hukum anti monopoli dan persaingan usaha

24
HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA Pemahaman Awal Dunia usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari ber bagai macam dunia lainnya turut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.[1] Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan “penciptaan” rambu-rambu pengawas. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya.[2] Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan dunia usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema dunia usaha yang timbul seperti Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat. Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Black’s Law Dictionary: “Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular commodity.[3] Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial. Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute one’s own goods or

Upload: rizki-septiansyah

Post on 01-Oct-2015

42 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Pemahaman Awal

Dunia usaha merupakan suatu dunia yang boleh dikatakan tidak dapat berdiri sendiri. Banyak aspek dari berbagai macam dunia lainnya turut terlibat langsung maupun tidak langsung dengan dunia usaha ini. Keterkaitan tersebut kadangkala tidak memberikan prioritas atas dunia usaha, yang pada akhirnya membuat dunia usaha harus tunduk dan mengikuti rambu-rambu yang ada dan seringkali bahkan mengutamakan dunia usaha sehingga mengabaikan aturan-aturan yang telah ada.[1]Pesatnya perkembangan dunia usaha adakalanya tidak diimbangi dengan penciptaan rambu-rambu pengawas. Dunia usaha yang berkembang terlalu pesat sehingga meninggalkan rambu-rambu yang ada jelas tidak akan menguntungkan pada akhirnya.[2]Apabila hukum tidak ingin dikatakan tertinggal dari perkembangan bisnis dan dunia usaha, maka hukum dituntut untuk merespon segala seluk beluk kehidupan dunia usaha yang melingkupinya sebagai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Itu berarti, peran hukum menjadi semakin penting dalam menghadapi problema-problema dunia usaha yang timbul seperti Monopoli dan Persaiangan Usaha Tidak Sehat.Monopoli menggambarkan suatu keadaan dimana terdapat seseorang atau sekelompok orang yang menguasai suatu bidang tertentu secara mutlak, tanpa memberikan kesempatan kepada orang lain untuk ikut ambil bagian. Monopoli diartikan sebagai suatu hak istimewa (previlege), yang menghapuskan persaingan bebas, yang tentu pada akhirnya juga akan menciptakan penguasaan pasar. Pengertian monopoli dalam Blacks Law Dictionary: Monopoly is a previlege or peculiar advantage vested in one or more persons or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the wholesupply of a particular commodity.[3]Persaingan usaha tidak sehat adalah suatu bentuk yang dapat diartikan secara umum terhadap segala tindakan ketidakjujuran atau menghilangkan persaingan dalam setiap bentuk transaksi atau bentuk perdagangan dan komersial.Unfair competition is a term which may be applied generally to all dishonest or fraudulent rivalry in trade and commerce, but is particularly applied to the practice of endeavoring to subtitute ones own goods or products in the markets for those of another, having and established reputation and extensive sale, by means of imitating or counterfeiting the name, tittle, shape, or distinctive peculiarities of the article, or the shape, color, label, wrapper or general appearance of the package, or other such simulations, the immitation being carried far enough to mislead the general public or deceive an unwary purchaser, and yet not amounting to an absolute counterfeit or to the infringement of a trade mark or trade name.Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang mempunyai keinginan yang tinggi untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi perusahaan yang besar dan paling kaya.[4]Pada tanggal 5 Maret 1999 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR, akhirnya mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan tentangLarangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,dalam suatu Undang-undang, yaituUndang-undang No. 5 tahun 1999.[5]Yang Dalam UU tersebut dimaksud dengan Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaiangan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.Perangkat Hukum yang Ada Sebelum Lahirnya UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.[6]NoAturan Perundang-UndanganPasalIsi

1KUH Pidana (W.v.S)Pasal 382 bisLarangan dan ancaman pidana bagi pihak yang melakukan perdagangan curang

2B.W.Pasal 1365Setiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian tersebut untuk memberi ganti rugi.

3UU PA No.5 Tahun 1960Pasal 13Monopoli di bidang pertanahan harus dicegah.

4UU No. 19 Tahun 1992/ UU No.14 Tahun 1997 tentang MerekPasal 81 dan 82Ancaman pidana bagi perbuatan curang dalam pemakaian merek

5UU No. 5 Tahun 1984 tentang PerindustrianPasal 7 (3)Mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh salah satu kelompok atau perorangan dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat

6UU No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan TerbatasPasal 104 Ayat 1Mencegah kemungkinan terjadinya monopoli atau yang merugikan masyarakat akibat penggabungan, peleburan dan pengambil alihan perusahaan

7UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar ModalPasal 10Melarang adanya ketentuan yang menghambat adanya persaingan sehat dalam pasar modal

8UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha KecilPasal 8 (b)Mencegah pembentukan struktur pasar pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli, dan monopoli yang merugikan usaha kecil.

9Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan TerbatasPasal 4(1b)Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan, hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan sehat

10Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum.Pasal 15 (1)Merjer dan konsolidasi hanya dapat dilakukan setelah ada izin dari Menkeu.

