hukum adat

23
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong- royong/ kerja bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan oleh desa pakraman menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi) di masing-masing desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional Page | 1

Upload: kertiyasa-komang

Post on 27-Oct-2015

208 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

makalah hukum adat

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan Tiga

yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa

pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus

menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan

budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong-royong/ kerja

bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan oleh desa

pakraman menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi) di masing-masing

desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman

setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Awig-awig adalah

suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat

secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman

bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-

awig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang

bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam

masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang

berwenang membuat awig-awig adalah desa pakraman.1 Awig-awig ini merupakan

satu bentuk hukum yang masih dijaga, dilestarikan dan ditaati oleh setiap masyarakat

Bali. Tak hanya di Bali, hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dikenal

dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan Negara-negara Asia lainnya

seperti Jepang, India, dan Tiongkok.

Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukum adat ada baiknya kita

mengetahui pengertian dari hukum adat itu sendiri. Dikalangan rakyat istilah yang

dikenal bukanlah Hukum Adat melainkan adat. Dari segi Ethimologi, kata Adat

dikatakan berasal dari bahasa Arab yaitu Hadazt yang berarti kebiasaan, namun

adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta yakni: a yang berarti bukan

1 Banjar Basangbe, 2011, “Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-awig Desa Pekraman”, (Cited 2011 jan. 18), available from : URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id=178745415499474

Page | 1

dan dato yang berarti: sifat kebendaan. Dengan demikian maka adat sebenarnya

berarti sifat inmaterial, artinya adat yang menyangkut hal-hal yang berkaitan sistem

kepercayaan.2 Ada banyak ahli hukum memberikan definisinya tentang pengertian

hukum adat salah satunya yaitu Prof. Mr. B. Terhaar, beliau berpendapat bahwa

Hukum Adat merupakan Keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-

keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.

Terhaar terkenal dengan teorinya “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah

sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap

penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Istilah

Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck

Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang

mempunyai konsekuensi hukum. Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Mr. Cornelis van

Vollenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia

berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan

keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajegannya

(regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia) ke dalam

19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak

Hukum Adat. Dasar yuridis pemberlakuan hukum adat di Indonesia ialah: Pasal 18 B

ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”3

Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang

tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum

masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis, maka hukum adat

mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Sebagai hukum tidak tertulis

yang juga mempunyai konsekuensi hukum jika dilanggar maka Hukum Adat perlu

dipatuhi/ ditaati oleh seluruh masyarakat adat setempat. Aturan-aturan yang ada

sedapat mungkin harus dipatuhi sehingga terhindar dari hukuman/ sanksi adat.

Sanksi adat ada bermacam-macam dari yang ringan hingga berat, seperti: peringatan,

denda biaya administrasi, tidak dapat mengikuti kegiatan adat-istiadat, bahkan

2 Drs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Paramita Surabaya, h.3.3 Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Pustaka Tanah Air Bandung, h.26.

Page | 2

sampai sanksi pengucilan. Khusus di pulau Bali, masyarakat adatnya mengenal

istilah Kasepekang yaitu sanksi pengucilan oleh adat setempat setelah melanggar

beberapa aturan hukum adat.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan bahasan diatas, pokok permasalahan yang akan kami ulas dalam

makalah ini adalah mengenai sanksi adat khususnya sanksi adat di Bali yaitu

Kasepekang sehingga dapat diketahui lebih lanjut:

- Pengertian Kasepekang?

- Penyebab timbulnya Kasepekang dan dampak yang ditimbulkan ?

- Kasepekang ditinjau dari sifat dan corak hukum adat ?

- Dimana saja wilayah hukum adat di Indonesia ?

Page | 3

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kasepekang

Asal kata kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak

diajak bicara' atau 'dikucilkan' dan pendapat lainnya Kasepekang berasal dari kata

sepek yang mengandung arti 'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus

Bali-Indonesia yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan

kata sepek diartikan sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan

'dikucilkan'.4

Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali untuk  mereka yang

dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig/ hukum adat yang

berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat.

