ihwal pengajaran sastra (ed: firman nugraha)

Upload: firman-nugraha

Post on 03-Jun-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    1/111

    1

    FIRMAN NUGRAHA

    IHWALPENGAJARAN

    SASTRA

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    2/111

    2

    IHWALPENGAJARAN

    SASTRA

    Penyusun: Firman Nugraha

    [

    Bandung, 2008

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    3/111

    3

    Ihwal Pengajaran Sastra 2008 oleh Firman Nugraha

    Cetakan I, Maret 2008Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

    All right reserved

    Pertama kali diterbitkan oleh Titik Kulminasi Jl. Negla Tengah No.11 Bandung 40154E-mail: [email protected]

    Penyelia Akhir:Hasan Fanmian

    Tata Letak:Egra Fikta H.

    Gambar Sampul:85118_digital_creation by ANOnim

    Bandung: Titik Kulminasi, 2008

    110 hlm.; 14.8 cm x 21 cmISBN: 978-979-16005-0-X

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    4/111

    4

    PengantarKETIKA PENGAJARAN SASTRA

    DIPERBINCANGKAN

    ebentuk peluh, adalah sebuah dilema yang tak pernahselesai jika kita membicarakan perihal pengajaran,terlebih pengajaran sastra. Beribu nafas mencatatkan

    berjuta dedah, cita-cita dan harapan agar pengajaran sastrabisa menjadi sesuatu yang benar-benar tak hanyadipertimbangkan tapi juga diejawantahkan keberadaannyasecara ideal di wilayah formal.

    Selama ini, pengajaran sastra di Indonesia masihmenjadi suatu permasalahan yang dilematis. Bukan tanpasebab: kebanyakan dari kita menganggap jika puisi dan prosa untuk membilang genre sastra sebagai mahkluk alienus,sedang kita tahu bahwa sastra adalah implementasi konkretbahasa yang sejatinya merupakan bahan bakunya.

    Tidak hanya itu. Keterasingan tersebut ternyata jugadimunculkan dari adanya gap dimana pengajaran sastra yangselama ini diajarkan di dalam kelas tak jauh dari sekadar

    hafalan, baik menyoroti karya maupun pengarangnya sebuahmetode yang teramat konvensional selain sebagai akibatkurangnya kapabilitas pengajar dalam menghantarkan sastradalam wilayah pembelajaran.

    Selama lebih dari setengah abad penyakit inimendekam di muara pendidikan kita yang mau tidak mautentunya harus diobati. Sastra harus diusung ke hadapanpublik. Ketertarikan padanya mesti dipupuk sejak dini agar

    S

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    5/111

    5

    sastra dapat menjadi sebuah entitas yang secara globalmembentuk karakter bangsa melalui pribadi yang memilikinilai-nilai universal yang humanis.

    Buku yang Anda pegang ini adalah suatu bentuk usahayang dimaksudkan untuk mengubah keadaan yang sudahsangat akut dalam memandang fenomena ihwal pengajaransastra. Di dalamnya ada perasaan nyinyir, miris, bahkanharapan agar sastra dan pengajarannya bisa dengan terbukamendapatkan tempat di hati setiap insan.

    Ada tiga belas esei yang sengaja penyusun pilih untuk

    memperbincangkan isu utama buku ini. Kesemuanya itudimaksudkan sebagai refleksi dalam itikad yang baik denganharapan, semoga pengajaran sastra di negeri ini menemukanjalannya ke arah kondisi yang lebih baik lagi dari hari ke hari.Selamat membaca!

    Penyusun

    Firman Nugraha

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    6/111

    6

    DAFTAR ISI

    PengantarKetika Pengajaran Sastra Diperbincangkan ......................... 4Daftar Isi ................................................................................. 6

    Horison dan Gerakan Sastra di SekolahOleh Ken Zuraida ............................................................ 8

    Mereka Kian Percaya DiriOleh Ken Zuraida ............................................................ 17

    Pelajaran Sastra di Sekolah Terpaku Pada Teori Artikel Kompas ............................................................... 23

    Pelajaran Sastra Semu: Selalu Tertinggal dari RealitasOleh Iam/Ken Zuraida .................................................. 25

    CDA Sebagai Model Pembelajaran Sastra

    Oleh Dharmojo ................................................................ 28 Memisahkan Pengajaran Sastra dari BahasaOleh Aris Kurniawan ..................................................... 44

    Pentingnya Pelajaran Sastra (Puisi) Untuk AnakOleh Herry Nurdi ............................................................ 51

    Memisah Pengajaran Sastra dari Bahasa

    Oleh Ahmadun Yosi Herfanda ...................................... 56 Kondisi Pembelajaran Apresiasi Sastra Indonesia

    Dengan Kurikulum 1994 di SLTPN Kota PadangOleh Ermanto ................................................................... 63

    Pemuda dan SastraOleh Ridwan Pinat .......................................................... 85

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    7/111

    7

    Sastra Koran Alternatif Bahan Pengajaran SastraOleh Arif Ardiansyah ...................................................... 91

    Analisis Kritis Pengajaran Sastra di Jurusan Bahasa

    AsingOleh Firman Nugraha ..................................................... 96 Pengajaran Sastra Tumbuhkan Kreativitas Siswa

    Oleh Novan (Galamedia) ............................................... 108

    Tentang Penyusun ............................................................... 110

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    8/111

    8

    "HORISON" DAN GERAKAN SASTRADI SEKOLAH

    Oleh: Ken Zuraida

    ada mulanya adalah sederet keluhan, lalu dijawabdengan sebuah tantangan. Tidak tanggung-tanggung,

    tantangan itu datang dari seorang menteri, yangnotabene adalah penanggung jawab persoalan yang dikeluhkan. Adalah sastrawan Taufiq Ismail yang mengusung

    segerobak masalah berkaitan dengan kegiatan bimbinganmengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Dalam berbagaiforum yang dia hadiri, Taufiq memang selalu melontarkan isumengenai betapa kian merosotnya kegiatan mengarang danapresiasi sastra di Tanah Air selama kurun 50 tahun terakhir.Berkali-kali, berulang-ulang! Apalagi sebelumnya diamendapat berita yang diakuinya tidak sedap dicerna: bahwasebagai bangsa kita kabarnya termasuk bangsa yang rabunmembaca dan pincang mengarang. Belakangan bahkanterbetik pula berita yang lebih tidak enak, yaitu konstatasi

    bahwa kita sebagai bangsa malah sudah buta membaca danlumpuh mengarang.Berangkat dari rasa "tersinggung" karena dicap sebagai

    bangsa yang rabun dan pincang-malah disindir sudah butadan lumpuh-dalam dunia baca-tulis, Taufiq tentu saja geram.Sudah separah itukah? "Saya sangsi pada berita kedua tadi,tapi agak percaya pada berita pertama yang menyebutkan

    P

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    9/111

    9

    bahwa kita sudah menjadi bangsa yang rabun membaca danpincang mengarang," kata Taufiq Ismail.

    Lalu, bersama rekan-rekan sekerjanya di majalah sastra

    Horison, Taufiq mendiskusikan masalah ini gunamenemukan akar persoalan yang sesungguhnya. Forum urunrembuk pun digelar. Hasilnya, sebagaimana ia sampaikandalam berbagai kesempatan ketika tampil sebagai pembicaradi berbagai diskusi atau berceramah tentang sastra Indonesia,terhimpun sekitar 35 butir masalah yang diduga sebagaipenyebab mengapa bangsa ini menjadi rabun dan pincangdalam hal baca-tulis. Setelah dikompilasi, di antara sederetpanjang butir-butir masalah itu diperkirakan penyebab utamadari itu semua adalah merosotnya kegiatan wajib buku sastra,bimbingan mengarang, dan pengajaran sastra di sekolah.

    Keluhan bahwa pengajaran sastra kurang mendapattempat-karena digusur oleh pengajaran bahasa; lebih spesifik

    lagi pengajaran tata bahasa-dalam sistem persekolahan kitasudah menjadi masalah klasik. Dengan begitu, kewajibanpeserta didik membaca buku-buku sastra pun ikutterpinggirkan. Sementara pengajaran bahasa yang terlaluberkutat pada soal ketatabahasaan dirasakan sudah kehilanganfungsinya sebagai sarana untuk melatih siswa mengekspresi-kan diri lewat bahasa tulis.

    Kalaupun pengajaran sastra (Indonesia) yang dicantel-kan dalam mata pelajaran berlabel Bahasa dan Sastra itudilaksanakan, strategi pengajarannya pun tak jauh berbedaketika guru-guru mentransfer pengetahuan tentang bahasadan bukan keterampilan berbahasa. Sudah bukan rahasia lagibila yang diajarkan adalah definisi-definisi dalam ilmu sastra,

    tahun kelahiran pengarang, nama-nama tokoh dalam suatukarya, atau paling banter sinopsis isi cerita.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    10/111

    10

    "Padahal, fungsi guru bahasa dan sastra yang palingutama adalah bagaimana membuat siswa asyik membaca, lalumembicarakan karya sastra itu bersama-sama. Tentu saja,

    pertama-tama, anak harus berkenalan langsung dengan karyasastra secara utuh dan bukan cuma membaca sinopsisceritanya," kata Taufiq mengingatkan.

    Begitulah ketika Taufiq Ismail mengeluhkan masalahini kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud)saat itu, Wardiman Djojonegoro, dia malah dimintamembuktikannya dengan angka-angka. Tentu saja Taufiqsempat terperangah. Jujur diakuinya, ketika masalah itudisampaikan kepada Wardiman pada satu senja menjelangacara berbuka puasa di ruang kerja sang menteri; setelah pagiharinya Wardiman dilantik sebagai Mendikbud oleh Presiden(kala itu) Soeharto dia tidak memiliki data kuantitatifsebagai pendukung.

    Benarkah pengajaran sastra di Indonesia, terutama disekolah menengah umum (SMU), sejak 50 tahun terakhirmemang jauh merosot dibandingkan dengan pada masakolonial? Lebih spesifik lagi: benarkah selama ini pengajaransastra di sekolah lebih terfokus pada penyampaianpengetahuan tentang sastra dan bukan berkaitan denganapresiasi terhadap karya-karya sastra? Benarkan siswa-siswakita tidak lagi membaca buku-buku sastra? Benarkah fungsiguru bahasa dan sastra dalam kegiatan karang-mengaranguntuk melatih nalar dan ekspresi estetika anak didiknya tidakberjalan sebagaimana seharusnya? Kalau memang kenyataan-nya begitu, apakah secara kuantitatif bisa dibuktikan?

    Tantangan inilah yang direspons Taufiq Ismail dengan

    melakukan semacam survei sederhana, yakni denganmewawancarai tamatan SMU dari 13 negara. Jangan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    11/111

    11

    membayangkan model pembuktiannya sama seperti kalanganakademikus melakukan penelitian yang kompleks dan rumitdengan metode yang secara ilmiah bisa dipertanggung-

    jawabkan. Apa yang dilakukan Taufiq hanya semacamsnapshot , potret sesaat, untuk menangkap gejala yang munculke permukaan.

    Pertanyaan diarahkan pada persoalan seputarkewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, danpengajaran sastra di SMU tempat mereka belajar. Hasilnya?

    Jika siswa SMU di Amerika Serikat menghabiskan 32 judulbuku selama tiga tahun, sementara di Jepang dan Swiss 15buku, serta siswa SMU di negara tetangga seperti Singapura,Malaysia, Thailand dan Brunei Darussalam menamatkanmembaca 5-7 judul buku sastra, siswa SMU di Indonesia-setelah era AMS Hindia Belanda-adalah nol buku. Padahal,pada era Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda,

    selama belajar di sana siswa diwajibkan membaca 15-25 judulbuku sastra.Mengejutkan? Memang! Angka nol buku ini diperoleh

    apabila buku sastra tidak secara spesifik disebut di kurikulum,siswa hanya membaca ringkasannya dan siswa tidak menulismengenai buku tersebut, juga tidak ada di perpustakaansekolah, serta tidak diujikan di sekolah bersangkutan.

