ii. tinjauan pustaka 2.1 pangan - repository.ipb.ac.id · jagung, ubi kayu, dan ubi jalar ... satu...
TRANSCRIPT
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pangan
Pangan adalah sesuatu yang hakiki dan menjadi hak setiap warga Negara
untuk memperolehnya. Ketersediaan pangan sebaiknya cukup jumlahnya, bermutu
baik, dan harganya terjangkau. Salah satu komponen pangan adalah karbohidrat
yang merupakan sumber utama energi bagi tubuh. Kelompok tanaman yang
menghasilkan karbohidrat disebut tanaman pangan. Di Indonesia tanaman pangan
yang digunakan oleh masyarakat masih terbatas pada beberapa jenis, yaitu padi,
jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Selain sebagai sumber karbohidrat, ada tanaman
pangan yang merupakan sumber protein. Jenis tanaman penghasil protein yang
masuk ke dalam tanaman pangan, antara lain kacang tanah, kedelai, dan kacang
hijau. Karena alasannya banyak dikenal dan digunakan sebagai bahan pangan,
tanaman tersebut disebut sebagai kelompok tanaman pangan utama. Jadi, istilah
tanaman pangan utama muncul lebih karena alasan kultur daripada fungsinya
(Purwono dan Purnawati, 2008).
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 28 tahun 2004 pangan adalah
segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun
yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Pangan dibedakan atas pangan segar dan
pangan olahan:
a. Pangan Segar
Pangan segar adalah pangan yang belu mengalami pengolahan, yang dapat
dikonsumsi langsung atau dijadikan bahan baku pengolahan pangan. Misalnya
beras, gandum, segala macam buah, ikan, air segar.
b. Pangan Olahan Tertentu
Makanan / pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan
bagi kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan kelompok tersebut.
7
c. Pangan Siap Saji
Pangan siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah diolah dan bisa
langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar
pesanan.
2.2 Diversifikasi Makanan
Sampai saat ini ketergantungan pangan padi masih sangat besar. Dari total
kalori yang dikonsumsi oleh masyarakat Imdonesia, hampir 60 persen dicukupi
oleh beras (Purwono dan Purwati, 2008). Kondisi ini sangat tidak menguntungkan
bagi pola ketahanan nasional, karena penurunan produksi padi akibat gagal panen
atau sebab lain yang berpengaruh sangat besar terhadap kecukupan pangan
nasional oleh karena itu diversifikasi pangan harus dilakukan jika ketahan pangan
nasional ini ingin dijaga.
Diversifikasi pangan dapat mendukung stabilitas ketahan pangan sehingga
dapat dipandang sebagai salah satu pilar pemantapan ketahanan pangan. Oleh
karena itu akselerasi diversivikasi pangan sebagaimana diamanatkan dalam
Perpres No. 22 Tahun 2009 harus dapat diwujudkan.
