hubungan pola makan dan persepsi orang tua...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN POLA MAKAN DAN PERSEPSI ORANG
TUA DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA ANAK
USIA 8 - 13 TAHUN DI SD BUDI MULIA DUA
SETURAN YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun oleh:
Roviana Nurda Agustin
1610104471
PROGRAM STUDI BIDAN PENDIDIK JENJANG DIPLOMA IV
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2017
HALAMAN PENGESAHAN
HUBUNGAN POLA MAKAN DAN PERSEPSI ORANG
TUA DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA ANAK
USIA 8 - 13 TAHUN DI SD BUDI MULIA DUA
SETURAN YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun oleh:
Roviana Nurda Agustin
1610104471
Telah Memenuhi Persyaratan dan Disetujui Untuk Dipublikasikan Pada
Program Studi DIV Bidan Pendidik
Fakultas Ilmu Kesehatan
di Universitas „Aisyiyah
Yogyakarta
Oleh:
Pembimbing : Indriani, S.KM., M.Sc
Tanggal : ………………………
Tanda Tangan : ………………………
HUBUNGAN POLA MAKAN DAN PERSEPSI ORANG
TUA DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA ANAK
USIA 8 - 13 TAHUN DI SD BUDI MULIA DUA
SETURAN YOGYAKARTA
Roviana Nurda Agustin, Indriani
Latar Belakang: Obesitas pada anak merupakan permasalahan global yang
jumlahnya meningkat setiap tahun. Persentase kegemukan pada anak umur 6–11 tahun
di Amerika sekitar 15%. Di Indonesia tahun 2013 pada umur 5-12 tahun sebesar
18,8% (gemuk 10,8% dan obesitas 8,8%). Obesitas anak di SD Budi Mulia Dua
Seturan Yogyakarta meningkat dari tahun 2014 berjumlah 87 siswa menjadi 118
siswa pada tahun 2015 dan mengalami peningkatan menjadi 125 siswa pada tahun
2017. Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku
makan, aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup. Obesitas pada anak apabila tidak
dilakukan intervensi akan berdampak di masa dewasa mengalami obesitas, mengalami
kesulitan bernapas, peningkatan risiko patah tulang, hipertensi, penanda awal penyakit
kardiovaskular, resistensi insulin dan efek psikologis.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan dan
persepsi orangtua dengan kejadian obesitas pada anak usia 8-13 tahun di SD Budi
Mulia Dua Seturan Yogyakarta tahun 2017.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan desain penelitian descriptive
correlation dengan pendekatan waktu cross sectional, metode pengambilan sampel
menggunakan teknik total sampling, subjek penelitian terdapat 504 responden terdiri
dari 252 siswa dan 252 orangtua, teknik analisa data menggunakan Chi Square.
Hasil penelitian: Responden dengan status gizi overweight terdapat 42 siswa
(16,67%) dan obesitas sebanyak 62 siswa (24,60%). Pola makan beresiko terdapat 116
siswa (46,03%) dan tidak beresiko sejumlah 136 siswa (53,97%). Persepsi negatif
tentang obesitas sebanyak 245 responden (97,22%).
Simpulan dan saran: Ada hubungan yang bermakna antara pola makan (p<0,05)
dan persepsi orangtua (p<0,05) dengan kejadian obesitas pada anak usia 8-13 tahun di
SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta. Diharapkan sekolah sebagai pusat
pendidikan dasar menjadi salah satu tempat memberikan pendidikan gizi anak,
melakukan pemantauan status gizi, penyediaan makan memperhatikan gizi seimbang,
porsi dan jenis sesuai umur anak dan bekerja sama secara lintas sektoral baik dengan
instansi pendidikan, puskesmas serta orangtua untuk penanggulangan obesitas.
LATAR BELAKANG
Kegemukan dan obesitas
didefinisikan sebagai akumulasi lemak
abnormal atau berlebihan yang dapat
mengganggu kesehatan (WHO, 2016).
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat
asupan energi lebih tinggi daripada energi
yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi
disebabkan oleh konsumsi makanan
sumber energi dan lemak tinggi,
sedangkan pengeluaran energi
yang rendah disebabkan karena
kurangnya aktivitas fisik dan sedentary
life style (Kemenkes RI, 2012).
Pada tahun 2014, lebih dari 1,9
miliar orang dewasa berusia 18 tahun
keatas kelebihan berat badan dan 13%
dari populasi ini mengalami obesitas.
Prevalensi di seluruh dunia obesitas lebih
dari dua kali lipat antara tahun 1980 dan
2014. Penelitian di tujuh negara Eropa,
yaitu Italia, Jerman, Belanda, Rumania,
Bulgaria, Lithuania, and Turki
menunjukkan bahwa dari 5.206 anak
sekolah umur 6–11 tahun 15,6%
kegemukan dan 4,9% obesitas Persentase
kegemukan pada anak umur 6–11 tahun
di Amerika sekitar 15% (Beatriz,2015).
Di Afrika, jumlah anak dengan kelebihan
berat badan atau obesitas hampir dua kali
lipat dari 5,4 juta di 1990 menjadi 10,6
juta pada tahun 2014 (WHO, 2016).
Prevalensi anak gemuk di Indonesia
pada tahun 2013 pada usia 5-12 tahun
sebesar 18,8% (gemuk 10,8% dan
obesitas 8,8%) (Riskesdas, 2013). Pada
tahun 2014 di Kota Yogyakarta
menunjukkan bahwa data balita gemuk
sebesar 8,98%. (Dinkes, 2015).
Kegemukan dan obesitas disebab-
kan oleh beberapa faktor. Faktor utama
yaitu faktor lingkungan terjadi melalui
ketidakseimbangan antara pola makan,
perilaku makan, aktivitas fisik dan
perubahan gaya hidup(Kemenkes, 2012).
Obesitas pada anak berisiko
mengalami obesitas di masa dewasa (30-
60%). Anak obesitas berisiko mengalami
kesulitan bernapas, peningkatan risiko
patah tulang, hipertensi, penanda awal
penyakit kardiovaskular, resistensi
insulin dan efek psikologis (WHO,
2016). Obesitas menyebabkan
kemampuan motorik pada anak
terganggu dalam melakukan aktivitas.
Anak dan remaja yang obesitas mendapat
stereotipe yang negatif dari orang lain
yang berdampak pada kesehatan
(Nirwana, 2011).
Pola makan yang merupakan
pencetus kegemukan dan obesitas adalah
mengkonsumsi makanan porsi besar
(melebihi dari kebutuhan), makanan
tinggi energi, tinggi lemak, tinggi
karbohidrat sederhana dan rendah serat.
Perilaku makan yang salah diantaranya
adalah memilih makanan berupa junk
food, makanan dalam kemasan dan
minuman ringan (softdrink). Kurangnya
aktivitas merupakan faktor penyebab
kegemukan dan obesitas pada anak
sekolah. Kemajuan teknologi berupa alat
elektronik seperti video games,
playstation, televisi, computer, laptop,
tablet PC, handphone menyebabkan anak
malas melakukan aktifitas fisik
(Kemenkes, 2012).
Perilaku seseorang dipengaruhi
oleh persepsi orang tersebut, apabila
persepsi orang tersebut baik maka
perilaku mengikuti baik. Pandangan
orang tua merasa bangga memiliki anak
berbadan gemuk, beranggapan bahwa
anak yang gemuk itu lucu, menggemas-
kan, dan sehat. Di kalangan masyarakat
umum, masih ditemukan anggapan
bahwa badan gemuk pada anak
menunjukkan keberhasilan orang tua
dalam merawatnya (Damayanti, 2008).
Pandangan lain masyarakat
mengenai kejadian obesitas yaitu apabila
anak banyak makan nasi maka sehat,
selain itu gencarnya promosi makanan
dan minuman instan menjadi trend
pengeluaran pangan rumah tangga
(Aswatini, 2008).
Upaya penanggulangan yang telah
dilakukan oleh Amerika untuk
mengurangi kejadian obesitas salah
satunya adalah American Dietetic
Association (ADA) telah menyarankan
rencana aksi untuk mencegah obesitas
berfokus pada faktor lingkungan yaitu
“Viva Veggies”. Program ini bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan anak-
anak sekolah dasar di Canyon pada
sayuran (Koplan, 2005).
Pemerintah Indonesia melalui
program 13 pesan dasar gizi seimbang
yang terdapat dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 2014 Tentang Pedoman Gizi
Seimbang. Prinsip Gizi Seimbang terdiri
dari 4 (empat) Pilar untuk
menyeimbangkan antara zat gizi yang
keluar dan zat gizi yang masuk dengan
memantau berat badan secara teratur.