Akan tetapi, dalam upaya menciptakan iklim persaingan yang sehat, ternyata masih belum ada putusan pengadilan Indonesia mengenai perbuatan curang yang dibuat berdasarkan gugatan perdata atas dasar Pasal 1365 B.W. atau perkara pidana yang menggunakan Pasal 382 bis KUH Pidana. Yurisprudensi yang ada hanyalah perkara-perkara merek dagang sehingga yurisprudensi di bidang persaingan curang dan monopoli usaha dalam rangka untuk mengatasi kelemahan aturan prundang-undangan yang berlaku melalui kearifan hakim sejauh ini belum pernah ditemukan.[7]Hal tersebut memperlihatkan bahwa penegak hukum memiliki pemahaman yang terbatas dalam memahami aspek-aspek di luar hukum. Akibat dari kelemahan penagak hukum maka praktek-praktek monopoli sampai saat ini masih serin terjadi dan secara terus menerus merugikan masyarakat.Secara umum, materi dari Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari :1. perjanjian yang dilarang.2. kegiatan yang dilarang.3. posisi dominan.4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha5. penegakan hukum6. ketentuan lain-lainDapat dipahami mengapa dalam pasar bebas harus dicegah penguasaan pasar oleh satu, dua, atau beberapa pelaku usaha saja (monopoli dan oligopoli), karena dalam pasar yang hanya dikuasai oleh sejumlah pelaku usaha maka terbuka peluang untuk menghindari dan mematikan bekerjanya mekanisme pasar (market mechanism) sehingga harga-harga ditetapkan secara sepihak dan merugikan konsumen.Pelaku usaha yang jumlahnya sedikit dapat membuat berbagai kesepakatan untukmembagi wilayah pemasaran, mengatur harga, kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang ditawarkan (kartel)guna memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya dalam waktu yang relatif singkat. Persaingan di antara para pelaku usaha juga dapat tejadi secara curang (unfair competition) sehingga merupakan konsumen, bahkan negara. Oleh karena itu, pengaturan hukum untuk menjamin terselenggaranya pasar bebas secara adil mutlak diperlukan. Meskipun monopoli harus dicegah tapi sampai saat ini belum ada suatu perangkat hukum maupun bisnis yang mampu untuk mencegah terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Bahkan monopoli yang dilakukan oleh BUMN saat ini yang cenderung merugikan masyarakan ketimbang memberi manfaat sulit untuk di awasi. Keterbukaan informasi yang kurang menyebabkan praktek monopoli semakin merajalela dan masyarkat-pun tidak mampu berbuat apa-apa karena tidak mengetahuinya.Jika berbicara mengenai monopoli, kita tidak dapat melepas perhatian kita dengan gejala perkembangankonglomerasiyang banyak menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat dan para ahli. Pendapat mereka pun tidak selamanya sama. Suara sumbang mengenai monopoli memang banyak terdengar. Adanya kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang atau produk tertentu mulai menjangkiti dan mewabah di Indonesia. Sebagai bentuk penguasaan pangsa pasar atas produk tertentu, monopoli bukan saja dapat menarik keuntungan sebesar-besarnya tetapi dapat mengganggu sistem dan mekanisme perekonomian yang sedang berjalan sebagai akibat distorsi ekonomi yang ditaburkannya, seiring dengan semakin besarnya penguasaan atas pangsa pasar dan produk tertentu.[8]Sebuah atau beberapa perusahaan yang memonopoli produk tertentu dapat menentukan harga suatu produk sesuka hatinya, karena mekanisme pasar tidak berjalan lagi. Apalagi produk yang dimonopoli kebutuhan primer. Dapat dipastikan mereka akan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Masyarakat tidak ada pilihan lain kecuali membeli produk monopoli itu.[9]Monopoli dapat terjadi dalam setiap sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisme, dengan instrumen adanya kebebasan pasar, kebebasan keluar masuk tanpa restriksi, serta informasi dan bentuk pasarnya yang atomistik monopolistik telah melahirkan monopoli sebagai anak kandungnya. Adanya persaingan tersebut mengakibatkan lahirnya perusahaan-perusahaan yang secara naluriah ingin mengalahkan pesaing-pesaingnya agar menjadi yang paling besar, paling hebat, dan paling kaya.[10]Dalam sistem ekonomi sosialisme dan komunisme, monopoli juga terjadi dengan bentuk yang khas. Dengan nilai instrumental perencanaan ekonomi yang sentralistik mekanistik dan pemilikan faktor produksi secara kolektif, segalanya dimonopoli negara dan diatur dari pusat.[11]Sedangkan di Indonesia dengansistem ekonomi pancasila,kita mencoba menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem liberalisme dan sosialisme. Ciri-ciri negatif sepertifree figh liberalism, yang membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme di mana negara besrta aparatur ekonomi negara bersifat dominan serta mendesak dan meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok dalam bentuk monopoli yang merugikan masyarakat.[12]Landasan Yuridis PhilosofisDalam UU No 5 Tahun 1999 disebutkan pula tentang landasan Yuridis Philosofis dalam bidang perekonomian Indonesia yaitu ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai landasan pokok yang kuat bagi perekonomian Indonesia. Landasan Yuridis philosofis ini sebelumnya telah dicanangkan dalam landasan kebijakan ekonomi Indonesia dalam era pemerintahan Orde Baru. Kebijakan tersebut telah digariskan dalam Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 yang mengatur tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Dalam Pasal 7 (c) Tap MPRS RI No. XXII/MPRS/1966 lebih lanjut disebutkan, bahwa dalam demokrasi ekonomi di Indonesia, sudah tidak ada tempat bagi monopoli yang merugikan masyarakat.[13]Namun sayang Tap MPRS tersebut dilanggar sendiri oleh rezim Orde Baru dengan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme-nya.Dalam pasal 33 Undang-undang dasar 1945 dapat kita lihat ciri-ciri positif yang hendak kita capai dan mempertahankan dalam sistem perekonomian kita.Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan,Cabang produksi yang penting bagi negara dan mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara serta bumi dan air beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi secara implisit, UUD 1945 juga mengakui adanya monopoli berupa penguasaan sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Ini terealisasi dari penguasaan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara atas bidang tertentu. Misalnya PLN menguasai listrik, Pertamina memonopoli minyak dan gas bumi, PT PT Kereta Api menguasai perkretaapian.[14]Kwik Kian Gie menjelaskan kriteria-kriteria terjadinya monopoli yang diizinkan oleh GBHN :1. monopoli diberikan kepeda penemu barang baru, seperti oktroi dan paten, maksudnya untuk memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif dan inofatif;2. monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena barang yang diproduksi menguasai hajat hidup orang banyak;3. monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit pemerintah;4. monopoli dan kedudukan monopolistik yang diperoleh dengan cara natural, karena monopolis menang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat. Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun masuknya siapa saja ke dalam investasi yang sama harus terbuka lebar;5. monopoli atau kedudukan yang monopolistik yang diperoleh secara natural karena investasinya terlampau besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan bisa merealisasikan investasinya. Meski demikian, Pemerintah harus tetap bersikap persuasif dan kondusif dalam memecahkan monopoli;6. monopoli atau kedudukan monopolistik terjadi karena pembentukan kartel ofensif;7. monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan kartel defensif;8. monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.[15]Macam-macam bentuk dan cara terjadinya monopoli1. MONOPOLY BY LAWUUD 1945 pasal 33 juga membenarkan adanya monopoli jenis ini, yaitu dengan memberikan monopoli bagi negara untuk menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.[16]Dengan demikian menurut UUD 1945, sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti perlistrikan, air minum, kereta api dan sektor-sektor lain yang karena sifatnya yang memberik palayanan untuk masyarakat dilegitimasi untuk dimonopoli dan tidak diharamkan.[17]Sayangnya masih banyak pihak yang menyalahartikan maksud mulia yang dikandung UUD 1945 kita, seperti asas kekeluargaan ditafsirkan sebagai keluarga sendiri. Sehingga sering kita lihat pada suatu institusi atau perusahaan hanya kerabat mereka saja yang dilibatkan.[18]Pemberian hak-hak istimewa dan eksklusif atas penemuan baru, baik yang berasal dari hak cipta, hak paten, merk dagang, dan lain-lain juga merupakan bentuk monopoli yang diakui oleh undang-undang.[19]1. MONOPOLY BY NATUREYaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Kita dapat melihat bentuk monopoli seperti ini yaitu tumbuhnya perusahaan-perusahaan yang karena memiliki keunggulan dan kekuatan tertentu dapat menjadi raksasa bisnis yang menguasai seluruh pangsa pasar yang ada. Mereka menjadi besar karena memiliki sifat-sifat yang cocok dengan tempat di mana mereka tumbuh. Selain itu karena berasal dan didukung bibit yang unggul serta memiliki faktor-faktor yang dominan.[20]1. MONOPOLY BY LICENSEMonopoli ini diperoleh melalui lisensi dengan menggunakan mekanisme kekuasaan. Monopoli jenis inilah yang sering menimbulkan distorsi ekonomi karena kehadirannya mengganggu keseimbangan (equilibrium) pasar yang sedang berjalan dan bergeser kearah yang diingini oleh pihak yang memiliki monopoli tersebut.[21]1. Monopoli karena Terbentuknya Struktur Pasar Akibat Perilaku dan Sifat ManusiaSifat-sifat dasar manusia yang menginginkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat dan dengan pengorbanan dan modal yang sekecil mungkin atau sebaliknya, dengan menggunakan modal (capital) yang sangat besa untuk memperoleh posisi dominan guna menggusur para pesaing yang ada.[22]Jenis monopoli yang dimaksud pada poin (3) dan (4) dapat mengganggu bekerjanya mekanisme pasar dan harus dilarang. Sementara itu, jenis monopoli pada poin (1) dan (2) tetap perlu diawasi dan diatur agar pada suatu waktu kekuatan ekonomi yang dimilikinya tidak akan disalahgunakan.[23]Adanya Undang-undang tentang Larangan dan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan rambu-rambu dan batasan dalam mengakses kue pembangunan sehingga si besar tidak dengan seenaknya mengambil bagian si kecil. Batas-batas yang jelas akan merupakan pagar agar salah satu pihak melihat pihak lain bukan sebagai saingan tetapi sebagai mitra untuk bekerja sama.[24]Sebelumnya usaha-usaha kearah itu sudah dilakukan pemerintah. Misalnya menganjurkan sistem Bapak Angkat. Perusahaan-perusahaan yang besar dianjurkan untuk menjadi bapak dan mendidiki anak-anaknya agar menjadi besar dan berguna bagi nusa dan bangsa. Konsep ini tampaknya cukup ideal bila semua pihak terpanggil untuk menjadi bapak dan mengasuh seorang anak untuk diasuh. Jika sudah menjadi bapak banyak juga yang belum benar-benar menjadi seorang bapak yang baik karena mereka masih mengharapkan sesuatu dari anak-anaknya.[25]Selanjutnya pemerintah juga pernah menganjurkan agar perusahaan konglomerat mengalihkan sebagian kecil sahamnya kepada koperasi. Maksudnya juga agar jurang antara yang besar dan yang kecil tidak terlalu jauh dan si kecil tidak terlalu dikucilkan.Sebagai bahan perbandingan kita dapat menimba pengalaman dari negara-negara lain. Sebagian dari mereka mengantisipasi praktek monopoli ini dengan mengeluarkan Undang-undang yang dapat mencegah monopoli. Amerika Serikat misalnya telah mengeluarkan The Sherman Antitrust Act, 1890, The Clyton Antitrust Act, 1914, Robinson Patman Act, 1936, Celler-Kefauver Act, 1950 dan The Federal Trade Comission Act, 1914. Di Jerman telah ada Undang-undang tentang Unfair Competition sejak tahun 1909. Di Philipina, ada satu chapter khusus tentang Frauds in Commerce & Trade pada Penal Codenya yang direvisi pada tahun 1930, dengan Act Nomor 3815.