Menurut Herdinsyah (2004) pengertian diversifikasi pangan adalah salah
satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras. Diversifikasi
pangan sudah lama dilakukan, namun sampai saat ini belum menunjukkan hasil
yang memuaskan. Diversifikasi pangan hendaknya tidak hanya meningkatkan
produksi berbagai macam bahan pangan saja, namun terpenting adalah merubah
struktur bahan pangan yang dikonsumsi. Dengan demikian penganekaragaman
pangan bukan saja dimaksud untuk mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap beras, tetapi juga untuk peningkatan mutu gizi makanan rakyat dalam
rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Diversifikasi perlu diarahkan kembali kepada penggunaan bahan pangan
likal, sumber karbohidrat nonberas. Sebenarnya banyak bahan pangan lokal yang
dimiliki Negara Indonesia, misalnya jagung yang disukai rakyat Madura, gaplek
(Jawa bagian selatan), sagu (Ambon), umbi (Irian Jaya), Pisang (Sulawesi
Tengah) dan lainnya. Sumber bahan pangan, baik tanaman setahun maupun
tanaman tahunan yang melimpah ini sangat potensial dikembangkan dalam rangka
diversifikasi pangan. Kendala penganekaragaman ini biasanya muncul dari segi
8
psikologis sosial akibatnya adanya kebijakan pemerintah yang memungkinkan
beras cukup mudah dan murah untuk diakses oleh masyarakat di berbagai daerah
dan strata ekonomi. Nilai gizi, citra rasa, dan nilai sosial beras yang tinggi
mengakibatkan masyarakat di beberapa daerah yang semula tidak mengkonsumsi
beras menjadi beralih ke beras (Khosman, 2004)
2.3 Tepung Terigu
Tepung terigu adalah tepung yang terbuat dari biji gandum melalui proses
penggilingan. Kata “terigu” sendiri diserap dari bahasa Portugis “trigo” yang
berarti gandum. Definisi tepung terigu sebagai bahan makanan menurut SNI
(Standard Nasional Indonesia) adalah tepung yang dibuat dari endosperm biji
gandum Triticum aestivum L. (Club wheat) dan/atau Triticum campactum Host
atau campuran keduanya dengan penambahan fortifikan zat besi (Fe), seng (Zn),
vitamin B1, vitamin B2 dan asam folat. Boleh juga ditambahkan BTP (bahan
tambahan pangan) yang diijinkan sesuai peraturan tentang BTP.
Anonim (2010) membagi tepung terigu menjadi tiga jenis berdasarkan
kandungan proteinnya, yaitu:
a. Tepung berprotein tinggi (bread flour): tepung terigu yang mengandung kadar
protein tinggi, antara 11%-13%, digunakan sebagai bahan pembuat roti, mi,
pasta, dan donat. Contoh : Terigu Cakra Kembar
b. Tepung berprotein sedang/serbaguna (all purpose flour): tepung terigu yang
mengandung kadar protein sedang, sekitar 8%-10%, digunakan sebagai bahan
pembuat kue cake. Contoh : Terigu Segitiga Biru
c. Tepung berprotein rendah (pastry flour): mengandung protein sekitar 6%-8%,
umumnya digunakan untuk membuat kue yang renyah, seperti biskuit atau
kulit gorengan ataupun keripik. Contoh : Terigu Kunci Biru
Dari segi gizi, tepung terigu merupakan bahan makanan pokok yang paling
bergizi di antara berbagai makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Tepung terigu mengandung protein yang tertinggi disbanding makanan pokok
lainnya sekitar 12 persen serta mengandung lemak sekitar 1 persen dan
karbohidrat 86 persen (Herdinsyah, 2004).
Berdasarkan data yang diperoleh dari APTINDO produsen tepung terigu di
Indonesia khususnya penggabungan dua pabrik Bogasari Flour Mills yang ada di
9
Jakarta dan Surabaya, merupakan produsen yang memiliki kapasitas produksi
terbesar di dunia. Daya giling gandum menjadi tepung terigu yang dimiliki oleh
dua pabrik milik Bogasari itu sebesar 11.766 mt/hari, jauh di atas kemampuan
rata-rata kapasitas produksi 10 (sepuluh) produsen terbesar di dunia sebesar 2.426
mt/hari, seperti Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Kapasitas Produksi Sepuluh Produsen Terbesar di Dunia
No. Perusahaan Lokasi / Negara Kapasitas
1. Bogasari Flour Mills Jakarta - Indonesia 7.400 Mt / hari
2. Bogasari Flour Mills Surabaya - Indonesia 4.366 Mt / hari
3. Prima Flour Mills Trincomalee – Sri lanka 2.600 Mt / hari
4. Eastern Pearl Flour Mills Ujung Pandang - Indonesia 2.146 Mt / hari
5. Nabisco Brands, Inc. Toledo, Ohio - USA 1.600 Mt / hari
6. ConAgra Flour Milling Buffalo, New York - USA 1.450 Mt / hari
7. General Mills, Inc. Kansas City, MO - USA 1.300 Mt / hari
8. ADM Milling Corp. Montreal, PQ - Canada 1.200 Mt / hari
9. Sriboga Raturaya FM Semarang - Indonesia 1.100 Mt / hari
10. General Milling Corp. Cebu - Philippines 1.100 Mt / hari
Sumber : APTINDO, 2007.