Pemerintah RI menyusun Rencana
Aksi Nasional Gerakan Nusantara Tekan
Angka Obesitas (RAN GENTAS) dengan
program diet sehat, aktivitas fisik serta
gaya hidup sehat sehat. Selain itu,
berbagai peraturan diperkuat, termasuk
isu food labeling serta pengaturan
konsumsi jumlah gula, garam dan lemak
(Depkes, 2015).
Pemecahan masalah obesitas
berawal dari dua pihak, yaitu pihak
sekolah dan keluarga.Upaya dari pihak
sekolah hendaknya mensosialisasikan
gaya hidup sehat dan aktif dengan
membuat kebijakan-kebijakan yang
mendukung. Upaya dari pihak keluarga
hendaknya memberikan akses/pilihan
makanan dan minuman yang sehat untuk
dikonsumsi, dukungan memulai gaya
hidup sehat, memberikan akses pada anak
untuk mengikuti klub olahraga, menjadi
teladan/role model dalam gaya hidup
sehat (CDC, 2012).
Berdasarkan studi pendahuluan
melalui data sekunder, pada tahun 2014
jumlah anak obesitas sebanyak 87 siswa.
Pada tahun 2015 mengalami peningkatan
menjadi 118 siswa. Pada tahun 2017,
setelah dilakukan pengukuran
antropometri didapatkan kenaikan jumlah
obesitas menjadi 125 siswa. Dari hasil
wawancara dengan 11 wali murid,
beberapa memiliki persepsi anak yang
gemuk itu sehat, anak yang gemuk itu
sehat dan gizinya cukup dan anak yang
gemuk itu belum tentu sehat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain
penelitian descriptive correlation dengan
pendekatan waktu cross sectional.
Populasi sebanyak 352 siswa,
pengambilan sampel menggunakan
kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan
sejumlah 252 siswa dan 252 orangtua.
Analisa statistik dengan SPSS 17
menggunakan chi square. Antopometri
data tinggi dan berat badan didapatkan
dari data sekunder dan ditentukan status
gizi dengan cara melakukan pengukuran
berat badan dan tinggi badan, kemudian
menghitung indeks massa tubuh (IMT)
berdasarkan indikator IMT/U pada
standar antopometri Kemenkes tahun
2007 dengan kategori gemuk >1 SD
sampai dengan 2 SD dan obesitas >2 SD.
Data primer dengan menggunakan
kuesioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Univariat
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Status Obesitas
di SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta
Status Obesitas F %
Normal 148 58,73
Overweight
Obesitas
42
62
16,67
24,60
Total 252 100
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 4.1 diatas,
mayoritas status gizi normal yaitu 148
siswa (58,73%), overweight ada 42
siswa (16,67%) dan obesitas sebanyak
62 siswa (24,60%). Dari data tersebut,
jumlah obesitas tergolong tinggi.
Jumlah anak obesitas di SD Budi Mulia
Dua Seturan Yogyakarta mengalami
peningkatan setiap tahun. Pada tahun
2014 sebanyak 87 siswa, pada tahun
2015 menjadi 118 siswa dan pada tahun
2017 meningkat menjadi 125 siswa.
Persentase secara global anak usia
5-17 tahun menurut Organisasi
Kesehatan Dunia dan IOTF jumlah
kegemukan dan obesitas pada laki-laki
14,0 % dan perempuan 12,1 %. Di
Amerika terdapat 15% anak obesitas
(Lobstein T, 2015). Di Indonesia tahun
2013 pada usia 5-12 tahun sebesar
18,8% (gemuk 10,8% dan obesitas
8,8%) (Riskesdas, 2013).
Pemantauan status gizi dapat
dilakukan oleh pihak sekolah dan
tenaga kesehatan, khususnya bidan
yang merupakan tenaga kesehatan
yang memiliki kewenangan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1464/Menkes/Per/X/2010 tentang Izin
dan Penyelenggaran Praktik Bidan
bahwa bidan memiliki kewenangan
normal dalam pelayanan kesehatan anak
dan kewenangan dalam menjalankan
program pemerintah yaitu melakukan
pemantauan tumbuh kembang bayi,
anak balita, anak pra sekolah dan anak
sekolah.
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden di SD Budi
Mulia Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017 Karakteristik Responden F %
Jenis Kelamin a. Laki-Laki
b. Perempuan
111
141
44,05
55,95
Usia
a. 8-9 tahun
b. 10-11 tahun
c. 12-13 tahun
106
130
16
42,06
51,59
6,35
Asal a. Sleman
b. Kulon Progo
c. Kota Yogyakarta
d. Bantul
152
6
67
27
59,92
2,38
26,98
10,72
Pendidikan Orang Tua
a. Ayah
b. Ibu
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
a. SD
b. SMP
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
0
5
20
227
0
4
22
226
0
1,98
7,94
90,08
0
1,59
8,73
89,68
Pekerjaan Orang Tua
a. Ayah
b. Ibu
a. Bekerja
b. Tidak bekerja
a. Bekerja
b. Tidak bekerja
252
0
197
55
100
0
78,17
21,83
Pendapatan keluarga
a. < Rp 5.000.000,00
b. Rp 6.000.000,00 – Rp 10.000.000,00
c. Rp 11.000.000,00 – Rp 15.000.000,00
d. > Rp 15.000.000,00
Total
29
69
75
79
252
11,5
27,4
29,8
31,3
100
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel diatas menunjukkan
responden didominasi perempuan yaitu
141 siswa (55,95%) dan laki-laki
sebanyak 111 siswa (44,05%). Jumlah
siswa perempuan di SD Budi Mulia
Dua Seturan Yogyakarta lebih banyak
dibandingkan dengan siswa laki-laki.
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik pada tahun 2016, jumlah
penduduk berdasarkan jenis kelamin di
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
sebanyak 1.818.344 orang. Dari
jumlah tersebut, kabupaten Sleman
memiliki jumlah perempuan tertinggi
yaitu sebanyak 536.700 perempuan.
Umur didominasi pada kategori
10-11 tahun sebanyak 130 siswa
(51,59 %), selanjutnya kategori umur
8-9 tahun sebanyak 106 siswa
(42,06%) dan umur 12-13 tahun ada 16
siswa (6,35%). Siswa yang digunakan
dalam penelitian adalah kelas 3, kelas
4 dan kelas 5 di SD Budi Mulia Dua
Seturan Yogyakarta sehingga rata-rata
berumur 10-11 tahun. Peraturan umur
anak sekolah dasar terdapat dalam
Peraturan Bersama Menteri
Pendidikan Nasional dan Menteri
Agama Nomor 2/VII/PB/2014 Nomor
7 Tahun 2014 menyatakan bahwa
persyaratan calon peserta didik baru
kelas 1 (satu) pada
SD/SDLB/MI/sederajat telah berusia 7
sampai 12 tahun wajib diterima. Usia
7-12 adalah usia anak sekolah dasar.
Pada tabel diatas, sebagian besar
berasal dari Sleman yaitu 152 siswa
(59,92%), selanjutnya Kota
Yogyakarta terdapat 67 (26,98%),
kemudian Bantul ada 27 siswa
(10,72%) dan paling sedikit Kulon
Progo yaitu 6 siswa (2,38%).
Responden dari Sleman memilih SD
Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
sebagai pilihan sekolah anaknya sesuai
dengan tempat tinggal. Dinas
Pendidikan Kabupaten Sleman
menerapkan sistem zonasi dalam
penerimaan peserta didik baru tingkat
SD. Pembagian zona jenjang SD
didasarkan pada pedukuhan di sekitar
sekolah sehingga siswa tidak perlu
mendaftar di sekolah yang lokasinya
jauh dari tempat tinggal. Penerapan ini
bertujuan untuk pemerataan kualitas
pendidikan di Kabupaten Sleman
(Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman,
2017).
Pendidikan ayah didominasi
Perguruan Tinggi sebanyak 227 orang
(90,08 %), diikuti SMA sejumlah 20
orang (7,94 %), selanjutnya SMP ada 5
orang (1,98%). Pendidikan ibu
didominasi dari Perguruan Tinggi yaitu
226 orang (89,68 %), diikuti
pendidikan terakhir SMA ada 22 orang
(8,73%), kemudian SMP sebanyak 4
orang (1,59%) hasil ini terdapat di
dalam tabel 4.2. Pendidikan Orangtua
di SD Budi Mulia Dua Sleman
mayoritas Perguruan Tinggi
dilatarbelakangi oleh asal tempat
tinggal di Sleman. Kabupaten Sleman
adalah sebuah kabupaten di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ibu
kota kabupaten ini adalah Sleman.
