i. pendahuluan a. latar belakang · 2013-03-21 · dengan produksi dalam tahun 2007 mencapai 58.891...

14
1 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan buah tropis asli Indonesia bersifat musiman, berpola respirasi non klimaterik dan mudah rusak dengan umur simpan pada suhu kamar yaitu sekitar 5-6 hari (Mahendra et al., 1993). Nilai ekonominya cukup tinggi dan produksinya meningkat dari tahun ke tahun sehingga mempunyai peluang yang cukup besar sebagai komoditi ekspor. Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai produsen salak pondoh utama dengan produksi dalam tahun 2007 mencapai 58.891 ton (BPS-DIY, 2008). Pada tahun 2008 jumlah rumpun produktif salak pondoh sebanyak 4.565.793 rumpun, di lahan seluas 2.000 hektar dengan produktifitas sebesar 12,80 kg/rumpun dan produksi sebesar 58.176,8 ton pertahun (Pemerintah Kabupaten Sleman, 2009). Kualitas salak Pondoh seperti halnya buah-buahan segar tropik lainnya sangat ditentukan oleh kondisi dan sifat khas buah-buahan itu sendiri yaitu kenampakan secara fisik seperti warna, ada tidaknya cacat pada buah, bentuk dan tekstur buah, cita rasa buah serta komposisi kimianya. Penurunan kualitas buah-buahan segar pada umumnya terjadi karena penanganan pada saat panen dan pasca panen yang kurang memadai sehingga menimbulkan berbagai bentuk kerusakan mekanis, fisiologis, biologis, dan mikrobiologis. Kerusakan demikian pada akhirnya akan menurunkan kualitas buah karena terjadinya perubahan bentuk, warna, cita- rasa, tekstur dan nilai gizinya. Kerusakan utama buah salak dalam penyimpanan disebabkan oleh infeksi cendawan, kulit buah ditumbuhi miselia cendawan, daging buah berubah warna menjadi coklat, lunak, berair dan bahkan busuk, atau dapat pula kulit buah menjadi kering dan keras sehingga bermasalah dalam pengupasan kulit. Penggunaan antimikroba yang tepat dapat menanggulangi infeksi mikroorganisme dan memperpanjang umur simpan buah. Lengkuas ( Alpinia

Upload: doannga

Post on 10-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan buah tropis asli

Indonesia bersifat musiman, berpola respirasi non klimaterik dan mudah

rusak dengan umur simpan pada suhu kamar yaitu sekitar 5-6 hari

(Mahendra et al., 1993). Nilai ekonominya cukup tinggi dan produksinya

meningkat dari tahun ke tahun sehingga mempunyai peluang yang cukup

besar sebagai komoditi ekspor.

Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai produsen salak pondoh utama

dengan produksi dalam tahun 2007 mencapai 58.891 ton (BPS-DIY, 2008).

Pada tahun 2008 jumlah rumpun produktif salak pondoh sebanyak 4.565.793

rumpun, di lahan seluas 2.000 hektar dengan produktifitas sebesar 12,80

kg/rumpun dan produksi sebesar 58.176,8 ton pertahun (Pemerintah

Kabupaten Sleman, 2009).

Kualitas salak Pondoh seperti halnya buah-buahan segar tropik

lainnya sangat ditentukan oleh kondisi dan sifat khas buah-buahan itu

sendiri yaitu kenampakan secara fisik seperti warna, ada tidaknya cacat pada

buah, bentuk dan tekstur buah, cita rasa buah serta komposisi kimianya.

Penurunan kualitas buah-buahan segar pada umumnya terjadi karena

penanganan pada saat panen dan pasca panen yang kurang memadai

sehingga menimbulkan berbagai bentuk kerusakan mekanis, fisiologis,

biologis, dan mikrobiologis. Kerusakan demikian pada akhirnya akan

menurunkan kualitas buah karena terjadinya perubahan bentuk, warna, cita-

rasa, tekstur dan nilai gizinya.

