ii. kajian pustaka, kerangka berpikir dan hipotesis …digilib.unila.ac.id/15211/2/bab 2 revisi -...
TRANSCRIPT
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR
DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Belajar dan Teori Pembelajaran
2.1.1.1 Pengertian Belajar
Menurut Slameto (2003:2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu
proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-
perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Adapun ciri-ciri perubahan tingkah laku yang dimaksud dalam pengertian
belajar menurut Slameto (2003:3-5) adalah :
1. Perubahan terjadi secara sadar
Ini berarti bahwa seseorang yang belajar akan menyadari terjadinya
perubahan itu atau sekurang-kurangnya ia merasakan telah terjadi
adanya suatu perubahan pada dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa
pengetahuannya bertambah, kecakapannya bertambah, kebiasaannya
bertambah (Slameto, 2003:3).
13
2. Perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi pada diri seseorang
berlangsung secara berkesinambungan, tidak statis. Satu perubahan
akan menyebabkan perubahan berikutnya dan akan berguna bagi
kehidupan ataupun proses belajar berikutnya (Slameto, 2003:3).
3. Perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
Dalam perbuatan belajar, perubahan-perubahan itu senantiasa
bertambah dan tertuju untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dari
sebelumnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar itu
dilakukan, makin banyak dan makin baik perubahan yang diperoleh
(Slameto, 2003:3-4).
4. Perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
Perubahan yang bersifat sementara atau temporer terjadi hanya untuk
beberapa saat saja, seperti berkeringat, bersin, menangis, tidak dapat
digolongkan sebagai perubahan dalam arti belajar (Slameto, 2003:4).
5. Perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
Ini berarti perubahan tingkah laku itu terjadi karena ada tujuan yang
ingin dicapai. Perubahan belajar terarah kepada perubahan tingkah laku
yang benar-benar disadari (Slameto, 2003:4).
6. Perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku
Perubahan yang diperoleh seseorang setelah melalui suatu proses
belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Jika seseorang
belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah
14
laku secara menyeluruh dalam sikap, keterampilan, pengetahuan, dan
sebagainya (Slameto, 2003:4-5).
Beberapa ahli psikologi mengemukakan pengertian belajar dalam Djamarah
(2008:12-13) antara lain :
1. James O. Whittaker, merumuskan belajar sebagai proses dimana
tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
2. Cronbach berpendapat bahwa learning is show by change in behavior
as result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan
oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
3. Howard L. Kingskey mengatakan bahwa learning is the process by
which behavior (in the broader sense) is originated or change through
practice or training. Belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam
arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
Sedangkan Geoch merumuskan learning is change is performance as a
result of practice.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tentang pengertian belajar dapat
disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif,
afektif, dan psikomotor (Djamarah, 2008:13).
Biggs dalam Syah (2008:67-68) mendefinikan belajar dalam tiga macam
rumusan yaitu rumusan kuantitatif, rumusan institusional, rumusan kualitatif.
1. Rumusan kuantitatif (ditinjau dari sudut jumlah), belajar berarti
kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan
fakta sebanyak-banyaknya. Jadi belajar dalam hal ini dipandang dari
sudut berapa banyak materi yang dikuasai siswa (Biggs dalam Syah,
2008:67).
15
2. Rumusan institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang
sebagai proses validasi (pengabsahan) terhadap penguasaan siswa atas
materi-materi yang telah ia pelajari. Bukti institusional yang
menunjukan siswa telah belajar dapat diketahui dalam hubungannya
dengan proses mengajar. Ukurannya ialah, semakin baik mutu mengajar
yang dilakukan guru maka akan semakin baik pula mutu perolehan
siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor atau nilai
(Biggs dalam Syah, 2008:67).
3. Rumusan kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti
dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia
disekeliling siswa, belajar dalam pengertian ini difokuskan pada
tercapainya daya pikir dan tindakan yang berkualitas untuk
memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa
(Biggs dalam Syah, 2008:68).
Reber dalam Syah (2010:89) mengungkapkan pengertian belajar, belajar
adalah the process of acquiring knowledge, yakni proses memperoleh
pengetahuan. Pengertian ini biasanya lebih sering dipakai dalam pembahasan
psikologi kognitif yang oleh sebagian ahli dipandang kurang refresentatif
karena tidak mengikutsertakan perolehan keterampilan nonkognitif.
Selanjutnya Reber dalam Syah (2010:89-90) menyatakan belajar adalah A
relatively permanent change in respons potentiality which occurs as a result of
reinforced practice, yaitu suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relatif
langgeng sebagai hasil praktik yang diperkuat. Dalam definisi ini terdapat
16
empat macam istilah yang esensial dan perlu disoroti untuk memahami proses
belajar.
1. Relatively permanent, yang secara umum menetap. Konotasinya adalah
bahwa perubahan yang bersifat sementara seperti perubahan karena
mabuk, lelah, jenuh, dan perubahan karena kematangan fisik tidak
termasuk belajar.
2. Respons potentiality, kemampuan bereaksi berarti menunjukan pengakuan
terhadap adanya perbedaan antara belajar dengan penampilan atau kinerja
hasil-hasil belajar. Hal ini merefleksikan keyakinan bahwa belajar itu
merupakan peristiwa hipotesis yang hanya dapat dikenali melalui
perubahan kinerja akademik yang dapat diukur.
3. Reinforce, yang diperkuat konotasinya ialah bahwa kemajuan yang didapat
dari proses belajar mungkin akan musnah atau sangat lemah apabila tidak
diberi penguatan.
4. Practice, praktik atau latihan menunjukan bahwa proses belajar itu
membutuhkan latihan yang berulang-ulang untuk mejamin kelestarian
kinerja akademik yang telah dicapai siswa.
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai
tindakan, maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu
terjadi atau tidaknya proses belajar. Proses belajar terjadi karena siswa
memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang
dipelajari oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-
tumbuhan, manusia atau hal-hal yang dijadikan bahan belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 2002:7).
Belajar menurut Gagne dalam Dimyati dan Mudjiono (2006:10) merupakan
kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang
memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Timbulnya kapabilitas
tersebut adalah dari stimulasi yang berasal dari lingkungan, dan proses kognitif
yang dilakukan oleh pembelajar. Dengan demikian belajar adalah seperangkat
17
proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati
pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru.
Dalam proses belajar mengajar biologi yang terpenting adalah pengalaman
yang dapat membuat perubahan tingkah laku yang dapat diamati dan dapat
diukur. Masukan atau input yang berupa stimulus merupakan bentuk
pengalaman yang diperoleh siswa, sedangkan keluaran atau output yang berupa
respon merupakan bentuk tingkah laku hasil belajar siswa, yang dapat dilihat
dari prestasi belajar biologi. Semakin menarik pengalaman yang diberikan guru
kepada siswa seperti penggunaan media inovatif dan kreatif, diharapkan
memberikan respon yang tinggi, sehingga membantu siswa memperoleh
prestasi tinggi.
2.1.1.2 Teori-Teori Belajar
1. The Law of Effect
Teori ini dikemukakan oleh E.L Thorndike. Teorinya dikenal sebagai
connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar
adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara stimulus
dan respons. Thorndike mengembangkan teorinya dari penelitian yang intensif
pada binatang. Dari belajar dengan binatang Thorndike melihat bahwa ada
unsur-unsur persamaan antara manusia dan binatang, hanya pada manusia
kemampuannya lebih tinggi (Djiwandono, 2006:126).
Berdasarkan percobaannya Thorndike mengambil kesimpulan bahwa belajar
adalah pembentukan hubungan atau koneksi antara stimulus dan respons dan
18
penyelesaian masalah (problem solving) yang dapat dilakukan dengan cara
trial and error (coba-coba). Faktor penting yang mempengaruhi semua belajar
adalah reward atau “pernyataan kepuasan dari suatu kejadian”. Dalam
penulisan kemudian, Thorndike menghapuskan bagian negatif yang
mengganggu dari hukum law of effect (hukum pengaruh) karena dia
menemukan bahwa hukuman tidak penting. Hukuman akan memperlemah
ikatan dan tidak mempunyai efek apa-apa, berbeda dengan hadiah (reward)
(Djiwandono, 2006:127).
Law of excersice (hukum latihan) adalah prinsip belajar yang kedua, yang pada
umumnya dinyatakan hubungan antara S dan R akan menjadi semakin kuat dan
makin sering R (respons) dilaksanakan terhadap S (stimulus). Dengan latihan
berkali-kali hubungan S dan R makin kuat. Hubungan antara stimulus dan
respons akan melemah bila latihan dihentikan atau bila hubungan neural
(berhubungan dengan urat saraf) tidak ada. Thorndike juga memodifikasi
dalam penulisan berikutnya karena dia menemukan bahwa latihan tanpa hadiah
tidak efektif. Hubungan diperkuat hanya oleh latihan yang mendapatkan
hadiah (Djiwandono, 2006:127).
Teori belajar Thorndike mengarah pada sejumlah praktik pendidikan. Saran
umum bagi guru adalah tahu apa yang hendak diajarkan, respon apa yang
diharapkan, dan kapan harus memberikan hadiah atau penguat (Djiwandono,
2006:127).
19
2. Operant Conditioning
Teori ini dikemukan oleh B.F Skinner. Skinner dalam Dimyati dan Mudjiono
(2006:9) berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang
belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar
maka responsnya akan menurun. Dalam belajar ditemukan adanya hal berikut :
(1) Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons pembelajar,
(2) Respons si pembelajar
(3) Konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut, pemerkuat terjadi
pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi,
perilaku respons si pembelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya,
perilaku respons yang tidak baik diberi teguran dan hukuman.
Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner.
Pandangan Skinner terkenal dengan nama teori Skinner. Dalam penerapannya,
guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu (1) pemilihan stimulus
yang diskriminatif, dan (2) penggunaan penguatan (Skinner dalam Dimyati dan
Mudjiono, 2006:9).
Dasar operant conditionong dalam pembelajaran adalah untuk memastikan
respon terhadap stimuli. Guru berperan langsung di kelas, dengan mengontrol
langsung kegiatan belajar siswa. Mereka yang harus pertama-tama menentukan
logika yang penting agar menyampaikan materi pelajaran dengan langkah-
langkah yang pendek dan kemudian mencoba untuk memberikan reinforcement
(penguatan) segera sesudah siswa merespon. Saran kepada guru, perbaikilah
kemampuan me-reinforced, mengembalikan, dan mendiskusikan pekerjaan
siswa setelah diperiksa dan dinilai sesegera mungkin dan menanyakan kepada
siswa secara teratur dan memuji jawaban yang benar (Djiwandono, 2006:135).
20
3. Perkembangan Intelektual
Teori perkembangan intelektual dikemukakan oleh Piaget. Piaget dalam
Dimyati dan Mudjiono (2006:13) berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk
oleh individu. Sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan
lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya
interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang.
Pengetahuan dibangun dalam pikiran, setiap individu membangun sendiri
pengetahuannya. Pengetahuan yang dibangun terdiri dari tiga bentuk, yaitu
pengetahuan fisik, pengetahuan logika-matematik, dan pengetahuan sosial.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase. Fase-fase itu adalah fase eksplorasi,
pengenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase eksplorasi, siswa
mempelajari gejala dengan bimbingan. Dalam fase pengenalan konsep, siswa
mengenal konsep yang ada hubungannya dengan gejala. Dalam fase aplikasi
konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti gejala lain lebih lanjut
(Dimyati dan Mudjiono, 2006:14).
Perkembangan intelektual melalui tahap-tahap berikut: Pada tahap sensori
motorik (0-2 tahun) anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik
dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan, penciuman,
pendengaran, perabaan, dan gerakan. Pada tahap pra-operasional (2-7 tahun),
anak mengandalkan diri dari persepsi tentang realitas, mampu menggunakan
simbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat gambar, dan
menggolongkan. Pada tahap operasi konkret (7-11 tahun), anak dapat
mengembangkan pikiran logis dan dapat mengikuti penalaran logis. Pada tahap
21
operasi formal (11 tahun ke atas), anak dapat berfikir abstrak seperti pada
orang dewasa (Dimyati dan Mudjiono, 2006:14).
Dalam teori perkembangan kognitif piaget, masa remaja adalah tahap transisi
dari penggunaan berpikir konkret secara operasional ke berpikir formal secara
operasional. Kemampuan anak remaja untuk memperbaiki, menganalisis,
membandingkan, dan memutarbalikan hubungan yang abstrak, merupakan
pengalaman yang akan mendasari keterampilan yang diperlukan setelah
mereka menjadi orang yang dewasa. Perubahan kognitif remaja mempunyai
implikasi yang penting bagi pengajaran dan kurikulum. Guru seharusnya
membantu remaja yang sedang belajar berpikir abstrak untuk mengembangkan
penemuan-penemuan baru yang akan memperkaya kemampuan intelektualnya
(Djiwandono, 2006:108).
5. Reception Learning
Teori ini dikemukakan oleh Ausubel, dikenal dengan belajar bermakna.
Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka banyak
dilibatkan dalam kegiatan langsung. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel
adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru
dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya
dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa
(Neozonk, 2008 : 4).
22
Ausubel (dalam Dahar, 1988:137, dalam Shvoong, 2008 : 1) mengemukakan
bahwa belajar dikatakan bermakna (meaningful) jika informasi yang akan
dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian
yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi
bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru dengan konsep yang telah
ada sebelumnya.
