praktik akuntansi sumber daya manusia pada klub …

17
191 Abstrak: Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Riset ini berupaya untuk memahami penerapan akuntansi terha- dap pemain dan pelatih pada klub sepak bola. Studi kasus digunakan sebagai metode dengan salah satu klub sepak bola sebagai situs riset. Hasil riset menunjukkan meskipun manajemen klub telah mengakui pe- main dan pelatih merupakan aset klub, tidak adanya standar akuntan- si dan panduan mengenai hal tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengakuan dan pencatatan. Manajemen klub masih memperlakukan pemain dan pelatih sebagai beban sebagaimana tercermin dari laporan keuangannya. Oleh karena itu, pengembangan atas standar akuntansi diperlukan, khususnya yang berkiatan dengan sumber daya manusia. Abstract: Human Capital Accounting Practices at Football Club. This research seeks to understand the application of accounting to players and coaches on a football club. Case studies are used as a method with the one of football club as a research site. This research shows that although club management has recognized players and coaches as club assets, the absence of accounting standards and guidance on this matter causes dif- ferences in recognition and recording. Club management still treats players and coaches as burdens as reflected in its financial statements. Therefore, the development of accounting standards is needed, especially those relat- ed to human resources. Pergeseran paradigma dunia bisnis de- wasa ini yang pada awalnya mengandalkan aset fisik menuju knowledge-based industry, telah memberikan khazanah tersendiri bagi perkembangan akuntansi secara global (Coo- per & Johnston, 2012; Janin, 2017; Nicoliello & Zampatti, 2016; Oprean & Oprisor, 2014). Kondisi ini secara tidak langsung memaksa akuntansi untuk keluar dari “zona nyaman- nya” agar dapat mengakomodasi kebutuhan akan standar akuntansi yang baru dan le- bih sesuai dengan kondisi teraktual. Muncul standar-standar akuntansi yang sebelum- nya tidak ada kini dibutuhkan akuntansi untuk aset takberwujud, yakni merek, lisen- si, intellectual capital, dan berbagai aset tak- berwujud lainnya. Aset-aset baru tersebut tentu saja membutuhkan perubahan dan penyesuaian atas standar akuntansi lama yang sudah ada untuk mengakomodisasi kebutuhan untuk menampilkan keadaan finansial perusahaan atau organisasi yang sesungguhnya melalui laporan keuangan (Firdlo, 2012; Ghasemi et al., 2018; Nurin- drasari et al., 2018; Triyuwono, 2015). Volume 11 Nomor 1 Halaman 191-207 Malang, April 2020 ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879 Mengutip ini sebagai: Ridhawati, R., Ludigdo, U., & Prihatingtyas, S. (2020). Praktik Akuntansi Sum- ber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 191-207. https:// doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.12 PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB SEPAK BOLA Rini Ridhawati, Unti Ludigdo, Yeney Widya Prihatingtias Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145 Tanggal Masuk: 18 November 2019 Tanggal Revisi: 26 Februari 2020 Tanggal Diterima: 30 April 2020 Surel: [email protected], [email protected], [email protected] Kata kunci: akuntansi sumber daya manusia, pelaporan, pengakuan, sepak bola Jurnal Akuntansi Mulparadigma, 2020, 11(1), 191-207

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

191

Abstrak: Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Riset ini berupaya untuk memahami penerapan akuntansi terha­dap pemain dan pelatih pada klub sepak bola. Studi kasus digunakan sebagai metode dengan salah satu klub sepak bola sebagai situs riset. Hasil riset menunjukkan meskipun manajemen klub telah mengakui pe­main dan pelatih merupakan aset klub, tidak adanya standar akuntan­si dan panduan mengenai hal tersebut menyebabkan perbedaan dalam pengakuan dan pencatatan. Manajemen klub masih memperlakukan pemain dan pelatih sebagai beban sebagaimana tercermin dari laporan keuangannya. Oleh karena itu, pengembangan atas standar akuntansi diperlukan, khususnya yang berkiatan dengan sumber daya manusia. Abstract: Human Capital Accounting Practices at Football Club. This research seeks to understand the application of accounting to players and coaches on a football club. Case studies are used as a method with the one of football club as a research site. This research shows that although club management has recognized players and coaches as club assets, the absence of accounting standards and guidance on this matter causes dif-ferences in recognition and recording. Club management still treats players and coaches as burdens as reflected in its financial statements. Therefore, the development of accounting standards is needed, especially those relat-ed to human resources.

Pergeseran paradigma dunia bisnis de­wasa ini yang pada awalnya mengandalkan aset fisik menuju knowledge-based industry, telah memberikan khazanah tersendiri bagi perkembangan akuntansi secara glo bal (Coo­per & Johnston, 2012; Janin, 2017; Nicoliello & Zampatti, 2016; Oprean & Oprisor, 2014). Kondisi ini secara tidak langsung memaksa akuntansi untuk keluar dari “zona nyaman­nya” agar dapat mengakomodasi kebutuhan akan standar akuntansi yang baru dan le­bih sesuai dengan kondisi teraktual. Muncul standar­standar akuntansi yang sebelum­

nya tidak ada kini dibutuhkan akuntansi untuk aset takberwujud, yakni merek, lisen­si, intellectual capital, dan berbagai aset tak­berwujud lainnya. Aset­aset baru tersebut tentu saja membutuhkan perubahan dan penyesuaian atas standar akuntansi lama yang sudah ada untuk mengakomodisasi kebutuhan untuk menampilkan keadaan finansial perusahaan atau organisasi yang sesungguhnya melalui laporan keuangan (Firdlo, 2012; Ghasemi et al., 2018; Nurin­drasari et al., 2018; Triyuwono, 2015).

Volume 11Nomor 1Halaman 191-207Malang, April 2020ISSN 2086-7603 e-ISSN 2089-5879

Mengutip ini sebagai: Ridhawati, R., Ludigdo, U., & Prihatingtyas, S. (2020). Praktik Akuntansi Sum­ber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 11(1), 191­207. https://doi.org/10.21776/ub.jamal.2020.11.1.12

PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB SEPAK BOLA

Rini Ridhawati, Unti Ludigdo, Yeney Widya Prihatingtias

Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang 65145

Tanggal Masuk: 18 November 2019Tanggal Revisi: 26 Februari 2020Tanggal Diterima: 30 April 2020

Surel: [email protected], [email protected], [email protected]

Kata kunci:

akuntansi sumber daya manusia,pelaporan,pengakuan,sepak bola

Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2020, 11(1), 191-207

Page 2: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

192 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

Salah satu aset yang isunya masih menjadi perbincangan dan perdebatan tidak berujung dalam pengembangan akuntansi, yaitu standar yang terkait dengan sumber daya manusia (Human Resources Account-ing/HRA). Topik HRA sejatinya diperbin­cangkan secara mendalam oleh para aka­demisi dan praktisi misalnya Baxter et al. (2019), Clune et al. (2019), Cooper & John­ston (2012), Ejiogu & Ejiogu (2018), Lee & Cheng (2018), McCoy et al. (2019), dan Nico­liello & Zampatti (2016). Standar ini tentu­nya tidak lepas dari pro dan kontra terutama mengenai bagaimana cara yang tepat untuk mengakui manusia di dalam organisasi, khususnya organisasi bisnis. Meskipun te­lah lama mendapat perhatian dari para pa­kar, sampai saat ini belum ada satu standar yang disepakati untuk kriteria pengukuran nilai sumber daya manusia yang objektif. Apalagi jika mengakuinya sebagai aset, dari sisi definisi, belum semuanya dapat me­menuhi syarat sebagai aset sehingga masih dipertentangkan relevansi, keandalannya, serta moralitasnya (Risaliti & Verona, 2013).

Area olahraga profesional selalu menja­di area yang menarik bagi akademisi yang bergelut dalam akuntansi sumber daya ma­nusia. Hal ini dikarenakan eksistensi dari aspek pengukuran dalam bentuk sistem transfer, yang mewajibkan biaya yang diba­yarkan untuk memindahkan registrasi pe­main dari satu klub ke klub lainnya. Sepak bola pada awalnya hanya dilihat sebagai cabang olahraga semata, tetapi saat ini te­lah berkembang menjadi salah satu indus­tri sendiri yang menghasilkan uang. Alasan mengapa perlu adanya penilaian mengenai manusia sebagai aset dalam klub sepak bola ialah karena dana yang ada dalam industri sepak bola sendiri bukanlah dana yang ke­cil, yang berarti peluang ekonomi yang ada di dalamnya cukup menjanjikan. Dana yang diperoleh sebagian besar digunakan untuk membeli pemain yang dianggap berpoten­si untuk meningkatkan kinerja klub sepak bola tersebut serta menyewa pelatih dengan tujuan yang sama. Tentu saja, pihak­pi­hak yang berkepentingan seperti sponsor, fans, dan pemegang saham ingin mengeta­hui bagaimana dana yang diperoleh klub digunakan dan dikelola. Pihak­pihak yang berkepentingan tersebut tentu saja meng­inginkan adanya laporan, yang bisa saja berbentuk laporan keuangan yang memuat bagaimana dana yang ada digunakan oleh pengelola klub. Namun, belum adanya stan­

dar akuntansi khusus untuk klub sepak bola, baik nasio nal maupun internasional menjadikan tidak adanya acuan untuk me­nilai apakah laporan posisi keuangan yang disajikan oleh pengelola klub sepak bola su­dah mengungkapkan kondisi keuangan klub yang sebenarnya

