1
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) merupakan buah tropis asli
Indonesia bersifat musiman, berpola respirasi non klimaterik dan mudah
rusak dengan umur simpan pada suhu kamar yaitu sekitar 5-6 hari
(Mahendra et al., 1993). Nilai ekonominya cukup tinggi dan produksinya
meningkat dari tahun ke tahun sehingga mempunyai peluang yang cukup
besar sebagai komoditi ekspor.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai produsen salak pondoh utama
dengan produksi dalam tahun 2007 mencapai 58.891 ton (BPS-DIY, 2008).
Pada tahun 2008 jumlah rumpun produktif salak pondoh sebanyak 4.565.793
rumpun, di lahan seluas 2.000 hektar dengan produktifitas sebesar 12,80
kg/rumpun dan produksi sebesar 58.176,8 ton pertahun (Pemerintah
Kabupaten Sleman, 2009).
Kualitas salak Pondoh seperti halnya buah-buahan segar tropik
lainnya sangat ditentukan oleh kondisi dan sifat khas buah-buahan itu
sendiri yaitu kenampakan secara fisik seperti warna, ada tidaknya cacat pada
buah, bentuk dan tekstur buah, cita rasa buah serta komposisi kimianya.
Penurunan kualitas buah-buahan segar pada umumnya terjadi karena
penanganan pada saat panen dan pasca panen yang kurang memadai
sehingga menimbulkan berbagai bentuk kerusakan mekanis, fisiologis,
biologis, dan mikrobiologis. Kerusakan demikian pada akhirnya akan
menurunkan kualitas buah karena terjadinya perubahan bentuk, warna, cita-
rasa, tekstur dan nilai gizinya.
Kerusakan utama buah salak dalam penyimpanan disebabkan oleh
infeksi cendawan, kulit buah ditumbuhi miselia cendawan, daging buah
berubah warna menjadi coklat, lunak, berair dan bahkan busuk, atau dapat
pula kulit buah menjadi kering dan keras sehingga bermasalah dalam
pengupasan kulit.
Penggunaan antimikroba yang tepat dapat menanggulangi infeksi
mikroorganisme dan memperpanjang umur simpan buah. Lengkuas (Alpinia
2
galanga L. Swartz) merupakan salah satu jenis rempah-rempah dari famili
Zingiberaceae yang dapat digunakan sebagai antimikroba alami. Rimpang
lengkuas mengandung senyawa-senyawa diterpen yang bersifat sitotoksik
dan antifungal, yaitu galanal A, galanal B, galanolakton, 12-labdiena-15,16-
dial, dan 17- epoksilabd-12-ena-15,16-dial (Morita dan ltokawa, 1988).
Penelitian yang telah dilakukan untuk mempertahankan kualitas dan
memperpanjang umur simpan buah salak masih terbatas pada penggunaan
pengemas (Setyajit dan Sjaifullah, 1993), penyimpanan pada suhu rendah
(Amiarsi et al., 1996), atmosfer terkendali (Setyajit et al., 1993), atmosfer
termodifikasi (Suhardi et al., 1997), penggunaan zat kimia (Prabawi et al.,
1994) dan pelapisan lilin (Wrasiati et al., 2001). Oleh karena itu pada
penelitian ini untuk meningkatkan daya simpan buah salak Pondoh segar,
dilakukan kombinasi perlakuan penanggulangan pembusukan menggunakan
ekstrak lengkuas dan sistem pengemasan atmosfir termodifikasi pada suhu
penyimpanan antara 15ᵒC-22ᵒC.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan daya
simpan buah salak Pondoh segar dengan mutu yang tetap terpelihara dan
bisa diterima konsumen.
Tujuan secara khusus adalah :
1. Mengetahui pengaruh ekstrak lengkuas dalam menghambat
pembusukan pada salak Pondoh.
2. Mendapatkan suhu penyimpanan terbaik untuk salak Pondoh segar.
3. Menganalisis perubahan mutu fisik dan kimiawi buah salak
Pondoh selama penyimpanan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SALAK PONDOH
Gambar 1 Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.).
Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw.) termasuk suku pinang-
pinangan (palmae). Family Palmaceae, ordo Spadiceflorae dan genus
Salacca, merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak diusahakan oleh
petani di pedesaan dengan berbagai jenis varietas. Tanaman salak berakar
serabut, berbatang keras dan tingginya dapat mencapai tujuh meter Buah
salak tersusun atas tiga bagian utama, yaitu kulit, daging buah dan bagian
biji. Bagian kulit terdiri atas sisik-sisik yang tersusun seperti genting dan
kulit ari yang langsung menyelimuti daging buah. Kulit ari ini berwarna
putih transparan. Daging buah muda berwarna putih pucat sedangkan yang
tua berwarna kekuning-kuningan (Suter, 1988).
Menurut Hasturi dan Ari (1988), buah salak Pondoh mempunyai
ukuran relatif lebih kecil, teksturnya lebih keras, warna dagingnya lebih
putih tetapi warna kulitnya lebih hitam dibandingkan dengan jenis salak lain.
Buah salak Pondoh mempunyai bentuk mendekati bundar, beratnya antara
30-100 gram, rasanya manis dan mempunyai biji berukuran kecil (Sabari,
1983). Secara skematis anatomi buah salak dapat dilihat pada Gambar 2.
Salak Pondoh merupakan jenis salak yang dihasilkan di daerah
Sleman, Yogyakarta. Daerah penghasil salak Pondoh tersebar pada tiga
kecamatan, yaitu Tempel, Turi dan Pakem, khususnya di desa Soka, Turi,
dan Candi. Keunggulan jenis salak ini dibandingkan dengan salak lain
4
adalah buahnya sudah manis meskipun masih muda dan gurih tanpa rasa
sepat (Kusumo et al., 1995 ). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi kimianya,
yaitu kandungan taninnya yang relatif kecil 0,08%, kandungan gulanya yang
relatif tinggi 23,30%, kandungan total asam yang kecil 0,32%, kandungan
kadar air 79,3%, dan kandungan vitamin C 87,4 mg/100 gr (Sabari, 1986).
Sebagai perbandingan, salak Gula Pasir yang juga ditanam di DI
Yogyakarta, berasa manis dan juga tidak sepat mempunyai kandungan tanin
0,31%, kandungan gula 15,54% dan total asam 0,37% (Suter,1988),
sedangkan salak Suwaru pada umur petik optimal mempunyai kandungan
tanin 0,27-0,45%, kandungan gula 31,14-38,10% dan total asam 0,47-0,66%
(Sulusi et al., 1996).
Keterangan:
1. Pangkal buah
2. Ujung buah
3. Kulit luar dan sisik
4. Daging buah
5. Kulit ari
6. Biji
7. embrio
Gambar 2 Anatomi buah salak (Sabari, 1983 dalam Suter, 1988).
Komposisi kimia berpengaruh terhadap rasa buah salak. Adanya gula
dan asam dapat mempengaruhi rasa manis dan asam buah salak. Senyawa
tanin yang tinggi pada daging buah salak atau pada buah-buahan pada
umumnya akan memberikan rasa sepet (Winarno dan aman, 1981).
Buah salak Pondoh mengandung vitamin-vitamin dan mineral yang
diperlukan oleh tubuh manusia. Komposisi zat gizi yang terkandung dalam
buah salak Pondoh dapat dilihat pada Tabel 1.
5 7 1
3
4
6
2
5
Tabel 1 Komposisi zat gizi buah salak Pondoh dalam 100 gram
Kandungan gizi Jumlah
-)1 -)
2 -)
3
Kalori (Kal) 77 62 57,04-61,92
Protein (g) 0,4 0,4 0,33-0,55
Lemak (g) - - -
Karbohidrat (g) 20,9 15 13,9-15,5
Kalsium (mg) 28 30 -
Fosfor (g) 18 15 -
Zat Besi (mg) 4,2 4,2 -
Vitamin A (SI) - - -
Vitamin B1 (mg) 0,04 - -
Vitamin C (mg) 2 20 24,8-39,67
Air (mg) 78 80 82-83,2
Sumber : 1 Dinas Pertanian Tanaman Pangan DI Yogyakata (1989)
2 Kilander (1968) diacu dalam Suter (1988)
3 Sugihat (1978) diacu dalam Suter (1988)
Salak Pondoh terbaik dipanen setelah umur 5 bulan karena
perkembangan ukuran buah sudah maksimnal, kandungan kimiawinya
mempunyai nilai yang relatif tetap dan rasanya yang enak (Sabari, 1986).
