ii. tinjauan pustaka 2.1. tinjauan teoritis 2.1.1. teori ... · dalam upaya mencapai tujuan dan...
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Teori Pembangunan Pertanian
Perencanaaan pembangunan pertanian di Indonesia bertujuan untuk
mencapai 4 (empat) target utama, yaitu (1) pencapaian swasembada dan
swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan
nilai tambah, daya saing, dan ekspor komoditi pertanian, serta (4) peningkatan
kesejahteraan petani. Salah satu target utama pembangunan pertanian adalah
peningkatan kesejahteraan petani yang tercermin dari meningkatnya pendapatan
petani, berkurangnya penduduk miskin, berkurangnya masyarakat kekurangan
pangan, dan turunnya ketimpangan pendapatan antar kelompok masyarakat
(Kementerian Pertanian, 2009).
Kementerian Pertanian (2009), mengemukakan persoalan mendasar yang
dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan di masa yang akan datang dalam upaya
mencapai tujuan pembangunan pertanian, yaitu : (1) dampak perubahan iklim
global terhadap penurunan produksi pertanian, (2) terbatasnya infrastruktur,
sarana prasarana, air, dan lahan pertanian, (3) lemahnya status dan kecilnya luas
penguasaan lahan serta tekanan degradasi dan alih fungsi lahan, (4) sistem
perbenihan dan perbibitan nasional belum berjalan optimal, (5) terbatasnya akses
petani terhadap sumber permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan
petani dan penyuluh, (7) masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi,
(8) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, (9) rendahnya Nilai
Tukar Petani (NTP), (10) tekanan globalisasi pasar dan liberalisasi perdagangan,
(11) kuantitas dan kualitas produk pertanian belum mendukung berkembangnya
13
agroindustri, (12) minat pemuda terhadap pertanian semakin menurun, (13) belum
padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian, (14) kebijakan
fiskal dan moneter belum mendukung berkembangnya usaha pertanian, dan (15)
kurangnya optimalnya kinerja dan pelayanan birokrasi pertanian.
Dalam upaya mencapai tujuan dan mengatasi permasalahan pembangunan
pertanian, pemerintah membuat prioritas dan arah kebijakan untuk mendukung
pembangunan pertanian di Indonesia yang dikembangkan oleh “Kementerian
Pertanian”. Dalam menjalankan tugasnya Kementerian Pertanian membuat suatu
strategi kebijakan yang disebut “Tujuh Gema Revitalisasi”, yaitu (1) revitalisasi
lahan, (2) revitalisasi perbenihan dan perbibitan, (3) revitalisasi infrastruktur dan
sarana, (4) revitalisasi sumber daya manusia, (5) revitalisasi pembiayaan
pertanian, (6) revitalisasi kelembagaan pertanian, dan (7) revitalisasi teknologi
dan industri hilir (Kementerian Pertanian, 2009).
A. T. Mosher atas dasar pengalamannya menggeluti masalah pertanian,
menyimpulkan bahwa ada 5 (lima) syarat pokok untuk membangun sektor
pertanian (Hanafie, 2010), yaitu (1) adanya pasar untuk hasil-hasil pertanian, (2)
teknologi yang senantiasa berubah lebih maju, (3) sarana produksi dan alat-alat
pertanian yang tersedia secara lokal, (4) insentif produksi untuk petani, dan (5)
tersedianya transportasi untuk mendistribusikan hasil-hasil pertanian.
Di samping kelima syarat mutlak tersebut, Mosher juga mengemukakan
syarat yang akan mempercepat dan memperlancar usaha pembangunan pertanian
(Hanafie, 2010), yaitu (1) pendidikan untuk pembangunan, (2) kredit produksi, (3)
kegiatan kelompok untuk petani, (4) penyempurnaan dan perluasan lahan
pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian.
14
2.1.2. Teori Kebijakan Pertanian
Kebijakan pertanian merupakan serangkaian tindakan yang telah, sedang,
dan akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam mendukung usaha pembangunan
pertanian. Mubyarto (1989) dalam buku karyanya “Pengantar Ekonomi Pertanian”
mengemukakan kebijakan pertanian yang lebih spesifik, meliputi (1) kebijakan
harga, (2) kebijakan pemasaran, dan (3) kebijakan struktural. Sementara, Hanafie
(2010) dalam buku karyanya “Pengantar Ekonomi Pertanian” mengemukakan
kebijakan pertanian, meliputi (1) kebijakan produksi, (2) kebijakan subsidi, (3)
kebijakan investasi, (4) kebijakan harga, (5) kebijakan pemasaran, dan (6)
kebijakan konsumsi.
2.1.2.1. Kebijakan Produksi
Pangan merupakan suatu komoditi yang menyangkut kesejahteraan dan
kelangsungan hidup suatu bangsa karena merupakan salah satu kebutuhan
manusia yang paling pokok. Melihat peranan pangan yang sangat penting,
pemerintah selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional, tidak
saja dari segi kuantitas tetapi juga dari segi kualitas. Oleh karena itu, diperlukan
suatu kebijakan guna mencegah terjadinya kerawanan pangan, yaitu dengan
peningkatan produksi untuk mencapai swasembada pangan.
Untuk menunjang keberhasilan program peningkatan produksi pangan,
pemerintah menetapkan serangkaian kebijakan, antara lain (1) kebijakan
perbenihan, (2) sarana produksi, pupuk, dan pestisida, (3) kebijakan perkreditan,
(4) kebijakan pengairan, (5) kebijakan diversifikasi usaha tani, (6) kebijakan
penyuluhan, (7) kebijakan harga input dan output, dan (8) kebijakan penanganan
pascapanen (Hanafie, 2010).
15
2.1.2.2. Kebijakan Subsidi
Kebijakan subsidi bertujuan untuk menjaga harga dalam negeri supaya
lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi atau harga
internasionalnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah membuat 2 (dua)
kebijakan (Hanafie, 2010), yaitu :
1. Subsidi harga produksi
Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dalam negeri, artinya
konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah
daripada biaya rata-rata pembuatan suatu komoditi atau harga
internasionalnya. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan subsidi
harga faktor produksi, sehingga biaya proses produksi sektor pertanian relatif
rendah yang akan berpengaruh pada harga jual produk pertanian yang
terjangkau oleh konsumen.
2. Subsidi harga faktor produksi
Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri dan
dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri. Kebijakan
ini dapat berupa subsidi pupuk, subsidi biaya angkut faktor produksi ke
daerah pelosok, dan perbedaan tingkat bunga bank dalam pengambilan kredit.
2.1.2.3. Kebijakan Investasi
Kebijakan investasi bertujuan untuk merangsang investasi, baik oleh
swasta nasional (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun swasta asing
(Penanaman Modal Asing). Sampai saat ini investasi pada sektor pertanian masih
relatif kecil, hal ini terutama disebabkan oleh faktor keuntungan yang dapat
diperoleh yang umumnya lebih kecil dibandingkan investasi di sektor industri dan
16
jasa. Untuk menarik minat investor, pemerintah memberikan berbagai fasilitas
kepada para investor yang menanamkan modalnya di sektor pertanian, seperti
pembebasan pajak impor untuk alat-alat dan mesin-mesin pertanian dan
pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu (Hanafie, 2010).