Penelitian ini bukanlah penelitian per­tama yang membahas mengenai bagaimana memperlakukan dan menilai manusia se­bagai aset khususnya pemain dan pelatih klub sepak bola. Namun hasil risetnya masih kontradiktif. Misalnya riset yang dilakukan oleh Scafarto & Dimitropoulos (2018) yang berfokus pada legitimasi pengakuan kontrak pemain sebagai aset takberwujud dalam lapor an posisi keuangan. Ia me nemukan bahwa kontrak pemain ini tidak memenuhi kriteria pengakuan yang telah ditetapkan oleh IFRS atas manfaat ekonomi di masa depan. Lalu Kulikova & Goshunova (2014) yang mencoba membandingkan berbagai set teori dan metodologi serta saran prak­tikal me ngenai pengembangan pe ngakuan akuntansi atas pemain muda sepak bola pada klub sepak bola profesio nal. Walaupun saat ini pengakuan akuntansi mengenai bia­ya akuisisi atas pemain profesional sudah berkembang dan digunakan dalam praktik manajemen organisasi sepak bola, perlaku­kan akuntansi yang khusus untuk biaya akuisisi pemain muda masih diabaikan. Oleh karena itu, terdapat sebagian dari aset yang tidak direfleksikan dalam sistem akuntansi dan laporan posisi keuang an klub sepak bola. Riset lainnya yang dilakukan oleh Puente­Díaz & Cavazos­Arroyo (2018) menemukan bahwa seluruh klub sepak bola telah memenuhi syarat minimum dari IAS 38 dan UEFA. Namun, bagaimana dan infor­masi seperti apa yang diungkapkan oleh ma­sing­masing klub sepak bola pada laporan keuang an mereka berbeda secara subtan­sional dan karena masih kurang nya model evaluasi dan kemung kinan untuk menga­pitalisasi home-grown players dan pemain dengan agen bebas, sehingga penilaian atas pemain masih belum bisa dianggap sudah disajikan de ngan nilai yang wajar dan se­sungguhnya. Pada sisi lainnya, riset yang dilakukan oleh Oprean & Oprisor (2014) yang mencoba menyajikan dampak indus­tri sepak bola atas ekonomi, serta bagaima­na registrasi kontrak pemain dibingkai oleh bidang HRA, hingga bagaimana teknik akun­tansi yang digunakan dapat berefek pada representasi posisi keuangan klub. Hal ini

Page 3: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 193

tentu saja dipengaruhi standar akuntansi yang diimplementasikan oleh manajemen klub sepak bola pada kontrak pemain dan bagaimana standar akuntansi dapat diinter­pretasikan dan diterapkan. Tujuan akhirnya ialah untuk menunjukkan teknik akuntan­si dan metode penilaian mana yang paling tepat untuk menyajikan nilai wajar yang sesunguhnya atas pemain dalam laporan keuangan.

Riset ini berbeda dengan riset sebe­lumnya. Riset ini membahas bagaimana perlakuan akuntansi tidak hanya pemain, tetapi juga pelatih sebagai aset takberwujud dalam klub sepak bola. Perlakuan akuntan­si yang dimaksud dalam riset ini mencakup perekrutan pemain dan pelatih, penentuan kontrak, hingga penyajiannya dalam lapor­an keuangan. Khususnya dalam klub sepak bola di Indonesia, yang pengelolaan klubnya belum sepadan dengan klub sepak bola di Eropa. Riset ini menawarkan standar akun­tansi “sementara” bagi klub sepak bola di Indonesia, khususnya pada aspek penyajian informasi akuntansi mengenai pemain dan pelatih. Selain itu, riset ini juga mencoba membangun konstruksi dasar pengukuran nilai pemain dan pelatih dalam klub sepak bola dalam ukuran moneter.

METODEUntuk mengetahui bagaimana per­

lakuan akuntansi menilai sumber daya ma­nusia dalam klub sepak bola sebagai aset, khususnya dalam ukuran moneter, tidak cukup hanya dilihat secara kasat mata melalui laporan keuangan klub sepak bola semata. Langkah manajemen dalam menen­tukan angka dalam moneter, yang tertuang di dalam kontrak pemain hingga di dalam laporan keuangan klub, yang menggam­barkan nilai sumber daya manusia di klub sepak bola tersebut dalam ukuran moneter, tentu saja melalui dasar­dasar yang ditetap­kan oleh manajemen. Dasar­dasar yang mempengaruhi kebijakan dalam penentuan “harga sumber daya manusia” di dalam klub sepak bola tersebut tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang manajemen. Oleh karena itu, riset tidak dapat hanya dilakukan dari sudut pandang pihak yang netral atau berjarak dari objek riset. De­ngan kata lain, riset ini berusaha seminimal mungkin mengurangi jarak dengan objek riset agar memahami bagaimana perlakuan metode akuntansi yang diterapkan oleh ma­

najemen Bambang FC (klub samaran) dalam menilai manusia yang dimilikinya.

Studi kasus digunakan pada riset ini untuk mengeksplorasi perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih yang diterapkan di Bambang FC dengan sistem terbatas kon­temporer atau kasus, melalui pengumpulan data yang mendetail dan mendalam, dan melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk seperti wawan­cara (Darmayasa & Aneswari, 2015). Selain itu, studi kasus merupakan metode yang disarankan jika di dalam riset, peneliti tidak bisa mengontrol keberadaan peristiwa (Yin, 2018). Riset ini juga berfokus pada fakta yang terjadi pada kehidupan nyata. Penggu­naan studi kasus juga dikarenakan riset ini lebih ke arah generalisasi secara analitikal dengan mengembangkan dan menganalisasi teori. Studi kasus yang digunakan dalam pe­nelitian ini merupakan studi kasus deskrip­tif.

Informan dalam riset ini dipilih de­ngan alasan bahwa pihak tersebut berkait an langsung dalam perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC. Se­lain itu, informan juga mengetahui dan pa­ham bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC. In­forman yang berasal dari manajemen Bam­bang FC yaitu Sudirman (nama samaran) yang merupakan sekretaris umum, asisten manajer Bambang FC U19, dan manajer ope rasional akademi Bambang FC, Mince se­laku staf akuntansi, serta Mergie yang juga merupakan staf akuntansi. Informan yang berasal dari luar manajemen klub sepak bola tetapi mengetahui dan memaham i perlakuan akuntansi dalam Bambang FC ialah Suyono selaku auditor eksternal yang mendapat tu­gas audit laporan keuang an.

HASIL DAN PEMBAHASANPemain dan pelatih sebagai aset:

hanya sekadar pengakuan. Aset secara umum dapat dikatakan sebagai sumber daya yang saat ini dikuasai entitas sebagai hasil dari peristiwa masa lalu atau sumber daya ekonomi yang dimiliki yang berpo­tensi menghasilkan manfaat ekonomi. Im­plikasinya, pemain dan pelatih memenuhi definisi aset bagi klub sepak bola untuk diakui secara aset menurut IFRS. Pemain dan pelatih me rupakan sumber daya yang “dimiliki” entitas, dalam hal ini klub sepak bola terkait, sebagai hasil dari peristiwa di

Page 4: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

194 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

masa lalu, yang merupakan transaksi jual beli atas “hak” mempergunakan jasa atau kemampuan dari pemain dan pelatih. Pe­main dan pelatih dalam sebuah klub sepak bola juga dapat dianggap sebagai sumber daya ekonomi bagi klub sepak bola tersebut, yang memiliki potensi untuk menghasilkan manfaat ekonomi bagi klub. Contoh manfaat ekonomi bagi klub sepak bola tersebut misal­nya saja melalui pendapatan atas penjualan tiket pertandingan, sponsorship, penjualan merchandise klub, hingga laba yang didapat­kan dari “jual beli” pemainnya. Ghio et al. (2019) dan Torre et al. (2018) juga menjelas­kan bahwa ketika pemain menandatang ani kontrak, entah pemain tersebut “dibeli” oleh klub atau merupakan pemain homegrown, pemain tersebut mengakui hak klub atas manfaat ekonomi bagi klub di masa depan melalui jasa yang ia berikan. Oleh kare­na itu, ketik menandatangani kontrak, pe­main dapat “digunakan” oleh klub untuk mendapatkan manfaat ekonomi di masa de­pan bagi manajemen klub sebagai hasil dari peristiwa di masa lalu.

Secara konsep Bambang FC telah me­ngetahui dan memahami bahwa pemain dan pelatihnya pada dasarnya merupakan aset terbesar bagi klub. Begitu juga dengan pemain muda binaan Bambang FC. Alasan mengapa Bambang FC menganggap pemain dan pelatihnya sebagai aset dijelaskan oleh Sudirman:

“Pemain itu ya asetnya Bambang FC. Bambang FC performanya bagus, mainnya bagus, kan men­datangkan banyak pemasukan toh? Dari tiket, sponsor. Bagus jeleknya Bambang FC keliatan dari pemain nya (Bambang FC) gimana. Terus kaya tadi, Bam­bang FC punya pemain muda. Bisa kita masukin ke tim utama kita, atau kita jual. Kita sewakan ke klub lain juga bisa kalo kita ga pake. Dapat pemasuk an toh Bam­bang FC? Kalo pelatih yah 11 12 lah” (Sudirman).

Namun, pemahaman mengenai konsep pemain dan pelatih, serta pemain muda bi­naan Bambang FC sebagai aset tersebut ma­sih sebatas pemahaman saja. Hal ini terlihat dari proses pengakuan, pencacatan, hingga penyajian informasi akuntansi atas pemain dan pelatih di Bambang FC. Bambang FC

belum mengakui pemain dan pelatih se­bagai aset takberwujud dengan sepenuhnya. Bambang FC belum mencatat nilai pemain dan pelatihnya sebagai aset takberwujud dalam pencatatan akuntansinya. Adapun pencatatan akuntansi terkait dengan pe­main aset takberwujud dan pelatih hanyalah gaji yang dibayarkan atas pemain dan pela­tih yang masih dibebankan ke akun beban. Sementara itu, dalam rincian akun aset mi­salnya, tidak ditemukan akun aset yang ber­hubungan dengan pemain ataupun pelatih Bambang FC. Tidak ada jurnal yang dicatat oleh bagian akuntansi Bambang FC ketika Bambang FC “menjual” atau “membeli” pe­main maupun saat merekrut atau melepas pelatih. Hal yang seharusnya dilakukan oleh manajemen Bambang FC jika manajemen Bambang FC benar­benar mengakui serta memahami bahwa pemain dan pelatihnya merupakan aset bagi klub, seperti penutur­an Mince berikut ini:

“Ya seharusnya sih seperti itu ya mbak. Dicatat waktu kita tanda tangan kontrak baru atau jual pe­main, soalnya kan pemain sama pelatih kan termasuk aset. Cuma kita nyatetnya (hal yang berkaitan dengan pemain dan pelatih dalam Bambang FC) ya cuma saat kita bayar gajinya aja.” (Mince).

Manajemen hanya mengerti bahwa pemain dan pelatih di Bambang FC me­rupakan aset klub, bahkan aset terbesar. Namun, bagaimana perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih di dalam klub sepak bola, bagaimana perlakuan akuntansi terse­but diterapkan, tidak dipahami. Tidak ada­nya standar yang mengatur bagaimana klub sepak bola seharusnya menilai pemain dan pelatihnya sebagai aset, khususnya dalam standar akuntansi yang diterapkan di Indo­nesia, baik PSAK maupun SAK menjadi ala­san utama bagi Bambang FC belum meng­akui, mencatat, dan melaporkan pemain dan pelatihnya sebagai aset dalam laporan keuangan. Begitu juga ketiadaaan panduan atau pedoman dari pihak federasi sepak bola Indonesia, sebagai lembaga nasio nal yang mengatur sepak bola di Indonesia, juga tidak mengatur mengenai bagaimana per­lakuan akuntansi atas pemain dan pelatih klub sepak bola sebagai aset, seperti diu­tarakan Mergie pada kutipan berikut ini.