    "Oleh karena itu, kalau ada pertanyaan: Adakah kinibuku sastra dibaca sampai habis dan dianalisis, laludibicarakan di kelas? Jawabnya: Ttidak ada. Nol buku!Kalaupun ada kekecualian pada beberapa SMU, itumerupakan suatu kekecualian yang luar biasa langka," kata

    Taufiq.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    12/111

    12

    Bagi Taufiq Ismail, hasil snapshot ini semakinmemperteguh asumsi selama ini bahwa pengajaran sastra danbimbingan mengarang di sekolah-sekolah kita kian

    memprihatinkan. Dihadapkan pada kenyataan ini, pekerjaanbesar pertama adalah bagaimana meyakinkan berbagai pihak-terutama para pengambil kebijakan bahwa usaha perbaikanharus dilakukan. Pemahaman bahwa kegiatan membaca danmengarang bagaikan dua saudara yang terpisahkan harusmulai ditanamkan. Bahwa, semakin siswa banyak membacamaka makin bagus karangannya. Dan, kegemaran membaca

    harus mulai dipupuk melalui buku-buku sastra, yang padagilirannya akan melebar ke jenis bacaan lain. Begitu punbimbingan mengarang (baca: menulis) bisa dimulai di kelasbahasa, lalu diperluas ke kelas dan bidang lain.

    (Membaca alfabet itu/bagaikan berkecimpung dikolam yang kecil ukurannya/sedangkan membaca buku ibarat

    berenang di lautan ilmu/yang sangat luasnya/...//Menulisalfabet adalah ibarat anak kecil main layang-layang/tapipandai mengarang/adalah ibarat pilot pesawat terbang/yangmampu melesat ke langit luas karena tangkasnya...//)

    Menghadapi kenyataan ini, persoalan berikutnya adalahbagaimana membuat semacam gerakan untuk mendekatkankarya sastra (kalau perlu juga pengarangnya) ke lingkungansekolah. Jika pintu sudah terbuka, dan pihak sekolahmenyambutnya dengan penuh antusias, tujuan-tujuan idealuntuk menjadikan sekolah sebagai basis gerakan sastra akanmenjadi lebih mudah diselipkan.

    Di bawah bendera Yayasan Indonesia dan majalahsastra Horison, Taufiq Ismail bersama penyair Hamid Jabbar,

    Agus R Sarjono, dan Jamal D Rahman lalu menyusunkonsep: Gerakan seperti apa yang memungkinkan digelar agar

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    13/111

    13

    budaya membaca buku, kemampuan mengarang, sertaapresiasi sastra di kalangan siswa bisa ditumbuhkan?

    Disadari sepenuhnya bahwa membaca karya sastra dan

    pelajaran mengarang hanya batu loncatan untukmenumbuhkan budaya baca dalam pengertian luas. Latihanmenulis lewat pelajaran mengarang juga bukan untukmenjadikan anak didik sebagai sastrawan, tetapi lebihdimaksudkan untuk melatih bagaimana siswa didikmengekspresikan diri lewat tulisan. Oleh karena itu, kelasharus dibuat menyenangkan, dan sastra harus dihadirkansebagai sesuatu yang mengasyikkan.

    Belajar tentang sastra tanpa membaca karya sastrasecara utuh adalah sebuah keniscayaan. Kebiasaan lama yanghanya mengajarkan pengetahuan tentang sastra harus diubah.Buku-buku yang disebut dalam kurikulum harus dihadirkan dikelas sehingga anak bisa menikmati karya sastra tidak

    sepotong-sepotong seperti selama ini ketika mereka hanyamengenal isi buku sastra lewat ringkasan atau sinopsisnya.Kelas sastra juga perlu dibuat sedemikian rupa menjadi

    semacam laboratorium mini pendidikan demokrasi, yaknidengan memberikan kebebasan kepada siswa untuk memberitafsir seluas-luasnya terhadap isi suatu karya sastra. Tidak ada

    tafsir tunggal dalam sastra. Karena itu, perbedaan pendapatdan belajar menghargai perbedaan itu harus dipupuk.Dengan kata lain, paradigma pengajaran sastra yang

    selama puluhan tahun memberi penekanan pada pengetahuantentang sastra harus dirombak. Tentu saja guru menjadi salahsatu pilar utama yang bisa diharapkan untuk membawaperubahan yang diinginkan tersebut. Sementara itu, kehadiranpihak luar lebih sebatas memberi dorongan dengan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    14/111

    14

    menciptakan ruang-ruang kreatif yang memungkinkan paraguru bisa mengaksesnya. Dalam konteks inilah pentingnyadibuat semacam program pelatihan bagi guru agar (kelak) ia

    mampu membimbing anak didiknya dalam menikmati karyasastra dan bimbingan mengarang."Karena itu, dalam serangkaian gerakan sastra yang

    akhirnya dilakukan oleh majalah Horison, program pelatihanbagi guru ini kami anggap sebagai titik berangkat untukmenyelamatkan bangsa ini dari kebutaan dan kelumpuhandalam dunia baca-tulis. Program pelatihan yang diberi labelMembaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS) ini menjadisemacam terapi jangka pendek untuk mengobati penyakitkronis tersebut," kata Taufiq, salah satu tokoh penandatangan Manifes Kebudayaan di era pergolakan tahun 1960-an.

    Didukung pembiayaan oleh Departemen PendidikanNasional (Depdiknas), sejak Februari 1999 hingga Oktober

    2002, program MMAS sudah berlangsung sebanyak 30angkatan. Materi pelatihan yang disusun Horison dandilaksanakan di pusat pendidikan dan pelatihan guru (PPPG)di 11 kota itu melibatkan sekitar 1.500 guru dari berbagaidaerah di Tanah Air, kecuali guru-guru dari daerah konflik(Aceh, Papua, dan Maluku).

    Para guru dilatih oleh tenaga yang kompeten dibidangnya selama 6-7 hari, terutama tentang bagaimanameningkatkan minat siswa membaca dan kemampuanmengarang. Dalam forum itu mereka juga berkesempatanberdiskusi langsung dengan sejumlah sastrawan seputarkarya-karya mereka.

    Interaksi langsung dengan sastrawan dan tenagapelatihan yang kompeten, sedikit banyak ternyata

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    15/111

    15

    membuahkan hasil. Sepulang dari mengikuti programpelatihan, para guru mulai membenahi metode dan strategipengajaran sastranya. Kelas bimbingan mengarang sudah

    dibuka. Dampaknya, seperti pengakuan sejumlah guru yangmemberikan masukan sehabis pelatihan, pelajaran mengarangkini mulai disukai peserta didik. Apalagi Depdiknas-melaluiDirektorat Pendidikan Dasar dan Menengah-secaraberangsur-angsur mengedrop buku-buku sastra ke sekolah-sekolah.

    "Masalahnya, program semacam ini hanya mampumenjangkau guru dalam jumlah terbatas. Sekarang kamisedang memikirkan bagaimana cara mengembangkan modelpelatihan MMAS yang dapat mempercepat coverage jumlahguru bahasa dan sastra secara keseluruhan," kata Taufiq.

    Program pelatihan MMAS adalah satu dari enamgerakan yang dirintis oleh Horison. Sebelumnya, lewat sisipan

    Kakilangit di majalah bulanan Horison, dibuka ruang khususuntuk siswa SMU dan sederajat. Sisipan Kakilangit berisikarya terpilih seorang sastrawan Indonesia terkemuka,ulasannya, proses kreatifnya, riwayat hidup, dan anekdottentang sang sastrawan. Tujuannya adalah untuk membantuguru mengajarkan sastra di kelas. Selain itu, Kakilangit jugamemuat puisi dan cerpen karya siswa, lalu diulas oleh salahsatu anggota redaksi Horison. Bagian ini selain dimaksudkanmendekatkan siswa dengan karya sastra, juga untukmerangsang dan melatih siswa dalam kegiatan karang-mengarang.

    Di luar itu, masih ada empat gerakan lain, mulai dariLomba Mengulas Karya Sastra (LMKS), bengkel kerja yang

    dinamakan Sanggar Sastra Siswa Indonesia (SSSI), Sastrawan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    16/111

    16

    Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM), hingga programSastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB).

    Serangkaian gerakan sastra Horison, yang

    menempatkan komunitas sekolah sebagai basis kegiatan itu,diakui oleh sang penggagasnya ibarat menanam bibit pohonjati. Tidak seperti menanam benih sayur-mayur yang hasilnyadapat dipanen dalam dua atau tiga bulan, menanam pohonjati butuh waktu panjang; bertahun-tahun.

    Apa pun istilahnya, kerja besar itu sudah dimulai. Bibit

    telah disemai dan ditanamkan. Akan tetapi, seperti kataChairil Anwar, "Kerja belum selesai. Belum apa-apa...."

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    17/111

    17

    MEREKA KIAN PERCAYA DIRI

    Oleh: Ken Zuraida

    smur, guru yang mengasuh mata pelajaranBahasa dan Sastra Indonesia di SMU Negeri 2Banjarmasin, Kalimantan Selatan, kini bisa

    bernapas lega. Begitu pun Atik Sri Rahayu dari SMUNegeri 10 Samarinda, Kalimantan Timur. Setelahmengikuti program pelatihan "Membaca, Menulis,dan Apresiasi Sastra" yang diselenggarakan olehmajalah sastra Horison, keduanya merasa kini jendelasastra terbuka lebar dan materinya terbentang luasbagai tanpa batas.

    Padahal, kedua guru ini tadinya mengaku kerapdihantui perasaan waswas, penuh keraguan, terhadapkemampuan mereka setiap kali akan masuk kelasuntuk mengasuh pelajaran sastra. Sastra dengan segala

    atributnya menjadi momok menakutkan. Keluhanbanyak pihak menyangkut minimnya alokasi waktuyang disediakan oleh kurikulum untuk pelajaran sastrabagi mereka justru sebaliknya.

    Namun, berbekal pemahaman baru-sepulangdari mengikuti pelatihan Membaca, Menulis, dan

    Apresiasi Sastra (MMAS) di Banjarmasin-terhadap

    I

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    18/111

    18

    sastra dan bagaimana seharusnya pelajaran sastradiberikan, keragu-raguan itu berangsur-angsur hilangdan kini pupus sudah. Dengan pendekatan danmetode yang menyenangkan, pelajaran sastra yangtadinya kering, tidak diminati siswa, dianggap sekadarpelengkap dari mata pelajaran Bahasa dan SastraIndonesia, ternyata bisa menjadi sangat menarik danmengasyikkan.

    "Kini saya merasa lebih berani, lebih percayadiri dalam mengajarkan materi sastra. Ini betul-betulsaya rasakan dan alami, bukan basa-basi karenasebelum mengikuti pelatihan MMAS kadang-kadang(perasaan) saya ragu atas kesahihan atau penguasaansaya terhadap materi sastra," kata Atik dalam satu

    suratnya yang dikirim ke redaksi Horison.Simak juga pengakuan Ismur. Katanya,

    "Sebelumnya aku merasa tidak mampu untukmemberikan pelajaran sastra. Aku lebih banyakmengalihkan materi ke tata bahasa. Pelajaran sastrayang kuberikan hanyalah bersifat teoretis. Praktiknyapaling-palig baca puisi dan mengartikan maksud puisiyang dibacakan tersebut, atau mengadakan lombabaca puisi antarkelas. Hanya itu yang dapat akulakukan."