2.1.2.4. Kebijakan Harga
Kebijakan harga, bertujuan untuk menjaga stabilitas harga komoditi
pertanian sehingga pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi dari musim ke
musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian
suatu penyangga atas harga komoditi pertanian supaya tidak terlalu rendah pada
saat musim panen raya agar tidak terlalu merugikan petani atau langsung
memberikan subsidi tertentu secara langsung kepada petani. Secara umum
kebijakan harga bertujuan untuk mencapai (1) kontribusi terhadap anggaran
pemerintah, (2) pertumbuhan devisa negara, (3) mengurangi ketidakstabilan
harga, (4) memperbaiki distribusi pemasaran dan alokasi sumber daya alam, (5)
memberikan arah produksi, serta meningkatkan taraf swasembada pangan, dan (6)
meningkatkan pendapatan dan taraf kesejahteraan penduduk (Hanafie, 2010).
Penerapan dari kebijakan harga dapat berupa subsidi sarana produksi,
kondisi ini dapat terjadi karena harga sarana produksi pertanian masih relatif
mahal, misalnya subsidi pupuk, pestisida, dan lain-lain. Kebijakan lain berupa
peraturan pemerintah yang mengatur terkait harga dasar/harga lantai (floor price)
dan harga tertinggi/harga atap (ceiling price) pada komoditi pertanian. Harga
dasar bertujuan untuk menjaga agar harga pasar pada saat panen raya tidak terlalu
rendah dari yang seharusnya diterima oleh produsen dan diupayakan agar harga
pasar minimal sama dengan harga dasar sehingga tidak merugikan petani. Akan
17
tetapi dengan diberlakukannya kebijakan tersebut pemerintah harus membeli
kelebihan produksi (excess supply) yang dihasilkan petani (Soekartawi, 2002).
Sementara, harga atap diperlukan khususnya pada saat musim paceklik,
dimana pada saat itu persediaan produksi sangat terbatas. Dalam kondisi tersebut
biasanya harga akan cenderung tinggi, sehingga diperlukan kebijakan harga
maksimum untuk melindungi konsumen. Pemerintah harus menjual stock
(persediaan atau cadangan) komoditi pertanian yang menjadi tanggung jawabnya
dengan cara melakukan operasi pasar.
Keterangan :
P : Harga komoditi pertanian
Q : Jumlah komoditi pertanian
Qd : Kurva permintaan komoditi pertanian
QS : Kurva penawaran komoditi pertanian
E : Keseimbangan pasar (Qd = QS)
Pm : Harga keseimbangan pasar komoditi pertanian
Q0 : Jumlah keseimbangan pasar komoditi pertanian
Pf : Kebijakan harga dasar/harga minimum
Pc : Kebijakan harga atap/harga maksimum
Q1 : Jumlah permintaan pada saat musim panen raya dan paceklik
Q2 : Jumlah penawaran pada saat musim panen raya dan paceklik
Pf
E
Excess Supply
Pm
P Qd Qs
0 Q1 Q2 Q0
Q
Pc
E
Excess Demand
Pm
P Qd Qs
0 Q2 Q1 Q0
Q
Gambar 2.1. Permintaan dan Penawaran Komoditi Pertanian dengan
Penetapan Harga Oleh Pemerintah
a. Pada Saat Musim Panen Raya
b. Pada Saat Musim Paceklik
Sumber : Soekartawi, 2002
(a) (b)
18
2.1.2.5. Kebijakan Pemasaran
Kebijakan pemasaran bertujuan untuk mengatur distribusi barang
antardaerah dan antarwaktu sehingga di antara harga yang dibayarkan oleh
konsumen akhir dan harga yang diterima oleh produsen terdapat marjin
pemasaran dalam jumlah tertentu sehingga dapat merangsang proses produksi
pertanian dan proses pemasaran (Hanafie, 2010). Namun, pemerintah dihadapkan
ke dalam permasalahan klasik, yakni kurangnya gairah berproduksi pada tingkat
petani dan tidak adanya keinginan untuk menaikan tingkat produksi karena
persentase harga yang diterima oleh petani relatif rendah jika dibandingkan
dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.
Keterangan :
P : Harga komoditi pertanian
Q : Jumlah komoditi pertanian
QS : Kurva penawaran komoditi pertanian
Pp : Harga komoditi pertanian di tingkat petani
Ppr : Harga komoditi pertanian di tingkat pedagang perantara
Ppg : Harga komoditi pertanian di tingkat pengecer
Dp : Permintaan komoditi pertanian di tingkat petani
Dpr : Permintaan komoditi pertanian di tingkat pedagang perantara
Dpg : Permintaan komoditi pertanian di tingkat pengecer
Ppg
Ppr
P
Qd PG
Qs
0
Q
Qd PR
Qd p
Pp
Sumber : Soekartawi, 2002 Gambar 2.2. Kurva Derived Demand dan Keuntungan Pemasaran Komoditi
Pertanian
19
Untuk memperlancar pemasaran hasil-hasil pertanian pemerintah
menetapkan berbagai kebijakan, antara lain menetapkan rantai pemasaran yang
sependek mungkin, membentuk kantor pemasaran bersama, serta menunjuk
distributor dan pengecer tertentu untuk komoditi tertentu pula. Untuk
memperlancar aliran barang dari daerah surplus ke daerah defisit, pemerintah
memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) yang berbeda, HET di daerah defisit
lebih tinggi daripada HET di daerah surplus. Perbedaan HET tersebut bertujuan
untuk merangsang aktivitas perdagangan antar daerah (Hanafie, 2010).
2.1.2.6. Kebijakan Konsumsi
Kebijakan pangan tidak hanya menyangkut masalah produksi, tetapi juga
berkaitan erat dengan persoalan distribusinya secara agregat. Terpenuhinya
pangan secara kuantitas dan kualitas merupakan hal yang sangat penting sebagai
landasan pembangunan sumber daya manusia. Konsumsi masyarakat Indonesia
sebagian besar karbohidratnya di-supply dari beras. Untuk mengurangi
ketergantungan terhadap pangan beras, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk
memengaruhi pola konsumsi masyarakat berupa Inpres Nomor 20/1979 tentang
Perbaikan Menu Makanan Masyarakat yang berdimensikan permintaan terhadap
keanekaragaman pangan (Hanafie, 2010). Pengetahuan terhadap keanekaragaman
pangan merupakan hal penting berdasarkan beberapa alasan :
1) Pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap
kelestarian swasembada atau ketahanan pangan.
2) Diversifikasi konsumsi akan mengubah alokasi sumber daya ke arah yang
lebih efisien, fleksibel, dan stabil.
3) Keanekaragaman pangan juga penting dilihat dari segi nutrisi.
20
4) Pengetahuan tentang keanekaragaman pangan akan bermanfaat dalam
perumusan strategi pengembangan sistem pangan.