[26]Di banyak negara yang sudah melaksanakan dan mempunyai undang-undang persaingan usaha, memilihefisiensi, efektifitas kegiatan usaha, dan kesejahteraan umum/rakyat (konsumen)sebagai tujuan utamadari kebijakanmaupun undang-undang persaingan usahanya.Sedangkan di Indonesia tujuan undang-undang persaingan usaha ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus ;[27]a. Secara umum tujuannya adalah menjaga kelangsungan persaingan antar pelaku usaha itu sendiri agar tetap hidup dan diakui keberadaannya.b. Secara yuridis tujuan undang-undang persaingan usaha di Indonesia telah diatur dalam Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu:1. Menjaga kepentingan umum serta melindungi konsumen2. Menumbuhkan iklim usaha yang sehat;3. mnjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang;4. Mencegah praktik-praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha5. Menciptakan efekvifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejakteraan rakyatKerangka Dasar Pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2009Selanjutnya, jika kita lebih seksama mempelajari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, maka kandungan substansi yang diaturnya meliputi hal-hal sebagai berikut.[28]1. Perumusan istilah atau konsep-konsep dasar yang terdapat atau dipergunakan dalam undang-undang maupun aturan pelaksanaan lainnya, agar dapat diketahui pengertiannya, Pasal 1 memuat perumusan dari 19 istilah atau konsep dasar, yaitu pengertiana. monopoli,b. praktik monopolic. pemusatan kekuatan ekonomid. posisi dominane. pelaku usahaf. persaingan usaha tidak sehatg. perjanjianh. persekongkolan atau konspirasii. pasarj. pasar bersangkutank. struktur pasarl. perilaku pasarm. pangsa pasarn. harga pasaro. konsumenp. barangq. jasar. komisis. pengawas persaingan usahat. pengadilan negeri2. Perumusan kerangka politik anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, berupa asas dan tujuan pembentukan undang-undang, sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 3.3. Perumusan macam perjanjian yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 memuat macam perjanjian yang dilarang tersebut yaitu perjanjian :3. oligopoli3. penetapan harga3. pembagian wilayah pemasaran,3. pemboikotan3. kartel3. oligopsoni3. integrasi vertikal3. perjanjian tertutup3. perjanjian dengan pihak luar negeri1. Perumusan macam kegiatan yang dilarang dilakukan pengusaha. Pasal 17 sampai dengan Pasal 22 memuat macam kegiatan yang dilarang tersebut, yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan;1. Perumusan macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan pengusaha. Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 memuat macam posisi dominan yang tidak boleh dilakukan tersebut, yaitu :5. jabatan rangkap5. pemilikan saham5. serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan1. Masalah susunan, tugas dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Pasal 30 sampai dengan Pasal 37 memuat perumusan status, keanggotaan, tugas, wewenang, dan pembiayaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.1. Perumusan tata cara penanganan perkara persaingan usaha oleh KPPU. Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 memuat perumusan7. penerimaan laporan,7. pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan7. pemeriksaan terhadap pelaku usaha dan alat-alat bukti, jangka waktu pemeriksaan7. Putusan Komisi7. Kekuatan putusan komisi7. Upaya hukum terhadap putusan komisi1. Ketentuan sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelau usaha yang telah melanggar ketentuan dalam undang-undang. Pasal 47 sampai dengan Pasl 49 memuat macam sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha, yaitu :8. administratif8. pidana pokok8. pidana tambahan1. Perumusan perbuatan atau perjanjian yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang dan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Pasal 50 memuat ketentuan yang dikecualikan dari undang-undang dan Pasal 51 memuat ketentuan monopoli oleh Badan Usaha Milik Negara.1. Hal-hal yang menyangkut pelaksanaan undang-undang, yaitu perumusan ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. Pasal 52 mengatur bahwa pelaku usaha yang telah membuat dan/atau melakukan kegiatan dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan undang-undang diberi waktu untuk menyesuaikan selama 6 (enam) bulan sejak undang-undang diberlakukan. Sedangkan Pasal 53 mengatur mulai berlakunya undang-undang, yaitu terhitung sejak 1 (satu tahun sesudah undang-undang diundangkan oleh pemerintah, yaitu tepatnya 5 maret 2000.Dalam pengaturan persaingan ditetapkan norma larangan memiliki dua sifat yang harus dimasukkan dalam pengaturan undang-undang, yaitu larangan yang bersifatper se illegaldan yang bersifatrule of reason.Berbagai literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenairule of reasondanper setersebut. Dalam literatur tersebutrule of reasondanper sedibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade Commission Act Antitrust Law(Asril Sitompul, 1999; 9, Elyta Ryas Ginting, 2001; 28).