hubungan uu no. 4 tahun 2009 dan uu tentang lingkungan hidup, kehutanan dan agraria

25
HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA TUGAS KEBIJAKAN TAMBANG Dibuat sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Tambang Pada Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya Oleh Rand Sausan Muthia Sari (03021181320023)

Upload: muthiaasusan

Post on 14-Jul-2016

151 views

Category:

Documents


89 download

DESCRIPTION

Hubungan UU No. 4 Tahun 2009 dengan UU tentang lingkungan hidup kehutanan dan agraria

TRANSCRIPT

Page 1: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

TUGAS KEBIJAKAN TAMBANG

Dibuat sebagai Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebijakan Tambang Pada Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya

Oleh

Rand Sausan Muthia Sari(03021181320023)

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS TEKNIK

2015

Page 2: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG LINGKUNGAN HIDUP

Undang-undang pertambangan yang berlaku saat ini adalah Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2009. Undang-undang tersebut mengatur tentang Pertambangan di

bidang mineral dan batubara. Sedangkan untuk dibidang pertambangan lainnya diatur

dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi. Pengertian

pertambangan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 adalah

sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi

kelayakan, konstruksi, penambangan, pengelolaan dan pemurnian, pengangkutan dan

penjualan, serta kegiatan pascatambang. Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan

kegiatan pertambangan umum yang 30 tahun lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pada saat itulah kemudian korporasi-korporasi baru dan muda, dapat dengan mudah

masuk ke dalam aktivitas pertambangan nasional.

Usaha pertambangan di Indonesia cukup menjanjikan, mengingat wilayah Indonesia

yang strategis dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Di dalam Undang-

Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dijabarkan

bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka

penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan

dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.

Di dalam Undang-undang pertambangan, jenis pertambangan yang diatur yaitu

pertambangan mineral dan batubara. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di

alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau

gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan

mineral. Batubara adalah adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk

secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Hubungan Hukum Pertambangan Dengan Hukum Lingkungan Hidup

Pertambangan wajib memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup, sehingga wajib:

Page 3: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

a. Memiliki AMDAL, analisis; Iklim dan kulitas udara, fisiologi dan geologi, hidrologi

dan kualitas air, ruang, lahan dan tanah, flora dan fauna, sosial (demografi, ekonomi,

sosial budaya dan kesehatan masyarakat).

b. Melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

c. Melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

Hukum pertambangan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum

lingkungan karena setiap usaha pertambangan, apakah itu berkaitan dengan

pertambangan umum maupun pertambangan minyak dan gas bumi diwajibkan untuk

memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Hal ini

lazim disebut dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup, dinyatakan di dalam

pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi :

“Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara

kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup”.

Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap perusahaan yang

bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, khususnya dibidang pertambangan diwajibkan

untuk melakukan hal-hal berikut:

a. Perusahaan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup/AMDAL

(Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) jo (Pasal 1 ayat (25) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara) Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan, yang selanjutnya disebut amdal adalah kajian mengenai dampak besar

dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan

hidup yang diperlukan bagi proses pengambila keputusan tentang penyelenggaraan

usaha dan/atau kegiatan.

b. Perusahaan wajib melakukan Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, serta

Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Pasal 58 dan 59 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).

Di samping itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan pertambangan:

Page 4: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

a. Berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan

pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67) dan melakukan usaha

dan/atau kegiatan berkewajiban (Pasal 68):

Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan

Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup.

b. Dilarang (Pasal 69 Ayat (1)) :

Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup;

Memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Membuang limbah ke media lingkungan hidup;

Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

Melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal; dan/atau

Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak

informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan

sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. (Pasal 69 ayat (2) )

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Kegiatan usaha pertambangan mempunyai dua sisi dimensi yaitu dampak positif

dan dilain sisi adalah dampak negatifnya, satu diantaranya yaitu dampak buruk terhadap

lingkungan hidup. Dampak-dampak negatif dari hasil kegiatan usaha pertambangan

Page 5: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

tersebut adalah menjadikan tanah tidak subur dan sulit dan/atau tidak bisa ditanami yang

berefek pada mudah terjadi longsor dan banjir dan yang menjadi korban dan mengalami

kerugian tidak alain dan tidak bukan adalah masyarakat.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang pertambangan

dalam hubungannya dengan bidang lingkungan hidup yang dimana kegiatan usaha

pertambangan rentan terhadap kerusakan lingkungan hidup. Di dalam Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal

1 angka 32 menyatakan bahwa:

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan

hukum maupun yang tidak berbadan hukum”

Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban pidana, menurut undang-undang

lingkungan hidup yang dapat dikatakan pelaku maupun yang bertanggung jawab atas

perbuatannya adalah setiap orang baik orang-perorangan atau badan usaha. Badan

usaha yang dimaksud adalah yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Korporasi atau badan usaha yang melakukan pidana lingkungan tersebut diatur di

dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2), Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, serta Pasal 120 ayat (1) dan

(2) yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 116

1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan

usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau

orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan

lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan

terhadap pemberiperintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa

memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 117

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang

dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Page 6: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

Pasal 118

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a,

sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang

berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Pasal 119

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan

usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 120

1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a,

huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang

bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk

melaksanakan eksekusi.

2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e,

Pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi

penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap.

Bila melihat dari undang-undang tentang lingkungan hidup ini, maka

pertanggungjawaban pidana korporasi dinyatakan bahwa, tindak pidana lingkungan

hidup yang dilakukan oleh, untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan

sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha; dan/atau orang yang memberi perintah

untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin

kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Jika dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan

hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana

dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut

Page 7: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-

sama. Dan jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin

tindak pidana, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda

diperberat dengan sepertiga.

Terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh, untuk atau atas

nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha,

sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang

berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

UNDANG–UNDANG NO.23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN

Undang-undang No. 23 tahun 2007 secara umum memerintahkan agar lingkungan

hidup dikelola dalam rangka pembangunan dengan serasi, seimbang, berwawasan lingkungan

dan berkelanjutan dimana setiap orang memeiliki hak yang sama untuk dapat mengelola

namun diatur sepenuhnya oleh pemerintah. Secara rinci penjelasannya adalah sebagai

berikut:

1. Dalam Pasal 3 diterangkan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup yang

diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas

manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan

pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sasaran seperti dijabarkan pada pasal 4 diantaranya :

a. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan

lingkungan hidup;

b. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;

c. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

2. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dikatakan bahwa sumber daya alam yang

dikuasai oleh negara akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

(pasal 8) yang kemudian diatur hak, kewajiban dan peran masyarakat seperti yang

tertuang pada pasal 5, 6 dan pasal 7 dimana Setiap orang mempunyai hak untuk

berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Page 8: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

3. Tugas Pemerintah dijelaskan pada pasal pada pasal 8 diantaranya :

a. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan

lingkungan hidup;

b. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup,

dan pemanfaatan kembali sumber daya alam;

c. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek

hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber

daya buatan.

4. Perihal pelestarian fungsi lingkungan hidup dijabarkan pada pasal 14 sampai dengan

17 diantaranya :

a. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan

dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis

mengenai dampak lingkungan hidup;

b. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan

limbah hasil usaha dan/atau kegiatan;

c. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan

bahan berbahaya dan beracun.

Page 9: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG KEHUTANAN

Hubungan antara hukum pertambangan dan hukum kehutanan

UNDANG–UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN PERPU NO.

1 TAHUN 2004 MENINJAU MASALAH PERTAMBANGAN

Dalam UU No.41 Tahun 1999, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem

berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan

(Pasal 1).

Hutan dapat dikategorikan sebagai :

1. hutan berdasarkan statusnya, meliputi hutan negara dan hutan hak,

2. hutan berdasarkan fungsinya, meliputi hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan

produksi.

Beberapa hal yang diatur yang terkait dengan kegiatan pertambangan, adalah sebagai

berikut :

1) Definisi pengelolaan hutan dijelaskan pada pasal 21 meliputi :

a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;

b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan;

Hutan Suaka AlamHutan Pelestarian

AlamTaman Buru

penelitian dan pengembanganpendidikan dan latihanreligi dan

budaya

Page 10: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan;

d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.

2) Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi

kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

kelestariannya (pasal 23), yang dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali

pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional (pasal 24).

3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan

kehutanan diatur pada pasal 38 sebagai berikut :

a. Hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan

lindung yang dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Pada

kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola

pertambangan terbuka.

b. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui

pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan

luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Untuk kegiatan yang

berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh

Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4) Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

selanjutnya diatur bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di

kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau

perjanjian dimaksud.

Sanksi terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi

IPPKH

a. Sanksi Pidana

Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa

dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)

sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan

b. Sanksi Administratif

Tunduk terhadap ketentuan kewajiban pemenuhan IPPKH dalam kegiatan

pertambangan di dalam kawasan hutan, maka sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin

Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat

Page 11: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya

karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan

dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan

Hutan merupakan ekosistem alami tempat senyawa-senyawa organik mengalami

pembusukan dan penimbunan secara alami. Setelah cukup lama, materi-materi organik

tersebut membusuk, akhirnya tertimbun karena terdesak lapisan materi organik baru. Itu

sebabnya hutan merupakan tempat yang sangat mungkin mengandung banyak bahan mineral

organik, yang potensial untuk dijadikan sebagai bahan tambang. Saat ini pertambangan sering

dilakukan di daerah terpencil, bahkan di kawasan hutan lindung.

Pada dasarnya, dengan atau tanpa pemberlakuan UU No.41 Tahun 1999,

pertambangan akan selalu bersinggungan dengan kawasan kehutanan. UU No.41 Tahun 1999

menimbulkan ruang gerak sektor pertambangan semakin terbatas khususnya dalam hal

pertambangan di hutan lindung. Karena itu, perlu dirumuskan langkah-langkah yang

menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution), yang artinya menguntungkan sektor

pertambangan sekaligus tidak merugikan kawasan hutan.

PERPU NO. 1 TAHUN 2004

Untuk mengakomodasikan perizinan atau perjanjian usaha pertambangan yang

telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, maka Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 dipandang perlu diubah sebagaimana Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 yang ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang menambah ketentuan :

Pasal 83A:

“Semua perizinan atau perjanjian dibidang pertambangan di kawsan hutan yang telah ada

sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dinyatakan tetap berlaku

sampai akhirnya izin atau perjanjian yang dimaksud”

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, maka berdasarkan

Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 menetapkan bahwa 13 (tiga belas) perijinan

atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ditandatangani sebelum berlakunya

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dapat melanjutkan kegiatannya sampai

berakhirnya perijinan atau perjanjiannya dalam kawasan hutan lindung secara terbuka.

Page 12: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

UNDANG–UNDANG NO. 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI HAYATI

Dengan lahirnya undang-undang No. 5 Tahun 1990 dan Undang-undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, aktifitas yang berkaitan dengan pertambangan umum dan

migas menghadapi beberapa kendala baik bagi investor yang telah melaksanakan operasinya

maupun bagi calon investor yang akan bermaksud mencari deposit mineral di Indonesia.

Undang-undang ini lahir pada tanggal 10 Agustus 1990, setelah ada kesadaran

perlunya melindungi ekosistem dan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa yang berguna

bagi pelestarian alam. Kesadaran tersebut setelah 23 (dua puluh tiga) tahun lahirnya Undang-

undang No. 5 Tahun 1967. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 atau disebut Undang-undang

Konservasi Hayati prinsipnya mengatur 2 perlindungan yaitu :

1. Perlindungan kawasan yang meliputi Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari :

a. Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa

b. Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan

Taman Hutan Raya.

2. Perlindungan jenis yang meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak

dilindungi.

Perlindungan kawasan pada hakekatnya adalah melindungi kawasan beserta unsur

hidupan di atasnya sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan

pelestarian plasma nutfah agar tetap utuh. Sehingga kegiatan yang ada di dalamkawasan

hanya di perbolehkan untuk kegiatan tertentu yaitu antara lain penelitian dan pengembangan

yang menunjang fungsikawasan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam

(kecuali di cagar alam tidak diperkenankan kegiatan wisata alam). Sedangkan kegiatan lain di

luar hal-hal tersebut diatas dilarang termasuk kegiatan pertambangan. Keutuhan ekosistem

merupakan halyang sangat penting dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi. Dengan

berlakunya UndangUndang No. 5 Tahun 1990 berarti Surat Keputusan Bersama Menteri

Pertambangan dan Energi dengan Menteri Kehutanan khusus yang mengatur kawasan cagar

alam, suaka marga satwa, taman buru batal demi hukum. Dengan kata lain surat Keputusan

Bersama tersebut hanya berlaku untuk kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.

