hukum adat bab 7 - 8

Upload: asif-dzaki

Post on 07-Apr-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    1/13

    HUKUM KEKELUARGAAN

    1. KETURUNAN

    Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah

    antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang

    mempunyai hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang

    seorang dari yang lain.

    Apakah keturunan ini mempunyai akibat-akibat kemasyarakatar? Ya, pada

    umumnya kita melihat adanya hubungan Hukum yang didasarkan kepada

    hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anaknya. Juga kita melihat

    bahwa pada umumnya ada akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan

    keturunan, bergandengan dengan ketunggalan leluhur; akibat-akibat hukum ini

    tidak semua sama di seluruh daerah

    Keturunan dapat bersifat:

    a. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan Yang lain,

    misalnya antara bapak dan anak, antara kakek, bapak dan anak.

    b. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih ituterdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara

    sekandung), atau se-kakek-nenek dan lain sebagainya.

    Selain keturunan itu dapat bersifat lurus atau menyimpang, keturunan ada

    tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya. Tiap kelahiran merupakan satu

    tingkatan, atau derajat, jadi misalnya seorang anak merupakan keturunan tingkat 1

    dari bapaknya, cucu merupakan keturunan tingkat 2 dari kakeknya, aku dengan

    saudaraku sekandung merupakan hubungan kekeluargaan tingkat 2 dan lain

    sebagainya

    Dan hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor yang sangat penting dalam:

    a. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan

    kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami-isteri. (misalnya

    terlalu dekat, adik-kakak-sekandung dan lain sebagainya).

    b. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta

    peninggalan.

    2. HUBUNGAN ANAK DAN ORANG TUANYA

    Anak kandung memiliki kedudukan, yang terpenting dalam tiap somah

    masyarakat adat.

    Kecuali oleh orang-tuanya anak itu dilihat sebagai penerus generasinya,

    anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang-tuanya di

    kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang

    tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    2/13

    nafkah sendiri.

    Oleh karenanya, maka sejak anak itu masih dalam kandungan hingga is

    dilahirkan, bahkan kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat

    adat dapat banyak upacara-upacara adat yang sifatnya religio-magis

    Kalau misalnya daerah Jawa-Barat diambil sebagai contoh, maka upacara-

    upacara demikian ini dalam masyarakat adat Priangan secara kronologis adalah

    sebagai berikut:

    a. Anak masih dalam kandungan: pada bulan ke-3, bulan ke-5, ke-7 dan ke-9

    diadakan upacara adat khusus yang dilakukan pada bulan ke-7 itu disebut

    "tingkeb".

    b. Pada saat lahir: upacara penanaman "bali" atau kalau tidak ditanam, dilakukan

    upacara "penghanyutan"-nya ke arch laut.

    c. Pada saat "tali ari" putus: diadakan "sesajen"; "tali ari" yang putus disimpan

    ibunya dalam "gonggorekan"-nya (kantong-obat) serta pada saat itu lazimnya

    bayi diberi nama.

    d. Setelah anak berumur 40 hari: upacara "cukur" yang diteruskan dengan

    upacara "nurunkeun" (= untuk pertama kalinya kaki anak disentuhkan tanah).

    a. Anak lahir di luar perkawinan:

    Bagaimanakah hubungan si anak ini dengan wanita yang

    melahirkannya? Dan bagaimana dengan pria yang bersangkutan?

    Dalam hal ini tidak semua daerah mempunyai pandangan yang sama.

    Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon misalnya, wanita yang

    melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan; jadi biasa

    seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam

    perkawinannya yang sah.

    b. Anak lahir karena hubungan zinah:

    Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan

    seorang pria lain bukan suaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu

    menjadi bapak anak yang dilahirkan tersebut, kecuali apabila sang suami ini

    berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak

    anak yang dilahirkan oleh isterinya karena zinah ini.

    c. Anak lahir setelah perceraian:

    Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai

    bapak bekas suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi

    masih dalam betas-bates waktu mengandung.

    Pada waktu yang lalu masih banyak dijumpai seorang laki-laki yang

    memelihara selir di samping isterinya sendiri.

