eksternal yang kondusif bagi proses konsolidasi tersebut. Menciptakan kawasan

Asia Tenggara yang dihuni negara-negara yang demokratis seharusnya menjadi

salah satu tujuan politik luar negeri Indonesia, bukan dalam pengertian

‘mengekspor demokrasi’, tetapi sebagai lingkungan eksternal terdekat bagi

Indonesia, demokratisnya kawasan Asia Tenggara akan turut mempengaruhi

situasi politik Indonesia di masa depan.35

Sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan Asia Tenggara, pemerintah

Indonesia meyakini tentang pentingnya pelaksanaan demokrasi sebagai suatu

objektif yang baik bagi semua manusia. Pada saat yang bersamaan, kawasan Asia

Pasifik memperlihatkan sebuah kondisi tidak adanya keseimbangan antara

34 Juwono Sudarsono, “Tiga Sorotan Luar Negeri terhadap RI”, Kompas, 29 Oktober 2003.35 Philips J. Vermonte, “Demokratisasi dan Politik Luar Negeri: Membangun Citra Diri”, dalam Bantarto Bandoro (ed), loc. cit., hal. 39.

73

Page 19: 6. BAB III

pembangunan ekonomi dengan politik. Jika dilihat dari segi ekonomi, kawasan ini

memiliki tingkat perekonomian yang cenderung berkembang pesat, namun dari

segi politik mengalami keterbatasan dan defisit demokrasi jika dibandingkan

dengan kawasan Eropa atau Amerika Latin.

Negara-negara di Asia Pasifik selama ini pada umumnya menganggap

demokrasi sebagai produk sekaligus instrumen diplomasi Barat (Amerika Serikat

dan Eropa) untuk menekan dan menghakimi negara lain, sehingga terdapat

resistensi yang cukup besar dari negara-negara di kawasan terhadap demokrasi,

karena itu demokrasi tidak sesuai untuk dimasukan atau diaplikasikan di negara-

negara Asia Pasifik. Sementara jika ada negara Asia Pasifik yang telah menganut

dan aktif mempromosikan demokrasi dengan menggunakan sistem yang bersifat

lebih bermitra, tidak menghukum, tidak melecehkan ataupun mengecam,

melainkan mendorong kemajuan bersama-sama, maka upaya memajukan

demokrasi tersebut dianggap sebagai sesuatu langkah yang lebih bersahabat, lebih

lunak, tidak mengurui ataupun menghakimi. Pemerintah Indonesia memandang

hal tersebut memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat diterima secara pelan-

pelan.36 Untuk merealisasikan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia harus

menggunakan sebuah forum yang bersifat terbuka dan tidak memaksa negara-

negara peserta. Dalam hal ini, Bali Democracy Forum yang didirikan atas inisiatif

Presiden SBY dan Menlu Hasan Wirajuda pada tahun 2008 merupakan forum

yang tepat untuk mempromosikan demokrasi ke negara-negara kawasan.

3.3 Pendekatan Konstruktif Politik Luar Negeri SBY36 Dewi Fortuna Anwar, “Menjadikan Demokrasi sebagai Kekuatan Lunak”, Tabloid Diplomasi, No. 1, Tahun II (15 Januari 2009 – 14 Februari 2009), hal. 17.

74

Page 20: 6. BAB III

Politik luar negeri Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY tetap

berpegang teguh pada prinsip “bebas aktif”. Namun prinsip bebas aktif yang telah

menjadi ruh bagi politik luar negeri Indonesia tersebut memerlukan sebuah

revitalisasi ataupun penyegaran pemikiran yang memiliki relevansi dengan

dinamika yang terjadi pada saat ini. Pada pidato yang bertajuk “an independent

and active foreign policy for 21st century” dihadapan Indonesian Council on

World Affairs (ICWA), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa

politik luar negeri “bebas aktif” diintrepretasikan sebagai ‘kebebasan memilih’

dan ‘kebebasan bertindak’ (freedom of judgment and freedom of action). Menurut

Presiden SBY, prinsip politik politik luar negeri yang bebas aktif harus dibangun

atas dasar pola pikir atau pendekatan yang konstruktif dalam memperjuangkan

kepentingan nasional diberbagai forum global. Pendekatan konstruktif dapat

dimaknai sebagai kemampuan untuk merubah musuh menjadi teman, dan dari

teman berubah menjadi mitra kerja sama. Pendekatan konstruktif juga merujuk

pada penguasaan terhadap kelihaian dalam diplomasi, kapasitas intelektual dan

emosional, dan responsif terhadap kompleksitas kebijakan luar negeri.37

Pendekatan konstruktif inilah yang akan membantu Indonesia untuk

menggunakan independensi dan aktifisme diplomasi Indonesia di berbagai fora

internasional.

