126574962 laporan hasil tutorial modul 2 kegemukan skenario a
TRANSCRIPT
LAPORAN HASIL TUTORIAL
MODUL 2 “KEGEMUKAN”
SKENARIO A
KELOMPOK 2A:
• SURAHMAYANTI TAHIR 1102060031
• RESKI PURWASARI 1102070127
• IRMAYANTI MUKHTAR 1102090012
• A. ARWINI PUJI NOVITA 1102090074
• NUR AISYAH 1102090027
• HARDI ASHARI M.H. 1102090051
• DEWI LASIMPARA 1102090061
• MOHAMMAD JUMATMAN 1102090105
• DZUL IKRAM 1102090108
• SIGIT DWI PRAMONO 1102090133
• NUR ASIA 1102090141
• ABDIANTO ILMAN 1102090041
TUTOR: dr. Anna Sari Dewi, Sp.OG.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2011
SKENARIO
Seorang pria umur 44 tahun datang ke dokter untuk memeriksa kesehatan rutin. Anamnesis
diketahui bahwa ibu dari penderita tersebut menderta diabetes.Ia tidak merokok,
Pemeriksaan fisik TB 160 cm, BB 78 kg, LP = 95 cm, TD 150/95 mmHg.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas Normal
Setelah di periksa laboratorium di dapatkan hasil sbb:
GDP 110 mg/dl, Kol tot 280 mg/dl, LDL 180 mg/dl,
TG 180 mg/dl, HDL 32 mg/dl, Asam urat 9 mg/dl,
Pemeriksaan yang lain dalam batas normal.
KATA KUNCI
Pria 44 tahun
Ibu menderita DM
Tidak merokok
Pemfis : TB 160 cm, BB 78 kg, LP = 95 cm, TD 150/95 mmHg.
Pemlab : GDP 110 mg/dl, Kol tot 280 mg/dl, LDL 180 mg/dl, TG 180 mg/dl, HDL 32
mg/dl, Asam urat 9 mg/dl,
DAFTAR PERTANYAAN
1. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
2. Hormon-hormon apa saja yg mempengaruhi berat badan?
3. Etiologi dari obesitas
4. Faktor resiko apa saja yg dapat ditimbulkan pada obesitas?
5. Penyakit apa saja yang dapat menimbulkan obesitas dan jelaskan?
6. Bagaimana hubungan antar gejala?
7. Bagaimana hubungan riwayat keluarga?
8. Langkah pemeriksaan selanjutnya?
9. DD?
PEMBAHASAN:
1. Interpretasi hasil pemeriksaan:
• IMT = 30,46 kg/m2 (obes 2)
• Lingkar perut = obes sentral >90 cm
• GDP = Prediabetik 110-125 mg/dl
• Kolestrol total= tinggi(120-220 mg/dl)
• LDL-C= tinggi (80-140 mg/dl)
• HDL-C= rendah(35-55 mg/dl)
• Asam Urat = tinggi (3,5-7,2)
• TG = tinggi (40-160 mg/dl)
2. Hormon-hormon yg dapat mempengaruhi berat badan?
- Neuropeptid Y:meningkatkan rangsangan lapar
- Leptin : menekan rasa lapar
- Kortisol : meningkatkan nafsu makan, dan mobilisasi lemak dan protein
3. Etiologi dari obesitas
• Genetik
– Hiperlipidemia : Hiperkolesterolemia familial (terjadi pengurangan ambilan partikel
LDL sehingga terakumulasi dlm plasma)
– Hiperkolesterolemia poligenik : secara autosomal terjadi peningkatan kadar kolesterol
– Genotipe apoprotein (heterozigot 15 % populasi) : lemahnya ambilan sisa lipoprotein
setelah katabolisme
• Lingkungan
– Faktor pola hidup dan kebiasaan keluarga
• Neurohormon
– Terjadi mutasi pada pusat rasa lapar
• Sekunder (akibat penyakit)
– Hipotiroidism
– Cushing syndrome
4. Faktor resiko yg dapat ditimbulkan pada obesitas:
Type 2 diabetes 57%
Gallbladder disease 30%
Hypertension 17%
Coronary heart disease 17%
Osteoarthritis 14%
Breast cancer 11%
Ulterine cancer 11%
Colon cancer 11%
5.
Penyakit yg mungkin dapat terjadi dengan peningkatan berat badan disertai hipertensi adalah
Cushing syndrome. Pada penyakit ini terjadi peningkatan sekresi kortisol. Gangguan ini terjadi
baik diakibatkan oleh stimulasi yg berlebihan di hipofisis dan tumor di suprarenal yg produktif
menghasilkan kortisol. .Terjadi peingkatan glukoneogenesis yang berakibat peningggian glukosa
darah sehingga disebut diabetes adrenal. Kadar gua dalam darah dapat mencapai 200 mg /dl.