Page 5: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 195

“Saya gak tahu mbak gimana nya-tetnya. Belum ada standarnya soalnya. Saya tahunya ya pas ba­yar gaji pemain dan pelatih. Yang standar­standar lah mbak. Kaya akuntansi di perusahan biasa” (Mergie).

Tidak hanya perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatihnya sebagai aset yang belum diterapkan oleh Bambang FC. Penen­tuan nilai kontrak pemain dan pelatih, yang seharusnya dapat dijadikan sebagai penen­tuan nilai pemain dan pelatih yang menja­di nilai aset bagi Bambang FC, masih me­rupakan hasil tawar menawar antara pihak manajemen Bambang FC dengan pemain maupun pelatih saat penandatanganan kon­trak. Manajemen Bambang FC sendiri su­dah mempunyai kriteria tetapi belum dija­dikan standar internal. Namun, penentuan atas harga taksiran wajar seorang pemain ataupun pelatih menurut manajemen, me­rupakan diskresi manajemen sendiri. Hasil diskresi inilah yang kemudian menjadi dasar bagi manajemen saat melakukan tawar me­nawar mengenai nilai kontrak baik dengan pemain maupun dengan pelatih.

Perlakuan pemain dan pelatih dalam klub sepak bola yang masih dianggap beban oleh klub sepak bola, tidak hanya dilakukan oleh manajemen Bambang FC saja, tetapi juga dilakukan oleh klub­klub sepak bola lainnya di Indonesia. Ketiadaan standar ataupun panduan me ngenai bagaimana per­lakuan akuntansi atas pemain dan pelatih, yang seharusnya diakui sebagai aset, juga dibenarkan oleh Suyono sebagai alasan ma­najemen Bambang FC belum memperlaku­kan pemain dan pelatih sebagai aset. Selain itu, pengelolaan klub sepak bola di Indone­sia, yang masih belum profesional, dan baru beberapa tahun ini mengarah menuju pro­fesional juga menjadi salah satu alasan me­ngapa perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih masih belum sesuai. Suyono lebih lanjut menjelaskan:

“Kalo di Indonesia itu, pengelo­laan masih belum profesional. Dari yang saya ketahui ya, kare­na beberapa klub (sepak bola) me­mang kita yang audit. Tapi pem­berlakuan SDM (sumber daya manusia) sebagai aset masih be­lum. Pemain sama pelatih untuk dianggap aset masih belum mbak.

Kebanyakan dibebankan. Apalagi kebanyakan kontrak (pemain dan pelatih) di Indonesia hanya satu musim selesai. Terkadang mu­sim belum selesai, pemain itu kan kadang banyak permintaan nya, (jadi) kadang diputus di tengah jalan. Apalagi pengelolaan (klub sepak bola) di Indonesia ini beda dengan di luar. Di Indonesia ini terkadang (hanya) hobi. Jadi agak susah untuk menuju (pengelo­laan) profesional” (Suyono).

Saat ini manajemen klub­klub sepak bola di Indonesia telah berusaha untuk menuju ke pengelolaan klub yang lebih profesional. Salah satu alasannya adalah klub­klub sepak bola di Indonesia sedang berusaha memenuhi syarat dari AFC, un­tuk pengelolaan klub sepak bola yang le­bih profesional. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar klub sepak bola di Indone­sia merupakan milik daerah, di mana dana yang digunakan untuk kegiatan operasional bersumber dari APBD. Dana tersebut ter­masuk digunakan untuk membeli pemain dan mengontrak pelatih. Diharapkan ketika klub sepak bola tidak lagi bergantung pada APBD, manajemen pengelolaan klub sepak bola pun menjadi lebih baik dan profesional.

Pemain dan pelatih: aset atau beban? Besarnya nilai dalam transaksi yang berkait­an dengan pemain ataupun pelatih dalam sebuah klub sepak bola, menjadikan nilai nominal mereka sebagai akun yang material dalam laporan posisi keuangan klub. Pemain dan pelatih dalam sebuah klub sepak bola merupakan salah satu faktor penentu bagi klub untuk mendatangkan pendapatan bagi klub tersebut. Pemain dan pelatih di dalam sebuah klub sepak bola merupakan aset pa­ling besar yang ada di klub tersebut. Hal ini jelas karena klub sepak bola yang memiliki tim yang berkualitas bagus, dapat memba­wa pendapatan dan laba bagi klub tersebut, misalnya saja melalui tiket pertandingan, produk sponsor, merchandise klub, hingga transfer fee pemain.

Pemain pada dasarnya memenuhi defi­nisi dan kriteria sebagai aset takberwujud. Klub sepak bola “membeli” pemain untuk menghasilkan manfaat ekonomis di masa depan. Manfaat ekonomis dalam hal ini ialah kontribusi pemain atau jasa pemain yang merupakan sesuatu yang intangible. Pemain dapat direkognisi dengan jelas se­

Page 6: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

196 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

hingga dapat “dijual” atau “disewakan”. Klub juga memiliki otoritas atas pemain melalui kontrak yang ditandatangani oleh kedua be­lah pihak sehingga harga perolehan pemain dapat diukur secara andal, misalnya melalui pasar transfer aktif.

Pada sisi lainnya, Lozano & Gallego (2011) dan Müller et al. (2017). juga ber­pendapat bahwa pemain merupakan aset inti dalam sebuah klub sepak bola karena pe ngaruh yang mereka miliki. Mereka men­jelaskan bahwa memiliki pemain yang baik dan terkenal baik dalam segi keterampilan maupun kualitas yang dapat dipasarkan berkontribusi secara substansial pada pe­ningkatan reputasi klub. Reputasi klub yang lebih baik, menghasilkan image klub yang lebih kuat, yang membawa peningkatan penjualan dan kekuatan negosiasi dengan media massa, sponsor, dan sebagainya. Ten­tu saja hal ini akan meningkatkan kapasitas dalam menghasilkan pendapatan di masa depan.

Temuan kedua peneliti tersebut juga didukung oleh Lardo et al. (2017) dan Oprean & Oprisor (2014). Mereka berpendapat bah­wa pemain dan pelatih sebagai aset. Pemain dan pelatih, khususnya pemain, merupakan elemen paling penting dalam sebuah klub sepak bola. Keduanya bahkan berpendapat, tanpa pemain, aset lainnya milik sebuah klub sepak bola seakan tidak begitu berar­ti. Namun, menurut mereka, mengganggap kontrak sebagai aset dalam pembukuan merupakan hal yang tidak boleh dilakukan. Seseorang tidak memiliki hak properti atau hak kepemilikan atas orang lain. Mengang­gap kontrak pemain dan pelatih sebagai aset, berarti klub sepak bola tempat pemain dan pelatih tersebut bernanung dapat menggu­nakan pemain dan pelatih secara keseluruh­an.

Berbeda dengan aset tak berwujud lainnya, dalam mengidentifikasi aset manu­sia, manfaat ekonomi di masa depan diasosi­asikan dengan manusia melalui kemampuan tenaga kerja menghasilkan arus kas dan jasa lainnya yang menciptakan manfaat ekonomi di masa depan (Bullough& Coleman, 2019; Coluccia et al., 2018). Hal ini yang kemu­dian menjadi perdebatan mengenai “penga­kuan hak” atas manfaat ekonomi di masa depan yang dihasilkan oleh manusia. Ma­nusia “tidak dapat” dimiliki seperti perusa­haan memiliki aset berwujud maupun tidak berwujud. Oleh karena itu, klub sepak bola tidak dapat mengklaim bahwa klub memili­

ki hak sepenuhnya atas pemain dan pelatih sebagai aset. Namun, klub sepak bola dapat mengharapkan jasa yang disediakan oleh tenaga kerja, dalam hal ini pemain dan pela­tih sepak bola. Jasa yang diharapkan inilah yang dapat dikontrol dan kepemilikan klub sepak bola berbentuk kontrak kerja.

Walaupun karyawan pada perusahaan dan pemain bola serta pelatih sama­sama merupakan pekerja, terdapat perbedaan sig­nifikan di antara keduanya. Dimitropoulos & Koumanakos (2015) dan Regoliosi (2018) menjelaskan perbedaan paling signifikan an­tara karyawan pada perusahaan dan pemain bola ialah kepemilikan eksklusif atas pemain yang terdaftar adalah aset terbesar bagi klub. Pemain profesional yang dipekerjakan oleh klub wajib terdaftar di liga dan asosiasi yang menjadi tempat mereka berafiliasi. Pemain profesional yang terdaftar pada liga dan aso­siasi tempat mereka berafliasi menandakan kepemilikan ekslusif atas pemain tersebut. Kepemilikan ekslusif inilah yang kemudian diperjualbelikan oleh klub sepak bola. Oleh karena itu, yang dimaksud pemain dan pela­tih sebagai aset ialah kepemilikan eks klusif atas pemain dan pelatih.

Namun, jika melihat pemain dan pela­tih sebagai beban karena klub sepak bola tempat mereka bernanung harus memba­yar gaji setiap bulannya selama periode ter­tentu juga bukan pilihan yang bijak. Hal ini karena tidak menggambarkan nilai pemain dan pelatih dalam laporan posisi keuangan, yang merupakan sumber manfaat ekonomi utama bagi sebuah klub sepak bola. Meng­akui pemain dan pelatih sebagai beban dikatakan sebagai kebijakan “beban” oleh Regoliosi (2018). Selain itu, kebijakan “be­ban” menurut Dimitropoulos & Koumana­kos (2015) merupakan perlakuan konvensio­nal dan tradisional di mana klub sepak bola memperlakukan transfer fee sebagai beban dalam akun laba rugi. Transfer fee sendiri merepresentasikan sebuah kompensasi atas pemutusan sebuah kontrak dikarenakan pemain pindah ke klub lainnya. Transaksi tersebut diakui sebagai beban operasional atau hal “luar bisa” dalam periode di mana kontrak ditandatangani. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada beban yang dilapor­kan lebih tinggi serta mengurangi pendapa­tan pada periode kontrak ditandatangani. Selain itu, kebijakan “beban” ini juga tidak menggambarkan nilai pemain dan pelatih dalam laporan posisi keuangan, yang di­dasari karena manfaat masa depan yang

Page 7: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 197

mungkin dihasilkan oleh pemain tidak pas­ti dikarenakan terdapat faktor cedera, yang memungkinkan pemain tidak dapat bermain bagi klub. Bambang FC sendiri masih me­nerapkan kebijakan “beban” ini atas pemain dan pelatih yang bernanung dalam klub nya. Selain permasalahan pengakuan pemain dan pelatih sebagai beban operasional atau sebagai aset bagi klub, permasalahan lain yang menyangkut pemain dan pelatih ialah mengenai penilaian pemain dan pelatih. Hal ini karena tidak ada dua individu yang iden­tik dan sama persis, bahkan manusia yang terlahir kembar sekalipun memiliki kara­teristik yang berbeda. Begitu juga dengan pemain dan pelatih. Bagaimana cara meng­ukur nilai pemain dan pelatih secara objek­tif merupakan permasalahan lainnya dalam akuntansi yang berkaitan dengan industri sepak bola.

