ii. tinjauan pustaka 2.1 sosis - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39710/3/bab ii.pdf · dan sirup...
TRANSCRIPT
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sosis
Sosis atau sausage awalnya berasal dari kata Latin ”salsus” yang berarti
menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan
sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis adalah daging cincang atau
daging giling yang diberikan sedikit pengawet berupa garam lalu ditambahkan
bahan-bahan lainnya seperti bumbu-bumbu, bahan pengikat, dan air yang kemudian
dibentuk dengan ukuran yang sama dengan menggunakan casing sehingga
membentuk silinder (Essien, 2003).
Sosis merupakan produk makanan yang diperoleh dari campuran daging
halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan
atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan
dan dimasukkan ke dalam selubung sosis (SNI 01-3820-1995). Syarat mutu sosis
daging menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Sosis Daging (SNI 01-3820-1995)
Parameter Syarat Mutu (%/b/b)
Bau Normal
Rasa Normal
Warna Normal
Kadar air Maks 67,0
Kadar abu Maks 3,0
Kadar protein Min 13,0
Kadar lemak Maks 25,0
Kadar karbohidrat Maks 8,0
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (BSN, 1995)
Menurut Essien (2003) sosis dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Sosis segar yang dibuat daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan
penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu
5
bumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus
dimasak sebelum dimakan
2. Sosis masak yang dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak,
dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, dan setelah
dibuat harus segera dimakan.
3. Sosis fermentasi yakni merupakan jenis sosis dengan metode pengawetan
paling tua. Sosis fermentasi dikenal dengan daya simpan yang lama
dikarenakan terbentuknya asam laktat selama proses fermentasi. Sosis
fermentasi dibagi menjadi 2 yaitu kering dan semi kering. Sosis fermentasi
kering terdiri dari Salami, Pepperoni, dan Genoa sedangkan sosis
fermentasi semi kering terdiri dari Cervelat dan Lebanon bologna.
4. Sosis emulsi dibuat dari daging dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan
jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, dan
biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus, dapat
dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak.
2.2 Bahan-Bahan Pembuat Sosis
Bahan baku utama sosis adalah daging, sedangkan bahan tambahan terdiri
dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu bahan makanan yang diizinkan.
2.2.1 Daging
Daging adalah jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan,
sering pula diperluas dengan memasukan organ-organ seperti hati, ginjal, otot dan
jaringan lain yang dapat dimakan selain urat daging. Daging merupakan komponen
esensial dalam makanan manusia untuk mendukung pertumbuhan dan
6
perkembangan tubuh yang optimal karena mengandung protein, lemak, air,
karbohidrat, mineral dan vitamin (Lawrie, 2003).
Semua jenis daging ternak termasuk jeroan dan tetelan dapat digunakan
untuk pembuatan sosis. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila
dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang
bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai
pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Koswara, 2009).
Daging yang akan digiling sebaiknya didinginkan terlebih dahulu sampai
suhu -2ºC, sehingga suhu penggilingan dapat dipertahankan tetap kurang dari 22º
C dengan tujuan untuk mencegah denaturasi protein sebagai emulsifier utama
(Hammes et al., 2003).
2.2.2 Es Batu
Fungsi es dalam pembuatan sosis adalah untuk melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan
ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, serta
mempertahankan suhu adonan akibat pemanasan mekanis. Suhu adonan yang panas
akan menyebabkan emulsi menjadi pecah dan produk tidak akan bersatu
selama pemasakan (Aberle et al., 2001).
2.2.3 Garam
Garam merupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan produk
sosis. Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan cita rasa, (2) pelarut protein
yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet,
karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan
7
dan (4) untuk meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan
alkali fosfat. Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% (Aberle et al., 2001).
2.2.4 Lemak
Lemak menghasilkan fase dispersi (discontinue) dari emulsi daging
sehingga lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung
asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis
masak harus mengandung lemak maksimum 30% (Soeparno, 2005). Penambahan
lemak dalam pembuatan sosis berguna untuk membentuk sosis yang kompak dan
empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak
boleh lebih dari 30 persen dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama
pengolahan dan penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan
mengakibatkan hasil sosis yang keriput (Koswara, 2009).