Umur panen yang sama juga disarankan oleh Suhardjo dan Wijadi (1991)
berdasarkan kajiannya tentang kemasiran, perbandingan padatan terlarut
total dan asam, mudah tidaknya buah menjadi rontok dan uji tingkat
kesukaan. Buah salak Pondoh sebenarnya dapat dipanen sebelum berumur 5
bulan (umur bunga) karena rasanya sudah manis dan tidak sepat meski
masih muda, namun akan diperoleh buah berukuran kecil dan beraroma
lemah karena komponen penyusun aroma buah salak belum terbentuk
optimal (Kusumo et al., 1995).
Pada salak Pondoh, buah yang siap panen ditandai dengan jarak sisik
pada kulit terlihat jarang, berkilat dan mudah dikupas, warna kulit buah
merah kehitaman atau kuning kecoklatan, bulu-bulu atau duri-duri halus
pada kulit telah hilang, mudah terlepas dari tangkai, warna daging buah
tidak pucat dengan biji yang keras dan mengeluarkan aroma khas salak
(Mogea, 1973). Kesalahan dalam penanganan pascapanen, mulai dari saat
dan waktu panen hingga pengemasan dan penyimpanan dapat menyebabkan
6
kehilangan pascapanen yang tinggi, penurunan mutu dan masa simpan yang
relatif pendek.
Secara umum buah masak mengalami perubahan fisiko-kimia setelah
dipanen. Sebagian besar perubahan fisiko-kimia berubungan dengan
metabolisme oksidatif, termasuk didalamnya proses respirasi. Kecepatan
respirasi yang tinggi biasanya berhubungan dengan umur simpan yang
pendek (Phan et al., 1975). Menurut Suter (1988) pola respirasi buah salak
terus menurun tanpa adanya lonjakan produksi CO2 sehingga salak
digolongkan ke dalam buah non klimaterik. Buah-buah non klimaterik tidak
akan menunjukkan perubahan arah peningkatan mutu setelah dipetik,
sehingga pemanenan dilakukan pada buah yang benar-benar masak dipohon.
Laju respirasi salak (11,46-19,6 mg CO2/kg/jam) dekat dengan buah non
klimaterik lainnya seperti anggur (12-16 mg CO2/kg/jam), lemon (10 mg
CO2/kg/jam) dan jeruk manis (13-17 mg CO2/kg/jam). Berdasarkan
klasifikasi komoditi hortikultura laju respirasinya (Tabel 2), buah salak
tergolong memiliki laju respirasi sedang.
Tabel 2 Klasifikasi Komoditi Hortikultura Menurut Laju Respirasinyaa
Kelas Kisaran pada 5ᵒC
( mg CO2/kg/jam) Komoditi
Sangat Rendah < 5 Biji-bijian, kurma, buah kering
dan beberapa sayuran
Rendah 5 – 10 Apel, Jeruk, Kentang
Sedang 10 – 20 Pisang, tomat
Tinggi 20 – 40 Strawberry, adpokat.
Sangat Tinggi 40-60 Kubis
Tinggi Sekali > 60 Asparagus, jamur, dan jagung
manis aKader et al. (1985)
Sebagaimana buah tropik lainnya, buah salak sangat cepat
mengalami kerusakan terutama bila tertunda pemanfaatannya, karena setelah
dipanen buah salak masih terus melangsungkan aktivitas fisiologis seperti
respirasi dan transpirasi. Dengan aktivitas fisiologis tersebut, secara
berangsur mutu buah akan menurun, kulit buah kering dan daging buah
7
mulai layu, gejala infeksi patogen mulai terlihat, hingga akhirnya buah akan
menjadi busuk (Winarno, 1981).
B. PENANGGULANGAN PEMBUSUKAN PADA BUAH
Beberapa teknik dalam penanggulangan pembusukan pada buah
yang saat ini telah diaplikasikan diantaranya dengan penggunaan bahan
kimia, suhu dingin, dan perlakuan panas (heat treatment) atau
kombinasinya. Bahan kimia (fungisida) yang biasa digunakan dalam
penanggulangan pembusukan antara lain benomil, sec-butilamina, imazalil,
guazatin, metalaksil, tiabendazol (Soesanto, 2006).
Roesmiyanto (1987) melaporkan bahwa benomil dapat menekan
perkembangan antraknos pada buah pepaya selama penyimpanan.
