i. pendahuluan -...

27
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Gunung Merapi yang berada pada kawasan propinsi DIY dan Jawa Tengah memiliki ketinggian sekitar 2.968 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7’32.5’ Lintang Selatan dan 110’ 26.5’ Bujur Timur, secara administrative terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Merapi merupakan gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi Merapi yang berulangkali terjadi pada tahun 2006 menyebabkan terjadinya kerusakan pada sektor pertanian. Erupsi Merapi yang berulangkali terjadi pada bulan Mei tahun 2006 selain menyebabkan terjadinya kerusakan pada sektor pertanian juga memberikan keuntungan bagi sektor pertanian kaitannya dengan tingkat produktivitas tanah. Berdasarkan studi FAO (2006), BPTP DIY (2006) dan BPTP Jawa Tengah (2006) erupsi Merapi berpengaruh langsung terhadap kegagalan panen sayuran, tanaman pangan, penurunan harga ternak, pencemaran/polusi air, penurunan ketersediaan air serta kelangkaan hijauan pakan ternak (HPT). Berdasarkan beberapa studi sebelumnya bahwa erupsi Merapi tahun 2006 menimbulkan kerusakan tanaman akibat abu vulkanik khususnya tanaman pangan dan hortikultura berkisar antara 20- 40% meliputi areal di wilayah Kecamatan Srumbung, Sawangan dan Dukun Kabupaten Magelang (BPTP DIY, 2006), sedangkan di sektor perkebunan kerusakan yang ditimbulkan akibat abu vulkanik lebih rendah atau kurang dari 10%, namun kerusakan akibat dampak awan panas sebagian mengalami kebakaran cukup besar

Upload: hoangkhue

Post on 16-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Gunung Merapi yang berada pada kawasan propinsi DIY dan Jawa Tengah

memiliki ketinggian sekitar 2.968 meter dari permukaan laut. Secara geografis

terletak pada posisi 7’32.5’ Lintang Selatan dan 110’ 26.5’ Bujur Timur, secara

administrative terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman,

Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali. Merapi merupakan

gunung berapi yang paling aktif di dunia. Erupsi Merapi yang berulangkali terjadi

pada tahun 2006 menyebabkan terjadinya kerusakan pada sektor pertanian. Erupsi

Merapi yang berulangkali terjadi pada bulan Mei tahun 2006 selain menyebabkan

terjadinya kerusakan pada sektor pertanian juga memberikan keuntungan bagi sektor

pertanian kaitannya dengan tingkat produktivitas tanah.

Berdasarkan studi FAO (2006), BPTP DIY (2006) dan BPTP Jawa Tengah

(2006) erupsi Merapi berpengaruh langsung terhadap kegagalan panen sayuran,

tanaman pangan, penurunan harga ternak, pencemaran/polusi air, penurunan

ketersediaan air serta kelangkaan hijauan pakan ternak (HPT). Berdasarkan beberapa

studi sebelumnya bahwa erupsi Merapi tahun 2006 menimbulkan kerusakan tanaman

akibat abu vulkanik khususnya tanaman pangan dan hortikultura berkisar antara 20-

40% meliputi areal di wilayah Kecamatan Srumbung, Sawangan dan Dukun

Kabupaten Magelang (BPTP DIY, 2006), sedangkan di sektor perkebunan kerusakan

yang ditimbulkan akibat abu vulkanik lebih rendah atau kurang dari 10%, namun

kerusakan akibat dampak awan panas sebagian mengalami kebakaran cukup besar

2

khususnya kerusakan dilahan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kerusakan

disektor perkebunan dan tanaman keras lainnya dominan terjadi di wilayah

Kecamatan Kemalang kabupaten Klaten, sebagian Kecamatan Cangkringan dan

pakem, Sleman, dan sebagian di wilayah Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali

khususnya di Desa Tlogolele.

Kerugian erupsi Merapi karena. terjangan awan panas pada erupsi Merapi

tahun 2006 telah memusnahkan areal hutan seluas 1.346,8 hektar milik Perum

Perhutani Unit I Jawa Tengah (Anonimus, 2006). Selain itu, hujan abu yang

menyertai erupsi juga mengganggu produksi pertanian hingga seluas 5.258 hektar

(Dinas Pertanian dan Kehutanan Propinsi Jawa Tengah, 2006). Secara umum,

kerusakan vegetasi hutan seperti pinus, akasia, bintamin, puspa, dadap, dan semak-

semak. Kerusakan lebih luas lagi terjadi di sektor pertanian, dimana abu vulkanik

telah menutupi tanaman pangan dan hortikultura sehingga sehingga mengganggu

proses fotosintesis dan akhirnya terjadi penurunan produksi, penurunan kualitas

tanaman dan sebagian juga terjadi gagal panen. Sebaliknya erupsi yang terjadi pada

bulan Oktober 2010, tingkat kerusakan cukup tinggi diatas 80% baik di sektor

pertanian, perkebunan maupun lingkungan usahatani. Kerusakan yang ditimbulkan

tidak hanya dari abu vulkanik saja melainkan dampak awan panas/wedul gembel

yang memusnahkan lebih dari 60% lahan usaha petani, Inhutani dan sebagian hutan

lindung TNGM.

Selain abu vulkanik, awan panas, perubahan suhu tinggi, juga lahar panas

yang dikeluarkan saat erupsi Merapi tahun 2010 sangat besar dan mengalir deras di

sebagian besar kali di DIY (Kali Gendol, Kuning, Opak). Namun karena besarnya

3

erupsi Merapi, lahar panas yang ditimbulkan selain mengalir ke sungai, karena tidak

mampu menampung lahar panas ini maka meluber sampai lahan pertanian dan

pemukiman masyarakat di wilayah sebagian besar Desa di Kecamatan Cangkringan

dan Pakem Kabupaten Sleman serta sebagian ke wilayah Kecamatan Kemalang

kabupaten Klaten; hal ini berakibat terjadi kerugian besar di sektor pertanian,

pemukiman, infrastruktur dan kurban kematian manusia, ternak dan kolam ikan.

Berdasarkan data BNPB (2010) korban jiwa sebanyak 242 orang di wilayah DIY dan

97 orang di wilayah Jawa Tengah.

Sektor pertanian memberikan kontribusi tinggi dalam mendukung

perekonomian rumah tangga petani di sekitar Merapi, baik di wilayah DIY maupun

Jawa Tengah. Wilayah yang berada di bawah kawasan Merapi dan merupakan daerah

ring adalah Kecamatan Cangkringan dan Pakem Kabupaten Sleman, DIY sedangkan

yang masuk pada wilayah Jawa Tengah adalah Kecamatan Srumbung, Dukun dan

Sawangan Kabupaten Magelang, kemudian wilayah kabupaten Klaten meliputi

Kecamatan Kemalang serta kecamatan Selo dan Cepogo Kabupaten Boyolali.

