ii. tinjauan pustaka 2.1 sosis - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39710/3/bab ii.pdf · dan sirup...

24
4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sosis Sosis atau sausage awalnya berasal dari kata Latin salsus” yang berarti menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis adalah daging cincang atau daging giling yang diberikan sedikit pengawet berupa garam lalu ditambahkan bahan-bahan lainnya seperti bumbu-bumbu, bahan pengikat, dan air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama dengan menggunakan casing sehingga membentuk silinder (Essien, 2003). Sosis merupakan produk makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis (SNI 01-3820-1995). Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat Mutu Sosis Daging (SNI 01-3820-1995) Parameter Syarat Mutu (%/b/b) Bau Normal Rasa Normal Warna Normal Kadar air Maks 67,0 Kadar abu Maks 3,0 Kadar protein Min 13,0 Kadar lemak Maks 25,0 Kadar karbohidrat Maks 8,0 Sumber: Badan Standardisasi Nasional (BSN, 1995) Menurut Essien (2003) sosis dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu: 1. Sosis segar yang dibuat daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu

Upload: dinhtu

Post on 14-Jun-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sosis

Sosis atau sausage awalnya berasal dari kata Latin ”salsus” yang berarti

menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan

sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis adalah daging cincang atau

daging giling yang diberikan sedikit pengawet berupa garam lalu ditambahkan

bahan-bahan lainnya seperti bumbu-bumbu, bahan pengikat, dan air yang kemudian

dibentuk dengan ukuran yang sama dengan menggunakan casing sehingga

membentuk silinder (Essien, 2003).

Sosis merupakan produk makanan yang diperoleh dari campuran daging

halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan

atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan

dan dimasukkan ke dalam selubung sosis (SNI 01-3820-1995). Syarat mutu sosis

daging menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Sosis Daging (SNI 01-3820-1995)

Parameter Syarat Mutu (%/b/b)

Bau Normal

Rasa Normal

Warna Normal

Kadar air Maks 67,0

Kadar abu Maks 3,0

Kadar protein Min 13,0

Kadar lemak Maks 25,0

Kadar karbohidrat Maks 8,0

Sumber: Badan Standardisasi Nasional (BSN, 1995)

Menurut Essien (2003) sosis dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu:

1. Sosis segar yang dibuat daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan

penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu

5

bumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus

dimasak sebelum dimakan

2. Sosis masak yang dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak,

dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, dan setelah

dibuat harus segera dimakan.

3. Sosis fermentasi yakni merupakan jenis sosis dengan metode pengawetan

paling tua. Sosis fermentasi dikenal dengan daya simpan yang lama

dikarenakan terbentuknya asam laktat selama proses fermentasi. Sosis

fermentasi dibagi menjadi 2 yaitu kering dan semi kering. Sosis fermentasi

kering terdiri dari Salami, Pepperoni, dan Genoa sedangkan sosis

fermentasi semi kering terdiri dari Cervelat dan Lebanon bologna.

4. Sosis emulsi dibuat dari daging dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan

jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, dan

biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus, dapat

dikonsumsi dalam keadaan dingin atau setelah masak.

2.2 Bahan-Bahan Pembuat Sosis

Bahan baku utama sosis adalah daging, sedangkan bahan tambahan terdiri

dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu bahan makanan yang diizinkan.

2.2.1 Daging

Daging adalah jaringan hewan yang dapat digunakan sebagai makanan,

sering pula diperluas dengan memasukan organ-organ seperti hati, ginjal, otot dan

jaringan lain yang dapat dimakan selain urat daging. Daging merupakan komponen

esensial dalam makanan manusia untuk mendukung pertumbuhan dan

6

perkembangan tubuh yang optimal karena mengandung protein, lemak, air,

karbohidrat, mineral dan vitamin (Lawrie, 2003).

Semua jenis daging ternak termasuk jeroan dan tetelan dapat digunakan

untuk pembuatan sosis. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila

dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang

bertindak sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai

pengemulsi adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Koswara, 2009).

Daging yang akan digiling sebaiknya didinginkan terlebih dahulu sampai

suhu -2ºC, sehingga suhu penggilingan dapat dipertahankan tetap kurang dari 22º

C dengan tujuan untuk mencegah denaturasi protein sebagai emulsifier utama

(Hammes et al., 2003).

2.2.2 Es Batu

Fungsi es dalam pembuatan sosis adalah untuk melarutkan garam dan

mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian daging, memudahkan

ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, serta

mempertahankan suhu adonan akibat pemanasan mekanis. Suhu adonan yang panas

akan menyebabkan emulsi menjadi pecah dan produk tidak akan bersatu

selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

2.2.3 Garam

Garam merupakan komponen yang paling penting dalam pembuatan produk

sosis. Garam mempunyai fungsi (1) meningkatkan cita rasa, (2) pelarut protein

yaitu miosin sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, (3) sebagai pengawet,

karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba sehingga memperlambat kebusukan

7

dan (4) untuk meningkatkan daya mengikat air yang biasanya dipadukan dengan

alkali fosfat. Penggunaan garam bervariasi, umumnya 2-2,5% (Aberle et al., 2001).

