profil seni budaya betawi

119

Upload: lulut-santoso

Post on 05-Aug-2015

726 views

Category:

Documents


78 download

TRANSCRIPT

1PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Daftar Isi ContentSambutan Kepala Dinas Pariwisata& Kebudayaan Prov. DKI JakartaProfil seni budaya betawiMusik a. Gambang Kromong b. Gambang Rancag c. Gamelan Ajeng d. Gamelan Topeng e. Keroncong Tugu f. Tanjidor g. Orkes Samrah h. Rebana i. Rebana Biang j. Rebana Ketimpring k. Rebana Ngarak l. Rebana Maulid m. Rebana Hadroh n. Rebana Dor o. Rebana Kasidah p. Rebana Maukhid q. Rebana Burdah r. Orkes Gambus s. Sampyong t. Marawis

Tari a. Tari Topeng b. Tari Cokek c. Tari Belenggo d. Blenggo Rebana e. Blenggo Ajeng f. Japin atau Zapin g. Tari Samrah h. Uncul i. Tari Pencak Silat j. Tari kreasi baru k. Tari yapongSastra a. Buleng b. Sahibul Hikayat c. RancagTeater a. Ondel-ondel b. Gemblokan c. Gambag Rancag d. Wayang kulit f. Wayang Golek g. Topeng h. Lenong

2

3

68

101214161820212324252627283031323536

3840424344444647485051

565758

60626365676871

737576777880838484858687

90939495969697989899

100101

104105106107108110112112113114

116117

118119

120121122122123125

- Lenong denes - Lenong Preman i. Jipeng j. Jinong k. Blantek l. Tonil Samrah m. Ubrug n. Wayang Si Ronda o. Wayang Dermuluk p. Wayang Senggol q. Wayang Sumedar r. Wayang WongSeni rupa a. arsitektur b. Potongan Gudang c. Potongan Joglo d. Potongan Bapang (Kebaya) e. Ragam Hias f. Rumah g. Masjid h. Perahu Nelayan i. Hiasan Pesta j. Alat kesenian k. Batik l. Pakaian BetawiBudaya a. Akeke (Hakekah) b. Sunatan c. Khatam Qur’an d. Menikah e. Bikin dan Pindah Rumah f. Nuju bulan g. Kaulan (Nazar) h. Lebaran i. Alam kematian j. Upacara lainHal-hal khusus a. Pecah kulit b. Keluarga Peranakan dan Belanda Indo c. Kampung Tugu d. Kampung Krukut e. Cikini - Gondangdia f. Prasasti Tugu g. Padrao h. Beberapa Tempat Ibadah i. GuruKuliner

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI2

Sambutan Kepala Dinas Pariwisata & Kebudayaan Provinsi DKI JakartaPreface Head Of Jakarta Tourism & Culture Office

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Perkembangan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya Betawi, akhir-akhir ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik. Terbukti dengan maraknya berbagai media masa yang memuat dan menanyangkan ragam budaya Betawi, baik sebagai sarana hiburan maupun pendidikan. Antusiasme Masyarakat tentunya perlu ditopang dengan informasi tertulis, sehingga masyarakat tidak hanya dapat menikmatinya dengan sesaat, tetapi juga sekaligus sebagai referensi dalam pengembangan kebudayaan di masa yang akan datang.

Buku “Profil Seni Budaya Betawi” ini merupakan bentuk stimulasi kepada masyarakat. Mereka perlu mengetahui dan mengenal lebih mendalam tentang keanekaragaman seni budaya yang dimiliki oleh masyarakat Betawi, dari keseniannya sampai pada adat istiadatnya. Dengan demikian diharapkan dapat menyebar secara luas tidak hanya di kalangan lokal, tetapi juga di tingkat nasional maupun internasional.

Oleh karena itu dalam rangka pemenuhan harapan masyarakat yang lebih luas, penulisan kali ini disajikan dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Semoga upaya yang dilakukan ini dapat membawa manfaat dan mampu mendukung pelestarian kebudayaan, yang didalamnya termasuk melindungi dan mengembangkan sekaligus memanfaatkannya sebagai warisan budaya yang memiliki nilai-nilai budi pekerti luhur.

The development of the appreciation of the community of Betawi cultural art lately showed the very good growth. Proven with the brightness of various period medias that contained and showed the style of the Betawi culture, both as entertainment means and education. The society enthusiasm must be definitely supported with information was written, so as the community only was not able to enjoy it with for a moment, but also at the same time as the reference in the development of culture in the period that will come.

The book “Profil Seni Budaya Betawi” Book was the form of stimulations to the community. They must know and knew deeper about the diversity of cultural art that was owned by the Betawi community, from his art to his customs and traditions. Therefore was expected to be able to spread widely not only in the local circle, but also in the national level and international.

Because of that in the fulfillment of hope of the wider community, the writing was this time presented in two languages that is Indonesian and English. It is hoped efforts that were carried out this could bring the benefit and could support conservation of culture that inside including protected and developed at the same time making use of him as the cultural inheritance that had the values of the noble character.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaratuh

Jakarta. 9 Desember 2009

DR. Arie Budhiman M.Si

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI2

3PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Profil Seni Budaya BetawiProfile of Batavianese Art & Culture

Sebagai ibu kota negara Indonesia Jakarta menjadi muara mengalirnya pendatang baru dari

seluruh penjuru Nusantara dan dunia. Meskipun begitu, etnik Betawi diduga sebagai penduduk yang paling awal mendiami kawasan ini, paling tidak sejak adad ke-2. Dalam buku Penelusuran Sejarah Jawa Barat (Dinas Kebudayaan Jawa Barat, 1984) disebutkan sebuah kerajaan bernama Salakanagara yang didirikan oleh Aki Tirem sudah berdiri di tepi sungai Warakas, Jakarta Utara. Aki Tirem kemudian mengangkat menantunya Dewawarman menjadi raja. Seorang pelawat asal Tiongkok, Fa Shien pun pada abad ke-5 mencatat kegiatan komunitas masyarakat yang mendiami daerah aliran sungai Ciliwung. Merekalah yang kemudian dinamakan manusia proto Melayu Betawi.

Jakarta kemudian dihuni oleh orang-orang Sunda, Jawa, Bali, Maluku, Melayu, dan dari beberapa daerah lainnya, disamping orang-orang Cina, Belanda, Arab, Portugis, dan lain-lain. Mereka membawa serta adat-istiadat dan tradisi budaya mereka ke tempat yang kelak akan meleburkan mereka dengan identitas budaya dan kesenian yang lain lagi. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antar-penduduk adalah bahasa Melayu dan bahasa Por-tugis yang lebih dari satu abad lamanya malang melintang berniaga sambil

As the capital city of Indonesia, Jakarta became the centre of comer from all of nation and

the world. Nonetheless, Batavianese ethnic has been assumed as the earliest resident of the area, at least since the 2nd century. In the book “Penelusuran Sejarah Jawa Barat” (Dinas Kebudayaan Jawa Barat, 1984) described that there was a kingdom named Salakanagara which was established by Aki Tirem around the Warakas River, Northern Jakarta. Aki Tirem then had a son in law named Dewawarman as the king. As a visitor from China, Fa Shien, in the 5th century, noted activities of communities around the bank on Ciliwung River. They are those who were called as proto Batavia Malay people.

Jakarta then dwelt by Sundanese, Javanese, Balinese, Moluccas, Malay and some other areas, besides Chinese, Dutch, Arabian, Portugal and many more. They brought their culture to the place where they melted those with other cultural identities and arts. The language that was used by the people was Portuguese and Malay which was used over a century by the traders while they spread their power over the nation. Jakarta is also a melting pot where many culture and art from all over the nation and world met, influence, melting and became the new identity of Batavia society or

3PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI4 PROFIL SENI BUDAYA BETAWI4

Batavianese/ Batavia people.

Time to time, Batavianese societies keep on developing with their cultural characteristics which settles stronger and can be differentiated from any other ethnic. But when it is observed deeper, it can be seen the influence of the cultural source. So it is not impossible if the form of the culture and art of Batavianese shows similarities with art and culture from other region or nation. For Batavianese people, everything that grows and developed at the centre of their art and culture is being held as their own culture without taking it as a problem from where the components of the culture itself are coming from.

To those arts they had as their components of culture shows the strongest characteristic of their Batavianese, especially to their performance art. Different from the palace art which was the masterpiece of the palace artist and looks superb, Batavianese art grows and developed in the society spontaneously with their simplicity. Therefore Batavianese’s art can be categorized as the people’s art, as it will be shown next.

menyebarkan kekuasaan di Nusantara. Jakarta adalah juga “panci pelebur” (melting pot) di mana banyak kebudayaan dan kesenian dari berbagai penjuru dunia dan nusantara bertemu, saling mempengaruhi, melebur dan menjadi identitas baru: masyarakat Betawi atau Orang Betawi.

Dari masa ke masa masyarakat Betawi terus berkembang dengan ciri-ciri budayanya yang makin lama semakin mantap sehingga mudah dibedakan dengan kelompok etnis lain. Namun bila dikaji secara mendalam akan tampak unsur-unsur kebudayaan yang menjadi sumber asalnya. Jadi tidaklah mustahil bila bentuk kesenian dan kebudayaan Betawi sering menunjuk-kan persamaan dengan kebudayaan dan kesenian daerah atau bangsa lain. Bagi masyarakat Betawi sendiri segala yang tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan seni budaya dirasakan sebagai miliknya sendiri seutuhnya, tanpa mempermasalahkan dari mana asal unsur-unsur yang telah membentuk kebudayaan itu.

Demikian pula sikapnya terhadap kaesenianya sebagai salah satu unsur kebudayaan yang paling kuat mengung-kapkan cirri-ciri kebetawian, terutama pada seni pertunjukan. Berbeda dengan kesenian kraton yang merupakan hasil karya para seniman istana dan terkesan adiluhung, kesenian Betawi justru tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat secara spontan dengan segala kesederhanaan. Oleh karena itu kesenian Betawi dapat digolongkan sebagai kesenian rakyaat. Sebagaimana akan dipaparkan berikut ini.

5PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Penduduk Betawi sejak awal sudah sangat heterogen. Kesenian Betawi lahir dari perpaduan berbagai unsur etnis dan suku bangsa yang ada

di Betawi. Seni musik Betawi tidak terhindar dari proses perpaduan itu. Dalam musik Betawi terdapat pengaruh Eropah, Tionghoa, Arab,

Melayu, Sunda, dan lain-lain.

From the beginning, Batavia’s residence had already been heterogonous. Art of Batavianese grows from the mixture of various ethnical elements and tribes in

Batavia. Batavianese’s music cannot avoid the melting process. In Batavianese’s music, there are Europan, Chinese, Arabian, Malay, Sundanese and much more.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI6

Nama gambang kromong diambil dari nama alat musik yaitu gambang dan

kromong. Ia juga merupakan paduan yang serasi antara unsur pribumi dan Cina. Unsur Cina tampak pada instrumen seperti tehyan, kongahyan, dan sukong, sementara unsur pribumi berupa kehadiran instrumen seperti gendang, kempul, gong, gong enam, kecrek, dan ningnong. Memang, pada mulanya gambang kromong adalah ekspresi kesenian mayarakat Cina peranakan saja. Sampai awal abad ke-19 lagu-lagu gambang kromong masih dinyanyikan dalam bahasa Cina. Baru pada dasawarsa pertama abad ke-20, retepertoar lagu gambang kromong diciptakan dalam bahasa Betawi. Belakangan dalam setiap pergelarannya gambang kromong selalu membawakan lagu-lagu dari khazanah Cina dan Betawi. Seperti lagu-lagu instrumental (phobin) berjudul Ma Tsu Thay, Kong Jie Lok, Phe Pan Tauw, Ban Kie Hwa, Phe Boo Tan, Ban Liauw, dan “lagu sayur”

Gambang Kromong

Gambang Kromong name is taken from the name of the music instrument, Gambang and

Kromong . It is also a valuable mixture between native and Chinese element. Chinese element can be seen on the instruments like Tehyan, Kongahyan and Sukong; while the native elements are Gendang, Kempul, Gong, Six Gong, Kecrek and Ningnong. It is true that Gambang Kromong was the expression of the Chinese descendant. Until early 19th centuries, Gambang Kromong was still sung in Chinese, but earlier of the 20th century, repertoire of Gambang Kromong created in Batavianese language. Later, in every Gambang Kromong performance, they perform songs from Chinese and Batavianese. As an example of instrumental songs (phobin) titled Ma Tsu Thay, Kong Jie Lok, Phe Pan Tauw, Ban Kie Hwa, Phe Boo Tan, Ban Liauw and other “light songs” titled Cente Manis, Kramat Kare, Wirih Kuning, Glatik Nguknguk, Surilang, Lenggang Kangkung, Kudehel, Stambul Jampang, and Jali-jali Kembang Siantan.

7PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

berjudul, antara lain, Cente Manis, Kramat Karem, Sirih Kuning, Glatik Nguknguk, Surilang, Lenggang Kangkung, Kudehel, Stambul Jampang, dan Jali-Jali Kembang Siantan.

Gambang kromong sangat terbuka menerima kemungkinan pengembangan. Itulah sebabnya dikenal gambang kromong kombinasi. Gambang kromong kombinasi disebut juga gambang kromong modern. Dikatakan kombinasi karena susunan alat musik asli ditambah atau dikombinasikan dengan lata musik Barat, seperti: gitar, gitar melodi, bass, organ, saksofon, drum, dan sebagainya. Gambang kromong kombinasi dapat memenuhi semua keinginan penonton. Dapat dibawakan jenis lagu dangdut, kroncong, pop, bahkan gambus.

Seniman musik pop pun bisa mempopulerkan lagu-lagu gambang kromong, seperti Benyamin S., Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi dan lain-lain. Sementara tokoh gambang kromong yang pernah dan masih dikenal sampai saat ini adalah Liem Lian Pho (pemimpin rombongan “Selendang Delima”), Suryahanda (pemimpin rombongan “Naga Mustika”), Samen, Acep, Marta (pemimpin rombongan “Putra Cijantung”, sebelumnya dipimpin oleh Nya’at), Amsar (pemimpin rombongan “Setia Hati” dari Bendungan Jago), Samad Modo (pemimpin rombongan “Garuda Putih”), L. Yu Hap, Tan Kui Hap, dan Jali Jalut.

Gambang Kromong is open to possibilities of development. That is why there is Combined Gambang Kromong . Combined Gambang Kromong is also called as the Modern Gambang Kromong , It is said as combination because the arrangement of the original musical instruments is being added or combined with the western music instruments like guitar, melodic guitar, Bass, Organ, Saxophone, Drum and many more. Combined Gambang Kromong can fulfill audience’s demand. They can also perform Dangdut, Keroncong, Pop and even Gambus.

Pop music artist can also popularize Gambang Kromong ’s songs, like Benyamin S., Ida Royani, Lilis Suryani, Herlina Effendi and many more. While other Gambang Kromong famous person who was famous and still recognized are Liem Lian Pho (leader of the “Selendang Delima” band), Suryahanda (leader of “Naga Mustika” band), Samen, Acep, Marta (leader of “Putra Cijantung” band, previously lead by Nya’at), Amsar (leader of “Setia Hati” from Bendungan Jago), Samad Modo (leader of “Garuda Putih”), L. Yu Hap, Tan Kui Hap and Jali Jalut.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI8

Gambang Rancag

Gambang rancag bisa disebut sebagai pertunjukan musik sekaligus teater, bahkan

sastra. Ia terdiri dari dua unsur, yaitu gambang dan rancag. Gambang berarti musik pengiringnya dan rancag adalah cerita yang dibawakannya dalam bentuk pantun berkait. Umumnya membawakan lakon-lakon jagoan, seperti Si Pitung, Si Jampang, dan Si Angkri. Pantun berkait ini dinyanyikan oleh dua orang bergantian. Sama dengan berbalas pantun.

Pergelaran gambang rancag selalu terbagi atas tiga bagian. Bagian pembukaan yang diisi dengan lagu-lagu phobin yang berfungsi mengumpulkan penonton. Bagian kedua diisi dengan menampilkan lagu-lagu hiburan atau “lagu sayur”. Bagian ini berfungsi sebagai selingan sebelum ngerancag

Gambang Rancag is usually described as a musical performance and theatre, even

literature. It consists of two elements, Gambang and Rancag. Gambang is the music and Rancag is the story which is being performed in connected poetry. Usually they perform acts about heroes, like Si Pitung, Si Jampang, and Si Angkri. This connected poetry is sung by two people alternately, like rhyming poetry.

Gambang Rancag performance is usually divided into three parts. The introductory filled with phobin song to gather the audience. The second part filled with entertaining music or “leaf song”.This part is the interlude before the Rancag begin. Both of the song are the same as the one being performed in Gambang Kromong . The song performed when doing Rancag are Dendang

9PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

dimulai. Kedua jenis lagu ini sama dengan yang dinyanyikan dalam gambang kromong. Bagian ketiga rancag. Lagu-lagu yang dibawakan dalam merancag adalah Dendang Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado.

Setiap pemain rancag bukan hanya harus mampu bernyanyi, tetapi juga dapat menyusun pantun dan hafal jalan cerita yang akan dibawakan. Dia harus hafal lakon-lakon yang dimainkan. Misalnya dua bait Rancag Si Pitung

Ambil simping asalnya kerang

Pasang pelita terang digantung

Pasang kuping nyatalah biar terang

Di gambang rancag buka rancag jago Bang Pitung

Pasang pelita terang digantung

Pisang kepok yang mude-mude

Buka rancag jago Bang Pitung

Segalenye Pitung ngerampog di wetan bagian Marunde

Surabaya, Gelatik Nguknguk, Persi, phobin Jago, Phobin Tintin, dan Phobin Tukang Sado.

Every Rancag player not only can sing, but they can also compose poet and remember the story line they perform. They have to memorize the play; for example like these two lines of Rancag Si Pitung.

Ambil simping asalnya kerang

Pasang pelita terang digantung

Pasang kuping nyatalah biar terang

Di gambang rancag buka rancag jago Bang Pitung

Pasang pelita terang digantung

Pisang kepok yang mude-mude

Buka rancag jago Bang Pitung

Segalenye Pitung ngerampog di wetan bagian Marunde

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI10

Gamelan Ajeng

Gamelan Ajeng is the Folkore music of Batavianese which was influenced by Sundanese

music. Some area of Sundanese also had Gamelan Ajeng. Like in district of Kawali, Ciamis, West Java. Eventhough it is the same, the development of it differ from the Gamelan Ajeng in Batavianese and Sundanese. Gamelan Ajeng Gandaria led by Radi Suardi, plays song like Carabali, Timblang, GaGambangan, Matraman, Banjaran, Jiro, songs that was not exist in Sundanese Gamelan Ajeng. Whilein Sumedang’s Gamelan Ajeng there are Papalayon, Engko, Titipati, Bayeman, Papalayon Buyut, dan Bondol Hejo.

Gamelan music instruments includes 10 pencin, trumpet, Gendang (2 big Gendang and 2 kulanter), 2 Saron, Bende, Cemes (like cecempres), kecrek. Sometimes

Gamelan Ajeng merupakan musik folklorik Betawi yang mendapat pengaruh

dari musik Sunda. Beberapa daerah di Pasundan terdapat pula gamelan ajeng. Seperti di Kecamatan Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Meskipun begitu perkembangan kemudian membedakan gamelan ajeng di Betawi dan gamelan serupa di Pasundan. Gamelan ajeng Gandaria pimpinan Radi Suardi misalnya memainkan lagu-lagu seperti Carabali, Timblang, Gagambangan, Matraman, Banjaran, Jiro, lagu-lagu yang tidak ada di gamelan ajeng di Pasundan. Sementara lagu-lagu yang terdapat dalam gamelan Ajeng Sumedang adalah Papalayon, Engko, Titipati, Bayeman, Papalayon Buyut, dan Bondol Hejo.

Alat musik gamelan ajeng terdiri dari kromong sepuluh pencin, terompet,

11PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

gendang (dua gendang besar, dua kulanter), dua saron, bende, cemes (semacam cecempres), kecrek. Kadang-kadang ada juga yang menggunakan dua gong: gong laki dan gong perempuan.

Gamelan ajeng biasa digunakan untuk memeriahkan hajatan, seperti khitanan atau perkawinan. Pada mulanya tidak biasa digunakan sebagai pengiring tarian. Tapi pada perkembangannya kemudian digunakan pula sebagai pengiring tarian yang disebut “Belenggo Ajeng”. Belakangan ini, sesuai denga perkembangan zaman dan untuk memuaskan penontonnya, gamelan ajeng juga memainkan lagu-lagu Sunda pop. Bahkan ada pula yang digunakan untuk mengiringi tari Jaipong.

Di samping di Gandaria, gamelan ajeng juga berkembang di pinggiran Jakarta lainnya, seperti di Kelapa Dua Wetan dipimpin oleh Oking alias Peking, di Cireundeu dipimpin oleh Neran, di Pakopen Tambun dipimpin Sarah, dan di Karanggan Pondok Gede dipimpin oleh Saad.

there are also 2 gongs, one male gong and one female gong.

Gamelan Ajeng is usually being used to entertain events like circumcision or marriage. In the beginning it is not common to use it for dances. But later in the development it also used to deliver a dance which is called “Belenggo Ajeng”. Lately, along with the period of development and to satisfy the audience, Gamelan Ajeng also plays Sundanese Pop. And even be used to do Jaipong dance.

Other than Gandaria, Gamelan Ajeng also grows around the suburban of Jakarta, like in Eastern Kelapa Dua led by Oking or Peking, in Cireundeu led by Neran, in Pakopen Tambun led by Sarah and in Karanggan Pondok Gede led by Saad.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI12

Gamelan Topeng

Masked Gamelan is a series of Gamelan that accompany Masked Batavianese, as like

Gambang Kromong which accompany the Lenong performance. Masked Gamelan is the simplification of the full Gamelan. Consist of 3 Rebab, pair of Gendang (large Gendang and Kulanter), Ancang kenong with three pencong, Kecrek, Kempul which was hung and Tahang Gong or Angkong Gong. Kenong with three pencong here is used by 2 panjak. The first one hit pencon kenong (called “ngenong”), and the other

Gamelan Topeng adalah seperangkat gamelan untuk mengiringi topeng Betawi,

sebagaimana gambang kromong untuk mengiringi pertunjukan lenong. Gamelan topeng merupakan penyederhanaan dari gamelan lengkap. Terdiri dari rebab, sepasang gendang (gendang besar dan kulanter), ancang kenong berpencong tiga, kecrek, kempul yang digantung dan sebuah gong tahang atau gong angkong. Kenong berpencong tiga di sini ditabuh oleh dua panjak. Yang pertama

13PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

one hit kenceng or the tip of kenong (called “ngenceng”). Because of this simplification, Masked Gamelan can be brought around as the tool for street musician from one area to another. Especially in New Year celebration, Chinese New Year , as like done by the previous Hajj Bokir in early 1950s.

The hitting of Kempul hold the most important role in the mask performance because it is a signal that the performance is about to begin. After that, continued with the scratch of single violin (called “arang-arangan”). The length depends on the opportunity, but it’s also to assemble panjak which is not ready yet. After arang-arangan done, continued with “talu” or “tetalu” which is hit harder than before and function as the audience gatherer. After that the pre performance started, it is a dance performance. The preact performed through “Lipetgandes” done by a bodor or mask Ronggeng (mask dancer). After it’s finished starts the main performance. In the act performance, long or short, Gamelan is the sign of chapter changes, to accentuate the movement and the story line.

There are 2 repertoirre that usually performed in Masked Gamelan. The 1st is “inner” like Kang Aji, Gendol Ijo, Glenderani and others. Second, “the outer” songs, like the songs that usually performed based on audience’s request. For example, Geseh and Bongbang.

menabuh pencon kenong (“ngenong”), yang satu lagi menabuh kenceng atau pinggiran kenong (“ngenceng”). Lantaran penyederhanaan ini gamelan topeng bisa dibawa berkeliling untuk “ngamen” dari kampung ke kampung. Terutama pada saat perayaan tahun baru, baik Masehi maupun Imlek, sebagaimana dilakukan rombongan almarhum Haji Bokir pada era 1950-an.

Pemukulan kempul memegang peranan penting dalam pertunjukan topeng sebab ia menandakan pertunjukan akan segera dimulai. Setelah itu dilanjutkan dengan gesekan rebab tunggal (“arang-arangan”). Panjangnya tergantung kesempatan, tetapi ia juga berfungsi untuk mengumpulkan panjak yang belum siap di tempat. Setelah arang-arangan dilanjutkan dengan “talu” atau “tetalu” yang ditabuh lebih keras dari sebelumnya dan berfungsi untuk mengumpulkan penonton. Setelah itu barulah pertunjukan pendahuluan atau pralakon bermula, yakni pertunjukan tari-tarian. Pralakon berlangsung melalui “Lipetgandes” yang dilakukan oleh seorang bodor dan ronggeng topeng (penari topeng). Setelah selesai, bermulalah pertunjukan inti. Dalam pergelaran lakon, panjang atau pendek, gamelan berfungsi sebagai tanda pergantian babak, untuk memberikan aksentuasi gerakan dan jalan cerita.

Ada dua repertoar yang biasa dibawakan gamelan topeng. Pertama lagu-lagu “dalem” seperti Kang Aji, Gendol Ijo, Glenderani, dan sebagainya. Kedua, lagu-lagu “luar”, yaitu lagu-lagu yang biasa diperdengarkan berdasarkan permintaan penonton. Antara lain, Geseh dan Bongbang.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI14

Keroncong Tugu

KeroncongTugu used to be called CafinhoTugu. Portuguese descendants (mestizo) have

been playing this song since 1661. Portuguese influence can be recognized from the rhythm of the song. As an example, Moresko, Frounga, Cafrinyo and Nina Bobo. KeroncongTugu is not too different from other Keroncong type. But not very identical either. KeroncongTugu’s rhythm is faster. This faster beat is caused by Ukulele sound which strings were all scratched. While Keroncong from Solo and Yogyakarta, have slower beat.

At the beginning, KeroncongTugu was played by only 3 or 4 people. The musical instruments are 3 gutars, which is: big Frounga guitar with 4 strings, Monica guitar sized medium with 3-4 strings, and small sized Jitera guitar with 5 strings. In the development, Keroncong then have an addition of

Keroncong Tugu dahulu sering disebut Cafrinho Tugu. Orang-orang keturunan

Portugis (mestizo) telah memainkan musik ini sejak 1661. Pengaruh Portugis dapat diketahui dari jenis irama lagunya. Misalnya moresko, frounga, kafrinyo, dan nina bobo. Keroncong Tugu tidak jauh beda dengan keroncong pada umumnya. Tapi juga bukan sama persis. Keroncong Tugu berirama lebih cepat. Irama yang lebih cepat ini disebabkan oleh suara ukulele yang memainkannya digaruk seluruh senanrnya. Sementara keroncong Solo atau Yogya berirama lebih lambat.

Keroncong Tugu pada mulanya dimainkan oleh 3 atau 4 orang. Alat musiknya hanya 3 buah gitar, yaitu: gitar Frounga yang berukuran besar dengan 4 dawai, gitar Monica berukuran sedang dengan 3-4 dawai, dan gitar Jitera yang berukuran keci dengan 5 dawai. Selanjutnya alat musik

15PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

flute, violin, Rebana, mandolin, cello, Kempul and triangle. Keroncong used to be palying melancholic beat songs, and then widened with poetic rhythm, Istambul beat, Malayan beat, Langgam Keroncong, and Javanese beat. The lyric usually uses Portuguese withTugu Village Batavianese dialect.

KeroncongTugu is still being performed in various places and occasion. On the stage, the performer has very specific outlook: male using white moslem clothing, Batik pants, and beret like hat. They usually wear some kind of scarf on their neck. While the female uses Kebaya( traditional female clothing). KeroncongTugu figures nowadays are Samuel Quicko and Fernando who lead “Moresko Toegoe” in KampongTugu, Cilincing district, Northern Jakarta. Both of them were helped by their family, Ester and Bernado. Before them, their parents: Oma (Grandmother) Kristin (Christine) and Opa (Grandfather) Eddy Wasch who received award from the Governor of the Special Region for the Capital City of Jakarta in 1976.