Pengaruh erupsi tahun 2006 menyebabkan kerugian di sektor ini baik secara

langsung ataupun tidak langsung. Dampak erupsi berpengaruh terhadap

perekonomian di wilayah ini karena lebih dari 60% penduduknya masih

menggantungkan pada sektor pertanian khususnya tanaman pangan, sayuran,

hortikultura, perkebunan, perikanan dan peternakan (Badan Pusat Statistik Propinsi

DIY, 2005-2007 ; Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, 2005-2007)

Terdapat dua macam penyebab terjadinya kerugian erupsi Merapi tahun 2006

dibidang pertanian, yakni lahar panas dan abu vulkanik. Lahar panas antara lain

4

menyebabkan tertutupnya sumber air dan rusaknya saluran, sehingga mengganggu

suplai air ke daerah pertanian dan untuk kebutuhan domestik. Rehabilitasi daerah

hulu diperlukan untuk memperbaiki fungsi hidrologisnya. Menurut hasil penelitian

Balai Besar Sumber Daya Lingkungan (BBSDL, 2006), baku mutu air akibat erupsi

Merapi masih dalam kategori bagus /memenuhi baku mutu air Golongan B (air yang

dapat dipergunakan sebagai air baku untuk keperluan rumahtangga).

Perlu diketahui pula bahwa material lahar panas yang terakumulasi di daerah

puncak Merapi bila terkena air hujan akan meluncur ke daerah yang lebih bawah

sebagai lahar dingin, dan ini dapat menimbulkan masalah. Dengan rusaknya tanggul

alam, maka aliran lahar dingin mungkin tidak melewati jalur yang pada tahun-tahun

sebelumnya merupakan jalur peluncuran lahar dingin. Antisipasi ini diperlukan untuk

mengurangi dampak kerusakan sumberdaya lahan akibat turunnya lahar dingin.

Berdasarkan hasil analisis citra satelit rekaman bulan Mei-Juni 2006 dan peta

rupabumi skala 1:25.000 tampak bahwa erupsi Merapi memiliki prakiraan sebaran

abu vulkanik di Kabupaten Sleman + 6.561 ha (BBSDL, 2006 dalam Widodo et al.,

2006). Sebaran terbesar terjadi di bagian atas yakni pada penggunaan lahan diatas

700 m dpl dengan luas sebaran abu vulkanik sebesar 4.767 ha, sedangkan untuk

ketinggian tempat dibawah 700 m dpl luas sebaran abu vulkanik sebesar 1.794 ha.

(BBSDL, 2006).

Luas areal pertanian di Kabupaten Sleman seluas 57.634 ha terdiri dari lahan

sawah 23.555 ha dan lahan non sawah (lahan kering, pekarangan, ladang) seluas

34.079 ha (Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman, 2006). Hasil penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa sebaran abu vulkanik dan lahan panas serta dingin

5

terbesar pada 3 kecamatan Cangkringan, Pakem dan Turi (Widodo et al., 2006).

Berdasarkan laporan Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman (2006) serta hasil

penelitian Widodo et al. (2006), dampak erupsi Merapi berpotensi terhadap

kerusakan areal sawah sekitar 250 ha, atau setara dengan 1.375 ton gabah dengan

rerata produktivitas 5,5 ton/ha, dengan potensi kehilangan penerimaan sebesar Rp

2,201 milyar/musim.

Daerah lain yang terkena karena abu vulkanik G. Merapi adalah kabupaten

Magelang. Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah

yang merupakan sentra penghasil sayuran. Munurut BPS Kabupaten Magelang

(2006) dan BPTP Jawa Tengah (2006) di Kabupaten Magelang memiliki areal

pertanian seluas + 75.820 ha terdiri dari sawah (+ 37.491 ha) dan lahan kering tegalan

(+ 38.329 ha). Areal pertanian yang berada pada kawasan bahaya I oleh semburan

abu merapi tersebar di Kecamatan Srumbung, Dukun dan Sawangan, seluas + 13.362

ha terdiri dari lahan kering + 5.217 ha dan sawah + 8.145 ha (BBSDL, 2006). Namun

demikian, pada letusan merapi 2006 ini, hampir semua kecamatan di Kabupaten

Magelang terkena dampak semburan abu merapi dari tingkat ringan sampai berat.

Selain merusak lahan pertanian, erupsi Merapi juga menyebabkan kerusakan

hutan dan perkebunan pada lokasi di puncak Merapi terutama di sekitar Kaliadem.

Secara tidak langsung erupsi merapi juga merusak saluran irigasi dan tandon air

didaerah atas. Berdasarkan analisis Mardjianto (2006) dinyatakan bahwa material

Merapi tidak membahayakan wilayah perkotaan. Hal ini disebabkan karena material

tersebut telah dikendalikan oleh 44 dam SABO di sungai Gendol, sungai Opak,

sungai Kuning, sungai Boyong dan sungai Krasak. Selain itu normalisasi sungai dan

6

aktivitas penambangan pasir didaerah hulu mampu menambah kapasitas tampung

penampang sungai.

Hal ini sejalan dari hasil survai tim BBSDL (2006), bahwa material yang

mengalir paska erupsi Merapi adalah material halus, termasuk debu vulkanik,

material hasil pencucian (wash load) pasir dan batu erupsi Merapi yang mengalir

hingga hilir. Secara umum bahwa wash load tidak berbahaya bagi masyarakat,

meskipun berpotensi mencemari air; material kedua adalah pasir dan batu yang

memiliki energi merusak. Menurut Mardjianto (2006) pasir dan batu bisa mengalir

hingga sungai Opak, tetapi tetap pada jalurnya dan daya rusaknya berkurang.

Menurut Bahagia (2006) dari pelaksana Harian Bidang PBA, Dinas P3BA Sleman

bahwa yang perlu diwaspadai adalah ancaman banjir lahar Merapi adalah wilayah

Kecamatan Turi, Tempel, Cangkringan, Ngemplak, Pakem, Ngaglik dan Kalasan,

dimana sungai Gendol merupakan ancama terbesar.

Erupsi Merapi selain menimbulkan kerugian bagi masyarakat baik secara

langsung maupun tidak langsung terhadap usahatani yang dilakukan, juga berdampak

pada kerusakan kawasan hutan lindung di sekitar Merapi. Untuk diketahui bahwa

hutan lindung mempunyai multi fungsi baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ditinjau dari berbagai macam peruntukan, maka wilayah hutan lindung di sekitar

Merapi merupakan wilayah yang produktif, seperti untuk penyimpan air hujan (water

researvoir), mencegah erosi tanah dan air (soil and water), pemanfaatan wisata,

pendidikan, tanaman hutan/kayu, keanekaragaman hayati, plasma nutfah, kelestarian

hewan disekitar hutan, kualitas dan kuantitas udara dan lain sebagainya. Tingginya

produktivitas primer disekitar Merapi dan sekitar hutan lindung Merapi

7

memungkinkan tingginya produktivitas sekunder seperti pemanfaatan lahan untuk

budidaya tanaman pangan, hortikultura, tanaman keras/perkebunan, tanaman

kayu/hutan dan peternakan khususnya ternak sapi perah. Adanya beberapa faktor

yang menyebabkan degradasi ekosistem selain karena faktor perubahan fungsi

pemanfaatan hutan lindung di kawasan Merapi dan siklus erupsi Merapi yang terjadi

terus menerus yang sulit diantisipasi manusia maka alangkah bijaksananya

pemerintah harus memperhatikan masalah ini baik tindakan langsung pembinaan

kepada masyarakat, sosialisasi masalah fungsi dan antisipasi bencana yang

ditimbulkan, dan kompensasi bilamana diperlukan agar kawasan hutan lindung dan

masyarakat disekitar Merapi sehingga kawasan ini tetap terjaga dengan baik dan

berkesinambungan (sustainability) dapat dimanfaatkan dalam jangka panjang untuk

generasi mendatang.