Jalur distribusi yang dilakukan oleh produsen tepung terigu nasional, baik
oleh Bogasari Flour Mills, Eastern Pearl Flour Mills, Sriboga Raturaya dan
Panganmas Inti Persada dilakukan melalui 2 (dua) mata rantai jalur distribusi
besar yaitu: Pertama, produk tepung terigu yang dihasilkan oleh setiap produsen
lokal didistribusikan kepada distributor besar atau langsung diserap oleh industri
skala besar dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kedua, tepung terigu masuk
dalam gudang-gudang distributor, dan didistribusikan kepada grosir atau Industri
Kecil Menengah (IKM). Dari grosir didistribusikan kembali untuk dikonsumsi
oleh IKM lainnya, industri rumah tangga atau konsumsi rumah tangga.
10
Gambar 3. Jalur Distribusi Yang Dilakukan Oleh Produsen Tepung Terigu
Nasional
2.4 Modified Cassava Flour (MOCAF)
MOCAF yang juga dikenal dengan istilah MOCAL merupakan produk
tepung dari singkong (Manihot Esculenta Crantz)yang diproses menggunakan
prinsip modifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri
Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang
tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong sedemikian rupa sehingga terjadi liberasi
granula pati. Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang
menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-
asam organic, terutama asam laktat. Hal ini akan menyebabkan perubahan
karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan
gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut. Demkian pula, cita rasa MOCAF
menjadi netral karena menutupi citra rasa singkong sampai 70% (Subagio et al.,
2008).
Menurut Subagio et al. (2008), komposisi kimia MOCAF tidak jauh
berbeda dengan tepung singkong, tetapi MOCAF mempunyai karakteristik
organoleptik yang spesifik. Komposisi kimia dan karakteristik organoleptik antara
MOCAF dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Secara
organoleptik warna MOCAF yang dihasilkan jauh lebih putih jika dibandingkan
dengan warna tepung singkong biasa. Hal ini disebabkan karena kandungan
protein MOCAF yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung singkong.
Produsen Lokal
Industri Besar Distributor
Grosir Industri UKM
IKM Rumah Tangga
11
Kandungan protein dapat menyebabkan warna coklat tua ketika pengeringan atau
pemanasan.
Tabel 2. Perbedaan komposisi kimia MOCAF dengan tepung singkong
Sumber : Subagio et al., 2008.
Tabel 3. Perbedaan sifat organoleptik MOCAF dengan tepung singkong
Sumber : Subagio et al., 2008.
2.5 Penerimaan Teknis
2.5.1 Proses Produksi
Proses produksi dapat diartikan sebagai cara, metode, dan teknik untuk
menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan
menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan, dan daya) yang
ada. Secara ekstrem proses produksi dapat dibedakan menjadi dua yaitu proses
produksi yang terus-menerus (countinous processes) dan proses produksi yang
terputus-putus (intermitten processes) ( Assauri, 2004).
Proses produksi adalah pengubahan (transformasi) dari bahan atau
komponen menjadi produk lain yang mempunyai nilai lebih tinggi atau dalam
prosesnya terjadi penambahan nilai (Yamit, 2001).
2.6 Penerimaan Finansial
Dalam melakukan studi peluang, aspek keuangan merupakan faktor yang
menentukan, artinya betapapun aspek-aspek yang lain mendukung namun bila
tidak tersedia dana maka suatu proyek akan sia-sia belaka. Aspek keuangan
Parameter MOCAF Tepung Singkong
Kadar Air (%) Max. 13 Max. 13
Kadar protein (%) Max. 1.0 Max. 1.2
Kadar abu (%) Max. 0.2 Max. 0.2
Kadar pati (%) 85 - 87 82 - 85
Kadar serat (%) 1.9 - 3.4 1.0 - 4.2
Kadar lemak (%) 0.4 - 0.8 0.4 - 0.8
Kadar HCN (mg/kg) tidak terdeteksi tidak terdeteksi
Parameter MOCAF Tepung Singkong
Warna Putih Putih agak kecoklatan
Aroma Netral Kesan singkong
Rasa Netral Kesan singkong
12
berkaitan dengan bagaimana menentukan kebutuhan jumlah dana, sehingga
memberikan tingkat keuntungan yang menjanjikan begi investor.
