hukum adat

15
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan T yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah d pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekalig pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayany diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong-royong/ kerja ba bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan oleh des menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi) di masing-masing des dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman set seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Awig-awig adalah sua hukum darisuatuorganisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikia awig adalahpatokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasakeadilan dan rasakepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentukorganisasi tradisional yang berwenang membuat awig-awig adalah desa pakraman. 1 Awig-awig ini merupakan satu bentuk hukum yang masih dijaga, dilestarikan dan ditaati oleh setiap Bali. Tak hanya di Bali, hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dike dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan Negara-negara seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukum adatada baiknya kita mengetahui pengertian dari hukum adat itu sendiri. Dikalangan rakyat isti dikenal bukanlah Hukum Adat melainkan adat. Dari segi Ethimologi, dikatakan berasal dari bahasa Arab yaitu Hadazt yang berarti keb adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta yakni: a yang bera 1 Banjar Basangbe, 2011, “Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-awig Desa Pekraman”, (Cited 2011 jan. 18), available from : URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id=178745415499474 Page | 1

Upload: kertiyasa-komang

Post on 21-Jul-2015

316 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong-royong/ kerja bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan oleh desa pakraman menurut desa (tempat), kala (waktu), patra (kondisi) di masing-masing desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awigawig adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk organisasi tradisional yang berwenang membuat awig-awig adalah desa pakraman.1 Awig-awig ini merupakan satu bentuk hukum yang masih dijaga, dilestarikan dan ditaati oleh setiap masyarakat Bali. Tak hanya di Bali, hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan Negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sebelum lebih jauh membahas mengenai hukum adat ada baiknya kita mengetahui pengertian dari hukum adat itu sendiri. Dikalangan rakyat istilah yang dikenal bukanlah Hukum Adat melainkan adat. Dari segi Ethimologi, kata Adat dikatakan berasal dari bahasa Arab yaitu Hadazt yang berarti kebiasaan, namun adapula yang mengatakan berasal dari bahasa Sansekerta yakni: a yang berarti bukan1

Banjar Basangbe, 2011, Pengaturan Penduduk Pendatang Dalam Awig-awig Desa Pekraman, (Cited 2011 jan. 18), available from : URL : http://www.facebook.com/note.php?note_id=178745415499474

Page | 1

dan dato yang berarti: sifat kebendaan. Dengan demikian maka adat sebenarnya berarti sifat inmaterial, artinya adat yang menyangkut hal-hal yang berkaitan sistem kepercayaan.2 Ada banyak ahli hukum memberikan definisinya tentang pengertian hukum adat salah satunya yaitu Prof. Mr. B. Terhaar, beliau berpendapat bahwa Hukum Adat merupakan Keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusankeputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Terhaar terkenal dengan teorinya Keputusan artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat. Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali digunakan pada tahun 1906, ketika Snouck Hurgronye menggunakan istilah ini untuk menunjukkan bentuk-bentuk adat yang mempunyai konsekuensi hukum. Kemudian dilanjutkan oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven dengan pendekatan positivisme sebagai acuan berfikirnya, ia berpendapat ilmu hukum harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu: (1). memperlihatkan keadaan (gestelheid), (2) kelanjutan (veloop), dan (3) menemukan keajegannya (regelmaat), berdasarkan itu, ia mempetakan Hindia Belanda (Indonesia) ke dalam 19 lingkungan hukum adat secara sistematik, berdasarkan itu ia sering disebut Bapak Hukum Adat. Dasar yuridis pemberlakuan hukum adat di Indonesia ialah: Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.3 Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis, maka hukum adat mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Sebagai hukum tidak tertulis yang juga mempunyai konsekuensi hukum jika dilanggar maka Hukum Adat perlu dipatuhi/ ditaati oleh seluruh masyarakat adat setempat. Aturan-aturan yang ada sedapat mungkin harus dipatuhi sehingga terhindar dari hukuman/ sanksi adat. Sanksi adat ada bermacam-macam dari yang ringan hingga berat, seperti: peringatan, denda biaya administrasi, tidak dapat mengikuti kegiatan adat-istiadat, bahkan sampai sanksi pengucilan. Khusus di pulau Bali, masyarakat adatnya mengenal istilah Kasepekang2 3

Drs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Paramita Surabaya, h.3. Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Pustaka Tanah Air Bandung, h.26.

