hukum adat
DESCRIPTION
makalah hukum adatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan Tiga
yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa
pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus
menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan
budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong-royong/ kerja
bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan oleh desa
pakraman menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi) di masing-masing
desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman
setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Awig-awig adalah
suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat
secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman
bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-
awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang
bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang
berwenang membuat awig-awig adalah desa pakraman.1 Awig-awig ini merupakan
satu bentuk hukum yang masih dijaga, dilestarikan dan ditaati oleh setiap masyarakat
Bali. Tak hanya di Bali, hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dikenal
dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan Negara-negara Asia lainnya
seperti Jepang, India, dan Tiongkok.
Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukum adat ada baiknya kita
mengetahui pengertian dari hukum adat itu sendiri. Dikalangan rakyat istilah yang
dikenal bukanlah Hukum Adat melainkan adat. Dari segi Ethimologi, kata Adat
dikatakan berasal dari bahasa Arab yaitu Hadazt yang berarti kebiasaan, namun
adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta yakni: a yang berarti bukan
1 Banjar Basangbe, 2011, “Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-awig Desa Pekraman”, (Cited 2011 jan. 18), available from : URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id=178745415499474
Page | 1
dan dato yang berarti: sifat kebendaan. Dengan demikian maka adat sebenarnya
berarti sifat inmaterial, artinya adat yang menyangkut hal-hal yang berkaitan sistem
kepercayaan.2 Ada banyak ahli hukum memberikan definisinya tentang pengertian
hukum adat salah satunya yaitu Prof. Mr. B. Terhaar, beliau berpendapat bahwa
Hukum Adat merupakan Keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.
Terhaar terkenal dengan teorinya “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap
penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Istilah
Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck
Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang
mempunyai konsekuensi hukum. Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Mr. Cornelis van
Vollenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia
berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan
keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajegannya
(regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia) ke dalam
19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak
Hukum Adat. Dasar yuridis pemberlakuan hukum adat di Indonesia ialah: Pasal 18 B
ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”3
Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum
masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis, maka hukum adat
mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Sebagai hukum tidak tertulis
yang juga mempunyai konsekuensi hukum jika dilanggar maka Hukum Adat perlu
dipatuhi/ ditaati oleh seluruh masyarakat adat setempat. Aturan-aturan yang ada
sedapat mungkin harus dipatuhi sehingga terhindar dari hukuman/ sanksi adat.
Sanksi adat ada bermacam-macam dari yang ringan hingga berat, seperti: peringatan,
denda biaya administrasi, tidak dapat mengikuti kegiatan adat-istiadat, bahkan
2 Drs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Paramita Surabaya, h.3.3 Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Pustaka Tanah Air Bandung, h.26.
Page | 2
sampai sanksi pengucilan. Khusus di pulau Bali, masyarakat adatnya mengenal
istilah Kasepekang yaitu sanksi pengucilan oleh adat setempat setelah melanggar
beberapa aturan hukum adat.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan bahasan diatas, pokok permasalahan yang akan kami ulas dalam
makalah ini adalah mengenai sanksi adat khususnya sanksi adat di Bali yaitu
Kasepekang sehingga dapat diketahui lebih lanjut:
- Pengertian Kasepekang?
- Penyebab timbulnya Kasepekang dan dampak yang ditimbulkan ?
- Kasepekang ditinjau dari sifat dan corak hukum adat ?
- Dimana saja wilayah hukum adat di Indonesia ?
Page | 3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kasepekang
Asal kata kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak
diajak bicara' atau 'dikucilkan' dan pendapat lainnya Kasepekang berasal dari kata
sepek yang mengandung arti 'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus
Bali-Indonesia yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan
kata sepek diartikan sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan
'dikucilkan'.4
Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali untuk mereka yang
dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig/ hukum adat yang
berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat.
Kasepekang tidak menyangkut hukum badan, karena tidak ada penahanan, tidak
juga tahanan rumah atau kota karena yang bersangkutan bisa keluar rumah dan
keluar kota sebebas-bebasnya.