Fungsi kortisol adalah mobilisasi lemak dan protein sehingga dapat terjadi penumpukan protein
dan lemak di plasma. Hal ini dapat menimbulkan penumpukan lemak di daerah badan dan
wajah ang belum diketahui sebabnya dan terjadi peningkatan osmolalitas dalam plasma yang
berujung dengan hipertensi.
6.
Dari kasus ini kita dapat menggali hubunan antar gejala dengan melakukan anamnesis. Jadi
pusat obesitas dari kelompok kami jika dilakukan anamnesis yaitu melihat pola makan sebagai
penyebab hiperuresemia dan obesitas. Hiperuresemia tidak tergantung pada obesitas namun
pola makan yang mengandung purin dan riwayat gagal gnjal. Obesitas kita dapat menarik
kesimpulan bahwa obesitas menyebabkan dislipidemia akibat rendahnya mobilisasi lipoprotien
efek dari obesitas, terjadinya hipertensi akibat resistensi perifer meningkat, dan resiko diabetes
akaibat desensitasi jaringan pada insulin.
7.Hubungan riwayat DM dalam keluarga: Factor Genetik pada penelitian menunjukkan kesamaan genetik pada keluarga penderita DM
penyebab DM tipe 2 dan gen tersebut memicu timbulnya DM tipe 2
– hepatocyte nuclear factor 4 alpha (HNF4A)
– calpain 10 (CAPN10)
- Kesamaan pola hidup è Kebiasaan keluarga yang dapat diturunkan sehingga pola hidup
diterapkan oleh generasi berikutnya
8.Langkah pemeriksaan selanjutnya Anamnesis Bagaimana pola makan? Apakah ada keluarga yg obesitas? Ada riwayat penyakit sebelumnya? Konsumsi obat? Pemeriksaan fisis inspeksi =Jenis obesitas (sentrifugal/sentripetal) Adanya striae ? fatigue? Lab dan pemeriksaan lain bila dicurigai Cushing Syndrome - tes kortisol urine - tes ACTH - CT scan dan MRI Bila dicurigai DM tipe 2 - Glukosa darah - tes glukosa urine
9. Differential Diagnosis:
Sindrom Metabolik
Chusing Sindrom
DM tipe 2
SINDROM METABOLIK
A. Pendahuluan
Sindrom Metabolik yang juga disebut sindrom resistensi insulin atau sindrom X merupakan suatu kumpulan faktor2 risiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan morbiditas penyakit kardiovaskular pada obesitas dan DM tipe 2. 1,2) The National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel (NCEP-ATP III) melaporkan bahwa sindrom metabolik merupakan faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular, sehingga memerlukan intervensi modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif). 3)
Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi :
Resistensi insulin
Obesitas abdominal/sentral
Hipertensi
Dislipidemia :
Peningkatan kadar trigliserida
Penurunan kadar HDL kolesterol
Sindrom Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi / prothrombotik yang dapat menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein, disfungsi endotel, hiperfib-rinogenemia, peningkatan agregasi platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan kadar asam urat, mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol. Akhir-akhir ini diketahui pula bahwa resistensi insulin juga dapat menimbulkan Sindrom Ovarium Polikistik dan Non Alcoholic Steato Hepatitis (NASH).4)
B. Epidemiologi/ Prevalensi
Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari the Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi sindrom metabolik (dengan menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki2 kulit hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi Sindrom Metabolik meningkat dengan bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan lebih atau gemuk , diperkirakan Sindrom Metabolik melebihi merokok sebagai faktor risiko primer terhadap penyakit kardiovaskular. Sindrom metabolik juga merupakan prediktor kuat untuk terjadinya DM tipe 2 dikemudian hari.5,6)
C. Etiologi :
Etiologi Sindrom Metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Resistensi insulin mempunyai korelasi dengan timbunan lemak viseral yang dapat ditentukan dengan pengukuran lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara resistensi insulin dan penyakit kardiovaskular diduga dimediasi oleh terjadinya stres oksidatif yang menimbulkan disfungsi endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskular dan pembentukan atheroma. Hipotesis lain menyatakan bahwa terjadi perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas abdominal. Suatu studi membuktikan bahwa pada individu yang mengalami peningkatan kadar kortisol didalam serum (yang disebabkan oleh stres kronik) mengalami obesitas abdominal, resistensi insulin dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stres akan menyebabkan terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard. 7-10)
D. Evaluasi Klinis
Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi : 11-12)
Anamnesis, tentang :
Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya.
Riwayat adanya perubahan berat badan.
Aktifitas fisik sehari-hari.
Asupan makanan sehari-hari
Pemeriksaan fisik, meliputi :
Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus :
Berat badan (kg)
——————————
Tinggi badan (m)2
Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.