Menurut Ibrahim dalam Yohan (2005), beberapa faktor pada analisis
finansial yang umum digunakan untuk menguji kelayakan suatu proyek terutama
berkisar pada perkiraan biaya investasi, perkiraan biaya operasi dan pemeliharaan,
kebutuhan modal kerja, sumber pembiayaan, waktu, dan perkiraan pendapatan.
Untuk dapat menentukan apakah suatu proyek investasi dapat dikatakan layak,
maka diperlukan teknik-teknik kriteria penilaian investasi yang didasarkan pada
estimasi aliran kas yang bersangkutan.
a. Net Present Value (NPV)
Menurut Sugiono (2009), metode ini membandingkan present value
dengan cash in flow yang diperoleh dengan cash out flow yang dikorbankan untuk
melaksanakan investasi jangka panjang tersebut berupa initial investment.
Penilaian NPV adalah putusan untuk menerima atau menolak usulan suatu
investasi yang didasarkan pada kriteria berikut.
a. Usulan investasi dapat diterima jika NPV > 0
b. Usulan investasi dapat ditolak jiks NPV < 0
Metode NPV mengakui konsep dari time value of money. Present value
CIF diperoleh dengan cara mendiskontokan CIF tersebut dengan Cost Of Capital-
nya.
……………….(1)
Keterangan :
C : cash out flow (Initial Investment)
CIF : cash in flow
K : tingkat suku bunga/diskonto/biaya modal
n : periode/umur investasi
Vn : nilai residu pada akhir umur ekonomis
b. Internal Rate of Return (IRR)
Menurut Sugiono (2009), Metode ini mencari suatu tingkat bunga yang
membuat nilai sekarang (present Value) dari cash in flow akan sama dengan nilai
cash out flow atau nilai investasi tersebut sekarang. Dengan metode ini putusan
13
untuk menerima atau menolak usulan investasi dapat dilakukan dengan didasarkan
pada kriteria berikut.
a. Usulan investasi dapat diterima jika IRR > opportunity cost of capital
b. Usulan investasi dapat ditolak jika IRR < opportunity cost of capital
…………………(2)
r = merupakan tingkat bunga (diskonto) yang dicari, yaitu rate of return dari
proyek tersebut yang membuat present value dari CIF sama dengan intial
investment.
c. Benefit Cost Ratio (B/C)
Metode ini digunakan untuk menghitung present value (nilai sekarang)
dari cash in flow dibagi dengan present value dari cash out flow (Initial
investment) (Sugiono, 2009). Rumus untuk menghitung benefit cost ratio adalah:
∑
…………………………………………………………………(3)
Dengan menggunakan metode ini, kita dapat menyatakan hal-hal berikut.
a. Investasi dapat diterima jika PI > 1
b. Investasi tidak diterima jika PI < 1
d. Payback Periode
Metode ini menganalisis neraca lama suatu investasi yang akan
dikembalikan. Untuk itu perlu dihitung cash in flow yang diperoleh pada tiap-tiap
tahun proyek tersebut. Metode ini memiliki asumsi bahwa nilai uang akan tetap
sama antara suatu periode dan periode berikutnya. Oleh sebab itu, metode ini
sama sekali tidak memperhatikan unsur time value of money. Jadi, simpulannya
adalah bahwa payback periode digunakan untuk mengukur lamanya waktu yang
diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi (initial investment) yang dihitung
dengan membagi investasi semua dengan cash in flow (Sugiono, 209).
…………………………………...(4)
14
e. Break Event Point (BEP)
Menurut Heizer, et al (2005), analisis titik impas merupakan alat penentu
untuk menetapkan kapasitas yang harus dimiliki oleh sebuah fasilitas untuk
mendapatkan keuntungan. Tujuan analisis titik impas (break-even analysis) adalah
untuk menemukan sebuah titik, dalam satu dolar dan unit.