2.2.5 Bahan Pengikat
Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas
emulsi, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta
mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang
dapat meningkatkan emilsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang
tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai
serta skim bubuk (Soeparno, 2005).
2.2.6 Bahan Pengisi
Bahan pengisi dapat meningkatkan daya mengikat air karena mampu
menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat
mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan
pengisi adalah tepung gandum, jagung, beras, pati dari tepung-tepung tersebut
8
dan sirup jagung. Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon
(Manihot utilissima pohl) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan.
Kandungan utama tepung tapioka adalah pati (Soeparno, 2005).
2.2.7 Penyedap dan Bumbu
Penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun kombinasi yang
ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada
produk tersebut. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam
pembuatan sosis. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan
untuk menambah atau meningkatkan flavor (Aberle et al., 2001).
2.2.8 Selongsong Sosis
Selongsong adalah bahan pengemas sosis yang umumnya berbentuk
silindris. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan,
pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display
dalam perdagangan. Selongsong atau kasing untuk sosis ada dua tipe, yaitu
selongsong alami dan buatan. Selongsong alami terbuat dari saluran pencernaan
ternak, misalnya sapi, babi, kambing atau domba. Kelebihan dari selongsong alami
yaitu rasa yang lebih enak, namun kekurangannya terletak pada ukurannya yang
tidak seragam. Selongsong buatan terdiri atas empat kelompok, yaitu: selulosa,
kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan, dan plastik.
Selongsong buatan lebih mempunyai kekuatan jika dibanding dengan selongsong
alami (Soeparno, 2005).
2.3 Pembuatan Sosis dan Faktor Yang Mempengaruhi Mutunya
Secara lengkap tahapan pengolahan sosis adalah sebagai berikut: pemilihan
bahan-bahan yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran (termasuk tahapan
9
pencacahan dan pengemulsian), pemasukkan ke dalam casing, pengikatan,
penggantungan, pemasakan (perebusan, pengukusan atau pengasapan),
pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin),
pengupasan dan pengemasan (Muchtadi dan Sugiyono, 2013).
Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam daging.
Sebelum digiling daging biasanya didinginkan dulu sampai suhu –20o C, sehingga
suhu penggilingan tetap di bawah 22o C. Hal ini untuk mencegah terdenaturasinya
protein yang sangat penting sebagai emulsifier (Muchtadi dan Sugiyono, 2013).
Pada tahap pencampuran diharapkan lemak yang ditambahkan akan
menyebar secara merata. Demikian juga bahan kuring (sendawa), serpihan es garam
dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan pada
pencampuran harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3 sampai 12c C
(Muchtadi dan Sugiyono, 2013).
Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus
(disebut stuffer) bertujuan membentuk dan mempertahankan kestabilan sosis.
Memantapkan warna dan mematikan mikroba. Pemasakan dapat dilakukan dengan
cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara tersebut.
Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan memberi warna
khas (Koswara, 2009).
Pendinginan sosis setelah pemasakan selain untuk menurunkan suhu sosis
secara cepat, juga untuk memudahkan pengupasan, pembungkus (casing) jika
menggunakan jenis yang tidak dapat dimakan (Koswara, 2009).
Menurut Koswara (2009) Secara lengkap langkah-langkah kerja pada
pembuatan sosis adalah sebagai berikut:
10
1. Daging didinginkan pada suhu 1 sampai 4oC.
2. Daging dibersihkan dari tulang dan urat atau jaringan pengikat.
3. Timbang 1 kg daging, lalu potong-potong menjadi bentuk balok kecil-
kecil.
4. Potongan-potongan daging digiling dalam penggilingan daging sambil
ditambah 100g es, 500 mg vitamin C dan 150 mg NaNO2. Penggilingan
dilakukan 2 kali agar daging halus. Selama penggilingan temperatur
adonan diusahakan tidak melebihi 22o C.
5. Daging giling ditambah 10 g gula pasir, 7 g sodium tripolifosfat, 250 g
minyak jagung, 200 g es, lada, pala, telah dihaluskan secukupnya. Bahan
campuran diaduk dalam wadah dengan menggunakan mikser kira-kira 3
menit.
6. Adonan kemudian ditambah sekitar 100 g tepung tapioka sebagai bahan
pengikat.
7. Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Selama pengadukan suhu
adonan diusahakan tidak melebihi 22o C.