2.2.4 Lemak

Lemak menghasilkan fase dispersi (discontinue) dari emulsi daging

sehingga lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung

asam lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Sosis

masak harus mengandung lemak maksimum 30% (Soeparno, 2005). Penambahan

lemak dalam pembuatan sosis berguna untuk membentuk sosis yang kompak dan

empuk serta memperbaiki rasa dan aroma sosis. Jumlah penambahan lemak tidak

boleh lebih dari 30 persen dari berat daging untuk mempertahankan tekstur selama

pengolahan dan penanganan. Penambahan lemak yang terlalu banyak akan

mengakibatkan hasil sosis yang keriput (Koswara, 2009).

2.2.5 Bahan Pengikat

Penambahan bahan pengikat bertujuan untuk meningkatkan stabilitas

emulsi, meningkatkan citarasa, mengurangi pengerutan selama pemasakan serta

mengurangi biaya formulasi. Bahan pengikat adalah material bukan daging yang

dapat meningkatkan emilsifikasi lemak. Bahan pengikat mempunyai protein yang

tinggi. Contoh dari bahan pengikat adalah tepung kedelai, isolat protein kedelai

serta skim bubuk (Soeparno, 2005).

2.2.6 Bahan Pengisi

Bahan pengisi dapat meningkatkan daya mengikat air karena mampu

menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan. Tepung dapat

mengabsorbsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula. Contoh dari bahan

pengisi adalah tepung gandum, jagung, beras, pati dari tepung-tepung tersebut

8

dan sirup jagung. Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstra umbi ketela pohon

(Manihot utilissima pohl) yang telah mengalami pencucian dan pengeringan.

Kandungan utama tepung tapioka adalah pati (Soeparno, 2005).

2.2.7 Penyedap dan Bumbu

Penyedap adalah berbagai bahan baik sendiri maupun kombinasi yang

ditambahkan pada pembuatan suatu produk yang dapat menambah rasa pada

produk tersebut. Garam dan merica merupakan bahan penyedap utama dalam

pembuatan sosis. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan

untuk menambah atau meningkatkan flavor (Aberle et al., 2001).

2.2.8 Selongsong Sosis

Selongsong adalah bahan pengemas sosis yang umumnya berbentuk

silindris. Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan,

pembungkus selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display

dalam perdagangan. Selongsong atau kasing untuk sosis ada dua tipe, yaitu

selongsong alami dan buatan. Selongsong alami terbuat dari saluran pencernaan

ternak, misalnya sapi, babi, kambing atau domba. Kelebihan dari selongsong alami

yaitu rasa yang lebih enak, namun kekurangannya terletak pada ukurannya yang

tidak seragam. Selongsong buatan terdiri atas empat kelompok, yaitu: selulosa,

kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat dimakan, dan plastik.

Selongsong buatan lebih mempunyai kekuatan jika dibanding dengan selongsong

alami (Soeparno, 2005).

2.3 Pembuatan Sosis dan Faktor Yang Mempengaruhi Mutunya

Secara lengkap tahapan pengolahan sosis adalah sebagai berikut: pemilihan

bahan-bahan yang akan digunakan, penggilingan, pencampuran (termasuk tahapan

9

pencacahan dan pengemulsian), pemasukkan ke dalam casing, pengikatan,

penggantungan, pemasakan (perebusan, pengukusan atau pengasapan),

pendinginan (penyemprotan dengan air dingin atau penyimpanan dingin),

pengupasan dan pengemasan (Muchtadi dan Sugiyono, 2013).

Penggilingan bertujuan untuk menyebar ratakan lemak dalam daging.

Sebelum digiling daging biasanya didinginkan dulu sampai suhu –20o C, sehingga

suhu penggilingan tetap di bawah 22o C. Hal ini untuk mencegah terdenaturasinya

protein yang sangat penting sebagai emulsifier (Muchtadi dan Sugiyono, 2013).

Pada tahap pencampuran diharapkan lemak yang ditambahkan akan

menyebar secara merata. Demikian juga bahan kuring (sendawa), serpihan es garam

dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lainnya. Suhu adonan pada

pencampuran harus dipertahankan serendah mungkin yaitu sekitar 3 sampai 12c C

(Muchtadi dan Sugiyono, 2013).

