ii. kajian pustaka

39
II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah menurut Halim (2001) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain itu keadaan luar negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah. Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan: Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah Pemerintah Daerah adalah penyelenggara pemerintaha Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: II. KAJIAN PUSTAKA

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Pertimbangan mendasar terselenggaranya otonomi daerah menurut Halim

(2001) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan

bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi).

Selain itu keadaan luar negeri yang juga menunjukkan bahwa semakin

maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya

saing pemerintah daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan

akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemerintah daerah.

Selanjutnya peningkatan kemandirian pemerintah daerah tersebut

diharapkan dapat diraih melalui otonomi daerah.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah disebutkan:

Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah

Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah

Pemerintah Daerah adalah penyelenggara pemerintaha Daerah Otonom

oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi

Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan

Page 2: II. KAJIAN PUSTAKA

22

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pembentukan Pemerintah Daerah ini merupakan salah satu bentuk

perwujudan dari sistem pemerintahan desentralisasi yang diyakini lebih baik

daripada sistem sentralistis yang selama ini dianut bangsa Indonesia. Tujuan

utama dibentuknya Pemerintah Daerah menurut Ryaas Rasyid (1996) untuk

menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalankan

kehidupannya dengan wajar.

Dalam rangka membangun pemerintahan yang efektif, diperlukan adanya

desentralisasi tingkat tinggi. Tujuannya membentuk kebutuhan untuk

membangun daerah-daerah otonom yang memiliki kemandirian yang tinggi

pula. Sehingga otonomi adalah bentuk penerapan dari asas desentraliasi.

2.1.1. Desentralisasi

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman dalam

berbagai hal. Sehingga setiap bagian wilayahnya tentu memiliki

karakter potensial, sumber daya alam dan budaya yang akan lebih

tergali apabila pembangunan wilayahnya dilaksanakan secara

mandiri. Dengan demikian adanya desentraliasi menjadi hal yang

mutlak diperlukan.

Desentralisasi merupakan sistem pengelolaan yang merupakan

kebalikan dari sistem pengelolaan sentralisasi. Sehingga

Page 3: II. KAJIAN PUSTAKA

23

desentralisasi adalah prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke

bagian-bagiannya baik bersifat kewilayahan maupun fungsinya.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1,

desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh

Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Penerapan sistem pengelolaan desentralisasi pada

pemerintah dilakukan dengan alasan agar tercapainya efektivitas

pemerintah dan demi terlaksananya demokrasi dari lapisan paling

bawah sehingga efisiensi secara keseluruhan dapat tercapai.

Jadi desentralisasi di bidang pemerintahan adalah menyerahkan

kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan sebagian urusan

Pemerintah Pusat ke Daerah. Hal ini berarti memberi kesempatan

kepada aparat daerah, termasuk wakil-wakil rakyatnya untuk

berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan berbagai

kebijakan pembangunan tanpa harus mengakses atau diakses dari

pusat.

Oleh karena itu pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah bukan

hanya soal administrasi dan keuangan tetapi juga permasalahan

politik. Hal ini terjadi agar keputusan-keputusan yang biasa

dilakukan oleh pusat dapat dilakukan di daerah. Sebab daerah tentu

tahu secara pasti apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakat

setempat.

Page 4: II. KAJIAN PUSTAKA

24

2.1.2. Otonomi Daerah

a. Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani, yaitu Autos (sendiri)

dan Nomos (hukum atau aturan). Otonomi bermakna kebebasan dan

kemandirian daerah dalam menentukan langkah-langkah sendiri.

Ketentuan umum pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi daerah adalah

hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984:4), mengatakan

bahwa otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan

menjalankan kepentingan khusus se-daerah, dengan keuangan

sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri.

Sedangkan Syafrudin sendiri berpendapat bahwa istilah otonomi

mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan

kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atas kemandirian adalah

wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan.

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan

pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi.

Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat

(Nasional) kepada pemerntah lokal atau daerah dan kewenangan

daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan

aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan

Page 5: II. KAJIAN PUSTAKA

25

pemahaman ini, otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi.

Jadi yang dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat

otonomi itu sebagai hal, wewenang, dan kewajiban daerah untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

dalam system negara Kesatuan republik Indonesia.

Alasan diadakannya otonomi daerah adalah untuk mempermudah,

meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan jalannya

pemerintahan dalam suatu negara. Beberapa alasan munculnya

konsep otonomi daerah adalah (http://digilib.petra.ac.id):

Adanya kekurangpuasan atas hasil perencanaan pembangunan

daerah yang dicanangkan dan kontrol yang dilakukan oleh

Pemerintah Pusat.