    Hubungan anak dengan orang tua (anak bapak atau anak ibu) ini

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    3/13

    menimbulkan akibat-akibat hukum yang berikut:

    a) Larangan kawin antara anak-bapak atau anak-ibu.

    b) Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah

    Menurut hukum adat di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk

    membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak yang belum dewasa

    tidak semata-mata dibebankan hanya kepada ayah anak tersebut, tetapi

    kewajiban itu juga ditugaskan kepada ibunya.)

    3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA

    Pada umumnya hubungan anak dengan, keluarga ini sangat tergantung

    dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

    Seperti telah diketahui, maka di Indonesia ini terdapat persekutuan-

    persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu

    garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu.

    Dalam persekutuan yang menganut garis keturunan bapak-ibu misalnya,

    maka hubungan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun dengan keluarga

    dari pihak ibu adalah sama eratnya ataupun derajatnya.

    Lain halnya dalam persekutuan yang sifat susunan kekeluargaannya

    adalah unilateral, yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau

    matrilineal, (menurut garis keturunan ibu).

    4. MEMELIHARA ANAK PIATU

    Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya, bapak atau

    ibunya, tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yang belum dewasa,

    dalam susunan keturunan pihak bapak-ibu orang tua yang masih hidup yang

    memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut.

    Jika kedua-dua orang tua sudah tidak ada lagi, maka yang memelihara

    anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau

    pihak ibu yang terdekat serta biasanya juga yang keadaannya yang paling

    memungkinkan untuk keperluan itu.

    5. MENGANGKAT ANAK (ADOPSI)

    Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak

    orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang

    memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan

    yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandung sendiri.

    Perbuatan mengangkat anak demikian ini adalah merupakan gejala yang umum

    dalam negara Indonesia.

    Dilihat dari sudut anak yang dipungut, maka dapat dicatat adanya

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    4/13

    pengangkatan-pengangkatan anak yang berikut:

    a. Mengangkat anak bukan warga keluarga

    Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan dalam keluarga

    orang yang mengangkat ia menjadi anak angkat.

    Lazimnya tindakan ini disertai dengan penyerahan baring-barang magis

    atau sejumlah uang kepada keluarga anak semula.

    Alasan adopsi adalah pada umumnya "takut tidak ada keturunan.

    Adopsi harus terang, artinya wajib dilakukan dengan upacara adat serta

    dengan bantuan kepada adat. Adopsi demikian ini terdapat di daerah-daerah

    Gayo, Lampung, Pulau Nias dan Kalimantan

    b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga

    Di Bali perbuatan ini disebut "nyentanayung". Anak lazimnya diambil dari

    salah suatu dan yang ada hubungan tradisionalnya, yaitu yang disebut purusa,

    tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar dan itu. Bahkan di

    beberapa desa dapat pula diambil anak dari lingkungan keluarga isteri (pradana).

    Prosedur pengambilan anak di Bali ini adalah seperti berikut:

    Orang (laki-laki) yang ingin mengangkat anak itu lebih dahulu wajibmernbicarakan kehendaknya dengan keluarganya secara matang.

    Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan dengan ibunya dan dengan

    keluarganya secara adat harus diputuskan, yaitu dengan jalan membakar

    benang (hubungan anak dengan keluarganya putus) dan membayar menurut

    adat seribu kepeng disertai pakaian wanita lengkap (hubungan anak dengan

    ibu menjadi putus).

    Anak kemudian dimasukkan dalam hubungan kekeluargaan dari keluarga

    yang memungutnya; istilahnya diperas.

    Pengumuman kepada warga desa (siar); untuk siar ini pada jaman kerajaan

    dahulu dibutuhkan izin raja, sebab pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi

    ini membuat "surat peras" (akta).

    c. Mengangkat anak dari kalangan keponakan-keponakan

    Perbuatan ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi dan beberapa daerah

    lainnya.

    Sebab-sebab untuk mengangkat keponakan sebagai anak angkat ini

    adalah:

    Pertama - Karena tidak mempunyai anak sendiri, sehingga memungut

    keponakan tersebut, merupakan jalan untuk mendapat keturunan.

