hukum kepler ctak

11
Hukum Kepler Oleh : Dr. Chatief Kunjaya Hukum-hukum Kepler yang nampak begitu sederhana, ternyata tidak dihasilkan dengan mudah bahkan melalui kerja puluhan tahun. Prosesnya diawali dengan perancangan dan pembangunan fasilitas pengukuran koordinat benda langit raksasa yang disebut “quadrant” oleh Tycho Brahe. Dengan alat itu Tycho Brahe dapat melakukan pengukuran posisi benda langit dengan kecermatan melebihi alat lain di zamannya. Johannes Kepler (1571 – 1630) dapat menyusun hukumnya berdasarkan tumpukan data catatan hasil pengamatan Tycho Brahe yang memiliki kecermatan yang tinggi. Selama 25 tahun data dikumpulkan oleh Tycho Brahe yaitu data tinggi dan azimuth enam planet dari Merkurius hingga Saturnus. Data yang dikumpulkan oleh Tycho kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan oleh asistennya seorang ahli matematika Jerman yaitu Kepler setelah ia meninggal. Hasil analisis Kepler terhadap data Tycho Brahe menunjukkan adanya perbedaan kecil tapi jelas dan mengandung keteraturan tertentu antara posisi planet yang diamati dengan yang dihitung dengan teori Ptolemeus atau Copernicus. Mengapa perbedaan ini tidak diketahui pada pengamatan sebelum zaman Tycho Brahe? Karena pengukuran sebelumnya tidak menggunakan alat yang akurat, sedangkan Tycho Brahe menggunakan “quadrant” alat ukur koordinat benda langit yang paling teliti saat itu. Sebelumnya, untuk mensinkronkan agar hasil pengamatan itu bisa cocok dengan teori heliosentris Copernicus, diperlukan epicycle yaitu lingkaran- lingkaran kecil yang merupakan komponen kedua lintasan orbit planet selain orbit utamanya yang berupa lingkaran yang berpusat di Matahari. Mengapa planet bisa bergerak dalam lingkaran kecil epicycle ? Tidak ada penjelasan.

Upload: ladudin

Post on 14-Apr-2016

224 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

modul belajar

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum Kepler Ctak

Hukum KeplerOleh : Dr. Chatief Kunjaya

Hukum-hukum Kepler yang nampak begitu sederhana, ternyata tidak dihasilkan dengan mudah bahkan melalui kerja puluhan tahun. Prosesnya diawali dengan perancangan dan pembangunan fasilitas pengukuran koordinat benda langit raksasa yang disebut “quadrant” oleh Tycho Brahe. Dengan alat itu Tycho Brahe dapat melakukan pengukuran posisi benda langit dengan kecermatan melebihi alat lain di zamannya. Johannes Kepler (1571 – 1630) dapat menyusun hukumnya berdasarkan tumpukan data catatan hasil pengamatan Tycho Brahe yang memiliki kecermatan yang tinggi. Selama 25 tahun data dikumpulkan oleh Tycho Brahe yaitu data tinggi dan azimuth enam planet dari Merkurius hingga Saturnus. Data yang dikumpulkan oleh Tycho kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan oleh asistennya seorang ahli matematika Jerman yaitu Kepler setelah ia meninggal.

Hasil analisis Kepler terhadap data Tycho Brahe menunjukkan adanya perbedaan kecil tapi jelas dan mengandung keteraturan tertentu antara posisi planet yang diamati dengan yang dihitung dengan teori Ptolemeus atau Copernicus. Mengapa perbedaan ini tidak diketahui pada pengamatan sebelum zaman Tycho Brahe? Karena pengukuran sebelumnya tidak menggunakan alat yang akurat, sedangkan Tycho Brahe menggunakan “quadrant” alat ukur koordinat benda langit yang paling teliti saat itu. Sebelumnya, untuk mensinkronkan agar hasil pengamatan itu bisa cocok dengan teori heliosentris Copernicus, diperlukan epicycle yaitu lingkaran-lingkaran kecil yang merupakan komponen kedua lintasan orbit planet selain orbit utamanya yang

berupa lingkaran yang berpusat di Matahari. Mengapa planet bisa bergerak dalam lingkaran kecil epicycle ? Tidak ada penjelasan.

