hubungan kadar albumin dan indeks massa...

82
i HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH (IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUD Dr. MOEWARDI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan Oleh : Ika Harmyastuti NIM : ST 13040 PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015

Upload: doantuyen

Post on 07-Sep-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH

(IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS

PADA PASIEN IMMOBILISASI

DI RSUD Dr. MOEWARDI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan

Oleh :

Ika Harmyastuti

NIM : ST 13040

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN

STIKES KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2015

ii

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ika Harmyastuti

NIM : ST 13040

Dengan ini menyatakan bahwa :

1) Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik (Sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada

Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.

2) Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukkan

Tim Penguji.

3) Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama

pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4) Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat

penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh

karena karya ini, serta saksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di

perguruan tinggi ini.

Surakarta, 28 Juli 2015 Yang membuat pernyataan

Ika Harmyastuti NIM : ST 13040

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan

hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

judul, “HUBUNGAN KADAR ALBUMIN DAN INDEKS MASSA TUBUH

(IMT) DENGAN KEJADIAN DEKUBITUS PADA PASIEN IMMOBILISASI

DI RSUD DR. MOEWARDI “ sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

kelulusan sarjana keperawatan STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA.

Penulis pada awal banyak menemui kesulitan, terutama mengenai judul

yang harus dipilih. Pergantian judul penulis alami sebanyak 3 kali, namun

akhirnya semua permasalahan dapat teratasi. Pembimbing banyak memberikan

arahan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas arahan,

bimbingan, masukan dan bantuannya sehingga penyusunan skripsi dapat

diselesaikan sesuai jadwal yang ditentukan.

Penulis dengan segala keikhlasan dan kerendahan hati menyampaikan

terima kasih kepada :

1. Dra. Agnes Sri Hartati selaku Ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang

telah memberikan kesempatan untuk studi di STIKes Kusuma Husada.

2. Wahyu Rima Agustin S.Kep.,Ns.,M.Kep. selaku Ketua Prodi S-1

Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberikan

dukungan dan motivasi kepada semua mahasiswanya.

v

3. Anita Istiningtyas, S.Kep.,Ns.,M.Kep. selaku dosen PembimbingUtama yang

telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh

kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Ariyani, S.Kep.,Ns.,M.Kes. Selaku dosen Pembimbing Pendamping yang

telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh

kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh Dosen dan staff STIKes Kusuma Husada yang telah memberikan

segenap ilmu dan pengalamannya kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

6. Kedua orang tua, suami dan anak-anak atas doa dan dukungan, baik moral

maupun materiil selama mengikuti pendidikan.

7. Rekan – rekan semua yang telah memberikan bantuan berupa informasi dan

dukungan moril kepada penulis.

8. Semua pihak yang telah membantu memberikan dorongan kepada penulis,

yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih ada kekurangan,

untuk itu penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca

demi perbaikan skripsi ini.

Surakarta, 28 Juli 2015

Penulis

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………....

i

HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………..

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….

iii

KATA PENGANTAR………………………………………………………..

iv

DAFTAR ISI………………………………………………………………….

vi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………

ix

DAFTAR TABEL ….………………………………………………………...

x

DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….

xi

ABSTRAK………………………………………………………………….

xii

ABSTRACT…………………………………………………………………

xiii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………....

1

1.1. Latar Belakang…………………………………………………

1

1.2. Rumusan Masalah……………………………………………….

4

1.3. Tujuan Penelitian………………………………………………

5

1.4. Manfaat Penelitian……………………………………………..

5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………….

7

2.1. Landasan Teori…………………………………………………

7

2.2. Keaslian Penelitian……………………………………………..

38

2.3. Kerangka Teori………………………………………………...

40

2.4. Kerangka Konsep………………………………………………

41

2.5. Hipotesis……………………………………………………….

41

vii

BAB III. METODE PENELITIAN ……………………………….................

42

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian……………….......................

42

3.2. Populasi dan Sampel………………….…………...................

43

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………..

45

3.4. Variabel Penelitian, Definisi Operasional , dan Skala Pengukuran……………………………………………………..

46

3.5. Alat Penelitian dan Cara Pengumpulan Data……………........

48

3.6. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data.………………………..

48

3.7. Etika Penelitian……………………………………………….

50

BAB IV. HASIL PENELITIAN……………………………………………...

52

4.1. Karakteristik Responden…………………………………….

52

4.1.1. Usia…………………………………………………….

52

4.1.2. Jenis Kelamin…………………………………………..

52

4.1.3. Pendidikan……………………………………………..

53

4.1.4. Pekerjaan……………………………………………….

53

4.2. Analisa Univariat……………………………………………

54

4.2.1. Kadar Albumin…………………………………………

54

4.2.2. Indeks Massa Tubuh……………………………………

55

4.2.3. Kejadian Dekubitus…………………………………….

55

4.3. Analisa Bivariat………………………………………………...

55

viii

4.3.1. Hubungan antara Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus………………………………...……………...

56

4.3.2. Hubungan antara IMT dengan Kejadian Dekubitus…….

57

BAB V. PEMBAHASAN…………………………………………………….

59

5.1. Analisa Univariat………………………………………………

59

5.2. Analisa Bivariat………………………………………………...

62

BAB VI. PENUTUP………………………………………………………….