Keroncong Tugu ditambah dengan suling, biola, rebana, mandolin, cello, kempul, dan triangle. Dulu keroncong ini sering membawakan lagu berirama melankolis, diperluas dengan irama pantun, irama stambul, irama Melayu, langgam keroncong, dan langgam Jawa. Syair lagu-lagunya kebanyakan masih menggunakan bahasa Portugis, yang cara pengucapannya sudah terpengaruh dialek Betawi Kampung Tugu.

Keroncong Tugu masih sering pentas pada berbagai tempat dan kesempatan. Di atas pentas para pemainnya selalu berpenampilan khas: yang laki-laki mengenakan baju koko putih, celana batik, dan tutup kepala semacam baret. Mereka juga selalu memakai semacam syal yang melingkari leher. Sementara yang perempuan memakai kebaya. Tokoh keroncong Tugu saat ini adalah Samuel Quicko dan Fernando yang memimpin “Moresko Toegoe” di Kampung Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Mereka berdua dibantu oleh saudara-saudara mereka, Ester dan Bernado. Sebelumnya ada orang tua mereka: Oma Kristin (Christine) dan opa Eddy Wasch yang pernah memperoleh penghargaan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 1976.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI16

Tanjidor

Tanjidor music is suspected came from the Portuguese who came to Batavia in the 14th century

to 16th century. Ernst Heinz, a music expert from Dutch, noted that Tanjidor derived from the slaves who were supposed to be performing music for their master. Dr. F. De Haan, a historian from the Dutch, also noted that Tanjidor orchestra derivd from the slave’s orchestra during the colonialism. Musical instruments they played are: Clarinet, Piston, Trombone, Tenor, Bass Trumpet, Tambourine, cymbal and much more. They entertain their master during parties and dinner. When slavery was abolished in 1860, the musician formed a musical group. Then established a musical group named Tanjidor.

Songs performed by the Tanjidor are Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, and Cakranegara. That

Musik tanjidor diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada

abad ke-14 sampai ke-16. Ahli musik dari Belanda bernama Ernst Heinz berpendapat tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan main musik untuk tuannya. Sejarawan Belanda Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kolonial. Alat musik yang mereka mainkan antara lain: klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, simbal, dan lain-lain. Mereka menghibur tuan mereka saat pesta dan jamuan makan. Ketika perbudakan dihapuskan pada 1860, pemain musik musik, mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan tanjidor.

Lagu-lagu yang dibawakan tanjidor antara lain Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, dan Cakranegara. Judul lagu itu berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi.

17PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

song had the Dutch soul even though it is spelled with Batavianese’s dialect. Tanjidor’s songs are also enriched with Gambang Kromong ’s songs. That’s why the instruments are added with Tehyan, Rebana, Beduk, Gendang, Kecrek, Kempul and Gong.

During 1950s, Tanjidor Orchestra was only a street musician, especially during the New Year and Imlek. With bare feet or with slippers, they make money by coming to houses around the elite areas like Menteng, Salemba, and Kebayoran Baru, areas which was dwelt by the Dutch. During Chinese New Year, Tanjidor usually played longer. Because Chinese New Year are celebrated untuil the Cap Go Meh celebration, which is the 15th Imlek day.

Tanjidor grows in the outskirt of Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi and Tangerang. In that area, there are plantation and villas owned by the Dutchman, where the slaves played Tanjidor for their master. Famous Tanjidor nowadays are Putra Mayangsari lead by Marta Nyaat in Cijantung, Eastern Jakarta and Pusaka lead by Said in Jagakarsa, Southern Jakarta.

Lagu-lagu tanjidor juga diperkaya dengan lagu-lagu gambang kromong. Karena itu instrumennya bisa ditambah dengan tehyan, rebana, beduk, gendang, kecrek, kempul, dan gong.

Pada era 1950-an orkes tanjidor masih ngamen. Khususnya pada tahun baru Masehi dan Imlek. Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit mereka ngamen dari rumah ke rumah di kawasan elite, seperti Menteng, Salemba, dan Kebayoran Baru, daerah-daerah yang banyak dihuni orang Belanda. Pada tahun baru Cina biasanya tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Cap Go Meh, yaitu pesta hari ke-15 Imlek.

Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda, di mana budak-budak mereka memainkan musik tanjidor untuk sang tuan. Adapun grup tanjidor yang kini menonjol adalah Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat di Cijantung Jakarta Timur dan Pusaka pimpinan Said di Jagakarsa Jakarta Selatan.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI18

Orkes Samrah

Samrah has been growing in Jakarta since the 17th century. It was originated from the

Malayan. That can be caused because one of the pioneers of the Batavianese people came from the Malay. Samrah is probably derived from the Arabic word “Samarokh” which means to gather or party and relax. The word “samarokh” is pronounced “Samrah” or “sambrah”. In the Batavianese art, Samrah became Samrah Orchestra and Samrah tonil and also the Samrah dance.

Sambrah orchestra is an ensemble of Batavianese music. The musical instruments are harmonium, violin,guitar, bass string, maracas, banjo, and cello. In their performance of a song, musical instrument harmonium is very dominant and now has already extinct. That is why the Samrah Orchestra is also called Harmonium Orchestra. This orchestra is used as an entertainment in various

Samrah telah berkembang di Jakarta sejak abad ke-17. Asalnya dari Melayu. Hal itu

dimungkinkan karena salah satu suku yang menjadi cikal bakal orang Betawi adalah Melayu. Samrah berasal dari kata bahasa Arab “samarokh” yang berarti berkumpul atau pesta dan santai. Kata “samarokh” oleh orang Betawi diucapkan menjadi “samrah” atau “sambrah”. Dalam kesenian Betawi, samrah menjadi orkes samrah dan tonil samrah serta tari samrah.

Orkes Sambrah adalah ansambel musik Betawi. Instrumen musiknya antara lain harmonium, biola, gitas, string bas, tamburin, marakas, banyo, dan bas betot. Dalam menyajikan sebuah lagu, unsur alat musik harmonium sangat dominan dan kini sudah langka. Maka orkes samrah disebut pula sebagai orkes harmonium. Orkes ini dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dalam berbagai acara. Lagu-lagu

19PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

occasions. The main songs are in Malay, like Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Pakpung Pak Mustape, and others. Besides that, they also play specific Batavianese song like Jali-jali, Kicir-kicir, and Lenggang-lenggang Kangkung.

Samrah player have two costumes: Islamic Rimless hat, coat and sticking cloth or sadariah and Batik pants. Now it is added with another type which actually is the old type, “jung serong” (the tip is askew), which consists of head cover called liskol, covered conscript with monochrome panetolan and a piece of Batik cloth girded under the coat, folded askewly, with the down part comes out downward.

Area of distribution of Samrah is limited around the area of Middle Batavianese, like Tanah Abang, Cikini, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar and Petojo. The supporters of Samrah mainly are middle class. Now the population is decreased, even though the Institute of Batavianese Culture has been trying to uprising it; especially for the most representing Samrah group led by the late Harun Rasyid.

pokoknya berbahasa Melayu seperti Burung Putih, Pulau Angsa Dua, Cik Minah Sayang, Sirih Kuning, Masmura, Pakpung Pak Mustape, dan sebagainya. Di samping itu dimainkan juga lagu-lagu yang khas Betawi, seperti Jali-jali, Kicir-kicir, dan Lenggang-lenggang Kangkung.

Kostum yang dipakai pemain samrah ada dua macam: peci, jas, dan kain pelekat atau baju sadariah dan celana batik. Sekarang ditambah lagi satu model yang sebenarnya model lama, “jung serong” (ujungnya serong), yang terdiri dari tutup kepala yang disebut liskol, jas kerah tutup dengan panetolan satu warna dan sepotong kain batik yang dililitkan di bawah jas, dilipat menyerong, ujungnya menyembul ke bawah.

Daerah penyebaran samrah terbatas di kawasan Betawi Tengah, seperti Tanah Abang, Cikini, Paseban, Tanah Tinggi, Kemayoran, Sawah Besar dan Petojo. Masyarakat pendukungnya kebanyakan kelas menengah. Kini popularitasnya makin surut, meski belakangan Lembaga Kebudayaan Betawi berupaya untuk membangkitkannya. Terutama membantu kelompok samrah yang paling representatif yang pernah dipimpin oleh almarhum Harun Rasyid.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI20

Rebana

Rebana terbilang kesenian yang cukup populer di Jakarta. Di daerah lain, terutama di Jawa, alat musik bermembran ini disebut “terbang”. Sebutan rebana diduga berasal dari kata Arab “robbana” (Tuhan kami). Sebutan

ini muncul karena alat musik ini biasa digunakan untuk mengiringi lagu-lagu bernafaskan Islam. Lama-kelamaan alat musiknya disebut “rebana”, atau “robana”, sebagaimana terjadi di daerah Ciganjur, Pondok Pinang dan sekitarnya. Hampir semua jenis rebana Betawi terdapat di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Selebihnya di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Berdasarkan jenis alat, sumber syairnya, wilayah penyebarannya dan latar belakang sosial pendukungnya, rebana Betawi terdiri atas jenis-jenis berikut ini:

Rebana is one of the most popular arts in Jakarta. In other area, especially in Java, this musical instrument with membrane is called “Terbang.” The word Rebana assumed came from the word “robbana” (Our God). Later the

instruments are called “Rebana” or “robana”, as like what happens in the Ciganjur area, Pondok Pinang and the area around it. Almost all type of Batavianese Rebana was in the Central Jakarta and Southern Jakarta. Others are at the Northern Jakarta, Western Jakarta, Eastern Jakarta, Bekasi Sub-Province, Bogor Sub-Province, and Tangerang Sub-province. Based on the instruments, the source of the lyrics, area of distribution and social support background, Batavianese Rebana can be classified into these:

21PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Di daerah lain rebana jenis ini disebut juga dengan Rebana Gede, Rebana Salun, Gembyung, dan Terbang Selamet. Disebut rebana biang karena salah satu rebananya berbentuk besar. Meski bentuknya sama, rebana biang terdiri dari empat jenis. Yang paling kecil berdiameter 20 cm biasa disebut ketog; yang bergaris tengah 30 cm disebut gendung; yang sedang bergaris tengah 60 cm dinamai kotek; yang paling besar bergaris tengah 60—80 cm dinamai biang. Karena bentuknya yang besar, rebana biang dimainkan sambil duduk dengan cara menyanggahnya dengan telapak kaki dan lutut.

Bila cara membawakan rebana jenis lain tampak khidmat dan syair-syairnya yang berasal dari bahasa Arab diucapkan dengn tajwid dan makhraj yang bagus, maka kata-kata Arab dalam orkes rebana biang diucapkan dengan lidah atau dialek setempat. Lagu rebana biang ada dua macam. Pertama, yang berirama cepat, disebut lagu Arab atau lagu nyalun, seperti Rabbuna Salun, Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, dan Hadro Zikir. Kedua, yang berirama lambat, disebut lagu rebana atau lagu Melayu, antara lain Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun

In the other area, this Rebana is also called Rebana Gede (large), Rebana Salun, Gebyung, and Terbang Selamet. It is called Rebana Biang because one of the Rebana is large. Eventhough its shape is the same, Rebana Biang consists of 4 types. The smallest diameter is 20cm which usually called ketog; the one with the diameter 30cm is called gendung; the middle one with 60cm diameter called kotek; and the largest has 60 – 80 cm diameter called Biang. Because of shape is large, Rebana Biang is usually played while sitting and support it with the foot palm and the knee.

If other Rebana type are solemn and brought in Arabic language with correct tajwid and good makhraj, then Arabic words used in Rebana Biang orchestra is brought with local dialect. There are two types of Rebana Biang. First, faster beat, calles Arabic songs or nyalun songs like Rabbuna Salun,

Rebana Biang Rebana Biang

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI22

Selosin, Sangrai Kacang.

Kebanyakan kelompok rebana biang yang lebih dekat dengan kota Jakarta, seperti rebana biang Ciganjur, lebih banyak memiliki perbendaharaan laku-laku “dikir” berbahasa Arab atau lagu-lagu berlirik bahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Sementara kelompok-kelompok rebana biang di daerah pinggiran, seperti Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng dan Parung dalam pergelaran ada juga yang menambahkan alat-alat musik lain, seperti terompet, rebab, tehyan, bahkan biola. Penambahan ini untuk menggantikan lagu-lagu “dikir”. Di samping untuk mengiringi nyanyian atau “dikir”, rebana biang juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Blenggo atau “Blenggo Rebana”. Sementara teater yang biasa diiringi dengan rebana biang adalah Blantek.

Dahulu grup rebana biang banyak tersebar seperti di Kalibata Tebet, Condet, Kampung Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede, dan sebagainya. Yang kini masih bertahan grup rebana biang Pusaka pimpinan Abdulrahman di Ciganjur. Namun personel grup ini sebagian besar sudah tua. Sebelumnya ada kelomok rebana biang Kong Sa’anan yang sangat terkenal di era 1950-an karena dipercaya memiliki “ronggeng gaib” yang mampu menyedot dan menghipnotis penonton sehingga sukarela bertahan sampai pagi.

Allahah, Allah Aisa, Allahu Sailillah, and Hadro Chants. Second, slower beat, called Rebana or Malayan songs, for example Alfasah, Alaik Soleh, Dul Sayiduna, Dul Laila, Yulaela, Sollu Ala Madinil Iman, Anak Ayam Turun Selosin, Sangrai Kacang.

Most Rebana Biang groups are closer to Jakarta, like Rebana Biang from Ciganjur, which has more “Chants” act in Arabic language or songs in Batavianese language or Sundanese, which meaning is not quite understood by the artist themselves. While other Rebana Biang groups from the outskirts like Pondok Rajeg, Cakung, Ciseeng and Parung, made addition of musical instruments like trumpet, rebab, tehyan and even violin. This addition is to change “Chants” songs. Besides to accompany dances or “Chants”, Rebana Biang is usually used to accompany Blenggo dance or “Blenggo Rebana”. While common theatre is usually accompanied by Rebana Biang is Blantek.

Rebana Biang groups used to spread around Kalibata, Tebet, Condet, Kampung Rambutan, Kalisari, Ciganjur, Bintaro, Cakung, Lubang Buaya, Sugih Tanu, Ciseeng, Pondok Cina, Pondok Terong, Sawangan, Pondok Rajeg, Gardu Sawah, Bojong Gede and much more to mention. The only surviving Rebana Biang group is Rebana Biang Pusaka led by Abdurrahman in Ciganjur. But the personnel of this group are mostly old. Before, there is the famous Kong Sana’an Rebana Biang group in the 50s which was believed to have Mystical Ronggeng (dancer) who can attract and hypnotize the audiences voluntarily and stay until the morning come.

23PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sebutan Rebana Ketimpring mungkin karena adanya tiga pasang “kerincingan”, yakni semacam kercek yang dipasang pada badannya, yang terbuat dari kayu yang menurut istilah setempat disebut “kelongkongan”. Tapi tidak semua rebana berkerincingan disebut rebana ketimpring, ada pula yang bernama rebana hadroh dan rebana burdah.

Rebana ketimpring jenis rebana yang paling kecil. Garis tengahnya hanya berukuran 20 sampai 25 cm. Dalam satu grup ada tiga buah rebana. Ketiga rebana itu mempunyai sebutan rebana tiga, rebana empat, dan rebana lima. Rebana lima berfungsi sebagai komando. Sebagai komando, rebana lima diapit oleh rebana tiga dan rebana empat. Rebana Ketimpring mempunyai dua fungsi: sebagai Rebana Ngarak dan Rebana Maulid.

The word Rebana Ketimpring may be derived from the three pair of “kerincingan”, some sort of kecrek which was being attached to the body, made of wood and according to local idioms called “kelongkongan”. But not all Rebana with “kerincingan” called Rebana Ketimpring, there were those calles Rebana Hadroh and Rebana Burdah.

Rebana Ketimpring is the smallest Rebana. The diameter is about 20 – 25 cm. In one group, there are 3 rebanas. Those three rebanas is called Rebana 3, Rebana 4, and Rebana 5. The function of the Rebana 5 is to command. As the commander, Rebana 5 is put between Rebana 3 and 4. Rebana Ketimpring has two functions: Rebana Ngarak and Rebana Maulid.

Rebana Ketimpring Rebana Ketimpring

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI24

Sesuai dengan namanya, Rebana Ngarak berfungsi mengarak dalam suatu arak-arakan. Rebana ngarak biasanya mengarak mempelai pengantin laki-laki menuju ke rumah mempelai pengantin perempuan. Syair lagu rebana ngarak biasanya shalawat. Syair shalawat itu diambil dari kitab maulid Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh. Karena berfungsi mengarak itulah, rebana ngarak tidak statis di satu tempat saja.

Gaya pukulan rebana ngarak biasanya disesuaikan dengan kesempatan. Misalnya selama perjalanan pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan biasanya menggunakan pukulan “salamba”. Setelah berada di rumah pengantin perempuan biasanya digunakan gaya “sadati”. Mungkin berasal dari kata “syahadatain”, dua kalimat syahadat yang akan diucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.

Rebana ngarak saat ini berkembang dengan baik. Banyak remaja dan pemuda mempelajarinya. Dalam grup rebana ngarak dipelajari pula berbalas pantun dan silat, seperti dalam upacara ngarak pengantin. Grup rebana ngarak terdapat di berbagai kampung. Misalnya di kampung Paseban, Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, dan lain-lain.

As from the name, Rebana Ngarak is for accompanying a parade. Rebana Ngarak is usually to accompany groom’s journey to the bride’s house. Rebana Ngarak’s lyric are usually Shalawat (prayer). The prayer is usually taken from the Maulid book of Syarafal Anam, Addibai, atau Diiwan Hadroh . Because the function is to accompany journey, Rebana Ngarak is not staying in one place only.

The way of hitting the Rebana is usually customized on the occasion. For example, during the journey of the groom to the bride’s house usually using the “salamba” beat. After they have arrived in the bride’s house, the beat changes to “sadati” style. Maybe it is derived from the word “syahadatain”, 2 sentences creed which will be said by the groom in front of the chieftain.

Rebana Ngarak is now expanding. A lot of teenagers learn it. In the Rebana Ngarak group, they also learn about poetry and Silat, like in the procession. Rebana Ngarak groups can be found in several districts. For example in Kampung Paseban , Kwitang, Karang Anyar, Kali Pasir, Kemayoran, Kayu Manis, Lobang Buaya, Condet, Ciganjur, Grogol, Kebayoran Lama, Pejaten, Pasar Minggu, Kalibata, and other area.

Rebana Ngarak Rebana Ngarak

25PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sesuai namanya rebana ini berfungsi sebagai pengiring pembacaan riwayat nabi Muhammad. Kitab maulid yang biasa dibaca Syarafal Anam karya Syaikh Albarzanji dan kitab Addibai karya Abdurrahman Addibai. Tidak seluruh bacaan diiringi rebana. Hanya bagian tertentu seperti Assalamualaika, Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. Bagian Asyrakal lebih semangat karena semua hadirin berdiri. Pembacaan maulid nabi dalam masyarakat Betawi sudah menjadi tradisi. Pembacaan maulid tidak terbatas pada bulan mulud (Rabiul Awwal) saja. Setiap acara selalu ada pembacaan maulid. Apakah khiatanan, nujuhbulanin, akekah, pernikahan, dan sebagainya.

Pukulan rebana maulid berbeda dengan pukulan rebana ngarak. Nama-nama pukulan rebana maulid disebut pukulan jati, pincang sat, pincang olir, dan pincang harkat. Dahulu ada seniman rebana maulid yang gaya pukulannya khas. Seniman ini bernama Sa’dan, tinggal di Kebon Manggis, Matraman. Sa’dan memperoleh inspirasi pukulan rebana dari gemuruh air hujan. Gayanya disebut gaya Sa’dan.

As from the name, this Rebana’s function is to attend the reading of Prophet Muhammad’s history. The book of mauled can be read in Syarafal Anam written by Syeikh Albarzanji and the book of Addibai written by Abdurrahman Addibai. Not all reading is attended by the Rebana, only some parts like , Bisyahri, Tanaqqaltu, Wulidalhabibu, Shalla ‘Alaika, Badat Lana, dan Asyrakal. In the Asyrakal part it can be felt that the spirit is increased because all of the attendants are standing. The reading of the Prophet’s birth in Batavianese people is a tradition. The reading of the birth is not closed to the Maulud month only (Rabiul Awwal). There is always a reading of the birth in almost every occasion, like circumcision, celebrating the 7th month, Akekah, wedding or other occasions.

The Rebana Maulid is different from the Rebana Ngarak beat. The name of the beat of Rebana Maulid is called teak, pincang sat, pincang olir, and pincang harkat. There was an artist of Rebana Ngarak who had very specific beat. His name is Sa’dan, lived in Kebon Manggis in Matraman. Sa’dan had the beating inspiration from the rumbling sound of rain. His style is called Sa’dan style.

Rebana Maulid Rebana Maulid

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI26

Pada umumnya ukuran Rebana Hadroh agak lebih besar dari rebana ketimpring. Garis tengahnya rata-rata 30 cm. Rebana hadroh terdiri dari tiga jenis. Pertama disebut Bawa, irama pukulannya cepat, dan berfungsi sebagai komando. Kedua disebut Ganjil atau Seling dan berfungsi saling mengisi dengan bawa. Ketiga disebut Gedug yang berfungsi sebagi bas. Karena itu ada pula yang menyebutnya “rebana gedug”.

Cara memainkan rebana hadroh bukan dipukul biasa tapi dipukul seperti memainkan gendang sehingga terdengar agak melodius. Jenis pukulan rebana hadroh ada empat, yaitu tepak, kentang, gedug, dan pentil. Keempat jenis pukulan itu dilengkapi dengan naman-nama irama pukulan. Nama irama pukulan, antara lain irama pukulan jalan, sander, sabu, pegatan, sirih panjang, sirih pendek, dan bima. Sementara lagu-lagu rebana hadroh diambil dari syair Diiwan Hadroh dan syair Addibaai. Yang khas dari pertunjukan rebana hadroh adalah Adu Zikir. Dalam adu zikir tampil dua grup yang silih berganti membawakan

Generally, the size of Rebana Hadroh is bigger than Rebana Ketimpring. The diameter is 30 cm. There are three types of Rebana Hadroh . The first is called Bawa the beat is fast, and functioned as the commander. Second, is Ganjil or Seling and the function is to fill each other with Bawa. Third, is Gedug as the Bass. Some people call it “Rebana Gedug”.

To play Hadroh is not only like the normal hitting but it is more like playing Gendang so it sounds more melodic. There are 4 types of the Rebana Hadroh beat, they are tepak, kentang, gedug and pentil. These beat is completed with the name of the beat. The name is like Walking beating, sander, sabu, pegatan, short sirih, long sirih, and Bima. While Hadroh ’s song s taken from the poetry of Diiwan Haroh and the poem of Addibaai. The typical from the Rebana Hadroh performance is the Chants Duel. In the Chants duel, there are two groups which take turns in reading the poem of Diiwan Hadroh . The group who lose is usually those who didn’t remember the poetry.

Rebana Hadroh Rebana Hadroh

27PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Perbedaan rebana ketimpring dengan Rebana Dor adalah pada rebana dor terdapat lubang-lubang kecil pada “kelongkongnya” untuk tempat jari. Mungkin untuk memudahkan atau agar lebih enak memegangnya. Cara memegang rebana dor terkadang bertumpu pada lutut kiri kanan. Tangan kiri dan kanan bebas memukul rebana. Rebana dor adalah rebana yang fleksibel. Rebana dor dapat dimainkan bersama rebana ketimpring, rebana hadroh, bahkan dengan orkes gambang.

Ciri khas rebana dor terletak pada irama pukulan yang tetap sejak awal

The difference of Rebana Ketimpring and Rebana dor lies on the small hole on the “kelongkongan” part where the fingers put. Maybe it is to make easier for the player to hold it. The way of holding it is sometimes by putting it on the right knee. Left and right hands can freely beating the Rebana. Rebana Dor is a flexible Rebana. Rebana Dor can be layed along with Rebana Ketimpring, Rebana Hadroh and even with the Gambang orchestra.

The specific character of the Rebana Dor lies on the beat from the beginning to the end of the song.

syair Diiwan Hadroh. Grup yang kalah umumnya grup yang kurang hafal membawakan syair tersebut.

Rebana hadroh pernah ada di kampung Grogol Utara, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong, dan Paseban. Salah seorang tokoh rebana hadroh yang terkenal adalah Mudehir, seorang tuna netra. Mudehir memiliki keterampilan teknis yang sempurna. Variasi pukulannya sangat kaya. Bahkan dengan pukulan kakinya pun suara rebana masih sempurna. Suaranya indah. Daya hafalnya atas syair Diiwan Hadroh sangat baik. Konon kemampuannya memainkan rebana hadroh terinspirasi dari suara pekerja pabrik batik yang mengecap kain dengan bertalu-talu. Mudehir wafat pada 1960. Sepeninggal Mudehir rebana hadroh semakin surut. Kini rebana hadroh tinggal kenangan.

Rebana Hadroh was once in the Northern Grogol, Southern Grogol, Kebayoran Lama, Kalibata, Duren Tiga, Utan Kayu, Kramat Sentiong and Paseban. One of the most famous figure of Rebana Hadroh is Mudehir, a blind man. Mudehir had the perfect technical skill. His beating variations are very rich. Even with the beat of his feet, the Rebana’s sounds are still perfect. The sound is beautiful. His level of memory in remembering Diiwan Hadroh is very good. It was said that his play of Rebana Hadroh is inspired from the sound the Batik Artist who stamped the cloth. Mudehir passed away in 1960. After his death, Rebana Hadroh is progressively withdrawn. And now Rebana Hadroh is just a memory.

Rebana Dor Rebana Dor

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI28

lagu sampai akhir. Ciri lain adalah lagu Yaliil, yaitu bagian solo vokal sebagai pembukaan lagu. Lagu Yaliil mengikuti nada atau notasi lagu membaca Qur’an, antara lain Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta, dan lain-lain. Syair lagu rebana dor diambil dari berbagai sumber, antara lain Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh, Addiibai. Sering pula dibawakan lagu-lagu dari penyanyi Mesir terkenal seperti Ummi Kaltzoum. Karena itu pula rebana dor biasa disebut “rebana lagu”.

Rebana dor lebih banyak persamaannya dengan rebana kasidah. Perkembangan rebana kasidah sangat pesat sehingga menggeser rebana dor. Lagi pula rebana kasidah lebih diminati remaja putri. Rebana dor hanya dimainkan oleh orang-orang tua. Rebana kasidah lebih enak ditonton karena pemainnya remaja putri. Rebana dor didukung pemain leki-laki yang sudah berusia lanjut. H. Naiman dari kampung Grogol Utara, Arifin dari kampung Kramat Sentiong, dan H. Abdurrahman dari kampung Klender adalah tokoh-tokoh rebana dor. Sayangnya ketiga orang ini tidak mempunyai penerus. Akibatnya rebana dor tidak berkembang.

Another character is the song Yaliil, it is the solo vocal part as the opening of the song. Yaliil song is usually follows the melody or songs notation while reading Qur’an, like Shika, Hijaz, Nahawan, Rosta and other. The lyric of Rebana Hadroh were taken from various sources, for example Syarafal Anam, Mawalidil Muhammadiyah, Diiwan Hadroh , and also Addiibai. They also sing the famous song by Ummi Kaltzoum, the famour Egyptian singer. That is why Rebana Dor is usually called Rebana Song.