Dalam pelestarian hutan lindung di wilayah Merapi, faktor terpenting adalah

perencanaan, pelaksanaan dan kontrol/ evaluasi dari program yang sudah dilakukan

oleh pemerintah agar dicapai sustainability kawasan ini. Dalam hal pelestarian hutan

lindung di kawasan Merapi ini selain Pemerintah, masyarakat sekitarnya partisipasi

swasta belum banyak terlibat, namun justru LSM lebih banyak berkecimpung di

kawasan ini (www.merbabu.org). Seperti halnya dari hasil penelitian dalam

pelestarian hutan di wilayah di Teluk Benoa Bali, salah satu faktor terpenting adalah

dalam model perencanaan pembuatan keputusan dalam pelaksanaan pembangunan

dari sektor publik dan swasta yang kurang memperhatikan strategi dan nilai ekonomi

total yang terdapat dalam ekosistem tersebut (Wiradharma dan Antara , 2006).

8

Eksistem kawasan hutan lindung di Merapi memiliki nilai strategis bagi 4

(empat) kabupaten di dua provinsi Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta, disebelah

selatan punggung Merapi yaitu kabupaten Sleman, di sebelah utara yaitu kabupaten

Boyolali, disebelah barat kabupaten Magelang dan disebelah timur kabuaten Klaten.

Dalam pelestarian wilayah ini maka keterpaduan masing-masing daerah dalam

kelestarian sumberdaya hutan ini diperlukan, maka egosentris masing-masing daerah

perlu dihindari, oleh sebab itu adalah tepat bahwa penanganan daerah cagar/ kawasan

hutan lindung dipelihara oleh negara/pusat sehingga memudahkan dalam

koordinasinya. Melihat letak yang demikian strategis, maka kawasan-kawasan

disekitarnya akan mengalami perkembangan pembangunan cukup pesat, yang secara

langsung maupun tidak langsung akan memberikan tekanan terhadap lingkungan

hutan ini.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi seringkali menjadi alasan yang

klasik untuk menghalalkan perubahan peruntukan ataupun konservasi terhadap lahan

hutan Merapi. Namun dibalik itu keberlanjutan dari pertumbuhan dan perkembangan

ekonomi tersebut dalam jangka panjang sangatlah kurang mendapatkan perhatian,

sehingga hal tersebut berlangsung dan dapat dinikmati hanya dalam jangka pendek

saja. Selama ini studi kelayakan yang dilakukan cenderung melihat hanya dari sisi

sudut pengusaha yang berorientasi Profit melalui analisis finansial (Financial

Analysis), dan sangatlah kurang memperhitungkan kelayakan dari sudut manfaat yang

dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas (social benefit). Memperhatikan fungsi

dari kawasan hutan lindung dan masyarakat disekitar Merapi maka selain analisis

usahatani dari sisi tanaman pangan, hortikultura/sayuran, perkebunan dan ternak sapi

9

perah yang dominan ada di kawasan ini maka analisis ekonomi lingkungan

diperlukan untuk kepentingan masyarakat sekitar dan masyarakat secara luas. Selain

itu dilihat dari berbagai dampak yang ditimbulkan oleh erupsi gunung Merapi

terhadap sektor pertanian dapat berupa kerugian ekonomi pada usahatani maupun

kerugian lingkungan. Adanya kerugian ekonomi pada usahatani (agricultural loss)

dan kerugian akibat kerusakan lingkungan (environmental loss) sebagai dampak

erupsi Merapi merupakan justifikasi dilakukannya penelitian ini.

Hasil estimasi kerugian ekonomi tersebut merupakan informasi penting dalam

proses penentuan kebijakan dalam mengatasi masalah erupsi gunung Merapi,

terutama dalam rangka pemberian kompensasi oleh pemerintah. Hasil penelitian ini

juga penting dalam rangka melakukan program pemulihan kembali paska erupsi

mengingat erupsi yang sama juga sangat dimungkinkan terjadi dimasa yang akan

datang. Hasil pemetaan terhadap kerusakan akibat erupsi akan memberikan informasi

tentang kategori daerah-daerah yang kerusakannya tergolong berat, sedang dan ringan

sehingga mempermudah penanganan selanjutnya berdasarkan skala prioritas.

Terjadinya erupsi Merapi pada tahun 2010 memiliki dampak yang jauh lebih

besar dibandingkan dengan erupsi tahun 2006. Kerugian yang ditimbulkan lebih besar

baik itu kerugian material, infrastruktur, dan jiwa manusia. Pada erupsi tahun 2010

memiliki cakupan/coverage yang relatif hampir sama pada wilayah yang kena

dampak Merapi, namun tingkat kerugian dan kerusakan jauh lebih besar. Untuk

wilayah Yogyakarta, erupsi Merapi meluncur sampai pada radius 30-40 km dari

puncak Merapi (Desa Umbulharjo Kecamatan Pakem, Kecamatan Cangkringan dan

10

sebagian kecamatan Pakem. Sedangkan untuk wilayah jawa tengah meliputi 3 (tiga)

kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.

Perbedaan jelas erupsi Merapi tehadap material yang dikeluarkan antar

wilayah yang terkena dampak abu vulkanik dan material lain berupa lahar panas,

material batu, kerikil dan uap panas/ istilah wedus gembel. Dampak erupsi Merapi di

wilayah Sleman dominan lahar panas dan abu vulkanik, namun untuk Magelang dan

Boyolali dampak yang besar adalah abu vulkanik. Sedangkan di wilayah Klaten

adalah lahar panas dan abu vulkanik.

Erupsi tahun 2010 selain material abu vulkanik, juga lahar dingin berdampak

cukup besar bagi keselamatan manusia diwilayah jangkaun erupsi Merapi. Kerugian

akibat erupsi untuk sektor pertanian cukuplah besar. Pemulihan sektor pertanian

tentu berjalan sangat lamban karena banyak lahan masih tertutup oleh debu panas

dan sebagian masih tertutup oleh lahar panas. Untuk itu diperlukan proses pengolahan

tanah yang bisa mempercepat pemulihan tanah. Untuk debu vulkanik mungkin relatif

lebih mudah untuk diatasi, dengan hujan maka cepat lahan ini pulih dan dapat

dimanfaatkan untuk pertanian. Pada saat erupsi hampir 1-2 bulan paska erupsi

masyarakat sekitar kehilangan waktu aktivitas, karena tidak melakukan kegiatan sama

sekali sehingga diperlukan bantuan khusus dalam kehidupannya. Karena sebagian

masyarakat tinggal dipengungsian, maka aktivitas ekonomi hampir berhenti sama

sekali.