Page | 2

yaitu sanksi pengucilan oleh adat setempat setelah melanggar beberapa aturan hukum adat.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan bahasan diatas, pokok permasalahan yang akan kami ulas dalam makalah ini adalah mengenai sanksi adat khususnya sanksi adat di Bali yaitu Kasepekang sehingga dapat diketahui lebih lanjut:-

Pengertian Kasepekang? Penyebab timbulnya Kasepekang dan dampak yang ditimbulkan ? Kasepekang ditinjau dari sifat dan corak hukum adat ? Dimana saja wilayah hukum adat di Indonesia ?

BAB IIPage | 3

PEMBAHASAN1. Pengertian Kasepekang

Asal kata kasepekang berasal dari kata sepi ikang yang mempunyai arti 'tidak diajak bicara' atau 'dikucilkan' dan pendapat lainnya Kasepekang berasal dari kata sepek yang mengandung arti 'mempermasalahkan di hadapan orang'. Dalam Kamus Bali-Indonesia yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali disebutkan kata sepek diartikan sebagai 'kucilkan', sedangkan kasepekang sama dengan 'dikucilkan'.4 Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali untuk mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig/ hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat. Kasepekang tidak menyangkut hukum badan, karena tidak ada penahanan, tidak juga tahanan rumah atau kota karena yang bersangkutan bisa keluar rumah dan keluar kota sebebas-bebasnya. Secara harfiah hukum, kasepekang berarti sebuah hukuman atau sanksi adat yang diterima oleh seorang atau kelompok anggota banjar yang dianggap melanggar norma norma/awigawig yang berlaku di banjar bersangkutan, dengan cara pengucilan dikucilkan dari banjar /desa adat setempat, dilarang tinggal di wilayah tersebut, tidak boleh menggunakan fasilitas kuburan dan juga dilarang berkomunikasi atau bersosialisasi dengan anggota banjar lainnya. Banjar / desa yang memperlakukan hukum adat kasepekang secara keras, selain krama desa adat itu dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang, juga tak boleh menolong orang/kelompok itu, dan orang/kelompok yang sedang menjalani hukuman kasepekang tidak mendapatkan pelayanan apa pun dari adat. Bahkan orang /kelompok yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Hukum kasepekang hanya untuk krama Bali yang beragam Hindu , selain krama Bali para pendatang atau agama lain tidak terkena hukum kasepekang atau hukum adat itu.

4

Hendra SK, 2012, Apa itu Kasepekang??? Hukum Adat Bali, (Cited 2012 feb. 2), available from : URL : http://infoseputarbali.blogspot.com/2012/02/apa-itukasepekang-hukum-adat-bali.html

Page | 4

Kasepekang pun menjadi istilah yang amat ditakuti orang Bali. Penyebabnya, kasepekang selalu disertai juga dengan adanya larangan penguburan jenazah di pekuburan desa sehingga menjadi kontroversi dan masalah sosial sampai saat ini.2. Penyebab timbulnya Kasepekang

Desa pakraman sebagai sebuah organisasi sosial religius, memiliki sistem organisasi kemasyarakatan yang kuat untuk mewujudkan keharmonisan warganya. Hal ini tampak dari struktur organisasinya dan awig-awig desa pakraman, baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam menjaga keharmonisan hubungan sesama menusia, desa pakraman juga memiliki sejumlah kearifan lokal, seperti paras-paros (bersama dalam suka dan duka), jele melah gelahang bareng (baik dan buruk, hargai sebagai milik bersama), dll. Kearifan lokal ini tercermin dalam kehidupan penduduk Bali, sehingga Bali menjadi terkenal karena keramahtamahan penduduknya dan keindahan alamnya. Kenyataan inilah yang mungkin mengilhami Hickman Powell (1930), seorang wisatawan yang juga penulis Amerika, sehingga memberikan julukan The Last Paradise kepada Pulau Bali. Walaupun demikian, tidak berarti Bali bebas dari konflik dan kekerasan. Konflik dan kekerasan muncul ke permukaan karena berbagai faktor penyebab seperti faktor politik, ekonomi, dan pelanggaran norma agama Hindu serta adat Bali. Konflik adat sebenarnya bukan hal baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman kolonial, berlanjut sampai sekarang dengan berbagai manifestasi. Konflik adat terjadi antara warga desa dengan sesamanya, antara warga desa atau kelompok dengan desa. Latar belakang terjadinya konflik adat antara lain disebabkan oleh adanya perubahan sosial yang tampak pada perubahan perilaku warga masyarakat, dan terjadi pergeseran nilai budaya. Sejak tahun 1999 menjadi semakin marak, karena hembusan iklim reformasi dan otonomi daerah. Konflik adat di Bali merupakan konflik dan kekerasan yang muncul karena pelanggaran norma agama Hindu dan adat Bali. Pelanggaran adat ini menyebabkan kedamaian di desa adat terganggu, dalam ungkapan Ter Haar (1991:226) disebut keguncangan neraca keseimbangan masyarakat. Dengan maksud mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat sebagai akibat adanya pelanggaran adat tersebut, pelaku pelanggaran adat dikenakan sanksi adat oleh desa pakraman yang merasa terguncang neraca keseimbangannya. Sanksi yang dikenakan mulai dari yang paling ringan, seperti pamiteket (peringatan), sampai yang terberat berupaPage | 5