66

6.1. Kesimpulan……………………………………………………

66

6.2. Saran…………………………………………………………...

66

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1.Kerangka Teori 40 Gambar 2.2.Kerangka Konsep 41

x

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1. Kategori Indeks Massa Tubuh

28

Tabel 2.2. Jurnal Penelitian Terdahulu

35

Tabel 3.1. Definisi Operasional

44

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia

49

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

50

Tabel 4.3. Distribusi frekuens responden berdasarkan pendidikan

50

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan

51

Tabel 4.5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kadar Albumin

51

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh 52 Tabel 4.7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kejadian Dekubitus

52

Tabel 4.8. Tabel silang hubungan Kadar Abumin dengan Kejadian Dekubitus

53

Tabel 4.9. Hasil Uji Hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus

53

Tabel 4.10. Tabel silang hubungan IMT denganKejadian Dekubitus

54

Tabel 4.11. Hasil Uji Hubungan IMT dengan Kejadian Dekubitus

55

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran

Keterangan

1

Pengajuan Ijin Studi Pendahuluan

2 Permohonan Ijin Studi Pendahuluan

3 Surat balasan Ijin Studi Pendahulua

4 5

Surat Pengajuan Ijin Penelitian Surat Ijin Penelitian

6 Etical Clearence 7

Surat Balasan Ijin Penelitian

8

Surat Permohonan Menjadi Responden

9

Lembar Persetujuan menjadi Responden

10

Lembar Observasi

11 12 13

Hasil Uji Statistik Lembar Konsultasi Jadwal Penelitian

xii

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA

2015

Ika Harmyastuti

Hubungan Kadar Albumin Dan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Dengan Kejadian Dekubitus Pada Pasien Imobilisasi

Di RSUD DR Moewardi

Abstrak

Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Konsep patient safety menunjukkan beberapa indicator untuk menentukan kondisi keselamatan pasien saat menerima perawatan di instalasi rawat inap rumahsakit, salah satunya adalah jumlah penderita dengan dekubitus.

Penelitian ini dilakukan secara analitik korelatif dengan pendekatan cross

sectional. Pengertian penelitian analitik korelatif yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan suatu data dan apabila ada seberapa erat hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu. Penelitian dilakukan di RSUD DR Moewardi dengan populasi sampel 104 pasien imobilisasi. Variabel bebas adalah kadar albumin dan indeks massa tubuh sedangkan variable terikat adalah kejadian dekubitus.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar albumin pasien imobilisasi dengan kejadian dekubitus. Hasil uji statistik diketahui bahwa bahwa nilai sig ( 2 tailed ) = 0,036 < 0,05 dan nilai Pearson

correlation – 0,207*, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan kejadian dekubitus nilai sig ( 2 tailed ) = 0,897 > 0,05 dan nilai Pearson

correlation 0,013. Berdasarkan pernyataan di atas maka disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang signifikan antara kadar albumin pasien imobilisasi dengan kejadian dekubitus dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan kejadian dekubitus.

Kata kunci : kadar albumin, IMT, pasien imobilisasi, kejadian dekubitus

Daftar Pustaka : 23 ( 2005-2012)

xiii

BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA

2015

Ika Harmyastuti

Correlation of Albumin Level and Body Mass Index to Decubitus Ulcer

Incidence in Immobilized Clients at Dr. Moewardi Local General Hospital of

Surakarta

ABSTRACT

Patient safety indicator is a measurement used to investigate the patient safety level during the hospital health care. The patient safety concept shows several indicators to determine the patient safety conditions when receiving health care at the inpatient installation, and one of them in the number of clients with decubitus ulcer. The objective of this research is to investigate the correlation of the albumin level and the body mass index to the decubitus ulcer incidence.

This research used the analytical correlational method with the cross-sectional approach. It was conducted at Dr. Moewardi Local General Hospital of Surakarta. The population of research was 104 immobilized patients. The independent variables of research were albumin level and body mass index, and the dependent variable was decubitus ulcer incidence.

The result of research shows that there was a significant correlation between the immobilized patients’ albumin level and the decubitus ulcer

incidence as indicated by the result of the statistical test in which the significance value ( 2 tailed ) was 0036 which was less than 0.05 and the value of the Pearson correlation was -0.207*, and there was not any significant correlation between the immobilized patients’ body mass index and the decubitus ulcer incidence as shown by the result of the statistical test in which the significance value (2 tailed) 0.897 which was greater than 0.05, and the value of the Pearson correlation was 0.013.

Thus, there was a significant correlation between the immobilized patients’

albumin level and the decubitus ulcer incidence, but there was not any significant correlation between the immobilized patients’ body mass index and the decubitus ulcer incidence.

Keywords: Albumin level, body mass index, immobilized patients, and decubitus ulcer incidence

References: 23 ( 2005-2012)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk

mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit.

Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang

sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety

bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien

selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai

tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan

mendasarkan pada IPS (Indicator Patient Safety) ini maka rumah sakit dapat

menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik

yang tidak diharapkan pada pasien. Konsep patient safety menunjukkan

beberapa indikator untuk menentukan kondisi keselamatan pasien saat

menerima perawatan di instalasi rawat inap rumah sakit, salah satunya adalah

jumlah penderita dengan dekubitus (Community Health 2013).

Salah satu indikator mutu keperawatan RSUD Dr Moewardi adalah

angka kejadian dekubitus. Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree

yang berarti merebahkan diri yang didefinisikan suatu luka akibat posisi

penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar,

2008). Insidensi dan pravelensi terjadinya dekubitus di Amerika tergolong

masih cukup tinggi dan perlu mendapatkan perhatian dari kalangan tenaga

2

kesehatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa insidensi terjadinya dekubitus

bervariasi, tapi secara umum dilaporkan bahwa 5-11% terjadi ditatanan

perawatan acute care, 15-25% ditatanan perawat jangka panjang/ longterm

care, dan 7-12% ditatanan perawatan rumah/ homecare (Mukti, 2006).

Insiden dekubitus di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 33,3 %, angka ini

sangat tinggi bila dibandingkan dengan insiden dekubitus di ASEAN yang

hanya berkisar 2,1-31,3 % (Yusuf, 2011).

Kejadian dekubitus disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.

Faktor eksternal diantaranya adalah pengetahuan dan peran perawat,

sedangkan faktor internal adalah status nutrisi pasien. Status nutrisi pasien

meliputi kadar albumin dalam serum darah dan Indeks Masa Tubuh.