[29]Pengertian Rule of Reason dan Per Se RuleAsri Sitompul mendefinisikanrule of reasonadalah suatu pendekatan dengan menggunakan pertimbangan akan akibat suatu perbuatan, apakah mengakibatkan praktek monopoli dan akan menimbulkan kerugian dipihak lain. Sedangkan Susanti Adi Nugrohorule of reasonadalah pertimbangan yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan dimana penggugat dapat menunjukkan akibat-akibat yang menghambat persaingan, atau kerugian nyata terhadap persaingan. Dari dua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwarule of reasonmerupakan (a) suatu pertimbangan hakim untuk menentukan apakah suatu perbuatan tertentu melanggar hukum persaingan atau tidak, (b) prinsip yang akan digunakan untuk menentukan perbuatan tertentu melanggar atau tidak didasarkan pada akibat yang muncul dari perbuatan yaitu menghambat persaingan atau melahirkan kerugian pada pelaku usaha lain.[30]Per se ruledidefinisikan oleh Asril Sitompul suatu pendekatan dimana perbuatan dinyatakan sebagai pelanggaran dan dapat dihukum tanpa perlu melakukan pertimbangan apakah perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian atau menghambat persaingan. Sedangkan Susanti mendefinisikanper se rulesebagai larangan yang jelas dan tegas tanpa mensyaratkan adanya pembuktian mengenai akibat-akibatnya atau kemungkinan akibat adanya persaingan. Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud denganper se ruleadalah perbuatan tersebut secara jelas dan tegas akan dianggap pelanggaran oleh hakim tanpa melihat apakah terdapat akibat yang merugikan atau menghambat persaingan.[31]Syamsul Maarif (2002) mengemukakan bahwa yang dimaksud denganrule of reasonadalah bahwa suatu larangan yang baru berlaku apabila suatu kegiatan usaha dapat menimbulkan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Larangan bersifatPer seadalah larangan yang memang secara alamiah dilarang tanpa perlu dikaitkan dengan dampak kegiatan tersebut pada persaingan karena pada dasarnya memang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.[32]Para ahli hukum persaingan usaha Indonesia dalam memberikan definisirule of reasondanper se ruledapat melakukannya secara tepat namun hanya sebatas memberikan definisi tanpa melihat latar belakang kemuncullannya. Berbeda dengan penulis dari AS yang selalu melihatrule of reasondanper se rulesecara kontekstual artinya prinsip tersebut muncul karena putusan hakim dalam mengadili suatu perkara persaingan usaha. J. David Reitzel (2001; 965) secara lengkap dikutip pemahaman Reitzel mengenairule of reasonadalah sebagai berikut;[33]InStandard Oilthe court rejected its earlier position that al contracts in restraint of trade were prohibited by the Sherman Act and applied what has come to be called therule of reason.The Court rule that the Congressional intent was to prohibit only those contracts thatreasonablyrestrainted trade. This rule of reason that is the process of determining if a defendants conduct sufficiently anticompetitive to constitute an unreasonable restraint is very much a part of antitrust law today Section 1 cases.Sedang mengenai definisiper se rule, Reitzel (2001) menegaskan pendapatnya dengan mengutip pendapat Justice Stone yang mengadili kasus United States v. Trenton Potteries Co (1927),[34]agreement which create such potential power may well be held to be in themselves [per se] unreasonable or unlawful restraintt, without the necessity of minute inquiry wether a particular price is reasonable as fixed and without placing on the govement in enforcing the Sherman Law the burden of ascertaining from day to day whether it has become unreasonable through the mere variation of economic conditions.Pendapat lain dikemukakan oleh Henry Cheeseman (2001; 958) mengatakan bahwa di Amerika Serikat penggunaanper se ruleoleh Mahkamah Agung apabila pembatasan perdagangan dianggap secarainherenmerupakan tindakan anti persaingan (once a restraint is characterize as a per se violation, no defenses or justifications for restraintt will save it, and no further evidence need be considered)[35]Rule of reasonmenurut Cheeseman merupakan kebalikan dari kriteria per se illegal yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan obyektif (biasanya alasan ekonomi) yang dapat membenarkan (reasonable) perbuatan tersebut, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran. Di AS, pengadilan melakukan pengujian terhadap kasus-kasus yang ditangani dengan menggunakan faktor-faktor yang terdapatrule of reasonantara lain:[36]1.The pro- and anticompetitive effects of the challenged restraintt;2.The competitive structure of the industry;3.The firms market share and power;4.The history and duration of the restraintt;5.Other relevan factors.Dalam Blacks Law Dictionary (1990; 1332) memberikan definisirule of reasondanper se rulesebagai berikut;[37]Under rule of reason test for determining whether alleged acts violated 1 the Sherman Anti-Trust act (15 U.S.C.A. 1), which declares conspiracies in restraint of trade to be illegal, fact finder must weigh all circumstances of the case to decide whether practice unreasonably restraints competition, and the test requires that plaintiff show anticompetitive effects, or actual harm to competition, and not whether the practices were unfair or tortious.Per se violations in anti-trust law, term that implies that certain types of business agreements, such as price fixing, are considered inherently anti-competitive and injurious to the public without any need to determine if the agreement has actually injured market competition.Selain adanya pengertianper se violations, ada yang disebut sebagaiper se doctrine, yaituif any activity is blatant in its intent and pernicious in its effect, a court need not inquire into reasonableness of the same before determining that it si a violation of the antitrust law.Thomas Misslin (1998) mendefinisikanrule of reasondanper se ruleadalah;[38]a practice illegal per se infringes antitrust in itself regardless of whether the promoters of the arrangement have market power, and thus in effect able to harm competition, and irrespective of mitigating circumstances of proffered justifications. Rule of reason, in antitrust, the rule of reason weighs the anticompetitive affects of a