    Kedua - Karena belum dikurnia anak, sehingga dengan memungut keponakan

    ini diharapkan akan mempercepat kemungkinan mendapat anak.

    Ketiga - Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan yang bersangkutan,

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    5/13

    misalnya karena hidupnya kurang terurus dan lain sebagainya.

    HUKUM PERKAWINAN

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    6/13

    1. ARTI PERKAWINAN

    Perkawinan adalah salah suatu peristiwa yang sangat penting dalam

    penghidupan masyarakat kita; sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut

    wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,

    saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

    malahan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan

    peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga

    merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat

    perhatian dan diikuti.oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

    Oleh karena perkawinan mempunyai arti yang demikian pentingnya, maka

    pelaksanaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan berbagai-bagai

    upacara lengkap dengan "sesajen-sesajennya ".

    Bahwa setelah perkawinan suami-isteri itu merupakan satu ketunggalan

    adalah terbukti antara lain karena:

    a. Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu

    pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai

    hingga saat itu (nama kecil) serta kemudian memperoleh nama baru (nama

    tua) yang selanjutnya mereka pakai bersama.

    Kalau Sarimin kawin dengan Tukinem, maka sesudah kawin diganti nama

    mereka dengan - misalkan Kromorejo: mulai saat itu Sarimin dipanggil "Pak

    Kromorejo" dan Tukinem dipanggil "mBok Kromorejo'

    b. Sesebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami isteri, yaitu

    "garwa" (Jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata "sigaraning nyawa" (artinya

    adalah belahan jiwa). Jadi jelas dari sesebutan tersebut di atas, nyata sekali

    pandangan orang Jawa bahwa suami isteri itu merupakan satu ketunggalan.

    c. Adanya ketunggalan harta-benda dalam perkawinan yang disebut harta-gini.

    2. PERTUNANGAN

    Pertunangan adalah merupakan suatu stadium (keadaan) yang bersifat

    khusus yang di Indonesia ini biasanya mendahului dilangsungkannya suatu

    perkawinan.

    Stadium pertunangan ini timbul setelah ada persetujuan antara kedua

    belah-pihak (pihak keluarga bakal suami dan pihak keluarga bakal isteri) untuk

    mengadakan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak

    setelah lebih dahulu ada suatu lamaran, yaitu suatu permintaan atau pertimbangan

    yang dikemukakan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

    Apakah yang menjadi dasar alasan motief pertunangan ini?

    Dasar alasan pertunangan ini adalah tidak sama di semua daerah; lazimnya

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    7/13

    adalah:

    a) Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah

    dilangsungkan dalam waktu dekat.

    b) Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara muda-

    mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat

    oleh pertunangan itu.

    c) Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal,

    sehingga mereka kelak sebagai suami-isteri dapat diharapkan menjadi suatu

    pasangan yang harmonis.

    Pertunangan ini masih mungkin dibatalkan dalam hal-hal yang berikut:

    a) Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah piha yang baru

    timbal setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.

    b) Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya; kalau yang menerima tanda

    tunangan tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus dikembalikan

    sejumlah atau berlipat dari yang diterima, sedangkan kalau pihak yang lain

    yang tidak memenuhi janjinya, maka tanda tunangan tidak perlu

    dikembalikan.

    3. PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN TANPA

    PERTUNANGAN

    Ada beberapa corak perkawinan yang tidak didahului oleh lamaran dan

    pertunangan. Corak perkawinan yang demikian ini kebanyakan diketemukan

    dalam persekutuan yang bersifat patrilineal, tetapi dalan persekutuan yang

    matrilineal dan parental (garis bapak-ibu) meskipul agak lebih kurang toh terdapat

    juga.