Rebana Dor have lots of similarities to Rebana Kasidah . The development of Rebana Kasidah is very rapid that it shift Rebana Dor. Rebana Kasidah is loved by female teenagers. Rebana Dor is only played by the elderly. Rebana Kasidah is better to view, because it is played by female players. Rebana Dor is supported by elderly male. Hajj Naiman from the Kampong Grogol Utara, Arifin from the Kramat Sentiong, and Hajj Abdurrahman from Klender are the figures of Rebana Dor. unfortunately, they did not have their follower, and the result is the Rebana Dor’s stagnancy.

Rebana Kasidah termasuk yang paling populer. Setiap kampung terdapat grup rebana kasidah. Rebana kasidah dianggap sebagai perkembanagan lebih lanjut dari rebana dor. Sejak awal rebana kasidah sudah disenangi, khususnya oleh remaja putri. Ini yang membuat pesatnya perkembangan rebana kasidah. Tidak ada unsur ritual

Rebana Kasidah is one of the most popular. Every village have their own Rebana Kasidah group. Rebana Kasidah is considered the development of Rebana Dor. Since the beginning, Rebana Kasidah had already been loved, especially by female teen. This is the cause of the rapid growth of Rebana Kasidah . There are no ritual elements in

Rebana Kasidah Rebana Kasidah

29PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

dalam penampilan rebana kasidah. Maka rebana kasidah bebas bermain di mana saja dan dalam acapa apa saja. Lirik-lirik yang dinyanyikan tidak terbatas pada lirik-lirik berbahasa Arab, melainkan yang berbahasa Indonesia.

Ada yang beranggapan kepopuleran rebana kasidah karena ia lazim dimainkan oleh perempuan. Di masa lalu hampir semua madrasah memiliki kelompok rebana kasidah. Bahkan di era 1970 sampai 1980-an festival kasidah marak dilaksanakan. Grup pemenang festival ditampilkan pada acara-acara penting. Ada pula grup yang merekam lagu-lagu mereka ke dalam pita kaset dan laris dijual. Penyanyi rebana kasidah yang terkenal adalah Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, dan lain-lain. Menurut catatan Lembaga Seni Qasidah DKI Jakarta pada 10 tahun lalu jumlah ogranisasi rebana kasidah sekitar 600 kelompok

Rebana Kasidah . Then Rebana Kasidah is free to be played anywhere and every occassions. The lyrics are not limited to Arabic only, it is even Indonesian language.

There is an assumption that the popularity of Rebana Kasidah is because the players are ladies. In the past, almost all Madrasah have a Rebana Kasidah group. Even in the 70’s to 80’s Kasidah festival is frequently held. The group winner of the festival performs at important occasions. There are groups who record their songs into cassettes and sold out. Famous singers of Rebana Kasidah are Hj. Rofiqoh Darto Wahab, Hj. Mimi Jamilah, Hj. Nur Asiah Jamil, Romlah Hasan, and there are more to mention. According to the Jakarta Institute of Kasidah art, 10 years ago there are more or less 600 groups.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI30

Ukuran jenis rebana ini lebih besar dari rebana hadroh, sekitar 40 cm. Munculnya jenis kesenian rebana maukhid tidak lepas dari nama Habib Hussein Alhadad. Habib inilah yang mengembangkan rebana maukhid. Habib Hussen mempelajari kesenian rebana dari Hadramaut. Rebana maukhid yang asli hanya dua buah, tapi ia mengembangkannya menjadi empat sampai 16 buah. Profesi sehari-hari Habib Hussein adalah muballig. Untuk lebih memeriahkan tablig setiap malam Jumat, Habib Hussein menyanyikan shalawat diiringi rebana. Syair shalawat yang dinyanyikan diambil dari karya Abdullah Alhadad.

Rebana maukhid dapat dimainkan tanpa terikat jumlah pemain, tergantung jumlah pemain dan tempat pertunjukannya, sehingga bisa dimainkan oleh dua, tiga, empat, bahkan 16 orang. Keberadaan rebana maukhid bukan semata-mata untuk pertunjukan, tapi sebagai pengis acara tablig. Tidak ada rancangan khusus berkenaan dengan pementasan. Apalagi rencana pengembangan dan perluasan wilayah. Rebana maukhid hanya ada di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kalaupun di daerah lain ada Rebana Maukhid, mungkin dilakukan oleh murid Habib Hussein Alhadad.

The size of this Rebana is bigger than Rebana Hadroh , about 40 cm wide. The appearance of Rebana Maukhid is due to the service of Habib Husein Al Hadad. This Habib is the one who develop Rebana Maukhid. Habib Hussein learn the Rebana artistry from Hadramaut. There are only 2 Rebana in the original Rebana Maukhid, but he develop it to four until 16 pieces. His profession is a Muballig (Islamic preacher). To make it cheerful, every Thursday night, Habib Hussein sings Shalawat accompanied with the Rebana. The Shalawat lyric was taken from the Abdullah Al Hadad’s creation.

Rebana Maukhid can be played without the limitation of the player number, depends on the player and the place of the performance, so it can be played by two, three, four up to 16 players. Rebana Maukhid’s existence is not only for the performance, but also the features of the Tabligh. There are no special design of the performance and even the expansion of the territory. Rbana Mauhkid only exist in Pehaten, Pasar Minggu, Souther Jakarta. If there is some other area that had Rebana Maukhid, it might be done by Habisb Hussein’s student.

Rebana Maukhid Rebana Maukhid

31PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Garis tengah Rebana Burdah lebih besar dari rebana maukhid, sekitar 50 cm. Penamaan rebana burdah mungkin karena nama grupnya, yaitu “Burdah Fiqah Ba’mar” yang dipimpin oleh Sayid Abdullah Ba’mar. Mungkin juga dinamakan demikian karena biasa membawakan “qaida” (salah satu bentuk puisi Arab) Alburda yang terdapat di kitab Majemuk atau Mawalid. Rebana jenis ini hanya ada di Kuningan Barat, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dan dikembangkan oleh Abdullah Ba’mar. Para pemainnya semula berasal dari keluarga Ba’mar, Amzar, dan Kathum yang kesemuanya merupakan imigran Arab asal Mesir.

Kehadiran Firqah Burdah Ba’mar awalnya untuk mengisi waktu luang menjelang atau sesudah pengajian. Dengan disajikannya rebana burdah, pengajian terasa lebih meriah dan tidak membosankan. Karena main di forum pengajian, lagu-lagu yang dinyanyikan diambil dari syair Al-Busyiri yang berisi puji-pujiab kepada Nabi Muhammad. Pada umumnya lagu-lagu burdah berirama 4/4 dimainkan sambil duduk bersila, sedangkan lagu-lagu yang berirama lebih cepat biasa disebut “Fansub” dimainkan sambil berdiri.

The diameter of Rebana Burdah is bigger than Rebana Maukhid, aout 50 cm. The naming of Rebana Burdah, maybe because of the group’s name, “Burdah Fiqah Ba’mar” led by Sayid Abdullah Ba’mar. It is also possible that it was named after their routine in playing “Qaida” (an Arabic Poetry) Alburda which lies in the book of Majemuk or Mawalid. This type of Rebana is only exist in Western Kuningan, Mampang Prapatan, and Southern Jakarta and developed by Abdullah Ba’mar. The entire player came from Ba’mar, Amzar, and Kathum family which was Arabic immigrant from Egypt.

Initially, the existence of Firqah Burdah Ba’mar was to kill time before or after the reading Qur’an. By performing Rabana Burdah, the occasion becomes cheerful and not boring. Because it is performed in a religious context, the songs performed are taken from the lyric of Al-Busyiri which contain prayers of adoration towards Prophet Muhammad. Generally, Burdah’s song beat is 4/4 and played while sitting, while faster beat is usually called “fansub” is played while standing.

Rebana Burdah Rebana Burdah

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI32

Orkes Gambus Gambus Orchestra

Orkes Gambus dahulu dikenal dengan sebutan irama Padang Pasir. Pada tahun 1940-an orkes gambus menjadi tontonan yang disenangi. Bagi orang Betawi, tanpa nanggap gambus pada pesta perkawinan atau khitanan dan sebagainya terasa kurang sempurna. Menurut Munif Bahasuan, orkes gambus sudah ada di Betawi sejak awal abad ke-19. Saat itu banyak imigram dari Hadramaut (Yaman Selatan) dan Gujarat datang ke Betawi. Jika walisongo menggunakan gamelan sebagai sarana dakwah, imigram Hadramaut menggunakan gambus.

Gambus Orchestra used to be know by the desert rhyme. In the 1940s, Gambus Orchestra became the most enjoyable performance. For Batavianese people, without having any Gambus in their party, it will feel incomplete. According to Munif Bahasuan, Gambus Orchestra had already been in Batavia since early 19 century. That time, many immigrants from Hadramaut (Southern Yemen) and Gujarat came to Batavia. If the Walisongo uses Gamelan for the missionary, Hadramaut used Gambus.

33PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Peralatan musik gambus bervariasi, tapi yang baku umumnya terdiri dari gambus, biola, dumbuk, suling, organ atau akordion, dan marawis. Awalnya orkes gambus membawakan lagu dengan syair bahasa Arab, seperti Lisaani Bihamdillah, Yamalaakal Hub, Solla Rabbuna, Asyraqal Badrui dan Syarah Dala. Kemudian gambus berkembang menjadin sarana hiburan. Ia juga biasa digunakan untuk mengiringi tarian Japin yang biasa ditarikan oleh laki-laki berpasangan.

Orkes gambus tidak bisa dipisahkan

Gambus’ musical instruments are varied, but the initial was Gambus, Violin, Dumbuk, Flute, Organ or accordion and Marawis. At the beginning, Gambus Orchestra only delivers songs in Arabic Language, like Lisaani Bihamdillah, Yamalaakal Hub, Solla Rabbuna, Asyraqal Badrui and Syarah Dala. And then Gambus developed to become an entertainment tool. It can also be used to accompany Japin Dance that usually danced by pair of male.Gambus Orchestra cannot be separated from Syeikh Albar from Surabaya and SM Alaydrus. Both of these person

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI34

dari Syaikh Albar dari Surabaya dan SM Alaydrus. Kedua orang ini merupakan musisi gambus terkenal pada era 1940-an. SM Alaydrus berhasil mengembangkan orkes harmonium yang pada erac1950 menjadi orkes Melayu. Syech Albar mempertahankan tradisi gambus. Sampai 1940-an lagu gambus masih berorientasi ke Yaman Selatan. Setelah bioskop Alhamra di Sawah Besar banyak memutar film Mesir, lagu gambus berorientasi ke Mesir. Sehingga nama Umi Kaltzoum, Abdul Wahab, dan Farid Alatras terkenal dan lagu-lagunya ditiru.

Sampai era 1950-an orkes gambus makin terkenal. Orkes gambus mengisi siaran di RRI tiap malam Jumat. Dua grup yang selalu tampil di RRI adalah Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfie dan Orkes Gambus Al-Wathan pimpinan Hasan Alaydrus. Pada era 1960-an orkes gambus mulai menurun pamornya. Politik Demokrasi Terpimpin melarang kesenian yang berbau asing. Di era 1990-an orkes gambus mulai bangkit kembali.di Indonesia. Malah sempat diadakan lokakarya musik gambus pada 1997 meski hasilnya belum menggembirakan.

Tokoh musik gambus di Jakarta yang cukup terkenal adalah Husnu Maad K.H. Zainal Abidin Alhadad dan Zein Alhadad. Salah satu grup yang terkenal saat ini adalah Arrominiah pimpinan H. Hendy Supandi.

are the famous Gambus musician in the 40s. SM Alaydrus had succeded in developing the Harmonium Orchestra in the 1950 into Malayan Orchestra. Syeikh Albar maintain the Gambus tradition.Until 1940s, the orientation of Gambus’ is Southern Yemen. After the theatre Alhamra in Sawah Besar plays more Egyptian movies, Gambus song’ changes the orientation to Egypt. Until now, the name Ummi Kaltzoum, Abdul Wahab, and Farid Alatas are famous and his songs had begun to be plagiarized.

Until 1950s, Gambus Orchestra is getting more famous. Gambus Orchestra perform at the RRI (The Republic Indonesia Radio) every Friday Night. Two groups that is always perform in the RRI are Al-Wardah Gambus Orchestra,led by Muchtar Luthfie and Al- Wathan Gambus Orchestra led by Hasan Alaydrus. In the 60s, Gambus Orchestra gradually losing their name. The Led Political Democracy prohibits any art that have foreign influence. In the 1990s, Gambus Orchestra begins to rise again in Indonesia. In 1997, there was a Gambus musical Workshop, even though the result is not satisfying.

Gambus’ famous music figures in Jakarta are Husnu Maad, K.H. Zainal Abidin Alhadad and Zein Alhadad. One of the famous Gambus group nowadays is Arrominiah led by H. Hendy Supandi.

35PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sampyong

Sebagai orkes tanpa laras, sampyong merupakan musik rakyat Betawi pinggiran yang

paling sederhana daripada musik Betawi lainnya. Nama musik ini berasal dari nama salah satu alat musik yaitu sampyong, semacam kordofan bambu berdawai dua utas. Di Pasundan alat musik ini disebut celembung, di Jawa Tengah dinamakan gumbreng dan du Jawa Timur disebut gunlang. Alat musik lainnya adalah sejenis gambang empat bilah terbuat dari bambu kayu

As an orchestra without scale, sampyong is a type of music of outskirt Batavianese

people that is the simplest of other Batavianese music. The name of this music is derived from one of its music instrument, sampyong, it’s like bamboo cordovan with two strings on it. In Pasundan this instrument is called celembung, in west java called gumbreng and in east java it is called guntang.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI36

Marawis

Jenis musik ini pernah di gelar dalam Pekan Musik Daerah DKI Jakarta pada tanggal 7 - 8

November 1997 di Gedung Kesenian Jakarta (Suara Karya Minggu, 16 November 1997). Marawis adalah salah satu jenis “band tepok” dengan perkusi sebagai alat musik utamanya. Nama marawis diambil dari nama alat musik yang dipergunakan kesenian ini. Alat musik tersebut ada tiga jenis, pertama, perkusi rebana/kendang ukuran kecil yang garis tengahnya 10 cm, tinggi 17 cm dan kedua kendangnya tertutup. Inilah yang disebut marawis (paling sedikit diper-gunakan 4 buah). Kedua, perkusi besar (tinggi 50 cm, garis tengah 10 cm) yang disebut hadir dengan kedua kendangnya tertutup. Ketiga adalah papan tepok.

This kind of music was once played in Pekan Musik Daerah DKI Jakarta (Local Music

Week), in November, 7th – 8th 1997 in Gedung Kesenian Jakarta (The Jakarta Building of Art)

Marawis is a kind of “tepok band” with percussion as the main instrument. Marawis name was taken from the instrument that is being used in this orchestra. There are three kinds of instruments, first, rebana percussion/ little drum with the diameter of 10 cm, 17 cm of high, and both side is covered. That is called marawis (usually uses at least four kendangs). Second, big percussion (50 cm of high, with diameter 10 cm), which is called hadir with both of kendang side, is closed. And the third is tepok board.

dengan ancaknya (talam dibuat dari anyaman bambu, lidi atau lidi nyiur) terbuat dari gedebog pisang. Ada pula yang menambahnya dngan dua buah tanduk kerbau yang dibunyikan dengan cara diaduk-adukan. Orkes ini biasa dipergunakan untuk mengiringi pertandingan ujangan, yaitu dua orang bertanding saling memukul dengan rotan sebesar ibu jari kaki yang di dahului dengan tarian uncul. Orkes ini perah digelar dalam Pekan Kesenian Betawi III tahun1988 di Jakarta (Katalog Pekan Kesenian Betawi - III/1988).

The others music instrument is like gambang with four laths made from bamboo with the ancak (talam made by cane work, lidi or palm leaf rib) made from trunk of a banana plant. Some even have an addition of two buffalo horn, which is played by hitting it against each other. This orchestra usually used to accompany the ujangan competition; a type of competition where two people hit each other using the toe sized rattan and is opened by uncul dance. This orchestra was played once in Pekan Kesenian Betawi III in 1998, in Jakarta.

37PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Bentuk-bentuk tari lama yang ada di Betawi mendapat pengaruh yang cukup kuat dari Sunda. Terutama pada tarian-tarian yang biasa dibawakan dalam pertunjukan topeng Betawi, tari Blenggo (Blenggo Rebana maupun Blenggo Ajeng), dan tari Uncul yang biasa diselipkan dalam pertunjukan Ujungan Betawi. Di kalangan masyarakat Betawi Santri kegiatan menari yang dilakukan perempuan kurang dikehendaki. Karena itu

tari Japin, Samrah, dan Blenggo dilakukan oleh kaum laki-laki. Sementara di kalangan masyarakat Betawi abangan tarian dengan penari perempuan merupakan kegiatan

seni yang lazim. Jika di kalangan santri penari pada umumnya bersifat amatir, menari sekadar memenuhi kesenangan belaka, di kalangan kelompok abangan menari

merupakan pekerjaan profesional sebagai mata pencaharian.

The old dances form in Batavia had strongly influenced by Sundanese. Especially to common dances which usually performed in Batavianese Mask performance, Blenggo dance (Blenggo Rebana and Blenggo Ajeng), and Uncul dance which usually be inserted in the Ujungan Batavianese performance. Among Batavianese Santri (Islamic students) the dances done by female are unwanted. That is why Japin dance, Samrah and Blenggo is usually done by Male. While in Batavianese Abanngan society, dances done by female is a normal art. For the Islamic students, most dancers are amateur. Dance is just to fulfill the need of entertainment, while for the Abanngan, dancing is a professional

job and use it as a living.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI38

Sebagai tarian rakyat, tari topeng memiliki pola gerak tertentu dari awal sampai akhir. Akan

tetapi di sana-sini terdapat variasi gerakan yang sangat tergantung pada improvisasi penari yang bersangkutan. Menurut sejumlah tokoh tari Betawi, secara teknis ada tiga syarat yang mesti dipenuhi oleh calon penari topeng Betawi agar terwujud kesatuan gerak tubuh yang estetis dan harmonis, yaitu gandes (luwes, ajar (ceria), dan lincah tanpa beban sewaktu menari. Di samping ada ketentuan lain seperti mendek, dongko, ngengkreg, madep,

As the folk dance, Mask Dance has several pattern of movement from the

beginning to the end. But there are various movements that depend on the dancers’ improvement. According to several Batavianese dancers’ figures, technically, there are 3 conditions which have to be fulfilled by the candidate of Batavianese Mask dancer to become a united body movement with aesthetical and harmonious movement. They are gandes (flexible), ajar (happy), and energetic during the dance. Other than that, there are several other conditions like mendek, dongko,

Tari Topeng

39PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

megar, ngepang, dan lain-lain.

Dalam perkembangannya kini kita kenal berbagai variasi tari topeng Betawi, seperti Lipet Gandes, Topeng Tunggal, Enjot-enjotan, Gegot, Topeng Cantik, Topeng Putri, Topeng Ekspresi, Kang Haji, dan lain-lain. Sementara tari kreasi baru yang mendapat insprirasi dari tari Topeng antara lain Ngarojeng, Doger Amprok, Gitek Balen, Kembang Lambang Sari, Nandak Ganjen, dan Topeng Sengget.

Tari topeng Betawi biasa dimainkan sebagai pengawal petunjukan topeng Betawi, meski ia bisa juga main sendirian. Tarian itu adalah tari kembang topeng, tari topeng tunggal atau tari topeng kedok, dan tari ronggeng topeng. Dalam tari kembang topeng penari tidak memakai topeng. Topeng atau kedok baru dipakai pada tari topeng kedok atau tari topeng tunggal. Topeng yang dipakai berjumlah tiga buah. Masing masing berwarna putih, merah, dan hitam. Ketiganya memiliki karakter sendiri, yaitu karakter Subadra, Srikandi, dan Jingga.

Pakaian penari topeng Betawi atau “ronggeng topeng” terdiri dari “kembang” (hiasan kepala terbuat dari kain perca) berbentuk “tekes”, “toka-toka” (dua lembar kain berhias penutup dada dan punggung), “ampok” atau “ampeng” (penutut perut), baju kebaya berlengan pendek, kain batik panjang, selendang dan andong.

ngengkreg, madep, megar, ngepang and much more.

In the development, now we know several variations of Batavianese Mask, like Lipet Gandes, Single Mask, Enjot-enjotan, Gegot, Topeng Cantik, Topeng Putri, Topeng Ekspresi,

Kang Haji, and much more. While new creation dances are inspired from other Mask dances like Ngarojeng, Doger Amprok, Gitek Balen, Kembang lambing Sari, Nandak Ganjen, and Topeng Sengget.

Batavianese Mask Dance is usually performed as the body guard of Batavianese Mask performance, even if they can also perform by them self. That dance is the Mask Flower Dance, Single Mask Dance or Mask Kedok Dance or New Kedok and Mask Ronggeng dance. In Mask Flower Dance, the dancer did not wear any mask. Mask or New Kedok used in Topeng Kedok dance or single mask dance. There are 3 masks used. Each colors arewhite, red and black. Three of them had their own character that is Subadra, Srikandi and Jingga.

Costume of Batavianese Mask dances or “Mask Ronggeng” consists of “flowers” (head accessories made of cloth) with “tekes” shape, “toka-toka” (2 pieces of cloths as the cover for the chest and back), “ampok” or “ampeng” (stomach cover), kebaya clothing with short sleeves, long batik cloths, wrap and andong.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI40

Cokek is a dance of friendship which is accompanied with Gambang Kromong music

with dancers who was called “Cokek puppet” an get paid. Formerly, Cokek dance was constructed and developed by wealthy Chinese landlords, like how they take care and develop Gambang Kromong Orchestra. Before World War 2 they took care of Gambang Kromong artists and Cokek Puppets. Even some of them provide housing for them. Now, Gambang Kromong Orchestra and Cokek Puppets operate by themselves.

Opening dance in Cokek dance is “wawayangan”. Some Cokek puppets stands in a row while walking to and fro accordingly following the beat of Gambang Kromong . They spread the hand as high as the shoulder, moving as like the feet movement. After that, they ask the guests to dance while they put up shawl on the guest’s neck. During the dance, each pair is not making any physical contact. In some songs, they even back to back position. But as long as the situation is conducive, the pairs can even hug. After it is done, especially when the male dancer feels enough, he will give money to their Cokek puppet partner. Before and during the dance, the male is given beers to cheer up the situation.

In the past, the costume of Cokok Puppet has exclusive shape, it is confined clothes and pants made of smooth silk. Some were colored bright

Cokek adalah tarian pergaulan yang diiringi musik gambang kromong dengan penari-

penari yang disebut “wayang cokek” dan mendapat imbalan uang. Pada zaman dahulu tari cokek dibina dan dikembangkan oleh tuan-tuan tanah Cina yang kaya raya (cukong), sebagaimana mereka membina dan mengembangkan orkes gambang kromong. Sampai sebelum Perang Dunia Kedua mereka menghidupi para seniman gambang kromong dan wayang cokek. Bahkan ada pula yang memberikan perumahan bagi mereka. Sekarang tidak lagi. Baik orkes gambang kromong maupun wayang cokek bergerak sendiri-sendiri.

Tarian pembukaan dalam tari cokek adalah “wawayangan”. Para wayang cokek berdiri berjejer memanjang sambil melangkah maju-mundur mengikuti irama gambang kromong. Rentangan tangan setinggi bahu meningkahi gerakan kaki. Setelah itu mereka mengajak para tamu untuk menari dengan cara mengalungkan

Tari Cokek

41PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

cukin kepada tamu yang dimaksud. Dalam menari masing-masing pasangan tidak saling bersentuhan. Dalam beberapa lagu ada pula yang saling-membelakangi. Akan tetapi, sejauh suasananya mengizinkan, setiap pasangan bisa saling berpelukan. Setelah selesai, terutama jika si laki-laki pengibing merasa cukup, ia akan memberikan imbalan uang kepada wayang cokek pasangannya. Sebelum dan selama menari para lelaki biasa disuguhi bir untuk lebih memeriahkan suasana.

Di masa lalu, pakaian wayang cokok berbentuk khas, yaitu baju kurung dan celana panjang dari bahan semacam sutra halus. Ada yang berwarna merah menyala, hijau, ungu, kuning dan sebgaainya. Di ujung sebelah bawah biasanya diberi pula hiasan dengan kain berwarna yang serasi. Selembar selendang panjang (cukin) terikat di pinggang dengan kedua ujungnya terurai ke bawah. Rambut disisir ke belakang. Ada pula yang dikepang kemudian disanggulkan yang bentuknya tidak terlalu besar, dihias dengan tusun konde yang bergoyang-goyang. Di samping itu diberi pula hiasan dari benang wol yang dirajut yang disebut “burung hong”. Sekarang ini pakaian mereka lebih fleksibel. Dengan kaus dan celana capri pun bisa tampil.

Jika pada mulanya cokek identik dengan hiburan masyarakat Cina peranakan, kini digemari oleh banyak kalangan lain untuk memeriahkan berbagai pesta, terutama pesta perkawinan. Sebagaimana gambang kromong, tari cokek adalah salah satua tarian Betawi yang luas penyebarannya.

red, green, purple, yellow and some other bright color. At the bottom tip, they usually put some accessories with matching color clothing. A piece of long shawl tied on the waist with the tip downward. Hair combed by the rear. Some were xylem and some others were made into bun but not too big, accented with a dangling hair bun pin. Besides that they were also accessorized with decoration made of wool thread with certain shape called “Hong Bird”. Nowadays, their clothing is more flexible, only with casual clothes and Capri pants, they can perform.

If in the beginning Cokek is identic to Chinese society, now it is favored by other group to make their party to cheerful, especially wedding ceremony. As like Gambang Kromong , Cokek Dance is one of the mostly distributed Batavianese dance.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI42

The word “Belenggo” itself has the same meaning with dance. There an idiom “dibelenggoin” which means is to be accompanied with dances. There are others who assumes that the word belenggo derived from the

word “lenggak-lenggok” (waving), an inveterate movement in dances. Beyond the etymology, a Blenggo dance does not have any specific pattern. Their movements are usually taken from SIlat movement. So, it depends on the dancer’s knowledge of the silat movement. A Blenggo dancer who knows Silat Cimande will be different from those who know Silat Cikalong. Based on the music that accompany it, Blenggo dance can be divided into wo: Blenggo Rebana and Blenggo Ajeng.

Kata “blenggo” mungkin sama artinya dengan tari. Sebab ada ungkapan “diblenggoin” yang artinya diiringi dengan tarian. Ada pula yang menyebut blenggo berasal dari kata “lenggak-lenggok”, gerakan yang

lazim dalam suatu tarian. Terlepas dari segi etimologis itu, tari blenggo tidak memiliki pola yang tetap. Umumnya geraknya diambil dari gerak-gerak pencak silat. Jadi, sangat tergantung pada perbendaharaan gerakan silat penari yang bersangkutan. Sehingga seorang penari blenggo yang menguasa silat Cimande akan berbeda dengan yang menguasai silat Cikalong. Berdasarkan musik pengiringnya, tari blenggo dibagi menjadi dua: Blenggo Rebana dan Blenggo Ajeng.

Tari Blenggo

43PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Biasanya Blenggo Rebana dilakukan oleh anggota kelompok Rebana Biang sendiri secara bergantian. Di masa lalu, rebana biang baru “diblenggoin” bila malam telah larut. Sebelum itu hanya dibawakan lagu-lagu “dikir”, kemudian dilanjutkan dengan lagu-lagu yang dalam istilah setempat disebut “sunda gunung”, seperti terdapat dalam pertunjukan blantek, topeng, dan sebagainya. Seperti lagu Kangaji, Anak Ayam, Sanggreh atau Sangrai Kacang. Baru ketika banyak penonton yang mulai mengantuk dipertunjukan tari blenggo.