Pemasukkan adonan sosis ke dalam casing menggunakan alat khusus

(disebut stuffer) bertujuan membentuk dan mempertahankan kestabilan sosis.

Memantapkan warna dan mematikan mikroba. Pemasakan dapat dilakukan dengan

cara seperti perebusan, pengukusan, pengasapan dan kombinasi cara-cara tersebut.

Pengasapan dapat memberikan cita rasa khas, mengawetkan dan memberi warna

khas (Koswara, 2009).

Pendinginan sosis setelah pemasakan selain untuk menurunkan suhu sosis

secara cepat, juga untuk memudahkan pengupasan, pembungkus (casing) jika

menggunakan jenis yang tidak dapat dimakan (Koswara, 2009).

Menurut Koswara (2009) Secara lengkap langkah-langkah kerja pada

pembuatan sosis adalah sebagai berikut:

10

1. Daging didinginkan pada suhu 1 sampai 4oC.

2. Daging dibersihkan dari tulang dan urat atau jaringan pengikat.

3. Timbang 1 kg daging, lalu potong-potong menjadi bentuk balok kecil-

kecil.

4. Potongan-potongan daging digiling dalam penggilingan daging sambil

ditambah 100g es, 500 mg vitamin C dan 150 mg NaNO2. Penggilingan

dilakukan 2 kali agar daging halus. Selama penggilingan temperatur

adonan diusahakan tidak melebihi 22o C.

5. Daging giling ditambah 10 g gula pasir, 7 g sodium tripolifosfat, 250 g

minyak jagung, 200 g es, lada, pala, telah dihaluskan secukupnya. Bahan

campuran diaduk dalam wadah dengan menggunakan mikser kira-kira 3

menit.

6. Adonan kemudian ditambah sekitar 100 g tepung tapioka sebagai bahan

pengikat.

7. Pengadukan dilanjutkan selama 10 menit. Selama pengadukan suhu

adonan diusahakan tidak melebihi 22o C.

8. Adonan sosis hasil pengadukan dimasukkan ke dalam alam pengisi

(stuffer).

9. Dengan alat pengisi (stuffer) tersebut adonan dimasukkan ke dalam

pembungkus (casing).

10. Setelah diisi pembungkus sosis diikat pada ujung-ujungnya dan pada

setiap 15 cm.

11. Sosis dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 60o C.

12. Sediakan air panas 70 sampai 80o C dalam panci.

11

13. Sosis dimasak dalam air panas tersebut kira-kira 40 menit.

14. Setelah pemasakan, sosis langsung didinginkan dengan air sampai suhu

25o C lalu digantungkan untuk selanjutnya dapat dikonsumsi, dikemas atau

dipasarkan.

Stabilitas emulsi sosis dipengaruhi oleh temperatur selama proses

emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, serta jumlah dan tipe protein yang larut.

Stabilitas yang maksimum diperoleh dengan pencacahan dan pelumatan daging

pada suhu 3-11o C. Temperatur diatas 22o C dapat menyebabkan pemisahan air dan

lemak. Partikel lemak yang terperangkap dalam protein akan memuai, sedangkan

protein yang menyelubungi akan menyusut sehingga protein yang terkoagulasi

menjadi pecah dan lemak yang terperangkap lepas (Prijambodo, 2014).

Proses emulsifikasi menyebabkan partikel-partikel lemak yang berukuran

besar akan berubah menjadi partikel yang lebih kecil hingga terbentuknya emulsi.

Penurunan ukuran partikel lemak akan meningkatkan luas permukaan partikel

lemak, sehingga protein yang terlarut harus lebih banyak untuk menyelubungi

permukaan partikel lemak tersebut agar terbentuk emulsi yang stabil (Prijambodo,

2014)

Tipe protein daging yang larut dalam garam yaitu aktin dan miosin memiliki

daya pengemulsi yang lebih besar daripada protein sarkoplasma dan jaringan ikat.

Miosin memiliki daya pengemulsi yang lebih besar daripada aktin. Ekstraksi

protein juga merupakan faktor penting untuk menentukan stabilitas emulsi. pH yang

lebih tinggi dari pH isoelektris daging atau lebih tinggi dari pH daging (5,3-5,7)

akan mengakibatkan ekstraksi protein terutama aktin dan miosin menjadi maksimal

sehingga sistem emulsi akan stabil (Soeparno, 2005).

12

2.4 Daging Puyuh (Coturnix coturnix Japonica)

Daging adalah merupakan bahan pangan yang diperoleh dari hasil

penyembelihan hewan-hewan ternak atau buruan. Hewan-hewan yang khusus

diternakkan sebagai penghasil daging adalah berbagai spesies mamalia seperti sapi,

kerbau, kambing domba dan babi dan berbagai spesies unggas seperti ayam, kalkun,

puyuh dan bebek atau itik (Koswara, 2009).