Kerusakan utama buah salak dalam penyimpanan disebabkan oleh

infeksi cendawan, kulit buah ditumbuhi miselia cendawan, daging buah

berubah warna menjadi coklat, lunak, berair dan bahkan busuk, atau dapat

pula kulit buah menjadi kering dan keras sehingga bermasalah dalam

pengupasan kulit.

Penggunaan antimikroba yang tepat dapat menanggulangi infeksi

mikroorganisme dan memperpanjang umur simpan buah. Lengkuas (Alpinia

2

galanga L. Swartz) merupakan salah satu jenis rempah-rempah dari famili

Zingiberaceae yang dapat digunakan sebagai antimikroba alami. Rimpang

lengkuas mengandung senyawa-senyawa diterpen yang bersifat sitotoksik

dan antifungal, yaitu galanal A, galanal B, galanolakton, 12-labdiena-15,16-

dial, dan 17- epoksilabd-12-ena-15,16-dial (Morita dan ltokawa, 1988).

Penelitian yang telah dilakukan untuk mempertahankan kualitas dan

memperpanjang umur simpan buah salak masih terbatas pada penggunaan

pengemas (Setyajit dan Sjaifullah, 1993), penyimpanan pada suhu rendah

(Amiarsi et al., 1996), atmosfer terkendali (Setyajit et al., 1993), atmosfer

termodifikasi (Suhardi et al., 1997), penggunaan zat kimia (Prabawi et al.,

1994) dan pelapisan lilin (Wrasiati et al., 2001). Oleh karena itu pada

penelitian ini untuk meningkatkan daya simpan buah salak Pondoh segar,

dilakukan kombinasi perlakuan penanggulangan pembusukan menggunakan

ekstrak lengkuas dan sistem pengemasan atmosfir termodifikasi pada suhu

penyimpanan antara 15ᵒC-22ᵒC.

B. TUJUAN

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan daya

simpan buah salak Pondoh segar dengan mutu yang tetap terpelihara dan

bisa diterima konsumen.

Tujuan secara khusus adalah :

1. Mengetahui pengaruh ekstrak lengkuas dalam menghambat

pembusukan pada salak Pondoh.

2. Mendapatkan suhu penyimpanan terbaik untuk salak Pondoh segar.

3. Menganalisis perubahan mutu fisik dan kimiawi buah salak

Pondoh selama penyimpanan.

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SALAK PONDOH

Gambar 1 Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.).

Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) termasuk suku pinang-

pinangan (palmae). Family Palmaceae, ordo Spadiceflorae dan genus

Salacca, merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak diusahakan oleh

petani di pedesaan dengan berbagai jenis varietas. Tanaman salak berakar

serabut, berbatang keras dan tingginya dapat mencapai tujuh meter Buah

salak tersusun atas tiga bagian utama, yaitu kulit, daging buah dan bagian

biji. Bagian kulit terdiri atas sisik-sisik yang tersusun seperti genting dan

kulit ari yang langsung menyelimuti daging buah. Kulit ari ini berwarna

putih transparan. Daging buah muda berwarna putih pucat sedangkan yang

tua berwarna kekuning-kuningan (Suter, 1988).

Menurut Hasturi dan Ari (1988), buah salak Pondoh mempunyai

ukuran relatif lebih kecil, teksturnya lebih keras, warna dagingnya lebih

putih tetapi warna kulitnya lebih hitam dibandingkan dengan jenis salak lain.

Buah salak Pondoh mempunyai bentuk mendekati bundar, beratnya antara

30-100 gram, rasanya manis dan mempunyai biji berukuran kecil (Sabari,

1983). Secara skematis anatomi buah salak dapat dilihat pada Gambar 2.

Salak Pondoh merupakan jenis salak yang dihasilkan di daerah

Sleman, Yogyakarta. Daerah penghasil salak Pondoh tersebar pada tiga

kecamatan, yaitu Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi,

dan Candi. Keunggulan jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain

4

adalah buahnya sudah manis meskipun masih muda dan gurih tanpa rasa

sepat (Kusumo et al., 1995 ). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimianya,

yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0,08%, kandungan gulanya yang

relatif tinggi 23,30%, kandungan total asam yang kecil 0,32%, kandungan

kadar air 79,3%, dan kandungan vitamin C 87,4 mg/100 gr (Sabari, 1986).

