ii. kajian pustaka, kerangka pikir dan hipotesis 2.1 ...digilib.unila.ac.id/3838/17/bab...
TRANSCRIPT
15
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
2.1 Belajar dan Pembelajaran
2.1.1 Pengertian Belajar
Belajar adalah key term,„istilah kunci‟ yang paling vital dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar yang sesungguhnya tak pernah ada pendidikan.
Sebagai suatu proses, belajar selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai
displin ilmu yang berkaitan dengan upaya pendidikan. Menurut Slameto (2010: 2)
belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalamanya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Djamarah (2008: 13) menyatakan bahwa belajar dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak
raga yang ditunjukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan
perubahan. Perubahan yang didapatkan bukan perubahan fisik, tetapi perubahan
jiwa dengan sebab masuknya kesan-kesan yang baru. Perubahan sebagai hasil dari
proses belajar adalah perubahan yang mempengaruhi tingkah laku seseorang.
Anderson (2001: 35) menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan
yang relatif menetap terjadi dalam tingkah laku potensial sebagai hasil dari
pengalaman. Gagne dalam Sagala (2011: 17) belajar merupakan kegiatan yang
kompleks dan hasil belajar berupa kapabilitas. Belajar merupakan seperangkat
16
proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi yang merupakan hasil
transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan
pribadi yang bersangkutan (kondisi).
Gagne dalam Sagala (2011: 17) menyatakan bahwa di dalam proses belajar
terdapat dua fenomena yang berlaku yaitu: (1) keterampilan intelektual yang
meningkat sejalan dengan meningkatnya umur dan latihan yang didapat individu,
dan (2) belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam
memecahkan masalah secara lebih efisien. Gagne berpendapat bahwa, belajar
merupakan suatu proses yang bukan terjadi secara alamiah, tetapi hanya akan
terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu. Kondisi ini menyangkut kondisi
internal dan eksternal, kondisi internal berhubungan dengan kesiapan siswa dan
apa yang telah dipelajari sebelumnya, sementara kondisi eksternal merupakan
situasi belajar dan penyajian stimulus yang sengaja diatur oleh guru dengan tujuan
memperlancar proses belajar. Belajar yang terbaik ialah dengan mengalami
sendiri, dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca indera. Hal-hal
yang pokok dalam “belajar” adalah bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam
arti behavioral changes, actual maupun potensial, bahwa perubahan itu pada
pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru, bahwa perubahan itu terjadi
karena usaha (dengan sengaja).
Pengertian belajar yang merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan
dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun
implisit (Sagala : 2011). Sedangkan Garret dalam Sagala (2011 : 13) menyatakan
bahwa : ”Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang
17
tertentu lama melalui latihan pengalaman yang membawa kepada perubahan diri
dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang”.
Belajar merupakan suatu kegiatan untuk memperoleh ilmu pengetahuan,
sehingga dengan belajar itu manusia menjadi tahu, memahami, mengerti, dapat
melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Belajar adalah proses berpikir. yang
menekankan kepada proses mencari dan menemukan pengetahuan melalui proses
interaksi secara individu dengan lingkungan. Dalam pembelajaran di sekolah tidak
hanya menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, tetapi yang
diutamakan adalah kemampuan siswa untuk memperoleh pengetahuannya sendiri
(self regulated).
Purwanto (2004: 85) menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) elemen penting yang
mencirikan pengertian belajar yaitu :
1. Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan
pengalaman dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh
pertumbuhan atau kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar seperti
perubahan-perubahan yang terjadi pada diri seorang bayi. Untuk dapat disebut
belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap, harus merupakan akhir
daripada suatu periode waktu yang cukup panjang;
2. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut aspek
kepribadian baik fisik maupun psikis seperti perubahan dalam pengertian,
pemecahan suatu masalah/berfikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan ataupun
sikap.
18
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat dinyatakan
bahwa belajar adalah seperangkat proses kognitif yang menghasilkan kapabilitas
berupa keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai yang diperoleh siswa melalui
pengalaman dan proses latihan. Peristiwa belajar lebih difokuskan pada proses
belajar dalam konteks formal yaitu proses belajar yang sengaja didesain atau
diciptakan untuk membuat seseorang dapat mencapai kompetensi tertentu.
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk mengadakan
perubahan dalam dirinya secara keseluruhan baik berupa pengalaman,
keterampilan, sikap dan tingkah laku sebagai akibat dari latihan serta interaksi
dengan lingkungannya.
2.1.2 Pengertian Pembelajaran
Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ”pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar”. Dari pernyataan tersebut agar pembelajaran dikatakan
berhasil, harus ada interaksi antara siswa sebagai peserta didik dengan guru
sebagai pendidik maupun dengan sumber belajar.
Dimyati dalam Sagala (2011: 62) memberikan pengertian pembelajaran adalah
”kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat
siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar.
Dari pengertian tersebut, agar pembelajaran sejarah berjalan dengan baik guru
harus mempersiapkan bahan belajar sebelum proses pembelajaran dimulai.
19
Definisi pembelajaran disampaikan oleh Smith dan Ragan dalam Pribadi
(2011: 6) yang mengemukakan bahwa pembelajaran adalah pengembangan dan
penyampaian informasi dan kegiatan yang diciptakan untuk memfasilitasi
pencapaian tujuan yang spesifik. Miarso (2009: 144) memaknai istilah
pembelajaran sebagai aktivitas atau kegiatan yang berfokus pada kondisi dan
kepentingan pemelajar (learner centered) untuk menggantikan istilah
“pengajaran” yang lebih bersifat sebagai aktivitas yang berpusat pada guru
(teacher centered). Miarso (2009: 545) menjelaskan lebih rinci definisi
pembelajaran sebagai berikut: “pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja,
bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang
relatif menetap pada diri orang lain. Usaha ini dapat dilakukan oleh seseorang
atau suatu tim yang memiliki kemampuan dan kompetensi dalam merancang
atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan.
Lebih lanjut Miarso (2009: 545) menyatakan bahwa istilah pembelajaran harus
dibedakan dengan istilah pengajaran. Pengajaran merupakan istilah yang
diartikan sebagai penyajian bahan ajar yang dilakukan oleh pengajar, sedangkan
kegiatan pembelajaran tidak harus diberikan oleh pengajar karena kegiatan itu
dapat dilakukan oleh perancang dan pengembang sumber belajar, misalnya
seorang teknolog pendidikan atau tim ahli. Pembelajaran adalah serangkaian
aktivitas yang sengaja diciptakan dengan maksud untuk memudahkan terjadinya
proses belajar. Proses belajar sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa
belajar. Peristiwa belajar menurut Gagne seperti dikutip oleh Djamarah (2008:
78) disebut sembilan peristiwa pembelajaran (model nine instructional event
Gagne), yaitu :
20
1) Menarik perhatian agar siap menerima pelajaran;
2) Memberitahukan tujuan pembelajaran agar anak didik tahu apa yang
diharapkan dari belajar itu;
3) Merangsang timbulnya ingatan atas ajaran sebelumnya;
4) Presentasi bahan ajaran;
5) Memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar;
6) Membangkitkan timbulnya unjuk kerja (merespons);
7) Memberikan umpan balik atas unjuk kerja;
8) Menilai unjuk kerja;
9) Memperkuat retensi dan transfer pelajaran.
Pembelajaran merupakan proses yang sengaja dirancang untuk menciptakan
terjadinya proses belajar dalam diri individu. Pembelajaran merupakan sesuatu
hal yang bersifat eksternal sengaja dirancang untuk mendukung terjadinya
proses belajar internal dalam diri individu. Dick and Carey (2005: 205)
mendefinisikan pembelajaran sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang
disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau
beberapa jenis media.
Proses pembelajaran mempunyai tujuan yaitu agar siswa dapat mencapai
kompetensi seperti yang diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, proses
pembelajaran perlu dirancang secara sistematik dan sistemik. Pembelajaran
merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan.
Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari
berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro,
21
pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggung jawab profesional seorang
guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa
dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal.
Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga
pendidikan bertanggung jawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang
berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual,
sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat.
Berkaitan dengan hal itu, guru memegang peran strategis dalam membentuk
watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.
Sehingga peran guru sulit digantikan oleh yang lain.
2.2 Teori Belajar dan Pembelajaran
2.2.1 Teori Belajar
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana
terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam siswa itu.
Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih
meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar.
Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25) menyatakan untuk terjadinya
belajar pada diri siswa diperlukan kondisi belajar, baik kondisi internal maupun
kondisi eksternal. Kondisi internal merupakan peningkatan memori siswa sebagai
hasil belajar terdahulu. Memori siswa yang terdahulu merupakan komponen yang
baru dan ditempatkannya bersama-sama. Kondisi eksternal meliputi aspek atau
benda yang dirancang atau ditata dalam suatu pembelajaran. Sebagai hasil belajar
22
(learning outcomes), Gagne seperti yang dikutip oleh Sagala (2011: 25)
menyatakan dalam lima kelompok, yaitu intelektual skill, cognitive strategy,
verbal information, motor skill, dan attitude.