Daerah sedang mengalami kemajuan yang cukup baik dan dapat

melaksanakan pembangunan daerahnya sendiri, walaupun tidak

secara merata.

Makin kompleksnya kondisi daerah dan lingkungan masyarakat

serta meningkatnya kegiatan-kegiatan pusat, sehingga akan

Page 6: II. KAJIAN PUSTAKA

26

semakin sulit untuk mengakomodasikan semua ini dalam

perencanaan yang dilakukan oleh pusat.

b. Dasar Hukum Otonomi Daerah

Permasalahan otonomi menurut Haryanto (2006) sebenarnya bukan

merupakan hal yang baru di Indonesia. Bahkan jauh sebelum

Indonesia merdeka, pola pendelegasian wewenang atau otonomi

telah dipraktekkan. Secara formal UU No 32 Tahun 2004 adalah

usaha otonomi yang kesebelas. Berikut ini adalah kronologis upaya

otonomi dalam bentuk peraturan perundang-undanganyang pernah

ada dan berlaku di Indonesia

1. Tahun 1903 Desentralisatie Wet

Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali

didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke

20 melalui Desentralisatie Wet tahun 1903.

2. Tahun 1922

Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan untuk

memberikan otonomi lebih besar kepada Daerah untuk

menjadikannya lebih efektif dalam menjalankan aktivitasnya.

3. Tahun 1942

Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan

Jepang yang memerintah sampai dengan tahun 1945.

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang ini diterbitkan pada tanggal 23 Nopember 1945

dan merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah

Page 7: II. KAJIAN PUSTAKA

27

kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD

1945.

5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-undang No 22 Tahun 1948 yang dimaksudkan sebagai

pengganti UU No 1 Tahun 1945 yang sudah dianggap tidak

sesuai lagi dengan semangat kebebasan.

6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Apabila UU No 1/1946 lebih menekankan pada aspek

dekonsentrasi, dan UU No 22/1948 pada aspek desentralisasi,

maka UU No 1/1957 ditandai dengan penekanan yang jauh lagi

kearah desentralisasi.

7. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari

Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk

mengatur Pemerintah Daerah agar sejalan dengan UUD.

8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang

semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan Daerah agar

sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom.

9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Ada tiga prinsip dasar yang dianut oleh UU 5/1974 yaitu

desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam

prakteknya, prinsip dekonsentrasi yang lebih dominan.

Page 8: II. KAJIAN PUSTAKA

28

10. Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999

Perubahan ini secara prinsip mengubah secara radikal hubungan

Pusat Daerah, besarnya kewenangan Daerah dan Perimbangan

Keuangan yang diatur secara khusus dalam UU No 25 sebagai

buah reformasi 1999.

11. Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

dan Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Merupakan revisi terhadap UU No 22 dan 25 Tahun 1999.

Implikasi dari pemberian kewenangan otonomi ini menuntut daerah

untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk

pembangunan sarana dan prasarana publik (public services).

Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri

oleh daerah baik dari sisi perencanaan, pembangunan, serta

pembiayaannya. Pembangunan yang dilaksanakan akan banyak

memberikan manfaat bagi daerah, diantaranya:

Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat

Mendorong perkembangan perekonomian daerah

Mendorong peningkatan pembangunan daerah di segala bidang

Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat

Meningkatkan pendapatan asli daerah

Mendorong kegiatan investasi

Page 9: II. KAJIAN PUSTAKA

29

c. Prinsip-Prinsip Pemberian Otonomi Daerah

Untuk mencapai tujuan otonomi daerah, maka diperlukan prinsip-

prinsip dalam pemberian otonomi daerah antara lain, pelaksanaan

otonomi harus didasarkan pada otonomi seluas-luasnya, nyata, dan

bertanggung jawab.

Penjelasan umum Undang-Undang No.32 tahun 2004 mengenai

prinsip otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab,

yaitu:

a. Otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenagan

mengurus pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah

yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki

kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi

pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan

masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat.

b. Nyata berarti bahwa untuk menangani urusan pemerintahan

dilaksanakan berdasrkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang

senyata-nyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup

dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

c. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan

maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk

memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Page 10: II. KAJIAN PUSTAKA

30

Sedangkan prinsip-prinsip otonomi daerah yang dijadikan pedoman

dalam Undang-Undang No.32 tahun 2004 adalah:

a. Penyelenggaraan otonomi derah dilaksanakan dengan

memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta

potensi dan keanekaragaman daerah.

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi yang luas,

nyata dan bertanggung jawab.

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada

daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah

propinsi merupakan otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi

negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara

pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan

kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah

kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.

Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh

pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan

pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan

perkebunan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan

semacamnya berlaku ketentuan “Peraturan Daerah Otonom”.

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan

dan fungsi badan legislatif saerah, baik sebagai fungsi legislasi,

Page 11: II. KAJIAN PUSTAKA

31

fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atau penyelenggaraan

pemerintah daerah.

g. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi

dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk

melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang

dilimpahkan kepada gubernur sebaga wakil pemerintah.

h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya

dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan

daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan

prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban

melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada

yang menugaskannya.

2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan

tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh

Pemerintah Daerah dan DPRD. APBD, perubahan APBD, dan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan

peraturan daerah.

APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan

kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan APBD berpedoman kepada

RKPD dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk

tercapainya tujuan bernegara. APBD merupakan dasar pengelolaan

Page 12: II. KAJIAN PUSTAKA

32

keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai

tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.

Penetapan prioritas anggaran pengeluaran daerah harus mengacu pada

prinsip penganggaran terpadu (unified budgeting). Penganggaran terpadu

adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara

terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan

pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian efisiensi alokasi

dana.

Sebagaimana ditetapkan dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,

penyusunan APBD 2007 harus berdasar pada penganggaran terpadu.

Penyusunan APBD dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja.

Penyusunan APBD tersebut juga harus berorientasi pada anggaran berbasis

kinerja.

Penganggaran di daerah harus di susun dalam Kerangka Pengeluaran Jangka

Menengah (Medium-Term Expenditure Framework). Kerangka Pengeluaran

Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,

dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam

perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan

implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya

yang dituangkan dalam prakiraan maju. Prakiraan Maju (forward estimate)

adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari

tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan program dan

Page 13: II. KAJIAN PUSTAKA

33

kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun

berikutnya.

1. Asas dan Fungsi APBD

Salah satu asas penting dalam menetapkan prioritas anggaran belanja yang

dijabarkan dalam APBD adalah bahwa penentuan anggaran disusun sesuai

dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan

pendapatan daerah. Secara khusus, penganggaran pengeluaran harus

didukung oleh adanya kepastian sumber pendanaan yang cukup dan

memiliki landasan hukum yang kuat (Pasal 18 PP Nomor 58 Tahun 2005).

APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,

distribusi, dan stabilisasi.

a. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar

untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang

bersangkutan.

b. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi

pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun

yang bersangkutan.

c. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi

pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan

daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

d. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan

untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan

Page 14: II. KAJIAN PUSTAKA

34

pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas

perekonomian.

e. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah

harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

f. Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah

menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan

fundamental perekonomian daerah.

Secara lebih spesifik, fungsi APBD dalam proses pembangunan di daerah

adalah sebagai:

a. Instrumen kebijakan (policy tools). Anggaran daerah adalah salah satu

instrumen formal yang menghubungkan Eksekutif Daerah dengan

tuntutan dan kebutuhan publik yang diwakili oleh Legislatif Daerah.

b. Instrumen kebijakan fiskal (fiscal tool). Dengan mengubah prioritas dan

besar alokasi dana, anggaran daerah dapat digunakan untuk mendorong,

memberikan fasilitas dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan ekonomi

masyarakat guna mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah.

c. Instrumen perencanaan (planning tool). Di dalam anggaran daerah

disebutkan tujuan yang ingin dicapai, biaya dan output/hasil yang

diharapkan dari setiap kegiatan di masing-masing unit kerja.

d. Instrumen pengendalian (control tool). Anggaran daerah berisi rencana

penerimaan dan pengeluaran secara rinci setiap unit kerja. Hal ini

dilakukan agar unit kerja tidak melakukan overspending, underspending

atau mengalokasikan anggaran pada bidang yang lain.

Page 15: II. KAJIAN PUSTAKA

35

Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa anggaran daerah tersebut tidak

dapat berdiri sendiri. Anggaran daerah merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari seluruh proses perencanaan pembangunan daerah.

2. Pedoman Penyusunan APBD

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2006 mengatur tentang

Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007. Secara singkat,

pedoman tersebut meliputi:

a. Sinkronisasi kebijakan pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah

Daerah

Untuk mencapai sasaran prioritas pembangunan nasional tahun 2007,

perlu dilakukan sinkronisasi program dan kegiatan Pemerintah Pusat

dengan Pemerintah Daerah. Selain itu, perlu ada keterkaitan antara

sasaran program dan kegiatan provinsi dengan kabupaten/kota untuk

menciptakan sinergi sesuai dengan kewenangan provinsi dan

kabupaten/kota.

b. Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD dan perubahan APBD

Penyusunan APBD perlu memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Partisipasi masyarakat;

Pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan

APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga

masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya dalam

pelaksanaan APBD.