Kasepekang tidak menyangkut hukum badan, karena tidak ada penahanan,  tidak

juga tahanan rumah atau kota karena yang bersangkutan bisa keluar rumah dan

keluar kota sebebas-bebasnya.

Secara harfiah hukum, kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat

yang diterima oleh seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar

norma norma/awigawig yang berlaku di banjar  bersangkutan, dengan cara

pengucilan  dikucilkan dari banjar /desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah

tersebut, tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang

berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya. Banjar / desa yang

memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, selain krama desa adat itu

dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang, juga tak boleh menolong

orang/kelompok itu, dan orang/kelompok yang sedang menjalani hukuman

kasepekang tidak mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Bahkan orang

/kelompok yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Hukum

kasepekang hanya untuk krama Bali yang beragam Hindu , selain krama Bali para

pendatang  atau agama lain tidak  terkena hukum kasepekang atau hukum adat itu.

4 Hendra SK, 2012, “Apa itu Kasepekang??? Hukum Adat Bali”, (Cited 2012 feb. 2), available from : URL : http://infoseputarbali.blogspot.com/2012/02/apa-itu-kasepekang-hukum-adat-bali.html

Page | 4

Kasepekang pun menjadi istilah yang amat ditakuti orang Bali. Penyebabnya,

kasepekang selalu disertai juga dengan adanya larangan penguburan jenazah di

pekuburan desa sehingga menjadi kontroversi dan masalah sosial sampai saat ini.

2. Penyebab timbulnya Kasepekang

Desa pakraman sebagai sebuah organisasi sosial religius, memiliki sistem

organisasi kemasyarakatan yang kuat untuk mewujudkan keharmonisan warganya.

Hal ini tampak dari struktur organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik

tertulis maupun tidak tertulis. Dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama

menusia, desa pakraman juga memiliki sejumlah kearifan lokal, seperti paras-

paros (bersama dalam suka dan duka), jele melah gelahang bareng (baik dan buruk,

hargai sebagai milik bersama), dll. Kearifan lokal ini tercermin dalam kehidupan

penduduk Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena keramahtamahan

penduduknya dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin mengilhami

Hickman Powell (1930), seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga

memberikan julukan “The Last Paradise” kepada Pulau Bali. Walaupun demikian,

tidak berarti Bali bebas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul

ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan

pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali.

Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman

kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai manifestasi. Konflik adat

terjadi antara warga desa dengan sesamanya, antara warga desa atau kelompok

dengan desa. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh

adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat,

dan terjadi pergeseran nilai budaya. Sejak tahun 1999 menjadi semakin marak,

karena hembusan ”iklim” reformasi dan otonomi daerah. Konflik adat di Bali

merupakan konflik dan kekerasan yang muncul karena pelanggaran norma agama

Hindu dan adat Bali. Pelanggaran adat ini menyebabkan kedamaian di desa adat

terganggu, dalam ungkapan Ter Haar (1991:226) disebut “keguncangan neraca

keseimbangan masyarakat”. Dengan maksud mengembalikan keseimbangan dalam

masyarakat sebagai akibat adanya pelanggaran adat tersebut, pelaku pelanggaran

adat dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman yang merasa “terguncang neraca

keseimbangannya”. Sanksi yang dikenakan mulai dari yang paling ringan, seperti

Page | 5

pamiteket (peringatan), sampai yang terberat berupa kasepekang (dikucilkan). Di

antara konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang terjadi di

Bali, sebagian besar berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah

konflik adat dengan sanksi kasepekang yang terjadi pada masing-masing kabupaten

dan kota di Bali, tergambar dalam tabel di bawah ini.

Konflik Desa Adat dengan Krama Desa danSanksi Adat Kesepekang di Bali, 1999 – 2005

No KabupatenKonflik Desa

Pakraman dengan Krama Desa

Konflik disertai Sanksi Adat Kasepekang

%

1 Karangasem 10 4 40 %2 Klungkung 4 2 50 %3 Bangli 8 3 37 %4 Gianyar 18 7 39 %5 Badung 6 3 50 %6 Kodya Dps. 1 - 0 %7 Tabanan 5 2 40 %8 Buleleng 4 3 75 %9 Jemberana 1 - 0 %

Jumlah 57 24 42%Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian tentang

konflik di Bali, selama tahun 1999-2006.