    Daerah-daerah yang mengenal perkawinan demikian ini adalah antara

    lain:

    a. Lampung:

    Bakal suami dan isteri bersama-sama melarikan diri dengan biasanya

    meninggalkan surat atau sesuatu barang, bahkan kadang-kadang sejumlah uang di

    rumah bakal isteri.

    b. Kalimantan

    Bakal suami dan isteri yang sudah terikat pada seorang laki-laki lain oleh

    pertunangan bahkan kadang-kadang oleh perkawinan, bersama-sama melarikan

    diri.

    c. Bali dan Lampung:

    Bakal suami melarikan bakal isteri dengan paksa, artinya bertentangan

    dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Jadi merupakan semacam

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    8/13

    penculikan. Perkawinan yang didahului oleh semacam penculikan demikian ini

    disebut juga "kawin rangkat". Ter Haar memakai istilah : schaakhuwelijk.

    4. PERKAWINAN DALAM PELBAGAI SIFAT

    KEKELUARGAAN

    Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan

    yang erat sekali. Bahkan dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan hukum

    perkawinan sukar untuk dapat dipahami tanpa dibarengi dengan peninjauan

    hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti telah diketahui, maka di

    Indonesia ini terdapat tiga macam sifat susunan kekeluargaan, yaitu patritineal,

    matrilineal dan parental.

    a. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal.

    Corak utama dari perkawinan dalam persekutuan yang sifat susunan

    kekeluargaannya patrilineal adalah perkawinan dengan 'jujur".

    Pemberian jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini adalah

    sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si isteri dengan orang

    tuanya, nenek moyangnya, saudara-saudara sekandungnya, ya pendek kata

    dengan kerabatnya dan persekutuannya.

    Jujur ini di daerah Tapanuli disebut juga jujuran, perunjuk, unjung,

    sinantot, pangoli, boli, tuhor.

    Di daerah lain dipergunakan istilah-istilah lain seperti berikut:

    beuli-niha di pulau Nias sebelah selatan.

    unjuk di tanah Gayo

    seroh di Lampung

    kule di Flasernah

    wilin atau beli di Maluku

    belis di Timor

    patukun-luh di pulau Bali.

    b. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal

    Dalam keluarga matrilineal tidak ada pembayaran jujur. Setelah kawin

    suami tetap masuk pada keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan

    keluarga isterinya sebagai "urang sumando". Pada saat perkawinan ia

    (mempelai laki-laki dijemput dari rumahnya dengan sekedar upacara

    (dijapuig) untuk kemudian dibawa ke rumah bakal isterinya. Upacara pada

    penjemputan ini disebut "alas melepas mempelai".

    Suami seterusnya turut berdiam di rumah isterinya atau keluarganya.

    uami sendiri tidak masuk keluarga si isteri seperti di atas telah ditegaskan

    (tetap masuk keluarganya sendiri), tetapi anak-anak keturunannya masuk

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    9/13

    keluarga isterinya, masuk warga kerabat isterinya, masuk dan isterinya dan si

    ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

    Rumah tangga suami isteri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari

    milik kerabat si isteri.

    c. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental

    Setelah perkawinan di sini si suami menjadi anggota keluarga isterinya

    dan sebaliknya si isteri juga menjadi anggota keluarga suaminya. Dengan

    demikian dalam susunan kekeluargaan parental ini, sebagai akibat perkawinan

    adalah, bahwa suami dan isteri masing-masing menjadi mempunyai dua

    kekeluargaan, yaitu kerabat suami di satu pihak dan kerabat isteri di lain

    pihak.

    Begitu seterusnya untuk anak-anak keturunannya. Dlam susunan

    kekeluargaan parental terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh

    pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

    Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hadiah perkawinan demikian ini

    disebut "tukon", tetapi tidak dalam arti uang untuk membeli si isteri,

    melainkan sebagai sumbangan biaya perkawinan dari pihak laki-laki.

    5. SISTEM PERKAWINAN

    Kita mengenal 3 macam sistem perkawinan yaitu endogami, exogami dan

    eleutherogami.

    a. Sistem endogami

    Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari

    suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang sekali terdapat di

    Indonesia.

    b. Sistem exogami

    Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku

    keluarganya. Sistem demikian ini terdapat misalnya di daerah Gayo, Alas,

    Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.

    c. Sistem eleutherogami

    Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan

    seperti halnya dalam sistem endogami ataupun exogami.

    Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan-

    larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan.

    6. PERKAWINAN ANAK-ANAK

    Kecuali di beberapa daerah, yaitu daerah Kerinci, di Roti darn pada suku

    Toraja, maka adat tidaklah melarang perkawinan antara orangorang yang masih

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    10/13

    kanak-kanak. Khususnya di pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa itu

    merupakan suatu perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman.

    Tetapi meskipun di kebanyakan daerah perkawinan anak-anak itu

    diperkenankan di dalam kenyataan, hiasanya tidak akan terjadi, bahwa orang tua

    atau wali dari anak-anak itu akan memberi izin mereka kawin sebelum mereka

    masing-masing mencapai umur yang pantas, yaitu 15 atau 16 tahun bagi orang

    perempuan dan umur 18 atau 19 tahun bagi orang laki-laki.

    Apabila terjadi seorang anak perempuan yang umurnya masih kurang dari

    15 tahun dikawinkan dengan seorang anak laki-laki berumur kurang dari 18 tahun

    ataupun lebih, maka biasanya setelah nikah, hidup bersama antara dua mempelai

    sebagai suami isteri ditangguhkan sampai mereka sudah mencapai umur yang

    pantas.

    7. PENGARUH AGAMA ISLAM DAN AGAMA KRISTEN

    TERHADAP PERKAWINAN ADAT

    Bila sesuatu masyarakat memeluk agama Islam ataupun Kristen, maka

    terlihat adanya pengaruh agama yang bersangkutan terhadap ketentuan-ketentuan

    tentang perkawinan adat. Perkawinan secara Islam ataupun Kristen tidak

    memberikan kewenangan turut campur yang begitu jauh dan menentukan pada

    keluarga, kerabat dan persekutuan seperti dalam adat.

    Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya

    ternyata, bahwa:

    a) Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Islam itu menjadi satu bagian dari

    perkawinan adat keseluruhannya.

    b) Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat yang

    betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen saja yang

    masih dapat diturut.

    8. ACARA NIKAH

    Nikah secara Islam ini yang dilaksanakan menurut hukum fiqh adalah

    merupakan bagian vang sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan

    adat.

    Nikah merupakan juga hal yang amat penting baik bagi yang

    bersangkutan, yaitu suami isteri, maupun bagi masyarakat pada umumnya; ialah

    merupakan penentuan, mulai saat manakah dapat dan harus dikatakan, bahwa ada

    suatu perkawinan selaku suatu kejadian hukum dengan segala akibat hukum-

    hukumnya.

    Nikah ini adalah suatu perjanjian, suatu kontrak ataupun suatu akad antara

    mempelai laki-laki di satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak.

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    11/13

    Perjanjian ini terjadi dengan suatu -ijab- dilakukan oleh wakil bakal isteri

    yang kemudian diikuti dengan suatu "kabul" dari bakal suami dengan disaksikan

    oleh sekurang-kurangnya dua orang muslim laki-laki, yang merdeka, sudah

    dewasa, sehat pikirannya serta baik adat kebiasaannya.

    9. UPACARA-UPACARA PERKAWINAN ADAT

    Upacara-upacara adat pada sesuatu perkawinan ini adalah berakar pada

    adat-istiadat serta kepercayaan yang sejak dahulu kala, sebelum agama Islam

    masuk di Indonesia, telah diturut dan senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat

    ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung

    sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Upacara ini di pelbagai daerah di

    Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut adat kebiasaan di

    tempat masing-masing.

    a. Upacara-upacara adat pada perkawinan di daerah

    Pasundan.

    Setelah pembicaraan yang pertama kali ("neundeun omong") antara pihak

    laki-laki dan pihak perempuan, di mana disampaikan lamaran dari pihak laki-laki,

    dilakukan, maka apabila semua ini berjalan lancar tidak lama kernudian diadakan

    upacara pemberian 'panyangcang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

    Pada saat pemberian panyangcang itu, biasanya ditetapkan sekali oleh

    kedua belah pihak hari serta waktunya pernikahan.