Botryodiplodia dan Fusarium pada buah pepaya dapat ditekan
pertumbuhannya dengan benomil (Sulusi et al.,1991). Menurut Sepiah
(1989), benomil dapat mengurangi serangan penyakit pascapanen pada buah
pisang. Penggunaan benomil dan air panas yang kemudian dikombinasikan
dengan penyimpanan dingin (15ᵒC) dapat mengurangi serangan penyakit
pascapanen pada buah mangga Arumanis (Sepiah, 1986). Benomil,
difolatan, dan kaptan dapat juga mengurangi serangan bakteri dan cendawan
pada buah sawo (Abu Bakar et al, 1994). Aplikasi ethanol telah pula
dilaporkan mampu menghambat pertumbuhan in-vitro mikroorganisme
pembusuk buah-buahan dan sayur-sayuran seperti Rhizopus stolonifer,
Penicillium digitatum, Coletotrichum musae, Erwinia carotovora dan
Pseudomonas aeroginosa (Utama, 1997).
Perlakuan panas yang diaplikasikan diantaranya dengan pencelupan
dalam air panas (Hot Water Treatment/HWT), uap panas (Vapor Heat
Treatment), udara panas (Hot Air Treatment/HAT) (Eskin dan Robinson,
2001) dan teknik penyikatan dengan air panas (Hot Water Brushing
Techniques) (Ferguson et al., 2000). Perlakuan panas pada pascapanen buah
dan sayuran berfungsi untuk membunuh larva serangga dan cendawan,
sebagai alternatif pengganti bahan kimia dalam usaha disinfektan serangga,
mengontrol hama penyakit, memelihara kualitas buah selama penyimpanan
8
dan juga dapat mengurangi dampak chilling injury (Paul dan Chen, 2000).
Perlakuan uap panas merupakan salah satu cara memperpanjang umur
simpan komoditi segar dengan memanaskannya menggunakan uap air jenuh
pada suhu antara 40ºC dan 50ºC Panas diberikan kepermukaan buah melalui
uap air yang terkondensasi (Gaffney et al,1990).
Illangantileke dan Maglente (1990) menyatakan bahwa uap panas
dengan kombinasi suhu 48ºC selama 38 menit dan suhu 46ºC selama 1 jam
efektif mencegah menetasnya telur Dacus dorsalis pada buah mangga
cv.Nang Klang Wan. Perlakuan uap panas dapat mencegah kerusakan buah
mangga hampir disemua kombinasi waktu dan suhu dan dapat menunda
proses pembusukan. Miller et al. (1991) melaporkan bahwa buah anggur
yang diberi perlakuan uap panas selama 5 jam pada suhu 43,5ºC dan RH
100% dapat mengurangi proses pengelupasan kulit buah dan perubahan
warna (discoloration) setelah penyimpanan 4 minggu pada suhu 10ºC dan 1
minggu pada suhu 21ºC.
Ada 3 jenis jamur yang menyebabkan buah salak menjadi busuk,
yaitu Ceratocytis paradoxa, Fusarium sp. dan Aspergillus sp. Serangan
jamur C. Paradoxa dapat terjadi pada buah di tanaman (belum dipanen) dan
buah setelah dipanen. Buah yang terserang menjadi busuk dan daging buah
di pangkal berwarna hitam. Buah yang terserang Fusarium sp, permukaan
kulitnya tertutup oleh miselium berwarna putih, daging buahnya busuk, dan
buah gugur sebelum dipanen. Busuk buah oleh jamur Aspergillus sp dimulai
dari pangkal buah, ditandai adanya konidium dan konidiofor berwarna
kuning (Kusumo et al., 1995). Busuk buah pada salak Enrekang disebabkan
oleh Sphaeropsis sp. (Cicu dan Hutagalung, 1994).
Buah salak yang dicelup dalam air panas 50ᵒC selama 3 menit dapat
menahan perkembangan penyakit pascapanen oleh cendawan Thieloviopsis
sp selama 16 hari bila disimpan pada suhu 15ᵒC dan selama 11 hari bila
disimpan pada kondisi kamar (Murtiningsih et al., 1996). Perendaman salak
pondoh dalam natrium bisulfit pada konsentrasi 1500 ppm dapat
mempertahankan mutu buah salak pondoh utuh sampai 10 hari penyimpanan
(Susi, 2007). Pemanasan buah salak dengan suhu 60ᵒC selama 30 menit
9
(Mahfud et al.1993, diacu dalam Kusumo et al.1995) atau 65ᵒC selama 20
menit (Mahfud dan Suhardjo 1994, diacu dalam Kusumo et al. 1995) efektif
mengurangi busuk buah oleh jamur C. Paradoxa.