    Rekan Ismur, Dra Hj Masdiana, dari SMU

    Negeri 7 Banjarmasin, juga tak kalah waswas ketika

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    19/111

    19

    akan memasuki kelas bahasa. Ia mengaku sering kalimengeluhkan, "Bahan apa lagi, ya, yang akan sayaberikan. Karena, seperti yang kita ketahui, untukjurusan bahasa di SMU ada 11 jam per minggu. Jadi,tidak mustahil bagi pengajar seperti saya ini akankekurangan bahan."

    Ismur, Atik, dan Masdiana hanyalah sedikit diantara guru bahasa dan sastra Indonesia yang

    menyandang beban serupa. Jangankan menghadirkansastra di kelas dalam suasana menyenangkan, untukmenentukan materi apa yang harus diajarkan punmereka kesulitan. Jangankan membimbing danmengembangkan imajinasi anak lewat tulisan, untukmemulainya pun terkadang mereka bingung harus

    masuk dari "pintu" yang mana. Alhasil, pengajaran sastra kembali terjebak pada

    penyampaian pengetahuan tentang sastra. Nama-nama pengarang dan karyanya, pengelompokanpengarang berdasarkan periodisasi kepengarangannya,atau definisi dan istilah-istilah yang dalam teori sastra.

    Terkadang ada juga penugasan mengarang, lengkapdengan bagan-bagan teoretis tentang komposisi danstruktur baku sebuah karangan. Semua itu dilakukansecara terstruktur, bahkan terkadang judul atau temakarangan pun sudah ditentukan sehingga peluanganak untuk mengembangkan imajinasinya menjaditerkungkung.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    20/111

    20

    Tidak aneh bila pelajaran sastra menjadi terasakering, tidak diminati, bahkan cenderung dijauhi.Beruntung bagi sekitar 1.500 guru bahasa dan sastraIndonesia yang sempat mengikuti program pelatihanMMAS. Kehadiran para tokoh yang kompeten dibidang penulisan dan sejumlah sastrawan dalam kelaspelatihan, dengan memperkenalkan metode danteknik yang bisa mencairkan suasana-sebutlah sepertibagaimana memancing anak membuat puisi dengancara sumbang saran kata-kata, atau membawa merekake suatu tempat dan anak diminta menuangkan apayang ia lihat dan rasakan itu dalam bentuk tulisan-menjadi obat penawar dari kemonotonan yangberlarut-larut.

    Kini, bagi mereka yang telah mengikuti programpelatihan MMAS, sejumlah hambatan itu sedikit demisedikit berhasil diatasi. Metode pengajaran sastramulai bervariasi. "Teknik-teknik yang diperkenalkandalam MMAS itu bersifat praktis dan bisa langsungditerapkan pada anak didik di kelas," kata Dra Luh

    Gede Ardhani, guru SMU Negeri 1 Amlapura, Bali.Lebih dari itu, diperoleh laporan bahwa anak

    didik pun mulai menyukai pelajaran sastra. Pengajaransastra lebih hidup dan menyenangkan. Siswa yangtadinya tidak tertarik membaca, menulis, dan hal-halyang berkaitan dengan apresiasi, begitu pengakuanDrs Andi Taris dari SMU Negeri 3 Takalar, kini

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    21/111

    21

    malah menagih agar selalu menyelipkan materipelajaran sastra setiap kali ia mengajar bahasaIndonesia.

    Dari Singaraja, Bali, Drs I Nyoman Yonta Yudi Ady juga mengungkapkan perasaan serupa. GuruSMU Negeri 5 Singaraja ini lalu melayangkan secarikkertas ke redaksi majalah sastra Horison di Jakarta.Dalam surat itu ia menulis, "Diklat MMAS di

    Lombok betul-betul membuat perasaan berubah. Sayatidak tahu apakah perasaan atau pikiran saya yangberubah, yang penting saya merasa bergairah danbersemangat menjadi guru. Percaya diri untuk tampildi kelas. Saya tidak tahu apakah perubahan itudiketahui oleh orang lain, oleh anak istri saya, oleh

    teman-teman sejawat saya di kantor? Mudah-mudahan tidak, supaya jangan dicurigai yang bukan-bukan."

    Itu semua bisa terwujud karena pelajaran sastradikemas dengan cara yang mengasyikkan, tidakmemberondong anak dengan pengetahuan yangbersifat hafalan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannyabukan tanpa kendala. Tantangan terbesar justrudatang dari sistem pendidikan kita yang lebihmengutamakan hasil dibandingkan proses.

    Kurikulum menjadi acuan utama, terutama bagi

    siswa kelas III, yang sebagian besar waktunya praktis

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    22/111

    22

    habis untuk apa yang disebut ujian akhir nasional danpersiapan masuk perguruan tinggi negeri. Kataseorang guru, "Fenomena ini tidak bisa diabaikan.

    Karena itu, kita harus berkorban perasaan danmembiarkan waktu yang tersedia untuk anak-anak itudirenggut dari tangan kita untuk kegiatan pengajarandan pendrilan soal-soal yang berkedok bimbinganbelajar. " Jika sudah sedemikian, haruskah semangat

    baru yang mulai tumbuh itu redup kembali dikalahkanoleh kepentingan sesaat.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    23/111

    23

    PELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH TERPAKU PADA TEORI

    Esei Kompas (Rabu, 05 Maret 2003)

    amongan, Kompas - Rendahnya pemahaman

    masyarakat terhadap karya sastra disebabkanminimnya pengetahuan mereka pada pelajaran sastra.Metode pelajaran sastra yang diajarkan di sekolah masihterpaku pada teori semata.

    Demikian kesimpulan yang mengemuka dari seminarSastra dan Bedah Antologi Puisi "Imajinasi Nama" diLamongan, Minggu (2/3). Seminar ini diselenggarakanHimpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa SastraIndonesia Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan.

    Hadir dalam pembicara seminar tersebut di antaranya,Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DK-Jatim), Prof DrSetya Yuwana Sudikan. Selain tentu dari dosen sastra UnisdaDrs Musthofa, MPd dan sejumlah seniman sastra dariberbagai wilayah Jawa Timur.

    "Untuk memahami karya sastra, seseorang tentunyaharus mempelajari pelajaran sastra secara keseluruhan.Sayangnya, di hampir sebagian besar sekolah. Pelajaran sastrahanya disampaikan guru sebagai teori pengantar semata.Padahal, para siswa seharusnya dihadapkan langsung dengan

    karya sastra," ujar Setya Yuwana.

    L

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    24/111

    24

    Dikatakan, hal tersebut tidak hanya berdampak padapara penikmat karya sastra. Bagi para pemula pun akanmengalami kesulitan dalam mengembangkan karya sastranya.

    "Hasilnya, karya sastra mereka banyak yang belum memenuhikriteria karya sastra yang laik," tambah Setya.

    Hal senada juga diungkapkan Musthofa, menurut dia,selain sebagai penunjang mata pelajaran yang lain, pengajaransastra juga mempunyai fungsi ideologis, fungsi kultural, danfungsi praktis. "Oleh karena itu, dalam pelaksanaanpengajaran sastra perlu digunakan beberapa pendekatan yangdianggap sesuai dengan tujuan yang diinginkan," ujarnya.

    Setiap pendekatan mengajar, pelaksanaan modelpengajaran langsung memerlukan tindakan-tindakan dankeputusan yang jelas dari guru.

    "Kondisi belajar-mengajar sejak kurikulum tahun 1984sampai 1994 sistem pengajarannya berupa instruksional.Guru tidak mengajarkan secara langsung, tapi berdasarkanpemahaman instruksi atasannya. Padahal, untuk pelajaransastra harus diajarkan secara totalitas, sehingga pemahamankarya sastra dapat dilakukan dengan mudah," tuturnya.

    Jadi, pada hakikatnya, pembinaan apresiasi sastraharuslah dilakukan secara langsung, yang artinya siswa secaralangsung menghayati karya sastra.

    "Dalam usaha pembinaan ini, siswa harus dibimbinguntuk mengetahui dan menikmati keindahan karya sastra.Sebab, keindahan itu bukan hanya terletak pada kemerduanbahasanya, bukan pula pada kehebatan cerita, tapi pada dasarpengalaman jiwa," ungkap Musthofa. (OTW)

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    25/111

    25

    PENGAJARAN SASTRA SEMU:SELALU TERTINGGAL DARI REALITAS

    Oleh: Ken Zuraida

    alembang, Kompas - Dunia pengajaran sastrasesungguhnya semu, dalam arti ia selalu mengejar

    realita namun justru selalu tertinggal. Sebab, dalamrealitasnya terdapat begitu banyak kategori sastra, tetapipengajaran hanya sanggup mengakomodasi beberapa kategorisaja.

    Karena itu, tidak ada pilihan lain. Perlu sikap selektifterhadap sastra. Baik sastra masa lampau maupun masa kini,

    kata sastrawan Budi Darma di sela-sela KonferensiInternasional Kesusastraan XVI Himpunan SarjanaKesusastraan Indonesia (Hiski) di Palembang, Jumat (19/8).

    Dari begitu banyak kategori dalam sastra, sejauh inipengajaran sastra hanya sanggup mengakomodasi tigakategori, yaitu apa yang disebut sastra kanon, sastramainstream, dan sastra pop. Kenyataan ini diakui oleh BudiDarma sebagai sesuatu yang alamiah. Itu antara lain karenasastra di masyarakat tumbuh tanpa bisa dibendung, sementarapengajaran (sastra) mau tidak mau terikat alokasi waktu,tempat, dan seperangkat peraturan dalam kurikulum.

    Karena itu pula, pengajaran sastra tidak lain adalahsebuah paket miniatur dari realitas sastra yang tidak lengkap,

    P

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    26/111

    26

    ujar guru besar sastra di Universitas Negeri Surabaya (Unesa)ini.

    Kecuali tuntutan untuk bersikap selektif, kenyataan

    semacam juga menuntut kesadaran bahwa pengajaran sastraharus bisa membuka wawasan lebih luas. Sebab, hanyadengan model pengajaran yang memberi wawasan sastra dankehidupan yang luas, pengajaran sastra bisa mengikutiperkembangan sastra sekaligus perkembangan zaman.

    Harus juga diingat, pengajaran sastra bukan hanya

    untuk menjadikan siswa paham dan cinta sastra, namunjuga dan inilah yang terpenting paham dan cintakehidupan, bila kita ingin menumbuhkan dan menjadikansiswa arif menghadapi berbagai persoalan, jelasnya. Menuai kritik

    Konferensi Hiski yang berlangsung hingga Minggu

    membahas 67 makalah dibuka Kamis sore oleh WakilGubernur Sumatera Selatan Mahyuddin MS. Sepuluhpemakalah tampil dalam sidang pleno, 57 lainnya berbicara disidang-sidang panel.

    Ketua Umum Hiski Pusat Riris K Toha-Sarumpaet,dalam pembukaan konferensi, Kamis (18/8), berharappertemuan kali ini dapat mengevaluasi kurikulum pendidikansastra di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, sekaligusmemunculkan alternatif pendekatan yang bisa memacu siswauntuk lebih kreatif. Pendidikan sastra juga hendaknyamengajarkan siswa untuk mengapresiasi kekayaan lokalsebagai sumber inspirasi yang tidak habis-habisnya, sertamengajak mereka menjadi pembaca sastra yang cerdas.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    27/111

    27

    Semua itu penting untuk mengantisipa si perubahanzaman yang semakin cepat yang dipengaruhi industri,teknologi, dan pasar, kata Riris.