    Beberapa waktu kemudian, apabila hari pernikahan hampir tiba, bakal

    mempelai laki-laki dengan diantar oleh kerabatnya dalam semawam pawai yang

    meriah dibawa ke rumah bakal istrinya serta disana oleh salah satu sesepuh

    kerabatnya yang khusus dibertugas untuk itu, dengan pidato yang khidmat

    diserahkan kepada bakal mertuanya. Selanjutnya bakal mempelai laki-laki ini

    tetap tinggal di tempat bakal mertuanya sampai saat pernikahan.

    b. Upacara-upacara adat pada perkawian di Jawa-Tengah

    Seperti telah dijelaskan di muka, maka upacara adat pada perkawinan di

    daerah Jawa Tengah ini dalam garis besarnya tidak berbeda dengan di daerah

    Pasundan, hanya istilah-istilahnya adalah barang tentu lain serta pelaksanaannya

    agak berbeda.Juga di daerah ini, setelah upacara lamaran, pemberian paningset serta

    pertunangan, menjelang hari pernikahan terdapat upacaraupacara adat.

    Menjelang hari pernikahan, bakal mempelai laki-laki dengan diawali oleh

    satu perutusan yang mewakili orang-tua dan kerabatnya menuju ke rumah bakal

    mertua untuk menjalani apa yang disebut "nyantri", yaitu menunggu sampai tiba

    saat nikah, berdiarn di tempat yang khusus ditunjuk oleh bakal mertua.

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    12/13

    10. PERCERAIAN

    Perceraian adalah menurut adat merupakan peristiwa luar biasa,

    merupakan problems sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah.

    Menurut Profesor Djojodiguno, perceraian ini di kalangan orang Jawa

    adalah suatu hal yang tidak disukai. Cita-cita orang Jawa ialah berjodoan sekali

    untuk seumur hidup, bilamana mungkin sampai kaken-kaken-ninen-ninen, artinya

    sampai si suami menjadi kaki (kakek) dan si isteri menjadi nini (nenek), yaitu

    orang tua-tua yang sudah bercucu-cicit.

    Apa yang dikemukakan oleh Profesor Djojodiguno tersebut di atas, pada

    umumnya sudah menjadi pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, jadi tidak

    terbatas pada suku Jawa saja. Bangsa Indonesia memandang perceraian itu

    sebagai sesuatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib dihindari.

    Sebab-sebab yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan

    perceraian adalah:

    a) Istri berzinah.

    Perceraian yang disebabkan karena isteri berzinah sudah barang tentu

    membawa akibat-akibat yang merugikan bagi isteri. Apabila ia tertangkap basah

    dan dibunuh, maka suaminya tidak usah membayar uang bangun.

    b) Kemandulan isteri

    Isteri tidak dapat mempunyai anak, sedangkan salah satu tujuan

    melakukan perkawinan itu adalah untuk memperoleh keturunan.

    c) Impotensi suami

    Suami tidak dapat memenuhi kehidupan bersama sebagai suami dan isteri,

    sehingga keturunan tidak akan diperoleh dari perkawinan tersebut.

    d) Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan

    Kedua-duanya disebabkan karena rasa saling mencintai antara suami-isteri

    itu memang sudah agak lama lenyap.

    e) Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara

    suami dan isteri, untuk bercerai,

    Ini sangat jarang terjadi, sebab kehendak bersama demikian ini pada

    umumnya oieh masing-masing keluarganya tidak dapat dibenarkan kecuali

    apabila hal itu disebabkan karena alasan-alasan yang lebih penting seperti

    kemandulan, impotensi dan lain sebagainya.

    11. AKIBAT-AKIBAT PERCERAIAN

    Setelah bercerai bekas suami isteri tersebut masing-masing dapat kawin

    lagi. Menurut hukum adat dan hukum Islam, bekas isteri tidak dapat menuntut

  • 8/6/2019 HUKUM Adat Bab 7 - 8

    13/13

    nafkah dari bekas suaminya, sedangkan menurut hukum Kristen ini dapat Berta

    diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25 Pebruari 1933 Staaablad Nomor 74.