Kedasyatan letusan Merapi yang terjadi pada 5 sampaidengan 7 November

2010 luar biasa, muntahan material banyak menuju ke kali Gendol, muntahan yang

disertai guguran material sampai berjarak 15 km dari puncak merapi (Kompas.com, 5

11

Nov 2010). Menurut Surono, 2010, erupsi merapi 2010 lebih besar dibandingkan

tahun 1872. Selain material panas yang langsung membahayakan manusia, maka

lahar dingin akan mengancam bilamana hujan lebat terrus menerus. Banjir lahar

dingin menyusuri Kali Woro, Gendol, Kuning, Boyong, Bedog, Krasak, Bebeng,

Lamat dan Kali Senowo yang terletak diarea 4 kabupaten Sleman, Boyolali, Klaten

dan Magelang (BPPTK DIY, 2010; Kompas.com, 2010).

Erupsi Merapi tahun 2010 berdampak terhadap kondisi sosial, lingkungan,

kesehatan dan material. Dampak sosial menimbulkan kurban 206 jiwa dan 384.136

orang mengungsi di 635 titik pengungsian dalam www.slemankab.go.id. Selain itu,

erupsi merapi mengakibatkan sejumlah warga kehilangan ternak, rumah, pekerjaan

sehari – hari serta harta benda juga para korban yang menjadi depresi.

Dampak lingkungan yaitu sebanyak 14 desa habis terlahap letusan gunung

merapi yaitu desa Kalibening, Kaliurang, Kapuhan, Keningar, Lencoh, Ngargomulyo,

Paten, Samiran, Sengi, Sewukan, Sumber, Seruteleng dan Tlogolele. Selain itu

berbagai jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2), gas Hidrogen Sulfida (H2S),

Nitrogen Dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu berterbangan bebas

di udara. Selain menimbulkan dampak negatif, letusan gunung merapi juga

menimbulkan dampak positif yaitu dengan adanya lahar dingin yang mengalir serta

material vulkanik yang dimuntahkan merapi dapat menambah kesuburan tanah di

daerah sekitar merapi sehingga sangat cocok untuk pertanian.

Dampak kesehatan, rata – rata pasien korban merapi mengalami luka bakar

akibat terkena wedus gembel. Selain itu abu vulkanik yang berterbangan bebas di

udara juga dapat mengganggu kesehatan pernapasan sehingga setiap orang

12

diwajibkan untuk memakai masker. Banyak juga para korban yang cedera karena

terkena batu kerikil yang berjatuhan dari udara. Dan letusan ini juga semakin

memperparah penyakit yang sudah diderita para korban.

Dampak material yang ditimbulkan terhadap kerugian akibat erupsi merapi

tahun 2010 diperkirakan mencapai 5 triliyun rupiah (http://geourban.wordpress.com;

- http://www.tribunnews.com; dalam Kompas.com 2010). Dari sektor perikanan,

pariwisata, pertanian, UMKM, perhotelan dan ekonomi tidak berjalan sebagaimana

mestinya. Dari sektor perikanan sendiri kerugian yang diderita mencapai 11 miliar

rupiah. Dari sektor pertanian mengalami kerugian sekitar Rp 247 miliar, terutama

pada salak pondoh yang rugi Rp 200 miliar. Sedangkan pada sektor UMKM, terdapat

sekitar 900 UMKM di Sleman, dari 2.500 UMKM, untuk sementara berhenti total.

Kebanyakan usahannya adalah peternakan, hortikultura, dan kerajinan..

Terhadap sektor peternakan, jumlah ternak yang mati akibat erupsi Merapi

mencapai 1.548 ekor (Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, 2010). Dari jumlah

itu, sapi perah yang mati mencapai 1.221 ekor, sapi potong 147 ekor, kambing atau

domba 180 ekor. Sementara selebihnya, kebanyakan ditampung di Tirtomartani,

Kecamatan Kalasan dan Wedomartani, Kec Ngemplak. Di sektor Perikanan

diperkirakan kerugian cukup besar, yaitu sekitar 1.272 ton ikan. Pada sektor

Perhotelan; kunjungan wisatawan berkurang tingkat hunian hotel turun 70%.

Sedangkan kerusakan rumah mencapai 2.271 buah, sebagian besar kerusakan rumah

terjadi di wilayah Kabupaten Sleman.

13

1.2. Perumusan Masalah

Pada awal sebelum terjadi erupsi, sektor pertanian berperan sangat penting

dalam menopang kehidupan masyarakat di sekitar gunung Merapi. Terjadinya erupsi

Merapi telah menyebabkan terjadinya berbagai kerusakan sumberdaya alam dan

lingkungan (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan dan lain-lain) serta

sumberdaya manusia, baik fisik maupun psikologis sehingga produktivitas kerja

menjadi menurun. Kerusakan yang terjadi akibat erupsi, diperkirakan memerlukan

waktu pemulihan 1-2 tahun dari sisi pemulihan ekonomi rumahtangga petani dan dari

sisi lingkungan diperlukan waktu lebih lama (recovery dan rehabilitasi).

Dampak erupsi Merapi yang terjadi pada tahun 2006 berpengaruh terhadap

usahatani tanaman pangan dan hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan.

Kerugian terjadi pada saat musim tanam erupsi (MTE) pada periode 1-3 bulan saat

erupsi Merapi. Kerugian akibat erupsi Merapi terhadap sektor tanaman pangan dan

hortikultura serta tanaman perkebunan dari input saprodi, penurunan produksi, nilai

produksi karena penurunan harga produksi dan biaya produksi yang akhirnya

berdampak pada penurunan pendapatan petani di kawasan Merapi. Sedangkan

terhadap sektor peternakan, yang sangat terasa mengalami kerugian adalah usaha

ternak sapi perah. Kerugian sapi perah khususnya terhadap kerugian biaya sapronak,

penurunan produksi susu, penurunan harga susu dan penurunan nilai jual ternak sapi

perah, dan hal ini berdampak pada penurunan dan kerugian usaha sapi perah.

Penurunan harga susu disebabkan kualitas susu menurun, sedangkan penurunan

produksi susu disebabkan karena ternak mengalami stress dan berakibat penurunan

14

produksi susunya, hal ini juga disebabkan karena peternak sebagian besar

dipengungsian sehingga ternaknya terlantar.

Pada saat erupsi (MTE), tanaman pangan yang diusahakan adalah tanaman

padi, jagung, ketela pohon dan ketela rambat. Sedangkan tanaman hortikultura adalah

tanaman cabe, kol bulat, sawi, boncis, wortel, dan lain sebagainya. Sektor tanaman

perkebunan, tanaman keras dan buah-buahan adalah: tembakau, cengkeh, mahoni,

sengon, nangka, melinjo, salak, alpokat. Sedangkan untuk ternak yang nyata

berdampak adalah ternak sapi perah, sedangkan sapi lokal dan ternak lain tidak

banyak berpengaruh, kalaupun berdampak hanya sementara karena stress dan

menurun bobotnya.

