praktik akuntansi sumber daya manusia pada klub …
TRANSCRIPT
191
Abstrak: Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Riset ini berupaya untuk memahami penerapan akuntansi terhadap pemain dan pelatih pada klub sepak bola. Studi kasus digunakan sebagai metode dengan salah satu klub sepak bola sebagai situs riset. Hasil riset menunjukkan meskipun manajemen klub telah mengakui pemain dan pelatih merupakan aset klub, tidak adanya standar akuntansi dan panduan mengenai hal tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengakuan dan pencatatan. Manajemen klub masih memperlakukan pemain dan pelatih sebagai beban sebagaimana tercermin dari laporan keuangannya. Oleh karena itu, pengembangan atas standar akuntansi diperlukan, khususnya yang berkiatan dengan sumber daya manusia. Abstract: Human Capital Accounting Practices at Football Club. This research seeks to understand the application of accounting to players and coaches on a football club. Case studies are used as a method with the one of football club as a research site. This research shows that although club management has recognized players and coaches as club assets, the absence of accounting standards and guidance on this matter causes dif-ferences in recognition and recording. Club management still treats players and coaches as burdens as reflected in its financial statements. Therefore, the development of accounting standards is needed, especially those relat-ed to human resources.
Pergeseran paradigma dunia bisnis dewasa ini yang pada awalnya mengandalkan aset fisik menuju knowledge-based industry, telah memberikan khazanah tersendiri bagi perkembangan akuntansi secara glo bal (Cooper & Johnston, 2012; Janin, 2017; Nicoliello & Zampatti, 2016; Oprean & Oprisor, 2014). Kondisi ini secara tidak langsung memaksa akuntansi untuk keluar dari “zona nyamannya” agar dapat mengakomodasi kebutuhan akan standar akuntansi yang baru dan lebih sesuai dengan kondisi teraktual. Muncul standarstandar akuntansi yang sebelum
nya tidak ada kini dibutuhkan akuntansi untuk aset takberwujud, yakni merek, lisensi, intellectual capital, dan berbagai aset takberwujud lainnya. Asetaset baru tersebut tentu saja membutuhkan perubahan dan penyesuaian atas standar akuntansi lama yang sudah ada untuk mengakomodisasi kebutuhan untuk menampilkan keadaan finansial perusahaan atau organisasi yang sesungguhnya melalui laporan keuangan (Firdlo, 2012; Ghasemi et al., 2018; Nurindrasari et al., 2018; Triyuwono, 2015).
Volume 11Nomor 1Halaman 191-207Malang, April 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879
Mengutip ini sebagai: Ridhawati, R., Ludigdo, U., & Prihatingtyas, S. (2020). Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 191207. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.12
PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB SEPAK BOLA
Rini Ridhawati, Unti Ludigdo, Yeney Widya Prihatingtias
Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145
Tanggal Masuk: 18 November 2019Tanggal Revisi: 26 Februari 2020Tanggal Diterima: 30 April 2020
Surel: [email protected], [email protected], [email protected]
Kata kunci:
akuntansi sumber daya manusia,pelaporan,pengakuan,sepak bola
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(1), 191-207
192 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
Salah satu aset yang isunya masih menjadi perbincangan dan perdebatan tidak berujung dalam pengembangan akuntansi, yaitu standar yang terkait dengan sumber daya manusia (Human Resources Account-ing/HRA). Topik HRA sejatinya diperbincangkan secara mendalam oleh para akademisi dan praktisi misalnya Baxter et al. (2019), Clune et al. (2019), Cooper & Johnston (2012), Ejiogu & Ejiogu (2018), Lee & Cheng (2018), McCoy et al. (2019), dan Nicoliello & Zampatti (2016). Standar ini tentunya tidak lepas dari pro dan kontra terutama mengenai bagaimana cara yang tepat untuk mengakui manusia di dalam organisasi, khususnya organisasi bisnis. Meskipun telah lama mendapat perhatian dari para pakar, sampai saat ini belum ada satu standar yang disepakati untuk kriteria pengukuran nilai sumber daya manusia yang objektif. Apalagi jika mengakuinya sebagai aset, dari sisi definisi, belum semuanya dapat memenuhi syarat sebagai aset sehingga masih dipertentangkan relevansi, keandalannya, serta moralitasnya (Risaliti & Verona, 2013).
Area olahraga profesional selalu menjadi area yang menarik bagi akademisi yang bergelut dalam akuntansi sumber daya manusia. Hal ini dikarenakan eksistensi dari aspek pengukuran dalam bentuk sistem transfer, yang mewajibkan biaya yang dibayarkan untuk memindahkan registrasi pemain dari satu klub ke klub lainnya. Sepak bola pada awalnya hanya dilihat sebagai cabang olahraga semata, tetapi saat ini telah berkembang menjadi salah satu industri sendiri yang menghasilkan uang. Alasan mengapa perlu adanya penilaian mengenai manusia sebagai aset dalam klub sepak bola ialah karena dana yang ada dalam industri sepak bola sendiri bukanlah dana yang kecil, yang berarti peluang ekonomi yang ada di dalamnya cukup menjanjikan. Dana yang diperoleh sebagian besar digunakan untuk membeli pemain yang dianggap berpotensi untuk meningkatkan kinerja klub sepak bola tersebut serta menyewa pelatih dengan tujuan yang sama. Tentu saja, pihakpihak yang berkepentingan seperti sponsor, fans, dan pemegang saham ingin mengetahui bagaimana dana yang diperoleh klub digunakan dan dikelola. Pihakpihak yang berkepentingan tersebut tentu saja menginginkan adanya laporan, yang bisa saja berbentuk laporan keuangan yang memuat bagaimana dana yang ada digunakan oleh pengelola klub. Namun, belum adanya stan
dar akuntansi khusus untuk klub sepak bola, baik nasio nal maupun internasional menjadikan tidak adanya acuan untuk menilai apakah laporan posisi keuangan yang disajikan oleh pengelola klub sepak bola sudah mengungkapkan kondisi keuangan klub yang sebenarnya
Penelitian ini bukanlah penelitian pertama yang membahas mengenai bagaimana memperlakukan dan menilai manusia sebagai aset khususnya pemain dan pelatih klub sepak bola. Namun hasil risetnya masih kontradiktif. Misalnya riset yang dilakukan oleh Scafarto & Dimitropoulos (2018) yang berfokus pada legitimasi pengakuan kontrak pemain sebagai aset takberwujud dalam lapor an posisi keuangan. Ia me nemukan bahwa kontrak pemain ini tidak memenuhi kriteria pengakuan yang telah ditetapkan oleh IFRS atas manfaat ekonomi di masa depan. Lalu Kulikova & Goshunova (2014) yang mencoba membandingkan berbagai set teori dan metodologi serta saran praktikal me ngenai pengembangan pe ngakuan akuntansi atas pemain muda sepak bola pada klub sepak bola profesio nal. Walaupun saat ini pengakuan akuntansi mengenai biaya akuisisi atas pemain profesional sudah berkembang dan digunakan dalam praktik manajemen organisasi sepak bola, perlakukan akuntansi yang khusus untuk biaya akuisisi pemain muda masih diabaikan. Oleh karena itu, terdapat sebagian dari aset yang tidak direfleksikan dalam sistem akuntansi dan laporan posisi keuang an klub sepak bola. Riset lainnya yang dilakukan oleh PuenteDíaz & CavazosArroyo (2018) menemukan bahwa seluruh klub sepak bola telah memenuhi syarat minimum dari IAS 38 dan UEFA. Namun, bagaimana dan informasi seperti apa yang diungkapkan oleh masingmasing klub sepak bola pada laporan keuang an mereka berbeda secara subtansional dan karena masih kurang nya model evaluasi dan kemung kinan untuk mengapitalisasi home-grown players dan pemain dengan agen bebas, sehingga penilaian atas pemain masih belum bisa dianggap sudah disajikan de ngan nilai yang wajar dan sesungguhnya. Pada sisi lainnya, riset yang dilakukan oleh Oprean & Oprisor (2014) yang mencoba menyajikan dampak industri sepak bola atas ekonomi, serta bagaimana registrasi kontrak pemain dibingkai oleh bidang HRA, hingga bagaimana teknik akuntansi yang digunakan dapat berefek pada representasi posisi keuangan klub. Hal ini
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 193
tentu saja dipengaruhi standar akuntansi yang diimplementasikan oleh manajemen klub sepak bola pada kontrak pemain dan bagaimana standar akuntansi dapat diinterpretasikan dan diterapkan. Tujuan akhirnya ialah untuk menunjukkan teknik akuntansi dan metode penilaian mana yang paling tepat untuk menyajikan nilai wajar yang sesunguhnya atas pemain dalam laporan keuangan.
Riset ini berbeda dengan riset sebelumnya. Riset ini membahas bagaimana perlakuan akuntansi tidak hanya pemain, tetapi juga pelatih sebagai aset takberwujud dalam klub sepak bola. Perlakuan akuntansi yang dimaksud dalam riset ini mencakup perekrutan pemain dan pelatih, penentuan kontrak, hingga penyajiannya dalam laporan keuangan. Khususnya dalam klub sepak bola di Indonesia, yang pengelolaan klubnya belum sepadan dengan klub sepak bola di Eropa. Riset ini menawarkan standar akuntansi “sementara” bagi klub sepak bola di Indonesia, khususnya pada aspek penyajian informasi akuntansi mengenai pemain dan pelatih. Selain itu, riset ini juga mencoba membangun konstruksi dasar pengukuran nilai pemain dan pelatih dalam klub sepak bola dalam ukuran moneter.