2.1.2.7. Kebijakan Struktural
Kebijakan struktural dalam pembangunan sektor pertanian bertujuan untuk
memperbaiki struktur produksi, misalnya luas pemilikan lahan, pengenalan
teknologi dan pengusahaan alat-alat pertanian baru, dan perbaikan prasarana
pertanian umumnya baik prasarana fisik maupun prasarana sosial ekonomi
pertanian. Kebijakan tersebut dapat berjalan dan terlaksana dengan baik jika ada
kerjasama yang erat antar lembaga-lembaga pemerintahan dikarenakan perubahan
struktural membutuhkan waktu yang lama (Mubyarto, 1989).
Keterangan :
TP0 : Total produksi komoditi pertanian sebelum ada perbaikan irigasi
TP1 : Total produksi komoditi pertanian setelah ada perbaikan irigasi
Qd : Kurva permintaan komoditi pertanian
QS0 : Kurva penawaran komoditi pertanian sebelum ada perbaikan jalan desa
QS1 : Kurva penawaran komoditi pertanian setelah ada perbaikan jalan desa
P0 : Harga komoditi pertanian sebelum ada perbaikan jalan desa
P1 : Harga komoditi pertanian setelah ada perbaikan jalan desa
Sumber : Soekartawi, 2002
(a)
Input
Produksi
TP1
TP0
0
(b)
0 Jumlah Barang
Qd QS0
QS1
Harga Jual
P1
P0
Gambar 2.3. Hubungan Kebijakan Struktural dan Kesejahteraan Petani
(a) Kenaikan Total Produksi (TP) Setelah Diadakan
Perbaikan Saluran Irigasi
(b) Kenaikan Harga Jual Komoditi Pertanian Setelah Ada
Perbaikan Fasilitas Jalan di Desa
21
Kebijakan di atas berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung,
tersedianya prasarana jalan di desa akan membawa pengaruh secara langsung,
dikarenakan semakin baik kondisi jalan akan meningkatkan harga jual produk
pertanian. Sementara pembangunan saluran irigasi berpengaruh secara tidak
langsung, dengan dibangunnya saluran irigasi akan meningkatkan produksi
pertanian, akan tetapi tidak menjamin menambah jumlah penerimaan yang
diterima oleh petani karena variabel harga sangat sulit dikendalikan oleh petani
selaku produsen yang disebabkan lemahnya posisi petani dalam proses pemasaran
sehingga besaran harga ditentukan oleh pembeli (Soekartawi, 2002).
2.1.3. Teori Supply-Demand
2.1.3.1. Teori Penawaran
Penawaran didefinisikan sebagai jumlah barang yang ditawarkan oleh
produsen pada berbagai tingkat harga selama satu periode tertentu. Teori
penawaran menyatakan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka produsen
akan berusaha meningkatkan jumlah penawarannya, begitu juga sebaliknya. Ada
beberapa faktor yang memengaruhi jumlah penawaran suatu barang “ceteris
paribus” (Lipsey dan Steiner, 1975), yaitu :
1. Tujuan perusahaan
Jika tujuan perusahaan ingin memaksimalkan keuntungan, maka perusahaan
tidak akan memanfaatkan kapasitas produksi perusahaan secara maksimal
akan tetapi menggunakannya pada tingkat produksi yang memberikan
keuntungan maksimal. Ketika tujuan suatu perusahaan memaksimalkan hasil
produksi, maka akan terjadi excess supply.
22
2. Keadaan atau perkembangan teknologi
Kemajuan teknologi dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan
produktivitas dan efisiensi perusahaan, meningkatkan kualitas barang dan
mampu menciptakan barang-barang baru. Kemajuan teknologi menimbulkan
efek terhadap produksi yang dapat ditambah lebih cepat dan biaya produksi
yang semakin rendah.
3. Harga komoditi barang tersebut
Semakin tinggi harga suatu barang, maka produsen akan berusaha
meningkatkan jumlah penawarannya, begitu juga sebaliknya semakin rendah
harga suatu barang, maka semakin sedikit jumlah barang tersebut ditawarkan
oleh produsen.
4. Harga komoditi barang lain
Jika harga barang lain berubah, penawaran barang tertentu mungkin
bertambah atau berkurang, tergantung jenis barang dan hubungannya satu
sama lain (barang pengganti, pelengkap, atau barang lepas).
5. Biaya faktor-faktor input produksi
Harga faktor produksi akan menentukan biaya produksi, jika harga faktor
produksi mengalami penurunan, maka perusahaan akan memproduksi output
barang lebih banyak, sedangkan jika harga faktor produksi mengalami
peningkatan akan membuat biaya produksi semakin meningkat, sehingga
perusahaan akan memproduksi output barang lebih sedikit dengan jumlah
anggaran yang tetap sehingga akan menurunkan keuntungan perusahaan.
Perusahaan akan bertindak efisien atau pindah ke industri lain, tindakan
tersebut dapat memengaruhi jumlah penawaran suatu barang.
23
Secara matematis, fungsi penawaran dapat dirumuskan sebagai berikut :
QS = f (P1, P2, B, t) ........................................(2.1)
Keterangan :
QS : Jumlah barang yang ditawarkan
P1 : Harga barang yang ditawarkan
P2 : Harga barang lain (barang substitusi/komplementer)
B : Budget/modal/anggaran perusahaan
t : Teknologi
2.1.3.2. Teori Permintaan
Permintaan adalah jumlah permintaan total suatu barang dan jasa dari
semua rumah tangga pada tingkat harga dan periode waktu tertentu. Teori
permintaan menerangkan bahwa semakin tinggi harga suatu barang, maka
konsumen akan cenderung menurunkan jumlah permintaannya, begitu juga
sebaliknya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi jumlah permintaan suatu
barang “ceteris paribus” (Lipsey dan Steiner, 1975), yaitu :
1. Selera atau preferensi dari anggota masyarakat
Selera atau preferensi masyarakat mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap keinginan masyarakat untuk membeli suatu barang atau jasa.
Semakin tinggi preferensi atau selera masyarakat terhadap suatu barang, akan
membuat permintaan barang tersebut meningkat.
2. Tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga
Pendapatan masyarakat selaku konsumen merupakan faktor yang sangat
penting di dalam menentukan permintaan suatu barang, dimana jenis barang
24
digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) barang normal, yaitu barang yang akan
mengalami peningkatan permintaan apabila terjadi peningkatan pendapatan
konsumen, (2) barang inferior, yaitu barang yang permintaannya akan
mengalami penurunan apabila terjadi peningkatan pendapatan konsumen, dan
(3) barang giffen, yaitu barang inferior yang memiliki efek pendapatan negatif
yang lebih besar dibandingkan efek substitusinya, penurunan harga justru
menyebabkan konsumen mengurangi pembelian produk tersebut.
3. Jumlah total populasi
Semakin tinggi jumlah populasi, maka semakin tinggi pula jumlah barang
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan semua individu populasi.
4. Distribusi pendapatan antar rumah tangga
Semakin merata distribusi pendapatan antar rumah tangga, maka semakin
merata kemampuan daya beli masyarakat dalam membeli suatu barang,
sehingga membuat permintaan akan suatu barang meningkat.