Berbagai perguruan tinggi di
Yogyakarta secara administratif
terletak di wilayah kabupaten ini, hal
ini menyebabkan pusat pendidikan
berkembang pesat.
Status pekerjaan orangtua di SD
Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
didominasi ayah dan ibu bekerja yaitu
252 orang (100%) dan 197 orang
(78,17%). Ibu yang tidak bekerja ada
55 orang (21,83%). Ayah adalah
kepala keluarga yang
bertanggungjawab memberi nafkah
kepada keluarga. Pekerjaan berkaitan
dengan lama jam kerja. Jam kerja
diatur oleh UU No. 13 tahun 2003,
yang tertera dalam Pasal 77 ayat 1
bahwa jam kerja karyawan adalah 7-8
jam perhari dalam seminggu. Jam kerja
ini dapat dilakukan siang atau malam
hari yang digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan. Hal ini
menyebabkan ibu bekerja memiliki
keterbatasan waktu untuk melakukan
pekerjaan rumah tangga.
Pendapatan keluarga didominasi
dari kategori >Rp 15.000.000,00 yaitu
79 responden (31,3%), diikuti
pendapatan dari kategori Rp
11.000.000,00 – Rp 15.000.000,00
terdapat 75 responden(29,37%), dan
pada kategori Rp 6.000.000,00 – Rp
10.000.000,00 ada 69 responden
(27,4%) dan pendapatan paling rendah
dalam kategori >Rp 5.000.000,00
sebanyak 29 responden (11,5%).
Pendapatan keluarga yang diperoleh
berasal dari dua pekerjaan sehingga
pendapatan digolongkan tinggi.
Tingkat pendapatan orang tua
berkaitan dengan pendidikan dan status
pekerjaan. Pendidikan dan status
pekerjaan orangtua di SD BMD
Seturan Yogyakarta tergolong
berpendidikan tinggi dan memiliki
pekerjaan seperti dosen, dokter,
peneliti, TNI, polisi, wiraswasta,
karyawan swasta sehingga pendapatan
yang didapatkan semakin tinggi.
Tingkat pendapatan orangtua berkaitan
dengan kemampuan mencukupi
kebutuhan, pemilihan jenis dan jumlah
makanan, serta berpengaruh terhadap
gaya hidup keluarga yang juga akan
berdampak pada anak.
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi
Berdasarkan Jumlah Orang Serumah di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017
Jumlah orang serumah F %
3 orang
4 orang
>4 orang
Total
35
96
121
252
13,89
38,09
48,02
100
Sumber : Data Primer 2017
Karakteristik responden berdasar-
kan jumlah orang yang tinggal
serumah 3 orang sebanyak 35 siswa
(13,89%), 4 orang sebanyak 96 siswa
(38,09 %) dan lebih dari 4 orang
sebanyak 121 siswa (48,02 %).Dari
jumlah tersebut paling dominan adalah
lebih dari 4 orang sehingga terdiri dari
keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu
dan 2 anak. Hal ini menunjukkan
bahwa program dari Badan
Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) “Ayo
Ikut KB 2 Anak Cukup Bahagia
Sejahtera” telah memenuhi cakupan
tinggi di daerah Sleman.
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Jumlah
Saudara Kandung di SD Budi Mulia
Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran
2016-2017
Jumlah saudara
kandung F %
Tidak punya
1 orang
2 orang
> 2 orang
Total
35
108
78
31
252
13,89
42,86
30,95
12,30
100
Sumber : Data Primer 2017
Jumlah saudara kandung
mayoritas memiliki 1 orang sebanyak
108 siswa (42,86%), diikuti yang
memiliki saudara kandung 2 orang
sebanyak 78 siswa (30,95%),
selanjutnya yang memiliki saudara
kandung lebih dari 2 orang sebanyak
31 siswa (12,30%) dan kategori tidak
punya saudara kandung sebanyak 35
siswa (13,89%). Jumlah saudara
kandung dominan memiliki 1 orang
saudara kandung hal ini berkaitan
dengan usia responden tergolong
dalam rentang usia 30-50 tahun.
Jumlah saudara kandung yang tinggal
serumah berkaitan dengan penyediaan
kebutuhan, penyediaan jumlah hingga
pembagian porsi makanan sehari-hari.
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Keluarga
yang Gemuk di SD Budi Mulia Dua
Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran
2016-2017
Keluarga yang
gemuk F %
Ayah
Ibu
Ayah dan Ibu
Kakek/Nenek
Saudara Kandung
Total
119
71
35
17
10
252
47,22
28,17
13,89
6,75
3,97
100
Sumber : Data Primer 2017
Keluarga yang gemuk
didominasi dari ayah yaitu 119
responden (47,22%), diikuti dari ibu
sejumlah 71 responden (28,17%),
kemudian dari ayah dan ibu sebanyak
35 responden (13,89%), riwayat
gemuk dari kakek/nenek terdapat 17
responden (6,75 %) dan saudara
kandung ada 10 responden (3,97%).
Di dalam tubuh makhluk hidup
kromosom terdapat di dalam inti sel.
Kromosom berfungsi membawa sifat
individu dan membawa informasi
genetika, karena di dalam kromosom
mengandung gen. Gen pada kromosom
terdapat pada lokus. Gen merupakan
sepenggal DNA yang berfungsi
mengendalikan pembuatan protein.
Protein tersebut berguna untuk
melancarkan reaksi di dalam sel tubuh
dan zat pembangun tubuh. Gen
mengandung informasi genetika dan
dapat menduplikasikan diri pada
peristiwa pembelahan sel (Syamsuri
2007).
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Riwayat
Penyakit Keluarga di SD Budi Mulia
Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran
2016-2017
Riwayat Penyakit
Keluarga F %
Ada
Tidak ada
Total
50
202
252
19,84
80,16
100
Sumber : Data Primer 2017
Riwayat penyakit keluarga dibagi
menjadi dua yaitu ada sebanyak 50
(19,84%) dan tidak ada sebanyak 202
(80,16%). Riwayat penyakit yang
pernah diderita oleh responden
diantaranya adalah alergi dingin
sebanyak 5 orang, jantung ada 2 orang,
vertigo sebanyak 3 orang, asthma ada
12 orang, hipertensi ada 13orang,
diabetes 9 orang, asamurat 3 orang,
dan kolesterol ada 3 orang.
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Pengetahuan
Siswa Tentang Kejadian Obesitas di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017
Pengetahuan Siswa F %
Baik 184 73,02
Cukup
Kurang
68
0
26,98
0
Total 252 100
Sumber : Data Primer 2017
Dari tabel 4.7 diatas, dapat
diketahui dari 252 responden,
sebanyak 184 siswa (73,02%)
memiliki pengetahuan yang baik
tentang kejadian obesitas dan
responden yang berpengetahuan cukup
sebanyak 68 siswa (26,98%).
Kurangnya pengetahuan gizi atau
kurangnya kemampuan untuk
menerapkan informasi yang diperoleh
dalam kehidupan sehari-hari
merupakan faktor penting dalam
penentuan status gizi seseorang
(Irianto,2014).
Penelitian oleh Marlon di
Trinidad, Tobago, Karibia, yaitu
intervensi pendidikan gizi berbasis
sekolah untuk meningkatkan
pengetahuan gizi, sikap, dan perilaku
terhadap kebiasaan makan. Hasilnya
terdapat perubahan perilaku dalam
kebiasaan makan secara bermakna,
seperti tingkat asupan gorengan dan
minuman bersoda pada kelompok
intervensi lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol. Pengetahuan gizi
dan kesehatan pada kelompok
intervensi juga lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol
(Marlon, 2010).
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Pengetahuan
Orangtua Tentang Kejadian Obesitas
di SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017
Pengetahuan Orangtua F %
Baik 215 85,32
Cukup
Kurang
37
0
14,68
0
Total 252 100
Sumber : Data Primer 2017
Pada tabel 4.8 diatas dapat
diketahui dari 252 responden, yang
memiliki pengetahuan baik tentang
obesitas sebanyak 215 responden
(85,32 %) dan yang berpengetahuan
cukup tentang obesitas ada 37
responden (14,68%).
Pengetahuan merupakan hasil
tahu setelah melakukan penginderaan
melalui indera penglihatan,
pengrabaan, pendengaran, penciuman.