Secara harfiah hukum, kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat
yang diterima oleh seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar
norma norma/awigawig yang berlaku di banjar bersangkutan, dengan cara
pengucilan dikucilkan dari banjar /desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah
tersebut, tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang
berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya. Banjar / desa yang
memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, selain krama desa adat itu
dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang, juga tak boleh menolong
orang/kelompok itu, dan orang/kelompok yang sedang menjalani hukuman
kasepekang tidak mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Bahkan orang
/kelompok yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Hukum
kasepekang hanya untuk krama Bali yang beragam Hindu , selain krama Bali para
pendatang atau agama lain tidak terkena hukum kasepekang atau hukum adat itu.
4 Hendra SK, 2012, “Apa itu Kasepekang??? Hukum Adat Bali”, (Cited 2012 feb. 2), available from : URL : http://infoseputarbali.blogspot.com/2012/02/apa-itu-kasepekang-hukum-adat-bali.html
Page | 4
Kasepekang pun menjadi istilah yang amat ditakuti orang Bali. Penyebabnya,
kasepekang selalu disertai juga dengan adanya larangan penguburan jenazah di
pekuburan desa sehingga menjadi kontroversi dan masalah sosial sampai saat ini.
2. Penyebab timbulnya Kasepekang
Desa pakraman sebagai sebuah organisasi sosial religius, memiliki sistem
organisasi kemasyarakatan yang kuat untuk mewujudkan keharmonisan warganya.
Hal ini tampak dari struktur organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama
menusia, desa pakraman juga memiliki sejumlah kearifan lokal, seperti paras-
paros (bersama dalam suka dan duka), jele melah gelahang bareng (baik dan buruk,
hargai sebagai milik bersama), dll. Kearifan lokal ini tercermin dalam kehidupan
penduduk Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena keramahtamahan
penduduknya dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin mengilhami
Hickman Powell (1930), seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga
memberikan julukan “The Last Paradise” kepada Pulau Bali. Walaupun demikian,
tidak berarti Bali bebas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul
ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan
pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali.
Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman
kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai manifestasi. Konflik adat
terjadi antara warga desa dengan sesamanya, antara warga desa atau kelompok
dengan desa. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh
adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat,
dan terjadi pergeseran nilai budaya. Sejak tahun 1999 menjadi semakin marak,
karena hembusan ”iklim” reformasi dan otonomi daerah. Konflik adat di Bali
merupakan konflik dan kekerasan yang muncul karena pelanggaran norma agama
Hindu dan adat Bali. Pelanggaran adat ini menyebabkan kedamaian di desa adat
terganggu, dalam ungkapan Ter Haar (1991:226) disebut “keguncangan neraca
keseimbangan masyarakat”. Dengan maksud mengembalikan keseimbangan dalam
masyarakat sebagai akibat adanya pelanggaran adat tersebut, pelaku pelanggaran
adat dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman yang merasa “terguncang neraca
keseimbangannya”. Sanksi yang dikenakan mulai dari yang paling ringan, seperti
Page | 5
pamiteket (peringatan), sampai yang terberat berupa kasepekang (dikucilkan). Di
antara konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang terjadi di
Bali, sebagian besar berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah
konflik adat dengan sanksi kasepekang yang terjadi pada masing-masing kabupaten
dan kota di Bali, tergambar dalam tabel di bawah ini.
Konflik Desa Adat dengan Krama Desa danSanksi Adat Kesepekang di Bali, 1999 – 2005
No KabupatenKonflik Desa
Pakraman dengan Krama Desa
Konflik disertai Sanksi Adat Kasepekang
%
1 Karangasem 10 4 40 %2 Klungkung 4 2 50 %3 Bangli 8 3 37 %4 Gianyar 18 7 39 %5 Badung 6 3 50 %6 Kodya Dps. 1 - 0 %7 Tabanan 5 2 40 %8 Buleleng 4 3 75 %9 Jemberana 1 - 0 %
Jumlah 57 24 42%Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang
konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir di semua
kabupaten di Bali, pernah terjadi konflik yang melibatkan desa pakraman dengan
krama desa. Demikian pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang.
Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara konflik yang
paling sedikit terjadi di Kabupaten Jembrana dan Kodya Denpasar, masing-masing
hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana terjadi banyak konflik antar desa
pakraman dengan krama desa, di sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang
yang lebih banyak juga.5 Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada empat faktor
penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi,
faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di antara empat
faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan
5 Wayan P. Windia, 2008, “Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat”, Paper pada acara diskusi: Sejauh manakah hukum adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat, Denpasar, Tanggal 3-6 September
Page | 6
perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor
politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian,
kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta
perebutan pengaruh dan kekuasaan di desa adat, senantiasa dapat dijumpai dalam
setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik
di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti
kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang ini. Hal lain yang
juga berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa
pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang
sama mengenai tujuan desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan
sering melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam
hubungan dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi
di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi desa
pakraman.6
Dari sekian kasus adat kasepekang yang terjadi mungkin masih hangat di
ingatan kita semua kasus yang menimpa keluarga I Gusti Made Putra warga Desa
adat Sulang, Dawan, Klungkung yang dikucilkan dari desa adat tempat tinggalnya.
Gusti Made beserta kerabatnya yang keseluruhan sebanyak 5 Kepala Keluarga
dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh warga desa setempat bahkan halaman
rumah dipagari pohon pisang sehingga mereka terpaksa pergi dan mengungsi ke
polres Klungkung. Kasus ini hingga kini masih belum menemui titik terang,
meskipun beberapa upaya pendamaian telah ditempuh oleh aparat baik desa hingga
tingkat kabupaten. Keluarga yang kasepekang ini sempat mendapat bantuan dari
pemerintah kabupaten Klungkung dengan izin tinggal sementara di losmen milik
Pemkab Klungkung yakni Grha Sanggraha. Setelah melalui pembicaraan panjang
dengan bantuan LSM, Pemkab Klungkung direncanakan akan membantu
menyediakan lahan Negara untuk ditempati keluarga ini, namun hingga kini
kepastian lahan ini masih belum jelas.7
Jika dirunut dari sejarahnya tentu ada penyebab sehingga sanksi kasepekang
ini diberlakukan desa adat terhadap keluarga Gusti, permasalahan ini sebenarnya
sudah terjadi sejak tahun 1972. Keluarga yang sebelumnya bernama Si ini kemudian
mengganti kasta mereka menjadi Gusti, tentunya dengan beberapa keistimewaan
6 Ibid.7Anonim, “Belum Jelas Lahan untuk Keluarga Gusti yang Kasepekang”, Bali Post, 5 Maret 2012, h.14.
Page | 7
yang diinginkan dari desa adat. Hal itu ditolak warga Desa Adat Sulang, sehingga
keluarlah keputusan kasepekang tersebut. Selama itu, warga pragusti yakni Gusti
Made Rai, beserta Kepala Keluarga lainnya masih tetap menempati pekarangan desa
di Desa Adat Sulang. Hanya, ada larangan bagi warga setempat untuk bertegur sapa
dengan warga pragusti tersebut. Jika ada yang ditemukan melanggar hal itu, warga
dikenakan denda Rp 25 ribu. Lama menempati pekarangan desa, namun tidak
berkontribusi ke desa, warga pun menagih tanah pekarangan desa yang ditempati
pragusti, dengan memberi batas waktu untuk meninggalkan Desa Adat Sulang.8
Dengan menganalisis spesifik kasus diatas dengan demikian, penyebab
timbulnya konflik adat khususnya kasepekang ini meliputi; menaikkan status sosial
keningratan, pelanggaran adat dengan tidak ikut berpartisipasi aktif di desa, dan
penempatan tanah desa adat seusai dikucilkan.