5. Harga komoditi barang lain
Jika harga barang lain berubah, permintaan barang tertentu mungkin
bertambah atau berkurang, tergantung jenis barang dan hubungannya satu
sama lain (barang pengganti, pelengkap, atau barang lepas).
6. Harga komoditi barang tersebut
Semakin tinggi harga suatu barang, maka konsumen akan cenderung
menurunkan jumlah permintaannya, begitu juga sebaliknya semakin rendah
harga suatu barang maka semakin banyak jumlah permintaan barang tersebut.
Sehingga perubahan harga pada komoditi itu sendiri mampu menaikan dan
menurunkan jumlah permintaan komoditi tersebut.
25
Secara matematis, fungsi permintaan dapat dirumuskan sebagai berikut :
Qd = f (P1, P2, I, C) ........................................(2.2)
Keterangan :
Qd : Jumlah permintaan barang
P1 : Harga barang yang diminta
P2 : Harga barang lain (barang substitusi/komplementer)
I : Pendapatan (Income)/anggaran rumah tangga
C : Selera/preferensi masyarakat
2.1.3.3. Keseimbangan Pasar
Keseimbangan pasar (equilibrium market) terjadi ketika jumlah
permintaan sama dengan jumlah penawaran suatu barang. Secara matematis dan
grafis dapat ditunjukan oleh persamaan Qd = Qs, yakni pada perpotongan antara
kurva permintaan (Demand Curve) dengan kurva penawaran (Supply Curve). Pada
keadaan equilibrium market akan tercipta harga keseimbangan (Equilibrium
Price) dan kuantitas keseimbangan (Equilibrium Quantity).
Tindakan penjual dan pembeli biasanya bergerak ke arah keseimbangan
pasar. Pada saat harga pasar berada di atas harga keseimbangan (Pa), kuantitas
barang yang ditawarkan melebihi kuantitas barang yang diminta (excess supply).
Pada kondisi tersebut, penjual akan bereaksi terhadap kelebihan penawaran
dengan menurunkan harga, sehingga harga terus turun sampai kembali ke posisi
harga keseimbangan (Pe). Sedangkan, ketika harga pasar dibawah harga
keseimbangan (Pb), kuantitas barang yang diminta melebihi kuantitas barang yang
diminta (excess demand). Pada kondisi tersebut, penjual akan bereaksi terhadap
26
kelebihan permintaan dengan menaikan harga tanpa kehilangan penjualan,
sehingga harga terus naik sampai kembali ke posisi harga keseimbangan (Pe)
(Hanafie, 2010).
Keterangan :
P : Harga barang
Q : Jumlah/kuantitas barang
: Kurva permintaan
: Kurva penawaran
E ( = ) : Keseimbangan pasar
: Harga keseimbangan pasar
Pa : Harga pasar > Harga keseimbangan pasar
Pb : Harga pasar < Harga keseimbangan pasar
: Jumlah barang keseimbangan pasar
2.1.4. Teori Produksi, Biaya dan Maksimisasi Laba
2.1.4.1. Teori Produksi
Kegiatan utama sebuah perusahaan adalah mengubah masukan (input)
menjadi keluaran (output), dimana fungsi produksi memperlihatkan jumlah
maksimum suatu barang yang dapat diproduksi dengan menggunakan kombinasi
alternatif antara modal (K) dan tenaga kerja (L). Fungsi produksi diformulasikan
ke dalam bentuk persamaan fungsi Cobb-Douglas (Nicholson, 2002), yaitu :
Sumber : Hanafie, 2010
Gambar 2.4. Supply – Demand Curve (Equilibrium Market)
Q
P
Qs
Pe
Qe
E E (Qd = Qs)
0
Qd
Pb
Pa
Excess Supply
Excess Demand
27
Q = f (K, L, M) ................................................(2.3)
Persamaan di atas menunjukan kemungkinan variabel-variabel lain dapat
mempengaruhi proses produksi, dimana :
Q : Keluaran perusahaan untuk suatu barang tertentu selama satu periode
K : Penggunaan mesin/modal (stok modal)
L : Jumlah/jam masukan tenaga kerja
M : Jumlah penggunaan faktor produksi/bahan mentah lainnya
Pada Gambar 2.5 terlihat bahwa pada tahap pertama, penambahan faktor
produksi dapat menambah produksi suatu barang menjadi lebih banyak, yaitu
sampai titik HPM maksimum. Penambahan faktor produksi berikutnya, akan
membuat pertambahan produksi barang tersebut mulai menurun hingga HPM
mencapai 0 (nol) pada HPT maksimum. Ketika HPM = 0 dimana HPT mencapai
Gambar 2.5. Tahapan Produksi Berhubungan dengan Hukum Hasil yang
Makin Berkurang
Sumber : Hanafie, 2010
Kenaikan hasil
bertambah
HPM
HPR
Faktor Produksi
Hasil Produksi
Kenaikan
hasil berkurang
Kenaikan hasil negatif
Hasil Produksi
EP > 1
1 > EP > 0 A
B
C
EP < 0
Faktor Produksi
HPT
28
titik maksimum, maka penambahan faktor produksi berikutnya akan
mengakibatkan HPM menjadi negatif dan produksi akan terus menurun.
2.1.4.2. Teori Biaya
Selama proses produksi, perusahaan akan mengeluarkan biaya untuk
memproduksi barang dalam suatu periode tertentu yang disebut dengan biaya
ekonomi/biaya produksi. Biaya ekonomi merupakan semua pengeluaran yang
diperlukan untuk mempertahankan/mendapatkan masukan berupa input produksi
yang dibutuhkan oleh perusahaan. Secara matematis biaya total dari proses
produksi suatu perusahaan dapat dituliskan sebagai berikut (Nicholson, 2002) :
TC = FC + VC ............................................(2.4)
TC = FC + wL + vK ...................................(2.5)
dimana :
TC : Total Cost
FC : Fixed Cost
VC : Variable Cost
wL : Upah tenaga kerja
vK : Biaya input produksi
2.1.4.3. Teori Maksimisasi Laba dan Keuntungan Perusahaan
Suatu perusahaan melakukan proses produksi untuk mencari keuntungan
dengan cara menjual output hasil produksi ke pasar dengan harga tertentu. Dengan
asumsi bahwa perusahaan hanya memproduksi satu keluaran, maka pendapatan
total perusahaan ditetapkan melalui hasil penjualan produk, dimana harga produk
29
tersebut (P) dikalikan dengan keluaran total perusahaan [Q = f(K, L) dimana f(K,
L) merupakan fungsi produksi perusahaan tersebut]. Secara matematis persamaan
pendapatan total perusahaan dapat dituliskan sebagai berikut :
TR = P x Q ...................................................(2.6)
dimana :
TR : Total Revenue
P : Harga produk/barang
Q : Jumlah total keluaran perusahaan (Kuantitas barang)
Dengan demikian laba ekonomi/keuntungan yang diperoleh oleh suatu
perusahaan merupakan selisih dari pendapatan total (TR) dengan biaya total dari
proses produksi (TC). Sehingga laba ekonomi dari proses produksi suatu
perusahaan secara matematis dapat dituliskan ke dalam bentuk persamaan sebagai
berikut (Nicholson, 2002) :
π = Pendapatan Total (TR) – Biaya Total (TC) ........(2.7)
= Pq – wL – vK
= P f(K, L) – wL – vK
2.1.5. Nilai Tukar Petani (NTP)
Hasil pembangunan pertanian, selain dilihat dari data pertumbuhan
ekonomi sektor pertanian, juga diperlukan data pengukuran terhadap tingkat
kesejahteraan petani. Salah satu indikator tingkat kesejahteraan petani adalah
Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan rasio dari indeks harga yang diterima
petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib). Secara konsep, NTP
digunakan untuk mengukur kemampuan nilai tukar produk pertanian terhadap
30
produk barang dan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi
rumah tangga dan untuk keperluan memproduksi produk pertanian tersebut.