(Notoatmodjo, 2010). Penelitian
Andrew di California, Amerika
memberikan intervensi pendidikan
ekstra fisik memasak makanan sehat
30 menit/minggu, dalam penelitian ini
membuktikan bahwa pendidikan gizi
terbukti dapat mencegah obesitas
(Andrew, 2014).
Pengetahuan gizi merupakan
faktor tidak langsung yang
mempengaruhi status gizi seseorang,
karena status gizi dipengaruhi oleh
faktor langsung yaitu konsumsi
makanan. Seseorang yang memiliki
pengetahuan baik belum tentu status
gizinya baik. Hubungan pengetahuan
gizi dengan status gizi, khususnya
obesitas adalah hubungan yang tidak
langsung. Pengetahuan terlebih dahulu
mempengaruhi konsumsi zat gizi.
Orang yang mengetahui tentang
jumlah, frekuensi, kandungan, jenis,
cara pemberian dan manfaat zat gizi
akan berusaha memperoleh makanan
yang mengandung zat gizi yang sesuai
seperti yang dibutuhkan oleh tubuhnya
(Amalia, 2013).
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Pola Makan
Responden di SD Budi Mulia Dua
Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran
2016-2017
Pola Makan F %
Beresiko
Tidak beresiko
116 46,03
136 53,97
Total 252 100
Sumber : Data Primer 2017
Dilihat dari tabel 4.9 dapat
diketahui dari 252 responden,
sebanyak 116 siswa (46,03%)
memiliki pola makan yang beresiko
dan sejumlah 136 siswa (53,97%)
memiliki pola makan yang tidak
beresiko.
Pola makan secara umum
memiliki 3 komponen yaitu jenis,
frekuensi dan jumlah. Jenis makanan
di Indonesia yaitu pola makanan
pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur
dan buah.Sedangkan frekuensi, sangat
tergantung kelompok umur. Umur di
atas 1 tahun, pola frekuensi makan
sebanyak 3 kali makanan utama, dan 2
kali makanan selingan. Pola ini berlaku
untuk kelompok masyarakat yang
sehat, sedangkan bagi yang menjalani
diet khusus maka memiliki pola
tersendiri.
Pola makan berdasarkan jumlah,
menggunakan acuan Angka
Kecukupan Gizi (AKG) tahun 2012
tentang jumlah makanan yang harus
dikonsumsi oleh kelompok
masyarakat. Pola makan bersifat
formal berlaku secara umum dan
sebagai pedoman. Berbeda dengan
pola makan, kebiasaan makan sifatnya
personal. Kebiasaan makan berupa
makanan pokok dalam bentuk nasi,
jagung, ubi, ataupun buah-buahan
namun dalam bentuk jagung.
Sedangkan kebiasaan makan lebih
personal dan terbentuk berdasarkan
selera dan ketersediaan makanan di
tingkat rumah tangga (Irianto, 2014)
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi
Responden Berdasarkan Persepsi
Orang Tua di SD Budi Mulia Dua
Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran
2016-2017
Persepsi Orangtua F %
Positif 7 2,78
Negatif 245 97,22
Total 252 100
Sumber : Data Primer 2017
Berdasarkan tabel 4.10 dapat
diketahui dari 252 responden, yang
memiliki persepsi negatif terhadap
obesitas sebanyak 245 responden
(97,22%) lebih banyak dibandingkan
dengan yang memiliki persepsi positif
terhadap obesitas sebanyak 7
responden (2,78%). Persepsi memberi-
kan pengaruh ke perilaku. Persepsi
merupakan proses yang menyangkut
masuknya pesan atau informasi ke
dalam otak manusia. Melalui persepsi
manusia mengadakan hubungan
dengan lingkungannya. Pola perilaku
manusia didasarkan pada persepsi
mereka mengenai realitas sosial yang
telah dipelajari (Slamento, 2013).
Menurut Robbins (2008) persepsi
positif merupakan penilaian individu
terhadap suatu objek atau informasi
dengan pandangan yang positif atau
sesuai dengan yang diharapkan dari
objek yang dipersepsikan atau dari
aturan yang ada. Sedangkan, persepsi
negatif merupakan persepsi individu
terhadap objek atau informasi tertentu
dengan pandangan yang negatif,
berlawanan dengan yang diharapkan
dari objek yang dipersepsikan atau dari
aturan yang ada (Robbins, 2008).
B. Analisis Bivariat
Tabel 4.11 Tabulasi Silang Hubungan Karakteristik dengan Kejadian Obesitas di
SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017 Karakteristik Kategori Obesitas P Value
Normal Overweight Obesitas Total
F % F % F % F %
Jenis Kelamin
Perempuan
Laki-laki
90
58
35,7
23,0
25
17
9,9
6,7
26
36
10,3
14,3
141
111
56,0
44,0
0,037
Usia
8-9 tahun
10-11 tahun
12-13 tahun
60
73
15
23,8
29,0
6,0
17
24
1
6,7
9,5
4,0
29
33
0
11,5
13,1
0
106
130
16
42,1
51,6
6,3
0,139
Asal
Sleman
Kulon Progo
Kota Yogya
Bantul
90
4
37
17
35,7
1,6
14,7
6,7
26
2
12
2
10,3
8,0
4,8
8,0
36
0
18
8
14,3
0
7,1
3,2
152
6
67
27
60,3
2,4
26,6
10,7
0,764
Pendidikan Ayah
SD
SMP
SMA
PT
Pendidikan Ibu
SD
SMP
SMA
PT
0
3
14
131
1
2
15
130
0
1,2
5,6
52,0
4
8
6
51,6
0
0
0
42
0
0
1
41
0
0
0
16,7
0
0
4
16,3
0
2
6
54
0
2
6
54
0
8
2,4
21,4
0
8
2,4
21,4
0
5
20
227
1
4
22
225
0
2,0
7,9
90,1
4
1,6
8,7
89,3
0,697
0, 684
Pekerjaan Ayah
Bekerja
Tidak bekerja
Pekerjaan Ibu
Bekerja
Tidak bekerja
148
0
111
37
58,7
0
44
14,7
42
0
35
7
16,7
0
13,9 2,8
62
0
54
8
24,6
0
21,4
3,2
252
0
200
52
100
0
79,4
20,6
0,703
0,111
Pendapatan
< Rp 5 juta
Rp 6–10 juta
Rp 11-15 juta
> Rp 15 juta
Total
18
45
47
38
7,1
17,9
18,7
15,1
4
8
9
21
1,6
3,2
3,6
8,3
7
16
19
20
2,8
6,3
7,5
7,9
29
69
75
79
252
11,5
27,4
29,8
31.3
100
0,124
Sumber : Data Primer 2017
Tabel 4.11 diatas menyatakan
bahwa jenis kelamin didominasi
perempuan yaitu sebanyak 141 siswa
(56%) dari jumlah tersebut yang
paling dominan yaitu 90 siswa
memiliki berat badan normal. Hasil
bivariate antara jenis kelamin dan
kejadian obesitas mendapatkan
p=0,037 sehingga ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin
dengan kejadian obesitas pada anak
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta
Obesitas pada laki-laki dan
perempuan dapat dipengaruhi oleh
hormon, salah satunya hormon estrogen.
Hormon estrogen adalah sekelompok
hormon steroid disintesis dalam ovarium
pada wanita, dan di testis pada laki-laki.
Hormon ini mempengaruhi metabolisme
lipid pada laki-laki dan perempuan.
Penurunan konsentrasi mereka mengarah
ke peningkatan cadangan lemak tubuh,
lebih khusus lagi di daerah perut,
sehingga mengakibatkan kenaikan berat
badan. Defisiensi estrogen menyebabkan
disfungsi metabolik yang dapat
meningkatkan risiko obesitas (Sumardjo,
2009).
Penelitian Sari tahun 2012 pada
anak sekolah dasar kelas 3-5 di
beberapa sekolah dasar di Semarang
Barat yaitu kejadian obesitas lebih
tinggi ditemukan pada anak laki-laki
(57,1%) dibandingkan perempuan
(42,9%) (Sari, 2012). Penelitian
Aerbeli tahun 2010 di Swiss
menyatakan bahwa perbandingan
kejadian obesitas pada anak laki-laki
dengan anak perempuan yaitu 6,2% :
4,2% (Aerbeli,2010). Berbeda dengan
Lumoindong pada anak umur 10-12
tahun yang dilakukan di kota Manado
dari 111 anak yang dinyatakan
obesitas jumlah anak perempuan yang
obesitas (57 orang) sedikit lebih
banyak dibandingkan laki-laki
(54orang) (Lumoindong, 2012).