kasepekang (dikucilkan). Di antara konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa yang terjadi di Bali, sebagian besar berakhir dengan pengenaan sanksi adat kasepekang. Jumlah konflik adat dengan sanksi kasepekang yang terjadi pada masingmasing kabupaten dan kota di Bali, tergambar dalam tabel di bawah ini.

Konflik Desa Adat dengan Krama Desa dan Sanksi Adat Kesepekang di Bali, 1999 2005 Konflik Desa Konflik disertai Pakraman dengan Sanksi Adat Krama Desa Kasepekang 1 Karangasem 10 4 2 Klungkung 4 2 3 Bangli 8 3 4 Gianyar 18 7 5 Badung 6 3 6 Kodya Dps. 1 7 Tabanan 5 2 8 Buleleng 4 3 9 Jemberana 1 Jumlah 57 24 Sumber: Tabel disusun oleh Wayan Windia, berdasarkan hasil penelitian konflik di Bali, selama tahun 1999-2006. No Kabupaten % 40 % 50 % 37 % 39 % 50 % 0% 40 % 75 % 0% 42% tentang

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir di semua kabupaten di Bali, pernah terjadi konflik yang melibatkan desa pakraman dengan krama desa. Demikian pula halnya dengan penjatuhan sanksi adat kasepekang. Konflik adat paling banyak terjadi di Kabupaten Gianyar, sementara konflik yang paling sedikit terjadi di Kabupaten Jembrana dan Kodya Denpasar, masing-masing hanya 1 kasus. Pada kabupaten-kabupaten di mana terjadi banyak konflik antar desa pakraman dengan krama desa, di sana terdapat penjatuhan sanksi adat kasepekang yang lebih banyak juga.5 Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada empat faktor penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor pelanggaran adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Di antara empat faktor tersebut, dua di antaranya mudah dikenali, yaitu faktor pelanggaran adat dan perbedaan persepsi mengenai status kasta, sedangkan faktor ekonomi dan faktor5

Wayan P. Windia, 2008, Kajian Hukum Adat untuk Mencegah Konflik Sosial di Masyarakat, Paper pada acara diskusi: Sejauh manakah hukum adat Bali dapat mencegah berbagai konflik sosial yang muncul di masyarakat, Denpasar, Tanggal 3-6 September