C. LENGKUAS SEBAGAI ANTIMIKROBA ALAMI
Gambar 3. Rimpang Lengkuas Merah (Sinaga,2000).
Antimikroba adalah suatu substansi kimia yang diperoleh dari atau
dibentuk oleh berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi
rendah mampu menghambat pertumbuhan mikrooranisme lainnya.
(Sudarmono, 1994). Sedangkan menurut Pelzar dan Reid (1972), Senyawa
antimikroba adalah senyawa kimia atau biologis yang dapat menghambat
pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Zat antimikroba dapat bersifat
bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan
bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat
pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora
bakteri) (Fardiaz, 1983).
Penggunaan antimikroba alami mulai diaplikasikan pada buah-
buahan untuk menanggulangi resiko akibat penggunaan bahan kimia. Satu
diantara bahan alami yang dapat digunakan sebagai antimikroba adalah
rimpang lengkuas merah seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Lengkuas merupakan tanaman tahunan, dengan tinggi 1-2 meter.
Rimpang besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris, diameter sekitar 2-
4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan
atau kuning kehijauan pucat, mempunyai sisik-sisik berwarna putih atau
10
kemerahan, keras mengkilap, sedangkan bagian dalamnya berwarna putih.
Daging rimpang yang sudah tua berserat kasar. Apabila dikeringkan,
rimpang berubah menjadi agak kehijauan, dan seratnya menjadi keras dan
liat. Untuk mendapatkan rimpang yang masih berserat halus, panen harus
dilakukan sebelum tanaman berumur lebih kurang 3 bulan. Rasanya tajam
pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya
(Sinaga, 2000).
Klasifikasi Lengkuas menurut Anonim (2009) adalah sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi: Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Alpinia
Jenis : Alpinia galangan (L.) Swartz
Rimpang lengkuas mengandung lebih kurang 1 % minyak atsiri
berwarna kuning kehijauan yang terutama terdiri dari metil-sinamat 48 %,
sineol 20 % - 30 %, eugenol, kamfer 1 %, seskuiterpen, δ-pinen, galangin,
dan lain-lain. Selain itu rimpang juga mengandung resin yang disebut
galangol, kristal berwarna kuning yang disebut kaemferida dan galangin,
kadinen, heksabidrokadalen hidrat, kuersetin, amilum (Sinaga, 2000).
Tanaman lengkuas memiliki senyawa-senyawa hasil metabolit sekunder
yang dapat menghambat pertumbuhan seperti senyawa fenol, flavanoid dan
terpenoid yang sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat
modern (Yuharmen, 2002).
Lengkuas muda berumur 3-4 bulan memiliki aktivitas antimikroba
yang lebih tinggi dibandingkan lengkuas tua berumur 12 bulan. Aktivitas
antimikroba yang tinggi pada lengkuas muda disebabkan komponen larut air
pada jenis merah yang muda lebih besar dibandingkan pada lengkuas tua.
Menurut Henry (1998), komponen larut air lengkuas merah muda lebih
11
besar (30,7% bk) bila dibandingkan dengan komponen larut alkohol (20,25
bk). Komponen bioaktif lengkuas yang bersifat larut air adalah golongan
senyawa-senyawa fenolik (Robinson 1995, diacu dalam Rahayu 1999).
Komponen larut air yang lebih tinggi pada lengkuas muda
dibandingkan dengan lengkuas tua disebabkan karena lengkuas yang relatif
muda masih dalam masa pertumbuhan, sehingga masih banyak terbentuk
komponen bioaktif yang larut air. Komponen tersebut diperkirakan
berfungsi unrtuk menangkal mikroba kontaminan yang mungkin dapat
mencemari masa awal pertumbuhan yang sangat rentan terhadap gangguan
dari luar ataupun sebagai insektisida dan berdaya racun terhadap hewan
tinggi (Duke, 1994; Robinson 1995, diacu dalam Rahayu 1999).