Umur dibagi menjadi 3
kelompok seperti yang tertera dalam
tabel 4.2 menunjukkan kategori umur
10-11 paling dominan sebanyak 130
siswa (51,59 %) yang terdiri dari
status gizi normal terdapat 73 siswa
(29%) diikuti status gizi obesitas ada
33 siswa (13,1%) yang paling sedikit
yaitu kategori overweight sebanyak
24 siswa (9,5%). Dari uji statistik
menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara umur dengan
kejadian obesitas pada anak di SD
Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
dengan p value=0,139.
Hal ini dikarenakan usia 8-10
tahun yaitu usia sekolah, anak laki-
laki dan perempuan nafsu makannya
meningkat karena tubuhnya
memerlukan persiapan menjelang usia
remaja (Supartini, 2012). Menurut
data NHANES, tingkat obesitas
meningkat secara signifikan di
kalangan remaja A.S. berusia 2-19
selama tiga dekade terakhir. Dimulai
pada akhir 1980-an, jumlah obesitas
meningkat untuk anak usia 6 sampai
11 tahun dan untuk anak usia 2
sampai 5 tahun. Secara keseluruhan,
terdapat 12,7 juta remaja umur 2-19
dengan obesitas. Obesitas ekstrim
meningkat pada usia 12 sampai 19 tahun
dari 2,6 persen pada tahun 1988-1994
menjadi 9,1 persen pada 2013-2014
(Ogden et al., 2016). Persentase
kegemukan pada anak umur 6–11 tahun
di Amerika sekitar 15% (Phillips, 2013).
Penelitian oleh Song tahun 2013
pada anak usia sekolah dasar di Cina
mendapatkan prevalensi tertinggi dari
obesitas didapatkan pada rentang usia 7
hingga 9 tahun. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan Hadi, 2013 di
Padang pada 93 orang sampel yang
merupakan siswa usia sekolah dasar,
tidak didapatkan hubungan antara usia
anak dengan obesitas yang terjadi pada
anak (Hadi, 2013).
Karakteristik asal sebagian besar
dari Sleman yaitu 152 siswa (59,92%)
yang terdiri dari siswa 90 (35,7%) dalam
kategori status gizi normal, terdapat 26
siswa (10,3%) overweight dan obesitas
ada 36 siswa (14,3%). Berdasarkan uji
bivariate pada tabel diatas menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara asal
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
(p value=0,764). Sleman merupakan
pusat kota yang letaknya strategis
dijangkau, sehingga restoran cepat saji
banyak, rumah makan mudah
ditemukan, dan pusat perbelanjaan sudah
tersedia. Oleh karena itu, akses
memperoleh makanan mudah hingga
tersedia berbagai fasilitas salah satunya
pelayanan 24 jam.
Pendidikan terakhir ayah yang
memiliki anak obesitas dan overweight
paling dominan adalah Perguruan Tinggi
yaitu 54 responden (21,4%) dan terdapat
42 responden (16,7%). Pada penelitian
ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pendidikan ayah
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
dengan p value=0,697. Pendidikan
terakhir ibu yang memiliki anak obesitas
dan overweight mayoritas Perguruan
Tinggi sebanyak 54 responden (21,4%)
dan 41 responden (16,3%) dan obesitas.
Berdasarkan uji bivariate pada tabel
diatas menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pendidikan ibu
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta dengan p value=0,684.
Pendidikan orang tua
merupakan salah satu faktor yang
penting dalam tumbuh kembang anak
karena dengan pendidikan yang baik,
orang tua dapat menerima segala
informasi dari luar terutama tentang
cara pengasuhan anak yang baik,
asupan gizi yang sesuai, sehingga
orang tua dapat menjaga kesehatan
anaknya, pendidikan dan sebagainya
(Cahyaningsih, 2011).
Kecenderungan obesitas terjadi
pada anak yang memiliki orangtua
dengan tingkat pendidikan perguruan
tinggi. Tingkat pendidikan orangtua
merupakan salah satu faktor yang
menentukan mudah tidaknya
seseorang memahami pengetahuan
gizi. Orangtua meningkatan
pengetahuan melalui pendidikan
formal dan non formal. Sehingga
tingkat pendidikan orangtua
berpengaruh terhadap pemilihan
kuantitas dan kualitas makanan yang
dikonsumsi oleh anak. Selain dengan
pengetahuan, pendidikan berkaitan
dengan pendapatan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan maka pendapat
akan semakin tinggi. Pendapatan yang
tinggi berpeluang terhadap
kemudahan membeli dan konsumsi
makanan enak dan mahal yang
mengandung kalori tinggi seperti
fastfood (Anggraini, 2008).
Penelitian Octari disimpulkan
bahwa tingkat pendidikan ayah tidak
memiliki pengaruh terhadap kejadian
obesitas pada anak di SD Padang
(Octari, 2014). Penelitian Haryanto
(2012) menyatakan ada hubungan
antara tingkat pendidikan ayah
dengan kejadian obesitas pada anak.
Hasil penelitian Setyoadi
menunjukkan rata-rata tingkat
pendidikan orangtua pada kelompok
anak obesitas lebih tinggi dibanding
dengan kelompok anak dengan berat
badan normal (Setyoadi, 2015).
Berdasarkan status pekerjaan, ayah
yang memiliki anak obesitas dan
overweight dominan bekerja ada 62
responden (24,6%) dan 42 responden
(16,7%). Hasil uji statistik pada tabel
diatas menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pekerjaan ayah dengan
kejadian obesitas pada anak di SD Budi
Mulia Dua Seturan Yogyakarta dengan p
value=0,703. Ibu yang memiliki
pekerjaan mayoritas memiliki anak
obesitas sebanyak 54 siswa (21,4%) dan
diikuti dengan ibu bekerja yang memiliki
anak overweight 35 siswa (13,9 %).
Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan antara pekerjaan ibu
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta
dengan p value=0,111.
Ibu bekerja mempunyai peran
ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga
dan wanita pekerja. Keadaan ini dapat
memengaruhi keadaan gizi keluarga
khususnya anak. Ibu bekerja cenderung
memiliki keterbatasan waktu untuk
mendampingi anak makan setiap saat
dan memiliki peluang untuk pengasuhan
anak kepada orang lain sehingga
makanan anak berpeluang tidak sesuai
dengan kebutuhan dan kecukupan gizi
anak. Hal ini disebabkan karena
pekerjaan dapat menghasilkan
pendapatan. Dari pendapatan yang
diperoleh, maka kebutuhan primer
hingga sekunder dapat terpenuhi yang
berdampak pada daya beli yang tinggi
(Berg, 2008).
Hasil penelitian berbeda dengan
penelitian Pahlevi menyatakan bahwa
ada hubungan antara pekerjaan ibu
dengan status gizi pada anak kelas 4, 5
dan 6 di SD Kota Semarang tahun
2011(Pahlevi, 2012).
Pendapatan keluarga didominasi
dari kategori lebih besar dari Rp
15.000.000,00 yaitu 79 responden
(31,3%) yang terdiri dari status gizi
normal sebanyak 38 siswa (15,1%),
overweight ada 21 siswa (8,3%) dan
obesitas terdapat 20 siswa (7,9%).
Berdasarkan uji bivariate pada tabel
diatas menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara pendapatan keluarga
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta dengan p value=0,124.
Orangtua yang memiliki
pendapatan yang memadai akan
menunjang status gizi anak, karena
orangtua dapat menyediakan semua
kebutuhan anak baik primer maupun
sekunder. Pendapatan keluarga
mempengaruhi ketahanan pangan
keluarga, hal ini berkaitan erat dengan
kemampuan daya beli tinggi terhadap
ragam pangan mulai dari makanan
pokok, lauk, buah dan sayur, maka
asupan makanan yang diperoleh juga
bernilai gizi yang kemudian
berpengaruh pada pembentukan status
gizinya. Namun, pendapatan tinggi
belum tentu menjamin beragam dan
bermutunya bahan pangan yang
dikonsumsi tetapi dapat mengarah
pada pemilihan bahan makanan yang
lebih enak, siap santap, cepat, dan lebih
banyak mengandung lemak, minyak, dan
bahan lainnya yang dapat menyebabkan
obesitas (Dieny, 2014).
Anak obesitas cenderung
ditemukan pada orang tua dengan tingkat
pendapatan yang tinggi, karena dengan
pendapatan perbulan yang tinggi
memiliki daya beli tinggi, sehingga
memiliki peluang untuk memilih ragam
makanan selain itu pada golongan
ekonomi tinggi jumlah asupan makanan
yang tinggi kandungan lemak meningkat
seiring dengan meningkatnya daya beli
terhadap makanan mahal (Rahayu,
2008).