Pemeriksaan laboratorium, meliputi :
Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa.
Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis.
Highly sensitive C-reactive protein
Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH.
USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati.
E. Penatalaksanaan
Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang penatalaksanaan Sindrom Metabolik. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap komponen2 Sindrom Metabolik dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes, hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan Sindrom Metabolik hendaklah dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek Sindrom Metabolik, mengurangi semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Namun kebanyakan pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki resistensi insulin.13)
a. Latihan Fisik :
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 – 48 jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki resistensi insulin. Pasien hendaklah diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik sedang secara teratur dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan dumbbell ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk latihan dengan menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki2 tanpa mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan.11,12)
b. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap Sindrom Metabolik adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Bukti-bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil2 dari studi klinis diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total. 11)
The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) merekomendasikan tekanan darah sistolik antara 120 – 139 mmHg atau diastolik 80 – 89 mmHg sebagai stadium pre hipertensi, sehingga modifikasi gaya hidup sudah mulai ditekankan pada stadium ini untuk mencegah penyakit kardiovaskular. Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop
Hypertension (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun tanpa disertai penurunan berat badan.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa konsumsi produk2 rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan risiko sindrom metabolik yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak, asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas penyakit kardiovaskular. Suatu studi menunjukkan adanya korelasi antara penyakit kardiovaskular dan asupan biji-bijian dan kentang. Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan dan sayuran untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Efek jangka panjang dari diet rendah karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan menurunkan berat badan.
Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin. 12)
c. Edukasi
Dokter2 keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien dengan Sindrom Metabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya hidup pasien serta hambatan2 yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi gaya hidup tersebut. Dokter keluarga juga diharapkan dapat mengetahui pengetahuan pasien tentang hubungan gaya hidup dengan kesehatan, yang kemudian memberikan pesan2 tentang peranan diet dan latihan fisik yang teratur dalam menurunkan risiko penyulit dari Sindrom Metabolik. Dokter keluarga hendaklah mencoba membantu pasien mengidentifikasi sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari diet dan latihan fisik yang diterapkan. Pertanyaan2 seperti : “ Bagaimana pendapat anda apakah diet dan latihan fisik yang diterapkan dapat mempengaruhi kesehatan anda ?” atau “ Permasalahan apa yang anda hadapi dalam mencoba menerapkan perubahan diet atau aktifitas fisik ?” , dapat membantu dokter keluarga dalam menerapkan langkah2 berikutnya terhadap masing2 pasien. Jawaban pasien hendaklah dicatat dalam rekam medik dan direview pada kunjungan berikutnya. Hal ini dapat membantu dokter mengidentifikasi adanya hambatan2 dalam menerapkan perubahan gaya hidup. 12.13)
d. Farmakoterapi :
Terhadap pasien2 yang mempunyai faktor risiko dan tidak dapat ditatalaksana hanya dengan perubahan gaya hidup, intervensi farmakologik diperlukan untuk mengontrol tekanan darah dan dislipidemia. Penggunaan aspirin dan statin dapat menurunkan kadar C-reactive protein dan memperbaiki profil lipid sehingga diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Intervensi farmakologik yang agresif terhadap faktor2 risiko telah terbukti dapat mencegah penyulit kardiovaskular pada penderita DM tipe 2. 13)
F. Pencegahan
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif terhadap pasien2 dewasa yang mempunyai faktor2 risiko untuk terjadinya penyulit kardiovaskular. Para dokter keluarga lebih efektif dalam membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat. The Diabetes Prevention Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup yang ketat pada pasien prediabetes dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50% ( dari 11% menjadi 4,8%). 13)
CHUSING SINDROM
A. Definisi
Ø Syndrome Chusing : Gambaran klinis yang timbul akibat peningkatan glukotirid plasma jangka panjang dalam dosis farmakologik (Latrogen). (William. F. Ganang,Fisiologis Kedokteran,Hal 364)
Ø Syndrome Chusing : Di sebabkan oleh skresi berlebihan steroid adrenokortial,terutama kortisol.(IPD.Edisi III jilid I,hal 826)
Ø Syndrome Chusing : Akibat rumatan dari kadar kortisol darah yang tinggi secara abnormal karena hiperfungsi korteks adrenal.(ilmu Kesehatan anak,Edisi 15 hal 1979).
B. Etiologi
Ada 5 tipe Syndome chusing :
1. Penyakit chusing ditemukan pada kira-kira 80 % pasien.Kerusakan kemungkinan terletak di hipotalamus,tetapi ini belum terbukti.