Sebagai perbandingan, salak Gula Pasir yang juga ditanam di DI

Yogyakarta, berasa manis dan juga tidak sepat mempunyai kandungan tanin

0,31%, kandungan gula 15,54% dan total asam 0,37% (Suter,1988),

sedangkan salak Suwaru pada umur petik optimal mempunyai kandungan

tanin 0,27-0,45%, kandungan gula 31,14-38,10% dan total asam 0,47-0,66%

(Sulusi et al., 1996).

Keterangan:

1. Pangkal buah

2. Ujung buah

3. Kulit luar dan sisik

4. Daging buah

5. Kulit ari

6. Biji

7. embrio

Gambar 2 Anatomi buah salak (Sabari, 1983 dalam Suter, 1988).

Komposisi kimia berpengaruh terhadap rasa buah salak. Adanya gula

dan asam dapat mempengaruhi rasa manis dan asam buah salak. Senyawa

tanin yang tinggi pada daging buah salak atau pada buah-buahan pada

umumnya akan memberikan rasa sepet (Winarno dan aman, 1981).

Buah salak Pondoh mengandung vitamin-vitamin dan mineral yang

diperlukan oleh tubuh manusia. Komposisi zat gizi yang terkandung dalam

buah salak Pondoh dapat dilihat pada Tabel 1.

5 7 1

3

4

6

2

5

Tabel 1 Komposisi zat gizi buah salak Pondoh dalam 100 gram

Kandungan gizi Jumlah

-)1 -)

2 -)

3

Kalori (Kal) 77 62 57,04-61,92

Protein (g) 0,4 0,4 0,33-0,55

Lemak (g) - - -

Karbohidrat (g) 20,9 15 13,9-15,5

Kalsium (mg) 28 30 -

Fosfor (g) 18 15 -

Zat Besi (mg) 4,2 4,2 -

Vitamin A (SI) - - -

Vitamin B1 (mg) 0,04 - -

Vitamin C (mg) 2 20 24,8-39,67

Air (mg) 78 80 82-83,2

Sumber : 1 Dinas Pertanian Tanaman Pangan DI Yogyakata (1989)

2 Kilander (1968) diacu dalam Suter (1988)

3 Sugihat (1978) diacu dalam Suter (1988)

Salak Pondoh terbaik dipanen setelah umur 5 bulan karena

perkembangan ukuran buah sudah maksimnal, kandungan kimiawinya

mempunyai nilai yang relatif tetap dan rasanya yang enak (Sabari, 1986).

Umur panen yang sama juga disarankan oleh Suhardjo dan Wijadi (1991)

berdasarkan kajiannya tentang kemasiran, perbandingan padatan terlarut

total dan asam, mudah tidaknya buah menjadi rontok dan uji tingkat

kesukaan. Buah salak Pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5

bulan (umur bunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski

masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma

lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk

optimal (Kusumo et al., 1995).

Pada salak Pondoh, buah yang siap panen ditandai dengan jarak sisik

pada kulit terlihat jarang, berkilat dan mudah dikupas, warna kulit buah

merah kehitaman atau kuning kecoklatan, bulu-bulu atau duri-duri halus

pada kulit telah hilang, mudah terlepas dari tangkai, warna daging buah

tidak pucat dengan biji yang keras dan mengeluarkan aroma khas salak

(Mogea, 1973). Kesalahan dalam penanganan pascapanen, mulai dari saat

dan waktu panen hingga pengemasan dan penyimpanan dapat menyebabkan

6

kehilangan pascapanen yang tinggi, penurunan mutu dan masa simpan yang

relatif pendek.

