ii kajian kepustakaan 2.1 wortel (daucus carota....

15
II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Wortel (Daucus carota. L) Tanaman wortel bukan berasal dari negara Indonesia, namun wortel berasal dari daerah beriklim sedang (subtropis). Sekitar 6.500 tahun yang lalu, tanaman ini ditemukan tumbuh secara liar di kawasan kepulauan Asia Tengah yaitu Punjab, Afganistan, Tajikistan, dan bagian barat Tiam San, selain itu juga ditemukan di kawasan Timur Dekat seperti Asia Kecil, Dataran Tinggi Turkmenistan, Transcaucasia dan Iran (Bambang, 2002). Tanaman wortel dibudidayakan di sekitar Laut Tengah dan menyebar luas ke kawasan Eropa, Afrika, Amerika, dan akhirnya ke berbagai Negara. Budidaya wortel di Asia Tenggara dirintis oleh negara Taiwan kemudian tersebar ke beberapa Negara-negara yang beriklim panas (tropis) salah satunya Indonesia. Budidaya wortel di Indonesia mulanya terpusat di daerah Lembang dan Cipanas (Jawa Barat), namun dalam perkembangannya menyebar luas hingga ke daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa (Rukman, 1995). Wortel merupakan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna kuning kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur serupa kayu. Bagian yang dapat dimakan dari wortel adalah bagian umbi atau akarnya. Cadangan makanan tanaman ini disimpan didalam umbi. Kulit umbi wortel tipis dan jika dimakan mentah terasa renyah dan agak manis (Makmun 2007). Kantong minyak dalam ruang antarsel perisikel pada umbi wortel mengandung minyak esensial yang menyebabkan aroma yang khas dari wortel dan akar tunggangnya menyimpan gula dalam jumlah yang cukup banyak. Gula- gula yang terdapat pada wortel umumnya terdiri dari sukrosa, glukosa, fruktosa

Upload: hathien

Post on 06-Mar-2019

246 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Wortel (Daucus carota. L)

Tanaman wortel bukan berasal dari negara Indonesia, namun wortel

berasal dari daerah beriklim sedang (subtropis). Sekitar 6.500 tahun yang lalu,

tanaman ini ditemukan tumbuh secara liar di kawasan kepulauan Asia Tengah

yaitu Punjab, Afganistan, Tajikistan, dan bagian barat Tiam San, selain itu juga

ditemukan di kawasan Timur Dekat seperti Asia Kecil, Dataran Tinggi

Turkmenistan, Transcaucasia dan Iran (Bambang, 2002).

Tanaman wortel dibudidayakan di sekitar Laut Tengah dan menyebar

luas ke kawasan Eropa, Afrika, Amerika, dan akhirnya ke berbagai Negara.

Budidaya wortel di Asia Tenggara dirintis oleh negara Taiwan kemudian

tersebar ke beberapa Negara-negara yang beriklim panas (tropis) salah satunya

Indonesia. Budidaya wortel di Indonesia mulanya terpusat di daerah Lembang

dan Cipanas (Jawa Barat), namun dalam perkembangannya menyebar luas

hingga ke daerah sentra sayuran di Jawa dan luar Jawa (Rukman, 1995).

Wortel merupakan jenis sayuran umbi yang biasanya berwarna kuning

kemerahan atau jingga kekuningan dengan tekstur serupa kayu. Bagian yang

dapat dimakan dari wortel adalah bagian umbi atau akarnya. Cadangan makanan

tanaman ini disimpan didalam umbi. Kulit umbi wortel tipis dan jika dimakan

mentah terasa renyah dan agak manis (Makmun 2007).

Kantong minyak dalam ruang antarsel perisikel pada umbi wortel

mengandung minyak esensial yang menyebabkan aroma yang khas dari wortel

dan akar tunggangnya menyimpan gula dalam jumlah yang cukup banyak. Gula-

gula yang terdapat pada wortel umumnya terdiri dari sukrosa, glukosa, fruktosa

9

dan maltosa. Kandungan gula dan asam amino pada wortel tergantung dari jenis

varietas wortel, lingkungan, pertanian, dan penyimpanannya (Rubatzky dan

Yamaguchi 1997).