Page | 6

politik tidak tampak seperti halnya dua faktor lainnya. Walaupun demikian, kepentingan yang didasarkan atas pertimbangan untung rugi secara ekonomi serta perebutan pengaruh dan kekuasaan di desa adat, senantiasa dapat dijumpai dalam setiap konflik adat dan pengenaan sanksi kasepekang. Ini yang menyebabkan konflik di desa pakraman menjadi semakin kompleks menggurita dan sulit dimengerti kecuali oleh orang yang secara berkelanjutan menekuni bidang ini. Hal lain yang juga berpotensi dapat disebut sebagai faktor penyebab munculnya konflik di desa pakraman adalah: Pertama, warga desa (krama desa) belum memiliki persepsi yang sama mengenai tujuan desa pakraman. Akibatnya, upacara agama yang dilaksanakan sering melampaui kemampuan desa pakraman penyelenggara, terutama dalam hubungan dengan dana dan tenaga yang diperlukan. Kedua, sebagian besar institusi di luar desa pakraman, belum sepenuhnya memahami tugas pokok dan fungsi desa pakraman.6 Dari sekian kasus adat kasepekang yang terjadi mungkin masih hangat di ingatan kita semua kasus yang menimpa keluarga I Gusti Made Putra warga Desa adat Sulang, Dawan, Klungkung yang dikucilkan dari desa adat tempat tinggalnya. Gusti Made beserta kerabatnya yang keseluruhan sebanyak 5 Kepala Keluarga dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh warga desa setempat bahkan halaman rumah dipagari pohon pisang sehingga mereka terpaksa pergi dan mengungsi ke polres Klungkung. Kasus ini hingga kini masih belum menemui titik terang, meskipun beberapa upaya pendamaian telah ditempuh oleh aparat baik desa hingga tingkat kabupaten. Keluarga yang kasepekang ini sempat mendapat bantuan dari pemerintah kabupaten Klungkung dengan izin tinggal sementara di losmen milik Pemkab Klungkung yakni Grha Sanggraha. Setelah melalui pembicaraan panjang dengan bantuan LSM, Pemkab Klungkung direncanakan akan membantu menyediakan lahan Negara untuk ditempati keluarga ini, namun hingga kini kepastian lahan ini masih belum jelas.7 Jika dirunut dari sejarahnya tentu ada penyebab sehingga sanksi kasepekang ini diberlakukan desa adat terhadap keluarga Gusti, permasalahan ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1972. Keluarga yang sebelumnya bernama Si ini kemudian mengganti kasta mereka menjadi Gusti, tentunya dengan beberapa keistimewaan yang diinginkan dari desa adat. Hal itu ditolak warga Desa Adat Sulang, sehingga keluarlah keputusan kasepekang tersebut. Selama itu, warga pragusti yakni Gusti Made Rai,6 7

Ibid. Anonim, Belum Jelas Lahan untuk Keluarga Gusti yang Kasepekang, Bali Post, 5 Maret 2012, h.14.

Page | 7

beserta Kepala Keluarga lainnya masih tetap menempati pekarangan desa di Desa Adat Sulang. Hanya, ada larangan bagi warga setempat untuk bertegur sapa dengan warga pragusti tersebut. Jika ada yang ditemukan melanggar hal itu, warga dikenakan denda Rp 25 ribu. Lama menempati pekarangan desa, namun tidak berkontribusi ke desa, warga pun menagih tanah pekarangan desa yang ditempati pragusti, dengan memberi batas waktu untuk meninggalkan Desa Adat Sulang.8 Dengan menganalisis spesifik kasus diatas dengan demikian, penyebab timbulnya konflik adat khususnya kasepekang ini meliputi; menaikkan status sosial keningratan, pelanggaran adat dengan tidak ikut berpartisipasi aktif di desa, dan penempatan tanah desa adat seusai dikucilkan.

Dampak yang ditimbulkan dari kasus Kasepekang Seperti dijabarkan sebelumnya, hukum adat merupakan hukum yang lahir dari kebiasaan desa adat yang mempunyai konsekuensi hukum/ akibat hukum yang mana jika dilanggar akan ada sanksi yang diterapkan pada pelanggarnya. Sanksi hukum adat memang tidak seperti hukuman badan seperti hukum positif kita, namun dampaknya bisa lebih membekas karena lebih bersifat hukuman sosial yang memberi rasa malu terhadap pelanggarnya. Setidak-tidaknya bagi mereka yang pernah mengalami pengalaman seperti itu akan menjadi berat untuk bergaul dan merasa kurang kuat bertahan pada faktor-faktor perasaan yang selalu menghantui dirinya dan dalam kelanjutan kehidupannya mereka yang seperti ini menjadi orang yang selalu rikuh karena perasaan antara dia dengan masyarakatnya sering tidak bisa bersambut.9 Jika bicara spesifik mengenai Kasepekang dampak langsung yang terasa yaitu: terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan lain-lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran, penyitaan rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/ tempat ibadah10 dan lebih parahnya lagi8

Anonim, Soal Kasepekang Warga Pragusti Gagal Mediasi Bupati dan MMDP Klungkung, Bali Post, 14 April 2011, h.14. 9 I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, CV Sumber Mas Bali, h.94.10

Luh De Suriyani, 2010, Meluruskan Kasus Adat soal Kasepekang, (Cited 2010 oct. 18), available from : URL : http://www.thejakartapost.com/news/2010/10/18/revision-draconian-punishmentdemanded.html

Page | 8

korban kasepekang dirampas haknya untuk melakukan penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.