Komponen-komponen yang dibutuhkan dalam analisis titik impas adalah
sebagai berikut:
1. Biaya Tetap (fixed cost)
Biaya tetap adalah biaya yang ada walaupun tidak ada satu unit pun yang
diproduksi. Contohnya adalah penyusutan, pajak, utang, dan pembayaran
hipotek.
2. Biaya Variabel (variable cost)
Biaya variabel adalah biaya yang bervariasi sesuai dengan banyaknya unit yang
diproduksi. Komponen utama biaya variabel adalah biaya tenaga kerja dan
bahan. Walaupun demikian, biaya-biaya lain seperti sebagian biaya listrik dan
air yang bervariasi sesuai dengan banyaknya unit yang diproduksi, juga
merupakan biaya variabel.
Rumus yang berkaitan dengan titik impas dalam unit dan dolar
ditunjukkan di bawah.
1) TR = TC atau Px = F +Vx ……………………………………....……...(5)
2)
– …………………………………….…..…(6)
3)
……………………………………………...…...(7)
Dimana : BEPx = Titik impas dalam unit
BEP$ = Titik impas dalam dolar
P = Harga per unit (setelah semua diskon)
x = Jumlah unit yang diproduksi
TR = Pendapatan total = Px
F = Biaya tetap
V = Biaya Variabel
TC = Biaya total = F +Vx
15
Dari kelima alternatif analisis penerimaan finansial, maka dipilih salah
satu metode yang sesuai untuk digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
analisis benefit cost ratio. Karena dalam perhitungannya, analisis ini
memperhitungkan biaya serta manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan suatu
program atau proyek. Dalam analisis cost – benefit perhitungan manfaat serta
biaya ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Penerapan analisis ini banyak digunakan oleh para investor dalam upaya
mengembangkan bisnisnya. Terkait dengan hal ini, maka nalisis manfaat dan
biaya dalam pengembangan investasi hanya didasarkan pada rasio tingkat
keuntungan dan biaya yang akan dikeluarkan atau dalam kata lain penekanan yang
digunakan adalah pada rasio finansial atau keuangan.
2.7 Preferensi Konsumen
Adanya makanan yang lebih beragam untuk tujuan diversifikasi makanan,
dapat menimbulkan preferensi bagi konsumen. Terdapatnya pilihan makanan yang
lebih beragam dengan kandungan gizi yang berbeda dan memberikan kepuasan
yang berbeda-beda juga bagi konsumen.
Kotler dan Keller (2007) mendefinisikan preferensi konsumen sebagai
suatu pilihan suka atau tidak suka seseorang terhadap produk (barang dan jasa)
yang dikonsumsi. Preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen dari
berbagai pilihan produk yang ada. Teori preferensi digunakan untuk menganalisis
tingkat kepuasan bagi konsumen. Terdapat banyak aksioma yang digunakan untuk
menerangkan tingkah laku individu dalam masalah penetapan pilihan. Hubungan
preferensi ini biasanya diasumsikan memiliki tiga sifat dasar yaitu kelengkapan,
transivitas, dan kontuinitas. Menurut Kotler dan Amstrong (2003), hubungan
preferensi biasanya diasumsikan memiliki tiga sifat dasar, yaitu kelengkapan
(completeness), transitivitas (transivity), dan kontinuitas (continuity).
Sifat kelengkapan (completeness) memberikan asumsi bahwa setiap orang
selalu dapat menentukan pilihan dengan dua alternatif. Sebagai contoh, jika A dan
B merupakan dua kondisi, maka setiap orang harus selalu bisa menentukan salah
satu dari tiga hal. Pertama, A lebih disukai daripada B. Kedua, B lebih disukai
daripada A. Ketiga, A dan B sama- sama disukai.
