i. pendahuluan

4
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Abalone merupakan jenis kekerangan dan tergolong kedalam kelas Gastropoda, famili Haliotidae (Bambang dkk. 2013). dan merupakan salah satu jenis moluska yang terkenal dan bernilai ekonomis tinggi atau siput laut dikenal juga dengan nama awabi, mutton fish, dan sea ear. Dalam bahasa daerah disebut dengan medau atau kerang mata tujuh atau kerang telinga laut (Effendy, 2000; Arif, 2010 dalam Azlan dkk. 2013). Di perairan Indonesia kerang abalone atau kerang mata tujuh terdapat 7 jenis yaitu Haliotis asinine, Haliotis varia, Haliotis squamosa, Haliotis ovina, Haliotis glabra, Haliotis planate dan Haliotis crebrisculpta (Dharma, 1988 dalam Hamzah, 2012). Sementara permintaan pasar dunia untuk abalone cukup menjanjikan yakni 8.000 ton, dan yang tersedia hanya mencapai 4.706 ton (FAO. 2004; Sugama et al. 2007 dalam Hamzah, 2012). Abalone merupakan komoditas perikanan langka dan memiliki nilai ekonomis tinggi (Azlan dkk. 2013). Abalone termasuk hewan laut yang bersifat herbivora (Bambang dkk. 2010) yang memakan rumput laut dari jenis Gracillaria dan Ulva. Abalone memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 54,13%; lemak 3,20%; serat 5,60%; abu 9,11% dan kadar air 27,96%, serta cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan 1

Upload: djoel-atjeh

Post on 08-Dec-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

latar belakangtujuan

TRANSCRIPT

Page 1: i. Pendahuluan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abalone merupakan jenis kekerangan dan tergolong kedalam kelas

Gastropoda, famili Haliotidae (Bambang dkk. 2013). dan merupakan salah

satu jenis moluska yang terkenal dan bernilai ekonomis tinggi atau siput

laut dikenal juga dengan nama awabi, mutton fish, dan sea ear. Dalam

bahasa daerah disebut dengan medau atau kerang mata tujuh atau

kerang telinga laut (Effendy, 2000; Arif, 2010 dalam Azlan dkk. 2013). Di

perairan Indonesia kerang abalone atau kerang mata tujuh terdapat 7

jenis yaitu Haliotis asinine, Haliotis varia, Haliotis squamosa, Haliotis

ovina, Haliotis glabra, Haliotis planate dan Haliotis crebrisculpta (Dharma,

1988 dalam Hamzah, 2012). Sementara permintaan pasar dunia untuk

abalone cukup menjanjikan yakni 8.000 ton, dan yang tersedia hanya

mencapai 4.706 ton (FAO. 2004; Sugama et al. 2007 dalam Hamzah,

2012).

Abalone merupakan komoditas perikanan langka dan memiliki nilai

ekonomis tinggi (Azlan dkk. 2013). Abalone termasuk hewan laut yang

bersifat herbivora (Bambang dkk. 2010) yang memakan rumput laut dari

jenis Gracillaria dan Ulva. Abalone memiliki nilai gizi yang cukup tinggi

dengan kandungan protein 54,13%; lemak 3,20%; serat 5,60%; abu

9,11% dan kadar air 27,96%, serta cangkangnya mempunyai nilai estetika

yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju dan

berbagai kerajinan lainnya. Beberapa nilai tambah yang dimiliki abalone

itu menyebabkan abalone hanya dijumpai di restoran-restoran kelas atas

(Sofyan et al., 2006). Jenis makanan ini masih jadi makanan favorit dan

bergengsi di Jepang (Tumanduk, 2012) karena selain memiliki rasa yang

enak, abalone juga memiliki kandungan nutrisi yang tinggi.

Selama ini mayoritas industri abalone di dominasi oleh hasil dari

alam, hanya sebagian kecil yang bersal dari indusri budidaya (Litaay,

2005). Masalah yang sering dihadapi dan menjadi masalah utama oleh

para pembudidaya abalone tropis adalah tingkat kematian tertinggi terjadi

1

Page 2: i. Pendahuluan

pada fase kritis yaitu fase post larva mulai menempel pada substrat dan

kematian berikutnya terjadi pada saat juvenil ketika dipindahkan dari

substrat ketempat pembesaran (Irwan, 2007).

Demikian pula hasil yang ditemukan oleh Rashdi dan Iwao (2008)

bahwa tingkat kelangsungan hidup (survival rate) larva abalone pada fase

veliger cukup tinggi yaitu 35,9% - 73,7% dan pada fase post larva semakin

menurun drastis hingga tingkat kelangsungan hidup mencapai 0,1 % -

3,0% dalam Hamzah (2012)

Dengan permintaan abalone yang tinggi sementara jumlah produksi

abalone yang rendah mengakibatkan harga abalon di pasar sangat tinggi.

jenis Haliotis assinina (mimigai) dengan ukuran 8-9 cm memiliki harga

Rp.400.000/kg dan Haliotis squamata (tokobushi) memiliki harga Rp.

600.000/kg (Bambang dan Sugama, 2007).

Pasar abalone telah meningkat di berbagai belahan dunia seperti

Jepang, Taiwan, Dan China yang menjadi pasar utama Abalone

(Bambang dan Sugama, 2007). Hal ini menjadi peluang bagi Indusri

budidaya di Indonesia untuk mengembangkan budidaya abalone yang

sangat menjanjikan. Abalone termasuk jenis biota ekonomis penting

karena memiliki nilai jual yang sangat tinggi (Setyono dan Dwiono, 2011)

Di Indonesia telah berkembang pembenihan abalon tropis, abalon

tropis tumbuh lebih cepat daripada abalone subtropis (Setyono, 2011).

Jenis abalone tropis cocok di budidayakan di Indonesia yang beriklim

tropis.

Indonesia mempunyai potensi sangat besar dalam

mengembangkan budidaya abalone karena abalone memiliki toleransi

tinggi terhadap perubahan lingkungan, mudah dipelihara, dapat tumbuh

dengan cepat, lahan budidaya yang tersedia, tenaga kerja murah dan

sumberdaya pakan berlimpah (Setyono dan Dwiono, 2011). Indonesia

juga memiliki iklim tropis yang cocok untuk dibudidayakan jenis abalone

Haliotis asinina karena jenis abalone tropis yang dapat tumbuh dengan

baik pada iklim tropis.

2

Page 3: i. Pendahuluan

1.2. Tujuan

Tujuan penulis membuat Paper I tentang Pembenihan Abalone

(Haliotis assinina) yaitu sebagai berikut:

1. mengetahui teori pembenihan abalone (Haliotis assinina)

2. Mengetahui perkembangan teknologi Pembenihan Abalone

3. Mengetahui permasalahan yang terjadi dalam kegiatan Pembenihan

Abalone

3