Secara umum buah masak mengalami perubahan fisiko-kimia setelah

dipanen. Sebagian besar perubahan fisiko-kimia berubungan dengan

metabolisme oksidatif, termasuk didalamnya proses respirasi. Kecepatan

respirasi yang tinggi biasanya berhubungan dengan umur simpan yang

pendek (Phan et al., 1975). Menurut Suter (1988) pola respirasi buah salak

terus menurun tanpa adanya lonjakan produksi CO2 sehingga salak

digolongkan ke dalam buah non klimaterik. Buah-buah non klimaterik tidak

akan menunjukkan perubahan arah peningkatan mutu setelah dipetik,

sehingga pemanenan dilakukan pada buah yang benar-benar masak dipohon.

Laju respirasi salak (11,46-19,6 mg CO2/kg/jam) dekat dengan buah non

klimaterik lainnya seperti anggur (12-16 mg CO2/kg/jam), lemon (10 mg

CO2/kg/jam) dan jeruk manis (13-17 mg CO2/kg/jam). Berdasarkan

klasifikasi komoditi hortikultura laju respirasinya (Tabel 2), buah salak

tergolong memiliki laju respirasi sedang.

Tabel 2 Klasifikasi Komoditi Hortikultura Menurut Laju Respirasinyaa

Kelas Kisaran pada 5ᵒC

( mg CO2/kg/jam) Komoditi

Sangat Rendah < 5 Biji-bijian, kurma, buah kering

dan beberapa sayuran

Rendah 5 – 10 Apel, Jeruk, Kentang

Sedang 10 – 20 Pisang, tomat

Tinggi 20 – 40 Strawberry, adpokat.

Sangat Tinggi 40-60 Kubis

Tinggi Sekali > 60 Asparagus, jamur, dan jagung

manis aKader et al. (1985)

Sebagaimana buah tropik lainnya, buah salak sangat cepat

mengalami kerusakan terutama bila tertunda pemanfaatannya, karena setelah

dipanen buah salak masih terus melangsungkan aktivitas fisiologis seperti

respirasi dan transpirasi. Dengan aktivitas fisiologis tersebut, secara

berangsur mutu buah akan menurun, kulit buah kering dan daging buah

7

mulai layu, gejala infeksi patogen mulai terlihat, hingga akhirnya buah akan

menjadi busuk (Winarno, 1981).

B. PENANGGULANGAN PEMBUSUKAN PADA BUAH

Beberapa teknik dalam penanggulangan pembusukan pada buah

yang saat ini telah diaplikasikan diantaranya dengan penggunaan bahan

kimia, suhu dingin, dan perlakuan panas (heat treatment) atau

kombinasinya. Bahan kimia (fungisida) yang biasa digunakan dalam

penanggulangan pembusukan antara lain benomil, sec-butilamina, imazalil,

guazatin, metalaksil, tiabendazol (Soesanto, 2006).

Roesmiyanto (1987) melaporkan bahwa benomil dapat menekan

perkembangan antraknos pada buah pepaya selama penyimpanan.

Botryodiplodia dan Fusarium pada buah pepaya dapat ditekan

pertumbuhannya dengan benomil (Sulusi et al.,1991). Menurut Sepiah

(1989), benomil dapat mengurangi serangan penyakit pascapanen pada buah

pisang. Penggunaan benomil dan air panas yang kemudian dikombinasikan

dengan penyimpanan dingin (15ᵒC) dapat mengurangi serangan penyakit

pascapanen pada buah mangga Arumanis (Sepiah, 1986). Benomil,

difolatan, dan kaptan dapat juga mengurangi serangan bakteri dan cendawan

pada buah sawo (Abu Bakar et al, 1994). Aplikasi ethanol telah pula

dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan in-vitro mikroorganisme

pembusuk buah-buahan dan sayur-sayuran seperti Rhizopus stolonifer,

Penicillium digitatum, Coletotrichum musae, Erwinia carotovora dan

Pseudomonas aeroginosa (Utama, 1997).