METODEUntuk mengetahui bagaimana per
lakuan akuntansi menilai sumber daya manusia dalam klub sepak bola sebagai aset, khususnya dalam ukuran moneter, tidak cukup hanya dilihat secara kasat mata melalui laporan keuangan klub sepak bola semata. Langkah manajemen dalam menentukan angka dalam moneter, yang tertuang di dalam kontrak pemain hingga di dalam laporan keuangan klub, yang menggambarkan nilai sumber daya manusia di klub sepak bola tersebut dalam ukuran moneter, tentu saja melalui dasardasar yang ditetapkan oleh manajemen. Dasardasar yang mempengaruhi kebijakan dalam penentuan “harga sumber daya manusia” di dalam klub sepak bola tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang manajemen. Oleh karena itu, riset tidak dapat hanya dilakukan dari sudut pandang pihak yang netral atau berjarak dari objek riset. Dengan kata lain, riset ini berusaha seminimal mungkin mengurangi jarak dengan objek riset agar memahami bagaimana perlakuan metode akuntansi yang diterapkan oleh ma
najemen Bambang FC (klub samaran) dalam menilai manusia yang dimilikinya.
Studi kasus digunakan pada riset ini untuk mengeksplorasi perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih yang diterapkan di Bambang FC dengan sistem terbatas kontemporer atau kasus, melalui pengumpulan data yang mendetail dan mendalam, dan melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk seperti wawancara (Darmayasa & Aneswari, 2015). Selain itu, studi kasus merupakan metode yang disarankan jika di dalam riset, peneliti tidak bisa mengontrol keberadaan peristiwa (Yin, 2018). Riset ini juga berfokus pada fakta yang terjadi pada kehidupan nyata. Penggunaan studi kasus juga dikarenakan riset ini lebih ke arah generalisasi secara analitikal dengan mengembangkan dan menganalisasi teori. Studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini merupakan studi kasus deskriptif.
Informan dalam riset ini dipilih dengan alasan bahwa pihak tersebut berkait an langsung dalam perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC. Selain itu, informan juga mengetahui dan paham bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC. Informan yang berasal dari manajemen Bambang FC yaitu Sudirman (nama samaran) yang merupakan sekretaris umum, asisten manajer Bambang FC U19, dan manajer ope rasional akademi Bambang FC, Mince selaku staf akuntansi, serta Mergie yang juga merupakan staf akuntansi. Informan yang berasal dari luar manajemen klub sepak bola tetapi mengetahui dan memaham i perlakuan akuntansi dalam Bambang FC ialah Suyono selaku auditor eksternal yang mendapat tugas audit laporan keuang an.
HASIL DAN PEMBAHASANPemain dan pelatih sebagai aset:
hanya sekadar pengakuan. Aset secara umum dapat dikatakan sebagai sumber daya yang saat ini dikuasai entitas sebagai hasil dari peristiwa masa lalu atau sumber daya ekonomi yang dimiliki yang berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi. Implikasinya, pemain dan pelatih memenuhi definisi aset bagi klub sepak bola untuk diakui secara aset menurut IFRS. Pemain dan pelatih me rupakan sumber daya yang “dimiliki” entitas, dalam hal ini klub sepak bola terkait, sebagai hasil dari peristiwa di
194 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
masa lalu, yang merupakan transaksi jual beli atas “hak” mempergunakan jasa atau kemampuan dari pemain dan pelatih. Pemain dan pelatih dalam sebuah klub sepak bola juga dapat dianggap sebagai sumber daya ekonomi bagi klub sepak bola tersebut, yang memiliki potensi untuk menghasilkan manfaat ekonomi bagi klub. Contoh manfaat ekonomi bagi klub sepak bola tersebut misalnya saja melalui pendapatan atas penjualan tiket pertandingan, sponsorship, penjualan merchandise klub, hingga laba yang didapatkan dari “jual beli” pemainnya. Ghio et al. (2019) dan Torre et al. (2018) juga menjelaskan bahwa ketika pemain menandatang ani kontrak, entah pemain tersebut “dibeli” oleh klub atau merupakan pemain homegrown, pemain tersebut mengakui hak klub atas manfaat ekonomi bagi klub di masa depan melalui jasa yang ia berikan. Oleh karena itu, ketik menandatangani kontrak, pemain dapat “digunakan” oleh klub untuk mendapatkan manfaat ekonomi di masa depan bagi manajemen klub sebagai hasil dari peristiwa di masa lalu.
Secara konsep Bambang FC telah mengetahui dan memahami bahwa pemain dan pelatihnya pada dasarnya merupakan aset terbesar bagi klub. Begitu juga dengan pemain muda binaan Bambang FC. Alasan mengapa Bambang FC menganggap pemain dan pelatihnya sebagai aset dijelaskan oleh Sudirman:
“Pemain itu ya asetnya Bambang FC. Bambang FC performanya bagus, mainnya bagus, kan mendatangkan banyak pemasukan toh? Dari tiket, sponsor. Bagus jeleknya Bambang FC keliatan dari pemain nya (Bambang FC) gimana. Terus kaya tadi, Bambang FC punya pemain muda. Bisa kita masukin ke tim utama kita, atau kita jual. Kita sewakan ke klub lain juga bisa kalo kita ga pake. Dapat pemasuk an toh Bambang FC? Kalo pelatih yah 11 12 lah” (Sudirman).
Namun, pemahaman mengenai konsep pemain dan pelatih, serta pemain muda binaan Bambang FC sebagai aset tersebut masih sebatas pemahaman saja. Hal ini terlihat dari proses pengakuan, pencacatan, hingga penyajian informasi akuntansi atas pemain dan pelatih di Bambang FC. Bambang FC
belum mengakui pemain dan pelatih sebagai aset takberwujud dengan sepenuhnya. Bambang FC belum mencatat nilai pemain dan pelatihnya sebagai aset takberwujud dalam pencatatan akuntansinya. Adapun pencatatan akuntansi terkait dengan pemain aset takberwujud dan pelatih hanyalah gaji yang dibayarkan atas pemain dan pelatih yang masih dibebankan ke akun beban. Sementara itu, dalam rincian akun aset misalnya, tidak ditemukan akun aset yang berhubungan dengan pemain ataupun pelatih Bambang FC. Tidak ada jurnal yang dicatat oleh bagian akuntansi Bambang FC ketika Bambang FC “menjual” atau “membeli” pemain maupun saat merekrut atau melepas pelatih. Hal yang seharusnya dilakukan oleh manajemen Bambang FC jika manajemen Bambang FC benarbenar mengakui serta memahami bahwa pemain dan pelatihnya merupakan aset bagi klub, seperti penuturan Mince berikut ini:
“Ya seharusnya sih seperti itu ya mbak. Dicatat waktu kita tanda tangan kontrak baru atau jual pemain, soalnya kan pemain sama pelatih kan termasuk aset. Cuma kita nyatetnya (hal yang berkaitan dengan pemain dan pelatih dalam Bambang FC) ya cuma saat kita bayar gajinya aja.” (Mince).
Manajemen hanya mengerti bahwa pemain dan pelatih di Bambang FC merupakan aset klub, bahkan aset terbesar. Namun, bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih di dalam klub sepak bola, bagaimana perlakuan akuntansi tersebut diterapkan, tidak dipahami. Tidak adanya standar yang mengatur bagaimana klub sepak bola seharusnya menilai pemain dan pelatihnya sebagai aset, khususnya dalam standar akuntansi yang diterapkan di Indonesia, baik PSAK maupun SAK menjadi alasan utama bagi Bambang FC belum mengakui, mencatat, dan melaporkan pemain dan pelatihnya sebagai aset dalam laporan keuangan. Begitu juga ketiadaaan panduan atau pedoman dari pihak federasi sepak bola Indonesia, sebagai lembaga nasio nal yang mengatur sepak bola di Indonesia, juga tidak mengatur mengenai bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih klub sepak bola sebagai aset, seperti diutarakan Mergie pada kutipan berikut ini.
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 195
“Saya gak tahu mbak gimana nya-tetnya. Belum ada standarnya soalnya. Saya tahunya ya pas bayar gaji pemain dan pelatih. Yang standarstandar lah mbak. Kaya akuntansi di perusahan biasa” (Mergie).
Tidak hanya perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatihnya sebagai aset yang belum diterapkan oleh Bambang FC. Penentuan nilai kontrak pemain dan pelatih, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai penentuan nilai pemain dan pelatih yang menjadi nilai aset bagi Bambang FC, masih merupakan hasil tawar menawar antara pihak manajemen Bambang FC dengan pemain maupun pelatih saat penandatanganan kontrak. Manajemen Bambang FC sendiri sudah mempunyai kriteria tetapi belum dijadikan standar internal. Namun, penentuan atas harga taksiran wajar seorang pemain ataupun pelatih menurut manajemen, merupakan diskresi manajemen sendiri. Hasil diskresi inilah yang kemudian menjadi dasar bagi manajemen saat melakukan tawar menawar mengenai nilai kontrak baik dengan pemain maupun dengan pelatih.
Perlakuan pemain dan pelatih dalam klub sepak bola yang masih dianggap beban oleh klub sepak bola, tidak hanya dilakukan oleh manajemen Bambang FC saja, tetapi juga dilakukan oleh klubklub sepak bola lainnya di Indonesia. Ketiadaan standar ataupun panduan me ngenai bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih, yang seharusnya diakui sebagai aset, juga dibenarkan oleh Suyono sebagai alasan manajemen Bambang FC belum memperlakukan pemain dan pelatih sebagai aset. Selain itu, pengelolaan klub sepak bola di Indonesia, yang masih belum profesional, dan baru beberapa tahun ini mengarah menuju profesional juga menjadi salah satu alasan mengapa perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih masih belum sesuai. Suyono lebih lanjut menjelaskan:
“Kalo di Indonesia itu, pengelolaan masih belum profesional. Dari yang saya ketahui ya, karena beberapa klub (sepak bola) memang kita yang audit. Tapi pemberlakuan SDM (sumber daya manusia) sebagai aset masih belum. Pemain sama pelatih untuk dianggap aset masih belum mbak.
