i rm ru i$tmstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/buku...keputusan. terjadinya peraturan...

22
I I I I t t D I RM ru I$TM I f Penyusun: ntaningru \_ L \., za 5l m Heru Nurasa Yogi SupraYogi Sugandi

Upload: others

Post on 03-Mar-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

I

I

IItt

DI

RM ru

I$TM

I

f

Penyusun:ntaningru

\_ L \.,za5l mHeru Nurasa

Yogi SupraYogi Sugandi

Page 2: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

I

TRANSFO RMASI AD MINISTRASINEGARA; PERSPEKTIF P0LITIK

DAN KEBIIAIGN PUBLIK

Penyusun :SintaningrumHeru Nurasa

Yogi Supravogi Sugandi

ffi2011

Page 3: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

TRA N S FO RMASI AD MINIST RASI

N EGARA; PERSPEKTIF POLITIK

DAN KEBIJAKAN PUBLIK

Sintaningrum; Heru Nurasa;

Yogi SuPraYogi Sugandi

Desain Cover & LaY Out

What If Artwork

Cetakan Pertama, Juni 2011

ISBN 97 8-602-99311-3-6

PenerbitFalsafa

Jl. Kembang Raya No. 11, Kwitang Senen'

Jakarta Pusat

ku rn ia esa.scri Pt@ I ma i l.com

Pemesanan Buku

Penerbit Falsafa

Jt. Kembang Raya No- 11, Kwitang Senen'

Jakarta Pusat

ku rn iaesa.scri Pt@ gmai l.com

Page 4: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

DAFTAR ISI

PengantarDaftar IsiPendahuluan

Demokrasi dan PolitikRekonseptqalisasi Neliaia clan Pembangunan Dalarn Mewuiudkan De-

mokrasi Yang Mensejahterakan [caroline Paskarina) (15)

Pelegakan Hukum Atas Kasus "Money Politik"/Politik Uang Dalam Pe-

milihan Kepala Daerah [Pilkada) fsetiadin) (29)

Evaluasi Kebijakan Partai Politik Dalam Merespon Pemberlakuan Kuo-

ta 30% Keterwakilan Perernpuan Dalam Pencalonan Anggota Legislatif

Pada Pernilu 20A9 (Rosita Novi Andari S.Sos.) (51)

Politik Pembentukan Kebijakan [Tauran, S,Sos, M.Soc.Sc.) (71)

Kebiiakan PublikIirovasi Kebijakal Peningkatan Kesejahteraan Pegawai: Tarrik-Menarik

Antara Mission Driven dap Rule Driven [Dwi Harsono) (93)

Kapitalisme "Ngayau" Mutasi Genetika Kebijakan Kapitalisasi Perkebu'

nan Menjacli Kapiralisme Perkebunan (Muslih Amberi) (111)

Kongruensi Partai Politik, Kepala Daerah Dan Kebijakan Publik: Analisis

Terhaciap Model Formulasi Kebijakan Di Pemerintah Provinsi Sumatera

Barat (Hendri Koeswara, S.lp, M.Soc.Sc.) (133)

Interaksi Pemerintah Daerah Dan Dewan Perwakilan Ral<yat Daerah

Dalarn Penyusunan Kebijal<an Anggaran Di Kota Makassar [Dr. H. Muhlis

Madatri, M.Si.) (153)"Demokrasi clan Kebiiakan Publik (lke Wanusmawatie) (175)

Studi Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Dasar Dau Menl'ngah Era Otouo'

mi Daerah Di Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat [Roni Ekha

Putera, S.lp, M.Pa) (195)

pengaruh Implementasi Kebij;rkan Kualifikasi Akademik dan Sertifikasi

Pencticlik Untuk Guru Terhadap Kompetensi Guru Sekolah Dasar Di Ka-

br,rpaten Belitung Propinsi l(epulauan Bangka Belitung IDr. Sofjan AripinJ

(2Le)

Otonomi DaerahPenclaerahan Pbb cian Bphtb Dalam Kerangka Perluasan Desentralisasi

Fiskal di Inclonesia (Achmad Lutfi) (255)

Page 5: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

Sistem Pernerintahan Daerah Berbasis Masyarakat Multikultural (Bam-

bang Strpriyono) (27l)Transisi Dernokrasi Lokal Dalarn Komunitas Elite Politik Minangkabau

Moctern ['fengku Rikar Va]entina, Andri Rusta, Nicky Nia Gustriani) (287)

Reformasi BirokrasiKebijakatr Refbrnrasi B i ro krasi Pernerintah Dalam I rnpel etletrtas i Oto no-

mi Daerah di Indonesia [Budi Hitrtono, SE., M.Si.J (311)

Efektivitns Fungsi Auxiliary Servises di Penrerintah Daerah (Sttrdi l(asus

di Sekretariat Daerah I{ota PalernbangJ [1,r. Haricla Inch'aswari, S.Sos.)

(327)

Etika AdministrasiNilai Lokal Bagi Pejabat Pr"rblik fAsep Sumaryana) [403)

Kajian Pelaksanaan Kode Etik Pegarvai Negeri Sipil (Wisber Wiryanto)(4oe)

Partisipasi MasyarakatKemitraan Antar Al<tor Pada Prograrn Penartggulangarn lterriskinau Ter-

padu (PaketJ PZKP di t(ota Gorontalo (Drs. Dikson Jttttus, Mpa) (351")

Mengadvokas i Anggaran Daerah Melalui Pengr"ratart Masyarakat Berbasis

Agarna Untul< Kebijal<an Anggaran Yang Mensejahteral<an (Rozidateno

Putri Hanida) {373)"Pernberctayaan Petani Tarnbak Melalui Pengembaltgalt Budidaya Peri-

kanan [Dra. Diana Ilertati, M.Si., Dra. Strsi llardjati, Map) (383)

Page 6: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

Inovasi Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Pegawai:Tarik-Menarik antara Mission Driven dan Rule Drivenl

Dwi Harsono2

AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis keputuson program peningkatankesejahteraon pegowcti melalui pemberian uang malan bagi pegawai PemerintahKota Yogtakarta. Metode penelitian disusun untuk menggali orgumen-argumen pqroaktor yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Data dianalisis secorointeraktif dengan model struktur argumen sehingga keseluruhan argumen dapatdipetakan dan asumsi-asumsi yang digunakan oleh para aktor dalam pengambilankeputusan dapat diketahui. Penelitian ini menemuknn; a) Rendahnya pendapatanpegawai Kota Yogtakarta Program golongan I, II, dan tenoga bantuan/honorer(naban) yang berjumlah 4000 orang atau 48,1o% dari keseluruhan pegm,vai, dimanaper bulon hanya memperoleh rata-rata gaji dan tunjangan di bawah Rp 1 juta,mendorong perlunya program peningkatan kesejahteroon pegawai Pemerintah KotaYogtaknrta. Nomun, program peningkatan kesejahteraan tidak diperkenankonmelalui uang makan yong belum diatur untuk pegawai daerah. Pendapatantambahan diperoleh melalui tambahan penghasilan yang secara formal proseduraldiatur dan diperbolehkan. b) Rasionalitas substantif Pemerintah Kota untukmeningkatkan kesejahteraan pegawai (mission driven) dan penolakan Gubernuryang lebih mengutamakan aspek formal dan kebijakan (rule driven) menunjukkonadanya tarik-menarik antara pendekatan dalam pengambilon keputusan. Aspekkepatuhan terhadap peraturon lebih mengemukn dibandingkan dengan rasionalitasuntuk meningkntlan kesejahteraan sehingga uang makan tidak diperbolehkankarena ketiadaan dasar hukum (egalitas) dan menghindari terjadi kecemburuanqntar daerah (rebij akan).