Puyuh (Coturnix coturnix Japonica) adalah salah satu jenis unggas yang

dapat dimanfaatkan telur dan dagingnya (dwiguna). Puyuh memiliki daging dengan

cita rasa yang khas dan memiliki kandungan protein hewani yang baik untuk

manusia (Peraturan Menteri Pertanian, 2008).

Menurut Vali (2008) klasifikasi Coturnix japonica adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Aves

Ordo : Galilformes

Famili : Phasianidae

Genus : Coturnix

Spesies : Coturnix coturnix Japonica

Puyuh betina dapat menghasilkan telur sampai 200-300 butir setiap tahun

dengan berat telur sekitar 10 g/butir atau 7%-8% dari berat badan. Puyuh memiliki

banyak kegunaan diantaranya adalah sebagai ungags penghasil telur dan daging

(dwiguna), selang generasi yang relatif pendek (3 – 4generasi per tahun), biaya

pemeliharaan yang relatif murah, memiliki produksi telur yang tinggi, resisten

13

terhadap penyakit unggas dan ukurannya yang kecil sehingga tidak memerlukan

lahan yang luas untuk membudidayakannya (Vali, 2008).

Jenis kelamin puyuh dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara dan

berat badannya. Karakteristik dari puyuh (C. japonica) yaitu puyuh jantan dewasa

memiliki bulu dada berwarna merah sawo matang tanpa adanya belang serta

bercak-bercak hitam sedangkan puyuh betina dewasa memiliki bulu dada berwarna

sawo matang dengan garis-garis atau belang-belang hitam; Puyuh betina memiliki

bentuk tubuh lebih besar, dan berbentuk bulat dengan ekor dan paruh pendek dan

kuat; Tiga jari kaki puyuh menghadap ke depan dan satu jari kaki ke arah belakang;

Suara puyuh betina lebih kecil dibandingkan dengan jantan (Tuleun et al., 2013).

Coturnix coturnix Japonica juga dapat digunakan sebagai ternak percobaan

dan memiliki keunggulan diantaranya dewasa tubuh dan kelamin pada saat berumur

sekitar enam minggu dan pada umumnya mencapai puncak produksi telur setelah

50 hari bertelur, prolifik (produktif), mudah beradaptasi dengan iklim di lingkungan

tropis, pencapaian dewasa kelamin relatif lebih cepat dan puyuh betina dapat

menghasilkan telur sebanyak 200-300 butir pada tahun pertama bertelur.

Lingkungan yang tidak optimal dapat menurunkan produksi, tingkat efisiensi serta

dapat mengakibatkan kematian pada ternak (Tuleun et al., 2013).

14

Gambar 1. Coturnix Coturnix Japonica (Kiri : Jantan, Kanan : Betina)

Puyuh Jepang memiliki kandungan gizi yang baik yaitu protein 13,1 % dan

lemak 11,1 % dibandingkan dengan ternak unggas lainya seperti ternak ayam ras

dan ternak itik (Rahmat dan Wiradimadja, 2011). Berat karkas puyuh adalah antara

64-65% dengan puyuh jantan memiliki berat 1,5% lebih tinggi dibandingkan puyuh

betina (Genchev A. et al., 2008). Kompisisi kimia karkas keseluruhan (dengan

tulang) dapat dilihat pada Tabel 1 dan komposisi kimia daging puyuh dapat dilihat

ada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Karkas Keseluruhan per 100 g

Kandungan Jantan (%) Betina (%)

Berat kering 32,03 32,73

Protein

Asam amino esensial

19,29

8,15

19,45

7,45

Lemak

Phospolipid

Kolesterol

8,99

0,194

0,097

10,07

0,185

0,094

Mineral 3,26 2,91

Sumber: Genchev A. et al., (2008)

15

Tabel 3. Komposisi Kimia Daging Puyuh per 100 g

Kandungan Jantan (%) Betina (%)

Berat kering 27,51 26,92

Protein 23,38 22,23

Lemak 2,21 2,75

Mineral

Kalsium

Fosfor

Natrium

Kalium

Magnesium

Besi

Tembaga

Seng

1,51

0,019

0,222

0,061

0,402

0,018

1,882

0,362

2,002

1,61

0,022

0,212

0,069

0,401

0,018

1,492

0,355

2,040

Sumber: Genchev A. et al., (2008)

2.5 Zat Pewarna Pada Makanan

Zat pewarna yang digunakan dalam produksi pangan dapat berupa zat

pewarna alami maupun sintetis atau buatan. Zat pewarna sintetis biasanya

digunakan karena komposisinya lebih stabil, seperti Sunset yellow FCF yang

memberi warna oranye, Carmoisine untuk warna merah, serta Tartrazine untuk

warna kuning. Pada produk makanan yang perlu dihindari adalah penggunaan zat

pewarna yang berlebihan, tidak tepat, dan penggunaan zat pewarna berbahaya yang

tidak diperuntukkan untuk pangan karena dapat memberikan dampak negatif

terhadap kesehatan (lndriasari, 2006).