Tokoh blenggo seperti Haji Saaba, Haji Dulgani (Abdulgani), Haji Jaeni, dan Maksum dari Ciganjur berjasabesar dalam mengembangan tarian ini pada generasi muda. Selain mereka ada pula Fiih, Sanen, dan Manta di Bojong Gede, Liam, Saiman, Encan di Ciseeng, Orok dan Saman di Ponrok Rajeng, almarhum Boncel, Warta, dan Sunta di Citayam, Noan di Cakung, Radi dan Nasir di Pasar Rebo. Seniman Blenggo di Ciganjur rata-rata petani dan mereka tidak ikut dalam kesenian lain. Sementara Radi, Nasir, Orok, Noan dan lain-lain ikut dalam jenis-jenis kesenian lain, seperti lenong, topeng dan ajeng.

Blenggo Rebana is usually done by the member of Rebana Biang group in turn. In the past, Rebana Biang starts to get “Blenggo” when the night comes. Before that, the song that is performed are “Chants” song, and then continued with songs which is called “Sunda Gunung” in local word, as in Blantek

performance, Masked and much more to be mentioned. The songs are Kangaji, Anak Ayam, Sanggreh or Sangrai Kacang. When the audiences are getting sleepy, they will perform the Blenggo.

Blenggo figures like Hajj Saaba, Hajj Dulgani (Abdulgani), Hajj Jaeni and Maksum from Ciganjur had tremendous assistance in the development of this dance for the youngsters. Other than them there are Fiih, Sanen and Manta in Bojong Gede, Liam, Saiman, Encan in Ciseeng, Orok and Saman in Pondok Rajeg, the previous Boncel, Warta and Sunta in Citayam, Noan in Cakung, Radi and Nasir in Pasar Rebo. Blenggo artists in Ciganjur mostly are farmers and they did not follow any other art. While Radi, Nasir, Orok, Noan and the others, also follows another type of arts like Lenong, Topeng and Ajeng.

Belenggo Rebana Blenggo Rebana

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI44

Dalam Blenggo Ajeng penarinya bukan melulu dari grup gamelan ajeng, tetapi juga orang-orang dari luar dengan maksud membayar kaul. Dalam pesta perkawinan blenggo ajeng dimainkan setelah “nyapun”, yaitu menaburi keuda mempelai dengan beras kuning, uang dan bunga-bunga diiringi lagu khusus semacam kidung. Siapa saja bisa ikut serta, sepanjang menguasai gerakan-gerakan silat.

Kebanyakan blenggo ajeng, seperti juga blenggo rebana, ditarikan oleh laki-laki. Akan tetapi, atas gagasn Mamad dan Neran di Cireundeu, blenggo ajeng ditarikan oleh perempuan, terutama yang masih remaja. Rata-rata penari blenggo ajeng berusia lanjut. Masyarakat pendukung blenggo ajeng dengan sendiriny adalah pendukung gamelan ajeng. Selain di Cireundeu, blenggo ajeng juga tersebar di Kelapa Dua Wetan, Gandaria, Cijantung, Keranggan, dan Pakopen, Tambun. Juga di Curug, Ciseeng dan Parung.

Japin adalah tari pergaulan yang terdapat di Sumatera Utara, Riau daratan dan kepulauan, Kalimantan

Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur. Tari japin yang berkembang di Betawi biasanya diiringi oleh musik gambus yang ditambah dengan tiga buah “marwas”, yaitu gendang kecil bertutup dua.

In Blenggo Ajeng, the dancers are not only from the Gamelan Ajeng, but also outsiders who intent to pay for their promise. In the wedding ceremony, Blenggo Ajeng is usually performed after “nyapun”, a ritual of scattering both brides with a tyoe of yellow rice, money and flowers accompanied with special songs like kidung. Anybody may follow, as long as they know Silat movement.

Just like any other Blenggo Ajeng, and also Blenggo Rebana, this Blenggo is also performed by male. However, of Mamad and Neran’s idea in Cirendeu, Blenggo Ajeng is performed by female, especially teenagers. Most Blenggo Ajeng dancers are old. People who support Blenggo Ajeng are those who support Gamelan Ajeng. Besides Cireundeu, Blenggo Ajeng are also spread around Kelapa Dua Wetan, Gandaria, Cijantung, Keranggan, Pakopen, Tambun , Curug, Ciseeng, and also Parung.

Japin or Zapin is an friendship dance in Northern Sumatra, Riau the continent and the archipelago,

Western, Southern and Eastern Borneo. Japin dance which grows in Batavianese is usually accompanied with Gambus Music and added with 3 “marwas”, a small drum with two surfaces.

Belenggo Ajeng Blenggo Ajeng

Japin / Zapin

45PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sebagai tari pergaulan, japin dilakukan semata-mata untuk kesenangan pelakunya (kelangenan). Pendukung utama japin adalah masyarakat Betawi keturunan Arab. Tetapi santri-santri di beberapa pesantren juga kerap melakukannya diiringi rebana ketrimpring sebagai hiburan pengisi waktu luang. Japin biasanya dilakukan oleh laki-kali, berpasang-pasangan, tanpa pola gerak tertentu. Gerak-gerak yang dominan berbentuk langkah-langkah dan lenggak-lenggok berirama.

Pada pesta-pesta pernikahan yang diiringi musik gambus, ketika malam telah larut sama sekali, biasanya dilakukan tari japin.

As a friendship dance, Japin were only done for the entertainment of the performer. Main supporter of Japin are Batavianese who had the Arabic descendant. But some students of Islamic school sometimes perform it with Rebana Ketimpring to kill time. Japin is usually done by male, in pair, with no specific movement pattern. The most dominant movements are steps and rhyming move.

In marriages which complemented with Gambus music, late at night, they usually do Japin Dances.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI46

Different from Blenggo dance that put more focus on silat movement, Samrah is usually

done in pair or alone. It is also different from other Batavianese dances, because the dancers did a squat position called “salawi”, it is a squat movement that is similar to crossing legs, which can only be done by those who practice diligently. The similarities with other Batavianese dances are the body position which is crooked. Samrah is also friendship dances like others. Usually, Samrah dancers are in pair and dance with the complementary of a singer; the songs are usually rhyme poetry which generally talked about religious love and female love.

From the beat, Samrah is differed in two. First, slow beat, like Sawo Mateng dance, Musalma, and Mamira. Second, faster beat, like shadowy dance, Jali-jali and Cenderawasih. People who developed and maintain Samrah dance are Harun Rasyid, Jajang S, Ali Sabeni, and even Firman Muntacoas a short story writer and also a Batavianese cultural observer.

Berbeda dari tari blenggo yang mengutamakan gerakan-gerakan pencak silat,

Samrah dilakukan berpasangan atau perorangan. Ia juga berbeda dari tari Betawi lainnya karena si penari melakukan gerakan jongkok yang disebit “salawi”, yaitu gerakan jongkok hampir seperti duduk bersila, yang hanya bisa dihasilkan dengan latihan yang tekun. Kesamaannya dengan gerakan tari Betawi lainnya adalah pada posisi tubuh agak membungkuk. Samrah juga tari pergaulan sebagaimana yang lainnya. Biasanya para penari samrah turun berpasang-pasangan dan berjoget diringi lagu seorang biduan, lagunya berupa pantun yang pada umumnya tentang cinta keagamaan dan cinta perempuan.

Dari iramanya, tari samrah terbagi dua. Pertama, yang berirama lembut, seperti tari Sawo Mateng, Musalma, dan Mamira. Kedua, berirama cepat, seperti tari bayang-bayang, Jali-jali, dan Cendrawasih. Adapun tokoh-tokoh yang berjasa mempertahankan tari samrah adalah Harun Rasyid, Jajang S, Ali Sabeni, bahkan Firman Muntaco selaku penulis cerita pendek dan budayawan Betawi.

Tari Samrah

47PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Uncul is a part or usually put in a Ujungan Batavianese performance. As like Ujungan

in the other area, which usually called Citikan or Sabetan, Ujungan Batavianese is a competition of hitting and dodging skill using rattan. Uncul is usually to stimulate and a challenge to the opponents inside the Ujungan arena

Music that usually complement Uncul is called “sampyong”. Sampyong consists of a sampyong, a simple Gambang with 4 piles of bamboo or woods, added with bamboo drum and buffalo horn. The costume, as like Ujungan Batavianese player, is free. But they usually wear a black pangsi , black shirt, or sometimes topless. While hitting a rattan club with the thumb sized diameter and length of 80 cm, an Uncul performer present in the arena after giving salutation and bow. After that, then he will dance with hitting move, dodging with his rattan, rhyming and complemented with Sampyong music. Some others are dancing with funny movement like monkey, to stimulate and challenge the opponents.

The supporter of Uncul, as like Ujungan Batavianese, is farmers. The distribution area is only in Eastern

Uncul merupakan bagian atau biasa diselipkan pada pertunjukan Ujungan Betawi.

Sebagaimana ujungan di daerah lain, yang biasa disebut citikan atau sabetan, ujungan Betawi berupa pertandingan keterampilan pukul-memukul dan tangkis-menangkis dengan rotan. Uncul berfungsi sebagai rangsangan dan tantangan kepada lawan dalam arena ujungan.

Musik pengiring uncul biasa disebut “sampyong”. Terdiri atas sebuah sampyong, semacam gambang sederhana dengan empat bilah terbuat dari bambu atau kayu, ditambah kentongan bambu dan tanduk kerbau. Kostum penari uncul, sebagaimana juga pemain ujungan Betawi, tidak ditetapkan. Tetapi umumnya mereka mengenakan celana pangsi hitam, kaos oblong hitam, atau kadang-kadang bertelanjang dada. Sambil memegang pukulan rotan sebesar ibu jari kaki dan panjang 80 cm, seorang penari uncul muncul di arena setelah lebih dulu memberi hormat dengan membungkukkan badan. Setelah itu barulah ia menari dengan gerakan-gerakan pukulan, menangkis dengan pukulan rotannya, secara berirama dan ditingkahi alunan musik sampyong. Ada pula yang menari dengan gerak lucu, seperti gerak monyet, untuk memancing dan memanaskan hati lawan.

Pendukung uncul, sebagimana ujungan Betawi, adalah petani. Penyebarannya

Uncul

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI48

Jakarta, especially those which close to the border of Bekasi Regency. While in Bekasi, almost all district have theirs, but they put more attention on the ujungan than the Uncul. Uncul figure in Jakata are Yakub, Mamad, Peto, and Sapri, but all of them are old.

hanya di Jakarta Timur, terutama daerah-daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi. Sedang di Bekasi hampir di semua kecamatan ada, tetapi dilebih diutamakan ujungannya ketimbang unculnya. Tokoh-tokoh uncul di Jakarta antara lain Yakub, Mamad, Peto, dan Sapri. Mereka semua sudah lanjut usia.

Pencak Silat dance can be

categorized as developing, and have not been too long in Batavianese’s culture. These years, Silat performers are thinking more of the content not the growth of Silat itself. But this dance is to stimulate youngsters to learn more about Pencak Silat. Of

course the movement of pencak silat dance contains Silat motions along with various genre or style known by the performer. Differ from Pencak Silat dance in Pasundan which is complemented with Gendang Pencak, Batavianese’s Silat is complemented by

Tari Pencak Silat tergolong

baru berkembang belum lama di Betawi. Sebab selama ini para pelaku silat Betawi lebih mementingkan segi “isi” ketimbang “kembangan” silat. Akan tetapi tarian ini berguna untuk membangkitkan gairah anak muda untuk belajar pencak silat. Dengan sendirinya tari pencak silat berisi gerak-gerak silat dengan berbagai aliran atau gaya yang diikuti masing-masing penari. Berbeda dengan tari pencak silat di Pasundan yang diiringi gendang pencak, tari silat Betawi diiringi gambang kromong, rebana biang, dan sebagainya. Ada pula yang menggunakan gendang

Tari Pencak Silat

49PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Gambang Kromong , Rebana Biang and the others. Some were also complement it with Gendang Pencak like Putra Batavianese group led by Utama in Kayu Manis and Mamat in Cireundeu. While in Pasundan, other than as the rhythm maker, Gendang Pencak also bring accentuation on the dance movement.

In 1979, the Government of Jakarta and the Institute of Batavianese Culture held Batavianese Silat Dance Festival. The 1st winner is Sabeni style led by Mohammad Ali from Tanah Abang with the complement of Samrah Orchestra; 2nd winner is SInar Kwitang led by Asmat from Kwitang with the complement of Gambang Kromong ; 3rd winner is Putra Batavianese led by Utama from Kayu Manis with the complement of Batavianese’s Gendang Pencak.

pencak seperti kelompok Putra Betawi pimpinan Utama di Kayu Manis dan Mamat di Cireundeu. Akan tetapi instrumen gendang pencak pada tari silat Betawi hanya sebagai pembawa irama saja. Sementara di Pasundan di samping sebagai pembawa irama, gendang pencak juga memberikan aksentuasi pada gerakan-gerakan tari.

Pada 1979 Pemda DKI Jakarta dan Lembaga Kesenian Betawi pernah mengadakan festival tari silat Betawi. Juara I adalah aliran Sabeni pimpinan Mohammad Ali Sabeni dari Tanah Abang dengan pengiring orkes samrah; Juara II Sinar Kwitang pimpinan Asmat dari Kwitang dengan pengiring gambang kromong; Juara III Putra Betawi pimpinan Utama dari Kayu Manis dengan pengiring gendang pencak Betawi.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI50

Sebagaimana terjadi di daerah lain, tari-tari tradisional Betawi juga menginspirasikan para

koreografer untuk menciptakan tari-tari kreasi baru yang tetap bernuansa Betawi. Jumlahnya akan terus bertambah seiring dengan penafsiran dan penciptaan kembali atas tari tradisional Betawi yang ada. Ini dilakukan oleh banyak koreografer, baik mereka yang berasal dari Betawi seperti Atin Kisam Jiun dan Entong Kisam Jiun, maupun mereka yang bukan Betawi seperti Yulianti Parani, Bagong Kusudiarjo, Wiwik Widiastuti,

Tari Kreasi Baru

As like what happens in any other area, Betawi’s traditional dances also inspires

choreographers to create new creation of dances with the Betawi touch. The numbers are increasing, along with their understanding and recreation of existing Betawi’s traditional dances. This is done by many choreographers, from Betawi like Atin Kisam Jiun and Entong Kisam Jiun, or those who were not from Betawi like Yulianti Parani, Bagong Kusudiarjo, Wiwik Widiastuti, Joko Sukosadono, Abdurachem or even those younger generation like Retno

51PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Joko Sukosadono, Abdurachem, atau yang lebih muda seperti Retno Marnilawanti dan Syarifudin. Mereka mengambil sumber dari aneka jenis tari Betawi yang ada, mulai dari Japin, cokek, samrah, hingga topeng. Berikut ini disebut beberapa dengan uraian yang serba-ringkas:

Tari Yapong diciptakan oleh Bagong Kusudiardjo pada awal 1975 sebagai salah satu bagian

dari dram tari Pangeran Jayakarta. Tarian ini dilakukan oleh perempuan. Tari Ronggeng Blantek mengambil inspirasi dari topeng blantek, terutama tarian pembuka yang bernama “ronggeng

Yapong dances created by Bagong Kusudiarjo in the early 1975 as a part of Theatrical

Dance Pangeran Jayakarta. This dance done a female. Ronggeng Blantek dance took the inspiratin from Blantek Mask, especially the opening dance called “Ronggeng Blantek”. The new creation is

Tari Yapong

Marnilawati and Syarifudin. They took the source from various type of existing Betawi dance, starting from Japin, Cokek, Samrah up to the Mask. The following can be described into several short description:

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI52

blantek”. Tari kreasi baru ini diciptakan oleh Warta Selly, Wiwiek Widiastuti, Joko Sukosadono dan digunakan dalam penyambutan tamu. Tari Gitek Balen diciptakan Abdurachem dan terinspirasi dari pola tabuhan di dalam gamelan ajeng Betawi. “Gitek” artinya goyang dan “balen” adalah sebuah pola tabuh pada gamelan ajeng Betawi. Tari ini menggambarkan kedinamisan gadis-gadis yang menginjak dewasa.

made by Warta Selly, Wiwiek Widiastuti, Joko Sudarsono and used in welcoming guests. Gitek Balen dance was created by Abdurachem and inspired from the pattern of beating in Betawi’s Gamelan Ajeng. Gitek means shake and Balen is the beating pattern in Betawi’s Gamelan Ajeng. This dance is to illustrate the dynamic of growing up girls.

53PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sementara Tari Sembah Nyai diciptakan Dadi Djaja dan merupakan tari penyambutan tamu, sebagaimana tari Sekapur Sirih pada khazanah tari Melayu. Tari Nandak Ganjen merupakan ciptaan Kisam Jiun, pemimpin kelompok topeng Betawi “Ratna Sari” dari Ciracas, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Tari ini menggambarkan anak-

While Sembah Nyai dance is created by Dadi Djaja and is a welcoming guest dance as like Sekapur Sirih dance in Malayan dance. Nandak Ganjen dance is a creation of Kisam Jiun, the leader of Betawi’s Mask group “Ratna Sari” from Ciracas, Pasar Rebo, Eastern Jakarta. This dance illustrates teenagers who are cheerful, happy and expecting freedom.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI54

anak ABG yang ceria, gembira, dan menuntut kebebasan. Tari Gejrug Jidat adalah karya Sukirman Kisam (Entong) yang terinspirasi dari gerak-gerak pencak silat Betawi. “Gejrug” adalah salah satu jurus pencak silat Betawi. Ia menggambarkan kepiawaian dan keterampilan para jawara dalam lakon topeng Betawi.

Gejrug Jidat dance created by Sukirman Kisam (Entong) inspired by Betawi’s silat movements. “Gejrug” is a move in Betawi’s Pencak Silat. It is illustrating the skill and mastery of the champions in the Betawi’s Mask act.

55PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sastra tulis adalah produk masyarakat tulis, yang lahir setelah masyarkat itu mengenal tulisan, kemudian teknologi percetakan.Di samping sebagai sastra lisan, Sastra Betawi juga mengenal

sastra tulisan yang dihasilkan oleh sejumlah penulis sejak abad ke-19 sampai hari. Di masa lalu kita mengenal para pengarang hikayat dari Pecenongan, Jakartata Pusat, yang bernama Sapirin bin Usman al-Fadil dan Muhammad Bakir yang aktif menulis naskah hikayat pada paruh kedua abad

ke-19. Sementara Ahmad Beramka, putra Sapirin, baru menulis naskah di awal abad ke-20. Naskah karangan Sapirin bin Usman al-Fadil antara lain Hikayat Nahkoda Asyik dan salah satu karangan

Muhammad Bakir yang terkenal adalah Hikayat Merpati Mas.

Sementara pengarang Betawi yang menulis cerita dalam sastra cetak di sekitar masa kemerdekaan adalah M. Balfas, kemudian ada S.M. Ardan dan Firman Muntaco. Mereka menulis cerita tentang masyarakat Betawi dan kehidupan sehari-hari dalam dua bahasa sekaligus, bahasa Indonesia dan Bahasa Betawi. Balfas menerbitkan kumpulan cerita Lingkaran-lingkaran Retak (1952), S.M. Ardan mengumpulkan ceritanya dalam Terang Bulan Terang di Kali (1955) dan novelet Nyai Dasima (1965),

yang kemudian diterbitkan ulang oleh penerbit Masup Jakarta (2007), dan Firman Muntaco menerbitkan dua seri Gambang Jakarta. Di samping itu ada juga penulis yang bukan orang Betawi tetapi menulis cerita dengan dialek Betawi seperti Aman Datuk Madjoindo dengan cerita Si Dul

Anak Betawi (1936).

Mereka menulis karya sastra yang bisa digolongan ke dalam khazanah sastra Indonesia modern dan bukan tidak mungkin mengambil inspirasi dari sastra lisan yang masih berkembang dan pernah

mereka nikmati. Berikut ini adalah jenis-jenis sastra lisan Betawi yang dikenal:

Written literature is a product of writing community, which was born after the community know writing, and the printing technology. Other than written literature, Batavianese’s literature also

recognized written literature produced by several writers since the 19th century until now. In the past we knew several story author from Pecenongan, Central Jakarta, named Sapirin bin Usman

al-Fadil and Muhammad Bakir who were active writing tales in the second part of the 19th century. While Ahmad Beramka, the son of Sapirin, just write scripts at the early 20th century. The script made by Sapirin bin Usman al-Fadil are Hikayat Nahkoda Asyik (the enjoyable tale of the Sailor)

and one of Muhammad Bakir’s famous writing is Hikayat Merpati Mas (The tale of Golden Dove).

While other Batavianese writers, wrote their stories in printed literature around the independence era like M. Balfas, and then there is S.M. Ardan and Firman Muntaco. They wrote stories about

the people of Batavianese and their daily life in two languages, Indonesian and Batavianese language. Balfas published the collections of Lingkaran-lingkaran Retak (Cracking Circles) in 1952, S.M. Ardan collect his stories in Terang Bulan Terang Kali (the Moon shines very bright) in 1955

and Novel Nyai Dasima in 1965, which was republished by Masup publisher Jakarta (2007), dan Firman Muntaco published two series of Gambang Jakarta. Besides that, there is also a writer that

was not a Batavianese person, but wrote a story with Batavianese dialect like Aman Datuk Madjoindo with the story of Si Dul Anak Batavianese(1936).

They did not only write a literature tha can be categorized into modern Indonesian literature and it is not impossible that they might have taken an inspiration from oral art literature that is still

developing and they have enjoyed.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI56

Seni sastra terbagi ke dalam dua: sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan berkembang dalam

masyarakat lisan, yang meskipun hidup di dalam dunia yang sudah mengenal tulisan, bahkan percetakan, masih mempertahankan kelisanannya. Dongeng adalah salah satu sastra lisan yang hidup juga di dalam kehidupan masyarakat Betawi. Sebutan yang khas untuk sastra lisan seperti ini adalah “buleng”. Buleng bisa berisi dongeng tentang kerajaan, raja atau kaum bangsawan lainnya, bisa juga berisi cerita dari kehidupan sehari-hari. Kadang-kadang kata “buleng” juga dikenakan bukan hanya untuk dongeng atau ceritanya, tetapi juga untuk sang juru cerita. Kata kerjanya “ngebuleng” artinya “bercerita.” Dalam penyajiannya, buleng sering kali menggunakan kalimat-kalimat liris. Judul-judul lakon buleng antara lain Gagak Karancang, Telaga Warna, Dalem Bandung, Ciung Wanara, dan Raden Gondang. Dewasa ini para juru cerita buleng sudah berusia lanjut, bahkan meninggal dunia. Yang pernah berjaya antara lain Boin dari Ciracas, Ilam dari Curug, Uwen dari Kali Malang, dan Guneng dari Cijantung. Sastra lisan ini ini tergerus oleh aneka hiburan yang disiarkan secara elektronis melalui radio dan televisi.

Literature is divided into two types: oral literature and written literature. Oral literature

grows in oral society, which even they have already know writing, even publishing, still maintain their oral activity. Folktale is an example of oral literature in Batavianese society. The specific idiom for this oral literature is “buleng”. Buleng contains folktale about kingdom, king, or any other nobles, and can also contains the story of everyday life. Sometimes, the word “buleng” were also used not only for the folktale or story, but also for the story teller. The verb “ngebuleng” means telling story. In the performance, buleng frequently uses lyrical sentences. Some title of buleng acts are Gagak Karancang, Telaga Warna, Dalem Bandung, Ciung Wanara, and Raden Gondang. Presently, buleng story tellers are already old, even passed away. Those who was once glorious are Boin of Ciracas, Ilam of Curug, Uwen of Kali Malang, and Guneng of Cijantung. This oral literature scrapped by electronically broadcasted entertainment through Radio and TV.

Buleng

57PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Sahibul hikayat (artinya: pemilik cerita) adalah jenis sastra lisan yang masih bertahan di kalangan

masyarakat Betawi. Penyampai “sahibul hikayat” biasa disebut “tukang cerita” atau “juru cerita” atau “juru hikayat”. Juru hikayat yang terkenal antara lain Haji Ja’far, Haji Ma’ruf dan Mohammad Zahid alias “Wak Jait”. Saking terkenalnya ahli yang terakhir ini cara menyampaikan hikayat itu sendiri sering pula disebut dengan “ngejait”. Pekerjaan sehari-hari Mohammad Zahid adalah tukang pangkas rambut di dekat pasar kambing Tanah Abang. Dalam menyampaikan ceritanya Mohammad Zaid selalu mengenakan kain pelekat, berbaju potongan sadariah dan berpeci hitam. Pekerjaan ini kemudian diteruskan oleh putranya, Ahmad Sofyan Zahid (meninggal 2007). Dari generasi yang lebih baru bisa disebut Ita Saputra dan Edi Oglek.

Cerita-ceritanya biasanya disampaikan dalam sahibul hikayat berasal dari khazanah sastra lisan Timur Tengah, seperti “Seribu Satu Malam.” Juru hikayat biasanya bercerita sambil duduk bersila, ada yang sambil memangku bantal, ada yang sesekali memukul gendang kecil yang diletakkan di sampingnya untuk memberikan aksentuasi jalan cerita. Sampai zaman Mohammad Zahid yang meninggal pada 1963 dalam usia 63 tahun, jenis cerita yang dibawakan antara lain, Hasan Husain, Malakarma, Ahmad Muhammad, Sahrul Indra

Sahibul hikayat (means: owner of the story) is a type of oral literature which is still live in

Batavianese socities. Sahibul Hikayat teller is usually called by story teller or hikayat teller. The famous Hikayat teller are Hajj Ja’far, Hajj Ma’ruf, and Mohammad Zaid aka “uncle tailor”. Because of his fame, the way he tells the story is even called tailoring. Mohammad Zaid’s is a barber around Goat Market in Tanah Abang. The way he presents his stories, he always wears sticking cloth, sadariah style clothes and black Islamic Rimless hat. This job is continued by his son Ahmad Sofyan Zahid (passed away in 2007). Younger generations of buleng are Ita Saputra and Edi Oglek.

This story is usually delivered in Sahibul Hikayat which came from the Middle East oral literature, like “1001 nights”. Hikayat teller usually tells story while sitting, some other holding a pillow, some others hitting a small drum besides him to give more accentuation to the story line. Until the death of Mohammad Zahid in 1963 on his 63rd years of age, the type of story

Sahibul Hikayat

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI58

Laila Bangsawan. Sementara Ahmad Sofyan Zahid mengaku pernah pula menuliskan hikayat-hikayat ciptaannya sendiri dan digunakan untuk kepentingannya sendiri.

told are Hasan Husain, Malakarma, Ahmad Muhammad, Sahrul Indra Laila the Noble. While Ahmad Sofyan Zahid claimed that he already made his own stories and be used for personal needs.

Kata “rancag” (menurut lidah orang Betawi Pinggiran) atau rancak (menurut lidah

orang Betawi Tengah atau Kota) sama artinya dengan pantun. Cerita yang dibawakan dengan dipantunkan disebut cerita rancagan, atau cukup disebut rancag atau rancak saja, berbentuk pantun berkait. Pantun secara keseluruhan melukiskan sebuah kisah yang untuh, seperti tentang Si Angkri Jago Pasar Ikan. Pantun dalam rancag disusun secara improvisasi dengan mengikuti alur cerita yang sudah tetap. Suatu cerita dapat dipanjangkan penghidangannya dengan berbagai tambahan, misalnya dengan lawakan yang seringkali menyimpang dari cerita (lanturan/digresi). Namun demikian semua ini tetap disenangi penonton. Rancag biasa diiringi dengan orkes gambang kromong, yang biasa disebut Gambang Rancag, sebagaimana diuraikan dalam lema “Gambang Rancag.”