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir di semua

kabupaten di Bali, pernah terjadi konflik yang melibatkan desa pakraman dengan

krama desa. Demikian pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang.

Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara konflik yang

paling sedikit terjadi di Kabupaten Jembrana dan Kodya Denpasar, masing-masing

hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana terjadi banyak konflik antar desa

pakraman dengan krama desa, di sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang

yang lebih banyak juga.5 Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada empat faktor

penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi,

faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di antara empat

faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan

5 Wayan P. Windia, 2008, “Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat”, Paper pada acara diskusi: Sejauh manakah hukum adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat, Denpasar, Tanggal 3-6 September

Page | 6

perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor

politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian,

kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta

perebutan pengaruh dan kekuasaan di desa adat, senantiasa dapat dijumpai dalam

setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik

di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti

kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang ini. Hal lain yang

juga berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa

pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang

sama mengenai tujuan desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan

sering melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam

hubungan dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi

di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi desa

pakraman.6

Dari sekian kasus adat kasepekang yang terjadi mungkin masih hangat di

ingatan kita semua kasus yang menimpa keluarga I Gusti Made Putra warga Desa

adat Sulang, Dawan, Klungkung yang dikucilkan dari desa adat tempat tinggalnya.

Gusti Made beserta kerabatnya yang keseluruhan sebanyak 5 Kepala Keluarga

dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh warga desa setempat bahkan halaman

rumah dipagari pohon pisang sehingga mereka terpaksa pergi dan mengungsi ke

polres Klungkung. Kasus ini hingga kini masih belum menemui titik terang,

meskipun beberapa upaya pendamaian telah ditempuh oleh aparat baik desa hingga

tingkat kabupaten. Keluarga yang kasepekang ini sempat mendapat bantuan dari

pemerintah kabupaten Klungkung dengan izin tinggal sementara di losmen milik

Pemkab Klungkung yakni Grha Sanggraha. Setelah melalui pembicaraan panjang

dengan bantuan LSM, Pemkab Klungkung direncanakan akan membantu

menyediakan lahan Negara untuk ditempati keluarga ini, namun hingga kini

kepastian lahan ini masih belum jelas.7

Jika dirunut dari sejarahnya tentu ada penyebab sehingga sanksi kasepekang

ini diberlakukan desa adat terhadap keluarga Gusti, permasalahan ini sebenarnya

sudah terjadi sejak tahun 1972. Keluarga yang sebelumnya bernama Si ini kemudian

mengganti kasta mereka menjadi Gusti, tentunya dengan beberapa keistimewaan

6 Ibid.7Anonim, “Belum Jelas Lahan untuk Keluarga Gusti yang Kasepekang”, Bali Post, 5 Maret 2012, h.14.

Page | 7

yang diinginkan dari desa adat. Hal itu ditolak warga Desa Adat Sulang, sehingga

keluarlah keputusan kasepekang tersebut. Selama itu, warga pragusti yakni Gusti

Made Rai, beserta Kepala Keluarga lainnya masih tetap menempati pekarangan desa

di Desa Adat Sulang. Hanya, ada larangan bagi warga setempat untuk bertegur sapa

dengan warga pragusti tersebut. Jika ada yang ditemukan melanggar hal itu, warga

dikenakan denda Rp 25 ribu. Lama menempati pekarangan desa, namun tidak

berkontribusi ke desa, warga pun menagih tanah pekarangan desa yang ditempati

pragusti, dengan memberi batas waktu untuk meninggalkan Desa Adat Sulang.8

Dengan menganalisis spesifik kasus diatas dengan demikian, penyebab

timbulnya konflik adat khususnya kasepekang ini meliputi; menaikkan status sosial

keningratan, pelanggaran adat dengan tidak ikut berpartisipasi aktif di desa, dan

penempatan tanah desa adat seusai dikucilkan.