Salah satu pewarna sintetis yang dilarang digunakan sebagai bahan

tambahan pangan adalah Rhodamin B. Rhodamin B merupakan pewarna sintetis

berbentuk serbuk kristal, berwarna hijau atau ungu kemerahan, tidak berbau, dan

dalam larutan akan berwarna merah terang berpendar atau berfluorosensi.

Rhodamin B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes yang digunakan pada

industri tekstil dan kertas, sebagai pewarna kain, kosmetika, produk pembersih

16

mulut, dan sabun. Nama lain Rhodamin B adalah D and C Red no 19. Food Red 15,

ADC Rhodamine B, dan Aizen Rhodamine. (O’Neil et al., 2006).

Rhodamine B dan Methanil Yellow banyak digunakan pada produk makanan

industri rumah tangga. Untuk makanan, Rhodamine B dan Methanil Yellow sering

dipakai mewarnai kerupuk, terasi, kembang gula, sirup, biscuit, sosis, macaroni

goreng, cendol, manisan. Makanan yang diberi zat pewarna ini biasanya berwarna

lebih terang dan memilki rasa agak pahit (lndriasari, 2006).

2.5.1 Zat Pewarna Yang Dilarang Pada Makanan

Peraturan mengenai keamanan pangan, khususnya mengenai bahan dalam

makanan seperti pewarna, penstabil, penguat rasa, dan lainnya diatur pemerintah

melalui PP (Peraturan Pemerintah) atau badan terkait. Di Indonesia diatur oleh PP

menteri kesehatan ataupun BPOM, sedangkan negara Eropa diatur oleh UK. Food

Additives and Contaminant Comitte atau di Amerika oleh FDA (Food and Drugs

Administration). Menurut peraturan Menteri Kesehatan no. 239 tahun 1985, bahan

pewarna yang dilarang keberadaannya dalam makanan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Daftar Bahan Pewarna Makanan Dilarang

No. Nama Nomor

Indeks Warna No. Nama

Nomor Indeks

Warna

1 Auramine 41000 16 Oil Orange SS 12100

2 Alkanet 75520 17 Oil Orange XO 12140

3 Butter Yellow 11020 18 Oil Yellow AB 11380

4 Black 7984 27755 19 Oil Yellow OB 11390

5 Burn Unber 77491 20 Orange G 16230

6 Chrysoidine 11270 21 Orange GGN 15980

7 Chrysoine S 14270 22 Orange RN 15970

8 Citrus Red No. 2 12156 23 Orchid and

Orcein -

9 Chocolate

Brown FB - 24

Ponceau 3R 16155

10 Fast Red E 16045 25 Ponceau SX 14700

17

No. Nama Nomor

Indeks Warna

No. Nama Nomor Indeks

Warna

11 Fast Yellow AB 13015 26 Ponceau 6R 16290

12 Guinea Green B 42085 27 Rhodamin B 45170

13 Indanthrene

Blue RS 69800 28 Sudan I 12055

14 Magenta 42510 29 Scarlet GN 14815

15 Metanil Yellow 13065 30 Violet 6 B 42640

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 239/MenKes/Per/V/85

2.5.2 Zat Pewarna Yang Diizinkan Pada Makanan

Berdasarkan peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan (BPOM

RI) nomor 37 tahun 2013 terdapat 2 golongan bahan tambahan pewarna yang

diizinkan untuk digunakan dalam pangan terdiri atas pewarna alami dan pewarna

sintetis. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Daftar Bahan Pewarna Makanan Yang Diizinkan Menurut Peraturan

Kepala BPOM RI Nomor 37 Tahun 2013

No. Pewarna Alami Nomor

Indeks Warna No. Pewarna Sintetis

Nomor

Indeks Warna

1 Kurkumin 75300 1 Tartrazin 19140

2 Riboflavin - 2 Kuning kuinolin 47005

3 Karmin 75470 3 Kuning FCF 15985

4 Klorofil 75810 4 Karmoisin 14720

5 Klorofil dan

Klorofilin 75810 5 Ponceau 4R 16255

6 Karamel I - 6 Eritrosin 45430

7 Karamel III - 7 Merah allura 16035

8 Karamel IV - 8 Indigotin 73015

9 Karbon tanaman 77266 9 Biru berlian 42090

10 Beta Karoten 75130 10 Hijau FCF 42053

11 Ekstrak Anato 75120 11 Coklat HT 20285

12 Karotenoid -

13 Merah bit -

14 Antosianin -

15 Titanium

Dioksida -

Sumber: Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 37 Tahun 2013

18

2.6 Umbi Bit (Beta Vulgaris L)

Spesies liar bit diyakini berasal dari sebagian wilayah Mediterania dan

Afrika Utara dengan penyebaran kearah timur hingga wilayah barat India dan ke

arah barat sampai Kepulauan Kanari dan pantai barat Eropa yang meliputi

Kepulauan Inggris dan Denmark. Teori yang ada sekarang menunjukkan bahwa bit

segar mungkin berasal dari persilangan B vulgaris var. maritime (bit laut) dengan