Page 16: II. KAJIAN PUSTAKA

36

2. Transparansi dan akuntabilitas anggaran;

APBD harus dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah

diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan

pada setiap jenis/objek belanja serta korelasi antara besaran anggaran

dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang

dianggarkan.

3. Disiplin anggaran;

Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang

terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber

pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan

batas tertinggi pengeluaran belanja;

Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya

kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan

tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia

atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam

APBD/Perubahan APBD;

Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun

anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD

dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah.

4. Keadilan anggaran;

Pajak daerah, retribusi daerah, dan pungutan daerah lainnya yang

dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan

kemampuan untuk membayar. Dalam mengalokasikan belanja

daerah, Pemerintah Daerah harus mempertimbangkan keadilan dan

Page 17: II. KAJIAN PUSTAKA

37

pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat

tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.

5. Efisiensi dan efektivitas anggaran;

Dana yang tersedia harus dimanfaatkandengan sebaik mungkin untuk

dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang

maksimal guna kepentingan masyarakat.

6. Taat azas; penyusunan APBD tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan

umum, dan peraturan daerah lainnya.

c. Teknik penyusunan APBD

Dalam menyusun APBD pada tahun anggaran 2007, langkah-langkah

yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Permendagri

Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 adalah:

1. Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan dokumen Prioritas

dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)

2. Pembahasan KUA dan PPAS antara Pemerintah Daerah dengan

DPRD

3. Penetapan Nota Kesepahaman KUA dan Prioritas dan Plafon

Anggaran (PPA)

4. Penyusunan dan penyampaian surat edaran kepala daerah tentang

pedoman penyusunan RKA-SKPD kepada seluruh SKPD

5. PPKD melakukan kompilasi RKA-SKPD menjadi Raperda APBD

untuk dibahas dan memperoleh persetujuan bersama dengan DPRD

sebelum diajukan dalam proses Evaluasi

Page 18: II. KAJIAN PUSTAKA

38

6. Pembahasan RKA-SKPD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah

(TAPD) dengan SKPD

7. Penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang APBD

8. Pembahasan Raperda APBD

9. Proses penetapan Perda APBD baru dapat dilakukan jika

Mendagri/Gubernur menyatakan bahwa Perda APBD tidak

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangan

yang lebih tinggi

10. Penyusunan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran

APBD.

d. Teknis penyusunan perubahan APBD

Perubahan APBD harus dilandasi dengan perubahan KUA dan Prioritas

dan Plafon Anggaran (PPA) yang disepakati bersama antara Pimpinan

DPRD dan Kepala Daerah. Perubahan Peraturan Daerah tentang APBD

hanya dapat dilakukan satu kali dalam satu tahun anggaran, kecuali

dalam keadaan luar biasa.

Perubahan APBD dapat dilakukan dengan kriteria sebagai berikut:

1. Perkembangan yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi KUA,

misalnya perubahan asumsi makro, proyeksi pendapatan daerah

terlampaui atau tidak tercapai, terdapat faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya peningkatan belanja daerah, dan adanya

perubahan kebijakan di bidang pembiayaan

Page 19: II. KAJIAN PUSTAKA

39

2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran

antar unit organisasi, antar program, antar kegiatan, dan antar jenis

belanja

3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya

harus digunakan dalam tahun anggaran berjalan

4. Keadaan darurat

5. Keadaan luar biasa.

2.3 Keuangan Daerah

Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu

melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya

daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali

sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri

yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya,

dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,

agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan

terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.

Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka

pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan

kemasyarakatan di daerah, oleh karena itu keuangan daerah diupayakan

untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Secara konseptual lahirnya otonomi daerah telah memberikan keleluasaan

daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah

yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman

Page 20: II. KAJIAN PUSTAKA

40

Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Untuk itu kebijaksanaan

keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan

sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi

pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-

sumber Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada

penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi dalam

penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan,

pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.

Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya

keuangan daerah guna pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan

pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas dan

standar akuntansi serta meningkatkan Pendapatan Asli Daerah secara kreatif

melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Sedangkan

sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan

daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif

dan efisien.