2. Tumor adrenal,dijumpai pada kira-kira 15 % pasien,biasanya adenoma kecil tunggal dan jinak.
3. ACTH ectopik salah satu syndrome chusing oleh karena produksi ektopik adalah ACTH oleh tumor maligna non-endokrin.
4. Alkoholisme.
5. Kortikosteroid
C. Patofiologi
Penyakit ini timbul ketika kelenjar adrenal pada tubuh terlalu banyak memproduksi hormon
kortisol, yang dikenal sebagai simtoma hiperkortisolisme. Hal ini dapat disebabkan oleh
konsumsi obat yang mengandung kortikosteroid seperti medroksiprogesteron asetat[2][3] yang
biasa digunakan untuk berbagai pengobatan penyakit akut, atau konsumsi bahan kontrasepsi
yang mengandung estrogen seperti mestranol,[4] atau menjalani adrenalektomi[5] yang biasanya
mengakibatkan terjadinya adenoma pada kelenjar hipofisis.[6] Simtoma ini juga dapat dipicu
oleh ketidakseimbangan metabolisme yang dikenal sebagai simtoma hiperadrenokortisisme,
yaitu berlebihnya sekresi hormon ACTH akibat stimulasi berlebih hormon CRH dan VP yang
disekresi.[1]
D. Manifestasi Klinis
1. Obesitas 2. Wajah bulan 3. Perubahan-Perubahan pada kulit 4. Hirsutisme 5. Hipertensi 6. Disfungsi Gonad 7. Gangguan Psikologis 8. Kelemahan Otot,Mudah lelah 9. Osteoporosis akibat Katabolisme Protein yang berlebih 10. Haus dan poliuri 11. Gangguan tidur akibat dhiural kortisol 12. Nyeri punggung
E. Komplikasi
Ø Krisis Addisonnia
Ø Efek yang merugikan pada aktivitas koreksi adrenal
Ø Patah tulang akibat osteoporosis
F. Diagnosa banding
Ø ACTH Ektopik
Ø Tumor primer di adrenal (Endokrinologi edisi 4 hal 437)
G. Test Diagnostik
1. CT scan
Untuk Menunjukkan pembesaran adrenal pada kasus syndrome cusing
2. Photo scaning 3. Pemeriksaan sidik nuklir
Kelenjar adrenal mengharuskan Pemberian kolesterol radio aktif secara inra vena
4. Pemeriksaan elektro kardiograafi
Untuk menentukan adanya hipertensi
(Endokrinologi edisi 4 hal 437)
H. Penatalaksanaan
Pengobatan syndrome chusing tergantung ACTH tidak nseragam,bergantung apakah sumber ACTH adalah hipofisis /Ektopik :
1. Jika dijumpai tumor hipofis ,Sebaiknya diusahakan reseksi tumor transfeonida.
2. Jika terdapat bukti hiperfunggsi hipofisis namun tumor tidak ditemukan maka sebagai gantinya dapat dilakukan radiasi kobait pada kelenjar hipofisis
3. Kelebihan kortisol juga dapat ditanggulangi dengan adrenolektomi total dan diikuti pemberian kortisol dosis fisiologis
4. Bila kelebihan kortisol disebabkan oleh neoplasma adrenal,maka pengangkatan neoplasa disusul kemoterapi pada penderita dengan karsinoma/terapi pembedahan.
5. Digunakan obat dengan jenis Metropyne,amino gluthemid O,P-OOO yang bisa mensekresikan kortisol
(Patofisiologis edisi 4 hal :1093)
DIABETES MELITUS
Diabetes melitus merupakan suatu sindrome dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya sekresi insulin atau
penurunan sensivitas jaringan terhadap insulin. Terdapat 2 tipe diabetes mellitus :
1. Diabetes tipe I, yang juga disebut diabetes melitus tergantung-insulin (IDDM),
disebabkan kurangnya sekresi insulin.
2. Diabetes tipe II, yang juga disebut diabetes melitus tidak tergantung insulin (NIDDM),
disebabkan oleh penurunan sensivitas jaringan target terhadap efek metabolik insulin.
Penurunan sensitivitas terhadap insulin ini seringkali disebut sebagai resistensi
insulin.
Pada kedua jenis diabetes melius, metabolisme semua bahan makanan utama
terganggu. Pengaruh mendasar resistensi atas tidak adanya insulin terhadap
metabolisme glukosa adalah mencegah efisienasi penggunaan dan pengambilan
glukosa oleh sebagian besar sel-sel tubuh, kecuali oleh otak. Hasilnya, konsentrasi
glukosa darah meningkat, penggunaan glukosa oleh sel menjadi sangat berkurang dan
penggunaan lemak dan protein meningkat.
Sebelum lebih jauh mengulas tentang kelainan sekresi insulin dan penyakitnya, berikut
uraian ringkas fisiologi insulin normal :
Gen insulin diekspresikan pada sel beta islet pankreas, tempat insulin disintesis dan
disimpan dalam granula sebelum dikeluarkan. Pengeluaran dari sel beta berlangsung
dalam suatu proses bifasik yang melibatkan dua simpanan insulin. Peningkatan kadar
glukosa darah mendorong pelepasan segera insulin, yang diperkirakan berasal dari
simpanan pada granula sel beta. Jika rangsangan sekretorik tersebut berlanjut, timbul
respon tipe lambat dan berkepanjangan yang melibatkan sintesis aktif insulin.
Rangsangan terpenting yang memicu pengeluaran glukosa adalah insulin, yang juga
memacu sintesis insulin. Perubahan dalam metabolisme intrasel yang dipicu oleh glukosa
ini, disertai input kolinergik normal dari sistem saraf otonom, meningkatkan sekresi
insulin oleh sel beta. Zat lain, termasuk hormon usus dan asam amino tertentu (leusin dan
arginin), serta sulfonilurea merangsang pengeluaran insulin, tetapi tidak sintesisnya.
Insulin adalah hormon anabolik utama. Insulin diperlukan untuk (1) pengangkutan
glukosa dan asam amino melewati membran, (2) pembentukan glikogen dalam hati dan
otot rangka, (3) perubahan glukosa menjadi trigliserida, (4) sintesis asam nukleat, dan (5)
sintesis protein. Fungsi metabolik utamanya adalah mneingkatkan laju pemasukan
glukosa kedalam sel tertentu di tubuh. Sel tersebut adalah sel otot serat lintang, termasuk
sel miokardium; fibroblast; dan sel lemak, yang secara kolektif mewakili sekitar dua
pertiga dari seluruh berat tubuh. Insulin berinteraksi dengan sel-sel sasarannya mula-mula
dengan berikatan dengan reseptor insulin; jumlah dan fungsi reseptor ini penting untuk
mengendalikan kerja insulin. Reseptor insulin adalah suatu tirosin kinase yang memicu
sejumlah response intrasel yang mempengaruhi jalur metabolisme. Salah satu respon dini
yang penting terhadap insulin adalah translokasi glucose transport unit (GLUTs, yang
memiliki banyak tipe spesifik jaringan) dari aparatus golgi ke membran plasma, yang
mempermudah penyerapan glukosa oleh sel. Oleh karena itu, hasil akhir utama kerja
insulin adalah dibersihkannya glukosa dari sirkulasi.
Patomekanisme dan komplikasi yang bisa terjadi pada pasien DM
Konsikuensi-konsikuensi akut diabetes mellitus dapat dikelompokkan berdasarkan efek
kekurangan insuin pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein. Karena aktivitas
insulin yang rendah memicu pola metabolik pasca-absorpsi, perubahan yang terjadi pada
diabetes mellitus adalah penguatan darikeadaan tersebut, kecuali hiperglikemia. Pada
keadaan puasa biasa, kadar glukosa darah sedikit di bawah normal. Hiperglikemia, tanda
utama diabetes mellitus, terjadi akibat penurunan penyerapan glukosa oleh sel-sel,
disertai oleh peningkatan pengeluaran glukosa oleh hati (1). Pengeluaran glukosa oleh
hati meningkat karena proses-proses yang menghasilkan glukosa, yaitu glikogenolisis dan
glukoneogenesis, berlangsung tanpa hambatan karena insulin tidak ada. karena sebagian
besar sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa tanpa bantuan insulin, timbul keadaan
ironis, yakni terjadi kelebihan glukosa ekstrasel sementara terjadi defisiensi glukosa
intrasel—―kelaparan di lumbung padi‖. Walaupun otak yang tidak bergantung pada
insulin mendapat nutrisi yang adekuat pada diabetes mellitus, akibat-akibat lebih lanjut
dari penyakit ini akhirnya akn menyebabkan disfungsi otak.
Kadar glukosa darah meninggi ke tingkat pada saat jumlah glukosa yang difiltrasi
melebihi kapasitas sel-sel tubulus melakukan reabsorpsi, glukosa akan timbul di urin
(glukosuria) (2). Glukosa di urin menimbulkan efek osmotik yang menarik H2O
bersamanya, menimbulkan diuresis osmotic yang ditandai oleh poliuria (sering
berkemih) (3). Cairan yang berlebihan keluar dari tubuh menyebabkan dehidrasi (4), yang
pada gilirannya dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi perifer karena volume darah
turun meencolok (5). Kegagalan sirkulasi, apabila tidak diperbaiki, dapat menyebabkan
kematian karena aliran darah ke otak turun (6) atau menimbulkan gagal ginjal sekunder
akibat tekanan filtrasi yang tidak adekuat (7). Selain itu, sel-sel kehilangan air karena
tubuh mengalami dehidrasi akibat perpindahan osmotik air dari dalam sel ke cairan
ekstrasel yang hipertonik (8). Sel-sel otak sangat peka terhadap penciutan, sehingga
timbul gangguan fungsi system saraf (9). Gejala khas lain pada diabetes mellitus adalah
polidipsia (rasa haus berlebihan), yang sebenarnya merupakan mekanisme kompensasi
untuk mengatasi dehidrasi.
Karena terjadi defisiensi glukosa intrasel, nafsu makan (appetite) meningkat, sehingga
timbul polifagia (pemasukan makanan berlebihan) (11). Akan tetapi, walaupun terjadi
peningkatan pemasukan makanan, berat tubuh menurun secara progresif akibat efek
defisiensi insulin pada metabolism lemak dan protein. Sintesis trigliserida menurun saat
lipolisis meningkat, sehingga terjadi mobilisasi besar-besaran asama lemak dari simpanan
trigliserida (12). Peningkatan asam lemak dalam darah sebagian besar digunakan oleh sel
sebagai sumber energi alternative. Peningkatan penggunaan lemak oleh hati
menyebabkan pengeluaran berlebihan badan keton ke dalam darah dan menimbulkan
ketosis (13). Karena badan-badan keton mencakup beberapa asam seperti asam aetoasetat
yang berasala dari penguraian tidak sempurna lemak oleh hati, ketosis ini menyebabkan
asidosis metabolic progresif (14). Asidosis menekan fungsi otak dan, apabila cukup
parah, dapat menimbulkan koma diabetes dan kematian (15).
Tindakan kompensasi untuk asidosis metabolik adalah peningkatan ventilasi untuk
meningkatkan pengeluaran CO2 pembentuk asam (16). Ekshalasi salah satu badan katen,
yaitu aseton, yang menyebabkan napas berbau ―buah‖. Orang dengan diabetes Tipe I jauh
lebih rentan mengalami ketosis dariapda pengidap diabetes Tipe II.
Efek tidak adanya insulin pada metabolism protein menyebabkan pergeseran netto kea
rah katabolisme protein. Penguraian protein-protein otot menyebabkan otot rangaka lisut
dan melemah (17) dan, pada diabetes anak, penurunan pertumbuhan keseluruhan.
Penurunan asupan asam amino disertai peningkatan penguraian protein menyebabkan
peningkatan asama amino dalam darah (18). Peningkatan kadar asam amino dalam
sirkulasi darah dapat digunakan untuk glukoneogenesis, yang semakin memperparah
hiperglikemia (19).
DIAGNOSIS
Anamnesis Tambahan:/
Apakah ada riwayat keluarga?
Apakah ada riwayat DM sebelum trauma?
Jika ada, apakah pasien merasa matanya mulai rabun saat mengendarai motor?
Apakah poliuri dialami sebelum atau sesudah pasien mengalami trauma kepala?
Bagaimana penanganan pasien setelah mengalami kecelakaan terutama saat
pasien mengalami ketidaksadaran selam 5 hari? Apa sebabnya?
Apakah pernah mengkonsumsi obat sebelumnya?
Daerah yang mengalami trauma?
Kriteria diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi Glukosa pada penderita
diabetes melitus adalah:
Diagnosis diabetes melitus apabila:
1. Terdapat gejala khas diabetes mellitus ditambah
2. Salah satu dari : GDP > 126 mg/dl, GD2PP > 200 mg/dl atau glukosa darah random >
200 mg/dl.
Diagnosis Diabetes melitus apabila :
1. Tidak terdapat gejala diabetes melitus
2. Terdapat dua hasil : GDP > 126 mg/dl, 2 jam PP > 200 mg/dl atau glukosa darah
random 200 mg/dl.
3. Gangguan toleransi glukosa (GTG) apabila: GDP < 126 mg/dl dan 2 jam PP antara
140 – 200 mg/dl
Untuk kasus meragukan dengan hasil
GDP < 126 mg/dl dan 2 jam PP > 126 mg/dl maka diulangi pemeriksaan laboratorium
sekali lagi dengan persiapan minimal 3 hari dengan diet karbohidrat lebih dari 150 gr per
hari dengan kegiatan fisik seperti biasa kemungkinan hasil adalah :
1. Diabetes militus, apabila hasilnya sama atau tetap, yaitu GDP < 126 mg/dl dan 2 jam
PP > 200 mg/dl atau apabila hasilnya memenuhi kriteria A atau B
2. TTGO, apabila hasilnya cocok dengan kriteria C.
KOMPLIKASI
A. Komplikasi Akut
1. Koma hipoglikemia
2. Ketoasodosis Diabetika (KAD)
3. Hiperosmolar nonketotik (HONK)
B. Komplikasi Kronik
1. Makroangiopati
Makroangipati disebut juga dengan arterioselerosis diabetik yaitu penebalan dan
hilangnya elastisitas dinding arteri yang melibatkan pembuluh darah besar, pembuluh
darah jantung, pembuluh darah tepi, serta pembuluh darah otak. Pasien diabetes melitus
dengan kelainan makrovaskuler dapat memberikan gambaran kelainan pada tungkai
bawah, baik berupa ulkus maupun gangren diabetik. Pasien dengan gangguan
serebrovaskuler dapat memberikan gambaran sisa berupa kelumpuhan. Infark jantung
juga dapat terjadi akibat kelainan makrovaskuler. Berbeda dengan biasanya, pasien pada
diabetes melitus rasa nyeri dada sering tidak dijumpai (silent infarction) akibat adanya
neuropati.
2. Mikroangiopati
Makroangiopati terjadi pada kapiler dan arteriol biasanya mengenai pembuluh darah
kecil. Proses adhesi dan egregasi trombosit yang kemudian terbentuk mikrotrombus
merupakan basis biokimiawi utama. Disfungsi endotel dan trombosis merupakan biang
keladinya.
a. Ratinopati diabetik
Pasien dengan retinopati diabetik akan dapat mengalami gejala penglihatan kabur sampai
kebutaan. Keluhan penglihatan kabur tidak selalu disebabkan oleh retinopati. Katarak
pada pasien Diabetes Melitus terjadinya lebih dini dibanding pada populasinormal.
b. Nefropati diabetika
Pasien dengan nefropati diabetik dapat menunjukan gambaran gagal ginjal menahan
seperti lemas, mual, pucat sampai keluhan sesak nafas akibat penimbunan cairan. Adanya
gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin/ureum serum. Adanya
proteinuria pada persistensi tanpa adanya kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu
tanda awal nefropati diabetik.
3. Neuropati diabetika
Keluhan yang tersering adalah berupa kesemutan dan rasa lemah. Pada pasien dengan
neuropati autonom diabetika mungkin dapat dijumpai gejala berupa mual, gembung,
muntah dan diare terutama pada malam hari. Manifestasi neuropati otonom diabetik lain
adalah adanya hipotesis orthostatik serta adanya keluhan gangguan pengeluaran keringat.
Terkadang pula dapat terjadi inkontinensia fatal maupun urin.
Rentan infeksi, seperti tuberkolosis paru, gingivitis, dan infeksi saluran kemih.
PENATALAKSANAAN
Berdasarkan hasil survei : National Healt Interview Survey th 1997 – 1999 bahwasanya
di Amerika 17 % penderita Diabetes Melitus hanya perlu menjaga makan dan minum, 49
% penderita diabetes melitus memakan obat hipoglikemi oral, 22 % penderita diabetes
melitus memakai insulin saja dan 11 % penderita diabetes melitus memakai insulin dan
obat hipoglikemi oral.
Untuk lebih lanjutnya kita akan membahas satu persatu penatalaksanaan penyakit
diabetes melitus ini :
1. Berolah raga dan menjaga makanan dan minuman.
Untuk penderita diabetes melitus dianjurkan untuk berolah raga secara teratur, 3 – 4 kali
seminggu selama lebih kurang setengah jam yang sifatnya sesuai CRIPE (Continous,
Rismical, Interval, Progesive, dan Endurance Training). Olah raga dilakukan terus-
menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara teratur selang-seling
antar gerak cepet dan gerak lambat, berangsur-angsur dari sedikit menjadi olah raga yang
lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu tertentu. Olah raga yang dapat
dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, renang, bersepeda dan melayang. Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran atau zona olah raga yaitu 75 – 85 % denyut nadi
maksimal. Hal yang perlu dilakukan dalam olah raga adalah jangan memulai olah raga
sebelum makan, memakai sepatu pas, harus didampingi orang yang tahu mengatasi
serangan hipoglikemia, harus selalu membawa permen, membawa tanda pengenal
sebagai pasien diabetes melitus dalam pengobatan dan pemeriksaan kaki secara cermat
setelah berolah raga.
Pada konsensus Perkumpulan Endokrinilogi Indonesia (PERKENI) telah ditetapkan
bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan karbohidrat (60 – 70 %) Protein
(10 – 15 %) dan lemak (20 – 25 %). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan,
status gizi, dan umur, stress akut dan kegiatan olah raga untuk mencapai berat badan
ideal. Jumlah kandungan kolesterol < 300 mg/hari. Jumlah kandungan serat lebih kurang
dari 25 gr/hari, diutamakan jenis serat larut. Komposisi garam dibatasi apabila terdapat
hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.
2. Obat Hipoglikemi Oral (OHO)
Golongan Sensitizing
1. Biguanid
Saat ini golingan biguanid yang banyak di pakai adalah metformin. Metformin
terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak di metabolisme
tetapi secara cepat di keluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka
metformin biasanya di berikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extende release.
Mekanisme kerja. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan
produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus
sehingga menurunkan glukosa darah dan juga di duga menghambat absorbsi glukosa
di usus sesudah asupan makanan. Setelah di berikan secara oral, metformin akan
mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan di ekskresi lewat urin dalam
keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak akan menyebabkan
hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat anti
hiperglikemik. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemia dapat
terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya. Pada pemakaian tunggal metformin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan
basal juga turun. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada
pemakaian sulfonilurea.
Efek samping gastrointestinal tidak jarang didapatkan pada pemakaian awal metformin
dan ini dapat dikurangi dengan memberikan obat dimulai dengan dosis rendah dan
diberikan bersamaan dengan makanan.
2. Glitazone
Golongan Fhiazolidinediones atau glitazone adalah obat yang juga mempunyai efek
farmakologis untuk untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Obat ini dapat diberikan
secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral
lainnya.
Glitazone (Tiazolindion) merupakan agonist peroxisome proliferator-activated
receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma
terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati,
sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid,
deferensiasi adiposit, dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekspresi beberapa proteinyang dapat memperbaiki
sensitivitas insulin dan memperbaiki glikemia, seperi GLUT-1, GLUT-4, p85alphaPI-
3K dan uncoupling protein-2 (UCP). Selaindari pada itu juga dapat mempengaruhi
ekspresi dan pelepasan mediator resisten insulin, seperti TNF alfa, leptin,dll.
Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi terjadi setelah 1-2 jam dan
makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-
4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone.
Penggunaan dalam klinik. Rosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan
sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara klinik
rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali
sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55mg/dL dan AIC sampai
1,5% dibandingkan dengan plasebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan
menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi
kombinasi dengan dosis sampai 45mg/dL dosis tunggal.
Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
Sulfonilurea
Obat ini telah digunakan untuk pengobatan Dmtipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai,
terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi
insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena
kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin.
Mekanisme kerja. Efek hipoglikemia sulfonil urea adalah dengan merangsang channel
K yang tergantung pada ATP dari sel beta pancreas. Bila sulfoniurea terikat pada
reseptor (SUR) channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membrane sel beta, terjadi
depolarisasi membrane dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan
menyebabkan meningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan
menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pancreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang
masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat
dipakai pada diabetes mellitus tipe 1.
Kombinasi sulfonilurea dengan insulin. Pemakaian kombinasi kedua obat ini
didasarkan bahwa meratanya kadar glikosa darah sepanjang hari terutama ditentukan
olah kadar kadar glukosa darah puasanya. Imumnya kenaikan kadar gukosa darah
sesudah makan kurang lebih sama, tidak tergantung dari kadar glukosa darah pada
keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja sedang atau insulin glargin
pada malam hari, produksi glukos hati malam hati dapat dikurangi sehingga kadar
glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat
diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasanya.
Kombinasi sulfonylurea dan insulin ini ternyata lebih baik dari pada insulin sendiri
dan dosis insulin ynang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini
lebih dapat diterima pasien dari pada penggunaan insulin multiple.
3. Suntikan insulin
Ada beberapa indikasi untul pemberian preparat insulin pada penderita diabetes
melitus.
1. Diabetes Melitus tipe I
2. Ketoasidosis diabetik/koma hiperosmolar non ketotil
3. Diabetes dengan berat badan berkurang
4. Diabetes yang mengalami stress (infeksi, operasi, dll)
5. Diabetes Melitus dengan kehamilan
6. Kegagalan pemakaian obat hipoglikemik oral
4. Pembedahan
Pembedahan pada penderita Diabetes Melitus sampai sekarang ini masih dalam penelitian
para ahli. Tetapi pada binatang percobaan yaitu pencangkokan sel kelenjar pada binatang
percobaan telah berhasil dilakukan dan hal ini akan memungkinkan untuk dilakukan pada
manusia agar tubuhnya kembali menghasilkan insulin secukupnya atau sesuai dengan
yang dibutuhkan oleh tubuh kita.
PROGNOSIS
Sekitar 60 % pasien diabetes melitus tipe I yang mendapatkan insulin dapat bertahan
hidup seperti orang nermal. Sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronik dan
kemungkinan meninggal lebih cepat.
Sedangkan untuk pasien DM tipe II, jika pasien cepat didiagnosa dan diobati maka akan
memperlambat terjadinya komplikasi pada pasien sehingga morbiditas dan mortalitasnya
menurun. Namun, jika telat didiagnosa dan diobati, maka tingkat mortalitas dan morbiditasnya
akan meningkat karena komplikasi mudah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton and Hall, 2008, Buku Ajar Fisiologi Kedoktean Edisi 11 Revisi, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Price, A.Sylvia dan Lorraine M. Wilson, 2006, Patofisiologi Edisi 6 volume 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Seluruh Indonesia, 2006, Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid 3 Edisi 4, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee, 2001, Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.