Page 2: Hukum Kepler Ctak

Kepler menemukan kenyataan bahwa data posisi planet-planet yang dikumpulkan oleh Tycho Brahe itu lebih cocok jika orbit planet diperkenankan berbentuk elips dengan Matahari sebagai pusatnya. Dengan cara demikian, gerak planet-planet dapat dipahami dengan lebih sederhana, tidak diperlukan lagi epicycle-epicycle. Temuan ini kemudian diformulasikan oleh Kepler sebagai :

Planet-planet mengelilingi Matahari dalam orbit elips, dengan Matahari berada pada salah satu titik apinya.

Pernyataan ini kemudian terkenal sebagai Hukum Kepler I. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kecepatan anguler sebuah planet mengelilingi matahari juga berubah menurut waktu. Pada saat planet lebih jauh dari Matahari gerak orbitnya lebih lambat, dan pada saat planet lebih dekat kecepatannya lebih tinggi. Hal ini kemudian dirumuskan dalam bentuk lebih kuantitatatif sebagai Hukum Kepler II yaitu :

Garis hubung Matahari – Planet menyapu daerah yang sama untuk selang waktu yang sama.

Luas seluruh elips adalah πab, yang ditempuh dalam waktu P, sehingga luas daerah yang disapu persatuan waktu adalah

L = πab/P

dengan a setengah sumbu panjang, b setengah sumbu pendek dan P periode. Sumbu a dan b berhubungan dengan eksentrisitas sebagai berikut :

b2 = a2(1-e2)

Page 3: Hukum Kepler Ctak

Berdasarkan pengamatan bahwa semakin jauh planet dari Matahari periode orbitnya semakin panjang, dan didukung dengan data pengamatan yang sangat banyak, diperolehlah hubungan antara sumbu panjang orbit planet dan periodenya sebagai berikut :

Setengah sumbu panjang orbit pangkat tiga berbanding lurus dengan periode pangkat dua

a3 = kT2

Pernyataan ini terkenal dengan sebutan hukum Kepler III

Harga k ini, pada awalnya belum diketahui tapi nilainya sama untuk keenam planet yang diamati. Hukum-hukum Kepler ini diperoleh secara empirik dari sifat keteraturan data posisi planet. Dapat dibayangkan sulitnya memperoleh kesimpulan seperti itu dengan cara coba-coba dari data. Tetapi menurunkan rumus hukum-hukum  ini menjadi mudah setelah Newton menemukan hukum atau teori tentang gerak, gravitasi dan kalkulus jauh setelah Kepler meninggal dunia. Bahkan kemudian konstanta-konstanta yang ada pada hukum Kepler dapat diperjelas sebagai berikut :

Luas daerah yang disapu oleh garis hubung matahari-planet tiap satuan waktu :

½ r2 dθ dt½ √ ( GMo a(1-e)), Mo adalah massa Matahari

Dengan r dan dθ /dt  berturut-turut adalah jarak Matahari-Planet dan kecepatan sudut orbit pada suatu saat tertentu. Harga k pada hukum Kepler di atas adalah :

k = G Mo / 4 π2

Kuadrat waktu yang diperlukan oleh planet untuk menyelesaikan satu kali orbit sebanding dengan pangkat tiga jarak rata-rata planet-planet tersebut dari matahari.

Jika T1 dan T2 menyatakan periode dua planet, dan r1 dan r2 menyatakan jarak rata-rata mereka dari matahari, maka

Page 4: Hukum Kepler Ctak

Newton juga menunjukkan bahwa Hukum III Kepler juga bisa diturunkan secara matematis dari Hukum Gravitasi Universal dan Hukum Newton tentang gerak dan gerak melingkar. Sekarang mari kita tinjau Hukum III Kepler menggunakan pendekatan eyang Newton.

Terlebih dahulu kita tinjau kasus khusus orbit lingkaran, yang merupakan kasus khusus dari orbit elips. Semoga dirimu belum melupakan Hukum Newton dan pelajaran Gerak Melingkar…

Kita tulis kembali persamaan Hukum II Newton :

Pada kasus gerak melingkar beraturan, hanya terdapat percepatan sentripetal, yang besarnya adalah :

Kita tulis kembali persamaan Hukum Gravitasi Newton :

Page 5: Hukum Kepler Ctak

Sekarang kita masukan persamaan Hukum Gravitasi Newton dan percepatan sentripetal ke dalam persamaan Hukum II Newton :

m1 adalah massa planet, mM adalah massa matahari, r1 adalah jarak rata-rata planet dari matahari, v1 merupakan laju rata-rata planet pada orbitnya.

Waktu yang diperlukan sebuah planet untuk menyelesaikan satu orbit adalah T1, di mana jarak tempuhnya sama dengan keliling lingkaran,2phir1. Dengan demikian, besar v1 adalah :

Kita masukan persamaan v1 ke dalam persamaan di atas :

Misalnya persamaan 1 kita turunkan untuk planet venus (planet 1). Penurunan persamaan yang sama dapar digunakan untuk planet bumi (planet kedua).

Page 6: Hukum Kepler Ctak

T2 dan r2 adalah periode dan jari-jari orbit planet kedua. Sekarang coba anda perhatikan persamaan 1 dan persamaan 2. Perhatikan bahwa ruas kanan kedua persamaan memiliki nilai yang sama. Dengan demikian, jika kedua persamaan ini digabungkan, akan kita peroleh :

MAGNITUDO BINTANG

Magnitudo tampak (m) dari suatu bintang, planet atau benda langit lainnya adalah pengukuran dari kecerahan atau kecerlangan yang tampak; yaitu banyaknya cahaya yang diterima dari objek itu.

Istilah magnitudo sebagai skala kecerahan bintang muncul lebih dari 2000 tahun yang lampau.

Sejarah dimulai ketika Hipparchus, astronom Yunani, pada tahun 120-an SM berhasil menyusun katalog-bintang pertama. Katalog tersebut memuat 1080 bintang yang diamatinya (tanpa teleskop!). Bintang paling terang disebut bermagnitudo 1; yang terang kedua disebut bermagnitudo 2; dan seterusnya, yang paling redup dikatakan bermagnitudo 6. Penamaan ini diadopsi oleh Cladius Ptolemy dalam menyusun katalog yang dinamainya Almagest.

Sejak ditemukannya teleskop, rentang magnitudo yang terbatas hanya 1-6 menjadi lebih lebar. Galileo menemukan bintang-bintang yang lebih redup dari bintang magnitudo 6-nya Ptolemy. Seiring dengan perkembangan teleskop, semakin lebarlah rentang tersebut. Bintang-bintang yang semula redup sekali atau bahkan tidak tampak dengan mata biasa, dengan piranti optik ini bintang-bintang tersebut bisa nampang di depan mata.

Pada tahun 1850-an diyakini kepekaan indera manusia dalam menangkap rangsangan bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang daripada bintang bermagnitudo 6. Katalog tersebut memuat 1080 bintang yang diamatinya (tanpa teleskop!). Bintang paling terang disebut bermagnitudo 1; yang terang kedua disebut bermagnitudo 2; dan seterusnya, yang paling redup dikatakan bermagnitudo 6. Penamaan ini diadopsi oleh Cladius Ptolemy dalam menyusun katalog yang dinamainya Almagest.

Pada tahun 180-an, Claudius Ptolemaeus memperluas pekerjaan Hipparchus, dan sejak saat itu sistem magnitudo menjadi bagian dari tradisi astronomi.

Page 7: Hukum Kepler Ctak

Pada 1856, Norman Robert Pogson meng-konfirmasi penemuan terdahulu John Herschel bahwa bintang bermagnitudo 1 menghasilkan kira-kira 100 kali fluks cahaya daripada bintang bermagnitudo 6.

Sistem magnitudo dibuat dengan mendasarkan diri pada mata manusia yang memiliki respon tidak linear terhadap cahaya. Mata dirancang untuk menahan perbedaan dalam kecerlangan. Ini adalah keistimewaan mata yang membuatnya dapat berpindah dari ruang gelap ke tempat yang terang tanpa mengalami kerusakan. Kamera elektronik, yang memiliki respon linear, tidak dapat melakukan hal itu tanpa langkah-langkah pencegahan terlebih dahulu. Ciri-ciri yang sama juga yang membuat mata merupakan pemilah yang buruk bagi perbedaan kecil kecerlangan sementara sebaliknya kamera elektronik (CCD) adalah pemilah yang baik.

Pogson memutuskan untuk mendefinisikan kembali skala magnitudo sehingga perbedaan lima magnitudo merupakan faktor yang tepat 100 dalam fluks cahaya. Jadi rasio fluks cahaya untuk perbedaan satu magnitudo adalah 1001/5 atau 102/5 atau 2,512. Berdasarkan hal ini, Norman R. Pogson, seorang astronom Oxford, menelurkan skala magnitudo. Selisih satu magnitudo berarti perbedaan kecerlangannya sebesar akar-pangkat-dua dari 100, atau sekitar 2,512. Bilangan ini dikenal dengan rasio Pogson.

Rasio fluks untuk perbedaan 2 magnitudo adalah (102/5)2, perbedaan 3 magnitudo adalah (102/5)3

dan seterusnya. Definisi ini sering disebut sebagai skala Pogson.

Karena banyaknya cahaya yang diterima bergantung pada ketebalan dari atmosfer pada garis pengamatan ke objek, maka magnitudo nampak adalah nilai yang sudah dinormalkan pada nilai yang akan dimiliki di luar atmosfer. Semakin redup suatu objek, semakin tinggi magnitudo tampaknya. Perlu diingat bahwa kecerahan yang tampak tidaklah sama dengan kecerahan sebenarnya — suatu objek yang sangat cerah dapat terlihat cukup redup jika objek ini cukup jauh.

Magnitudo absolut, M, dari suatu benda, adalah magnitudo tampak yang dimiliki apabila benda itu berada 10 parsec jauhnya.

Skala magnitudo tampak

Magnitudo tampak Benda langit

−26.8 Matahari

−12.6 Bulan purnama

−4.4 Kecerahan maksimum Venus

−2.8 Kecerahan maksimum Mars

−1.5 Bintang tercerah: Sirius

Page 8: Hukum Kepler Ctak

−0.7 Bintang tercerah kedua: Canopus

0 Titik nol berdasarkan definisi: Vega

+3.0 Bintang teredup yang terlihat di daerah perkotaan

+6.0 Bintang teredup yang terlihat dengan mata telanjang

+12.6 Kuasar tercerah

+30 Objek teredup yang dapat diamati olehTeleskop Hubble

Oke, sekarang tampaknya magnitudo bintang sudah terskala dengan pasti. Datang lagi masalah baru. Beberapa bintang magnitudo 1 tampak jauh lebih terang daripada bintang bermagnitudo satu lainnya. Jadi, sebenarnya manakah bintang yang bermagnitudo satu, atau dengan kata lain, kalau menurut definisi Hipparchus adalah bintang yang paling terang? Tidak ada pilihan cara lain selain melebarkan rentang skala magnitudo sampai bilangan 0 (nol), kemudian bilangan negatif. Bintang bermagnitudo 0 (nol), seperti Vega misalnya, berarti 2,5 kali lebih terang daripada bintang beramgnitudo 1; bintang bermagnitudo -1 lebih terang 2,5 kali daripada bintang bermagnitudo 0, dst.

Magnitudo yang dibahas di atas adalah magnitudo semu (ditulis m), cerlangnya bintang kalau diamati dari Bumi. Bintang-bintang yang terang itu bisa jadi karena memang dekat jaraknya dengan kita atau sebenarnya lumayan jauh tapi jauh lebih terang. Sebagai bandingan, bayangkan, Matahari pastilah tidak akan secerlang siang ini kalau dilihat dari planet Jupiter.

Magnitudo Mutlak (M)

Magnitudo mutlak (M) bintang menunjukkan seberapa terang bintang bila diletakkan sejauh 10 pc dari pengamat (1 pc = 3,26 tahun cahaya. Tahun cahaya (light year) bukan satuan waktu

Page 9: Hukum Kepler Ctak

melainkan satuan jarak. 1 tahun cahaya artinya jarak yang ditempuh cahaya selama 1 tahun). Pada jarak tersebut Matahari (Matahari juga termasuk bintang) yang bermagnitudo (semu) sebesar -26,7, menjadi bermagnitudo 4,8. Cerlangnya berkurang sekitar 4 trilyun kali.

Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini.

Skala Pogson untuk magnitudo (semu):m1 - m2 = -2,5 log(E1/E2)dengan :m1 : magnitudo (semu) bintang 1m2 : magnitudo (semu) bintang 2E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2