Page 13: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG AGRARIA

Terkait dengan pemanfaatan tanah

Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan

terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.Di

dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.

UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merumuskan makna

“hak menguasai negara” sebagai wewenang untuk :

a. mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang agkasa

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.

Di dalam UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) telah disebutkan bahwa pelaksanaan

penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat

dikuasakan kepada daerah. Walaupun ketentuan ini memungkinkan daerah turut serta

menyelenggarakan hak menguasai oleh Negara atas bumi, air dan kekayaan alam di

dalamnya, tetapi tidak cukup jelas terutama mengenai makna “dikuasakan”. Makna

Page 14: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

dikuasakan itu dalam arti diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah atau sebagai tugas

pembantuan atau sebagai tugas dekonsentrasi.

Hal ini baru nampak jelas dalam UU No.11 Tahun 1967 (Ketentuan Ketentuan Pokok

Pertambangan/UUPP – yang telah diganti dengan UU No.4 tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara). Dalam undang-undang ini disebutkan :

a. Terhadap bahan galian golongan c pelaksanaan, penguasaan Negara dan

pengaturannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I;

b. Terhadap bahan galian golongan b dapat diserahkan kepada Pemerintah Daerah

Tingkat I.

Ketentuan di atas menunjukkan :

1) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan c sepenuhnya

diserahkan kepada daerah (dalam hal ini Daerah Tingkat I);

2) Pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian golongan b dapat

dilakukan pusat atau daerah. Wewenang daerah tergantung pada kebijakan pusat.

Keadaan setelah ada UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU

No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan

Pemerintahan Daerah menjadi menarik. Sejak berlakunya undang-undang tersebut,

pemberian otonomi kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota “secara luas” (penjelasan

umum UU No.32 Tahun 2004) telah dipersepsikan secara keliru bahwa semua kewenangan

pertambangan secara otomatis menjadi kewenangan pemerintah daerah.

Dalam konteks otonomi daerah, tidak serta merta kewenangan dan urusan

pertambangan dapat diserahkan seluruhnya kepada pemerintah daerah secara otomatis.

Tugas-tugas pengelolaan di bidang pertambangan bukanlah tugas yang bersifat kedaerahan,

sehingga tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Urusan yang dapat diserahkan

kepada daerah adalah urusan yang bersifat lokal, artinya mempunyai nilai yang bersifat

kedaerahan, sesuai dengan kondisi daerah dan tidak menyangkut kepentingan nasional.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Batubara

atau (UU Minerba) dan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebenarnya lex

specialis dari UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Sebagai undang-undang induk, UUPA seakan kehilangan roh hubungan antara pertambangan

dan penataan ruang dan seakan tidak terkait. Memaknai esensi pertambangan dan penataaan

ruang dalam kontruksi UUPA, akan dapat menata dan memahami pengaturan dan kebijakan

pertambangan. Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) serta

Page 15: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

Pasal 2 ayat (1) UUPA menempatkan hak menguasai negara sebagai dasar dan asal dari hak-

hak keagrariaan. Dari kekuasaan negara ini kemudian dikeluarkan kekuasaan-kekuasaan

dalam ukuran yang lebih kecil, yang dalam bentuk, isi, dan sifatnya beraneka ragam. Fungsi

individualistis dari kekuasaan negara artinya fungsi untuk membuat anggota masyarakat

dalam perseorangannya menjadi berada di dalam kemungkinan keadaan sejahtera.

UUPA, sebagai dasar hak penguasaan negara atas bumi, air dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk pertambangan batubara.