Politik luar negeri Indonesia era Presiden SBY bukan lagi

diinterpretasikan sekedar “mendayung antara dua karang” seperti yang

37 Lihat selengkapnya dalam Susilo Bambang Yudhoyono(b), “Speech Before The Indonesian Council on World Affairs (ICWA)”, Jakarta, 19 Mei 2005, < http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2005/05/19/332.html>, [diakses pada 12 Desember 2011].

75

Page 21: 6. BAB III

dikemukakan oleh Muhamad Hatta dalam menyiasati rivalitas antara blok

Amerika dan blok Uni Soviet, melainkan “navigating in a turbulent ocean” untuk

menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh politik luar negeri Indonesia pada

masa pemerintahannya. Makna ‘navigating’ dalam metafora navigating in a

turbulent ocean dimaknai sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh top

decision makers dan diplomat-diplomat Indonesia dalam mengubah tantangan

menjadi peluang untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia. Kemudian,

‘ocean’ didefinisikan sebagai dunia yang bergejolak (turbulent world),

berkembang secara dinamis dan selalu menghadirkan berbagai tantangan serta

permasalahan-permasalahan baru.38

Metafora navigating in a turbulent ocean pada saat yang sama juga

mengindikasikan terjadinya pergeseran dalam sistem internasional dari

bipolarisme ke multipolarisme yang ditandai dengan munculnya negara-negara

emerging powers seperti China, India, Rusia yang memiliki potensi untuk

menyaingi bahkan mengantikan peran internasional negara adidaya, Amerika

Serikat. Karena itu, diplomasi Indonesia dewasa ini dianalogikan seperti samudera

yang sarat dengan empasan gelombang yang penuh dengan ketidakpastian yang

harus dilalui dengan baik. Tidak ada lagi karang yang dapat gunakan untuk

berlabuh sesaat atau bahkan menjadi destinasi politik luar negeri Indonesia.39

Menurut SBY, melalui pendakatan konstruktif tersebut terdapat empat

peran yang harus dimainkan oleh Indonesia untuk memberikan kontribusi dalam

38 Susilo Bambang Yudhoyono(c), “Keynote Speech Presiden RI pada Foreign Policy Breakfast dalam Rangka Memperingati HUT ke-63 DEPLU RI”, (Jakarta, 19 Agustus 2008), <http://www.kemlu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?Name1=Pidato&Name2=Presiden&IDP=275&l=id>, [diakses 12 Desember 2011].39 Muhammad Takdir, loc. cit.

76

Page 22: 6. BAB III

membentuk tatanan regional dan global.40 Pertama, peran sebagai norm setter

(pembentuk norma). Kedua, peran sebagai consensus builder (pembangun

kesepakatan) yang diarahkan oleh visi yang jelas, kebulatan tekad, dan

pragmatisme. Ketiga, peran sebagai peace keeper (penjaga perdamaian).

Keempat, peran sebagai bridge builder (pembangun jembatan) yang

mempromosikan dialog antarperadaban maupun antara Islam dan Barat. Keempat,

peran sebagai voice of developing world (penyuara negara-negara berkembang).

Pendekatan yang harus Indonesia utamakan dalam menyelesaikan

sengketa ataupun masalah-masalah internasional menurut SBY adalah pendekatan

lunak (soft power). Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa pendekatan keras

(hard power) akan menimbulkan aneka benturan, namun soft power menimbulkan

jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif, namun

soft power dapat menghasilkan sinergi positif. Penggunaan soft power ini sejalan

dengan politik bebas aktif yang menjadi panduan politik luar negeri Indonesia,

mengingat pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional lebih

banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi daripada faktor kekuatan

militer.41 Perlu diingat pula bahwa salah satu tujuan pokok dalam politik bebas

aktif yang dirumuskan oleh Hatta adalah perdamaian universal, karena hanya

dalam kondisi damai Indonesia dapat melaksanakan pembangunan nasional untuk

mencapai kesejahteraan rakyat.