Kebanyakan dibebankan. Apalagi kebanyakan kontrak (pemain dan pelatih) di Indonesia hanya satu musim selesai. Terkadang musim belum selesai, pemain itu kan kadang banyak permintaan nya, (jadi) kadang diputus di tengah jalan. Apalagi pengelolaan (klub sepak bola) di Indonesia ini beda dengan di luar. Di Indonesia ini terkadang (hanya) hobi. Jadi agak susah untuk menuju (pengelolaan) profesional” (Suyono).
Saat ini manajemen klubklub sepak bola di Indonesia telah berusaha untuk menuju ke pengelolaan klub yang lebih profesional. Salah satu alasannya adalah klubklub sepak bola di Indonesia sedang berusaha memenuhi syarat dari AFC, untuk pengelolaan klub sepak bola yang lebih profesional. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar klub sepak bola di Indonesia merupakan milik daerah, di mana dana yang digunakan untuk kegiatan operasional bersumber dari APBD. Dana tersebut termasuk digunakan untuk membeli pemain dan mengontrak pelatih. Diharapkan ketika klub sepak bola tidak lagi bergantung pada APBD, manajemen pengelolaan klub sepak bola pun menjadi lebih baik dan profesional.
Pemain dan pelatih: aset atau beban? Besarnya nilai dalam transaksi yang berkaitan dengan pemain ataupun pelatih dalam sebuah klub sepak bola, menjadikan nilai nominal mereka sebagai akun yang material dalam laporan posisi keuangan klub. Pemain dan pelatih dalam sebuah klub sepak bola merupakan salah satu faktor penentu bagi klub untuk mendatangkan pendapatan bagi klub tersebut. Pemain dan pelatih di dalam sebuah klub sepak bola merupakan aset paling besar yang ada di klub tersebut. Hal ini jelas karena klub sepak bola yang memiliki tim yang berkualitas bagus, dapat membawa pendapatan dan laba bagi klub tersebut, misalnya saja melalui tiket pertandingan, produk sponsor, merchandise klub, hingga transfer fee pemain.
Pemain pada dasarnya memenuhi definisi dan kriteria sebagai aset takberwujud. Klub sepak bola “membeli” pemain untuk menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan. Manfaat ekonomis dalam hal ini ialah kontribusi pemain atau jasa pemain yang merupakan sesuatu yang intangible. Pemain dapat direkognisi dengan jelas se
196 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
hingga dapat “dijual” atau “disewakan”. Klub juga memiliki otoritas atas pemain melalui kontrak yang ditandatangani oleh kedua belah pihak sehingga harga perolehan pemain dapat diukur secara andal, misalnya melalui pasar transfer aktif.
Pada sisi lainnya, Lozano & Gallego (2011) dan Müller et al. (2017). juga berpendapat bahwa pemain merupakan aset inti dalam sebuah klub sepak bola karena pe ngaruh yang mereka miliki. Mereka menjelaskan bahwa memiliki pemain yang baik dan terkenal baik dalam segi keterampilan maupun kualitas yang dapat dipasarkan berkontribusi secara substansial pada peningkatan reputasi klub. Reputasi klub yang lebih baik, menghasilkan image klub yang lebih kuat, yang membawa peningkatan penjualan dan kekuatan negosiasi dengan media massa, sponsor, dan sebagainya. Tentu saja hal ini akan meningkatkan kapasitas dalam menghasilkan pendapatan di masa depan.
Temuan kedua peneliti tersebut juga didukung oleh Lardo et al. (2017) dan Oprean & Oprisor (2014). Mereka berpendapat bahwa pemain dan pelatih sebagai aset. Pemain dan pelatih, khususnya pemain, merupakan elemen paling penting dalam sebuah klub sepak bola. Keduanya bahkan berpendapat, tanpa pemain, aset lainnya milik sebuah klub sepak bola seakan tidak begitu berarti. Namun, menurut mereka, mengganggap kontrak sebagai aset dalam pembukuan merupakan hal yang tidak boleh dilakukan. Seseorang tidak memiliki hak properti atau hak kepemilikan atas orang lain. Menganggap kontrak pemain dan pelatih sebagai aset, berarti klub sepak bola tempat pemain dan pelatih tersebut bernanung dapat menggunakan pemain dan pelatih secara keseluruhan.
Berbeda dengan aset tak berwujud lainnya, dalam mengidentifikasi aset manusia, manfaat ekonomi di masa depan diasosiasikan dengan manusia melalui kemampuan tenaga kerja menghasilkan arus kas dan jasa lainnya yang menciptakan manfaat ekonomi di masa depan (Bullough& Coleman, 2019; Coluccia et al., 2018). Hal ini yang kemudian menjadi perdebatan mengenai “pengakuan hak” atas manfaat ekonomi di masa depan yang dihasilkan oleh manusia. Manusia “tidak dapat” dimiliki seperti perusahaan memiliki aset berwujud maupun tidak berwujud. Oleh karena itu, klub sepak bola tidak dapat mengklaim bahwa klub memili
ki hak sepenuhnya atas pemain dan pelatih sebagai aset. Namun, klub sepak bola dapat mengharapkan jasa yang disediakan oleh tenaga kerja, dalam hal ini pemain dan pelatih sepak bola. Jasa yang diharapkan inilah yang dapat dikontrol dan kepemilikan klub sepak bola berbentuk kontrak kerja.
Walaupun karyawan pada perusahaan dan pemain bola serta pelatih samasama merupakan pekerja, terdapat perbedaan signifikan di antara keduanya. Dimitropoulos & Koumanakos (2015) dan Regoliosi (2018) menjelaskan perbedaan paling signifikan antara karyawan pada perusahaan dan pemain bola ialah kepemilikan eksklusif atas pemain yang terdaftar adalah aset terbesar bagi klub. Pemain profesional yang dipekerjakan oleh klub wajib terdaftar di liga dan asosiasi yang menjadi tempat mereka berafiliasi. Pemain profesional yang terdaftar pada liga dan asosiasi tempat mereka berafliasi menandakan kepemilikan ekslusif atas pemain tersebut. Kepemilikan ekslusif inilah yang kemudian diperjualbelikan oleh klub sepak bola. Oleh karena itu, yang dimaksud pemain dan pelatih sebagai aset ialah kepemilikan eks klusif atas pemain dan pelatih.
Namun, jika melihat pemain dan pelatih sebagai beban karena klub sepak bola tempat mereka bernanung harus membayar gaji setiap bulannya selama periode tertentu juga bukan pilihan yang bijak. Hal ini karena tidak menggambarkan nilai pemain dan pelatih dalam laporan posisi keuangan, yang merupakan sumber manfaat ekonomi utama bagi sebuah klub sepak bola. Mengakui pemain dan pelatih sebagai beban dikatakan sebagai kebijakan “beban” oleh Regoliosi (2018). Selain itu, kebijakan “beban” menurut Dimitropoulos & Koumanakos (2015) merupakan perlakuan konvensional dan tradisional di mana klub sepak bola memperlakukan transfer fee sebagai beban dalam akun laba rugi. Transfer fee sendiri merepresentasikan sebuah kompensasi atas pemutusan sebuah kontrak dikarenakan pemain pindah ke klub lainnya. Transaksi tersebut diakui sebagai beban operasional atau hal “luar bisa” dalam periode di mana kontrak ditandatangani. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada beban yang dilaporkan lebih tinggi serta mengurangi pendapatan pada periode kontrak ditandatangani. Selain itu, kebijakan “beban” ini juga tidak menggambarkan nilai pemain dan pelatih dalam laporan posisi keuangan, yang didasari karena manfaat masa depan yang
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 197
mungkin dihasilkan oleh pemain tidak pasti dikarenakan terdapat faktor cedera, yang memungkinkan pemain tidak dapat bermain bagi klub. Bambang FC sendiri masih menerapkan kebijakan “beban” ini atas pemain dan pelatih yang bernanung dalam klub nya. Selain permasalahan pengakuan pemain dan pelatih sebagai beban operasional atau sebagai aset bagi klub, permasalahan lain yang menyangkut pemain dan pelatih ialah mengenai penilaian pemain dan pelatih. Hal ini karena tidak ada dua individu yang identik dan sama persis, bahkan manusia yang terlahir kembar sekalipun memiliki karateristik yang berbeda. Begitu juga dengan pemain dan pelatih. Bagaimana cara mengukur nilai pemain dan pelatih secara objektif merupakan permasalahan lainnya dalam akuntansi yang berkaitan dengan industri sepak bola.