3. Kasepekang Ditinjau dari Sifat dan Corak Hukum adat Hukum adat berbeda dengan hukum bersumberkan Romawi atau Eropa Kontinental lainnya. Hukum adat bersifat pragmatisme realisme artinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi social atau keadilan social. Sifat yang menjadi ciri daripada hukum adat sebagai 3 C adalah: 1. 2. 3. Commun atau komunal atau kekeluargaan (masyarakat lebih penting daripada individu); Contant atau Tunai perbuatan hukum dalam hukum adat sah bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya perbuatan hukum. Congkrete atau Nyata, Riil perbuatan hukum dinyatakan sah bila dilakukan secara kongkrit bentuk perbuatan hukumnya. Djojodigoeno menyebut hukum adat mempunyai sifat: statis, dinamis dan plastis (fleksibel). 1. 2. 3. Statis, hukum adat selalu ada dalam masyarakat, Dinamis, karena hukum adat dapat mengikuti perkembangan masyarakat, yang Plastis atau fleksibel, kelenturan hukum adat sesuai kebutuhan dan kemauan masyarakat. Sunaryati Hartono, menyatakan: Dengan perspektif perbandingan, maka ketiga ciri dapat ditemukan dalam hukum yang berlaku dalam masyarakat agraris atau pra industri, tidak hanya di Asia tetapi juga di Eropa dan Amerika. Surnarjati Hartono sesungguhnya hendak mengatakan bahwa hukum adat bukan khas Indonesia, namun dapat ditemukan juga di berbagai masyarakat lain yang masih bersifat pra industri di luar Indonesia.

Corak Hukum AdatPage | 9

Soepomo mengatakan: Corak atau pola pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah: 1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya menusia menurut hukum adat, merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat; 2. 3. Mempunyai corak magisch religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia; Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkrit. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup; dan 4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak). Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat: 1. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud; 2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh; 3. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok. Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama; dan 4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat. Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:

Page | 10

1. 2.

Tradisional, artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan. Keagamaan (Magis-religeius), artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yanag gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.

Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Wujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau).

4.

Kongkrit atau Visual, artinya jelas, nyata berwujud. Visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, terang dan tunai. Contoh ijab kabul, jual beli serah terima bersamaan (samenval van momentum).

5. 6. 7. 8.

Terbuka dan sederhana. Dapat berubah dan menyesuaikan. Tidak dikodifikasi. Musyawarah dan mufakat. Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan

masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern. Kedudukan Kasepekang dalam Hukum Adat sudah terlihat jelas dari penjabaran diatas yaitu Kasepekang merupakan bagian dari sanksi adat yang timbul dari diberlakukannya hukum adat di dalam pergaulan masyarakat. Hukum adat mengikat masyarakat dengan sanksi bila dilanggar dan Kasepekang menjadi satu contoh sanksi adat terlepas dari sanksi-sanksi adat yang lain. Kasepekang adalah kasus kasepekang alias pengucilan dari desa adat adalah sebuah tragedi, dan ini hanya ada di Bali. Kasepekang tidak menyangkut badan, karena tidak ada penahanan. Juga tidak menyangkut rumah karena bisa keluar rumah sebebas-bebasnya. Kasepekang itu adalah yang bersangkutan dikeluarkan dari desa adat, atau bagi desa adat yang lebih lunak, dinonaktifkan dari desa adat sampai sang terhukum membayar denda adat. Bagi desa yang tergolong keras, krama desa adat dilarang berbicara kepada orang yang sedang kasepekang. Bahkan yang kasepekang dilarang ke pura untuk bersembahyang. Menurut ajaran agama hindu sanksi yang diberikan pada kasusPage | 11