B. patula. Spesies liar sekerabatnya adalah B. atriplicifolia dan B.macrocarpa.

Awalnya, bit merah mungkin adalah jenis yang terutama digunakan sebagai sayuran

daunan, dan ketertarikan menggunakan umbinya terjadi kemudian, mungkin setelah

tahun 1500 (Astawan, 2008).

Menurut Sunarjono (2004) dalam taksonomi tumbuhan, Beta Vulgaris L

diklasifikasikan sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae

SubKerajaan : Tracheobianta

SuperDivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub Kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales

Famili : Chenopodiaceae

Genus : Beta

Spesies : Beta Vulgaris L

Menurut Astawan (2008) ada beberapa jenis bit. Jenis itu dikelompokkan

menjadi dua sebagai berikut:

19

1. Bit Putih atau Bit Potong (Beta vulgaris L. Var. cicla L)

Tanaman ini ditanam khusus untuk menghasilkan daun besar, berdaging

renyah, separuh keriting, dan mengkilat ketimbang umbinya. Tulang

daunnya besar dan berwarna. Warna tulang daun biasanya putih, merah

atau hijau. Warna lembar daun berkisar dari hijau muda hingga hijau tua.

Dimana umbinya berwarna merah keputih-putihan.

2. Bit merah (Beta vulgaris L. Var. Rubra L)

Varietas yang warna umbinya merah tua. Jenis bit ini sudah banyak

ditanam di beberapa daerah dataran tinggi di Indonesia.

Gambar 2. Umbi Bit (Beta Vulgaris)

Bit hanya dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi dengan ketinggian

lebih dari 1.000 mdpl, terutama bit merah. Akan tetapi jenis bit putih dapat ditanam

pada daerah dengan ketinggian 500 dpl. Walaupun dapat tumbuh, namun bit yang

ditanam di dataran rendah tidak mampu membentuk umbi. Tanaman bit dapat

dipanen pada umur 2,5-3 bulan. Semakin tua tanaman bit, semakin banyak

kandungan gula sehingga rasanya bertambah manis. Begitu pula dengan kadar

20

vitamin C yang semakin tinggi, tetapi jika terlalu tua umbinya menjadi agak keras

atau mengayu (Sunarjono, 2004).

Secara umum bit mempunyai kandungan gizi yang baik. Berikut adalah

komposisi kimia rata-rata bit segar.

Tabel 6. Komposisi Kimia Bit per 100 g

Komposisi Kimia Jumlah

Energi (kal) 42

Karbohidrat (g) 9,6

Protein (g) 1,6

Lemak (g) 0,1

Kalsium (mg) 27

Fosfor (mg) 43

Besi (mg) 1,0

Serat (g) 2,5

Vitamin A (mg) 20

Vitamin C (mg) 43

Vitamin B (mg) 0,01

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan DEPKES RI (2005)

2.7 Pewarna Merah Bit

Umbi Bit (Beta Vulgaris) merupakan salah satu bahan pangan yang sangat

bermanfaat. Salah satu manfaatnya adalah memberikan warna alami dalam

pembuatan produk pangan. Pigmen yang terdapat pada bit merah adalah betalain.

Betalain merupakan golongan antioksidan. Pigmen betalain sangat jarang

digunakan dalam produk pangan dibandingkan dengan antosianin dan betakaroten

(Wirakusumah, 2007).

Pewarna merah bit adalah salah satu pewarna alami yang diizinkan dengan

jumlah pemakaian berkategori Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik

atau Good Manufacturing Practice, atau disebut dengan Batas Maksimum CPPB,

yakni jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya

yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM RI, 2013).

21

Pewarna merah alami dari bit telah diterima dan dikomersialkan baik di

Eropa dan Amerika maupun di Asia. Pigmen yang menghasilkan warna merah ini

biasa diaplikasikan dalam produk yogurt, permen, es krim, fondant, penyalut pada

produk permen dan coklat (confectionary), dan gula warna-warni. Label regulasi

untuk pewarna tersebut di Amerika adalah 21 CFR 73.260 dan di Eropa E162

(Lewis, 2009).

Secara sederhana, warna merah bit dapat diperoleh dengan merebus bit.