Dampak yang ditimbulkan dari kasus Kasepekang
Seperti dijabarkan sebelumnya, hukum adat merupakan hukum yang lahir
dari kebiasaan desa adat yang mempunyai konsekuensi hukum/ akibat hukum yang
mana jika dilanggar akan ada sanksi yang diterapkan pada pelanggarnya. Sanksi
hukum adat memang tidak seperti hukuman badan seperti hukum positif kita, namun
dampaknya bisa lebih membekas karena lebih bersifat hukuman sosial yang
memberi rasa malu terhadap pelanggarnya. Setidak-tidaknya bagi mereka yang
pernah mengalami pengalaman seperti itu akan menjadi berat untuk bergaul dan
merasa kurang kuat bertahan pada faktor-faktor perasaan yang selalu menghantui
dirinya dan dalam kelanjutan kehidupannya mereka yang seperti ini menjadi orang
yang selalu rikuh karena perasaan antara dia dengan masyarakatnya sering tidak bisa
“bersambut”.9 Jika bicara spesifik mengenai Kasepekang dampak langsung yang
terasa yaitu: terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat
pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan lain-
lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran, penyitaan
rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/ tempat ibadah10 dan
8 Anonim, “Soal Kasepekang Warga Pragusti Gagal Mediasi Bupati dan MMDP Klungkung”, Bali Post, 14 April 2011, h.14.9 I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, CV Sumber Mas Bali, h.94.
Page | 8
lebih parahnya lagi korban kasepekang dirampas haknya untuk melakukan
penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.
3. Kasepekang Ditinjau dari Sifat dan Corak Hukum adat
Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa
Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum
adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada
hukum adat sebagai 3 C adalah:
1. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada
individu);
2. Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan
secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.
3. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan
secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya.
Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan
plastis (fleksibel).
1. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat,
2. Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang
3. Plastis atau fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan
masyarakat.
Sunaryati Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka
ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris
atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati
Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas
10 Luh De Suriyani, 2010, “Meluruskan Kasus Adat soal Kasepekang”, (Cited 2010 oct. 18), available from : URL : http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/revision-draconian-punishment-demanded.html
Page | 9
Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih
bersifat pra industri di luar Indonesia.
Corak Hukum Adat
Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat
yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu
oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya menusia menurut hukum adat,
merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan
mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2. Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan
hidup alam Indonesia;
3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat
memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup
yang kongkrit. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang
kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup; dan
4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya – hubungan hukum dianggap hanya
terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda
yang tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat:
1. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja.
Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak
mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai
kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya
dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh;
Page | 10
3. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok. Artinya
dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan
keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan,
kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama; dan
4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat
untuk melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
1. Tradisional, artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat bersangkutan.
2. Keagamaan (Magis-religeius), artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah
hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama,
sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Wujudnya rumah
gadang, tanah pusaka (Minangkabau).
4. Kongkrit atau Visual, artinya jelas, nyata berwujud. Visual artinya dapat terlihat,
tampak, terbuka, terang dan tunai. Contoh ijab – kabul, jual beli serah terima
bersamaan (samenval van momentum).
5. Terbuka dan sederhana.
6. Dapat berubah dan menyesuaikan.
7. Tidak dikodifikasi.
8. Musyawarah dan mufakat.
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan
masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak
masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih
mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki
kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Page | 11
Kedudukan Kasepekang dalam Hukum Adat sudah terlihat jelas dari
penjabaran diatas yaitu Kasepekang merupakan bagian dari sanksi adat yang timbul
dari diberlakukannya hukum adat di dalam pergaulan masyarakat. Hukum adat
mengikat masyarakat dengan sanksi bila dilanggar dan Kasepekang menjadi satu
contoh sanksi adat terlepas dari sanksi-sanksi adat yang lain. Kasepekang adalah
kasus kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini
hanya ada di Bali. Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada
penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-
bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau
bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai ‘’sang
terhukum” membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong ”keras”, krama desa
adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang
kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Menurut ajaran agama hindu
sanksi yang diberikan pada kasus kasepekang sangat menyimpang. Kasepekang pada
prinsipnya adalah sanksi yang memiliki dimensi sosial di mana suatu keluarga atau
kelompok akan terkucilkan pada pergaulan pada komunitas krama banjar atau desa.