Inti dari pendekatan Ausubel adalah expository teaching, yaitu pengajaran yang
sistematis dengan penyampaian informasi yang bermakna. Expository
teaching berisi tiga prinsip tahap penyampaian pelajaran. 1) Presentation of
Advance Organier. Pengatur awal mengarahkan para siswa pada materi yang
akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali
informasi yang berhubungan, dan dapat digunakan dalam membantu
menanamkan pengetahuan baru. 2) Presentation of Learning Task or Material.
Pembelajaran dengan memberikan materi baru, yang disampaikan melalui
ceramah, diskusi, atau memberikan tugas kepada siswa. 3) Strenghthening
Cognitive Organization. Guru menggabungkan informasi baru dan
menghubungkan pelajaran tersebut dengan pengetahuan siswa yang telah ada
sebelummnya (Djiwandono, 2006:175-177).
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi
pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan
23
kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua
menyangkut bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada. Jika siswa hanya mencoba menghafalkan informasi
baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah
belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa menghubungkan atau
mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi
adalah belajar bermakna (Shvoong, 2008 : 1).
Adapun langkah–langkah belajar bermakna Ausubel di dalam kelas adalah :
1) Pengaturan awal (advance organizer). Menjelaskan secara singkat konsep
penting yang akan di diskusikan dalam kelas, 2) Gunakan sejumlah contoh,
misalnya melalui gambar atau model, 3) Fokuskan pada persamaan dan
perbedaan, 4) Sampaikan materi dalam suatu cara yang terorganisasi, 5)
Berikan motivasi belajar materi yang dapat dipelajari dengan lebih berarti,
misalkan memberikan kesempatan pada siswa dalam menjelaskan ide satu
sama lain (Djiwandono, 2006:179-180).
6. Learning by doing
Merupakan teori belajar yang dikemukakan oleh John Dewey. Pemikiran John
Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882)
yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai
dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak
statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam
perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan
24
kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan
lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan (Amaliyah, 2008:1).
Pola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi
instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman
(experience), pertumbuhan (growth), eksperimen (experiment), dan transaksi
(transaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey
mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan. Pendidikan dan
filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikan
kering akan arahan inteligensi (Purnawati, 2011:2).
Dalam Democracy and Education, Dewey (1961) dalam Purnawati (2011:2)
mendefinisikan pendidikan sebagai penuntun secara intelegensia terhadap
pengembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada
kebiasaan pengalaman. Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran di atas dapat
diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam
transaksi yakni dengan mengalami. Pengalaman adalah suatu proses yang
bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana
problem baru mendorong inteligensi untuk memformulasikan usulan-usulan
baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang
melalui interaksi berbagai aktivitas (means) di mana pendidikan pada dasarnya
merupakan suatu proses social.
Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari
pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916
mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan
25
dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual
berakar dari paham progresivisme John Dewey. Intinya siswa akan belajar
dengan baik apabila apa yang mereka pelajari berhubungan dengan apa yang
mereka ketahui, serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif
dalam proses belajar di sekolah. Selain teori progresivisme John Dewey, teori
kognitif melatar belakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan
belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan
di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri (Orbyt, 2012:2).
Pendekatan konstektual merupakan suatu konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka. Hasil pembelajaran diharapkan lebih
bermakna bagi anak untuk memecahkan persoalan, berfikir kritis dan
melaksanakan observasi serta menarik kesimpulan dalam kehidupan jangka
panjangnya. Dalam konteks itu, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa
manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
(Orbyt, 2012:2).
Ada kecenderungan dalam dunia pendidikan dewasa ini untuk kembali pada
pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan
secara alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami sendiri apa
yang dialaminya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dari kompetensi mengingat jangka
pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
26
kehidupan jangka panjang, pendekatan kontekstual adalah suatu pendekatan
pengajaran yang dari karakteristiknya memenuhi harapan itu (Orbyt, 2012:2).
Relevansi pemikiran John Dewey pada pendidikan di Indonesia menurut Orbyt
(2012:4) merupakan pendidikan partisipatif, dapat diterapkan dengan cara
mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa
dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan,
kreatifitas. Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses
belajar, sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem
solving dari masalah yang ia hadapi. Model pendidikan partisipatif bertumpu
pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik.
Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator
yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi,
berdialog, dan berdiskusi.
Selanjutnya Dewey dalam Amaliyah (2008:1) berpendapat bahwa sistem
pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari
buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-
tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan
dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat
antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan
atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti
intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif,
penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
27
Berdasarkan penjelasan teori-teori di atas dapat disimpulkan, dalam
pembelajaran diperlukan adanya masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Stimulus adalah apa saja yang yang
diberikan guru kepada siswa misalnya media pembelajaran CD interaktif,
model, alat peraga, pedoman kerja atau cara-cara tertentu untuk belajar siswa,
sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan guru tersebut. Apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja
yang dihasilkan oleh siswa (respons) dapat diamati dan dapat diukur.
Pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Dalam proses pembelajaran guru berperan dalam membimbing siswa agar hasil
belajarnya terarah pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Pembelajaran dapat dikelola dengan dua cara. Pertama yaitu belajar aktif,
dengan melibatkan siswa secara langsung dengan objek yang sedang
dipelajarinya, baik itu berupa keadaan alam, benda, hewan, tumbuhan,
manusia, serta hal-hal lain yang sedang dipelajarinya. Kedua, pembelajaran
dapat dikelola dengan menekankan pembelajaran yang bermakna. Dalam
pembelajaran ini, menekankan pada organisasi materi pelajaran sehingga siswa
dapat membuat keterkaitan antara konsep-konsep yang dipelajarinya.
Kebermaknaan belajar akan diperoleh siswa jika lingkungan diciptakan secara
alamiah dan menyenangkan, dan siswa mengalami sendiri apa yang
dilakukannya.
28
2.1.1.3 Prestasi Belajar
Prestasi belajar terdiri dari dua kata yaitu prestasi dan belajar. Menurut kamus
bahasa Indonesia, prestasi adalah “hasil yang telah dicapai, dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya”. Menurut Hengkiriawan (2012:1) Prestasi adalah
hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan, prestasi
merupakan kecakapan atau hasil yang kongkrit yang dapat dicapai pada saat
atau periode tertentu.
Sedangkan belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya
(Slameto, 2003:2).
Jadi pengertian prestasi belajar berdasarkan beberapa pendapat ahli dalam
Hengkiriawan (2012:2) antara lain :
1. Winkel (1996:226) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan
bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang, maka prestasi belajar
merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah
melaksanakan usaha-usaha belajar.
2. Arif Gunarso (1993:77) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah
usaha maksimal yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-
usaha belajar.
Menurut Hifni (2011:1) prestasi belajar adalah sesuatu yang didapat atau
dicapai seseorang setelah mengalami proses belajar yang dinyatakan dengan
berubahnya pengetahuan, tingkah laku, dan keterampilan. Prestasi belajar yang
dicapai oleh tiap-tiap anak setelah belajar atau usaha yang diandalkan oleh
guru berupa angka-angka atau skala. Prestasi belajar yang diperoleh murid
29
berupa pengetahuan, pengertian, kebiasaan, keterampilan (skill), apresiasi,
emosional, hubungan sosial, jasmani, etika atau budi pekerti dan sikap
(attitude).
Sedangkan menurut Hamalik (2001:43), prestasi belajar adalah perubahan
tingkah laku yang diharapkan pada murid setelah dilaksanakan kegiatan belajar
mengajar. Berdasarkan pengertian di atas, prestasi belajar pada dasarnya adalah
tingkat keberhasilan siswa terhadap semua materi yang telah dipelajarinya
yang ditunjukan dengan kemampuannya megerjakan tes evaluasi hasil belajar
yang diberikan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap
berbagai hal yang pernah diajarkan atau dilatihkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah segala sesuatu yang
mempengaruhi proses pembelajaran. Menurut Slameto (2003:54-69) proses
pembelajaran dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.
Faktor internal meliputi 1) faktor jasmaniah yaitu kesehatan dan cacat tubuh, 2)
faktor psikologis yaitu intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan
dan kesiapan dan 3) faktor kelelahan. Faktor eksternal adalah faktor yang ada
diluar individu yang meliputi 1) faktor keluarga yaitu cara orang tua mendidik
dan latar belakang kebudayaan, 2) faktor sekolah yaitu metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan siswa, hubungan antar siswa, standar pelajaran,
metode belajar, dan tugas rumah, 3) faktor masyarakat yaitu kegiatan siswa
dalam masyarakat, media, teman bergaul, dan kehidupan di masyarakat.
30
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa prestasi
belajar adalah sebuah kecakapan atau keberhasilan yang diperoleh seseorang
setelah melakukan kegitan dari proses belajar sehingga dalam diri seseorang
tersebut mengalami perubahan tingkah laku sesuai dengan kompetensi
belajarnya. Prestasi belajar biologi adalah sebuah kecakapan atau keberhasilan
yang diperoleh seseorang setelah seseorang tersebut belajar biologi. Sehingga
dalam diri seseorang tersebut mengalami perubahan tingkah laku baik dalam
aspek kognitif, maupun psikomotornya sesuai dengan kompetensi materi
pokok bahasan biologi yang dipelajarinya. Prestasi belajar dalam penelitian ini
diperoleh melalui nilai tes hasil belajar materi sel.
2.1.2 Karakteristik Mata Pelajaran Biologi
Biologi berasal dari bahasa latin yaitu bios dan logos. Bios artinya hidup,
sedangkan logos artinya ilmu. Sehingga biologi dapat diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang seluk beluk kehidupan. Menurut BSNP (2006) mata
pelajaran biologi berdasarkan standar isi (SI) masuk dalam rumpun pelajaran
IPA dan kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Mata pelajaran biologi mempelajari permasalahan yang berkait dengan
fenomena alam, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, dan berbagai
permasalahan yang berkait dengan penerapannya untuk membangun teknologi
guna mengatasi permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Fenomena alam
dalam mata pelajaran biologi dapat ditinjau dari objek, persoalan, tema, dan
tempat kejadiannya (BSNP, 2006:VI).
31
Struktur keilmuan biologi menurut BSCS (Biological Science Curiculum
Study), biologi memiliki objek berupa kerajaan atau kingdom : (a) Plantae
(tumbuhan), (b) Animalium (hewan), dan (c) Protista. Ketiga objek tersebut
dikaji dari tingkat molekul, sel, jaringan dan organ, individu, populasi,
komunitas, sampai tingkat bioma. Adapun persoalan yang dikaji meliputi 9
tema dasar yaitu : (a) biologi (sains) sebagai proses inkuiri atau penemuan
(inquiry), (b) sejarah konsep biologi, (c) evolusi, (d) keanekaragaman dan
keseragaman, (e) genetik dan keberlangsungan hidup, (f) organisme dan
lingkungan, (g) perilaku, (h) struktur dan fungsi, (i) regulasi
(BSNP, 2006:VI-VII).
Pembelajaran biologi memerlukan kegiatan penyelidikan atau eksperimen
sebagai bagian dari kerja ilmiah yang melibatkan keterampilan proses yang
dilandasi sikap ilmiah. Selain itu, pembelajaran biologi mengembangkan rasa
ingin tahu melalui penemuan berdasarkan pengalaman langsung yang
dilakukan mellaui kerja ilmiah untuk memanfaatkan fakta, membangun
konsep, prinsip, teori dan hukum. Melalui kerja ilmiah peserta didik
dilatih untuk berfikir kreatif, kritis, analitis, dan divergen. Pembelajaran biologi
diharapkan dapat membentuk sikap peserta didik dikehidupan sehari-hari
sehingga mereka menyadari keindahan, keteraturan alam, dan meningkatkan
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BSNP, 2006:VII).
Keterampilan dalam biologi mencakup keterampilan dasar dan keterampilan
terpadu. Keterampilan dasar meliputi keterampilan mengobservasi,
mengklasifikasi, berkomunikasi. Melakukan pengukuran metric, memprediksi
32
atau meramal, menginferensi atau menyimpulkan, dan menafsirkan.
Keterampilan terpadu mencakup mengidentifikasi variabel, menentukan
variabel operasional, menjelaskan hubungan antar variabel, menyusun
hipotesis, merancang prosedur dan melaksanakan penyelidikan atau
eksperimen untuk pengumpulan data, memproses atau menganalisis data,
menyajikan hasil penyelidikan atau eksperimen dalam bentuk tabel atau grafik,
serta membahas, menyimpulkan, serta mengomunikasikan baik secara tertulis
maupun lisan (BSNP, 2006:VII).
Ilmu biologi mempelajari makhluk hidup secara kompleks meliputi morfologi,
anatomi, dan proses fisiologi seperti metabolisme, sintesis, koordinasi,
reproduksi, transportasi, regulasi, ekskresi, serta pertumbuhan dan
perkembangan. Sel merupakan materi pelajaran biologi yang memiliki
kompleksitas yang cukup tinggi atau sulit dan memerlukan visualisasi yang
lebih. Dikarenakan tidak semua bagian sel dan organel-organel sel dapat
terlihat dengan jelas menggunakan mata telanjang ataupun mikroskop cahaya.