Kata kunci: inovasi, kebijakan, kesejahteraan pegawai

A. PendahuluanPeraturan Menteri Keuangan nomor 221P}l4K.0512007 tentang Pemberian Uang

Makan bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberi inisiatif Pemerintah KotaYogyakarta untuk menganggarkan uang makan kepada pegawai di lingkungannya.Kebijakan anggaran uang lauk-pauk merupakan salah satu komitmen pemkotmeningkatkan kesejahteraan pegawai3. Meskipun telah menerima tunjangankesejahteraan sejak tahun 2006 tapijumlahnya kecil sehingga diperlukan tambahanpendapatan untuk meningkatkan kesejahteraar(. Jumlah total pegawai golongan I, II

1 Disampaikan pada Konferensi Administrasi Negara III di Universitas Padjadjaran, Bandung, tanggal6-8Juli20l02 Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Yogyakarta3 Jawa Pos, Pemkot Siapkan Rp 25 M: Untuk Uang Lauk Pauk PNS terbit tanggal 14 Mei 2007a Wawancara dengan Drs. Sunarto, Kabid Kesejahteraan dan Administrasi BKD Kota Yogyakarta,tanggal 23 Agustus 2008

93

Page 7: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

94

dan tenaga bantuan/honorer adalah 4000 orang dan hanya mendapat gaji dan tidakada tambahan pendapatan lain dan sejak dari awal adalah pegawai di KotaYogyakarta. Dengan demikian, terdapat sejumlah besar pegawai Kota Yogyakartamasih berpenghasilan rendah karena golongan I, II dan tenaga bantuan,ftonoreradalah pegawai yang berpenghasilan paling kecil di Kota Yogyakarla5.

Hasil evaluasi RAPBD Kota Yogyakarta oleh Gubemur tidak meloloskananggaran pemberian uang lauk-pauk. Gubernur meminta revisi mata anggaran yangdiajukan dialihkan pada program dan kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakatdan belanja tambahan penghasilan PNS. Keterangan yang disampaikan anggota timevaluatorjuga tidak menyebutkan secara rinci alasan keberatan sehingga dibatalkan.

Argumen pemberian uang makan sangat penting untuk diketahui karenamenjadi dasar dalam pengambilan keputusan pada saat formulasi kebijakandilakukan. Demikian pula argumen yang digunakan oleh tim evaluator untukmenolak anggaran uang makan. Informasi yang bisa diketahui publik hanyalahrambu-rambu yang dimiliki oleh tim evaluator dalam melaksanakan tugas sedangargumen baik yang disampaikan oleh Pemkot maupun Pemprov tidak bisa diakses.Padahal argumen tersebut memiliki peran penting dan menjadi titik berat dalampengambilan keputusan yang dilakukan. Argumen tersebut menjadi alasan utamamengapa Pemkot mengajukan rencana pemberian uang makan dan juga alasanmengapa Tim Evaluasi Pemprov menolak rencana tersebut. Dari argumen yangdikemukakan, diharapkan muncul alasan-alasan utama yang menjadi dasar mengapakeputusan itu dibuat.

Dengan melihat latar belakang penelitian di atas, maka pertanyaan penelitianyang diajukan adalah:l. Mengapa diperlukan program peningkatan kesejahteraan bagi pegawai

pemerintah kota Yogyakarta?2. Bagaimanakah analisis keputusan program peningkatan kesejahteraan pegawai

Pemerintah Kota Yogyakarta?Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah:l. Mengetahui argumen berbagai pihak terkait pemberian uang makan dan

tunjangan tambahan penghasi lan.2. Mengetahui pendekatan yang digunakan dan nilai-nilai yang mempengaruhi

pengambilan keputusan program peningkatan kesejahteraan pegawai.

B. Kajian Teoril. Kebijakan untuk Pengambilan Keputusan

Studi tentang proses pengambilan keputusan masih sangat terbatas. Masyarakathanya mengetahui hasil akhir dari setiap proses yang terjadi sedangkan informasijalannya proses tersebut hanya diketahui oleh pihak-pihak yang terlibat dalam prosestersebut. Mekanisme pengambilan keputusan dalam proses penetapan kebijakan jugameliputi evaluasi rancangan kebijakan yang dibuat oleh daerah.

Kajian atas tiga produk peraturan tentang pemerintahan daerah yangberhubungan dengan mekanisme pengambilan keputusan menggambarkan adanyapergeseran atas pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan otonomi daerah.Nuansa yang sangat sentralistik dalam UU no 5 tahun 1974 bergeser menjadi hampirterdesentralisasi seluruhnya dalam UU no 22 tahun 1999. lmbas dari reformasi

5 Sunarto, ibid, wawancara dan dokumentasi catatan pribadi tentang realisasi anggaran belanja tidaklangsung BKD tahun 2007

Page 8: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

95

melemahkan campur tangan negara. Di sisi lain, keinginan daerah untuk merengkuhkemandirian sangat besar. Akibatnya sangat mungkin muncul perda yang tidakselaras bahkan bertentangan dengan peraturan yang ada atasnya karena beragamnyatafsir atas peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Kondisi di atas mulai ditata dalam UU no 32 tahun 2004. Kesan desentralisasiadministratif berusaha ditegakkan dengan mempertegas mekanisme dalampengambilan keputusan dengan tetap memperhatikan kewenangar/urusan yangmenjadi hak daerah. Pendekatan preventif dilaksanakan sehingga semua produkperaturan di tingkat pemkab/pemkot dievaluasi untuk diberikan pengesahan sebelumditetapkan. Mekanisme ini menghindari terjadi pemborosan sumber daya di daerahdan mengoptimalkan peran pemerintahan yang ada di atasnya dalam pengambilankeputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari.2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai

Kesejahteraan pegawai diatur dalam Undang-undang nomor 43 tahun 1999. Didalamnya dijelaskan bahwa kesejahteraan merupakan salah satu kegiatan yangmenjadi kebijaksanaan manajemen PNS dan diselenggarakan untuk meningkatkankegairahan bekerja. Sebagai kebijaksanaan, kesejahteraan pegawai memiliki maknatentatif dan memberikan keleluasaan bagi pemerintah baik pusat maupun daerahuntuk mengimplementasikannya. Di samping itu, kegairahan bekerja sebagai dasardari penyelenggaraan kesejahteraan bisa dimaknai secara terbuka. Dengan demikianpemerintah baik pusat maupun daerah memiliki keleluasaan dalammenginterpretasikan kebijakan tersebut. Implikasinya kebijakan menyangkutkesejahteraan pegawai bersifat fakultatif. Kegiatan tersebut bisa tidakdiselenggarakan apabila analisis kebutuhan yang dilakukan oleh pejabat tersebutmenghasilkan rekomendasi bahwa kesejahteraan belum menjadi prioritas dalampengambilan keputusan. Padahal pengambilan keputusan seringkali lebih dipengaruhioleh ketersediaan anggaran sehingga kesejahteraan pegawai kurang diprioritaskan.3. Teori Pengambilan Keputusan

Parsons (2005) mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan berada di antaraperumusan kebijakan dan implementasi6. Proses pengambilan keputusan bersifatdinamis dan bergerak dari formulasi kebijakan menuju penetapan kebijakan untukdiimplementasikan. Dalam glossory administrasi publik, pembuatan keputusandidefinisikan sebagai suatu proses dalam mana pilihan-pilihan dibuat untukmengubah (atau tidak mengubah) suatu kondisi yang telah ada, memilih serangkaiantindakan yang paling tepat untuk mencapai suatu tujuan yang paling diinginkan, danuntuk mengurangi resiko-resiko, ketidakpastian dan pengeluaran sumber-sumberdalam rangka mengejar tujuanT. Dua pendapat di atas memiliki makna senada dimanapengambilan keputusan merupakan proses yang terjadi secara terus menerusmeskipun telah memasuki tahapan yang berbeda dalam proses pembuatan kebijakan.

William R. Dill yang mengemukakan keputusan sebagai suatu pilihan terhadappelbagai macam alternatifl. Dalam definisi ini, Dill menegaskan tentang adanyakemiripan antara pembuatan keputusan dengan pembuatan kebijakan. Definisi inididukung oleh pendapat yang dikeluarkan oleh Nigro dan Nigro yang tidak

6wuyn" Parsons. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis kebijakan. Edisi Pertama.Jakarta. Kencana. hal. 247Tdalu- M. Irfan Islamy. 1994. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakasanaan Negara. Cet. 7 Jakarta.Bumi Aksara . hal. 22-23.8 William R Dill dalam Irfan Islamy, ibid.hal.22

Page 9: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

96

membedakan pembuatan keputusan dengan pembuatan kebijakan. Nigro dan Nigromengemukakan tidak ada perbedaan yang mutlak dapat dibuat antara pembuatankeputusan dan pembuatan kebijakan, karena setiap penentuan kebijakan adalahmerupakan suatu keputusan. Tetapi kebijakan membentuk rangkaian tindakan yangmengarahkan banyak macam keputusan yang dibuat dalam rangka melaksanakantuj uan-tuj uan yang telah dipilihe.