Praktik akuntansi saat ini, khususnya dalam klub sepak bola Indonesia, memang masih memperlakukan biaya perekrutan, pelatihan, hingga pengembangan kemam­puan pemain dan pelatih sepak bola sebagai beban pada periode saat terjadinya aktivitas tersebut. Ghio et al. (2019) mengungkapkan bahwa praktik tradisional dalam akuntansi untuk pemain telah mengecualikan evalua­si apa pun atas pemain dari laporan posisi keuangan. Entah pemain tersebut “dibeli” dari pasar transfer maupun yang dikem­bangkan oleh klub secara internal. Torre et al. (2018) menjelaskan bahwa selama ini transfer fee (dan segala biaya yang berkait an untuk mendapatkan pemain), dibeban kan ke akun pendapatan dan beban lain­lain pada tahun transfer pemain terjadi. Demiki­an pula dengan Puente­Díaz & Cavazos­Ar­royo (2018) yang mengungkapkan bahwa transfer fee mengakibatkan laba lebih sedi kit pada periode tersebut. Tidak hanya itu, pe­ningkatan pendapatan di masa depan hasil dari perekrutan, pelatihan hingga pengem­bangan kemampuan pemain dan pelatih dalam sepak bola tersebut akan tercermin pada laporan laba rugi di masa depan tanpa biaya. Dengan kata lain, konsep kesesuaian antara pendapatan dan beban terkait tidak terjadi. Bloom & Kamm (2014) juga meng­ungkapkan bahwa perusahaan seharus­nya mencerminkan biaya yang dikeluarkan saat merekrut pekerja hingga pengemba ng­an kemampuan sebagai aset jangka pan­jang karena diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Biaya­biaya ini ha­rus diamortisasi atau dialokasikan selama

umur manfaat ekonomisnya secara garis lurus atau sama rata. Kapitalisasi biaya yang dikeluarkan saat perekrutan pekerja juga didukung oleh Firdlo (2012) yang ber­pendapat bahwa biaya yang dikeluarkan or­ganisasi untuk merekrut, mengembangkan, dan mendayagunakan manusia merupakan bentuk investasi untuk memperoleh “aset manusia” selayaknya pengapitalisasian bia­ya ke dalam harga perolehan aset tetap.

“Mencontek” perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih di klub sepak bola Eropa: Liverpool dan Manchester United. Belum adanya standar mengenai penilaian pemain dan pelatih sebagai aset dalam lapor­an keuangan, baik dari DSAK – IAI maupun dari lembaga yang mengelola industri sepak bola, menjadi alasan utama perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih sebagai aset dalam klub sepak bola belum diterap­kan dengan baik. Walaupun begitu, mana­jemen klub sepak bola di Indonesia dapat mengadopsi sistem akuntansi yang telah diterapkan oleh manajemen klub sepak bola di luar negeri, yang telah dikelola dengan profesional dan memilki panduan mengenai bagaimana pemain dan pelatih dalam klub sepak bola, sebagai aset diakui, dicatat, ser­ta disajikan dalam laporan keuangan. Jika dibandingkan dengan industri sepak bola di luar negeri, khususnya di benua Eropa, In­dustri sepak bola di Indonesia sendiri masih sangat jauh tertinggal. Di Eropa, klub sepak bola sudah dikelola secara profesional. Sa­ham­saham klub bola di Eropa pada u mum­nya sudah diperjualbelikan di bursa sa­ham. Oleh karena itu, melampirkan laporan keuangan tahunan merupakan kewajiban bagi klub­klub sepak bola tersebut. Salah satu infromasi yang ada di laporan keuang­an yang disediakan oleh klub­klub terse­but ialah informasi mengenai pemain yang dikategorikan sebagai aset tak berwujud. Se­cara umum klub­klub sepak bola di Eropa memasukkan sumber daya manusianya da­lam hal ini pemain dan pelatih dalam klub­nya sebagai aset takberwujud. Misalnya saja Liverpool dan Manchester United.

Liverpool membagi aset takberwujud­nya menjadi dua kategori, yaitu goodwill dan player registrations. Liverpool men­catat player registrations dengan nilai saat pemain tersebut “dibeli” oleh Liverpool. Li­verpool juga melakukan amortisasi dan re­valuasi pada player registrations dengan adanya akun impairment yang dijabarkan pada Catatan Atas Laporan Keuangan. Nilai

Page 8: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

198 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

pemain ditampilkan pada laporan posisi keuangan Liverpool merupakan nilai buku bersih setelah dikurangi amortisasi pada ta­hun berjalan dan kerugian maupun keun­tungan hasil revaluasi. Liverpool mencatat nilai pemainnya sebesar biaya yang berkait­an saat mengakuisisi pemain. Biaya tersebut dikapitalisasi dan diamortisasi berdasarkan jangka waktu kontrak pemain. Jika pemain tersebut memperpanjang kontrak, amortisa­si dihitung berdasarkan penambahan jang­ka waktu kontrak dari tanggal penandatang­anan kontrak. Keuntungan dan kerugian yang didapatkan saat pelepasan pemain di­hitung berdasarkan transfer fee yang diteri­ma dikurangi nilai buku pada saat transaksi penjualan pemain tersebut, dikurangi bia­ya yang terkait atas transfer pemain terse­but. Catatan Atas Laporan Keuangan juga memaparkan bahwa manajemen Liverpool dapat melakukan revaluasi atas aset tak­berwujud, termasuk kontrak pemain sesuai dengan Financial Reporting Standard (FRS) 102 Section 27, jika terdapat indikasi me­ngenai penurunan nilai atas aset takberwu­jud. Namun, mengenai bagaimana Liverpool menghitung impairment atau melakukan revaluasi atas pemainnya, tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Catatan Atas Laporan Keuangan.

Liverpool menjabarkan informasi de­ngan cukup detail mengenai perlakuan akuntansi pemainnya. Namun, informasi mengenai bagaimana klub sepak bola Li­verpoool menerapkan perlakuan akuntansi atas pelatihnya, baik dari sisi pengakuan, pencatatan, hingga penyajian dalam laporan keuang an, tidak disajikan dalam laporan posisi keuang an Liverpool. Jika dibanding­kan de ngan Liverpool, informasi mengenai bagaimana perlakuan akuntansi Bambang FC atas pemain dan pelatih sebagai aset dalam lapor an keuangan tahunan tidak ter­sedia dalam laporan keuangan. Bambang FC tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana pemain dan pelatih nya diakui dan dicatat dalam akuntansi serta bagaima­na pemain dan pelatihnya disajikan dalam laporan keuangan.

Tidak jauh berbeda dengan Liverpool, Manchester United juga menggolongkan pe­mainnya ke dalam kelompok aset tak berwu­jud. Manchester United menjelaskan dengan cukup dalam mengenai bagaimana per­lakuan akuntansi Manchester United atas pemain ataupun pelatihnya sebagai aset. Hal ini tertuang dalam laporan tahunan da­

lam Form 20-F United States Securities and Exchange Comission Manchester United. Manchester United mencatat nilai pemain, pelatih, serta staf manajemen inti sebesar biaya yang berkaitan saat mengakuisisi pe­main, pelatih, serta staf manajemen inti pada nilai wajarnya. Biaya yang berkaitan dengan akuisisi pemain dan staf manajemen inti meliputi transfer fee, biaya retribusi liga, biaya agen dan biaya lainnya yang dapat di­distribusikan secara langsung. Biaya­biaya tersebut juga termasuk estimasi nilai wajar dari setiap pertimbangan kontingensi. Es­timasi atas nilai wajar dari imbalan­imbal­an kontingensi mengharuskan manajemen Manchester United untuk memperhitungkan kemungkinan atas kondisi performa tertentu yang akan menimbulkan payment of conti-ngent consideration seperti jumlah penampi­lan pemain. Biaya­biaya ini diamor tisasi selama periode yang dicakup oleh kontrak individu. Sejauh kontrak individu diperpan­jang, nilai buku yang tersisa diamor tisasi selama sisa masa kontrak yang direvisi. Manchester United menjelaskan mengenai transfer fee yang menjadi dasar bagi nilai buku pemain. Pengakuan pendapatan yang didapatkan dari akademi pemain muda dari peminjaman pemain dan transfer fee juga di­jelaskan oleh Manchester United.

Tidak jauh berbeda dengan Liver­pool, manajemen Manchester United juga melakukan amortisasi biaya yang berkaitan de ngan akuisisi pemain. Hal yang membe­dakan dengan Liverpool adalah Manchester United tidak hanya meng amortisasi biaya yang berkaitan dengan akuisisi pemain, tetapi juga biaya akuisisi staf manajemen inti. Biaya yang dikeluarkan pada saat akui­sisi diamortisasi dengan umur ekonomis berdasarkan jangka waktu kontrak pemain maupun staf manajemen inti. Perubahan nilai amortisasi pemain ataupun staf mana­jemen inti merefleksikan penambahan biaya yang dibayarkan atas akuisisi pemain dan staf manajemen inti, penambahan jangka waktu kontrak, serta pelepasan pemain dan staf manajemen inti. Manchester United juga mengakui keuntung an ataupun kerugian dari pelepasan asetnya, dalam hal ini pe­main klub Manchester United, dalam lapor­an laba rugi mereka. Bahkan, dalam Form 20-F United States Securities and Exchange Comission Manchester United untuk tahun fiskal 2018, lebih jauh dijelaskan pendapat­an atas pelepasan aset tak berwujud untuk tahun yang berakhir 30 Juni 2018 sebesar

Page 9: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 199

124,4 juta poundsterling, yang sebagian be­sar berkait an dengan pelepasan pemain ser­ta penjual an atas biaya yang berhubungan dengan pemain sebelumnya. Manchester United juga memaparkan secara mendetail mengenai nilai amortisasi serta keuntungan yang didapatkan atas pelepasan pemain.