40 Susilo Bambang Yudhoyono, “Indonesia’s Roles as Regional and Global Actor”, Speech at the Wilton Park Annual Leader, London, 2 November 2012, <http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2012/11/02/2000.html>, [diakses 2 November 2012].41 Dino Patti Djalal, SBY dan ‘Soft Power’, <http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm>, [diakses 11 Agustus 2012].

77

Page 23: 6. BAB III

Presiden SBY juga berupaya untuk mengaplikasikan politik luar negeri

segala arah (all directions foreign policy) sebagai suatu cara pandang progresif

dimana Indonesia secara aktif, asertif dan leluasa menjalin hubungan dengan

negara manapun demi pemajuan kepentingan bangsa dan negara.42 All directions

foreign policy ini paralel dengan interpretasi SBY atas prinsip bebas aktif dimana

politik luar negeri merefleksikan kemampuan Indonesia dalam membangun

hubungan kerjasama dengan aktor-aktor internasional. Pernyataan SBY bahwa

“tidak ada negara yang mempersepsikan Indonesia sebagai musuh dan tidak pula

ada negara yang oleh Indonesia dianggap musuh dimana kita mempunyai sejuta

teman tanpa musuh”, sebenarnya telah menjadi sebuah isyarat yang cukup jelas

bahwa Indonesia dibawah kepemimpinan SBY akan melaksanakan kebijakan luar

negeri secara bebas di segala arah dengan memiliki satu juta teman tanpa musuh

dimana Indonesia tidak akan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang

offensive melainkan kebijakan yang kooperatif pragmatis.

3.4 Penurunan Kekuatan Militer Indonesia

Kekuatan militer yang dimiliki suatu negara dibangun untuk

mempertahankan negara melawan berbagai jenis ancaman militer. Menurut Peter

Paret, kekuatan militer merupakan ekspresi implementatif dari total kekuatan

negara yang diwujudkan dalam berbagai bentuk gelar kekuatan bersenjata.

42 Yanyan Mochamad Yani, “GNB Masih Tetap Relevan sebagai Driving Force bagi Upaya Peningkatan Kerjasama Konstruktif dalam Hubungan Internasional”, Tabloid Diplomasi, No. 44 Tahun IV (15 Juni-14 Juli 2011), hal. 19.

78

Page 24: 6. BAB III

Berpijak pada argumen ini, pengembangan kekuatan militer suatu negara harus

melambangkan total kekuatan nasional yang dimiliki oleh negara tersebut.

Kegagalan suatu negara untuk membangun kekuatan militer yang tangguh dapat

dipandang sebagai bentuk kelemahan pemerintah nasional untuk mengalokasikan

kekuatan nasional ke bidang pertahanan negara.43

Sejak Amerika Serikat memberlakukan embargo atas perangkat militer

yang berkategori mematikan (lethal weapon) pada tahun 1999, kondisi kapabilitas

relatif militer Indonesia (TNI) mengalami penurunan signifikan dalam satu

dekade terakhir. Berbagai pesawat tempur TNI Angkatan Udara (TNI AU)

terpaksa digudangkan. Mobilitas pasukan, khususnya Angkatan Darat (AD),

menjadi amat terbatas karena kekurangan suku cadang alat transportasi.

Singkatnya, pemerintah Indonesia mendapat kesulitan dalam memenuhi Kekuatan

Pokok Minimal (Minimum Essential Force/MEF) yang dibutuhkan oleh TNI.44

Embargo senjata dari Amerika Serikat juga berdampak pada keberadaan alat

utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia yang secara signifikan kurang

memiliki kapasitas penangkalan maupun penindakan, terutama apabila dilihat

berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-negara tetangga di kawasan

Asia-Pasifik.

Postur pertahanan Indonesia yang ada saat ini dapat dikatakan kurang ideal

atau belum mencapai standar Kekuatan Pokok Minimal, yaitu tingkat kekuatan

43 Andi Widjajanto, Edy Prasetyono & Makmur Keliat, “Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Pertahanan”, Monograph No. 10, 10 November 2007, hal. 5. <http://ina.propatria.or.id/download/Monograph/Monograph%20No-10%20tentang%20Pengelolaan%20dan%20Pengawasan%20Sumber%20Daya%20Pertahanan%20Indonesia.pdf>, [diakses pada 16 Oktober 2012].44 Rizal Sukma, Setelah Embargo dicabut, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=433> [diakses 10 Oktober 2012].