Praktik akuntansi saat ini, khususnya dalam klub sepak bola Indonesia, memang masih memperlakukan biaya perekrutan, pelatihan, hingga pengembangan kemampuan pemain dan pelatih sepak bola sebagai beban pada periode saat terjadinya aktivitas tersebut. Ghio et al. (2019) mengungkapkan bahwa praktik tradisional dalam akuntansi untuk pemain telah mengecualikan evaluasi apa pun atas pemain dari laporan posisi keuangan. Entah pemain tersebut “dibeli” dari pasar transfer maupun yang dikembangkan oleh klub secara internal. Torre et al. (2018) menjelaskan bahwa selama ini transfer fee (dan segala biaya yang berkait an untuk mendapatkan pemain), dibeban kan ke akun pendapatan dan beban lainlain pada tahun transfer pemain terjadi. Demikian pula dengan PuenteDíaz & CavazosArroyo (2018) yang mengungkapkan bahwa transfer fee mengakibatkan laba lebih sedi kit pada periode tersebut. Tidak hanya itu, peningkatan pendapatan di masa depan hasil dari perekrutan, pelatihan hingga pengembangan kemampuan pemain dan pelatih dalam sepak bola tersebut akan tercermin pada laporan laba rugi di masa depan tanpa biaya. Dengan kata lain, konsep kesesuaian antara pendapatan dan beban terkait tidak terjadi. Bloom & Kamm (2014) juga mengungkapkan bahwa perusahaan seharusnya mencerminkan biaya yang dikeluarkan saat merekrut pekerja hingga pengemba ngan kemampuan sebagai aset jangka panjang karena diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Biayabiaya ini harus diamortisasi atau dialokasikan selama
umur manfaat ekonomisnya secara garis lurus atau sama rata. Kapitalisasi biaya yang dikeluarkan saat perekrutan pekerja juga didukung oleh Firdlo (2012) yang berpendapat bahwa biaya yang dikeluarkan organisasi untuk merekrut, mengembangkan, dan mendayagunakan manusia merupakan bentuk investasi untuk memperoleh “aset manusia” selayaknya pengapitalisasian biaya ke dalam harga perolehan aset tetap.
“Mencontek” perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih di klub sepak bola Eropa: Liverpool dan Manchester United. Belum adanya standar mengenai penilaian pemain dan pelatih sebagai aset dalam laporan keuangan, baik dari DSAK – IAI maupun dari lembaga yang mengelola industri sepak bola, menjadi alasan utama perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih sebagai aset dalam klub sepak bola belum diterapkan dengan baik. Walaupun begitu, manajemen klub sepak bola di Indonesia dapat mengadopsi sistem akuntansi yang telah diterapkan oleh manajemen klub sepak bola di luar negeri, yang telah dikelola dengan profesional dan memilki panduan mengenai bagaimana pemain dan pelatih dalam klub sepak bola, sebagai aset diakui, dicatat, serta disajikan dalam laporan keuangan. Jika dibandingkan dengan industri sepak bola di luar negeri, khususnya di benua Eropa, Industri sepak bola di Indonesia sendiri masih sangat jauh tertinggal. Di Eropa, klub sepak bola sudah dikelola secara profesional. Sahamsaham klub bola di Eropa pada u mumnya sudah diperjualbelikan di bursa saham. Oleh karena itu, melampirkan laporan keuangan tahunan merupakan kewajiban bagi klubklub sepak bola tersebut. Salah satu infromasi yang ada di laporan keuangan yang disediakan oleh klubklub tersebut ialah informasi mengenai pemain yang dikategorikan sebagai aset tak berwujud. Secara umum klubklub sepak bola di Eropa memasukkan sumber daya manusianya dalam hal ini pemain dan pelatih dalam klubnya sebagai aset takberwujud. Misalnya saja Liverpool dan Manchester United.
Liverpool membagi aset takberwujudnya menjadi dua kategori, yaitu goodwill dan player registrations. Liverpool mencatat player registrations dengan nilai saat pemain tersebut “dibeli” oleh Liverpool. Liverpool juga melakukan amortisasi dan revaluasi pada player registrations dengan adanya akun impairment yang dijabarkan pada Catatan Atas Laporan Keuangan. Nilai
198 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
pemain ditampilkan pada laporan posisi keuangan Liverpool merupakan nilai buku bersih setelah dikurangi amortisasi pada tahun berjalan dan kerugian maupun keuntungan hasil revaluasi. Liverpool mencatat nilai pemainnya sebesar biaya yang berkaitan saat mengakuisisi pemain. Biaya tersebut dikapitalisasi dan diamortisasi berdasarkan jangka waktu kontrak pemain. Jika pemain tersebut memperpanjang kontrak, amortisasi dihitung berdasarkan penambahan jangka waktu kontrak dari tanggal penandatanganan kontrak. Keuntungan dan kerugian yang didapatkan saat pelepasan pemain dihitung berdasarkan transfer fee yang diterima dikurangi nilai buku pada saat transaksi penjualan pemain tersebut, dikurangi biaya yang terkait atas transfer pemain tersebut. Catatan Atas Laporan Keuangan juga memaparkan bahwa manajemen Liverpool dapat melakukan revaluasi atas aset takberwujud, termasuk kontrak pemain sesuai dengan Financial Reporting Standard (FRS) 102 Section 27, jika terdapat indikasi mengenai penurunan nilai atas aset takberwujud. Namun, mengenai bagaimana Liverpool menghitung impairment atau melakukan revaluasi atas pemainnya, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Catatan Atas Laporan Keuangan.
Liverpool menjabarkan informasi dengan cukup detail mengenai perlakuan akuntansi pemainnya. Namun, informasi mengenai bagaimana klub sepak bola Liverpoool menerapkan perlakuan akuntansi atas pelatihnya, baik dari sisi pengakuan, pencatatan, hingga penyajian dalam laporan keuang an, tidak disajikan dalam laporan posisi keuang an Liverpool. Jika dibandingkan de ngan Liverpool, informasi mengenai bagaimana perlakuan akuntansi Bambang FC atas pemain dan pelatih sebagai aset dalam lapor an keuangan tahunan tidak tersedia dalam laporan keuangan. Bambang FC tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana pemain dan pelatih nya diakui dan dicatat dalam akuntansi serta bagaimana pemain dan pelatihnya disajikan dalam laporan keuangan.
Tidak jauh berbeda dengan Liverpool, Manchester United juga menggolongkan pemainnya ke dalam kelompok aset tak berwujud. Manchester United menjelaskan dengan cukup dalam mengenai bagaimana perlakuan akuntansi Manchester United atas pemain ataupun pelatihnya sebagai aset. Hal ini tertuang dalam laporan tahunan da
lam Form 20-F United States Securities and Exchange Comission Manchester United. Manchester United mencatat nilai pemain, pelatih, serta staf manajemen inti sebesar biaya yang berkaitan saat mengakuisisi pemain, pelatih, serta staf manajemen inti pada nilai wajarnya. Biaya yang berkaitan dengan akuisisi pemain dan staf manajemen inti meliputi transfer fee, biaya retribusi liga, biaya agen dan biaya lainnya yang dapat didistribusikan secara langsung. Biayabiaya tersebut juga termasuk estimasi nilai wajar dari setiap pertimbangan kontingensi. Estimasi atas nilai wajar dari imbalanimbalan kontingensi mengharuskan manajemen Manchester United untuk memperhitungkan kemungkinan atas kondisi performa tertentu yang akan menimbulkan payment of conti-ngent consideration seperti jumlah penampilan pemain. Biayabiaya ini diamor tisasi selama periode yang dicakup oleh kontrak individu. Sejauh kontrak individu diperpanjang, nilai buku yang tersisa diamor tisasi selama sisa masa kontrak yang direvisi. Manchester United menjelaskan mengenai transfer fee yang menjadi dasar bagi nilai buku pemain. Pengakuan pendapatan yang didapatkan dari akademi pemain muda dari peminjaman pemain dan transfer fee juga dijelaskan oleh Manchester United.
Tidak jauh berbeda dengan Liverpool, manajemen Manchester United juga melakukan amortisasi biaya yang berkaitan de ngan akuisisi pemain. Hal yang membedakan dengan Liverpool adalah Manchester United tidak hanya meng amortisasi biaya yang berkaitan dengan akuisisi pemain, tetapi juga biaya akuisisi staf manajemen inti. Biaya yang dikeluarkan pada saat akuisisi diamortisasi dengan umur ekonomis berdasarkan jangka waktu kontrak pemain maupun staf manajemen inti. Perubahan nilai amortisasi pemain ataupun staf manajemen inti merefleksikan penambahan biaya yang dibayarkan atas akuisisi pemain dan staf manajemen inti, penambahan jangka waktu kontrak, serta pelepasan pemain dan staf manajemen inti. Manchester United juga mengakui keuntung an ataupun kerugian dari pelepasan asetnya, dalam hal ini pemain klub Manchester United, dalam laporan laba rugi mereka. Bahkan, dalam Form 20-F United States Securities and Exchange Comission Manchester United untuk tahun fiskal 2018, lebih jauh dijelaskan pendapatan atas pelepasan aset tak berwujud untuk tahun yang berakhir 30 Juni 2018 sebesar
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 199
124,4 juta poundsterling, yang sebagian besar berkait an dengan pelepasan pemain serta penjual an atas biaya yang berhubungan dengan pemain sebelumnya. Manchester United juga memaparkan secara mendetail mengenai nilai amortisasi serta keuntungan yang didapatkan atas pelepasan pemain.
Penyebab utama terdapat perbedaan besar mengenai perlakuan akuntansi pemain dan pelatih sebagai aset takberwujud antara klub sepak bola di Eropa dan Bambang FC adalah dipengaruhi oleh standar yang berkaitan, termasuk standar akuntansi yang mengatur mengenai penyajian informasi pemain dan pelatih sebagai aset dalam lapor an keuangan. Di Eropa industri sepak bola sudah lebih dahulu berkembang. Klubklub sepak bola di Eropa pun telah dikelola secara profesional. Adanya standar dari pihak berwenang mengenai bagaimana nilai pemain dan pelatih diakui, dicatat, serta dilaporkan dalam laporan keuangan klub sebagai aset sehingga klub sepak bola di Eropa memiliki panduan bagaimana nilai pemain dan pelatih diakui, dicatat, hingga dilaporkan dalam laporan keuangan klub. Walaupun untuk penentuan nilai secara moneter pemain dan pelatih masih belum memiliki standar yang berlaku, klub sepak bola di Eropa telah memahami bahwa pemain dan pelatih dalam klub sepak bola mereka merupakan aset bagi klub. Pemahaman ini dapat terlihat dari bagaimana klub sepak bola di Eropa, dalam tulisan ini Liverpool dan klub sepak bola Manchester United, mengakui, mencatat, serta memperlakukan pemain dan pelatih mereka sebagai aset dalam laporan keuang an.