Penelitian Octari pada anak
sekolah dasar di Padang menyimpulkan
bahwa tingkat pendapatan orang tua
tidak berpengaruh terhadap kejadian
obesitas pada anak karena jumlah
kejadian obesitas lebih banyak pada
sampel dengan tingkat pendapatan orang
tua di atas garis kemiskinan. (Octari,
2014). Berbeda dengan Penelitian oleh
Parengkuan yang menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antar
pendapatan keluarga dengan kejadian
obesitas (Parengkuan, 2013).
Tabel 4.12 Tabulasi Silang Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Obesitas di SD
Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017
Sumber : Data Primer 2017
Dari penelitian diatas mayoritas
anak obesitas memiliki pola makan
beresiko yaitu 62 siswa (24,6%)
diikuti kelompok overweight
sebanyak 24 siswa (9,5%). Hasil
analisis bivariat pada tabel diatas
menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna (p<0,05)
antara pola makan dengan kejadian
obesitas pada anak di SD Budi Mulia
Dua Seturan Yogyakarta.
Di Amerika Serikat dan beberapa
negara lain, prinsip Gizi Seimbang
divisualisasi berupa “piramida” Gizi
Seimbang. Tidak semua negara
menggunakan piramida, tetapi
disesuaikan dengan budaya dan pola
makan setempat. Misalnya, di Thailand
dalam bentuk piramida terbalik sebagai
“bendera”, di China sebagai “pagoda”
dengan tumpukan rantang. Para pakar
gizi yang bergabung dalam Yayasan
Kategori Obesitas Pola Makan
Tidak Beresiko Beresiko Total P Value
F % F % F %
Normal
Overweight
Obesitas
118
18
0
46,8
7,1
0
30
24
62
11,9
9,5
24,6
148
42
62
58,7
16,7
24,6
0,000
Total 136 54 116 46 252 100
Institut Danone Indonesia (DII)
bersama para penulis dari Tabloid
Nakita (Kompas-Gramedia),
mengadaptasi piramida sesuai dengan
budaya Indonesia, dalam bentuk
tumpeng dengan nampannya yang
disebut sebagai “Tumpeng Gizi
Seimbang” (TGS). TGS dirancang
untuk membantu setiap orang
memilih makanan dengan jenis dan
jumlah yang tepat, sesuai dengan
berbagai kebutuhan menurut usia
(bayi, balita, remaja, dewasa dan usia
lanjut), dan sesuai keadaan kesehatan
(hamil, menyusui, aktivitas fisik,
sakit) (Kemenkes, 2012).
Dalam sehari, kebutuhan air
putih untuk tubuh minimal 2 liter (8
gelas). Setelah itu, di atasnya terdapat
potongan besar yang merupakan
golongan makanan pokok (sumber
karbohidrat). Golongan ini dianjurkan
dikonsumsi 3-8 porsi. Kemudian di
atasnya terdapat golongan sayur dan
buah sebagai sumber vitamin dan
mineral. Keduanya dalam potongan
yang berbeda luasnya untuk
menekankan pentingnya peran dan
porsi setiap golongan. Ukuran
potongan sayur dalam PGS dibuat
lebih besar dari buah yang terletak di
sebelahnya. Jumlah sayur yang harus
dikonsumsi setiap hari sedikit lebih
besar (3-5 porsi) dan buah (2-3 porsi).
Selanjutnya di lapisan ketiga dari
bawah ada golongan protein, seperti
daging, telur, ikan, susu dan produk
susu (yogurt, mentega, keju, dan lain-
lain) di potongan kanan, sedangkan di
potongan kiri ada kacang-kacangan
serta hasil olahan seperti tahu, tempe,
dan oncom.
Penelitian Yulaeni menyatakan
bahwa ada hubungan pola makan
dengan kejadian obesitas pada anak
usia 7-12 tahun di SD Mardi Rahayu
Ungaran (Yulaeni, 2015). Hasil
penelitian Bidjuni disimpulkan terdapat
hubungan antara pola makan dengan
kejadian obesitas pada anak usia 8-10
tahun di SD KAtolik 03 Frater Don
Bosco Manado (Bidjuni, 2014). Porsi makan pokok (nasi dan
karbohidrat) dalam sehari mayoritas
sebanyak 164 siswa (65,1%) menjawab
1 piring makan dan 2 piring. Porsi
makan anak menurut WHO, 2009 adalah
setengah piring. Anak disarankan untuk
makan sesuai dengan umurnya. Sehingga
porsi sangat penting diperhatikan karena
pada anak sekolah dasar pola makan
sudah mulai terbentuk.
Penelitian Rito tahun 2012 tentang
hubungan antara kebiasaan makan
terhadap obesitas pada anak umur 6–12
tahun di Kota Meksiko. Hasil penelitian
menunjukkan anak dengan kebiasaan
makan yang sehat, seperti makan
sarapan di rumah, membawa bekal
makan siang di sekolah, dan tidak
membawa uang jajan di sekolah
memiliki risiko yang lebih rendah
terhadap kejadian obesitas. Sebaliknya
anak yang biasa minum minuman manis,
konsumsi tinggi karbohidrat dan lemak,
mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
terjadinya obesitas (Rito, 2012).
Fastfood adalah makanan yang
mengandung kadar garam, gula, lemak,
atau kalori yang tinggi, tetapi rendah
nutrisi, rendah vitamin, mineral, juga
serat (Nurmalina, 2011). Dari data 139
siswa (55,1%) menjawab suka makan
fastfood. Sebanyak 144 siswa (57,1%)
menjawab 1 kali perminggu dan lebih
dari 2 kali perbulan pergi makan ke
restoran cepat saji sebulan. Hal ini
merupakan kebiasaan yang tidak
disarankan oleh WHO, karena di WHO,
untuk aturan pergi ke restoran cepat saji
paling banyak 2 kali/perbulan. Jenis
makanan cepat saji yang lebih banyak
dimakan siswa adalah nugget yaitu 42
siswa (25,9%) dan pizza ada 38 siswa
(23,5%). Penelitian Amalia tahun 2013di
SD Pertiwi 2 Padang, menemukan
bahwa ada hubungan antara konsumsi
junk food dengan kejadian obesitas
(Amalia,2013).
Kebiasaan makan seperti ngemil
dilakukan oleh 188 siswa (74,6%).
Urutan camilan yang paling banyak
dikonsumsi adalah Indomie/popmie,
permen, coklat, snack ringan,
gorengan, roti basah. Sekitar 130
siswa (51,6%) menjawab mengemil
lebih dari satu genggam. Hal ini tidak
sesuai dengan porsi ngemil, porsi
ngemil untuk anak yaitu segenggam
tangannya. Penelitian mayoritas pada
132 siswa (52,4%) memiliki total
uang jajan Rp >10.000/hari. Hal ini
dapat memberikan kesempatan anak
untuk membeli jajanan sebanyak 3-4
macam yang disediakan di kantin.
Urutan makanan dari yang paling
sering dibeli siswa yaitu permen
ada70 siswa (25,4%), coklat 52 siswa
(18,8%), gorengan, 43 siswa (15,6%),
indomie /popmie 41 siswa (14,8%),
snack ringan 38 siswa (13,8%) dan
roti basah 32 siswa (11,6%).
Menurut Sugiyantoro, anak
memiliki kegemaran untuk konsumsi
jajan secara berlebihan, khususnya
usia sekolah dasar (6-12 tahun).
Dalam keseharian anak dikelilingi
penjual jajanan, baik yang ada di
rumah, lingkungan tempat tinggal
hingga di sekolah. Jenis makanan
yang disukai oleh anak sekolah dasar
adalah makanan yang berwarna
mencolok, rasanya gurih, dikemas
menarik, belum pernah dicoba oleh
anak dan memberikan hadiah di
dalamnya. Untuk minuman yang
disukai adalah yang warnanya
mencolok, rasanya manis,
menyegarkan dan juga memberikan
hadiah (Sugiyantoro,2008).
Sayur dan buah merupakan
sumber vitamin dan serat. Serat ini
merupakan komponen jaringan yang
pada tanaman yang tidak dapat
dicerna oleh enzim pencernaan. Serat
bermanfaat untuk menimbulkan
adanya rasa kenyang setelah
mengkonsumsi serat dalam jumlah
yang cukup sehingga tidak mudah
untuk mengkonsumsi makanan lainnya.