Gagne lebih lanjut menekankan pentingnya kondisi internal dan kondisi eksternal
dalam suatu pembelajaran, agar siswa memperoleh hasil belajar yang diharapkan.
Dengan demikian, sebaiknya memperhatikan atau menata pembelajaran yang
memungkinkan mengaktifkan memori siswa yang sesuai agar informasi yang baru
dapat dipahaminya. Kondisi eksternal bertujuan antara lain memberikan stimulasi
berpikir siswa, penginformasian tujuan pembelajaran, membimbing belajar materi
yang baru, memberikan kesempatan kepada siswa menghubungkannya dengan
informasi baru guna memacu siswa agar dapat berpikir kritis.
Teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori
pembelajaran konstruktivis (constructivist theories of learning). Teori
konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan,
mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk
dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide, mampu berpikir kritis.
Siswa harus membangun sendiri pengetahuan didalam benaknya sedangkan Guru
dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberi kesempatan
siswa untuk menemukan dan menetapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar
siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk
23
belajar Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori-teori pemrosesan
informasi, teori berpikir kritis, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori
Bruner (Slavin dalam Nurhadi, 2009: 80).
Menurut teori konstruktivis ini, satu prinsip yang paling penting dalam psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan
kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya.
Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman
yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga
tersebut (Nurhadi, 2009: 8).
Perkembangan kognitif sebagaian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi
aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin
bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi
terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interakasi sosial
dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu
memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih
logis (Nurhadi, 2009).
Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang
perkembangan kognitif sebagai suatu proses dimana anak secara aktif
membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-
pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Menurut Piaget perkembangan
kognitif pada anak secara garis besar terbagi empat periode yaitu: a) periode
sensori motor ( 0 – 2 tahun); b) periode praoperasional (2-7 tahun); c) periode
operasional konkrit (7-11 tahun); d) periode operasi formal (11-15) tahun.
24
Sedangkan konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual
menurut Piaget yaitu: skemata (dipandang sebagai sekumpulan konsep); asimilasi
(peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang telah
dimiliki seseorang; akomodasi (terjadi apabila antara informasi baru dan lama
yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan
informasi lama); dan equilibrium (bila keseimbangan tercapai maka siswa
mengenal informasi baru).
Menurut Piaget dalam Uno (2010: 3) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut
dibangun dalam pikiran seseorang melalui proses asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif seseorang dalam mengintegrasikan persepsi,
konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di
dalam pikirannya. Akomodasi adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang
sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Sedangkan equilibrium adalah
pengaturan diri seseorang agar terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan
akomodasi. Apabila keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi maka
disebut dengan disequilibrium.
Tokoh teori belajar konstruktivisme sosial adalah Lev Vygotsky yang berpendapat
bahwa belajar bagi peserta didik dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan
sosial maupun fisik. Lebih lanjut dikatakan bahwa, interaksi sosial memegang
peranan terpenting dalam perkembangan kognitif peserta didik. Ada dua tahapan
belajar, pertama peserta didik belajar melalui interaksi dengan orang lain, baik
keluarga, teman sebaya maupun gurunya, kemudian dilanjutkan secara individual
25
peserta didik mengintegrasikan apa yang ia pelajari dari orang lain kedalam
struktur mentalnya (Herpratiwi, 2009: 80).
Teori belajar Ausubel merupakan salah satu dari sekian banyaknya teori yang
menjadi dasar dalam cooperative learning. Ausubel seperti dikutip oleh Dahar
(2008: 115) menyatakan bahwa bahan subjek yang dipelajari siswa haruslah
“bermakna” (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Pembelajaran
bermakna adalah suatu proses pembelajaran di mana informasi baru dihubungkan
dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki seseorang yang sedang melalui
pembelajaran.
Pembelajaran bermakna terjadi apabila siswa boleh menghubungkan fenomena
baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya, bahan subjek itu harus
sesuai dengan keterampilan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang
dimiliki siswa. Oleh karena itu, subjek harus dikaitkan dengan konsep-konsep
yang sudah dimiliki para siswa, sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-
benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual-emosional siswa
terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
(Dahar, 2008: 116) adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan
pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat
struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu
26
informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses
interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik,
maka arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan
cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung menghambat
belajar.
Menurut Ausubel (Dahar, 2008: 116), seseorang belajar dengan mengasosiasikan
fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang
dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam
proses belajar ini siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar
bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya
menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau
pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam
proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif
siswa melalui proses belajar yang bermakna., Ausubel beranggapan bahwa
aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar-
akan bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung.
Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung
akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau
guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
27
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan
hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru
dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam
struktur kognisi siswa.
Langkah-langkah yang biasanya dilakukan guru untuk menerapkan belajar
bermakna Ausubel adalah sebagai berikut: advance organizer, progressive
differensial, integrative reconciliation, dan consolidation. Empat tipe belajar
menurut Ausubel (Dahar, 2008: 117) yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang
telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya,
siswa terlebih dahulu menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari
kemudian pengetahuan baru tersebut ia kaitkan dengan pengetahuan yang
sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang
telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir,
kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan
lain yang telah dimiliki.
4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran
yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk
akhir , kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa
mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah ia miliki.
28
Salah satu model pembelajaran yang dikembangkan oleh Ausubel adalah teori
model mengajar Advance Organizer adalah salah satu model dalam rumpun
pemprosesan informasi. David Ausubel dalam Joyce, (2009:208) mengemukakan
teorinya menyangkut empat hal :
1. Bagaimana ilmu itu diorganisasikan artinya bagaimana seharusnya isi
kurikulum itu di tata.
2. Bagaimana proses berpikir itu terjadi bila berhadapan dengan informasi baru.
3. Bagaimana guru seharusnya mengajarkan informasikan baru itu sesuai dengan
teori tentang isi kurikulum dan teori belajar.
4. Sintaks
Model pembelajaran Advance Organizer terdiri dari tiga tahap.
Tabel 2.1: Sintaks Model Pembelajaran Advance Organizer
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap-1
Penyajian Advance
Organizer
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran
2. Menyajikan Advance Organizer
3. Menumbuhkan kesadaran pengetahuan dan pengalaman
siswa yang relevan.
Tahap-2
Penyajian bahan
pelajaran
1. Membuat organisasi secara tegas
2. Membuat urutan bahan pelajaran secara logis dan
eksplisit
3. Memelihara suasana agar penuh perhatian
4. Menyajikan bahan
Tahap-3
Penguatan organisasi
kognitif
1. Menggunakan prinsip-prinsip rekonsiliasi integratif
2. Meningkatkan kegiatan belajar (belajar menerima)
3. Melakukan pendekatan kritis guna memperjelas materi
pelajaran
4. Mengklarifikasikan
(Aunurrahman: 2009: 57)
29
2.2.2 Teori Pembelajaran
Di dalam teknologi pendidikan dibedakan antara istilah pembelajaran
(instructional) dan pengajaran (teaching). Menurut Miarso (2009: 545)
pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar
orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain.
Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman
belajar kepada peserta didik. Istilah mengajar (teaching) sebagai penyampai
materi pelajaran kepada peserta didik, dianggap tidak sesuai lagi sehingga dalam
literatur teknologi pendidikan hanya digunakan istilah pembelajaran.
Pembelajaran adalah proses yang sistematis, dimana semua komponen antara lain
guru, peserta didik (siswa), material dan lingkungan belajar merupakan komponen
penting untuk keberhasilan belajar. Pembelajaran sebagai sebuah sistem
menggunakan pendekatan sistem dalam desain pembelajaran. Sistem yang
dimaksud adalah bahwa semua komponen yang terlibat dalam pembelajaran
saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Reigeluth dan Merill dalam Miarso (2009: 529) pembelajaran sebaiknya
didasarkan pada teori pembelajaran preskriptif, yaitu teori yang memberi resep
untuk mengatasi masalah belajar. Teori pembelajaran preskeptif tersebut
memperhatikan tiga variabel yaitu kondisi, metode dan hasil. Di dalam setiap
metode pembelajaran harus mengandung rumusan pengorganisasian bahan
pelajaran, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan dengan memperhatikan
faktor tujuan belajar, hambatan belajar, karakteristik siswa agar dapat diperoleh
efektivitas, efisiensi dan daya tarik pembelajaran.