challenged practice against its procompetitive effects. The rule of reason is a reasoned inquiry which purports to answer questions such as: can this behavior be explained as an attempt to harm competition? Does this restraintt promote rather than injure competition? Would not there be a less deleterious way of furthering the companys goal?Definisirule of reasondanper se rulediberikan atas dasar keputusan hakim yang memutuskan kasus-kasus persaingan usaha di Amerika. Karena dalam Sherman Act mengatur perilaku yang dinyatakan melanggar hukum (illegal) atau berusaha untuk melakukan monopoli usaha perdagangan. Keputusan hakim sangat berpengaruh dalam perjalanan hukum persaingan usaha di Amerika, putusan sangat berperan dalam pembentukan hukum yang didukung oleh sistem hukum yaitucommon lawbahwa hakim adalah pembuat hukum (judge made law). Bahwarule of reasondanper selahir akibat dari sistemcommon law, dan hal ini sepenuhnya disadari oleh para penulis hukum persaingan usaha. Bahkan Susanti (2001; 31) dengan tegas mengatakan bahwa;[39]Dalam hubungannya dengan penerapan peraturan hukum yang berkaitan dengan monopoli, Mahkamah agung Amerika Serikat mempunyai peranan yang sangat penting. Pandangan-pandangan para hakim agung mengenai praktek-praktek bisnis yang mengarah kepada monopoli selalu mengalami perubahan dan perubahan tersebut secara umum merefleksikan perkembangan-perkembangan yang berlangsung dalam bidang ekonomi dan politik.Kesadaran penulis akan arti pentingrule of reasondanper sedalam hukum persaingan di Amerika tidak diwujudkan dalam mencari pengertian kedua prinsip tersebut dalam kerangka perjalanan sejarah hukum persaingan.Rule of reasondanper sebagi para penulis seolah-olah menganggap keberadaannya hanya sekedar untuk menentukan suatu perbuatan atau kegiatan dalam rumusan UU Persaingan Usaha termasuk dalam klasifikasi tertentu. Padahal dalam pembentukan kedua prinsip tersebut muncul dari penafsiran hakim yang termuat dalam suatu putusan pengadilan. Keputusan hakim untuk substansi kasus yang sama dapat didekati dengan prinsip yang berbeda, dengan kata lain apabila di suatu waktu misalnyahorizontal price fixingmenggunakan analisa denganper sestandar tetapi waktu yang berbeda digunakanrule of reason.[6][40]Ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadaprule of reasondanper seakhirnya menjerumuskan kepada pemahaman terhadap UU Persaingan Usaha. Oleh banyak pihak bahwa keberadaanrule of reasondanper seterdapat pada ketentuan atau pasal-pasal dalam UU Persaingan Usaha. Sehingga tidak heran apabila penulis seperti Susanti kemudian membuat klasifikasi terhadap ketentuan yang mengatur tentang perjanjian dan kegiatan yang dilarang berdasarkan pendekatanrule of reasondanper se.Kurang disadari bahwa prinsiprule of reasondanper semerupakan hasil penafsiran dari pengadilan (hakim) terhadap ketentuan Sherman Act. Mengacu pada Section 1 dan 2 Sherman Act bahwarule of reasondanper setidak terdapat pada ketentuan tersebut. Selengkapnya Section 1 dan 2 Sherman Act menyatakan;[41]Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with foreign nation, is declared to illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine not exceeding one million dollars if a corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years, or by both side punishment, in the discretion of the court.Every person who shall monopolize, or attempt to monopolize, or combine or conspire with any other person or persons, to monopolize any part of trade or commerce among the several States, or with foreign nations, shall be deemed guilty of a felony, and, on conviction thereof, shall be punished by fine mot exceeding one million dollars if a corporation, or, if any other person, one hundred thousand dollars, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the courts.Sherman Act hanya mengatur dua hal, yaitu (a) bahwa kontrak, persekongkolan atau kerjasama yang bertujuan untuk mengadakan pembatasan perdagangan dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan (b) setiap orang yang melakukan praktek monopoli atau melakukan konspirasi untuk melakukan monopoli dinyatakan bersalah. Dari bunyi ketentuan Section 1 Sherman Act tidak mengemuka prinsiprule of reasondanper se.Diantara kedua prinsip tersebut yang pertama kali muncul adalah prinsiprule of reasonyang merupakan hasil penafsiran hakim pada saat mengadili kasusStandard Oil Company of New Jersey v. United States(1991). Pada kasus tersebut hakim berpendapat bahwa penafsiran yang kaku terhadap ketentuan dalam Section 1 Sherman Act tidak dapat diberlakukan dalam perjanjian bisnis pada umumnya. Apabila dilakukan demikian (penafsiran yang kaku) maka akibatnya semua perjanjian atau kerjasama adalah melanggar Section 1 Sherman Act, dan hal tersebut bukan yang dimaksudkan oleh pembuat undang-undang (Kongres). Bahwa yang dimaksud membatasi perdagangan (restraint of trade) adalah perjanjian/kontrak/kerjasama membatasi perdagangan secara tidak masuk akal (unreasonably restraintt of trade) (David Reitzel, 2001; 965).[42]Suatu ketentuan yang bersifat per se illegal tidak diperlukan lagi pembuktian dampak larangan tersebut sehingga jika ada pelaku usaha yang melakukan sesuatu yang dinyatakan yang secara eksplisit dilarang undang-undang, pelaku usaha tersebut dinyatakan melanggar, tanpa perlu membuktikan hasil atau akibat tindakan yang dilakukan. Sementara itu, ketentuan yang bersifat rule of reason memerlukan bukti suatu tindakan yang dilakukan pelaku usaha, apakah tindakan tersebut tergolong antipersaingan atau merugikan masyarakat.