2.3.1 Pandapatan Asli Daerah

Pada masa orde baru kemampuan daerah dalam menjalankan

pemerintahannya didasarkan pada undang-undang No 5/tahun 1974 di

samping mengatur pemerintahan daerah, Undang-undang tersebut juga

menjelaskan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang dimilikinya

pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan

Page 21: II. KAJIAN PUSTAKA

41

dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari

tiga komponen besar yaitu;

1. Pendapatan asli daerah yang meliputi:

Hasil pajak daerah

Hasil retribusi daerah

Hasil perusahaan daerah (BUMD)

Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

2. Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi:

Sumbangan dari pemerintah

Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan

perundang-undangan

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

2.3.2 Pajak Daerah

Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan

retribusi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang

pajak daerah, pajak daerah adalah iuran yang wajib dilakukan oleh orang

pribadi atau badan pada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,

yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan-peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan

pemerintah dan pembangunan daerah.

Penggolongan pajak daerah mencakup :

1. Pajak Propinsi terdiri dari :

a. Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air

Page 22: II. KAJIAN PUSTAKA

42

b. Bea balik nama kendaraan bernlotor dan kendaraan diatas air

c. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor

d. Pajak pengembalian dan pemanfaatan air bawah tanah dan air

permukaan.

2. Pajak kabupaten /kota terdiri dari :

a. Pajak parkir

Objek pajak parkir antara lain : tempat penyelenggaraan tempat

parkir diluar badan jalan, baik yang disediakan sebagai suatu

usaha, tempat penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor

dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Yang

tidak termasuk objek pajak adalah penyelenggaraan tempat

parkir oleh pemerintah pusat dan daerah, kedutaan dan

perwakilan negara asing, penyelenggaraan tempat parkir yang

diatur oleh pemerintah daerah.

Subjek parkir antara lain : orang pribadi atau badan yang

melakukan pembayaran atas tempat parkir, orang pribadi atau

badan yang menyelenggarakan tempat parkir. Tarif pajak parkir

paling tinggi sebesar 20 % yang diatur oleh pemerintah daerah

Dasar pengenaan pajak parkir adalah orang pribadi atau badan

yang seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir.

b. Pajak hotel

c. Pajak restoran

d. Pajak hiburan

e. Pajak reklame

Page 23: II. KAJIAN PUSTAKA

43

f. Pajak penerangan jalan

g. Pajak pengambilan bahan galian golongan C

Selain jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut, pemerintah daerah juga

memiliki wewenang untuk menetapkan jenis pajak yang lain dengan

mengeluarkan peraturan daerah.

Adapun jenis pajak tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Bersifat pajak dan bukan retribusi

2. Objek pajak terletak/terdapat diwilayah kabupaten/kota yang

bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta harus

melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

bersangkutan.

3. Objek dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan

umum

4. Objek bukan merupakan pajak propinsi atau objek pajak pusat

5. Potensinya memadai

6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif

7. memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat

8. Menjaga kelestarian lingkungan

2.3.3 Retribusi Daerah

Berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah

dan retribusi daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001

tentang retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai

Page 24: II. KAJIAN PUSTAKA

44

pembayaran atau jasa atau pemberian ijin yang khusus disediakan dan atau

diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.

Retribusi adalah pungutan uang sebagai pembayaran pemakaian atau karena

memperoleh pekerjaan, atau usaha milik pemerintah baik yang

berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh pemerintah dan berdasarkan

peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah.

Retribusi adalah pungutan daerah sebagi pembayaran pemakaian atau

karena mernperoleh jasa pekerjaan. Usaha atau milik daerah untuk

kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik

langsung maupun tidak langsung (Kaho: 1991).

Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa retribusi

daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian

jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi

yang berkepntingan atau karena jasa yang diberikan oleh pemerintah

daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi

daerah, dapat digolongkan :

1. Retribusi Jasa Umum

Adalah retribusi jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah

daerah untuk tujuan kepentingan kemanfaatan umum serta dapat

dinikmati oleh orang pribadi atau badan

Jenis jenis retribusi jasa umum antara lain :

Page 25: II. KAJIAN PUSTAKA

45

a. Retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum

Adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang

ditentukan oleh pemerintah daerah. Karena jalan menyangkut

kepentingan umum, maka penetapan jalan umum sebagai tempat

parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

b. Retribusi pelayanan kesehatan

c. Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan

d. Retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte

catatan sipil

e. Retribusi pelayanan pemakaman dan penguburan mayat

f. Retribusi kendaraan bermotor

g. Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebaran

h. Retribusi biaya cetak peta

i. Retribusi pengujian kapal perikanan

j. Retribusi pelayanan pasar

2. Retribusi Jasa Usaha

Adalah retribusi yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan

menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan

oleh sektor swasta.

Jenis-jenis retribusi jasa usaha antara lain :

a. Retribusi tempat parkir khusus

Adalah penyediaan tempat khusus parkir yang khusus disediakan.