30
Menurut Sanjaya (2005: 78) istilah pembelajaran dipengaruhi oleh perkembangan
tekbologi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, peserta didik
ditempatkan sebagai subjek belajar yang memegang peranan paling utama,
sehingga dalam setting proses belajar mengajar peserta didik dituntut beraktivitas
secara penuh bahkan secara individual mempelajari bahan pelajaran. Dengan
demikian kalau didalam istilah pengajaran (teaching) menempatkan guru sebagai
pemeran utama dalam memberikan informasi kepada peserta didik, maka dalam
istilah pembelajaran (instruction) guru lebih banyak sebagai fasilitator yang
mengelola berbagai sumber belajar untuk dipelajari peserta didik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran sebagai
proses belajar yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik, serta
dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai
upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pembelajaran.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa
pembelajaran adalah proses interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Selain itu dengan semakin berkembangnya teknologi dalam
pembelajaran, maka pola interaksi antara guru, peserta didik dan sumber belajar
mengalami perubahan dari pola pembalajaran yang berpusat pada guru (teacher
centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student centered) dimana peran
guru sebagai fasilitator dan bahkan ada kecenderungan akan digantikan media.
31
2.3 Teori Desain Pembelajaran ASSURE
Teknologi pendidikan merupakan sebuah bidang yang fokus pada upaya-upaya
yang dapat digunakan untuk memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dalam
diri individu. Hal ini sesuai dengan definisi teknologi pendidikan yang
dikemukakan oleh AECT (Association of Educational Communication and
Technology), yaitu sebuah studi dan praktik etis yang berupaya membantu
memudahkan berlangsungnya proses belajar dan perbaikan kinerja melalui
penciptaan, penggunaan, pengelolaan, proses, teknologi dan sumber daya yang
tepat. Seels dan Richey (dalam Pribadi 2011: 63) mengemukakan bahwa
teknologi pendidikan memiliki lima domain atau bidang garapan, yaitu:
(1) desain, (2) pengembangan, (3) pemanfaatan, (4) pengelolaan, dan (5) evaluasi.
Bidang garapan desain meliputi beberapa bidang kerja yaitu desain pembelajaran,
desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik siswa. Hal ini menunjukkan
bahwa desain merupakan salah satu domain atau bidang garapan yang penting
dalam teknologi pendidikan yang berperan sebagai salah satu sarana untuk
memfasilitasi berlangsungnya proses belajar dan memperbaiki kinerja.
Pribadi (2011: 54) mengemukakan bahwa upaya untuk mendesain proses
pembelajaran agar menjadi sebuah kegiatan yang efektif, efisien, dan menarik
disebut dengan istilah desain sistem pembelajaran atau instructional system design
(ISD).
Smith dan Ragan (dalam Pribadi 2011: 55) mengemukakan bahwa desain sistem
pembelajaran adalah proses sistematik yang dilakukan dengan menerjemahkan
prinsip-prinsip belajar dan pembelajaran menjadi rancangan yang dapat
32
diimplementasikan dalam bahan dan aktivitas pembelajaran. Desain sistem
pembelajaran terus tumbuh sebagai suatu bidang yang dapat dimanfaatkan untuk
merancang program pembelajaran dan pelatihan yang mampu menghasilkan
sumberdaya manusia yang memiliki keterampilan dan pengetahuan sehingga
mampu menunjukkan hasil belajar yang optimal.
Lebih lanjut Pribadi (2011: 56) menjelaskan bahwa pada umumnya desain sistem
pembelajaran berisi lima langkah yang penting, yaitu (1) analisis lingkungan dan
kebutuhan belajar siswa, (2) merancang spesifikasi proses pembelajaran yang
efektif dan efisien serta sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan belajar siswa,
(3) mengembangkan bahan-bahan untuk digunakan dalam kegiatan pembelajaran,
(4) implementasi desain sistem pembelajaran, dan (5) implementasi evaluasi
formatif dan sumatif terhadap program pembelajaran.
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa desain sistem
pembelajaran berisi langkah-langkah yang sistematis dan terarah untuk
menciptakan proses belajar yang efektif, efisien, dan menarik. Secara umum,
desain sistem pembelajaran dimulai dari kegiatan analisis yang digunakan untuk
menggambarkan masalah pembelajaran yang akan dicari solusinya. Setelah
mengetahui masalah pembelajaran maka langkah selanjutnya menentukan solusi
untuk mengatasi tersebut. Hasil proses desain sistem pembelajaran berisi
rancangan sistematik dan menyeluruh dari sebuah aktivitas atau proses
pembelajaran yang diaplikasikan untuk mengatasi masalah pembelajaran.
33
Model ASSURE adalah salah satu petunjuk dan perencanaan untuk membantu
perancang desain pembelajaran dalam merencanakan, mengidentifikasi,
menentukan tujuan, memilih metode dan bahan ajar serta evaluasi. Model desain
ASSURE menjembatani antara peserta didik, materi dan semua bentuk media
berbasis teknologi dan bukan teknologi. Model ASSURE ini merupakan rujukan
bagi guru dalam membelajarkan siswa yang direncanakan dan disusun secara
sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan media sehingga pembelajaran
menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik.
Model ASSURE menekankan pada pembelajaran dengan gaya belajar yang
berbeda, siswa diwajibkan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka
dan tidak secara pasif menerima informasi. Model ASSURE lebih difokuskan
pada perencanaan pembelajaran yang digunakan dalam situasi pembelajaran di
dalam kelas secara aktual. Pengembangan desain pembelajaran ASSURE didasari
pada pemikiran Gagne mengenai peristiwa pembelajaran. Menurut Gagne, desain
pembelajaran yang efektif harus dimulai dari upaya yang dapat memicu atau
memotivasi seseorang untuk belajar. Langkah yang harus diikuti secara kontinyu
yaitu proses pembelajaran yang sistematik, penilaian hasil belajar dan pemberian
umpan balik tentang pencapaian hasil belajar.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam model desain sistem pembelajaran
ASSURE adalah : (1) Analyze learners yaitu melakukan analisis karakteristik
siswa, (2)State objectives yaitu menetapkan tujuan pembelajaran, (3) Select
method, media and materials yaitu memilih media, metode dan bahan ajar,
(4) Utilize materials yaitu memanfaatkan bahan ajar, (5) Require learners
34
participation, yaitu melibatkan siswa dalam kegiatan pembelajaran, (6) Evaluate
and revise yaitu mengevaluasi dan merevisi program pembelajaran.
2.3.1 Analisis Karakteristik Siswa (Analyze Learners)
Langkah awal yang perlu dilakukan dalam menerapkan model assure adalah
melakukan analisis terhadap obyek yang akan melakukan proses belajar, dalam
hal ini siswa. Karakteristik siswa meliputi tiga aspek, yaitu : (1) karakteristik
umum, (2) kompetensi spesifik yang telah dimiliki sebelumnya, (3) gaya belajar
siswa. Karakteristik umum merupakan gambaran dari kelas keseluruhan, seperti
jumlah siswa, usia, tingkat pendidikan, faktor sosial ekonomi, budaya atau etnis,
keanekaragaman, dan seterusnya. Dengan demikian karakteristik pembelajaran
dapat memberi pengarahan dalam membantu memilih metode pembelajaran dan
media. Kompetensi spesifik (specific kompetensi) merupakan gambaran dari jenis
pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki peserta didik baik atau kurangnya
ketrampilan yang dimiliki sebelum memenuhi syarat yang akan dicapai dalam
ketrampilan dan tingkah laku. Gaya belajar (learning style) merupakan gambaran
dari prefensi gaya belajar masing-masing peserta didik yang bersifat psikologis
yaitu mempengaruhi bagaimana kita menanggapi rangsangan yang berbeda. Gaya
belajar siswa meliputi gaya belajar auditorial, visual, dan kinestetik. Guru akan
menentukan pengelolaan informasi dari kebiasaan siswa. Kategori ini berisi
berbagai variabel yang terkait dengan bagaimana kecenderungan individu dalam
pemrosesan informasi kognitif.
35
2.3.2 Menetapkan Tujuan Pembelajaran (State Objectives)
Langkah kedua dalam model pembelajaran ASSURE adalah menentukan tujuan
pembelajaran. Tujuan pembelajaran digunakan untuk menyatakan gambaran apa
yang harapkan siswa dari hasil pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus bersifat
spesifik. Tujuan pembelajaran diperoleh dari penjabaran Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar yang terdapat dalam Standar Nasional Pendidikan. Tujuan
pembelajaran dirumuskan oleh guru berdasarkan langkah pertama yaitu tujuan
pembelajaran ditulis dengan menggunakan format ABCD, yaitu Audience,
behavior, condition, dan degree.
(a) Audience : pembelajaran ini diberikan untuk siswa sebagai audience, bukan
guru untuk lebih fokus pada apa yang dilakukan siswa bukan apa yang
dilakukan guru.