Diperkirakan 3-50% pasien yang dirawat di rumah sakit mengalami

malnutrisi. Gangguan intake nutrisi, intake protein yang rendah,

ketidakmampuan untuk makan sendiri dan kehilangan berat badan

merupakan prediktor independen terhadap berkembangnya luka tekan

(Bryant, 2009). Pada orang dengan IMT yang kecil cenderung akan

mengalami penekanan tonjolan tulang yang lebih besar dibanding orang

dengan indeks masa tubuh yang lebih besar (Fife, et al., 2008). Penelitian

untuk melihat hubungan antara prevalensi luka tekan, IMT dan berat badan

telah dilakukan. Survey ini dilakukan dengan melihat laporan kejadian luka

tekan di Amerika selama tahun 2006-2007. Hasilnya menunjukan bahwa

prevalensi luka tekan lebih tinggi pada pasien dengan IMT rendah, dan juga

pada pasien yang berat badan kurang dan berat badan lebih (Vangilder, et al.

3

2008). Pasien dalam kondisi immobilisasi cenderung mengalami gangguan

asupan nutrisi. Kondisi immobilisasi pasien akan menyebabkan status nutrisi

yang buruk, yaitu kadar albumin dalam serum darah yang rendah dan IMT

yang tidak normal sehingga akan menyebabkan terjadinya dekubitus.

Immobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana seseorang tidak

dapat bergerak secara aktif atau bebas karena kondisi yang mengganggu

pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera

otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya. Immobilisasi

secara fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan

tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan (Govinda,

2009).

Pasien dengan penurunan kesadaran dan immobilisasi yang

memerlukan perawatan intensif akan menjalani perawatan di ruang ICU

(intensive care unit). Pasien ICU yang mengalami perubahan tingkat

kesadaran baik karena jenis penyakitnya, pengaruh terapi sedasi ataupun

anestesi yang memerlukan pengawasan yang intensif, sehingga

mengharuskan pasien menjalani perawatan intensif selama di tempat tidur

dan sangat beresiko mengalami dekubitus. Pasien gangguan neurologi,

berpenyakit kronik dalam waktu lama, penurunan status mental, dan dirawat

di ruang ICU, berpenyakit onkologi, terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi

terjadi luka dekubitus (Suheri, 2009). Insiden dekubitus paling banyak

terjadi pada pasien yang dirawat di ruang ICU (Yusuf, 2011).

4

Pada studi pendahuluan berdasarkan catatan rekam medis pada tahun

2014 terjadi 79 kasus pasien yang mengalami dekubitus di RSUD Dr

Moewardi. Jumlah ini diperoleh dari 1580 pasien yang berisiko dekubitus.

Berdasarkan penelitian terdahulu didapatkan data bahwa tidak ada hubungan

antara pengetahuan dan peran perawat dengan kejadian dekubitus, maka

direkomendasikan untuk melanjutkan penelitian tentang hubungan kadar

albumin dalam serum darah dan Indeks Massa Tubuh pasien imobilisasi

terhadap kejadian dekubitus (Lumadi Sih Ageng, 2012). Berdasarkan fakta di

atas kemudian penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang

hubungan kadar albumin dalam serum darah dan indeks Massa Tubuh pasien

immobilisasi dengan kejadian dekubitus pada pasien immobilisasi di RSUD

DR Moewardi.

1.2. Rumusan masalah

Kadar albumin dan Indeks Massa Tubuh merupakan indikator status

nutrisi pasien yang mengalami immobilisasi. Kadar albumin dalam serum

darah dan Indeks Massa Tubuh pasien berpengaruh dengan kejadian

dekubitus. Untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin dan Indeks

Massa Tubuh dan berdasarkan data-data hasil penelitian terdahulu maka

penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah hubungan

kadar albumin dan IMT dengan kejadian dekubitus pada pasien immobilisasi

di RSUD DR Moewardi”.

5

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum :

Mengetahui hubungan kadar albumin dan IMT dengan kejadian

dekubitus pada pasien immobilisasi di RSUD DR Moewardi.

1.3.2. Tujuan khusus :

a. Untuk mengidentifikasi kadar albumin pada pasien immobilisasi di

RSUD Dr Moewardi.

b. Untuk mengidentifikasi IMT pada pasien immobilisasi di RSUD

Dr. Moewardi.

c. Untuk menganalisis hubungan kadar albumin pasien immobilisasi

dengan kejadian dekubitus di RSUD Dr. Moewardi.

d. Untuk menganalisis hubungan IMT pasien immobilisasi dengan

kejadian dekubitus di RSUD Dr Moewardi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi RSUD Dr. Moewardi

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian hubungan

kadar albumin dan IMT pada kejadian dekubitus pasien immobilisasi

di RSUD Dr Moewardi.

1.4.2. Manfaat bagi perawat RSUD Dr. Moewardi

Penelitian ini dapat menambah keahlian perawat khususnya dalam

merawat pasien immobilisasi untuk mengkaji status nutrisi dan IMT,

guna mencegah kejadian dekubitus.

6

1.4.3. Manfaat bagi institusi pendidikan

Sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan khususnya tentang

hubungan kadar albumin dan IMT pada kejadian dekubitus pasien

immobilisasi di RSUD Dr Moewardi.

1.4.4. Manfaat bagi peneliti lain

Sebagai dasar bagi peneliti selanjutnya untuk menggali lebih dalam

faktor - faktor yang lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.4.5. Manfaat bagi peneliti

Merupakan pengalaman dan penerapan teori materi kuliah yang

dapat digunakan dalam telaah pustaka.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Tinjauan Teori

2.1.1. Dekubitus

2.1.1.1. Pengertian Decubitus

Dekubitus berasal dari bahasa latindecumbree yang

berarti merebahkan diri yang didefinisikan suatu luka akibat

posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih

dari 6 jam (Sabandar, 2008).

Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai

jaringan di bawah kulit, bahkan menembus otot sampai

mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area

secara terus-menerus sehingga mengakibatkan gangguan

sirkulasi darah setempat (M.Clevo Rendi, 2012).

Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang

cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan dengan

permukaan eksternal dalam jangka waktu lama akibat

imobilisasi fisik. Dekubitus adalah suatu area luka yang

terlokalisir pada kulit dengan jaringan yang mengalami

nekrosis yang biasanya terjadi pada bagian permukaan kulit di

atas tulang yang menonjol sebagai akibat dari tekanan dalam

jangka waktu lama (Suriadi, 2004).

8

Dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang

cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan diantara

tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka

waktu yang lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan

lokal dan menyebabkan hipoksia ringan. Jaringan memperoleh

oksigen dan nutrisi dan membuang sisa metabolisme melalui

darah. Beberapa faktor yang mengganggu proses iniakan

mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta kehidupan

dari sel.Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara

mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang

menyebabkan iskemi jaringan (NPUAP, 2007).

2.1.1.2. Faktor resiko luka dekubitus

Ada beberapa faktor yang menjadi predeposisi luka

dekubitus pada pasien (Potter & Perry, 2005) yaitu :

a. Gangguan input sensorik

Pasien yang mengalami gangguan pada input

sensorik terhadap nyeri dan tekanan berisiko tinggi

gangguan integritas kulit daripada pasien yang sensasinya

normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang

utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika

salah satu bagian tubuhnya merasakan tekanan dan nyeri

yang terlalu besar. Ketika pasien sadar dan berorientasi

9

mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk

mengubah posisi.

b. Gangguan fungsi motorik

Pasien yang tidak dapat secara mandiri mengubah

posisi berisiko tinggi terjadi dekubitus. Pasien tersebut

merasakan tekanan tetapi tidak dapat mengubah posisi

secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal

ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien

yang mengalami gangguan medulla spinalis terdapat

gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus

pada pasien yang mengalami cedera medulla spinalis

diperkirakan sebesar 85% dan komplikasi luka atau

berkaitan dengan luka merupakan penyebab kematian 8%

dari populasi ini.

c. Perubahan tingkat kesadaran

Pasien bingung, disorientasi atau mengalami

penurunan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi diri

sendiri dari luka dekubitus. Pasien bingung atau disorientasi

mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak memahami

bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak

dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke

posisi yang lebih baik Selain itu pada pasien yang

mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah

10

menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pasien yang

berada pada ruang operasi dan untuk perawatan intensif

dengan pemberian sedasi.

d. Gips, traksi, alat ortotik dan peralatan lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan

ekstremitasnya. Pasien yang menggunakan gips berisiko

tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya friksi eksternal

mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit.

Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan

pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau jika

ektremitasnya membengkak.

Peralatan ortotik digunakan seperti penyangga leher

pada pasien yang mengalami fraktur spinal vertikal bagian

atas. Luka dekubitus merupakan potensi komplikasi dari

alat penyangga leher ini.

2.1.1.3. Faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus

a. Faktor eksternal

1) Pengetahuan Perawat

a) Definisi Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu

dari manusia. Yang sekedar menjawab pertanyaan

“What”, misalnya apa air. Apa manusia, apa alam,

dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) bukan

11

sekedar menjawab (What), melainkan akan

menjawab pertanyaan “Why” dan “How”, misalnya

mengapa air mendidih bila dipanaskan, mengapa

bumi berputar, mengapa manusia bernafas, dan

sebagainya. Pengetahuan hanya dapat menjawab

pertanyaan apa sesuatu itu. Tetapi ilmu dapat

menjawab mengapa dan bagaimana sesuatu itu

terjadi (Notoatmodjo S, 2005).

Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran

manusia sebagai hasil penggunaan panca indra,

yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefs),

takhyul (suersition), dan penerangan – penerangan

yang keliru (misinformation). Pengetahuan adalah

hasil mengingat suatu hal, termasuk mengingat

kembali kejadian yang sudah pernah dialami baik

secara sengaja maupun tidak disengaja dan ini

terjadi setelah orang melakukan kontak atau

pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Mubarak

W I, dan Chayatin N, 2009).

b) Faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan

(1) Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang

diberikan seseorang kepada orang lain terhadap

12

sesuatu hal agar mereka dapat memahami.

Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi

pendidikan seseorang, maka semakin mudah

pula mereka menerima informasi.

(2) Pekerjaan

Pekerjaan adalah merupakan kegiatan

atau aktifitas seseorang untuk memperoleh

penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-

hari.

(3) Usia

Dengan bertambahnya usia seseorang,

maka akan terjadi perubahan pada aspek fisik

dan psikologis (mental).

(4) Minat

Minat adalah suatu kecenderungan atau

keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat

menjadikan seseorang untuk mencoba dan

menekuni sesuatu hal pada akhirnya diperoleh

pengetahuan yang lebih mendalam.

(5) Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang

pernah dialami seseorang dalam berinteraksi

dengan lingkungannya.

13

(6) Informasi

Untuk memperoleh suatu informasi

dapat membantu mempercepat seseorang untuk

memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak

W I, dan Chayatin N, 2009).

c) Cara Memperoleh Pengetahuan

Cara yang digunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat

dikelompokan menjadi dua, yaitu:

(1) Cara tradisional

(a) Trial and Error

Cara coba – salah ini dilakukan

dengan menggunakan kemungkinan dalam

mencegah masalah, dan apabila

kemungkinan tersebut tidak berhasil,

dicoba kemungkinan yang lain.