Sebelum erupsi Merapi (MTE-1), kondisi pertanaman tanaman pangan dan

hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan sapi perah relatif cukup baik

ditinjau dari input produksi, produksi, nilai produksi, biaya produksi dan pendapatan

dari tanaman dan susu sapinya secara umum memberikan penghasilan yang layak

dalam mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Begitu pula pada periode setelah

erupsi Merapi tahun 2006 (MTE+1), yaitu pada musim tanam ketiga dengan pola

tanam yang hampir relatif sama pada musim tanam saat erupsi (MTE) produksi

tanaman meningkat dan harga produk juga meningkat dan akhirnya terjadi

peningkatan pendapatan di sektor pertanian tanaman pangan dan hortikultura dan

perkebunan. Hal yang sama juga terjadi disektor peternakan sapi perah, setelah

kondisi stabil pada periode 3 (tiga) bulan setelah erupsi, terjadi peningkatan produksi

dan harga susu akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan petani/peternak di

kawasan Merapi. Dari uraian ini dapat disimpulkan sementara bahwa, sebelum erupsi

15

pendapatan petani/peternak relatif stabil mampu mencukupi kebutuhan rumah

tangganya, sedangkan pada saat erupsi pendapatan menurun bahkan merugi, namun

pada saat setelah erupsi produksi meningkat kembali dan berdampak pada

peningkatan pendapatan petani/peternak lebih tinggi dibandingkan saat erupsi

Merapi.

Erupsi Merapi terjadi kembali pada tahun 2010 (bulan September-Oktober

2010), hal ini berdampak lebih besar dibandingkan erupsi Merapi tahun 2006.

Kerugian disektor pertanian diatas 95%, artinya kegagalan panen disektor tanaman

pangan dan hortikultura, perkebunan dan peternakan sapi perah. Dalam kasus ini,

erupsi yang terjadi bias dikatakan merupakan bencana/damage maka kerugian dalam

usahatani tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan tidak ada yang bias dipanen,

artinya bahwa kerugian total dari biaya yang dipergunakan untuk produksi. Namun

hal ini berbeda disektor peternakan sapi perah, walaupun mengalami bencana, ternak

yang diusahakan masih memberikan produksi susu walaupun menurun drastis. Masih

ada pendapatan yang diharapkan.

Untuk kasus erupsi tahun 2010, karena sektor pertanian tanaman pangan dan

hortikultura dan perkebunan bisa dianggap bencana, maka tidak dilakukan penelitian

yang mendalam. Dalam kasus ini untuk erupsi tahun 2010, yang diteliti hanya pada

dampak terhadap usaha sapi perah di kawasan Merapi. Usaha sapi perah sebelum

erupsi Merapi (MTE-1) tahun 2010 relatif cukup baik dalam menopang kehidupan

rumahtangga dengan rerata produksi susu 9,0-12 lt/hari/ekor; namun pada saat erupsi

(MTE) tahun 2010 produksi susu menurun drastis menjadi 3-6 lt/hr/ekor dan hal ini

disertai dengan penurunan harga susu 30-60% , hal ini berdampak pada penurunan

16

pendapatan peternak. Sebaliknya setelah erupsi (MTE+1) pada kisaran 3 bulan

setelah erupsi kondisi normal kembali dengan peningkatan produksi susu seperti pada

periode sebelum erupsi Merapi. Permasalahan setelah erupsi adalah terjadinya

penurunan harga susu sekitar 10-20% dibandingkan pada saat sebelum erupsi, dan

peningkatan biaya input produksi (biaya variabel sapronak dan tenaga kerja) hal ini

menyebabkan penurunan pendapatan dibandingkan pendapatan sebelum erupsi,

namun lebih baik dibandingkan pada saat erupsi Merapi.Faktor lainnya adalah

kepemilikan ternak sapi perah per ekor/rumah tangga menurun dari rerata 2,76

perekor/RTpeternak menjadi 2,45 per ekor/RTpeternak, hal ini menyebabkan

penurunan pendapatan dari usaha ternak, karena susu yang dihasilkan lebih rendah

dibandingkan sebelum erupsi, sedangkan untuk biaya memelihara 2,76 dengan 2,45

relatif sama dalam pendekatan skala rumah tangga.

Dampak erupsi juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan sosial dan

sistem produksi pertanian. Kerugian lingkungan social terutama pada kerugian asset

pribadi, asset usahatani, kesehatan, pendidikan, lahan dan kehilangan pendapatan

karena tidak bekerja (opportunities loss) dalam waktu 1-2 bulan. Dampak terhadap

kerugian lingkungan social dan system produksi pertanian hanya terjadi pada saat

erupsi (MTE), sehingga pendekatan analisis untuk kerugian lingkungan social pada

saat erupsi (MTE). Dampak erupsi Merapi selain menyebabkan kerugian lingkungsn

social dan sistem produksi pertanian, juga memberikan keuntungan dalam jangka

pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek erupsi Merapi juga memberikan

penghasilan baru dari usaha wisata (parkir, pemandu wisata, warung, souvenir) dan

pekerjaan lainnya disektor non pertanian (bekerja diproyek rehabilitasi jalan,

17

jembatan, saluran air, dan pemukiman) baik yang dikelola oleh pemerintah, swasta

maupun lembaga asing yang bekerjasama dengan NGO dan pemerintah. Sedangkan

keuntungan jangka panjang adalah peningkatan kesuburan lahan pertanian,

melimpahnya material erupsi:pasir, batu dan material lainnya yang merupakan

anugerah bagi masyarakat sekitar, desa, kecamatan dan pemerintah daerah khususnya

dalam pendapakan dari sector galian C (pertambangan). Dalam kasus ini untuk

keuntungan jangka panjang tidak dimasukkan dalam perhitungan pendapatan

/penghasilan.

Dampak lainnya selain terhadap sektor pertanian tanaman pangan+

hortikultura, perkebunan, peternakan dan lingkungan sosial adalah terhadap kawasan

hutan lindung TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi). Dampak yang ditimbulkan

pada erupsi Merapi tahun 2006 menyebabkan kerusakan hutan lindung sekitar 10%

(400-650 ha) yang mengalami kebakaran dan penutupan lahan kawasan hutan lindung

karena abu, pasir dan lahar. Oleh sebab itu dilakukan pendekatan analisa kerugian

lingkungan kawasan TNGM pada saat erupsi Merapi (MTE) dibandingkan sebelum

erupsi Merapi dengan pendekatan TEV (Total Economic Value), dengan

menggunakan teknik valuasi ekonomi lingkungan. Penentuan kerugian lingkungan

(environmental loss), berguna bagi pengambil kebijakan dalam rangka perencanaan

dan rehabilitasi kawasan TNGM di DIY dan Jawa Tengah.