16
Sifat transivitas (transivity) memberikan asumsi bahwa seseorang yang
membandingkan beberapa kondisi yang saling berhubungan akan menunjukkan
sikap yang sesuai dan konsisten. Sebagai contoh, jika seseorang mengatakan
bahwa ia lebih menyukai A daripada B dan lebih menyukai B daripada C, maka ia
harus lebih menyukai A daripada C.
Sifat berkelanjutan (continuity) memiliki asumsi dasar yang hampir sama
dengan sifat transivitas, bahwa kesesuaian dan konsisensi sikap seseorang akan
terjaga pada saat membandingkan dua kondisi pada situasi yang berbeda. Sebagai
contoh, jika seseorang mengetakan A lebih disukai daripada B, maka kondisi lain
yang serupa dengan A lebih disukai daripada B (Kotler dan Amstrong, 2003).
Menurut Stepherd dan spark dalam Faaizah (2011), preferensi pangan
adalah derajat kesukaan terhadap makanan yang akan berpengaruh terhadap
konsumsi pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi konsumen dapat
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu faktor intrinsic, faktor ekstrinsik, faktor
biologis, faktor fisik dan psikologis, faktor personal, faktor sosial dan ekonomi,
faktor pendidikan, serta faktor kultur, agama, dan daerah. Faktor intrinsic
merupakan faktor yang bersumber dari dalam produk yang meliputi penampakan,
aroma, suhu, tekstur, kualitas, kuantitas, dan cara penyajian pangan. Faktor
ekstrinsik meliputi lingkungan sosial, iklan produk, dan waktu penyajian.
Produk baru adalah barang, jasa, atau ide yang dianggap baru oleh
sejumlah pelanggan potensial. Produk baru mungkin telah ada untuk beberapa
waktu, tetapi ketertarikan terletak pada bagaimana konsumen mempelajari produk
itu untuk pertama kalinya dan membuat keputusan untuk mengadopsinya. Proses
adopsi didefinisikan sebagai proses mental yang harus dilalui seseorang untuk
mempelajari sebuah inovasi untuk pertama kalinya sampai adopsi akhir, dan
adopsi adalah keputusan seseorang untuk menjadi pengguna tetap sebuah produk
(Kotler dan Amstrong, 2008).
Proses adopsi produk dikelompokkan menjadi lima tahap, yaitu kesadaran,
minat, evaluasi, mencoba, dan adopsi. Pada mulanya, konsumen harus menyadari
produk baru. Kesadaran menumbuhkan minat dan konsumen mencari informasi
tentang produk baru. Setelah informasi dikumpulkan, konsumen memasuki tahap
evaluasi dan harus mempertimbangkan untuk membeli produk baru. Berikutnya
17
dalam tahap mencoba, konsumen mencoba produk dalam skala kecil untuk
meningkatkan estimasinya terhadap nilai produk. Jika konsumen puas dengan
produk, ia memasuki tahap adopsi, memutuskan untuk menggunakan produk baru
dengan skala lebih besar dan teratur.
Sesuai dengan pemikiran Kotler dan Amstrong, dalam proses difusi
inovasi terdapat pengaruh karakteristik produk pada tingkat adopsi, yaitu (1)
keunggulan relatif, tingkat dimana inovasi tampak mengungguli produk yang ada,
(2) kesesuaian, tingkat dimana inovasi memenuhi nilai dan pengalaman konsumen
potensial, (3) kompleksitas, tingkat dimana inovasi sulit dipahami atau digunakan,
(4) dapat dibagi, tingkat dimana inovasi dapat dicoba pada basisi terbatas, (5)
kemampuan komunikasi, tingkat di mana hasil penggunaan inovasi dapat diteliti
atau digambarkan orang lain.