(b) Behavior : tujuannya adalah menggambarkan kemampuan baru yang dimiliki
siswa setelah mendapatkan pembelajaran. Jadi, perilaku atau kemampuan
siswa yang dapat diukur dan dapat diamati perlu ditunjukan sebagai hasil
pembelajaran.
(c) Condition : keadaan atau kondisi siswa. Tujuan pembelajaran menunjukan
ketrampilan atau kemampuan yang diajarkan. Sebuah pernyataan tujuan harus
mencakup kondisi dimana hasilnya dapat diamati. Jadi, harus menyertakan
peralatan/alat bantu, atau referensi yang akan digunakan siswa.
(d) Degree : persyaratan terakhir bertujuan agar lebih baik dalam menunjukan
hasil belajar yang dapat diterima dan akan dinilai. Jadi, sejauhmana
ketrampilan yang dikuasai dan dapat diterima.
36
2.3.3 Memilih Metode, Media dan Bahan (Select Methods, Media, Materials)
Langkah ini menghubungkan antara siswa dan tujuan pembelajaran yang
sistematis yaitu menggunakan media dan teknologi. Metode, media dan bahan ajar
harus dipilih secara sistematis. Setelah mengetahui gaya belajar peserta didik dan
memiliki gagasan yang jelas tentang apa yang akan di sampaikan, maka harus
dilakukan pemilihan:
a) Metode pembelajaran yang digunakan harus tepat dan lebih unggul dari yang
lain dan memberikan semua kebutuhan siswa dalam belajar.
b) Media bisa berupa teks, gambar, video, audio, dan multimedia komputer.
c) Bahan ajar yang disediakan untuk siswa harus sesuai dengan yang dibutuhkan
siswa dalam menguasai tujuan.
2.3.4 Memanfaatkan Bahan Ajar (Utilize Materials)
Langkah keempat dalam model pembelajaran ASSURE adalah memanfaatkan
penggunaan ketiganya dalam pembelajaran. Guru menjelaskan penggunaan media
yang dipilih kepada siswa, bagaimana pendidik akan menerapkan media dan
memahami materi pembelajaran yang tercantum. Media dipilih, dimodifikasi dan
didesain agar memenuhi kebutuhan siswa dan membantu siswa dalam
pembelajaran. Dalam memanfaatkan bahan ajar ada beberapa langkah yang harus
dilakukan guru, yaitu : a) Preview materi, melihat dulu materi sebelum
menyampaikannya dalam kelas dan menentukan materi yang tepat untuk audiens
dan memperhatikan tujuannya, b) Menyiapkan bahan, guru harus mengumpulkan
semua materi dan media yang dibutuhkan siswa dan guru. Guru harus menentukan
urutan materi dan penggunaan media. Guru harus menggunakan media terlebih
37
dahulu (check) untuk memastikan keadaan media, c) Menyiapkan lingkungan,
guru harus mengatur fasilitas yang digunakan siswa dengan tepat dan sesuai
antara bahan ajar dengan lingkungan sekitar, d) Siswa. Guru memberitahukan
tujuan pembelajaran kepada siswa dan menjelaskan cara memperoleh informasi
dan evaluasi materi pelajaran.
2.3.5 Melibatkan Siswa dalam Kegiatan Pembelajaran (Require Learners
Participation)
Langkah kelima dalam model pembelajaran ASSURE adalah dengan mewajibkan
partisipasi siswa. Pembelajaran terbaik jika siswa aktif dalam pembelajaran.
Siswa yang pasif lebih banyak memiliki permasalahan dalam belajar, karena guru
hanya mencoba untuk memberikan stimulus, tanpa mempedulikan respon dari
siswa. Apapun strategi pembelajarannya guru harus dapat menggabungkan
strategi satu dengan yang lain, diantaranya strategi tanya-jawab, diskusi, kerja
kelompok, dan strategi lainnya agar peserta didik aktif dalam pembelajarannya.
2.3.6 Evaluasi dan Revisi Program Pembelajaran (Evaluate and Revise)
Langkah terakhir dalam model pembelajaran ASSURE adalah evaluasi dan revisi.
Evaluasi dan revisi merupakan komponen penting untuk mengembangkan kualitas
pembelajaran. Siapa saja dapat mengembangkan dan menyampaikan pelajaran,
tetapi guru yang baik harus benar-benar dapat merefleksi pelajaran, mengetahui
tujuan, menguasai strategi pembelajaran, menguasai materi pembelajaran, dan
melakukan penilaian serta dapat menentukan apakah unsur-unsur dari pelajaran
itu efektif. Jika guru menemukan beberapa hal yang terlihat tidak efektif maka
mungkin strategi yang disampaikan belum tepat untuk tingkatan kelas itu.
38
Keefektifan dalam strategi pembelajaran juga bisa terjadi, misalnya peserta didik
tidak termotivasi atau strategi itu sulit dilaksanakan pendidik. Oleh karena itu,
evaluasi adalah langkah yang penting untuk menilai prestasi peserta didik dan
menilai metode pembelajaran dan media yang digunakan. Revisi merupakan
langkah terakhir dari siklus pembelajaran yang juga merupakan hal yang penting
untuk melihat hasil evaluasi.
2.4 Prestasi Belajar
Prestasi belajar merupakan tujuan utama dari pengkonsepan pembelajaran.
Dengan memperhatikan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik pengkonsepan
pembelajaran diharapkan mampu menciptakan hasil belajar yang baik bagi siswa.
”Prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang”
(Winkel, 2004: 226). Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang
dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar. Sedangkan
menurut Gunarso (2007: 77) mengemukakan bahwa, ”Prestasi belajar adalah
usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha
belajar”. Menurut Ahmadi dan Supriyono (2004: 130) prestasi belajar merupakan
hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dari dalam diri
(faktor internal) maupun dari luar (faktor eksternal) individu.
Prestasi belajar di bidang pendidikan merupakan hasil dari pengukuran terhadap
peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah
mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes
atau instrumen yang relevan. Selanjutnya, menurut S. Nasution (2010: 17) prestasi
belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa
39
dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek
yakni: kognitif, afektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang
memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria
tersebut.”
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi
belajar adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan
dalam bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah
dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu. Prestasi belajar merupakan hasil
dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan
psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan
menggunakan instrumen tes yang relevan.
Prestasi belajar merupakan wujud dari hasil pembelajaran yang secara maksimal
yang diukur dengan tingkat ketuntasan belajar. Prestasi belajar diperoleh bila nilai
melebihi standar kelulusan. Namun, bila nilai yang diperoleh siswa dibawah
standar kelulusan maka siswa tersebut wajib mengikuti pembelajaran remedial
untuk dapat mencapai tingkat ketuntasan.
Berdasarkan beberapa batasan diatas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai
kecakapan nyata yang dapat diukur yang berupa pengetahuan, sikap dan
keterampilan sebagai interaksi aktif antara subyek belajar dengan obyek belajar
selama berlangsungnya proses belajar mengajar untuk mencapai hasil belajar
40
2.5 Model Pembelajaran Kontekstual
2.5.1 Pengertian Model Pembelajaran Kontekstual
Johhson dalam Rusman (2012: 187) menyatakan pembelajaran kontekstual adalah
sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola yang mewujudkan
makna. Pembelajaran kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok
dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis
dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa. Jadi, pembelajaran kontekstual
adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa kemampuan diri tanpa
merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus
menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata.
Inti dari pembelajaran kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik
pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya dapat dilakukan
berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung
terkait dengan kondisi faktual, juga dapat disiasati dengan pemberian ilustrasi atau
contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya yang memang baik secara
langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman
hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan
dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari
dirasakan langsung manfaatnya.
Nurhadi seperti dikutip Rusman (2012: 189) menyatakan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
41
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
2.5.2 Prinsip Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual sebagai suatu model dalam implementasinya tentu saja
memerlukan perencanaan pembelajaran yang mencerminkan konsep dan prinsip
pembelajaran kontekstual. Rusman (2012: 193-199) menyatakan bahwa ada tujuh
prinsip pembelajaran kontekstual yang harus dikembangkan oleh guru, yaitu :
2.5.2.1 Konstruktivisme (Contructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) dalam pembelajaran
kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman
yang nyata.
Batasan konstruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah
tidak penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki
oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang
dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk
diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Dalam pembelajaran kontekstual strategi
untuk membelajarkan siswa menghubungkan antara setiap konsep dengan
kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan dengan penekanan
terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat siswa.
42
Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung atau tidak
langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para
siswa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan yang
cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu ia selalu dengan mudah
memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar dan media pembelajaran yang
dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan
sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya. Dengan cara
itu, pengalaman belajar siswa akan memfasilitasi kemampuan siswa untuk
melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki sifat
keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda.