(b) Otoriter

Sumber pengetahuan dapat berupa

pimpinan masyarakat baik formal maupun

informal, ahli agama, pemegang pemerin-

tahan dan sebagainya. Dengan kata lain

pengetahuan tersebut diperoleh berdasar-

kan pada otoritas atau kekuasaan, baik

14

tradisi, otoritas pemerintahan dan sebagai-

nya.

(c) Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi dapat

digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan. Hasil ini dilakukan dengan

cara mengulang kembali pengalaman yang

diperoleh dalam memecahkan permasa-

lahan yang dihadapi pada masa lalu.

(d) Melalui Jalan Pikiran

Sejalan dengan perkembangan

kebudayaan umat manusia, cara berfikir

manusia apapun ikut berkembang. Dari sini

manusia telah mampu menggunakan

penalaran dalam memperoleh

pengetahuannya. Dengan kata lain dalam

memperoleh kebenaran pengetahuan

manusia telah menggunakan jalan

fikirannya.

(2) Cara Moderen Untuk Memperoleh Pengetahuan

Cara modern dalam memperoleh

pengetahuan pada dewasa ini lebih sintesis,

logis dan ilmiah. Cara ini disebut metode

15

penelitian ilmiah atau lebih populer disebut

metodelogi penelitian (Notoatmodjo S, 2005).

2) Peran Perawat

a) Definisi

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang

sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran

dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam

maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah

bentuk dari perilaku yang diharapkan dari seseorang

pada situasi sosial tertentu (Kozier Barbara, 2007).

Peran perawat yang dimaksud adalah cara

untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktik,

dimana telah menyelesaikan pendidikan formalnya

yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah

untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab

keperawatan secara professional sesuai dengan kode

etik professional. Dimana setiap peran yang

dinyatakan sebagai ciri terpisah demi untuk

kejelasan.

16

b) Elemen peran perawat

Ada beberapa elemen peran perawat

professional antara lain : care giver, client advocate,

conselor, dan educator (Doheny, 2006).

(1) Care giver

(a) Memberikan pelayanan keperawatan

kepada individu, keluarga , kelompok atau

masyarakat sesuai diagnosis masalah yang

terjadi mulai dari masalah yang bersifat

sederhana sampai pada masalah yang

kompleks.

(b) Memperhatikan individu dalam konteks

sesuai kehidupan klien, perawat harus

memperhatikan klien berdasarkan

kebutuhan signifikan dari klien.

(2) Client advocate

(a) Bertanggung jawab membantu klien dan

keluarga dalam menginterpretasikan

informasi dari berbagai pemberi pelayanan

dan dalam memberikan informasi lain yang

diperlukan untuk mengambil persetujuan

(inform concern) atas tindakan

keperawatan yang diberikan kepadanya.

17

(b) Mempertahankan dan melindungi hak-hak

klien, harus dilakukan karena klien yang

sakit dan dirawat di rumah sakit akan

berinteraksi dengan banyak petugas

kesehatan. Perawat adalah anggota tim

kesehatan yang paling lama kontak dengan

klien, sehingga diharapkan perawat harus

mampu membela hak-hak klien.

(3) Conselor

Konseling adalah proses membantu

klien untuk menyadari dan mengatasi tekanan

psikologis atau masalah sosial untuk

membangun hubungan interpersonal yang baik

dan untuk meningkatkan perkembangan

seseorang. Konseling memberikan dukungan

emosional dan intelektual.

(4) Educator

Mengajar adalah merujuk kepada

aktifitas dimana seseorang guru membantu

murid untuk belajar. Belajar adalah sebuah

proses interaktif antara guru dengan satu atau

banyak pelajar dimana pembelajaran obyek

khusus atau keinginan untuk merubah perilaku

18

adalah tujuannya. Inti dari perubahan perilaku

selalu didapat dari pengetahuan baru atau

ketrampilan secara teknis.

b. Faktor internal

Terdapat 10 faktor yang mempengaruhi

pembentukan luka dekubitus yaitu : gaya gesek, friksi,

kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,

gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia dan usia

(Potter & Perry, 2005).

1) Gaya gesek

Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan

kulit dengan arah paralel terhadap permukaan tubuh.

Gaya ini terjadi pada saat pasien bergerak atau

memperbaiki posisi tubuhnya di atas tempat tidur

dengan cara didorong atu digeser pada posisi fowler

yang tinggi.

2) Friksi

Tidak seperti cedera akibat gaya gesek, cedera

akibat friksi mempengaruhi epidermis atau lapisan

kulit bagian atas yang terkelupas pada saat pasien

mengubah posisinya. Karena luka seperti itu maka

perawat sering menyebut luka bakar sprei“ sheet

burns”. Cedera ini dapat terjadi pada pasien yang

19

gelisah. yang gerakannya tidak terkontrol seperti

kondisi pasien kejang dan pasien yang kulitnya diseret

daripada diangkat dari tempat tidur.

3) Kelembaban

Adanya kelembaban kulit dan durasinya

meningkatkan terjadinya kerusakan integritas kulit.

Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap

faktor fisik. Kelembaban kulit dapat berasal dari

drainase luka,keringat, kondensasi dari sistem yang

mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan

inkontinensia.

4) Nutrisi buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi

otot dan penurunan jaringan subkutan yang serius.

Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi

sebagai bantalan di antara kulit dan tulang menjadi

semakin sedikit. Oleh karena itu efek tekanan

meningkat pada jaringan tersebut. Status nutrisi buruk

dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat sama

dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan

status nutrisi buruk biasa mengalami hipoalbuminenia

(level albumin serum di bawah 3 gram/ 100 ml) dan

anemia. Albumin adalah ukuran variabel yang biasa

20

digunakan untuk mengevaluasi status protein pasien.

Pasien yang level albuminnya di bawah 3 gram/100 ml

lebih berisiko tinggi. Selain itu level albumin yang

rendah juga dihubungkan dengan lambatnya

penyembuhan luka. Level total protein juga

mempunyai korelasi dengan luka dekubitus. Level total

protein di bawah 5,4 gram/100 ml menurunkan tekanan

osmotik koloid yang akan menyebabkan edema

interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan.