Petani berperan ganda, yaitu sebagai konsumen dan produsen. Kapasitas
petani sebagai produsen, NTP dihitung terhadap biaya produksi dan penambahan
barang modal, sedangkan kapasitas petani sebagai konsumen, NTP dihitung
terhadap biaya konsumsi rumah tangga. Jika NTP diatas angka 100, hal ini
menunjukan It > Ib, sehingga dapat dikatakan petani lebih sejahtera jika
dibandingkan NTP di bawah angka 100 (Badan Pusat Statistik, 2011).
Sejak tahun 2008, Badan Pusat Statistik menyusun NTP dengan
menggunakan tahun dasar NTP 2007 = 100, meliputi Sub sektor Tanaman
Pangan, Tanaman Hortikultura, Tanaman Perkebunan Rakyat, Peternakan, dan
Perikanan. Data dikumpulkan melalui survei harga produsen sektor pertanian dan
survei harga konsumen perdesaan di 32 provinsi di Indonesia.
2.1.5.1. Arti Angka NTP
Ada 3 (tiga) pengertian angka NTP, yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) :
1. NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih
besar dari kenaikan harga konsumsinya. Pendapatan petani naik lebih besar
dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik
dibandingkan tingkat kesejahteraan petani sebelumnya.
2. NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even. Kenaikan/penurunan
harga produksinya sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga barang
konsumsinya. Tingkat kesejahteraaan petani tidak mengalami perubahan.
3. NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga barang
produksinya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga
31
barang konsumsinya. Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode
mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode sebelumnya.
2.1.5.2. Kegunaan dan Manfaat NTP
Adapun kegunaan dari NTP, yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) :
1. Dari indeks harga yang diterima petani (It) dapat dilihat fluktuasi harga
barang-barang yang dihasilkan oleh petani. Indeks ini juga digunakan sebagai
data penunjang dalam penghitungan pendapatan sektor pertanian.
2. Dari kelompok konsumsi rumah tangga dalam indeks harga yang dibayar
petani (Ib), dapat dilihat fluktuasi harga barang-barang yang dikonsumsi oleh
petani yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat di pedesaan.
3. Nilai tukar petani mempunyai kegunaan untuk mengukur kemampuan tukar
produk yang dijual petani dengan produk yang dibutuhkan petani dalam
memproduksi. Hal ini terlihat bila dibandingkan kemampuan nilai tukarnya
pada tahun dasar. Dengan demikian, NTP dapat dipakai sebagai salah satu
indikator dalam menilai tingkat kesejahteraan petani.
2.1.5.3. Cakupan Komoditas NTP
Adapun cakupan komoditas yang digunakan dalam perhitungan NTP,
yaitu (Badan Pusat Statistik, 2011) :
1. Subsektor tanaman bahan makanan (TBM) seperti padi dan palawija.
2. Subsektor hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias, dan
tanaman obat-obatan.
3. Subsektor tanaman perkebunan rakyat (TPR) seperti kelapa, kopi robusta,
cengkeh, tembakau, dan kapuk odolan.
32
4. Subsektor peternakan seperti ternak besar (sapi, kerbau), ternak kecil
(kambing, domba, babi, dan lain-lain), unggas (ayam, itik, dan lain-lain), dan
hasil-hasil ternak (susu sapi, telur, dan lain-lain).
5. Subsektor perikanan baik perikanan laut maupun perikanan darat.
2.1.5.4. Konsep dan Definisi di dalam NTP
Berbagai konsep dan definisi yang dipergunakan dalam penghitungan NTP
antara lain (Badan Pusat Statistik, 2011) :
1. Petani adalah orang yang mengusahakan/mengelola usaha pertanian atas
resiko sendiri dengan tujuan untuk dijual, baik sebagai petani pemilik
maupun petani penggarap (sewa/kontrak/bagi hasil). Orang yang bekerja di
sawah atau ladang orang lain dengan mengharapkan upah (buruh tani) bukan
termasuk petani.
2. Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan antara indeks harga yang
diterima petani (It) dengan indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang
dinyatakan dalam persentase (%). Secara konsep NTP menyatakan tingkat
kemampuan tukar barang-barang yang dihasilkan petani di pedesaan terhadap
barang atau jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan
keperluan dalam proses produksi pertanian.
3. Indeks Harga yang Diterima Petani (It) adalah rata-rata harga produsen
dari hasil produksi petani sebelum ditambahkan biaya transportasi atau
pengangkutan dan biaya pengepakan ke dalam harga penjualannya atau
disebut Farm Gate harga di sawah atau ladang setelah pemetikan. Pengertian
harga rata-rata adalah harga yang bila dikalikan dengan volume penjualan
petani akan mencerminkan total uang yang diterima petani. Data harga
33
tersebut dikumpulkan melalui hasil wawancara langsung dengan petani
produsen.
4. Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) adalah rata-rata harga eceran
barang atau jasa yang dikonsumsi atau dibeli petani, baik untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi rumah tangganya sendiri maupun untuk keperluan
proses produksi pertanian. Data harga barang untuk keperluan produksi
pertanian dikumpulkan melalui hasil wawancara langsung dengan petani,
sedangkan harga barang atau jasa untuk keperluan konsumsi rumah tangga
dicatat dari hasil wawancara langsung dengan pedagang atau penjual jasa di
pasar terpilih.
Formula yang digunakan pada penghitungan indeks harga yang diterima
petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib) adalah formula Indeks
Laspeyres yang dikembangkan (Modified Laspeyres Indeces), yaitu :
In =
x 100 ..............................(2.8)
Keterangan :
In : Indeks harga bulan ke-n (It dan Ib)
Pni : Harga bulan ke-n untuk jenis barang ke-i
P(n-1)i : Harga bulan ke-(n-1) untuk jenis barang ke-i
Pni/P(n-1)i : Relatif harga bulan ke-n dibandingkan bulan ke (n-1) untuk jenis
barang ke-i
Poi : Harga pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i
Qoi : Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke-i
m : Banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket komoditas
34
Pertimbangan yang mendasari digunakannya formula tersebut, yaitu :
1. Tren harga tidak dipengaruhi oleh perbedaan kuantitas atau spesifikasi
komoditas.