8. Adonan sosis hasil pengadukan dimasukkan ke dalam alam pengisi
(stuffer).
9. Dengan alat pengisi (stuffer) tersebut adonan dimasukkan ke dalam
pembungkus (casing).
10. Setelah diisi pembungkus sosis diikat pada ujung-ujungnya dan pada
setiap 15 cm.
11. Sosis dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 60o C.
12. Sediakan air panas 70 sampai 80o C dalam panci.
11
13. Sosis dimasak dalam air panas tersebut kira-kira 40 menit.
14. Setelah pemasakan, sosis langsung didinginkan dengan air sampai suhu
25o C lalu digantungkan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi, dikemas atau
dipasarkan.
Stabilitas emulsi sosis dipengaruhi oleh temperatur selama proses
emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, serta jumlah dan tipe protein yang larut.
Stabilitas yang maksimum diperoleh dengan pencacahan dan pelumatan daging
pada suhu 3-11o C. Temperatur diatas 22o C dapat menyebabkan pemisahan air dan
lemak. Partikel lemak yang terperangkap dalam protein akan memuai, sedangkan
protein yang menyelubungi akan menyusut sehingga protein yang terkoagulasi
menjadi pecah dan lemak yang terperangkap lepas (Prijambodo, 2014).
Proses emulsifikasi menyebabkan partikel-partikel lemak yang berukuran
besar akan berubah menjadi partikel yang lebih kecil hingga terbentuknya emulsi.
Penurunan ukuran partikel lemak akan meningkatkan luas permukaan partikel
lemak, sehingga protein yang terlarut harus lebih banyak untuk menyelubungi
permukaan partikel lemak tersebut agar terbentuk emulsi yang stabil (Prijambodo,
2014)
Tipe protein daging yang larut dalam garam yaitu aktin dan miosin memiliki
daya pengemulsi yang lebih besar daripada protein sarkoplasma dan jaringan ikat.
Miosin memiliki daya pengemulsi yang lebih besar daripada aktin. Ekstraksi
protein juga merupakan faktor penting untuk menentukan stabilitas emulsi. pH yang
lebih tinggi dari pH isoelektris daging atau lebih tinggi dari pH daging (5,3-5,7)
akan mengakibatkan ekstraksi protein terutama aktin dan miosin menjadi maksimal
sehingga sistem emulsi akan stabil (Soeparno, 2005).
12
2.4 Daging Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)
Daging adalah merupakan bahan pangan yang diperoleh dari hasil
penyembelihan hewan-hewan ternak atau buruan. Hewan-hewan yang khusus
diternakkan sebagai penghasil daging adalah berbagai spesies mamalia seperti sapi,
kerbau, kambing domba dan babi dan berbagai spesies unggas seperti ayam, kalkun,
puyuh dan bebek atau itik (Koswara, 2009).
Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) adalah salah satu jenis unggas yang
dapat dimanfaatkan telur dan dagingnya (dwiguna). Puyuh memiliki daging dengan
cita rasa yang khas dan memiliki kandungan protein hewani yang baik untuk
manusia (Peraturan Menteri Pertanian, 2008).
Menurut Vali (2008) klasifikasi Coturnix japonica adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Aves
Ordo : Galilformes
Famili : Phasianidae
Genus : Coturnix
Spesies : Coturnix coturnix Japonica
Puyuh betina dapat menghasilkan telur sampai 200-300 butir setiap tahun
dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan. Puyuh memiliki
banyak kegunaan diantaranya adalah sebagai ungags penghasil telur dan daging
(dwiguna), selang generasi yang relatif pendek (3 – 4generasi per tahun), biaya
pemeliharaan yang relatif murah, memiliki produksi telur yang tinggi, resisten
13
terhadap penyakit unggas dan ukurannya yang kecil sehingga tidak memerlukan
lahan yang luas untuk membudidayakannya (Vali, 2008).
Jenis kelamin puyuh dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan
berat badannya. Karakteristik dari puyuh (C. japonica) yaitu puyuh jantan dewasa
memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa adanya belang serta
bercak-bercak hitam sedangkan puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna
sawo matang dengan garis-garis atau belang-belang hitam; Puyuh betina memiliki
bentuk tubuh lebih besar, dan berbentuk bulat dengan ekor dan paruh pendek dan
kuat; Tiga jari kaki puyuh menghadap ke depan dan satu jari kaki ke arah belakang;
Suara puyuh betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan (Tuleun et al., 2013).