Pigmen betalain akan terekstrak ke air rebusan dan membuatnya berwarna merah

sehingga dapat digunakan sebagai pewarna makanan. Selain itu, bit juga dapat

diblender dengan penambahan air. Bubur bit dapat digunakan langsung sebagai

campuran adonan atau terlebih dahulu disaring untuk mendapatkan air yang

berwarna merah baru kemudian diaplikasikan ke bahan makanan. Pewarna bit yang

dihasilkan dari cara sederhana tersebut memiliki umur simpan yang pendek

sehingga hanya cocok diaplikasikan pada skala industri rumah tangga di mana

produk ini langsung digunakan sebagai campuran di adonan (Wirakusumah, 2007).

Pewarna alami dari bit yang dikomersialkan berada dalam dua bentuk, yaitu

konsentrat atau serbuk. Konsentrat bit didapat dengan evaporasi jus bit dalam

kondisi vakum hingga tercapai kadar padatan 40-60%, sedangkan serbuk bit didapat

dengan mengeringkan jus bit di spray dryer. Secara umum, bentuk serbuk lebih

disukai dari pada konsentrat karena lebih mudah ditangani, stabil, mudah larut, dan

memiliki umur simpan yang lebih panjang (Andarwulan dan Faradilla, 2012).

Pembuatan pewarna bit kering juga dapat dilakukan dengan metode freeze

drying, air-drying, dan yang terbaru serta telah dipatenkan adalah metode

kromatografi. Pada metode freeze drying, bit yang telah dicuci bersih dipotong

22

dengan ketebalan sekitar 0,3 cm. Irisan bit ini kemudian dibekukan dan dikeringkan

dengan menggunakan freeze dryer hingga didapat produk dengan kadar air 1,9-

2,3%. Pembuatan serbuk bit dengan metode air-drying hampir sama dengan metode

freeze drying kecuali pada alat pengering yang digunakan. Pada metode air-drying,

irisan bit dikeringkan di dalam oven dengan temperatur 60 oC dan kelembapan (RH)

40% selama 6 jam. Produk akhir digiling dengan hammer mill dan memiliki kadar

air 3-5,5% (Nemzer et al., 2011).

Kandungan vitamin dan mineral yang ada dalam bit merah seperti vitamin

B dan kalsium, fosfor, nutrisi, besi merupakan nilai lebih dari penggunaan bit

merah. Antioksidan merupakan substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisi

radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas dengan

melengkapi kekurangan elektron yang memiliki radikal bebas. Antioksidan akan

menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat

menimbulkan stress oksidatif (Stinzing dan Carle, 2006).

2.8 Pigmen Betalain Pada Pewarna Merah Bit

Umbi bit kaya akan pigmen betalain. Betalain merupakan pigmen larut air

yang pada awalnya dikategorikan sebagai antosianin bernitrogen karena terdapat

nitrogen pada struktur cincinnya dan juga mengandung residu glikosida. Seiring

dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan, kini betalain tidak lagi digolongkan

sebagai bagian antosianin. Pigmen betalain berdiri sendiri sebagai sebuah jenis

pigmen dan merupakan induk dari kelompok betasianin yang berwarna merah

violet dan betaxantin yang berwarna kuning. Betaxantin ditandai dengan tidak

adanya cincin aromatik yang melekat di N-1 atau residu gula (Gambar 3) (Moss et

al., 2002). Struktur dasar betalain adalah asam betalaic yang dihubungkan dengan

23

molekul cyclo-3,4-dihydroxyphenylalanine (cyclo-DOPA) untuk betasianin dan

pada molekul asam amino atau amina untuk betaxanthin (Sawicki et al., 2016).

Gambar 3. Rumus Struktur Betalain (a) Struktur Umum; (b) Betaxantin; (c)

Betasianin

Dalam banyak kasus, tidak mungkin membedakan betalain dan antosianin

pada tumbuhan hanya secara visual. Dibutuhkan serangkaian tes untuk

membedakan kedua jenis pigmen ini. Namun demikian, keberadaan pigmen

betalain di suatu tanaman tidak mungkin bersamaan dengan adanya antosianin. Saat

ini diketahui bahwa perbedaan paling mencolok antara betalain dan antosianin

24

adalah distribusinya di tanaman. Antosianin atau flavonoid tersebar luas dalam

dunia tumbuhan sedangkan betalain secara eksklusif hanya terdapat pada kelompok

Angiospermae, khususnya Caryophyllales (termasuk di dalamnya tumbuhan bit)

(Amaya dan Valpuesta, 2002).