Tanaman wortel akan tumbuh baik pada daerah yang mempunyai suhu

berkisar antara 16°C – 21°C. Wortel dapat tumbuh dengan optimal pada tanah

yang mempunyai struktur remah, gembur dan kaya akan humus dengan pH

berkisar antara 5,5 – 6,5 (Hukum, dkk., 1990). Berikut adalah penampakan fisik

wortel penelitian diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Wortel (Daucus carota L.)

Menurut Berlian dan Hartuti (2003) tanaman wortel dalam tata nama atau

sistematika (Taksonomi) tumbuh-tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisi : Angiospermae (biji terdapat dalam buah)

Kelas : Dycotyledonae (biji berkeping dua atau biji belah)

Ordo : Umbelliferales

10

Famili : Umbelliferae / Apiaceae / Ammiaceae

Genus : Daucus

Species : Daucus carota L.

2.1.1 Komposisi Gizi Wortel

Wortel merupakan sayuran yang memiliki banyak kandungan gizi yang

bermanfaat untuk tubuh manusia, terutama untuk kalangan anak-anak. Anak –

anak pada usia dini memerlukan asupan gizi yang cukup baik untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Wortel memiliki kandungan gizi yang

banyak diperlukan oleh tubuh terutama sebagai sumber vitamin A. Umbi wortel

banyak mengandung vitamin A yang disebabkan oleh tingginya kandungan

karoten yakni suatu senyawa kimia pembentuk vitamin A. Komposisi zat gizi

wortel selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Wortel per 100 gram Berat Basah

Komposisi Zat Gizi Satuan Jumlah

Energi Kal 41

Protein g 0,93

Lemak g 0,24

Karbohidrat g 9,58

Serat g 2,8

Gula total g 4,74

Air Mg 88,29

Kalsium Mg 33

Fosfor Mg 35

Kalium Mg 320

Natrium Mg 69

Vitamin IU 16706

Vitamin C Mg 5,9

Vitamin K Μg 13,2

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1996.

Wortel memiliki peranan penting bagi tubuh, karena wortel memiliki

kandungan α dan ß-karoten. Kedua jenis karoten ini penting dalam gizi manusia

11

sebagai pro-vitamin A. Senyawa ß-karoten dalam tubuh diubah menjadi vitamin

A yang berperan dalam menjaga pertahanan dan kekebalan tubuh, menjaga

kesehatan kulit, paru-paru, dan membantu pertumbuhan sel-sel baru. Wortel

merupakan sumber makanan detoksifikasi yang mempunyai kemampuan untuk

mengatur ketidakseimbangan dalam tubuh.

Menurut Datt, dkk., (2012) wortel memiliki senyawa bioaktif seperti

karotenoid dan serat yang cukup untuk meningkatkan kesehatan secara

signifikan. Wortel segar mengandung air, protein, karbohidrat, lemak, serat, abu,

nutrisi anti kanker, pektin, mineral (kalsium, fosfor, besi, dan natrium), vitamin

(βetakaroten, B1 dan C) serta asparagin. Vitamin C, vitamin B, dan mineral

terutama kalsium, dan fosfor yang terkandung dalam wortel merupakan sumber

gizi yang baik untuk pertumbuhan (Rubatzky and Yamaguchi, 1997).

Menurut Winarno (2008), semakin tua warna sayuran tersebut, maka

semakin banyak kandungan β-karotennya. β-karoten merupakan anti oksidan

yang menjaga kesehatan dan menghambat proses penuaan. Jika tubuh

memerlukan vitamin A, maka betakaroten di hati akan diubah menjadi vitamin

A (Octaviani, dkk. 2014). Fungsi vitamin A dapat mencegah buta senja,

mempercepat penyembuhan luka dan mempersingkat lamanya sakit campak.

Selain dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan pengobatan, umbi wortel juga

dapat digunakan untuk keperluan kosmetik, yakni untuk merawat kecantikan

wajah dan kulit, menyuburkan rambut dan lain-lain. Karoten dalam umbi wortel

bermanfaat untuk menjaga kelembaban kulit dan memperlambat timbulnya

kerutan pada wajah. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa dengan

mengkonsumsi wortel yang dikukus sebentar akan memperbesar penyerapan β-

karoten (Kumalaningsih, 2006).

12

2.2 Kelinci Lokal

Bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis

kelinci yang tidak terdata, tetapi sebagian besar berasal dari persilangan jenis New

Zealand White. Kelinci lokal yang berada di Indonesia mempunyai tubuh yang

lebih kecil daripada kelinci impor dan memiliki laju pertumbuhan yang lambat

sehingga sering dilakukan persilangan bangsa kelinci lokal dengan bangsa lain

untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit dan mempunyai toleransi

terhadap panas serta berbadan besar (Farrel dan Raharjo, 1984).