Dimiliki dan /atau dikelola oleh pemerintah daerah, tidak termasuk

Page 26: II. KAJIAN PUSTAKA

46

dikelola oleh badan usaha milik daerah dan pihak swasta.

b. Retribusi pemakaian kekayaan daerah

c. Retribusi pasar grosir /pertokoan

d. Retribusi tempat pelelangan

e. Retribusi terminal

f. Retribusi tempat penginapan

g. Retribusi penyedotan kakus

h. Retribusi pelabuhan kapal

i. Retribusi potong hewan

j. Retribusi tempat rekreasi dan olahraga

k. Retribusi tempat penyeberangan diatas air

l. Retribusi pengolahan limbah cair

m. Retribusi penjualan produksi usaha daerah.

3. Retribusi Perizinan Tertentu

Adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka

pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan

untuk pembinaa, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas

kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,

prasarana, sarana atau faslitas tertentu guna melindungi kepentingan

umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis jenis retribusi perizinan tertentu antara lain:

a. Retribusi mendirikan bangunan

b. Retribusi izin menjual tempat minuman alkohol

Page 27: II. KAJIAN PUSTAKA

47

c. Retribusi izin gangguan

d. Retribusi izin trayek

Sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada hampir semua daerah di

Indonesia masih bertumpu pada pajak dan retribusi daerah. Sehingga

kreativitas pemerintah daerah sering dituntut untuk dapat memperoleh

pendapatan melalui dua unsur penting ini dengan cara-cara yang tepat.

Ditinjau dari segi ekonomi pajak diartikan sebagai uang atau harta dari wajib

pajak ke sektor pemerintah tanpa adanya imbalan secara langsung yang

dapat ditunjuk dan penggunaannya adalah untuk menyelenggarakan

pelayanan. Sedangkan retribusi diartikan adalah pungutan sebagai

pembayaran atas jasa pekerjaan, jasa milik daerah dan jasa lainnya yang

diberikan daerah.

Davey (1988:39) mengartikan pajak adalah:

1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari

daerah sendiri

2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penerapan

tarifnya dilakukan oleh pemerintah sendiri.

3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah.

4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat

tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan,

atau dibebani pungutan tambahan (opsi oleh pemerintah daerah)

Page 28: II. KAJIAN PUSTAKA

48

Sehingga pajak daerah semestinya mampu meningkatkan penerimaan

daerah, sehingga pajak harus:

1. Tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat

2. Biaya pungut dan administrasinya relatif murah

3. Pajak daerah bersifat sederhana dan objeknya jelas

4. Pajak daerah memiliki fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi pajak

negara (pusat).

Sedangkan retribusi seperti definisinya, menurut Ibnu Rejo (1996:17)

merupakan:

1. Pungutan-pungutan yang dilakukan oleh daerah

2. Pungutan retribusi tersebut dikenakan kepada siapa saja yang

memanfaatkanya atau mendapatkan jasa yang disediakan daerah.

3. Pungutan retribusi diarahkan kepada prestasi yang diberikan daerah

secara langsung dapat ditunjuk.

Dengan pengertian di atas maka retribusi daerah merupakan salah satu

sumber pendapatan daerah yang potensial, hal ini tergantung dengan besar

kecilnya jasa layanan yang diberikan daerah kepada masyarakat.

Dalam hal pelayanan publik apakah akan dikenakan pajak atau retribusi

Santoso (1995:22) menyimpulkan bahwa hal ini tergantung pada derajat

kemanfaatan barang dan jasa itu sendiri. Semakin dekat kemanfaatan barang

dan jasa dengan private goods maka pembiayaannya berasal dari retribusi.

Semakin dekat kemanfaatan suatu barang dan jasa dengan public goods

maka pembiayaan berasal dari pajak. Keputusan untuk tidak memungut

Page 29: II. KAJIAN PUSTAKA

49

retribusi atas penyediaan barang dan jasa pada esensinya berarti keputusan

untuk menarik pajak.

Landasan teoritis kebijaksanaan memungut bayaran untuk barang dan

layanan (retribusi) yang disediakan oleh pemerintah daerah berpangkal pada

pengertian efisiensi ekonomi. Dalam hal orang perorangan bebas

menentukan besarnya layanan tertentu yang hendak dinikmatinya harga

layanan itu memainkan peranan penting dalam memberi alokasi

permintaaan, mengurangi penghamburan dan dalam memberikan isyarat

yang perlu kepada pemasok mengenai besarnya produk layanan tersebut.

Selain itu penerimaan dari pengutan adalah sumber daya untuk menaikkan

produk sesuai dengan keadaan permintaan.