Rata-rata bit mengandung betalain sebesar 1.000 mg/100 g berat kering atau

120 mg/100 g berat basah. Pigmen betalain yang terdapat di bit ada dua kelompok,

yaitu pigmen merah violet betasianin (λmax 534-555 nm) dan pigmen kuning

betaxantin (λmax 480 nm). Rasio konsentrasi antara betasianin dan betaxantin

biasanya ada pada kisaran 1:3. Rasio ini beragam tergantung dari varietas bit.

Perbedaan rasio kedua pigmen tersebut menimbulkan variasi warna merah pada bit

dan ekstrak bit (Andarwulan dan Faradilla, 2012).

Sawicki et al., (2016) melaporkan bahwa terdapat sekitar 18 jenis pigmen

merah betasianin dan 12 pigmen kuning betaxantin pada bit. Dari sekian turunan

betasianin dan betaxanthin dilaporkan bahwa empat jenis betasianin dominan,

adalah betanin, isobetanin, betanidin, dan isobetanidin serta dua jenis betaxantin

dominan, yaitu vulgaxantin I dan vulgaxantin II (Gasztonyi et al., 2001). Bagian bit

dari kulit luar hingga setiap lapis bagian daging umbi teridentifikasi kandungan

betalain yang berbeda-beda, kandungan betalain paling tinggi terdapat pada bagian

kulit bit (Gambar 4, Tabel 7).

25

Gambar 4. Bagian Umbi Bit

Tabel 7. Kandungan Betasianin Betaxanthin dan Betalain Pada Berbagai

Bagian Umbi Bit

Senyawa

Bagian bit

Kulit Ring

1

Rin

g 2

Ring

3

Ring

4

Ring

5

Ring

6

Betasianin (%) 12,79 7,27 6,87 5,84 5,89 5,22 4,44

Betaxanthin (%) 4,46 2,92 2,75 2,86 2,88 2,78 2,76

Total Betalain (%) 17,24 10,19 9,62 8,7 8,76 8 7,2

Sumber: Sawicki et al., (2016)

Senyawa betasianin merupakan senyawa fenol yang tersubstitusi oleh gugus

glikosida pada posisi orto dan mempunyai gugus kromofor. Gugus-gugus

fungsional yang ada dapat berinteraksi dengan anion yang mampu menghasilkan

perubahan warna. Selain itu senyawa ini memiliki kegunaan sebagai senyawa

26

chemosensor dalam indikator asam-basa, sensor anion, sensor beberapa senyawa

basa, dan reagendalam deteksi kerusakan bahan pangan (Wirakusumah, 2007).

Secara umum, betanin merupakan jenis betasianin utama pada semua

varietas. Pigmen betanin yang terdapat pada bit berbentuk 5-O-beta-glukosa

(Nemzer et al., 2011). Betasianin atau betanin pada bit memiliki stabilitas yang

rendah jika terpapar oleh panas, logam, dan cahaya. Pigmen ini menghasilkan

warna merah muda atau pink hingga merah pada kisaran pH 4-8. Fortifikasi besi

(Fe) dan tembaga (Cu) pada produk confectionary tidak cocok jika diaplikasikan

bersama-sama pewarna bit karena ion logam seperi Fe, Cu, timah (Sn), dan

aluminium (Al) memicu oksidasi pigmen sehingga pigmen terdegradasi dan warna

memudar. Oksidasi juga dapat dipicu dengan tingginya nilai aktivitas air (Aw) pada

produk. Penambahan asam askorbat dapat menjadi salah satu solusi untuk

memperlambat terjadinya oksidasi pigmen tersebut (Brat et al., 2008).

Betasianin dapat digunakan sebagai pewarna alami dalam bentuk ekstrat,

akan tetapi penggunaan pelarut air dalam proses pemekatan dengan panas dapat

mengakibatkan kerusakan karena titik didih air cukup tinggi (100o C) sedangkan

stabilitas betasianin semakin menurun pada pemanasan suhu 70o C dan 80o C

(Herbach et al., 2006).

Lily Yenawaty (2011) melakukan penelitian dalam rangka penggunaan bit

yang dimanfaatkan sebagai pewarna alami pada mie dan menunjukkan bahwa

kandungan vitamin A, C dan khususnya antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan

dengan mie pada umumnya. Berdasarkan hasil penelitian Herrisdiano Ajuan

(2008), aplikasi penggunaan bubuk ekstrak bit yang digunakan dalam pembuatan

terasi, menunjukkan bahwa aplikasi pewarna bit sebagai pewarna alami masih

27

memenuhi standar mutu terasi udang menurut Ditjen Perikanan. Menurut hasil

penelitian Giwang Petriana, et al., (2013) umbi bit merah juga dimanfaatkan dalam

pembuatan sirup dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, 10%, dan 12,5%. Dan untuk

daya terima sirup terhadap panelis bahwa konsentasi sirup yang paling disukai

adalah 5%.