2.5.2.2 Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kontekstual, melalui
upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan
ketrampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan
merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil
menemukan sendiri.
Komalasari (2013: 12) mengemukakan bahwa di dalam inquiry, pengetahuan dan
ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus : 1) observasi
(observation); 2) bertanya (questioning); 3) mengajukan dugaan (hipotesis);
pengumpulan data (data gathering); dan 4) penyimpulan (conclussion).
43
Menurut Amri dan Ahmadi (2010: 29) tahapan atau siklus inquiry adalah:
(1) proses perpindahan pengamatan menjadi pemahaman; (2) siswa belajar
menggunakan ketrampilan berpikir kritis; (3) observasi; (4) mengajukan dugaan;
(5) bertanya; (6) mengumpulkan data; dan (7) menyimpulkan.
Lebih lanjut Amri dan Ahmadi (2010: 29) menyatakan bahwa langkah-langkah
kegiatan inquiry adalah: (1) merumuskan masalah; (2) mengamati atau melakukan
observasi; (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan,
bagan, tabel, dan karya lainnya; dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan
hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audien lainnya.
Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menemukan sendiri
nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemberian. Hasil
pembelajaran yang berasal dari kreativitas siswa sendiri, akan bersifat lebih tahan
lama diingat oleh siswa jika dibandingkan dengan pemberian guru.
2.5.2.3 Bertanya (Questioning)
Unsur lain yang menjadi karakteristik utama pembelajaran kontekstual adalah
kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya. Penerapan unsur bertanya dalam
pembelajaran kontekstual harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk
bertanya atau kemampuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan
mendorong pada peningkatan kualitas dan produktivitas pembelajaran. Dalam
implementasi pembelajaran kontekstual, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau
siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber
belajar yang ada kaitannya dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, tugas guru
44
adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan
menmukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan
nyata.
Melalui penerapan bertanya, pembelajaran akan lebih hidup, akan mendorong
proses dan hasil pembelajaran yang lebih luas dan mendalam, dan akan banyak
ditemukan unsur-unsur terkait yang sebelumnya tidak terpikirkan baik oleh guru
maupun oleh siswa. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan
bertanya, produktivitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya
maka : 1) dapat menggali informasi baik administrasi maupun akademik;
2) mengecek pemahaman siswa; 3) membangkitkan respons siswa; 4) mengetahui
sejauhmana keingintahuan siswa; 5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa;
6) memfokuskan perhatian siswa; 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
dari siswa; dan 8) menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
2.5.2.4 Masyarakat Belajar (Learning Community)
Masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan
memanfaatkan sumber belajar dari teman-teman belajarnya. Penerapan learning
comunity dalam pembelajaran di kelas akan banya bergantung pada model
komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dimana dituntut
ketrampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak
arah (interaksi) yaitu model komunikasi yang bukan hanya hubungan antara guru
dengan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan
komunikasi pembelajaran antara siswa dengan siswa lainnya.
45
Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam
pembelajaran kontekstual sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas
memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya
dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui
pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat
belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan
masyarakat).
2.5.2.5 Pemodelan (Modelling)
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, rumitnya permasalahan hidup
yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam,
telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan
ini yang sulit dipenuhi. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu-satunya
sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang
dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cukup heterogen. Oleh karena iru,
tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangkan
pembelajaran agar siswa dapat memenuhi harapan siswa secara menyeluruh dan
membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru.
2.5.2.6 Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau baru saja
dipelajari. Dengan kata lain refleksi adalah berpikir ke belakang tentang apa-apa
yang sudah dilakukan di masa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru
46
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan
atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi
kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati dan
melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be).
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula,
yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dapat
dijadikan sandaran dalam menaggapi terhadap gejala yang muncul kemudian.
Melalui model pembelajaran kontekstual, pengalaman belajar bukan hanya terjadi
dan dimiliki ketika seseorang siswa berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih
penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar
dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan
permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Kemampuan untuk mengaplikasikan
pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada dunia nyata yang dihadapinya akan
mudah diaktualisasikan manakala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi
dalam setiap jiwa siswa dan disinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada
setiap kesempatan pembelajaran.
2.5.2.7 Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Penilaian sebagai bagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat
menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses hasil pembelajaran
melalui penerapan pembelajaran kontekstual. Penilaian adalah proses
pengumpulan berbagai data dan informasi yang dapat memberikan gambaran atau
petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data
dan informasi yang lengkap, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru
47
terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa.Guru dengan cermat
akan mengetahui kemajuan, kemunduran dan kesulitan siswa dalam belajar dan
guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan upaya-upaya perbaikan dan
penyempurnaan proses bimbingan belajar.
Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual harus
mempertimbangkan beberapa karakteristik : 1) kerjasama; 2) saling menunjang;
3) menyenangkan dan tidak membosankan; 4) belajar dengan bergairah;
5) pembelajaran terintegrasi; 6) menggunakan berbagai sumber; 7) siswa aktif;
8) sharing dengan teman; 9) siswa kritis guru kreatif; 10) dinding kelas dan
lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa; 11) laporan kepada orang tua
bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan
siswa dan lain-lain.
2.5.3 Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual
Di dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencana
kegiatan kelas yang dirancang oleh guru yaitu dalam bentuk skenario tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya
proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Oleh
karena itu program pembelajaran kontekstual hendaknya :
1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan
siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok dan
indikator pencapaian hasil belajar
2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajarannya
48
3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan
digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan
4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa
dalam melakukan proses pembelajarannya yang meliputi langkah-langkah :
a. Merumuskan masalah
b. Mengamati atau melakukan observasi
c. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan,
tabel, dan karya lainnya
d. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru atau audien lainnya
5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan memfokuskan pada
kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat
berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar
(Rusman, 2012: 199).
Lebih lanjut Rusman (2012: 199-200) menyatakan bahwa pada intinya
pengembangan setiap komponen pembelajaran kontekstual tersebut dalam
pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih
bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan
mengonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus
dimilikinya.
2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang
diajarkan.
49
3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaan-
pertanyaan.
4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok diskusi,
tanya jawab dan lain sebagainya.
5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi setiap kegiatan pembelajaran
yang telah dilakukan.
7. Melakukan penilaian secara objektif yaitu menilai kemampuan yang
sebenarnya pada setiap siswa.
Program pembelajaran dalam pembelajaran kontekstual merupakan rencana
kegiatan kelas yang dirancang oleh guru yaitu dalam bentuk skenario tahap demi
tahap tentang apa yang akan dilakukan siswa selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Di dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh
komponen pembelajaran kontekstual dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki
persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam
membimbing kegiatan pembelajaran di dalam kelas.
2.6 Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
2.6.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar
tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk
memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.
50
Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berpikir tingkat
tinggi dalam situasi yang berorientasi masalah, termasuk di dalamnya belajar
bagaimana belajar. Menurut Ibrahim dan Nurhadi (2009: 2) : “Pembelajaran
berbasis masalah dikenal dengan nama lain project based teaching (pembelajaran
proyek), experience based education (pendidikan berdasarkan pengalaman),
authentic learning (pembelajaran autentik), dan anchored instruction
(pembelajaran berakar pada kehidupan nyata)”.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang
dapat digunakan untuk memperbaiki sistem pembelajaran. Selama ini kemampuan
siswa untuk dapat menyelesaikan masalah kurang diperhatikan oleh setiap guru.
Akibatnya, manakala siswa telah menghadapi masalah, walaupun masalah itu
dianggap sepele, banyak siswa tersebut tidak dapat menyelesaikannya dengan
baik dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis yang seharusnya
dimiliki.oleh setiap siswa. Berpikir kritis dapat diartikan sebagai : 1) ide atau
inisiatif, ketelitian yang timbul pada diri seseorang secara disadari atau tidak
disadari, untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu; 2) gagasan-
gagasan yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu
tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang ingin dicapai
(Asrori, 2008: 183).
Pembelajaran berbasis masalah dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas
pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang
dihadapi secara ilmiah. Terdapat 3 (tiga) ciri ilmiah utama dari pembelajaran
berbasis masalah. Pertama, merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya
51
dalam implementasi pembelajaran berbasis masalah ada sejumlah kegiatan yang
harus dilakukan siswa. Kedua, siswa tidak hanya sekedar mendengarkan,
mencatat, kemudian menghapal materi pelajaran, akan tetapi siswa aktif berpikir,
berkomunikasi, mencari dan mengolah data, serta akhirnya dengan menempatkan
masalah sebagai kata kunci dari proses pembelajaran. Artinya, tanpa masalah
maka tidak mungkin ada proses pembelajaran. Ketiga, pemecahan masalah
dilakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah. Berpikir
dengan menggunakan strategi ilmiah adalah proses berpikir deduktif dan induktif.