Kawasan TNGM ini meliputi 6400 ha yang berfungsi multi dimensi, selain

bermanfaat langsung terhadap masyarakat disekitar kawasan Merapi (kayu-kayuan,

buah-buahan, rumput-rumputan, HPT, air tanah, juga secara Nasional dan global

bermanfaat untuk menjaga ekosistem, biodiversity, konservasi, penyerapan karbon

18

(carbon storage), keberadaan sebagai manfaat social ekonomi budaya/kearifan lokal

dan kelestarian lingkungan TNGM.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian

ini diarahkan pada beberapa pertanyaan, yang berkaitan dengan dampak Erupsi pada

sektor pertanian di D.I.Yogyakarta dan Jawa Tengah khususnya pada tahun 2006 dan

sebagian pada dampak erupsi tahun 2010, yaitu :

(1) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap

penurunan usahatani tanaman pangan dan hortikultura di sekitar Merapi ?

(2) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap

penurunan usahatani perkebunan di sekitar Merapi ?

(3) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 dan tahun 2010 berpengaruh negatif

terhadap penurunan usaha peternakan sapi perah di sekitar Merapi ?

(4) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap

kerugian dan manfaat sosial ekonomi di sekitar Merapi ?

(5) Seberapa besar erupsi Merapi tahun 2006 berpengaruh negatif terhadap

penurunan nilai lingkungan total pada kawasan hutan lindung Merapi ?

C. Tujuan dan manfaat penelitian

1. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang diajukan, maka

tujuan dari penelitian di kawasan sekitar Merapi ini adalah untuk mengidentifikasi:

1. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap usahatani tanaman

pangan dan hortikultura di sekitar Merapi

19

2. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap usahatani perkebunan di

sekitar Merapi

3. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 dan 2010 terhadap usaha

peternakan sapi perah di sekitar Merapi

4. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap kerugian dan manfaat

sosial ekonomi di sekitar Merapi

5. Mengetahui dampak erupsi Merapi tahun 2006 terhadap nilai lingkungan pada

kawasan hutan lindung Merapi

2. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna :

1) Peneliti, sebagai usaha untuk menambah pengetahuan, skill, pengalaman dan

dapat meningkatkan ketajaman analisis dalam pelaksanaan penelitian lebih

lanjut khususnya penelitian yang berkaitan dengan lingkungan

2) Masyarakat, sebagai masukan informasi yang berguna dalam usahatani,

sedangkan dari sisi lingkungan ekonomi akan menambah pengetahuan serta

bagaimana mengantisipasi bilamana erupsi masih berlanjut

3) Pemerintah Daerah, sangat berguna dalam memberikan kebijakan baik yang

bersifat ansisipasi, perencanaan lingkungan, bantuan langsung maupun tidak

langsung bagi masyarakat yang terkena dampak erupsi

4) Pemerintah Pusat, berguna bagi rujukan dalam mengantisipasi bencana ini

apabila terjadi pada daerah lain yang memiliki ekosistem wilayah yang sama

dengan banyaknya gunung berapi di Indonesia.

20

5) Bagi pemerhati lingkungan sebagai bahan sumbangan yang berguna khususnya

yang berkaitan dengan analisis ekonomi lingkungan

1.4. Keaslian dan Hal Baru Dalam Penelitian

Untuk mengetahui keaslian dan kebaruan (novelty) disertasi ini dapat

diperbandingkan dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan di kawasan

agroekologi dataran tinggi meliputi analisis usahatani di dataran tinggi dan di

kawasan hutan lindung, penelitian ekonomi lingkungan

Penelitian dampak erupsi Merapi sudah cukup banyak dilakukan

namun belum menyentuh nilai keseluruhan kawasan, dan masih bersifat

parsial. Secara teknis data cukup tersedia dari aspek tanah, sumberdaya lahan,

hidrologi, infrastruktur (jalan, pemukiman, jembatan dan infrasrtuktur

lainnya). Dari sisi geologi, geografi, kehutanan dan lingkungan hidup sosial

dan teknis juga sudah tersedia data-data pendukung untuk kawasan Merapi.

Aspek sosial ekonomi pertanian, peternakan, dan lingkungan TNGM

belum banyak tersentuh, oleh sebab itu disertasi ini lebih banyak melengkapi,

mengulas dan memperbaruhi (novelty) dari aspek usahatani disektor pertanian

tanaman pangan+hortikultura, perkebunan, peternakan, dan lingkungan

kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Merujuk penelitian sebelumnya yang telah dilakukan landasan yang

kuat bagi peneliti untuk mengkaji sejauhmana kerugian finansial dampak

erupsi Merapi terhadap pertanian dan lingkungan. Hal ini sangat berguna

khususnya bagi pembuat kebijakan baik di daerah atau di pusat dalam

21

pengambilan keputusan dengan data-data dan metode yang valid yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Secara garis besar bahwa penelitian ini semestinya merupakan

penelitian yang utuh dan bersifat komprehensif dengan melibatkan berbagai

disiplin ilmu. Beberapa disiplin ilmu yang diperlukan adalah ilmu tanah,

geologi, geografi, hidrologi dan pemetaan, lingkungan dan pencemaran,

kegunung-apian dan tentunya bidang ekonomi pertanian khususnya ekonomi

lingkungan.

Penelitian ini akan lebih baik bilamana dilakukan dalam jangka

panjang dan dilihat pada semua aspek dan tidak bersifat spasial atau individu

pada sisi keilmuan masing-masing. Oleh sebab itu dalam penelitian ini

melibatkan berbagai unsur lintas disiplin. Namun tidak mengurangi kaidah

keilmuan karena disertasi ini dikerjakan oleh peneliti bidang sosial ekonomi

pertanian, maka aspek ekonomi lingkungan dan usahatani di bidang pertanian

lebih ditonjolkan. Pada penelitian ini lebih banyak dilakukan survai yang

bersifat eksplorasi data dan akan disajikan baik secara kualitatif maupun

kuantitatif.

Untuk mengetahui keaslian dan kebaruan (novelty) disertasi ini dapat

dibandingkan dengan beberapa penelitian-penelitian tentang aspek usahatani

dan ekonomi lingkungan yang telah dilakukan di agroekologi lahan kering

dataran medium-tinggi serta kawasan hutan lindung disajikan pada tabel 1.1.

22

Tabel 1.1.Beberapa Penelitian dengan Berbagai Aspek Kajian dan Metode

Analisis yang Telah Dilakukan di kawasan Agroekologi Dataran

Tinggi dan Kawasan Hutan Lindung

Judul Simpulan Kajian Metode Analisis

Dampak Erupsi G.

Kelud Terhadap Kon-

disi Sosial Ekonomi

Masyarakat. 2014

(Puspita I. Wardhani,

Aries Dwi Wahyu

Rahmandana, Febrian

Maritimo).

Erupsi Gunungapi mempengaruhi

kondisi sosial ekonomi masyarakat,

khususnya masyarakat di kawasan

lereng Gunungapi Kelud., adanya

modal sosial (gotong royong dan

tolong menolong, Kondisi ekonomi

masyarakat menurun pendapatan

sumberdaya yang ada di sekitar lereng

G. Kelud. Masyarakat memerlukan

pembangkit ekonomi pariwisata,

pertambangan dan penghutanan

kembali.