IAS 38 sebagai standar “sementara”. Hingga saat ini masih belum ada standar khusus yang mengatur mengenai HRA ataupun panduan me ngenai pengukuran sumber daya manusia secara moneter, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, jika melihat perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih sebagai aset yang telah diterapkan Liverpool dan Manchester United, salah satu standar akuntansi yang paling mendekati untuk di terapkan pada pemain dan pelatih sebagai aset bagi klub sepak bola, ialah International Accounting Standard (IAS) No. 38. Pemain dan pelatih dalam klub sepak bola sendiri telah memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai aset takberwujud berdasarkan IAS 38. Syarat yang
dimaksud dalam IAS 38 adalah memenuhi definisi, dan kriteria pangakuan aset takberwujud.
IAS 38 menjelaskan mengenai bagaimana aset tak berwujud diukur nilainya dan menentukan umur ekonomis aset tersebut. Aset tak berwujud harus diukur sebesar biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan aset tersebut hingga siap digunakan oleh perusahaan. Hal ini yang kemudian dapat menjadi dasar bagi manajemen klub sepak bola untuk mengukur nilai pemain dan pelatih mereka sebesar nilai kontrak beserta bia ya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi atau mempekerjakan pelatih. Manajemen klub sepak bola kemudian dapat mencatat total biaya tersebut sebagai nilai atas pemain maupun pelatih. Sementara itu, untuk penentuan umur ekonomis, entitas dapat menggunakan periode entitas dapat memanfaatkan aset tersebut yang diekspetasikan entitas atas aset, hasil produksi, atau ekspetasi jumlah unit yang mendekatinya, yang dapat entitas dapatkan melalui aset tersebut. Jika diterapkan dalam klub sepak bola, entitas yang dalam hal ini manajemen klub sepak bola, dapat menggunakan nilai kontrak pemain ataupun pelatih sebagai umur ekonomis dari pemain dan pelatih. Jangka waktu kontrak pemain merupakan periode di mana klub sepak bola dapat memanfaatkan pemain dan pelatih yang dikontraknya. Hal ini sesuai dengan metode penentuan umur ekonomis yang pertama, di mana entitas dapat menggunakan periode entitas yang dapat memanfaatkan aset tersebut yang diekspetasikan oleh entitas atas aset.
Manajemen Bambang FC dapat mengadopsi bagaimana manajemen Liverpool maupun manajemen klub sepakola Manchester United dalam memperlakukan pemain dan pelatihnya sebagai aset dalam klub. Baik manajemen Liverpool maupun manajemen klub sepakola Manchester United mengakui dan mencatat pemain dan pelatihnya sebagai aset takberwujud dalam pencatatan akuntansinya. Nilai pemain dan pelatih dicatat oleh kedua klub sebesar nilai kontrak beserta biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pemain dan pelatih ke dalam klub. Nilai tersebut kemudian dikapitalisasi sepanjang umur ekonomis yang ditentukan berdasarkan jangka waktu masingmasing pemain ataupun pelatih. Manajemen Liver
200 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
pool dan klub sepakola Manchester United juga melakukan revaluasi atas nilai pemain dan pelatih, bahkan melakukan impairment jika manajemen kedua klub sepak bola masingmasing menemukan adanya indikasi yang diperlukan impairment baik atas pemain maupun pelatih.
IAS 38 sendiri, menurut Lardo et al. (2017) dan Oprean & Oprisor (2014), belum secara akurat menyatakan pengakuan sumber daya manusia dalam kategori aset, tetapi lebih menawarkan prasyarat untuk menerapkan perlakuan akuntansi. Mereka lebih jauh juga berpendapat bahwa IAS 38 juga tidak dapat diterapkan atas pemain muda binaan klub yang tergabung dalam Akademi klub. Hal ini karena pemain muda binaan klub merupakan pemain di bawah umur sehingga belum dapat memiliki kontrak profesional. Kontrak profesional yang menjadi dasar bagi IAS 38 untuk diakui sebagai aset takberwujud tidak ada, sehingga pemain muda binaan klub tidak dapat diidentifikasi. Pemain muda binaan klub juga belum dapat diukur secara pasti biaya yang dikeluarkan klub untuk memanfaatkan pemain muda tersebut, sampai pemain muda tersebut dikontrak secara profesional oleh klub. Ketika pemain muda dikontrak secara profesional oleh klub, statusnya tentu saja bukan pemain muda binaan klub lagi se hingga IAS 38 dapat diterapkan. Namun, untuk saat ini IAS 38 dapat dijadikan standar atau panduan sementara untuk mengisi kekosongan hingga standar atau panduan yang lebih.
Selain IAS 38, terdapat standar akuntansi lain yang dapat digunakan oleh klub sepak bola dalam menilai pemain dan pelatihnya sebagai aset, yaitu Financial Report-ing Standard 10. Financial Reporting Stan-dard 10 atau FRS 10 samasama melingkupi aset takberwujud. Mnzava (2013) mengungkapkan bahwa FRS 10 menunjukkan ambivalensi regulator terhadap pengakuan aset tak berwujud. Hal ini terlihat dari pedoman akuntansi untuk goodwill, di mana penghapusan langsung terhadap cadangan adalah opsi yang lebih disukai, meskipun kapitalisasi dan amortisasi diizinkan. Sebelum adanya FRS 10, terdapat beberapa metode dalam pencatatan dan pengakuan atas pemain di Eropa karena belum adanya standar. Bullough & Coleman (2019) dan Dimitropoulos & Koumanakos (2015) memaparkan mayoritas klub di Eropa menganggap trans-fer fee sebagai beban pada periode berjalan
ketika pemain diakuisisi. Namun, ada yang mengelompokkannya ke dalam beban operasional, dan ada juga yang membebankan ke beban lainlain. Ketika FRS 10 dikeluarkan, kapitalisasi transfer fee menjadi kewajiban di Eropa.
Sayangnya, FRS 10 dikeluarkan oleh dewan pelaporan keuangan Eropa saja sehingga luas penerapannya hanya terbatas. Namun, untuk ke depannya, Indonesia sebaiknya memiliki standar sendiri, yang dapat bersumber dari adopsi IAS 38 yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, atau dapat membuat sendiri standar akuntansi yang mengatur mengenai manusia sebagai aset sesuai dengan kondisi di Indonesia. Hal ini karena adopsi standar berdasarkan IAS tidak selalu sesuai dengan kondisi di Indonesia. Contohnya saja PSAK 69 diadopsi dari IAS 41. PSAK 69 ini masih menuai banyak kritik karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ruang lingkup IAS 41 adalah perusahan industri besar, yang umumnya telah terdaftar di pasar saham yang bergerak di bidang agrikultur. Sementara itu, di Indonesia sendiri yang merupakan negara agrikultur didominasi oleh UMKM, khususnya pengusaha tradisional.
SAK ETAP bab 16 - aset tak berwu-jud sebagai IAS 38 rasa lokal. Selain IAS 38, terdapat standar lain yang dapat menjadi panduan Bambang FC dalam mengakui, mencatat, dan menyajikan informasi mengenai pemain dan pelatih sebagai aset. Standar tersebut ialah SAK ETAP Bab 16. SAK ETAP sendiri merupakan standar akuntansi untuk entitas tanpa akuntanbilitas publik. SAK ETAP merupakan PSAK yang telah disederhanakan de ngan menggunakan pilihan pada alternatif standar yang le bih mudah dan simpel dan penyerdehanaan pengakuan dan pengukur an. SAK ETAP di susun dengan mengadopsi IFRS for SME yang diubah menyesuaikan kondisi yang ada di Indonesia.
Bambang FC menggunakan SAK ETAP dalam menyajikan laporan keuangannya, sesuai yang diungkapkan dalam Ikhtisiar Kebijakan Akuntansi dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Di dalam SAK ETAP terdapat Bab 16 yang membahas mengenai aset takberwujud. Jika manajemen Bambang ingin mengakui pemain dan pelatihnya sebagai aset, atau bahkan mengakui seluruh sumber daya manusia sebagai aset, manajemen Bambang FC dapat menerapkan perlakuan
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 201
aset takberwujud pada Bab 16 dalam SAK ETAP untuk mengakui sumber daya manusianya sebagai aset.
Pemain dan pelatih dalam klub sepak bola memenuhi definisi aset takberwujud pada Bab 16 SAK ETAP. Menurut Bab 16 SAK ETAP aset tak berwujud merupakan aset nonmoneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik. Syarat aset tak berwujud adalah dapat diidentifikasi dan terdiri atas dua hal, yaitu dapat dipisahkan dari aset lainnya (atau terbagi terpisah atau dapat dijual, dialihkan, dilisensikan, disewakan, atau ditukarkan secara individual atau bersama) serta muncul dari hak kontraktual atau hak hukum lainnya.