Proses berpikir ini dilakukan secara sistematis dan empiris. Sistematis artinya
berpikir ilmiah dilakukan melalui tahap-tahap tertentu, sedangkan empiris artinya
proses penyelesaian masalah didasarkan pada data dan fakta yang jelas.
2.6.2 Ciri-Ciri Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
Ciri-ciri model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut :
(1) Pengajuan pertanyaan atau masalah
Model pembelajaran berbasis masalah bukan hanya mengorganisasikan
prinsip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, tetapi mengorganisasikan
pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial
sangat penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.
(2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin ilmu
Meskipun model pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata
pelajaran tertentu (IPA, Sejarah, Ilmu-ilmu Sosial), masalah yang akan
diselidiki telah dipilih yang benar-benar nyata agar dalam pemecahanya siswa
meninjau masalah itu dari perspektif mata pelajaran lain.
52
(3) Penyelidikan autentik
Model pembelajaran berbasis masalah mengharuskan siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah
yang nyata.
(4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Model pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Bentuk itu dapat berupa transkip debat, laporan model fisik, video
atau program komputer (Nurhadi, 2009: 5-7).
Model pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah dapat ditetapkan :
a. Guru menginginkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat materi
pelajaran, akan tetapi menguasai dan memahaminya secara penuh.
b. Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan ketrampilan berpikir rasional
siswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan yang
mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara fakta
dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat judgment
secara objektif.
c. Manakala guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah
serta membuat tantangan intelektual siswa.
d. Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam
belajarnya.
53
e. Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari
dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan
kenyataan).
Model pembelajaran berbasis masalah dapat dilakukan guru agar dapat melihat
kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah dan mengaitkannya
dengan pelajaran yang diperoleh siswa.
2.6.3 Tujuan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning)
Tujuan pembelajaran dirancang untuk membantu guru memberikan informasi
sebanyak-banyaknya kepada siswa yang dikembangkan terutama untuk membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan
ketrampilan intelektual, belajar tentang berbagai peran orang dewasa melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi
pembelajaran yang otonom dan mandiri.
Uraian terinci terhadap ketiga tujuan itu dijelaskan lebih jauh oleh Nurhadi (2009:
7-12) berikut ini : (a) ketrampilan berpikir dan ketrampilan pemecahan masalah;
(b) berbagai macam ide telah digunakan untuk mengembangkan cara seseorang
berpikir. Tetapi, apakah sebenarnya yang terlibat dalam proses berpikir,
ketrampilan berpikir kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai
kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang seksama.
54
2.6.4 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
John Dewey seperti dikutip oleh Nurhadi (2009: 13) menjelaskan 6 langkah
pembelajaran berbasis masalah yang kemudian dia namakan pemecahan masalah
(problem solving), yaitu : (1) merumuskan masalah, yaitu langkah siswa
menentukan masalah yang akan dipecahkan; (2) menganalisis masalah, yaitu
langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang;
(3) merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai
kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya;
(4) mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan
informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah; (5) pengujian hipotesis,
yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai rumusan
hasil pengujian hipotesis dari rumusan kesimpulan; (6) merumuskan rekomendasi
pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang
dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil penggujian hipotesis dan rumusan
kesimpulan.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang menghadapkan
siswa pada masalah dunianyata (real world) untuk memulai pembelajaran. Model
pembelajaran berbasis masalah merupakan pengembangan kurikulum dan model
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis karena di sini guru hanya berperan
sebagai penyaji dapat meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual pada
peserta didik. Prinsip utama pendekatan masalah, penanya, mengadakan dialog,
pemberi fasilitas penelitian, menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat
meningkatkan pertumbuhan inkuiri dan intelektual pada peserta didik. Prinsip
55
utama pendekatan konstruktivis adalah pengetahuan tidak diterima secara pasif,
tetapi dibangun secara aktif oleh siswa.
Pembelajaran berbasis masalah biasanya terdiri dari enam tahapan utama yang
dimulai dengan guru mengenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Untuk
mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah, guru perlu memilih bahan
pelajaran yang memiliki permasalahan yang dapat dipecahkan. Permasalahan
tersebut bisa diambil dari buku teks atau dari sumber-sumber lain misalnya dari
peristiwa yang terjadi di lingkungan sekitar, dari peristiwa dalam keluarga atau
dari masalah kemasyarakatan.
Tabel 2.2 Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan
Tingkah Laku Siswa
1. Merumuskan masalah Siswa menentukan masalah yang akan
dipecahkan
2. Menganalisis masalah Siswa meninjau masalah secara kritis dari
berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis
Siswa merumuskan berbagai kemungkinan
pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya
4. Mengumpulkan data Siswa mencari dan menggambarkan informasi
yang diperlukan untuk pemecahan masalah
5. Pengujian hipotesis Siswa mengambil atau merumuskan
kesimpulan sesuai rumusan hasil pengujian
hipotesis dari rumusan kesimpulan
6. Merumuskan rekomendasi
pemecahan masalah
Siswa menggambarkan rekomendasi yang
dapat dilakukan sesuai dengan rumusan hasil
penggujian hipotesis dan rumusan kesimpulan
56
2.6.5 Hakikat Masalah dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning)
Pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk
bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkanp untuk
memecahakn masalah yang dihadapi. Tujuan yang ingin dicapai adalah
kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analitik, sistematis, dan logis untuk
menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris
dalam rangka menumbuhkan sikap ilmiah.
Kriteria pemilihan bahan pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah yaitu:
(1) bahan pelajaran harus mengandung isu-isu yang mengandung konflik (conflict
issue) yang bisa bersumber dari berita, rekaman video, dan yang lainnya;
(2) bahan yang dipilih adalah bahan yang bersifat familiar dengan siswa, sehingga
setiap siswa dapat mengikutinya dengan baik; (3) bahan yang dipilih merupakan
bahan yang berhubungan dengan kepentingan orang banyak (universal), sehingga
terasa manfaatnya; (4) bahan yang dipilih merupakan bahan yang mendukung
tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sesuai dengan kurikulum
yang berlaku; (5) bahan yang dipilih sesuai dengan minat siswa sehingga setiap
siswa merasa perlu untuk mempelajarinya.
2.6.6 Merencanakan Pelajaran Untuk Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model pembelajaran yang
menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan
pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri, (Serafino & Ciccelli dalam
Eggen, 2012: 310). Pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga
57
karakteristik yaitu pelajaran berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab
untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa dan guru mendukung proses
saat siswa mengerjakan masalah. Pelajaran berawal dari satu masalah dan
memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran. Siswa
memiliki tanggungjawab untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah yang
biasanya dilakukan secara berkelompok yang semua siswanya terlibat dalam
proses itu, sehingga membuat siswa bertanggungjawab untuk menyusun strategi
dan memecahkan masalah. Guru menuntun upaya siswa dengan mengajukan
pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa berusaha
memecahkan masalah. Karakteristik ini penting dan menuntut ketrampilan serta
pertimbangan yang profesional untuk memastikan kesuksesan pembelajaran
berbasis masalah. Jika guru tidak cukup memberikan bimbingan siswa akan gagal,
dan mungkin memiliki konsepsi keliru. Jika diberikan berlebihan siswa tidak akan
mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah.
Merencanakan pembelajaran berbasis masalah diawali dengan mengidentifikasi
topik, jika topik-topik tidak memiliki karakteristik spesifik maka perencanaan
menjadi kurang konkrit sehingga perlu memahami ide-ide secara detail. Langkah
selanjutnya adalah menentukan tujuan, saat merencanakan pelajaran untuk
pembelajaran berbasis masalah hendaknya kita memiliki dua jenis tujuan belajar,
Tahap ketiga adalah mengidentifikasi masalah, siswa yang terlibat dalam
pembelajaran berbasis masalah memerlukan satu masalah untuk dipecahkan,
masalah menjadi efektif jika jernih, konkrit, dan dekat dengan keseharian pribadi.
Saat memilih masalah harus berusaha menentukan apakah siswa-siswinya
memiliki cukup banyak pengetahuan awal untuk secara efektif merancang satu
58
strategi demi memecahkan satu masalah tersebut sehingga perlu pengalaman terus
menerus untuk mencapai tujuan tersebut. Mereka tidak akan mampu
mengembangkan strategi untuk menghadapi masalah dan langkah ketiga
mengakses materi, jika pemecahan masalah ingin berlangsung mulus, siswa harus
memahami apa yang mereka usahakan untuk dicapai dan mereka harus memiliki
akses pada materi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalahnya.