Mayoritas siswa makan sayur sebanyak
193 siswa (76,6%) tetapi sebanyak 191
siswa (75,8%) menjawab makan sayur
<3 porsi. WHO merekomendasikan porsi
anak makan sayur 3-5 porsi sehari.
Kemenkes menyarankan untuk
mencegah kegemukan disarankan makan
sayur >5porsi/hari. Jenis sayuran yang
paling banyak dikonsumsi adalah selada
terdapat 25 siswa (12,5%). Alasan
beberapa siswa tidak konsumsi sayur
dikarenakan tidak terbiasa yaitu
sebanyak 26 siswa (44,1%). Pada anak
yang mengalami obesitas di Taiwan,
konsumsi sayur lebih sedikit jika
dibandingkan dengan anak yang
beratnya normal (Tzou, 2012).
Sebagian besar menjawab suka
makan buah, namun sejumlah 199 siswa
(79%) menjawab <3 kali porsi makan
buah dalam sehari. Mayoritas dari 156
siswa (61,9%) menjawab makan buah ½
mangkok kecil. Alasan sebanyak 49
siswa (41,9%) yang paling dominan
tidak konsumsi buah yaitu menjawab
tidak terbiasa makan buah.
Sayur dan buah merupakan sumber
serat yang penting bagi anak dalam masa
pertumbuhan. Berdasarkan Pedoman
Umum Gizi Seimbang, konsumsi sayur
dan buah minimal 3 porsi/hari.
Intervensi yang telah dilakukan di
Amerika yaitu adanya program Myplate
yaitu salah satunya dengan mengisi
setengah buah piring dengan sayuran.
Pola konsumsi sayur dan buah pada
penduduk Indonesia masih rendah dari
jumlah yang dianjurkan. Hasil penelitian
Sartika 2011 pada anak usia 5-15 tahun
di Indonesia ini juga menunjukkan
bahwa sekitar ada hubungan antara
konsumsi sayur dengan kejadian obesitas
pada anak usia 5-15 tahun di Indonesia
(Sartika,2011).
Tabel 4.12 menjelaskan bahwa
sebanyak 151 siswa (59,9%)
mengkonsumsi softdrink. Jenis soft drink
yang paling dominan diminum adalah
fanta sebanyak 70 siswa (35%). Jenis
minuman lain yang diminum adalah
susu kemasan terdapat 70 siswa
(27,8%).
Penyebab utama obesitas adalah
konsumsi makanan yang berlebihan
tanpa diimbangi aktifitas fisik dan
olahraga. Konsumsi makanan yang
berlebihan dan soft drink yang manis
memberikan sejumlah energi yang
tidak dibutuhkan oleh tubuh.
Minuman ringan (softdrink) adalah
minuman yang tidak mengandung
alkohol, merupakan minuman olahan
dalam bentuk bubuk atau cair yang
mengandung bahan makanan atau
bahan tambahan lainnya baik alami
maupun sintetik yang dikemas dalam
kemasan siap untuk dikonsumsi.
Minuman ringan terdiri dari dua jenis,
yaitu: minuman ringan dengan karbonasi
(carbonated soft drink) dan minuman
ringan tanpa karbonasi (Widodo, R,
2008).
Penelitian Setyowati tahun 2014
pada anak sekolah dasar di Bogor
menyatakan bahwa frekuensi konsumsi
fast food dan soft drink berhubungan
dengan tingkat pendapatan orang tua.
(Setyowati, 2014).
Tabel 4.13 Tabulasi Silang Hubungan Persepsi Orangtua dengan Kejadian Obesitas
di SD Budi Mulia Dua Seturan Yogyakarta Tahun Ajaran 2016-2017
Sumber : Data Primer 2017
Dalam penelitian ini baik
kelompok yang obesitas dan
overweight sama-sama memiliki
persepsi negatif terhadap obesitas
yaitu 55 responden (21,8%) dan 42
responden (16,7%). Dari uji hipotesis
didapatkan ada hubungan yang
signifikan antara persepsi orangtua
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta dengan (p<0,05).
Menurut Miftah Toha (2010),
faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi seseorang diantaranya dapat
dilihat dari faktor eksternal. Persepsi
merupakan suatu proses yang
didahului oleh proses penginderaan
yaitu diterimanya stimulus oleh
individu melalui alat indera. Pola
perilaku manusia didasarkan pada
persepsi. Melalui persepsi manusia
terus-menerus mengadakan hubungan
dengan lingkungannya. Hubungan ini
dilakukan lewat inderanya, yaitu
indera penglihat, pendengar, peraba,
perasa, dan pencium.
Persepsi tentang obesitas anak
dapat dipengaruhi dari pengetahuan gizi
orangtua. Pengetahuan tentang gizi yang
dimiliki orang tua berpengaruh terhadap
pemilihan makan anak. Pengetahuan
didapatkan dari pendidikan gizi yang
dimiliki orang tua bisa mempengaruhi
persepsi tentang makanan, yang akan
berpengaruh pada perilaku dan jenis
makanan yang dikonsumsi anak
(Abdollahi, 2008).
Orangtua berperan penting dalam
membentuk kebiasaan dan pola makan
anak. Anak cenderung mengonsumsi
makanan yang disediakan oleh
orangtuanya. Penelitian Leonita
mengungkapkan bahwa beberapa
kesalahan persepsi ibu yang
mengakibatkan kesalahan dalam
mengatur pola makan/perilaku makan
pada anak obesitas (Leonita, 2010).
Kategori Obesitas Persepsi Orangtua
Negatif Positif Total P Value
F % F % F %
Normal
Overweight
Obesitas
148
42
55
58,7
16,7
21,8
0
0
7
0
0
2,8
148
42
62
58,7
16,7
24,6
0,000
Total 245 97,2 7 2,8 252 100
Sebanyak 152 responden
(60,3%) tidak setuju apabila anak
gemuk itu lucu. Orangtua yang tidak
setuju terhadap pernyataan bahwa
anak yang gemuk itu lambang
kemakmuran terdapat 159 responden
(63,1%). Mayoritas dari 144
responden (57,1%) tidak setuju
terhadap pernyataan anak yang gemuk
itu sehat karena gizinya cukup.
Sebanyak 120 responden (47,6%)
yang memiliki anak obesitas dan
overweight menyatakan tidak setuju
bahwa anaknya mengalami kelebihan
berat badan dan obesitas.
Penelitian Chung di Taiwan
menyatakan bahwa prevalensi
kesalahpahaman orang tua terhadap
anak-anak yang kelebihan berat badan
atau obesitas adalah 50%. Orang tua
dari anak-anak dengan kelebihan
berat badan atau obesitas memiliki
rasio persepsi kesalahan yang lebih
tinggi bahwa orang tua yang lebih
muda, orang tua dengan anak-anak
yang lebih muda, atau orang tua yang
anaknya kelebihan berat badan
cenderung salah menilai berat anak-
anak mereka (Chung, 2016).
Berbeda dengan penelitian Min
J di China menyatakan bahwa ibu
memiliki persepsi negatif terhadap
obesitas. Ibu yang menganggap anak-
anak mereka kelebihan berat badan
cenderung mendorong anak-anak
mereka untuk meningkatkan aktivitas
fisik mereka (Min J, 2017).
Penelitian Leonita tahun 2010 di
2 sekolah dasar negeri dan satu
sekolah dasar swasta yang ada di Kota
Pekanbaru Propinsi Riau menyatakan
bahwa kesalahan persepsi adalah ibu
menganggap obesitas pada balita
adalah normal, bila sudah
remaja/dewasa badan bisa kurus
sendiri, sehingga keadaan obesitas
tidak perlu dikhawatirkan.
Sebanyak 115 responden
(45,6%) menjawab tidak setuju
apabila obesitas disebabkan karena
faktor genetik/ turun-temurun. Hal ini
terdapat kesenjangan dengan teori bahwa
dasar genetik yang kuat menyebabkan
perkembangan obesitas menjadi lebih
rentan. Banyak gen yang dihubungkan
sebagai faktor predisposisi terjadinya
kelebihan lemak (Nirmala, 2008).
Penelitian oleh Juliantini di SD Denpasar
didapatkan hasil ada hubungan yang
signifikan antara kedua orangtua
obesitas dengan obesitas pada anak
sekolah dasar (Juliantini, 2013).
Mayoritas dari 152 responden
(60,3%) setuju terhadap persepsi
kegemukan pada anak bisa kembali
normal. Hal ini merupakan kesalah-
pahaman persepsi. Anak dengan sttau
gizi kegemukan dan obesitas belum tentu
berubah menjadi status gizi normal
apabila tidak dilakukan penanggulangan
melalui pemberian makan dan aktivitas
fisik yang dipantau dengan baik.