79

Page 25: 6. BAB III

yang mampu menjamin kepentingan strategi pertahanan yang mendesak.

Kekuatan personel sebagai komponen utama TNI dalam menjalankan tugas

penjagaan kedaulatan negara masih sangat terbatas. Personel TNI hanya

berjumlah 376.375 prajurit (2007) yang terdiri atas 288.857 prajurit TNI

Angkatan Darat, 59.189 prajurit TNI Angkatan Laut, dan 28. 329 prajurit TNI

Angkatan Udara.45

Dari segi alutsista, kekuatan TNI masih dihadapkan dengan kondisi

keterbatasan dan kekurangan dari segi jumlah serta kesiapan sebagai akibat dari

alutsista yang ada saat ini pada umumnya merupakan aset yang sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan teknologi terkini. Sebagian besar alutsista TNI berusia

lebih dari 20 tahun dan sebagian lagi berusia 7-15 tahun. Kondisi keterbatasan

alutsista ini secara signifikan berpengaruh langsung terhadap kemampuan

pertahanan alutsista yang tidak sebanding dengan luas wilayah dan besarnya

ancaman yang dihadapi Indonesia.

Secara keseluruhan, jika berpijak pada kondisi alutsista yang ada saat ini,

maka tingkat kesiapan tempur TNI pada kekuatan matra darat, laut, dan udara

rata-rata kurang dari 100 % siap untuk dioperasikan. Tingkat kesiapan alutsista

TNI Angkatan Darat rata-rata mencapai 68,85 persen. Tingkat kesiapan kekuatan

TNI Angkatan Laut rata-rata mencapai 46,27 persen. Kekuatan alutsista TNI

Angkatan Udara yang bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, helikopter

dan pesawat jenis lainnya, serta peralatan radar dan rudal kesiapan rata-rata saat

45 Yuddy Chrisnandi, ‘Dilema Politik Anggaran Pertahanan’, Makalah pada Diskusi Publik Propatria “Pengelolaan dan Pengawasan Anggaran Pertahanan”, 4 September 2007. <http://www.propatria.or.id/loaddown/Paper%20Diskusi/Dilema%20Politik%20Anggaran%20Pertahanan%20-%20Yuddy%20Chrisnandi.pdf>, [diakses 16 Oktober 2012].

80

Page 26: 6. BAB III

ini mencapai 78,93 persen.46 Grafik berikut ini memperlihatkan kondisi kesiapan

alutsista Indonesia dalam operasi militer perang (OMP).

Gambar 1.2 Kekuatan dan Kondisi Kesiapan Alutsista TNI

Sumber: Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. (Bab VII Perthanan dan Keamanan).

Tidak hanya alutsista, anggaran pertahanan Indonesia juga masih kurang

ideal untuk mengembangkan postur pertahanan TNI yang mampu menjaga negara

dari ancaman ataupun pelanggaran kedaulatan. Anggaran pertahanan yang

dialokasikan oleh pemerintah setiap tahunnya masih kurang dari 1 persen GDP.

Secara berturut-turut anggaran pertahanan yang dialokasikan pemerintah hanya

sebesar 0,97 % PDB (2007); 0,70 % PDB (2008); 0,63 % PDB (2009).47

Minimnya anggaran pertahanan yang dialokasikan secara otomatis berpengaruh

langsung terhadap posisi perimbangan kekuatan militer Indonesia dengan negara

lain. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, angaran

46 Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5/2010 tentang RPJMN 2010-2014. (Bab VII Perthanan dan Keamanan), hal. 11.47 Ibid.

81

Page 27: 6. BAB III

pertahanan Indonesia tidak mampu menempatkan kekuatan pertahan Indonesia

sejajar dengan Malaysia, Singapura dan Thailand. Gambar berikut ini

memperlihatkan posisi anggaran pertahanan Indonesia dalam lingkup regional dan

global.