Herman (2000) menyatakan bahwa kelinci lokal lebih toleran terhadap

panas (suhu tinggi) dibandingkan kelinci impor. Hal ini disebabkan telah

beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas

dibandingkan kelinci impor yang berasal dari daerah yang beriklim sedang.

Kelinci lokal diternakkan dengan tujuan sebagai penghasil daging yang memiliki

kualitas cukup baik.

Kelinci merupakan salah satu ternak yang mempunyai potensi besar

untuk dikembangbiakan sebagai penyedia daging. Pengembangan ternak kelinci

sebagai penyedia daging sampai saat ini masih memenuhi banyak kendala

karena daging dari ternak ini belum populer dan diterima oleh sebagian

masyarakat sehingga sulit dalam pemasarannya. Kesulitan pemasaran lebih

banyak disebabkan oleh faktor kebiasaan makan dan efek psikologis yang

menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak

layak untuk dikonsumsi dagingnya (Kusmajadi, 2004).

Salah satu jenis kelinci yang berpotensi besar untuk dikembangkan

menjadi kelinci pedaging yaitu jenis New Zealand. Ada beberapa jenis New

Zealand, yakni New Zealand White, Red, dan Black. New Zealand White paling

13

banyak diternak karena terkenal sebagai penghasil daging yang baik. Hal itu

karena pertumbuhannya relatif cepat. Pada umur 58 hari bobotnya dapat

mencapai 1,8 kg dan pada saat dewasa dapat mencapai 3,6 kg (Mansyur, 2009).

Kelinci mempunyai potensi biologis yang tinggi, yaitu kemampuan

reproduksi yang tinggi, cepat berkembang biak, interval kelahiran yang pendek,

prolifikasi yang sangat tinggi, mudah pemeliharan dan tidak membutuhkan lahan

yang luas (Templeton, 1968). Keuntungan lainnya yaitu pertumbuhan yang

cepat, sehingga cocok untuk diternakkan sebagai penghasil daging komersial.

Kelinci penghasil daging memiliki bobot badan yang besar dan tumbuh dengan

cepat, seperti Flemish Giant, Chinchilla, New Zealand White, English Spot dan

lainnnya (Raharjo, 2004). Bangsa kelinci lainnya adalah penghasil wool yaitu

Angora dan sebagai penghasil kulit/bulu yaitu Rex (Gillespie, 1992).

Daging kelinci mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi dan

mudah dicerna serta berkadar lemak rendah. Kelebihan ternak kelinci dalam hal

produksi daging terletak pada warna dan seratnya yang menyerupai daging

ayam. Kelinci memiliki kemampuan yang cepat dalam berkembang biak serta

mudah dalam pemeliharaan. Berat karkas kelinci sekitar 50% sampai 60% bobot

hidup (Sarwono, 2005).

Menurut sistem binomial, bangsa kelinci lokal diklasifikasikan sebagai

berikut Kartadisastra (2011):

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Lagomorpha

14

Familia : Leporidae

Sub-Familia : Leporine

Genus : Lepus

Species : Lepus nigricollis

2.3. Daging Kelinci

Daging kelinci mempunyai serat yang halus dan warna sedikit pucat,

sehingga daging kelinci dapat dikelompokkan ke dalam golongan daging

berwarna putih seperti halnya ayam (Kusmajadi, 2004). Daging kelinci dan

daging ayam hampir memiliki kesamaan warna yaitu putih pucat, hal ini

disebabkan oleh rendahnya kandungan mioglobin (Lawrie, 2003). Menurut

Juarini, dkk., (2004), daging kelinci dilihat dari segi rasa dan warna sulit

dibedakan dari daging ayam sehingga merupakan peluang bagi daging kelinci

mengisi sebagian daging ayam. Karkas kelinci penelitian diperlihatkan pada

Gambar 2.