Sehingga pada materi sel diperlukan media yang dapat digunakan dalam
kegiatan pembelajaran yakni CD interaktif dan model. Selain itu media
pembelajaran yang sering dimanfaatkan dalam pembelajaran biologi antara lain
adalah media asli hidup dan media asli mati.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran
biologi banyak menggunakan istilah dalam bahasa latin. Selain itu materi
pembelajarannya kebanyakan merupakan proses yang bersifat abstrak. Karena
itu, seorang guru biologi diharapkan selain menguasai ilmu biologi, juga
33
memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didik
sehingga siswa lebih mudah memahami dan mempelajari ilmu biologi. Agar
komunikasi antar guru biologi dan peserta didik dapat berjalan dengan baik dan
efektif diperlukan alat bantu berupa media pembelajaran. Pada penelitian ini
media pembelajaran yang digunakan dalam materi sel adalah CD interaktif dan
model. Pembelajaran Biologi sebaiknya dilakukan dengan memberikan
pengalaman langsung pada siswa tentang objek yang sedang dipelajarinya.
Pada pokok bahasan sel, upaya pemberian pengalaman langsung pada siswa
dapat dilakukan dengan membuat media model yang dilakukan oleh siswa.
Kegiatan ini akan lebih mendekatkan siswa dengan fakta-fakta konkret
sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa.
2.1.3 Gaya Belajar
Gaya belajar adalah kombinasi dari bagaimana menyerap informasi dengan
mudah (modalitas), dan mengatur serta mengolah informasi yang didapat (De
Porter dan Hernacki, 2001:110-111). Menurut Susilo (2009:94) gaya belajar
adalah cara yang cenderung dipilih untuk menerima informasi dari lingkungan
dan memproses informasi tersebut. Sedangkan menurut Suparman (2010:10)
gaya belajar adalah bagaimana sebuah informasi dapat diterima dengan baik
oleh anak didiknya. Definisi lain dikemukakan oleh Keefe dalam Gufron dan
Risnawati (2012:10) yang mengatakan bahwa gaya belajar adalah suatu
karakteristik kognitif, afektif dan perilaku psikomotorik, sebagai indikator yang
bertindak relatif stabil untuk pembelajar merasa saling berhubungan dan
bereaksi terhadap lingkungan belajar.
34
Kolb dalam Gufron dan Risnawati (2012:11) berpendapat bahwa gaya belajar
merupakan metode yang dimiliki individu untuk mendapatkan informasi. Yang
pada prinsipnya gaya belajar merupakan bagian integral dalam siklus belajar
aktif. Gaya belajar adalah cara-cara yang lebih kita sukai dalam melakukan
kegiatan berpikir, memproses dan mengerti suatu informasi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Rita Dunn dalam Ginnis (2008:41) gaya
belajar adalah cara dimana tiap siswa belajar berkonsentrasi terhadap proses
dan mempertahankan informasi, Robert Sternberg dalam Ginnis (2008:41)
juga mendefinisikan gaya belajar sebagai suatu cara untuk menggunakan
kemampuan seseorang.
De Porter dan Hernacki (2001 : 116-118) menjelaskan terdapat tiga gaya
belajar dominan yang dimiliki siswa yaitu visual, auditorial, dan kinestetik.
a. Gaya Belajar Visual
Menurut Suparman (2010 : 66) gaya belajar ini umumnya disebut sebagai gaya
belajar pengamatan. Gaya belajar ini sangat mengandalkan indra penglihatan
(mata) dalam proses pembelajaran. Anak-anak jenis ini tertarik dengan warna,
bentuk, dan gambar-gambar hidup. Koordinasi mata dan tangan mereka sangat
baik, dan mereka sangat senang serta antusias ketika bermain dengan balok-
balok dan puzzle yang sederhana.
Karena mata sebagai indera yang paling dominan dalam proses
pembelajarannya, maka sebaiknya metode pengajaran yang digunakan guru
menitik beratkan pada peragaan atau media visual, membawa mereka ke
35
obyek-obyek yang berkaitan dengan pelajaran, dengan cara menunjukan alat
peraganya secara langsung atau bisa juga dengan cara menggambarkannya
dipapan tulis (Suparman, 2010:66).
Anak yang mempunyai gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan
ekspresi muka gurunya untuk mengerti materi pelajaran. Mereka cenderung
memilih duduk di depan agar dapat melihat dengan jelas. Mereka berfikir
menggunakan gambar-gambar di otak dan belajar lebih cepat dengan
menggunakan tampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, dan
video. Di dalam kelas, anak visual lebih suka mencatat detail-detailnya untuk
mendapatkan informasi. Mereka juga sangat menyenangi jika di dalam kelas
mereka tertempel gambar-gambar dengan aneka warna dengan berbagai jenis
gambar (Suparman, 2010:67).
De Porter dan Hernacki (2001:116) mengemukakan bahwa modalitas gaya
belajar orang-orang visual adalah :
1) Rapi dan teratur
2) Berbicara dengan cepat
3) Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
4) Teliti terhadap detail
5) Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi
6) Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam
pikiran mereka
7) Mengingat apa yang dilihat daripada apa yang didengar
8) Mengingat dengan asosiasi visual
9) Biasanya tidak terganggu oleh keributan
10) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal, kecuali jika ditulis,
dan sering kali minta bantuan orang untuk mengulanginya
11) Pembaca cepat dan tekun
12) Lebih suka membaca daripada dibacakan
13) Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap
waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah
14) Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat
15) Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
36
16) Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak
17) Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
18) Lebih suka seni daripada musik
19) Seringkali mengetahui apa yang harus dikatakan, tetapi tidak pandai
memilih kata-kata
20) Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin
memperhatikan
b. Gaya Belajar Auditorial
Gaya belajar ini disebut juga dengan pendengar. Anak-anak yang memiliki
gaya belajar ini umumnya memaksimalkan penggunaan indera pendengar
dalam proses penangkapan dan penyerapan informasi. Umumnya mereka
memperlihatkan ketertarikan yang lebih besar terhadap suara dan kata-kata.
Kemampuan mereka dalam berbicara lebih cepat dan juga cepat mengenal
kata-kata baru serta senang bila dibacakan cerita-cerita (Suparman, 2010:64).
Anak yang memiliki gaya belajar auditorial dapat belajar lebih cepat dengan
menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan serta
lebih senang pembelajaran dengan menggunakan media audio. Anak auditori
dapat mencerna makna yang disampaikan melalui tone suara, pitch (tinggi
rendahnya), kecepatan berbicara. Informasi yang bersifat tulisan terkadang
kurang mudah ditangkap dan dicerna oleh anak-anak auditori. Anak-anak
seperti ini biasanya dapat menghafal lebih cepat dengan membaca teks dengan
keras dan mendengarkan kaset (Suparman, 2010:64).
Modalitas gaya belajar siswa auditorial menurut De Porter dan Hernacki
(2001:118) adalah :
1) Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja
2) Mudah terganggu oleh keributan
37
3) Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika
membaca
4) Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
5) Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama dan warna suara
6) Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
7) Berbicara dalam irama yang terpola
8) Biasanya pembicara yang fasih
9) Lebih suka musik daripada seni
10) Belajar dengan cara mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan
daripada apa yang dilihat
11) Suka berbicara, berdiskusi dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
12) Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan
visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
13) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
14) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik
c. Gaya Belajar Kinestetik
Gaya belajar seperti ini biasanya disebut juga sebagai gaya belajar penggerak.
Hal ini disebabkan karena anak-anak dengan gaya belajar ini senantiasa
menggunakan dan memanfaatkan anggota gerak tubuhnya dalam proses
pembelajaran atau dalam usaha memahami sesuatu. Anak-anak yang termasuk
jenis ini senang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan gerakan
tubuh seperti merangkak, dan biasanya kemampuan berjalan lebih cepat.
Mereka terkoordinasi dan yakin dengan tubuh mereka. Mereka senang
digendong, diayun-ayun, dan selalu mencari kontak fisik. Lirikan ke bawah
jika berbicara, dan berbicara lebih lambat (Suparman, 2010:68-69).
Anak yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui bergerak,
menyentuh, dan melakukan. Anak seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-
jam karena keinginan mereka untuk beraktivitas dan bereksplorasi sangatlah
kuat. Anak didik yang bergaya belajar ini umumnya belajar melalui gerak dan
sentuhan fisik (Suparman, 2010:69).
38
Menurut De Porter dan Hernacki (2001:118) modalitas gaya belajar kinestetik
adalah :
1) Berbicara dengan perlahan
2) Menanggapi perhatian fisik
3) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka
4) Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
5) Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
6) Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar
7) Belajar melalui memanipulasi dan praktik
8) Menghapal dengan cara berjalan dan melihat
9) Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca
10) Banyak menggunakan isyarat tubuh
11) Tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama
12) Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang pernah
berada di tempat itu
13) Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi
14) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot mereka mencerminkan
aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
15) Kemungkinan tulisannya jelek
16) Ingin melakukan segala sesuatu
17) Menyukai permainan yang menyibukkan
2.1.4 Media Pembelajaran
2.1.4.1 Pengertian Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata
medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar (Sadiman, dkk,
2008:8). Dalam bahasa arab media disebut wasail bentuk jamak dari wasilah
yakni sinonim al wasth yang artinya tengah (Munadi, 2008:6).
Gerlach dan Ely dalam Arsyad (2009:3) mengatakan bahwa media apabila
dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini guru, buku, dan lingkungan
39
sekolah merupakan media. Secara lebih khusus pengertian media dalam proses
belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau
elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali informasi
visual atau verbal.
Banyak batasan atau pengertian yang dikemukakan para ahli tentang media
dalam Sanaky (2011:3-4) diantaranya adalah 1) Asosiasi teknologi dan
komunikasi pendidikan membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran
yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan atau informasi. 2) National
Education Association (NEA), mengatakan bahwa media adalah bentuk-bentuk
komunikasi baik cetak maupun audio visual serta peralatannya. 3) Gagne
(1970), mengatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen atau sumber
belajar dalam lingkungan pembelajar yang dapat merangsang pembelajar untuk
belajar. 4) Briggs (1970) mengatakan media adalah segala wahana atau alat
fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang pembelajar untuk belajar.
Heinich dan kawan-kawan (1982) dalam Arsyad (2009:4) mengemukakan
istilah medium yaitu perantara yang mengantar informasi antara sumber dan
penerima. Sedangkan Hamidjojo dalam Latuheru (1993) dalam Arsyad
(2009:4) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang
digunakan manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau
pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai
kepada penerima yang dituju. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa
media adalah alat bantu yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
40
Kata pembelajaran merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris yaitu
intruction yang diartikan sebagai proses interaktif antara guru dan siswa yang
berlangsung secara dinamis. Ini berbeda dengan istilah teaching yang berarti
mengajar. Teaching memiliki konotasi proses belajar dan mengajar yang
berlangsung satu arah dari guru ke siswa. Dalam hal ini, hanya guru yang
berperan aktif dalam mengajar, sedangkan siswa bersifat pasif
(Asyhar, 2011:6).
Saputro (1996) dalam Asyhar (2011:6) menyatakan penggunaan istilah
pembelajaran sebagai pengganti istilah lama Proses Belajar Mengajar (PBM)
tidak hanya sekedar merubah istilah melainkan merubah peran guru dalam
proses pembelajaran. Guru tidak hanya mengajar melainkan membelajarkan
peserta didik agar mau belajar. Tugas guru dalam proses pembelajaran
disamping menyampaikan informasi ia juga bertugas mendiagnosis kesulitan
belajar siswa, menyeleksi materi ajar, mensupervisi kegiatan belajar siswa,
menstimulasi kegiatan belajar siswa, memberikan bimbingan belajar,
mengembangkan dan menggunakan strategi dan metode.
Menurut Asyhar (2011:7) pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat
membawa informasi dan pengetahuan dalam interaksi yang berlangsung antara
pendidik dengan peserta didik. Sedangkan menurut Sanaky (2011:3)
pembelajaran adalah proses komunikasi antara pembelajar, pengajar, dan bahan
ajar. Dapat dikatakan bahwa, bentuk komunikasi tidak akan berjalan tanpa
bantuan sarana untuk menyampaikan pesan, bentuk-bentuk stimulus dapat
dipergunakan sebagai media, diantaranya adalah suara, lihat dan gerakan.
41
Beberapa pendapat dari para ahli mengenai pembelajaran dalam Asyhar
(2011:7) antara lain : 1) Degeng (1989) menyatakan bahwa pembelajaran pada
dasarnya merupakan upaya membelajarkan pembelajar (anak, siswa, peserta
didik). 2) Setyosari dan Sulton (2003) mengartikan pembelajaran sebagai
upaya yang dilakukan oleh pembelajar (guru, instruktur) dengan tujuan untuk
membantu siswa agar bisa belajar dengan mudah. Usaha ini dijalankan dalam
sebuah proses yang sistematis yang dijalankan dalam sebuah sistem dan setiap
komponen dalam sistem itu memiliki arti penting untuk keberhasilan belajar
siswa. Dalam proses sistematis tersebut komunikasi merupakan unsur yang
mutlak diperlukan. Dengan itu proses pembelajaran sesungguhnya merupakan
suatu proses komunikasi.
Menurut Asyhar (2011:7) media pembelajaran adalah apa saja yang digunakan
sebagai media dalam pembelajaran. Sementara itu menurut Anderson
(1987:21) dalam Sukiman (2012:28) media pembelajaan adalah media yang
memungkinkan terwujudnya hubungan langsung antara guru dengan siswa.
Secara umum peranan guru yang menggunakan media pembelajaran sangatlah
berbeda dengan peranan seorang guru “biasa”.