Perlakuan panas yang diaplikasikan diantaranya dengan pencelupan

dalam air panas (Hot Water Treatment/HWT), uap panas (Vapor Heat

Treatment), udara panas (Hot Air Treatment/HAT) (Eskin dan Robinson,

2001) dan teknik penyikatan dengan air panas (Hot Water Brushing

Techniques) (Ferguson et al., 2000). Perlakuan panas pada pascapanen buah

dan sayuran berfungsi untuk membunuh larva serangga dan cendawan,

sebagai alternatif pengganti bahan kimia dalam usaha disinfektan serangga,

mengontrol hama penyakit, memelihara kualitas buah selama penyimpanan

8

dan juga dapat mengurangi dampak chilling injury (Paul dan Chen, 2000).

Perlakuan uap panas merupakan salah satu cara memperpanjang umur

simpan komoditi segar dengan memanaskannya menggunakan uap air jenuh

pada suhu antara 40ºC dan 50ºC Panas diberikan kepermukaan buah melalui

uap air yang terkondensasi (Gaffney et al,1990).

Illangantileke dan Maglente (1990) menyatakan bahwa uap panas

dengan kombinasi suhu 48ºC selama 38 menit dan suhu 46ºC selama 1 jam

efektif mencegah menetasnya telur Dacus dorsalis pada buah mangga

cv.Nang Klang Wan. Perlakuan uap panas dapat mencegah kerusakan buah

mangga hampir disemua kombinasi waktu dan suhu dan dapat menunda

proses pembusukan. Miller et al. (1991) melaporkan bahwa buah anggur

yang diberi perlakuan uap panas selama 5 jam pada suhu 43,5ºC dan RH

100% dapat mengurangi proses pengelupasan kulit buah dan perubahan

warna (discoloration) setelah penyimpanan 4 minggu pada suhu 10ºC dan 1

minggu pada suhu 21ºC.

Ada 3 jenis jamur yang menyebabkan buah salak menjadi busuk,

yaitu Ceratocytis paradoxa, Fusarium sp. dan Aspergillus sp. Serangan

jamur C. Paradoxa dapat terjadi pada buah di tanaman (belum dipanen) dan

buah setelah dipanen. Buah yang terserang menjadi busuk dan daging buah

di pangkal berwarna hitam. Buah yang terserang Fusarium sp, permukaan

kulitnya tertutup oleh miselium berwarna putih, daging buahnya busuk, dan

buah gugur sebelum dipanen. Busuk buah oleh jamur Aspergillus sp dimulai

dari pangkal buah, ditandai adanya konidium dan konidiofor berwarna

kuning (Kusumo et al., 1995). Busuk buah pada salak Enrekang disebabkan

oleh Sphaeropsis sp. (Cicu dan Hutagalung, 1994).

Buah salak yang dicelup dalam air panas 50ᵒC selama 3 menit dapat

menahan perkembangan penyakit pascapanen oleh cendawan Thieloviopsis

sp selama 16 hari bila disimpan pada suhu 15ᵒC dan selama 11 hari bila

disimpan pada kondisi kamar (Murtiningsih et al., 1996). Perendaman salak

pondoh dalam natrium bisulfit pada konsentrasi 1500 ppm dapat

mempertahankan mutu buah salak pondoh utuh sampai 10 hari penyimpanan

(Susi, 2007). Pemanasan buah salak dengan suhu 60ᵒC selama 30 menit

9

(Mahfud et al.1993, diacu dalam Kusumo et al.1995) atau 65ᵒC selama 20

menit (Mahfud dan Suhardjo 1994, diacu dalam Kusumo et al. 1995) efektif

mengurangi busuk buah oleh jamur C. Paradoxa.

C. LENGKUAS SEBAGAI ANTIMIKROBA ALAMI

Gambar 3. Rimpang Lengkuas Merah (Sinaga,2000).

Antimikroba adalah suatu substansi kimia yang diperoleh dari atau

dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi

rendah mampu menghambat pertumbuhan mikrooranisme lainnya.