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian Rahman (2007) dengan judul Mempelajari Karakteristik Kimia
dan Fisik Tepung Tapioka dan MOCAL (MODIFIED CASSAVA FLOUR)
Sebagai Penyalut Kacang Pada Produk Kacang Salut. Tujuan penelitian ini adalah
mempelajari karakteristik kimia dan fisik beberapa sampel tepung tapioka dan
MOCAL, mempelajari korelasi antara karakteristik kimia dan fisik sampel
tersebut dengan tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada
produk kacang salut, menentukan karakteristik yang paling relevan terhadap
kerenyahan penyalut pada produk kacang salut, dan mempelajari karakteristik
sampel yang memberikan kerenyahan tertinggi terhadap penyalut pada produk
kacang salut. Berdasarkan hasil penelitiannya, menunjukkan karakteristik kimia
dan fisik yang berbeda antar sampel tepung tapioka, begitu pula dengan MOCAL.
Berdasarkan hasil analisis korelasi, karakteristik yang paling relevan terhadap
tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut pada kacang salut adalah
rasio amilosa dan amilopektin. Sementara itu, karakteristik lainnya seperti kadar
air, kadar abu, kadar pati, nilai pH, bentuk dan ukuran pati, kehalusan, derajat
putih, swelling power dan kelarutan, serta sifat amilografi tidak terlalu
berpengaruh terhadap tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut
pada produk kacang salut. Tingkat pengembangan papatan dan kerenyahan
penyalut berkorelasi negatif dengan rasio amilo dan amilopektin (P<0.05). maka
18
dapat disimpulkan bahwa semakin rendah rasio amilosa dan amilopektin, tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan penyalut akan semakin besar. Tingkat
pengembangan papatan dan kerenyahan tertinggi dimilki oleh penyalut yang
dihasilkan dari tapioka F, sedangkan yang terendah yaitu pada sampel MOCAL.
Oleh karena itu MOCAL tidak cocok untuk digunakan sebagai penyalut pada
produk kacang salut.
Panikulata (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Potensi Modified
Cassava Flour (MOCAF) sebagai substitusi Tepung Terigu Pada Produk Kacang
Telur”. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik MOCAF dan
terigu sebagai bahan baku pembuatan kulit kacang telur, menentukan tingkat
substitusi MOCAF terhadap tepung terigu yang dapat diaplikasikan pada
formulasi kacang telur sehingga dapat diterima baik oleh konsumen. Berdasarkan
hasil penelitiannya, karakteristik bahan baku yang mempengaruhi tekstur kacang
telur ialah kadar protein, lemak, kadar amilosa dan amilopektin. MOCAF
memiliki kandungan protein yang sangat rendah bila dibandingkan dengan terigu.
Kandungan protein MOCAF sebesar 0.53%, sedangkan terigu sebesar 7.79%.
semakin tinggi kandungan protein dalam suatu bahan, akan menyebabkan tekstur
produk yang dihasilkan menjadi keras. Oleh karena itu, kacang telur yang
disubstitusi dengan MOCAF, akan menghasilkan tekstur yang tidak terlalu keras,
dan dapat diterima baik oleh konsumen dengan skor penerimaan minimum
sebesar 3.50. semakin tinggi tinggi tingkat substitusi MOCAF terhadap terigu
pada formulasi kacang telur, akan menghasilkan tekstur produk yang masir,
karena MOCAF memiliki kandungan amilosa yang tinggi dibansingkan dengan
kadar lemak yang rendah. Kadar amilosa MOCAF sebesar 34.75% dan kadar
lemak sebesar 0.54%. sedangkan terigu memiliki kadar amilosa sebesar 29.78%
dengan kadar lemak sebesar 1.03%. Selain itu, tekstur juga dipengaruhi oleh
kandungan amilopektin. Semakin tinggi kandungan amilopektin suatu bahan, akan
menyebakan daya kembang menjadi tinggi. MOCAF memiliki kandungan
amilopektin yang lebih tinggi dibandingkan dengan terigu, yaitu 39.55% dan
terigu sebesar 33.74%. Daya kembang MOCAF lebih tinggi daripada terigu.
Berdasarkan analisis tekstur secara subjektif, substitusi MOCAF dapat diterima
baik oleh konsumen sampai tingkat substitusi 25% dengan perolehan skor
19
penerimaan konsumen sebesar 3.56. Hasil analisis tekstur menggunakan Texture
Analyser juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat substitusi MOCAF
terhadap terigu, maka tekstur kacang telur yang dihasilkan akan semakin renyah.