Menurut Hamalik (1989) dalam Sanaky (2011:4) menyatakan media
pembelajaran adalah sarana pendidikan yang dapat dipergunakan sebagai
perantara proses pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efesiensi
untuk mencapai tujuan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran
dapat dipahami segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan
42
pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang
kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar mengajar secara
efesien dan efektif. Selain itu media pembelajaran juga merupakan segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke
penerima sehingga merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta
kemauan peserta didik dalam belajar untuk mencapai tujuan pembelajaran.
2.1.4.2 Landasan Penggunaan Media Pembelajaran
Media merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam
pembelajaran dan dapat dipandang sebagai salah satu alternatif dalam
membantu pencapaian tujuan pembelajaran. Menurut Asyhar (2011:18-23) ada
tiga landasan penggunaan media yaitu landasan empiris, landasan psikologis
dan landasan teknologis.
1. Landasan Empiris
Berdasarkan hasil-hasil penelitian terbaru mengungkapkan fakta yang
menyatakan, media berpengaruh terhadap hasil dan proses belajar. Beberapa
hasil penelitian para ahli dalam Asyhar (2011:19) yakni berdasarkan hasil
penelitian Collin et.al (2007) menunjukan bahwa penggunaan media audio dan
video berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Hasil penelitian ini
dilaporkan oleh Remus et.al (2008) juga menunjukan pengaruh media terhadap
pengambilan keputusaan siswa. Media teks ternyata lebih efektif dibandingkan
media audio. Sedangkan adanya animasi tidak memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap hasil belajar secara keseluruhan. Jenis media ini juga
43
memberikan pengaruh yang berbeda kepada peserta didik. Felton et.el (2001)
melaporkan bahwa penggunaan media audiovisual (video) pada mahasiswa
kesehatan lebih efektif dibandingkan dengan media visual teks dan tanpa media
(Asyhar, 2011:19).
Sedangkan Daryanto (2010:16) menyatakan bahwa temuan penelitian
menunjukan bahwa terdapat interaksi antara penggunaan media pembelajaran
dan karakteristik belajar siswa dalam menentukan hasil belajar siswa. Artinya,
siswa akan mendapat keuntungan yang signifikan bila ia belajar dengan
menggunakan media yang sesuai dengan karakteristik tipe atau gaya
belajarnya. Siswa yang memiliki tipe belajar visual akan memperoleh
keuntungan bila pembelajaran dengan menggunakan media visual, seperti
gambar, diagram, video atau film.
Selanjutnya Daryanto (2010:16) menyatakan siswa yang memiliki tipe belajar
auditif, akan lebih suka belajar dengan media audio, seperti radio, rekaman
suara, atau ceramah guru. Akan lebih tepat dan menguntungkan siswa dari
kedua tipe belajar tersebut jika menggunakan media audio-visual. Berdasarkan
landasan rasional empiris tersebut, maka pemilihan media pembelajaran
hendaknya jangan atas kesukaan guru, tetapi harus mempertimbangkan
kesesuain antara karakteristik pembelajar, karakteristik materi pelajaran, dan
karakteristik media itu sendiri.
44
2. Landasan Psikologis
Menurut Midun (2009) dalam Asyhar (2011:20) landasan psikologis
penggunaan media pembelajaran adalah alasan atau rasionalitas penggunaan
media pembelajaran ditinjau dari kondisi belajar dan bagaimana proses belajar
itu terjadi. Belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan terjadinya
perubahan perilaku pembelajar karena adanya pengalaman belajar.
Perubahan perilaku belajar dapat berupa bertambahnya pengetahuan dan
keterampilan, yang diperoleh melalui pintu gerbang alat indera pembelajar.
Karena itu diperlukan rangsangan (menurut teori behaviorisme) atau informasi
(menurut teori kognitif) sehingga respons terhadap rangsangan atau informasi
yang telah diproses itulah hasil belajar diperoleh (Asyhar, 2011:20).
Selain itu proses belajar terjadi secara individual, sehingga apa yang terjadi
pada peserta didik A dan peserta didik B terhadap rangsangan atau informasi
yang diterima tidak pernah menghasilkan perolehan belajar yang sama pula.
Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan pembelajaran adalah menyediakan
rangsangan dan informasi yang ditata dan diorganisasikan dengan cara yang
bermacam-macam, agar peserta didik yang memiliki kondisi dan karakteristik
yang berbeda-beda dapat memperoleh pengalaman belajar harus disesuaikan
dengan tingkat kemajuan peserta didik (Asyhar, 2011:20-21).
Menurut Jean Piaget tingkat kemampuan yang dimaksud adalah tingkat berfikir
seseorang sesuai dengan perkembangan usianya. Misalnya usia 0–2 tahun
tingkat berfikir seseorang berada pada tingkat sensori motoris, usia 2–7 tahun
45
tingkat berfikir seseorang berada pada tingkat pra-operasional, usia 7–11 tahun
tingkat berfikir seseorang berada pada tingkat operasi konkret, umur 11 tahun
keatas tingkat berfikir seseorang berada pada tingkat operasi formal
(Asyhar, 2011:21).
Sesuai dengan tingkat berfikirnya, setiap orang diberikan rangsangan yang
berbeda, sehingga rangsangan itu dapat direspon dengan mempengaruhi
perilaku yang diharapkan. Manusia belajar melalui pergaulan dengan
lingkungannya. Dalam pengenalan dengan lingkungan itu, seseorang melewati
tiga tahap belajar, yaitu tingkat konkret, tingkat skematis, dan tingkat abstrak
(Asyhar, 2011:21).
Berdasarkan teori kognitif Piaget (tahap-tahap perkembangan kognitif), maka
beberapa implikasi yang dapat diambil dalam praktek pendidikan atau
pembelajaran antara lain : (1) setiap individu (peserta didik) diberi rangsangan
yang berbeda sesuai dengan tingkat berfikirnya. (2) pendidik perlu melakukan
tes kemampuan awal (entry behavior) peserta didik agar dapat menyusun dan
menyajikan materi pembelajaran secara tepat guna. (3) materi pembelajaran
jangan terlalu sulit dan jangan terlalu mudah, sehingga pembelajaran yang
dijalankan dapat mengubah perilaku (kognitif, afektif, dan psikomotorik)
peserta didik. (4) guru menyajikan materi pembelajaran sesuai dengan tingkat
dan kemampuan berfikir peserta didik (Asyhar, 2011:21).
Kajian psikologi menyatakan bahwa anak akan lebih mudah mempelajari hal
yang konkret dibandingkan yang abstrak. Berkaitan dengan hubungan yang
konkret-abstrak dan kaitannya dengan penggunaan media pembelajaran, ada
46
beberapa pendapat para ahli dalam Daryanto (2010:13-14), 1) Jerome Bruner,
mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran hendaknya menggunakan
urutan dari belajar gambaran atau film (iconoc representation of experiment)
kemudian belajar kesimbol, yaitu menggunakan kata-kata (syimbolic
representation). Menurut Bruner, hal ini berlaku tidak hanya untuk anak tetapi
untuk orang dewasa. 2) Charles F Haban, mengemukakan bahwa sebenarnya
nilai dari media pada tingkat realistiknya dalam proses penanaman konsep, ia
membuat jenjang berbagai jenis media mulai yang paling nyata ke yang paling
abstrak. 3) Edgar Dale, membuat jenjang konkret-abstrak dengan dimulai dari
siswa yang berpartisipasi dalam pengalaman nyata, kemudian menuju siswa
sebagai pengamat kejadian nyata, dilanjutkan kesiswa sebagai pengamat
terhadap kejadian yang disajikan dengan media, dan terakhir siswa sebagai
pengamat kejadian yang disajikan dengan symbol. Jenjang konkret-abstrak ini
ditunjukan dengan bagan dalam bentuk kerucut.
Abstrak
Lambang
Kata
Lambang
Visual
Gambar Diam
Rekaman Radio
Gambar Hidup Pameran
Televisi
Karyawisata
Dramatisasi
Benda Tiruan Pengamatan
Pengalaman Langsung
Konkret
Gambar 2.1 Kerucut Pengalaman Edgar Dale
47
3. Landasan Teknologis
Teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek perancangan, pengembangan,
penerapan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber belajar. Jadi,
teknologi pembelajaran merupakan proses komplek dan terpadu yang
melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis
masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan
mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar
itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi pembelajaran,
pemecahan masalah dilakukan dalam bentuk kesatuan komponen-komponen
sistem pembelajaran yang telah disusun dalam fungsi disain atau seleksi, dan
dalam pemanfaatan dan dikombinasikan menjadi sistem pembelajaran yang
lengkap (Daryanto, 2010:15-16).
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran produk-produk teknologi telah
memberi dampak yang luar biasa terhadap peserta didik. Kemajuan ilmu
teknologi komunikasi dan informasi sangat membantu para guru dan peserta
didik dalam memperoleh informasi. Dalam pembelajaran misalnya berbagai
macam media interaktif telah diproduksi dan diaplikasikan oleh banyak
sekolah dan institusi pendidikan. Media internet pun menyediakan materi
pembelajaran yang tak terbatas dan dapat diakses kapan dan dimana saja sesuai
dengan keperluan. Hadirnya teknologi video conference memungkinkan
pembelajaran berlangsung jarak jauh (distance learning) (Asyhar, 2011:23).
Begitu pula dengan kegiatan praktikum (misalnya kimia, fisika, biologi) sudah
dapat digantikan melalui virtual labolatory (laboratorium maya). Melalui
48
laboratorium virtual para siswa atau mahasiswa dapat mengerjakan proyek
praktikum yang diberikan guru atau dosen seperti biasa. Bahkan laboratorium
virtual memiliki beberapa keunggulan, antara lain lebih praktis, efisien, dan
relatif tidak berbahaya dibandingkan laboratorium konvensional
(Asyhar, 2011:23).
2.1.4.3 Ciri-Ciri Media Pembelajaran
Gerlach dan Ely dalam Arsyad (2009 : 12-14) mengemukakan tiga ciri media
yang merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang
dapat dilakukan oleh media yang mungkin guru tidak mampu (kurang efisien)
melakukannya.
a. Ciri fiksatif (fixative property) ciri ini menggambarkan kemampuan media
dalam merekam, menyimpan, melestarikan, dan merekontruksi suatu
peristiwa atau objek. Suatu peristiwa atau objek dapat diurut dan disusun
kembali dengan menggunakan media seperti fotografi, video tape, disket
komputer, dan film. Ciri-ciri ini amat penting bagi guru karena kejadian-
kejadian atau obyek yang telah direkam atau disimpan dengan format
media yang ada dapat digunakan setiap saat (Arsyad, 2009:12).
b. Ciri manipulatif (manipulative property). Transformasi suatu kejadian
kemungkinan karena media memiliki ciri manipulative. Kejadian yang
memakan waktu berhari-hari dapat disajikan kepada siswa dalam waktu
dua atau tiga menit dengan teknik pengambilan gambar time-lapse
recording. Misalnya bagaimana proses larva menjadi kepompong kemudian
menjadi kupu-kupu dapat dipercepat dengan teknik rekaman fotografi
tersebut. Selain itu, suatu kejadian dapat diperlambat pada saat
menayangkannya misalnya proses loncat galah atau terjadinya reaksi kimia
(Arsyad, 2009:13).
c. Ciri distributif (distributive property), ciri ini memungkinkan suatu objek
atau peristiwa ditransformasikan melalui ruang, dan secara bersamaan
kejadian tersebut disajikan kepada sejumlah besar siswa dengan stimulus
pengalaman yang relatif sama mengenai kejadian itu. Sekali informasi
direkam dalam format media, media tersebut dapat diproduksi beberapa
kali pun dan siap digunakan secara bersamaan diberbagai tempat atau dapat
digunakan secara berulang-ulang (Arsyad, 2009:14).
49
2.1.4.4 Pengelompokan Media Pembelajaran (Taksonomi)
Pengelompokan media pembelajaran (taksonomi) menurut Sadiman dkk (2008,
20-26) antara lain :
1. Taksonomi menurut Rudy Bretz
Bretz mengidentifikasi ciri utama dari media menjadi tiga unsur pokok, yaitu
suara, viual dan gerak. Visual dibedakan menjadi tiga macam yaitu gambar,
garis (line graphic) dan simbol yang merupakan suatu kontinum dari bentuk
yang ditangkap dengan indera penglihatan. Disamping itu, Bretz membedakan
antara media siar dan media rekam sehingga terdapat 8 klasifikasi media antara
lain : 1) media audio visual gerak, 2) media audio visual diam, 3) media audio
semi gerak, 4) media visual gerak, 5) media visual diam, 6) media semi gerak,
7) media audio, 8) media cetak (Sadiman dkk, 2008:20).
2. Taksonomi menurut Briggs
Taksonomi ini lebih mengarah pada karakteristik menurut stimulus atau
rangsangan yang dapat ditimbulkan dari media sendiri, yaitu kesesuaian
rangsangan tersebut dengan karakteritsik siswa, tugas pembelajaran, bahan dan
transmisinya. Briggs mengidentifkasi 13 macam media yang dipergunakan
dalam proses belajar mengajar, yaitu : objek, model, suara langsung, rekaman
audio, media cetak, pembelajaran terprogram, papan tulis, media transparansi,
film rangkai, film bingkai, film, televisi, dan gambar (Sadiman dkk, 2008:23).
50
3. Taksonomi menurut Gagne
Tanpa menyebutkan masing-masing dari medianya, Gagne membuat 7 macam
pengelompokan media, yaitu benda untuk didemontrasikan, komunikasi lisan,
media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin belajar.