Gambar 1.3 Peta Anggaran Pertahanan di Asia Tenggara

Gambar 1.4 Peta Anggaran Pertahanan Global

82

Page 28: 6. BAB III

Sumber: Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, (Jakarta: 2008), hal. 8-9

Postur pertahanan Indonesia yang secara signifikan lebih kecil jika

dibandingkan dengan negara-negara kawasan ataupun global menjadi salah satu

faktor yang dapat melemahkan posisi tawar Indonesia dalam ajang diplomasi

internasional. Mengingat militer dan diplomasi merupakan dua sisi yang saling

terkait satu sama lain, dimana kekuatan militer (baca: perang) menjadi kelanjutan

atau jalan lain dari dari diplomasi, sedangkan diplomasi merupakan kelanjutan

dari perang dengan cara atau alat lain. Setidaknya terdapat empat fungsi militer

yang dapat digunakan oleh negara dalam konteks politik internasional. Pertama,

kekuatan militer diproyeksikan sebagai prestige power di mana suatu negara

menunjukan keunggulan militernya melalui penguasaan teknologi baru dengan

daya penghancur yang dapat mengentarkan lawan. Kedua, kekuatan militer

digunakan sebagai kekuatan penangkal (deterrent power). Ketiga, kekuatan

militer dibangun sebagai kekuatan defensif untuk melindungi diri dari kekuatan

musuh. Keempat, kekuatan militer dapat digunakan sebagai alat pemaksa

83

Page 29: 6. BAB III

(coercive diplomacy) guna menekan suatu negara agar mengikuti keinginan dari

negara yang menekan.48

Berpijak pada kondisi riil kekuatan militer Indonesia yang masih jauh dari

Kekuatan Pokok Minimal, maka sangat sulit bagi Indonesia untuk menggunakan

empat fungsi kekuatan militer diatas secara optimal. Diplomasi dengan

mengedepankan cara-cara damai dan akomodatif merupakan tetap menjadi

alternatif terbaik untuk diimplemetasikan pemerintah Indonesia dibandingan

dengan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat ofensif ataupun konfrontatif.

Bahkan dalam Doktrin Pertahanan dan Strategi Pertahanan Indonesia (2008),

disebutkan bahwa Indonesia mengandalkan pada pendekatan “defensif aktif” yang

mengutamakan kekuatan diplomasi, pendekatan nir-militer, dan kemampuan

pertahanan yang non-ofensif sampai 2029.49

3.5 Krisis Ekonomi Global dan Kebutuhan Meningkatkan Pertumbuhan

Ekonomi Nasional

Kondisi ekonomi global tengah menghadapi tekanan yang berat dari krisis

keuangan Zona Euro setelah krisis keuangan Amerika Serikat pada tahun 2008.

Krisis ekonomi global menjadi salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan

SBY dalam membangun stabilitas perekonomian Indonesia. Masalah

perekonomian menjadi krusial mengingat salah satu indikator terwujudnya

kesejahteraan rakyat adalah terciptanya perekonomian nasional yang stabil dan

tahan terhadap goncangan krisis. Krisis keuangan global tahun 2008, yang

48 Aleksius Jemadu, op. cit., hal. 146-147.49 Kusnanto Anggoro, ‘Strategi Pertahanan Kepulauan, Diplomasi Kelautan dan Kekuatan Matra Laut Indonesia’ Jurnal Diplomasi, Vol. 1 No.2 September 2009, hal. 74.

84

Page 30: 6. BAB III

bermula dari krisis finansial Amerika Serikat akibat kredit macet perumahan

rakyat telah membawa perekonomian global ke dalam resesi dan deflasi. Tidak

hanya negara maju, tetapi juga negara berkembang terkena dampak negatif krisis

perekonomian Amerika Serikat tersebut.

Krisis ekonomi global yang bermula pada 2008 tersebut oleh para analis

dipandang sangat berbeda dengan krisis-krisis ekonomi global yang pernah terjadi

sebelumnya. Pada krisis Asia 1997/1998, krisis ditandai tekanan terhadap

keseimbangan eksternal, yakni kewajiban utang luar negeri yang besar tidak dapat

diimbangi oleh ketersediaan cadangan devisa. Krisis 2008 terjadi karena

meletusnya gelembung ekonomi dan finansial (economic and financial bubbles)

di Amerika Serikat yang menyebabkan bursa efek mengalami kegoncangan

karena emiten (perusahaan yang menjual sahamnya di bursa) mengalami tekanan

jual (panic selling), menurunnya harga dan kinerja perusahaan yang berimplikasi

pada pelambatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran.50

Episentrum krisis ekonomi global tidak hanya berpusat di Amerika

Serikat, Uni Eropa menjadi episentrum lain bagi krisis ekonomi global yang

berdampak langsung terhadap melambatnya perekonomian sejumlah negara.