2. Pebedaan harga komoditas antar kabupaten tidak berpengaruh.
3. Dapat dilakukan penggantian spesifikasi atau penggantian jenis komoditas.
Formula yang digunakan dalam perhitungan besaran Nilai Tukar Petani
(NTP) yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), yaitu :
NTP =
.....................................(2.9)
Keterangan :
NTP : Nilai Tukar Petani
It : Indeks harga yang diterima petani
Ib : Indeks harga yang dibayar petani
2.2. Tinjauan Empirik
Rachmat (2000), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Nilai Tukar
Petani Indonesia” pada tahun 1987-1996 dengan menggunakan data sekunder di
14 provinsi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa NTP dapat dipakai sebagai salah
satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani melalui pendekatan
dekomposisi unsur pembentuknya dan dapat dilakukan perbandingan relatif
tingkat kesejahteraan petani antar provinsi sebagai salah satu parameter makro
pembangunan pertanian. Selain itu, daerah dengan pangsa komoditi padi tinggi
menghasilkan NTP relatif konstan, daerah dengan pangsa perkebunan dominan
NTP cenderung menurun, dan daerah dengan pangsa konsumsi makanan tinggi
menghasilkan NTP yang cenderung lebih rendah.
35
Indraningsih, Supriyati, dan Rachmat (2000) dalam penelitiannya
mengenai “Analisis Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Bawang
Merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang memengaruhi nilai tukar penerimaan berupa (1) faktor internal,
yaitu tingkat penerapan teknologi budidaya bawang merah, penggunaan sarana
produksi, tingkat produktivitas, dan posisi tawar yang lemah, serta (2) faktor
eksternal, yaitu sistem pasar yang sangat menetukan harga jual bawang merah.
Selain itu, nilai tukar barter terhadap pupuk urea dan beras relatif lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai tukar barter terhadap upah, makanan, dan non
makanan. Perkembangan harga bawang merah dipengaruhi oleh perkembangan
tingkat inflasi, sehingga harga riil yang diterima petani cenderung meningkat.
Hendayana (2001) dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor
yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani” pada tahun 1987-1994. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa NTP dipengaruhi langsung oleh produktivitas, harga gabah,
harga barang konsumsi, dan harga pupuk. Produktivitas dan harga gabah
berhubungan secara positif, sedangkan harga pupuk dan harga barang konsumsi
berhubungan secara negatif. Dengan menggunakan regresi model double-
logaritma dapat dilihat bahwa peningkatan NTP berhubungan positif terhadap
peningkatan pendapatan petani.
Samsodin (2003) dalam Rizal (2010), dalam penelitiannya mengenai
“Analisis Sektor-sektor yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Kalimantan
Barat Tahun 1998-2003” dengan menggunakan alat analisis Uji Beda Rata-rata
Dua Populasi dan Regresi Berganda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
subsektor yang menyebabkan NTP Provinsi Kalimantan Barat lebih rendah jika
36
dibandingkan dengan NTP Provinsi Kalimantan Timur adalah perbedaan sumber
daya pada subsektor tanaman pangan, subsektor tanaman perkebunan rakyat, dan
pola konsumsi masyarakat.
Soeharto (2007), dalam penelitiannya mengenai “Pengaruh Kenaikan
Harga Beras Terhadap Nilai Tukar Petani di Kecamatan Pandak Kabupaten
Bantul” pada tahun 2006-2007 dengan menggunakan alat analisis perhitungan
regresi linear berganda. Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan
penentuan lokasi secara purposive dan snawball sampling. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa jumlah produksi dan harga beras berhubungan positif
terhadap pembentukan NTP, sedangkan biaya produksi berhubungan negatif
terhadap pembentukan NTP.
Rizal (2010), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor yang
Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Kawasan Timur Indonesia” pada tahun 2008-
2009 dengan menggunakan alat analisis model regresi panel data. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa jam kerja, produktivitas, harga pupuk, dan luas layanan
irigasi berhubungan negatif terhadap pembentukan NTP, sedangkan harga gabah
berhubungan positif terhadap pembentukan NTP.
Sinuhaji (2011), dalam penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor
yang Memengaruhi Nilai Tukar Petani di Desa Sei Mencirim, Kec. Sunggal, Kab.
Deli Serdang, Prov. Sumatera Utara” pada tahun 2004-2008 dengan menggunakan
model peduga regresi linear berganda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
produktivitas, luas lahan, haga gabah, dan harga pupuk berpengaruh nyata
terhadap pembentukan NTP, kecuali variabel biaya tenaga kerja yang tidak
memenuhi persyaratan penerimaan hipotesis.
37
2.3. Kerangka Pemikiran
Kebijakan pembagunan pertanian menjadi bahasan yang sangat strategis
dikaitkan dengan konteks pembangunan nasional. Indonesia sebagai negara
agraris yang mayoritas penduduknya menjadikan sektor pertanian sebagai
tumpuan mata pencaharian, sehingga pembangunan ekonomi di Indonesia tidak
akan terlepas dari pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam usaha menciptakan dan menjaga ketahanan pangan serta
peningkatan kesejahteraan petani (Depatemen Pertanian, 2009), antara lain :
1. Perbaikan kapasitas produksi
a. Program intensifikasi
b. Perbaikan sistem pascapanen
c. Peningkatan teknologi
i. Bioteknologi
ii. Teknologi persiapan lahan
iii. Teknologi pascapanen
2. Pembagunan infrastruktur pertanian
a. Jaringan irigasi
b. Jalan desa
3. Insentif bagi produsen
a. Kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG)
b. Subsidi input pertanian
i. Benih
ii. Pupuk dan Pestisida
iii. Permodalan
38
4. Kelembagaan dan organisasi
a. Bimbingan massal (Bimas)
b. Pengembangan sistem iptek
i. Penelitian dan pengembagan
ii. Benih/pemuliaan
iii. Sistem penyuluhan
c. Keterlibatan vertikal pada pemerintah
Terkait hal di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan NTP tanaman pangan khususnya di Kawasan Barat Indonesia,
sehingga dapat diketahui dampak dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
terhadap kesejahteraan petani. Pengkajian NTP dapat dilakukan dengan cara
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi indeks harga yang diterima petani
(It) dan faktor-faktor yang memengaruhi indeks harga yang dibayar petani (Ib).
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, digunakan varibael luas lahan
sawah menurut jenis pengairannya (lahan sawah irigasi dan non-irigasi),
produktivitas padi, harga gabah GKP di tingkat petani, harga pupuk urea, rata-rata
jam kerja pekerja sektor pertanian seminggu yang lalu, posisi kredit bank umum
sektor pertanian, panjang jalan, luas layanan daerah irigasi, dan tinggi curah hujan
tahunan.
Dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat diperoleh rekomendasi
kebijakan yang dapat meningkatkan NTP melalui kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui indikator nilai
tukar petani. Untuk mempermudah penelitian ini maka dibuat alur kerangka
pemikiran yang divisualisasikan pada Gambar 2.6.