Ketujuh kelompok media ini yang kemudian dikaitkan dengan kemampuan
memenuhi fungsi menurut tingkatan hierarki belajar yang dikembangkannya
yaitu pelontar stimulus belajar, penarik minat belajar, contoh perilaku belajar,
memberi kondisi eksternal, menuntun cara berfikir, memasukan alih-ilmu,
menilai prestasi, dan pemberi umpan balik (Sadiman dkk, 2008:23).
4. Taksonomi menurut Edling
Dalam penyusunan ini Edling beranggapan bahwa siswa, rangsangan belajar
dan tanggapan merupakan variabel kegiatan belajar dengan media. Ia
berpandangan bahwa pendekatan menurut model Guilford dan Bloom cukup
memadai untuk mengklasifikasikan dimensi siswa dan tanggapan, karena itu ia
dalam usahanya hanya memusatkan pada variabel rangsangan saja (Sadiman
dkk, 2008:23).
Menurut Edling media merupakan bagian dari enam unsur rangsangan belajar,
yaitu dua untuk pengalaman audio meliputi kodifikasi subyektif visual dan
kodifikasi objektif audio, dua untuk pengalaman visual meliputi kodifikasi
subyektif audio dan kodifikasi objektif visual, dan dua untuk pengalaman
belajar 3 dimensi meliputi pengalaman langsung dengan orang dan pengalaman
langsung dengan benda-benda. Dipandang dari banyaknya isyarat yang
diperlukan, pengalaman, subyektif, objektif, dan langsung tersebut menurut
51
Edling, hal tersebut merupakan suatu kontinum atau kesinambungan
pengalaman belajar (Sadiman dkk, 2008:26).
5. Hierarki media menurut Duncan
Pengelompokan menurut tingkat kerumitan perangkat media, khususnya media
audio-visual dengan menyusun suatu hierarki. Dari hierarki yang digambarkan
oleh Duncan dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat
hierarki suatu media, semakin rendah satuan biayanya dan semakin khusus
sifat penggunaannya. Namun demikian, kemudahan dan keluwesan
penggunaannya semakin bertambah. Begitu juga sebaliknya, jika suatu media
berada pada hierarki paling rendah (Sukiman, 2012:45).
Berdasarkan perkembangan teknologi Arsyad (2009 : 29-32) membagi media
pembelajaran menjadi empat kelompok yaitu :
1. Media hasil teknologi cetak
Media hasil teknologi cetak adalah cara untuk menghasilkan atau
menyampaikan materi, seperti buku dan materi visual statis terutama
melalui proses percetakan mekanis atau fotografis. Kelompok media hasil
teknologi cetak meliputi teks, grafiks, foto atau refresentasi fotografik dan
reproduksi (Aryad, 2009:29-30).
2. Media hasil teknologi audio visual
Media hasil teknologi audio visual adalah cara menghasilkan atau
menyampaikan materi dengan cara menggunakan mesin-mesin mekanis dan
elektronik untuk menyajikan pesan-pesan audio-visual. Pengajaran melalui
52
audio-visual jelas bercirikan pemakaian perangkat keras selama proses
belajar, seperti proyektor film, tape recorder, dan proyektor visual yang
lebar (Arsyad, 2009:30).
3. Media hasil teknologi yang berdasarkan komputer
Media hasil teknologi yang berdasarkan komputer merupakan cara
menghasilkan atau menyampaikan materi dengan menggunakan sumber-
sumber yang berbasis mikro-prosesor. Berbagai jenis aplikasi teknologi
berbasis komputer dalam pembelajaran umumnya dikenal sebagai
computer-assisted instruction (pembelajaran dengan bantuan komputer).
Aplikasi tersebut apabila dilihat dari cara penyajian dan tujuan yang ingin
dicapai meliputi tutorial (penyajian materi pelajaran secara bertahap), drills
and practice (latihan untuk membantu siswa menguasai materi yang telah
dipelajari sebelumnya), permainan dan stimulasi (latihan mengaplikasikan
pengetahuan dan keterampilan yang baru dipelajari), dan basis data (sumber
yang dapat membantu siswa menambah informasi dan pengetahuannya
sesuai dengan keinginan masing-masing) (Arsyad, 2009:31).
4. Media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer
Media hasil gabungan teknologi cetak dan komputer adalah cara untuk
menghasilkan dan menyampaikan materi yang menggabungkan pemakaian
beberapa bentuk media yang dikendalikan oleh komputer. Perpaduan
beberapa jenis teknologi ini dianggap teknik yang paling canggih apabila
dikendalikan oleh komputer yang memiliki kemampuan yang hebat seperti
jumlah random access memory yang besar, hard disk yang besar, dan
53
monitor yang beresolusi tinggi ditambah dengan periperal (alat-alat
tambahan seperti video disc player, perangkat keras untuk bergabung dalam
suatu jaringan, dan sistem audio (Arsyad, 2009:32).
Seels dan Glasgow (1990:181-183) dalam Arsyad (2009:33-34)
mengelompokan berbagai jenis media dilihat dari segi perkembangan teknologi
kedalam dua kategori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media
teknologi mutakhir.
Pilihan media tradisional yaitu 1) visual diam yang diproyeksikan antara lain
proyeksi opaque (tak tembus pandang), proyeksi overhead, slide, dan
filmstrip. 2) visual yang tak diproyeksikan antara lain, gambar, poster, foto,
charts, grafik, diagram, pameran, papan info, papan bulu. 3) audio antara lain
rekaman piringan, pita kaset, reel, cartridge. 4) penyajian multimedia antara
lain slide plus suara (tape), multi-image. 5) visual dinamis yang diproyeksikan
yaitu film, televisi, dan video. 6) cetak yaitu buku teks, modul, teks terprogram,
workbook, majalah ilmiah, berkala, dan lembaran lepas (hand-out).
7) permainan yaitu teka-teki, simulasi, permainan papan. 8) realia yaitu model,
specimen (contoh), manipulatif (peta, boneka) (Arsyad, 2009:33-34).
Pilihan media teknologi mutakhir antara lain 1) media berbasis telekomunikasi
misalnya telekonferen, kuliah jarak jauh. 2) media berbasi mikroprosesor
misalnya computer-assisted instruction, permainan komputer, sistem tutor
intelijen, interaktif, hypermedia, compact (video) disc (Arsyad, 2009:34-35).
54
Menurut Setyosari dan Sihkabudden dalam Asyhar (2011:46-52)
mengelompokan media pembelajaran menjadi 5 kelompok yakni :
1. Pengelompokan berdasarkan ciri fisik
a. Media pembelajaran dua dimensi
b. Media pembelajaran tiga dimensi (3D)
c. Media pandang diam (still picture)
d. Media pandang gerak (motion picture) (Asyhar, 2011:46-47).
2. Pengelompokan berdasarkan unsur pokoknya
Berdasarkan unsur pokok atau indera yang dirangsang, media pembelajaran
diklasifikasikan menjadi tiga macam, yakni media visual, media audio, dan
media audio-visual (Asyhar, 2011:48).
3. Pengelompokan berdasarkan pengalaman belajar
a. Menurut Edgar Dale
Dalam bukunya berjudul audio visual method in teaching, Edgar Dale
(1997) mengelompokan media pembelajaran berdasarkan jenjang
pengalaman yang diperoleh pembelajar. Jenjang pengalaman belajar
disusun secara berurutan menurut tingkat kekonkretan dan keabstrakan
(Asyhar, 2011:49).
b. Menurut Thomas dan Sutjiono
Thomas dan Sutjiono (2005) mengklasifikasikan media pembelajaran
menjadi tiga kelompok, yakni pengalaman langsung, pengalaman
tiruan, dan pengalaman verbal (dari kata-kata) (Asyhar, 2011:50).
55
4. Pengelompokan berdasarkan penggunaan
a. Berdasarkan jumlah penggunanya
Berdasarkan jumlah penggunanya, media pembelajaran dapat
dibedakan menjadi tiga macam yakni secara individu, secara
berkelompok dan secara massal (Asyhar, 2011:50).
b. Berdasarkan cara penggunaannya
Berdasarkan cara penggunaannya, media pembelajaran dibedakan
menjadi dua yaitu: media tradisional (konvensional) dan media modern
(Asyhar, 2011:50).
c. Berdasarkan hirarki manfaat media
Dengan kata lain, semakin rumit jenis perangkat media yang dipakai
semakin mahal biaya investasinya semakin susah pengadaannya, tetapi
juga semakin umum penggunaannya dan semakin luas lingkup
sasarannya. Sebaliknya, semakin mudah pengadaannya, sifat
penggunaannya semakin khusus dan lingkup sasarannya semakin
terbatas (Asyhar, 2011:52).
Dari beberapa pengelompokan media yang dikemukan di atas, tampaknya
bahwa hingga saat ini belum terdapat suatu kesepakatan tentang klasifikasi
(sistem taksonomi) media yang baku. Meskipun demikian apapun dan
bagaimanapun cara yang ditempuh dalam mengklasifikasikan media, semuanya
memberikan informasi tentang spesifikasi media yang sangat perlu kita
ketahui. Pengelompokan media yang sudah ada pada saat ini dapat
memperjelas perbedaan tujuan penggunaan, fungsi dan kemampuannya
56
sehingga dijadikan pedoman dalam memilih media yang sesuai untuk suatu
pembelajaran tertentu.
2.1.4.5 Fungsi Dan Manfaaat Media Pembelajaran
Asyhar (2011:29-40) mengatakan bahwa media pembelajaran tidak sekedar
menjadi alat bantu pembelajaran, melainkan juga merupakan suatu strategi
dalam pembelajaran. Sebagai strategi media pembelajaran memiliki banyak
fungsi, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1. Media Sebagai Sumber Belajar
Belajar adalah proses aktif dan konstruktif melalui suatu pengalaman dalam
memperoleh informasi. Dalam proses aktif media pembelajaran berperan
sebagai salah satu sumber belajar bagi pembelajar (siswa). Artinya melalui
media peserta didik memperoleh pesan dan informasi sehingga membentuk
pengetahuan baru pada diri siswa. Dalam batas tertentu media dapat
menggantikan fungsi guru sebagai sumber informasi atau pengetahuan bagi
peserta didik. Media pembelajaran sebagai sumber belajar merupakan suatu
komponen sistem pembelajaran yang meliputi pesan, orang, bahan, alat,
teknik dan lingkungan, yang dapat mempengaruhi hasil belajar peserta
didik (Munadi dalam Asyhar , 2011:30).
2. Fungsi Semantik
Fungsi semantik yaitu kemampuan media dalam menambah
perbendaharaan kata (simbol verbal) yang makna dan maksudnya benar-
benar dipahami anak didik (Munadi, 2008:39). Semantik berkaitan dengan
57
“meaning´ atau arti dari suatu kata, istilah atau simbol. Ketika anda belajar
bahasa asing anda tentu dapat mempelajari kata-kata atau istilah baru.
Untuk itu diperlukan media seperti kamus, glossari atau narasumber.
Melalui media tersebut anda dapat menambah perbendaharaan kata dan
istilah (Asyhar, 2011:30-31). Dalam ilmu Biologi, banyak istilah yang
diambil dari bahasa latin, dalam bahasa ilmiah tidak sedikit istilah yang
diadopsi dari bahasa Inggris.
3. Fungsi Manipulatif
Fungsi manipulatif adalah kemampuan media dalam menampilkan kembali
suatu benda atau peristiwa dengan berbagai cara, sesuai dengan situasi,
kondisi dan tujuan sasarannya. Manipulasi ini seringkali dibutuhkan oleh
pendidik untuk menggambarkan suatu benda yang terlalu besar, terlalu
kecil atau terlalu berbahaya serta sulit diakses mungkin karena letak dan
posisinya yang jauh atau prosesnya terlalu lama untuk diobservasi dalam
waktu yang terbatas. Misalnya proses metamorfosis kupu-kupu tidak
mungkin diamati selama proses pembelajaran, untuk itu dibutuhkan
bantuan media seperti skema, gambar, video dan lain-lain
(Asyhar, 2011 : 32).
4. Fungsi Fiksatif
Fungsi fiksatif adalah fungsi yang berkenaan dengan suatu media untuk
menangkap, menyimpan, menampilkan kembali suatu objek atau kejadian
yang sudah lama terjadi. Artinya, fungsi fiksatif ini terkait dengan
kemampuan merekam media pada suatu peristiwa atau objek dan
58
menyimpannya dalam waktu yang tak terbatas sehingga sewaktu-waktu
dapat diputar kembali ketika diperlukan (Asyhar, 2011:32).
5. Fungsi Distributif
Fungsi distributif media pembelajaran berarti bahwa dalam sekali
penggunaan satu materi, objek atau kejadian, dapat diikuti oleh peserta
didik dalam jumlah besar dan dalam jangkauan yang sangat luas sehingga
dapat meningkatkan efisiensi baik waktu maupun biaya. Sebagai contoh
media audio-visual yang disajikan melalui teleconference
(Asyhar, 2011:33).
Dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran memiliki dua kemampuan yaitu
(1) Mengatasi batas-batas ruang dan waktu, (2) Mengatasi keterbatasan indrawi
manusia. Beberapa kemampuan media mengatasi ruang dan waktu (Munadi,
2008; Dongeng Setyosari dan Sihkabuden, 2005) dalam Asyhar (2011 : 33-34)
menyatakan bahwa media pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk :
a. menyelesaikan benda atau peristiwa yang ada atau yang terjadi pada masa
lampau.
b. mengamati benda, obyek, peristiwa, yang sukar dikunjungi atau dihadirkan
dalam bentuk aslinya, baik karena tempatnya jauh, berbahaya atau
terlarang.
c. mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau yang berbahaya
didekati.
d. dapat mengamati dengan jelas benda-benda yang mudah rusak atau sukar
diawetkan.
e. dengan mudah membandingkan sesuatu, dengan bantuan gambar, foto atau
model, peserta didik dapat dengan mudah membandingkan dua benda
yang berbeda sifat, ukuran ataupun bentuknya.
f. menyajikan sutau ringkasan dari suatu rangkaian pengamatan yang
panjang atau lama. Misalnya setelah peserta didik mengamati proses
pembuatan gula merah, kemudian diberi kesempatan untuk melihat film
yang menyajikan secara ringkas pembuatan gula merah.
59
g. dapat menjangkau sasaran yang besar jumlahnya. Dengan radio, ratusan
atau ribuan peserta didik dapat mengikuti kuliah yang disajikan oleh
seorang dosen dalam waktu yang sama.
Kemampuan mengatasi keterbatasan indera manusia, menurut (Munadi, 2008 :
Dongeng Setyosari dan Sihkabuden, 2005) dalam Asyhar (2011 : 34-35)
menyatakan media pembelajaran memungkinkan peserta didik untuk :
a. memperoleh gambaran yang jelas tentang benda atau hal-hal yang sukar
dimati langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan, misalnya
gambaran tentang bakteri, amoeba, sel, dsb.
b. mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara
langsung karena sukar ditangkap.
c. mendengar suara yang sukar ditangkap telinga secara langsung, misalnya
rekaman denyut jantung.
d. memperlihatkan secara cepat suatu proses yang berlangsung secara lambat
yang dapat ditunjukan dalam beberapa menit saja. Misalnya proses dari
telur menjadi katak, bunga dari kuncup menjadi mekar.
e. memperlihatkan secara lambat gerakan-gerakan yang berlangsung amat
cepat . Media film ini memperlihatkan lompat tinggi, salto secara lambat,
bahkan dapat pula dihentikan jika diperlukan untuk diamati secara teliti.
f. membantu peserta didik memahami obyek yang terlalu komplek, misalnya
dengan memanfaatkan peta, diagram grafik.
g. memudahkan peserta didik mangamati gerakan-gerakan mesin atau alat
yang sukar diamati secara langsung
h. menunjukan bagian-bagian tersembunyi dari suatu benda atau alat.
6. Fungsi Psikologis
Dari segi psikologis media pembelajaran memiliki beberapa fungsi seperti
fungsi atensi, fungsi afektif, fungsi kognitif, fungsi imajinatif dan fungsi
motivasi (Asyhar, 2011:35-39) :
a. Fungsi atensi
Media pembelajaran dapat mengambil perhatian peserta didik terhadap
materi yang dibahas (Asyhar, 2011:36).
60
b. Fungsi afektif
Media pembelajaran dapat menggugah perasaan, emosi dan tingkat
penerimaan atau penolakan peserta didik terhadap sesuatu sehingga
akan menimbulkan sikap dan minat peserta didik terhadap materi
pembelajaran (Asyhar, 2011:36).
c. Fungsi kognitif
Fungsi kognitif dari suatu media pembelajaran dimaksudkan bahwa
media tersebut memberikan pengetahuan dan pemahaman baru kepada
peserta didik tentang sesuatu (Asyhar, 2011:37).
d. Fungsi psikomotorik
Psikomotorik keterampilan yang berhubungan dengan fisik atau
tampilan pada seseorang. Aspek ini adalah satu dari tiga aspek
(kognitif, afektif, psikomotorik) penting yang menjadi target
pembelajaran (Asyhar, 2011:38).
e. Fungsi imajinatif
Imajinasi adalah suatu proses penciptaan suatu obyek atau peristiwa
tanpa memanfaatkan data sensoris atau indera, (Caplin, 1996) dalam
Asyhar (2011 : 38-39) imajinasi ini mencakup penimbulan atau kreasi
obyek-obyek baru sebagai rencana masa mendatang. Atau juga dapat
mengambil bentuk fantasi yang didominasi kuat oleh pikiran-pikiran
autistik.
f. Fungsi motivasi
Media pembelajaran dapat membangkitkan motivasi belajar peserta
didik, sebab penggunaan media pembelajaran menjadi lebih menarik
61
dan memusatkan perhatian peserta didik. Guru dapat mendorong
peserta didiknya dengan cara membangkitkan minat belajarnya dengan
cara menimbulkan atau memberi harapan. Pemberian motivasi yang
dilakukan guru dengan dua cara yaitu arausal dan expectancy (Hebb
dalam Munadi, 2008) dalam Asyhar (2011 : 39).
7. Fungsi Sosio Kultural
Penggunaan media dalam pembelajaran dapat mengatasi hambatan
sosiokultural antar peserta. Peserta didik dalam jumlah cukup besar,
dengan adat, kebiasaan, lingkungan dan pengalaman yang berbeda-beda
sangat mungkin memiliki persepsi dan pemahaman yang tidak sama
tentang suatu topik pembelajaran (Asyhar, 2011:40).
Levi dan Lentz (1982) dalam Arsyad (2009 : 16-18) mengemukakan empat
fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu fungsi atensi,
fungsi afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensantoris. Fungsi atensi
media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian
siswa untuk berkonsentrasi kepada sisi pelajaran yang berkaitan dengan
makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran
(Arsyad, 2009:17).
Fungsi afektif media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa
belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual
dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang
menyangkut masalah sosial atau ras (Arsyad, 2009:17).
62
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang
mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar
mencapai tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang
terkandung dalam gambar (Arsyad, 2009:17).
Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian
bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks
membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan
informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media
pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan
lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks
atau disajikan secara verbal (Arsyad, 2009:17).
Menurut Sanaky (2011 : 6) media pembelajaran berfungsi untuk merangsang
pembelajaran dengan :
1. Menghadirkan obyek yang sebenarnya dan obyek yang langkah.
2. Membuat duplikasi dari obyek yang sebenarnya
3. Membuat konsep yang abstrak ke konsep yang konkret
4. Memberi kesamaan persepsi
5. Mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah dan jarak
6. Menyajikan ulang informasi secara konsisten
7. Memberi suasana belajar yang tidak tertekan, santai dan menarik sehingga
dapat mencapai tujuan pembelajaran.
Hamalik (1986) dalam Arsyad (2008:15) mengemukakan bahwa pemakaian
media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan
keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan
kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap
siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran
63
akan sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian
pesan dan isi pelajaran pada saat itu. Selain itu membangkitkan motivasi dan
minat siswa. Media pembelajaran juga dapat membantu siswa meningkatkan
pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya, memudahkan
penafsiran data, dan memadatkan informasi.
Sementara itu, media pembelajaran menurut Kemp & Dayton (1985:28) dalam
Arsyad (2008:19) dapat memenuhi fungsi utama apabila media itu digunakan
untuk perorangan, kelompok atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya,
yaitu (1) memotivasi minat dan tindakan, (2) menyajikan informasi dan (3)
memberi instruksi.
Sadiman, dkk., (2008:17-18) menjelaskan secara umum media pendidikan
mempunyai kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
(1) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis dalam
bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka.
(2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera, menurut Sadiman,
dkk. ( 2008:17) seperti misalnya:
a. Objek yang terlalu besar—bisa digantikan dengan realitas, gambar, film
bingkai, film, atau model;
b. Objek yang kecil—dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai, film
atau gambar;
c. Gerak yang terlalu lambat atau terlalu cepat, dapat dibantu dengan
timelapse atau high-speed photography.
d. Kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu bisa ditampilkan lagi
lewat rekaman film, video, film bingkai, foto maupun secara verbal;
e. Objek yang terlalu kompleks (misalnya mesin-mesin) dapat disajikan
dengan model, diagram, dan lain-lain, dan;
f. Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim, dan lain-
lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai, gambar dan lain-
lain.
64
(3) Penggunaan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi
sikap pasif anak didik. Dalam hal ini media pendidikan menurut Sadiman,
dkk. ( 2008:17-18) berguna untuk:
a. Menimbulkan kegairahan belajar;
b. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan
lingkungan dan kenyataan;
c. Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan
dan minatnya.
(4) Dengan sifat yang unik pada tiap siswa ditambah lagi dengan lingkungan
dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan
ditentukan sama untuk setiap siswa, maka guru banyak mengalami kesulitan
bilamana semuanya itu harus diatasi sendiri. Hal ini akan lebih sulit bila
latar belakang lingkungan guru dengan siswa juga berbeda. Masalah ini
dapat diatasi dengan media pendidikan menurut Sadiman, dkk. ( 2008:17),
yaitu dengan kemampuannya dalam memberikan perangsang yang sama,
mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama.
Dari penjelasan mengenai fungsi media pembelajaran diatas secara eksplisit
juga diperoleh berbagai manfaat penggunaan media yang diperoleh pengajar
dan peserta didik dalam pembelajaran. Midun (2009) dalam Asyhar (2011, 41)
menyatakan manfaat penggunaan media pembelajaran adalah :
a. memperluas cakrawala sajian materi pembelajaran yang diberikan dikelas.
b. peserta didik memperoleh pengalaman beragam saat proses pembelajaran.
c. memberikan pengalaman belajar yang konkret dan langsung kepada
peserta didik, seperti kegiatan karyawisata ke pusat tenaga listrik, dan
sebagainya.
d. menyajikan sesuatu yang sulit disajikan, dikunjungi atau dilihat oleh
peserta didik, seperti sistem tata surya, virus, metamorfosa kupu-kupu ,
pelapukan batuan, atau perang uhud.
e. memberikan informasi yang akurat dan terbaru.
f. menambah kemenarikan tampilan materi sehingga meningkatkan motivasi
dan minat serta mengambil perhatian peserta didik.
65
g. meningkatkan efisiensi proses pembelajaran, dapat menjangkau peserta
didik ditempat yang berbeda dengan ruang lingkup yang tak terbatas.
h. memecahkan masalah pendidikan atau pengajaran, baik dalam lingkup
makro maupun mikro.
Menurut Sudjana dan Rivai dalam Sanaky (2011:4-5) manfaat media
pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran adalah :
a. Pembelajaran lebih menarik perhatian pembelajar sehingga dapat
menumbuhkan motivasi belajar,
b. Bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga lebih dipahami
pembelajar, sehingga memungkinkan pembelajar menguasai tujuan
pengajaran dengan baik,
c. Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya komunikasi
verbal melalui penuturan kata-kata lisan pengajar, pembelajar tidak bosan,
dan pengajar tidak kehabisan tenaga,
d. Pembelajar lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya
mendengarkan penjelasan dari pengajar saja, tetapi juga aktivitas lain yang
dilakukan seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-
lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan memanfaatkan media pembelajaran di
dalam kegiatan pembelajaran akan membantu siswa dalam memahami materi
pelajaran, selain itu kegiatan pembelajaran lebih bervariasi dan lebih
menyenangkan bagi siswa.
Manfaat media pembelajaran bagi pembelajar dan pengajar menurut Sanaky
(2011:5), sebagai berikut :
1. Bagi pengajar adalah : memberikan pedoman arah untuk mencapai tujuan,
menjelaskan struktur dan urutan pengajaran secara baik, memberikan
kerangka sistematis mengajar secara baik, memudahkan kendali pengajar
terhadap materi pelajaran, membantu kecermatan, ketelitian dalam
penyajian materi pelajaran, membangkitkan rasa percaya diri seorang
pengajar, meningkatkan kualitas pengajaran.
66
2. Bagi pembelajar adalah : meningkatkan motivasi belajar pembelajar,
memberikan dan meningkatkan variasi belajar pembelajar, memberikan
struktur materi pelajaran dan memudahkan pembelajar untuk belajar,
memberikan inti informasi, pokok-pokok, secara sistematik sehingga
memudahkan pembelajar untuk belajar, merangsang pembelajar untuk
berpikir dan beranalisis, menciptakan kondisi dan situasi belajar tanpa
tekanan, pembelajar dapat memahami materi pelajaran dengan sistematis
yang disajikan pengajar lewat media pembelajaran.
2.1.4.6 Prosedur Pemilihan Media Pembelajaran
Menurut Asyhar (2011:86-89) ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru
sebelum menentukan pilihan media yang akan digunakan untuk pembelajaran :
1. Mengidentifikasi Karakteristik Peserta Didik
Ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu : (a) karakteristik yang bersifat
umum, seperti peserta didik kelas berapa, jenis kelamin, latar belakang
budaya, kebiasaan, dsb. Dan (b) karakteristik yang bersifat khusus, seperti
pengetahuan, keterampilan, dan sikap awal yang dimiliki peserta didik.
Menurut Winkel dalam Asyar (2011 : 86) karakteristik siswa meliputi :
1) fungsi, 2) fungsi konatif-dinamik, 3) fungsi afektif, 4) fungsi sensorik-
motorik; 5) fungsi lain seperti individualitas, kondisi mental, vitalitas
psikis, dan perkembangan kepribadian. Pemahaman tentang karakteristik
peserta didik memberi gambaran kepada guru tentang jenis dan format
media yang cocok untuk digunakan (Asyhar, 2011:86).
67
2. Menelaah Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran juga menjadi faktor pertimbangan dalam pemilihan
media karena jenis kompetensi yang diharapkan dicapai sangat terkait
dengan jenis media yang digunakan. Misalnya materi “Membuang Sampah
Pada Tempatnya”. Tujuannya adalah siswa bisa membiasakan diri
membuang sampah pada tempatnya (afektif), maka jenis media yang cocok
digunakan adalah audio-visual atau real object media berbasis manusia,
dengan cara guru memberikan contoh secara langsung (Asyhar, 2011:87).