Untuk membantu siswa memenuhi tujuan itu pembelajaran berbasis masalah
terjadi dalam empat fase yaitu :
Tabel 2.3 Fase Pembelajaran Berbasis Masalah
No Fase Deskripsi
1 Mereview dan menyajikan
masalah Guru mereview pengetahuan yang
dibutuhkan untuk memecahkan
masalah dan memberi siswa
masalah spesifik dan konkrit untuk
dipecahkan
Menarik perhatian siswa dan
menarik mereka ke dalam
pelajaran
Secara informal menilai
pengetahuan awal
Memberikan fokus konkrit
untuk pelajaran
2 Menyusun strategi
Siswa menyusun strategi untuk
memecahkan masalah dan guru
memberikan mereka umpan balik
soal strategi
Memastikan sebisa mungkin
bahwa siswa menggunakan
pendekatan berguna untuk
memecahkan masalah
3 Menerapkan strategi
Siswa menerapkan strategi mereka
saat guru secara cermat memonitor
upaya mereka dan memberikan
umpan balik
Memberi siswa pengalaman
untuk memecahkan masalah
4 Membahas dan mengevaluasi
hasil Guru membimbing diskusi tentang
upaya siswa dan hasil yang mereka
dapatkan
Memberi siswa umpan balik
tentang upaya mereka
(Sumber : Eggen, 2012: 311)
59
Menurut John Dewey seperti dikutip oleh Eggen (2012: 312) metode reflektif
didalam memecahkan masalah yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati yang
dilandasi proses berpikir kearah kesimpulan- kesimpulan yang definitif melalui
lima langkah :
1) Siswa mengenal masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
2) Selanjutnya siswa menyelidiki dan menganalisis kesulitannya dan menentukan
masalah yang dihadapinya.
3) Lalu dia menghubungkan uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain dan
mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut.
Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
4) Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan
akibatnya masing-masing.
5) Selanjutnya ia mencoba mempraktekan salah satu kemungkinan pemecahan
yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan benar tidaknya
pemecahan masalah tersebut. Bila pemecahan masalah itu kurang tepat atau
salah maka akan dicobanya kemungkinan yang lain sampai ditemukan
pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah yang benar yaitu yang
berguna untuk hidup.
Langkah-langkah tersebut tidak kaku dan mekanistik artinya tidak mutlak harus
mengikuti urutan. Siswa biasa bergerak bolak balik antara masalah dan hipotesis
kearah pembuktian, kearah kesimpulan dalam aturan batas-batas yang bervariasi,
sehingga dapat dikatakan bahwa pendekatan instruksional ini mirip dengan suatu
penelitian ilmiah di mana suatu hipotesis dapat diuji dan dirumuskan.
60
Selanjutnya Dewey (Eggen, 2012: 313) menganjurkan agar bentuk isi pelajaran
hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir dengan pola struktur mata
pelajaran. Siswa akan bekerja karena dengan bekerja akan memberikan
pengalaman yang akan memimpin orang untuk bertindak bijaksana dan benar.
2.7 Kemampuan Siswa
Pertumbuhan individu terlihat pada bertambahnya aspek fisik yang bersifat
kuantitatif serta bertambahnya aspek psikis yang lebih bersifat kaulitatif. Dalam
kegiatan pendidikan dan pembelajaran, keduanya dilayani secara seimbang,
selaras dan serasi agar dapat terbentuknya kepribadian yang integral. Adapun
kegiatan ini dilaksanakan tidak lain untuk menghasilkan siswa dengan berbagai
kemampuan yang dapat dihandalkan nanti ketika mereka turun pada konsep nyata
yakni berkarya di dalam kehidupan masyarakat.
Fajri (2009: 134) mengemukakan bahwa kemampuan berasal dari kata mampu
yang mempunyai arti dapat atau bisa. Kemampuan juga disebut kompetensi.
Sedangkan Donald seperti dikutip oleh Sardiman (2009:73) mengemukakan
kemampuan adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya pikiran dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
Mampu adalah cakap dalam menjalankan tugas, mampu dan cekatan. Kata
kemampuan sama artinya dengan kecekatan. Mampu atau kecekatan adalah
kepandaian melakukan sesuatu pekerjaan dengan cepat dan benar. Seseorang yang
dapat melakukan dengan cepat tetapi salah tidak dapat dikatakan mampu.
Spencer and Spencer dalam Uno (2010: 62) mendefinisikan kemampuan sebagai :
61
“Karakteristik yang menonjol dari seseorang individu yang berhubungan dengan
kinerja efektif dan/superior dalam suatu pekerjaan atau situasi”.
Demikian pula apabila seseorang dapat melakukan sesuatu dengan benar tetapi
lambat, juga tidak dapat dikatakan mampu. Seseorang yang mampu dalam suatu
bidang tidak ragu-ragu melakukan pekerjaan tersebut, seakan-akan tidak pernah
dipikirkan lagi bagaimana melaksanakannya, tidak ada lagi kesulitan-kesulitan
yang menghambat. Ruang lingkup kemampuan cukup luas, meliputi kegiatan
berupa perbuatan, berfikir, berbicara, melihat, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam
pengertian sempit biasanya kemampuan lebih ditunjukkan kepada kegiatan yang
berupa perbuatan.
Menurut Uno (2010: 23) hakikat kemampuan adalah dorongan internal dan
eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan
tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang
mendukung. Dengan adanya kemampuan siswa akan lebih mudah dalam
mempelajari setiap materi yang diajarkan termasuk materi yang berkaitan dengan
mata pelajaran fisika.
Menurut Hamalik (2008: 162) kemampuan dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1) Kemampuan intrinsik adalah kemampuan yang tercakup di dalam situasi
belajar dan menemui kebutuhan dan tujuan-tujuan murid.
2) Kemampuan ekstrinsik adalah kemampuan yang hidup dalam diri siswa dan
berguna dalam situasi belajar yang fungsional.
62
Berdasarkan pengertian kemampuan diatas, maka dapat ditarik suatu pengertian
bahwa kemampuan adalah kompetensi mendasar yang perlu dimiliki siswa dalam
mempelajari lingkup materi dalam suatu mata pelajaran pada jenjang tertentu.
2.8 Karakteristik Fisika SMA
Secara ontologism fisika adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
penemuan dan pemahaman mendasar hukum-hukum yang menggerakkan. Fisika
adalah studi mengenai dunia anorganik fisik, sebagai lawan dari dunia organik
seperti biologi, fisiologi dan lain-lain. (Physical Science, Britannica Concise
Encyclopedia, 2006: 245). Atau dalam pengertian lain fisika adalah ilmu yang
mempelajari/mengkaji benda-benda yang ada di alam, gejala-gejala, kejadian-
kejadian alam serta interaksi dari benda-benda di alam tersebut secara fisik dan
mencoba merumuskannya secara matematis sehingga dapat dimengerti secara
pasti oleh manusia untuk kemanfaatan umat manusia lebih lanjut. Jadi fisika
merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan sains yang mempelajari sesuatu yang
konkret dan dapat dibuktikan secara matematis dengan menggunakan rumus-
rumus persamaan yang didukung adanya penelitian yang terus dikembangkan oleh
para fisikawan.
Secara epistimologi fisika adalah bidang ilmu yang tertua, karena dimulai dari
pengamatan-pengamatan dari gerakan benda-benda langit. Terdapat dua hal saling
terkait yang tidak bisa dipisahkan di dalam fisika, yaitu pengamatan dalam
eksperimen dan telaah teori. Keduanya tidak dapat dipisahkan saling tergantung
satu sama lain. Untuk sesuatu yang baru teori bergantung pada hasil-hasil
eksperimen, tapi di sisi lain arah eksperimen dipandu dengan adanya teori.
63
Awal mula adanya ilmu fisika ini lebih pada berbagai macam pertanyaan yang
timbul dalam benak manusia mengenai segala apa yang ada dan terjadi di alam ini
yang membuat manusia melakukan berbagai upaya guna mencari jawabannya.
Salah satunya adalah dengan melakukan pengamatan yang dilanjutkan dengan
penelitian yang akhirnya akan mendapatkan suatu hasil sebagai jawaban berupa
teori mengenai fenomena alam yang ada dalam hukum-hukum fisika. Tujuan
fisika adalah agar kita dapat mengerti bagian dasar dari benda-benda dan interaksi
antara benda-benda. Perkembangan ilmu fisika dalam kehidupan manusia telah
membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang
fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-
prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA
diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri
sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam
menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran menekankan
pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar pe
serta didik menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA
diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari perkembangan teknologi
maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Perkembangan pesat dibidang
teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dipicu oleh temuandi bidang
64
fisika material melalui penemuan piranti mikroelektronika yang mampu memuat
banyak informasi dengan ukuran sangat kecil. Sebagai ilmu yang mempelajari
fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia
untuk hidup selaras berdasarkan hukum alam. Pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan serta pengurangan dampak bencana alam tidak akan berjalan secara
optimal tanpa pemahaman yang baik tentang fisika.