    Dalam salah satu sesi, Jos Daniel Parera penulis dankonsultan buku pelajaran sempat menyampaikan kritikpedas terhadap Hiski yang dari waktu ke waktu cenderunghanya bergulat pada tataran teoretis.

    Padahal, aspek yang juga tak kalah penting bagi duniasastra di Tanah Air adalah kajian-kajian terhadap karya yang

    ada. Oleh karena itu, Daniel Parera berharap agar ke depanpara sarjana sastra justru lebih terlibat dalam kaitan apresiasi.Jangan bicara teori-teori terus, ujarnya.

    Sebelum itu, dalam sidang pleno peserta sempatdisuguhi pertunjukan senjang, sebuah tradisi bersastrasecara lisan dari Musi Banyuasin (Sumatera Selatan) yangberangkat dari tradisi berpantun.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    28/111

    28

    CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS (CDA) SEBAGAIMODEL PEMBELAJARAN SASTRA

    Oleh: Dharmojo( Dosen Universitas Cenderawasih Jayapura )

    Pengantar

    ondisi pembelajaran sastra di lembaga pendidikanformal sejauh ini dapat dikatakan mengecewakan.Kekecewaan terhadap pembelajaran sastra itu

    dilontarkan oleh berbagai pihak, antara lain, Rusyana(1977/1978); Nasution dkk. (1981); Rahman dkk. (1981);Rusyana (1992); Sarjono (2000); Sudaryono (2000); Sayuti(2000); dan Kuswinarto (2001). Lontaran-lontaran tentangpembelajaran sastra tersebut meneguhkan kenyataan tentangburuknya kondisi pembelajaran sastra di Indonesia. Simpulanumum tentang kondisi pembelajaran sastra berdasarkan hasilpenelitian dan para pemerhati pembelajaran sastra tersebutadalah (1) pada dasarnya pembelajaran sastra berpengaruhpada minat murid terhadap sastra, namun, ternyata tidak

    terdapat hubungan antara teori yang diajarkan dankemampuan apresiasi murid; (2) pengajar tidak memiliki waktu serta tidak tahu bagaimana caranya mengikutiperkembangan sastra di luar buku wacana; dan (3) muridtidak mampu mengaitkan nilai sastrawi dengan nilai-nilaietis/moral budaya dalam kehidupan.

    Keberhasilan dan kegagalan pembelajaran sastra dilembaga pendidikan sudah barang tentu disebabkan oleh

    K

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    29/111

    29

    banyak faktor, di antaranya, karena pembelajaran sastramerupakan sebuah sistem yang meliputi kurikulum, saranadan prasarana, minat baca murid, dan iklim bersastra pada

    umumnya. Dikaitkan dengan kurikulum, Depdikbudmenyusun Kerangka Acuan Pemasyarakatan KebijaksanaanPendidikan dan Kebudayaan (1993) yang secara tegasmenyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan diIndonesia antara lain dimaksudkan untuk mendidik muridsehingga menjadi manusia yang beriman dan bertaqwakepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,

    berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif,terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggungjawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.

    Pendidikan dengan tujuan seperti itu pada dasarnyamerupakan pendidikan yang diorientasikan padapembentukan keberwacanaan, baik keberwacanaan dalam

    bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, maupun dalamkehidupan sosial masyarakat (Aminuddin, 2000:46). Untukmencapai tujuan itu, selanjutnya Aminuddin menyatakanpembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mestidiorientasikan pada model literacy-based instruction . Denganorientasi yang demikian itu, maka pendidikan bahasa dansastra Indonesia selain ditujukan untuk mengembangkan

    kemampuan berbahasa Indonesia dalam berbagai aspeknyaserta kemampuan apresiasi sastra dalam berbagai bentuknyajuga diorientasikan pada pengembangan keberwacanaandalam bidang budaya. Implikasi dari hal itu ialahpembelajaran sastra tidak terpisahkan dari pembelajaranmenyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam haldemikian, materi pembelajaran sastra mestilah memanfaatkan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    30/111

    30

    wacana yang secara potensial memiliki area isi kehidupansosial budaya.

    Pengajaran sastra memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi

    ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis (Jabrohim, Ed.,1994). Fungsi ideologis, yang merupakan fungsi utamapengajaran sastra ialah sebagai salah satu sarana untukpembinaan jiwa Pancasila. Fungsi kultural pengajaran sastraialah memindahkan kebudayaan dari suatu generasi kepadagenerasi berikutnya. Fungsi praktis pengajaran sastra memilikipengertian bahwa pengajaran sastra membekali bahan-bahanyang mungkin berguna bagi siswa untuk melanjutkan studiatau bekal terjun di tengah kancah masyarakat. Jauhsebelumnya, Rahmanto (1988:12) menyatakan bahwapengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuhapabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1)membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan

    pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dankarsa, serta (4) menunjang pembentukan watak.

    Pencapaian tujuan pembelajaran sastra perludiupayakan dengan berbagai alternatif model pembelajaran.Dalam hubungan itu, tulisan ini mencoba memperkenalkanmodel Critical Discourse Analysis (CDA) untuk pembelajaransastra. Dengan CDA, atau analisis wacana kritis, murid padaakhirnya diharapkan terbiasa bersikap kritis dan kreatif dalammenanggapi berbagai fenomena dan makna yang terdapat didalam karya sastra sebagai produk budaya bangsa.Pemahaman murid atas berbagai makna dan nilai yangterdapat di dalam wacana sastra merupakan prioritas pertamadan utama model CDA ini.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    31/111

    31

    CDA Sebagai Model

    Dalam CDA, pembelajaran sastra dapat dilakukan dengantata cara sebagai berikut.

    1. Pemahaman untaian kata dan kalimat dalam wacana secaraanalitis. Sebagaimana proses membaca pada umumnya, dalamkegiatan membaca wacana sastra, pembaca mesti berusahamemahami gambaran makna dan satuan-satuan pengertiandalam wacana sehingga membuahkan pemahaman tertentu.Pemahamannya dinyatakan bersifat analitis karena nilai

    kebenarannya tidak harus diujikan pada kenyataan-kenyataankongkret secara langsung.

    2. Penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengankonteks, wacana lain secara intertertekstual, maupun pola-pola paraanggapan yang terkait dengan praanggapan logis,semantis, maupun pragmatis. Dalam proses memahami karyasastra, penafsiran dan pengambilan kesimpulannya perlumemperhatikan hubungan kata dan kalimat dalamkeseluruhan wacananya. Dalam proses penafsiran danpenyimpulan itu pembaca juga perlu mengerahkan khazanahpengetahuan yang dimiliki, apakah itu terkait dengan wacanafilsafat, sejarah, agama maupun informasi dari majalah sertakoran sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan sebagai

    dasar penafsiran.3. Asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensinyadengan makna dalam wacana, dan inferensi. Ketika membaca

    wacana, pembaca perlu membentuk asumsi sebagai anggapandasar yang mengarahkan proses pemaknaan yangdilakukannya. Asumsi tersebut misalnya, karya sastramerupakan bayang-bayang realitas yang dapat menghadirkangambaran dan refleksi berbagai permasalahan dalam

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    32/111

    32

    kehidupan. Berdasarkan asumsi demikian, maka kegiatanmembaca yang dilakukan mestilah diarahkan untuk berusahamengeksplisitkan bayang-bayang dengan disertasi upaya

    menggambarkan berbagai permasalahan kehidupan yangtermuat di dalamnya. Proses pemaknaannya juga perlumemperhatikan kesatuan hubungan isi dan pengambilankesimpulan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara logis.

    4. Rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis. Dalampembentukan ulang pemahaman, pembaca seyogyanya bukansemata-mata melakukan rekonstruksi makna dalam wacana.Gambaran makna dan pengertian dalam wacana tersebut olehpembaca perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengankenyataan yang ada pada masa sekarang, dengan kenyataanmasa lalu, maupun kemungkinan pertaliannya dengan yangakan datang (bandingkan Aminuddin, 2000:52 53).

    Dikaitkan dengan karakteristik kelas mata pelajaranbahasa dan sastra, model CDA hendaknya dipandang sebagaibentuk relasi sosial. Artinya, melalui interaksi belajar-mengajar terjadi hubungan yang dinamis antara wacana sastradengan murid, wacana sastra dengan pengajar, pengajardengan murid, atau murid dengan murid dengan refleksikehidupan sosial sesuai dengan nuansa pembelajaran dantujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini pembelajaran tidaklagi bernuansa hafalan, sekadar penjelasan dan tanya jawab,namun lebih dari itu pembelajaran yang berlangsunghendaknya ditandai ciri responsif dan kolaboratif. Dalampembelajaran yang demikian itu, murid dan pengajarbersama-sama memberikan tanggapan terhadap fakta yangdipelajarinya termasuk dalam hal penentuan materi yang

    dipelajari. Dengan model pembelajaran seperti itu diharapkaninsteraksi belajar-mengajar dapat mengarah pada terciptanya

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    33/111

    33

    komunikasi dalam konteks konstruksi sosial. Komunikasidalam kelas itu didasarkan pada konstruksi sosial melaluikegiatan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis secara

    terpadu.Pembelajaran apresiasi sastra di kelas dengan

    menggunakan model CDA, menurut Aminuddin (2000:50 51) hendaknya memperhatikan dan memenuni persyaratansebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra di kelas ditandai olehterdapatnya aktivitas membaca karya sastra, baik itu dilakukanoleh pengajar maupun murid. (2) Pengajar menciptakan kelaspembelajaran sastra sebagai sebuah bentuk hubungan sosialkemanusiaan sehingga dalam pembelajaran terjadi dialogantara murid dengan murid maupun pengajar dengan murid.(3) Pengajar tidak lagi menggurui tetapi memberikesempatan kepada murid untuk menyampaikan pendapatnyasecara variatif, baik secara lisan maupun tertulis. (4)

    Pembelajaran sastra di kelas sungguh-sungguh tampil sebagaisosok pembelajaran yang diisi aktivitas tukar pendapat,refleksi pemahaman, proses penyusunan pengertian,mengkomunikasikan fakta, pendapat dan pemahaman secaralisan maupun tertulis.

    Dengan aktivitas seperti itu, lanjut Aminuddin,diharapkan akan mendorong munculnya aktivitas murid yangsatu dengan yang lain untuk (1) saling menceritakanpengalaman dan pemahamannya setelah membaca karyasastra; (2) bekerja sama membentuk pemahaman danmembuat kesimpulan tentang pesan ataupun makna tersiratdalam karya sastra tertentu; (3) bertukar pendapat dalammemberikan penilaian terhadap makna dalam wacana sastra

    tertentu; dan (4) bekerja sama dalam menuliskan pemahamandan komentar terhadap suatu karya sastra, baik pada tahap

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    34/111

    34

    perencanaan, penulisan naskah awal (draft), maupun sewakturevisi dan penyuntingan.

    Dengan model CDA, meminjam pernyataan Sayuti

    (2000:60) Hakikat penyelenggaraan pendidikan harusdikembalikan kepada khitah-nya, yakni mengkondisikanmanusia-didik mencapai kepribadiannya. Dengan carademikian, pendidikan merupakan proses pembudayaan dankarenanya, harus berorientasi pada tumbuh-kembangnyakesadaran budaya. Pendidikan sebagai proses pembudayaanuntuk mencapai perkembangan kepribadian muridmengandaikan adanya visi dan misi pengajar untuk mengubahdan memperbarui keadaan, sekaligus menyadarkan danmembebaskan siswa dan pengajar dari berbagaiketerpaksaan di dalam proses belajar-mengajar. Pada satusisi upaya pengembangan itu mengandung tindakan-tindakankongkret, dan pada sisi lainnya, secara terus-menerus

    menumbuhkan kesadaran terhadap realitas yangmenumbuhkan hasrat untuk mengubahnya.