5) Anemia

Pasien anemia berisiko mengalami dekubitus.

Penurunan level hemoglobin mengurangi kapasitas

darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi

jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia

juga mengganggu metabolisme jaringan dan

penyembuhan luka.

6) Kakesia

Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan

malnutrisi umum, ditandai kelemahan dan kurus.

Kakesia biasanya berhubungan denganpenyakit berat

seperti kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap

akhir. Kondisi ini meningkatkan risiko dekubitus pada

pasien.

21

7) Obesitas

Obesitas mengurangi risiko dekubitus. Jaringan

adipose pada jumlah kecil berguna sebagai bantalan

pada tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari

tekanan. Pada obesitas sedang ke berat jaringan

adipose mendapat vaskularisasi yang buruk, sehingga

jaringan adipose dan jaringan lain yang berada di

bawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat

iskemia.

8) Demam

Infeksi disebabkan adanya patogen di dalam

tubuh. Pasien yang mengalami infeksi biasanya

demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan

metabolik tubuh. Membuat jaringan yang telah

hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan cedera

akibat iskemia. Selain itu demam membuat diaporesis

(berkeringat) dan meningkatkan kelembaban kulit,

yang selanjutnya menjadi predeposisi kerusakan kulit.

9) Gangguan sirkulasi perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan

hipoksia dan lebih rentan mengalami iskemia.

Gangguan iskemia pada pasien yang menderita

22

vaskuler. Pasien syok, atau yang mendapatkan

pengobatan vasopresor.

10) Usia.

Luka dekubitus terbesar terjadi pada pasien usia

diatas 75 tahun.Lansia mempunyai potensi besar untuk

mengalami dekubitus. Lansia mengalami perubahan

kulit akibat bertambahnya usia.

2.1.1.4. Patogenesis luka dekubitus

Dekubitus terjadi sebagai hubungan antara waktu dan

tekanan (Storts, 2008), semakin besar tekanan dan durasinya,

maka semakin besar pula insiden terbentuknya luka.

Kulit dan jaringan subkutan dapat toleran terhadap

beberapa tekanan. Tetapi pada tekanan eksternal terbesar

daripada tekanan kapiler akan menurunkan atau

menghilangkan aliran darah ke jaringan sekitarnya. Jaringan

ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cidera iskemia. Proses

tekanan yang lebih besar dari 42 mmHg dan tidak

dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia maka

pembuluh darah akan kolaps dan trombosis (Maklebust,

2007). Tekanan yang dihilangkan sebelum titik kritis maka

sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih kembali melalui

mekanisme fisiologi hiperemia reaktif. Kulit mempunyai

kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemia

23

dari otot, maka dekubitus dimulai dari tulang dengan iskemi

otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya

melebar ke epidermis (Maklebust, 2007).

Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan

dengan adanya gaya gesek saat menaikkan posisi pasien di

atas tempat tidur. Area sakral dan tumit merupakan yang

paling rentan. Efek tekanan juga dapat ditingkatkan oleh

karena distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang

mendapat tekanan konstan pada tubuh dari tempatnya

berada karena adanya gaya gravitasi. Tekanan yang tidak

terdistribusi merata pada tubuh maka gradien tekanan

jaringan yang mendapatkan tekanan akan meningkat dan

metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan

(Maklebust, 2007).

2.1.1.5. Klasifikasi luka dekubitus

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk

penyembuhan dari suatu ulkus dekubitus dan perbedaan

temperatur dari ulkus dengan kulit sekitarnya, dekubitus

dapat dibagi menjadi tiga:

a. Tipe normal

Mempunyai beda temperatur sampai dibawah

lebih kurang 2,5oC dibandingkan kulit sekitarnya dan

akan sembuh dalam perawatan sekitar 6 minggu. Ulkus ini

24

terjadi karena iskemia jaringan setempat akibat tekanan,

tetapi aliran darah dan pembuluh-pembuluh darah

sebenarnya baik.

b. Tipe arterioskelerosis

Mempunyai beda temperatur kurang dari 1oC

antara daerah ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini

menunjukkan gangguan aliran darah akibat penyakit pada

pembuluh darah (arterisklerotik) ikut perperan untuk

terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan

perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16

minggu.

c. Tipe terminal

Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia

dan tidak akan sembuh. Sedangkan stadium luka

dekubitus dibagi menjadi 4 :

a. Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada

epidermis.

b. Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal.

c. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung

sampai pada bungkus otot dan sering sudah ada infeksi.

25

d. Dekubitus derajat IV

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar

tulang dan sering pula diserta jaringan nekrotik.

2.1.1.6. Tempat terjadinya luka dekubitus

Beberapa tempat yang terjadi luka dekubitus adalah

sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar dan

tuberostatis iskial (Meehan, 2008). Daerah tubuh yang sering

luka dekubitus adalah :

a. Pada penderita posisi terlentang adalah pada daerah

belakang kepala, daerah tulang belikat dan tumit.

b. Pada penderita posisi miring adalah pada daerah pinggir

kepala (terutama daun) telinga, bahu, siku, daerah pangkal

paha, kulit pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki.

c. Pada penderita dengan posisi tengkurap : dahi, lengan

atas, tulang iga, dan lutut.

2.1.1.7. Komplikasi luka dekubitus

Komplikasi luka dekubitus sering terjadi pada derajad

III dan IV walaupun dapat terjadi luka superficial (Sabandar,

2008). Luka dekubitus dapat menyebabkan komplikasi antara

lain :

a. Infeksi umumnya bersifat multibakterial baik yang

aerobik mapun anaerobic.