Jika melihat definisi aset takberwujud menurut Bab 16 SAK ETAP, pemain dan pelatih dalam klub sepak bola memenuhi definisi tersebut. Pemain dan pelatih memenuhi syarat identifikasi aset tidak tetap dalam Bab 16 SAK ETAP yaitu dapat dipisahkan dari aset lainnya, atau terbagi terpisah atau dapat dijual, dialihkan, dilisensikan, disewakan, atau ditukarkan secara individual atau bersama. Kontrak pemain dan pelatih dalam klub sepak bola dapat dipisahkan dari aset lainnya, juga dapat terbagi terpisah. Kontrak pemain dan pelatih juga dapat dijual atau dipindahkan “hak kepemilikan” atas pemain atau pelatih tersebut ke klub sepak bola lainnya, dapat dialihkan, disewakan ke klub sepak bola lainnya, atau ditukarkan baik secara individual maupun bersamasama. Selain itu, “hak kepemilikan” atas pemain dan pelatih muncul dari hak kontraktual. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pemain dan pelatih memenuhi definisi aset takberwujud dalam Bab 16 SAK ETAP.
Jika Bambang menerapkan Bab 16 SAK ETAP untuk pengakuan pemain dan pelatih sebagai aset, maka nilai pemain dan pelatih diukur menggunakan biaya perolehan pada saat diperoleh. Umur manfaat yang digunakan untuk memperhitungkan amor tisasi ialah sepanjang periode kontrak yang telah ditandatangani. Nilai residu pemain dan pelatih dianggap nol. Pemain dan pelatih diamortisasi mengggunakan metode garis lurus. Nilai pemain dan pelatih disajikan sebesar biaya perolehan atas pemain dan pelatih tersebut yang dikurangi dengan akumulasi amortisasi dan akumulasi kerugian penurunan nilai jika ada. Untuk pemain homegrown, manajemen Bambang FC tidak dapat mengakuinya sebagai aset tak
berwujud dikarenakan Bab 16 SAK ETAP berpendapat bahwa aset takberwujud yang dihasilkan secara internal entitas tidak diakui, dan pengeluaran yang berkaitan dengan aset takberwujud yang dihasilkan internal dicatat sebagai beban.
Sumber daya manusia sebagai aset: pengukuran nilai moneter manusia melalui kacamata akuntansi sumber daya manusia. Sejumlah peneliti memaparkan pendekatan penilaian manusia berdasarkan ukuran moneter. Leitão & Baptista (2019) dan Scafarto & Dimitropoulos (2018) memaparkan pendekatan biaya. Pada pendekat an biaya penilaian manusia berdasarkan ukuran moneter yang digunakan berdasarkan nilai akuisisinya. Pendekatan biaya merupakan metode yang paling umum digunakan oleh klub sepak bola dalam menilai sumber daya manusianya. Mereka juga mengusulkan klub sepak bola menghitung biaya akusisi sepanjang kontrak untuk mendapatkan nilai bersih pada setiap akhir periode akuntansi. Nilai bersih ini kemudian dapat dikurangi depresiasi yang telah diestimasi oleh manajer dengan memperhitungkan “nilai residu” dari pembelian pemain. Nilai bersih ini juga memperhitungkan risiko implisit yang berkaitan dengan pemain, yang biasanya lebih rendah dari nilai pemain yang dihitung menggunakan pengganda pendapat an yang digunakan oleh Union of European Football Association (UEFA).
Pada sisi lainnya, Lardo et al. (2017) dan Müller et al. (2017) menjelaskan pendekatan pendapatan dalam menilai nilai pemain. Pengganda pendapatan umumnya digunakan UEFA pada era 1990an untuk menentukan harga transfer pemain antarklub di Eropa. Harga transfer ini minimal harus sama dengan gaji kotor pemain yang dikalikan dengan koefisien yang telah ditentukan berdasarkan umur pemain. Namun metode ini tidak memperhitungkan penurunan nilai uang dan risiko yang berkaitan dengan pemain.
Pendekatan lainnya dipaparkan oleh CarlssonWall et al. (2016) dan Keshtidar et al. (2017), yaitu pendekatan pasar. Metode pendekatan ini berprinsip bahwa nilai pemain dibentuk dari pasar pada saat transfer terjadi. Namun, pendekatan ini sulit untuk dilakukan karena hanya dapat dilakukan pada saat transfer terjadi, sehingga tidak dapat dievaluasi untuk perbandingan. Hal ini dikarenakan setiap pemain unik, sehingga performanya maupun kinerjanya tidak
202 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
dapat direplikasi. Selain itu, nilai pemain seringkali juga dipengaruhi oleh hal yang tidak dapat diperhitungkan secara pasti, yaitu negosiasi antara klub yang “menjual” pemain dengan klub yang “membeli” pemain tersebut.
Jika Bambang FC dikatakan menggunakan pendekatan berbasis biaya. Meskipun demikian, hal ini kurang tepat karena Bambang FC tidak memasukkan biaya aktual yang dikeluarkan dalam mengelola pelatih. Manajemen Bambang FC juga tidak memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan jika mengganti pelatih maupun menggunakan konsep ekonomi tentang biaya ke sempatan. Pendekatan berbasis nilai mo neter juga kurang tepat karena Bambang FC sama sekali tidak memperhitungkan usia pensiun yang merupakan salah satu elemen penting dalam pasar. Bambang FC juga tidak menghitung nilai manfaat yang dihasilkan oleh Bambang FC dari hasil pembinaan pelatih yang dimiliki oleh Bambang FC, sehingga model pasar juga bukan merupakan metode pendekatan yang digunakan Bambang FC. Model pa sar juga bukan metode yang digunakan oleh manajemen Bambang FC tidak menghitung estimasi manfaat ekonomis yang didapatkan Bambang FC di masa depan dengan memperkerjakan pelatihnya. Bambang FC tentu saja mengharapkan manfaat dari memperkerjakan pelatih, tetapi masih belum dalam bentuk nilai moneter yang dapat diukur (hanya sekadar “membawa Bambang FC berjaya di kompetisi yang diikuti” atau dalam bentuk performa saja).
Jika melihat metode penilaian manusia berdasarkan nilai moneter, Bambang menggunakan pendekatan biaya dalam menilai pemain dan pelatihnya. Bambang FC menggunakan biaya yang dikeluarkan pada saat awal mengakuisisi pemain ataupun pelatih sebagai nilai moneter mereka. Walaupun ada penentuan nilai moneter atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC, tidak berlanjut hingga ke tahap pencatatan dan pe nyajian dalam laporan posisi keuangan Bambang FC.
Jumlah transfer fee, gaji, dan durasi kontrak pemain berkontribusi signifikan terhadap valuasi pemain. Jumlah transfer fee yang harus dibayar klub saat merekrut pemain merupakan investasi bagi klub di masa depan yang setara dengan biaya yang dikeluarkan pada investasi aset tetap. Oleh karena itu, sudah wajarnya transfer fee dicatat sebagai aset takberwujud. Nilai pemain
dihitung berdasarkan nilai yang tertera pada saat penandatanganan kontrak. Oleh karena itu, nilai ini harus diamortisasi dengan nilai residu nol pada akhir kontrak.
Dari segi pencatatan, Bambang FC menerapkan metode dengan pendekatan biaya seperti yang diuraikan pada paragraf sebelumnya. Bambang FC mencatat pemain sebesar bia ya yang dikeluarkan pada saat mengakuisisi pemain. Nilai yang dicatat sebesar nilai kontrak pada saat tanda tangan kontrak kerja terjadi. Pemain dicatat pada akun aset tidak tetap. Nilai pemain juga diamortisasi dengan nilai residual nol pada akhir periode kontrak. Nilai residual nol pada akhir periode mencerminkan nilai pemain tersebut bagi klub, bukan nilai yang melekat pada pemain ataupun pelatih.
Leitão & Baptista (2019) dan Scafarto & Dimitropoulos (2018) menjelaskan saat klub sepak bola “membeli” pemain, klub sepak bola tersebut memilki opsi atas pemain, yaitu menggunakannya, meminjamkannya, atau menjualnya. Pada akhir kontrak, opsi inilah yang bernilai nol bagi klub saat akhir perio de kontrak karena klub tidak mempunyai opsi untuk menggunakan, meminjamkan, ataupun menjualnya. Pada akhir periode pemain bebas dari berbagai kewajiban dengan klub. Ketika terjadi negosiasi baru baik de ngan klub sepak bola yang lama maupun klub sepak bola yang baru, nilai yang tercantum pada kontrak baru yang ditandatangani merupakan nilai “terbaru” pemain tersebut yang dinilai berdasarkan performanya saat itu.
Untuk penilaian pelatih dalam ukuran moneter, Bambang FC dapat menggunakan metode pendekatan pasar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, metode pendekatan ini berprinsip bahwa nilai pemain dibentuk dari pasar pada saat transfer terjadi. Jika diterapkan pada penilaian pelatih, nilai pelatih dibentuk pada saat terjadi perekrutan pelatih. Negosiasi antarpelatih dan klub yang ingin merekrut pelatih menjadikan nilai pelatih tidak dapat diperhitungkan secara pasti. Sama seperti perlakuan terhadap pemain, Bambang FC mencatat pelatihnya sebesar nilai yang tertera pada kontrak pada saat tanda tangan kontrak kerja terjadi. Pelatih dicatat pada akun aset tidak tetap. Nilai pelatih juga diamortisasi dengan nilai residual nol pada akhir periode kontrak.
Mnzava (2013) dan Scafarto & Dimitropoulos (2018) menggunakan nilai kon
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 203
trak pemain sebagai nilai pemain dalam pencatatan sumber daya manusia. Mereka mengklasifikasikan kontrak pemain sebagai aset takberwujud menurut Alasan mereka memasukkan nilai kontrak pemain ke dalam kategori aset takberwujud karena menurutnya kontrak pemain termasuk dalam kategori sumber daya manusia yang merupakan aset takberwujud. Nilai kontrak pemain sendiri diukur berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan kontrak dengan pemain tersebut. Biaya ini termasuk transfer fee yang dibayarkan, signing fee, dan biaya agen yang dibayarkan oleh klub. Namun, mereka tidak membahas me ngenai bagaimana nilai kontrak tersebut bisa muncul dan menjadi nilai kontrak. De ngan kata lain, standar atau kriteria apa yang dipakai sehingga memunculkan nilai sebesar yang tertera dalam kontrak pemain.