Pembelajaran fisika pada tingkat SMA/MA, dipandang penting untuk diajarkan
sebagai mata pelajaran tersendiri dengan beberapa pertimbangan. Pertama, selain
memberikan bekal ilmu kepada peserta didik, mata pelajaran fisika dimaksudkan
sebagai wahana untuk menumbuhkan kemampuan berpikir yang berguna untuk
memecahkan masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, mata pelajaran
fisika perlu diajarkan untuk tujuan yang lebih khusus yaitu membekali peserta
didik pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang dipersyaratkan
untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu
dan teknologi. Pembelajaran fisika dilaksanakan secara inkuiri ilmiah untuk
menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta
berkomunikasi sebagai salah satu aspek penting kecakapan hidup.
Mata pelajaran fisika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan :
1. Membentuk sikap positif terhadap fisika dengan menyadari keteraturan dan
keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa
2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat
bekerjasama dengan orang lain
65
3. Mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan
dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen
percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta
mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis
4. Mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan
deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan
berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif
maupun kuantitatif
5. Menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan
mengembangkan pengetahuan, dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ruang lingkup mata pelajaran fisika di SMA/MA merupakan pengkhususan IPA
di SMP/MTs yang menekankan pada fenomena alam dan pengukurannya dengan
perluasan pada konsep abstrak yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
1. Pengukuran berbagai besaran, karakteristik gerak, penerapan hukum newton,
alat-alat optik, kalor, konsep dasar listrik dinamis, dan konsep dasar
gelombang elektromagnetik
2. Gerak dengan analisis vektor, hukum newton tentang gerak dan gravitasi,
gerak getaran, energi, usaha, dan daya, impuls dan momentum, momentum
sudut dan rotasi benda tegar, fluida, termodinamika
3. Gejala gelombang, gelombang bunyi, gaya listrik, medan listrik, potensial dan
energi potensial, medan magnet, gaya magnetik, induksi elektromagnetik dan
66
arus bolak-balik, gelombang elektromagnetik, radiasi benda hitam, teori atom,
relativitas, radioaktivitas.
2.9 Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian berkenaan dengan penerapan model pembelajaran kontekstual adalah
Penelitian yang dilakukan oleh :
1. Aditia Putra, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Malang,
dengan judul: Pengaruh model pembelajaran kontekstual ditinjau dari bakat
numeric dalam meningkatkan prestasi belajar matematika di kelas VIII SMP
Negeri 11 Denpasar.
2. Subarinah, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta
dengan judul : Upaya meningkatkan hasil belajar fisika siswa di MTs Negeri 3
Pondok Pinang-Jakarta tahun pelajaran 2007-2008.
3. Bajawati, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung, dengan judul : Pengembangan Model
Pembelajaran Problem Based Learning Pada Pembelajaran Sejarah di SMA
Negeri 13 Bandar Lampung. Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan
bahwa PBL sebagai model pembelajaran dapat meningkatkan aktivitas dan
hasil belajar siswa.
4. Penelitian Aryulina Amir, mahasiswa S2 Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dengan judul :
Penggunaan Model Problem Based Learning dalam Upaya Meningkatkan
Sikap Berpikir Kritis di Kelas X Akselerasi SMA Negeri 2 Bandar Lampung.
67
5. Sunaryo, mahasiswa S2 Teknologi Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung, dengan judul : “Penggunaan Model
Pembelajaran Problem Based Learning dalam Peningkatan Kemampuan
Berpikir Kritis Mata Pelajaran Sejarah Siswa Kelas XI IPS 1 dan XI IPS 2
Semester Ganjil di SMA Negeri 13 Bandar lampung. Kesimpulan penelitian
tersebut menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis mata pelajaran sejarah
di kelas XI IPS I mengalami peningkatan.
6. Journal Universitas Negeri Semarang (http://journal.unnes.ac.id/nju/ind)
Sudarisman, Implementasi Pendekatan Kontekstual dengan Variasi Metode
Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Biologi.
Kesimpulan penelitian tersebut menyatakan bahwa implementasi pendekatan
CTL dengan metode problem solving dapat meningkatkan kelima aspek
kualitas pembelajaran, meliputi performance guru, fasilitas pembelajaran,
iklim kelas, sikap dan motivasi belajar siswa.
2.10 Kerangka Berpikir
Di dalam pelaksanaan pembelajaran kepada siswa, guru memiliki kewajiban
untuk dapat melaksanakan kegiatan tersebut dengan baik dan profesional. Oleh
karena itu, guru harus kreatif dan inovatif dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan menampilkan model-model pembelajaran inovatif yang dapat merangsang
siswa untuk berpikir secara kritis, sehingga siswa mampu memecahkan masalah
dalam proses pembelajarannya dan pada akhirnya dapat meningkatkan hasil
belajarnya.
68
Penggunaan model pembelajaran kontekstual diharapkan mampu meningkatkan
daya serap dan juga animo siswa untuk belajar mata pelajaran fisika, sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan mata
pelajaran fisika selain mata pelajaran yang penting juga merupakan mata pelajaran
ciri khas jurusan yang diujikan secara nasional yang turut menentukan kelulusan
siswa.
Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang mengkaitkan materi
pembelajaran dengan konteks dunia nyata yang dihadapi siswa sehari-hari baik
dalam lingkungan keluarga, masyarakat, alam sekitar dan dunia kerja, sehingga
siswa mampu membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen
pembelajaran yakni kontruktivisme (constructivism), bertanya (questioning),
menyelidiki (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan
(modeling), refleksi (reflection), dan penilaian autentik (authentic assessment).
Di dalam pelaksanaan model pembelajaran kontekstual, guru dan buku bukan
merupakan sumber dan media sentral, demikian pula guru tidak dipandang
sebagai orang yang serba tahu, sehingga guru tidak perlu khawatir menghadapi
berbagai pertanyaan siswa yang terkait dengan lingkungan baik tradisional
maupun modern.
Inti dari pembelajaran kontekstual adalah keterkaitan setiap materi atau topik
pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya dapat dilakukan
berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung
terkait dengan kondisi faktual, juga dapat disiasati dengan pemberian ilustrasi atau
69
contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya yang memang baik secara
langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman
hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan
dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari
dirasakan langsung manfaatnya.
Selain menggunakan model pembelajaran kontekstual, di dalam mengajarkan
mata pelajaran fisika juga dapat menggunakan model pembelajaran berbasis
masalah. Pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model pembelajaran
yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan
pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri, (Serafino & Ciccelli, 2005 dalam
Paul Eggen, 2012: 310). Pelaksanaan pembelajaran menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah memiliki tiga karakteristik yaitu pelajaran
berfokus pada memecahkan masalah, tanggung jawab untuk memecahkan
masalah bertumpu pada siswa dan guru mendukung proses saat siswa
mengerjakan masalah.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah yang
kemudian dia namakan pemecahan masalah (problem solving), yaitu : (1)
merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan
dipecahkan; (2) menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah
secara kritis dari berbagai sudut pandang; (3) merumuskan hipotesis, yaitu
langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya; (4) mengumpulkan data, yaitu langkah siswa
mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan
70
masalah; (5) pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau
merumuskan kesimpulan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dari rumusan
kesimpulan; (6) merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah
siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai dengan rumusan
hasil penggujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
Berdasarkan kerangka berpikir ini maka pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran berbasis masalah
dipandang mampu memecahkan permasalahan tentang rendahnya prestasi belajar
siswa pada mata pelajaran fisika khususnya siswa kelas XII IPA di SMA Negeri
13 Bandar Lampung.
Langkah pemecahannya adalah sebagai berikut :
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir
KONDISI AWAL
TINDAKAN
KONDISI AKHIR
- Pembelajaran menggunakan
model klasik
- Prestasi belajar siswa rendah
Perbedaan prestasi belajar
siswa menggunakan model
pembelajaran kontekstual
dan model pembelajaran
berbasis masalah
Proses tindakan/pembelajaran
menggunakan model
pembelajaran kontekstual dan
model pembelajaran berbasis
masalah
71
2.11 Hipotesis
Hipotesis di dalam pelaksanaan penelitian ini adalah :
1. Terdapat interaksi antara model pembelajaran kontekstual dan berbasis
masalah dan kemampuan awal dengan prestasi belajar pada mata pelajaran
fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13 Bandar Lampung.
2. Terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan
model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan
awal pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13
Bandar Lampung.
3. Terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan
model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan
awal tinggi pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri 13
Bandar Lampung.
4. Terdapat perbedaan rata-rata prestasi belajar siswa yang belajar menggunakan
model pembelajaran kontekstual dan berbasis masalah dengan kemampuan
awal rendah pada mata pelajaran fisika siswa Kelas XII IPA di SMA Negeri
13 Bandar Lampung.