Coturnix coturnix Japonica juga dapat digunakan sebagai ternak percobaan
dan memiliki keunggulan diantaranya dewasa tubuh dan kelamin pada saat berumur
sekitar enam minggu dan pada umumnya mencapai puncak produksi telur setelah
50 hari bertelur, prolifik (produktif), mudah beradaptasi dengan iklim di lingkungan
tropis, pencapaian dewasa kelamin relatif lebih cepat dan puyuh betina dapat
menghasilkan telur sebanyak 200-300 butir pada tahun pertama bertelur.
Lingkungan yang tidak optimal dapat menurunkan produksi, tingkat efisiensi serta
dapat mengakibatkan kematian pada ternak (Tuleun et al., 2013).
14
Gambar 1. Coturnix Coturnix Japonica (Kiri : Jantan, Kanan : Betina)
Puyuh Jepang memiliki kandungan gizi yang baik yaitu protein 13,1 % dan
lemak 11,1 % dibandingkan dengan ternak unggas lainya seperti ternak ayam ras
dan ternak itik (Rahmat dan Wiradimadja, 2011). Berat karkas puyuh adalah antara
64-65% dengan puyuh jantan memiliki berat 1,5% lebih tinggi dibandingkan puyuh
betina (Genchev A. et al., 2008). Kompisisi kimia karkas keseluruhan (dengan
tulang) dapat dilihat pada Tabel 1 dan komposisi kimia daging puyuh dapat dilihat
ada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Karkas Keseluruhan per 100 g
Kandungan Jantan (%) Betina (%)
Berat kering 32,03 32,73
Protein
Asam amino esensial
19,29
8,15
19,45
7,45
Lemak
Phospolipid
Kolesterol
8,99
0,194
0,097
10,07
0,185
0,094
Mineral 3,26 2,91
Sumber: Genchev A. et al., (2008)
15
Tabel 3. Komposisi Kimia Daging Puyuh per 100 g
Kandungan Jantan (%) Betina (%)
Berat kering 27,51 26,92
Protein 23,38 22,23
Lemak 2,21 2,75
Mineral
Kalsium
Fosfor
Natrium
Kalium
Magnesium
Besi
Tembaga
Seng
1,51
0,019
0,222
0,061
0,402
0,018
1,882
0,362
2,002
1,61
0,022
0,212
0,069
0,401
0,018
1,492
0,355
2,040
Sumber: Genchev A. et al., (2008)
2.5 Zat Pewarna Pada Makanan
Zat pewarna yang digunakan dalam produksi pangan dapat berupa zat
pewarna alami maupun sintetis atau buatan. Zat pewarna sintetis biasanya
digunakan karena komposisinya lebih stabil, seperti Sunset yellow FCF yang
memberi warna oranye, Carmoisine untuk warna merah, serta Tartrazine untuk
warna kuning. Pada produk makanan yang perlu dihindari adalah penggunaan zat
pewarna yang berlebihan, tidak tepat, dan penggunaan zat pewarna berbahaya yang
tidak diperuntukkan untuk pangan karena dapat memberikan dampak negatif
terhadap kesehatan (lndriasari, 2006).
Salah satu pewarna sintetis yang dilarang digunakan sebagai bahan
tambahan pangan adalah Rhodamin B. Rhodamin B merupakan pewarna sintetis
berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan
dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar atau berfluorosensi.
Rhodamin B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes yang digunakan pada
industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna kain, kosmetika, produk pembersih
16
mulut, dan sabun. Nama lain Rhodamin B adalah D and C Red no 19. Food Red 15,
ADC Rhodamine B, dan Aizen Rhodamine. (O’Neil et al., 2006).
Rhodamine B dan Methanil Yellow banyak digunakan pada produk makanan
industri rumah tangga. Untuk makanan, Rhodamine B dan Methanil Yellow sering
dipakai mewarnai kerupuk, terasi, kembang gula, sirup, biscuit, sosis, macaroni
goreng, cendol, manisan. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna
lebih terang dan memilki rasa agak pahit (lndriasari, 2006).