Penyebab utama terdapat perbedaan besar mengenai perlakuan akuntansi pe­main dan pelatih sebagai aset takberwujud antara klub sepak bola di Eropa dan Bam­bang FC adalah dipengaruhi oleh standar yang berkaitan, termasuk standar akuntan­si yang mengatur mengenai penyajian infor­masi pemain dan pelatih sebagai aset dalam lapor an keuangan. Di Eropa industri sepak bola sudah lebih dahulu berkembang. Klub­klub sepak bola di Eropa pun telah dikelola secara profesional. Adanya standar dari pi­hak berwenang mengenai bagaimana nilai pemain dan pelatih diakui, dicatat, serta di­laporkan dalam laporan keuangan klub se­bagai aset sehingga klub sepak bola di Eropa memiliki panduan bagaimana nilai pemain dan pelatih diakui, dicatat, hingga dilapor­kan dalam laporan keuangan klub. Walau­pun untuk penentuan nilai secara moneter pemain dan pelatih masih belum memili­ki standar yang berlaku, klub sepak bola di Eropa telah memahami bahwa pemain dan pelatih dalam klub sepak bola mereka merupakan aset bagi klub. Pemahaman ini dapat terlihat dari bagaimana klub sepak bola di Eropa, dalam tulisan ini Liverpool dan klub sepak bola Manchester United, mengakui, mencatat, serta memperlakukan pemain dan pelatih mereka sebagai aset da­lam laporan keuang an.

IAS 38 sebagai standar “sementara”. Hingga saat ini masih belum ada standar khusus yang mengatur mengenai HRA atau­pun panduan me ngenai pengukuran sum­ber daya manusia secara moneter, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, jika melihat perlakuan akuntansi atas pe­main dan pelatih sebagai aset yang telah di­terapkan Liverpool dan Manchester United, salah satu standar akuntansi yang paling mendekati untuk di terapkan pada pemain dan pelatih sebagai aset bagi klub sepak bola, ialah International Accounting Standard (IAS) No. 38. Pemain dan pelatih dalam klub sepak bola sendiri telah memenuhi syarat untuk diklasifikasikan sebagai aset tak­berwujud berdasarkan IAS 38. Syarat yang

dimaksud dalam IAS 38 adalah memenuhi definisi, dan kriteria pangakuan aset tak­berwujud.

IAS 38 menjelaskan mengenai bagaima­na aset tak berwujud diukur nilainya dan menentukan umur ekonomis aset tersebut. Aset tak berwujud harus diukur sebesar biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan aset tersebut hingga siap di­gunakan oleh perusahaan. Hal ini yang kemudian dapat menjadi dasar bagi manaje­men klub sepak bola untuk mengukur nilai pemain dan pelatih mereka sebesar nilai kontrak beserta bia ya yang dikeluarkan un­tuk mengakuisisi atau mempekerjakan pela­tih. Manajemen klub sepak bola kemudian dapat mencatat total biaya tersebut sebagai nilai atas pemain maupun pelatih. Semen­tara itu, untuk penentuan umur ekono­mis, entitas dapat menggunakan periode entitas dapat memanfaatkan aset tersebut yang diekspetasikan entitas atas aset, hasil produksi, atau ekspetasi jumlah unit yang mendekatinya, yang dapat entitas dapat­kan melalui aset tersebut. Jika diterapkan dalam klub sepak bola, entitas yang dalam hal ini manajemen klub sepak bola, dapat menggunakan nilai kontrak pemain ataupun pelatih sebagai umur ekonomis dari pemain dan pelatih. Jangka waktu kontrak pemain merupakan periode di mana klub sepak bola dapat memanfaatkan pemain dan pelatih yang dikontraknya. Hal ini sesuai dengan metode penentuan umur ekonomis yang per­tama, di mana entitas dapat menggunakan periode entitas yang dapat memanfaatkan aset tersebut yang diekspetasikan oleh enti­tas atas aset.

Manajemen Bambang FC dapat menga­dopsi bagaimana manajemen Liverpool mau­pun manajemen klub sepakola Manchester United dalam memperlakukan pemain dan pelatihnya sebagai aset dalam klub. Baik manajemen Liverpool maupun manajemen klub sepakola Manchester United menga­kui dan mencatat pemain dan pelatihnya sebagai aset takberwujud dalam pencatatan akuntansinya. Nilai pemain dan pelatih di­catat oleh kedua klub sebesar nilai kon­trak beserta biaya yang dikeluarkan untuk mengakuisisi pemain dan pelatih ke dalam klub. Nilai tersebut kemudian dikapitalisasi sepanjang umur ekonomis yang ditentukan berdasarkan jangka waktu masing­masing pemain ataupun pelatih. Manajemen Liver­

Page 10: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

200 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

pool dan klub sepakola Manchester United juga melakukan revaluasi atas nilai pemain dan pelatih, bahkan melakukan impairment jika manajemen kedua klub sepak bola mas­ing­masing menemukan adanya indikasi yang diperlukan impairment baik atas pe­main maupun pelatih.

IAS 38 sendiri, menurut Lardo et al. (2017) dan Oprean & Oprisor (2014), belum secara akurat menyatakan pengakuan sum­ber daya manusia dalam kategori aset, tetapi lebih menawarkan prasyarat untuk mene­rapkan perlakuan akuntansi. Mereka lebih jauh juga berpendapat bahwa IAS 38 juga tidak dapat diterapkan atas pemain muda binaan klub yang tergabung dalam Akademi klub. Hal ini karena pemain muda binaan klub merupakan pemain di bawah umur se­hingga belum dapat memiliki kontrak pro­fesional. Kontrak profesional yang menjadi dasar bagi IAS 38 untuk diakui sebagai aset takberwujud tidak ada, sehingga pemain muda binaan klub tidak dapat diidentifikasi. Pemain muda binaan klub juga belum dapat diukur secara pasti biaya yang dikeluarkan klub untuk memanfaatkan pemain muda tersebut, sampai pemain muda tersebut dikontrak secara profesional oleh klub. Keti­ka pemain muda dikontrak secara profesio­nal oleh klub, statusnya tentu saja bukan pemain muda binaan klub lagi se hingga IAS 38 dapat diterapkan. Namun, untuk saat ini IAS 38 dapat dijadikan standar atau pan­duan sementara untuk mengisi kekosongan hingga standar atau panduan yang lebih.

Selain IAS 38, terdapat standar akun­tansi lain yang dapat digunakan oleh klub sepak bola dalam menilai pemain dan pela­tihnya sebagai aset, yaitu Financial Report-ing Standard 10. Financial Reporting Stan-dard 10 atau FRS 10 sama­sama melingkupi aset takberwujud. Mnzava (2013) mengung­kapkan bahwa FRS 10 menunjukkan am­bivalensi regulator terhadap pengakuan aset tak berwujud. Hal ini terlihat dari pedoman akuntansi untuk goodwill, di mana pengha­pusan langsung terhadap cadangan adalah opsi yang lebih disukai, meskipun kapi­talisasi dan amortisasi diizinkan. Sebelum adanya FRS 10, terdapat beberapa metode dalam pencatatan dan pengakuan atas pe­main di Eropa karena belum adanya standar. Bullough & Coleman (2019) dan Dimitropou­los & Koumanakos (2015) memaparkan mayoritas klub di Eropa menganggap trans-fer fee sebagai beban pada periode berjalan

ketika pemain diakuisisi. Namun, ada yang mengelompokkannya ke dalam beban opera­sional, dan ada juga yang membebankan ke beban lain­lain. Ketika FRS 10 dikeluarkan, kapitalisasi transfer fee menjadi kewajiban di Eropa.

Sayangnya, FRS 10 dikeluarkan oleh dewan pelaporan keuangan Eropa saja se­hingga luas penerapannya hanya terbatas. Namun, untuk ke depannya, Indonesia se­baiknya memiliki standar sendiri, yang dapat bersumber dari adopsi IAS 38 yang dise­suaikan dengan kondisi di Indonesia, atau dapat membuat sendiri standar akuntansi yang mengatur mengenai manusia sebagai aset sesuai dengan kondisi di Indonesia. Hal ini karena adopsi standar berdasarkan IAS tidak selalu sesuai dengan kondisi di Indo­nesia. Contohnya saja PSAK 69 diadopsi dari IAS 41. PSAK 69 ini masih menuai banyak kritik karena kurang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ruang lingkup IAS 41 adalah perusahan industri besar, yang umumnya telah terdaftar di pasar saham yang bergerak di bidang agrikultur. Sementara itu, di Indo­nesia sendiri yang merupakan negara agri­kultur didominasi oleh UMKM, khususnya pengusaha tradisional.

SAK ETAP bab 16 - aset tak berwu-jud sebagai IAS 38 rasa lokal. Selain IAS 38, terdapat standar lain yang dapat menja­di panduan Bambang FC dalam mengakui, mencatat, dan menyajikan informasi menge­nai pemain dan pelatih sebagai aset. Stan­dar tersebut ialah SAK ETAP Bab 16. SAK ETAP sendiri merupakan standar akuntansi untuk entitas tanpa akuntanbilitas publik. SAK ETAP merupakan PSAK yang telah dise­derhanakan de ngan menggunakan pilihan pada alternatif standar yang le bih mudah dan simpel dan penyerdehanaan pengakuan dan pengukur an. SAK ETAP di susun de­ngan mengadopsi IFRS for SME yang diubah menyesuaikan kondisi yang ada di Indone­sia.

Bambang FC menggunakan SAK ETAP dalam menyajikan laporan keuangannya, sesuai yang diungkapkan dalam Ikhtisiar Kebijakan Akuntansi dalam Catatan Atas Laporan Keuangan. Di dalam SAK ETAP ter­dapat Bab 16 yang membahas mengenai aset takberwujud. Jika manajemen Bambang in­gin mengakui pemain dan pelatihnya sebagai aset, atau bahkan mengakui seluruh sum­ber daya manusia sebagai aset, manajemen Bambang FC dapat menerapkan perlakuan

Page 11: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 201

aset takberwujud pada Bab 16 dalam SAK ETAP untuk mengakui sumber daya manu­sianya sebagai aset.

Pemain dan pelatih dalam klub sepak bola memenuhi definisi aset takberwujud pada Bab 16 SAK ETAP. Menurut Bab 16 SAK ETAP aset tak berwujud merupakan aset non­moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik. Syarat aset tak berwujud adalah dapat diidentifikasi dan terdiri atas dua hal, yaitu dapat dipisah­kan dari aset lainnya (atau terbagi terpisah atau dapat dijual, dialihkan, dilisensikan, disewakan, atau ditukarkan secara indivi­dual atau bersama) serta muncul dari hak kontraktual atau hak hukum lainnya.

Jika melihat definisi aset takberwujud menurut Bab 16 SAK ETAP, pemain dan pelatih dalam klub sepak bola memenuhi definisi tersebut. Pemain dan pelatih me­menuhi syarat identifikasi aset tidak tetap dalam Bab 16 SAK ETAP yaitu dapat dipi­sahkan dari aset lainnya, atau terbagi ter­pisah atau dapat dijual, dialihkan, dilisen­sikan, disewakan, atau ditukarkan secara individual atau bersama. Kontrak pemain dan pelatih dalam klub sepak bola dapat dipisahkan dari aset lainnya, juga dapat terbagi terpisah. Kontrak pemain dan pela­tih juga dapat dijual atau dipindahkan “hak kepemilikan” atas pemain atau pelatih terse­but ke klub sepak bola lainnya, dapat dialih­kan, disewakan ke klub sepak bola lainnya, atau ditukarkan baik secara individual mau­pun bersama­sama. Selain itu, “hak kepemi­likan” atas pemain dan pelatih muncul dari hak kontraktual. Oleh karena itu, dapat di­simpulkan pemain dan pelatih memenuhi definisi aset takberwujud dalam Bab 16 SAK ETAP.

Jika Bambang menerapkan Bab 16 SAK ETAP untuk pengakuan pemain dan pelatih sebagai aset, maka nilai pemain dan pelatih diukur menggunakan biaya peroleh­an pada saat diperoleh. Umur manfaat yang digunakan untuk memperhitungkan amor tisasi ialah sepanjang periode kontrak yang telah ditandatangani. Nilai residu pe­main dan pelatih dianggap nol. Pemain dan pelatih diamortisasi mengggunakan metode garis lurus. Nilai pemain dan pelatih disa­jikan sebesar biaya perolehan atas pemain dan pelatih tersebut yang dikurangi dengan akumulasi amortisasi dan akumulasi ke­rugian penurunan nilai jika ada. Untuk pe­main homegrown, manajemen Bambang FC tidak dapat mengakuinya sebagai aset tak­

berwujud dikarenakan Bab 16 SAK ETAP berpendapat bahwa aset takberwujud yang dihasilkan secara internal entitas tidak diakui, dan pengeluaran yang berkaitan dengan aset takberwujud yang dihasilkan internal dicatat sebagai beban.

Sumber daya manusia sebagai aset: pengukuran nilai moneter manusia melalui kacamata akuntansi sumber daya manusia. Sejumlah peneliti memaparkan pendekatan penilaian manusia berdasarkan ukuran moneter. Leitão & Baptista (2019) dan Scafarto & Dimitropoulos (2018) memapar­kan pendekatan biaya. Pada pendekat an bia­ya penilaian manusia berdasarkan ukuran moneter yang digunakan berdasarkan nilai akuisisinya. Pendekatan biaya merupakan metode yang paling umum digunakan oleh klub sepak bola dalam menilai sumber daya manusianya. Mereka juga mengusulkan klub sepak bola menghitung biaya akusisi sepanjang kontrak untuk mendapatkan nilai bersih pada setiap akhir periode akuntansi. Nilai bersih ini kemudian dapat dikurangi depresiasi yang telah diestimasi oleh ma­najer dengan memperhitungkan “nilai resi­du” dari pembelian pemain. Nilai bersih ini juga memperhitungkan risiko implisit yang berkaitan dengan pemain, yang biasanya le­bih rendah dari nilai pemain yang dihitung menggunakan pengganda pendapat an yang digunakan oleh Union of European Football Association (UEFA).

Pada sisi lainnya, Lardo et al. (2017) dan Müller et al. (2017) menjelaskan pendekat­an pendapatan dalam menilai nilai pemain. Pengganda pendapatan umumnya digu­nakan UEFA pada era 1990­an untuk me­nentukan harga transfer pemain antarklub di Eropa. Harga transfer ini minimal harus sama dengan gaji kotor pemain yang dika­likan dengan koefisien yang telah ditentukan berdasarkan umur pemain. Namun metode ini tidak memperhitungkan penurunan nilai uang dan risiko yang berkaitan dengan pe­main.

Pendekatan lainnya dipaparkan oleh Carlsson­Wall et al. (2016) dan Keshtidar et al. (2017), yaitu pendekatan pasar. Metode pendekatan ini berprinsip bahwa nilai pe­main dibentuk dari pasar pada saat transfer terjadi. Namun, pendekatan ini sulit untuk dilakukan karena hanya dapat dilakukan pada saat transfer terjadi, sehingga tidak dapat dievaluasi untuk perbandingan. Hal ini dikarenakan setiap pemain unik, sehing­ga performanya maupun kinerjanya tidak

Page 12: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

202 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

dapat direplikasi. Selain itu, nilai pemain seringkali juga dipengaruhi oleh hal yang tidak dapat diperhitungkan secara pasti, yaitu negosiasi antara klub yang “menjual” pemain dengan klub yang “membeli” pemain tersebut.

Jika Bambang FC dikatakan menggu­nakan pendekatan berbasis biaya. Meskipun demikian, hal ini kurang tepat karena Bam­bang FC tidak memasukkan biaya aktual yang dikeluarkan dalam mengelola pelatih. Manajemen Bambang FC juga tidak mem­perkirakan biaya yang harus dikeluarkan jika mengganti pelatih maupun menggunakan konsep ekonomi tentang biaya ke sempatan. Pendekatan berbasis nilai mo neter juga ku­rang tepat karena Bambang FC sama sekali tidak memperhitungkan usia pensiun yang merupakan salah satu elemen penting dalam pasar. Bambang FC juga tidak menghitung nilai manfaat yang dihasilkan oleh Bambang FC dari hasil pembinaan pelatih yang dimi­liki oleh Bambang FC, sehingga model pasar juga bukan merupakan metode pendekatan yang digunakan Bambang FC. Model pa sar juga bukan metode yang digunakan oleh manajemen Bambang FC tidak menghitung estimasi manfaat ekonomis yang didapatkan Bambang FC di masa depan dengan mem­perkerjakan pelatihnya. Bambang FC tentu saja mengharapkan manfaat dari memper­kerjakan pelatih, tetapi masih belum dalam bentuk nilai moneter yang dapat diukur (ha­nya sekadar “membawa Bambang FC ber­jaya di kompetisi yang diikuti” atau dalam bentuk performa saja).

Jika melihat metode penilaian manusia berdasarkan nilai moneter, Bambang meng­gunakan pendekatan biaya dalam menilai pemain dan pelatihnya. Bambang FC meng­gunakan biaya yang dikeluarkan pada saat awal mengakuisisi pemain ataupun pelatih sebagai nilai moneter mereka. Walaupun ada penentuan nilai moneter atas pemain dan pelatih dalam Bambang FC, tidak berlanjut hingga ke tahap pencatatan dan pe nyajian dalam laporan posisi keuangan Bambang FC.

Jumlah transfer fee, gaji, dan durasi kontrak pemain berkontribusi signifikan terhadap valuasi pemain. Jumlah transfer fee yang harus dibayar klub saat merekrut pemain merupakan investasi bagi klub di masa depan yang setara dengan biaya yang dikeluarkan pada investasi aset tetap. Oleh karena itu, sudah wajarnya transfer fee di­catat sebagai aset takberwujud. Nilai pemain

dihitung berdasarkan nilai yang tertera pada saat penandatanganan kontrak. Oleh karena itu, nilai ini harus diamortisasi dengan nilai residu nol pada akhir kontrak.

Dari segi pencatatan, Bambang FC me­nerapkan metode dengan pendekatan biaya seperti yang diuraikan pada paragraf sebel­umnya. Bambang FC mencatat pemain sebe­sar bia ya yang dikeluarkan pada saat men­gakuisisi pemain. Nilai yang dicatat sebesar nilai kontrak pada saat tanda tangan kon­trak kerja terjadi. Pemain dicatat pada akun aset tidak tetap. Nilai pemain juga diamor­tisasi dengan nilai residual nol pada akh­ir periode kontrak. Nilai residual nol pada akhir periode mencerminkan nilai pemain tersebut bagi klub, bukan nilai yang melekat pada pemain ataupun pelatih.

Leitão & Baptista (2019) dan Scafarto & Dimitropoulos (2018) menjelaskan saat klub sepak bola “membeli” pemain, klub sepak bola tersebut memilki opsi atas pemain, yaitu menggunakannya, meminjamkannya, atau menjualnya. Pada akhir kontrak, opsi inilah yang bernilai nol bagi klub saat akhir perio de kontrak karena klub tidak mempu­nyai opsi untuk menggunakan, meminjam­kan, ataupun menjualnya. Pada akhir peri­ode pemain bebas dari berbagai kewajiban dengan klub. Ketika terjadi negosiasi baru baik de ngan klub sepak bola yang lama maupun klub sepak bola yang baru, nilai yang tercantum pada kontrak baru yang ditandatangani merupakan nilai “terbaru” pemain tersebut yang dinilai berdasarkan performanya saat itu.

Untuk penilaian pelatih dalam ukur­an moneter, Bambang FC dapat menggu­nakan metode pendekatan pasar. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, metode pendekatan ini berprinsip bahwa nilai pe­main dibentuk dari pasar pada saat transfer terjadi. Jika diterapkan pada penilaian pela­tih, nilai pelatih dibentuk pada saat terjadi perekrutan pelatih. Negosiasi antarpelatih dan klub yang ingin merekrut pelatih menja­dikan nilai pelatih tidak dapat diperhitung­kan secara pasti. Sama seperti perlakuan terhadap pemain, Bambang FC mencatat pelatihnya sebesar nilai yang tertera pada kontrak pada saat tanda tangan kontrak kerja terjadi. Pelatih dicatat pada akun aset tidak tetap. Nilai pelatih juga diamortisasi dengan nilai residual nol pada akhir periode kontrak.

Mnzava (2013) dan Scafarto & Dimi­tropoulos (2018) menggunakan nilai kon­

Page 13: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 203

trak pemain sebagai nilai pemain dalam pencatatan sumber daya manusia. Mereka mengklasifikasikan kontrak pemain sebagai aset takberwujud menurut Alasan mereka memasukkan nilai kontrak pemain ke dalam kategori aset takberwujud karena menurut­nya kontrak pemain termasuk dalam kate­gori sumber daya manusia yang merupa­kan aset takberwujud. Nilai kontrak pemain sendiri diukur berdasarkan biaya yang dike­luarkan untuk mendapatkan kontrak de­ngan pemain tersebut. Biaya ini termasuk transfer fee yang dibayarkan, signing fee, dan biaya agen yang dibayarkan oleh klub. Namun, mereka tidak membahas me ngenai bagaimana nilai kontrak tersebut bisa mun­cul dan menjadi nilai kontrak. De ngan kata lain, standar atau kriteria apa yang dipakai sehingga memunculkan nilai sebesar yang tertera dalam kontrak pemain.

Konstruksi awal pengukuran pemain sebagai aset. Manajemen Bambang FC telah mempunyai daftar kriteria pemain ataupun pelatih yang menjadi dasar untuk merekrut atau melepas. Namun, kriteria tersebut ma­sih sebatas kebijakan manajemen dan belum cukup mendetail sebagai panduan dalam mengukur nilai pemain maupun pelatih yang kemudian tertuang dalam nilai kontrak. Kri­teria yang dimiliki Bambang FC, belum men­jadi kriteria umum bagi klub sepak bola di Indonesia. Walaupun begitu, kriteria­krite­ria tersebut tentu tidak jauh berbeda antara satu klub dengan klub lainnya. Kriteria ini kemudian menjadi dasar bagi manajemen Bambang FC dalam mengukur nilai pemain dan pelatih saat mendiskuisikan harga kon­trak yang “pantas”.

Tabel 1 memuat daftar kriteria pemain dan pelatih yang diinginkan oleh klub sepak bola beserta grade untuk setiap kriteria, yang kemudian dapat dijadikan dasar bagi

manajemen Bambang FC untuk mengukur “harga yang pantas” bagi calon pemain. Ta­bel penilaian ini juga tidak kaku dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan klub sepak bola. Tabel 1 menggunakan kriteria dari Bambang FC sebagai contoh.

Kriteria dalam Tabel 1 dapat dise­suaikan dengan kebijakan dari masing­ma­sing manajemen klub sepak bola. Begitu pula dengan persentase kriteria. Besarnya persentase pada masing­masing kriteria di­buat berbeda untuk menggambarkan kri­teria mana yang menjadi perhatian penting bagi manajemen klub sepak bola. Misal­nya, mi nute play atau jam terbang pemain mendapatkan porsi pa ling besar jika diban­dingkan dengan kriteria lainnya. Hal ini karena minute play pemain dianggap oleh manajemen Bambang FC dapat menggam­barkan secara garis besar pengalaman ber­main di lapangan. Semakin banyak minute play seorang pemain, maka pengalaman ber­main pemain tersebut makin banyak.

Hal demikian juga berlaku dengan kri­teria keterampil an, teknik permainan, fisik, serta umur. Masing­masing mendapatkan porsi sebesar 15% dari total pengukuran nilai. Kriteria keterampilan adalah status tim nasional. Status tim nasional penting bagi manajemen Bambang FC sebab pemain yang sedang berada atau pernah dalam tim nasional memiliki kete rampilan yang mum­puni. Kriteria teknik permainan mengukur seberapa baik teknik pemain saat bermain dalam pertandingan. Teknik yang dimaksud seperti short passing, long passing, heading, dan tackle. Teknik permainan juga termasuk hal­hal seperti bagaimana pemain memba­ngun permainan, memaksimalkan peran­nya dalam tim, serta menerjemahkan strate­gi pelatih. Kriteria fisik menggambarkan keadaan fisik pemain seperti tingkat keseim­

Tabel 1. Pengukuran Nilai Pemain Berdasarkan Kriteria Bambang FC

No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Minute Play ­ 20% ­2 Keterampilan ­ 15% ­3 Teknik Permainan ­ 15% ­4 Fisik ­ 15% ­5 Umur ­ 15% ­6 Kepribadian ­ 10% ­7 Goodwill ­ 10% ­

Total 100% ­

Page 14: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

204 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

bangan pemain, tingkat akselerasi, kecepat­an lari, kelenturan, stamina, kekuatan, juga termasuk di dalamnya riwayat cedera, serta hal­hal lain yang berhubungan dengan fisik pemain. Kriteria usia menggambarkan usia pemain, yang tentu saja bergantung dari pe­nilaian dari manajemen klub me ngenai hal ini. seperti potensi nya di masa depan atau pengalaman.

Dua kriteria terakhir, yaitu kepribadi­an dan goodwill juga penting dalam peng­ukuran nilai pemain. Kriteria kepri badian dinilai dari pribadi pemain, mi salnya cara berinteraksi dengan rekan satu timnyaatau kedisplinan datang ke latihan rutin yang di­instruksikan oleh klub yang menaunginya. Mungkin hal ini terkesan sepele. Namun hal­hal seperti ini juga berpengaruh pada kehar­monisan tim. Lalu terdapat kriteria good-will, yang berhubung an dengan pendapatan sponsor, yang tentu saja berpengaruh pada pemasukan klub sepak bola. Kriteria­krite­ria tersebut tentu saja dapat disesuaikan oleh manajemen klub.

Untuk rating range, nilai masing­ma­sing kriteria tersebut memiliki skor te­rendah 1 hingga skor tertinggi sesuai dengan persentase kriteria. Misalnya untuk kriteria minute play, skor tertinggi kriteria ini ialah 20, kriteria teknik permainan memiliki skor tertinggi 15, atau skor tertinggi kriteria goodwill ialah sebesar 10. Manajemen klub sepak bola kemudian akan menilai ketujuh kriteria yang telah disebutkan sebelumnya dengan menggunakan skor tersebut. Ketika merekrut seorang pemain, manajemen klub sepak bola tentu saja mempunyai anggar­an maksimal yang akan dikeluarkan. Ra ting Range yang berbentuk persen ini akan dika­likan dengan anggaran maksimal yang telah ditetapkan oleh manajemen klub sepak bola sebelum merekrut permain yang bersang­

kutan. Total nilai tersebut merupakan “har­ga yang pantas” menurut manajemen klub sepak bola atas pemain tersebut.

Misalnya, manajemen Bambang FC ing in merekrut pemain A dengan maksimal ang garan 1 miliar rupiah. Usia pemain A masih sangat muda, yaitu 21 tahun. Minute play pemain A masih belum begitu banyak namun belum pernah lolos seleksi tim nasio­nal. Pemain A juga belum pernah cedera se­rius selama bermain dengan klub sebelumn­ya. Namun, pemain A terkadang tidak hadir mengikuti latihan rutin yang ditetapkan oleh klub yang menaungi pemain A sebelumnya. Manajemen Bambang FC lalu mengukur “harga wajar” pemain A menurut kriteria Bambang FC menggunakan Tabel 2.

Berdasarkan hasil pengukuran “harga wajar” pemain A menurut kriteria Bambang FC menggunakan Tabel Pengukuran Nilai Pemain, maksimal “harga wajar” pemain A sebesar Rp650.000.000,00. Penilaian ini tentu saja berdasarkan diskresi dari ma­najemen Bambang FC karena tidak ada satu standar yang baku atau panduan da­lam mengukur nilai manusia dalam ukuran moneter. Namun, penelitian ini setidaknya masih berlandaskan panduan berbasis data dari pemain A.

Nilai sebesar Rp650.000.000,00 bu­kanlah nilai paten dari pemain A. melain kan hanya sebagai panduan bagi manajemen Bambang FC, bahwa “harga wajar” maksi­mal berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh manajemen Bambang FC telah tetap­kan. “Harga” final pemain A yang akan ter­tuang dalam nilai kontrak, tentu saja bisa berubah karena masih akan ditentukan setelah pro ses tawar menawar antara pihak pemain dan juga pihak manajemen. Ketika pihak pemain dan manajemen mencapai ke sepakatan harga, maka manajemen akan

Tabel 2. Pengukuran Nilai Pemain A Berdasarkan Kriteria Bambang FC

No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Minute Play 8 20% Rp80.000.000,00 2 Keterampilan 10 15% Rp100.000.000,00 3 Teknik Permainan 9 15% Rp90.000.000,00 4 Fisik 14 15% Rp140.000.000,00 5 Umur 14 15% Rp140.000.000,00 6 Kepribadian 7 10% Rp70.000.000,00 7 Goodwill 3 10% Rp30.000.000,00

Total 100% Rp650.000.000,00

Page 15: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 205

mengakui pemain sebagai asetnya, dengan mencatatnya pada akun pemain tim utama, sesuai nilai kontrak yang telah disepakati. Nilai kontrak tersebut kemudian dikapitali­sasi sepanjang jangka waktu kontrak yang telah disepakati.

Penilaian atas pelatih juga tidak jauh berbeda dengan penilaian pemain. Klub sepak bola dapat menggunakan tabel peng­ukuran nilai berdasarkan kriteria yang te­lah ditetapkan oleh klub tersebut. Misalnya, Tabel 3 menggunakan kriteria pengukuran dari klub sepak bola Bambang FC.

Kriteria dalam Tabel 3 dapat dise­suaikan dengan kebijakan dari masing­ma­sing manajemen klub sepak bola. Besarnya persentase di buat berbeda untuk menggam­barkan kriteria mana yang menjadi perha­tian penting bagi manajemen klub sepak bola terkait. Pengalaman melatih menjadi hal yang paling penting bagi klub sepak bola Bambang FC, sehingga kriteria ini memiliki persentase paling besar dalam pengukuran nilai pelatih.SIMPULAN

Riset ini menemukan bahwa manaje­men klub sendiri telah mengetahui bahwa pemain dan pelatih merupakan aset. Na­mun, dikarenakan tidak adanya standar dan panduan mengenai bagaimana per­lakuan akuntansi atas pemain dan pelatih­nya sebagai aset, klub tetap memperlaku­kan pemain dan pelatihnya sebagai beban. Hal ini terlihat dari informasi dalam laporan keuangan milik klub yang tidak menyajikan informasi mengenai pemain dan pelatihnya sebagai aset.

Klub dapat menggunakan IAS 38 se­bagai standar “sementara” hingga adanya standar akuntansi khusus yang mengatur mengenai aset sumber daya manusia. Selain

itu, klub juga dapat “mencontek” bagaima­na praktik akuntansi diterapkan atas pe­main dan pelatih oleh klub sepak bola di Eropa. Pada sisi lainnya, pihak klub dapat me nerapkan Bab 16 SAK ETAP yang menga­tur mengenai aset tak berwujud. Tidak jauh berbeda dengan IAS 38, pemain dan pelatih diukur menggunakan biaya perolehan saat diperoleh dan diamortisasi menggunakan garis lurus sepanjang umur manfaat ekono­mis atau kontrak pemain dan pelatih terse­but.

Keterbatasan riset ini ialah tidak dapat menyaksikan secara langsung proses tawar menawar “harga pemain” saat proses nego­siasi nilai kontrak pemain. Hal ini dikare­nakan manajemen klub menganggap infor­masi tersebut merupakan informasi privat yang hanya boleh diketahui oleh pihak ma­najemen, agen, dan/atau calon pemain yang akan bergabung. Selain itu, riset ini juga hanya berfokus pada perlakuan akuntansi atas pemain dan pelatih dalam klub sepak bola sebagai sumber daya klub, khususnya secara moneter, melalui laporan keuangan. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya di­sarankan melakukan riset lebih mendalam atas cara pengukuran secara moneter atas pemain muda klub sepak bola beserta per­lakuan akuntansi atas pemain muda klub sepak bola. Pro kontra dalam topik akun­tansi sumber daya manusia, khususnya me­ngenai pengukuran manusia dalam ukuran moneter, juga menjadi topik riset lainnya yang menarik untuk dikaji lebih dalam lagi.

DAFTAR RUJUKANBaxter, J., Carlsson­Wall, M., Chua, W. F., &

Kraus, K. (2019). Accounting for the Cost of Sports­Related Violence: A Case Study of the Socio­Politics of “the” Ac­

Tabel 3. Pengukuran Nilai Pelatih Berdasarkan Kriteria Bambang FC

No Kriteria Rating Range Persentase Nilai Moneter1 Pengalaman Melatih ­ 30% ­2 Program Pelatihan ­ 15% ­3 Target Pelatih ­ 15% ­4 Lisensi yang Dimiliki ­ 15% ­5 Track Record saat masih menjadi

pemain­ 15% ­

6 Status Pemain Timnas sebelum menjadi Pelatih

­ 10% ­

Total 100% -

Page 16: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

206 Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Volume 11, Nomor 1, April 2020, Hlm 191-207

counting Entity. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(7), 1956­1981. https://doi.org/10.1108/AAAJ­02­2018­3364

Bloom, R., & Kamm, J. (2014). HumanResources: Assets That Should be Capitalized. Compensation & Benefits Review, 46(4), 219–222. https://doi.org/10.1177/0886368714555453

Bullough, S., & Coleman, R. (2019). MeasuringPlayer Development Outputs in Eu­ropean football Clubs (2005­2006 to 2015­2016). Team Performance Man-agement, 25(3/4), 192­211. https://doi.org/10.1108/TPM­03­2018­0023

Carlsson­Wall, M., Kraus, K., & Messner, M. (2016). Performance Measurement Sys­tems and the Enactment of Different Institutional Logics: Insights from a Football Organization. Management Ac-counting Research, 32, 45­61. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.01.006

Clune, C., Boomsma, R., & Pucci, R. (2019). The Disparate Roles of Accounting in an Amateur Sports Organisation: The Case of Logic Assimilation in the Gaelic Ath­letic Association. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 32(7), 1926­1955. https://doi.org/10.1108/AAAJ­06­2018­3523

Coluccia, D., Fontana, S., & Solimene, S. (2018).An Application of the Option­Pricing Model to the Valuation of a Football Player in the ‘Serie A League’. Interna-tional Journal of Sport Management and Marketing, 18(1/2), 155­168. https://doi.org/10.1504/ijsmm.2018.091345

Cooper, C., & Johnston, J. (2012). Vulgate Accountability: Insights from the Field of Football. Accounting, Auditing & Account-ability Journal, 25(4), 602­634. https://doi.org/10.1108/09513571211225060

Darmayasa, I. N, & Aneswari, Y. R. (2015). Paradigma Interpretif pada Penelitian Akuntansi Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 6(3), 350­361. https://doi.org/10.18202/jamal.2015.12.6028

Dimitropoulos, P. E., & Koumanakos, E. (2015). Intellectual Capital and Profit­ability in European Football Clubs. In-ternational Journal of Accounting, Audit-ing and Performance Evaluation, 11(2), 202­220. https://doi.org/10.1504/IJAAPE.2015.068862

Ejiogu, A. R., & Ejiogu, C. (2018). Translationin the “Contact Zone” between Account­ing and Human Resource Management:

The Nebulous Idea of Humans as Assets and Resources. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 31(7), 1932­1956. https://doi.org/10.1108/AAAJ­06­2017­2986

Firdlo, M. (2012). The Relevancies and Applica­bility of Human Resources Account­ing Implementations under Hegelian Dialectic. Jurnal Akuntansi Multipa-radigma, 3(2), 297­307. https://doi.org/10.18202/jamal.2012.08.7155

Ghasemi, S., Shahin, A., & Safari, A. (2018). Proposing an Improved Economic Value Model for Human Resource Valuation. International Journal of Productivity and Performance Management, 67(9), 2108­2125. https://doi.org/10.1108/IJP­PM­02­2018­0054

Ghio, A., Ruberti, M., & Verona, R. (2019). Finan­cial Constraints on Sport Organizations’ Cost Efficiency: The Impact of Finan­cial Fair Play on Italian Soccer Clubs. Applied Economics, 51(24), 2623­2638. https://doi.org/10.1080/00036846.2018.1558348

Janin, F. (2017). When being a Partner Means More: The External Role of Football Club Management Accountants. Management Accounting Research, 35, 5­19. https://doi.org/10.1016/j.mar.2016.05.002

Keshtidar, M., Talebpour, M., Abdi, S., & Abadi, M. Z. (2017). A Prediction Mo­del for Valuing Players in the Premier Football League of Iran. International Sports Studies, 39(1), 39­52. https://doi.org/10.30819/iss.39­1.05

Kulikova, L. I., & Goshunova, A. V. (2014). Human Capital Accounting in Pro­fessional Sport: Evidence from Youth Professional Football. Mediterranean Journal of Social Sciences, 5(24), 44­48. https://doi.org/10.5901/mjss.2014.v5n24p44

Lardo, A., Dumay, J., Trequattrini, R., & Russo, G. (2017). Social Media Net­works as Drivers for Intellectual Capital Disclosure: Evidence from Professio­nal Football Clubs. Journal of Intellec-tual Capital, 18(1), 63­80. https://doi.org/10.1108/JIC­09­2016­0093

Lee, C. C., & Cheng, P. Y. (2018). Effect of the Critical Human Resource Attributes on Operating Performances. Chinese Management Studies, 12(2), 407­432. https://doi.org/10.1108/CMS­10­2017­0296

Page 17: PRAKTIK AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA PADA KLUB …

Ridhawati, Ludigdo, Prihatingtias, Praktik Akuntansi Sumber Daya Manusia pada Klub Sepak Bola... 207

Leitão, J., & Baptista, J. (2019). IntellectualCapital Assets and Brand Value of Eng­lish Football Clubs. International Jour-nal of Sport Management and Marketing, 19(2), 8­34. https://doi.org/10.1504/IJSMM.2019.097002

Lozano, F. J. M., & Gallego, A. C. (2011). Deficits of Accounting in the Valuation of Rights to Exploit the Performance of Professional Players in Football Clubs: A Case Study. Journal of Management Control, 22(3), 335–357. https://doi.org/10.1007/s00187­011­0135­6

McCoy, N. R, Phillips, B., & Stewart, A. C. (2019). Accounting for Human Capital: Implications of Automation and Ope­rational Performance. The Journal of Corporate Accounting & Finance, 30(4), 111– 115. https://doi.org/10.1002/jcaf.22408

Mnzava, B. (2013). Do Intangible InvestmentsMatter? Evidence from Soccer Corpo­rations. Sport, Business and Mana-gement, 3(2), 158­168. https://doi.org/10.1108/20426781311325087

Müller, O., Simons, A., & Weinmann, M. (2017). Beyond Crowd Judgments: Da­ta­Driven Estimation of Market Value in Association Football. European Jour-nal of Operational Research, 263(2), 611­624. https://doi.org/10.1016/j.ejor.2017.05.005

Nicoliello, M., & Zampatti, D. (2016). Football Clubs’ Profitability after the Finan­cial Fair Play Regulation: Evidence from Italy. Sport, Business and Man-agement, 6(4), 460­475. https://doi.org/10.1108/SBM­07­2014­0037

Nurindrasari, D., Triyuwono, I., & Mulawar­man, A. (2018). Konsep Pengukuran Kinerja Berbasis Kesejahteraan Islam. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 9(3), 394­416. https://doi.org/10.18202/ja­mal.2018.04.9024

Oprean, V. B., & Oprisor, T. (2014). Accountingfor Soccer Players: Capitalization Pa­radigm vs. Expenditure. Procedia Eco-nomics and Finance, 15, 1647–1654. https://doi.org/10.1016/s2212­5671(14)00636­4

Puente­Díaz, R., & Cavazos­Arroyo, J. (2018). The Role of the Categorization Process on the Influence of a Famous Football Player on the Evaluations of a Football Team. International Journal of Sports Marketing and Sponsorship, 19(3), 327­337. https://doi.org/10.1108/ijsms­09­2016­0052

Regoliosi, C. (2018). Shedding Light on the Profitability of Italian Professional Football Clubs where a Different Busi­ness Model is Performing. International Journal of Sport Management and Mar-keting, 18(1/2), 130­154. https://doi.org/10.1504/IJSMM.2018.091334

Risaliti, G., & Verona, R. (2013). Players’ Registration Rights in the Finan­cial Statements of the Leading Ita­lian Clubs: A Survey of Inter, Ju­ventus, Lazio, Milan and Roma. Accounting, Auditing & Accountabili-ty Journal, 26(1), 16­47. https://doi.org/10.1108/09513571311285603

Scafarto, V., & Dimitropoulos, P. (2018). Human Capital and Financial Perfor­mance in Professional Football: The Role of Governance Mechanisms. Corporate Governance, 18(2), 289­316. https://doi.org/10.1108/CG­05­2017­0096

Senaux, B., & Morrow, S. (2013). Football Club Financial Reporting: Time for a New Model? Sport, Business and Ma-nagement, 3(4), 297­311. https://doi.org/10.1108/SBM­06­2013­0014

Torre, E. D., Giangreco, A., Legeais, W., & Vakkayil, J. (2018) Do Italians Really Do It Better? Evidence of Migrant Pay Disparities in the Top Italian Foot­ball League. European Management Review, 15(1), 121­136. https://doi.org/10.1111/emre.12136.

Triyuwono, I. (2015). Akuntansi Malangan:Salam Satu Jiwa dan Konsep Kinerja Klub Sepak Bola. Jurnal Akuntansi Mul-tiparadigma, 6(2), 290­303. https://.doi.org/10.18202/jamal.2015.08.6023

Yin, R. K. (2018). Case Study Research and Application: Design and Methods (6th ed.). Sage Publications.