Dampak yang ditimbulkan dari kasus Kasepekang

Seperti dijabarkan sebelumnya, hukum adat merupakan hukum yang lahir

dari kebiasaan desa adat yang mempunyai konsekuensi hukum/ akibat hukum yang

mana jika dilanggar akan ada sanksi yang diterapkan pada pelanggarnya. Sanksi

hukum adat memang tidak seperti hukuman badan seperti hukum positif kita, namun

dampaknya bisa lebih membekas karena lebih bersifat hukuman sosial yang

memberi rasa malu terhadap pelanggarnya. Setidak-tidaknya bagi mereka yang

pernah mengalami pengalaman seperti itu akan menjadi berat untuk bergaul dan

merasa kurang kuat bertahan pada faktor-faktor perasaan yang selalu menghantui

dirinya dan dalam kelanjutan kehidupannya mereka yang seperti ini menjadi orang

yang selalu rikuh karena perasaan antara dia dengan masyarakatnya sering tidak bisa

“bersambut”.9 Jika bicara spesifik mengenai Kasepekang dampak langsung yang

terasa yaitu: terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat

pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan lain-

lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran, penyitaan

rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/ tempat ibadah10 dan

8 Anonim, “Soal Kasepekang Warga Pragusti Gagal Mediasi Bupati dan MMDP Klungkung”, Bali Post, 14 April 2011, h.14.9 I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, CV Sumber Mas Bali, h.94.

Page | 8

lebih parahnya lagi korban kasepekang dirampas haknya untuk melakukan

penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.

3. Kasepekang Ditinjau dari Sifat dan Corak Hukum adat

Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa

Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme –realisme artinya mampu

memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum

adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada

hukum adat sebagai 3 C adalah:

1. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada

individu);

2. Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan

secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum.

3. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan

secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya.

Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan

plastis (fleksibel).

1. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat,

2. Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang

3. Plastis atau fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan

masyarakat.

Sunaryati Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka

ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris

atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati

Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas

10 Luh De Suriyani, 2010, “Meluruskan Kasus Adat soal Kasepekang”, (Cited 2010 oct. 18), available from : URL : http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/revision-draconian-punishment-demanded.html

Page | 9

Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih

bersifat pra industri di luar Indonesia.

Corak Hukum Adat

Soepomo mengatakan: Corak atau pola – pola tertentu di dalam hukum adat

yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu

oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya menusia menurut hukum adat,

merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan

mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;

2. Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan

hidup alam Indonesia;

3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat

memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup

yang kongkrit. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang

kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup; dan

4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya – hubungan hukum dianggap hanya

terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda

yang tampak).

Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat:

1. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja.

Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak

mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai

kemungkinan arti kiasan dimaksud;

2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya

dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,

sebagai satu kesatuan yang utuh;

Page | 10

3. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok. Artinya

dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan

keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan,

kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama; dan

4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat

untuk melaksanakan hukum adat.

Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:

1. Tradisional, artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh

masyarakat bersangkutan.

2. Keagamaan (Magis-religeius), artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah

hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama,

sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Wujudnya rumah

gadang, tanah pusaka (Minangkabau).

4. Kongkrit atau Visual, artinya jelas, nyata berwujud. Visual artinya dapat terlihat,

tampak, terbuka, terang dan tunai. Contoh ijab – kabul, jual beli serah terima

bersamaan (samenval van momentum).

5. Terbuka dan sederhana.

6. Dapat berubah dan menyesuaikan.

7. Tidak dikodifikasi.

8. Musyawarah dan mufakat.

Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan

masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak

masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih

mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki

kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.