2.5.1 Zat Pewarna Yang Dilarang Pada Makanan
Peraturan mengenai keamanan pangan, khususnya mengenai bahan dalam
makanan seperti pewarna, penstabil, penguat rasa, dan lainnya diatur pemerintah
melalui PP (Peraturan Pemerintah) atau badan terkait. Di Indonesia diatur oleh PP
menteri kesehatan ataupun BPOM, sedangkan negara Eropa diatur oleh UK. Food
Additives and Contaminant Comitte atau di Amerika oleh FDA (Food and Drugs
Administration). Menurut peraturan Menteri Kesehatan no. 239 tahun 1985, bahan
pewarna yang dilarang keberadaannya dalam makanan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Daftar Bahan Pewarna Makanan Dilarang
No. Nama Nomor
Indeks Warna No. Nama
Nomor Indeks
Warna
1 Auramine 41000 16 Oil Orange SS 12100
2 Alkanet 75520 17 Oil Orange XO 12140
3 Butter Yellow 11020 18 Oil Yellow AB 11380
4 Black 7984 27755 19 Oil Yellow OB 11390
5 Burn Unber 77491 20 Orange G 16230
6 Chrysoidine 11270 21 Orange GGN 15980
7 Chrysoine S 14270 22 Orange RN 15970
8 Citrus Red No. 2 12156 23 Orchid and
Orcein -
9 Chocolate
Brown FB - 24
Ponceau 3R 16155
10 Fast Red E 16045 25 Ponceau SX 14700
17
No. Nama Nomor
Indeks Warna
No. Nama Nomor Indeks
Warna
11 Fast Yellow AB 13015 26 Ponceau 6R 16290
12 Guinea Green B 42085 27 Rhodamin B 45170
13 Indanthrene
Blue RS 69800 28 Sudan I 12055
14 Magenta 42510 29 Scarlet GN 14815
15 Metanil Yellow 13065 30 Violet 6 B 42640
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/MenKes/Per/V/85
2.5.2 Zat Pewarna Yang Diizinkan Pada Makanan
Berdasarkan peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan (BPOM
RI) nomor 37 tahun 2013 terdapat 2 golongan bahan tambahan pewarna yang
diizinkan untuk digunakan dalam pangan terdiri atas pewarna alami dan pewarna
sintetis. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar Bahan Pewarna Makanan Yang Diizinkan Menurut Peraturan
Kepala BPOM RI Nomor 37 Tahun 2013
No. Pewarna Alami Nomor
Indeks Warna No. Pewarna Sintetis
Nomor
Indeks Warna
1 Kurkumin 75300 1 Tartrazin 19140
2 Riboflavin - 2 Kuning kuinolin 47005
3 Karmin 75470 3 Kuning FCF 15985
4 Klorofil 75810 4 Karmoisin 14720
5 Klorofil dan
Klorofilin 75810 5 Ponceau 4R 16255
6 Karamel I - 6 Eritrosin 45430
7 Karamel III - 7 Merah allura 16035
8 Karamel IV - 8 Indigotin 73015
9 Karbon tanaman 77266 9 Biru berlian 42090
10 Beta Karoten 75130 10 Hijau FCF 42053
11 Ekstrak Anato 75120 11 Coklat HT 20285
12 Karotenoid -
13 Merah bit -
14 Antosianin -
15 Titanium
Dioksida -
Sumber: Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 37 Tahun 2013
18
2.6 Umbi Bit (Beta Vulgaris L)
Spesies liar bit diyakini berasal dari sebagian wilayah Mediterania dan
Afrika Utara dengan penyebaran kearah timur hingga wilayah barat India dan ke
arah barat sampai Kepulauan Kanari dan pantai barat Eropa yang meliputi
Kepulauan Inggris dan Denmark. Teori yang ada sekarang menunjukkan bahwa bit
segar mungkin berasal dari persilangan B vulgaris var. maritime (bit laut) dengan
B. patula. Spesies liar sekerabatnya adalah B. atriplicifolia dan B.macrocarpa.
Awalnya, bit merah mungkin adalah jenis yang terutama digunakan sebagai sayuran
daunan, dan ketertarikan menggunakan umbinya terjadi kemudian, mungkin setelah
tahun 1500 (Astawan, 2008).