    Pembelajaran sastra dengan model CDAmengisyaratkan adanya hak-hak para murid untukmemperhitungkan latar belakang pengalaman danpengetahuannya masing-masing dalam menyusun makna

    wacana sastra. Caranya, meminjam pendapat Sayuti(2000:62 63), para murid tersebut memanggil kembaliskema internal yang telah mereka miliki danmengoperasikannya tatkala berhadapan dengan wacanatertentu dalam rangka pemahamannya. Melalui transaksi-transaksi-nya dengan wacana sastra, para murid menyusunmakna dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh

    wacana sastra tersebut. Terdapat konstruk baru, maknabaru yang disusun berdasarkan atas serpihan wacana sastra

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    35/111

    35

    yang digelutinya. Transaksi itu pada hakikatnya merupakankonversasi atau dialog terus-menerus antara wacana sastradan siswa yang belajar, atau menurut Sayuti (2000:63):

    sebuah negosiasi antara apa yang diketahui pembaca dan apayang disajikan teks.

    Akan tetapi, harus diwaspadai, bahwa membangunnegosiasi antara pembaca dan wacana sastra tidak pernah bisadikerjakan dalam satu situasi yang terisolasi dari lingkungansosial tempat pembacaan dan pembelajaran sastraberlangsung. Itulah sebabnya, menurut Sayuti (2000:63)membangun negosiasi juga meniscayakan adanya perubahanyang sinambung mengenai hal yang sebelumnya telahdihipotesiskan. Makna da lam sastra adalah sebuah opini danopini hanya dapat diperoleh melalui negosiasi yangdikembangkan dalam strategi transaksional. Implikasinya,selama pembelajaran sastra belangsung, para pengajar

    memberi kesempatan kepada murid untuk menduga -duga(dengan hipotesis atau asumsi-asumsi) makna sastra yangmereka baca, merefleksikan dan membuat proses berpikirmereka eksplisit. Untuk itu, para murid dapat dibantu untukmengajukan pertanyaan-pertanyaan kritisnya secara aktifdan jika diperlukan menyanggah makna wacana sastra yangmereka baca: murid-murid dibawa masuk ke dalam situasiperseteruan dengan wacana sastra yang dibacanya.

    Implikasi seperti itu, menurut Sayuti (2000:64) dapatdilakukan melalui cara (1) Memformulasikan teka-teki merekasendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; (2)Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara inimerupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode

    pembelajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkandiri dari sifat memberikan hukuman jika siswa melakukan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    36/111

    36

    kesalahan (menurut versi pengajarnya); dan (3) Mencocokkanideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki olehpara siswa, misalnya saja dengan mengajukan pertanyaan

    Siapa yang berbicara kepada siapa, kapan, di mana,mengapa?, Desain apa yang dimiliki teks ini menurutpendapat saya, seharusnyakah saya menentang dan berseterudengannya?.

    Semua itu harus diarahkan pada pemenuhan fungsiutamanya, yakni edukatif dan kultural. Untuk itupembelajaran yang memandang wacana sastra sebagai sesuatuyang problematik dapat dirancang, yakni dengan modelAnalisis Wacana Kritis (CDA). Dengan cara demikian,dominasi pengajar yang selama ini berkuasa dalam prosespembelajaran apresiasi sastra dapat dihindari. Ruang kelasdapat dijadikan tempat perbedaan atau perseteruangagasan, makna, dan nilai-nilai dalam konteks dialektika

    budaya. Dalam praktik pembelajaran di kelas, wacana sastradapat didekonstruksi dan kemudian direkonstruksi, karena wacana sastra dan pembacanya dipandang sebagai sesuatuyang problematik.

    Implementasi Model CDA

    Sebagai sebuah model, CDA dapat diimplementasikan(diaplikasikan) pada pembelajaran sastra Indonesia dandaerah. Oleh karena pembelajaran sastra Indonesia telahlazim dibahas, dalam kesempatan ini akan dikemukakanimplementasi model CDA dalam pembelajaran sastradaerah khususnya pembelajaran sastra daerah denganmateri utama Sastra Lisan Ekagi. Untuk studi kasus, akandiangkat cerita rakyat kategori mite yang berasal dari daerah

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    37/111

    37

    Paniai-Papua, yakni berjudul Peu Mana Meinegaka Sawaiatau Kabut Pembawa Petaka. Cerita rakyat berkategorimite ini diambil dari Dharmojo dkk. (1998:13). Berikut ini

    disajikan ceritanya.

    Kabut Pembawa Petaka

    ada zaman dahulu di daerah Bilai, kabupaten Paniaiterdapat sebuah gunung yang bernama Zega. Puncakgunung itu selalu tertutup kabut. Penduduk

    mempercayai bahwa gunung itu ada penghuninya. Sebagaipenghubung antara penduduk dan penghuni gunung tersebutadalah para-pawang. Apabila para penduduk mendapat

    wabah atau petaka, maka mereka meminta bantuan kepadapenghuni gunung untuk menghilangkan wabah tersebut.

    Pada suatu hari, penduduk mempunyai keinginanuntuk mengetahui siapa yang sebenarnya menunggu gunungtersebut. Kemudian mereka berangkat ke puncak gunung itumalalui hutan yang lebat dan tebing yang terjal. Sesampainyadi puncak, mereka mendapatkan seekor biawak besar yangberkepala manusia, berkaki cecak, dan bersisik kulit bia.Mereka kemudian menangkap dan membawanya ke kampungitu lalu dibuatkan kandang.

    Biawak itu ternyata dapat berbicara seperti manusia. Iaberkata bahwa ia dapat memenuhi segala keinginan pendudukasal dibuatkan kurban yang berupa satu orang kepala sukuatau kepala perang. Setiap penduduk menginginkan harta.Oleh karena itu, mereka menyerahkan kurban berupa satuorang kepala perang. Tetapi, mereka berpikir, lama-kelamaanlaki-laki di daerah itu akan habis untuk kurban. Merekaberniat untuk membunuh biawak itu. Mereka lalu menombak

    P

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    38/111

    38

    biawak itu. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir,biawak itu berkata bahwa setiap kabut yang muncul di puncakgunung itu menandakan akan terjadi perang. (Kabut Pembawa

    Petaka, terjemahan Dharmojo, dkk. 1998: 113 )Dalam praktik pembelajaran dengan model CDA,

    wacana cerita rakyat tersebut dihadirkan di dalam kelas.Murid atau pengajar dapat membacanya dan murid lainmenyimak dengan sebaik-baiknya. Pengajar dalammengantarkan kegiatan pembelajaran, tidak perlu berceramahpanjang-lebar, melainkan informasi yang diberikan olehpengajar menyangkut hal-hal yang penting saja. Misalnya, (1)aktivitas apa yang akan dikerjakan murid saat itu, (2) tujuanaktivitas pembelajaran, dan (3) bentuk-bentuk aktivitas yangharus dilakukan oleh murid sehubungan denganpembelajaran model CDA.

    Wacana cerita rakyat Kabut Pembawa Petaka,sebagai teks sastra yang tergolong mite, tentulah di dalamnyaterdapat kepercayaan-kepercayaan masyarakat pendukungcerita tersebut. Selain itu, di dalam cerita berkategori mitetersebut tentulah menggunakan simbol-simbol budaya yangberfungsi mengintensifkan dan mengestetiskan cerita. Didalam cerita tersebut tentunya terdapat berbagai anasirsastrawi, seperti tema dan amanat berupa pesan-pesan yangsecara tersurat atau tersirat. Hal-hal itulah yang seyogianyadijadikan bahan aktivitas membaca, menyimak, berbicara,dan menulis bagi siswa. Pendeknya, dalam pembelajaranmodel CDA siswa dimungkinkan mendapatkan maknarekreasi (mendapatkan kenikmatan dan berkesempatanmelakukan re-kreasi (melakukan penciptaan kembali sesuai

    dengan makna dan pesan yang berhasil diapresiasi olehmurid-murid) (bandingkan Sudaryono, 2000:57 76). Jadi,

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    39/111

    39

    alur kegiatan pembelajaran model CDA adalah: (1) membaca(wacana cerita Kabut Pembawa Petaka); (2) menyimak(secara intensif); (3) berbicara (berdiskusi sesama murid lain

    dan pengajar); dan (4) menulis (kreatif, yang mengarah padapenciptaan kembali makna-makna yang berhasildipahaminya).

    Pada tahap pertama, pengajar dapat memberikesempatan kepada salah seorang siswa, misalnya yangberasal dari daerah Paniai, untuk membacakan wacana ceritarakyat versi bahasa Ekagi, yaitu Peu Mana Meinegaka Sawaidan para siswa lainya menyimaknya. Sebagai variasi, pengajardapat memberi kesempatan kepada siswa untukmenerjemahkan cerita rakyat tersebut ke dalam bahasaIndonesia. Tujuan penerjemahan ini ialah agar siswa lainyang berasal dan berlatar belakang budaya selain Paniai dapatmengikuti proses pembelajaran. Selain itu, dengan

    terjemahan itu dimungkinkan proses komunikasidiharapkan dapat berjalan dengan lancar.

    Tahap pertama itu diikuti tahap kedua, yakni seluruhsiswa melakukan penyimakan pembacaan cerita rakyat. Hal-hal yang perlu disimak ialah tema dan pesan (makna) yangada di dalam wacana, karakteristik cerita berbentuk mitebeserta keyakinan atau kepercayaan yang dianut olehmasyarakat setempat sesuai dengan latar wacana ceritarakyat yang dijadikan bahan pembelajaran, dan berbagai halyang dipandang penting oleh pengajar. Sebaiknya, sebelumatau setelah pembacaan wacana cerita yang dipilih, pengajarmemberikan informasi yang secukupnya tentang latarbelakang sosial budaya wacana cerita yang dipilih. Informasi

    yang diberikan oleh pengajar ini penting agar makna yang

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    40/111

    40

    diperoleh siswa benar-benar tepat sesuai dengan kontekssosial-budayanya.

    Tahap ketiga, pengajar memberikan kesempatan

    kepada siswa untuk melakukan diskusi, yakni mendiskusikanhasil pemaknaan masing-masing siswa terhadap cerita rakyatyang dibaca. Dalam berdiskusi, prinsip kebebasanberpendapat hendaknya menjadi perhatian pengajar. Dalamkonteks ini, tidak ada pendapat yang salah atau pendapatyang benar lebih-lebih benar atau salah menurut versipengajar. Pengajar sejauh mungkin memberikan kebebasanbagi siswa untuk berpendapat mengemukakan hasilpemaknaannya masing-masing. Kedudukan pengajar dalamhal ini ialah sebagai dinamisator, motor, dan motivator agarpembicaraan tidak sampai kendor. Dengan kegiatan ini siswadiharapkan memiliki keterampilan berbicara.

    Tahap terakhir, pengajar memberi kesempatan kepadasiswa untuk melakukan kegiatan re-kreasi, yakni penciptaankembali sebuah cerita, atau hasil pemaknaan, dalam bentuktulisan kreatif. Sekali lagi, dalam hal ini pengajarberkedudukan sebagai dinamisator, motor, dan motivatorbagi siswa. Dengan kegiatan ini, siswa diberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengkomunikasikan segala sesuatu yangdipandang berharga dan bernilai sebagai manifestasi hasilpemaknaan terhadap wacana cerita yang diangkat sebagaibahan pembelajaran. Dengan kegiatan ini diharapkan siswadapat menguasai keterampilan menulis.