Berbeda dengan pendapat Anderson yang membedakan pengambilan keputusandengan pembuatan kebijakan. Anderson mengemukakan bahwa pengambilankeputusan melibatkan pilihan dari sebuah alternatif diantara sekelompok alternatiflain yang bersainglo. Dari perbagai alternatif yang tersedia, sekelompok aktor yangterlibat dalam pembuatan kebijakan harus berkompromi untuk menentukan sebuahpilihan yang disepakati untuk dilaksanakan. Sedangkan pembuatan kebijakanberkaitan dengan pola tindakan yang melibatkan banyak keputusan dan terjadi secararutin maupun tidakll. Pendapat ini sesuai dengan definisi menurut Bintoroljokroamidjojo yang mengemukakan bahwa apabila pemilihan alternatif dilakukansekali dan selesai maka kegiatan itu disebut pembuatan keputusan. Sebuah kegiatandinamakan perumusan kebijakan adalah apabila pemilhan alternatif itu terus menerusdilakukan dan tidak pernah selesai12.

Dalam formulasi, sebuah rancangan kebijakan dibahas dengan melibatkanberbagai pihak baik yang mendukung maupun menentang kebijakan tersebut.Menurut Anderson formulasi merupakan kompetisi untuk mencapai kesepakatan(compete for occeptonce) dan memiliki karakteristik melibatkan berbagai macamkepentingan untuk didiskusikan dan dikompromikanl3. Berbagai pendapat yangmuncul saling beradu argumentasi dan mempengaruhi satu dengan yang lain dengantujuan memcapai kesepakatan. Ketika rancangan kebijakan selesai diformulasikan,berarti telah melewati ajang yang tidak mudah dan bisa jadi berliku. Menurut Nigrodan Nigro terdapat 5 faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan ataukebijakan: a) adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar, b) adanya pengaruhkebiasaan lama (konservatisme), c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi, d) adanyapengaruh dari kelompok luar, dan e) adanyapengaruh keadaan masa lalula.

Aktor-aktor yang terlibat pengambilan keputusan dalam formulasi berbedadengan evaluasi rancangan kebijakan. Aktor-aktor dalam formulasi berada dalamkesetaraan dan memiliki posisi dan peluang yang sama dalam pengambilankeputusan. Sedangkan dalam evaluasi rancangan kebijakan, aktor-aktor yang terlibatadalah eksekutif tapi berasal dari tingkat pemerintahan yang berbeda. Andersonmengungkapkan keterlibatan badan-badan administratif dalam pembuatan kebijakansangat mungkin terjadi dalam konsep otonomils. Badan ini dibentuk dengan tujuanuntuk melakukan kontrol atas daerah berkaitan dengan kewenangan yang diberikansebagai konsekuensi dari otonomi.

Organisasi seringkali membuat peraturan dan pedoman pelaksanaanpengambilan keputusan bagi instansi dari pusat hingga daerah. Interpretasi atas

e Nigro dan Nigro dalam Irfan Islamy, ibid.hal.2210 Jat es E. Anderson.1978. Public Policy-Making. Second Edition. Holt, Rinehart and Winston. hal. 9rr Nigro dalam Irfan Islamy, opcit.12 Bintoro dalam kfan Islamy, ibid.13 Anderson, ibid. hal. 661a Nigro dalam Irfan Islamy, opcit,hal.261s Anderson, opcit, hal. 38-39

Page 10: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

97

peraturan bersifat kaku dan menjadi hak pemerintah pusat untuk menterjemahkannya.Kondisi ini seringkali menyulitkan karena terdapat keragaman antar daerah.Walaupun demikian daerah harus tetap menjalankan peraturan tersebut karenamenjadi rambu-rambu bagi daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Dalam evaluasi, pola hubungan yang terjadi bersifat hierarkhis. Badanadministratif dalam melakukan pengawasan memiliki kemampuan untuk mengubah,bahkan membatalkan'kebijakan sebagai wujud dari kekuasaan dalam pembuatanperaturan16. Namun, individu-individu yang terlibat di badan administrasi tidak bolehmenutup mata terhadap pengambilan keputusan atas rancangan kebijakan tersebut.Menurut AndersonlT, terdapat enam kriteria keputusan yang menjadi pertimbangansetiap individu dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan. Kriteria tersebutmeliputi; a) nilai, b) afiliasi partai politik, c) kepentingan konstituen, d) opini publik,e) kesungkanan terhadap Pendapat pejabat/pimpinan (deference), dan f) peraturanuntuk pengambilan keputusan

Meskipun mengungkapkan enam kriteria, tapi Anderson memberikanmemberikan catatan khusus pada nilai (value) sebagai satu kriteria pengambilankeputusan dalam formulasi kebijakan. Pandangan para aktor sangat dipengaruhi olehnilai-nilai yang dimiliki dalam pengambilan keputusan dan banyak keputusan justrumenggunakan pertimbangan nilai dibanding lima kriteria lainnya. Andersonmenyebutkan lima kategori nilai yang menjadi pertimbangan para pengambilankeputusan, yang terdiri dari: a) nilai-nilai politik, b) nilai-nilai organisasi, c) nilai-nilai individu, d) nilai-nilai kebijakan, dan e) nilai-nilai ideologisls.

Pengambilan keputusan baik di tingkat formulasi maupun evaluasi rancangankebijakan seyogyanya menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, termasukkelima kriteria lainnya. Pertarungan argumen pada saat formulasi bisa sangat dinamisketika kriteria yang terlibat sangat beragam. Namun pada tingkat evaluasi, kriteriayang digunakan bisa jadi tidak seluruhnya. Bahkan, tim evaluator bisa menempatkankriteria peraturan dalam pembuatan keputusan (decision rules) dengan bobot yanglebih tinggi. Mengingat tim evaluator memiliki konsekuensi untuk mematuhi rambu-rambu peraturan dalam pelaksanaan tugasnya.4. Analisis Keputusan

Informasi tentang kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan dapatdiketahui ketika argumentasi yang dikemukakan dapat diketahui dan terbuka,termasuk analisis atas proses dan hasil dari keputusan. Sebagaimana yangdiungkapkan oleh Lasswellle bahwa analisis keputusan berkaitan dengan "siapa yangmendapatkan sesuatu, kapan [dan] bagaimana ia mendapatkannya". Artinya, prosesdan hasil keputusan harus dianalisis secara keseluruhan karena dapat menggambarkansiapa yang menang dalam proses pengambilan keputusan dan cara yang digunakanuntuk memenangkanny a2o .

Tujuan analisis keputusan untuk memberikan argumen tentang cara keputusanitu diambil atau bagaimana keputusan itu seharusnya dibuat bisa tercapai2l. Tanpamengetahui argumen yang digunakan maka cara keputusan diambil dan bagaimana

r6 Anderson, ibid.r7 Anderson, loccit.r8 Anderson, ibid hal. 14-151e Laswell dalam Parsons, hal. 24820 Laswell, ibid.2r Parsons, loccit. hal. 248

Page 11: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

98

C. Metode PenelitianMetode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan

pendekatan deskriptif. Argumen informan sebagai data penelitian berbentukpernyataan-pernyataan maupun deskripsi tindakan yang bersifat unik sehinggametode kualitatif sangat penting diterapkan dalam penelitian ini.28. Di samping itu,metode ini juga menekankan pada aspek kedalaman dari data yang diperoleh danmenjadi tujuan utama untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penentuan informanberdasarkan pendekatan creation based selection2e. Kriteria keterlibatan dalam

22 Parsons, ibid.23craham T. Allison. 1971. Essence of Decision: Explainingthe Cuban Missile Crisis. l6th printing.Boston. Little, Brown & Company. Preface hal. V.2aMichael Hill. 2005. The Public Policy Process. 4th ed. Glasgow. Pearson Education Limited. hal. 525 Anderson, loccit p. 2226 Anderson, ibid27 Hill, opcit. hal. 7828 Lofland dan Lofland dalam Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet.Ke-22.Bandung. PT Remaja Rosdakarya. hal. 15729Noeng Muhadjir. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet.2.Yogyakarta. Rake Sarasin.hal. 132

keputusan tersebut tercapai sulit untuk diketahui. Argumen tersebut memberikaninformasi tentang cara maupun proses keputusan dicapai dan menggambarkan besarkecilnya pengaruh argumen terhadap hasil akhir keputusan. Analisis keputusanberusaha untuk menunjukkan'apa sesungguhnya yang terjadi' dan ini tidak mudah22.