Menurut Sunarjono (2004) dalam taksonomi tumbuhan, Beta Vulgaris L
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
SubKerajaan : Tracheobianta
SuperDivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Chenopodiaceae
Genus : Beta
Spesies : Beta Vulgaris L
Menurut Astawan (2008) ada beberapa jenis bit. Jenis itu dikelompokkan
menjadi dua sebagai berikut:
19
1. Bit Putih atau Bit Potong (Beta vulgaris L. Var. cicla L)
Tanaman ini ditanam khusus untuk menghasilkan daun besar, berdaging
renyah, separuh keriting, dan mengkilat ketimbang umbinya. Tulang
daunnya besar dan berwarna. Warna tulang daun biasanya putih, merah
atau hijau. Warna lembar daun berkisar dari hijau muda hingga hijau tua.
Dimana umbinya berwarna merah keputih-putihan.
2. Bit merah (Beta vulgaris L. Var. Rubra L)
Varietas yang warna umbinya merah tua. Jenis bit ini sudah banyak
ditanam di beberapa daerah dataran tinggi di Indonesia.
Gambar 2. Umbi Bit (Beta Vulgaris)
Bit hanya dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi dengan ketinggian
lebih dari 1.000 mdpl, terutama bit merah. Akan tetapi jenis bit putih dapat ditanam
pada daerah dengan ketinggian 500 dpl. Walaupun dapat tumbuh, namun bit yang
ditanam di dataran rendah tidak mampu membentuk umbi. Tanaman bit dapat
dipanen pada umur 2,5-3 bulan. Semakin tua tanaman bit, semakin banyak
kandungan gula sehingga rasanya bertambah manis. Begitu pula dengan kadar
20
vitamin C yang semakin tinggi, tetapi jika terlalu tua umbinya menjadi agak keras
atau mengayu (Sunarjono, 2004).
Secara umum bit mempunyai kandungan gizi yang baik. Berikut adalah
komposisi kimia rata-rata bit segar.
Tabel 6. Komposisi Kimia Bit per 100 g
Komposisi Kimia Jumlah
Energi (kal) 42
Karbohidrat (g) 9,6
Protein (g) 1,6
Lemak (g) 0,1
Kalsium (mg) 27
Fosfor (mg) 43
Besi (mg) 1,0
Serat (g) 2,5
Vitamin A (mg) 20
Vitamin C (mg) 43
Vitamin B (mg) 0,01
Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan DEPKES RI (2005)
2.7 Pewarna Merah Bit
Umbi Bit (Beta Vulgaris) merupakan salah satu bahan pangan yang sangat
bermanfaat. Salah satu manfaatnya adalah memberikan warna alami dalam
pembuatan produk pangan. Pigmen yang terdapat pada bit merah adalah betalain.
Betalain merupakan golongan antioksidan. Pigmen betalain sangat jarang
digunakan dalam produk pangan dibandingkan dengan antosianin dan betakaroten
(Wirakusumah, 2007).
Pewarna merah bit adalah salah satu pewarna alami yang diizinkan dengan
jumlah pemakaian berkategori Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik
atau Good Manufacturing Practice, atau disebut dengan Batas Maksimum CPPB,
yakni jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya
yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM RI, 2013).
21
Pewarna merah alami dari bit telah diterima dan dikomersialkan baik di
Eropa dan Amerika maupun di Asia. Pigmen yang menghasilkan warna merah ini
biasa diaplikasikan dalam produk yogurt, permen, es krim, fondant, penyalut pada
produk permen dan coklat (confectionary), dan gula warna-warni. Label regulasi
untuk pewarna tersebut di Amerika adalah 21 CFR 73.260 dan di Eropa E162
(Lewis, 2009).
Secara sederhana, warna merah bit dapat diperoleh dengan merebus bit.
Pigmen betalain akan terekstrak ke air rebusan dan membuatnya berwarna merah
sehingga dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Selain itu, bit juga dapat
diblender dengan penambahan air. Bubur bit dapat digunakan langsung sebagai
campuran adonan atau terlebih dahulu disaring untuk mendapatkan air yang
berwarna merah baru kemudian diaplikasikan ke bahan makanan. Pewarna bit yang
dihasilkan dari cara sederhana tersebut memiliki umur simpan yang pendek
sehingga hanya cocok diaplikasikan pada skala industri rumah tangga di mana
produk ini langsung digunakan sebagai campuran di adonan (Wirakusumah, 2007).