The word „Rancag“(according to outskirt Batavianese people) or rancak (according to middle

Batavianese) equals to rhyming poetry. The story is delivered with rhyming poetry, and be called as rancagan story, or Rancag or rancak, with a form of linking rhyme poetry. Pantun in general is an illustration of a whole story. Like Angkri The Champion of the Fish Market. The poetry in Rancag is arranged with improvisation by following fixed story line. A story can be extended with several addition, for example with jokes that sometimes too far from the story itself (diggresion). Even though it happens, that part is loved by the audience. Rancag is usually complemented by Gambang Kromong Orchestra, which ususally called Gamban Rancag, as like the one that has been described in the page „Gambang Rancag“

Rancag

59PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Teater tradisional Betawi merupakan pertunjukan yang membawakan lakon atau cerita, baik dengan atau tanpa tutur kata. Ondel-ondel dan gembokan termasuk teater tanpa tutur kata. Sementara teater dengan tutur kata bisa dibedakan antara

teater atau lakon yang ceritanya dituturkan oleh seorang ayau lebih penutur, seperti sahibul hikayat, dan teater yang ceritanya dimainkan oleh sejumlah pemain atau

boneka, seperti wayang dan lenong.

Tradisional Batavianese theater is a kind of entertainment which perform an act or story, with or without saying anything. Ondel-ondel and gembokan includes in the theater without dialog. While theater with dialogue can be differentitated between

theater or an act which story is brought by one person or more, like Sahibul Hikayat, and theater which played by several people or dolls, like puppets and

lenong.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI60

Ondel-ondel berbentuk boneka besar dengan kerangka anyaman bambu, tingginya

2,5 m dan garis tengah kurang dari 80 cm. Dibuat demikian agar pemikulnya yang berada di dalamnya bisa menggerakannya dengan leluasa. Rambutnya terbuat dari ijuk atau “duk” kata orang Betawi. Mukanya berbentuk topeng atau kedok dengan mata melotot. Agar lebih menarik di rambutnya diberi hiasan “kembang kelapa”. Jenisnya ada dua: Laki laki dengan wajah merah, berkumis melintang, berjenggot, beralis tebal, dan bercambang. Kadang-kadang diberi caling. Sedang yang perempuan berwajah putih atau kuning, bergincu, berbulu mata lentik, dan alis lancip. Kadang-kadang diberi tahi lalat.

Pakaian ondel-ondel laki-laki biasanya warna gelap. Jenisnya pakaian pangsi. Untuk perempuan dipilihkan warna cerah motif polos atau kembang-kembang. Jenisnya baju kurung. Keduanya mengenakan selendang. Biasanya dua-duanya dibawa

Ondel-ondel is a large doll made of bamboo matting frame, with 2, 5 m height and

diameter of 80 cm. It was designed like that so the person inside can move it freely. The hair made of the fiber of palm tree or “duk” to Batavianese. His face shaped like a mask with eyes wide open. To make it more interesting, at the hair, is given an accessory of “coconut flower”. There are two types: Male with red face, athwart mustache, beard, thick eye brow, and sideburns. Sometimes were given fangs. While the gemale is white or yellow with lipstick, beautiful eye lashes, sharp eye brows and sometimes it also given beauty spot.

Costumes for Male Ondel-ondel are usually dark color. The type is pangsi clothes. For female, they choose bright color with plain or flower pattern. The type is confined clothes. Both are wearing shawl. It usually brought in pairs to make a parade become happy, like to parade a penganten sunat or any other occasion, even for cleaning up

Ondel-Ondel

61PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

berpasangan untuk memeriahkan arak-arakan, seperti mengarak pengantin sunat atau pesta lainnya, bahkan untuk acara bersih desa.

Musik pengiring ondel-ondel tidak tertentu, tergantung kebiasaan masing-masing rombongan. Ada yang diiringi dengan tanjidor, dengan gendang pencak Betawi, atau dengan bende, kemes, ningnong, dan rebana ketimpring. Di samping untuk mengiringi arak-arakan, ondel-ondel juga bisa pula mengadakan pertunjukan keliling alias “ngamen”. Pendukung utama kesenian ondel-ondel adalah masyakarat petani yang termasuk kategori “abangan”, khususnya yang berada di pinggiran Jakarta.

Pembuatan ondel-ondel dilakukan secara tertib, baik saat menganyam kerangkanya maupun saat membuat kedoknya. Pemberian sesajen dilakukan saat sebelum membikin, setelah ondel-ondel selesai dan saat akan memainkannya Lengkap dengan pembakaran kemenyan Upacara ini biasa disebut “ukup” atau “ngukup”. Grup ondel-ondel yang masih sering tampil antara lain: Grup Surya Jaya pimpinan Bolo, Grup Irma Irama Pimpinan Andi Suandi, Grup Beringin Sakti pimpinan M. Yasin.

the village occassion.

Complementing song of Ondel- ondel is not definite, it depends on the tradition of each groups. Sometimes were complemented with Tanjidor, with Batavianese’s Gendang Pencak, or with bende, kemes, ningong, and Rebana Ketimpring. Besides to go along with a parade, Ondel-ondel can also be used as a tool for road show or “ngamen”. The supporters of Ondel-ondel are farmers that can be categorized as “Abanngan”, especially those who lived in the outskirt of Jakarta.

The making of Ondel-ondel is made orderly, from the weaving up to creation of the mask. They gives incense before the creation, when it is done and when they are going to play it. Completed with the burning of incense, this procession is called “ukup” or “ngukup”. Ondel-ondel groups that still perform until nowadays are: Surya Jaya group led by Bolo, Irma Irama group led by Andi Suandi, Beringin Sakti group led by M. Yasin.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI62

Gemblokan berbentuk boneka yang unik. Ukurannya dari batas pinggul ke atas rata-rata

sebesar badan manusia. Terbuat dari kain, diisi bantal dan kapuk, ijuk atau sabut kelapa. Bagian mukanya dibuat dari kayu atau karton tebal, dibentuk sedemikian rupa sehingga tampak lucu. Ada yang lidahnya menjulur, ada pula yang seperti badut sirkus. Kepalanya ada yang ditutup topi ada pula yang memakai peci, atau ditutup dengan kain hitam.

Cara memainkannya yakni boneka diikatdengan kain pelekat atau kain batik panjang pada bagian bawah perut pemain. Mukanya didoyongkan ke depan. Ujung boneka sebelah bawah diletakkan persis di selangkangan dengan kedua tangannya ditaruh di atas pinggang pemain, sehingga tampak

Gemblokan is a unique doll. The size from the waist up is as human’s size. It is made of

cloth, filled with pillow and kapok, coconut fiber or coconut coir. The face made of wood or thick carton paper, formed in such a way to make it looks funny. Some had stick out tongue, some like circus clown. The head is covered with black Islamic cap or with black cloth.

The way to play it is by tying it to the Sticking cloth or Batik cloth under the performer’s waist. The face is moved forward. The down part is put under its groin with both hands put above the performer’s waist, so that it looks like the performer is the one that is being carried by the doll. Both of player’s hand is put on the doll’s shoulder. Sometimes there are those who

Gemblokan

63PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

seolah-olah yang memainkannyalah yang sedang digendong oleh di boneka. Kedua belah tangan pemain diletakkan di kedua belah bahu boneka itu. Kadang-kadang ada pula yang melengkapinya dengan “lutung-lutungan” dan “monyet-monyetan”, yaitu anak-anak berusia sekitar tujuh tahun yang memakai baju berpotongan sedemikian rupa sehingga tampak seperti monyet atau lutung, lengkap dengan ekornya.

Musik pengiring gemblokan tidak tentu. Ada yang menggunakan gendang kecil, terompet, bende, dan kempul seperti gemblokan Boim dari Ciracas, Pasar Rebo. Ada pula yang menggunakan beberapa kentongan dari bambu dan tanduk kerbau seperti gemblokan yang dipimpin oleh Namad, Kampung Setu. Gemblokan biasa digunakan untuk memeriahkan arak-arakan pada aneka perayaan, seperti pesta tujuh belasan, ulang tahun Jakarta, dan sebagainya. Gemblokan juga biasa digunakan untuk ngamen dari rumah ke rumah, terutama pada saat Tahun Baru Imlek dan Masehi.

complete it with “lutung-lutungan” and monkey figures, they are children aged 7 years old that wears costume that looks like monkey or lutung, complete with its tail.

Gemblokan music complement is indefinite. Some use small Gendang, trumpet, bende, and Kempul like Gemblokan Boim group of Ciracas, Pasar Rebo. Some other uses couple of bamboo drum and buffalo horn, like gemblokan lead by Namawd, Kampung Setu. Usually, gemblokan used to make a parade become more cheerful, like in 17th of August celebration, Jakarta’s anniversary and much more. Gemblokan is usually used to make a living by going houses to house, especially during Imlek New Year and New Year.

Gambang Rancag

Pergelaran gambang rancag dilakukan oleh dua orang atau lebih juru rancag yang

menceritakan dengan atau dinyanyikan, diiringi orkes gambang kromong. Gambang rancag biasa memeriahkan pesta-pesta dan berlangsung tanpa

The performance of Gambang rancag is done by two or more Rancag players who tell stories

by singing, accompanied by Gambang Kromong Orchestra. Gambang Rancag is usually to festive parties and performed without stage. The story

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI64

panggung. Cerita-cerita yang dibawakan biasanya mengenai peristiwa yang mengesankan bagi warga kota, seperti Si Pitung, Angkri, Delep dan lain-lain. Sering pula disajikan sketsa kehidupan atau gambaran satu keadaan, seperti rancangan Randa Bujang. Pantun-pantun yang biasa dibawakan rombongan rancag disusun secara improvisasi. Kadang-kadang dipanjang-panjangkan, disertai bumbu-bumbu lelucon untuk menambah kegembiraan penonton, terutama ketika penonton mulai mengantuk.

Pada masa lampau, penyebaran gambang rancag sama luasnya dengan penyebaran gambang kromong, karena itu masing-masing rombongan gambang kromong dilengkapi juga dengan juru rancag. Dewasa ini jarang sekali seniman gambang kromong yang pandai merancag. Tokoh-tokoh gambang rancag dewasa ini antara lain Samad Modo yang berpasangan dengan Jali alias Jalut dan Main di Pekayon; ada

brought is usually about anything that impresses the city dweller, like Pitung, Angkri, Delep and much more. Sometimes it’s also an illustration of life or a picture of a condition, like the design of Randa Bujang, The rhyming poet brought is usually a piece of improvisation. Sometimes it is lengthened with various jokes to add guests’ laughter, especially when they become sleepy.

In the past, the distribution of Gambang rancag is as wide as Gambang Kromong, because each Gambang Kromong group is usually completed with Rancag player. Nowadays, Gambang Kromong artists who can also play Rancag are very rare. Some Gambang Rancag that is quite famous lately, are Samad Modo who partnered with Jali aka Jalut and Main in Pekayon; there is Entong Dale and Bedeh in Cijantung, Eastern Jakarta; Amsar with Ali and Minggu in Bendungan Jago, Central Jakarta. Samad, Modo, Amsar, Rame, Reyot

65PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Berbeda dari wayang kulit yang berkembang di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur

yang menonjolkan wataknya sebagai seni “adhi luhung”, wayang kulit Betawi menonjolkan sifat kejelataannya, sederhana, polos, dengan keakraban komunikasi timbal balik antara pentonton dengan dalangnya. Orang Betawi biasa menyebut “wayang kulit” dengan sebutan “wayang” saja, sementara “wayang golek” disebut dengan “golek.” Sebagaimana wayang

Different from the leather puppet which grows in Central Jakarta, Yogyakarta,

and Eastern Java which put more value in the art of “greatness”, Batavianese leather puppet put more value in the community, simplicity, straight forwardness, with the intimate communication between the viewer and the puppet master. Batavianese used to called leather puppet with just puppet, while golek puppet as “golek”. As like any other leather puppet,

Batavianese also use a screen called “kore”

The musical instruments played are drums, trumpet, 2 pieces of Saron, kromong, kedemung, kecrek, kempul, and gong. Some also use rebab. Previously, Batavianese puppet is performed in an arena which was put at the same row as the spectators. Lately, they use stage. Acts that usually per-

Wayang Kulit

pula pasangan Entong Dale dan Bedeh di Cijantung, Jakarta Timur; Amsar bersama Ali dan Minggu di Bendungan Jago, Jakarta Pusat. Samad Modo, Amsar, Rame Reyot telah mendapat penghargaan Gubernur DKI Jakarta selaku seniman tua yang bertahan hingga tiga zaman. Pada tahun 1920an ada seorang tokoh gambang rancag bernama Jian, seorang tunanetra yang memiliki suara “serak-serak basah”.

have received The Governor of DKI Jakarta’ award as the senior artists who survived 3 generations. In the 1920’s there is a famous rancag figure namely Jian, a visually impaired person with husky voice.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI66

kulit pada umumnya, wayang Betawi juga menggunakan kelir yang dalam bahasa setempat disebut “kore”.

Alat musik pengiringnya adalah gendang, terompet, dua buah saron, kromong, kedemung, kecrek, kempul dan gong. Ada pula yang mengunakan rebab. Sebelumnya wayang Betawi dipentaskan dalam bentuk arena dengan pentas sejajar dengan penonton. Baru belakangan dipergunakan panggung. Lakon-lakon yang dimainkan kebanyakan lakon carangan dari epos Mahabarata dengan cerita-cerita yang khas Betawi, seperti Bambang Sinar Matahari, Barong Buta Sapujagat, Cepot Jadi Raja, Banteng Ulung Jiwa Loro, Perabu Takalima Danawi, dan lain sebagainya. Lakon-lakon tersebut diturunkan secara lisan. Hanya sebagian kecil yang dituliskan dalam Arab Pegon.

Di samping dalam pesta pernikahan, wayang Betawi juga dipentaskan untuk melepaskan “kaulan”, semacam nazar, dan satu-satunya kesenian untuk ruwatan. Ruwatan biasanya dilakukan oleh para dalang yang dianggap sudah matang. Mereka dianggap memiliki kemampuan spiritual yang tinggi dan mencukupi syarat untuk melakukan ruwatan, dengan pertunjukan khusus lakon Murwakala, yang menurut istilah setempat disebut lakon “Betara Kala” disertai sesajen lengkap. Dalam wayang Betawi yang terkenal antara lain Neran dan Niin dari Cibubur, Oking dari Kamplong di Munjul, Asmat dari Cijantung, Marjuki dari Cakung, Comong dari Pulo Jae, Jakarta Timur. Adapun Bonang dan Sa’an dari Jagakarsa, sementara dalang Usman dan Jari dari Cengkareng.

formed are acts from Mahabharata epic with more Batavianese touch like Bam-bang sun light, Barong Buta Sapujagat, Ceot becom King, Ulung jiwa loro bull, Takalima Danawi boat and much more. Those acts are inherited orally. Only some parts are written in Pegon Arabic.

Besides in wedding ceremony, Batavia-nese puppet also performed to do “kaul-an”, a type of promise, and the only art for ruwat. Ruwat is usually done by senior puppet master. They considered as hav-ing high spiritual ability and fulfilling the required ability to do the ruwat, which is to do a complete act of Murwakala, also know as “Betara Kala” act complement-ed with complete offering. In Batavianese puppet, the popular figures are Neran and Niin from Cibubur, Oking from Kam-plong in Munjul, Asmat from Cijantung, Marjuki of Cakung, Comong of Pulo Jae, Eastern Jakarta. While Bonang and Sa’an came from Jagakarsa, Usman and Jari the puppetmaster from Cengkareng.

67PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Wayang golek Betawi

ada dua macam. Pertama, sama dengan wayang golek Sunda, baik bentuk maupun cara pergelarannya. Hanya saja bahasa pengantarnya bahasa Melayu dialek Betawi atau bahasa Betawi, khususnya dialog-dialognya. Juga lakon-lakon yang dipentaskan sama dengan wayang golek Sunda, seperti Babad Alas Amar, Bandung Nagasewu, dan Patalikrama. Ada juga yang membawakan cerita Panji, seperti Panji Kerneng Pati, Kuda Lalean, dan Kuda Narawangsa. Musik pengiringnya sama dengan wayang kulit Betawi, yaitu gamelan logam. Dibanding wayang kulit Betawi, wayang golek Betawi kalah populer. Sejauh ini hanya terdapat di Sukapura, Cilincing, dan Jakarta Timur.

Ada pula jenis wayang golek yang agak berbeda yang terdapat di Cireundeu, Ciputat, Tangerang, yang oleh pendukungnya disebut pula “golek” atau “Golek Ciputat”. Golek Ciputat tidak pernah memainkan lakon-lakon mengenai raja-raja, melainkan kisah-kisah yang terjadi atau dikarang sebagaimana terjadi di dalam masyarakat pendukungnya. Yakni cerita-cerita jagoan, sebagaimana

There are two types of Batavianese Golek puppet. First, the same as Sundanese Golek Puppet,

from the puppet to the performance. It’s just the delivery language is Malay with Batavianese dialect or Batavianese language, especially the dialogues. The acts are the same as in Sundanese Golek Puppet, like Babad Alas Amar, Bandung Nagasewu, and Patalikrama. Some were also perform the story of Panji like Panji Kerneng Pati, Kuda Laleam and Kuda Narawangsa. The music played is the same as in Batavianese leather Puppet, which is Steel Gamelan. Compared to Batavianese leather puppet, Batavianese golek puppet is less popular. These far, they only exist in Sukapura, Cilincing and Eastern Jakarta.

There is another different type of Golek puppet in Cireundeu, Ciputat, Tangerang, which is called as “Golek” or “Golek Ciputat”. Golek Ciputat has never played any acts about the Kings,

Wayang Golek

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI68

sering terjadi dalam lakon-lakon lenong preman. Bentuknya berbeda dari wayang golek Sunda atau wayang lain. Golek Ciputat tidak memakai hiasan seperti sumping, makuta, kilatbahu, dan sebagainya. Bentuk muka tokoh-tokohnya pun seperti bentuk muka orang kebanyakan, yang disesuaikan dengan sifat, perangai dan pembawaannya. Dalam memainkan golek Ciputat sang dalang dibantu oleh bebrapa orang. Kadang-kadang “nayaga” (pemain musik) ikut memainkan wayang demi membantu sang dalang sehingga adegan perkelahian yang kolosal bisa tergambarkan dengan baik. Musik pengiring golek Ciputat adalah gamelan ajeng, lengkap dengan terompetnya. Sejauh ini dalang golek Ciputat hanya dua orang, yaitu Sarpin dan Muid.

Topeng Betawi berkembang di wilayah budaya Betawi pinggiran, terutama sebelah

utara Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kabupaten Bekasi, dan sebelah timur Kabupaten Tangerang. Alat musik pengiringnya berupa gendang besar, kulanter, rebab, kromong berpencon tiga, kecrek, kempul, dan gong buyung. Topeng bisa bermain di tempat terbuka atau di atas panggung. Untuk kepentingan “ngamen” topeng biasa main tanpa panggung alias di tempat terbuka.

Batavianese Mask developed around the outskirt of Batavia, especially northern of the

Bogor Residence, all Bekasi Residence, and eastern part of Tangerang Residence. The complemeting music instruments are the big Gendang, Kulanter, Rebab, Kromong with 3 slants, kecrek, kempul, and buyung gong. Batavianese Mask is usually played on an open space or on the stage. For the purpose of finding money, the mask is usually played off stage or open space.

they prefer stories about daily life of supporting communities. Stories about the champs, as like what happen in the acts of hoodlums lenong. It looks like Sundanese Golek puppet or any other puppet. Ciputat’s Golek never wear any accessories like sumping, makuta, kilatbahu and others. The shape of the face of the characters are just like normal person which accustomed and matched to the characters, behaviour, and attitude. In playing Ciputat’s Golek, the puppet master is helped by several person. Sometimes the nayaga (music player) also plays the puppet to help the puppet master, so that the colossal brawls can be illustrated perfectly. The music played in Ciputat’s Golek is gamelan Ajeng, complete with the trumpet. These far, the only puppet masters of Ciputat’s Golek are two people, Sarpin and Muid.

Topeng

69PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Ketika ditanggap untuk memeriahkan pesta pernikahan, sunatan, kaulan atau pesta lainnya, topeng bermain di bawah naungan semacam panggung yang disebut “tetarub atau” atau “tarub, yaitu panggung yang berupa kerangka bambu dengan atap anyaman daun kelapa dengan lantai tanah beralaskan tikar. Di situlah para nayaga memainkan musik dan para permain berganti pakaian atau menanti giliran tampil. Adapun arena tempat menari, bernyanyi dan berlakon terletak di depan tarub yang luasanya sama dengan luas tarub. Pada perkembangan terakhir, terutama sejak 1970an, topeng mulai menggunakan panggung, sebagaimana pertunjukan lenong atau orkes dangdut. Penerangan pun berganti dari lampu minyak bercabang tiga yang biasa di sebut “colen” atau “pelita” menjadi lampu patromaks dan listrik.

Sebelum pertunjukan topeng dimulai dilakukan pembakaran kemenyan dan disediakan sesajen lengkap. Pertunjukan di panggung bermula dengan lagu-lagu instrumental yang

When it is performing for a wedding ceremony, circumcission, kaulan or any other party, batavianese mask is usually played under a type of stage called “tetarub” or “tarub”, a type of bamboo framed stage with thatched roof of palm leaves with ground floor covered with plaited mat. There the nayaga plays music and the singers change costumes and wait for their turn to perform. Because the arena for dancing, singing and act is in front of the tarub. The latest development, especially after the 1970s, Batavian Mask starts to use stage, as like in Lenong performance or Dangdut orchestra. The lighting also changes from three branched oil lamp called “colen” or “pelita” into kerosene pressure lantern and electricity.

Before the performace starts, it is usually begin with the burning of incense and providing the complete

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI70

membawakan “tetalu”, “arang-arangan”, “tetopengan” dan lain-lain, tanda pertunjukan akan segera dimulai. “Tari Kedok”, tarian ronggeng topeng dengan menggunakan tiga kedok secara bergantian, mengawali pertunjukan, yang di masa lalu dimainkan di akhir pertunjukan. Setelah itu muncul “Tari Kembang Topeng” dilanjutkan dengan bodor, diiringi lagu-lagu “Aileu”, “Lipet Gandes”, “Enjot-enjotan” dan sebagainya. Setelah itu barulah lakon utama.

Di masa lalu lakon topeng terbilang pendek. Dalam pertunjukan semalam suntuk bisa dimainkan beberapa lakon, bahkan hingga tujuh. Lakon Bapak Jantuk adalah yang paling terkenal. Lakon ini mengandung nasihat tentang perkawinan dan perceraian. Lakon-lakon lainnya adalah Benguk, Pucung, Lurah Karsih, Mursidin dari Pondok Pinang, Samiun Buang Anak, Murtasik dan sebagainya. Sekarang ini dalam pertunjukan semalam suntuk topeng membawakan satu cerita panjang dengan banyak pemain, seperti Jurjana, Dul Salam, Lurah Bami dari Rawa Katong, Asan Usin, Lurah Murja, Rojali Anemer Kodok, Waru Doyong, Daan Dain, Kucing Item, Aki-aki Ganjen dan sebagainya.

Tokoh-tokoh topeng di masa lalu yang paling terkenal adalah Jiun dari Cisalak, Kabupaten Bogor, Bapak Kumpul dari Pekayon, Pasar Rebo, dan Bapak Kecil dari Cijantung. Jiun melahirkan sejumlah pemain topeng terkenal seperti Haji Bokir bin Jiun yang memimpin rombongan topeng “Setia Warga” di kampung Dukuh, Keramat Jati; Kisam Jiun juru gendang topeng terbaik yang memimpin rombongan “Ratna Sari” dari Ciracas, Pasar Rebo;

offering. The performance starts with instrumental songs with “tetalu”, “arang-arangan”, and “tetopengan”, as a sign that the performance is about to begin. “Kedok dance”, Ronggeng mask dance, played with 3 masks performs in turns, starts the performance, which in the past was played at the end. After that, they perform “Flower Masked dance” continued with Bodor, complemented with “Wileu”, “liper Gandes”, “Enjot-enjotan and much more. After that, the main character is played.

In the past, the act of Mask can be categorized as short. On an overnight performance, can be played several acts, even seven. The act of Mr. Jantuk is the most famous. This act have several value and suggestions about marriage and divorce. The character are Benguk, Pucung, Lurah Karsih, Mursidin of Pondok Pinang, Samiun Buang anak, Murtasik and much more to perform. Now, in an overnight performance, Batavianese Mask usually perform 1 long storywith lots of players, like Jurjana, Dul Salam, Lurah Bami dari Rawa Katong, Asan Usin, Lurah Murja, Rojali Anemer Kodok, Waru Doyong, Daan Dain, Kucing Item, Aki-aki Ganjen and many more.

The famous figures of Batavianese Mask are Jiun of Cisalak, Bogor Residence, Mr Kumpul of Pekayon, Pasar Rebo, and Mr Kecil of Cijantung. Jiun establish several famous Mask player like Hajj Bokir bin Jiun who led a Mask group “Setali Warga” in Kampung Dukuh, Keramat Jati; Kisam Jiun is the best gendang Mask player who lead “Ratna Sari” group from Ciracas, Pasar Rebo; and Dalih Jiun who stay in Cisalak, lead a group

71PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi yang mulai

berkembang di akhir abad ke-19. Sebelumnya masyarakat Betawi mengenal komedi stambul dan teater bangsawan. Komedi stambul dan teater bangsawan dimainkan oleh bermacam suku bangsa dengan menggunakan bahasa Melayu. Orang Betawi meniru pertunjukan itu. Hasil pertunjukan mereka kemudian disebut lenong.

Musik pengiring lenong adalah gambang kromong, yang memperlihatkan pengaruh luar yang dikembangkan oleh masyarakat Cina peranakan. Terutama dengan adanya instrumen rebab berdawai dua yang terdiri dari tiga jenis: tehyan, kongahyan, dan sukong. Sebagaimana gambang kromong, lenong pun di masa awal pertumbuhannya berkembang karena dukungan masyarakat Cina peranakan. Selain alat musik gesek tersebut, lenong gambang kromong dilengkapi dengan alat musik yang diduga berasal dari Betawi, seperti

Lenong is a form of Role Theater in Batavia that began developing in the late 19th

century. Batavianese used to know soap opera and royal theater. Soap opera and royal theater played by various ethnic groups using Malay language. Batavianese imitated the show. Their results show then called lenong.

Background music’s used in lenong were gambang kromong, which showed external influences that was developed by the overseas Chinese community. Especially with the two-stringed fiddle instrument that comes in three types: tehyan, kongahyan, and sukong. Just like

Lenong

dan Dalih Jiun yang tetap di Cisalak memimpin rombongan Kinang Putra. Ronggeng topeng yang paling terkenal adalah Mak Kinang, istri Jiun, yang semula mengikuti rombongan ubrug di Gudang Air.

named Kinang Putra. The most famous Masked Ronggeng is Mak Kinang, the wife of Jiun, previously lead Ubrug group in Gudang Air.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI72

gambang, kromong, kendang, gong, kempor, ningnong, dan kecrek.

Dalam pertunjukannya lenong menggunakan panggung berbentuk tapal kuda. Panggung ditata dengan baik dengan menggunakan dekorasi yang disebut seben. Seben terdiri dari beberapa layar selebar 3 × 5 meter yang bergambar macam-macam corak. Pemain lenong disebut panjak dan ronggeng. Panjak artinya pemain laki-laki. Ronggeng pemain perempuan. Jumlah pemain lenong tidak terbatas, tergantung kebutuhan.

Pertunjukan lenong dibagi atas tiga bagian. Sebagai pembukaan di dimainkan lagu-lagu berirama Mars (Mares dalam istilah setempat) secara instrumental untuk mengundang penonton datang. Juga dimainkan acara Hormat Selamat dengan membawakan lagu Angkat Selamet. Setelah itu dimainkan lagu-lagu hiburan yang terbagi ke dalam dua jenis: Lagu dalem dan lagu sayur. Lagu dalem dapat disebut jenis lagu klasik yang sangat sulit dinyanyikan. Lagu sayur adalah lagu gambang kromong masa kini atau lagu gambang kromong modern, yaitu: stambul, jali-jali, cente manis, dan persi. Di antara empat jenis itu, stambul lebih sering dimainkan. Stambul lebih pas untuk mengiringi dan mengisi perasaan sedih, gembira, kecewa, dan lain-lain. Terakhir, lakon. Pada awal perkembangannya lenong memainkan cerita-cerita kerajaan, baru kemudian memainkan cerita-cerita dari kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan jenis lakonnya, lenong dibagi ke dalam dua jenis: Lenong Denes dan Lenong Preman.

gambang kromong, lenong grew in the early age by support from the overseas Chinese community. Beside these fiddle instrument, gambang kromong in lenong also plays instruments that is assumed originated from Batavia, such as gambang, kromong, kendang, gong, kempor, ningnong, and kecrek.