39
2.4. Definisi Peubah Operasional
Definisi variabel yang digunakan dalam penelitian, yaitu sebagai berikut :
1. Lahan Sawah
Lahan sawah adalah lahan basah buatan atau lahan pertanian yang
berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk menanam padi
dan diairi dengan pengairan teknis, tadah hujan, atau pasang surut. Berdasarkan
Keterangan : ( ) Alur Penelitian
Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran
UU No.25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional
UU No.17 Tahun 2007 RPJPN 2005-2025
Perpres No.7 Tahun 2005 RPJMN 2004-2009
Perpres No.5 Tahun 2010 RPJMN 2010-2014
“Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan
Rakyat Indonesia”
“Penanggulangan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan”
Revitalisasi Sektor Pertanian di Indonesia
Kawasan Timur Indonesia Kawasan Barat Indonesia
Subsektor Tanaman Pangan
Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP)
Faktor-Faktor yang Memengaruhi NTPP :
1. Indeks Harga yang Diterima Petani (It)
2. Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib)
-Konsumsi Rumah Tangga
-BPPBM
Analisis
Panel Data
Analisis
Deskriptif
Saran dan Implikasi Kebijakan Pembangunan
Pertanian di Kawasan Barat Indonesia
40
sumber pengairan dan pengelolaannya, lahan sawah dibedakan menjadi dua
kelompok (Puspita, Ratnawati, Nyoman, Suryadiputra, Meutia, 2005), yaitu :
a. Sawah berpengairan irigasi, yaitu sawah yang memperoleh sumber air dari
sistem irigasi, baik yang dikelola oleh pihak pemerintah maupun yang
dikelola sendiri oleh masyarakat.
1) Sawah berpengairan teknis, yaitu sawah yang jaringan irigasinya
memungkinkan untuk mengatur dan mengukur debit air. Penggunaan
jaringan ini sepenuhnya diatur pemerintah, dan pengairannya mengalir
secara terus menerus sepanjang tahun, sehingga keberadaan sawah tidak
tergantung pada musim dan dalam satu tahun dapat ditanami padi
sebanyak dua hingga tiga kali.
2) Sawah berpengairan setengah teknis, yaitu sawah yang jaringan irigasinya
memungkinkan untuk mengatur debit air tetapi tidak dapat mengukur debit
air. Pengelolaan jaringan ini tidak seluruhnya diatur oleh pemerintah.
3) Sawah berpengairan non-teknis/sederhana, yaitu sawah yang jaringan
irigasinya tidak memungkinkan untuk mengatur dan mengukur debit air,
sehingga sistem pengairannya tidak teratur.
b. Sawah berpengairan non-irigasi, yaitu sawah yang pengairannya tidak berasal
dari jaringan irigasi, sehingga sistem pengairannya tidak teratur.
1) Sawah pasang surut di daerah pesisir, yaitu sawah yang keberadaanya
sangat tergantung pada kondisi pasang surut air (air laut maupun tawar).
2) Sawah lebak, yaitu sawah yang terbentuk di daerah dataran banjir (lebak).
3) Sawah tadah hujan, yaitu sawah yang mendapatkan sumber air dari curah
hujan.
41
4) Sawah lainnya, yaitu polder (sawah yang terdapat di delta sungai) dan
rawa-rawa/rembesan lainya yang ditanami padi.
Di dalam penelitian ini jenis lahan sawah yang digunakan adalah lahan
sawah irigasi (Ha) dan lahan sawah non-irigasi (Ha).
2. Produktivitas
Produktivitas adalah rasio antara hasil produksi per luas lahan.
Pengumpulan data produktivitas dilakukan secara sampel melalui survei ubinan
dengan pendekatan rumah tangga dengan menggunakan metode pengukuran
langsung pada plot ubinan yang berukuran 2½ m x 2½ m pada saat waktu panen.
Periode pengumpulan data dilakukan setiap subround (caturwulan) oleh petugas
lapangan. Di dalam penelitian ini produktivitas yang digunakan adalah
produktivitas padi tahunan (Ku/Ha) (Badan Pusat Statistik, 2011).
3. Harga Gabah
Gabah adalah bulir buah hasil tanaman padi yang telah dilepaskan dari
tangkainya dengan cara dirontokan. Harga gabah menurut tingkatan transaksi,
dikelompokan ke dalam 3 (tiga) kategori (Badan Pusat Statistik, 2011), yaitu :
a. Harga gabah di tingkat petani adalah harga yang disepakati pada waktu
terjadinya transaksi antara petani dengan pedagang pengumpul/tengkulak/
pihak penggilingan yang ditemukan pada hari dilaksanakannya observasi
dengan kualitas apa adanya, sebelum dikenakan ongkos angkut pasca panen.
b. Harga di tingkat penggilingan adalah harga ditingkat petani ditambah dengan
besarnya biaya ke penggilingan terdekat. Biaya ke penggilingan adalah
keseluruhan biaya pasca panen siap jual dari tempat transaksi di tingkat petani
42
ke lokasi unit penggilingan terdekat. Besarnya biaya ke penggilingan adalah
penjumlahan dari ongkos angkut (termasuk biaya bongkar/muat dan sewa
kendaraan) ditambah ongkos lainnya (retribusi, konsumsi, dan lain-lain).
c. Harga pembelian pemerintah (HPP) adalah harga minimal yang harus
dibayarkan pihak penggilingan kepada petani sesuai kualitas gabah
sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah. Penetapan harga dilakukan
secara kolektif antara Departemen Pertanian, Menko Bidang Perekonomian,
dan Bulog.
Harga gabah menurut kualitas dan komponen mutu, dikelompokan ke
dalam beberapa kategori, yaitu :
a. Gabah Kering Giling (GKG) adalah gabah yang mengandung kadar air
maksimum 14,0% dan hampa atau kotoran maksimum 3,0%.
b. Gabah Kering Panen (GKP) adalah gabah yang mengandung kadar air
maksimum sebesar 25,0% dan hampa atau kotoran maksimum 10,0%.
c. Gabah Kualitas Rendah adalah gabah yang tidak masuk ke dalam kategori
Gabah Kering Giling (GKG) maupun Gabah Kering Panen (GKP).
Sementara yang dimaksud hampa dan kotoran yang terdapat dalam gabah
adalah :
a. Kadar Air (KA) adalah jumlah kandungan air dalam butir gabah yang
dinyatakan dalam persentase dari berat basah.
b. Kadar Hampa/Kotor adalah jumlah kandungan butir hampa dan kotoran
dalam butir gabah yang dinyatakan dalam persentase.
c. Butir Hampa adalah butir gabah yang tidak berkembang secara sempurna
akibat serangan hama, penyakit, atau sebab lain sehingga tidak terisi butir
43
beras meskipun keduanya tungkup sekamnya tertutup ataupun terbuka. Butir
gabah setengah hampa tergolong dalam butir hampa.
d. Kotoran adalah segala benda asing yang tidak tergolong bagian dari gabah,
misalnya debu, butiran tanah, butiran pasir, batu kerikil, potongan kayu,
potongan logam, tangkai padi, biji-bijian lain, bangkai serangga, dan lain
sebagainya. Termasuk dalam kategori kotoran adalah butiran gabah yang
telah terkelupas (beras pecah kulit) dan gabah patah.