3. Mengkaji Karakteristik Bahan Ajar
Karakteristik bahan ajar menentukan pemilihan media dalam pembelajaran.
Sifat bahan atau materi ajar menentukan bentuk tugas dan pengalaman
belajar yang akan diberikan kepada peserta didik. Tugas dan pengalaman
belajar tersebut sangat menentukan jenis aktivitas siswa disekolah dan
diluar sekolah. Jenis aktivitas tidak hanya mendengarkan dan mencatat,
melainkan juga berbagai macam aktivitas lainnya seperti berdiskusi,
bermain, berlatih, melakukan percobaan, searching internet, dan lain-lain
(Asyhar, 2011:87).
4. Menetapkan Pilihan Media
Dari hasil telaah berbagai faktor yang terkait dengan karakteristik siswa,
materi ajar dan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran, maka akan
diketahui alternatif jenis dan format media yang bisa dipilih. Selanjutnya,
perlu dikaji ketersediaan jenis dan media yang dibutuhkan serta fasilitas
pendukungnya (Asyhar, 2011:88).
68
5. Mereview
Mereview kembali jenis media yang telah dipilih, apakah sudah tepat atau
masih memiliki kelemahan, atau masih ada alternatif jenis media lain yang
lebih hebat (Asyhar, 2011:89).
Menurut Arsyad (2009:69-72) pada tingkat yang menyeluruh dan umum
pemilihan media dilakukan dengan cara mempertimbangkan faktor berikut :
1. Hambatan pengembangan dan pembelajaran, meliputi faktor dana, fasilitas
dan peralatan yang tersedia, waktu dan sumber yang tersedia.
2. Persyaratan isi, tugas dan jenis pembelajaran. Setiap kategori pembelajaran
itu menuntut perilaku yang berbeda-beda, dan demikian akan memerlukan
teknik dan media penyajian yang berbeda pula.
3. Hambatan dari sisi siswa dengan mempertimbangkan kemampuan dan
keterampilan awal, serta karakteristik siswa lainnya.
4. Tingkat kesenangan (preferensi lembaga, guru dan pelajar) dan biaya.
5. Pemilihan media sebaiknya mempertimbangkan kemampuan
mengakomodasikan penyajian stimulus yang tepat, mengakomodasikan
respons siswa yang tepat, mengakomodasilkan umpan balik, pemilihan
media utama dan media sekunder untuk penyajian informasi atau stimulus,
serta untuk latihan dan tes.
6. Media sekunder harus mendapatkan perhatian karena pembelajaran yang
berhasil menggunakan media yang beragam. Dengan penggunaan media
yang beragam, siswa memiliki kesempatan untuk menghubungkan dan
berinteraksi dengan media yang paling efektif sesuai dengan kebutuhan
belajar mereka secara perorangan.
69
2.1.4.7 CD Interaktif
Media adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk
keperluan pembelajaran. Media ada yang dapat langsung dimanfaatkan oleh
guru (by utilization) dalam kegiatan pembelajaran, artinya media tersebut
dibuat oleh pihak tertentu (produsen media), dan guru tinggal menggunakannya
secara langsung dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu contoh media yang
dapat dimanfaatkan secara langsung oleh guru adalah CD pembelajaran
interaktif (Rusman, 2012:159).
CD interaktif adalah sebuah media yang menegaskan sebuah format
multimedia, dapat dikemas dalam sebuah CD (Compact Disk) dengan tujuan
aplikasi interaktif di dalamnya (Maroebeni, 2008:4). Compact Disc (CD)
adalah sistem penyimpanan dan rekaman video dimana signal audio-visual
direkam pada disket plastik, bukan pada pita magnetik (Arsyad, 2009:36).
Walaupun berukuran kecil, CD memiliki kemampuan untuk menyimpan
informasi dalam jumlah besar. Selain mudah digunakan, keuntungan utama
dari CD adalah ketahanannya terhadap kerusakan.
Dalam program talk show e-lifestyle yang ditayangkan di Metro TV pada 9
Agustus 2003 pukul 09.00 WIB disebutkan bahwa CD interaktif adalah sebuah
CD yang berisi menu-menu yang dapat diklik untuk menampilkan sebuah
informasi tertentu. Sistem interaktif yang dipakai CD interaktif sama persis
dengan sistem navigasi pada internet, hanya yang berbeda disini adalah media
yang dipakai keduanya. CD interaktif memakai media off line berupa CD,
sementara internet memakai media on line (Maroebeni, 2008:5).
70
CD interaktif merupakan piranti sistem komputer yang berisi tentang muatan
pembelajaran meliputi judul, tujuan, materi pembelajaran dan evaluasi
pembelajaran. CD interaktif dapat menyampaikan pembelajaran secara
langsung kepada para siswa dengan cara berinteraksi dengan mata pelajaran
yang diprogramkan ke dalam sistem komputer (Rusman, 2012:153).
CD interaktif dapat digunakan pada pembelajaran disekolah sebab cukup
efektif meningkatkan hasil belajar siswa. Sifat media ini selain interaktif juga
bersifat multimedia, terdapat unsur-unsur media secara lengkap yang meliputi
sound, animasi, video, teks dan grafis (Rusman, 2012:148).
Beberapa model media interaktif dalam Rusman (2012:148-149) diantaranya :
a. Model drill, latihan untuk mempermahir keterampilan atau memperkuat
penguasaan konsep melalui serangkaian soal atau pertanyaan.
b. Model tutorial, merupakan program pembelajaran menggunakan perangkat
lunak komputer yang berisi materi pelajaran. Pola dasarnya mengikuti
pembelajaran berprograma tipe branching dimana konten kurikulum atau
materi pelajaran disajikan dalam unit-unit kecil. Lalu disusul dengan
pertanyaan. Respon siswa dianalisis oleh komputer (diperbandingkan
dengan jawaban yang diintegrasikan oleh penulis program) dan umpan
baliknya yang benar diberikan.
c. Model simulasi, bertujuan memberikan pengalaman belajar yang lebih
konkrit melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang
mendekati suasana yang sebenarnya.
d. Model game instuction, dikembangkan berdasarkan atas “pembelajaran
menyenangkan” dimana peserta didik dihadapkan pada beberapa petunjuk
aturan permainan. Sering disebut instructional games (Eleanor L.
Criswell, 1989 : 20) dalam Rusman (2012 :149).
Pada umumnya tipe penyajian yang banyak digunakan dalam CD interaktif
adalah “tutorial” tutorial ini membimbing siswa secara tuntas menguasai materi
dengan cepat dan menarik. Setiap siswa cenderung memiliki perbedaan
penguasaan materi tergantung dari kemampuan yang dimilikinya. Penggunaan
71
tutorial mengggunakan CD interaktif lebih efektif untuk mengajarkan
penguasaan software kepada siswa dibandingkan dengan mengajarkan
hardware (Rusman, 2012:149).
Menurut praktisi media Augus Savara dalam program e-lifestyle Metro TV,
Sabtu 9 Agustus 2003 dalam Maroebeni (2008:5), kelebihan CD interaktif
antara lain :
1. Penggunanya bisa berinteraksi dengan program computer, dalam CD
interaktif terdapat menu-menu khusus yang dapat diklik oleh user untuk
memunculkan informasi berupa audio, visual, maupun fitur lain yang
diinginkan oleh pengguna.
2. Menambah pengetahuan, berupa materi pembelajaran yang dirancang
kemudahannya dalam CD interaktif bagi pengguna.
3. Tampilan audio-visual yang menarik, menarik disini tentu saja jika
dibandingkan dengan media konvensional seperti buku atau media dau
dimensi lainnya. Kemenarikan disini utamanya karena sistem interaksi
yang tidak dimiliki oleh media cetak maupun media elektronik lain.
Dari beberapa keunggulan CD interaktif, dapat diketahui bahwa CD interaktif
dapat membantu mempertajam pesan yang disampaikan dengan kelebihannya
menarik indera dan menarik minat. Karena merupakan gabungan antara
pandangan, suara, dan gerakan (Suyanto, 2003:18) dalam Maroebeni (2008:4).
Kelebihan lain dari CD interaktif adalah siswa belajar dengan mandiri, tidak
harus tergantung kepada guru. Siswa dapat memulai belajar kapan saja dan
dapat mengakhiri sesuai dengan keinginannya. Selain itu, materi yang
diajarkan dapat langsung dipraktikan secara langsung oleh siswa terhadap
software tersebut. Terdapat juga fungsi repeat bermanfaat untuk mengulangi
materi secara berulang-ulang untuk penguasaan secara menyeluruh (Rusman,
2012:149). Saat ini sudah banyak orang yang memanfaatkan bahan ajar CD
72
interaktif. CD interaktif disamping menarik juga memudahkan bagi
penggunanya untuk mempelajari suatu bidang tertentu, termasuk pembelajaran
biologi. Dalam penelitian ini memanfaatkan CD interaktif yang dibuat oleh
ai-learn (Animated & Interactive Learning).com Indonesia.
2.1.4.8 Model
Benda asli ketika akan difungsikan sebagai media pembelajaran dapat dibawa
langsung ke kelas, atau siswa langsung dibawa ke tempat benda asli itu berada.
Jika hal tersebut sulit dilakukan, maka benda tiruannya dapat pula berfungsi
sebagai media pembelajaran yang efektif (Daryanto, 2010:29).
Benda tiruan sering disebut sebagai model. Model dapat diartikan sebagai
sesuatu yang dibuat dengan ukuran tiga dimensi, sehingga menyerupai benda
aslinya, untuk menjelaskan hal-hal yang mungkin diperoleh dari benda
sebenarnya. Benda asli kemudian dibuat modelnya dalam bentuk besar seperti
aslinya atau sangat kecil (Sanaky : 2011:115).
Sanaky (2011:115) menyatakan dalam pembelajaran, tidak selalu atau harus
menggunakan benda-benda asli. Artinya benda-benda tersebut dapat digantikan
dengan benda-benda tiruan. Penggunaan benda pengganti atau tiruan, berfungsi
untuk menggantikan benda-benda sebenarnya. Penggunaan benda-benda tiruan
perlu dilakukan pengajar, dengan pertimbangan :
a. Mungkin benda tersebut sulit didapatkan
b. Benda tersebut terlalu jauh tempatnya
c. Benda tersebut teralu kecil atau terlalu besar
d. Mungkin benda tersebut merupakan benda yang dilindungi oleh cagar
budaya.
73
Media model termasuk benda tiga dimensi yang memiliki keunggulan bila
dibandingkan dengan gambar yang hanya dua dimensi. Oleh karena itu, model
sangat membantu untuk mewujudkan realitas yang tidak saja dapat dilihat,
tetapi juga dapat diraba. Model dapat dibuat sendiri oleh pembelajar atas
bimbingan pengajar atau juga dapat dibuat oleh pengajar sendiri
(Sanaky, 2011:116).
Daryanto (2010:29) menyatakan bahwa media tiga dimensi dapat dibuat sendiri
oleh guru dengan mudah, tanpa harus memerlukan keahlian khusus. Hal ini
disebabkan karena media tiga dimensi tergolong sederhana dalam penggunaan
dan pemanfaatannya. Selain itu bahan untuk membuat media tiga dimensi
dapat diperoleh dengan mudah di lingkungan sekitar.
Oemar Hamalik (1989:134) dalam Sanaky (2011:116-117) membagi model
atau benda tiruan, menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Solid model, model ini terutama hanya menunjukan bagian luar.
b. Cross section model, model ini hanya menampakan struktur bagian dalam
saja.
c. Working model, bahwa model ini hanya mendemonstrasikan fungsi atau
proses-proses saja.
Ditinjau dari cara membuat, bentuk dan tujuan penggunaan model dapat
dibedakan atas : model perbandingan (globe), model yang disederhanakan,
model irisan, model susunan, model terbuka, model utuh, boneka dan topeng
(Daryanto, 2010:31).
Bentuk dari suatu model dapat dibuat untuk keperluan pembelajaran yaitu
mungkin saja dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu dari benda
74
tersebut yang kurang perlu, serta menonjolkan bagian-bagian yang perlu-perlu
saja. Model atau benda tiruan tersebut bentuknya harus sama dengan aslinya,
besarnya dapat sama atau lebih kecil atau lebih besar lagi dari aslinya
(Sanaky, 2011:116).
Untuk besar model atau benda tiruan, pada dasarnya tergantung pada benda
yang ditirunya. Untuk benda bakteri tertentu dibuat dalam model yang
diperbesarkan. Kemudian agar benda tiruan tersebut lebih jelas dan menarik,
biasanya diberi warna yang sesuai dengan warna aslinya atau warna kontras,
sehingga dapat menunjukan bagian luar, atau bagian dalam dan arah proses,
serta cara bekerja atau kegiatan tersebut (Sanaky, 2011 : 117) .