In the show, lenong used a horseshoe-shaped stage. The stage was set up neatly by using decorations called seben. Seben consisted of several 3 × 5 meters screens with a picture of the various shades and patterns. Lenong players are called panjak and ronggeng. Panjak means male players while ronggeng means female players. The number of players is unlimited, depending on needs.

Lenong performance can be divided into three parts. As the opening, the show played marching tunes (Mares in local terms) instrumentally to invite the audience to come. Hormat Selamat part was also played by playing Angkat Selamat song. After that, lenong played the entertainment songs that can be divided into two types: Lagu dalem and Lagu sayur. Lagu dalem is a classical song that is very difficult to sing. Lagu sayur is a modern gambang kromong song, namely: stambul, jali-jali, cente manis, and Persi. Among the four types, stambul was more often played. Stambul better fit in accompanying and developing emotion like sad, happy, disappointed, and others. Finally is the play. In the early development, lenong played the stories of royal family, but then later played about the stories of everyday life.

Based on the type of the play, lenong can be divided into two types: Lenong Denes and Lenong Preman.

73PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Lenong denes dianggap sebagai perkembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini sudah punah, seperti Wayang Sumedar, Wayang Senggol, dan Wayang Dermuluk. Lenong denes mementaskan cerita-cerita kerajaan seperti Indra Bangsawan, Danur Wulan, dan sebagainya, yang diambil dari khazanah cerita klasik Seribu Satu Malam. Karena memainkan cerita kerajaan, maka busana yang kepakai oleh tokoh-tokohnya sangat gemerlapan, seperti halnya raja, bangsawan, pangeran, putri, hulubalang. Maka kata denes (dinas) melekat pada cerita dan busana yang dipakai. Maksudnya untuk menyebut orang-orang yang berkedudukan tinggi, orang berpangkat-pangkat atau orang-orang yang dinas.

Bahasa yang digunakan dalam pementasan lenong deses bahasa

Lenong denes is regarded as the evolution of some form of Batavianese theater that no longer exist today, like the Sumedar Puppet, Senggol Puppet, and Dermuluk Puppet. Lenong denes played stories like Indra Bangsawan, Danur Wulan, and so on, which was taken from the treasury of the A Thousand and One Nights classic story. Because lenong denes played the story of royal family, the dress use by the characters was very dazzling, just like what a king, nobles, princes, princess, district chief would wear. That was why the word denes (service) was attached to the story and clothing used. They refer to people of royal family, people with high rank, or others in those services.

The language used in the performance of lenong denes was higher Malay language. Examples of words that were often used, among others: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau, daulat

Lenong Denes Lenong Denes

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI74

Melayu tinggi. Contoh kata-kata yang sering digunakan antara lain: tuanku, baginda, kakanda, adinda, beliau, daulat tuanku, syahdan, hamba. Dialog dalam lenong denes sebagian besar dinyanyikan. Dengan cerita kerajaan dan berbahasa Melayu tinggi, para pemain lenong denes tidak leluasa untuk melakukan humor. Agar pertunjukan bisa lucu, maka ditampilkan tokoh dayang atau khadam (pembantu) yang menggunakan bahasa Betawi. Adegan-adegan perkelahian dalam lenong denes tidak menampilkan silat, tetapi tinju, gulat, dan main anggar (pedang).

Lenong denes biasa bermain di atas panggung berukuran sekitar 5 x 7 meter. Tempat ini dibagi dua: di belakang untuk pemain berhias, ganti pakaian, atau menunggu giliran main. Bagian depan untuk pentas. Alat musik diletakan di kanan dan kiri pentas, sebagaimana dalam lenong preman. Dekor digunakan untuk menyatakan susunan adegan, meski kadang-kadang tidak pas sama sekali alias bertabrakan dengan jalan cerita yang sedang berlangsung. Perkelahian dalam pentas diusahakan dengan gerak silat yang sungguh-sungguh, ditambah dengan pedang, anggar, dan gerakan akrobatik yang mengesankan. Adegan perkelahian juga dipermeriah dengan bunyi tambur. Sebelum pertunjukan berlangsung diadakan acara “ngukup” dengan menyediakan sesajen lengkap dan membakar kemenyan atau “hioh”.

Rombongan lenong denes yang pernah ada adalah Lenong Dines pimpinann Rais di Cakung, Samad Modo di Pekayon, Tohir di Ceger, dan Mis Bulet di Babelan.

tuanku, syahdan, hamba. Dialogues in most lenong denes were sung. With stories of royal family and higher Malay speaking, the players were not freely making humors in lenong denes. In order for the show to be funny, the characters of lady-in-waiting or maid appeared in the shows that use Batavian language. The fighting scenes in lenong denes did not use silat (traditional martial art), but they used boxing, wrestling, and fencing (sword fighting).

Lenong denes often played on a 5 x 7 meters stage. This stage was divided into two: the back stage for the players to put on makeup, changed clothes, or waiting for their turn to play. On the front stage, instruments were placed on the right and left-hand of the stage, and the same also applied in lenong preman. Decoration was used to denote the composition of the scenes; though sometimes the decoration did not fit at all with the story in progress. The fighting in the stage was done as real as possible, accompanied with the sword fighting, fencing, and impressive acrobatics. The fighting scenes were also intensified with the sound of drums. Before the show start, they did ritual that is called “ngukup” by provide offerings and burn incense or “hio”.

Examples of Lenong denes group that are still exist up till now are Lenong Dines that are led by Rais in Cakung, Samad Modo in Pekayon, Tohir in Ceger, and Mis Bulet in Babelan.

75PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Berbeda dari lenong denes, lenong preman membawakan cerita-cerita dari kehidupan sehari-hari, yaitu dunia jagoan, tuan tanah, drama rumah tangga, dan sebagainya. Lenong preman biasa juga disebut sebagai “lenong jago”. Disebut demikian kerena cerita yang dibawakan umumnya kisah para jagoan, seperti Si Pitung, Jampang Jago Betawi, Mirah Dari Marunda, Si Gobang, Pendekar Sambuk Wasiat, Sabeni Jago Tenabang, dan lain-lain. Karena cerita yang dibawakan adalah masalah sehari-hari, kostum atau pakaian yang digunakan adalah pakaian sehari-hari.

Lenong preman menggunakan bahasa Betawi dalam pementasannya. Dengan menggunakan bahasa Betawi, terjadi keakraban antara pemain dan penonton. Banyak penonton yang memberi respon spontan dan pemain menanggapi. Terjadilah komunikasi yang akrab antara pemain dan penonton. Dialog dalam lakon lenong umumnya bersifat polos dan spontan. Sehingga menimbulkan kesan kasar, terlalu spontas dan bahkan porno.

Not like lenong denes, lenong preman brought the stories of everyday life, the story about heroes, landlords, domestic dramas, and so on. Ordinary lenong preman are also known as “heroic lenong”. So they are called because they generally brought the stories of heroic figures, like Si Pitung, Jampang Jago Batavian, Mirah dari Marunda, Si Gobar, Pendekar Sambuk Wasiat, Sabeni Jago Tenabang, and others. Because the stories brought refer to everyday life situation, costumes or clothing’s that were used in this play were common everyday clothing.

Lenong preman used Batavian language in the play. By using Batavian language, the players could build intimacy with the audiences. Many audiences gave spontaneous response and then responded by the players. There was a close communication between players and audiences. Dialogues in the play are generally spontaneous and genuine, often resulting in a rough, spontaneous, and even pornographic impression.

Lenong developed in region of Batavian

Lenong Preman Lenong Preman

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI76

Lenong preman berkembang di wilayah budaya Betawi, di antaranya di sejumlah tempat di Jakarta, di kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Tangerang. Beberapa rombongan lenong yang pernah ada dan masih ada sekarang ini adalah rombongan Gaya Baru dipimpin oleh Liem Kim Song alias Bapak Sarkim dari Gunung Sindur, Bogor, Setia Kawan dipimpin oleh Nio Hok San dari Teluk Gong, Tiga Saudara dipimpin oleh Pak Ayon dari Mauk, Tangerang, dan Sinar Subur dipimpin oleh Bapak Asmin dari Bojongsari.

Kata “jipeng” merupakan akronim dari “tanji” dan “topeng”. Dengan kata lain,

jipeng adalah topeng dengan iringan orkes tanjidor. Cara memainkannya tidak banyak berbeda dengan topeng. Bedanya hanya pada waktu pembukaan. Jika topeng membawakan lagu “Arang-arangan” atau “Enjot-enjotan”, jipeng membawakan lagu-lagu mars dan was (mungkin dari kata “wals”) dalam tanjidor, seperti lagu “Kramton”, “Bataliyon”, “Was Taktak”, dan lain-lain. Kadang-kadang tanjidor bisa diganti dengan keromong tiga pencon, gendang, kecrek, kempul, suling, kempul dan gong buyung. Orkes tanjidor juga biasa mengiringi tarian dalam jipeng.

Kostum yang digunakan pemain Jipeng lebih sederhana. Untuk

culture, including in some places in Jakarta, Bogor, Bekasi, and Tangerang. Some groups lenong ever existed and still exist today is a New Wave group led by Liem Kim Song aka Mr. Sarkim from Mount Sindur, Bogor, Setia Kawan led by Nio Hok San from Teluk Gong, Tiga saudara, led by Mr. Ayon from Mauk, Tangerang , and Sinar Subur led by Mr. Asmin from Bojongsari.

The word “jipeng” comes from the acronym of “tanji” and “topeng”. In other words, jipeng is

a masque that accompanied by tanjidor orchestra. How jipeng were played was not too different from a masque. The difference is only at the opening. If the masque played the “Arang-arangan” or “Enjot-enjotan” song, jipeng played marching songs and was song (probably comes from the word “waltz”) in tanjidor arrangement, like the “Kramton”, “Bataliyon”, “Was Taktak” song, and others. Tanjidor sometimes can be replaced with keromong tiga pencon, gendang, kecrek, kempul, suling, and gong buyung. Tanjidor orchestra also commonly accompanied dances in jipeng.

Costumes used in jipeng players were much simpler. For the dancers, jipeng

Jipeng

77PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

penarinya, Jipeng cukup memakai kebaya, kain panjang, dan selendang panjang yang diikatkan di pinggang. Untuk memeriahkan kadang-kadang dimunculkan juga tokoh perempuan yang dimainkan oleh laki-laki. Ini juga untuk kepentingan banyolan. Adapun lakon-lako yang dibawakan juga tidak banyak berbeda dengan yang dibawakan kelompok topeng. Berkisar pada kebaikan/kebenaran pasti dapat mengalahkan kejahatan. Selalu ditampilkan sosok tokoh kesatria, yang melawan kesewenangan penjajah atau tuan tanah. Sering pula Jipeng membawakan cerita babad dan legenda. Misalnya Babad Bogor, Sultan Majapahit, Prabu Siliwangi, dan lain-lain. Jipeng terbatas di daerah pinggiran Betawi, seperti Cilodong, Kampung Setu, Tambun, Ciseeng, dan sebagainya.

Adapun Jinong sama dengan Jipeng. Jinong akronim dari kata tanji dan lenong.

Yakni, pertunjukan lenong preman dengan iringan musik tanjidor. Jinong sering ditanggap memeriahkan hajatan. Biasanya Jinong sudah mulai

only need to wear kebaya, a long cloth, and a long shawl tied at the waist. To spice things up, sometimes jipeng also featured female characters played by men. This was also done for the sake of the jokes. As for the characters, jipeng was not too different from that was showed in a masque. Revolves around the goodneed/righteousness must be able to overcome evil,, jipeng always displayed the figure of a knight, who fight tyranny or landlords. Jipeng were also often brought chronicle story and legend, for instance Chronicle of Bogor, Emperor of Majapahit, King of Siliwangi, and others. Jipeng were limited in suburban Batavia, such as Cilodong, Kampung Setu, Singleton, Ciseeng, and so on.

Jinong is also the same like jipeng. Jinong comes from the acronym of “tanji” and “lenong”. Namely,

it’s the lenong preman with tanjidor accompaniment. Jinong often used to cheer up a celebration. Usually jinong already started playing music from nine

Jinong

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI78

memainkan musiknya pada pukul sembilan pagi sampai menjelang magrib. Musik ini berfungsi sebagai pemberitahuan akan ada pertunjukan Jinong.

Pertunjukan Jinong dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama penyajian musik instrumental (mares dan was), lagu-lagu Sunda gunung, kemudian lagu-lagu gambang kromong pada umumnya. Belakangan dimainkan pula lagu dangdut. Lantas tarian yang disebut “Tari Jinong” dengan iringan lagu-lagu yang biasa dibawakan di gambang kromong, seperi Jali-jali, Persi Rusak, dan Gelatik Nguknguk. Geraknya sederhana sekali, dengan rentang tangan lebih rendah dari bahu. Cerita yang dibawakan pun sama dengan cerita lenong atau wayang si ronda.

Tokoh jinong dewasa ini antara lain adalah Orok di Pondok Rajeg, Warta di Cijantung, dan Liang di Parung. Semasa masih hidup Nyaat juga kerap dipanggil untuk memainkan jinong.

o’clock in the morning until nearly sunset. Music serves as a notification that there will be a jinong show coming.

Jinong show was divided into three stages. The first stage was the presentation of instrumental music (march and waltz), Sundanese mountain songs, and common gambang kromong songs. Lately, jinong also played dangdut songs. Then a dance called “Tari Jinong” performed with the accompaniment of songs performed by gambang kromong, like Jali-jali, Persi Rusak, and Gelatik Nguknguk. The dance has a very simple motion, with arm stretched lower than the shoulders. The story brought in jinong were also the same like the the story in lenong or wayang si ronda.

Characters in jinong today include Orok in Pondok Rajeg, Warta in Cijantung, and Liang in Parung. Nyaat also often called upon to play jinong.

Blantek

Blantek awalnya diakui sebagai teater topeng tingkat pemula. Di kalangan seniman topeng,

jika ada pemain topeng yang bermain jelek, diejek dengan menyebutnya sebagai pemain topeng blantek. Peralatannya tidak menentu. Ada yang menggunakan rebana biang, gamelan sederhana, bahkan ada kromong yang terbuat dari kaleng dencis, sebagaimana dilakukan Nasir Boyo dari Cijantung.

Blantek initially recognized as amateur masque. Among the masks artists, if there were

players who perform badly, they will be mocked by calling them blantek. Equipments were varying in each performance. Some used rebana biang, simple gamelan, even gambang kromong made of dencis can, just like what Cijantung Boyo Nasir usually done. Thus blantek term can mean “horribly

79PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Dengan demikian sebutan blantek bisa berarti “campur aduk tidak karuan”.

Pada perkembangannya blantek memiliki identitas sendiri. Musik pengiringnya rebana biang. Di awal pertunjukan dibawakan lagu-lagu zikir dan shalawat. Kreativitas mereka berkembang dengan menampilkan tari blenggo, pencak silat, dan sulap gedebus atau laes. Pertunjukan blantek merupakan campuran antara tari, nyanyi, guyonan, dan lakon. Ia juga tidak menggunakan dekor. Beberapa lakon blantek diambil dari topeng dan lenong, antara lain Udrayaka, Jaka Sondang, Jampang Mayangsari, Si Pitung, Nyai Dasima, Jurjana, Mandor Dul Salam, Tuan Tanah Kedaung, Pendekar Kucing Item. Meski begitu ada lakon asli blantek, seperti Kramat Pondok Rajeg, Kembar Empat, Ahmad Muhammad, dan Prabu Zulkarnaen. Pada pertunjukan semalam suntuk, blantek juga menampilkan lakon Bapak Jantuk.

Perkembangan kesenian blantek tidak menggembirakan. Blantek hanya tumbuh dan berkembang di wilayah sekitar Bogor, khususnya di kampung Bojong Gede, Pondok Rajeg, Citayam, dan Ciseeng. Regenerasi tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Sejak era

mixed”. In its development, blantek have their own identity. The music that accompanies blantek show was rebana biang. At the beginning of the show, they presented songs of prayers. Their creativity grew by displaying blenggo dance, pencak silat, and gedebus magic or laes. Blantek performance is a mix between dances, singing, jokes, and play. Blantek also did not use any decoration. Some blantek plays were taken from masque and lenong, among others were Udrayaka, Jaka Sondang, Jampang Mayangsari, Si Pitung, Nyai Dasima, Jurjana, Mandor Dul Salam, Tuan Tanah Kedaung, Pendekar Kucing Item. Yet there were blantek original plays, such as Kramat Pondok Rajeg, Kembar Empat, Ahmad Muhammad, and Prabu Zulkarnaen. On an all night show, blantek also featured Bapak Jantuk play.

Blantek arts development was not particularly encouraging. Blantek only grew and developed in the region around Bogor, especially in the village of Bojong Gede, Pondok Rajeg, Citayam, and Ciseeng. Regeneration is not working as it should. Since the 1950s, blantek activity went on a full stop. In 1976, DKI Jakarta’s local

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI80

Tonil samrah merupakan pengembangan dari teater bangsawan dan komedi

stambul. Menurut Dr. Th. Pigaude, tonil sambrah sudah muncul di Betawi

Tonil Samrah were a development of royal theater and soap opera. According to

Dr. Th. Pigaude, tonil samrah already appeared in Batavia since 1918. Tonil

Tonil Samrah

1950-an aktivitas blantek vakum. Pada 1976 Pemda DKI Jakarta mulai menggali kembali blantek. Tiga tahun kemudian diadakan lokakarya dan festival blantek. Kegiatan festival blantek dilaksanakan kembali tahun 1994 dan 1997. Festival dimaksudkan untuk regenerasi, dorongan moril, motivasi berkreasi, dan perluasan persebaran blantek. Namun kegiatan-kegiatan itu tidak mencapai target.

Saat ini hanya ada beberapa grup blantek yang bertahan, yakni Blantek si Barkah dan Balantek Nasir Mupid dari Petukangan. Grup ini pun kurang aktif sehingga nama topeng blantek semakin tenggelam.

government began an effort to revive blantek. Three years later, blantek workshops and festivals were held. Blantek festival activities held back in 1994 and 1997. Festival was intended for pass on, boost morale, motivate to create, and expand the spread of blantek. However, these activities didn’t go as expected.

Currently, there are only a few surviving blantek groups, namely the Barkah Blantek and Nasir Mupid Blantek from Petukangan. These groups also weren’t too active, so that blantek shows are still slowly vanishing.

81PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

sekitar tahun 1918. Tonil samrah termasuk kesenian yang lengkap, ada musik, pantun, tari, lawak, dan lakon. Istilah “samrah” mungkin berasal dari kata Arab “samarakh” yang artinya berkumpul. Ini berkaitan denga tradisi perkawinan di Betawi yang mengenal acara “maulid” dan “malam mangkat”. Di malam itulah para undangan berkumpul untuk mendengarkan pembacaan maulid karangan Al Barjanzi. Pertunjukan musik dan tari samrah dilanjutkan dengan cerita. Inilah saat tonil samrah.

Pada tahun 1920 diketahui ada perkumpulan tonil samrah yang pernah membawakan lakon Cik Siti, Tangis Si Mamat, Kasim Baba, Ujan Panas, Ibu Tiri, dan lain-lain. Cerita-cerita itu berbahasa Melayu tinggi dengan kosa kata Melayu Riau cukup mencolok. Meski pun menggunakan bahasa Melayu tinggi, namun bahasa itu diucapkan dengan lafal Melayu Betawi. Tonil samrah sangat fleksibel dalam pertunjukan. Dia dapat pentas di atas panggung, dapat

samrah are a complete arts, music, rhymes, dances, humors, and plays. The term “samrah” probably came from the Arabic word “samarakh” which means assembly. This is related with Batavian wedding traditions that familiar with the “Maulid” and “Malam Mangkat”. At that night, the invitee gathered to hear the maulid reading wrote by Al Barjanzi. Music and samrah dance performances then were continued with the play. This is what tonil samrah is.

In 1920, there were tonil samrah association that were known to have ever brought the plays of Cik Siti, Tangis Si Mamat, Kasim Baba, Ujan Panas, ibu tiri, and others. Those stories used higher Malay language with a distinct Melayu Riau vocabulary. Even though they used higher Malay language, the show was spoken with Batavian Malay pronunciation. Tonil samrah is very flexible in the performance. Tonil samrah can be performed with or without a stage.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI82

pula tanpa panggung.

Seluruh pemain tonil sambrah umumnya laki-laki. Karena dalam pengertian mereka tidak boleh jika ada perempuan yang bergabung dengan laki-laki hukumnya haram. Dahulu para pemain tonil samrah tidak mendapat honorarium. Mereka main karena hobi dan mencari hiburan belaka. Itu sebabnya pemain tonil samrah tidak memakai kostum khusus. Kostum yang dipakai sesuai dengan yang dipakai saat itu. Jika dia memakai pakaian untuk kondangan, pakaian itulah yang jadi kostum.

Pada era 1940-an, khususnya pada masa pendudukan Jepang, tonil samrah menghilang. Baru pada era 1950-an tonil ini muncul kembali, tetapi namanya menjadi Orkes Harmonium.

The players in tonil samrah were mostly men. Because according to them, it is forbidden for men to be in a same place with women. In the past, the tonil samrah players do not get paid by performing. They played tonil samrah as a hobby and for an entertainment. That is why tonil samrah players do not use special costume. Costumes they used are the clothes they wore that day. If, say, they wore clothes originally intended for a wedding, that particular clothes that will be used as the costume.

In the era of 1940s, especially during the Japanese occupation, tonil samrah disappeared. Only in the 1950s, it resurfaced, but the name changed to Orkes Harmonium. This tonil samrah version that appears after the independence was arranged more

83PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Ini jenis teater Betawi yang sudah punah. Tokohnya yang paling terkenal adalah Mak Kinang. Di

era 1920an ia berpindah profesi dari “topeng ubrug” menjadi “ronggeng topeng.” Juga Mak Minah di Cijantung. Ubrug Betawi mendapat pengaruh dari ubrug Banten. Di samping bahasanya yang berbeda, dalam ubrug Betawi ada pertunjukan sulap. Cerita-cerita yang ditampilkan ubrug biasanya berbentuk pendek dan disebut “banyolan” yang mengutamakan tawa penonton. Jalan cerita tidak terlalu diperhitungkan tetapi berisi sindiran atau kritik sosial. Di samping untuk hiburan hajatan, ubrug juga biasa ngamen. Mereka biasa ngamen di pasar dan halaman stasiun.

Dalam mengumpulkan penonton ubrug berkeliling kampung mencari tempat pentas. Sepanjang perjalanan keliling, musik pengiring ubrug (terompet, rebana biang, gendang, dan kulanter), tidak henti dimainkan. Suara musik pengiring ubrug itu akan menarik perhatian masyarakat untuk datang menonton.Uang diperoleh dengan cara nyawer, yaitu meminta

This type of Batavian theater that has become extinct. The most famous characters is Mak

Kinang. In the era of the 1920s, she changed profession from “topeng ubrug” to “ronggeng topeng.” Mak Minah also played in Cijantung. Batavian ubrug got an an influence from Banten. Besides the difference in the language used, Batavian ubrug also performed magic. The stories presented in Ubrug were usually in short form and was called as “jokes” that put the audience to laugh. The story was not too important, but contains satire or social criticism. Besides intended for an entertainment in a party, ubrug were also commonly performed in the street. They usually did street performance in the market and the station yard.

In order to gather their audience, ubrug toured around the village looking for a place of performance. Throughout the tour, ubrug background music (consisted of trumpet, tambourine, drum, and kulanter), did not stop playing. It was the ubrug accompaniment music that will attract people to come and watch. The payment obtained by a method called nyawer, which the players asked directly

Ubrug

Tonil samrah sesudah kemerdekaan ini ditata lebih rapi, dikemas seperti halnya persiapan pementasan teater. Pemain perempuan sudah diperbolehkan ikut. Tokoh yang pernah mempopulerkan kembali tonil samrah antara lain Firman Muntaco, M. Zein, Sarmada, Harun Rasyid, dan M. Ali Sabeni.

neatly, prepared just like a theatrical show. The women players were then allowed to participate. The figures who once more popularize tonil samrah include Firman Muntaco, M. Zein, Sarmada, Harun Rashid, and M. Ali Sabeni.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI84

Wayang Si Ronda mirip lenong. Jika lenong preman bermain di atas panggung,

wayang si ronda main di atas tanah, sebagaiman ubrug, blantek, dan topeng. Di masa lalu wayang si ronda hanya menggunakan selembar layar yang merupakan pemisah antara ruang bermain dengan belakang panggung yang berfungsi sebagai tempat berhias, berganti pakaian dan menunggu giliran main, sebagaiman dalam lenong. Ketika jenis teater ini masih ada beberapa orang yang sekarang dikenal sebagai tokoh lenong main di wayang si ronda. Sebutlah Samad Modo, Amsar, Imah, Kami, dan banyak lagi. Penyebaran wayang si ronda hanya terbatas di pinggiran, seperti di Kelapa Dua, Parung, dan Kresek, Tangerang.

Wayang Dermuluk mulai dikenal masyarakat Betawi di awal abad ke-20.

Dermuluk dipengaruhi oleh teater

Wayang Si Ronda is very much similar to lenong. If lenong preman was played on stage,

wayang si ronda was played on the ground, just like ubrug, blantek, and masque. In the past, wayang si ronda only used a screen which separate the front stage and the backstage where the players putted on makeup, changed clothes and waited for their turn to play, just like in lenong. When this type of theater still exist, there were some people, who are now known as the lenong player, who were also playing in wayang si ronda, for example, Samad Modo, Amsar, Imah, Kami, and many more. The spread of the wayang si ronda were limited in the outskirts of Jakarta, like Kelapa Dua, Parung, and Kresek, Tangerang.

Batavianese began to know Wayang Dermuluk in early 20th century. Dermuluk have the

influenced of the dulmuluk theater

Wayang Si Ronda

Wayang Dermuluk

langsung dari penonton. Perkumpulan ubrug yang pernah terkenal pada era 1920-an adalah ubrug yang dipimpi Kadul dari Gudang Air, Pasar Rebo, Jakarta Timur.

to the audience to share their money voluntarily. Ubrug association that once famous in the era of the 1920s was a group led by Kadul from Gudang Air, Pasar Rebo, East Jakarta.

85PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

dulmuluk yang berasal dari Riau. Maka itu dermuluk menggunakan bahasa Melayu. Ia sejenis komedi bangsawan dengan unsur nyanyian, tarian, dan lakon. Cerita yang dibawakan disadur dari khazanah sahibul hikayat, seperti Ahmad Muhamsmad, Indra Bangsawan, dan lain-lain. Musik pengiring pertunjukan dermuluk disebut orkes harmonium. Disebut orkes harmonium karena unsur bunyi alat musik harmonium sangat mendominasi. Alat musik orkes ini terdiri dari harmonium, gitar sampyan (gitar berdawai delapan), biola, gendang, marakas, dan tambur. Dalam perkembangannya dermuluk mengalami beberapa perubahan. Ada yang berpendapat dari dermuluk ini kemudian lahir jenis teater rakyat lenong denes dan tonil samrah.