Gambar 2. Karkas kelinci

15

Banyak keunggulan yang diperoleh dari mengkonsumsi daging kelinci yaitu

kadar kolesterol daging kelinci hanya 50 mg/kg, sedangkan domba 320 mg/kg dan

kadar proteinnya berturut-turut adalah 20,8 % dan 13,7 % (Farrel dan Rahardjo,

1984), sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai daging sehat. Daging

kelinci dapat dipromosikan sebagai daging yang berwawasan lingkungan, karena

diproduksi dengan pakan yang tidak berkompetitif dengan manusia, dan dapat

disebut juga sebagai daging alami, karena kelinci dapat tumbuh dengan baik tanpa

feed additif non nutritive seperti antibiotik dan hormon, hanya membutuhkan pakan

yang sesuai dengan kebutuhannya (Kusmajadi, 2004).

2.4 Naget

Naget dibuat dari daging giling yang diberi bumbu, dicampur bahan

pengikat, kemudian dicetak dengan bentuk tertentu, dikukus, dipotong dan dilumuri

perekat tepung (batter) dan diselimuti tepung roti (breading). Naget digoreng

setengah matang dan dibekukan untuk mempertahankan mutunya selama

penyimpanan (Astawan, 2007). Naget merupakan salah satu bentuk produk

makanan beku siap saji, yaitu produk yang telah mengalami pemanasan sampai

setengah matang (precooked), kemudian dibekukan (Afrisanti, 2010). Produk beku

siap saji ini hanya memerlukan waktu penggorengan selama 1 menit pada suhu

150ºC. Tekstur naget tergantung dari bahan asalnya (Astawan, 2007).

Persyaratan naget yaitu memiliki kandungan karbohidrat maksimal 25%,

lemak 20%, protein minimal 12%, dan air maksimal 60% (Standar Nasional

Indonesia, 2002). Oleh karena itu diharapkan pembuatan naget kelinci dengan

penambahan wortel dapat dterima dan memenuhi persyaratan Standar Nasional

Indonesia sehingga menambah keanekaragaman pangan di Indonesia.

16

Naget berupa restructured meat dengan bentuk bervariasi yang merupakan

bentuk diverifikasi dari produk daging dengan nilai nutrisi masih baik. Tujuan

diverifikasi ini adalah meningkatkan pola ragam konsumsi protein hewani guna

memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani asal ternak (Standar Nasional

Indonesia, 2002).

Pembuatan naget dengan menggunakan daging ayam diharapkan memiliki

tekstur yang empuk dibanding dengan naget lain karena serat-serat daging ayam

yang lebih kecil. Proses pembuatan naget ditambahkan bahan pengisi yang

fungsinya dapat meningkatkan daya ikat, meningkatkan flavour, mengurangi

pengerutan selama pemasakan, meningkatkan karakter fisik dan kimiawi serta

sensori dan mengurangi biaya formulasi (Adelita, 2010).

Semakin maju pengolahan teknologi pangan diharapkan tidak hanya naget

ayam, ikan, daging sapi dan lain-lain. Salah satu alternatif lain yang dapat dijadikan

sebagai bahan utama pembuatan naget adalah daging kelinci. Naget kelinci juga

mempunyai peluang sebagai sumber protein hewani masyarakat. Naget baik untuk

dijadikan sumber protein yang mendukung proses tumbuh kembang anak-anak

balita. Naget merupakan bahan pangan sumber niasin (vitamin B3) sebesar 68%,

vitamin B6 (34%), asam pantotenat (16%) dan riboflavin (vitamin B2) sebesar

(16%). Selain itu juga merupakan sumber mineral selenium, fosfor dan zinc (Rizki,

2013). Di samping itu naget sangat kaya akan asam amino lisin, yaitu suatu asam

amino esensial yang kadarnya sangat rendah pada bahan pangan produk, seperti

beras, jagung, ubi, sagu dan lain-lain.

Naget mempunyai kemampuan mengikat partikel daging dan bahan-bahan

lain yang ditambahkan untuk mencapai daya ikat yang diinginkan. Proses

pembuatannya perlu dipergunakan teknik yaitu perlakuan menggunakan mesin

17

yang dapat memotong dengan sangat tipis dan menyusun kembali serabut-serabut

otot atau dengan penambahan "binding agent” (Raharjo, 1996).

2.5 Bumbu- bumbu

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan naget, yaitu bawang

putih, merica, garam dapur, dan pala bubuk Bumbu-bumbu yang digunakan

biasanya sebagai pemberi rasa dan aroma. Penambahan bumbu-bumbu pada

industri pengolahan pangan bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dari produk

yang dihasilkan juga sebagai pengawet alami (Buckle, dkk., 1985).

Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan

digunakan sebagai penegas cita rasa, selain sebagai pengawet. Penggunaan

garam dianjurkan tidak telalu banyak karena akan menyebabkan penggumpalan

dan rasa produk terlalu asin. Biasanya garam di tambahkan pada produk berkisar

antara 2-3% dari berat bahan yang digunakan (Winarno, 1996)

Menurut (Rismunandar, 1993), penambahan bawang putih berfungsi

sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan cita rasa produk yang

dihasilkan, sedangkan merica digunakan sebagai penyedap makanan. Merica

sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasa yang pedas dan

aroma yang khas.

2.6 Sifat Fisik

2.6.1. Daya Ikat Air

Daya ikat air atau Water Holding Capacity (WHC) adalah kemampuan

daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh

kekuatan dari luar, seperti pemanasan, penggilingan, dan pengolahan. Daging

dengan daya ikat air rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang,

18

sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar (Soeparno,

2009).

Daya ikat air menurun seiring dengan menurunnya pH, hal ini

disebabkan karena protein rusak dalam suasana asam. Selain faktor pH, daya

ikat air dipengaruhi oleh spesies, umur, fungsi otot, pakan (feed additive),

temperatur, kelembaban, jenis kelamin, kesehatan dan perlakuan sebelum

pemotongan (Soeparno, 1994).

Daya ikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh

langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur,

juiceness, serta pengerutan daging. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya ikat

air adalah pemanasan, pH daging dan jumlah penggunaan bahan pengisi

(Soeparno, 2009). Kemampuan daging mengikat air disebabkan oleh protein

otot, sekitar 34% dari protein larut air. Kemampuan otot mengikat air terutama

disebabkan oleh aktomiosin, komponen utama miofibril sehingga apabila tidak

terjadi denaturasi protein, maka kemampuan daging untuk mengikat air dapat

dipertahankan nilainya (Prinyawiwitkul, dkk., 1997).

2.6.2. Susut Masak

Susut masak adalah berat daging yang hilang (penyusutan berat) selama

pemasakan. Susut masak dipengaruhi oleh suhu dan lama pemasakan. Jangka

waktu pemanasan bervariasi dari 30 menit sampai 24 jam, tergantung jenis

perlakuan. Suhu 80o C adalah suhu pemasakan ideal dan popular untuk pengujian

kualitas daging. Pada umumnya, semakin tinggi temperature 60-90oC

pemasakan akan menyebabkan kerusakan jaringan epimisium, perimisium, dan

endomesium sehingga miofibril menyusut akibatnya akan menstimulasi

keluarnya cairan daging dan jaringan daging akan menyusut sekitar 30%

19

(Lawrie, 2003), sehingga semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai

mencapai berat yang konstan (Soeparno, 2009). Besar susut masak dipengaruhi

oleh banyaknya membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging,

degradasi protein dan kemampuan daging untuk mengikat air (Lawrie, 2003).

Susut masak juga dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot,

panjang potongan serabut otot, ukuran, barat sampel daging dan penampang

lintang daging (Lawrie, 2003). Pada umumnya susut masak bervariasi anrata

1,5-54,5% dengan kisaran 15-40%. Suhu dan lama pemasakan dapat

menyebabkan susut masak yang relatif besar. Daging dengan susut masak yang

lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada aging dengan

susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan

lebih sedikit (Soeparno, 2009).

2.6.3 Keempukan

Keempukan/kelembutan dipengaruhi oleh struktur otot seperti protein

myofibrillar, jaringan ikat dan proses pemasakan (Bouton, dkk., 1971).

Selanjutnya dikarenakan bahwa peningkatan keempukan terjadi oleh lama

perebusan sehingga terjadi kerusakan dan perubahan struktur protein otot

terutama pada aktin dan myosin yang menyebabkan penurunan kemampuan

protein otot karena mempunyai sifat hidrifilik yaitu mengikat molekul air

sehingga meningkatkan keempukan pada daging.

Struktur otot ditentukan oleh gabungan protein myofibrillar dan jaringan

ikat protein, sedangkan tekstur daging masak di tentukan oleh respon dari

pemasakan tetapi juga oleh sarkoplasmik protein dan lemak. Keempukan daging

biasanya diukur dalam hal ketahanan antar serat, penentuan ini berhubungan

baik dengan rasa organoleptik (Bouton dkk., 1971).