Secara umum keunggulan utama retribusi atas pajak adalah karena

pemungutan retribusi berdasarkan pada kontra prestasi, dimana tidak

ditentukan batasan seperti halnya sektor pajak. Pembatas utama bagi

retribusi adalah terletak pada ada atau tidaknya jasa yang disediakan

pemerintah. Sampai sejauh mana retribusi dapat menghasilkan keuangan

daerah tentunya ditujukan oleh seberapa banyak jasa yang telah diberikan

pemerintah daerah kepada pengguna jasa tersebut. Sementara berdasarkan

pada prinsip kemanfaatan dalam penerikan retribusi maka mereka yang tidak

mendapatkan manfaat dari penyediaan barang dan jasa tidak harus

membayar, sebaliknya mereka yang tidak membayar dapat dikecualikan dari

mengkonsumsi barang/jasa tersebut.

Page 30: II. KAJIAN PUSTAKA

50

2.4 Kinerja Keuangan Daerah

Dari ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu

pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari

ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Di

samping itu besarnya dana dari pusat tersebut juga membawa konsekuensi

kebijakan proyek pemerintah pusat yang secara fisik implementasinya itu

berada di daerah. Sehingga ada beberapa proyek pemerintah pusat melalui

APBN tetapi dana itu juga masuk di dalam anggaran pemerintah daerah

(APBD). Adapun pembiayaan pemerintah dalam hubungannya dengan

pembiayaan pemerintah pusat diatur sebagai berikut:

Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam

rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.

Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka

desentralisasi dibayar dari dan atas beban APBD.

Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah

daerah atasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan,

dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau pemerintah

daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.

Sepanjang potensi sumber keuangan daerah belum mencukupi Pemerintah

pusat memberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan

demikian bagi Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten atau Kodya

disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat ajuga mendapat

limpahan dari Pemda Tingkat I Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan, dana

propinsi tersebut berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai

Page 31: II. KAJIAN PUSTAKA

51

penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga

sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas peranan dari pendapatan

yang berasal dari pusat sangat dominan.

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda

pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib

menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk

dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan

baik atau tidak.

Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan

rasio-rasio yang biasa di dapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu

perusahaan seperti, Return Of Investment. Hal ini disebabkan karena

sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban

pemerintah untuk mempertanggung jawabkan kinerjanya dengan sendirinya

dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan

hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-

kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah.

Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada

pertanggung jawaban apakah sumber yang diperoleh sudah digunakan sesuai

dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian

pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan

dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan

posisi pemerintah saat itu.

Page 32: II. KAJIAN PUSTAKA

52

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam

mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio

terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis

rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk tolok ukur dalam:

a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai

penyelengggaraan otonomi daerah.

b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan

daerah.

c. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam

membelanjakan pendapatan daerahnya.

d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendaptan dalam

pembentukan pendapatan daerah.

e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan

pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.

2.5 Analisis Laporan Keuangan

Laporan keuangan memuat informasi yang relevan mengenai posisi

keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan

selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk

membandingakn realisasi, pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan

dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi

efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan

ketaatannya terhadap peraturan perundangan.

Page 33: II. KAJIAN PUSTAKA

53

Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan ini diperlukan

mengingat setiap entitas pelaporan menggunakan sumber dana/anggaran

yang berasal dari rakyat dan perlu dipertanggungjawabkan pencapaian

kegiatannya. Oleh karena itu laporan keuangan yang disusun oleh suatu

entitas diperlukan untuk keperluan:

1. Akuntabilitas, yaitu untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan

sumber daya serta pelaksanaan kegiatan secara periodik.

2. Transparansi, yaitu memberikan informasi keuangan yang terbuka dan

jujur kepada masyarakat.

3. Keseimbangan antar generasi (intergenerational equity), membantu para

pengguna untuk mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah untuk

membiayai seluruh pengeluaran pengeluaran yang dialokasikan.

(http://www.bppk.depkeu.go.id)

2.5.1 Metode Analisis Laporan Keuangan

a. Analisis Horizontal

Analisis horizontal disebut juga analisis trend,yaitu dengan

melihat atau mempelajari turun naiknya data yang nampak pada

laporan keuangan. Teknik analisis ini menunjukkan

kecenderungan setiap pos dari suatu laporan keuangan apakah

tetap, meningkat atau, arah yang menurun agar dapat

menunjukkan arah tcrsebut dibutuhkan suatu perhitungan untuk

mencari hubungan antara pos yang sama selama beberapa tahun

serta diperlukannya alat pengukuran yaitu tahun dasar.