Lengkuas memiliki karakteristik bau yang khas dan mengandung
komponen volatil yang bersifat tidak tahan panas, kaya akan senyawa
fenolik seperti flavanoid, dan asam fenol. Bahan aktif lengkuas yang
berfungsi sebagai antifungi adalah senyawa 1-asetoksikhavikol asetat
(Jansenn dan Screffer, 1985). Winarti et al. (2007) menyatakan bahwa
kombinasi adsorben dan eluen etanol dan metanol menghasilkan rendemen
ekstrak murni lengkuas 84,33%. Dari hasil penelitian Mulyaningsih (1996),
minyak atsiri lengkuas merah mempunyai aktivitas antifungi dengan kadar
hambat minimum 3,125% v/v terhadap Candida albicans 6,25% v/v
terhadap Saccharomyces cerevisiae. Lengkuas selain berkhasiat sebagai
antifungi juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif serta
negatif (Wijayakusuma, 1992) dan juga dapat digunakan untuk menghambat
penyakit pascapanen pada buah mangga Arumanis (Yulianingsih et al.,
1994). Perendaman mangga dalam ekstrak lengkuas 10% (b/v) selama 1
menit efektif menghambat pembusukan buah sampai 8 hari penyimpanan
pada suhu ruang (Sulusi et al., 1998). Ekstrak lengkuas 10% (b/v)
dikombinasikan dengan Hot Water Treatment 53-55ºC selama 5 menit dapat
memperpanjang umur simpan buah mangga sampai 8 hari pada suhu ruang
(28-32 ºC). Pada buah pepaya, kombinasi lengkuas dengan Hot Water
Treatment juga terbukti dapat menghambat serangan antraknosa pada buah
pepaya (Sulusi et al., 1993).
12
D. PENGEMASAN DENGAN ATMOSFIR TERMODIFIKASI
Pengemasan komoditi hortikultura adalah suatu usaha menempatkan
komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga
mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima
oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Dengan
pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis,
fisik, kimia dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan
pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980).
Prinsip dasar dalam modified atmosphere packaging (MAP) adalah
udara termodifikasi yang dapat dibuat secara pasif dengan menggunakan
bahan kemasan permeabel yang tepat atau secara aktif dengan menggunakan
campuran gas khusus bersama dengan bahan kemasan permeabel. Tujuan
dari keduanya adalah untuk menciptakan keseimbangan gas yang optimal di
dalam kemasan, dimana aktivitas respirasi dari produk serendah mungkin
dan memastikan bahwa tingkat konsentrasi oksigen (O2) dan karbondioksida
(CO2) tidak merusak produk (Jongen, 2005).
Zagory dan Kader (1988) menyatakan bahwa modifikasi atmosfir
secara pasif (passive MA) dihasilkan sebagai akibat konsumsi oksigen dan
produksi karbondioksida melalui respirasi oleh komoditi dalam kemasan,
sehingga perlu dilakukan pemilihan kemasan yang dapat membiarkan
oksigen ke dalam kemasan dengan kecepatan yang mengimbangi konsumsi
oksigen oleh komoditi. Modifikasi atmosfir secara aktif dilakukan dengan
menarik udara dalam kemasan dan menggantikannya dengan campuran gas
yang diinginkan. Pada penyimpanan atmosfir termodifikasi, permeabilitas
bahan kemasan memegang peranan penting karena pertukaran gas terjadi
melalui kemasan yang digunakan.
Penyimpanan dengan atmosfir terkendali berhasil jika dengan sistem
penyimpanan tersebut dapat mencegah atau memperlambat proses
pematangan, dan proses pematangan komoditi tersebut tetap normal sesudah
keluar dari penyimpanan atmosfir terkendali (Kader, 1980). Selanjutnya
Zagory dan Kader (1988), menyatakan bahwa kondisi atmosfir termodifikasi
yang tidak sesuai akan mempercepat pelayuan, menginduksi pemecahan
13
polisakarida dalam komoditi dan menyebabkan komoditi tersebut lebih peka
terhadap bakteri patogen.
Permeabilitas kemasan yang dapat diperoleh secara artifisial dengan
mengabaikan sifat permeabilitas kemasan itu sendiri adalah dengan cara
penutupan yang tidak sempurna atau pembuatan lubang perforasi pada
permukaan kemasan (Peleg, 1985). Pemberian lubang perforasi pada
kemasan diperlukan untuk mencegah terjadinya akumulasi gas-gas hasil
metabolisme yang akan mengakibatkan perubahan fisiologis dari produk
yang dikemas.
Pembuatan lubang perforasi pada kemasan harus disesuaikan dengan
bobot produk dan tingkat respirasi produk yang dikemas. Film plastik
sekarang ini umumnya lebih cocok digunakan untuk produk-produk dengan
tingkat respirasi rendah sampai medium, sedangkan untuk produk yang
memiliki tingkat respirasi tinggi (>60 cc/jam pada suhu 10oC) sangat
penting sekali menggunakan plastik berlubang mikro untuk menyediakan
oksigen yang cukup yang berdifusi melalui kemasan film (Gosh et al.,
2000). Untuk mendisain kemasan berlubang, diameter lubang, jumlah
lubang per luasan film kemasan, dan keseragaman lubang yang tersebar di
seluruh permukaan kemasan harus diketahui (Robertson, 1993).
Dalam pengemasan menggunakan lubang perforasi, besarnya
volume CO2, O2, dan air yang melewati kemasan akan bervariasi dan
tergantung kepada lubang perforasi dan bukan terhadap permeabilitas film
(Peleg, 1985). Dalam kemasan yang rapat, semua oksigen bebas dalam
waktu singkat akan terpakai habis, respirasi menjadi anaerob dan
terbentuklah zat-zat yang mudah menguap seperti alkohol dan CO2.
Perforasi kemasan kecil dengan lubang berukuran ¼ - 1/8 inci dan lubang-
lubang jarum yang banyak akan memungkinkan masuknya O2 yang cukup
dan menghindarkan kerusakan karena CO2 selama penyimpanan terutama
pada suhu tinggi. Lubang perforasi yang banyak diperlukan untuk mencegah
kelembaban yang tinggi. (Hadenburg 1954 diacu dalam Pantastico 1986).
Hasil penelitian Setyadjit et al. (1992) menyimpulkan bahwa salak
Bali tandaan dan salak Pondoh butiran pada penyimpanan menggunakan
14
kantong polietilen (PE) tebal 0,04 mm dengan pemberian konsentrasi gas
awal 1,5% CO2 dan 15% O2 pada suhu penyimpanan 150C dan 10
0C dapat
mempertahankan mutu kesegaran berturut-turut 24 dan 15 hari. Trihabsari et
al. (1992) menyimpulkan bahwa salak Pondoh yang disimpan dalam plastik
PE dengan perlakuan gas 15% O2 dan 1,5% CO2 pada penyimpanan suhu
dingin (9-12oC, RH 85-90%) mempunyai umur simpan 27 hari sedangkan
pada suhu ruang (26-30oC, RH 60-80%) mempunyai umur simpan 12 hari.
Menurut Kiki (1991), salak Pondoh yang disimpan dalam plastik
Polyethilen pada kondisi atmosfir 1,5% CO2 dan 15% O2 dan suhu 10 o
C
mempunyai umur simpan 18 hari. Amiarsi et al. (1996), menyimpulkan
bahwa penyimpanan salak Lumut (Salak Pondoh jenis kuning/super) dengan
melapisi buah dengan kertas kraf berlubang (0,5 cm), konsentrasi gas awal
1,5% CO2 dan 15% O2 pada suhu 50C, dapat memperpanjang masa simpan
sampai 28 hari. Gunadnya (1993) menyarankan kondisi modifikasi atmosfir
untuk menyimpan buah salak Pondoh utuh adalah perpaduan (4 ± 2%) CO2
dan (14 ± 4%) O2 masing-masing pada suhu 100C dan 15
0C.
Hasil penelitian Sassya et al. (1993) menunjukkan bahwa dengan
kondisi atmosfer awal 15% O2 – 1,5% CO2 dapat memperpanjang umur
simpan salak Pondoh. Roosmani dan Sjaifullah (1991) menyimpulkan
bahwa buah salak Pondoh utuh dapat bertahan hingga 30 hari pada
penyimpanan dengan suhu 150C dalam kantong LDPE (Low Density Poly
Ethylene) ukuran 30 µm dengan komposisi udara awal 15% O2 – 1,5% CO2.
Demikian pula dengan Hastuti dan Ari (1988) yang melaporkan bahwa
penyimpanan salak Pondoh dalam bentuk tandaan pada suhu 10-120C dalam
karung plastik berlubang seluas 0,5% dan 1% dapat memperpanjang masa
simpan salak Pondoh masing-masing menjadi 33 hari dan 27 hari.