[43]Tujuan utama (principal objectives Undang-undang Persaingan Usaha adalah untuk mendorong timbulnya persaingan dalam rangja mencapai efisiensi ekonomi (economic efficiency) dan kesejahteraaan konsumen (consumer welfare). Kepentingan publik (public interest), Seperti isu tentang keadilan, pembangunan regional, dan penyediaan lapangan kerja (employment), pemberdayaan perusahaan kecil dan menengah juga merupakan bagian dari sasaran-sasaran yang ingin dicapai melalui undang-undang persaingan.[44]1. Larangan yang Bersifat Per Se IlegalLarangan yang bersifat per se rule adalah bentuk larangan yang tegas dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha. Dalam praktik, pengaturan ini berguna agar pelaku usaha sejak awal mengetahui rambu-rambu larangan terhadap perbuatan apa saja yang dilarang dan harus dijauhkan dalam praktik usahanya guna menghindari munculnya potensi resiko bisnis yang besar di kemudian hari sebagai akibat pelanggaran terhadap norma-norma larangan tersebut.[45]Perbuatan-perbuatan sebagai manifestasi perilaku para pelaku usaha yang secara tegas dilarang (per se illegal) antara lain menetapkan berbagai bentuk perjanjian yang dilarang (Bab III) dan kegiatan yang dilarang (Bab IV), tegasnya aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 15, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999. Apabila para pelaku usaha tidak mampu mengandalikan dirinya dan melanggar ketentuan hukum yang mengaturnya (per se illegal), maka KPPU cukup membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran. Dengan demikian pelaku usaha yang bersangkutan sudah dianggap telah melakukan perbuatan yang dilarang tanpa melihat lagi efek yang ditimbulkannya. Pelanggaran terhadap larangan yang bersifat per se, ancaman pidana pokoknya lebih rendah dari pada pelanggaran terhadap larangan yang bersifat rule of reason (vide Pasal 48). Hal ini dapat dipahami karena proses pembuktiannya tidak serumit proses pembuktian terhadap larangan yang bersifat rule of reason.2. Larangan yang Bersifat Rule of ReasonDalam lingkup doktrin rule of reason, jika suatu kegiatan yang dilarang dilakukan oleh seorang pelaku usaha dilihat seberapa jauh efek negatifnya. Jika terbukti secara signifikan adanya unsur yang menghambat persaingan, baru diambil tindakan hukum. Ciri-ciri pembeda terhadap larangan yang bersifat rule of reason, pertama dalah bentuk aturan yang menyebutkan adanya persyaratan tertentu yang harus terpenuhi sehingga memenuhi kualifikasi adanya potensi bagi terjadinya praktik monopoli dan atau praktik persaingan usaha yang tidak sehat seperti yang dapat ditemukan dalam Pasal 4, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26, dan Pasal 28 UU No. 5 Tahun 1999. Ciri kedua adalah apabila dalam aturan tersebut memuat anak kalimat patut diduga atau dianggap. Pengaturan seperti itu dapat ditemukan dalam Pasal 4 angka (2), Pasal 13 angka (2), Pasal 17 angka (2), dan Pasal 18 angka (2).Perbuatan-perbuatan dan kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 yang bersifat rule of reason antara lain apabila pelaku usaha melakukan beberapa hal berikut.1. Perjanjian yang bersifat oligopoli (Pasal 4)2. Perjanjian pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar (Pasal 9)3. Perjanjian yang bersifat kartel (Pasal 11)4. Perjanjian yang bersifat trust (Pasal 12)5. Perjanjian yang bersifat oligopsoni (Pasal 13)6. Kegiatan usaha yang melakukan praktik Monopoli (Pasal 17)7. Kegiatan usaha yang melakukan praktik monopsoni (Pasal 18)8. Kegiatan penguasaan pasar (Pasal 19)9. Kegiatan menjual di bawah harga pokok (predatory pricing) dalam Pasal 2010. Jabatan rangkap dalam perusahaan-perusahaan yang saling bersaing (interlocking directorate) dalam Pasal 2611. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan lain (Pasal 28)Perbuatan-perbuatan yang dimaksud jika terbukti merupakan perbuatan yang menghalangi persaingan (antikompetitif) selain menghadapi sanksi administratif (vide Pasal 47) juga diancam sanksi pidana, baik pidana poko (vide Pasal 48 ayat 1) maupun pidana tambahan (vide Pasal 49).Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oligopoli diartikan sebagai : Keadaan pasar yang produsen penjual barang hanya berjumlah sedikit sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi pasar. Oleh karena keterlibatan lebih dari satu pelaku usaha maka dalam oligopoli diperlukan adanya kesepakatan antar pelaku usaha tersebut untuk menguasai pasar secara bersama-sama tanpa merugikan sesamanya. Kejadian seperti itu baru akan terjadi apabila beberapa perusahaan menyadari bahwa kebijakan penentuan harga-harga mereka memiliki ketergantungan antarsesamanya.Kartel umumnya dipraktikkan oleh asosiasi dagang (trade asociations) bersama para anggotanya. Banyak sekali hal yang bermanfaat dengan adanya suatu asosiasi dagang, misalnya upaya menyusun suatu standar teknis atau upaya bersama mengatasi polusi akan menjadi ringan bila diikuti para anggota. Akan tetapi, bahaya yang akan muncul bila kegiatan asosiasi tersebut ditujukan untuk mengatur harga karena akan menghambat serta menghalangi terjadinya suatu persaingan yang sehat.Penyususn undang-undang juga melihat bahwa salah satu sarana untuk melakukan tindakan persaingan yang tidak sehat adalam membuat perjanjian atau kontrak dengan para pelaku usaha tertentu. Dalam hubungan ini, Pasal 1 ayat (7) memberikan definisi tentang perjanjian sebagai berikut. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis.[46]Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah peraturan dalam hal perizinan kegiatan yang dibuat oleh pemerintah tidak terlepas dari tujuan monopoli suatu pihak tertentu ?, tentunya hal tersebut pelu dipertanyakan mengingat perizinan usaha merupakan sarana pengusaha untuk membuka suatu usaha menjadi lancar dan sah, tentunya tingkat kesulitan persyaratan tersebut harus menjadi pertimbangan penilaian apakah menguntungkan pihak-pihak tertentu atau tidak.Tentang Sifat Pelarangan Tindakan Anti Monopoli dan Persaingan Curang[47]NoTindakan yang dilarangPasalRule of Reason / Per Se