Realitas ini sangat jauh atau tidak tersentuh oleh hukum positif yang berlaku. Pada
kasus Kedungu yang dikatakan penyebabnya adalah menyangkut pencemaran suatu
tempat maka banjar tersebut merasa benar memberi sanksi kepada warganya dengan
dikeluarkan dari banjar tersebut. Masalah ini memerlukan peradilan khusus,
semacam peradilan agama, sementara pada Hindu belum ada. Kasepekang adalah
sanksi sosial yang amat emosional dan sangat berat. Dalam konteks pelanggaran
HAM inilah sempat ada forum/ semiloka yang membahas apakah sanksi kasepekang
ini sebaiknya dihapuskan saja atau ditinjau ulang keberadaannya dan berharap
penerapan hukum adat sefleksibel mungkin sesuai kebutuhan masyarakat. Walaupun
Kasepekang ini terkesan perihal yang tidak manusiawi dan mengundang tanggapan
berbagai kalangan tak hanya dari regional Bali sendiri tapi juga secara Nasional dan
Internasional terbukti topik ini pernah menjadi tajuk di website New York Times
dengan judul “Left Out in the Cold by Revival of Old Rules”,11 tetapi beberapa
pengamat memandang sanksi ini masih patut dipertahankan sebagai upaya untuk
tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.
11 Aubrey Belford, 2010, “Left Out in the Cold by Revival of Old Rules”, (Cited 2010 oct. 13), available from : URL : http://www.nytimes.com/2010/10/13/world/asia/13iht-bali.html?pagewanted=1&_r=1
Page | 12
4. Wilayah hukum adat di Indonesia
Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum
adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hukum Adat mengenai tata Negara.
2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum
perhutangan).
3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).
Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini
dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).
Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama
mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum
adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:
1. Aceh
2. Gayo dan Batak
3. Nias dan sekitarnya
4. Minangkabau
5. Mentawai
6. Sumatra Selatan
7. Enggano
8. Melayu
9. Bangka dan Belitung
10. Kalimantan (Dayak)
11. Sangihe-Talaud
12. Gorontalo
Page | 13
13. Toraja
14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)
15. Maluku Utara
16. Maluku Ambon
17. Maluku Tenggara
18. Papua
19. Nusa Tenggara dan Timor
20. Bali dan Lombok
21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)
22. Jawa Mataraman
BAB III
PENUTUPAN
1. Kesimpulan
1. Kasepekang adalah Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali
untuk mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan
awig awig/ hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan
membayar kewajiban denda adat.
2. Ada empat faktor penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor
pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan
persepsi mengenai status kasta. Serta dampak langsung yang terasa yaitu:
terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat
pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan
lain-lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran,
penyitaan rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/
Page | 14
tempat ibadah dan lebih parahnya lagi korban kasepekang dirampas haknya
untuk melakukan penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.
3. Sanksi yang diberikan pada kasus kasepekang sangat menyimpang dari
ajaran agama hindu serta sifat dan corak hukum adat.
2. Saran
Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai
pengayom kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, hendaknya mencermati
kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Pencermatan dilakukan dalam
kerangka mensinergikan dan menyelaraskan kearifan lokal dimaksud sehingga
tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku
DAFTAR PUSTAKA
Drs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Penerbit Paramita, Surabaya.
Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Tanah Air, Bandung.
Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Alfabeta, Bandung.
I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, Penerbit CV Sumber Mas, Bali.
Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, S.H., MS, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Penerbit Udayana University Press, Bali.
Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS, 2088, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Penerbit Udayana University Press, Bali
Page | 15