Pada tahun 1930-an perkumpulan dermuluk yang terkenal berada di Jembatan Lima dipimpin oleh Abdul Manaf. Perkembangan dermuluk hanya terbatas di daerah Betawi tengah saja.

from Riau. That was why wayang dermuluk used Malay language. It was a kind of royal comedy with the elements of songs, dances, and plays. The story was adapted from the treasury of sahibul hikayat, like Ahmad Muhamad, Indra Bangsawan, and others. Background music used in wayang dermuluk performances is called orkes harmonium. It was named orkes harmonium because of the harmonium instrument sound was very dominant. This orchestra instrument consists of harmonium, sampyan guitar (eight-stringed guitar), violin, drum, maracas, and tambur. In its development, wayang dermuluk had undergone some changes. There was some opinion that said that later on dermuluk gave birth to lenong denes and tonil samrah.

. In the 1930s, the famous associations of wayang dermuluk located on Jembatan Lima that led by Abdul Manaf. The developments of wayang dermuluk only limited in the central Batavian region.

Wayang Senggol

Wayang jenis ini sudah tiada lagi sekarang. Sampai era 1930an kesenian ini ada

di beberapa tempat, seperti di Pasar Ikan dipimpin oleh Durahman, di Karang Anyar dipimpin oleh Seng Lun, di Krukut dipimpin oleh Pak Utan dan di Pasar Baru dipimpin oleh Abdurrahman. Perbedaan wayang

This type of wayang does no longer exist. Until the 1930s, this kind of art was found in

some places, such as the Pasar Ikan, led by Durahman, in Karang Anyar led by Seng Lun, in Krukut led by Mr. Utan and the Pasar Baru, led by Abdurrahman. The difference between wayang senggol and lenong denes lies in the

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI86

Perbedaan Wayang Sumedar dengan wayang senggol terletak pada dekor. Jika wayang senggol

menggunakan layar warna-warni, wayang sumedar hanya menggunakan layar polos, yang membedakan arena bermain dengan ruang tunggu pemain. Dalam wayang sumedar dipentaskan cerita-cerita komedi bangsawan seperti Jula-juli Bintang Tiga dan Syaiful Muluk. Sebelum Perang Dunia Kedua wayang sumedar ada di Kebon Jeruk dan dipimpin oleh Ahmad Batarfi. Sekarang tak ada lagi, pun keterangan yang memadai tentang wayang sumedar.

The difference between wayang sumedar and wayang senggol lies on the decoration used. If the

wayang senggol used colorful display, wayang sumedar only used a plain screen, which separated the frot stage with the players’ lounge. Wayang sumedar played royal comedy stories like Jula-juli Bintang Tiga and Syaiful Muluk. Before the Second World War, wayang sumedar can be found in Kebon Jeruk, that led by Ahmad Batarfi. Now wayang sumendar is no longer exist, along with an adequate description of this kind of art.

Wayang Sumedar

senggol dengan lenong denes terletak pada peragaan cerita di atas panggung. Lakon-lakon wayang senggol biasanya berasal dari cerita-cerita Panji. Perkelahian di wayang senggol lebih distilisasi dengan gerak-gerak yang luwes. Jika menurut cerita digunakan sebuah gada, dalam peragaannya cukup dengan selendang saja. Dalam berkelahi pun para pemainnya cukup menyenggol-nyenggol lawannya. Karena itu disebut wayang senggol. Perlengkapan panggungnya sama denga perlengkapan panggung lenong denes.

story performed. Wayang senggol plays usually came from Panji stories. The fights in wayang senggol were done more gracefully. If in the story involved a bludgeon, in the show, the players only used scarf. In the fights, the players only need to nudge the opponent. That was why it was called wayang senggol. Stage equipment used was virtually the same like the equipment used in lenong denes.

87PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Baik dekor maupun propert, Wayang Wong Betawi jauh lebih sederhana bila dibandingkan

dengan Wayang Wong Jawa. Kesederhana itu terjadi karena Wayang Wong Betawi ini tidak bersumber dari Keraton.

Even decor as well as the property, Wong Betawi Puppet more simple than Wong Java

Puppet. The simplify happen because Wong Betawi Puppet not based on keraton. In the past this puppet performed without a stage, and the

Wayang Wong

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI88

Padamasa lalu wayang ini dipertunjukan tanpa panggung, bahkan lazimnya berkeliling dari satu kampung ke kampung lain, tetapi lebih banyak menonjolkan tokoh punakawan yaitu Semar, Cepot Udawala, dan Gareng.

customary they usully go around from one village to another village, but more show off the punakawan character that is Semar, Cepot Udawala, and Gareng

89PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI90

Masyarakat Betawi tidak memiliki gaya bangunan yang khas. Cara membuat

bangunan pun sama dengan daerah lain. Namun ada yang khas Betawi seperti dalam teknik penyambungan, yaitu “tiang guru” dengan “penglari” selalu diperkuat dengan “pen” (semacam pasak yang terbuat dari bambu) sebagai pengganti paku. Bila rumah itu akan dibongkar pasak-pasak itu tinggal dicopot saja untuk kemudian dipasang kembali di tempat yang baru.

Rumah tradisional Betawi secara geografis biasanya berada di lingkungan dekat air. Pada bagian pesisir atau pantai masih terdapat beberapa rumah yang mewakili bentuk arsitektur tradisional, seperti rumah si Pitung di Marunda Pulo, Jakarta Utara. Di bagian pedalaman, rumah-rumah tradisional Betawi yang masih mewakili terdapat di kawasan Condet, Bale Kambang dan Batuampar, Jakarta Timur. Tata letak

Batavianese do not have a distinctive style building. How they create building are also

the same like many other area. But what is unique in Batavian buildings are the joining technique, in example the “main pole” that use “penglari” always reinforced with “pen” (a kind of pegs that are made of bamboo) instead of nails. If the house needs to be dismantled, they would just simply remove the pegs for then to be reassambled in the place new place.

Batavian traditional houses are usually located geographically close to the water source. On the coastal area, there are still some houses that represent the traditional architectural forms, such as the house of Si Pitung in Marunda Pulo, North Jakarta. In the countryside, traditional houses that still represent the Batavian style are in the Condet, Kambang Bale, and Batuampar, East Jakarta. The layout of the Batavianese’s

Arsitektur

91PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

houses is not oriented to any cardinal directions, which they preferred practical reasons, such as shape and orientation of the garden and its functionaliy. The house of Si Pitung that has space underneath reminded us about traditional houses in Sumatra, Kalimantan, and Sulawesi. While on the outskirts of Jakarta, as in Kalisari Pasar Rebo, East Jakarta, there are low underneath space houses. The height of the space is almost the same like most of the houses in Laki-lakingan. These houses are the transition from a house with to without space underneath, like the ones in Pondok Rangon, Keranggan, and Tipar. The height is approximately 20-30 cm.

The house of Batavianese that have higher income usually consists of the main building, “paseban” or hall, and the kitchen. The main building is where the host and the daughters sleep. It has opposite rooms. The paseban is located in front of the main building that has no walls that serves as a ledge. The roof is connected to ledge. Many functions, among others are as a place to welcome guests, where the family sat, sons’ bed, also for storing rice grain before moved into the barn. While the kitchen is located in the back and the roof attached to the rear of this building and have with zinc gutters. This kitchen functions for cooking and other domestic activities. Thus, this house has three wuwungan.

In general, the main building of taditional Bavatavianese’ house that don’t have a space underneath have an open front porch that is called

rumah orang Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin, mereka lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan dan fungsi-fungsinya.

Rumah Si Pitung yang berkolong mengingatkan kita pada rumah-rumah tradisional di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sementara di pinggiran Jakarta, seperti di Kalisari Pasar Rebo, Jakarta Timur, terdapat rumah berkolong rendah. Tinggi kolongnya seperti rumah-rumah kebanyakan di Laki-lakingan. Rumah-rumah yang merupakan peralihan dari yang berkolong ke tanpa kolong terdapat di Pondong Rangon, Keranggan, dan Tipar. Tingginya antara 20—30 cm

Rumah penduduk Betawi yang cukup mampu biasanya terdiri dari bangunan inti, “paseban”, dan dapur. Bangunan inti untuk tempat tidur tuan rumah dan anak gadis. Kamra-kamarnya berseberangan. Paseban terletak di depan bangunan inti berupa bangunan tanpa dinding sebagai sambungan dari langkan. Atapnya disambungkan dengan langkan. Fungsinya banyak, antara lain sebagai tempat menerima tamu, tempat duduk-duduk keluarga, tempat tidur anak laki-laki, juga untuk menyimpan padi sebelum dimasukukan ke dalam lumbung. Sementara dapur di belakang dan atapnya menempel dengan bagian belakang bangunan ini yang disambungkan dengan talang seng. Fungsinya untuk memasak dan kegiatan domestik lainnya. Dengan demikian, rumah seperti ini memiliki tiga wuwungan.

Pada umumnya bangunan inti rumah tradisional Betawi tanpa

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI92

kolong memiliki serambi depan yang terbuka yang disebut “langkan”. Bila tidak berkolong, di serambi itu biasa diletakkan balai-balai. Meskipun depannya terbuka sama sekali, di kiri-kanannya biasanya terdapat jendela tanpa daun. Seringkali pula bentuk atas jendela itu berbentuk lengkung seperti bentuk kubah masjid. Rumah tanpa kolong ini biasanya berlantai dari tanah, tembok, ubin dari batu pipih atau semen.

Sementara di bagian kiri dan kanan bangunan inti ada jendela berjeruji yang menghadap ke paseban. Fungsinya untuk memasukkan cahaya ke ruang dalam. Ia juga berfungsi sebagai tempat pertemuan gadis Betawi dengan kekasihnya dan kunjungan sang pacar biasa disebut “ngelancong.” Jendela itu sering pula disebut “jendela intip” karena di masa lalu para anak gadis Betawi yang belum terlibat hubungan percintaan yang intim hanya bisa mengintip dari balik jendela itu.

Tidak ada pembagian ruangan yang mutlak dalam rumah Betawi. Apalagi membaginya berdasarkan jenis kelamin penghuninya, meski kadang anak-anak gadis Betawi ditempatkan di kamar depan. Peruntukan ruang lebih karena pertimbangan praktis saja. Akan tetapi pembagian ruang yang cenderung simetris berlaku hampir mutlak. Pasalnya, ruang depan dan ruang belakang di mulai dari pinggir kiri ke pinggir kanan tanpa pembagian ruang lagi.

Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya, rumah tradisional Betawi dibagi ke dalam tiga jenis: potongan gudang, potongan joglo (limasan),

“langkan” or ledge. If the house doesn’t have space underneath, the porch is usually placed in the halls. Although the front of the porch is fully opened, normally on either side of the porch there are open windows. Often the upper side of the windows has a curved form like the dome of the mosque. The house that doesn’t have space underneath is usually have a dirt floored, or tiles from a flat stone or cement floored.

While on the left and right of the main buildings there are windows with bars that are facing the paseban. The functions of these windows are to let the sunlight enters the room. This place also serves as a meeting place for Batavian girl with her boyfriend, and this visitation is called “ngelancong.” The windows are often called “peeking window” because in the past, Batavian girls who have not engaged in an intimate relationship could only peer through that window.

There is no absolute assignment of the room in the Batavian house. Especially, room assignment is based on the gender of its inhabitants, although sometimes the Batavian girls are placed in the front room. Room assignment is merely based on practical considerations. But the room placement that tends to be symmetrical almost absolutely applies. The reason is that the front room and back room stretched from the left side to right side with no separation of space what so ever.

Based on the shape and structure of the roof, Batavian traditional houses are divided into three types: gudang or

93PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

dan potongan bapang atau kebaya. Masing-masing potongan atau bentuk ini berkaitan erat dengan pembagia denahnya.

warehouses, joglo (Limasan), and bapang or kebaya. Each piece of this form is closely related to the division of the schematics.

Potongan Gudang

Potongan gudang berbentuk empat persegi panjang dengan denah segi empat yang

memanjang dari depan ke belakang. Atapnya berbentuk pelana, tetapi ada pula yang berbentuk perisai. Susunan atapnya, baik yang berbentuk pelana maupun perisai, tersusun dari kerangka kuda-kuda. Bila berbentuk perisai ditambah dengan sebuah eleman struktur atau yang dalam istilah setempat disebut jure. Struktur kuda-kuda dalam potongan gudang biasanya bersistem agak kompleks, karena sudah mulai memakai batang tekan miring sebanyak dua buah yang saling bertemu pada sebuah batang tarik tegak yang biasa disebut ander.

Pada bagian depan biasanya terdapat sepenggal atap, yang biasa disebut empyak, atau markis, atau topi, berfungsi sebagai penahan tempias hujan atau cahaya matahari, pada ruang depan yang biasanya terbuka. Empyak biasa ditopang oleh tiang penyangga atau tangan-tangan yang disebut sekor-sekor. Biasanya dari

Gudang or warehouse has a rectangular shape stretching from front to back. The roof

has a saddle-shaped, but there are also houses that have the roof in the form of shield. The roof composition, whether it has a saddle-shaped or a shield, are build on top of a roof support. The shape of a shield with a support element in local terms is called jure. The support in the barn pieces is usually rather complex, because the it already using two diagonal press stems that met on a straight pull rod that is commonly called ander. At the front there is usually a piece of roof, that is commonly called empyak, or markis, or cap, that serves as a cover from rain or sunlight, in the front room which is usually open spaced. Ordinary empyak sustained by poles or thrust rod

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI94

Potongan Joglo

Pada umumnya potongan ini berbentuk bujur sangkar. Dari seluruh bentuk bujur sangkar

itu, bagian yang sebenarnya merupakan potongan joglo adalah bagian dari empat persegi panjang yang garis panjangnya terdapat pada kanan-kiri ruang depan. Atap bagian depan merupakan terusan dari atap joglo yang ada. Dengan demikian, bagia utama bangunan beratap potongan joglo dengan bagian depan yang atapnya merupakan sambungan dari bagian utama itulah yang menimbulkan denan berbentuk bujur sangkar.

Dari bentuknya dapat dipastikan bahwa potongan joglo merupakan bentuk adaptasi dari rumah tradisional Jawa. Perbedaannya adalah pada potongan joglo rumah tradisional Jawa, tiang-tiang utama penopang struktur atapnya merupakan unsur yang mengarahkan pembagian ruang pada denah. Sedang pada potongan joglo Betawi hal itu tidak nyata. Di samping itu struktur atap joglo tradisi Jawa disusun oleh

In general, these house forms a square. From this forms of square, the part that is actually a piece

of joglo is the rectangles part that are stretched from side to sides. The roof in the front is a continuation of the main roof. Thus, the main structure of joglo with front porch that are under one main roof is what made the square form.

From the shape can be ascertained that the joglo house is an adaptation of traditional Javanese house. The difference is that in the joglo piece in traditional Javanese house, the main pillars that support the roof structure is an element that directs the room division of the house, while not the

kayu, ada pula yang terbuat dari besi. Sistem ini tidak dikenal pada rumah-rumah tradisional lainnya di Indonesia. Karena itu tampaknya bisa dipastikan bahwa sistem ini merupakan pengaruh dari bangunan-bangunan yang dibuat oleh Belanda di Jakarta.

called sekor. Usually made out of wood, some are made of iron. This system is not known in any other traditional houses in Indonesia. Because it seems that this system comes from the influenced from the Dutch in Jakarta.

95PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

sistem temu gelang atau payun, joglo Betawi disusun oleh kuda-kuda. Berbeda dengan potongan gudang, rumah potongan joglo Betawi pada umumnya tidak dilengkapi dengan batang-batang diagonal seperti ditemukan pada sistem kuda-kuda Barat yang diperkenalkan oleh orang Belanda.

same happened in pieces Batavian joglo. In addition joglo roof structure in Javanese tradition was made by bracelet system or payun, while the Batavian joglo used support structure. Unlike the gudang, Batavian joglo house is usually not equipped with the diagonal rods found in Western building system introduced by the Dutch.

Potongan Bapang (Kebaya)

Pada dasarnya atap rumah potongan bapang atau kebaya adalah berbentuk pelana.

Berbeda dari atap rumah potongan gudang, bentuk pelana rumah potongan bapang (kebaya) tidak penuh. Kedua sisi luar rumah potongan bapang (kebaya) sebenarnya berbentuk terusan (sorondoy) dari atap pelana tadi yang terletak di bagian tengahnya. Dengan demikian maka yang berstruktur kuda-kuda adalah bagian tengahnya.

Basically, bapang or kebaya roof is saddle-shaped. Different from gudang roof, bapang (kebaya) is

not using a full saddle-shaped roof. Both sides of Bapang (kebaya) actually are the continuation (sorondoy) of the saddle-shaped roof in the middle. Thus, the part that has support structure is the one in the middle.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI96

Ragam Hias

Rumah

Ragam hias Betawi disebut pula dekorasi gaya Betawi. Ragam hias merupakan permainan

geometri. Geometri adalah dasar untuk arsitektur, berbagai ragam hias, dan pengenalan dunia simbol. Ragam hias Betawi sudah ada sejak jaman neolitikum. Ketika itu sudah lazim digunakan bentuk cagak. Bentuk cagak menjadi ragam hias pada leher periuk tanah. Cagak mengalami pengembangan menjadi bentuk tumpal. Bentuk tumpal dalam kain batik Betawi berbentuk temu tumpal. Bentuk cagak maupun tumpal sebenarnya bentuk lain dari gunung. Bentuk cagak dan tumpal mempunyai arti kekuatan.

Batavian decoration is a game of geometry. Geometry is the basis for the architecture,

various decorations, and the introduction of the world of symbol. Batavian decoration has existed since Neolithic times. When it was commonly used, and then came the form of crossing. The crossing became the decoration on the neck of a pot soil. The form of crossing developed and became the tumpal form. Tumpal form on Batavian batik cloth has the shape of temu tumpal. Form of crossing and tumpal are actually an another form of a mountain. Form of crossing and tumpal refers to strength.

Rumah tradisional Betawi diberi ragam hias gigi balang yang diletakkan pada lisplang yang

berfungsi memberi keindahan pada rumah. Bentuk lain adalah banji. Banji memiliki pola segi empat. Pola ini terpengaruh kebudayaan Hindu yang artinya dinamis. Pola banji sering dikombinasikan dengan unsur tumbuh-tumbuhan. Yang paling banyak dipilih adalah bunga lima atau bunga tapak dara. Bunga tapak dara dalam tradisi pengobatan Betawi berkhasiat

Batavian traditional house used decoration of gigi baling that is placed on the wallboard to give

beauty to the house. Another form used is the banji. Banji has a square pattern. This pattern has the influence from the Hindu culture, which means dynamic. Banji pattern is often combined with elements of plants. The plants that are mostly chosen are lima flower or tapak dara flower. Tapak dara flower in the Batavian traditional medicine is known having the ability

97PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

menyembuhkan berbagai penyakit. Unsur flora lain yang digunakan sebagai ragam hias antara lain cempaka, jambu mede, delima, pucuk rebung, dan lain-lain. Bentuk ragam hias lain adalah matahari, kipas, varian botol. Yang paling jelas ragam hias ditemukan pada langkan, tiang utama, garde, lisplang, siku yang berada di luar flapon.

to cure various diseases. Other flora elements used as decoration, among others are cempaka, cashew nut, pomegranate, bamboo shoots, and others. Another form of decoration is the sun, fan, variant bottle. The most obvious decoration can be found on the ledge, the main pillar, garde, wallboard, elbow outside the ceiling.

Masjid

Masjid di Betawi memiliki ragam hias hampir sama dengan rumah tradisional.

Ada ragam hias temu tumpal dalam berbagai variasi. Ada ragam hias bunga tapak dara. Ada pula ragam hias lonjong dan mute setengah lingkaran. Pada lobang angin ada mute lingkaran penuh.

Mosque in Batavia has decoration that is similar to traditional house. There are a

temu tumpal decorations in many variety. There are tapak dara flower decorations. There are also an oval decorations, and half-circle mute. In the wind holes, there are full circle mute.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI98

Hiasan pesta di Betawi banyak terbuat dari daun-daunan, kertas minyak, dan buah-

buahan, terutama pisang bertandan yang digantung. Sementara daun yang biasa dipakai adalah daun beringin dan daun bambu. Di daerah tertentu seperti di Ceger, Bambu Apus, dan sekitarnya,

In Batavia, party decorations are made of many leaves, wax paper, and fruits, especially hanged

bananas, while the leaves are commonly come from fig leaves and bamboo leaves. In certain areas such as the Ceger, Bambu Apus, and surrounding areas, they also use decorative palm

Perahu nelayan Betawi juga mempunyai ragam hias tertentu, sebagaimana perahu-perahu

nelayan di pesisir utara Jawa lainnya. Nama dan bentuknya sama dengan hiasan perahu di sejumlah pantai utara Jawa, seperti Cilamaya, Pamanukan, Eretan, Cirebon, dan Tegal. Yakni bentuk seperti “tembon” atau “compreng” dari Cirebon, “sopek” dari Tegal dan Eretan, “sekocian” dari Teluk Naga, Indramayu. Warna yang digunakan mencolok, seperti merah, jingga, hijau, kuning, dan putih. Kebanyakan melukiskan ombak bergulung-gulung dalam bentuk garis lengkung, patah-patah, rege, rendeng, dan kepang. Pada bagian ujung haluan sering tampak motif-motif geometris seperti jajaran genjang bersambung-sambung.

Batavian fishing boats also have a certain decoration, as like other fishing boats on the north coast

of Java. The name and shape are the same like the decoration in numbers of boats in the north coast of Java, such as Cilamaya, Pamanukan, Eretan, Cirebon and Tegal. In examples like forms of “tembon” or “compreng” from Cirebon, “sopek” from Tegal and Eretan, “sekocian” from Teluk Naga, Indramayu. These decorations use striking colors, like red, orange, green, yellow, and white. Mostly portray the rolling waves in the form of curved, jagged, rege, rendeng, and braided lines. At the end of the bow, geometric motifs such as continuous parallelogram are often seen.

Perahu Nelayan

Hiasan Pesta

99PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

ada pula dipakai hiasan daun kelapa untuk “gantungn kaul” dan “ketupat lepas”. Bentuk bunga-bungaan dari kertas minyak berwarna-warni paling sering terlihat dalam hiasan pesta, berbentuk bendera kecil dan semacam “serunting” yang dililitkan di lidi. Kue-kue di nampan juga diberi hiasan kertas minyak dengan berbagai motif. Adapun hiasan “kembang kelapa” (“kembang kelape” di Betawi Kota) merupakan hiasan yang juga terdapat di Ponorogo, Jawa Timur, dan Malaysia. Ini membuktikan cikal bakal masyarakat Betawi datang dari berbagai penjuru Nusantara. Hiasan kembang kelapa bermakna agar manusia dapat hidup berguna bagi lingkungannya, sebagaimana pohon kelapa yang seluruh bagian dirinya bermanfaat bagia manusia.

leaf for “gantungan kaul” and “ketupat lepas”. Flowers made of colorful wax paper are most often seen in party decorations, shaped like a small flag and a kind of “serunting” strapped to sticks. The cakes on the tray are also ornamented with a variety of wax paper motif. The decoration “palm flower” (“kembang kelape” in Batavia City) is a decoration that is also found in Ponorogo, East Java, and Malaysia. This proves the origin of the Batavianese come from all around the country. Coconut flower decoration means that people could do good deeds for the environment, as all the parts of the coconut trees useful are useful to humans.

Alat Kesenian

Alat kesenian di Betawi mempunyai ragam hias tergantung dari daerah

asalnya: Sunda, Jawa, Cina. Alat musik gamelan ajeng mempunyai ragam hias Sunda, sementara instrumen gambang kromong menampakkan ragam hias Cina.

Musical instruments in Batavia have a decoration according to the region

of origin: Sundanese, Javanese, and Chinese. Gamelan music instruments have Sundanese decoration, while the gambang kromong instruments use Chinese decoration.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI100

Batik yang disenangi di Betawi adalah corak pesisiran, seperti Pekalongan, Lasem, Cirebon

dengan warna-warna yang mencolok. Sementara motif-motif batik yang disukai adalah jamblang, babaran kalengan, dan jelamprang. Motifnya antara lain terdiri dari garis segitiga panjang melancip, ujungnya yang melancip disambungkan dengan ujung segitiga panjang lainnya. Jenis batik ini biasa dipakai oleh perempuan yang menghadiri pesta pernikahan atau para penari cokek. Jenis batik ini juga disukai perempuan-perempuan Belanda di Batavia.

Sebagaimana masyarakat pesisir lainnya, perempuan Betawi menyukai batik berwarna cerah mencolok, bukan sogan, dengan kepala atau tumpal bermotif geometris, antara lain berbentuk segitiga, yang dalam istilah setempat disebut sebagai “mancungan”. Di daerah pinggiran Jakarta motif seperti itu disebut “pucuk rebung”. Motig burung funiks atau burung hong (feng huang) pada batik juga banyak disenangi perempuan-perempuan Cina Betawi (encim). Burung funiks memberikan kesan gemulai dan menambah wibawa bagi pemakainya.

Kind of batik that mostly used in Batavia is the coastal style, such as Pekalongan, Lasem,

and Cirebon batik that have striking colors. While other batik motifs that are commonly use are jambul, babaran kalengan, and jelamprang. The motifs consist of a long triangle, the tip of the trangle is connected with the tip of another long triangle. This type of batik is worn by women who are attending the wedding or cokek dancers. Type of batik is also favored by Dutch women in Batavia.

Batik

101PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Pakaian Betawi banyak ragamnya. Ada pakaian sehari-hari, ada pula pakaian resmi. Belum

lagi pakaian pengantin, laki-laki dan perempuan. Pakaian sehari-hari laki-laki Betawi biasanya baju koko atau sadariah, celana batik, kain pelekat, dan peci. Akan tetapi di daerah Betawi pinggiran pakaian ini bisa menjadi pakaian pesta. Sementara pakaian sehari-hari perempuan Betawi berupa baju kurung berlengan pendek, kadang-kadang bersaku di depannya, kain batik sarung. Ada yang berkerudung, ada yang tidak, terutama orang pinggiran.

Pakaian yang disebut ujung serong biasa dipakai oleh bapak-bapak berupa jas tertutup dengan celana pantalon. Kain batik dikenakan di sekitar pinggang dengan ujungnya serong di atas lutut, dan selipan pisau raut. Aksesoris kuku macan dan jam saku rantai. Tutup kepala berupa liskol atau kopiah dan alas kaki sepatu pantovel. Ini pakaian demang zaman dahulu yang kini menjadi pakaian resmi adat Betawi. Pakaian “abang Jakarte” kurang lebih seperti ini. Hanya penutup kepalanya berupa liskol, tanpa kuku macan dan jam saku rantai. Sementara pakaian “none Jakarte” adalah kebaya panjang berenda (kebaya encim), kain batik corak jelamprang Pekalongan, bersanggul tidak terlalu besar (konde cepot) dan diberi hiasan tusuk konde, melati atau cempaka putih. Selendang seringkali berfungsi juga sebagai kerudung.

Like any other coastal communities, Batavianese women wore batik with a bright and striking color,

not sogan, with the head or tumpal having geometric motifs, such as triangular, which in local terms called as “mancungan”. In the Jakarta suburbs such motives called “pucuk rebung” or bamboo shoots. Phoenix or Hong bird (feng huang) motifs in batik are also liked by many Batavian Chinese women (encim). Phoenix bird gives the supple impression and adds prestige to the wearer.

Batavian clothing comes in various types. There are daily clothes, and also formal attire. Not to mention the wedding dress, both men and women. Batavianese men daily clothes usually come in the form koko or sadariah clothes, batik pants, belt, and peci or cap. However, in the outskirts of Batavia, this outfit could be used as a party dress. While the daily clothes of Batavianese women are kurung shirt with short-sleeved, sometimes have the front pocket, made of batik sarong. Some are hooded, some are not, especially in the suburbs.

Clothing that is called ujung serong used by the gentlemen in the form of a closed jacket with trousers. Batik cloth is worn around the waist with the ends slanting above the knee, with a knife inserts to it. Tiger’s nail accessories and chained pocket watch become the accessories. They wear liskol or kopiah cap and leather shoes. This is clothing for ancient village headman which is now known as Batavian traditional attire. Clothes

Pakaian Betawi

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI102

Pakaian pengantin Betawi mendapat pengaruh dari Arab, Cina, Barat, dan Melayu. Pakaian pengantin laki-laki biasa disebut “dandanan care haji” berupa jubah dan tutu kepala “sorban” yang disebut “alpie”. Jubah dibuat longgar dan besar dengan motif hiasan flora atau burung hong, berbenang emas, manik-manik, bahan kain jubah beludru, warna cerah. Jubah dalam disebut “gamis” berupa kain putih halus model kurung panjang, terbuka dari leher ke uluhati. Ukurannya lebih panjang dari jubah luas sebatas matakaki. Perlengkapan lain berupa selendang bermotif benang emas atu manik berwarna cerah. Tak ketinggalan, sepatu pantovel.

Sementara pakaian pengantin perempuan biasa disebut “rias besar dandanan care none pengantin cine”. Pengaruh Cina sangat menonjol pada model, nama kelengkapan dan motif hiasannnya. Bajunya model blus Shanghai bahan saten atau lame berwarna cerah. Baju bawah atau rok disebut “kun” melebar ke bawah dengan motif hiasan burung hong dari mute atau manik dan benang emas. Warna kun biasanya gelap, merah hati atau hitam. Hiasan kepalanya disebut kembang goyang motif burung hong dengan sanggul buatan dan cadar di wajah. Perhiasan lain berupa gelang listring, kalung tebar, anting kerabu, hisasn dada teratai manik-manik dan selop model perahu. Hiasan lain adalah bunga melati berupa roje melati dan sisir melati.

worn by “Abang Jakarte” are more or less similar to this. The difference only lies in the liskol cap, and they don’t use tiger nails and chained pocket watch as accessories. While the clothes worn by “None Jakarte” are laced long kebaya (encim kebaya), batik Pekalongan with jelamprang motif as skirt, medium size bun (konde cepot), and jasmine or white cempaka decorative hair pin. The shawl often serves as a veil.

Batavian wedding dress may have been influenced by Arabic, Chinese, Western, and the Malays. Clothing for groom often called as “Hajj way of makeup” that uses a robe and “sorban” or turban cap that is called “alpie”. Loose-fitting robe is made with flora or phoenix motifs, gold threaded, beads, velvet robe fabric, bright colors. The inner robe is called “gamis”. It is a long soft white cloth, open from neck to chest. It is longer than the outer robe that extent to the ankle. Other accessory is a patterned scarf with gold thread or brightly colored beads. Not to forget, leather shoes. While the bride’s clothing is called “big Chinese bride makeup”. Chinese influence is very prominent in the model, the name, and the motifs of the dress. The dress is a Shanghai blouse with satin or lame garment with bright colors. The skirt is called “kun” that has phoenix bird motifs from mute or beads and gold threads. The color of the kun is usually comes in dark red or black. The headdress is called kembang goyang with a phoenix motif with artificial bun and face veil. Other accessories are in the form of a listring bracelet, tebar necklaces, kerabu earrings, lotus beads chest decoration, and boat-shaped slippers. Another decoration is a jasmine roje and jasmine comb.

115PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI116

Pecah Kulit sebuah daerah di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat. Dahulu kala

di sini terdapat tempat penyamakan kulit milik orang Jerman bernama Erberveld. Karena itu daerah ini disebut Pecah Kulit. Erberveld adalah Letnan Kavaleri tentara Belanda. Setelah pensiun dari dinas ketentaraan ia membuka usaha penyamakan kulit di atas tanah yang sangat luas. Ia juga memiliki tanah yang luas di Sunter.Erberveld menikah dengan wanita Siam. Dari perkawinannya itu lahir seorang putera bernama Pieter. Setelah besar ia bernama Pieter Erberveld. Pieter Erberveld menikah dengan wanita Betawi. Ketika ayahnya meninggal, Pieter melanjutkan usaha penyamakan kulit. Ia mempunyai 12 orang buruh. Kepala buruh bernama Ateng Kartadria.

Pada suatu hari Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanpa alasan yang sah menyita tanah-tanah Pieter Erberveld. Erberveld marah. Bersama Ateng Kartadria ia merencanakan pemberontakan. Pemberontakan itu akan dikobarkan pada malam tahun baru 1 Januari 1721. Rencana Pieter dapat diketahui Belanda. Pieter, Ateng Kartadria, dan pengikut-pengikutnya ditangkap. Di hadapan majelis hakim Pieter membantah tuduhan memberontak. Namun majelis hakim menghukum Pieter dengan hukuman gantung kepala. Begitu juga terhadap Ateng Kartadria dan pengikut-pengikutnya.

The Pecah Kulit is an area in Pangeran Jayakarta Street, West Jakarta. Once upon a time,

there here tannery owned by a German named Erberveld. Therefore, this region is called Pecah Kulit. Cavalry Lieutenant Erberveld is a Dutch army. After retiring from the army, he opened the tannery business on a very vast land. He also owned a vast land in Sunter. Erberveld married to a Siamese woman. From the marriage, a son named Pieter was born. After he grew up, he was named Pieter Erberveld. Pieter Erberveld married to a Batavian woman. When his father died, Pieter continued the tannery business. He has 12 workers. His headworker was Ateng Kartadria.

One day, the Governor General of Dutch East Indies without a legitimate reason confiscated Pieter Erberveld’s lands. Erberveld was very angry. Together with Ateng Kartadria, he planned a rebellion. The rebellion will be held on the New Year eve of January 1, 1721. The Dutch knew Pieter’s plan. Pieter, Ateng Kartadria, and his followers were arrested. In front of the judges, Pieter denied the rebellion accusations. But the judge still sentenced him with hanging. So did the Ateng Kartadria and his followers. Pieter Erberveld was hanged on 21 April 1721 in the courtyard of City Hall and witnessed by crowds. On land owned by Pieter at Pecah Kulit,

Pecah Kulit

117PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

The Dutch established a memorial. The monument is a wall and on it placed a dagger punctured skull. On the wall there was writing: This is a warning to Pieter Erberveld who had rebelled against the Dutch. It is prohibited to build any kind building in this place, while grass cannot grow here. The monument is now stored in Museum Fatahillah, that is now called the Museum of History of Jakarta. It is not known where the bodies of Pieter Erberveld were buried. He left a wife and a beautiful girl. Later that day the girl was married to a wealthy businessman. Ateng Kartadriya was buried in Pecah Kulit. Uptil now his grave is often visited by people.

Pieter Erberveld dihukum gantung pada tanggal 21 April 1721 di halaman Balai Kota disaksikan orang ramai. Di atas tanah milik Pieter di Pecah Kulit, Belanda mendirikan monumen peringatan. Monumen itu berupa tembok dan di atasnya diletakkan tengkorak kepala yang tertusuk belati. Pada dinding tembok terdapat tulisan berbunyi: Ini suatu peringatan bagi Pieter Erberveld yang memberontak terhadap Belanda. Di tempat ini dilarang mendirikan bangunan apa pun. Walau rumput tidak boleh tumbuh di sini. Monumen itu kini disimpan di Meseum Fatahillah, sekarang bernama Museum Sejarah Jakarta. Tidak diketahui di mana jenasah Pieter Erberveld dikuburkan. Ia meninggalkan seorang isteri dan seorang gadis cantik. Kemudian hari gadisnya itu menikah dengan seorang pengusaha kaya raya. Ateng Kartadriya dikubur di Pecah Kulit. Sehingga sekarang makamnya sering dikunjungi orang.

Keluarga Peranakan dan Belanda Indo

Kehidupan masyarakat kota Jakarta sejak dulu beraneka ragam. Bahasa Melayu Betawi

digunakan sebagai bahasa pergaulan. Penduduk keturunan Arab, Eropa, Cina, maupun Mestizo sehari-hari berbahasa Melayu Betawi. Bahasa Melayu Betawi menjadi pengikat pelbagai suku bangsa di Jakarta.

The life of people in Jakarta city has always varied. Batavian Malay language was used as

a lingua franca. Residents of Arab, Europe, China, as well as Mestizo descendent spoke Batavian Malay language. Batavian Malay language became the bind of various tribes in Jakarta.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI118

Kampung Tugu berada di Jakarta Utara. Kampung ini dihuni oleh keturunan kaum

pekerja Mestizo yang didatangkan Belanda pada abad ke-17. Dahulu kala mereka berbahasa Kreol. Makin lama bahasa Kreol dilupakan orang. Mereka sekarang berbahasa Melayu Betawi. Orang kampung Tugu kebanyakan beragama Kristen. Di kampung Tugu terdapat gereja tua yang dinamakan gereja Portugis. Orang kampung Tugu menyukai keroncong. Mereka yakin musik keroncong peninggalan nenek moyang mereka. Keroncong Tugu

Kampung Tugu located in North Jakarta. This village was inhabited by the

descendants of Mestizo workers who were imported by the Dutch in the 17th century. Once upon a time they speak Creole. As the time passed, the Creole language is finally forgotten. Now they speak Batavian Malay language. The villagers are mostly Christian. In Kampung Tugu, there is an old church called the Portuguese Church. People in Kampung Tugu like keroncong music. They believe that keroncong music is their ancestral heritage. Keroncong

Kampung Tugu

Orang-orang Belanda dan Eropa lainnya banyak yang menikah dengan wanita penduduk asli. Anak-anak mereka disebut anak Indo. Anak Indo berbahasa Melayu Betawi, mengikut kepada bahasa ibunya. Tetapi banyak juga laki-laki pribumi yang menikah dengan wanita Belanda atau Eropa lainnya.Anak-anak Indo bergaul dengan anak-anak kampung. Anak Indo menyebut ayahnya papie dan ibunya mamie. Pamannya disebut oom, dan bibinya disebut tante. Kakeknya disebut opa, dan neneknya. disebut oma.

Orang Indo banyak yang menekuni bidang kesusasteraan, seorang di antaranya Tjalie Robinon. Tjalie Robinson lahir pada 1911. Ia besar di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Many Dutch and other Europeans people married indigenous women. Their children are called Indo child. Indo child spoke Batavian Malay language, follow the language of his mother. But many indigenous men also married a Dutch or European people. Indo children played with village children. Indo children called their father and mother papie and mamie, their uncle oom, their aunt tante, their grandfather opa, and grandmother oma.

Many Indo people pursued the field of literature, one of them was Tjalie Robinon. Tjalie Robinson was born in 1911. He grew up in Jalan Gunung Sahari, Central Jakarta.

119PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

banyak penggemarnya di Jakarta. Orang kampung Tugu mempunyai panggilan kekerabatan yang hampir sama dengan orang Indo. Ada sebutan oom, tante, dan oma. Kaum Mestizo melahirkan sejumlah lagu rakyat, antara lain lagu Nina Bobo dan Burung Kaka Tua. Tentu saja syair lagu-lagu tersebut mengalami perubahan.

Tugu has many fans in Jakarta. The people of Kampung Tugu have a kinship calls similar to the Indo. There are also oom, tante, and oma. The Mestizo gave birth of some folk songs, among them are Nina Bobo and Burung Kaka Tua. Of course the words of the songs have changed over time.

Kampung Krukut

Krukut nama sejenis rumput. Bahasa Melayu menyebutnya Geylang. Adapun kampung

Krukut berada di Jakarta Barat. Dulu kampung ini terkenal sebagai tempat tinggal orang Arab. Orang Arab kebanyakan datang di Jakarta pada abad ke-19. Pada abad ke-18 sudah ada yang datang namun dalam jumlah sedikit. Mereka berasal dari Hadramaut. Oleh karena itu mereka disebut juga hadorim, orang-orang Hadramaut. Orang Arab datang tidak membawa keluarga. Mereka menikah dengan penduduk asli. Karena itu anak-anak mereka berbahasa Melayu Betawi. Orang Arab menyebut ayahnya “aba”, ibunya “umi”, pamannya “ami”, bibinya “hale”, kakeknya “jid”, dan neneknya “jidah”.

Orang Arab banyak yang mengajar agama Islam. Pada abad ke-18 seorang ulama Arab bernama Habib Husin Alaydrus datang ke Jakarta dan mendirikan mesjid di Pasar Ikan.

Krukut is a kind of grass. Malay language called them Geylang. The Kampung Krukut

located in West Jakarta. This village was once known as the home of the Arabs. Most Arabs arrived in Jakarta on the 19th century. In the 18th century they already came but only in small group. They came from Hadramaut. They therefore called hadorim, people of Hadramaut. The Arabs who came did not bring their family. They married with the indigenous population. Therefore their children speak Batavian Malay language. Arabs called their father “aba”, their mother “umi”, their uncle “ami”, their aunt “hale”, their grandfather “jid”, and their grandmother “jidah”.

Many Arabs taught about Islam religion. In the 18th century, an Arab scholar named Habib Husin Alaydrus came to Jakarta and established a mosque in the Pasar Ikan. Precisely in the area called the Luar Batang. The

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI120

Jalan Gondangdia di Menteng berubah menjadi Jalan RP Soeroso. Tetapi penduduk Jakarta tetap

menyebut Jalan Gondangdia. Cikini adalah nama tempat yang tidak jauh dari Gondangdia. Baik di Cikini maupun di Gondangdia berdiri stasiun kereta api. Berarti daerah ini sejak dulu dipandang penting. Di Cikini berdiri toko-toko, sedangkan di Gondangdia berdiri rumah-rumah bagus.

Di zaman Belanda bertempat tinggal di Cikini dan Gondangdia merupakan idaman orang. Daerah ini amat tenang. Di tepi jalan tumbuh bunga tanjung. Pagi hari menimbulkan wangi semerbak. Dulu di Cikini juga ada kebun binatang, kolam renang, lapangan tenis, gedung bioskop

Gondangdia street in Menteng area that have changed its name into RP Soeroso street.

But people in Jakarta keep referring the steer as Jalan Gondangdia. Cikini is the name of a place not far from Gondangdia. Both in Cikini and in Gondangdia, there is train station. It means that this area had always been considered important. In Cikini, we can found many shops, while in Gondangdia stood good homes.

In an Dutch colonial age, living in Gondangdia or Cikini is what people of Jakarta always dreamt about. This area is very quiet. On the side of road, grow tanjung flowers that give nice fragrant scent in the morning. In the past, Cikini also have a zoo,

Cikini - Gondangdia

Tepatnya di daerah yang disebut Luar Batang. Masjid yang didirikannya itu terkenal dengan nama Mesjid Luar Batang. Habib Husin mengajar agama sampai dengan wafatnya pada akhir abad ke-18. Ia dimakamkan di serambi mesjid Luar Batang. Sehingga sekarang makamnya banyak dikunjungi orang. Batang adalah tonggak tempat menyangkutkan tali perahu. Luar batang berarti daerah di luar tempat menambat perahu. Mesjid Luar Batang berarti berada di luar daerah tempat perahu ditambatkan. Kini tempat tinggal orang-orang peranakan Arab tersebar hampir di seluruh Jakarta, tidak hanya di Krukut.

establishment of the mosque was known by the name of Luar Batang Mosque. Habib Husin taught religion until his death in the late 18th century. He was buried in the porch of Luar Batang Mosque. Uptil now his grave often visited by many people. Batang is a trunk to moor boat rope. That means the area of Luar Batang is the outside the boat moorings. Luar Batang Mosque means that the mosque is located outside the area where the boat was moored. Now the place where the people of Arab live are scattered in almost all over Jakarta, not only in Krukut.

121PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

swimming pool, tennis courts, Garden Hall movie theaters and Podium. The flower markets in Cikini add beauty in this region. Various nations of Dutch, English, Chinese, Arabic, and the Indonesian people liked to walk in Cikini. Jakarta as a city of multiple ethnic reflected in Cikini.

Many old building in Cikini has been torn down. The zoo was moved to Ragunan. Now Cikini and Gondangdia area become a busy area. Many new hotels are popping up in Cikini and Gondangdia. Every day four-wheeled vehicles poured into the street. Cikini and Gondangdia is no longer what it used to be.

Garden Hall dan Podium. Adanya pasar kembang di Cikini menambah indahnya daerah ini. Pelbagai bangsa yaitu Belanda, Inggeris, Cina, Arab, dan bangsa Indonesia sendiri senang berjalan-jalan di Cikini. Jakarta sebagai kota berpenduduk majemuk tercermin di Cikini.

Bangunan lama di Cikini banyak yang sudah diruntuhkan. Kebun binatang pun dipindahkan ke Ragunan. Sekarang daerah Cikini dan Gondangdia menjadi daerah yang sibuk. Banyak hotel baru bermunculan di Cikini dan Gondangdia. Setiap hari kendaraan roda empat tumpah ruah ke jalan memadatkan lalu lintas. Cikini dan Gondangdia bukan yang dulu lagi.

Prasasti Tugu

Prasasti Tugu berasal dari abad ke-5. Prasasti ditemukan di desa Tugu, Tanjung Priuk,

Jakarta Utara. Prasasti berisi keterangan bahwa Raja Tarumanagara berpesta memotong 1000 ekor kerbau. Raja bersyukur atas selesainya pembangunan bendungan.

Tugu Inscription originated from the 5th century. Inscription found in Kampung Tugu,

Tanjung Priok, North Jakarta. Inscription contains information that the King Tarumanagara was partying and cut 1000 buffalos. The king was grateful for the completion of the dam.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI122

Padrao dibuat orang Portugis pada 1521. Padrao adalah batu bertulis yang menyatakan bahwa

utusan Portugis dan Raja Pajajaran membuat perjanjian. Isi perjanjian adala Portugis dibolehkan membuat markas dagang di Sunda Kalapa. Portugis wajib memberi imbalan kepada Raja Pajajaran. Padrao diketemukan di Jl. Kunir, Kota.

Padrao was created by the Portuguese in 1521. Padrao is a written stone that said

that the Portuguese envoy and King Pajajaran had made an agreement. The agreement stated that Portugese were allowed to build commercial base in the Sunda Kelapa. Portuguese in return obligated to give reward to the King Pajajaran. Padrao was found on Tunir Street, Kota.

Mesjid tertua di Jakarta adalah masjid al-Anshor di Jl. Pengukiran II, Pekojan

(1648).The oldest mosque in Jakarta is

the mosque of Al-Anshor in Pengukiran II street, Pekojan

(1648). Tugu Church, located in

Padrao

Beberapa TempatIbadah

123PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Gereja Tugu, terdapat di kampung Tugu, Tanjung Priok, didirikan pada 1747.

Gereja Portugis atau Gereja Sion di Jalan Pangeran Jayakarta I adalah gereja tertua di Jakarta (1695).

Klenteng tertua terletak di Ancol, Jakarta Utara, dan Petak Sembilan, Jin de yuan (sekarang Vihara Dh arma Bhakti), keduanya didirikan sekitar 1650.

Kampung Tugu, Tanjung Priok, built in 1747. Portuguese Church or Zion Church in Pangeran Jayakarta I street was the oldest church in Jakarta (1695). The oldest pagoda is located in Ancol, North Jakarta, and Petak Sembilan, Jin de yuan (now Vihara Dh arma Bhakti), both built around 1650.

Guru

Gelar kyai sampai dengan 1945 tidak dikenal dalam masyarakat Islam di

Betawi. Orang Betawi memberi gelar keagamaan kepada tokoh agama dengan peringkat sebagai berikut:

1. Dato’, dari bahasa Melayu Polinesia, adalah seorang yang mempunyai fadhilah, keutamaan, dan tentu saja sangat luas ilmu agamanya.

2. Guru, lengkapnya Tuan Guru, atau Wa’ Guru, adalah orang yang luas ilmu agamanya, menguasai sesuatu bidang ilmu agama secara mendalam, misalnya tafsir, falak, dan mempunyai hak berfatwa, dan ahli mengajar kitab, kadang-kadang memberi khutbah Jum’at.

3. Mu’alim, adalah orang yang cukup pengetahuan agamanya,

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI124

Kyai title was unknown in the Islamic community in Batavia until 1945. Batavian people gave

a religious title to the religious figures with the rank as follows:

1. Dato’, from the Polynesian Malay language, are ones who have fadhilah, virtue, and of course a very broad knowledge of their religion.

2. Guru, Tuan Guru in full, or Wa’ Guru, are the ones who have vast knowledge about their religion, mastering some religious disciplines in depth, such as tafsir, falak, and have the right give fatwa, and experts in Quran teaching, sometimes giving the sermon on Friday.

3. Mu’alim, are the ones who have a sufficient knowledge of their religion, can teach the Quran, but do not have the right to give fatwa, usually gives the sermon on Friday.

4. Ustadz, religious beginner teacher.

dapat mengajar kitab, namun belum mempunyai hak berfatwa, biasanya memberi khutbah Jum’at.

4. Ustadz, pengajar agama pemula.

125PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI126

Kuliner Betawi terdiri dari berbagai ragam dengan nama dan rasa yang beraneka ragam

pula, dan dihidangkan pada saat-saat tertentu, sesuai kebutuhan. Seperti hari lebaran dan pesta pernikahan. Ada yang berupa sayur, nasi, kue, dan minuman. Sayur santan biasa dihidangkan dengan ketupat di hari lebaran. Sementara sayur gabus pucung bisa dinikmati kapan saja. Semur daging kerbau juga biasa dibuat untuk menyambut lebaran dan biasa dimakan dengan ketupat. Asinan Betawi sangat khas dan berbeda dengan asinan Bogor. Terdiri dari sejumlah jenis sayur yang diiris dan diberi kuah pedas-asam dengan taburan kacang tanah goreng dan kerupuk.

Batavian cuisine consists of various kinds of food, also with diverse names and tastes, and

served at certain occasion, as needed, such as Lebaran day and weddings. The cuisine comes in a form of vegetables, rice, cakes, and drinks. Coconut milk soup often served in the day Lebaran with ketupat, while gabus pucung soup can be served anytime. Buffalo stew is also often made for Lebaran feast and commonly served with ketupat. Batavian pickle is very unique and different from Bogor pickle. The Batavian pickle consists of several types of vegetables that are chopped and given a spicy-sour sauce with a springkle of fried peanuts and crackers.

Kuliner

127PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

Nasi kebuli banyak digemari di komunitas Arab, dimasak dengan kuah daging dengan rempah-rempah yang menambah nikmat jika disantap. Nasi kuning biasa disuguhkan dalam acara selametan, terbuat dari ketan yang telah direndam dengan air kunyit. Ditanak dan disajikan dengan begana, irisan cabai, bawang goreng, dan emping melinjo. Nasi uduk adalah makanan yang sangat populer terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dengan bumbu serai, garam dan daun salam. Timpalannya antara lain berbagai jenis semur, terutama jengkol dan tahu.

Sementara kue Betawi yang paling terkenal adalah dodol. Dodol terbuat dari tepung beras ketan (hitam atau putih) yang diadon dengan santan dan dimasak dengan gula hingga beberapa jam lamanya. Menjelang masak dimasukkan “gegetuk”, santan kental yang dimasak hingga menjadi minyak dan harum baunya. Jika suka bisa diberi aroma, dari duren hingga pisang ambon. Dodol biasa dibuat untuk menyambut lebaran atau untuk keperluan seserahan alias “bawa duit”. Dodol juga biasa disebut “kue sombong” karena hanya orang yang punya uang banyak yang mampu

Kebuli rice is very much loved in the Arab community, cooked with meat sauce with spices that adds deliciousness to the cuisine. Yellow rice often served in a ceremony, made of sticky rice that has been soaked in turmeric water. Boiled and served with begana, sliced chili peppers, fried onions, and emping melinjo. Uduk rice is a very popular food made from rice cooked in coconut milk with lemongrass, salt and bay leaves seasoning. Uduk rice often served with various types of stews, especially jengkol and tofu. While the Batavian cake that is mostly famous Batavian is dodol or taffy. Dodol is made from glutinous rice flour (black or white) that is mixed with coconut milk and cooked with sugar for a few hours. Before cooked, “gegetuk”,

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI128

membuatnya. Selagi lunak ia bisa dimakan untuk teman minum kopi, jika sudah keras ia bisa digoreng dengan baluran terigu. Jika sudah keras sekali, ia biasa disebut kue “butimal” (buat timpuk maling).

Di samping dodol ada juga kue cina atau kue keranjang yang merupakan pengaruh dari masyarakat Cina peranakan. Uli dan wajik juga biasa dihidangkan saat lebaran, meski yang terakhir lebih sering dibikin untuk keperluan pesta pernikahan. Kue yang lain adalah geplak, yang juga dipakai untuk acara “serah duit”.

Kue-kue lain angtara lain kue kelinca yang terbuat dari tepung beras yang diberi kelapa, rempah-rempah, dan dibakar. Atau alie begante yang terbuat dari nasi kering yang diadon dengan gula ganting. Makanan ini cocok

thick coconut milk that is cooked until become oil and have fragrant scent, is insterted. Any addition of scent could be given, from durian to ambon bananas. Dodol often made to celebrate the Lebaran day or for seserahan aka “bawa duit”. Dodol also often called “cocky cookie” because only people who have money that are able to make it. While the dodol is still soft, it can be eaten with coffee, and if it is already started hardening, it could be fried with flour. If the dodol already hardened, it often called “butimal” cake (for throwing thieves).

Besides dodol, there are also chinese cakes or basket cake which has the influence of the overseas Chinese community. Uli and wajik is also commonly served during Lebaran, although the latter is more often made for wedding purposes. Another cake is Geplak, which is also used for the “serah duit” or hand-over money ceremony.

Other cakes include kelinca cake that is made from baked rice flour with coconut and spices. Or alie begante made of dry rice mixed with liquified

129PROFIL SENI BUDAYA BETAWI

dinikmati dengan kopi atau teh sahi (teh godok kental), manis maupun pahit. Ada pula kue gemblong (variasi lainnya adalah kue getas). Terbuat dari tepuk ketan dan kelapa parut yang diadon dan dibentuk lonjong atau jajaran genjang digoreng setelah itu dibaluri dengan gula merah ganting. Nikmat dimakan dengan kopi pahit. Kue cincin biasa dibikin dari tepung ketan dengan campuran kelapa dan gula merah, setelah diadon dibentuk seperti cincin dan digoreng. Biasa disuguhkan dalam pesta-pesta pernikahn. Jenis kue lainnya adalah sengkulun, talam udang, kue pepe, kue lumpang, putu mayang, kue bugis, kue sumping.

Minuman Betawi yang terkenal adalah bir pletok. Minuman penghangat badan yang terbuat dari rempah-rempah (kayu manis, sereh, cengkeh, jahe, pala) dengan pewarna kayu secang. Asyik diminum malam hari karena akan menghangatkan badan.

sugar. This cake is ideal to enjoy with coffee or sahi tea (thick boiled tea), both sweet or bitter. There is also a gemblong cake (another variation is getas cake). Gemblong cake is made of sticky rice mixed with shredded coconut and formed in an oval or paralellogram shape, and then fried and coated with liquid brown sugar. Gemblong cake is delicious to be eaten with coffee. Ring cake often made of glutinous rice flour with a mixture of coconut and liquefied brown sugar, shaped like rings and then fried. Gemblong cake commonly served in wedding parties. Another type of cookie is sengkulun, shrimp tray, pepe cake, lumpang cake, putu mayang, bugis cakes, sumping cake.

Batavian’s famous beverage is pletok beer. Drinks made of spices (cinnamon, lemongrass, cloves, ginger, and nutmeg) with secang wood coloring. Often drink in the night to keep the body warm.

PROFIL SENI BUDAYA BETAWI130

Rachmat Ruchiat, Singgih Wibisono, Rachmat Syamsudin, Ikhtisar Kesenian Betawi, Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, cetakan ke-2, 2003.

Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

A Heuken SJ, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.

Claudine Salmon dan Denis Lombard, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.

Rachmat Ruchiat, Singgih Wibisono, Rachmat Syamsudin, Ikhtisar Kesenian Batavianese, Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, 2nd print, 2003.

Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Batavianese, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008.

A Heuken SJ, Mesjid-mesjid Tua di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.

Claudine Salmon and Denis Lombard, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2003.

Sumber Rujukan