kasepekang sangat menyimpang. Kasepekang pada prinsipnya adalah sanksi yang memiliki dimensi sosial di mana suatu keluarga atau kelompok akan terkucilkan pada pergaulan pada komunitas krama banjar atau desa. Realitas ini sangat jauh atau tidak tersentuh oleh hukum positif yang berlaku. Pada kasus Kedungu yang dikatakan penyebabnya adalah menyangkut pencemaran suatu tempat maka banjar tersebut merasa benar memberi sanksi kepada warganya dengan dikeluarkan dari banjar tersebut. Masalah ini memerlukan peradilan khusus, semacam peradilan agama, sementara pada Hindu belum ada. Kasepekang adalah sanksi sosial yang amat emosional dan sangat berat. Dalam konteks pelanggaran HAM inilah sempat ada forum/ semiloka yang membahas apakah sanksi kasepekang ini sebaiknya dihapuskan saja atau ditinjau ulang keberadaannya dan berharap penerapan hukum adat sefleksibel mungkin sesuai kebutuhan masyarakat. Walaupun Kasepekang ini terkesan perihal yang tidak manusiawi dan mengundang tanggapan berbagai kalangan tak hanya dari regional Bali sendiri tapi juga secara Nasional dan Internasional terbukti topik ini pernah menjadi tajuk di website New York Times dengan judul Left Out in the Cold by Revival of Old Rules,11 tetapi beberapa pengamat memandang sanksi ini masih patut dipertahankan sebagai upaya untuk tetap menjaga kekuatan hukum adat Bali.

4. Wilayah hukum adat di Indonesia Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. 2. 3. Hukum Adat mengenai tata Negara. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana). Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).

11

Aubrey Belford, 2010, Left Out in the Cold by Revival of Old Rules, (Cited 2010 oct. 13), available from : URL : http://www.nytimes.com/2010/10/13/world/asia/13iht-bali.html? pagewanted=1&_r=1

Page | 12

Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini. Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 22 lingkungan adat berikut:1.

Aceh Nias dan sekitarnya Mentawai

2. Gayo dan Batak 3.

4. Minangkabau 5.

6. Sumatra Selatan 7. Enggano 8. Melayu 9. Bangka dan Belitung 10. Kalimantan (Dayak) 11. Sangihe-Talaud 12. Gorontalo 13. Toraja 14. Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar) 15. Maluku Utara 16. Maluku Ambon 17. Maluku Tenggara 18. Papua 19. Nusa Tenggara dan Timor 20. Bali dan Lombok 21. Jawa dan Madura (Jawa Pesisiran) 22. Jawa Mataraman

BAB III PENUTUPAN 1. Kesimpulan

Page | 13

1. Kasepekang adalah Kasepekang adalah istilah hukum adat di pulau Bali untuk

mereka yang dikeluarkan atau dikucilkan dari desa adat berdasarkan awig awig/ hukum adat yang berlaku di daerah itu sampai yang bersangkutan membayar kewajiban denda adat.2. Ada empat faktor penyebab munculnya konflik adat yaitu: faktor pelanggaran

adat, faktor ekonomi, faktor politik, dan faktor perbedaan persepsi mengenai status kasta. Serta dampak langsung yang terasa yaitu: terkucilkan atau terisolir dari pergaulan masyarakat, tidak mendapat pelayanan kependudukan seperti perpanjangan KTP, KK, Akta Kelahiran dan lain-lain, tidak mendapat pelayanan kesehatan, diusir dari tanah kelahiran, penyitaan rumah dan aset milik lainnya, tidak boleh menggunakan pura/ tempat ibadah dan lebih parahnya lagi korban kasepekang dirampas haknya untuk melakukan penguburan keluarga yang meninggal di tanah desa.3. Sanksi yang diberikan pada kasus kasepekang sangat menyimpang dari ajaran

agama hindu serta sifat dan corak hukum adat. 2. Saran Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai pengayom kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, hendaknya mencermati kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. Pencermatan dilakukan dalam kerangka mensinergikan dan menyelaraskan kearifan lokal dimaksud sehingga tidak bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku

DAFTAR PUSTAKADrs. I Nengah Lestawi, 1999, Hukum Adat, Penerbit Paramita, Surabaya. Indra Nolind, 2011, UUD RI 1945 sebelum dan setelah Amandemen, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Tanah Air, Bandung.

Page | 14

Tolib Setiady, S.H., M.Pd., M.H., 2009, Intisari Hukum Adat Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Alfabeta, Bandung. I Ketut Artadi, SH., 1981, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya, Cetakan Pertama, Penerbit CV Sumber Mas, Bali. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti, S.H., MS, 2010, Desa Adat Menggugat dan Digugat, Penerbit Udayana University Press, Bali. Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS, 2088, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Penerbit Udayana University Press, Bali

Page | 15