(Sudarmono, 1994). Sedangkan menurut Pelzar dan Reid (1972), Senyawa

antimikroba adalah senyawa kimia atau biologis yang dapat menghambat

pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Zat antimikroba dapat bersifat

bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan

bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat

pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora

bakteri) (Fardiaz, 1983).

Penggunaan antimikroba alami mulai diaplikasikan pada buah-

buahan untuk menanggulangi resiko akibat penggunaan bahan kimia. Satu

diantara bahan alami yang dapat digunakan sebagai antimikroba adalah

rimpang lengkuas merah seperti yang terlihat pada Gambar 3.

Lengkuas merupakan tanaman tahunan, dengan tinggi 1-2 meter.

Rimpang besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris, diameter sekitar 2-

4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan

atau kuning kehijauan pucat, mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau

10

kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya berwarna putih.

Daging rimpang yang sudah tua berserat kasar. Apabila dikeringkan,

rimpang berubah menjadi agak kehijauan, dan seratnya menjadi keras dan

liat. Untuk mendapatkan rimpang yang masih berserat halus, panen harus

dilakukan sebelum tanaman berumur lebih kurang 3 bulan. Rasanya tajam

pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya

(Sinaga, 2000).

Klasifikasi Lengkuas menurut Anonim (2009) adalah sebagai

berikut:

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi: Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Marga : Alpinia

Jenis : Alpinia galangan (L.) Swartz

Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri

berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48 %,

sineol 20 % - 30 %, eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin,

dan lain-lain. Selain itu rimpang juga mengandung resin yang disebut

galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin,

kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum (Sinaga, 2000).

Tanaman lengkuas memiliki senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder

yang dapat menghambat pertumbuhan seperti senyawa fenol, flavanoid dan

terpenoid yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat

modern (Yuharmen, 2002).

Lengkuas muda berumur 3-4 bulan memiliki aktivitas antimikroba

yang lebih tinggi dibandingkan lengkuas tua berumur 12 bulan. Aktivitas

antimikroba yang tinggi pada lengkuas muda disebabkan komponen larut air

pada jenis merah yang muda lebih besar dibandingkan pada lengkuas tua.

Menurut Henry (1998), komponen larut air lengkuas merah muda lebih

11

besar (30,7% bk) bila dibandingkan dengan komponen larut alkohol (20,25

bk). Komponen bioaktif lengkuas yang bersifat larut air adalah golongan

senyawa-senyawa fenolik (Robinson 1995, diacu dalam Rahayu 1999).

Komponen larut air yang lebih tinggi pada lengkuas muda

dibandingkan dengan lengkuas tua disebabkan karena lengkuas yang relatif

muda masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masih banyak terbentuk

komponen bioaktif yang larut air. Komponen tersebut diperkirakan

berfungsi unrtuk menangkal mikroba kontaminan yang mungkin dapat

mencemari masa awal pertumbuhan yang sangat rentan terhadap gangguan

dari luar ataupun sebagai insektisida dan berdaya racun terhadap hewan

tinggi (Duke, 1994; Robinson 1995, diacu dalam Rahayu 1999).

Lengkuas memiliki karakteristik bau yang khas dan mengandung

komponen volatil yang bersifat tidak tahan panas, kaya akan senyawa

fenolik seperti flavanoid, dan asam fenol. Bahan aktif lengkuas yang

berfungsi sebagai antifungi adalah senyawa 1-asetoksikhavikol asetat

(Jansenn dan Screffer, 1985). Winarti et al. (2007) menyatakan bahwa

kombinasi adsorben dan eluen etanol dan metanol menghasilkan rendemen

ekstrak murni lengkuas 84,33%. Dari hasil penelitian Mulyaningsih (1996),

minyak atsiri lengkuas merah mempunyai aktivitas antifungi dengan kadar

hambat minimum 3,125% v/v terhadap Candida albicans 6,25% v/v

terhadap Saccharomyces cerevisiae. Lengkuas selain berkhasiat sebagai

antifungi juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif serta

negatif (Wijayakusuma, 1992) dan juga dapat digunakan untuk menghambat

penyakit pascapanen pada buah mangga Arumanis (Yulianingsih et al.,

1994). Perendaman mangga dalam ekstrak lengkuas 10% (b/v) selama 1

menit efektif menghambat pembusukan buah sampai 8 hari penyimpanan

pada suhu ruang (Sulusi et al., 1998). Ekstrak lengkuas 10% (b/v)