Analisis kuantita-

tif dan kualitatif

Analisis Tingkat

Resiko Erupsi Merapi

Terhadap Pemukiman

di Kec. Kemalang

Klaten. 2014 (Ariyadi

Susilo Nugroho dan

Iwan Rudiartoz).

UNDIP

Kemalang Klaten berisiko terhadap

erupsi Merapi, kawasan lahan tegalan

dan pertanian perkebunan dan

berhutan, Desa Balerante, Sidorejo

dan Tegalmulyo Kemalang Klaten

rawan bencana Merapi,

Analisis tata guna

lahan, kawasan

pemukiman,

analisis desa yang

beriko, tools

ArcGis

Percepatan pemulihan

kondisi sosial masya-

rakat petani pasca

erupsi G. Merapi.2010

(Wasito, Rita Indrasti,

Agus Muharam).

BBP2TP Bogor.

Intervensi pemerintah justru merusak

kearifan lokal yang sudah terbangun

diMerapi, struktur belum terintegrasi

dengan kultur dan koordinasi antar

pihak kurang teintegrasi, rekonstruksi

pasca bencana belum melibatkan

masyarakat, kemandirian, kesetaraan

dan solidaritas kurang

Diskriptifm

Karakteristik

sosial ekonomi,

Potret,

Kajian Karakteristik

dan Dampak Lingku-

ngan Kegiatan Petani

Sekitar Hutan Yunita

Ismail Masjud (2000)

Pengelolaan Sumber-

daya Alam dan

Lingkungan Program

Pascasarjana IPB.

Produktivitas dan pendapatan kopi

masih rendah, belum banyak sentuhan

teknologi, konservasi tidak dilakukan

oleh masyarakat sekitar kawasan

hutan, pemberdayaan masyarakat

sudah dilakukan namun tidak optimal,

perlu adanya program terpadu yang

melibatkan masyarakat yang difasili-

tasi; Kesadaran akan pentingnya

menjaga hutan, dipahami selama

tidak menyangkut masalah

pemenuhan kebutuhan pangan;

Analisis Usahatani

(produksi,

pendapatan),

Tingkat erosi

tanah

Studi Tentang Usaha

tani di Kawasan hutan

dan Pengetahuan

Kegiatan usaha tani ini lebih banyak

dilakukan dikawasan hutan rakyat dan

bahkan ada juga disekitar dan dalam

Deskriptif kualita-

tif dan deskriptif

kuantitatif analisis

23

Petani Tentang

Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan Finda-

Rizka (2010). Thesis.

Unand.

kawasan hutan lindung. Komoditi

yang ditanami antara lain kacang

panjang, cabe rawit, bayam, cabe

merah, seledri. Ditinjau dari segi

pengetahuan petani tentang

pengelolaan hutan berkelanjutan

kurang, peran penyuluh kurang

kegiatan usaha tani dikawasan hutan

terutama dalam kawasan hutan

lindung jika dibiarkan mengganggu

keseimbangan ekosistem

Pendapatan Scor-

ing pengetahuan

keberlanjutan

kawasan hutan

lindung

Valuasi Total

Ekonomi Hutan

Mangrove di Kawasan

Delta Mahakam Kab.

Kutai 2014. (Yuyun

Wahyuni, Eka Intan

Kumala Putri dan

S.MH.Simanjuntak)

Pusat Pen Lingkungan

Hidup UMUL

Nilai TEV hutan mangrove 503,07

milyar/tahun, nilai guna langsung

407,77 milyar, nilai guna tidak

langsung 37,13 milyar, nilai

keberadaan 13,30 milyar. Faktor yang

mempengaruhi manfaat ekonomi:

umur, pekerjaan, jumlah tanggungan

keluarga

CVM, Deskriptif

dan kuantitatif

pada manfaat

langsung dan tidak

langsung, Option

value, existences

value

“Valuasi ekonomi

keragaman hayati pada

kawasan Kars di

Maros, Sulawesi

Selatan “

Gustami et al (2002)

Nilai ekonomi total dari kawasan kars

Maros Sulawesi selatan sebesar

639.556.607,80 rupiah pertahun. Nilai

guna langsung setiap tahun sebesar

Rp 133.845.803.860. Nilai tidak

langsung sumber air dan pencegah

terjadinya banjir dan longsor Rp

477.466.737.500 Nilai guna tidak

langsung (non use value) berupa nilai

preservasi WTP keinginan membayar

pengunjung untuk konservasi

pertahun Rp 28.244.066.470.

Analisis Total

Economi Value

(TEV.

Penghitungan nilai

tidak langsung

(non use value)

berupa nilai

preservasi.

“Penilaian ekonomi

masyarakat terhadap

keberadaan usahatani

di kawasan pinggiran

kota Yogyakarta “

Husodo (2005)

Berdasarkan Willingness to Pay

(WTP) bahwa variabel umur,

pengalaman berusahatani, dummy

pendapatan berpengaruh positif

Berdasarkan Wiilingness to Leave

(WTL), keinginan petani untuk

meninggalkan usahatani dipengaruhi

oleh umur, luas lahan usahatani,

beban ketergantungan, kontribusi

pendapatan dari usahatani,

pengalaman, dan alokasi waktu non

usahatani yang berpengaruh negatif,

ada atau tanpa perbaikan usahatani,

petani bersedia meninggalkan

usahatani jika pendapatan mereka

Analisis

Willingness to Pay

(WTP)

Analisis

Wiilingness to

Leave (WTL).

24

lebih dari 5x pendapatan usahatani

sekarang.

“Economic Valuation

of Natural Resource

Management: A Case

Study of The Benuaq

Dayak Tribe in

Kalimantan, Indonesia.

Kusuma (2005)

Nilai TEV (Total Economic Value)

baik nilai guna langsung dan tidak

guna langsung Benuaq Dayak

terhadap lingkungan hutan U.S. $

6,025.88 perhectare per year dengan

perincian untuk guna langsung (direct

use value) sebesar U.S. $0.028 per

hektar/tahun, indirect use value (U.S.

$3,156 per hektar/tahun), dan non-use

value (U.S.$2,870 per hektar/tahun).

Benuaq Dayak dapat pengelolaan

sumberdaya dengan baik apabila

diberikan bantuan ekonomi, dimana

TEV Benuaq Dayak dalam

pengelolaannya diperlukan

pendampingan pemerintah dalam

inovasi dan persepsi baru tentang

kelestarian sumberdaya alam dan

bantuan biaya langsung terhadap

lingkungan.