Gejolak finansial Uni Eropa yang berawal dari krisis utang di Yunani dalam

waktu yang relatif singkat semakin meluas dan menyeret negara-negara pemakai

euro – Irlandia, Portugal, Siprus, Spanyol – ke dalam jurang resesi. Krisis

keuangan yang terjadi di Zona Euro (Uni Eropa) merupakan kombinasi antara

krisis fiskal dan krisis perbankan serta rendahnya produktivitas dan daya saing

50 A. Tony Prasetianto, ‘Krisis Kali Ini Beda’, Kompas Online, 21 September 2012, <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/09/21/02163688/Krisis.Kali.Ini.Beda>, [diakses 5 Oktober 2012].

85

Page 31: 6. BAB III

perekonomian di beberapa negara anggota. Krisis fiskal tecermin dari tingginya

rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sehingga pemerintah tak

mampu melunasi utang tepat waktu.51

Kedalaman krisis keuangan Eropa yang menjadi krisis global

dikhawatirkan akan memberi dampak negatif yang besar terhadap perekonomian

Indonesia. Dalam jangka waktu yang lebih panjang (menengah panjang), krisis

global diperkirakan akan memberi dampak yang besar pada sektor riil terutama

perdagangan terkait perlambatan perekonomian dunia terutama pada negara-

negara maju. Krisis global tidak berpengaruh besar terhadap jalur perdagangan

langsung antara Indonesia dengan Eropa maupun dengan Amerika Serikat, namun

jalur perdagangan tidak langsung Indonesia dengan Eropa dan Amerika akan

terpengaruh melalui China. China yang merupakan importer terbesar barang

Indonesia diperkirakan akan mengurangi impornya disebabkan permintaan

negara-negara maju menurun terhadap barang China.52

Krisis ekonomi global tersebut sebenarnya merupakan dampak dari tidak

berimbangnya sistem arsitektur ekonomi dan keuangan internasional dalam hal

regulasi sektor keuangan yang kurang accountable.  Dalam kaitan ini, Indonesia

sangat berkepentingan dalam menjaga keseimbangan ekonomi global untuk

menyokong akselerasi pembangunan dan pemerataan ekonomi nasional.53 Pada

51 Anwar Nasution, ‘Krisis Eropa Masih Akan Lama’, Kompas Online, 17 Juli 2012, <http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/17/02234193/Krisis.Eropa.Masih.Akan.Lama>, [diakses 5 Oktober 2012].52 BAPPENAS, Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian Indonesia, (BAPPENAS: 2011), hal. iii.53 Firmanzah, “Indonesia dan Pemulihan Krisis Ekonomi Global”, Koran Tempo Online, 23 Juli 2012, <http://www.tempo.co/read/kolom/2012/07/23/620/Indonesia-dan-Pemulihan-Krisis-Ekonomi-Global>, [diakses 8 September 2012].

86

Page 32: 6. BAB III

saat yang sama, krisis ekonomi global ini menjadi momentum bagi Indonesia

untuk mengajukan tuntutan terhadap reformasi dan restrukturisasi tata kelola

ekonomi global, sehingga merepresentasikan keadilan bagi seluruh negara.

Presiden SBY tampaknya sangat menyadari tentang tata kelola perekonomian

dunia yang tidak adil tersebut. Hal ini terlihat jelas dari berbagai pidatonya yang

selalu memberikan penekanan terhadap masalah-masalah regulasi dan tata

perekonomian global, karena hal ini juga akan berdampak langsung pada masa

depan perekonomian nasional Indonesia.

Menurut SBY, permasalahan yang menjadi akar dan penyebab utama dari

ketidakamanan dan ketidakadilan dari tata kelola perekonomian global saat ini

mencakup tiga hal. Pertama, adanya ketimpangan mendasar (fundamental

imbalances). Ketimpangan antara negara maju dan negara terbelakang,

ketimpangan antara supply dengan demand, ketimpangan antara global

production dengan global comsuption, serta ketidakmerataan dalam hal

ketersediaan sumber daya alam, teknologi, dan modal finansial di antara negara-

negara dunia. Kedua, adanya bubble economy (ekonomi gelembung) dimana

ekonomi tidak mencerminkan kekuatan ekonomi yang riil tetapi lebih

diasumsikan pada permainan pasar modal atau spekulasi. Ketiga, rules,

governance, dan institusi yang tidak mencerminkan keadilan karena dalam

realitasnya hanya menguntungkan negara-negara pemilik modal dan perusahaan

multi nasional.54

54 Susilo Bambang Yudhoyono, “Ekonomi Indonesia Abad 21 Menjawab Tantangan Globalisasi”, Orasi Ilmiah Presiden Republik Indonesia pada acara Sidang Terbuka Dies Natalis ke-45 IPB, <http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=2&Itemid=26&limit=15&limitstart=435>, [diakses 6 April 2012].