26

b. Keterlibatan jaringan tulang, periostitis, osteostitis,

osteomielitis, osteoartitis dan arthitis septic.

c. Septikemia

Septikemia adalah suatu keadaan dimana

terdapatnya multiplikasi bakteri dalam darah

(bakteremia). Istilah lain untuk septikemia adalah blood

poisoning atau Bakteremia dengan sepsis.

d. Anemia

Anemia adalah berkurangnya jumlah sel darah

merah atau kandungan hemoglobin di dalam darah

e. Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia adalah rendahnya kadar albumin

di dalam darah akibat abnormalitas

f. Kematian

2.1.2. Albumin

2.1.2.1. Pengertian

Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma

yang berperan dalam penyembuhan penyakit atau recovery

(pemulihan) setelah luka atau tindakan operasi (Supriyatna,

2010).

Serum albumin manusia adalah molekul unik yang

merupakan protein utama dalam plasma manusia (3,4 -7,5

27

gr/dl) dan membentuk 60% dari protein plasma total. Albumin

sebanyak 40% dijumpai dalam plasma dan 60% ruang

ekstraseluler. Hati kira-kira menghasilkan 12 gram albumin

perhari yang merupakan 25% total sintesa protein dalam hati.

Albumin mempertahankan tekanan osmotik koloid dalam

pembuluh darah dan mempunyai sejumlah fungsi penting.

Albumin menghantarkan dan melarutkan molekul-molekul

kecil dalam darah (contohnya bilirubin, kalsium, progesteron

dan obat-obatan) merupakan tempat penyimpanan protein dan

partikel utama yang menentukan tekanan onkotik plasma,

supaya cairan tidak bebas melintas antara ruang intra dan

ekstravaskuler (Bangun, 2008).

Kadar albumin yang rendah dalam tubuh manusia

disebabkan oleh karena gangguan sintesa (malnutrisi,

disfungsi hepar) atau kehilangan (asites, protein hilang karena

nefropati atau enteropati) sehingga menyebabkan gangguan

yang serius pada tekanan onkotik ekstavaskuler , kehilangan

albumin dapat bermanifestasi edema (Rosche et all, 2008).

2.1.2.2. Sintesa albumin

Sintesa albumin membutuhkan mRNA untuk

translasi, suplai asam amino yang cukup akan diaktivasi dan

berikatan dengan tRNA Ribosom untuk pembentukan dan

energi dalam bentuk ATP. Sintesa protein dimulai di dalam

28

nukleus, di mana gen ditranskripsikan dalam messenger

Ribonucleid Acid (mRNA). Terbentuknya mRNA kemudian

disekresikan di dalam sitoplasma, di mana albumin berikatan

dengan ribosom membentuk polysome yang mensintesa

preproalbumin. Preproalbumin adalah molekul albumin dan

asam amino yang disambungkan pada terminal N. Sambungan

asam amino memberikan isyarat penempatan proalbumin ke

dalam membran retikulum endoplasma. Preproalbumin yang

berada di dalam lumen reikulum endoplasma, 18 asam amino

akan memecah menyisakan albumin (albumin dengan 6 asam

amino yang tersisa). Proalbumin adalah bentuk intraseluler

yang utamadari albumin. Proalbumin kemudian dikirim ke

aparatus golgi di mana 6 sambungan asam amino dipindahkan

sebelum albumin disekresi oleh hepatosit (Bangun, 2008).

Penurunan konsentrasi serum albumin dapat terjadi

melalui dua cara yaitu : albumin hilang dari dalam tubuh

dalam jumlah besar seperti pendarahan, eksudasi kulit yang

berat, atau terjadi penurunan produksi albumin (hepatic

insufiency/malnutrisi). Penyebab lain rendahnya albumin

adalah termasuk hypoadrenocorticism dan hyperglobulinemia

(karena multiple myeloma). Hypoalbuminemia yang bermakna

dapat disebabkan oleh tiga penyebab utamayaitu :hepatic

insufiency/real losing (protein nepropathy), dan

29

gastrointestimal loss (protein losing enteropathy). Rentang

nilai rujukan bervariasi albumin serum kurang dari 2,5 mg/dl

disebut abnormal, dan konsentrasi kurang dari 1,5 mg/dl dapat

menyebabkan tanda klinis yang bermakna seperti

pembentukan asites dan edema (Bangun, 2008).

2.1.3. Indeks Massa Tubuh

2.1.3.1. Pengertian

IMT atau sering juga disebut indeks Quatelet pertama

kali ditemukan oleh seorang ahli matematika Lambert

Adolphe Jacques Quatelet adalah alat pengukuran komposisi

tubuh yang paling umum dan sering digunakan. Beberapa

studi telah mengungkapkan bahwa IMT adalahalat pengukuran

yang berguna untuk mengukur obesitas, dan telah

direkomendasikan untuk evaluasi klinik pada obesitas anak

(Budiyanto, 2006).

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil

dari perhitungan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)

seseorang. IMT dipercaya dapat menjadi indikator atau

menggambarkan adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak

mengukur lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian

menunjukkan IMT berkorelasi langsung dengan pengukuran

30

lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual energy x-

ray absorbtiometry (Pujiastuti et all, 2010).

IMT merupakan altenatif untuk tindakan pengukuran

lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori

berat badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai

IMT ini, dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut :

IMT = berat badan (BB) / [ tinggi badan (TB) (m)]2

Perhitungan berat badan dalam satuan kilogram dan tinggi

badan dalam meter.

2.1.3.2. Kategori IMT

Untuk orang dewasa usia di atas 20 tahun dinterpretasi

dengan menggunakan status berat badan standar yang sama

untuk semua umur pria dan wanita. Interpretasi untuk anak-

anak dan remaja IMT mengikuti usia dan jenis kelamin

(Budiyanto, 2006).