Pewarna alami dari bit yang dikomersialkan berada dalam dua bentuk, yaitu
konsentrat atau serbuk. Konsentrat bit didapat dengan evaporasi jus bit dalam
kondisi vakum hingga tercapai kadar padatan 40-60%, sedangkan serbuk bit didapat
dengan mengeringkan jus bit di spray dryer. Secara umum, bentuk serbuk lebih
disukai dari pada konsentrat karena lebih mudah ditangani, stabil, mudah larut, dan
memiliki umur simpan yang lebih panjang (Andarwulan dan Faradilla, 2012).
Pembuatan pewarna bit kering juga dapat dilakukan dengan metode freeze
drying, air-drying, dan yang terbaru serta telah dipatenkan adalah metode
kromatografi. Pada metode freeze drying, bit yang telah dicuci bersih dipotong
22
dengan ketebalan sekitar 0,3 cm. Irisan bit ini kemudian dibekukan dan dikeringkan
dengan menggunakan freeze dryer hingga didapat produk dengan kadar air 1,9-
2,3%. Pembuatan serbuk bit dengan metode air-drying hampir sama dengan metode
freeze drying kecuali pada alat pengering yang digunakan. Pada metode air-drying,
irisan bit dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 60 oC dan kelembapan (RH)
40% selama 6 jam. Produk akhir digiling dengan hammer mill dan memiliki kadar
air 3-5,5% (Nemzer et al., 2011).
Kandungan vitamin dan mineral yang ada dalam bit merah seperti vitamin
B dan kalsium, fosfor, nutrisi, besi merupakan nilai lebih dari penggunaan bit
merah. Antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisi
radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan
melengkapi kekurangan elektron yang memiliki radikal bebas. Antioksidan akan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat
menimbulkan stress oksidatif (Stinzing dan Carle, 2006).
2.8 Pigmen Betalain Pada Pewarna Merah Bit
Umbi bit kaya akan pigmen betalain. Betalain merupakan pigmen larut air
yang pada awalnya dikategorikan sebagai antosianin bernitrogen karena terdapat
nitrogen pada struktur cincinnya dan juga mengandung residu glikosida. Seiring
dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan, kini betalain tidak lagi digolongkan
sebagai bagian antosianin. Pigmen betalain berdiri sendiri sebagai sebuah jenis
pigmen dan merupakan induk dari kelompok betasianin yang berwarna merah
violet dan betaxantin yang berwarna kuning. Betaxantin ditandai dengan tidak
adanya cincin aromatik yang melekat di N-1 atau residu gula (Gambar 3) (Moss et
al., 2002). Struktur dasar betalain adalah asam betalaic yang dihubungkan dengan
23
molekul cyclo-3,4-dihydroxyphenylalanine (cyclo-DOPA) untuk betasianin dan
pada molekul asam amino atau amina untuk betaxanthin (Sawicki et al., 2016).
Gambar 3. Rumus Struktur Betalain (a) Struktur Umum; (b) Betaxantin; (c)
Betasianin
Dalam banyak kasus, tidak mungkin membedakan betalain dan antosianin
pada tumbuhan hanya secara visual. Dibutuhkan serangkaian tes untuk
membedakan kedua jenis pigmen ini. Namun demikian, keberadaan pigmen
betalain di suatu tanaman tidak mungkin bersamaan dengan adanya antosianin. Saat
ini diketahui bahwa perbedaan paling mencolok antara betalain dan antosianin
24
adalah distribusinya di tanaman. Antosianin atau flavonoid tersebar luas dalam
dunia tumbuhan sedangkan betalain secara eksklusif hanya terdapat pada kelompok
Angiospermae, khususnya Caryophyllales (termasuk di dalamnya tumbuhan bit)
(Amaya dan Valpuesta, 2002).
Rata-rata bit mengandung betalain sebesar 1.000 mg/100 g berat kering atau
120 mg/100 g berat basah. Pigmen betalain yang terdapat di bit ada dua kelompok,
yaitu pigmen merah violet betasianin (λmax 534-555 nm) dan pigmen kuning
betaxantin (λmax 480 nm). Rasio konsentrasi antara betasianin dan betaxantin
biasanya ada pada kisaran 1:3. Rasio ini beragam tergantung dari varietas bit.