87

Page 33: 6. BAB III

Indonesia merupakan negara yang menempati posisi ke-16 ekonomi

terbesar di dunia sekaligus anggota tetap G-20. Krisis ekonomi global yang turut

membawa dampak terhadap kinerja perekonomian nasional ini telah mengarahkan

politik luar negeri Indonesia untuk melakukan kolaborasi atau kerja sama

internasional dalam mengupayakan mencari solusi atas krisis global tersebut.

Secara khusus, G-20 memberikan peluang bagi Indonesia untuk turut menentukan

agenda ekonomi internasional, terutama dalam penanganan krisis global dan

melakukan perubahan arsitektur ekonomi dunia. Selain itu, G-20 memberi ruang bagi

Indonesia untuk mendorong agenda-agenda pembangunan nasional di tingkat

internasional. Prioritas-prioritas inilah yang tercerminkan dalam posisi yang

dikedepankan oleh Indonesia dalam G-20.55

Perekonomian Indonesia pada era tahun 1990-an, pernah disebut-sebut

sebagai salah satu macan Asia dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat

itu mencapai rata-rata tumbuh sekitar 7 persen per tahun. Namun pada

pertengahan tahun 1997 badai krisis ekonomi melanda Indonesia dan beberapa

negara dikawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Akibat dari badai krisis tersebut

secara makro pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merosot tajam

menjadi 4,9 persen bahkan sampai minus 17,13 persen pada triwulan III tahun

1998.56

55 Brasakura G. Sudjana, Peran Indonesia dalam Pergeseran Perekonomian Global, <http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/2012%5Ckajian%5Cpkppim%5CKajianG20%5CPeran%20Indonesia%20dalam%20pergeseran%20perekonomian%20global.pdf>, [diakses 17 November 2012].56 Kuncoro, Akankah Ekonomi Indonesia menjadi “Macan” Asia, <http://setkab.go.id/artikel-5642-akankah-ekonomi-indonesia-kembali-menjadi-macan-asia.html>, [diakses 30 September 2012].

88

Page 34: 6. BAB III

Secara perlahan perekonomian Indonesia mulai menunjukan perbaikan

dengan tumbuh mencapai 6,1 persen pada 2008. Pada tahun 2009, pertumbuhan

ekonomi Indonesia mengalami penurunan menjadi 4,5 persen akibat krisis

finansial global, namun angka ini menjadi pertumbuhan terbesar ketiga di Asia

setelah China dan India. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia

memperlihatkan pertumbuhan yang cukup tinggi, bagi sebagian besar kalangan

menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berkarakteristik pertumbuhan

eksklusif. Artinya, pertumbuhan yang dicapai tidak mengalami pemerataan karena

hanya dinikmati oleh golongan ekonomi atas.

Terdapat ketimpangan pendapatan per kapita dimana sebagian besar

penduduk Indonesia berpendapatan 1,25 - 2 dolar per hari mencapai 32,4 persen.

Distribusi kekayaan penduduk Indonesia juga tidak merata. Data Credit Suisse

Global Wealth Report (2010) menjelaskan bahwa sebagian besar kekayaan

penduduk Indonesia berada dalam kategori kurang dari USD 1,000-10,000

mencapai 53 persen sedangkan penduduk berpendapatan di bawah USD 1,000

masih relatif tinggi sekitar 24,70 persen. Sementara penduduk yang berpendapatan

antara USD 10,000-100,000 sekitar 20,30 persen. Pada bagian lain, hanya 2

persen saja penduduk Indonesia yang berpendapatan di atas USD 100,000 per

tahun.57

Pada saat bersamaan, ketimpangan pertumbuhan ekonomi antardaerah

memperlihatkan angka yang semakin besar. Secara spasial, data pertumbuhan

ekonomi pada triwulan pertama tahun 2011 menunjukkan: 57,5 persen PDB

57 Abdul Manap Pulungan, ‘Memacu Kinerja Ekonomi Indonesia: Tinjauan Sisi Permintaan’, Jurnal Sekretariat Negara RI, No. 19 Tahun 2011, hal. 150-151.