Hal ini ditunjukkan dengan semakin tinggi tinggi tingkat substitusi MOCAF, nilai
crispness yang terbaca oleh Texture Analyser akan semakin tinggi. Selain itu juga,
semakin tinggi tingkat substitusi MOCAF terhadap terigu pada kacang telur, maka
gaya yang terbaca oleh Texture Analyser akan semakin rendah. Semakin rendah
gaya yang dibutuhkan, menunjukkan bahwa semakin banyak rongga udara yang
terdapat di dalam produk kacang telur. Hal ini berarti semakin tinggi tingkat
substitusi, maka akan menghasilkan tekstur produk yang semakin renyah.
Penelitian Damanik (2010) dengan judul Akseptasi Teknis, Finansial dan
Preferensi Konsumen Terhadap Substitusi Sebagian Bahan Baku Roti dan Pizza
dengan Menggunakan MOCAF (Studi Kasus Pada UKM Di Bogor). Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi
bahan baku pada pizza dan roti manis, menganalisis apakah terdapat perbedaan
proses produksi pada pizza dan roti manis yang menggunakan bahan baku terigu
100 persen dengan bahan baku kombinasi MOCAF, menganalisis apakah
MOCAF mampu menurunkan biaya produksi pizza dan roti manis, dan
menganalisis respon konsumen terhadap pizza dan roti manis yang menggunakan
bahan baku kombinasi MOCAF. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
proses produksi pizza dan roti manis yang memiliki kandungan MOCAF
membutuhkan tambahan waktu 3-5 menit, ini disebabkan karena MOCAF lebih
lama mengembang, sehingga mengakibatkan adanya tambahan biaya pada
pemakaian gas. Dari segi analisis manfaat biaya, kombinasi 20 persen MOCAF
dan 80 persen terigu pada pizza adalah layak, karena nilai Benefit Cost nya
meningkat dari 1,3283 menjadi 1,3324. Demikian juga terhadap roti manis pada
kombinasi 20 persen MOCAF dan 80 persen terigu adalah dapat diterima karena
nilai Benefit Cost nya meningkat dari 1,7591 menjadi 1,7672. Semakin tinggi
persen kandungan MOCAF, semakin mampu menurunkan total biaya produksi.
Pada kombinasi 20 persen MOCAF dan 80 persen terigu, responden tidak dapat
menemukan adanya perbedaan baik dari variabel rasa, aroma, kelembutan,
manfaat yang dirasakan, dan warna pada pizza dan roti.
20
Faaizah (2011) dengan judul Penerimaan Produsen dan Preferensi
Konsumen terhadap Penggunaan MOCAF sebagai Campuran Bahan Baku Mi
Basah (Studi Kasus pada CV Taruna di Bogor). Penelitian ini bertujuan untuk (1)
menganalisis apakah MOCAF dapat dijadikan sebagai kombinasi bahan baku
pada mi basah, (2) menganalisis apakah terdapat perbedaan proses produksi mi
basah berbahan baku 100 persen terigu dengan mi kombinasi MOCAF, (3)
menganalisis apakah perubahan biaya produksi mi yang terjadi masih dapat
diterima, (4) menganalisis respon konsumen terhadap mi basah yang
menggunakan bahan baku kombinasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
secara teknis, penggunaan kombinasi MOCAF hingga 25 persen untuk membuat
mi basah tidak mengalami kendala. Dari aspek biaya, penggunaan kombinasi
MOCAF pada produksi mi basah saat ini belum dapat digunakan karena dapat
meningkatkan biaya produksi. Distributor tidak dapat membedakan mi basah
kombinasi MOCAF, kecuali atribut kelembutan ketika kombinasi MOCAF 20
persen serta atribut warna ketika kombinasi MOCAF 20 persen dan kombinasi
MOCAF 25 persen. Konsumen tidak dapat membedakan mi basah dengan
kombinasi MOCAF, kecuali atribut kelembutan ketika kombinasi MOCAF 20
persen dan kombinasi MOCAF 25 persen.