Konstruksi awal pengukuran pemain sebagai aset. Manajemen Bambang FC telah mempunyai daftar kriteria pemain ataupun pelatih yang menjadi dasar untuk merekrut atau melepas. Namun, kriteria tersebut masih sebatas kebijakan manajemen dan belum cukup mendetail sebagai panduan dalam mengukur nilai pemain maupun pelatih yang kemudian tertuang dalam nilai kontrak. Kriteria yang dimiliki Bambang FC, belum menjadi kriteria umum bagi klub sepak bola di Indonesia. Walaupun begitu, kriteriakriteria tersebut tentu tidak jauh berbeda antara satu klub dengan klub lainnya. Kriteria ini kemudian menjadi dasar bagi manajemen Bambang FC dalam mengukur nilai pemain dan pelatih saat mendiskuisikan harga kontrak yang “pantas”.
Tabel 1 memuat daftar kriteria pemain dan pelatih yang diinginkan oleh klub sepak bola beserta grade untuk setiap kriteria, yang kemudian dapat dijadikan dasar bagi
manajemen Bambang FC untuk mengukur “harga yang pantas” bagi calon pemain. Tabel penilaian ini juga tidak kaku dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan klub sepak bola. Tabel 1 menggunakan kriteria dari Bambang FC sebagai contoh.
Kriteria dalam Tabel 1 dapat disesuaikan dengan kebijakan dari masingmasing manajemen klub sepak bola. Begitu pula dengan persentase kriteria. Besarnya persentase pada masingmasing kriteria dibuat berbeda untuk menggambarkan kriteria mana yang menjadi perhatian penting bagi manajemen klub sepak bola. Misalnya, mi nute play atau jam terbang pemain mendapatkan porsi pa ling besar jika dibandingkan dengan kriteria lainnya. Hal ini karena minute play pemain dianggap oleh manajemen Bambang FC dapat menggambarkan secara garis besar pengalaman bermain di lapangan. Semakin banyak minute play seorang pemain, maka pengalaman bermain pemain tersebut makin banyak.
Hal demikian juga berlaku dengan kriteria keterampil an, teknik permainan, fisik, serta umur. Masingmasing mendapatkan porsi sebesar 15% dari total pengukuran nilai. Kriteria keterampilan adalah status tim nasional. Status tim nasional penting bagi manajemen Bambang FC sebab pemain yang sedang berada atau pernah dalam tim nasional memiliki kete rampilan yang mumpuni. Kriteria teknik permainan mengukur seberapa baik teknik pemain saat bermain dalam pertandingan. Teknik yang dimaksud seperti short passing, long passing, heading, dan tackle. Teknik permainan juga termasuk halhal seperti bagaimana pemain membangun permainan, memaksimalkan perannya dalam tim, serta menerjemahkan strategi pelatih. Kriteria fisik menggambarkan keadaan fisik pemain seperti tingkat keseim
Tabel 1. Pengukuran Nilai Pemain Berdasarkan Kriteria Bambang FC
No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Minute Play 20% 2 Keterampilan 15% 3 Teknik Permainan 15% 4 Fisik 15% 5 Umur 15% 6 Kepribadian 10% 7 Goodwill 10%
Total 100%
204 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
bangan pemain, tingkat akselerasi, kecepatan lari, kelenturan, stamina, kekuatan, juga termasuk di dalamnya riwayat cedera, serta halhal lain yang berhubungan dengan fisik pemain. Kriteria usia menggambarkan usia pemain, yang tentu saja bergantung dari penilaian dari manajemen klub me ngenai hal ini. seperti potensi nya di masa depan atau pengalaman.
Dua kriteria terakhir, yaitu kepribadian dan goodwill juga penting dalam pengukuran nilai pemain. Kriteria kepri badian dinilai dari pribadi pemain, mi salnya cara berinteraksi dengan rekan satu timnyaatau kedisplinan datang ke latihan rutin yang diinstruksikan oleh klub yang menaunginya. Mungkin hal ini terkesan sepele. Namun halhal seperti ini juga berpengaruh pada keharmonisan tim. Lalu terdapat kriteria good-will, yang berhubung an dengan pendapatan sponsor, yang tentu saja berpengaruh pada pemasukan klub sepak bola. Kriteriakriteria tersebut tentu saja dapat disesuaikan oleh manajemen klub.
Untuk rating range, nilai masingmasing kriteria tersebut memiliki skor terendah 1 hingga skor tertinggi sesuai dengan persentase kriteria. Misalnya untuk kriteria minute play, skor tertinggi kriteria ini ialah 20, kriteria teknik permainan memiliki skor tertinggi 15, atau skor tertinggi kriteria goodwill ialah sebesar 10. Manajemen klub sepak bola kemudian akan menilai ketujuh kriteria yang telah disebutkan sebelumnya dengan menggunakan skor tersebut. Ketika merekrut seorang pemain, manajemen klub sepak bola tentu saja mempunyai anggaran maksimal yang akan dikeluarkan. Ra ting Range yang berbentuk persen ini akan dikalikan dengan anggaran maksimal yang telah ditetapkan oleh manajemen klub sepak bola sebelum merekrut permain yang bersang
kutan. Total nilai tersebut merupakan “harga yang pantas” menurut manajemen klub sepak bola atas pemain tersebut.
Misalnya, manajemen Bambang FC ing in merekrut pemain A dengan maksimal ang garan 1 miliar rupiah. Usia pemain A masih sangat muda, yaitu 21 tahun. Minute play pemain A masih belum begitu banyak namun belum pernah lolos seleksi tim nasional. Pemain A juga belum pernah cedera serius selama bermain dengan klub sebelumnya. Namun, pemain A terkadang tidak hadir mengikuti latihan rutin yang ditetapkan oleh klub yang menaungi pemain A sebelumnya. Manajemen Bambang FC lalu mengukur “harga wajar” pemain A menurut kriteria Bambang FC menggunakan Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengukuran “harga wajar” pemain A menurut kriteria Bambang FC menggunakan Tabel Pengukuran Nilai Pemain, maksimal “harga wajar” pemain A sebesar Rp650.000.000,00. Penilaian ini tentu saja berdasarkan diskresi dari manajemen Bambang FC karena tidak ada satu standar yang baku atau panduan dalam mengukur nilai manusia dalam ukuran moneter. Namun, penelitian ini setidaknya masih berlandaskan panduan berbasis data dari pemain A.
Nilai sebesar Rp650.000.000,00 bukanlah nilai paten dari pemain A. melain kan hanya sebagai panduan bagi manajemen Bambang FC, bahwa “harga wajar” maksimal berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh manajemen Bambang FC telah tetapkan. “Harga” final pemain A yang akan tertuang dalam nilai kontrak, tentu saja bisa berubah karena masih akan ditentukan setelah pro ses tawar menawar antara pihak pemain dan juga pihak manajemen. Ketika pihak pemain dan manajemen mencapai ke sepakatan harga, maka manajemen akan
Tabel 2. Pengukuran Nilai Pemain A Berdasarkan Kriteria Bambang FC
No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Minute Play 8 20% Rp80.000.000,00 2 Keterampilan 10 15% Rp100.000.000,00 3 Teknik Permainan 9 15% Rp90.000.000,00 4 Fisik 14 15% Rp140.000.000,00 5 Umur 14 15% Rp140.000.000,00 6 Kepribadian 7 10% Rp70.000.000,00 7 Goodwill 3 10% Rp30.000.000,00
Total 100% Rp650.000.000,00
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 205
mengakui pemain sebagai asetnya, dengan mencatatnya pada akun pemain tim utama, sesuai nilai kontrak yang telah disepakati. Nilai kontrak tersebut kemudian dikapitalisasi sepanjang jangka waktu kontrak yang telah disepakati.
Penilaian atas pelatih juga tidak jauh berbeda dengan penilaian pemain. Klub sepak bola dapat menggunakan tabel pengukuran nilai berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh klub tersebut. Misalnya, Tabel 3 menggunakan kriteria pengukuran dari klub sepak bola Bambang FC.
Kriteria dalam Tabel 3 dapat disesuaikan dengan kebijakan dari masingmasing manajemen klub sepak bola. Besarnya persentase di buat berbeda untuk menggambarkan kriteria mana yang menjadi perhatian penting bagi manajemen klub sepak bola terkait. Pengalaman melatih menjadi hal yang paling penting bagi klub sepak bola Bambang FC, sehingga kriteria ini memiliki persentase paling besar dalam pengukuran nilai pelatih.SIMPULAN
Riset ini menemukan bahwa manajemen klub sendiri telah mengetahui bahwa pemain dan pelatih merupakan aset. Namun, dikarenakan tidak adanya standar dan panduan mengenai bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatihnya sebagai aset, klub tetap memperlakukan pemain dan pelatihnya sebagai beban. Hal ini terlihat dari informasi dalam laporan keuangan milik klub yang tidak menyajikan informasi mengenai pemain dan pelatihnya sebagai aset.
Klub dapat menggunakan IAS 38 sebagai standar “sementara” hingga adanya standar akuntansi khusus yang mengatur mengenai aset sumber daya manusia. Selain
itu, klub juga dapat “mencontek” bagaimana praktik akuntansi diterapkan atas pemain dan pelatih oleh klub sepak bola di Eropa. Pada sisi lainnya, pihak klub dapat me nerapkan Bab 16 SAK ETAP yang mengatur mengenai aset tak berwujud. Tidak jauh berbeda dengan IAS 38, pemain dan pelatih diukur menggunakan biaya perolehan saat diperoleh dan diamortisasi menggunakan garis lurus sepanjang umur manfaat ekonomis atau kontrak pemain dan pelatih tersebut.