89

Page 35: 6. BAB III

berasal dari Pulau Jawa diikuti Pulau Sumatera sebesar 23,6 persen, Pulau

Kalimantan 9,8 persen, Pulau Sulawesi 4,5 persen, Bali dan Nusa Tenggara 2,4

persen. Sementara kontribusi terkecil berasal dari kelompok provinsi di Pulau

Maluku dan Papua, yakni sebesar 2,2 persen.58

Terlepas dari kondisi ketimpangan yang ada, Indonesia sebagai negara

yang tengah berkembang (emerging economy) dan merencanakan untuk menjadi

negara maju pada 2030 sangat membutuhkan pertumbuhan ekonomi untuk

merealisasikan hal tersebut. Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi yang

dibutuhkan (necessary condition) meskipun belum sufficient untuk meningkatkan

kesejahteraan serta mengurangi jumlah pengangguran – dengan kalkulasi setiap 1

persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap 300 ribu tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi yang Indonesia dibutuhkan tidak hanya pertumbuhan yang

tinggi tetapi juga pertumbuhan yang berkualitas. Maksud dari pertumbuhan yang

berkualitas adalah pertumbuhan yang berkesinambungan (sustainable) dalam arti

tidak rentan terhadap guncangan eksternal, efisien dalam menggunakan sumber

daya alam, dan terdistribusi secara baik bagi seluruh segmen masyarakat.59

Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi

Indonesia (MP3EI) menargetkan Indonesia sebagai negara maju pada 2025

dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara US $ 14.250 – US $ 15.500

dengan nilai total perekonomian nasional (PDB) berkisar antara US $ 4,0 – 4,5

triliun. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dibutuhkan pertumbuhan ekonomi riil

58 Jusman Dalle, “Kebangkitan Ekonomi Pasca Reformasi”, Jurnal Nasional, 4 Juni 2012, <http://www.jurnas.com/halaman/6/2012-06-04/211199>, [diakses 30 September 2012].59 Ari A. Perdana, Melihat ke depan Ekonomi Indonesia, <http://www.csis.or.id/Publications-OpinionsDetail.php?id=72>, [diakses 5 Oktober 2012].

90

Page 36: 6. BAB III

sebesar 6,4 - 7,5 pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada

periode 2015-2025.60 Dua komponen yang cukup penting menunjang

pertumbuhan ekonomi nasional seperti yang ditargetkan oleh pemerintah adalah

perdagangan dan investasi. Misalnya, untuk mencapai tingkat pertumbuhan

ekonomi sekitar 7 persen seperti yang ditargetkan oleh pemerintah pada 2014,

rata-rata setiap tahunnya Indonesia memerlukan investasi sebesar US$ 200 miliar.

Berkaitan dengan terjadinya krisis ekonomi global yang dipicu oleh krisis

ekonomi di Amerika Serikat pada September 2008, upaya untuk mempertahankan

bahkan menarik investasi asing untuk berusaha di Indonesia menjadi tantangan

yang berat. Dalam hal ini diplomasi ekonomi sangat dibutuhkan guna mendukung

sasaran pencapaian rencana pembangunan ekonomi nasional yang telah

ditetapkan. Signifikansi dari diplomasi ekonomi ini adalah untuk meningkatkan

pengaruh dan hubungan politik dengan beberapa tujuan. Tujuan tersebut antara

lain untuk mempromosikan perdagangan internasional dan investasi,

meningkatkan fungsi pasar, mengurangi biaya dan resiko dari transaksi

antarwilayah, mencapai standar internasional, serta yang paling utama adalah

mengonsolidasikan iklim politik secara tepat untuk menfasilitasi tujuan-tujuan

tersebut.61

60 Masterplan Perluasan dan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, hal. 2. <http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=6628&Itemid=29>, [diakses 1 Desember 2012].61 Adriana Elisabeth, ‘Globalisasi Ekonomi dan Politik Luar Negeri Indonesia’, dalam Ganewati Wuryandari (ed), op. cit., hal. 112-113.

91