Pengelolaan pertambangan tidak lepas dari tanah, dalam implementasi asas perlekatan,

pemilik tanah pada negara menggunakan haknya atas ruang bawah tanah berupa penguasaan

mineral deposit tambang batubara. Dalam hal ini sebatas benda-benda mineral yang bersifat

padat (hard mineral). Wewenang menguasai dalam konsep hak menguasai negara digunakan

untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah dan masyarakat hukum adat. Negara tidak memiliki, melainkan bertindak

selaku pemegang kekuasaan. Jadi bersifat publik atau pemerintah berlaku (berstuursdaat).

Dasar tujuan dikonsep dikuasai negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maupun UUPA

ditegaskan bahwa hak menguasai oleh negara adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

a. Berdasarkan tujuan disebut, ada beberapa larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu:

Apabila dengan iktikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat,

maka pernyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah

tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus

mendapat hak didahulukan dari pada accupant baru yang menyalagunakan formalitas-

formalitas hukum yang berlaku;

b. Tanah yang dikuasai negara, tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan iktikat baik (ter

geode throuw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata untuk

kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan/atau kepentingan negara. c.

Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan kongkrit yang

diduduki atau dimanfaatkan dengan iktikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan

status atau kualitas mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut.

Dalam memori penjelasan II/8 UUPA, bahwa tanah untuk persediaan, peruntukan,

dan penggunaannya harus melalui suatu perencanaan. Perencanaan ini dapat ditafsirkan,

bahwa UUPA, dalam penggunaan kawasaan pertambangan, harus ada perencanaan dalam

RTRW suatu propinsi/kabupaten/kota dalam suatu proses pembangunan. Peruntukan itu

dalam rangka tata ruang pengelolaan pertambangan, yang berhubungan dangan

Page 16: HUBUNGAN UU NO. 4 TAHUN 2009 DAN UU TENTANG  LINGKUNGAN HIDUP, KEHUTANAN DAN AGRARIA

pengembangan wilayah suatu daerah propinsi/kabupaten//kota dalam pembangunan yang

akan dilakukan. Hubungan Pertambangan dengan Penataaan Ruang. Dasar hukum penataan

kota mengacu pada dasar hukum penataan ruang antara lain diatur dalam Pasal 14 ayat (1)

UUPA, yang dalam peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, salah satunya pertambangan. Penatagunaan tanah ini

diwujudkan dalam suatu rencana tata ruang. Penataan ruang di atur dalam UU Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam tindakan penataan ruang sesuai dengan rencana

tata ruang akan menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan hak atas tanah. Ruang

sebagai satu sumber daya alam tidak mengenal batas wilayah. Namun ruang dikaitkan dengan

pengaturan, maka harus jelas batas, fungsi dan sistemnya dalam satu kesatuan. Aspek

pertanahan dan penataan ruang, mempunyai hubungan penting, karena tanah sebagai salah

satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, proses dan penggunannya, ini

sesuai dengan yang dikemukakan Firey, “Tanah dapat menunjukan pengaruh budaya yang

besar dalam adaptasi ruang, dan selanjutnya dikatakan ruang dapat merupakan lambang bagi

nilai-nilai sosial (misalnya penduduk sering memberi nilai sejarah yang besar kepada

sebidang tanah). Dalam Pasal 18 UUPA, bahwa hak atas tanah adalah hak dan kewajiban,

kewenangan-kewenangan dan manfaat dalam menggunakan tanah yang dengan sendirinya

meliputi fisik tanah dan lingkungannya serta ruang diatasnya. Penataaan ruang dan tata guna

tanah, dalam Pasal 16 UUPA, mewajibkan pemerintah untuk menyusun rancangan umum

mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah untuk berbagai macam keperluan

pembangunan. Dalam penataaan ruang terkait pengelolaan pertambangan, mengacu pada

rencana umum peruntukan tanah, didasarkan pada kondisi obyektif fisik tanah dan keadaan

lingkungan, baik di tingkat propinsi, dan kabupaten/kota harus memiliki kesamaan. Berdasar

Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Perpres No.36 Tahun 2005 tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, hal ini dalam

pelaksanaan penetapan rencana pembangunan kepada kepentingan umum, sesuai dengan dan

berdasarkan kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan lebih dahulu,

termasuk dalam penetapan kawasan wilayah pengelolaan pertambangan.