Di dalam penelitian ini harga gabah yang digunakan adalah Harga Gabah
Kering Panen (GKP) di tingkat petani, dikarenakan data tersebut tersedia dengan
lengkap untuk semua provinsi.
4. Harga Pupuk
Pupuk adalah suatu bahan atau zat yang ditambahkan kedalam media
tanam untuk mengubah sifat fisik, kimia, atau biologi tanah sehingga menjadi
lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Harga pupuk ditentukan melalui Harga
Eceran Tertinggi (HET) di kios penyalur pupuk (tingkat desa/kecamatan) yang
dibeli oleh petani yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Penggolongan pupuk
berdasarkan sumber bahan digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu pupuk
organik dan pupuk anorganik.
Di dalam penelitian ini harga pupuk yang digunakan adalah harga rata-rata
pupuk urea. Karena keterbatasan data, data harga pupuk tahun 2009 dan 2010
untuk beberapa provinsi diestimasi dari harga pupuk tahun 2008 dan Harga
Eceran Tertinggi (HET) pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/
OT.140/09/2008, Nomor 50/Permentan/SR.130/11/2009, dan Nomor 32/
Permentan/SR.130/4/2010 tentang kebutuhan dan penetapan Harga Eceran
44
Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian dengan tingkat inflasi
masing-masing provinsi.
5. Jam Kerja
Jam kerja adalah jumlah jam kerja mereka yang bekerja (tidak termasuk
jam kerja istirahat resmi dan jam kerja yang digunakan untuk hal-hal di luar
pekerjaan) selama seminggu yang lalu. Di dalam penelitian ini jam kerja yang
digunakan adalah rata-rata jam kerja para pekerja di sektor pertanian seminggu
yang lalu sebagai pendekatan jumlah tenaga kerja. Karena data tenaga kerja
khusus untuk petani tanaman pangan (petani padi) tidak tersedia.
6. Kredit
Kredit merupakan salah satu bantuan yang diberikan pemerintah atau
pihak swasta kepada para petani sebagai modal untuk meningkatkan produksi
pertaniannya supaya dapat meningkatkan pendapatan petani. Bantuan tersebut
bisa disalurkan melalui perbankan, koperasi, dan lembaga keuangan lainnya
berupa pinjaman modal. Di dalam penelitian ini kredit yang digunakan adalah
posisi kredit bank umum sektor pertanian di masing-masing provinsi.
7. Panjang Jalan
Jalan adalah jalan dalam bentuk apapun yang terbuka untuk lalu lintas
umum. Jalan dikategorikan ke dalam beberapa kelas menurut wewenang
keperluan pengaturan, penggunaan, dan pemenuhan kebutuhan angkutan, antara
lain : jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota. Pembagian jalan
tersebut didasarkan pada kebutuhan transportasi, pemilihan jenis angkutan secara
tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik masing-masing jenis
45
angkutan, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, dan muatan sumbu
terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Di dalam penelitian ini
panjang jalan yang digunakan adalah jumlah total panjang jalan dari jalan negara,
jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota di masing-masing provinsi.
8. Luas Layanan Daerah Irigasi
Irigasi adalah suatu usaha untuk memanfaatkan air dengan membuat
bangunan-bangunan dan saluran-saluran untuk mengalirkan air yang berguna
untuk kehidupan manusia. Sedangkan definisi dari luas layanan daerah irigasi
merupakan luas areal daerah layanan dari suatu sumber irigasi, yang disalurkan
melalui jaringan irigasi (bangunan dan saluran) yang merupakan satu kesatuan
dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi yang mencakup penyediaan,
pengambilan, dan pembagian. Di dalam penelitian ini luas layanan daerah irigasi
yang digunakan adalah luas layanan daerah irigasi berdasarkan rekapitulasi daerah
irigasi di Indonesia yang sudah terbangun jaringan tersiernya.
9. Curah Hujan
Hujan adalah jatuhnya hydrometeor yang berupa partikel-partikel air
dengan diameter 0.5 mm atau lebih yang jatuh sampai ke tanah. Curah hujan
merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar, tidak
menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter
artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air
setinggi satu milimeter atau tertampung air sebanyak satu liter. Di dalam
penelitian ini curah hujan yang digunakan adalah tinggi curah hujan tahunan di
masing-masing provinsi.
46
2.5. Hipotesis Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian yang kedua, yaitu menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) di
Kawasan Barat Indonesia pada tahun 2008-2010, maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah :
1. Luas lahan sawah irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP,
dikarenakan dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian yang
tersedia akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan
faktor input produksi pertanian (sewa lahan) menjadi relatif lebih rendah (Ib
turun).
2. Luas lahan sawah non-irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan
NTPP, dikarenakan dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian yang
tersedia akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan
faktor input produksi pertanian (sewa lahan) menjadi relatif lebih rendah (Ib
turun).
3. Produktivitas padi berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP,
dikarenakan dengan semakin tingginya produktivitas output sektor pertanian
mencerminkan biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi sejumlah
output pertanian menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).
4. Harga gabah (GKP) di tingkat petani berhubungan positif terhadap
pembentukan NTPP, dikarenakan dengan semakin tingginya harga atau nilai
tukar suatu komoditi pertanian mencerminkan indeks harga yang diterima
petani menjadi relatif lebih tinggi (It naik).
5. Harga pupuk urea berhubungan negatif terhadap pembentukan NTPP,
dikarenakan dengan semakin tingginya harga pupuk akan membuat biaya
47
yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor input produksi pertanian
(pupuk) menjadi relatif lebih tinggi (Ib naik).
6. Rata-rata jam kerja pekerja sektor pertanian seminggu yang lalu berhubungan
negatif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahya jam
kerja akan membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk penggunaan faktor
input produksi pertanian (upah buruh tani) menjadi relatif lebih tinggi (Ib
naik)
7. Posisi kredit bank umum sektor pertanian berhubungan positif terhadap
pembentukan NTPP, dikarenakan dengan bertambahnya modal akan
membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input
produksi pertanian menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).
8. Panjang jalan berhubungan positif terhadap pembentukan NTPP, dikarenakan
dengan bertambahnya panjang jalan akan membuat harga jual komoditi
pertanian menjadi relatif lebih tinggi (It naik) dan biaya yang dikeluarkan
petani untuk mendapatkan faktor input produksi pertanian (transportasi)
menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).
9. Luas layanan daerah irigasi berhubungan positif terhadap pembentukan
NTPP, dikarenakan dengan bertambahnya luas layanan daerah irigasi akan
membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input
produksi pertanian (air) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).
10. Tinggi curah hujan tahunan berhubungan positif terhadap pembentukan
NTPP, dikarenakan dengan semakin tinggi curah hujan tahunan akan
membuat biaya yang dikeluarkan petani untuk mendapatkan faktor input
produksi pertanian (air) menjadi relatif lebih rendah (Ib turun).