Perbedaan rasio kedua pigmen tersebut menimbulkan variasi warna merah pada bit
dan ekstrak bit (Andarwulan dan Faradilla, 2012).
Sawicki et al., (2016) melaporkan bahwa terdapat sekitar 18 jenis pigmen
merah betasianin dan 12 pigmen kuning betaxantin pada bit. Dari sekian turunan
betasianin dan betaxanthin dilaporkan bahwa empat jenis betasianin dominan,
adalah betanin, isobetanin, betanidin, dan isobetanidin serta dua jenis betaxantin
dominan, yaitu vulgaxantin I dan vulgaxantin II (Gasztonyi et al., 2001). Bagian bit
dari kulit luar hingga setiap lapis bagian daging umbi teridentifikasi kandungan
betalain yang berbeda-beda, kandungan betalain paling tinggi terdapat pada bagian
kulit bit (Gambar 4, Tabel 7).
25
Gambar 4. Bagian Umbi Bit
Tabel 7. Kandungan Betasianin Betaxanthin dan Betalain Pada Berbagai
Bagian Umbi Bit
Senyawa
Bagian bit
Kulit Ring
1
Rin
g 2
Ring
3
Ring
4
Ring
5
Ring
6
Betasianin (%) 12,79 7,27 6,87 5,84 5,89 5,22 4,44
Betaxanthin (%) 4,46 2,92 2,75 2,86 2,88 2,78 2,76
Total Betalain (%) 17,24 10,19 9,62 8,7 8,76 8 7,2
Sumber: Sawicki et al., (2016)
Senyawa betasianin merupakan senyawa fenol yang tersubstitusi oleh gugus
glikosida pada posisi orto dan mempunyai gugus kromofor. Gugus-gugus
fungsional yang ada dapat berinteraksi dengan anion yang mampu menghasilkan
perubahan warna. Selain itu senyawa ini memiliki kegunaan sebagai senyawa
26
chemosensor dalam indikator asam-basa, sensor anion, sensor beberapa senyawa
basa, dan reagendalam deteksi kerusakan bahan pangan (Wirakusumah, 2007).
Secara umum, betanin merupakan jenis betasianin utama pada semua
varietas. Pigmen betanin yang terdapat pada bit berbentuk 5-O-beta-glukosa
(Nemzer et al., 2011). Betasianin atau betanin pada bit memiliki stabilitas yang
rendah jika terpapar oleh panas, logam, dan cahaya. Pigmen ini menghasilkan
warna merah muda atau pink hingga merah pada kisaran pH 4-8. Fortifikasi besi
(Fe) dan tembaga (Cu) pada produk confectionary tidak cocok jika diaplikasikan
bersama-sama pewarna bit karena ion logam seperi Fe, Cu, timah (Sn), dan
aluminium (Al) memicu oksidasi pigmen sehingga pigmen terdegradasi dan warna
memudar. Oksidasi juga dapat dipicu dengan tingginya nilai aktivitas air (Aw) pada
produk. Penambahan asam askorbat dapat menjadi salah satu solusi untuk
memperlambat terjadinya oksidasi pigmen tersebut (Brat et al., 2008).
Betasianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam bentuk ekstrat,
akan tetapi penggunaan pelarut air dalam proses pemekatan dengan panas dapat
mengakibatkan kerusakan karena titik didih air cukup tinggi (100o C) sedangkan
stabilitas betasianin semakin menurun pada pemanasan suhu 70o C dan 80o C
(Herbach et al., 2006).
Lily Yenawaty (2011) melakukan penelitian dalam rangka penggunaan bit
yang dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada mie dan menunjukkan bahwa
kandungan vitamin A, C dan khususnya antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan
dengan mie pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian Herrisdiano Ajuan
(2008), aplikasi penggunaan bubuk ekstrak bit yang digunakan dalam pembuatan
terasi, menunjukkan bahwa aplikasi pewarna bit sebagai pewarna alami masih
27
memenuhi standar mutu terasi udang menurut Ditjen Perikanan. Menurut hasil
penelitian Giwang Petriana, et al., (2013) umbi bit merah juga dimanfaatkan dalam
pembuatan sirup dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5%. Dan untuk
daya terima sirup terhadap panelis bahwa konsentasi sirup yang paling disukai
adalah 5%.