Menurut Hamalik (1989) dalam Sanaky (2011:117-118) menggunakan benda
model dalam kelas, hendaknya disesuaikan dengan program mengajar, yaitu
tujuan, materi, metode, dan kondisi pembelajar. Untuk menjadikan pengajaran
lebih menarik dan efektif, maka perhatikanlah hal-hal berikut :
a. Bentuk dan besarnya model harus diperhatikan agar dapat dilihat oleh
pembelajar di kelas.
b. Jangan terlalu banyak memberikan penjelasan. Biasanya pembelajar lebih
mengkonsentrasikan perhatiannnya kepada model bukan pada penjelasan.
c. Gunakan model untuk maksud tertentu dalam pengajaran, bukan bertujuan
mengisi waktu pengajar dan mengurangi peranan pengajar dalam kelas.
d. Usahakan para pembelajar sebanyak mungkin dapat belajar dari model
dengan mendorong mereka bertanya, berdiskusi, atau memberikan kritik.
e. Model hendaknya diintegrasikan dengan alat-alat lainnya supaya
pembelajaran berhasil.
f. Didalam suatu pelajaran hanya menggunakan model-model terpilih saja
dan jangan menggunakan bermacam-macam model karena dapat
menyebabkan kabingungan bagi pembelajar.
g. Apabila menggunakan beberapa model, hendaknya model tersebut satu
sama lain berhubungan & menghubungkan pelajaran satu dengan lainnya.
75
Menurut Daryanto (2010:30-31), belajar melalui model dilakukan untuk pokok
bahasan tertentu yang tidak mungkin dapat dilakukan melalui pengalaman
langsung atau melalui benda sebenarnya. Ada beberapa tujuan belajar dengan
menggunakan model, yaitu : mengatasi kesulitan yang muncul ketika
mempelajari objek yang terlalu besar atau terlalu kecil, untuk mempelajari
obyek yang telah menjadi sejarah dimasa lampau, untuk mempelajari obyek-
obyek yang tak terjangkau secara fisik, untuk mempelajari obyek yang mudah
dijangkau tetapi tidak memberikan keterangan yang memadai (misalnya mata
manusia, telinga manusia), untuk mempelajari konstruksi-konstruksi yang
abstrak, untuk memperlihatkan proses dari obyek yang luas (misalnya proses
peredaran planet-planet).
Selanjutnya Daryato (2010:31) menjelaskan keuntungan menggunakan model,
diantaranya adalah: belajar dapat difokuskan pada bagian yang penting-penting
saja, dapat mempertunjukan struktur dalam suatu obyek, dan siswa dapat
memperoleh pengalaman yang konkret.
Moedjiono (1992) dalam Daryanto (2010:29) mengatakan bahwa media
sederhana tiga dimensi (model) memiliki kelebihan-kelebihan yaitu
memberikan pengalaman secara langsung, penyajian secara konkret dan
menghindari verbalisme, dapat menunjukkan obyek secara utuh baik
konstruksi maupun cara kerjanya, dapat memperlihatkan struktur organisasi
secara jelas, dapat menunjukkan alur suatu proses secara jelas. Sedangkan
kelemahannya adalah tidak bisa menjangkau sasaran dalam jumlah yang besar,
penyimpanannya memerlukan ruang yang besar dan perawatannya rumit.
76
Model sel dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh siswa secara berkelompok,
dengan bantuan dan bimbingan dari guru. Model sel yang dibuat terdiri dari
dua macam yaitu sel hewan dan sel tumbuhan. Bahan untuk membuat model
sel menggunakan lilin dengan warna yang beraneka ragam. Gambar model sel
dapat dilihat pada lampiran 12.
2.2 Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan telaah kepustakaan yang peneliti lakukan, ditemukan beberapa
hasil penelitian yang relevan dan berkaitan dengan variable penelitian ini,
antara lain :
a. Hidayana (2009:1) melakukan penelitian tentang pengaruh gaya belajar
terhadap prestasi belajar siswa kelas X SMKN 2 Balikpapan. Hasil
penelitiannya menunjukan 55,8% prestasi belajar siswa kelas X SMKN 2
Balikpapan dipengaruhi oleh variable gaya belajar (X) yang terdiri dari
gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik. Sedangkan sisanya 44,2%
dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.
b. Dewanti (2008:1) dalam penelitian tentang pengaruh pembelajaran
berbasis audio-visual terhadap prestasi belajar biologi bagi siswa yang
memiliki gaya belajar yang berbeda di SMPN 13 Malang. Berdasarkan
penelitiannya, Dewanti menyimpulkan terdapat pengaruh pembelajaran
berbasis audio-visual terhadap prestasi belajar Biologi pada siswa yang
bergaya belajar visual di SMPN 13 Malang, dan terdapat pengaruh
pembelajaran berbasis audio visual terhadap prestasi belajar biologi pada
siswa yang bergaya belajar auditorial di SMPN 13 Malang. Dan terdapat
77
perbedaan prestasi belajar biologi pada siswa yang memiliki gaya belajar
visual dengan siswa yang memiliki gaya belajar auditorial yang diajar
menggunakan metode pembelajaran audio-visual di SMPN 13 Malang.
c. Zalikha (2008:1) melaporkan hasil penelitiannya tentang pengaruh
penggunaan multimedia interaktif dalam model pembelajaran aktif
(active learning) tipe true or false terhadap hasil belajar biologi siswa.
Berdasarkan penelitiannya disimpulkan penggunaan multimedia interaktif
berpengaruh dalam model active learning terhadap hasil belajar biologi
siswa, penerapan model active learning memberikan pengaruh yang positif
terhadap hasil belajar biologi, pembelajaran actif learning (aktif) tipe true
or false dengan penggunaan multimedia interaktif efektif digunakan dalam
pembelajaran biologi dan berpengaruh terhadap hasil belajar biologi.
d. Supriyatin (2010:1) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan media
tiruan kerangka untuk meningkatkan pembelajaran IPA di kelas IV SDN
Ketawanggede 1 Kecamatan Lowokwaru kota Malang. Berdasarkan data
yang diperoleh menunjukan pemanfaatan media tiruan kerangka dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Rata-rata hasil belajar pra tindakan
49,96; siklus I 58,86 dan siklus II 79,77. Sedangkan secara klasikal
diperoleh hasil 72%, siswa telah mencapai KKM dari 75% yang ditetukan.
Penggunaan media tiruan dalam pembelajaran IPA dikelas IV terbukti
dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran. Peningkatan
skor rata-rata aktivitas siswa pada siklus I 63,98 dan siklus II 76,27.
78
2.3 Kerangka Berfikir
2.3.1 Interaksi antara Pemanfaatkan Media Pembelajaran dengan Gaya
Belajar Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Siswa Media merupakan komponen yang sangat penting dalam suatu proses
komunikasi. Media berperan sebagai alat perantara untuk menyalurkan pesan
dan informasi dari pengirim pesan kepada penerima pesan. Dalam proses
pembelajaran media digunakan untuk meningkatkan pencapaian hasil belajar
dan prestasi belajar siswa. Salah satu penyebab rendahnya prestasi belajar
siswa adalah ketidaksesuaian penggunaan media pembelajaran dengan
karakteristik belajar siswa, salah satunya yaitu gaya belajar.
Siswa yang memiliki gaya belajar tipe visual memiliki interest yang tinggi
ketika diperlihatkan warna, bentuk, gambar-gambar hidup dan ilustrasi visual
lainnya. Beberapa teknik yang digunakan dalam belajar visual adalah untuk
meningkatkan keterampilan berfikir dan belajar, lebih mengedepankan peran
penting mata sebagai penglihatan (visual). Pada gaya belajar ini diperlukan
metode pembelajaran yang digunakan dengan menitik beratkan pada peragaan.
Mereka berfikir menggunakan gambar-gambar diotak dan belajar lebih cepat
dengan menggunakan tampilan-tampilan visual, seperti CD interaktif. CD
interaktif merupakan multimedia yang memiliki unsur yang lengkap meliputi
sound, animasi, vidio, teks dan grafis.
Siswa yang memiliki tipe kinestetik belajar dengan cara melakukan,
menyentuh, merasa, bergerak, dan mengalami (tindakan). Anak seperti ini sulit
untuk duduk diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktivitas dan
79
eksplorasi sangatlah kuat. Oleh karena itu pembelajaran yang dibutuhkan
adalah pembelajaran yang lebih bersifat kontekstual dan praktik. Penggunaan
media pembelajaran model memberikan kesempatan anak untuk dapat
membuat media model secara langsung, sehingga anak dapat beraktivitas
melalui gerakan dan sentuhan.
Berdasarkan perbedaan gaya belajar pada masing-masing siswa dibutuhkan
suatu strategi dalam pemilihan media pembelajaran sehingga dapat memacu
siswa berprestasi, baik pada siswa yang memiliki gaya belajar visual maupun
gaya belajar kinestetik.
Pemanfaatan media pembelajaran pada siswa dengan gaya belajar berbeda
tentu mengakibatkan prestasi belajar yang berbeda pula. Siswa yang memiliki
gaya belajar visual dengan menggunakan media pembelajaran CD interaktif,
prestasi belajarnya dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang
menggunakan media pembelajaran model. Atau sebaliknya siswa yang
memiliki gaya belajar kinestetik dengan menggunakan media pembelajaran
model, prestasi belajarnya dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang
menggunakan media pebelajaran CD interaktif.
2.3.2 Perbedaan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa yang
Memanfaatkan Media CD Interaktif dengan yang Memanfaatkan
Model Pada Siswa yang Memiliki Gaya Belajar Visual
Siswa dengan gaya belajar tipe visual akan mendapatkan perlakuan yang sesuai
ketika diberi perlakuan dengan menggunakan media pembelajaran CD
interaktif. Hal ini disebabkan karena pada CD interaktif menampilkan
80
pembelajaran melalui gambar, teks, warna dan bersifat animasi. Kesesuaian
perilaku yang didapatkan memungkinkan pengembangan potensi secara
maksimal. Sebaliknya pada siswa dengan gaya belajar visual pada mata
pelajaran sel dengan menggunakan media pembelajaran model, juga dapat
memahami dan mengerti materi pelajarannya. Tetapi akan lebih mudah
dipahami dan dimengerti apabila siswa menggunakan media pembelajaran CD
interaktif. Dengan demikian diduga bahwa prestasi belajar siswa dengan gaya
belajar visual yang menggunakan media pembelajaran CD interaktif akan lebih
tinggi daripada yang menggunakan media pembelajaran model.
2.3.3 Perbedaan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa yang
Memanfaatkan Media CD Interaktif dengan yang Memanfaatkan
Model pada Siswa yang Memiliki Gaya Belajar Kinestetik
Siswa dengan gaya belajar kinestetik cenderung belajar dengan cara
melakukan, menyentuh, merasa, bergerak, dan mengalami. Metode belajar
yang tepat bagi siswa dengan karakteristik seperti ini adalah dengan
menggunakan media pembelajaran model.
Adanya pengarahan dan bimbingan secara langsung dengan membuat media
“model” sendiri, memungkinkan siswa dengan gaya belajar kinestetik berupaya
mencapai tujuan belajar semaksimal mungkin. Siswa dengan gaya belajar
kinestetik yang menggunakan media CD interaktif lebih sulit memahami
materi pelajaran sehingga kurang dapat menyelesaikan tugas-tugas dengan
baik. Dapat diduga bahwa prestasi belajar siswa dengan gaya belajar kinestetik
yang menggunakan media pembelajaran model lebih tinggi daripada yang
menggunakan media pembelajaran CD interaktif.
81
2.1.4 Perbedaan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa yang
Memanfaatkan Media Model dengan yang Memanfaatkan CD
Interaktif
Media model merupakan benda dengan ukuran tiga dimensi yang menyerupai
benda aslinya. Pembuatan model dapat dilakukan sendiri oleh siswa dengan
bimbingan guru mata pelajaran. Dengan membuat model sendiri maka siswa
akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan secara langsung, sehingga
siswa akan lebih mudah mempelajari dan mengingat hal-hal yang didapatkan
dari keterampilan atau praktek yang dilakukan.
Pembelajaran menggunakan CD interaktif dapat menarik perhatian siswa,
karena CD interaktif memiliki unsur-unsur audio, visual, teks, animasi dan
bersifat interaktif. Walaupun demikian kebermaknaan dan pengalaman belajar
yang di peroleh siswa dengan memanfaatkan CD interaktif tidak sebaik
dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan model. Karakteristik media
pembelajaran model yang cenderung lebih mudah dipahami, menarik dan
menyenangkan membuat siswa lebih tertarik untuk memperhatikan proses
pembelajaran. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa sebagai
subyek dalam belajar.
Kebermaknaan pembelajaran membuat adanya referensi yang lebih lama di
dalam ingatan sebagai bentuk prestasi belajar. Dengan demikian dapat diduga
bahwa prestasi belajar siswa akan lebih tinggi dengan menggunakan media
model daripada menggunakan media CD interaktif.
82
Berdasarkan keterangan tersebut di atas, maka dapat digambarkan kerangka
berpikirnya sebagai berikut:
2.4 Hipotesis
Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Terdapat interaksi antara pemanfaatan media pembelajaran dengan gaya
belajar terhadap peningkatan prestasi belajar siswa pada materi pokok sel.
2. Peningkatan prestasi belajar siswa dengan gaya belajar visual yang
memanfaatkan media CD interaktif lebih tinggi daripada yang
memanfaatkan model pada materi pokok sel.
3. Peningkatan prestasi belajar siswa dengan gaya belajar kinestetik yang
memanfaatkan media model lebih tinggi daripada yang memanfaatkan CD
interaktif pada materi pokok sel.
4. Peningkatan prestasi belajar siswa yang memanfaatkan media model lebih
tinggi daripada yang memanfaatkan CD interaktif pada materi pokok sel.
Gambar 2.2 Kerangka Pikir
Peningkatan Prestasi
Belajar
Gaya Belajar
Visual
Kinestetik
Pemanfaatan Media
CD interaktif
Model
Tinggi
83