Page 34: II. KAJIAN PUSTAKA

54

Jadi trend yang dimaksud, di sini adalah untuk menunjukkan

hubungan antara masing-masing tahun terhadap tahun dasar.

Adapun kesulitannya dalam hal ini adalah menentukan tahun

yang dapat mencerminkan keadaan normal dan yang akan

digunakan sebagai tahun dasar. Analisis trend akan dapat

menunjukkan suatu pos itu mempunyai kecenderungan atau

tendensi yang menguntungkan alau tidak menguntungkan.

b. Analisis Vertikal

Analisis vertikal yaitu laporan keuangan yang dianalisis hanya

meliputi satu periode atau satu saat saja, yaitu dengan

membandingkan antara satu pos yang satu dengan pos yang lain

dalam laporan keuangan tersebut, sehingga akan diketahui

keadaan keuangan atau hasil operasi pada saat itu saja.

2.6 Rasio Keuangan Daerah

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan

pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib

menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar

penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja

keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio

keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim,

2002).

Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan

secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat

Page 35: II. KAJIAN PUSTAKA

55

komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah

masih sangat terbatas sehingga secara teoretis belum ada kesepakatan yang

bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan

keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan

akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu

dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya

dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo,

2002).

Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur

akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2002:128), yaitu rasio kemandirian

keuangan (otonomi fiskal), rasio efektivitas terhadap pendapatan asli daerah,

rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian, rasio pertumbuhan

(analisis shift), rasio proporsi pendapatan dan belanja daerah (analisis share).

Namun dalam penelitian ini hanya akan mengukur kinerja keuangan berupa

tingkat kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi.

2.6.1 Tingkat Kemandirian

Menurut Halim (2002) gambaran citra kemandirian daerah dalam

berotonomi dapat diketahui melalui beberapa besar kemampuan

sumber daya keuangan untuk daerah tersebut, agar mampu

membangun daerahnya disamping mampu pula untuk bersaing

secara sehat dengan kabupaten lainnya dalam mencapai otonomi

yang sesungguhnya. Upaya nyata didalam mengukur tingkat

Page 36: II. KAJIAN PUSTAKA

56

kemandirian yaitu dengna membandingkan besarnya realisasi PAD

dengan total pendapatan daerah.

DaerahPenerimaanTotalDaerahAslitanPendapa

nKemandiriaTotal

Tingkat kemandirian menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat

dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat kemandirian,

semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan

retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli

Daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi

daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang

semakin tinggi pula.

Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168)

mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan

daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan

undang-undang Undang-Undang No.33 tahun 2004 tentang

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu

sebagai berikut.

a. Pola hubungan instruktif, peranan pemerintah pusat lebih

dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah. (daerah yang

tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)

b. Pola hubungan konsultatif, campur tangan pemerintah pusat

sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih

mampu melaksankan otonomi.

Page 37: II. KAJIAN PUSTAKA

57

c. Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin

berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat

kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan

otonomi daerah.

d. Pola hubungan delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah

tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu mandiri dalam

melaksanakan urusan otonomi daerah.

Tabel 3. Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah

KemampuanKeuangan

Kemandirian % Pola Hubungan

Rendah SekaliRendahSedangTinggi

0% - 25%25% - 50%50% - 75%75% - 100%

InstruktifKonsultatifPartisipatifDelegatif

2.6.2 Rasio Efektivitas

Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah

dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan

dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil

daerah. (Halim: 2002)

PADTarget

PADPenerimaanalisasiResEfektivitaRasio

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif

apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen.

Dengan kata lain kemampuan daerah dalam menjalankan tugas

dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%.

Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan

kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan

Page 38: II. KAJIAN PUSTAKA

58

Kepmendagri No.690.900-327, Tahun 1996 mengkategorikan

kemampuan efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima

tingkat efektivitas seperti terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 4. Rasio Efektivitas Kinerja Keuangan Daerah

Kemampuan Keuangan Rasio Efektivitas (%)Sangat EfektifEfektifCukup EfektifKurang EfektifTidak Efektif

>100>90-100>80-90>60-80

≤60

2.6.3 Rasio Efisiensi

Rasio efesiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan

antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh

pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja

pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan

dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu)

atau dibawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja

pemerintah semain baik.

Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa

besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh

pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah

kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal

itu perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil

merealisasikan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan,

namun keberhasilan itu kurang memilki arti apabila ternyata biaya

Page 39: II. KAJIAN PUSTAKA

59

yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan

pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang

diterimanya.

PADPenerimaanRealisasi

PADmemungutuntukndikeluarkayangBiayaEfisiensiRasio