1.Olipoli4RR dengan Presumsi

2.Penetapan Harga5 s.d. 8RR dan PS

3.Pembagian Wilayah9RR tidak tegas

4.Pemboikotan10RR

5.Kartel11RR tidak tegas

6.Trust12RR tidak tegas

7.Oligopsoni13RR dengan Presumsi

8.Integrasi Vertikal14RR tidak tegas

9.Perjanjian Tertutup15PS

10.Perjanjian Luar Negeri16RR tidak tegas

11.Monopoli17RR dengan Presumsi

12.Monopsoni18RR dengan Presumsi

13.Penguasaan Pasar19 s.d. 21RR tidak tegas

14.Persekongkolan22 s.d .24RR dan PS

15.Posisi Dominan Umum25RR dengan Presumsi

16.Jabatan Rangkap26RR tidak tegas

17.Pemilikan Saham27RR

18.Merger, Akuisisi, dan Konsolidasi28 s.d. 29RR tidak tegas

Keterangan :- Rule of Reason dilihat dari kata-kata Mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.- Per Se dilihat dari tidak adanya persyaratan yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.- Rule of Reason Tidak Tegas karena dipergunakan kata-kata Dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.Perbandingan penentuan prinsiprule of reasondanper seantara KPPU dengan Susanti Adi NugrohoRule of ReasonPer se rule

KPPUSusantiKPPUSusanti

OligopoliOligopoliPrice fixingPenetapan harga

Predatory pricingPenetapan hargaDiskriminasi hargaPerjanjian tertutup

Pembagian wilayahPembagian wilayahPerjanjian tertutuppersekongkolan

KartelKartelPersekongkolan

TrustTrustPosisi dominan untuk Pasal 25 (1)

OligopsoniOligopsoniPosisi dominan untuk Pasal 26 huruf a dan b

Integrasi vertikalIntegrasi vertikal

Perjanjian dengan pihak luar negeriPerjanjian dengan pihak luar negeri

MonopoliMonopoli

MonopsoniMonopsoni

Penguasaan pasarPenguasaan pasar

Jabatan rangkapPosisi dominan

Penggabungan, Peleburan dan PengambilalihanBoikot

Persekongkolan

Selanjutnya, untuk mengetahui baik atau buruk dari apa yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang bisnis. Secara normatif-etis telah berkembang tiga teori dasar sebagai berikut :[48](1) Teori Ethical Egoism(2) Teori Ethical Altruism(3) Teori Utilitarianism(Regan, Tom, 1984:20)Penjelasan dari masing-masing teori adalah sebagai berikut :(1) Teori Ethical EgoismTerori ini hanya melihat terhadap si pelaku sendiri. Dalam hal ini teori tersebut mengajarkan bahwa benar atau salah dari sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari apakah hal tersebut mempunyai dampak yang baik atau buruk terhadap orang tersebut itu sendiri. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi orang lain tidak relevan, kecuali jika akibat terhadap orang lain tersebut akan mengubah dampak terhadap si pelaku tersebut.(2) Teori Ethical AltruismTeori ini lebih menitikberatkan kepada kepentingan dari pihak lain dari pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini, apakah seseorang telah melakukan sesuatu perbuatan yang secara moral terbilang benar atau salah bergantung bagaimana dampak dari perbuatan tersebut terhadap pihak lainnya. Perbuatan tersebut dianggap benar jika berdampak baik bagi pihak lain. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana dampak dari perbuatan tersebut bagi si pelakunya tidak relevan untuk dipertimbangkan, kecuali jika bagaimana dampak terhadap pihak lain tersebut mempunyai dampak yang dapat membalikkan dampak terhadap si pelaku tersebut.(3) Teori UtilitarianismTeori ini lebih menitikberatkan kepada manfaat dari setiap tindakan terhadap seluruh atau sebagian besar orang. Menurut teori ini, benar atau salah sesuatu perbuatan diukur dari apakah perbuatan tersebut berdampak baik atau buruk kepada setiap orang, baik terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri.Tindakan monopoli itu memang harus diatur oleh hukum, karena dengan praktek bisnis yang berdasarkan atas monopoli mempunyai banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut :[49](a) Ketinggian hargaDengan monopoli akan terjadi suatu ketinggian harga-harga di pasar. Tingginya harga ini diakibatkan oleh tidak adanya kompetisi pasar. Hal ini akan mendorong timbulnya inflasi sehingga dapat merugikan masyarakat secara luas.(b) Excess profitKarena tidak ada saingan, maka dengan monopoli, suatu harga dapat ditentukan seenak-enaknya, sehingga monopoli tersebut sangat berpotensial timbulnya keuntungan yang berlebih-lebihan, Karena itu pula, suatu monopoli dianggap sebagai suatu pranata ketidakadilan.(c) EksploitasiEksploitasi dapat terjadi baik terhadap buruh dalam bentuk upah, tetapi terlebih-lebih terhadap konsumen, karena rendahnya mutu produk dan hilangnya hak pilih dari konsumen, karena tidak ada kompetisi di antara pihak produsen barang.(d) PemborosanPerusahaan monopoli cenderung kepada pemborosan karena tidak beroperasi pada everage cost yang minimum. Hal ini menyebabkan ketidakefisienan perusahaan, dan akhirnya cost tersebut ditanggung konsumen.(e) Entry barrierMonopoli akan menguasai pangsa pasar yang besar. Hal ini akan mengakibatkan perusahaan lain terhambat untuk bisa masuk ke bidang-bidang operasi perusahaan monopoli tersebut, dan gilirannya nanti akan mematikan perusahaan kecil dan/atau perusahaan pemula.(f) Ketidakmerataan pendapatanMonopoli dapat mengakibatkan timbulnya unsur akumulasi modal dan pendapatan dari usaha monopoli.