Keterbatasan riset ini ialah tidak dapat menyaksikan secara langsung proses tawar menawar “harga pemain” saat proses negosiasi nilai kontrak pemain. Hal ini dikarenakan manajemen klub menganggap informasi tersebut merupakan informasi privat yang hanya boleh diketahui oleh pihak manajemen, agen, dan/atau calon pemain yang akan bergabung. Selain itu, riset ini juga hanya berfokus pada perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam klub sepak bola sebagai sumber daya klub, khususnya secara moneter, melalui laporan keuangan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya disarankan melakukan riset lebih mendalam atas cara pengukuran secara moneter atas pemain muda klub sepak bola beserta perlakuan akuntansi atas pemain muda klub sepak bola. Pro kontra dalam topik akuntansi sumber daya manusia, khususnya mengenai pengukuran manusia dalam ukuran moneter, juga menjadi topik riset lainnya yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi.
DAFTAR RUJUKANBaxter, J., CarlssonWall, M., Chua, W. F., &
Kraus, K. (2019). Accounting for the Cost of SportsRelated Violence: A Case Study of the SocioPolitics of “the” Ac
Tabel 3. Pengukuran Nilai Pelatih Berdasarkan Kriteria Bambang FC
No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Pengalaman Melatih 30% 2 Program Pelatihan 15% 3 Target Pelatih 15% 4 Lisensi yang Dimiliki 15% 5 Track Record saat masih menjadi
pemain 15%
6 Status Pemain Timnas sebelum menjadi Pelatih
10%
Total 100% -
206 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207
counting Entity. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(7), 19561981. https://doi.org/10.1108/AAAJ0220183364
Bloom, R., & Kamm, J. (2014). HumanResources: Assets That Should be Capitalized. Compensation & Benefits Review, 46(4), 219–222. https://doi.org/10.1177/0886368714555453
Bullough, S., & Coleman, R. (2019). MeasuringPlayer Development Outputs in European football Clubs (20052006 to 20152016). Team Performance Man-agement, 25(3/4), 192211. https://doi.org/10.1108/TPM0320180023
CarlssonWall, M., Kraus, K., & Messner, M. (2016). Performance Measurement Systems and the Enactment of Different Institutional Logics: Insights from a Football Organization. Management Ac-counting Research, 32, 4561. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.01.006
Clune, C., Boomsma, R., & Pucci, R. (2019). The Disparate Roles of Accounting in an Amateur Sports Organisation: The Case of Logic Assimilation in the Gaelic Athletic Association. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(7), 19261955. https://doi.org/10.1108/AAAJ0620183523
Coluccia, D., Fontana, S., & Solimene, S. (2018).An Application of the OptionPricing Model to the Valuation of a Football Player in the ‘Serie A League’. Interna-tional Journal of Sport Management and Marketing, 18(1/2), 155168. https://doi.org/10.1504/ijsmm.2018.091345
Cooper, C., & Johnston, J. (2012). Vulgate Accountability: Insights from the Field of Football. Accounting, Auditing & Account-ability Journal, 25(4), 602634. https://doi.org/10.1108/09513571211225060
Darmayasa, I. N, & Aneswari, Y. R. (2015). Paradigma Interpretif pada Penelitian Akuntansi Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(3), 350361. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6028
Dimitropoulos, P. E., & Koumanakos, E. (2015). Intellectual Capital and Profitability in European Football Clubs. In-ternational Journal of Accounting, Audit-ing and Performance Evaluation, 11(2), 202220. https://doi.org/10.1504/IJAAPE.2015.068862
Ejiogu, A. R., & Ejiogu, C. (2018). Translationin the “Contact Zone” between Accounting and Human Resource Management:
The Nebulous Idea of Humans as Assets and Resources. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 31(7), 19321956. https://doi.org/10.1108/AAAJ0620172986
Firdlo, M. (2012). The Relevancies and Applicability of Human Resources Accounting Implementations under Hegelian Dialectic. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 3(2), 297307. https://doi.org/10.18202/jamal.2012.08.7155
Ghasemi, S., Shahin, A., & Safari, A. (2018). Proposing an Improved Economic Value Model for Human Resource Valuation. International Journal of Productivity and Performance Management, 67(9), 21082125. https://doi.org/10.1108/IJPPM0220180054
Ghio, A., Ruberti, M., & Verona, R. (2019). Financial Constraints on Sport Organizations’ Cost Efficiency: The Impact of Financial Fair Play on Italian Soccer Clubs. Applied Economics, 51(24), 26232638. https://doi.org/10.1080/00036846.2018.1558348
Janin, F. (2017). When being a Partner Means More: The External Role of Football Club Management Accountants. Management Accounting Research, 35, 519. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.05.002
Keshtidar, M., Talebpour, M., Abdi, S., & Abadi, M. Z. (2017). A Prediction Model for Valuing Players in the Premier Football League of Iran. International Sports Studies, 39(1), 3952. https://doi.org/10.30819/iss.391.05
Kulikova, L. I., & Goshunova, A. V. (2014). Human Capital Accounting in Professional Sport: Evidence from Youth Professional Football. Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(24), 4448. https://doi.org/10.5901/mjss.2014.v5n24p44
Lardo, A., Dumay, J., Trequattrini, R., & Russo, G. (2017). Social Media Networks as Drivers for Intellectual Capital Disclosure: Evidence from Professional Football Clubs. Journal of Intellec-tual Capital, 18(1), 6380. https://doi.org/10.1108/JIC0920160093
Lee, C. C., & Cheng, P. Y. (2018). Effect of the Critical Human Resource Attributes on Operating Performances. Chinese Management Studies, 12(2), 407432. https://doi.org/10.1108/CMS1020170296
Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 207
Leitão, J., & Baptista, J. (2019). IntellectualCapital Assets and Brand Value of English Football Clubs. International Jour-nal of Sport Management and Marketing, 19(2), 834. https://doi.org/10.1504/IJSMM.2019.097002
Lozano, F. J. M., & Gallego, A. C. (2011). Deficits of Accounting in the Valuation of Rights to Exploit the Performance of Professional Players in Football Clubs: A Case Study. Journal of Management Control, 22(3), 335–357. https://doi.org/10.1007/s0018701101356
McCoy, N. R, Phillips, B., & Stewart, A. C. (2019). Accounting for Human Capital: Implications of Automation and Operational Performance. The Journal of Corporate Accounting & Finance, 30(4), 111– 115. https://doi.org/10.1002/jcaf.22408
Mnzava, B. (2013). Do Intangible InvestmentsMatter? Evidence from Soccer Corporations. Sport, Business and Mana-gement, 3(2), 158168. https://doi.org/10.1108/20426781311325087
Müller, O., Simons, A., & Weinmann, M. (2017). Beyond Crowd Judgments: DataDriven Estimation of Market Value in Association Football. European Jour-nal of Operational Research, 263(2), 611624. https://doi.org/10.1016/j.ejor.2017.05.005
Nicoliello, M., & Zampatti, D. (2016). Football Clubs’ Profitability after the Financial Fair Play Regulation: Evidence from Italy. Sport, Business and Man-agement, 6(4), 460475. https://doi.org/10.1108/SBM0720140037
Nurindrasari, D., Triyuwono, I., & Mulawarman, A. (2018). Konsep Pengukuran Kinerja Berbasis Kesejahteraan Islam. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 9(3), 394416. https://doi.org/10.18202/jamal.2018.04.9024
Oprean, V. B., & Oprisor, T. (2014). Accountingfor Soccer Players: Capitalization Paradigm vs. Expenditure. Procedia Eco-nomics and Finance, 15, 1647–1654. https://doi.org/10.1016/s22125671(14)006364
PuenteDíaz, R., & CavazosArroyo, J. (2018). The Role of the Categorization Process on the Influence of a Famous Football Player on the Evaluations of a Football Team. International Journal of Sports Marketing and Sponsorship, 19(3), 327337. https://doi.org/10.1108/ijsms0920160052
Regoliosi, C. (2018). Shedding Light on the Profitability of Italian Professional Football Clubs where a Different Business Model is Performing. International Journal of Sport Management and Mar-keting, 18(1/2), 130154. https://doi.org/10.1504/IJSMM.2018.091334
Risaliti, G., & Verona, R. (2013). Players’ Registration Rights in the Financial Statements of the Leading Italian Clubs: A Survey of Inter, Juventus, Lazio, Milan and Roma. Accounting, Auditing & Accountabili-ty Journal, 26(1), 1647. https://doi.org/10.1108/09513571311285603
Scafarto, V., & Dimitropoulos, P. (2018). Human Capital and Financial Performance in Professional Football: The Role of Governance Mechanisms. Corporate Governance, 18(2), 289316. https://doi.org/10.1108/CG0520170096
Senaux, B., & Morrow, S. (2013). Football Club Financial Reporting: Time for a New Model? Sport, Business and Ma-nagement, 3(4), 297311. https://doi.org/10.1108/SBM0620130014
Torre, E. D., Giangreco, A., Legeais, W., & Vakkayil, J. (2018) Do Italians Really Do It Better? Evidence of Migrant Pay Disparities in the Top Italian Football League. European Management Review, 15(1), 121136. https://doi.org/10.1111/emre.12136.
Triyuwono, I. (2015). Akuntansi Malangan:Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(2), 290303. https://.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023
Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Application: Design and Methods (6th ed.). Sage Publications.