20

Keempukan daging merupakan faktor penting daging sebagai bahan pangan

disamping faktor cita rasa dan aroma (Tien R. Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

Sifat kenyal adalah sifat fisik produk dalam hal daya tahan untuk pecah akibat

gaya tekan. Perbedaannya adalah sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau

produk pangan yang tidak deformasi, sedangkan sifat kenyal adalah sifat reologi

pada produk pangan plastis yang bersifat deformasi (Soekarto, 1990).

Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging, yaitu struktur

miofibrilar, dan status konrtaksinya, kandungan jaringan ikat dan tangkat ikatan

silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging. Pemasakan

dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan, tegantung dari waktu dan

suhu yang digunakan (Soeparno, 2009).

Pengujian keempukan dan kealotan daging dengan metode subjektif

dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan uji panel cita rasa yang

disebut panel teste. Pengujian keeempukan secara objektif dapat dilakukan

secara mekanik dengan menggunakan alat penetrometer (Tien, 1992). Kesan

keempukan secara keseluruhan meliputi tekstur dan melibatkan tiga aspek yaitu

kemudahan awal penetrasi gigi, mudahnya daging dikunyah, dan jumlah residu

yang tertinggal setelah pengunyahan. (Soeparno, 2009).

2.7 Uji Akseptabilitas

Akseptabilitas merupakan faktor gabungan atau perpaduan antara

penglihatan, penciuman, dan pengecapan. Faktor-faktor yang berhubungan

dengan akseptabilitas antara lain penampilan, keempukan, rasa, dan aroma (Dwi

Setyaningsih, dkk., 2010).

21

Menurut Soewarno (1985), pelaksanaan uji sensoris atau akseptabilitas

membutuhkan panel yang bertindak sebagai instrument atau alat. Alat ini terdiri

dari orang atau kelompok, orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

Ada 6 macam panel yang biasa digunakan dalam penilaian akseptabilitas, yaitu

sebagai berikut:

1. Panel pencicip perorangan (individual expert), disebut juga pencicip tradisional.

Pencicip perorangan ini mempunyai kepekaan yang sangat tinggi, jauh melebihi

kepekaan rata-rata manusia. Keistimewaan seorang pencicip ini adalah dalam

waktu singkat dapat menilai suatu hasil dengan tepat bahkan dapat menilai

pengaruh dari macam-macam perlakuan, misalnya bahan asal, atau macam-

macam cara pengolahan. Hanya dengan pencicipan atau pembauan, pencicip ini

dapat segera mengenal adanya penyimpangan rasa dari suatu makanan dan dapat

segera membuat koreksi yang diperlukan.

2. Panel pencicip terbatas (small expert panel), penggunaan panel pencicip terbatas

dapat sangat mengurangi faktor bias dalam menilai rasa suatu komoditi. Panel

pencicip terbatas dapat bertindak misalnya sebagai alat analisis dalam pemilihan

faktor-faktor tertentu tentang rasa serta dalam menentukan pengaruh bahan dan

pengaruh cara pengolahan terhadap hasil akhir. Panel terbatas terdiri atas 3-5

orang yang mempunyai kepekaan tinggi.

3. Panel terlatih (trained panel), anggota panel terlatih lebih besar daripada panel

pencicip terbatas, yaitu antara 15-25 orang. Panel terlatih berfungsi sebagai alat

analisis dan pengujian yang dilakukan terbatas pada kemampuan membedakan

produk.

22

4. Panel tak terlatih (untrained panel), panel tak terlatih umumnya untuk menguji

kesukaan. Pemilihan anggota panel tak terlatih lebih mengutamakan segi sosial

seperti latar belakang pendidikan, asal daerah, atau kelas ekonomi dalam

masyarakat. Panel tak terlatih terdiri atas 25 orang.

5. Panel agak terlatih (semi-trained panel), termasuk dalam kategori panel agak

terlatih adalah sekelompok mahasiswa atau staf panelis. Panelis untuk panel

agak terlatih jumlahnya terletak diantara panelis terlatih dan panelis tidak

terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15-25 orang. Semakin kurang terlatih,

semakin besar jumlah panelis yang diperlukan.

6. Panel konsumen (consumer panel), panel ini biasanya mempunyai anggota yang

besar jumlahnya, dari 30-100 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji

kesukaan dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji dapat digunakan

untuk menentukan apakah suatu produk dapat diterima oleh masyarakat.