Analisis TEV

(Total Economic

Value) baik nilai

guna langsung dan

tidak guna

langsung

“Valuasi Ekonomi

transportasi dan

marketing dengan

CVM dan Attribute

Based Methode

(ABM)

Patunru (2004)

Valuasi Ekonomi ekonomi

lingkungan, transportasi dan

marketing. Penekanan pada dasar

Willingness-to-pay (WTP) yang

didasarkan pada conjoint choice

method yaitu metoda yang didasarkan

pada eksperimen dengan menawarkan

berbagai pilihan kepada responden

dalam survei dan diminta menentukan

pilihannya diulang bebera kali dengan

atribut yang berubah-ubah. Bahwa

kontaminasi berdampak pada

perekonomian lokal dan kesehatan

pada pembersihan sedimen yang

terkontaminasi di pelabuhan.

Analisis model

CVM dengan

Attribute Based

Methode (ABM)

Analisis

Willingness-to-pay

(WTP)

“ Evaluasi Dampak Erosi

Tanah dengan Model

Pendekatan Ekonomi

Lingkungan dalam

Perlindungan DAS” :

Kasus Sub-DAS Besai –

DAS ulang Bawang,

Lampung.

Sihite (2001

Dampak lingkungan dengan biaya

ganti dan manfaat yang diperoleh dari

aktivitas proyek (implementasi

kebijakan) menunjukkan besarnya

keuntungan dengan pelestarian

sumberdaya lahan. Dampak dan biaya

yang timbul didaerah hulu

menyebabkan timbulnya biaya di

wilayah hilir dan ini mengakibatkan

hilir dan hulu harus terintegrasi.

Analisis ekonomi

lingkungan /

valuasi model

Pendekatan

Ekonomi

Lingkungan

25

“Nilai ekonomi

lingkungan pada

pelestarian hutan

mangrove di Benoa

Bali, Wiradharma et al

(2006),

Nilai ekonomi total kawasan hutan

Mangrove di Teluk Benoa seluas

1.373,5 hektar sebesar

129.505.333.853,32 rupiah pertahun.

Dengan analisis sensitivitas , Total

Economic Value (TEV) akan berubah

jika terjadi perubahan kondisi pada

komponen manfaat dan biaya sosial

bila kenaikan biaya 10 %memberikan

Total Economic Value (TEV) sebesar

127.740.711.499,67 rupiah dan

terjadinya penurunan tingkat

produktivitas 5 persen memberikan

Total Economic Value (TEV) sebesar

122.147.755.983,83 rupiah.

Analisis

sensitivitas

Analisis Total

Economic Value

(TEV)

. “The Valuation of

Social Cost, Pearce,

David (1978)

Keterbatasan benefit cost analisis

dalam menganalisis dampak

lingkungan untuk menentukan

kebijakan lingkungan. Pertama,

metode ini mengandung value

judgements yang mungkin dapat

obyektif. Kedua selama analisis ini

merupakan teknik analisis

keseimbangan parsial, mungkin tidak

cukup untuk memecahkan masalah

ekternalitas.

Analisis benefit

cost dampak

lingkungan untuk

menentukan

kebijakan

lingkungan.

“Damage weights to

environmental

pollutionts”

Victor (1972)

Menaksir biaya ekosistem untuk

berbagai komoditi rekomendasi

kebijakan lingkungan Analisis akan

lebih valid jika penemuan empiris

minimal menggunakan level

agregrasi.

Analisis biaya

ekosistem

Sumber: Data Sekunder, 2014.

Penelitian ini dilakukan pada kawasan Merapi yang merupakan daerah resiko

erupsi dengan aspek kajian usahatani dan lingkungan kawasan Taman Nasional

Gunung Merapi. Analisis yang digunakan meliputi analisis usahatani dari sisi

produksi, biaya produksi, nilai produksi dan pendapatan dari sektor pertanian

tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, peternakan, lingkungan sosial dan

sistem produksi pertanian dan lingkungan kawasan hutan lindung Taman Nasional

26

Gunung Merapi. Analisis ekonomi lingkungan yang digunakan untuk menilai valuasi

total ekonomi kawasan TNGM meliputi nilai manfaat langsung, manfaaat tidak

langsung, nilai keberadaan.

Jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu di agroekologi

dataran tinggi atau pada kawasan hutan lindung, terdapat beberapa keaslian dan hal

baru (novelty) dalam penelitian ini yang dapat dilihat dari berbagai aspek:

1. Aspek topik kajian: penelitian terdahulu yang sudah dilakukan di kawasan Merapi

hanya menyentuh aspek teknis (sumberdaya lahan, geografi, geologi, pertanian

umum, budaya, penataan kawasan pemukiman, infrastuktur, sedangkan pada

penelitian ini selain melakukan memotret kondisi umum dan sosial karakteristik

masyarakat juga dilakukan secara detil analisis usahatani dan dilengkapi dengan

topik ekonomi lingkungan kawasan TNGM, dan sampaidengan saat ini belum

pernah dilakukan untuk menilai secara ekonomi total kawasan TNGM. Jadi topik

penilaian nilai ekonomi total TNGM baru dirintis pada disertasi ini karena belum

ada rintisan atau referensi sebelumnya dari penilaian TNGM dari sisi ekonomi

total, walaupun masih terbatas pada 50% nilai dari nilai ekonomi sesungguhnya.

2. Aspek lokasi dan coverage memiliki kelebihan dibandingkan dengan penelitian

sebelumnya. Lokasi penelitian dan respondennya representative/ mewakili

keseluruhan daerah terlarang dan bahaya-1 sangat rawan bencana Merapi baik

dari sisi selatan, timur, barat dan utara sudah terwakili. Luasan total (coverage)

penelitian 39,10% dari total kawasan zona bahaya Merapi yaitu seluas 1.728 ha.

Sedangkan penelitian sebelumnya, lokasi lebih kearah zona 2 dan daerah agak

aman (zona 3) belum menyentuh keseluruhan lokasi Merapi.

27

3. Aspek analisis yang digunakan: penelitian terdahulu lebih bersifat parsial dengan

analisis finansial terbatas aktifitas usahatani pada satu musim tanam, sedangkan

pada analisis ini walaupun sama menggunakan analisis financial, namun menilai

keseluruhan aktifitas usahatani di musim tanam-1, musim tanam-2 dan musim

tanam-3 setahun pada semua aspek sub sektor pertanian, perkebunan dan

peternakan. Kelebihan dari penggunaan analisis ekonomi lingkungan dalam

disertasi ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam eksplorasi

data manfaat tidak langsung (indirect value) dengan mengkombinasikan hasil 3

penelitian teknis dan rujukan UU SDA no 15 Kementrian Lingkungan Hidup

diperoleh nilai karbon (carbon storage), konservasi dan biodiversity/

keanekaragaman hayati sehingga disertasi ini dapat dipergunakan sebagai

rujukan/referensi oleh peneliti dimasa mendatang.

Berdasarkan perbandingan dengan penelitian-penelitian terdahulu dapat

dinyatakan bahwa penelitian disertasi ini mempunyai unsur kebaruan (novelty)

baik dari aspek topik, lokasi penelitian dan analisis yang dikaji, serta merupakan

penelitian rintisan khususnya pada penilaian ekonomi lingkungan TNGM. Secara

utuh untuk memperoleh gambaran mengenai hal tersebut dapat dilihat pada bab

metodologi penelitian