dikombinasikan dengan Hot Water Treatment 53-55ºC selama 5 menit dapat

memperpanjang umur simpan buah mangga sampai 8 hari pada suhu ruang

(28-32 ºC). Pada buah pepaya, kombinasi lengkuas dengan Hot Water

Treatment juga terbukti dapat menghambat serangan antraknosa pada buah

pepaya (Sulusi et al., 1993).

12

D. PENGEMASAN DENGAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI

Pengemasan komoditi hortikultura adalah suatu usaha menempatkan

komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga

mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima

oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Dengan

pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis,

fisik, kimia dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan

pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980).

Prinsip dasar dalam modified atmosphere packaging (MAP) adalah

udara termodifikasi yang dapat dibuat secara pasif dengan menggunakan

bahan kemasan permeabel yang tepat atau secara aktif dengan menggunakan

campuran gas khusus bersama dengan bahan kemasan permeabel. Tujuan

dari keduanya adalah untuk menciptakan keseimbangan gas yang optimal di

dalam kemasan, dimana aktivitas respirasi dari produk serendah mungkin

dan memastikan bahwa tingkat konsentrasi oksigen (O2) dan karbondioksida

(CO2) tidak merusak produk (Jongen, 2005).

Zagory dan Kader (1988) menyatakan bahwa modifikasi atmosfir

secara pasif (passive MA) dihasilkan sebagai akibat konsumsi oksigen dan

produksi karbondioksida melalui respirasi oleh komoditi dalam kemasan,

sehingga perlu dilakukan pemilihan kemasan yang dapat membiarkan

oksigen ke dalam kemasan dengan kecepatan yang mengimbangi konsumsi

oksigen oleh komoditi. Modifikasi atmosfir secara aktif dilakukan dengan

menarik udara dalam kemasan dan menggantikannya dengan campuran gas

yang diinginkan. Pada penyimpanan atmosfir termodifikasi, permeabilitas

bahan kemasan memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi

melalui kemasan yang digunakan.

Penyimpanan dengan atmosfir terkendali berhasil jika dengan sistem

penyimpanan tersebut dapat mencegah atau memperlambat proses

pematangan, dan proses pematangan komoditi tersebut tetap normal sesudah

keluar dari penyimpanan atmosfir terkendali (Kader, 1980). Selanjutnya

Zagory dan Kader (1988), menyatakan bahwa kondisi atmosfir termodifikasi

yang tidak sesuai akan mempercepat pelayuan, menginduksi pemecahan

13

polisakarida dalam komoditi dan menyebabkan komoditi tersebut lebih peka

terhadap bakteri patogen.

Permeabilitas kemasan yang dapat diperoleh secara artifisial dengan

mengabaikan sifat permeabilitas kemasan itu sendiri adalah dengan cara

penutupan yang tidak sempurna atau pembuatan lubang perforasi pada

permukaan kemasan (Peleg, 1985). Pemberian lubang perforasi pada

kemasan diperlukan untuk mencegah terjadinya akumulasi gas-gas hasil

metabolisme yang akan mengakibatkan perubahan fisiologis dari produk

yang dikemas.