Page | 11

Kedudukan Kasepekang dalam Hukum Adat sudah terlihat jelas dari

penjabaran diatas yaitu Kasepekang merupakan bagian dari sanksi adat yang timbul

dari diberlakukannya hukum adat di dalam pergaulan masyarakat. Hukum adat

mengikat masyarakat dengan sanksi bila dilanggar dan Kasepekang menjadi satu

contoh sanksi adat terlepas dari sanksi-sanksi adat yang lain. Kasepekang adalah

kasus kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini

hanya ada di Bali. Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada

penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-

bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau

bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai ‘’sang

terhukum” membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong ”keras”, krama desa

adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang

kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Menurut ajaran agama hindu

sanksi yang diberikan pada kasus kasepekang sangat menyimpang. Kasepekang pada

prinsipnya adalah sanksi yang memiliki dimensi sosial di mana suatu keluarga atau

kelompok akan terkucilkan pada pergaulan pada komunitas krama banjar atau desa.

Realitas ini sangat jauh atau tidak tersentuh oleh hukum positif yang berlaku. Pada

kasus Kedungu yang dikatakan penyebabnya adalah menyangkut pencemaran suatu

tempat maka banjar tersebut merasa benar memberi sanksi kepada warganya dengan

dikeluarkan dari banjar tersebut. Masalah ini memerlukan peradilan khusus,

semacam peradilan agama, sementara pada Hindu belum ada. Kasepekang adalah

sanksi sosial yang amat emosional dan sangat berat. Dalam konteks pelanggaran

HAM inilah sempat ada forum/ semiloka yang membahas apakah sanksi kasepekang

ini sebaiknya dihapuskan saja atau ditinjau ulang keberadaannya dan berharap

penerapan hukum adat sefleksibel mungkin sesuai kebutuhan masyarakat. Walaupun

Kasepekang ini terkesan perihal yang tidak manusiawi dan mengundang tanggapan

berbagai kalangan tak hanya dari regional Bali sendiri tapi juga secara Nasional dan

Internasional terbukti topik ini pernah menjadi tajuk di website New York Times

dengan judul “Left Out in the Cold by Revival of Old Rules”,11 tetapi beberapa

pengamat memandang sanksi ini masih patut dipertahankan sebagai upaya untuk

tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.

11 Aubrey Belford, 2010, “Left Out in the Cold by Revival of Old Rules”, (Cited 2010 oct. 13), available from : URL : http://www.nytimes.com/2010/10/13/world/asia/13iht-bali.html?pagewanted=1&_r=1

Page | 12

4. Wilayah hukum adat di Indonesia

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum

adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Hukum Adat mengenai tata Negara.

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum

perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini

dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).

Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama

mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum

adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:

1. Aceh

2. Gayo dan Batak

3. Nias dan sekitarnya

4. Minangkabau

5. Mentawai

6. Sumatra Selatan

7. Enggano

8. Melayu

9. Bangka dan Belitung

10. Kalimantan (Dayak)

11. Sangihe-Talaud

12. Gorontalo

Page | 13

13. Toraja

14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar)

15. Maluku Utara

16. Maluku Ambon

17. Maluku Tenggara

18. Papua

19. Nusa Tenggara dan Timor

20. Bali dan Lombok

21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran)

22. Jawa Mataraman

BAB III

PENUTUPAN

1. Kesimpulan

1. Kasepekang adalah Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali

untuk  mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan

awig awig/ hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan

membayar kewajiban denda adat.  

2. Ada empat faktor penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor

pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan

persepsi mengenai status kasta. Serta dampak langsung yang terasa yaitu:

terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat

pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan

lain-lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran,

penyitaan rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/

Page | 14

tempat ibadah dan lebih parahnya lagi korban kasepekang dirampas haknya

untuk melakukan penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.

3. Sanksi yang diberikan pada kasus kasepekang sangat menyimpang dari

ajaran agama hindu serta sifat dan corak hukum adat.

2. Saran

Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai

pengayom kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, hendaknya mencermati

kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Pencermatan dilakukan dalam

kerangka mensinergikan dan menyelaraskan kearifan lokal dimaksud sehingga

tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

Drs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Penerbit Paramita, Surabaya.

Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Tanah Air, Bandung.

Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Alfabeta, Bandung.

I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, Penerbit CV Sumber Mas, Bali.

Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, S.H., MS, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Penerbit Udayana University Press, Bali.

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS, 2088, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Penerbit Udayana University Press, Bali

Page | 15

Page | 16