    Dengan langkah-langkah kegiatan seperti itu siswadapat diharapkan mencapai tingkat (1) menggemari karyasastra, (2) tingkat menikmati karya sastra, (3) tingkat mereaksikarya sastra, dan (4) tingkat menghasilkan karya sastra. Dalam

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    41/111

    41

    tingkat menggemari ditunjukkan oleh adanya indikator bahwasiswa mulai gemar terhadap karya sastra. Dalam tingkatmenikmati karya sastra, seseorang siswa mulai dapat

    menikmati karya sastra karena pengertian sudah mulaitumbuh. Tingkat mereaksi ditandai oleh adanya keinginansiswa untuk menyatakan pendapatnya tentang wacana sastrayang telah dinikmati (diapresiasi). Tingkatan menghasilkanditandai oleh adanya keinginan siswa untuk menghasilkan(menulis) wacana sastra.

    Dalam penerapan model CDA pada pembelajaransastra, pengajar berkewajiban menciptakan situasi dan kondisiyang kondusif. Situasi dan kondisi yang kondusif adalahsituasi dan kondisi yang memungkinkan siswa dapat bersikapreseptif, responsif, reaktif, dan atraktif di dalam kegiatanbelajar-mengajar. Selain itu, pengajar berkewajibanmenciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang apresiatif,

    yakni situasi dan kondisi pembelajaran sastra yang tidakbersifat indoktrinatif. Pengajar juga berkewajibanmenciptakan kegiatan belajar-mengajar yang kreatif danproduktif, yaitu kegiatan belajar-mengajar yangmemungkinkan siswa menjadi kreatif dan mampumenghasilkan wacana sastra.

    Penerapan model CDA dalam pembelajaran sastra,dapat ditempuh tiga tahapan penyajian yang meliputi (1)tahap penjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahaprekreasi. Pada tahap pertama, pengajar dapat mengarahkansiswa untuk menjelajahi wacana Kabut Pembawa Petaka.Penjelajahan itu dilaksanakan dengan cara membaca ceritarakyat tersebut secara berulang-ulang untuk mendapatkan

    gambaran umum, kesan-kesan, dan gagasan-gagasan yangterdapat di dalam wacana cerita. Pada tahap ini siswa

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    42/111

    42

    diarahkan untuk menandai bermacam-macam hal yangpenting dan mencatatnya.

    Pada tahap kedua, tahap interpretasi, pengajar dapat

    meminta siswanya untuk melaporkan hasil interpretasiberkenaan dengan wacana cerita yang dibaca dan telah dicatatpada tahap pertama. Pada tahap ini pengajar seyogyanyamemberikan keleluasaan kepada siswanya untukmengungkapkan hasil interpretasinya secara lisan atau secaratertulis. Pengajar dapat menugasi salah seorang siswa untukmerangkum bermacam-macam hasil interpretasi yangdilaporkan oleh siswa lainnya.

    Pada tahap ketiga, tahap rekreasi, pengajar dapatmemberi kesempatan kepada siswa untuk meresepsi danmerespon nilai-nilai (makna) yang dapat menimbulkan citraestetis pada diri siswa. Pada tahap ketiga ini, siswa bersama-sama dengan pengajar berusaha mendapatkan hiburanmental-spiritual (rekreasi). Hiburan mental-spiritual iniberupa hasil pencerapan makna atas wacana sastra,bermacam-macam nilai yang terungkap dari penjelajahan,interpretasi, dan pemaknaan oleh siswa serta bermacam-macam pengalaman batiniah dan pengamalannya di dalamkehidupan sosial-kemasyarakatan.

    Akhirnya, perlu dicatat bahwa bahan pembelajaransastra dengan model CDA perlu diusahakan oleh siswa ataupengajar. Pengadaan bahan itu pada prinsipnya dapatdinegosiasikan antara siswa dengan pengajar. Jika terpaksa,pengajar dapat mengusahakan bahan pengajaran secarabervariasi, baik dalam bentuk puisi, prosa, maupun dramadengan mempertimbangkan (1) bahasa, (2) psikologi, dan (3)latar belakang budaya yang sesuai dengan tingkatan siswa.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    43/111

    43

    Penutup

    Pembelajaran sastra berkaitan dengan kegiatan mempertajamperasaan, penalaran, daya bayang, serta kepekaan terhadap

    masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Pembelajaransastra di lembaga pendidikan formal tidak cukup dibekalidengan pengetahuan dan sejarah sastra, tetapi lebih jauh perludibelaki pengalaman kreatif mencipta wacana sastra.Pendeknya, dalam penerapan model CDA, para siswa harusdiperhadapkan langsung dengan aneka karya sastra.

    Model pembelajaran sastra yang dapat dipergunakanadalah model CDA. Dengan model ini kegiatan pembelajaransastra tidak lagi berhenti pada pemberian teori-teori semata,lebih dari itu, dalam model ini memungkinkan dikembangkansituasi dan kondisi belajar-mengajar yang kontekstual, aktual,dan sesuai dengan latar sosial-budaya yang diinginkan.

    Artinya, model ini pada hakikatnya merupakan salah satustrategi dalam proses belajar-mengajar. Sebagai salah satustrategi, model CDA dapat digunakan untuk pembelajaranprosa, puisi, atau drama di lembaga pendidikan formal.

    Dalam implementasi model CDA, secara garis besar,pengajar dapat menyiapkan tiga tahap, yakni (1) tahappenjelajahan, (2) tahap interpretasi, dan (3) tahap re-kreasi

    (penciptaan kembali). Dalam mengimplementasikan modelCDA di lembaga pendidikan formal, pengajar hendaknyamempertimbangkan bahan pengajaran berdasarkan bahasa,psikologi siswa, dan latar belakang budaya siswa.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    44/111

    44

    MEMISAHKAN PENGAJARAN SASTRADARI BAHASA

    Oleh: Aris Kurniawan

    pakah yang kini terjadi dengan pengajaran sastra disekolah, sehingga pelajar dan lulusan SMU kita masih

    rendah apresiasi sastranya dan buruk minat bacanya? Apakah masih seperti yang disinyalir Taufiq Ismail,minim apresiasi dan nol buku? Atau, bahkan masih sepertitahun 1970-an, seperti disinyalir HB Jassin, hanyamengandalkan hafalan nama-nama angkatan, pengarang, danjudul buku.

    Pada sebuah talk show sastra dalam rangkaian Tangerang Arts Festival 2005 , belum lama ini, novelis Gola Gong (HeryHendrayana) dan redaktur sastra Republika Ahmadun YosiHerfanda mengungkap realitas terkini pengajaran sastra disekolah yang masih belum ideal, sehingga keduanyamengusulkan agar pengajaran sastra dipisahkan saja daripengajaran bahasa. Menurut Ahmadun, sebagaimana juga

    pernah diusulkan Taufiq Ismail, pemisahan tersebutmerupakan cara terbaik agar pengajaran sastra di SMU dapatberlangsung secara efektif dan maksimal.

    Pengajaran sastra di sekolah saat ini -- seperti diakuikedua pembicara di hadapan para guru bahasa dan sastra,serta 200-an siswa SMP dan SMU, yang memadati aulaPemkot Tangerang -- memang sudah tidak seburuksinyalemen Taufiq maupun Jassin. Banyak sekolah maupun

    A

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    45/111

    45

    guru sastra yang sudah memberikan perhatian lebih bagipeningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidakhanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanya

    diajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untukmenulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karyapara siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit MajalahHorison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kinigemar dan mahir menulis karya sastra.

    Upaya yang sungguh-sungguh untuk memaksimalkanpengajaran sastra guna meningkatkan apresiasi sastra parasiswa juga terlihat pada buku-buku pegangan pengajaranBahasa dan Sastra Indonesia yang disusun berdasarkanprinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Misalnya saja,adalah buku-buku yang disusun oleh Diyan Kurniawati dkk,yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun

    oleh Tika Hatikah dan Mulyanis, Membina Komptensi Berbahasadan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspekapresiasi sastra, menurut Ahmadun, menempati porsi yangsama dengan aspek kebahasaan. Aspek-aspek lainnya adalahmendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi, semua aspekpenguasaan bahasa Indonesia mendapatkan porsi yangseimbang.

    Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadiobyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpameninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwakesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya,siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun

    Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, SlametSukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    46/111

    46

    WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, PopiSopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini,Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, Sugiarta

    Sriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah,Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman BudhiSantosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

    Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan padakarya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo,Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma,Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles,Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan

    Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis,Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad

    Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YBSudarmanto, dan Marah Rusli.

    Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa danSastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswadikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail,Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, BakdiSumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat SriRama. Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMUsemester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya MotinggoBoesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, ErnestHemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelasIII SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karyaUmar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez

    Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto,Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

    Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanyadikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak pas

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    47/111

    47

    lagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra diSMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyaknama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yang

    karya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip jugadiambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisiperistiwa-peristiwa terkini.

    Dengan begitu, menurut Ahmadun, materi (buku) yangtersedia untuk pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudahsedemikian maju dan sesuai dengan perkembangan sastra danzaman terkini. Guru tinggal mendorong siswa untukmembaca karya-karya lain dari pengarang-pengarang pilihanyang karya-karyanya dikutip tersebut. Jika mau dicarikekurangannya, barangkali adalah minimnya kesempatan bagisiswa untuk diajak berlatih menulis karya sastra.

    Berdasarkan buku-buku di atas, pada aspekketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karya sastrapada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen, puisidan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikan padasatu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, di banyakSMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikan pada siswakelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan ekstrakurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untuk menyalurkandan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra) siswa.

    Jadi, sebenarnya ada peluang besar bagi gurubahasa/sastra untuk meningkatkan apresiasi dan minat bacasiswa terhadap karya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastramasih hanya bagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaanpengajaran sastra untuk mencapai tujuan tersebut masih sulituntuk berlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    48/111

    48

    itu terhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaansekolah.

    Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak

    muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri, menurut Ahmadun,juga tidak dapat mendorong mereka untuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukup logis jika siswa merasatidak perlu bersungguh-sungguh dalam menguasai pelajaranapresiasi sastra, karena prestasi mereka dalam pelajaran inihanya akan menyumbang tidak lebih dari 20% nilai bahasaIndonesia pada rapornya -- persentase nilai lainnyadisumbang oleh aspek mendengarkan, berbicara, membaca,menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jika minat mereka padabidang sastra memang rendah.

    Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untukmeningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karyasastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasatidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi danpengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akanmelaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif danefektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesiaberkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetapmenuai kegagalan.

    Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembaliagar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasaIndonesia. Menurut Ahmadun, inilah cara paling tepat agarpengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektifdan maksimal.

    Gola Gong pun sepakat dengan usulan Ahmadun.Karena, meskipun pemerintah mengeluarkan kebijakan KBK ,

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    49/111

    49

    pada prakteknya pengajaran sastra di sekolah tetap tidakmengajari bagaimana siswa terdorong mencintai, membacadan menulis karya sastra seperti yang ingin dicapai dari sistem

    tersebut. Kecuali itu, Gola juga menambahkan, perlunyapelajaran sastra menjadi kegaitan ekstrakurikuler bila sistemKBK masih kurang memadai. Dengan menguraikan angan-angannya tentang kegiatan ekstrakurikuler sastra, Golamengilustrasikan bagaimana metoda serupa itu sudahditempuh di komunitas yang dinakhodainya: Rumah Dunia,Serang.

    Apakah pengajaran sastra di sekolah bertujuan supayasiswa menjadi pengarang? Demikian seorang pelajarmengajukan pertanyaan. Pertanyaan inilah barangkali yangmenghantui sebagian besar guru bahasa Indonesia dan paraorang tua. Seakan ada kekekhawatiran menjadi sastrawanadalah sesuatu yang tidak menjanjikan masa depan.

    Kekhawatiran ini tumbuh dari kenyataan yang seringdigambarkan bahwa seniman/sastrawan adalah orang yanghidupnya urakan, tidak menentu, dan pintar berdusta. Makacukuplah sastra sekadar pelajaran yang melengkapi pelajaranBahasa Indonesia.

    Harus ditanamkan kesadaran pada mereka, bahwamengarahkan siswa untuk menjadi sastrawan adalah salahsatu saja dari tujuan pengajaran sastra di sekolah.Kemampuan menulis, menganalisa dan menyimpulkanpersoalan serta meningkatnya kepekaan terhadap nilai-nilaikemanusiaan adalah penting bagi siapa saja. Dan berhasilnyapengajaran sastra memungkinkan untuk mengasah siswa kearah sana.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    50/111

    50

    Di luar itu, fakta bahwa keberingasan masyarakat kitadewasa ini salah satu pemicunya adalah keringnya mereka darisentuhan kebijaksanaan-kebijaksaaan yang terkandung dalam

    sastra dan seni pada umumnya. Tumbuhnya kesadaran siswaakan pentingnya mengapresiasi sastra akan mendorongmereka pada kemampuan melihat persoalan secara objektif,membentuk karakter, merumuskan watak dan kerpibadian.Pendeknya, bila salah satu tujuan pendidikan adalahmeningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang, maka tidakbisa tidak, pengajaran sastra mesti diletakkan sama

    pentingnya dengan pelajaran lain.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    51/111

    51

    PENTINGNYA PELAJARAN SASTRA (PUISI)UNTUK ANAK

    Oleh: Herry Nurdi

    ebuah sore, seorang anak usia 12 tahun datangmenemui saya di rumah. Saya tahu, anak ini adalah

    salah satu dari sekian banyak anak yang suka datang kerumah saya untuk membaca. Saya tak ingat betul namanya,tapi saya tak ingin ia tahu bahwa saya tidak tahu namanya.Maka saya menyebutnya sebagai kamu, dan anak itumemanggil saya sebagai bapak.

    Di rumah, selain buku-buku tentang banyak hal sepertipolitik, filsafat, novel, dan beberapa tentang kedokteran, sayadan istri mempunyai buku anak-anak yang cukup beragamuntuk anak-anak kampung tempat kami tinggal. Ada dongengHandersen, ada cerita kumpulan cerita anak-anak asia, adakumpulan haiku yang sudah diterjemahkan, ada majalah, adakomik, ada juga puisi-puisi yang meski karangan Sutardjie,Rendra, Subagio, Tagore, bahkan Pablo Neruda saya

    suguhkan pula untuk mereka.Yang suka silahkan baca, yang nggak jangan

    merusak, pesan saya setiap kali akan meningalkan mereka,anak-anak ini untuk membaca di rumah saya setiap hari liburmereka. Anak tadi, yang berusia 12 tahun itu, yang saya sebutdengan kamu, datang sore hari ke rumah saya. Hari itu bukanjadwal,taman bacaan rumah saya buka. Tapi saya ijinkan dia

    S

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    52/111

    52

    masuk, tak ternyata dia memang datang untuk tidakmembaca. Dia datang untuk bertanya.

    Pak, disekolah saya, tadi pak guru bahasa Indonesia

    mengatakan bahwa puisi besar artinya. Anak ini berhentibicara. Matanya menatap saya yang duduk bertentangan disebuah tikar rotan.

    Terus... ujar saya, merasa kalimat anak ini belumselesai seutuhnya.

    Emang puisi penting pak? Sejenak saya terdiam. Sayatidak tahu persis, apakah puisi penting atau tidak. Tapi sayajuga tidak ingin mengatakan bahwa puisi juga tidak penting.Saya tak menguasai benar ilmu tentang puisi atau yangsemacamnya. Tapi saya juga tak ingin mengatakan pada anakini saya tidak tahu apa-apa tentang puisi. Takut ia patahsemangat dan tak ingin baca puisi lagi.

    Kamu senang baca puisi? untuk mengulur waktusaya lontarkan pertanyaan, sambil mencambuk sel-sel kecilkelabu dalam otak saya bekerja mencari semua kata yangberhubungan dengan puisi. Anak 12 tahun itu menjawabdirinya suka membaca, tapi belum bisa membuat puisi.

    Ah kamu bisa membuat dan menulis puisi, ujar saya,sambil memacu percepatan nueron-nueron dalam otak sayauntuk lebih cepat lagi bekerja. BINGO! Saya menemukansebuah hadits nabi Muhammad dalam laci ingatan saya yangentah sudah berapa lama mengendap. Jika ingin anakmuberani, maka ajarilah menulis dan membaca puisi, demikianpetikan hadits yang saya yakin sangat tidak lengkap itu.Dengan cepat kukorek-korek isi otak, khususnya tentang

    hadits ini.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    53/111

    53

    Begini ya, kata saya memulai percakapan sambilberusaha menjaga intonasi suara agar tetap terdengar wibawa.Puisi itu penting, paling tidak untuk kita sendiri. Saya

    memutar kembali otak, mencari cara yang paling mudahmenjelaskan pentingnya arti puisi, sementara saya sendiribelum sadar betul tentang pentingnya puisi. Lalu, singkatnyasaya ajak ngobrol si kamu ini tentang puisi.

    Obrolan kami ngalor ngidul. Saya bilang puisi itumembuat penulisnya menjadi berani. Pertama tentu saja sayakatakan, menumpahkan isi hati dalam bentuk puisi perlukeberanian sendiri. Lalu, keberanian juga diperlukan saatmembaca, baik membaca sendiri maupun membacanya didepan teman-teman. Keberanian lain adalah, beranimenyatakan pendapat.

    Kepentingan yang lain, ujar saya lagi, kamu jadi tahubahwa kata-kata itu banyak. Bukan untuk melatih pandaiberbicara dengan penguasaan banyak kata, tapi pandaimengidentifikasikan kata mana yang tepat untuk sebuahfenomena. Tentu saja dalam kalimat saya pada si kamu initidak saya gunakan identifikasi dan fenomena. Sekali lagi sayamembuat penekanan tentang hal ini pada si kamu, bahwapenguasaan kata-kata sama artinya mempunyai cakrawalabaru yang lebih luas, dunia yang lebih tua dari umurnya,kekuatan yang lebih besar dari tenagannya. Bukan untukkeburukan dan mempermainkan arti dalam kata-kata, tapiuntuk kebajikan dan menjernihkan semua, kata saya sambilmengawasi mimiknya yang saya terjemahkan, si kamu sedangbingung. Tapi ketika saya tanya mengerti, dia mengangguktanda paham.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    54/111

    54

    Lalu saya bilang lagi pada anak umur 12 tahun yangduduk di kelas VI ini. Kalau nanti puisi-puisimu jaditerkenal, kamu bisa seperti Rendra yang keliling dunia. Saya

    juga bercerita tentang Sapardi Djoko Damono yang sekarangmenjadi guru besar fakultas sastra UI, juga karenakepiawaiannya mengolah kata. Tak ketinggalan saya tuturkanpula tentang Goenawan Mohammad yang ketika itu, dalamusia belia sudah menjadi pemimpin majalah Ekspres, cikalbakal perusahaan media Tempo.

    Obrolan kami terhenti. Adzan maghribberkumandang, dan kami shalat berjamaah di ruang tengahrumah saya. Usai shalat, saya sudah berharap, ia akan segerameninggalkan rumah saya. Tapi ternyata tidak, si kamu masihberminat melanjutkan obrolan. Saya terheran, dia mempunyaidaya tahan yang luar biasa untuk ngobrol dengan orang yanglebih tua dengan tema yang tak lazim untuk anak seusianya.

    Setelah jeda, istri saya memberi segelas air putih padaanak ini. Lalu saya bercerita tentang Widji Tukul yang hilangsampai sekarang juga karena puisi. Saya juga bercerita tentangguru besar penyair Maliboro, Umbu Landu Paranggi yangjuga tak jelas rimbanya. Saya juga menceritakan beberapakisah hidup para penyair yang tak pernah hidup mewahkarena jalan kepenyairaan yang telah dipilihnya. Tentu sajasaya bercerita dengan mengubah sisi-sisi sedih menjadi ceritaheroik.

    Sebelum adzan isya berkumandang, si kamu sudahmenengok jam dinding yang saya tempel di dinding utararumah saya. Pak saya pulang dulu, takut dicari ibu, katanyausai melirik jam. Saya mengantarnya sampai di pintu pagar.Memandanginya sampai ditelah sebuah gang dalam kegelapan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    55/111

    55

    kampung saya. Diam-diam saya berdoa, benar-benar berdoa,agar tuhan membetulkan pemahaman anak ini jika salahtentang puisi, karena aku tak yakin benar.

    Seminggu lebih aku tak mendengar kabar lagi tentanganak ini. Sampai suatu malam, sepulang aku kerja dari kantoryang tak kenal jam kerja, istri saya bercerita. Si kamu, soretadi ketika jadwal membaca di taman baca kami, memintadengan sopan teman-temannya untuk berhenti sejenakmembaca. Lalu ia membacakan sebuah puisi. Istri sayamenyodorkan secarik kertas, berisi salinan puisi anakberumur duabelas tahun yang duduk di kelas VI itu.malam ini di luar kamar turun hujanaku belum bisa terpejambapak sudah seminggu hilang pekerjaanadik sakit, dari hidungnya ingus berlelerankakak, kemarin ketahuan merokok sepulang sekolahanibu, tadi sore menghitung uangaku, aku sedih bukan mainan

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    56/111

    56

    MEMISAH PENGAJARAN SASTRADARI BAHASA

    Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda

    eskipun buku-buku fiksi Islami, chicklit, teenlit , danfiksi seksual sangat laris di pasaran, tingkat

    apresiasi sastra masyarakat masih bisa dianggaprendah. Buktinya, karya-karya sastra serius, baik novel,kumpulan cerpen maupun puisi, masih kurang laku danhanya berdebu di toko-toko buku atau menumpuk di gudangpenerbit.

    Rendahnya apresiasi sastra masyarakat itu, terutamadisebabkan oleh kegagalan pengajaran sastra di sekolahmenengah (SMP dan SMU). Persoalan yang sudah dilansiroleh almarhum HB Jassin sejak 1970-an itu hingga kiniagaknya belum bisa diatasi secara tuntas oleh pihak-pihakterkait, seperti penyusun kurikulum sekolah menengah danguru sastra.

    Pasca-Jassin pun tidak kurang sastrawan dan pakarpengajaran sastra yang mencoba mengungkitnya. Dalamtahun 1980-an, misalnya, berkali-kali Suminto A Sayutimembahasnya dalam beberapa artikel di media cetak danberbagai forum diskusi. Dalam tahun 1990-an dan 2000-an,penyair Taufiq Ismail juga berkali-kali mempersoalkannya.

    Terakhir, saya bersama Gola Gong membahasnya pada talkshow Pendidikan Seni di Sekolah dalam rangka Tengerang ArtFestival 2005.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    57/111

    57

    Ketika menyampaikan orasi sastra pada PertemuanSastrawan Nusantara XIII di Surabaya, 27 September 2004,

    Taufiq Ismail masih mengatakan bahwa pengajaran sastra di

    sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnyaadalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya danrendah pula minat bacanya.