Untuk melakukannya, diperlukan lensa konseptual yang berbeda sebagai pembandingsehingga kerangka acuan dasar yang digunakan bisa diketahui23.

Menurut Hill (2005), studi proses kebijakan (policy shaping) memfokuskanperhatian pada bagaimana keputusan kebijakan dibuat dan bagaimana kebijakandisiapkan dalam aksi2a. Evaluasi rancangan kebijakan berada pada tingkat bagaimanakeputusan kebijakan dibuat sehingga belum dilaksanakan. Analisis hanya dilakukanatas argumen pada saat formulasi dan evaluasi rancangan oleh tim evaluator.Keputusan yang diambil pun memiliki pengaruh yang relatif terbatas, yakni di tingkatpemkab/pemkot. Aktor-aktor yang terlibat pun terbatas pada pejabat eksekutif yangditunjuk di tingkat pemkab/pemkot dan pemprov.

Keterlibatan institusi negara yang diwakili oleh tim evaluator dengan tugasyang cenderung rutin dan formal memunculkan adanya formalisme dalam setiaptugas yang dijalankan. Menurut Anderson (1978), institusi adalah ..a set ofregularized potterns of human behavior that persist over time2s. Aturan yang bersifattetap bisa mempengaruhi individu dan membentuk perilaku karena terjadiinternalisasi yang terus-menerus. Dengan demikian, struktur, bentuk, dan proseduryang dimiliki oleh institusi bisa memiliki dampak yang signifikan pada kebijakanpublik dan tidak bisa diabaikan dalam analisis kebijakan26. Proses legislasi negaradijalankan oleh individu yang menjadi wakil institusi sehingga pandangan danperilakunya menjadi kunci penentu besar kecilnya pengaruh institusi terhadapkebijakan yang diambil. Hill (2005) mengemukakan empat model konseptual tentangperan negara dalam pengambilan keputusan27. Model I negara sebagai entitas yangpasif untuk dipengaruhi. Model 2 negara sebagai entitas yang aktif dan mempunyaikepentingannya sendiri. Model 3 negaru sebagai sekelompok aklor yang secarapotensial memiliki konflik kepentingan. Model 4 negara sebagai sebuah sistem yangterstruktur yang mempengaruhi dan mungkin membatasi tindakan.

Page 12: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

99

pengambilan keputusan serta kompetensi terkait dengan tduan penelitian menjadipertimbangan dalam penentuan informan. Teknik ini memberikan keleluasaan padapeneliti dalam menggali berita dan bergerak dari informan satu kepada informanselanjutnya dengan harapan data yang diperoleh menjadi lebih tajam. Sedangkanpengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi.Keabsahan (validitas) dan kemantapan (reliabilitas) data dalam penelitian diujidengan teknik triangulasi.

Obyek penelitian adalah individu yang terlibat dalam proses penyusunan danevaluasi program peningkatan kesejahteraan pegawai. Sasaran pertama adalahindividu yang terlibat dalam proses penyusunan program peningkatan kesejahteraanpegawai di tingkat pemerintah kota yakni Tim Anggaran Pemerintah KotaYogyakarta. Sedangkan sasaran kedua adalah individu yang terlibat dalam prosesevaluasi rancangan kebijakan pemerintah kota yang tertuang dalam RAPBD 2007yang berasal dari beberapa bagian yang berbeda dalam lingkungan PemerintahProvinsi DIY dan bertugas sebagai tim Evaluator RAPBD 2007.

Analisis penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dimana penelitimenyajikan data yang diperoleh dari wawancara berupa tanggapan maupunpemyataantentang program peningkatan kesejahteraan pegawai. Peningkatankesejahteraan sebagai variabel penelitian dianalisis dengan menggunakan modelinteraktifo. Sedangkan untuk melakukan penilaian kritis atas informasi tentanganalisis keputusan yang menjadi pertanyaan penelitian digunakan model strukturargumen3l.

D. Hasil dan PembahasanPemerintah Kota Yogyakarta sebagai salah satu pemerintah daerah di wilayah

Republik Indonesia adalah daerah otonom yang berwenang untuk mengatur danmengurus secara mandiri urusan pemerintahannya. Kewenangan yang dimiliki daerahotonom adalah perwujudan asas desentralisasi. Dalam negara kesatuan, desentralisasiyang didelegasikan kepada daerah adalah desentralisasi administratif. Oleh karena ituurusan-urusan yang memiliki nuansa politik masih menjadi urusan pemerintah pusat.Pendelegasian urusan juga disertai dengan penyerahan sumber pendanaan, pengalihansarana dan prasarana, serta perubahan status kepegawaian dari pusat kepada daerahdan selanjutnya menjadi hak daerah untuk mengelola.

Keberadaan PNS pusat dan daerah di daerah otonom tidak bisa dilepaskan daripenerapan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Akibatdesentralisasi, pemerintah daerah memiliki sejumlah pegawai daerah yang gaji dantunjangannya masuk dalam APBD. Gaji dan tunjangan yang diberikan kepadapegawai pusat dan daerah dibebankan dalam APBD dan bersumber dari dana alokasidasar dalam DAU. Dengan demikian pegawai daerah dan pegawai pusat, baik didaerah maupun instansi vertikal, gaji dan tunjangan yang diperoleh bersumber dariAPBN meskipun melalui pintu yang berbeda.

Secara kelembagaan, meskipun gaji berasal dari pemerintah pusat, fungsipengelolaan PNS daerah dilakukan oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD). SebagaiBadan di daerah otonom, salah satu tugas BKD adalah menyiapkan tunjangan dan

30 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Cet. l. Jakarta. UI-Press.3lToulmin dalam William N. Dunn. 2003. Public Policy Analysis: An Introduction. 3rd Edition.NewJersey. Pearson-Prentice Hall. hal. 387.

Page 13: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

100

kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil diluar gaji dan tunjangan yang melekat pada gajisesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Namun demikianpembahasan rancangan peraturan tentang kesejahteraan BKD tidak berdiri sendiri tapimelibatkan lembaga lain seperti BPKD dan BAPPEDA. BPKD terlibat dalam prosespengambilan keputusan karena memiliki fungsi pelaksanaan pengelolaan keuangandaerah. Keterlibatan BAPPEDA dalam pengambilan keputusan karena memilikifungsi perencanaan pembangunan daerah.

Peningkatan kesejahteraan dalam bentuk pemberian tambahan penghasilanmemiliki konsekuensi serius terhadap anggaran. Kesejahteraan pegawai adalahdomain BKD tapi yang memiliki anggaran untuk membiayai belanja pegawai dalambentuk kesejahteraan adalah BPKD dan koordinasi kegiatan ada di BAPPEDA.Jumlah pegawai di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta pada tahun 2008 sesuaigolongan dan jabatan adatah 8.308 orang. Porsi terbesar didominasi oleh tenagafungsional yang mencapai 4.773 orang atau 57,45 persen dari jumlah total pegawai.Jumlah total pegawai golongan I, II dan tenaga bantuan/honorer non fungsionaladatah 4000 orang dengan demikian berada di urutan kedua pegawai terbanyak dikota Yogyakarta32. Sedangkan sejumlah 4000 orang tersebut adalah pegawai biasadan honorer yang hanya mendapat gaji dan tidak ada tambahan pendapatan lain dansejak dari awal adalah pegawai di Kota Yogyakarta. Kelompok tersebutberpenghasilan rata-rata di bawah Rp I juta dan hanya beberapa yang diatas nilaitersebut karena telah memiliki masa kerja cukup lama. Dengan demikian terdapatsejumlah besar pegawai yang berpenghasilan rendah sehingga diperlukan tambahanpenghasilan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Banyaknya jumlah tenaga honorer/bantuan (naban) disebabkan oleh banyaknyapenambahan jumlah tenaga harian atau kontrak yang bisa dilakukan oleh masing-masing SKPD. Di samping walikota, SKPD bisa mengeluarkan surat keputusan untukpengangkatan pegawai di Iingkungannya masing-masing untuk menutupi kekurangantenaga yang ada. Kebutuhan akan tenaga kebersihan maupun penjaga malam seringkali diatasi dengan merekrut tenaga harian lepas atau mengangkat honorer. Akibatnyapengelolaan dan penambahan pegawai kurang terkendalinya.

Selama kurun beberapa tahun terakhir, pemerintah meningkatkan gaji dantunjangan pegawai negeri baik yang ada di pusat maupun daerah rata-rula mencapail5-20%. Peningkatun gaji dan tunjangan PNS yang dilakukan Pemerintah banyakmenyedot anggaran pendapatan dan belanja baik negara maupun daerah. Meskipuntetap memperhatikan golongan dan pangkat tapi tetap membutuhkan alokasi anggaranbelanja pegawai yang berjumlah besar sehingga diperlukan pengendalian jumlahpegawai. Besamya belanja pegawai mengakibatkan kebijakan pemerintah kota yangberimplikasi pada bertambahnya belanja bidang ini memiliki sensitivitas tinggi dalampembahasannya di Panitia Anggaran bersama DPRD.

Pemerintah Kota Yogyakarta dalam RAPBD 2007 mengajukan anggaranbelanja uang makan sebesar Rp. 25 milyar bagi pegawai di lingkungan KotaYogyakarta. RAPBD 2007 yang seharusnya telah ditetapkan menjadi perda padaakhir tahun 2006 mengalami kemunduran dan baru disetujui tanggal l0 Mei 2007.Namun proses penyusunan RAPBD 2007 telah berjalan sejak bulan September 2006.Dengan demikian pengajuan anggaran uang makan oleh pemerintah kota dalamRAPBD 2007 belum didasarkan Permenkeu no 22 tahun 2007 tapi pada saatpengesahan RAPBD 2007 permenkeu tersebut telah keluar.

r2 Sunarto. Loc cit.

Page 14: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

101

Proses penyusunan anggaran didahului dengan rapat Tim lintas Satuan KerjaPemerintah Daerah (SKPD) untuk membahas RAPBD 2007 termasuk didalamnyadibahas pula rencana pemberian uang makan untuk pegawai pemkot. Tim AnggaranPemerintah Daerah (TAPD) yang membahas rencana uang makan terdiri dari BadanPengelola Keuangan Daerah (BPKD), Badan perencanaan Pembangunan Daerah(BAPPEDA), Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Bagian Hukum dan BagianUmum. Hasil rapat tirn sebelum diserahkan ke Sekretaris Daerah (Sekda) diberi parafoleh dua lembaga yang menjadi penanggung jawab kegiatan tersebut yaituBAPPEDA dan BPKD. Berdasarkan laporan dari Tim tersebut, Sekda kemudianmengeluarkan surat edaran bagi SKPD untuk membuat rencana usulan anggaran uangmakan selama satu tahun untuk masing-masing SKPD. Rancana usulan anggarankemudian dibahas dalam rapat TAPD sebagai bahan RAPBD 2007 termasukdidalamnya dibahas pula rencana pemberian uang makan untuk pegawai pemkot.Hasil dari rapat TAPD dan Panitia Anggaran (Panggar) di DPRD Kota Yogyakartatidak mempermasalahkan anggaran pemberian uang makan untuk pegawai sehinggadapat ditetapkan menjadi Raperda tentang RAPBD.

Pembahasan surat edaran untuk penyusunan rencana anggaran pemberian uangmakan dalam rapat lintas SKPD ini adalah tahap penting dalam proses keseluruhanrencana pemberian uang makan untuk pegawai pemkot. Dalam rapat banyak tafsiryang berkembang atas peraturan untuk pemberian uang makan dan mendorong TAPDuntuk merumuskan surat edaran tersebut padahal diawal rencana pemberian uangmakan belum memiliki aturan tetap dan masih terbatas pada isu bahwa pemerintahmelalui menteri keuangan akan mengeluarkan peraturan untuk memberikan uangmakan bagi pegawai negeri. Disisi lain, keterlambatan penyusunan RAPBD 2007memberikan waktu lebih banyak bagi pemkot untuk lebih siap dalam merumuskanperaturan tentang pemberian uang makan di daerahnya.

Banyaknya tafsir yang berkembang tampak pada beberapa pernyataan yangdiberikan oleh beberapa informan. Jawaban informan sebagian besar masih berasumsipada permenkeu sebagai dasar pemberian uang makan. Mengingat yangmengeluarkan adalah Menkeu maka peraturan tersebut bersifat nasional33. Disamping itu, peraturan Menkeu biasanya terkait dengan regulasi anggaran sehinggasecara logika berlaku untuk semua pegawai dan tidak ada pembedaan antara pusatdan daerah3a karena pegawai daerah juga di gaji oleh pemerintah pusat meskipunmelalui APBD35. Meskipun demikian, muncul pendapat yang mengungkapkanadanya kesan terburu-buru dalam pembahasan tentang anggaran pemberian uangmakan di tingkat SKPD karena belum ada kesamaan pemahaman di daerah tapi suratedaran telah keluar36. Namun, tindakan tersebut merupakan inisiatif Pemkot untukmelakukan jemput bola atas kebijakan pemerintah pusat terkait dengan uang makan.

Inisiatifjemput bola terkait uang makan dalam RAPBD 2007 Pemerintah KotaYogyakarta temyata ditolak oleh Gubernur. Penolakan tersebut berdasarkanpembahasan yang dilakukan oleh Tim evaluator yang terdiri dari BPKD,BAWASDA, BAPEDA, Bagian Hukum dan Bagian Organisasi. Dalam tim evaluator,

33 Wawancara dengan Drs. Hardono, Asisten III Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta,tanggal 15

Agustus 20073a Wawancara dengan Budi S. Asrori, M.Si, Kabid Anggaran BPKD Kota Yogyakarta tanggal l1Maret 200835 Wawancara dengan Dra. Titik Sulastri, Kepala BPKD Kota Yogyakarta tanggal 28 Juli 200836 Sunarto, Loc cit. hal 63

Page 15: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

r02

setiap perwakilan, melakukan percermatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsiyang dimiliki3T. Pendapat yang berkembang sebagian besar menolak atau tidakmemperkenankan diberikannya uang makan untuk pegawai pemkot terkait aspeklegalitas (rule driven). Terdapat beberapa alasan yang memiliki kesamaan tentangpemberian uang makan kepada pegawai departemen atau instansi vertikal yangdisebabkan hari kerjanya adalah lima hari dan jam kerjanya sampai sore. Dari aspeklegalitas, peraturan tortang pengelolaan keuangan daerah belum mengatur tentanguang makan sehingga anggaran tersebut tidak bisa untuk uang makan38. PenggunaanPermenkeu sebagai dasar hukum uang makan tidak tepat3e sehingga uang makan yangmenjadi inisiatif Pemkot Yogyakarta tidak memiliki dasar hukumao.

Namun demikian, terdapat lontaran pendapat dalam tim evaluasi yang melihatadanya kebenaran secara normatif mekanisme penyusunan anggaran uang makanyang dimulai dari SKPD4l. Bahkan, pendapat lain mengatakan tidak ada masalah baikdari aspek administratif, struktur anggaran, maupun legalitas karena apabila daerahmampu untuk mengadakan maka tidak menjadi masalah. Justru yang menjadi titiktekan penolakan adalah aspek kebijakan untuk tidak menimbulkan terjadinyakecemburuan/ketimpangan antar daerahaz.

37 Wawancara dengan Wiyos Santoso, SE, Auditor BAWASDA Provinsi DIY tanggal 8 Agustus 200838 Wawancara dengan Siti Aminah, SH, staf Biro Hukum Provinsi DIY, tanggal I Agustus 20083e Wawancara per telepon dengan Tri Wulandari, SIP, Staf bid Pengendalian BAPEDA Provinsi DIY,tanggal 27 Agustus 2008ao Santoso, Op. cit.ar Wawancara dengan Aris Eko Nugroho, M.Si, Kabid Sistem Informasi BAPEDA Provinsi DfY,tanggal 27 Juli2008a2 Wawancara dengan Janat Haryanto, staf bid anggaran BPKD Provinsi DfY, tanggal 22 Juli 2008

Page 16: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

Belum ada ketentuanpemberian uang makan

bagi pegawai daerah(r)

Pemberian uangmakan tidak sesuai

dengan peraturan

dan kebij akan

Pemprov (Q)

Pemberian uangmakan tidak

diperkenankanuntuk pegawai

Kota Yogyakartadan harus direvisi

(c)Pemberian uang

makan hanyapegawai kementrian

negara,/lembaga(w)

Revisi dalambentuk belanjatambahanpenghasilan (I')

Uang makanmenambahpenghasilan

pegawai di luargaji dan tunjangan

lainnya (R)

o Kebijakan ProvDIY menghindariadanyakecemburuan/ketimpangan antardaerah (B)

. Pasal IPermenkeu nomor22 ralnn 2007

. Pasal IPermenkeunomor 22 tahun2007

o Pembahasanuang makandiharapkan olehbanyak pegawai(B)

103

Bagan I . Struktur Argumen Otoritatif Penolakan Uang Makan

Argumen tim evaluator merekomendasikan gubemur tidak memperkenankanuang makan karena belum ada ketentuan yang mengatur pemberian uang makan bagipegawai daerah (lihat bagan l). Terkait dengan Permenkeu yang mengatur uangmakan justru menjadi pembenaran karena hanya diberikan kepada pegawaikementrian negarrlembaga. Di samping itu kebijakan Pemerintah Provinsi DIYuntuk menghindari adanya kecemburuar/ketimpangan antar daerah merupakanpanduan utama sesuai pengarahan Kepala BPKD dalam rapat intemal tim evaluator.Penggunaan Permenkeu oleh Pemerintah Kota sebagai dasar uang makan justru tidaktepat. Dasar ini menjadi titik lemah pengajuan uang makan bagi pegawai daerah.Padahal, dasar utama pemberian uang makan adalah adanya rasional untukmenambah penghasilan pegawai di luar gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji.Besarnya harapan pegawai pada saat pembahasan tidak terlepas dari kuatnya isu yangberedar bahwa pegawai Kota akan memperoleh uang makan. Keputusan Gubemurtidak memperkenankan uang makan dan meminta revisi menjadi belanja tambahanpenghasilan bisa menjadi Informasi yang relevan untuk kebtakan pengganti yangdibuat oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.

Pengendalian terhadap anggaran sama halnya dengan mengontrol kebijakanyang dimitiki oleh pemerintah Kota Yogyakarta meskipun perencanaan danimplementasi dilakukan oleh Kota Yogyakarta. Di samping itu, keputusan mengenaianggaran membutuhkan keseimbangan (balance), keterbukaan terhadap lingkungandan syarat anggaran dari segi waktu dimana pemerintah bisa memutuskan tanpa

Page 17: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

104

interupsia3. Keberhasilan dalam mengendalikan anggaran merupakan cerminan darikemampuan pemerintah pusat untuk membuat aturan formal dan prosedur yangmenciptakan keseimbangan antar pemerintah pusat dan pemerintah Kota Yogyakarta,serta Kota Yogyakarta dengan daerah lainnya di Indonesiaaa.

Pengaruh pemerintah pusat sebagai institusi yang membuat aturan formal danprosedur untuk pengambilan keputusan tampak dalam alasan-alasan yang digunakanoleh tim evaluator Provinsi DIY ketika mengevaluasi anggaran pemberian uangmakan dalam RAPBD Kota Yogyakarta 2007. Meskipun dalam satu tim, individu-individu yang ada memiliki beberapa perbedaan pendapat. Namun demikian,sebagian besar masih berpegang pada landasan yuridis formal tentang dasar peraturanyang digunakan. Peraturan ini mempengaruhi pengambilan keputusan oleh timevaluator Provinsi DIY karena ada kecenderungan untuk menghindari membuatkebijakan yang berakhir dengan penolakan atau pembatalan oleh pemerintah pusatsehingga tindakan Dari beberapa pendapat yang muncul, aspek legalitas menjadikelemahan dalam pengajuan pemberian uang makan, dibanding administrasi,kebijakan, dan struktur anggaran.

Pertimbangan evaluator memang tidak sepenuhnya berpijak pada pada aspekformal prosedural. Tinjauan logis rasional juga muncul terkait komentar yangmengatakan bahwa secara administratif dan struktur anggaran Kota Yogyakarta sudahlebih baik dalam merancang anggaran untuk uang makan di tingkat daerah. Di sisilain, Pemerintah Kota juga memiliki kemampuan secara finansial untuk alokasianggaran dalam APBD. Dari aspek kebijakan juga tidak keliru untuk menganggarkanuang makan karena diperlukan oleh pegawai daerah. Pendapat ini memberikangambaran bahwa sisi rasional sebenarnya juga dilihat dalam proses evaluasi.

Dalam aspek kebijakan yang lebih dominan justru kepentingan provinsi untukmenghindari kecemburuan daerah lain DIY. Menurut Sleznickas tim evaluatorberinteraksi dan memiliki ketergantungan dengan lingkungan organisasinya. Dengandemikian keputusan-keputusan yang dibuat juga dipengaruhi oleh organisasi.Pertimbangan yang digunakan justru tidak murni formal dan rasional. Provinsimemiliki kebijakan untuk menyelaraskan kebijakan dengan tidak memberikan uangmakan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan yang dikemukakan adalahmenghindari munculnya kecemburuan antar daerah dan mengkondisikan agar tidaktimbul konflik terkait kebijakan yang dikeluarkan provinsi. Moralitas dalam nilaikebijakan muncul seiring ditekankannya aspek keselarasan dalam melakukanevaluasi. Panduan pimpinan tentang kesepakatan yang akan dibuat dan dibahas olehtim evaluator pada saat rapat internal dilakukan memunculkan adanya kesungkanan(deference) anggota sehingga mempengaruhi hasil evaluasi akhi16. Kriteria ini yangjustru paling berpengaruh dalam pembuatan keputusan akhir terhadap anggaran uangmakan yang diajukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.

Pengajuan uang makan dilatarbelakangi keinginan untuk menambahpenghasilan pegawai karena sebagian besar pegawai masih berpenghasilan rendah. Disisi lain, kebijakan tersebut dibayang-bayangi dengan penolakan pada saat evaluasirancangan. Namun, pemerintah kota tetap 'jalan terus' dan lebih mengedepankan

43 Stella Z. Theodoulou dan Mathew A. Cahn (ed.). 1995. Public Policy: The Essential Readings. NewJersey. Prentice Hall. hal. 18644 Hall dalam Parson,hal.337as Slemick dalam Parsons, ibid, hal.327a6 Anderson, op. cit, hal.76

Page 18: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

105

a? Herbert Simon dalam Parsons, loc cit. hal 278a8 Simon, loc cit.aNugroho, loc cit.

peningkatan kesejahteraan sebagai komitmen terhadap pegawai (mission driven).Kalaupun pemberian uang makan ditolak oleh Gubemur, maka pemerintah kotaYogyakarta masih diberi kesempatan untuk membuat revisi. Keputusan yang dibuatoleh pemerintah kota Yogyakarta berada ditengah-tengah keinginan untukmeningkatkan kesejahteraan pegawai dan ditolaknya program pemberian uangmakan. Rasionalitas untuk memberikan uang makan berhadapan dengan peraturanyang tidak menyebutkan pemberian uang makan untuk pegawai daerah.

Menurut SimonaT pembuatan keputusan oleh Pemerintah Kota Yogyakartadalam mengajukan pemberian uang makan dipahami sebagai kegiatan yang beradaditengah-tengah antara akal (rasional) dan perasaan (irasional). Rasional berupakeinginan untuk memberikan tambahan penghasilan dalam bentuk uang makan danperaturan tentang uang makan yang formal dan irasional karena hanya memberikanuang makan kepada pegawai pemerintah pusat saja. Perilaku seperti ini oleh Simondisebut rasionalitas terkekang dan muncul dalam bentuk perilaku administratif panitiaanggaran pemerintah Kota Yogyakarta. Pengambilan keputusan oleh panitia anggaranpemerintah Kota Yogyakarta beroperasi dalam dunia rasionalitas yang terkekang dandimotivasi oleh kepuasan, bukan maksimalisasia8. Fokusnya adalah meningkatkankesejahteraan melalui uang makan tapi ada resiko ditolak karena belum ada aturanbagi pegawai Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta dihadapkan pada keharusan untukmengambil keputusan yang sulit. Rasionalitas yang dibangun menjadi terbatasmeskipun tidak irasional. Memberikan peningkatan kesejahteraan melalui uangmakan tetap rasional dan tidak akan menjadi irasional. Namun dengan adanyaperaturan yang hanya membolehkan untuk pegawai pusat, membuat rasional tersebutdibatasi bahkan tidak digunakan (rule driven).

Momentum penting dalam perumusan uang makan justru terletak pada saatdiadakannya rapat lintas SKPD Kota Yogyakarta yang menghasilkan surat edaranSekda untuk pen),usunan anggaran uang makan. Pertimbangan mendasar yangdijadikan alasan pemberian uang makan adalah adanya keinginan untukmeningkatkan penghasilan pegawai melalui uang makan. Secara moral pemerintahkota Yogyakarta memiliki misi untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya.Moralitas sebagai dasar nilai kebijakan dominan dalam pengambilan keputusan dalamforum ini.

Di sisi lain, proses pembentukan kebijakan Q:olicy shaping) pemerintah kotauntuk menganggarkan uang makan merupakan contoh penting dalam melakukaninovasi kebijakan. Agenda untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai sebagaisebuah kebutuhan mendesak dimunculkan dalam rapat SKPD. Hasilnya kemudiandiakomodir oleh tim anggaran, yang berperan sebagai agency, dalam rapatpembahasan anggaran. Ketiadaan keberatan dari DPRD membuktikan bahwakebijakan tersebut dapat diterima oleh semua pihak. Dalam proses evaluasi pun,muncul pendapat yang membenarkan mekanisme yang digunakan oleh pememrintahKota Yogyakarta4e. Hal ini seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam evaluasisehingga tidak harus melakukan penolakan atas kebijakan tersebut.

Penolakan uang makan mendorong pemerintah kota Yogyakarta merumuskankebijakan baru berupa pemberian tambahan penghasilan. Pemerintah KotaYogyakarta berpendapat bahwa untuk peningkatan kesejahteraan pegawai tetap perlu

Page 19: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

106

ada tambahan penghasilan. Di samping itu, kebijakan ini bisa mewadahi plafonanggaran yang telah dialokasikan dalam APBD. Sesuai peraturan, tambahanpenghasilan bisa diberikan kepada pegawai dengan melihat kinerja yang dimiliki.

Pendekatan ini juga digunakan oleh pemerintah pusat terkait dengan pemberianuang makan untuk pegawai pemerintah pusat/instansi vertikal. Permenkeu yangmengatur uang makan dikeluarkan pada Februari 2007. Dampaknya banyak daerahyang berusaha memberikan uang makan tapi ditolak. Ini tampak dari surat edaranyang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh Gubemur danKabupaten/Kota di Indonesia yang menjelaskan bahwa uang makan hanya diberikanuntuk pegawai pusat. Namun pada Oktober 2007, keluar Permendagri yangmemperbolehkan tambahan penghasilan berupa pemberian uang makan. Dengandemikian rasionalitas yang dimiliki Pemkot untuk mengajukan uang makan bagipegawai daerah bisa jadi benar, buktinya keluar aturan yang membolehkan5o.Penerapan lima hari kerja di Pemkot Yogyakarta mulai tahun 2010 yang menjadisalah satu pertimbangan pemberian uang makan tidak diikuti dengan pengalokasiananggaran uang makan. Meskipun lima hari kerja, pegawai di lingkungan pemkotYogyakarta tetap tidak memperoleh uang makan. Beratnya beban anggaran menjadipertimbangan sehingga uang makan tidak diberikan.

Secara institusional, penolakan uang makan adalah keberhasilan pemerintahuntuk memaksakan peraturan yang baru pada pemerintah daerah. Sebagai institusi,negara melalui pemerintah dapat melakukan perubahan sesuai dengan peraturan yangditetapkan. Pemerintah Pusat berperan dalam mendorong, bahkan memaksakan,perubahan di daerah. Namun demikian, pemerintah Pusat bukanlah pihak yang palingmemahami setiap peraturan yang dikeluarkan. Pemerintah pusat seringkali berperansebagai pencetus sedangkan perencanaan dan program aksi justru diserahkan padaPemerintah Kota Yogyakarta. Akibatnya pemerintah seringkali juga melakukan revisiatas peraturan dan petunjuk pelaksanaan yang dibuat dan atau menyerahkan padadaerah untuk membuat perencanaan dan program aksinya muncul masalah dalamimplementasi. Selama proses penyusunan peraturan tentang tambahan penghasilan,Pemerintah Kota Yogyakarta pemah menanyakan konsep tunjangan tambahanpenghasilan kepada Depdagri atau daerah lain yang telah disetujui pelaksanaannya.Namun penjelasan yang diterima bersifat formal sesuai kalimat yang ada diPermendagri.

Mekanisme untuk pengambilan keputusan, pedoman penyusunan, maupunpetunjuk pelaksanaan merupakan produk hukum pemerintah untuk melakukanpengendalian atas kebijakan yang ada di daerah. Proses legislasi atas produk hukummaupun peraturan juga harus mendapat pengesahan dari pemerintah melaluiGubemur. Gubemur adalah wakil pemerintah di daerah dan menjadi kepanjangantangan pemerintah pusat untuk melakukan pengendalian. Ketika melakukanpengawasan, Gubemur tidak mau mengambil resiko dengan meloloskan produkhukum yang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Hal ini tampak dalampertimbangan yang dikemukakan ketika melakukan evaluasi atas rencana pemberianuang makan Pemerintah Kota Yogyakarta. Jika terjadi pembatalan dan masuk kepengadilan, Gubemur sebagai saksi bisa mengungkapkan bahwa proses evaluasi telahdijalankan tapi saran yang diberikan tidak dijalankan sehingga dibatalkan.

Negara yang diwakili Pemerintah tidak hanya bisa mempengaruhi tetapi jugabisa membatasi tindakan yang dilakukan oleh Kota Yogyakarta. Hal ini bisa

5oAsrori, loc cit, wawancara tanggal 28 Agustus 2008

Page 20: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

107

dilakukan karena sistem yang diatur secara ketat melalui peraturan. Ini adalah ciridari pendekatan institusional yang sangat kental dengan nuansa formal prosedural.Negara juga memiliki wakil di daerah untuk melakukan pengendalian atas daerah-daerah yang ada di wilayahnya. Negara melakukan pengendalian yang tebih ketatdalam UU nomor 32 tahun 2004 dibandingkan UU nomor 22 tahrn 1999. Meskipuntidak seketat UU nomor 5 tahun 1974, tapi terdapat kecenderungan untukmenegaskan asas desentralisasi yang dijalankan adalah administratif.

Proses pengambilan keputusan untuk kebijakan seringkali dihadapkan padatarik-menarik antara kubu rasional substantif (mission driven) dengan kubu formalprosedural (rule driven). Kejadian ini juga muncul dalam proses legislasi programpeningkatan kesejahteraan pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta. Rasionalitas yangmenjadi dasar uang makan secara substantif sangat diharapkan oleh pegawai karenamembutuhkan penghasilan tambahan. Namun tidak diperkenankan oleh tim evaluatorProvinsi DIY karena secara formal prosedural tidak diatur.

Rasionalitas dalam pembuatan kebijakan di Kota Yogyakarta menjadi mentahkarena secara formal prosedura[ tidak sesuai. Seharusnya proses rasional sebagaicerminan kreativitas Kota Yogyakarta diperhatikan sehingga tidak mengebirikebijakan daerah. Rutinitas dalam melakukan tugas pengawasan membentuk mindsetindividu dalam tim evaluasi provinsi DIY untuk berpikir formal prosedural.Ketidaksesuaian bukan berarti bertentangan tapi keatif dalam memaknai peraturan.Seperti dalam kasus uang makan untuk pegawai pemerintah Pusat/instansi vertikal,tidak diatur bagi pegawai daerah bukan berarti tidak diperbolehkan. Buktinya tidakberselang begitu lama, keluar peraturan yang membolehkan uang makan untukpegawai daerah. Namun demikian, Pemerintah Kota Yogyakarta tidak lagimenganggarkan uang makan di tahun 2008 karena akan membenani dan menjaditidak rasional. Di samping itu, keb|akan pengganti berupa pemberian tunjangantambahan penghasilan temyata dapat meningkatkan kesejahteraan dan secara formalprosedural juga bisa diterima karena peraturan membolehkan.

Kebijakan pemerintah pusat yang berusaha menciptakan kesamaan dankeselarasan antara Kota Yogyakarta dengan daerah lain bertujuan untuk menghindariterjadinya kecemburuan adalah bentuk dari penerapan pendekatan institusional.Parameter kondisi lingkungan organisasi berusaha dijaga dengan beragam peraturanpelaksanaan di daerah sehingga memungkinkan adanya kontrol ketat atas produkhukum yang dikeluarkan Kota Yogyakarta. Dalam konsep negara kesatuan hal inisangat penting untuk menjadi keutuhan nasional. Namun pengendalian yangberlebihan dapat mematikan kreativitas Kota Yogyakarta. Pemerintah pusat harusmemperhatikan rasional dalam kebijakan yang secara substantif dibutuhkan oleh KotaYogyakarta meskipun belum diatur dalam peraturan pemerintah pusat. Alasan formalprosedural digunakan untuk menolak atau menghentikan kebijakan Kota Yogyakarta.Padahal belum adanya dasar peraturan untuk kebijakan di Kota Yogyakarta bukanberarti bertentangan dengan peraturan diatasnya. Ini disebabkan oleh tafsir peraturandalam evaluasi oleh pemerintah maupun gubernur bersifat monolitik, padahal ditingkat Kota Yogyakarta muncul multitafsir. Harus ada mekanisme yangmenjembatani perbedaan tafsir dalam mencermati peraturan bagi pusat dan daerah.

Page 21: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

108

E. Kesimpulan dan SaranBerdasarkan pembahasan penelitian yang dilakukan maka dapat diperoleh

kesimpulan:l. Rendahnya pendapatan pegawai Kota Yogyakarta Program golongan I, II, dan

tenaga bantuan/honorer (naban) yang berjumlah 4000 orang atau 48,1o/o darikeseluruhan pegawai, dimana per bulan hanya memperoleh rata-rata gaji dantunjangan di bawah Rp I juta, mendorong perlunya program peningkatankesejahteraan pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta. Namun, programpeningkatan kesejahteraan tidak diperkenankan melalui uang makan yang belumdiatur untuk pegawai daerah. Pendapatan tambahan diperoleh melalui tambahanpenghasilan yang secara formal prosedural diatur dan diperbolehkan.

2. Rasionalitas substantif Pemerintah Kota untuk meningkatkan kesejahteraanpegawai (mission driven) dan penolakan Gubernur yang lebih mengutamakanaspek formal dan kebijakan (rule driven) menunjukkan adanya tarik-menarikantara pendekatan dan dalam pengambilan keputusan. Aspek kepatuhan terhadapperaturan lebih mengemuka dibandingkan dengan rasionalitas untukmeningkatkan kesejahteruan sehingga uang makan tidak diperbolehkan karenaketiadaan dasar hukum dan menghindari terjadi kecemburuan antar daerah.

Berdasarkan masalah dan kendala yang muncul berkaitan dengan topik yangditeliti, maka penelitian ini menyarankan:a. Proses rasional dalam pembuatan kebijakan sebagai cerminan kreativitas daerah

seharusnya lebih diperhatikan sehingga keputusan evaluasi tidak mengebiriproduk hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemberianuang makan secara substansi dibutuhkan untuk meningkatkan pendapatanpegawai. Namun, belum diaturnya pemberian uang makan untuk pegawai daerahsecara formal prosedural oleh Pemerintah Pusat tidak dianggap sebagaiketidaksesuaian dengan peraturan diatasnya sehingga tidak diperkenankan.Seharusnya aspek substansi menjadi pertimbangan dan tidak hanya menggunakanaspek formal prosedural.

b. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat seringkali tidak rinci sehinggamuncul multitafsir. Perbedaan tafsir dapat menghasilkan kebijakan daerah yangberbeda dengan pusat. Hak tidak tepat apabila dihakimi dengan penolakan.Evaluasi kebijakan harus memperhatikan proses pembentukan kebijakan (policyshaping) di daerah. Apabila proses yang terjadi secara rasional benar danbermanfaat bagi pegawai maka kebijakan tersebut adalah inovasi baru yang perluuntuk dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKABuku:

- Graham T. Allison. 1971. Essence of Decision: Explaining the Cuban MissileCrisis. l6th printing. Boston. Little, Brown & Company.

- James E. Anderson.l978. Public Policy Making. Second Edition. Holt,Rinehart and Winston.

- Lexy J. Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. Ke-22.Bandung. PT Remaja Rosdakarya.

- M. Irfan Islamy. 1994. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Cet.7 Jakarta. Bumi Aksara.

Page 22: I RM ru I$TMstaffnew.uny.ac.id/upload/132297172/penelitian/Buku...keputusan. Terjadinya peraturan yang tumpang tindih juga bisa dihindari. 2. Kebijakan Kesejahteraan Pegawai Kesejahteraan

109

- Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.Cet. l. Jakarta. UI-Press.

- Michael Hilt. 2005. The Public Policy Process. Fourth edition. Glasgow.Pearson Education Limited.

- Miftah Thoha. 1994. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya.Cet. 7. Jakarta. Rajawali.

- Noeng Muhadjir. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet. 2. Yogyakarta.Rake Sarasin.

- Stella Z. Theodoulou dan Mathew A. Cahn (ed.). 1995. Public Policy: TheEssential Readings. New Jersey. Prentice Hall.

- Wayne Parsons. 2005. Pubtic Policy: Pengantar Teori dan Praktik AnalisisKebijakan. Edisi Pertama. Jakarta. Kencana.

- William N. Dunn. 2003. Public Policy Analysis: An Introduction. 3rd Edition.New Jersey. Pearson-Prentice Hall.Berita Koran:

- Jawa Pos, "Pemkot Siapkan Rp 25 M untuk Uang Lauk Pauk PNS", 14 Mei2007, awanos. co index.dt n n?act:detail radar&id:lh 6 5 02&c=85 dibacatanggal25 Juni 2007.Dokumen Kebijakan:

- Keputusan Gubernur Daerah lstimewa Yogyakarta Nomor 94lKEPi2007tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2007 dan Rancangan Peraturan WatikotaYogyakarta tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah TahunAnggarun2007

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor l3 Tahun 2006 tentang PedomanPengelolaan Keuangan Daerah

- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2007 tentang Tata CaruEvaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah dentang Penjabaran AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah

- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/Pmk.0512007 tentang PemberianUang Makan Bagi Pegawai Negeri Sipil

- Peraturan Walikota Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pemberian TambahanPenghasilan Beban Kerja, Prestasi Kerja, dan Disiptin bagi Pegawai DaerahPemerintah Kota Yogyakarta

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

- Undang-Undang Repubtik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentangPemerintahan Daerah

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentangKepegawaian

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah