i. pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Gunung Merapi yang berada pada kawasan propinsi DIY dan Jawa Tengah
memiliki ketinggian sekitar 2.968 meter dari permukaan laut. Secara geografis
terletak pada posisi 7’32.5’ Lintang Selatan dan 110’ 26.5’ Bujur Timur, secara
administrative terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman,
Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Merapi merupakan
gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi Merapi yang berulangkali terjadi
pada tahun 2006 menyebabkan terjadinya kerusakan pada sektor pertanian. Erupsi
Merapi yang berulangkali terjadi pada bulan Mei tahun 2006 selain menyebabkan
terjadinya kerusakan pada sektor pertanian juga memberikan keuntungan bagi sektor
pertanian kaitannya dengan tingkat produktivitas tanah.
Berdasarkan studi FAO (2006), BPTP DIY (2006) dan BPTP Jawa Tengah
(2006) erupsi Merapi berpengaruh langsung terhadap kegagalan panen sayuran,
tanaman pangan, penurunan harga ternak, pencemaran/polusi air, penurunan
ketersediaan air serta kelangkaan hijauan pakan ternak (HPT). Berdasarkan beberapa
studi sebelumnya bahwa erupsi Merapi tahun 2006 menimbulkan kerusakan tanaman
akibat abu vulkanik khususnya tanaman pangan dan hortikultura berkisar antara 20-
40% meliputi areal di wilayah Kecamatan Srumbung, Sawangan dan Dukun
Kabupaten Magelang (BPTP DIY, 2006), sedangkan di sektor perkebunan kerusakan
yang ditimbulkan akibat abu vulkanik lebih rendah atau kurang dari 10%, namun
kerusakan akibat dampak awan panas sebagian mengalami kebakaran cukup besar
2
khususnya kerusakan dilahan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kerusakan
disektor perkebunan dan tanaman keras lainnya dominan terjadi di wilayah
Kecamatan Kemalang kabupaten Klaten, sebagian Kecamatan Cangkringan dan
pakem, Sleman, dan sebagian di wilayah Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali
khususnya di Desa Tlogolele.
Kerugian erupsi Merapi karena. terjangan awan panas pada erupsi Merapi
tahun 2006 telah memusnahkan areal hutan seluas 1.346,8 hektar milik Perum
Perhutani Unit I Jawa Tengah (Anonimus, 2006). Selain itu, hujan abu yang
menyertai erupsi juga mengganggu produksi pertanian hingga seluas 5.258 hektar
(Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, 2006). Secara umum,
kerusakan vegetasi hutan seperti pinus, akasia, bintamin, puspa, dadap, dan semak-
semak. Kerusakan lebih luas lagi terjadi di sektor pertanian, dimana abu vulkanik
telah menutupi tanaman pangan dan hortikultura sehingga sehingga mengganggu
proses fotosintesis dan akhirnya terjadi penurunan produksi, penurunan kualitas
tanaman dan sebagian juga terjadi gagal panen. Sebaliknya erupsi yang terjadi pada
bulan Oktober 2010, tingkat kerusakan cukup tinggi diatas 80% baik di sektor
pertanian, perkebunan maupun lingkungan usahatani. Kerusakan yang ditimbulkan
tidak hanya dari abu vulkanik saja melainkan dampak awan panas/wedul gembel
yang memusnahkan lebih dari 60% lahan usaha petani, Inhutani dan sebagian hutan
lindung TNGM.
Selain abu vulkanik, awan panas, perubahan suhu tinggi, juga lahar panas
yang dikeluarkan saat erupsi Merapi tahun 2010 sangat besar dan mengalir deras di
sebagian besar kali di DIY (Kali Gendol, Kuning, Opak). Namun karena besarnya
3
erupsi Merapi, lahar panas yang ditimbulkan selain mengalir ke sungai, karena tidak
mampu menampung lahar panas ini maka meluber sampai lahan pertanian dan
pemukiman masyarakat di wilayah sebagian besar Desa di Kecamatan Cangkringan
dan Pakem Kabupaten Sleman serta sebagian ke wilayah Kecamatan Kemalang
kabupaten Klaten; hal ini berakibat terjadi kerugian besar di sektor pertanian,
pemukiman, infrastruktur dan kurban kematian manusia, ternak dan kolam ikan.
Berdasarkan data BNPB (2010) korban jiwa sebanyak 242 orang di wilayah DIY dan
97 orang di wilayah Jawa Tengah.
Sektor pertanian memberikan kontribusi tinggi dalam mendukung
perekonomian rumah tangga petani di sekitar Merapi, baik di wilayah DIY maupun
Jawa Tengah. Wilayah yang berada di bawah kawasan Merapi dan merupakan daerah
ring adalah Kecamatan Cangkringan dan Pakem Kabupaten Sleman, DIY sedangkan
yang masuk pada wilayah Jawa Tengah adalah Kecamatan Srumbung, Dukun dan
Sawangan Kabupaten Magelang, kemudian wilayah kabupaten Klaten meliputi
Kecamatan Kemalang serta kecamatan Selo dan Cepogo Kabupaten Boyolali.
Pengaruh erupsi tahun 2006 menyebabkan kerugian di sektor ini baik secara
langsung ataupun tidak langsung. Dampak erupsi berpengaruh terhadap
perekonomian di wilayah ini karena lebih dari 60% penduduknya masih
menggantungkan pada sektor pertanian khususnya tanaman pangan, sayuran,
hortikultura, perkebunan, perikanan dan peternakan (Badan Pusat Statistik Propinsi
DIY, 2005-2007 ; Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, 2005-2007)
Terdapat dua macam penyebab terjadinya kerugian erupsi Merapi tahun 2006
dibidang pertanian, yakni lahar panas dan abu vulkanik. Lahar panas antara lain
4
menyebabkan tertutupnya sumber air dan rusaknya saluran, sehingga mengganggu
suplai air ke daerah pertanian dan untuk kebutuhan domestik. Rehabilitasi daerah
hulu diperlukan untuk memperbaiki fungsi hidrologisnya. Menurut hasil penelitian
Balai Besar Sumber Daya Lingkungan (BBSDL, 2006), baku mutu air akibat erupsi
Merapi masih dalam kategori bagus /memenuhi baku mutu air Golongan B (air yang
dapat dipergunakan sebagai air baku untuk keperluan rumahtangga).
Perlu diketahui pula bahwa material lahar panas yang terakumulasi di daerah
puncak Merapi bila terkena air hujan akan meluncur ke daerah yang lebih bawah
sebagai lahar dingin, dan ini dapat menimbulkan masalah. Dengan rusaknya tanggul
alam, maka aliran lahar dingin mungkin tidak melewati jalur yang pada tahun-tahun
sebelumnya merupakan jalur peluncuran lahar dingin. Antisipasi ini diperlukan untuk
mengurangi dampak kerusakan sumberdaya lahan akibat turunnya lahar dingin.
Berdasarkan hasil analisis citra satelit rekaman bulan Mei-Juni 2006 dan peta
rupabumi skala 1:25.000 tampak bahwa erupsi Merapi memiliki prakiraan sebaran
abu vulkanik di Kabupaten Sleman + 6.561 ha (BBSDL, 2006 dalam Widodo et al.,
2006). Sebaran terbesar terjadi di bagian atas yakni pada penggunaan lahan diatas
700 m dpl dengan luas sebaran abu vulkanik sebesar 4.767 ha, sedangkan untuk
ketinggian tempat dibawah 700 m dpl luas sebaran abu vulkanik sebesar 1.794 ha.
(BBSDL, 2006).
Luas areal pertanian di Kabupaten Sleman seluas 57.634 ha terdiri dari lahan
sawah 23.555 ha dan lahan non sawah (lahan kering, pekarangan, ladang) seluas
34.079 ha (Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman, 2006). Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa sebaran abu vulkanik dan lahan panas serta dingin
5
terbesar pada 3 kecamatan Cangkringan, Pakem dan Turi (Widodo et al., 2006).
Berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman (2006) serta hasil
penelitian Widodo et al. (2006), dampak erupsi Merapi berpotensi terhadap
kerusakan areal sawah sekitar 250 ha, atau setara dengan 1.375 ton gabah dengan
rerata produktivitas 5,5 ton/ha, dengan potensi kehilangan penerimaan sebesar Rp
2,201 milyar/musim.
Daerah lain yang terkena karena abu vulkanik G. Merapi adalah kabupaten
Magelang. Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah
yang merupakan sentra penghasil sayuran. Munurut BPS Kabupaten Magelang
(2006) dan BPTP Jawa Tengah (2006) di Kabupaten Magelang memiliki areal
pertanian seluas + 75.820 ha terdiri dari sawah (+ 37.491 ha) dan lahan kering tegalan
(+ 38.329 ha). Areal pertanian yang berada pada kawasan bahaya I oleh semburan
abu merapi tersebar di Kecamatan Srumbung, Dukun dan Sawangan, seluas + 13.362
ha terdiri dari lahan kering + 5.217 ha dan sawah + 8.145 ha (BBSDL, 2006). Namun
demikian, pada letusan merapi 2006 ini, hampir semua kecamatan di Kabupaten
Magelang terkena dampak semburan abu merapi dari tingkat ringan sampai berat.
Selain merusak lahan pertanian, erupsi Merapi juga menyebabkan kerusakan
hutan dan perkebunan pada lokasi di puncak Merapi terutama di sekitar Kaliadem.
Secara tidak langsung erupsi merapi juga merusak saluran irigasi dan tandon air
didaerah atas. Berdasarkan analisis Mardjianto (2006) dinyatakan bahwa material
Merapi tidak membahayakan wilayah perkotaan. Hal ini disebabkan karena material
tersebut telah dikendalikan oleh 44 dam SABO di sungai Gendol, sungai Opak,
sungai Kuning, sungai Boyong dan sungai Krasak. Selain itu normalisasi sungai dan
6
aktivitas penambangan pasir didaerah hulu mampu menambah kapasitas tampung
penampang sungai.
Hal ini sejalan dari hasil survai tim BBSDL (2006), bahwa material yang
mengalir paska erupsi Merapi adalah material halus, termasuk debu vulkanik,
material hasil pencucian (wash load) pasir dan batu erupsi Merapi yang mengalir
hingga hilir. Secara umum bahwa wash load tidak berbahaya bagi masyarakat,
meskipun berpotensi mencemari air; material kedua adalah pasir dan batu yang
memiliki energi merusak. Menurut Mardjianto (2006) pasir dan batu bisa mengalir
hingga sungai Opak, tetapi tetap pada jalurnya dan daya rusaknya berkurang.
Menurut Bahagia (2006) dari pelaksana Harian Bidang PBA, Dinas P3BA Sleman
bahwa yang perlu diwaspadai adalah ancaman banjir lahar Merapi adalah wilayah
Kecamatan Turi, Tempel, Cangkringan, Ngemplak, Pakem, Ngaglik dan Kalasan,
dimana sungai Gendol merupakan ancama terbesar.
Erupsi Merapi selain menimbulkan kerugian bagi masyarakat baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap usahatani yang dilakukan, juga berdampak
pada kerusakan kawasan hutan lindung di sekitar Merapi. Untuk diketahui bahwa
hutan lindung mempunyai multi fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ditinjau dari berbagai macam peruntukan, maka wilayah hutan lindung di sekitar
Merapi merupakan wilayah yang produktif, seperti untuk penyimpan air hujan (water
researvoir), mencegah erosi tanah dan air (soil and water), pemanfaatan wisata,
pendidikan, tanaman hutan/kayu, keanekaragaman hayati, plasma nutfah, kelestarian
hewan disekitar hutan, kualitas dan kuantitas udara dan lain sebagainya. Tingginya
produktivitas primer disekitar Merapi dan sekitar hutan lindung Merapi
7
memungkinkan tingginya produktivitas sekunder seperti pemanfaatan lahan untuk
budidaya tanaman pangan, hortikultura, tanaman keras/perkebunan, tanaman
kayu/hutan dan peternakan khususnya ternak sapi perah. Adanya beberapa faktor
yang menyebabkan degradasi ekosistem selain karena faktor perubahan fungsi
pemanfaatan hutan lindung di kawasan Merapi dan siklus erupsi Merapi yang terjadi
terus menerus yang sulit diantisipasi manusia maka alangkah bijaksananya
pemerintah harus memperhatikan masalah ini baik tindakan langsung pembinaan
kepada masyarakat, sosialisasi masalah fungsi dan antisipasi bencana yang
ditimbulkan, dan kompensasi bilamana diperlukan agar kawasan hutan lindung dan
masyarakat disekitar Merapi sehingga kawasan ini tetap terjaga dengan baik dan
berkesinambungan (sustainability) dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang untuk
generasi mendatang.
Dalam pelestarian hutan lindung di wilayah Merapi, faktor terpenting adalah
perencanaan, pelaksanaan dan kontrol/ evaluasi dari program yang sudah dilakukan
oleh pemerintah agar dicapai sustainability kawasan ini. Dalam hal pelestarian hutan
lindung di kawasan Merapi ini selain Pemerintah, masyarakat sekitarnya partisipasi
swasta belum banyak terlibat, namun justru LSM lebih banyak berkecimpung di
kawasan ini (www.merbabu.org). Seperti halnya dari hasil penelitian dalam
pelestarian hutan di wilayah di Teluk Benoa Bali, salah satu faktor terpenting adalah
dalam model perencanaan pembuatan keputusan dalam pelaksanaan pembangunan
dari sektor publik dan swasta yang kurang memperhatikan strategi dan nilai ekonomi
total yang terdapat dalam ekosistem tersebut (Wiradharma dan Antara , 2006).
8
Eksistem kawasan hutan lindung di Merapi memiliki nilai strategis bagi 4
(empat) kabupaten di dua provinsi Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta, disebelah
selatan punggung Merapi yaitu kabupaten Sleman, di sebelah utara yaitu kabupaten
Boyolali, disebelah barat kabupaten Magelang dan disebelah timur kabuaten Klaten.
Dalam pelestarian wilayah ini maka keterpaduan masing-masing daerah dalam
kelestarian sumberdaya hutan ini diperlukan, maka egosentris masing-masing daerah
perlu dihindari, oleh sebab itu adalah tepat bahwa penanganan daerah cagar/ kawasan
hutan lindung dipelihara oleh negara/pusat sehingga memudahkan dalam
koordinasinya. Melihat letak yang demikian strategis, maka kawasan-kawasan
disekitarnya akan mengalami perkembangan pembangunan cukup pesat, yang secara
langsung maupun tidak langsung akan memberikan tekanan terhadap lingkungan
hutan ini.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi seringkali menjadi alasan yang
klasik untuk menghalalkan perubahan peruntukan ataupun konservasi terhadap lahan
hutan Merapi. Namun dibalik itu keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi tersebut dalam jangka panjang sangatlah kurang mendapatkan perhatian,
sehingga hal tersebut berlangsung dan dapat dinikmati hanya dalam jangka pendek
saja. Selama ini studi kelayakan yang dilakukan cenderung melihat hanya dari sisi
sudut pengusaha yang berorientasi Profit melalui analisis finansial (Financial
Analysis), dan sangatlah kurang memperhitungkan kelayakan dari sudut manfaat yang
dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas (social benefit). Memperhatikan fungsi
dari kawasan hutan lindung dan masyarakat disekitar Merapi maka selain analisis
usahatani dari sisi tanaman pangan, hortikultura/sayuran, perkebunan dan ternak sapi
9
perah yang dominan ada di kawasan ini maka analisis ekonomi lingkungan
diperlukan untuk kepentingan masyarakat sekitar dan masyarakat secara luas. Selain
itu dilihat dari berbagai dampak yang ditimbulkan oleh erupsi gunung Merapi
terhadap sektor pertanian dapat berupa kerugian ekonomi pada usahatani maupun
kerugian lingkungan. Adanya kerugian ekonomi pada usahatani (agricultural loss)
dan kerugian akibat kerusakan lingkungan (environmental loss) sebagai dampak
erupsi Merapi merupakan justifikasi dilakukannya penelitian ini.
Hasil estimasi kerugian ekonomi tersebut merupakan informasi penting dalam
proses penentuan kebijakan dalam mengatasi masalah erupsi gunung Merapi,
terutama dalam rangka pemberian kompensasi oleh pemerintah. Hasil penelitian ini
juga penting dalam rangka melakukan program pemulihan kembali paska erupsi
mengingat erupsi yang sama juga sangat dimungkinkan terjadi dimasa yang akan
datang. Hasil pemetaan terhadap kerusakan akibat erupsi akan memberikan informasi
tentang kategori daerah-daerah yang kerusakannya tergolong berat, sedang dan ringan
sehingga mempermudah penanganan selanjutnya berdasarkan skala prioritas.
Terjadinya erupsi Merapi pada tahun 2010 memiliki dampak yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan erupsi tahun 2006. Kerugian yang ditimbulkan lebih besar
baik itu kerugian material, infrastruktur, dan jiwa manusia. Pada erupsi tahun 2010
memiliki cakupan/coverage yang relatif hampir sama pada wilayah yang kena
dampak Merapi, namun tingkat kerugian dan kerusakan jauh lebih besar. Untuk
wilayah Yogyakarta, erupsi Merapi meluncur sampai pada radius 30-40 km dari
puncak Merapi (Desa Umbulharjo Kecamatan Pakem, Kecamatan Cangkringan dan
10
sebagian kecamatan Pakem. Sedangkan untuk wilayah jawa tengah meliputi 3 (tiga)
kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Perbedaan jelas erupsi Merapi tehadap material yang dikeluarkan antar
wilayah yang terkena dampak abu vulkanik dan material lain berupa lahar panas,
material batu, kerikil dan uap panas/ istilah wedus gembel. Dampak erupsi Merapi di
wilayah Sleman dominan lahar panas dan abu vulkanik, namun untuk Magelang dan
Boyolali dampak yang besar adalah abu vulkanik. Sedangkan di wilayah Klaten
adalah lahar panas dan abu vulkanik.
Erupsi tahun 2010 selain material abu vulkanik, juga lahar dingin berdampak
cukup besar bagi keselamatan manusia diwilayah jangkaun erupsi Merapi. Kerugian
akibat erupsi untuk sektor pertanian cukuplah besar. Pemulihan sektor pertanian
tentu berjalan sangat lamban karena banyak lahan masih tertutup oleh debu panas
dan sebagian masih tertutup oleh lahar panas. Untuk itu diperlukan proses pengolahan
tanah yang bisa mempercepat pemulihan tanah. Untuk debu vulkanik mungkin relatif
lebih mudah untuk diatasi, dengan hujan maka cepat lahan ini pulih dan dapat
dimanfaatkan untuk pertanian. Pada saat erupsi hampir 1-2 bulan paska erupsi
masyarakat sekitar kehilangan waktu aktivitas, karena tidak melakukan kegiatan sama
sekali sehingga diperlukan bantuan khusus dalam kehidupannya. Karena sebagian
masyarakat tinggal dipengungsian, maka aktivitas ekonomi hampir berhenti sama
sekali.
Kedasyatan letusan Merapi yang terjadi pada 5 sampaidengan 7 November
2010 luar biasa, muntahan material banyak menuju ke kali Gendol, muntahan yang
disertai guguran material sampai berjarak 15 km dari puncak merapi (Kompas.com, 5
11
Nov 2010). Menurut Surono, 2010, erupsi merapi 2010 lebih besar dibandingkan
tahun 1872. Selain material panas yang langsung membahayakan manusia, maka
lahar dingin akan mengancam bilamana hujan lebat terrus menerus. Banjir lahar
dingin menyusuri Kali Woro, Gendol, Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng,
Lamat dan Kali Senowo yang terletak diarea 4 kabupaten Sleman, Boyolali, Klaten
dan Magelang (BPPTK DIY, 2010; Kompas.com, 2010).
Erupsi Merapi tahun 2010 berdampak terhadap kondisi sosial, lingkungan,
kesehatan dan material. Dampak sosial menimbulkan kurban 206 jiwa dan 384.136
orang mengungsi di 635 titik pengungsian dalam www.slemankab.go.id. Selain itu,
erupsi merapi mengakibatkan sejumlah warga kehilangan ternak, rumah, pekerjaan
sehari – hari serta harta benda juga para korban yang menjadi depresi.
Dampak lingkungan yaitu sebanyak 14 desa habis terlahap letusan gunung
merapi yaitu desa Kalibening, Kaliurang, Kapuhan, Keningar, Lencoh, Ngargomulyo,
Paten, Samiran, Sengi, Sewukan, Sumber, Seruteleng dan Tlogolele. Selain itu
berbagai jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2), gas Hidrogen Sulfida (H2S),
Nitrogen Dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu berterbangan bebas
di udara. Selain menimbulkan dampak negatif, letusan gunung merapi juga
menimbulkan dampak positif yaitu dengan adanya lahar dingin yang mengalir serta
material vulkanik yang dimuntahkan merapi dapat menambah kesuburan tanah di
daerah sekitar merapi sehingga sangat cocok untuk pertanian.
Dampak kesehatan, rata – rata pasien korban merapi mengalami luka bakar
akibat terkena wedus gembel. Selain itu abu vulkanik yang berterbangan bebas di
udara juga dapat mengganggu kesehatan pernapasan sehingga setiap orang
12
diwajibkan untuk memakai masker. Banyak juga para korban yang cedera karena
terkena batu kerikil yang berjatuhan dari udara. Dan letusan ini juga semakin
memperparah penyakit yang sudah diderita para korban.
Dampak material yang ditimbulkan terhadap kerugian akibat erupsi merapi
tahun 2010 diperkirakan mencapai 5 triliyun rupiah (http://geourban.wordpress.com;
- http://www.tribunnews.com; dalam Kompas.com 2010). Dari sektor perikanan,
pariwisata, pertanian, UMKM, perhotelan dan ekonomi tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Dari sektor perikanan sendiri kerugian yang diderita mencapai 11 miliar
rupiah. Dari sektor pertanian mengalami kerugian sekitar Rp 247 miliar, terutama
pada salak pondoh yang rugi Rp 200 miliar. Sedangkan pada sektor UMKM, terdapat
sekitar 900 UMKM di Sleman, dari 2.500 UMKM, untuk sementara berhenti total.
Kebanyakan usahannya adalah peternakan, hortikultura, dan kerajinan..
Terhadap sektor peternakan, jumlah ternak yang mati akibat erupsi Merapi
mencapai 1.548 ekor (Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, 2010). Dari jumlah
itu, sapi perah yang mati mencapai 1.221 ekor, sapi potong 147 ekor, kambing atau
domba 180 ekor. Sementara selebihnya, kebanyakan ditampung di Tirtomartani,
Kecamatan Kalasan dan Wedomartani, Kec Ngemplak. Di sektor Perikanan
diperkirakan kerugian cukup besar, yaitu sekitar 1.272 ton ikan. Pada sektor
Perhotelan; kunjungan wisatawan berkurang tingkat hunian hotel turun 70%.
Sedangkan kerusakan rumah mencapai 2.271 buah, sebagian besar kerusakan rumah
terjadi di wilayah Kabupaten Sleman.
13
1.2. Perumusan Masalah
Pada awal sebelum terjadi erupsi, sektor pertanian berperan sangat penting
dalam menopang kehidupan masyarakat di sekitar gunung Merapi. Terjadinya erupsi
Merapi telah menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungan (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan lain-lain) serta
sumberdaya manusia, baik fisik maupun psikologis sehingga produktivitas kerja
menjadi menurun. Kerusakan yang terjadi akibat erupsi, diperkirakan memerlukan
waktu pemulihan 1-2 tahun dari sisi pemulihan ekonomi rumahtangga petani dan dari
sisi lingkungan diperlukan waktu lebih lama (recovery dan rehabilitasi).
Dampak erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2006 berpengaruh terhadap
usahatani tanaman pangan dan hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan.
Kerugian terjadi pada saat musim tanam erupsi (MTE) pada periode 1-3 bulan saat
erupsi Merapi. Kerugian akibat erupsi Merapi terhadap sektor tanaman pangan dan
hortikultura serta tanaman perkebunan dari input saprodi, penurunan produksi, nilai
produksi karena penurunan harga produksi dan biaya produksi yang akhirnya
berdampak pada penurunan pendapatan petani di kawasan Merapi. Sedangkan
terhadap sektor peternakan, yang sangat terasa mengalami kerugian adalah usaha
ternak sapi perah. Kerugian sapi perah khususnya terhadap kerugian biaya sapronak,
penurunan produksi susu, penurunan harga susu dan penurunan nilai jual ternak sapi
perah, dan hal ini berdampak pada penurunan dan kerugian usaha sapi perah.
Penurunan harga susu disebabkan kualitas susu menurun, sedangkan penurunan
produksi susu disebabkan karena ternak mengalami stress dan berakibat penurunan
14
produksi susunya, hal ini juga disebabkan karena peternak sebagian besar
dipengungsian sehingga ternaknya terlantar.
Pada saat erupsi (MTE), tanaman pangan yang diusahakan adalah tanaman
padi, jagung, ketela pohon dan ketela rambat. Sedangkan tanaman hortikultura adalah
tanaman cabe, kol bulat, sawi, boncis, wortel, dan lain sebagainya. Sektor tanaman
perkebunan, tanaman keras dan buah-buahan adalah: tembakau, cengkeh, mahoni,
sengon, nangka, melinjo, salak, alpokat. Sedangkan untuk ternak yang nyata
berdampak adalah ternak sapi perah, sedangkan sapi lokal dan ternak lain tidak
banyak berpengaruh, kalaupun berdampak hanya sementara karena stress dan
menurun bobotnya.
Sebelum erupsi Merapi (MTE-1), kondisi pertanaman tanaman pangan dan
hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan sapi perah relatif cukup baik
ditinjau dari input produksi, produksi, nilai produksi, biaya produksi dan pendapatan
dari tanaman dan susu sapinya secara umum memberikan penghasilan yang layak
dalam mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Begitu pula pada periode setelah
erupsi Merapi tahun 2006 (MTE+1), yaitu pada musim tanam ketiga dengan pola
tanam yang hampir relatif sama pada musim tanam saat erupsi (MTE) produksi
tanaman meningkat dan harga produk juga meningkat dan akhirnya terjadi
peningkatan pendapatan di sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura dan
perkebunan. Hal yang sama juga terjadi disektor peternakan sapi perah, setelah
kondisi stabil pada periode 3 (tiga) bulan setelah erupsi, terjadi peningkatan produksi
dan harga susu akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan petani/peternak di
kawasan Merapi. Dari uraian ini dapat disimpulkan sementara bahwa, sebelum erupsi
15
pendapatan petani/peternak relatif stabil mampu mencukupi kebutuhan rumah
tangganya, sedangkan pada saat erupsi pendapatan menurun bahkan merugi, namun
pada saat setelah erupsi produksi meningkat kembali dan berdampak pada
peningkatan pendapatan petani/peternak lebih tinggi dibandingkan saat erupsi
Merapi.
Erupsi Merapi terjadi kembali pada tahun 2010 (bulan September-Oktober
2010), hal ini berdampak lebih besar dibandingkan erupsi Merapi tahun 2006.
Kerugian disektor pertanian diatas 95%, artinya kegagalan panen disektor tanaman
pangan dan hortikultura, perkebunan dan peternakan sapi perah. Dalam kasus ini,
erupsi yang terjadi bias dikatakan merupakan bencana/damage maka kerugian dalam
usahatani tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan tidak ada yang bias dipanen,
artinya bahwa kerugian total dari biaya yang dipergunakan untuk produksi. Namun
hal ini berbeda disektor peternakan sapi perah, walaupun mengalami bencana, ternak
yang diusahakan masih memberikan produksi susu walaupun menurun drastis. Masih
ada pendapatan yang diharapkan.
Untuk kasus erupsi tahun 2010, karena sektor pertanian tanaman pangan dan
hortikultura dan perkebunan bisa dianggap bencana, maka tidak dilakukan penelitian
yang mendalam. Dalam kasus ini untuk erupsi tahun 2010, yang diteliti hanya pada
dampak terhadap usaha sapi perah di kawasan Merapi. Usaha sapi perah sebelum
erupsi Merapi (MTE-1) tahun 2010 relatif cukup baik dalam menopang kehidupan
rumahtangga dengan rerata produksi susu 9,0-12 lt/hari/ekor; namun pada saat erupsi
(MTE) tahun 2010 produksi susu menurun drastis menjadi 3-6 lt/hr/ekor dan hal ini
disertai dengan penurunan harga susu 30-60% , hal ini berdampak pada penurunan
16
pendapatan peternak. Sebaliknya setelah erupsi (MTE+1) pada kisaran 3 bulan
setelah erupsi kondisi normal kembali dengan peningkatan produksi susu seperti pada
periode sebelum erupsi Merapi. Permasalahan setelah erupsi adalah terjadinya
penurunan harga susu sekitar 10-20% dibandingkan pada saat sebelum erupsi, dan
peningkatan biaya input produksi (biaya variabel sapronak dan tenaga kerja) hal ini
menyebabkan penurunan pendapatan dibandingkan pendapatan sebelum erupsi,
namun lebih baik dibandingkan pada saat erupsi Merapi.Faktor lainnya adalah
kepemilikan ternak sapi perah per ekor/rumah tangga menurun dari rerata 2,76
perekor/RTpeternak menjadi 2,45 per ekor/RTpeternak, hal ini menyebabkan
penurunan pendapatan dari usaha ternak, karena susu yang dihasilkan lebih rendah
dibandingkan sebelum erupsi, sedangkan untuk biaya memelihara 2,76 dengan 2,45
relatif sama dalam pendekatan skala rumah tangga.
Dampak erupsi juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan sosial dan
sistem produksi pertanian. Kerugian lingkungan social terutama pada kerugian asset
pribadi, asset usahatani, kesehatan, pendidikan, lahan dan kehilangan pendapatan
karena tidak bekerja (opportunities loss) dalam waktu 1-2 bulan. Dampak terhadap
kerugian lingkungan social dan system produksi pertanian hanya terjadi pada saat
erupsi (MTE), sehingga pendekatan analisis untuk kerugian lingkungan social pada
saat erupsi (MTE). Dampak erupsi Merapi selain menyebabkan kerugian lingkungsn
social dan sistem produksi pertanian, juga memberikan keuntungan dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek erupsi Merapi juga memberikan
penghasilan baru dari usaha wisata (parkir, pemandu wisata, warung, souvenir) dan
pekerjaan lainnya disektor non pertanian (bekerja diproyek rehabilitasi jalan,
17
jembatan, saluran air, dan pemukiman) baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta
maupun lembaga asing yang bekerjasama dengan NGO dan pemerintah. Sedangkan
keuntungan jangka panjang adalah peningkatan kesuburan lahan pertanian,
melimpahnya material erupsi:pasir, batu dan material lainnya yang merupakan
anugerah bagi masyarakat sekitar, desa, kecamatan dan pemerintah daerah khususnya
dalam pendapakan dari sector galian C (pertambangan). Dalam kasus ini untuk
keuntungan jangka panjang tidak dimasukkan dalam perhitungan pendapatan
/penghasilan.
Dampak lainnya selain terhadap sektor pertanian tanaman pangan+
hortikultura, perkebunan, peternakan dan lingkungan sosial adalah terhadap kawasan
hutan lindung TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi). Dampak yang ditimbulkan
pada erupsi Merapi tahun 2006 menyebabkan kerusakan hutan lindung sekitar 10%
(400-650 ha) yang mengalami kebakaran dan penutupan lahan kawasan hutan lindung
karena abu, pasir dan lahar. Oleh sebab itu dilakukan pendekatan analisa kerugian
lingkungan kawasan TNGM pada saat erupsi Merapi (MTE) dibandingkan sebelum
erupsi Merapi dengan pendekatan TEV (Total Economic Value), dengan
menggunakan teknik valuasi ekonomi lingkungan. Penentuan kerugian lingkungan
(environmental loss), berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka perencanaan
dan rehabilitasi kawasan TNGM di DIY dan Jawa Tengah.
Kawasan TNGM ini meliputi 6400 ha yang berfungsi multi dimensi, selain
bermanfaat langsung terhadap masyarakat disekitar kawasan Merapi (kayu-kayuan,
buah-buahan, rumput-rumputan, HPT, air tanah, juga secara Nasional dan global
bermanfaat untuk menjaga ekosistem, biodiversity, konservasi, penyerapan karbon
18
(carbon storage), keberadaan sebagai manfaat social ekonomi budaya/kearifan lokal
dan kelestarian lingkungan TNGM.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini diarahkan pada beberapa pertanyaan, yang berkaitan dengan dampak Erupsi pada
sektor pertanian di D.I.Yogyakarta dan Jawa Tengah khususnya pada tahun 2006 dan
sebagian pada dampak erupsi tahun 2010, yaitu :
(1) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap
penurunan usahatani tanaman pangan dan hortikultura di sekitar Merapi ?
(2) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap
penurunan usahatani perkebunan di sekitar Merapi ?
(3) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 dan tahun 2010 berpengaruh negatif
terhadap penurunan usaha peternakan sapi perah di sekitar Merapi ?
(4) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap
kerugian dan manfaat sosial ekonomi di sekitar Merapi ?
(5) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap
penurunan nilai lingkungan total pada kawasan hutan lindung Merapi ?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
1. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diajukan, maka
tujuan dari penelitian di kawasan sekitar Merapi ini adalah untuk mengidentifikasi:
1. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap usahatani tanaman
pangan dan hortikultura di sekitar Merapi
19
2. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap usahatani perkebunan di
sekitar Merapi
3. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 dan 2010 terhadap usaha
peternakan sapi perah di sekitar Merapi
4. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap kerugian dan manfaat
sosial ekonomi di sekitar Merapi
5. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap nilai lingkungan pada
kawasan hutan lindung Merapi
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :
1) Peneliti, sebagai usaha untuk menambah pengetahuan, skill, pengalaman dan
dapat meningkatkan ketajaman analisis dalam pelaksanaan penelitian lebih
lanjut khususnya penelitian yang berkaitan dengan lingkungan
2) Masyarakat, sebagai masukan informasi yang berguna dalam usahatani,
sedangkan dari sisi lingkungan ekonomi akan menambah pengetahuan serta
bagaimana mengantisipasi bilamana erupsi masih berlanjut
3) Pemerintah Daerah, sangat berguna dalam memberikan kebijakan baik yang
bersifat ansisipasi, perencanaan lingkungan, bantuan langsung maupun tidak
langsung bagi masyarakat yang terkena dampak erupsi
4) Pemerintah Pusat, berguna bagi rujukan dalam mengantisipasi bencana ini
apabila terjadi pada daerah lain yang memiliki ekosistem wilayah yang sama
dengan banyaknya gunung berapi di Indonesia.
20
5) Bagi pemerhati lingkungan sebagai bahan sumbangan yang berguna khususnya
yang berkaitan dengan analisis ekonomi lingkungan
1.4. Keaslian dan Hal Baru Dalam Penelitian
Untuk mengetahui keaslian dan kebaruan (novelty) disertasi ini dapat
diperbandingkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan di kawasan
agroekologi dataran tinggi meliputi analisis usahatani di dataran tinggi dan di
kawasan hutan lindung, penelitian ekonomi lingkungan
Penelitian dampak erupsi Merapi sudah cukup banyak dilakukan
namun belum menyentuh nilai keseluruhan kawasan, dan masih bersifat
parsial. Secara teknis data cukup tersedia dari aspek tanah, sumberdaya lahan,
hidrologi, infrastruktur (jalan, pemukiman, jembatan dan infrasrtuktur
lainnya). Dari sisi geologi, geografi, kehutanan dan lingkungan hidup sosial
dan teknis juga sudah tersedia data-data pendukung untuk kawasan Merapi.
Aspek sosial ekonomi pertanian, peternakan, dan lingkungan TNGM
belum banyak tersentuh, oleh sebab itu disertasi ini lebih banyak melengkapi,
mengulas dan memperbaruhi (novelty) dari aspek usahatani disektor pertanian
tanaman pangan+hortikultura, perkebunan, peternakan, dan lingkungan
kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).
Merujuk penelitian sebelumnya yang telah dilakukan landasan yang
kuat bagi peneliti untuk mengkaji sejauhmana kerugian finansial dampak
erupsi Merapi terhadap pertanian dan lingkungan. Hal ini sangat berguna
khususnya bagi pembuat kebijakan baik di daerah atau di pusat dalam
21
pengambilan keputusan dengan data-data dan metode yang valid yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Secara garis besar bahwa penelitian ini semestinya merupakan
penelitian yang utuh dan bersifat komprehensif dengan melibatkan berbagai
disiplin ilmu. Beberapa disiplin ilmu yang diperlukan adalah ilmu tanah,
geologi, geografi, hidrologi dan pemetaan, lingkungan dan pencemaran,
kegunung-apian dan tentunya bidang ekonomi pertanian khususnya ekonomi
lingkungan.
Penelitian ini akan lebih baik bilamana dilakukan dalam jangka
panjang dan dilihat pada semua aspek dan tidak bersifat spasial atau individu
pada sisi keilmuan masing-masing. Oleh sebab itu dalam penelitian ini
melibatkan berbagai unsur lintas disiplin. Namun tidak mengurangi kaidah
keilmuan karena disertasi ini dikerjakan oleh peneliti bidang sosial ekonomi
pertanian, maka aspek ekonomi lingkungan dan usahatani di bidang pertanian
lebih ditonjolkan. Pada penelitian ini lebih banyak dilakukan survai yang
bersifat eksplorasi data dan akan disajikan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif.
Untuk mengetahui keaslian dan kebaruan (novelty) disertasi ini dapat
dibandingkan dengan beberapa penelitian-penelitian tentang aspek usahatani
dan ekonomi lingkungan yang telah dilakukan di agroekologi lahan kering
dataran medium-tinggi serta kawasan hutan lindung disajikan pada tabel 1.1.
22
Tabel 1.1.Beberapa Penelitian dengan Berbagai Aspek Kajian dan Metode
Analisis yang Telah Dilakukan di kawasan Agroekologi Dataran
Tinggi dan Kawasan Hutan Lindung
Judul Simpulan Kajian Metode Analisis
Dampak Erupsi G.
Kelud Terhadap Kon-
disi Sosial Ekonomi
Masyarakat. 2014
(Puspita I. Wardhani,
Aries Dwi Wahyu
Rahmandana, Febrian
Maritimo).
Erupsi Gunungapi mempengaruhi
kondisi sosial ekonomi masyarakat,
khususnya masyarakat di kawasan
lereng Gunungapi Kelud., adanya
modal sosial (gotong royong dan
tolong menolong, Kondisi ekonomi
masyarakat menurun pendapatan
sumberdaya yang ada di sekitar lereng
G. Kelud. Masyarakat memerlukan
pembangkit ekonomi pariwisata,
pertambangan dan penghutanan
kembali.
Analisis kuantita-
tif dan kualitatif
Analisis Tingkat
Resiko Erupsi Merapi
Terhadap Pemukiman
di Kec. Kemalang
Klaten. 2014 (Ariyadi
Susilo Nugroho dan
Iwan Rudiartoz).
UNDIP
Kemalang Klaten berisiko terhadap
erupsi Merapi, kawasan lahan tegalan
dan pertanian perkebunan dan
berhutan, Desa Balerante, Sidorejo
dan Tegalmulyo Kemalang Klaten
rawan bencana Merapi,
Analisis tata guna
lahan, kawasan
pemukiman,
analisis desa yang
beriko, tools
ArcGis
Percepatan pemulihan
kondisi sosial masya-
rakat petani pasca
erupsi G. Merapi.2010
(Wasito, Rita Indrasti,
Agus Muharam).
BBP2TP Bogor.
Intervensi pemerintah justru merusak
kearifan lokal yang sudah terbangun
diMerapi, struktur belum terintegrasi
dengan kultur dan koordinasi antar
pihak kurang teintegrasi, rekonstruksi
pasca bencana belum melibatkan
masyarakat, kemandirian, kesetaraan
dan solidaritas kurang
Diskriptifm
Karakteristik
sosial ekonomi,
Potret,
Kajian Karakteristik
dan Dampak Lingku-
ngan Kegiatan Petani
Sekitar Hutan Yunita
Ismail Masjud (2000)
Pengelolaan Sumber-
daya Alam dan
Lingkungan Program
Pascasarjana IPB.
Produktivitas dan pendapatan kopi
masih rendah, belum banyak sentuhan
teknologi, konservasi tidak dilakukan
oleh masyarakat sekitar kawasan
hutan, pemberdayaan masyarakat
sudah dilakukan namun tidak optimal,
perlu adanya program terpadu yang
melibatkan masyarakat yang difasili-
tasi; Kesadaran akan pentingnya
menjaga hutan, dipahami selama
tidak menyangkut masalah
pemenuhan kebutuhan pangan;
Analisis Usahatani
(produksi,
pendapatan),
Tingkat erosi
tanah
Studi Tentang Usaha
tani di Kawasan hutan
dan Pengetahuan
Kegiatan usaha tani ini lebih banyak
dilakukan dikawasan hutan rakyat dan
bahkan ada juga disekitar dan dalam
Deskriptif kualita-
tif dan deskriptif
kuantitatif analisis
23
Petani Tentang
Pengelolaan Hutan
Berkelanjutan Finda-
Rizka (2010). Thesis.
Unand.
kawasan hutan lindung. Komoditi
yang ditanami antara lain kacang
panjang, cabe rawit, bayam, cabe
merah, seledri. Ditinjau dari segi
pengetahuan petani tentang
pengelolaan hutan berkelanjutan
kurang, peran penyuluh kurang
kegiatan usaha tani dikawasan hutan
terutama dalam kawasan hutan
lindung jika dibiarkan mengganggu
keseimbangan ekosistem
Pendapatan Scor-
ing pengetahuan
keberlanjutan
kawasan hutan
lindung
Valuasi Total
Ekonomi Hutan
Mangrove di Kawasan
Delta Mahakam Kab.
Kutai 2014. (Yuyun
Wahyuni, Eka Intan
Kumala Putri dan
S.MH.Simanjuntak)
Pusat Pen Lingkungan
Hidup UMUL
Nilai TEV hutan mangrove 503,07
milyar/tahun, nilai guna langsung
407,77 milyar, nilai guna tidak
langsung 37,13 milyar, nilai
keberadaan 13,30 milyar. Faktor yang
mempengaruhi manfaat ekonomi:
umur, pekerjaan, jumlah tanggungan
keluarga
CVM, Deskriptif
dan kuantitatif
pada manfaat
langsung dan tidak
langsung, Option
value, existences
value
“Valuasi ekonomi
keragaman hayati pada
kawasan Kars di
Maros, Sulawesi
Selatan “
Gustami et al (2002)
Nilai ekonomi total dari kawasan kars
Maros Sulawesi selatan sebesar
639.556.607,80 rupiah pertahun. Nilai
guna langsung setiap tahun sebesar
Rp 133.845.803.860. Nilai tidak
langsung sumber air dan pencegah
terjadinya banjir dan longsor Rp
477.466.737.500 Nilai guna tidak
langsung (non use value) berupa nilai
preservasi WTP keinginan membayar
pengunjung untuk konservasi
pertahun Rp 28.244.066.470.
Analisis Total
Economi Value
(TEV.
Penghitungan nilai
tidak langsung
(non use value)
berupa nilai
preservasi.
“Penilaian ekonomi
masyarakat terhadap
keberadaan usahatani
di kawasan pinggiran
kota Yogyakarta “
Husodo (2005)
Berdasarkan Willingness to Pay
(WTP) bahwa variabel umur,
pengalaman berusahatani, dummy
pendapatan berpengaruh positif
Berdasarkan Wiilingness to Leave
(WTL), keinginan petani untuk
meninggalkan usahatani dipengaruhi
oleh umur, luas lahan usahatani,
beban ketergantungan, kontribusi
pendapatan dari usahatani,
pengalaman, dan alokasi waktu non
usahatani yang berpengaruh negatif,
ada atau tanpa perbaikan usahatani,
petani bersedia meninggalkan
usahatani jika pendapatan mereka
Analisis
Willingness to Pay
(WTP)
Analisis
Wiilingness to
Leave (WTL).
24
lebih dari 5x pendapatan usahatani
sekarang.
“Economic Valuation
of Natural Resource
Management: A Case
Study of The Benuaq
Dayak Tribe in
Kalimantan, Indonesia.
Kusuma (2005)
Nilai TEV (Total Economic Value)
baik nilai guna langsung dan tidak
guna langsung Benuaq Dayak
terhadap lingkungan hutan U.S. $
6,025.88 perhectare per year dengan
perincian untuk guna langsung (direct
use value) sebesar U.S. $0.028 per
hektar/tahun, indirect use value (U.S.
$3,156 per hektar/tahun), dan non-use
value (U.S.$2,870 per hektar/tahun).
Benuaq Dayak dapat pengelolaan
sumberdaya dengan baik apabila
diberikan bantuan ekonomi, dimana
TEV Benuaq Dayak dalam
pengelolaannya diperlukan
pendampingan pemerintah dalam
inovasi dan persepsi baru tentang
kelestarian sumberdaya alam dan
bantuan biaya langsung terhadap
lingkungan.
Analisis TEV
(Total Economic
Value) baik nilai
guna langsung dan
tidak guna
langsung
“Valuasi Ekonomi
transportasi dan
marketing dengan
CVM dan Attribute
Based Methode
(ABM)
Patunru (2004)
Valuasi Ekonomi ekonomi
lingkungan, transportasi dan
marketing. Penekanan pada dasar
Willingness-to-pay (WTP) yang
didasarkan pada conjoint choice
method yaitu metoda yang didasarkan
pada eksperimen dengan menawarkan
berbagai pilihan kepada responden
dalam survei dan diminta menentukan
pilihannya diulang bebera kali dengan
atribut yang berubah-ubah. Bahwa
kontaminasi berdampak pada
perekonomian lokal dan kesehatan
pada pembersihan sedimen yang
terkontaminasi di pelabuhan.
Analisis model
CVM dengan
Attribute Based
Methode (ABM)
Analisis
Willingness-to-pay
(WTP)
“ Evaluasi Dampak Erosi
Tanah dengan Model
Pendekatan Ekonomi
Lingkungan dalam
Perlindungan DAS” :
Kasus Sub-DAS Besai –
DAS ulang Bawang,
Lampung.
Sihite (2001
Dampak lingkungan dengan biaya
ganti dan manfaat yang diperoleh dari
aktivitas proyek (implementasi
kebijakan) menunjukkan besarnya
keuntungan dengan pelestarian
sumberdaya lahan. Dampak dan biaya
yang timbul didaerah hulu
menyebabkan timbulnya biaya di
wilayah hilir dan ini mengakibatkan
hilir dan hulu harus terintegrasi.
Analisis ekonomi
lingkungan /
valuasi model
Pendekatan
Ekonomi
Lingkungan
25
“Nilai ekonomi
lingkungan pada
pelestarian hutan
mangrove di Benoa
Bali, Wiradharma et al
(2006),
Nilai ekonomi total kawasan hutan
Mangrove di Teluk Benoa seluas
1.373,5 hektar sebesar
129.505.333.853,32 rupiah pertahun.
Dengan analisis sensitivitas , Total
Economic Value (TEV) akan berubah
jika terjadi perubahan kondisi pada
komponen manfaat dan biaya sosial
bila kenaikan biaya 10 %memberikan
Total Economic Value (TEV) sebesar
127.740.711.499,67 rupiah dan
terjadinya penurunan tingkat
produktivitas 5 persen memberikan
Total Economic Value (TEV) sebesar
122.147.755.983,83 rupiah.
Analisis
sensitivitas
Analisis Total
Economic Value
(TEV)
. “The Valuation of
Social Cost, Pearce,
David (1978)
Keterbatasan benefit cost analisis
dalam menganalisis dampak
lingkungan untuk menentukan
kebijakan lingkungan. Pertama,
metode ini mengandung value
judgements yang mungkin dapat
obyektif. Kedua selama analisis ini
merupakan teknik analisis
keseimbangan parsial, mungkin tidak
cukup untuk memecahkan masalah
ekternalitas.
Analisis benefit
cost dampak
lingkungan untuk
menentukan
kebijakan
lingkungan.
“Damage weights to
environmental
pollutionts”
Victor (1972)
Menaksir biaya ekosistem untuk
berbagai komoditi rekomendasi
kebijakan lingkungan Analisis akan
lebih valid jika penemuan empiris
minimal menggunakan level
agregrasi.
Analisis biaya
ekosistem
Sumber: Data Sekunder, 2014.
Penelitian ini dilakukan pada kawasan Merapi yang merupakan daerah resiko
erupsi dengan aspek kajian usahatani dan lingkungan kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi. Analisis yang digunakan meliputi analisis usahatani dari sisi
produksi, biaya produksi, nilai produksi dan pendapatan dari sektor pertanian
tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, lingkungan sosial dan
sistem produksi pertanian dan lingkungan kawasan hutan lindung Taman Nasional
26
Gunung Merapi. Analisis ekonomi lingkungan yang digunakan untuk menilai valuasi
total ekonomi kawasan TNGM meliputi nilai manfaat langsung, manfaaat tidak
langsung, nilai keberadaan.
Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu di agroekologi
dataran tinggi atau pada kawasan hutan lindung, terdapat beberapa keaslian dan hal
baru (novelty) dalam penelitian ini yang dapat dilihat dari berbagai aspek:
1. Aspek topik kajian: penelitian terdahulu yang sudah dilakukan di kawasan Merapi
hanya menyentuh aspek teknis (sumberdaya lahan, geografi, geologi, pertanian
umum, budaya, penataan kawasan pemukiman, infrastuktur, sedangkan pada
penelitian ini selain melakukan memotret kondisi umum dan sosial karakteristik
masyarakat juga dilakukan secara detil analisis usahatani dan dilengkapi dengan
topik ekonomi lingkungan kawasan TNGM, dan sampaidengan saat ini belum
pernah dilakukan untuk menilai secara ekonomi total kawasan TNGM. Jadi topik
penilaian nilai ekonomi total TNGM baru dirintis pada disertasi ini karena belum
ada rintisan atau referensi sebelumnya dari penilaian TNGM dari sisi ekonomi
total, walaupun masih terbatas pada 50% nilai dari nilai ekonomi sesungguhnya.
2. Aspek lokasi dan coverage memiliki kelebihan dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya. Lokasi penelitian dan respondennya representative/ mewakili
keseluruhan daerah terlarang dan bahaya-1 sangat rawan bencana Merapi baik
dari sisi selatan, timur, barat dan utara sudah terwakili. Luasan total (coverage)
penelitian 39,10% dari total kawasan zona bahaya Merapi yaitu seluas 1.728 ha.
Sedangkan penelitian sebelumnya, lokasi lebih kearah zona 2 dan daerah agak
aman (zona 3) belum menyentuh keseluruhan lokasi Merapi.
27
3. Aspek analisis yang digunakan: penelitian terdahulu lebih bersifat parsial dengan
analisis finansial terbatas aktifitas usahatani pada satu musim tanam, sedangkan
pada analisis ini walaupun sama menggunakan analisis financial, namun menilai
keseluruhan aktifitas usahatani di musim tanam-1, musim tanam-2 dan musim
tanam-3 setahun pada semua aspek sub sektor pertanian, perkebunan dan
peternakan. Kelebihan dari penggunaan analisis ekonomi lingkungan dalam
disertasi ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam eksplorasi
data manfaat tidak langsung (indirect value) dengan mengkombinasikan hasil 3
penelitian teknis dan rujukan UU SDA no 15 Kementrian Lingkungan Hidup
diperoleh nilai karbon (carbon storage), konservasi dan biodiversity/
keanekaragaman hayati sehingga disertasi ini dapat dipergunakan sebagai
rujukan/referensi oleh peneliti dimasa mendatang.
Berdasarkan perbandingan dengan penelitian-penelitian terdahulu dapat
dinyatakan bahwa penelitian disertasi ini mempunyai unsur kebaruan (novelty)
baik dari aspek topik, lokasi penelitian dan analisis yang dikaji, serta merupakan
penelitian rintisan khususnya pada penilaian ekonomi lingkungan TNGM. Secara
utuh untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut dapat dilihat pada bab
metodologi penelitian