    Benarkah pengajaran sastra masih seburuk sinyalemen Taufiq Ismail? Menurut pengamatan saya, pelaksanaanpengajaran sastra di SMU saat ini sebenarnya sudah tidakseburuk yang diduga. Setidaknya, sudah banyak upaya kerasdari kalangan pendidikan sekolah menengah untukmemperbaikinya. Persoalan utama yang hingga kini masihmenghambat pengembangan pengajaran sastra di sekolahmenengah adalah masih melekatnya pengajaran sastra padapengajarah bahasa (Indonesia). Artinya, pengajaran sastrahanya ditempatkan sebagai salah satu aspek pengajaran

    bahasa.Saat ini sebenarnya sudah banyak sekolah maupun

    guru sastra yang memberikan perhatian lebih bagipeningkatan apresiasi sastra para siswanya. Mereka tidakhanya diberi pengatahuan dan sejarah sastra, juga tidak hanyadiajak mengapresiasi karya-karya sastra, tapi juga diajak untukmenulis karya sastra. Setidaknya, melalui kegiatan ekstrakurikuler dan sanggar-sanggar sastra di sekolah. Karya-karyapara siswa yang dimuat di suplemen Kaki Langit MajalahHorison merupakan bukti banyaknya siswa SMU yang kinigemar dan mahir menulis karya sastra. Begitu juga sikapwellcome hampir semua SMU di Tanah Air untuk menjadiajang kegiatan 'sastra masuk sekolah' yang dimotori Horison

    dan didukung Ford Foundation.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    58/111

    58

    Upaya untuk memperbanyak porsi pengajaran sastraguna meningkatkan apresiasi sastra para siswa juga terlihatpada buku-buku pegangan pengajaran Bahasa dan Sastra

    Indonesia yang disusun berdasarkan prinsip KurikulumBerbasis Kompetensi. Misalnya saja, adalah buku-buku yangdisusun oleh Diyan Kurniawati dkk, yakni Bahasa Indonesia (Intan Pariwara), serta yang disusun oleh Tika Hatikah danMulyanis, Membina Komptensi Berbahasa dan Sastra Indonesia (Grafindo Media Pratama). Aspek kebahasaan menempatiporsi yang sama dengan aspek apresiasi sastra. Aspek-aspek

    lainnya adalah mendengarkan, berbicara, dan menulis. Jadi,semua aspek penguasaan bahasa Indonesia mendapatkanporsi yang seimbang.

    Selain itu, contoh-contoh karya sastra yang menjadiobyek pelajaran juga karya-karya sastra terkini, tanpameninggalkan karya-karya sastra lama. Peristiwa-peristiwa

    kesenian yang diambil sebagai bahan bacaan juga peristiwa-peristiwa terkini. Pada buku Bahasa Indonesia 1A, misalnya,siswa dikenalkan pada karya-karya Kirjomulyo, Ahmadun

    Yosi Herfanda, Leon Agusta, Ramadhan KH, Rendra, SlametSukirnanto, Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Abdul Hadi

    WM, Dali S Naga, Taufiq Ismail, Hartoyo Andangjaya, PopiSopiati, Marianne Katoppo, YB Mangunwijaya, NH Dini,

    Marga T, Wildan Yatim, Bakdi Sumanto, A Rumadi, SugiartaSriwibawa, Ahmad Tohari, Pandir Kelana, Amal Hamzah,Prijo Basuki, Ajib Hamzah, Motinggo Boesye, Iman BudhiSantosa, Hidayat Muhammad, dan Amir Hamzah.

    Pada buku yang sama, jilid 1B, siswa dikenalkan padakarya-karya Arisel Ba, Emha Ainun Najib, Djisno Zero, Bejo,

    Nugroho Notosusanto, JE Siahaan, Seno Gumira Ajidarma,Sanusi Pane, Max Arifin, Putu Wijaya, A Rumadi, Sopocles,

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    59/111

    59

    Rendra, Bakdi Soemanto, Iwan Simatupang, Har, Sutan Takdir Alisyahbana, YB Mangunwijaya, Mochtar Lubis,Gerson Poyk, Budi Darma, Ayu Utami, NH Dini, Ahmad

    Tohari, Hamka, Amijn Pane, Idrus, Adjib Hamzah, YBSudarmanto, dan Marah Rusli.

    Sementara, pada buku Membina Kompetensi Berbahasa danSastra Indonesia jilid 2A (kelas II SMU semester 1) siswadikenalkan pada karya Sena Gumira Ajidarma, Taufiq Ismail,Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, Putu Wijaya, BakdiSumanto, Puntung CM Pudjadi, Rendra, sampai Hikayat SriRama . Pada buku yang sama, jilid 2B (untuk kelas II SMUsemester 2), siswa dikenalkan pada karya-karya MotinggoBoesye, Harris Effendi Tahar, Robert Fontaine, ErnestHemingway, dan Abdul Muis. Dan, pada jilid 3B (untuk kelasIII SMU Semester 2), siswa dikenalkan sejak pada karya-karyaUmar Kayam, Jamil Suherman, Budi Darma, Gregorio Lopez

    Y Fuentes, Muhammad Ali, Motinggo Boesye, B Sularto,Mochtar Lubis, Suwarsih Djojopuspito, sampai Raja Ali Haji.

    Melihat nama-nama sastrawan yang karya-karyanyadikutip pada buku-buku tersebut, sebenarnya sudah tidak paslagi tudingan sementara pengamat bahwa pengajaran sastra diSMU berhenti hanya sampai Angkatan 66. Sebab, banyaknama-nama sastrawan kontemporer, bahkan terkini, yangkarya-karyanya diperkenalkan kepada siswa melalui buku-buku tersebut. Tulisan-tulisan non-sastra yang dikutip jugadiambil dari surat-surat kabar dan majalah yang berisiperistiwa-peristiwa terkini. Bahkan, mungkin karena terlaluinginnya menyesuaikan materi pengajaran sastra denganperkembangan (sastra) terkini, ada nama-nama yang belum

    dikenal yang karyanya ikut dikutip, seperti Bejo (cerita lucu),

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    60/111

    60

    Har (legenda Banyuwangi), Ariesel Ba (puisi), Popi Supiati(puisi) dan Djisno Zero (cerpen).

    Dengan begitu, materi (buku) yang tersedia untuk

    pengajaran sastra di SMU sebenarnya sudah sedemikian majudan sesuai dengan perkembangan sastra dan zaman terkini.Guru tinggal mendorong siswa untuk membaca karya-karyalain dari pengarang-pengarang pilihan yang karya-karyanyadikutip tersebut. Jika mau dicari kekurangannya, barangkaliadalah minimnya kesempatan bagi siswa untuk diajak berlatihmenulis karya sastra. Berdasarkan buku-buku di atas, padaaspek ketrampilan menulis, siswa hanya diajak menulis karyasastra pada kelas I semester 2 (jilid 1B), yakni menulis cerpen,puisi dan naskah drama. Inipun, barangkali, hanya diberikanpada satu dua kali pertemuan saja. Pada kenyataannya, dibanyak SMU, pelajaran kesenian memang hanya diberikanpada siswa kelas I saja. Karena itu, masih diperlukan kegiatan

    ekstra kurikuler kesenian, termasuk seni sastra, untukmenyalurkan dan mengembangkan bakat-bakat seni (sastra)siswa.

    Melihat materi dan porsi pengajaran sastra yang saat inisudah cukup bagus, dan sesuai dengan perkembangan sastraterkini, sebenarnya ada peluang besar bagi guru bahasa/sastrauntuk meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadapkarya sastra. Tetapi, karena pengajaran sastra masih hanyabagian dari pengajaran bahasa, pelaksanaan pengajaran sastrauntuk mencapai tujuan tersebut masih sulit untukberlangsung maksimal. Apalagi, jika upaya guru untuk ituterhalang oleh minimnya buku sastra di perpustakaansekolah.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    61/111

    61

    Dengan posisi melekat pada pengajaran bahasa,pelaksanaan pengajaran sastra akhirnya akan sangattergantung pada guru-guru bahasa. Jika sang guru bahasa

    memiliki apresiasi sastra yang tinggi, maka pengajaran sastrajuga akan mendapatkan perhatian yang lebih. Tetapi, jikagurunya tidak memiliki minat terhadap sastra, atau memilikiapresiasi sastra yang rendah, maka pengajaran sastracenderung akan dilaksanakan apa adanya saja sesuai materiyang ada di buku pegangan. Guru tidak akan tertarik untukbersungguh-sungguh meningkatkan apresiasi, wawasan dan

    minat baca siswa terhadap karya sastra.Prestasi siswa dalam pengajaran sastra yang tidak

    muncul sebagai nilai (rapor) tersendiri tapi hanya menjadibagian dari nilai bahasa, juga tidak dapat mendorong merekauntuk bersungguh-sungguh dalam pelajaran sastra. Cukuplogis jika para siswa merasa tidak perlu bersungguh-sungguh

    dalam menguasai pelajaran apresiasi sastra, karena prestasimereka dalam pelajaran ini hanya akan menyumbang tidaklebih dari 20 persen nilai bahasa Indonesia pada rapornya --persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek mendengarkan,berbicara, membaca, menulis, dan kebahasaan. Apalagi, jikaminat mereka pada bidang sastra memang rendah.

    Pada akhirnya, efektif tidaknya pengajaran sastra untukmeningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karyasastra, tergantung pada guru bahasanya. Jika sang guru bahasatidak memiliki minat terhadap sastra, serta apresiasi danpengetahuan sastranya rendah, maka sulit diharap akanmelaksanakan pengajaran sastra secara maksimal, kreatif danefektif. Dan, jika kebanyakan guru bahasa Indonesia

    berkarakter demikian, maka pengajaran sastra akan tetapmenuai kegagalan.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    62/111

    62

    Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembaliagar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa

    Indonesia. Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaransastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal.

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    63/111

    63

    KONDISI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRAINDONESIA DENGAN KURIKULUM 1994 DI

    SLTPN KOTA PADANGOleh: Oleh: Ermanto, S.Pd., M.Hum(Dosen FBSS Universitas Negeri Padang)

    Abstrak:enelitian ini mengkaji kondisi pembelajaran apresiasisastra Indonesia di SLTPN Kota Padang. Tujuanpenelitian adalah untuk mengungkapkan: bentuk

    persiapan dan pelaksanaan, model evaluasi, ketersediaan bukusastra, strategi mengajar guru, pandangan dan minat siswa

    dalam pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SLTPNKota Padang tersebut. Data dikumpulkan dengan angketyang diisi oleh 164 siswa dari 821 populasi siswa. Data inidilengkapi dengan hasil wawancara dengan guru bahasaIndonesia kelas III. Temuan penelitian yakni secarakeseluruhan pembelajaran apresiasi sastra Indonesia diSLTPN Kota Padang telah menunjukkan nilai sedang (2,43)dari skala empat dengan persentase pencapaian 63,6 persendari pencapaian ideal. Secara khusus bentuk persiapan danpelaksanaan bernilai baik (2,75 atau 68,9%), model evaluasibernilai baik (2,64 atau 66,2%), ketersediaan karya sastrabernilai sedang (1,97 atau 49,38%) strategi mengajar bernilaibaik (3,03 atau 75,78%), minat siswa bernilai sedang (2,27atau 56,84%) dari pencapaian ideal.

    P

  • 8/12/2019 Ihwal Pengajaran Sastra (Ed: Firman Nugraha)

    64/111

    64

    Kata Kunci: Pembelajaran, Apresiasi sastra Indonesia, Kurikulum1994.

    1. Pendahuluan

    Program pengajaran apresiasi sastra Indonesia yangdipadukan dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesiadilaksanakan di sekolah-sekolah sesuai dengan Kurikulum1994. Program pengajaran apresiasi sastra Indonesiaditujukan untuk meningkatkan apresiasi siswa terhadap sastraagar siswa memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan

    bermutu yang akhirnya berkeinginan membacanya. Dengankebiasaan membaca, memahami dan mengapresiasi sastraIndonesia diharapkan siswa mempunyai pengertian tentangmanusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai