hukum adat betawi yang menggunakan roti...

105
HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: DIAN RANA AFRILIA NIM. 1111043100001 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015M/ 1436 H

Upload: lethuy

Post on 13-Jun-2018

246 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA

DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan

Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DIAN RANA AFRILIA

NIM. 1111043100001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015M/ 1436 H

Page 2: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

santumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, September 2015

28 Dzulhijjah 1436

Dian Rana Afrilia

Page 3: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF
Page 4: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF
Page 5: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

i

ABSTRAK

DIAN RANA AFRILIA : 1111043100001. HUKUM ADAT BETAWI YANG

MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Kampung Pisangan

Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan),

skripsi. Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Progam Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Masalah roti buaya yang sudah muncul sejak lama ini merupakan adat

kebiasaan yang terjadi di masyarakat Betawi menjelang seserahan pernikahan,

beberapa masyarakat Betawi memang menyertakan roti buaya dalam seserahan

pernikahannya. Roti buaya ini diklasifikasikan sebagai adat kebiasaan yang tidak

ada dalam hukum Islam. Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui status hukum

adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan menurut

hukum Islam.

Penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif kulitatif yaitu

mendeskripsikan dengan menggunakan pendekatan “penelaahan”. Selain itu,

penelitian ini juga menggunakan pendekatan normatif dengan tujuan untuk

menemukan kebenaran dari berbagai data yang didasarkan pada norma-norma

atau aturan-aturan yang digariskan oleh hukum Islam dan juga pendapat-pendapat

para Ulama yang berkaitan dengan masalah roti buaya.

Dalam hukum Islam pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak

menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama

tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pendekatan yang dilakukan di atas, hasil penelitian

menunjukan bahwa dalam hal roti buaya yang dilakukan dalam seserahan

pernikahan adat Betawi menurut hukum Islam bila hanya tradisi tidak ada

pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai

dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

Kata Kunci : „Urf, Pandangan Ulama

Pembimbing : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo. M.A

Daftar Pustaka : 1976-2015

Page 6: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

ii

بسم اهلل الرحمن الرحيم

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tak ada kata yang pantas penulis ucapkan

selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga

yang diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA

DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Kampung Pisangan Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar

Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)” ini dengan baik. Sholawat serta salam

semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW juga kepada

keluarga, sahabat, dan umatnya yang senantiasa mengikuti jejak dan langkah

beliau sampai hari akhir nanti, amiin.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh

ujian Sarjana Syariah. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih

banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, hal ini

dikarenakan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.

Setelah perjuangan yang begitu berat dan melelahkan, akhirnya skripsi ini

selesai juga ditulis. Penulis sadar bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak dan semoga amal baik yang telah diberikan kepada

penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Untuk itu dengan segala kerendahan

hati, penulis ingin meyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang turut membantu, khususnya:

Page 7: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

iii

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si., selaku ketua Progam Studi

Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag., Lc., M.A.,

selaku sekretaris Progam Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A., selaku dosen

pembimbing yang telah banyak memberikan masukan ilmu, waktu, dan

semangat serta memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini.

4. Bapak Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.A., selaku dosen penasehat akademik

yang telah membimbing semasa kuliah.

5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga

dan pikirannya untuk medidik penulis agar kelak menjadi manusia yang

berilmu dan berguna.

6. Kepada para tokoh-tokoh yang telah memberikan bantuan yang berharga

berupa wawancara dan juga kepada para warga Kampung pisangan yang

sudah memberikan waktunya untuk proses wawancara dalam penelitian ini.

7. Segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang dijadikan

referensi dalam penulisan skripsi ini.

Page 8: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

iv

8. Sang motivator yaitu kedua orang tua penulis, Ayahanda Noor Moechtar dan

Ibunda Sri Wahyuni yang sangat penulis hormati dan cintai dengan

mengerahkan seluruh kasih sayang, bimbingan serta nasehat dan doanya,

sehingga penulis mampu berdiri kokoh seperti sekarang. Untuk mas-masku,

Alfin Marilif, Bay Haqi, dan Cira Adlin yang telah memberi dorongan agar

penulis tidak berputus asa dan terus berjuang sampai berhasil.

9. Teman seperjuangan menuntut ilmu Mila, Ratna, Resti, Sasa, Ratu, Uje,

Iwan, Hamdi, Rifa’i dan seluruh teman di PMH angkatan 2011, serta para

senior. Terima kasih atas semua persahabatan yang telah kita rajut selama

ini. Terima kasih atas canda tawa dan dorongan semangatnya, semoga

persahabatan kita tidak akan pernah putus oleh jarak dan waktu.

10. Sahabat terbaikku, Anis, Amel, Meta, Yovi, yang setia mendengarkan

curahan hati penulis selama mengerjakan skripsi ini.

Akhirnya atas jasa dan bantuan dari semua pihak, baik berupa moril maupun

materi, penulis haturkan terima kasih. Penulis berdoa semoga Allah SWT

membalasnya dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan sebagai amal

jariyah yang tidak akan pernah surut mengalir pahalanya dan mudah-mudahan

skripsi ini dapat bermanfaat dan berkah bagi penulis dan semua pihak.

Jakarta,03 September 2015

(Penulis)

Page 9: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. v

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................... 10

D. Review Studi Terdahulu ......................................................... 12

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan ............................. 14

F. Sistematika Penulisan ............................................................. 18

BAB II : TINJAUAN UMUM ‘URF

A. Definisi ‘Urf ........................................................................... 21

B. Pembagian ‘Urf ...................................................................... 27

C. Kedudukan ‘Urf dalam Penetapan Hukum ............................ 32

D. Syarat-syarat ‘Urf ................................................................... 37

E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf .............................................. 45

F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia ......... 49

BAB III : PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI

YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM

SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN

MASYARAKAT

A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan ........... 53

B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan .................. 55

C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam Seserahan

pernikahan .............................................................................. 58

Page 10: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

vi

BAB IV : ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG

MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM

SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM

A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang

Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

Pernikahan .............................................................................. 60

B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang

Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

Pernikahan .............................................................................. 68

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................. 75

B. Saran ....................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 77

LAMPIRAN ................................................................................................... 81

Page 11: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Syariat dipahami sebagai segala ketentuan yang dikeluarkan dari

Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an dan Sunnah diakui sebagai sumber kewahyuan

yang valid. Pemahaman dan penafsiran kedua sumber kewahyuan ini disebut

dengan hukum fikih. Hukum fiqh inilah yang disebut dengan Hukum Islam.1

Bila kata hukum ini dihubungkan dengan kata Islam atau Syara‟, maka

hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan

Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini

mengikat untuk semua manusia yang beragama Islam.”2

Syariat dapat dikatakan adalah hukum yang ditetapkan Allah. Ketika

ketetapan Allah tersebut identik dengan firman-Nya maka dapat dipahami syariat

itu ialah wahyu, dan ketika wahyu itu dikaitkan dengan peranan Rasul yang

membawanya maka syariat itu dipahami sebagai ketentuan Al-Qur‟an dan

Sunnah.3

Semua ketentuan wahyu ini telah selesai dijelaskan oleh Nabi baik tujuan

maupun tekhnis pelaksanaannya. Itulah ajaran pokok agama Islam untuk

kepentingan manusia. Segala penjelasan beliau terhadap hukum-hukum itu disebut

1Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 25.

2 Ahmad Mukri Aji, Kontekstualisasi Ijtihad Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam

Di Indonesia, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010), cet. 1, h. 117.

3 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 27.

Page 12: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

2

dengan Sunnah, yang juga berlaku mengikat sebagai aturan meskipun tidak

tertutup kemungkinan kecerdasan beliau ikut berperan dalam membentuk aturan,

tetapi hal ini dilegalisir oleh Al-Qur‟an sebagai kebenaran. Segala persoalan

hukum yang dikeluarkan dengan sistematis dari Al-Qur‟an dan Sunnah ini disebut

dengan hukum fikih, yang mencakup segenap aspek dari perbuatan manusia.4

Hukum yang diturunkan oleh Allah kepada manusia tidak lain kecuali

untuk kemaslahatan dan keselamatan manusia baik di dunia maupun di akhirat

kelak. Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau menaati hukum-

hukum Allah secara konsekuen. Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum-

hukum Allah yang harus kita taati ada yang bersifat perintah tegas, yaitu tuntutan

untuk dikerjakan oleh kita secara tegas dan pasti yang disebut dengan wajib

seperti shalat dan puasa. Adakalanya perintah ini bersifat tidak tegas, yaitu

tuntutan untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat

sunnah. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan

secara pasti yang disebut dengan haram seperti berzina. Dan adakalanya berupa

tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak pasti artinya tidak harus

kita tinggalkan tetapi meninggalkannya dipandang lebih baik seperti makan

jengkol dan petai. Dan adakalanya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya

seseorang diberikan keleluasan untuk memilih antara mengerjakan atau

meninggalkan seperti makan dan minum.5

4 Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 29.

5 Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. 1, h. 126.

Page 13: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

3

Secara teoritik hukum-hukum syari‟at didasarkan pada serangkaian

manfaat dan mudharat nyata, dan bahwa akal atau nalar manusia memiliki

kemampuan untuk secara mandiri menemukan manfaat-manfaat dan mudarat-

mudarat yang melekat pada sesuatu. Karena itu, maka dengan sendirinya akal

mampu menemukan maksud-maksud dan kriteria-kriteria hukum agama melalui

ijtihad dan ra‟yu.6

Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur‟an menggunakan beberapa cara dan

ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut

suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.7

Untuk memahami semua itu diperlukan penalaran dan kemampuan intelektual

yang tinggi, yang dalam studi Islam merupakan bagian dari telaah Ushul Fikih.

Dalam ilmu inilah dapat diketahui ketetapan-ketetapan Allah, mana yang berupa

perintah, mana yang larangan dan mana pula yang berupa pilihan dan yang

lainnya. Bahkan dengan ilmu ini pula akan dapat diketahui dengan jelas tujuan

(maqashid) dari Syari‟at Islam itu.8

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Al-Qur‟an sebagai sumber utama atau

pokok Hukum Islam, berarti Al-Qur‟an itu menjadi sumber dari segala sumber

hukum. Karena itu, jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Qur‟an,

maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan tidak boleh melakukan sesuatu

yang bertentangan dengan Al-Qur‟an. Hal ini berarti bahwa sumber-sumber

6Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA

Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 64.

7Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 77.

8 Afifi Fauzi Abbas, Baik Dan Buruk Dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA

Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 107.

Page 14: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

4

hukum selain Al-Qur‟an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-

Qur‟an.9

Dengan demikian, bila Al-Qur‟an disebut sebagai sumber asli bagi hukum

fikih, maka Sunnah disebut sebagai bayani.10

Kedudukan Sunnah sebagai bayani

atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Qur‟an, tidak diragukan

lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi

ditugaskan Allah. Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan

sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur‟an dan mempunyai kekuatan

untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.11

Dengan demikian di dalam Hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu;

pertama, kaidah-kaidah ushul fiqh, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul

fiqh, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum (takhrijal-ahkam) dari

sumbernya, Al-Qur‟an dan/atau Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-

kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan

pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak

jelas hukumnya di dalam nash.

Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah

fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum islam, hanya saja kaidah-kaidah

ushul sering digunakan di dalam takhrij al-ahkam, yaitu mengeluarkan hukum

dari dalil-dalilnya (al-Qur‟an dan sunnah). Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering

9 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 86.

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 99.

11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 4, h. 111.

Page 15: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

5

digunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus

yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia.12

Hukum Islam sebagai suatu sistem hukum yang lengkap dan universal

perlu dipahami secara menyeluruh oleh segenap umat manusia, karena kesalahan

dalam memahami hukum Islam akan berdampak pada semakin menjauhnya

hukum dari manusia, atau terlepasnya fungsi pranata hukum dalam masyarakat.13

Semua hukum-hukum ini didasarkan kepada dalil (al-dalil), terdiri dari

firman (khitab) Allah dan Sunnah Rasulullah, ijma, qiyas, dan apa saja yang

menjadi sarana untuk sampai kepada dalil. Sebagaimana yang diatur dalam ilmu

Ushul Fikih, sebagai prosedur ilmiah mengeluarkan kandungan hukum dari unit-

unit dalil. Ilmu fikih ialah mengetahui hukum-hukum syari‟ah yang jalan

penetapannya melalui ijtihad.

Usaha-usaha untuk memahami hukum dari dalilnya, maupun melahirkan

hukum yang baru disebut dengan ijtihad (al-ijtihad). Perkembangan dan

perubahan masyarakat adalah faktor penting lahirnya ijtihad, sebab pada saat itu

terjadi pula kasus baru yang berbeda dengan tentunya memerlukan aturan

pula.Segala aturan yang dikeluarkan mujtahid maka hukum tersebut adalah

Hukum Islam.14

12

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 4.

13

Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran Hukum

Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012), cet. 2, h. 14.

14

Junaidi Lubis, Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks

Perubahan Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 31.

Page 16: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

6

Hukum-hukum ijtihadiyah yang ditentukan berdasarkan „urf akan

mengalami perubahan jika ‟urf yang menjadi dasar mengalami perubahan.

Perubahan-perubahan atas hukum-hukum yang dibina atas „urf berubah menurut

masa dan tempat, asal tetap dalam bidang-bidang perbuatan-perbuatan yang

dibolehkan. Dalam fikih terdapat hukum yang didasarkan kepada ‟urf yang

terdapat pada masa imam mazhab. Terdapat sebagian kalangan muta‟khirin ahli

fikih bertentangan dengan sebagian imam atau ulama mutaqaddimin, yang

berpokok pangkal pada perbedaan „urf yang berlaku ketika itu. Hukum berbeda

dikarenakan perbedaan „urf dalam suatu negara dan perubahan „urf karena

perubahan masa, dan perbedaan pendapat di antara mereka terjadi karena

perbedaan tempat dan masa bukan perbedaan hujah dan alasan. Dengan demikian,

berfatwa dengan hukum tersebut hukum-hukum yang dibina para fuqoha

berdasarkan „urf pada masa kini yang urf‟nya sudah berubah merupakan suatu

kesalahan dalam agama.15

Kehidupan manusia disebut berubah karena adanya perubahan pada saat

adanya perbedaan waktu. Perubahan pada manusia terjadi pada satu persatu

individu dan menyebabkan pula pada kumpulan individu. Individu memiliki sifat

bawaan yang menjadi energi dirinya melakukan kegiatan. Sifat bawaannya yang

terutama adalah perkembangan. Sebagai makhluk hidup manusia bersifat

berkembang.

Perubahan sosial ialah perubahan pola-pola budaya (tata nilai), struktur-

struktur sosial, dan perilaku sosial pada rentang waktu. Dalam definisi ini

15

Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2010), cet. 1, h. 49.

Page 17: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

7

Robertson meletakan perubahan pada tiga aspek, kultur, struktur, dan nilai yang

dikaitkan dengan waktu.

Persoalan waktu menjadi bagian penting dari sebuah perubahan.Dalam

Perspektif Evoluionis perubahan masyarakat dipandang sebagai suatu yang

alamiah, terjadi dimana saja, niscaya, dan merupakan ciri tak terhindarkan dari

realitas sosial.16

Perubahan itu sendiri bisa terjadi karena perubahan yang

disebabkan oleh kejadian-kejadian alam dan bisa terjadi karena usaha-usaha

manusia itu sendiri. Adapun bentuk-bentuk perubahan itu sendiri, berbagai macam

bentuknya yang disimpulkan oleh Ibnu Qayyim dengan ungkapannya:

تغير الفتوى بحسب تغير الازمنة و الامكنة والاحوال والنيات والعوائد

Artinya: “fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan waktu,

tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan.”17

Dalam kajian hukum Islam terutama dalam masalah-masalah kontemporer

masalah perubahan sosial sangat menjadi perhatian dalam menetapkan hukum

yang mencerminkan kebutuhan masa kini. Dalam kaitan ini beberapa kaidah

tentang baik dan buruk yang berkaitan dengan perubahan sosial telah diinduksi

oleh para ahli hukum Islam dari nash‟syara, seperti contoh kaidah berikut:

ا لعا دة محكمة

Artinya: “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi

hukum.”18

16

Junaidi Lubis, Islam Dinamis ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam Konteks Perubahan

Masyarakat, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. 1, h. 37.

17

A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, h. 108.

18

Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.

Page 18: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

8

Hal ini bermakna bahwa, status adat kebiasaan yang baik yang telah

berlaku ditengah-tengah masyarakat, berfungsi sebagai salah satu syarat dalam

suatu transaksi yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah lain yang erat juga

hubungannya dengan masalah perubahan sosial adalah

التنكر تغير اال حكام بتغير اال زمان

Artinya: “tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum-hukum itu

disebabkan oleh perubahan sosial (zaman).”19

Yang dimaksud dengan “al-ahkam” di sini adalah al-ahkam al-ijtihadiyah

al-mabniyah ala al-urf wa al-mashlahah (hukum-hukum berdasarkan hasil

pemikiran dengan mempertimbangkan tradisi yang baik dan kemashlahatan

masyrakat).20

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan

peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai

akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas

lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi

merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat atau tradisi bermakna

kebiasaan perilaku yang dijumpai secara turun-temurun. Karena bermula dari

kebiasaan dan itu merupakan warisan dari pendahulu, maka akan terasa sangat

ganjil ketika hal itu tidak boleh dilakukan atau dilakukan tapi tidak sesuai dengan

kebiasaan yang berlaku.

19

Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar

al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.

20

Afifi Fauzi Abbas, Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, (Ciputat: ADELINA

Bersaudara, 2010), cet. 1, h. 208.

Page 19: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

9

Masyarakat Indonesia memiliki beragam adat dan tradisi yang berbeda

dengan negara-negara lain, bahkan dari satu daerah ke daerah yang lain.

Beragamnya agama, bahasa dan budaya adalah keniscayaan dalam konteks

keindonesiaan.21

Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau

pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat

itu berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan,

pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.

Seperti dalam perkawinan adat Betawi seorang laki-laki yang ingin menikahi

seorang perempuan diharuskan membawa seserahan ketika akad nikah dimana

dalam seserahan tersebut berisi roti buaya yang merupakan ciri atau tradisi dari

perkawinan adat betawi. Sebuah perkampungan Betawi yaitu Kampung Pisangan

yang terletak di Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta

Selatan dimana masyarakatnya sangat memegang teguh adat kebudayaannya dan

menjalankan kebudayaan tersebut, terutama pada bidang pernikahan mereka yang

menggunakan roti buaya yang menjadi salah satu bagian seserahan yang diberikan

dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Adapun hal yang penulis sebutkan di atas

nampaknya telah terjadi sejak lama dan telah mengakar dan membudidaya. Hal ini

harus diklarifikasi tentang kebenarannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk

mengangkatnya menjadi sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul sebagai

berikut : “Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya dalam Seserahan

21

Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel diakses pada 27 Febuari 2015 dari

https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/

Page 20: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

10

Pernikahan Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Kampung Pisangan

Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan)”.

B. Pembatasan dan PerumusanMasalah

1. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini tidak melebar dan tetap fokus, maka

dalam penulisan ini penulis ingin membatasi masalah yang akan dibahas oleh

penulis, yakni seputar pengertian „urf, pandangan Ulama dan status hukum adat

Betawi dalam konteks pernikahan yang menggunakan roti buaya dalam

seserahannya.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka penulis merumuskan

masalahnya sebagai berikut :

a. Bagaimana perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai

sekarang?

b. Bagaimana pandangan Ulama tentang „urf atau adat ?

c. Bagaimana status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya

dalam seserahan pernikahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka

dapat diakui bahwa :

1. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan

Page 21: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

11

penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui perkembangan „urf atau adat dari zaman nabi sampai

sekarang.

b. Untuk mengetahui pandangan Ulama yang berkaitan dengan „urf atau adat.

c. Untuk mengetahui status hukum adat Betawi yang menggunakan Roti

Buaya dalam seserahan pernikahan.

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan penulisan di atas penelitian diharapkan juga dengan memberi

manfaat antara lain:

a. Manfaat Akademis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam

perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan.

2) Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi

peneliti.

3) Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat

digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.

b. Manfaat Praktis

1) Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum fikih.

2) Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas

tentang status hukum adat Betawi yang menggunakan roti buaya

dalam seserahan pernikahan.

Page 22: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

12

3) Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan

bagi penulis, khususnya bidang hukum fikih.

D. Review Studi Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan

kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan

terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas

dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah hukum

adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan.

Sedangkan skripsi yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:

NO. NAMA/ NIM JUDUL PEMBAHASAN

1. Muhasim/

204044103048

Tradisi Kudangan

Perkawinan Betawi

Dalam Perspektif

Hukum Islam (Studi

Kasus Kelurahan

Benda Baru

Kecamatan

Pamulang)

Penulis membahas tentang

tradisi perkawinan adat

Betawi yang dimana ada

tradisi kudangan yaitu

permintaan pihak

perempuan yang

bersumber dari orang tua

dimana ketika masih kecil

meminta sesuatu kepada

orang tuanya tetapi tidak

dapat memenuhinya maka

permintaan tersebut

dijadikan salah satu syarat

Page 23: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

13

yang harus dipenuhi oleh

pihak laki-laki yang akan

menikahi perempuan

tersebut.

2. M. Irfan

Juliansah/

104043101283

Tata Cara Khitbah

dan Walimah pada

Masyarakat Betawi

Kembangan Utara

Jakarta Barat

Menurut Hukum

Islam

Penulis ini lebih

memfokuskan

pembahasannya kepada

masalah khitbah, walimah,

dan biaya pernikahan

dalam pandangan Imam

mazhab dengan

menemukan deskripsi

yang shahih dan valid

mengenai konsep Islam

dalam mengatur tentang

proses dan tata cara

pelaksanaan pernikahan

yang sesuai dengan

tuntunan yang telah

diberikan oleh Allah dan

Rasul-Nya, serta terhindar

dari campur tangan dan

budaya manusia.

Page 24: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

14

3. Andy Pathoni Tinjauan Hukum

Islam Terhadap

Tradisi Khutbah

Penyerahan dan

Khutbah Penerimaan

dalam Perkawinan

Adat Betawi (Studi

Kasus di Setu

Babakan Kelurahan

Srengseng Sawah)

Penulis ini

mengetengahkan sebuah

tradisi dari perkawinan

adat Betawi khususnya

daerah kelurahan

Srengseng Sawah dalam

hal melaksanakan

sambutan khutbah

membawa uang belanja

dan khutbah menerima

uang belanja.

Masih ada beberapa skripsi yang menjelaskan tentang pernikahan adat

betawi. Salah satunya yang sudah disebutkan di atas. Namun skripsi tersebut tidak

ada hubungannya dengan skripsi penulis, dan tidak menjelaskan pandangan

Hukum Islam mengenai adat Betawi yang menggunakan Roti Buaya dalam

seserahan pernikahan, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan mengambil judul Hukum Adat Betawi yang Menggunakan Roti Buaya

dalam Seserahan Pernikahan Perspektif Hukum Islam.

E. Metode Penelitian dan Tekhnik Penulisan

1. Metode Pendekatan

Penelitian dengan pendekatan kualitatif menekankan analisis proses dari

proses berpikir secara induktif yang berkaitan dengan dinamika hubungan

Page 25: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

15

antarfenomena yang diamati, dan senantiasa menggunakan logika ilmiah.

Penelitian kualitatif bertujuan megembangkan konsep sensitivitas pada masalah

yang dihadapi, menerangkan realitas yang berkaitan dengan penelusuran teori dari

bawah (grounded theory) dan mengembangkan pemahaman akan satu atau lebih

dari fenomena yang dihadapi. Penelitian kualitaif merupakan sebuah metode

penelitian yang digunakan dalam mengungkapkan permasalahan dalam kehidupan

kerja organisasi pemerintah, swasta, kemasyarakatan, kepemudaan, perempuan,

olah raga, seni dan budaya, sehingga dapat dijadikan suatu kebijakan untuk

dilaksanakan demi kesejahteraan bersama.22

Penelitian kualitatif adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan lebih

mengambil bentuk kata-kata atau gambar daripada angaka-angka. Hasil penelitan

tertulis berisi kutipan-kutipan dari data untuk mengilustrasikan dan menyediakan

bukti presentasi.23

2. Metode Penelitian

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max

Weber yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala

sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan

perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut.

Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan

kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran

22

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2013), cet. 1, h. 80.

23

Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),

cet. 2, h. 3.

Page 26: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

16

mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis

lagi dengan menggunakan teori yang objektif.24

3. Objek Penelitian

Yang menjadi objek penelitian ini adalah masyarakat Kampung Pisangan

Kelurahan Ragunan Kecamatan Pasar Minggu Kotamadya Jakarta Selatan, serta

buku-buku, litaratur-liteartur, dan kitab-kitab lainnya yang ada relevansinya

dengan judul skripsi ini.

4. Jenis Data

a. Data Primer

Data primer yang digunakan sebagai acuan dalam menyusun skripsi ini

adalah wawancara secara langsung dengan masyarakat yang menggunakanroti

buaya yang menjadikan salah satu bagian seserahan dalam perkawinannya yang

diberikan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan.

b. Data Sekunder

Al-Qur‟an dan al-Hadits, serta buku-buku lainnya yang dapat mendukung

terselesaikannya skripsi ini.

5. Tekhnik Pengumpulan Data

Tekhnik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui tekhnik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan

24

Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Bumi

Aksara, 2013), cet. 1, h. 33.

Page 27: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

17

data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.25

Dalam hal ini peneliti

menggunakan tekhnik pengumpulan data diantaranya yaitu:

a. Studi Wawancara

Wawancara (interview) adalah pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan secara langsung oleh pewawancara (pengumpulan data) kepada

responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat

perekam.26

Dari berbagai sumber data yang penulis catat, penulis menghubungkan

satu data dengan data yang lainnya untuk dikontruksikan, sehingga menghasilkan

pola makna tertentu. Data yang masih diragukan penulis tanyakan kembali kepada

sumber data lama atau yang baru agar memperoleh ketuntasan dan kepastian.

b. Studi Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.27

Dalam

studi ini peneliti mengumpulkan buku harian, surat pribadi, laporan dan dokumen

lainnya dari kemudian peneliti menelaah dan meneliti kembali data-data tersebut

sehingga dapat dituangkan ke dalam skripsi ini.

6. Metode Analisis Data

Jika data telah terkumpul, dilakukan analisa data secara kualitatif dengan

menggunakan instrument analisis induktif yaitu berangkat dari pengetahuan atau

25

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,

2007), h. 224.

26

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet: 8,

h. 67-68.

27

Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, (Bandung: CV. Alfabeta,

2007), h. 240.

Page 28: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

18

fakta yang bersifat khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Metode ini

digunakan dalam menjelaskan pendapat-pendapat hukum Islam (al-Qur‟an dan al-

Hadits) dan juga para pendapat Ulama kemudian pendapat tersebut

dikomperasikan dengan motifasi serta alasan masyarakat setempat, kemudian

menarik kesimpulan umum dari pendapat-pendapat itu. Sedangkan komperatif

yaitu menganalisis data yang berbeda ataupun yang sama dengan jalan

membandingkan untuk mengetahui permasalahan perbedaan dan persamaan serta

faktor yang melatar belakanginya.

7. Tekhnik Penulisan

Adapun Teknik penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada

Prinsip-prinsip yang telah diatur dan di bukukan dalam buku pedoman penulisan

skiripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun

2012.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan skripsi ini, penulisan membaginya kepada

lima bab, yang garis besarnya penulis gambarkan sebagai berikut :

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penilitian,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Dengan berangkat

dari pendahuluan kita sudah mengetahui garis besar penelitian bab

pertama ini adalah sebagai pengantar. Adapun isi penelitian

Page 29: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

19

seluruhnya tertuang dalam bab II, III, IV. Inti dari penelitian

seluruhnya tertuang dalam bab V, berisi kesimpulan dan saran.

BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG ‘URF

Bab ini merupakan kajian teori tentang „urf, dengan menelusuri

berbagai kepustakaan mengenai „urf. Kajian teori ini dimaksudkan

untuk menjadi pisau bedah dan analisis terhadap data-data hasil

penelitian. Kajian ini meliputi pengertian „urf dalam Islam,

pembagian „urf dalam Islam, dalil-dalil mengenai „urf, syarat-

syarat „urf dalam Islam, pandangan ulama mengenai „urf, serta

contoh-contoh „urf yang bersifat kontemporer.

BAB III: PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI

YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM

SESERAHAN PERNIKAHAN DI KALANGAN

MASYARAKAT

Bab ini merupakan pembahasan tentang sejarah munculnya adat

Betawi yang menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan,

dengan menjelaskan beberapa argumentasi dan dasar pemikiran

masyarakat yang mempraktekan adat tersebut di lingkungannya,

serta mekanisme adat Betawi yang menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan.

BAB IV: ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI DALAM SESERAHAN

PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Page 30: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

20

Bab ini merupakan bagian analisis yang penulis lakukan terhadap

topik inti skripsi dengan menggunakan kajian bab II sebagai

deskripsi teoritik tentang „urf dan bab III sebagai variabel lain yang

menjadi setting di mana analisis ini dilakukan. Dari analisis tersebut

kemudian akan diambil beberapa kesimpulan. Atas dasar itu, bab ini

mencoba menguraikan bagaimana pendapat dan kritikan ulama

mengenai adat Betawi dalam menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahannya yang terjadi di kalangan masyarakat dan

status hukumnya.

BAB V: PENUTUP

Bab ini sebagai akhir dari karya ilmiah ini, yang memuat hasil

akhir atas kajian-kajian yang telah dilakukan dalam bentuk:

kesimpulan dan saran-saran.

Page 31: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

21

BAB II

TINJAUAN UMUM ‘URF

A. Pengertian al-‘urf

Dari segi kebahasan (etimologi) al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari

huruf „ain, ra‟, dan fa‟ yang berarti kenal. Dari kata ini muncul kata ma‟rifah

(yang dikenal), ta‟rif (definsi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan

kata „urf (kebiasaan yang baik).

Adapun dari segi terminologi, kata „urf mengandung makna:

عئ خاص عو ىفع حعازفاطيا ق , ا مو فعو شاع ب سازاعي ااعخا د اىاس

اع د س ع س ىاخبادز غ ااىيغت الحاىف1

Artinya : Sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka

mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka,

ataupun suatu kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu, bukan

dalam pengertian etimologi, dan ketika mendengar kata itu, mereka tidak

memahaminya dalam pengertian lain.

Kata „urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al-„adah

(kebiasaan), yaitu:

س ت باىقبه ااسخقسف اىف اطباع اىسي حيقخ ه ت اىعق ج2

Artinya : Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya

diterima oleh akal yang sehat dan watak yang benar.

Kata al-„adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan secara

berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.

1Abdul Wahab Kholaf, Ushul Fiqh, (t.t: Daar Arosyid, t.th), h.77.

2 Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu, Al Wajiz fii idhohi qawaid al

fiqh al Kulliyah, (Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M), h. 276.

Page 32: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

22

Dari penjelasan di atas dapat dipahami, al-„urf atau al-„adah terdiri atas

dua bentuk yaitu, al-„urf al-qauli (kebiasaan dalam bentuk perkataan) dan al-„urf

al-fi‟li (kebiasaan dalam bentuk perbuatan). „Urf dalam bentuk perbuatan,

misalnya, transaksi jual beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa

mengucapkan lafal ijab dan qabul. Demikian juga membagi mahar menjadi

“hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh „urf dalam bentuk perkataan,

misalnya, kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam

masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.3

Secara etimologi, „urf berarti “yang baik”. Para Ulama ushul fiqh

membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai

salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Adat didefinisikan dengan:

ت سعياقتعقي غ خنسز ساى اال4

Artinya : Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya

hubungan nasional.5

Kata „urf yang dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan adat

kebiasaan, namun para Ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar

yang kesimpulannya adalah sebagai berikut:

Al-„urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat manusia.

Demikianlah yang dikatakan oleh Imam Al Jurjani dalam At Ta‟rifat hal: 154,

kemudian beliau berkata: “Begitu jugalah makna al-„adah.”

3 Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 209.

4Ibnu Amir Hajj, at-Taqrir wa at-Tahbir, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1983 M), cet.

3, h. 282.

5 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 209.

Page 33: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

23

Meskipun arti kedua kata ini agak berbeda namun kalau kita lihat dengan

jeli maka sebenarnya keduanya adalah dua kalimat yang apabila bergabung maka

artinya berbeda namun apabila berpisah maka artinya sama, mirip dengan kata

Islam dengan iman.6

Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan secara

berulang-ulang menurut hukum akal, tidak dinamakan adat. Definisi ini juga

menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas, yang

menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur,

makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau permasalahan yang

menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran

yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti

cepatnya seorang anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman

berbuah di daerah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseotang

menjadi baligh dan kelambatan tanaman berbuah. Di samping itu, adat juga bisa

muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti korupsi, sebagaimana adat

juga bisa muncul dari kasus-kasus tertentu, seperti perubahan budaya suatu daerah

disebabkan pengaruh budaya asing.

Adapun menurut Ulama Ushul Fikih, „urf adalah:

فعو ه ا ف ق زق عادة ج7

Artinya : Kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun

perbuatan.

6 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih

Islami, (Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 104.

7 Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, al-Qawa‟id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii al-

Mazahib al-arba‟ah, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), juz 1, h. 314.

Page 34: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

24

Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, mengatakan bahwa

„urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf. Suatu „urf

menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada

pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana

yang berlaku dalam kebanyakan adat.8

Tentang berapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut

adat, tidak ada ukurannya dan banyak bergantung pada bentuk perbuatan yang

dilakukan tersebut. Hal ini secara panjang lebar dijelaskan al-Asyab wa al-

Nazhair.

Kata „urf pengertiannya tidak melihat arti segi berulang kalinya suatu

perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama

dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya dua sudut pandang berbeda ini

(dari sudut berulang kali, dan dari sudut dikenal) yang menyebabkan timbulnya

dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsip

karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah

berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang banyak; sebaliknya

karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak, maka perbuatan itu

dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian meskipun dua kata

tersebut dapat dibedakan tetapi perbedaannya tidak berarti.

Perbedaan antara kedua kata ini, juga dapat dilihat dari segi kandugan

artinya, yaitu: adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu pebuatan

dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenaisegi baik dan buruknya perbuatan

8 Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 210.

Page 35: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

25

tersebut. Jadi kata adat ini berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada

adat yang buruk. Definisi tentang adat yang dirumuskan Muhammad Abu Zahrah

dalam bukunya Ushul al-Fiqh cenderung ke arah pengertian ini, yaitu:

دخااع ع اساى ا قخاس اثيا زا يع جا9

Artinya : Apa-apa yang dibiasakan oleh manusia dalam pergaulannya dan

telah mantap dalam urusan-urusannya.

Kalau kata adat mengandung konotasi netral, maka „urf tidak demikian

halya. Kata „urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang

dilakukan, yaitu diakui, diketahui, dan diterima oleh orang banyak. Dengan

demikian, kata „urf itu mengandung konotasi baik.10

Dari adanya ketentuan bahwa „urf atau adat itu adalah sesuatu yang harus

telah dikenali, diakui, dan diterima oleh orang banyak, melihat ada kemiripannya

dengan ijma‟. Namun antara keduanya mendapat beberapa perbedaan yang di

antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma‟harus diakui dan diterima smua pihak. Bila

ada sejumlah kecil saja pihak yang tidak setuju, maka ijma‟ tidak tercapai.

(Hanya sebagian kecil ulama yang mengatakan bahwa ijma‟ yang tidak

diterima oleh beberapa orang saja, tidak mempengaruhi kesahihan suatu

ijma‟). Sedangkan „urf atau adat sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan

dan dikenal oleh sebagian besar orang dan tidak mesti dilakukan oleh semua

orang.

9 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Beirut; Dar al Fikr al „araby, 1958).

10

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 387.

Page 36: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

26

2. Ijma‟ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu

para mujtahid, dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kesepakatan

atau penolakannya. Sedangkan „urf atau adat terbentuk bila yang

melakukannya secara berulang-ulang atau yang mengakui dan menerimanya

adalah seluruh lapisan manusia, baik mujatahid atau bukan.

3. Adat atau „urf itu meskipun telah terbiasa diamalkan oleh seluruh umat

Islam, namun ia dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-

orang yang menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma‟ (menurut

pendapat kebanyakan ulama) tidak mengalami perubahan sesekali

ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke generasi berikutnya yang datang

kemudian.11

Adapun tentang pemakaiannya, „urf adalah sesuatu yang sudah menjadi

kebiasaan di kalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk

kata-kata atau perbuatan. Dan sesuatu hukum yang ditetapkan atas dasar „urf

dapat berubah karena kemungkinan adanya perubahan „urf itu sendiri atau

perubahan tempat, zaman, dan sebagainya. Sebagian mendasarkan asal itu pada

kenyataan bahwa, Imam Syafi‟i ketika di Irak mempunyai pendapat-pendapat

yang berlainan dengan pendapat beliau sendiri setelah pindah ke Mesir. Di

kalangan ulama, pendapat Imam Syafi‟i ketika di Irak disebut qaul Qadim, sedang

pendapat di Mesir adalah qaul Jadid.

Adapun alasan para ulama yang memakai „urf dalam menentukan hukum

antara lain:

11

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 389.

Page 37: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

27

1. Banyak hukum syariat, yang ternyata sebelumnya telah merupakan

kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan

keluarga dalam pembagian waris.

2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan,

ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12

B. Pembagian al-‘urf

Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan, „urf dapat dibagi dua

macam, yaitu:

1. „Urf qauli

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.

Kata waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk anak laki-

laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena tidak

ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan

(mu‟annats). Penggunaan kata walad itu untuk laki-laki dan perempuan,

(mengenai waris/ harta pustaka) berlaku juga dalam Al-Qur‟an, seperti dalam

surat an-Nisa‟ (4): 11-12, seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang

disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan anak

perempuan.

Dalam kebiasaan sehari-hari („urf) orang Arab, kata walad itu digunakan

hanya untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga dalam

12

A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 6, h.

162.

Page 38: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

28

memahami kata walad kadang digunakan „urf qauli tersebut. Umpamanya dalam

memahami kata walad pada surat an-Nisa‟ (4): 176:

س له ولد وله أخت فلها وصف ستفتىوك قل اهلل فتكم ف الكاللت إن امرإا هلك ل مار

ه فلهما الثلثان مما وإن كاوىا إخىة رجاال وهى رثهآ إن لم كه لها ولد فإن كاوتا اثىت ر

ء علم ه به اهلل لكم أن ضلىا واهلل بكل ش ووسآء فللذكر مثل حظ األوث

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara

perempuan. Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal …

Melalui penggunaan bukan „urf qauli, kata kalalah dalam ayat tersebut

diartikan sebagai “orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki”. Dalam hal ini

(dengan pemahaman „urf qaula), anak laki-laki dapat meng-hijab saudara-saudara

sedangkan anak perempuan tidak dapat.

Kata lahm artinya adalah “daging”, baik daging sapi, ikan, atau hewan

lainnya. Pengertian umum lahmun yang juga mencakup daging ikan ini terdapat

dalam Al-Qur‟an, surat an-Nahl (16); 14:

ت لبسىوها وري الفلك وهى الذ سخر البحر لتؤكلىا مىه لحما طرا وستخرجىا مىه حل

مىاخر فه ولتبتغىا مه فضله ولعلكم شكرون

Artinya : Allah yang memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat

memakan ikannya yang segar…

Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari-hari di kalangan orang

Arab, kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu, jika seseorang

bersumpah, “Demi Allah saya tidak akan memakan daging”, tetapi ternyata

Page 39: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

29

kemudian ia memakan daging ikan, maka menurut adat masyarakat Arab, orang

tersebut tidak melanggat sumpah.

2. „Urf fi‟li

Yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya, kebiasaan

jual beli barang-barang yang enteng (murah dan kurang begitu bernilai) transaksi

antara penjual dan pembeli cukup hanya menujukan barang serta serah terima dan

uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad

dalam jual beli, kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa

adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.13

Ditinjau dari segi jangkauannya, „urf dapat dibagi dua macam, yaitu:

1. Al-„Urf al-Amm

Yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi, sebagian besar

masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas. Misalnya, membayar ongkos

kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak

yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Demikian juga,

membayar sewa penggunaan tempat pemandian umum dengan harga tiket masuk

tertentu, tanpa membatasi fasilitas dan jumlah air yang digunakan, kecuali hanya

membatasi pemakaian dari segi waktunya saja.

2. Al-„Urf al-Khash

Yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus pada suatu masyarakat

tertentu, atau wilayah tertentu saja. Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi

13

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 390.

Page 40: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

30

menyebut kalimat “satu tumbuk tanah”, untuk menunjuk pengertian luas tanah 10

x 10 meter.

Demikian juga kebiasaan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintansi

sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua

orang saksi.

Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, „urf dapat pula dibagi

menjadi dua macam, yaitu:

1. Al-„Urf ash-Shahihah („Urf yang Absah)

Yaitu adat kebiasaan masyarakat yang sesuai dan tidak bertentangan

dengan aturan-aturan hukum Islam. Dengan kata lain, „urf yang tidak mengubah

ketentuan yang haram menjadi halal, atau sebaliknya, mengubah ketentuan halal

menjadi haram. Misalnya, kebiasaan yang terdapat dalam suatu masyarakat,

hadiah (hantaran) yang diberikan kepada pihak wanita ketika peminangan, tidak

dikembalikan kepada pihak laki-laki, jika peminangan dibatalkan oleh pihak laki-

laki. Sebaliknya, jika yang membatalkan peminangan adalah pihak wanita, maka

“hantaran” yang diberikan kepada wanita yang dipinang dikembalikan dua kali

lipat jumlahya kepada pihak laki-laki yang meminang.

Demikian juga, dalam jual beli dengan cara pemesanan (inden), pihak

pemesan memberi uang muka atau panjar atas barang yang dipesannya.14

2. Al-„Urf al-Fasidah („Urf yang Rusak/ Salah)

Yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya,

namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.

14

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), cet. 2, h. 210.

Page 41: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

31

Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan

menghidangkan minuman haram, membunuh anak perempuan yang baru lahir,

kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).15

Adapun yang berkaitan dengan mu‟amalah perdata adalah kebiasaan yang

berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang

antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam

tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo,

dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih

peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah memberatkan, karena

keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupiah tersebut mungkin melebihi

bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang

bersifat tolong-menolong dalam pandangan syara‟, karena pertukaran barang

sejenis, menurut syara‟ tidak boleh saling melebihkan (HR. al-Bukhari, Muslim,

dan Ahmad Ibn Hanbal), dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang

berlaku di zaman Jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan riba al-nasi‟ah (riba

yang muncul dari hutang-piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini, menurut

Ulama Ushul Fikih, termasuk dalam kategori al-„urf al-fasid.

Contoh lain adalah dalam “penyuapan”. Untuk memenangkan perkaranya,

seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada hakim, atau untuk kelancaran

urusan yang dilakukan seseorang, ia memberikan sejumlah uang kepada orang

yang menangani urusannya. Hal ini juga termasuk al-„urf al-fasid.16

15

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 392.

16

Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 213.

Page 42: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

32

C. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum

Di dalam fikih Islam banyak terdapat hukum yang dibina atas dasar „urf

yang terjadi dimasa para Imam. Perbedaan „urf antara beberapa negeri menjadi

sebab terjadinya perbedaan fuqaha terdahulu, sebagaimana halnya perubahan „urf

menurut perjalanan waktu menjadi sebab pula terjadinya perbedaan pendapat

ulama yang datang kemudian dengan pendapat ulama pendahulunya.

Dalam hubungan ini, mereka mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan

itu adalah perubahan masa dan tempat, bukan perubahan hujjah dan dalil.17

Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-

Qarafi (w. 684 H/ 1285 M), harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku

dalam masyarakat setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak

bertentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat

tersebut. Seluruh Ulama mazhab, menurut Imam al-Syathibi (w. 790 H), dan

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah (691-751 H/ 1292-1350 M), menerima dan

menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada

nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi. Misalnya, seseorang

yang menggunakan jasa pemandian umum dengan harga tertentu, padahal

lamanya ia dalam kamar mandi itu dan berapa jumlah air yang terpakai tidak jelas.

Sesuai dengan ketentuan umum syari‟at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini

harus jelas. Akan tetapi, perbuatan seperti ini telah berlaku luas di tengah-tengah

masyarakat, sehingga seluruh Ulama mazhab menanggapi sah akad ini. Alasan

mereka adalah „urf „amali yang berlaku.

17

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 80.

Page 43: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

33

Para Ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-Qur‟an

diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat

ditengah-tengah masyarakat. Misalnya, kebolehan jual beli yang sudah ada

sebelum Islam. Hadits-hadits Rasulullah saw. Juga banyak sekali yang mengakui

eksistensi „urf yang berlaku di tengah masyarakat, seperti hadits yang berkaitan

dengan jual beli pesanan (salm). Dalam sebuah riwayat dari Ibn „Abbas dikatakan

bahwa ketika Rasulullah saw. Hjrah ke Madinah, beliau melihat penduduk

setempat melakukan jual beli (salm) tersebut. Lalu Rasulullah saw. Bersabda:

عي اى اجو عي ش عي و سيف ف م سفي ا سيف ف ح

Artinya : Siapa yang melakukan jual beli salam pada kurma, maka

hendaklah ditentukan jumlahnya, takarannya, dan tenggang waktunya. (HR. al-

Bukhari)18

Tidak diperselisihkan di kalangan fuqaha bahwa „urf yang shahih dapat

dijadikan dasar pertimbangan. Fuqaha dari mazhab yang berbeda

memperhatikannya dalam istinbath, saat menerapkan hukum, dan ketika menafsiri

teks-teks akad.

Dasar dipertimbangkannya „urf ini kembali kepada prinsip menjaga

kemaslahatan manusia dan menghilangkan kesulitan. Melalui hukum-hukumnya,

syari‟at memperhatikan hal ini. Islam mengakui adat yang benar yang ada di

kalangan bangsa Arab Jahiliyah, seperti kewajiban diyat, dan sebagian mu‟amalah

lain seperti mudharabah dan syirkah. Sebagian ulama memberikan dalil atas

kehujjahan „urf dengan sebuah riwayat dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam,

bahwa apa yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik pula di sisi Allah.

18

Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 215.

Page 44: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

34

Bagaimana pun juga,‟urf adalah hujjah syari‟at dan sumber fikih yang darinya

hukum-hukum digali. Para mujtahid, mufti, dan qadhi harus memperhatikannya.19

Kita dapat menemukan kemaslahatn yang telah ditetapkan oleh syari‟ah

agama, bahwa kemaslahatan tidak berada pada satu peringkat. Tetapi ia

bertingkat-tingkat, sebagaimana peringkat utama yang telah ditetapkan oleh para

ahli ushul fikih. Mereka membagai kemaslahatan itu menjadi tiga tingkatan

dengan urutan sebagai berikut: dharuriyyat, hajjiyat, dan tahsinat.20

Adapun beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhujjah

dengan „urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:

1. Firman Allah pada surah al-A‟raf (7): 199

خذ العفى وأمر بالعرف وأعرض عه الجاهله

Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan perintahkanlah orang mengerjakan

yang ma‟ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.”

Kata al-„urf dalam ayat tersebut, di mana umat umat manusia disuruh

mengerjakannya, oleh para Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik

dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat tersebut

dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik

sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.21

2. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 233

19

Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah Mengenal Syari‟ah Islam Lebih

Dalam, (Jakarta: Robbani Press, 2008), cet. 1, h. 260.

20

Yusuf Al Qardhawy, Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur‟an dan

As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, (Jakarta: Robbani Press, 1996), h. 27.

21

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.

Page 45: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

35

….وعل المىلىد له رزقهه وكسىهه بالمعروف ال كلف وفس إال وسعها

Artinya : “…Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada

para ibu dengan cara yang ma‟ruf…”

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nafkah yang harus diberikan

seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu

merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia

berada. Dalam hal ini adat istiadat membantu seorang mufti untu menjelaskan

pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.22

3. Firman Allah pada surah al-Baqarah (2): 180

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu

kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika meninggalkan harta yang banyak untuk

ibu bapak dan karib kerabatnya serta ma‟ruf.”

4. Sabda Nabi saw kepada Umar bin Khotob ketika ia mengadukan tentang

sebidang tanah yang didapatinya:

Dari Abdullah bin Umar berkata: Umar bin Khothob mendapatkan

sebidang tanah di daerah Khoibar, maka beliau mendatangi Rasulullah seraya

berkata: “Saya telah mendapatkan sebidang tanah yang selama ini saya belum

pernah memiliki harta seberharga semacam ini, maka bagaimanakah perintahmu

kepadaku? Maka Rasulullah bersabda: “Jika engkau mau, maka engkau tahan

pokoknya lalu engkau shodaqohkan hasilnya.” Maka Umar pun

menshodaqohkannya, namun tanah tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan juga

22

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 158.

Page 46: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

36

tidak boleh diwarisi, hasilnya dishodaqohkan untuk orang-orang faqir, kerabat

dekat, budak, mujtahid, tamu dan musafir, tidak mengapa bagi orang yang

mengurusinya untuk memakan sedikit hasilnya atau memberi makan pada orang

lain secara ma‟ruf serta bukan untuk memperkaya diri.” (HR. Bukhori 2772

Muslim 1632)23

5. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Abdullah bin Mas‟ud:

أخبسا أحد ب جعفس اىقطع، ثا عبد اهلل ب أحد ب حبو، حدث أب أحد ب ع،

حسا »عاش، ثا عاط، ع شز، ع عبد اهلل قاه : قاال: ثا أب بنس ب سي ا زأ اى

حس د اىي ع (ف

Yang menunjukan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum

muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.

6. Sabda Nabi saw kepada Hindun isteri Abi Sufyan ketika ia mengadukan

suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil member nafkah:

فقاىج سي عي طي اىي إى اىب ا سأة أب سف د ا عائشت قاىج: جاءث أبا ع : إ

ز ا ا سف ىد؟ فقاه ى عي فق عي ، فأ اى أطب جاح أ و عي جو شحح، ف

فق فخ ا اه أب سف حأخر ل أ : "ىا حسج عي سي عي طي اىي اىي عيل ب

باىعسف"عي ىدك 24

Artinya : Dari Aisyah sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata: Wahai

Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang sangat pelit, dia tidak

memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku kecuali apa yang ambil saya

sendiri tanpa sepengetahuannya, maka Rasulullah bersabda: “Ambillah yang

cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma‟ruf.”

(Ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut

„urf).

23

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih

Islami, (t.t: Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 106.

24

Ibnu Hibban, al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-

Risalah,1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.

Page 47: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

37

Al Qurtuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdapat pengakuan terhadap

„urf dalam penetapan hukum.

7. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukan bahwa

dengan melakukannya, mereka akan memperoleh mashlahat atau terhindar

dari mafsadah.25

Dari berbagai kasus „urf yang dijumpai, para Ulama Ushul Fikih

merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan „urf di antaranya adalah

yang paling mendasar:

1. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum.

2. Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

3. Yang lebih baik itu menjadi „urf sebagimana yang disyaratkan itu menjadi

syarat.

4. Yang ditetapkan melalui „urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash (ayat

dan atau hadits).26

D. Syarat-syarat ‘Urf

Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan

mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak

bertentangan dengan al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan

menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi

secara selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

Misal adat kebiasaan yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung

25

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

(Jakarta: Sinar Grafika: 2007), cet. 3, h. 78.

26

Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 216

Page 48: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

38

(al-mudharabah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa Arab

sebelum Islam, dan kemudian diakui oleh Islam sehingga menjadi hukum Islam.

Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama menyimpulkan bahwa adat istiadat yang

baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum, bilamana memenuhi beberapa

persyaratan:27

1. Adat atau „urf itu dinilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini

telah merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang sahih, sebagai persyaratan

untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang

ditinggal mati suaminya dibakar hidup bersama-sama pembakaran jenazah

suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu

kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula

tentang kebiasaan memakan ular.

2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.

Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:

ايفسدط ى اف ثدسااطذاةاداىعسبخعاحا

Artinya : Sesungguhnya adat yang diperhatikan itu adalah yang berlaku

secara umum. Seandainya kacau, maka tidak kan diperhitungkan.

Umpamanya kalau adat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat

hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam satu

transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis

mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada

27

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 156.

Page 49: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

39

kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku. Tetapi bila di

tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku (ini yang

dimaksud dengan kacau), maka dalam transaksi harus disebutkan jenis mata

uangnya.

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku)

pada saat itu bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu harus

telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka

tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan:

ا اظفىاال يع وحئ حراى فساىع ا د قاباىس ازقاى سخاخاى

Artinya : „Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)

hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang

kemudian.

Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: orang yang melakukan akad

nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar

lunas atau dicicil, sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi

seluruh mahar. Kemudian adat di tempat itu mengalami perubahan, dan orang-

orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul suatu kasus yang

menyebabkan terjadiya perselisihan antara suami istri tentang pembayaran

mahar tersebut.

4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini hanya

menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih, karena kalau adat itu

bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara‟

Page 50: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

40

yang pasti, maka ia termasuk adat yang fasid yang telah disepakati ulama

untuk menolaknya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai

landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan Ulama atas adat itu

bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf atau adat itu bukanlah

dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada yang

mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau maslahat.

Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama secara baik

oleh umat. Bila semua ulama sudah mengamalkannya, berarti secara tidak

langsung telah terjadi ijma‟ walaupun dalam keadaan sukuti.28

„Urf yang berlaku yang di tengah-tengah masyarakat adakalanya

bertentangan dengan nash (ayat dan atau hadits) dan adakalanya bertentangan

dengan dalil syara‟ lainnya. Dalam persoalan bertentangan „urf dengan nash, para

ahli ushul fiqh memerincinya sebagai berikut:

1. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat khusus/ rinci.

Apabila pertentangan ‟urf dengan nash khusus menyebabkan tidak

berfungsinya hukum yang dikandung nash, maka „urf tidak dapat diterima.

Misalnya, kebiasaan dizaman Jahilliyah dalam mengadopsi anak, di mana anak

yang diadopsi itu statusnya sama dengan anak kandung, sehingga mereka

mendapat warisan apabila ayah angkatnya wafat. „Urf seperti ini tidak berlaku dan

tidak dapat diterima.

28

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 401.

Page 51: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

41

2. Pertentangan „urf dengan nash yang bersifat umum.

Menurut Musthafa Ahmad al-Zarqa, apabila „urf telah ada ketika

datangnya nash yang bersifat umum, maka harus dibedakan antara „urf al-lafdhi

dengan „urf al-„amali. Apabila „urf tersebut adalah „urf al-lafdhi maka „urf bisa

diterima, sehingga nash yang umum itu dikhususkan sebatas „urf al-lafdhi yang

telah berlaku tersebut, dengan syarat tidak ada indikator yang menunjukan bahwa

nash umum itu tidak dapat dikhususkan oleh „urf. Misalnya, kata-kata shalat,

puasa, haji, dan jual beli, diartikan dengan makna ‟urf kecuali ada indikator yang

menunjukan bahwa kata-kata yang itu dimaksudkan sesuai dengan arti

etimologisnya.

Apabila „urf yang ada ketika datangnya nash yang bersifat umum itu

adalah„urf al-„amali, maka terdapat perbedaan pendapat Ulama tentang

kehujjahannya. Menurut Ulama Hanafiyyah, apabila „urf al-„amali itu bersifat

umum, maka „urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum, karena

pengkhususan nash tersebut tidak membuat nash itu tidak dapat diamalkan.

Pengkhususan itu, menurut Ulama Hanafi, hanya sebatas „urf al-„amali yang

berlaku, di luar itu nash yang betsifat umum tersebut tetap berlaku. Misalnya,

dalam sebuah riwayat Rasulullah, saw:

Page 52: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

42

ع ب ع اىسي زخض ف سا س ىيا اى

Artinya : Nabi melarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki manusia dan

memberi keringanan dalam jual beli pesanan. (HR. al-Bukhari dan Abu Daud)

Hadits Rasulullah ini, menurut Abu Yusuf, bersifat umum dan berlaku

untuk seluruh bentuk jual beli yang barangnya belum ada; kecuali dalam jual beii

pesanan. Termasuk dalam larangan ini adalah akad istitsna‟ (akad yang berkaitan

dengan produk suatu industri). Akan tetapi, karena akad istitsna‟ ini telah menjadi

„urf dalam masyarakat diberbagai daerah, maka ijtihad para ahli fiqh termasuk

Jumhur Ulama membolehkannya sesuai dengan „urf yang berlaku. Akan tetapi

Imam al-Qarafi berpendapat bahwa „urf seperti ini tidak dapat mengkhususkan

hukum umum yang dikandung nash tersebut.

1. „Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan

dengan „urf tersebut.

Apabila suatu „urf terbentuk setelah datangnya nash yang bersifat umum

dan antara keduanya terjadi pertentangan, maka seluruh ulama fiqh sepakat

menyatakan bahwa „urf seperti ini, baik yang bersifat lafzhi (ucapan) maupun

yang bersifat‟amali (praktik), sekalipun ‟urf itu bersifat umum, tidak dapat

dijadikan dalil dalam menetapkan hukum syara‟, karena keberadaan „urf ini

muncul ketika nash syara‟ telah menentukan hukum secara umum.

Apabila ada „urf yang datang setelah ada nash umum dan „urf itu

bertentangan dengan nash tersebut, seakan-akan „urf itu men-naskh-kan

(membatalkan) nash; sedangkan „urf tidak bisa men-naskh-kan nash. Dalam

Page 53: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

43

masalah ini para ulama fikih mengatakan. “‟urf yang datang kemudian dari nash

tidak bisa dijadikan patokan.”

Akan tetapi, apabila „illat suatu nash syara‟ adalah „urf itu sendiri, dalam

arti turunnya nash didasarkan atas „urf al-„amali sekalipun „urf itu baru tercipta

maka ketika „illatnash itu hilang, hukumnya pun berubah. Dengan demikian,

apabila „urf yang menjadi „illat hukum yang dikandung nash itu berubah, maka

hukumnya pun berubah. Pendapat ini dikemukakan Abu Yusuf. Misalnya, dalam

sebuah hadits dikatakan bahwa tanda-tanda kerelaan anak perawan ketika diminta

izinnya untuk dikawinkan oleh wali adalah diamnya. Artinya, apabila ayah anak

perawan itu mengatakan, “Saya akan menikahkan engkau dengan Fulan,” lalu

anak itu diam saja, maka diamnya ini menunjukan kerelaannya, karena sudah

menjadi tabiat wanita yang suka merasa malu untuk menyatakan kehendak

mereka secara terus terang. Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan zaman, para

wanita tidak malu lagi untuk menyatakan kehendaknya untuk kawin dengan

seseorang kepada ayahnya.29

Diterimanya „urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang

lebih luas lagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah-

masalah yang tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas,

istihsan, dan maslahah mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga

ada kaidah yang menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh

mujtahid berdasarkan „urf, akan berubah bilamana „urf itu berubah. Inilah yang

dimaksud oleh para Ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H)

29

Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 217.

Page 54: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

44

bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan

waktudan tempat.30

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa makna kaedah ini

menurut istilah para Ulama adalah bahwa sebuah adat kebiasaan dan „urf itu bisa

dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tidak terdapat

nash syar‟i atau lafadz shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.

Berkata Syaikh As Sa‟di dalam al Qawa‟id Al Jami‟ah hal: 35: “‟urf dan

adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar‟i yang belum ada

ketentuannya.”31

Oleh sebab itu, seluruh Ulama mazhab menjadikan „urf sebagai

dalil dalam menetapkan hukum, ketika nash yang menentukan hukum tersebut

tidak ada. Bahkan dalam pertentangan „urf dengan metode ijtihad lainnya, para

Ulama mazhab juga menerima „urf sekalipun kuantitas penerimaan tersebut

berbeda. Ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah menetapkan konsep „urf secara jelas,

tetapi Ulama Syafi‟iyyah dan Hanabillah tidak demikian.

Ungkapan para Ulama bahwa:

نت اىا ت بخغساالش حغساالحنا32

Artinya : Perubahan hukum bisa terjadi berdasarkan perubahan zaman

dan tempat.

Ungkapan tersebut hanya berlaku dalam masalah-masalah yang berkaitan

dengan adat kebiasaan manusia dan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan

30

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 157.

31

Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami FIqih

Islami, (t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009), cet. 1, h. 105.

32

Ahmad al-Hajj al-Kurdy, Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah, (Damaskus: Dar

al-Ma‟rif li al-TIba‟ah, 1979), h. 62.

Page 55: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

45

ijtihad, sperti qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah. Adapun hukum-hukum

yang bersifat mendasar dan ditetapkan dengan dalil qath‟i, tidak berubah karena

perubahan tempat dan zaman, seperti hukum shalat, zakat, jihad, dan haramnya

riba.33

E. Pandangan Ulama tentang ‘Urf

Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam

agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam

datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan

peraturan-peraturan tentang hidup. Faktor alam merupakan satu hal yang dapat

mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Kebudayaan mereka yang

paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab.

Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang

pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk

bangsa yang memiliki rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni

bahasa Arab (ayair) merupakan suatu seni yang paling indah yang amat dihargai

dan dimuliakan oleh bangsa tersebut.34

Pada masa Rasululah SAW, persoalan pada kapasitas masa itu direspon

berdasar wahyu sebagai rujukan umat dan kondisi masyarakat relatif stabil. Pada

masa Kibar sahabat, Shigar sahabat kemudian tabi‟in dan seterusnya persoalan

yang muncul semakin bervariasi seiring dengan perjalanan waktu dari generasi ke

generasi. Dan sungguhpun persoalan-persoalan tersebut bermunculan dengan

33

Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), cet. 1, h. 223.

34

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Al Husna Zikra, 1997), cet. 9,

h. 29.

Page 56: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

46

berbagai formatnya, akan tetapi syari‟ah dalam hal ini fikih tetap eksis dan

mampu menghadapi sebagai “sparing partnernya”.35

Lahirnya sejumlah mazhab hukum dengan berbagai corak dan perbedaan

cara dalam melakukan istinbath hukum, merupakan hal yang tidak bisa diingkari.

Karena, terjadinya perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari

perbedaan cara atau metode yang ditempuh oleh para tokoh mazhab dalam

melakukan istinbath.36

Kuatnya intervesi kultur dan kebiasaan masyarakat terhadap seorang

mujtahid ketika melakukan penggalian hukum, menyebabkan Imam Malik harus

banyak membangun basis hukumya berdasarkan kebiasaan-kebiasaan penduduk

Madinah. Abu Hanifah terpaksa harus banyak berbeda pendapat dengan murid-

muridnya, karena mereka dipisahkan oleh tempat dan tradisi yang berbeda. Imam

al-Syafi‟I ketika menuju ke Mesir melihat realitas masyarakat, yang kebiasaan

serta tradisinya berdeda dengan yang ia temui sebelumnya, maka ia harus segera

merubah sebagian besar hukum-hukum yang ia cetuskan di Baghdad, Irak.37

Para Ulama sepakat menolak „urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk

dijadikan landasan hukum.38

Pada dasarnya, semua ulama menyepakati

kedudukan al-„urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara‟. Akan tetapi, di

antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya

35 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003), h. 1.

36

Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.10.

37

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar

Jaya Offset, 2004), h. 168.

38

Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), cet. 1, h. 155.

Page 57: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

47

sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah adalah yang

paling banyak menggunakan al-„urf sebagai dalil, dibandingkan dengan ulama

Syafi‟iyyah dan Hanabilah.

Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu

bentuk istihsan itu adalah itihsan al-„urf (istihsan yang menyandarkan pada „urf).

Oleh ulama Hanafiyyah, „urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga

didahulukan atas nash yang umum, dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash.

Contoh dalam hal ini adalah tentang jual beli lebah dan ulat sutra. Imam

Abu Hanafi pada awalnya menetapkan haramnya menjual lebah dan alat sutra

dengan menggunakan dalil qiyas, yaitu meng-qiyas-kannya kepada kodok dengan

alasan sama-sama “hama tanah”. Namun kemudian terlihat bahwa kedua serangga

itu ada manfaatnya dan telah terbiasa orang untuk memeliharanya (sehingga telah

menjadi „urf). Atas dasar ini muridnya, yaitu Muhammad ibn Hasan al-Syaibani

membolehkan jual beli ulat sutra dan lebah tersebut, berdasarkan „urf.

Ulama Malikiyyah menjadikan „urf atau tradisi yang hidup di kalangan

ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari

hadis ahad.

Ulama Syafi‟iyyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak

menemukan ketentuan batasannya dalam syara‟ maupun dalam penggunaan

bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:

وم اىئ اىعسف بدزا ىافئ اىيغت سجع ف ف ىاضابط ى طيقا اىشسع

Artinya : Setiap yang datang dengannya syara‟ secara mutlak, dan tidak

ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada

„urf.

Page 58: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

48

Contoh dalam hal ini, umpamanya menentukan arti dan batasan tentang

tempat simpanan dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu

dan kadar haid, dan lain-lain. Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‟i

di Irak, dan qaul jadid (pendapat baru)-nya di Mesir, menunjukan diperhatikannya

„urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‟iyyah

Dalam menanggapi adanya penggunaan „urf dalam fiqh, al-Suyuthi

mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah:

ت حن اىعادة 39

Artinya : Adat („urf) itu menjadi pertimbangan hukum.

Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap

„urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas‟ud yang

dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya yaitu:

سي اى ازا داهلل حس ع حساف

Artinya : Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik,

maka yang demikian di sisi Allah adalah baik. (HR. Ahmad)

Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang

banyak), dalam arti orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak

menggunakan „urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang

disyaratkan”.

ط شسطا ف عسف ما ىشس عس اى40

Artinya : Sesuatu yang berlaku secara „urf adalah seperti suatu yang telah

disyaratkan.

39

Taj al-Din Abd al-Wahab al-Subki, Al-Asybah wa al-Nadzair JIlid 1, (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiyah, 1991), h. 50.

40

Abdul Karim Zidan, al-wajiz fil usulil fiqh, (Baghdad: Maktabh batsair, 1976), h. 255

Page 59: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

49

Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada „urf, maka kekuatannya

menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.41

F. Contoh-contoh ‘Urf yang sudah teradopsi di Indonesia

Keberadaan suatu kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dan

dengan demikian kehadiran syari‟at dalam hal ini hukum Islam (fikih) tidak serta

merta menggantikan posisi kebudayaan yang telah melekat pada masyarakat. Di

dalam masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai budayanya sangat sulit

untuk diterapkan nilai-nilai agama terutama sudut fikihnya.

Beberapa contoh kebiasaan yang tidak baik timbul dalam masyarakat

antara lain:

a. Masalah pembagian harta warisan pada daerah tertentu

b. Upacara sesajen untuk keselamatan dan berkah

c. Budaya dangdutan yang dipaksakan demi kehormatan sampai-sampai

menghutang untuk resepsi pernikahan

d. Budaya tukar cincin sebelum sebelum khitbah (lamaran) yang dianggap

telah sah bergaul bebas, dan lain-lain42

Selain itu juga, pembidangan hukum Islam itu sejalan dengan

perkembangan pranata sosial, sebagai norma yang berfungsi untuk memenuhi

kebutuhan manusia dalam kehidupan individual dan kolektif. Oleh karena itu,

semakin beragam kebutuhan hidup manusia dan semakin beragam pranata sosial,

maka semakin berkembang pula pemikiran fuqaha dan pembidangan hukum Islam

41

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 5, h. 399.

42

Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003), h. 27.

Page 60: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

50

pun mengalami perkembangan. Hal itu menunjukan, terdapat korelasi positif

antara perkembangan pranata social dengan pemikiran ulama secara sistematis.43

Adapun contoh adat kebiasaan yang berlaku secara umum dan dijalankan

oleh masyarakat, selama tidak bertentangan dengan syar‟i maka bisa dijadikan

hujjah, misalnya:

1. Apabila seseorang diberikan hadiah berupa makanan yang diletakkan di

atas piring (misalnya), maka ia wajib mengembalikan piring tersebut

(apabila menurut kebiasaan yang berlaku secara umum, piring tersebut

harus dikembalikan).

2. Apabila seseorang disewa tenaganya untuk bekerja harian di kebun atau di

sawah, maka ketentuan lamanya kerja sehari itu, dikembalikan keapada

kebiasaan yang berlaku dimasyarakat.44

Fikih telah dipandang sebagai identik dengan hukum Islam dan wahyu,

ketimbang sebagai produk pikiran manusia dan produk sejarah. Fikih telah

dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal ketimbang

sebagai ekspresi keragaman yang particular. Fikih telah mewakili hukum dalam

bentuk cita-cita ketimbang sebagai respon atau refleksi kenyataan yang ada secara

realis.45

43

Taufiq dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Logos,

1998), h. 115.

44

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar

Jaya Offset, 2004), h. 178.

45

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 101.

Page 61: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

51

Untuk melihat bagaimana aplikasi teori penalaran fikih yang ditempuh

oleh ulama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul, salah satu

caranya adalah dengan menelisik berbagai produk pemikiran hukum yang

dikeluarkan oleh para ulama, khususnya fatwa hukum mereka.46

Untuk melihat pengaruh factor social budaya terhadap ulama, baiklah kita

lihat kasus Indonesia modern dalam hal ini fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia

(MUI). Sejak berdirinya pada tahun 1975 hingga tahun 1988, MUI telah

mengeluarkan lebih dari 38 buah fatwa yang isinya mencakup banyak bidang

kehidupan: Ibadah, perkawinan dan keluarga, makanan, kebudayaan, soal

hubungan antar agama, soal-soal kedokteran, keluarga berencana, soal gerakan

sempalan, dll. Beberapa diantara fatwa itu akan kita sebut di bawah ini.

Fatwa MUI tentang keluarga berencana khususnya tentang kebolehan

menggunakan IUD (spiral) dalam ber-KB, juga memperlihatkan bagaimana faktor

social budaya telah berpengaruh terhadap produk pemikiran hukum Islam. Bahkan

untuk ini MUI berani membatalkan fatwa ulama sebelumnya yang mengharamkan

penggunaan IUD. Sebagaimana diketahui, pada tahun 1971 sejumlah ulama

terkemuka Indonesia mengeluarkan fatwa tentang haramnya penggunaan IUD

dalam KB karena pemasangannya menyangkut penglihatan aurat wanita.

Kemudian pada tahun 1983 MUI membatalkan fatwa ulama tahun 1971 itu dan

menyatakan bahwa IUD boleh dipakai dalam KB asalkan pemasangannya

dilakukan oleh dokter wanita atau dokter laki-laki dengan disaksikan oleh si

suami. Meskipun untuk fatwanya itu MUI mempunyai alasan-alasan metodologis

46

M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press

Jakarta, 2007), h. 147.

Page 62: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

52

tersendiri misalnya dengan mengatakan bahwa pengharaman melihat aurat wanita

itu bukan karena zatnya tetapi karena lisaddiz zara‟i.47

Selanjutnya, contoh lain adalah banyaknya jenis makanan yang

menggunakan bahan pengawet agar, selalu tahan lama sehingga dapat diekspor

keluar negeri. Dari segi kebersihan dan kesehatan, makanan tersebut sudah tentu

dapat dipertanggung jawabkan. Namun yang perlu dipersoalkan adalah dari bahan

apa ia dibuat. Melihat realitas ini, maka Majelis Ulama mengadakan kajian yang

berkaitan dengan status hukum memakan makanan yang menggunakan bahan

pengawet (corned beaf) tersebut. Dari hasil kajian itu, Majelis Ulama

mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa: apabila makanan yang

menggunakan bahan pengawet itu jenis buah-buahan atau sayur-sayuran ataupun

terbuat dari ikan maka ia halal dimakan, karena ia bersumber dari bahan yang

halal, kecuali bahan pengawetnya itu dicampuri dengan benda najis maka ia

haram dimakan.

Untuk mengetahui hal tersebut dapat diteliti berdasarkan keterangan atau

lebel (mark) yang ada pada tempat atau kemasannya, misalnya corned beaf

(daging sapi yang diawetkan). Seiring denga fatwa ini, Majelis Ulama

memutuskan agar semua produk makanan kemasan, harus memeri label “halal”

bagi orang Islam.48

47

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 124.

48

M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Cipayung Ciputat: Gaung Persada Press

Jakarta, 2007), h. 169.

Page 63: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

53

BAB III

PRAKTEK DAN KECENDERUNGAN ADAT BETAWI YANG

MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN

DI KALANGAN MASYARAKAT

A. Kondisi Umum pada Masyarakat Kampung Pisangan

Penelitian ini berlokasi di Kampung Pisangan yang merupakan berada

dalam wilayah Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, kotamadya Jakarta

Selatan. Untuk lebih mengetahui keadaan dan potensi kampung yang dijadikan

objek penelitian, maka peneliti akan menggambarkan secara garis besar keadaan

kampung berdasarkan data-data yang diperoleh.

Secara Administrasi letak Kampung Pisangan berada dalam wilayah

Kelurahan Ragunan. Kemudian teritorial Kelurahan Ragunan dibatasi dengan

batas-batas sebagai berikut:

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Cilandak KKO di Kelurahan

Cilandak KKO

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Sagu di Kelurahan Jagakarsa

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Kebagusan Raya di Kelurahan

Jagakarsa

4. Sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Pejaten Barat di Kelurahan Pejaten

Barat

Dilihat dari iklim yang ada di Kampung Pisangan mempunyai iklim tropis

yang terbagi menjadi dua bagian yaitu musim penghujan dan musim kemarau.

Dalam kondisi normal musim kemarau terjadi pada bulan Maret sampai dengan

Page 64: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

54

bulan Agustus sedangkan untuk musim penghujan terjadi pada bulan September

sampai dengan Febuari.

Adapun Kampung Pisangan hanya terdapat pada 1 rukun warga yang

kemudian disebut sebagai (RW) dan 11 rukun tetangga yang kemudian disebut

sebagai (RT). Dlihat dari jumlah warga per-RT tahun ini.

No. RW/ RT JUMLAH

1. Rw. 4 / Rt. 1 1.050 Penduduk

2. Rw. 4 / Rt. 2 463 Penduduk

3. Rw. 4 / Rt. 3 802 Penduduk

4. Rw. 4 / Rt. 4 280 Penduduk

5. Rw. 4 / Rt. 5 547 Penduduk

6. Rw. 4 / Rt. 6 489 Penduduk

7. Rw. 4 / Rt. 7 388 Penduduk

8. Rw. 4 / Rt. 8 726 Penduduk

9. Rw. 4 / Rt. 9 219 Penduduk

10. Rw. 4 / Rt. 10 298 penduduk

11. Rw. 4 / Rt. 11 531 penduduk

Sumber data: Kelurahan Ragunan tahun 2015

Sistem administrasi Kelurahan Ragunan cukup baik dan teratur. Ini dapat

dilihat dari lengkapnya para staf kelurahan yang ada, hal ini terbukti dari

ketertiban pelayanan kepada masyarakat di Kelurahan Ragunan. Seperti dalam

pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Surat

Page 65: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

55

Keterangan Tidak Mampu (SKTM), dan macam-macam surat lainnya yang

dibutuhkan masyarakat.

B. Sejarah Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Keberadaan tradisi di Indonesia ini merupakan sudah hal biasa. Selain

menjadi kebiasaan, juga menjadi ciri khas di beberapa wilayah yang ada di

Indonesia dengan maksud membedakan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain

atau sebagai karya seni. Adapun contohnya seperti Roti Buaya yang menjadi

tradisi Betawi dalam seserahan pernikahan.

Yahya Andi Saputra adalah salah satu tokoh budayawan yang memulai

kecintaannya pada kesenian Betawi sejak masih anak-anak. Meski masih berusia

Sembilan tahun dan bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hurriyah, ini sudah

ikut pementasan lenong. Beliau menamatkan studi pada Jurusan Sejarah, Fakultas

Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), Universitas Indonesia, tahun

1988. Jiwa seninya kian menggelegak saat remaja. Mulai menulis puisi, cerpen,

resensi maupun opini sejak SMA.

Tulisannya pernah dipublikasikan Media Indonesia, Bisnis Indonesia,

Republika, Pelita, Majalah Panji Masyarakat, Jurnal Puisi, dan lain-lain.

Sebelumnya pernah menjadi redaksi Majalah Kita Sama Kita dan Tabloid Bens,

majalah FUHAB, dan majalah Jembatan. Ia pun aktivis Lembaga Kebudayaan

Betawi (LKB), Ketua Umum Badan Pemberdayaan Budaya Betawi (BPBB), dan

Ketua Bidang Pariwisata dan Kebudayaan DPD Forkabi Jakarta Selatan.1

1http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses pada 29

Juni 2015

Page 66: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

56

Spirit kebetawian yang dimilikinya dari waktu ke waktu kian membesar

dan hal itu dipelihara serta dipupuknya dengan baik. Baginya tradisi roti buaya

merupakan sebuah kewajiban yang dijadikan sebagai salah satu syarat bagi calon

pengantin pria yang harus menghidangkan di dalam seserahan pernikahan adat

Betawi yang hingga kini masih dilestarikan oleh masyarakat Betawi dan sudah

berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya tradisi roti buaya

ini. Bahkan, terasa kurang lengkap apabila dalam seserahan pernikahan adat

Betawi tidak ada roti buaya. Pembahasan tentang siapa yang menciptakan tradisi

roti buaya ini tidak ada yang tahu, yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat

Betawi.

Di masa lalu, tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana

dalam cerita rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud

buaya merah, buaya buntung, ataupun buaya putih.

Buaya-buaya siluman ini oleh masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau

penunggu sebuah entuk.2 Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai

sumber mata air. Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang

mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan mendapat

sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber mata airnya harus

mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada makhluk penjaganya”.

Adapun sumber mata air itu adalah sumber kehidupan manusia, kalau kamu

membuang sampah maka akan mendapat ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi

2 Entuk adalah Bahasa Kuno yang ada di Betawi zaman dahulu yang diartikan sebagai

sumber mata air.

Page 67: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

57

kuno ketulah itu artinya karma atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada

dihari lampau.

Selanjutnya, karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan

masyarakat yaitu sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu

dimanfaatkan sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan

dalam acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin

pria terhadap pihak calon pengantin wanita.

Perkawinan itu sendiri adalah bagian salah satu siklus kehidupan yaitu

suatu rangkaian aktivitas secara alami yang dialami oleh individu-individu dalam

populasi berkaitan dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti

manusia yang bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.

Perkawinan atau pernikahan juga bukan sekedar yang berarti ingin

melampiaskan nafsu biologis atau menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-

laki dan perempuan, tetapi dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi

yang baru. Maka dari itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam

seserahan pernikahan sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.

Adapun zaman sekarang masyarakat sudah menggunakan roti sedangkan,

dahulu istilah roti buaya ini bukan dikenal dari rotinya melainkan buayanya.

Karena dahulu, belum menggunakan roti tetapi dari kayu, daun kelapa atau

semacamnya yang dapat dibentuk menjadi buaya. Dimana buayanya itu sendiri

dipajang di depan rumah yang menandakan bahwa si wanita sudah dinikahi oleh

pria lain.

Page 68: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

58

Roti itu sendiri ada pada saat pemerintahan kolonel Belanda memiliki alat

untuk membuat roti yang dapat dibentuk dengan berbagai macam sesuai

keinginan. Sejak saat itulah yang kemudian masyarakat Betawi memanfaatkan

tekhnologi tersebut menjadi roti berbentuk buaya yang digunakan dalam

seserahan pernikahan. Semakin majunya tekhnologi sekarang ini roti buaya bisa

dikemas dalam berbagai rasa, sebab dahulu hanya terasa tawar pada roti tersebut.

Bentuknya pun, dua sepasang buaya.

Karena, dahulunya roti buaya itu hanya untuk dipajang depan rumah

sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru. Oleh agama Islam, mendapat

pertentangan karena dianggap mubazir yaitu sifat pemborosan atau hal-hal yang

berlebihan dimana itu termasuk perbuatan tercela dalam agama. Makanya

sekarang roti tersebut dipotong-potong dan dapat dibagi-bagi dengan sanak

saudara.

Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan

roti buaya tersebut.Karena, itu hanya orang-orang tertentu saja yang ingin ada roti

buaya dalam seserahan pernikahannya. 3

C. Opini masyarakat terhadap roti buaya dalam seserahan pernikahan

Terjadinya roti buaya dalam seserahan pernikahan merupakan adat

kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu. Roti buaya ini

merupakan lambang setia yaitu yang menunjukan bahwa seumur hidup itu hanya

menikah sekali.

3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.

Page 69: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

59

Dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan maka ini

merupakan bagian dari mempertahankan adat istiadat Betawi. Sehingga adat

kebudayaan Betawi tetap terjaga dan terlestari.4

Sedangkan menurut warga lainnya memiliki pandangan juga bahwa roti

buaya itu hanya beberapa yang menyertakan dalam pernikahannya atau dengan

kata lain yang mampu karena adapun jumlah harga yang diperlukan untuk

membeli roti buaya cukup mahal. Sehingga tak semua warga Betawi meyertakan

ke dalam seserahan pernikahannya.5

Adapun, mitos yang mengatakan roti buaya itu lambang setia yaitu yang

membuktikan bahwa dari pihak calon pengantin pria menunjukan hanya nikah

sekali dalam seumur hidup. Itu tidak semuanya mempercayai ada yang percaya

memang setia, ada yang percaya tidak percaya, dan ada juga yang tidak percaya

dengan mitos tersebut.

4 Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.

5 Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.

Page 70: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

60

BAB IV

ANALISIS HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI

BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM

A. Pandangan Ulama Tentang Hukum Adat Betawi yang Menggunakan

Roti Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Sesungguhnya agama Islam ini sudah sempurna dan sudah cukup sebagai

pedoman hidup manusia di dunia. Sebab Allah, telah menerangkan kepada umat

manusia kadah-kaidah agama dan kesempurnaannya yang meliputi segala aspek

kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:

كن وأتممت عليكن نعمتي ورضيت لكن اإلسالم دينااليوم أكملت لكن دين

Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan

telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi

agamamu.

Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu telah

sempurana dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan sedikitpun juga.

Apapun bentuk atau alasannya dari tambahan-tambahan tersebut meskipun

disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa saja datangnya meskipun

dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara yang sangat dibenci

oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat dicintai oleh iblis dan bala tentaranya.

Dan pelakunya secara tidak langsung telah menbantah firman Allah di atas dan

telah menuduh Rasulullah berkhianat dalam menyampaikan risalah.1

1 M. Irfan Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1.

Page 71: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

61

Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu adat

kebiasaan yang sudah melekat pada satu masyarakat, sehingga masyarakat tidak

dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan dengan fikih, struktur dan

pola budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya. Masyarakat yang pluralis

akan berbenturan dalam penetapan aspek hukumnya, terutama dari sisi hukum

Islam (fikih).2

Rasanya tak perlu diperpanjang kalam tentang bagaimana para ulama fikih

dipengaruhi factor lingkungan sosial budaya dalam menghasilkan karya fikih

mereka. Bukti yang paling banyak dikenal masyarakat adalah riwayat tentang

bagimana Imam Syafi‟i mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid

(pendapat baru). Pendapat lama diberikan ketika beliau berada di Baghdad dan

pendapat baru dikemukakan ketika beliau telah pindah ke Mesir. Puluhan bahkan

mungkin juga ratusan pendapat lama Imam syafi‟i diubah dan diganti dengan

pendapat baru yang lebih sesuai dengan lingkungan social budaya barunya itu.

Kalau kita membaca kitab Fiqh Mahalli, misalnya, kita akan berjumpa dengan

sejumlah kenyataan tentang qaul qadim dan qaul jadid.

Kita juga mengenal dalam tarikh tasyri’ bagaimana ulama ahl ar-ra’yi dan

ahl al-hadis berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahl

ar-ra’yi dengan pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di Kota Kuffah dan

Baghdad yang metropolitan sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah

persoalan baru yang muncul akibat kompleksitas kehidupan kota. Ditambah

dengan kenyataan bahwa Baghdad terletak jauh dari pusat kota hadis yaitu

2 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003), h. 27.

Page 72: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

62

Madinah, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya menulis kitab-kitab fikih

yang lebih mendasarkan kepada ra’yu (akal) daripada hadis yang tidak mansyhur

dalam hal tidak ada nash al-Qur‟an. Sebaliknya Imam Malik bin Anas yang hidup

di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih sederhana dan

ditambah kenyataan banyaknya hadis-hadis yang beredar di kota-kota itu,

cenderung banyak menggunakan hadis ketimbang rasio atau akal.3

Islam merupakan agama yang amat mengedepankan kemaslahatan.

Sebagai al-din (way of life) yang datang dari Allah, pencipta manusia, tentunya

syariah Islam yang diturunkan-Nya memperhatikan keperluan dan maslahat

kehidupan manusia dan seluruh makhluknya. Dalam merealisasikan pelaksanaan

syariah Islam ini, para ulama dan cendikiawan muslim memainkan peranan yang

amat penting agar ajaran Islam itu benar-benar dapat dilaksanakan sebagaimana

yang dikehendaki oleh pencipta syariah tersebut. Sebab semua tindakan manusia

dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik di dunia ini, harus tunduk kepada

Allah dan Rasul-Nya, kehendak Allah dan Rasul itu sebagian tertulis dalam kitab-

Nya yang disebut syariah, sedangkan sebagian besar lainnya tersimpan dibalik apa

yang tertulis itu. Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah

tentang tingkah laku manusia itu memerlukan pemahaman yang intens tentang

syariah sehingga secara amaliah syariah tersebut dapat diterapkan dalam

kehidupan manusia.

Di zaman modern ini, yang dicirikan dengan pesatnya kemajuan ilmu

pengetahuan dan tekhnologi, tampak kemaslahatan manusia terus berkembang dan

3M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998), h. 107.

Page 73: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

63

meningkat seiring dengan urgensitasnya, tidak terbatas jenis dan kuantitasnya,

mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Hal itu dapat membawa dinamisasi

dalam aplikasi syariah Islam. Sebab diferensiasi waktu, tempat, dan lingkungan

dapat memberi pengaruh yang sangat besar terhadap syariah (hukum-hukum)

Islam. Suatu kaedah menegaskan bahwa “Fatwa hukum itu berubah karena

perubahan waktu, tempat, keadaan tradisi dan niat.”4

Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan manusia dalam

berbagai suku adalah masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan suatu

sistem sosial yang tidak hanya menyangkut dua manusia yang berkepentingan saja

tetapi juga menyangkut orang tua, kerabat, dan masyarakat.5

Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang

memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring.6 Ia juga merupakan simbolik yang

dijadikan adat istiadat oleh orang Betawi. Filosofinya dari binatang buaya ini ialah

ia termasuk binatang yang tahan dan kuat, maka karena itu menurut orang Betawi

dengan simbol tersebut diharapkan sang calon pengantin laki-laki memiliki sifat

yang kuat dalam hal mencari nafkah kemudian juga kuat secara fisik dan

bertanggung jawab terhadap keluarga. Adapun dari sisi calon pengantin

perempuan mengharapkan terhadap calon pengantin laki-laki yang akan menjadi

suaminya memiliki sifat yang setia dan tidak berkhianat.7 Selanjutnya, binatang

4 M. Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. 1,

h. 1.

5 Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,

1982), h. 122.

6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

7 Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.

Page 74: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

64

buaya juga termasuk binatang yang memiliki sifat yang liar, dengan adanya sang

buaya betina maka sang buaya jantan lebih terarah hidupnya. 8

Adapun roti buaya tersebut diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga

dilengkapi dengan pakaian, peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang

diserahkan adalah roti buaya. Semua peralatan itu dibawa oleh pihak calon

mempelai laki-laki secara beriringan dan terbuka, sehingga orang-orang dapat

melihatnya dan mengetahuinya barang-barang apasaja yang dibawanya, semakin

banyak barang bawaannya, maka pihak calon mempelai laki-laki akan semakin

meningkat pula derajatnya dimata masyarakat.9

Filosofi yang lain mengatakan buaya itu simbol dari kesetiaan, maka itu

maksud dari si calon pengantin laki-laki siap mengorbankan untuk menjaga anak-

anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan roti yang

dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin mengatakan ketika

nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi suami tetapi juga bertanggung

jawab dalam hal melindungi, mengamankan, menjaga, merawat istri dan anak-

anak seperti bagaimana buaya melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Dari sisi lain yaitu ketika laki-laki yang memberikan roti buaya itu selain

menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya sampai

menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang uangnya banyak

istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat. Memberikan roti buaya itu

8 Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

9 Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan

Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan

Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 49.

Page 75: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

65

mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya memiliki satu istri saja dengan

kesetiaannya. Dengan maksud menahan diri saja.10

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan oleh Stacey Lance sebanyak

selama 10 tahun hasil yang didapatkannya bahwa jumlah dari 70% binatang buaya

yang berjenis kelamin betina akan terus kawin dengan binatang buaya yang

berjenis kelamin jantan yang sama saat musim kawin tiba. Maka, hal ini yang

dijadikan sebagai ikon oleh masyarakat Betawi dalam hal pernikahan tepatnya

pada bawaan-bawaan seserahan. Jika ada seorang pria yang akan menikah

diharuskan membawa roti buaya, dengan filosofinya adalah bahwa pengantin laki-

laki akan selalu setia dengan pengantin perempuannya.11

Dalam hukum islam tidak ada ketentuan yang harusmenggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan. Di dalam kaidah ushul fikih yaitu yang

berbunyi:

ةمكحم ةا دا لع

Artinya : “Adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dapat menjadi

hukum.”

Oleh karena itu, tradisi yang sudah menjadi kebiasaan orang Betawi.

Maka, bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara hukum Islam roti

buaya tidak menduduki hukum sebagai kewajiban ataupun, hukum sunnah.

Tetapi, karena hukum beredar sesuai zamannya. Apabila, adat istiadat tersebut

10

Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Jakarta, 7 Oktober 2015.

11

Kusnendar, “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”, Artikel diakses pada 13 Oktober

2015 dari http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-pasangannya.html

Page 76: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

66

tidak diberlakukan mengakibatkan ketidak harmonisan atau adanya pembicaraan

di luar. Maka bisa menjadi kewajiban, tetapi bagi yang mampu.

Bagi masyarakat Betawi dalam mengaitkan simbol buaya yaitu adanya

pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi dengan membawakan roti

buaya ini sekaligus menunjukan sikap optimis terhadap doa dan harapan semoga

si calon pengantin laki-laki yang akan menjadi suami dapat menerapkan sisi

positif yang ada pada binatang buaya.

Bila ditinjau secara kulturalistik, masyarakat Betawi memiliki berbagai

macam bentuk kebudayaan daerah. Budaya lokal ini dicerminkan dari kebiasaan

yang berkembang di lingkungan warganya. Satu tuntunan pola hidup turun-

temurun yang kuat. Keanekaragaman itu nampak jelas terlihat pada saat

penyelenggaraannya. Sebuah khasanah daerah berkelanjutan dari akar budaya

setempat.

Mengaitkan dengan cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak

hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya ada satu

cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami semacam keinginan

laki-laki yang ingin bertanggung jawab seperti wataknya buaya, agar tidak

keliru.12

Budaya pernikahan dan aturannya yang berlaku pada masyarakat atau pada

suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat itu

berada, serta pergaulan masyarakat yang dipengaruhi oleh pengetahuan,

pengalaman, kepercayaan keagamaan yang dianutnya serta kebiasaan setempat.

12

Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

Page 77: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

67

Sebagaimana, telah disinggung di pembahasan yang terdahulu, bahwa

efektifitas al-adat, hanyalah pada masalah-masalah yang tidak tercover olah Al-

Qur‟an dan al-Hadits. Dalam pengertian lain, sesuatu yang telah ditetapkan oleh

syar‟i, tidak semunya selalu disertai oleh batasan-batasan dan ukuran-ukuran.

Demikian pula lughah atau bahasa. Seringkali bahasa tidak mampumen jawab hal

ini. Solusi yang bisa ditawarkan adalah, menegembalikan permasalahan ini

kepada adat atau kebiasaan masyarakat.13

Pada dasarnya agama Islam tidak memberatkan tetapi mempermudah

bukan berarti sembarang memudahkan. Lebih menekankan dari segi agama yaitu

hal-hal yang memang disyaratkan dalam sahnya pernikahan dan tidak menyalahi

syariat.14

Jika terjadi perbedaan pendapat, maka dapat dimusyawarahkan antar

keluarga untuk menemukan titik temu. Kalau memang tradisi itu sudah mengakar

atau yang sifatnya hukum tidak tertulis.15

Dengan demikian, mengaitkan sebuah

perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja, karena legenda itu tidak

absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka tafsirannya banyak tidak tunggal.

Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan adapun kalau ada yang menganggapnya

sebagai sesajen atau sebagai dewa maka tidak diperbolehkan dalam Islam.16

13

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar

Jaya Offset, 2004), h. 180.

14

Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

15

Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.

16

Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

Page 78: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

68

B. Analisis Penulis mengenai Adat Betawi yang Menggunakan Roti

Buaya dalam Seserahan Pernikahan

Masyarakat hukum adat Indonesia dapat dibedakan atas dua golongan

menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan

(genealogi) dan yang berdasarkan lingkungan (territorial). Menurut sejarah dan

sifatnya, masyarakat Betawi mempunyai dasar genealogis yang tegas, baru

kemudian faktor territorial menampakan diri sebagai faktor yang penting juga.

Jadi bisa ketahui bahwa segala sesuatu yang menyangkut tentang adat itu sudah

tertanam turun temurun di dalam masyarakat, karena secara struktur sosial;17

Setiap komunitas selalu mempunyai adat dan tradisi khas sesuai dengan

peradaban dan falsafah hidup mereka. Adat dan tradisi tersebut lahir sebagai

akibat dari dinamika dan interaksi yang berkembang di suatu komunitas

lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, bisa dikatakan, adat dan tradisi

merupakan identitas dan ciri khas suatu komunitas.

Dalam upacara perkawinan terdapat acara-acara pokok dan acara-acara

pelengkap yang betalian dengan tradisi atau adat kebiasaan. Yang pertama seperti

akad nikah dan walimah, sudah cukup dimaklumi, sedangkan yang kedua,

kebanyakan bertalian dengan adat yang dapat dikaitkan dengan ‘urf.18

Bagi Masyarakat Betawi roti buaya merupakan istilah yang tidak asing

lagi untuk didengar ditelinga mereka. Sekelompok kalangan masyarakat Betawi

17

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), cet.

6, h. 360.

18

Andy Pathoni, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan dan

Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di Setu Babakan Kelurahan

Srengseng Sawah)”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 36.

Page 79: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

69

ini, baik dikalangan muda, tua, bahkan tokoh ulama sudah cukup memahami

benda roti yang berbentuk buaya itu. Kedudukannya yang cukup merajai adat

istiadat Betawi ini, bukan hanya membuat kalangan orang Betawi sendiri yang

ingin mempertahankan kebiasaan budayanya. Tetapi juga membuat sejumlah

masyarakat yang bukan asli keturunan Betawi, juga merasa tertarik untuk

mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan umumnya yang calon pasangan

pengantinnya berasal dari Betawi, baik dari pihak calon pengantin laki-laki

ataupun, calon pengantin perempuan. Jadi, bukan benda yang aneh lagi untuk

ditelinga masyarakat tentang keberadaan bentuk roti tersebut khususnya yang

berasal dari adat Betawi.

Perbedaan kelompok atau perbedaan suku merupakan bagian dari ciri khas

adanya tradisi-tradisi tertentu. Karena sebagian besar masyarakat Betawi

mengikut sertakan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan, maka upacara-

upacara pernikahan mereka umumnya bercorak adat istiadat Betawi. Itu

menandakan bahwa masyarakat Betawi telah menjadi satu kesatuan dengan

budaya mereka. Kenyataan ini dapat dilihat oleh sekelompok masyarakat Betawi

yang masih mempertahankan adat kebiasaannya yang sudah ada sejak lama

dengan menyertakan roti buaya dalam seserahan pernikahannya.

Maka dapatlah kita lihat sekarang ini bentuk-bentuk pernikahan yang

beraneka ragam, masing-masing memiliki cara-caranya sendiri serta memiliki adat

yang berbeda-beda dari daerah yang satu ke daerah yang lain.

Dalam pengertian roti buaya menurut masyarakat Betawi yaitu sebuah

harapan para calon pengantin ini hanya nikah sekali dalam seumur hidupnya.

Page 80: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

70

Dengan alasan bahwa binatang buaya termasuk binatang yang memiliki sifat setia

pada pasangannya. Pernyataaan itu tidak hanya terbatas pada satu sifat setia saja,

tetapi juga turut bertanggung jawab dalam menjaga istri dan anaknya.

Alasan masyarakat Betawi pada umumnya karena status keturunan mereka

menjadi orang Betawi mengikuti adat kebiasaan orang tua mereka sejak dahulu

meskipun tidak tahu apa tujuannya dari pribadinya sendiri. Karena, adat kebiasaan

sudah lahir sejak lama, wajar saja calon-calon pengantin zaman sekarang mungkin

tidak enak untuk meninggalkannya sekaligus melestarikan adat kebudayaannya.

Pada umumnya memang pihak calon pengantin perempuan tidak

mengetahui bila si calon pengantin laki-laki mengikut sertakan roti buaya dalam

seserahannya, katena itu sifatnya hanya bawaan-bawaan yang memang mampu

dibawa olehnya bukan dari permintaan perempuan.

Dari segi bentuknya roti buaya ini ada jantan, betina, dan terakhir di

atasnya ada anak dari buaya itu sendiri, selain itu juga ia memiliki variasi rasa

yang berbeda-beda sesuai dengan pesanan si calon pengantin. Meskipun, dahulu

roti buaya tersebut tidak memlliki rasa atau tawar.

Mengenai penyerahan roti buaya ini dilakukan di rumah kediaman calon

pengantin perempuan. Pada umumnya diserahkan pada saat detik-detik menjelang

kesiapaan akad pernikahan. Dimana, keluarga besan atau calon pengantin laki-laki

sudah mulai berjalan dengan bentuk formasi barisan yang rapi menuju rumah

kediaman calon pengentin perempuan.

Sesampainya di depan halaman rumah kediaman calon pengantin

perempuan. Sang calon pengantin laki-laki beserta sanak keluarga, saudara dan

Page 81: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

71

kerabatnya biasanya sudah disambut dengan permainan musik marawis dari

beberapa kumpulan anak remaja laki-laki dan tidak lupa juga dengan dilengapi

letusan petasan yang ikut meramaikan penyambutan calon pengantin laki-laki.

Calon pengantin laki-laki beserta pengiringnya dibentuk dalam formasi barisan

yang memanjang dimulai dari barisan pertama yaitu calon pengantin laki-laki

dengan didampingi kedua orang tua, selanjutnya barisan kedua saudara-saudara

kandung dari calon pengantin laki-laki, barisan ketiga dan seterusnya diiringi oleh

sanak saudara, kerabat, atau para tetangga yang turut serta hadir dalam

pengiringan pengantin.

Tiap-tiap barisan tersebut biasanya sudah dilengkapi dengan bawaannya

masing-masing. Dengan membawa barang-barang seserahan yang sudah

disiapkan dari kediaman calon pengantin laki-laki. Adapun, barang-barang

tersebut adalah tidak hanya roti buaya tetapi juga calon pengantin laki-laki

menyerahkannya bersama dengan mahar, mas kawin, kue, sepatu, pakaian,

seperangkat alat shalat, seperangkat alat mandi, seperangkat alat kamar tidur, dan

lain-lain. Karena sebenarnya, kedudukan roti buaya itu sendiri dalam seserahan

hanyalah pelengkap bagi yang ingin mengikut sertakan dalam seserahan

pernikahannya.

Meskipun ada juga masyarakat Betawi yang tidak mengikut sertakan roti

buaya dalam seserahan pernikahannya, namun pelaksanaan pernikahannya tetap

berjalan khitmat dan lancar tanpa mempersulit kedua calon pegantin yang ingin

nikah.

Page 82: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

72

Berkaitan dengan adat istiadat, roti buaya ini juga bisa dipandang dari segi

kaidah fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara etimologi kenal. Karena roti

buaya ini merupakan istilah barang yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat

khususnya Betawi. Dalam ushul fikih ‘urf itu memiliki beberapa segi pandang,

maka dari itu roti buaya akan dibahas satu persatu dengan cara pandang yang

berbeda.

Pertama dari segi materi ia masuk pada katagori ‘urf fi’li sebab ia

berbentuk perbuatan bukan perkataan yang biasa diucapkan orang-orang.

Tergolongnya ia ke dalam „urf fi’li karena ia memang termasuk perbuatan adat

kebiasaan yang bersifat berlaku di dalam masyarakat Betawi dan mayoritas

masyarakat Betawi sudah mengenalnya dalam pengertian bentuk roti yang

berbentuk buaya yang disertakan dalam seserahan pernikahan khususnya adat

Betawi. Dan memang roti buaya tersebut dikenal sebagai satu pengertian yaitu

barang yang ikut dalam seserahan bukan dalam arti yang lain.

Selanjutnya dalam pandangan dari segi jangkauannya ia tergolong dalam

bagian ‘urf al-Khash yaitu bersifat khusus yang memang berlakunya adat hanya di

ruang lingkup Betawi meskipun, zaman sekarang banyak yang bukan asli

keturunan Betawi juga ikut menyertakan seserahan roti buaya terebut. Karena jika

roti buaya digunakan dalam seserahan pernikahan yang bukan adat Betawi maka

orang-orang pun tidak akan mengerti, untuk itu adat kebiasaan roti buaya hanya

ada di seserahan pernikahan Betawi dan tidak berlaku di tempat yang lain.

Sedangkan yang terakhir yaitu roti buaya dalam segi pandang

keabsahannya ia tidak tergolong masuk ke dalam bagian manapun, karena ia tidak

Page 83: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

73

berkedudukan sebagai membenarkan nash dalam Al-quran atau hadits begitu juga

tidak bertentangan dengan aturan-aturan hukum yang ada dalam Al-quran. Ia juga

bukan barang yang dijadikan hal-hal yang menyalahi syariat karena ia hanya

dijadikan sebagai lambing atau symbol.

Adapun yang berkaitan dengan syarat-syarat ‘urf yang sesuai dengan

syariat Islam. Dari penjelasan pada bab-bab terdahulu, bahwa syariat Islam pada

dasarnya dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang

baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan

sunnah Rasulullah. Masalah roti buaya ini yang ada pada seserahan pernikahan.

Menurut analisa penulis bahwa ia termasuk adat kebiasaan yang berlaku umum di

kalangan masyarakat Betawi. Karena, hal ini juga sudah berlaku sejak lama dan

karena ini tidak memiliki pertentangan dengan nash al-Qur‟an ataupun sunnah

Rasulullah maka adat istiadat boleh untuk diberlakukan.

Dibolehkannya suatu perbuatan yang mubah itu hanyalah yang bersifat

temporer, dimana seseorang itu bebas untuk memilih macam dan waktu-

waktunya. Seperti makan dihukumi mubah, hanyalah dalam macam dan waktu-

waktu tertentu bukan untuk selamanya. Akan tetapi makan bisa menjadi wajib

bagi orang yang menjaga kesehatannya dan hidupnya. Karena menjaga kesehatan

adalah suatu perbuatan yang diwajibkan. Oleh karena itu untuk hukum mubah ini,

hanya bersifat situasional atau kondisional, tidak bersifat umum, keseluruhan dan

abadi.19

19

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), cet. 8, h. 58.

Page 84: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

74

Jadi menurut pengamatan dan analisa penulis bahwa adat roti buaya dalam

seserahan pernikahan adalah mubah (boleh) karena tidak bertentangan dengan

ajaran Islam. Dan hukum ini hanya bersifat sementara tidak untuk selamanya,

selama adat istiadat roti buaya tersebut tidak membebani dan tidak dijadikan

sebagai hal-hal yang menyalahi syariat Islam.

Page 85: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

75

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka penyusun dapat

menyimpulkan sebagai berikut:

1. ‘Urf yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia, dan mereka mengikutinya

dalam bentuk setiap perbuatan yang popular di antara mereka, ataupun suatu

kata yang biasa mereka kenal dengan pengertian tertentu. Dasar

dipertimbangkannya ‘urf ini kembali kepada prinsip menjaga kemaslahatan

manusia dan menghilangkan kesulitan. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa

awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi yang baik dalam

masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah

Rasulullah. Kedatangan Islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang

telah menyatu dengan masyarakat. Tetapi secara selektif ada yang diakui dan

dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan.

2. Setelah penyusun meneliti kasus yang pernah terjadi di Kampung Pisangan

yaitu beberapa warga memang ada yang menyertai roti buaya dalam seserahan

pernikahan dan ada juga yang tidak menyertai. Bahwa yang melatar belakangi

adanya adat Roti Buaya dalam seserahan pernikahan yaitu para orang tua

mereka yang sebelumnya juga menyertakan Roti Buaya dalam seserahan

pernikahannya. Maka, secara turun-temurun anak-anaknya ikut menyertakan

Roti Buaya dalam seserahan pernikahan

Page 86: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

76

3. Hukum menggunakan Roti Buaya dalam seserahan pernikahan boleh-boleh

saja, dengan maksud sebagai tambahan bawaan seserahan dari pihak laki-laki

dan tidak dijadikan sebagai pemujaan atau hal-hal yang dilarang dalam agama.

B. Saran

Dengan berakhirnya penyusunan skripsi ini, penulis menyarankan kepada

diri penulis dan para pembaca:

1. Hendaknya bagi warga Kampung Pisangan dalam melaksanakan upacar adat

pernikahan harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam.

2. Hendaknya dalam pelaksanaan seserahan pernikahan dilakukan dengan

semampunya tidak mengharuskan hal-hal yang memang tidak wajibkan.

Page 87: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

77

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemah

Abbas, Afifi Fauzi. Baik dan Buruk dalam Perspektif Ushul Fiqh, cet. 1, Ciputat:

ADELINA Bersaudara, 2010.

Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003.

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Jakarta:

Radar Jaya Offset, 2004.

Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,

cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika: 2007.

Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami

FIqih Islami, cet. 1, t.tp, Pustaka Al Furqon, 2009.

Aji, Ahmad Mukri. Kontekstualisasi Ijtihad dalam Diskursus Pemikiran Hukum

Islam Di Indonesia, cet. 1, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2010.

Aji, Ahmad Mukri. Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialetika Pemikiran

Hukum Islam, cet. 2, Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2012.

Al-Kurdy, Ahmad al-Hajj. Al-Madkhal al-Fiqh: al-Qawaid al-Kulliyah,

Damaskus: Dar al-Ma’rif li al-TIba’ah, 1979.

Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqh Prioritas Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur’an

dan As-Sunnah, Penerjamah Bahruddin F, Jakarta: Robbani Press, 1996.

Al-Zuhaili, Muhammad Mushthafa. al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa tathbiqatuha fii

al-Mazahib al-arba’ah, juz. 1, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006.

Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, cet. 1, Jakarta: Elsas, 2008.

Burnu, Muhammad Shidq bin Ahmad bin Muhammad Ali. Al Wajiz fii idhohi

qawaid al fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muassisah ar Risalah, 1996 M.

Dahlan, Abd Rahman. Ushul Fiqh, cet. 2, Jakarta: Amzah, 2011.

Djalil, A. Basiq. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, cet. 6, Jakarta: Kencana, 2010.

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, cet. 2, Jakarta: Kencana,

2007.

Page 88: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

78

Effendi, Satria dan M. Zein. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2005.

Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data, cet. 2, Jakarta: Rajawali

Pers, 2011.

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitaif Teori dan Praktek, cet. 1, Jakarta:

PT Bumi Aksara, 2013.

Hadi, Sutrisno. Metodelogi Penelitian Resreach, Jakarta: PT. Moyo Segoro

Agung, 2007.

Hajj, Ibnu Amir. at-Taqrir wa at-Tahbir, cet. 3, Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah,

1983 M.

Hibban, Ibnu. al-Ihsanu fi Taqribi Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasatu al-

Risalah, 1408 H/1988 M). Juz 10. h. 72.

Kholaf, Abdul Wahab. Ushul Fiqh, t.t: Daar Arosyid, t.th.

Juliansah, M. Irfan. “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam,” Skripsi S1 Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2011.

Lubis, Junaidi. Islam Dinamis Model ijtijad al-Khulafa al-Rasyidun dalam

Konteks Perubahan Masyarakat, cet. 1, Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Mudzhar, M. Atho. Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi,

Yogyakarta: Titian Ilahi Pres, 1998.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial,Cet.12, Yogyakarta: Gajah

Mada Universitas Press 2007.

Pathoni, Andy. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Khutbah Penyerahan

dan Khutbah Penerimaan dalam Perkawinan Adat Betawi (Studi Kasus di

Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah)”, Skripsi S1 Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

SA, Romli. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2011.

Shomad, Abd. Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum

Indonesia, cet. 1, Jakarta: Kencana, 2010.

Page 89: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

79

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial “Suatu Tehnik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya”. Cet. 8, Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2008

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, cet. 6, Jakarta: PT Grafindo Persada,

2003.

Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam I, cet. 9, Jakarta: Al Husna Zikra,

1997.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, cet. 4, Jakarta: Kencana, 2009.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2, cet. 5, Jakarta: Kencana, 2009.

Sudjana, Nana. Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah,Cet ke 7, Bandung: Sinar

Baru Algesindo, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D, Bandung: CV.

Alfabeta, 2007.

Suryowingjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung

Agung, 1982.

Taufiq, dkk, Hukum Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Logos,

1998.

Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer, cet. 1, Jakarta: Gaung Persada Press,

2007.

Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syari’ah Mengenal Syari’ah Islam Lebih

Dalam, cet. 1, Jakarta: Robbani Press, 2008.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, cet. 8, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Zidan, Abdul Karim. al-wajiz fil usulil fiqh, Baghdad: Maktabh batsair, 1976.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Abdul Jalil. Jakarta, 7 Oktober 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Fuad Thohari. Ciputat, 24 Agustus 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Muhammad Ishak. Jakarta, 7 Oktober 2015.

Wawancara Pribadi dengan Bapak Yahya Andi Saputra. Jakarta, 29 Juni 2015.

Wawancara Pribadi dengan Ibu Hanisah. Jakarta, 12 April 2015.

Page 90: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

80

Wawancara Pribadi dengan Ibu Tika. Jakarta, 12 April 2015.

http://kampungbetawi.com/gerobog/dedengkot-2/yahya-andi-saputra/ diakses

pada 29 Juni 2015

Kusnendar. “Hewan yang Setia dengan Pasangannya”. Artikel diakses pada 13

Oktober 2015

http://www.kusnendar.web.id/2013/09/hewan-yang-setia-dengan-

pasangannya.html

Iqbal1, “Ilmu Fiqh”, artikel dari https://iqbal1.wordpress.com/2010/04/19/ilmu-

fiqh-adat-atau-tradisi-dalam-beribadah-1/ diakses pada 27 Febuari 2015.

Page 91: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

81

LAMPIRAN

Page 92: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

82

Pedoman wawancara kepada warga tokoh budayawan

1. Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti

Buaya sebagai bagian seserahan ?

2. Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?

3. Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?

4. Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

5. Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

6. Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah

ada syarat-syarat sebelumnya ?

Page 93: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

83

Pedoman Wawancara Tokoh Ulama

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan ?

2. Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

3. Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Page 94: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

84

Pedoman wawancara kepada warga Kampung Pisangan

1. Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

2. Apa alasan bapak atau ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan ?

3. Apa maksud atau tujuan bapak atau ibu menggunakan roti buaya dalam

seserahan pernikahan ?

4. Apa bapak atau ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut

menunjukan simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

5. Apa bapak atau ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Page 95: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

85

Hasil Wawancara

Nama: Bapak drs. Yahya Andi Saputra

Jabatan: Tokoh Budayawan

Tanya: Apa latar belakang atau atas dasar pemikiran apa menggunakan Roti

Buaya sebagai bagian seserahan ?

Jawab: tradisi ini pada mulanya buaya adalah sebuah simbol dimana dalam cerita

rakyat Betawi dikenal dengan buaya siluman. Entah yang dimaksud buaya

merah, buaya buntung, ataupun buaya putih. Buaya-buaya siluman ini oleh

masyrakat Betawi dianggap pemelihara atau penunggu sebuah entuk.

Dalam Bahasa Betawi kuno entuk diartikan sebagai sumber mata air.

Maka pada zaman dahulu kalau ada kegiatan masyarakat yang

mengganggu seperti kebersihan, keasrian, keindahan entuk itu akan

mendapat sanksi. Contohnya seperti “kalau lewat situ yang ada sumber

mata airnya harus mengucapkan numpang-numpang karena di situ ada

makhluk penjaganya”. Adapun sumber mata air itu adalah sumber

kehidupan manusia, kalau kamu membuang sampah maka akan mendapat

ketulah. Di mana dalam Bahasa Betawi kuno ketulah itu artinya karma

atau akibat tindakan, sikap, perilaku yang ada dihari lampau.Selanjutnya,

karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu

sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan

sebagai simbol kehidupan. Adapun pemanfaatannya digunakan dalam

acara pernikahan tepatnya pada saat seserahan dari pihak calon pengantin

pria terhadap pihak calon pengantin wanita.Perkawinan itu sendiri adalah

Page 96: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

86

bagian salah satu siklus kehidupan yaitu suatu rangkaian aktivitas secara

alami yang dialami oleh individu-individu dalam populasi berkaitan

dengan perubahan tahap-tahap dalam kehidupan. Seperti manusia yang

bertujuan menciptakan, melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Dari manakah budaya Roti Buaya berasal ?

Jawab: tentang siapa yang menciptakan tradisi roti buaya ini tidak ada yang tahu,

yang jelas tradisi roti buaya ini milik masyrakat Betawi.

Tanya: Kapan budaya Roti Buaya masuk ke daerah ini ?

Jawab: sudah berlangsung sejak lama karena tidak tahu jelas kapan datangnya

tradisi roti buaya ini.

Tanya: Mengapa harus dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: karena si buaya itu sudah menunggu sumber kehidupan masyarakat yaitu

sumber mata air. Maka oleh masyarakat Betawi buaya itu dimanfaatkan

sebagai simbol kehidupan.

Tanya: Apa maksud atau tujuan dengan menggunakan Roti Buaya ?

Jawab: Perkawinan bukan sekedar yang berarti melampiaskan nafsu biologis atau

menghalalkan bersenang-senangnya antara laki-laki dan perempuan, tetapi

dengan memiliki tujuan yaitu melanjutkan generasi yang baru. Maka dari

itu masyarakat Betawi mengwajibkan adanya dalam seserahan pernikahan

sebagai simbol melanjutkan kehidupan yang baru.

Tanya: Bagaimana mekanisme proses penyerahan seserahan Roti Buaya, apakah

ada syarat-syarat sebelumnya ?

Page 97: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

87

Jawab: Secara mekanisme ia tidak memiliki cara-cara tertentu dalam penyerahan

roti buaya tersebut.

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Hanisah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat kebiasaan masyarakat Betawi yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Jawab: karena nikah dengan orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam

seserahanpernikahan ?

Jawab: mempertahankan kebudayaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya tidak percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

Page 98: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

88

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Tika Nurjanah

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Jawab: karena orang Betawi

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Jawab: karena kebiasaan

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: percaya

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

Page 99: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

89

Hasil Wawancara

Nama: Ibu Camah (Ketua RT)

Jabatan: Warga Kampung Pisangan

Tanya: Apa yang ibu ketahui tentang roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: untuk seserahan perkawinan adat Betawi

Tanya: Apa alasan ibu yang mengikut sertakan roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Jawab: untuk pelengkap sebagai seserahan

Tanya: Apa maksud atau tujuan ibu menggunakan roti buaya dalam seserahan

pernikahan ?

Jawab: untuk pengantin wanita

Tanya: Apa ibu percaya dengan mitos bahwa roti buaya tersebut menunjukan

simbol setia atau menikah sekali seumur hidup ?

Jawab: nggak

Tanya: Apa ibu setuju dengan adanya roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: setuju

Page 100: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

90

Hasil Wawancara

Nama: Bapak Dr. H. Fuad Thohari, MA

Jabatan: Dosen Fakultas Syariah dan Hukum (Tokoh Ulama)

Tanya: Apa yang bapak ketahui tentang adat betawi yang menggunakan roti

buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Roti buaya adalah model roti yang dibentuk menyerupai buaya yang

memiliki ekor, badan, kepala, gigi, dan taring. Adapun roti buaya tersebut

diserahkan pada saat seserahan. Selain itu juga dilengkapi dengan pakaian,

peralatan dapur, uang, permata, salah satu yang diserahkan adalah roti

buaya. Buaya itu simbol dari kesetiaan, siap mengorbankan untuk menjaga

anak-anaknya, ketika calon pengantin dari pihak laki-laki menyerahkan

roti yang dibentuk serupa dengan buaya itu sebenarnya tidak lain ingin

mengatakan ketika nanti sudah menikahi, ia tidak hanya siap menjadi

suami tetapi bertanggung jawab dalam hal melindungi, mengamankan,

menjaga, merawat istri dan anak-anak seperti bagaimana buaya

melindungi telurnya, anaknya, dan lain-lain.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab: Adapun kebiasaan laki-laki memberikan roti buaya itu selain

menggambarkan seserahan juga sebagai gambaran siap menjaga istrinya

sampai menutup usia. Meskipun, faktanya orang-orang Betawi yang

uangnya banyak istrinya tidak hanya satu, bahkan dua, tiga, empat.

Memberikan roti buaya itu mengingatkan saja bahwa ia pernah janji hanya

Page 101: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

91

memiliki satu istri saja dengan kesetiaannya. Dengan maksud menahan

diri saja. Adanya cerita masyarakat atau legenda pada umumnya tidak

hanya satu pandangan, tetapi banyak. Karena pandangannya tidak hanya

ada satu cerita, maka tidak tunggal ceritanya. Jadi, bisa saja dipahami

semacam keinginan laki-laki yang ingin brtanggung jawab seperti

wataknya buaya, jadi tidak keliru.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab: Mengaitkan sebuah perilaku manusia dengan sebuah legenda itu bisa saja,

karena legenda itu tidak absolut atau dengan kata lain tidak relatif maka

tafsirannya banyak tidak tunggal. Bila hanya tradisi tidak ada pelarangan

adapun kalau ada yang menganggapnya sebagai sesajen atau sebagai dewa

maka tidak diperbolehkan dalam Islam.

Page 102: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

92

Hasil Wawancara

Nama: Bapak Bapak Abdul Jalil

Jabatan: penghulu (tokoh ulama)

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : roti buaya itu merupakan simbolik yang dijadikan adat istiadat oleh orang

Betawi. Folisofinya bahwa buaya itu binatang yang tahan dan kuat. Maka

karena itu, menurut orang Betawi denagn simbol tersebut diharapakan kuat

mencari nafkah yang nanti akan menjadi suami. Setelah kuat mencari

nafkah, kemudian memiliki sikap yang tanggung jawab terhadap keluarga,

serta rejekinya mudah. Karena, buaya itu dikenal tidak jauh rejekinya,

kalau mencari makan cukup membuka mulutnya saja, mangsa akan

datang. Filosofi selanjutnya yaitu buaya dikenal sebagai binatang yang

setia pada pasangannya. Dalam penelitian otang Betawi itu kawin hanya

sekali. Jadi diharapkan dari suaminya nanti ia akan menjadi suami yang

setia dan tidak berkhianat. Menampakan symbol bagi masyarakat Betawi,

ada pelajaran-pelajaran berharga yang dapat diambil. Jadi, dengan

membawakan roti buaya ini sekaligus menunjukan siakp yang optimis

terhadap doa itu moga sisi positif yang ada pada diri buaya bisa diterapkan

kepada diri suami.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Page 103: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

93

Jawab : dalam hukum Islam tidak ada ketentuan harus menggunakan roti buaya

dalam seserahan pernikahan. Tetapi pada kaidah ushul fikih “bahwa tradisi

bisa menjadi hukum” oleh karena itu tradisi yang sudah menjadi kebiasaan

orang Betawi itu bisa menjadi hukum terhadap orang Betawi. Secara

hukum Islam roti buaya bukan kewajiban bukan juga sebagai sunnah.

Tetapi, karena hukum itu beredar sesuai zamannya. Apabila terjadi ketidak

harmonisan, adanya pembicaraan di luar. Maka biasa terjadi kewajiban

yetapi bagi yang mampu melaksanakannya. Karena fikih itu bagian dari

produkpemikiran manusia yang bersifat dinamis. “sesuatu yang dapat

menyempurnakan yang wajib, maka hukumnya bisa jadi wajib”. Sama

seperti roti buaya . bila ada pandangan pelit atau tidak mengerti tradisi

maka dikembalikan saja pada hukum Islam yaitu keadaan yang berlaku.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab : dikompromikan atau dimusyawarahkan dengan keluarg dan bisa

dipahami oleh keluarga. Karena itu termasuk hukum adat yang tak tertulis

apabila memang hukum ini sudah mengakar di masyarakat.

Page 104: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

94

Hasil Wawancara

Nama: Bapak H. Muhammad Ishak

Jabatan: tokoh ulama Betawi

Tanya: Apa yang bapak atau ibu ketahui tentang adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : buaya adalah binatang yang termasuk liar. Dengan adanya pasangan

jantan dan betina. Maka akan menjadi binatang yang jinak. Kemudian

buaya itu ternasuk binatang yang setia, dengan maksud menunjukan

lambang calon mempelai pengantin laki-laki supaya bisa setia dengan

istilah lain buaya itu akan jinak. Selanjutnya, kalau sudah berumah tangga,

kehidupannya lebih terang yang berarti lebih terarah lagi dalam jalur

agama begitu yang diharapkan oleh sang pengantin.

Tanya: Bagaimana pendapat bapak atau ibu mengenai hukum adat betawi yang

menggunakan roti buaya dalam seserahan pernikahan ?

Jawab : boleh-boleh saja, apabila hal itu tidak memberatkan. Adapun dalam segi

ekonomi apabila membebani, maka tidak perlu di adakan.

Tanya: Jika terjadi perbedaan pendapat hukum adat betawi yang menggunakan

roti buaya dalam seserahan pernikahan, bagaimana cara penyelesaiannya ?

Jawab :memberikan pengertian karena, agama sifatnya tidak membebani. Tetapi,

mempermudah bukan berarti memudahkan. Betawi itu luwes, tidak ada

takut ini atau takut itu. Karena, lebih menekankan pada hal-hal yang

diwajibkan dalam agama yaitu, jika dalam pernikahan adanya calon

Page 105: HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30113...HUKUM ADAT BETAWI YANG MENGGUNAKAN ROTI BUAYA DALAM SESERAHAN PERNIKAHAN PERSPEKTIF

95

sepasang pengantin, ijab qabul, saksi, dan terakhir wali. Tidak ada hal-hal

yang membebani.