Pembuatan lubang perforasi pada kemasan harus disesuaikan dengan

bobot produk dan tingkat respirasi produk yang dikemas. Film plastik

sekarang ini umumnya lebih cocok digunakan untuk produk-produk dengan

tingkat respirasi rendah sampai medium, sedangkan untuk produk yang

memiliki tingkat respirasi tinggi (>60 cc/jam pada suhu 10oC) sangat

penting sekali menggunakan plastik berlubang mikro untuk menyediakan

oksigen yang cukup yang berdifusi melalui kemasan film (Gosh et al.,

2000). Untuk mendisain kemasan berlubang, diameter lubang, jumlah

lubang per luasan film kemasan, dan keseragaman lubang yang tersebar di

seluruh permukaan kemasan harus diketahui (Robertson, 1993).

Dalam pengemasan menggunakan lubang perforasi, besarnya

volume CO2, O2, dan air yang melewati kemasan akan bervariasi dan

tergantung kepada lubang perforasi dan bukan terhadap permeabilitas film

(Peleg, 1985). Dalam kemasan yang rapat, semua oksigen bebas dalam

waktu singkat akan terpakai habis, respirasi menjadi anaerob dan

terbentuklah zat-zat yang mudah menguap seperti alkohol dan CO2.

Perforasi kemasan kecil dengan lubang berukuran ¼ - 1/8 inci dan lubang-

lubang jarum yang banyak akan memungkinkan masuknya O2 yang cukup

dan menghindarkan kerusakan karena CO2 selama penyimpanan terutama

pada suhu tinggi. Lubang perforasi yang banyak diperlukan untuk mencegah

kelembaban yang tinggi. (Hadenburg 1954 diacu dalam Pantastico 1986).

Hasil penelitian Setyadjit et al. (1992) menyimpulkan bahwa salak

Bali tandaan dan salak Pondoh butiran pada penyimpanan menggunakan

14

kantong polietilen (PE) tebal 0,04 mm dengan pemberian konsentrasi gas

awal 1,5% CO2 dan 15% O2 pada suhu penyimpanan 150C dan 10

0C dapat

mempertahankan mutu kesegaran berturut-turut 24 dan 15 hari. Trihabsari et

al. (1992) menyimpulkan bahwa salak Pondoh yang disimpan dalam plastik

PE dengan perlakuan gas 15% O2 dan 1,5% CO2 pada penyimpanan suhu

dingin (9-12oC, RH 85-90%) mempunyai umur simpan 27 hari sedangkan

pada suhu ruang (26-30oC, RH 60-80%) mempunyai umur simpan 12 hari.

Menurut Kiki (1991), salak Pondoh yang disimpan dalam plastik

Polyethilen pada kondisi atmosfir 1,5% CO2 dan 15% O2 dan suhu 10 o

C

mempunyai umur simpan 18 hari. Amiarsi et al. (1996), menyimpulkan

bahwa penyimpanan salak Lumut (Salak Pondoh jenis kuning/super) dengan

melapisi buah dengan kertas kraf berlubang (0,5 cm), konsentrasi gas awal

1,5% CO2 dan 15% O2 pada suhu 50C, dapat memperpanjang masa simpan

sampai 28 hari. Gunadnya (1993) menyarankan kondisi modifikasi atmosfir

untuk menyimpan buah salak Pondoh utuh adalah perpaduan (4 ± 2%) CO2

dan (14 ± 4%) O2 masing-masing pada suhu 100C dan 15

0C.

Hasil penelitian Sassya et al. (1993) menunjukkan bahwa dengan

kondisi atmosfer awal 15% O2 – 1,5% CO2 dapat memperpanjang umur

simpan salak Pondoh. Roosmani dan Sjaifullah (1991) menyimpulkan

bahwa buah salak Pondoh utuh dapat bertahan hingga 30 hari pada

penyimpanan dengan suhu 150C dalam kantong LDPE (Low Density Poly

Ethylene) ukuran 30 µm dengan komposisi udara awal 15% O2 – 1,5% CO2.

Demikian pula dengan Hastuti dan Ari (1988) yang melaporkan bahwa

penyimpanan salak Pondoh dalam bentuk tandaan pada suhu 10-120C dalam

karung plastik berlubang seluas 0,5% dan 1% dapat memperpanjang masa

simpan salak Pondoh masing-masing menjadi 33 hari dan 27 hari.