Reyes menyatakan bahwa secara
keseluruhan, 41,8% orang tua salah
menilai berat badan anak mereka,
sebanyak 82% tidak memperhatikan
berat anak mereka, khususnya tentang
kelebihan berat badan atau obesitas,
sekitar 65% tidak memperhatikan berat
badan anak mereka dan tentang
kelebihan berat badan di masa depan
sehingga mereka lebih cenderung
optimis tentang makanan sehat anak
mereka, jumlah makanan yang
dikonsumsi, dan tingkat aktivitas fisik
dibandingkan dengan perkiraan berat
anak yang benar (Reyes, 2017).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan didapatkan responden
dengan status gizi overweight sebanyak
42 siswa (16,67%) dan obesitas ada 62
siswa (24,60%). Pola makan beresiko
terdapat 116 siswa (46,03%) dan tidak
beresiko terdapat 136 siswa (53,97%).
Persepsi negatif terhadap obesitas
sebanyak 245 responden (97,22%) dan
persepsi positif sebanyak 7 responden
(2,78%). Terdapat hubungan yang
bermakna antara pola makan (p<0,05)
dan persepsi orangtua (p<0,05)
dengan kejadian obesitas pada anak di
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta.
SARAN Diharapkan pemerintah melalui
tenaga kesehatan, khususnya bidan
yang bekerja di puskesmas melakukan
pemantauan status gizi anak sekolah
dasar, melakukan penanggulangan
dan pencegahan obesitas pada anak di
cakupan wilayah kerjanya.
Universitas „Aisyiyah
Yogyakarta agar melakukan
penelitian yang berkesinambungan
tentang pola makan dan persepsi
orangtua untuk mengevaluasi kenaikan
berat badan dan faktor risiko kejadian
obesitas pada anak.
SD Budi Mulia Dua Seturan
Yogyakarta melalui kepala sekolah dapat
berkoordinasi dengan instansi
pendidikan seperti universitas sehingga
data permasalahan status gizi anak dapat
terpantau dengan baik, bekerja sama
dengan lintas sektoral misalnya
puskesmas untuk memberikan
pendidikan gizi dan penerapan 13 pesan
dasar gizi seimbang serta melakukan
penatalaksanaan lebih lanjut melalui unit
UKS.
DAFTAR PUSTAKA
Abdollahi M, Amini M, Kianfar H,
Dadkhah-Piraghag. M, Eslami-
Amirabadi M, Zoghi T, Assasi N,
Kalantari N. (2008). Qualitative
study on nutritional knowledge of
primary-school children and
mothers in Teheran. East Mediterr
Health J 2008;14(1):82-9.
Amalia RN. (2013). Hubungan konsumsi
junkfood dengan kejadian gizi lebih
pada siswa SD Pertiwi 2 Padang.
Skripsi. Padang: Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Andrew GA, Wanda LG, Pedrino KJ,
Lyons PE. (2014). A prospective
multifactorial intervention on
subpopulations of predominately
Hispanic children at high risk for
obesity. Obesity;22:249–53.
doi:10.1002/oby.20557
Aswatini, Mita Noveria dan Fitranita.
(2008). Konsumsi Sayur dan Buah
di Masyarakat dalam Konteks
Pemenuhan Gizi Seimbang, Jurnal
Kependudukan Indonesia Vol. Ill,
No. 2.
Bidjuni, Hendro, Sefti Rompas dan
Meisy Indriany Bambuena. (2014).
Hubungan Pola Makan dengan
Kejadian Obesitas pada Anak Usia
8-10 Tahun di SD Katolik 03 Frater
Don Bosco Manado. Skripsi.
Universitas Sam Ratulangi.
Chung CJ, Huang YG. (2016). Predictive
factors for accuracy of perception
of parents regarding their
overweight or obese children in
Taiwan. Asia Pac J Clin Nutr;
25(3):5717.doi:10.6133/apjcn.0920
15.18. PubMed PMID: 27440693.
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (2013). Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar Indonesia
(Riskesdas), Jakarta.
Dinas Kesehatan. (2015). Profil
Kesehatan Tahun 2015 Kota
Yogyakarta (Data Tahun 2014),
Yogyakarta.
Irianto, Koes. (2014). Gizi Seimbang
Dalam Kesehatan Reproduksi,
Bandung : Alfabeta.
Juliantini Ni Putu Lia, dan I Gusti
Lanang Sidiartha. (2013).
Hubungan Riwayat Obesitas pada
Orangtua dengan Kejadian Obesitas
pada Anak Sekolah Dasar. Skripsi:
Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Koplan JP, Liverman CT, Kraak VL.
(2005). Preventing childhood
obesity: Health in the balance:
Executive summary. Journal
American Dietetic Association.
2005;105:131‐138.
Kementerian Kesehatan RI. (2012).
Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Kegemukan dan
Obesitas pada Anak Sekolah,
Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta.
Marlon F, Selby SDN, Nequesha D. The
effects of a school-based
intervention programme on dietary
intakes and physical activity among
primary-school children in Trinidad
and Tobago. Public Health Nutr.
2010;13(5):738–47.
Min, J., Wang, V., Xue, H., Mi, J., &
Wang, Y. (2017). Maternal
perception of child overweight
status and its association with
weight related parenting practices,
their children‟s health behaviours
and weight change in China.
Public Health Nutrition, 18.
doi:10.1017/S1368980017001033
Nirmala A, Reddy BM, Reddy PP.
(2008). Genetics of Human
Obessity: An Overview. Int J Hum
Genet; 8(1-2): 217-26 15.
Nirwana, Ade Benih. (2012). Obesitas
Anak dan Pencegahannya.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Octari, Cici, Nur Indrawaty Liputo,
Edison. (2014). Hubungan Status
Sosial Ekonomi dan Gaya Hidup
dengan Kejadian Obesitas pada
Siswa SD Negeri 08 Alang Lawas
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas
;3(2)
Pahlevi, Andriani Elisa. (2012).
Determinan Status Gizi Pada Siswa
Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan
Masyarakat KEMAS 7 (2) 122-126.
Parengkuan Rendy Reynaldy, Nelly
Mayulu, dan Tati Ponidjan. (2013).
Hubungan Pendapatan Keluarga
dengan Kejadian Obesitas pada
Anak Sekolah Dasar Dikota
Manado. Skripsi: Universitas Sam
Ratulangi.
Phillips MM, Raczynski JM, West DS,
Pulley LV, Bursac Z, Leviton LC.
(2013). The evaluation of
Arkansas Act 1220 of 2003 to
reduce childhood obesity:
conceptualization, design, and
special challenges. Am J
Community Psychol;51:289–98.
Rahayu, SS. (2008). Prevalensi Obesitas
pada Siswa-Siswi Kelas 5 dan 6
Berdasarkan Kebiasaan Jajan,
Makanan Fast Food, Pendapatan
Oang Tua, dan Pengetahuan Gizi
Ibu di SD Ciriung 1 Bogor. Skripsi.
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Reyes I, Higgins M. Parental perception
of child's body mass index and
health within primary care. (2017).
Journal American Association of
Nurse Practitioners. Jul;29(7):375-
383. doi: 10.1002/2327-
6924.12463. Epub 2017 Apr 25.
PubMed PMID: 28440560.
Robbins, Stephen Dan Coulter,
Mary. (2008). Manajemen. Jakarta:
Gramedia.
Sartika, Ratu Ayu Dewi. (2011). Faktor
Risiko Obesitas Pada Anak 5-15
Tahun Di Indonesia, Jurnal
Makara Kesehatan, Vol. 15, No. 1,
Juni 2011: 37-43 37.
Syamsuri, Istamar. (2007). IPA Biologi
Untuk SMP. Malang: Erlangga.
Thoha, M .2010. Kepemimpinan dan
Manajemen. Jakarta: Rajawali Pers.
Tzou IL, Chu NF. (2012). Parental
influence on childhood obesity: A
review. Health; 4 (12A):1464-70
WHO. (2016). Obesity and overweight
dalam http://www.who.int/media
centre/fact sheets/fs311/en/ diakses
tanggal 28 Januari 2017.
Yulaeni, Rizki, Mona Saparwati dan Umi
Aniroh. (2015). Hubungan Antara
Pola Makan Dengan Kejadian
Obesitas Pada Anak Usia 7-12
Tahun Di SD Mardi Rahayu
Ungaran. Skripsi: STIKES Ngudi
Waluyo Ungaran.