IMT di Indonesia untuk kepentingan klinis

dimodifikasi berdasarkan penelitian di negara-negara

berkembang. Interpretasi IMT yang dimaksudkan ditampilkan

pada tabel kategori Indeks Massa Tubuh sebagai berikut :

31

Tabel 2.1 Kategori Indeks Massa Tubuh

IMT Kategori

< 18,5 18,5 -22,9

> 23 23,0- 24,9 25,0 – 29,9

> 30

Berat badan kurang Berat badan normal

Kelebihan berat badan Beresiko menjadi obesitas

Obesitas I Obesitas II

Sumber : Centre of Obesity Research and Education (2007)

2.1.4. Immobilisasi

2.1.4.1. Pengertian immobilisasi

Immobilisasi atau tirah baring adalah keadaan dimana

seseorang tidak dapat bergerak secara aktif atau bebas karena

kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas). Misalnya

mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai

fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya. Immobilisasi secara

fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik

dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi

pergerakan (Potter & Perry, 2005).

Keadaan immobilisasi adalah suatu pembatasan gerak

atau keterbatasan fisik dari anggota badan dan tubuh itu

sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini salah

satunya disebabkan oleh keadaan posisi tetap dengan gravitasi

berkurang seperti saat duduk dan berbaring (Garison, 2006).

32

2.1.4.2. Penyebab immobilisasi

Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadinya

immobilisasi (Braden, 2006), yaitu :

a. Gangguan sendi dan tulang

Penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau

patah tulang akan menghambat pergerakan.

b. Penyakit Saraf

Adanya stroke, penyakit parkinson dan gangguan

saraf tepi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan

mengakibatkan immobilisasi.

c. Penyakit Jantung atau Pernafasan

Penyakit jantung atau pernafasan akan

menimbulkan kelelahan dan sesak nafas ketika beraktivitas.

Akibatnya pasien dengan gangguan pada organ-organ

tersebut akan mengurangi mobilitasnya.

d. Masa Penyembuhan

Pasien yang masih lemah setelah menjalani operasi

atau penyakit berat tertentu memerlukan bantuan untuk

berjalan atau banyak istirahat.

2.1.4.3. Jenis Immobilisasi

Secara umum kondisi yang dihadapi pasien dalam

keadaan immobilisasi adalah:

33

a. Immobilisasi fisik

Merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik

dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi

pergerakan, seperti pada pasien dengan hemiplegia yang

tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah paralisis

sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk

mengurangi tekanan.

b. Immobilisasi intelektual

Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami

keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang

mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit.

c. Immobilisasi emosional

Keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan

secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba

dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stres

berat dapat disebabkan karena bedah amputasi ketika

seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh atau

kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

d. Immobilisasi sosial

Keadaan individu yang mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya

sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam keadaan

sosial.

34

2.1.4.4. Tingkat Immobilisasi

Dalam Skala Braden tingkat imobilisasi terbagi atas 4

tingkatan (Braden & Bergstorm, 2008) yaitu :

a. Tidak terbatas

Pasien mampu melakukan perubahan posisi yang

bermakna tanpa bantuan.

b. Agak terbatas

Pasien sering melakukan perubahan kecil pada

posisi tubuh dan ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki

derajad keterbatasan.

c. Sangat terbatas

Pasien kadang-kadang melakukan perubahan kecil

pada tubuh dan ekstremitas tapi tidak dapat melakukan

perubahan yang sering.

d. Immobilisasi total

Pasien tidak dapat melakukan perubahan posisi

tubuh atau ekstremitas tanpa bantuan.

2.1.4.5. Efek samping immobilisasi

a. Perubahan Metabolisme

Perubahan metabolisme immobilisasi dapat

mengakibatkan proses anabolisme menurun dan

katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat beresiko

meningkatkan gangguan metabolisme. Proses immobilitas

35

dapat juga menyebabkan penurunan ekskresi urine dan

peningkatan nitrogen. Hal tersebut dapat ditemukan pada

pasien yang mengalami immobilitas pada hari kelima dan

keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme,

diantaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme,

atropi kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan

dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.

b. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit

Dampak dari immobilisasi akan mengakibatkan

persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum

berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan

tubuh

c. Gangguan pengubahan zat gizi

Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh

menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat

mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat

sel menurun, dimana sel tidak lagi menerima glukosa, asam

amino, lemak dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk

melaksanakan aktivitas metabolisme

d. Gangguan Fungsi Gastrointestinal

Immobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang

dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup

36

dapat menyebabkan keluhan, seperti perut kembung, mual,

dan nyeri lambung yang dapat menyebabkan gangguan

proses eliminasi.

e. Perubahan Sistem Pernafasan

Akibat immobilisasi, kadar haemoglobin menurun,

ekspansi paru menurun, dan terjadinya lemah otot yang

dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu.

Terjadinya penurunan kadar haemoglobin dapat

menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke

jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan

ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat

oleh permukaan paru

f. Perubahan Kardiovaskuler.

Perubahan sistem kardiovaskuler akibat

immobilisasi antara lain dapat berupa hipotensi ortostatik,

meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan

thrombus. Terjadinya hipotensi ortostatik dapat disebabkan

oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi

yang tetap dan lama, refleks neurovaskular akan menurun

dan menyebabkan vasokonstriksi, kemudian darah

terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah

ke sistem sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja

jantung dapat disebabkan karena immobilitas deangan

37

posisi horizontal. Dalam keadaan normal, darah yang

tekumpul pada ekstremitas bawah bergerak dan

meningkatkan aliran vena kembali ke jantung dan akhirnya

jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya trombus

juga disebabkan oleh meningkatnya vena statis yang

merupakan hasil penurunan kontraksi muscular sehingga

meningkatkan arus balik vena.

38

2.2. Keaslian penelitian

Tabel 2.2 Jurnal Penelitian terdahulu tentang dekubitus

NamaPeneliti Judul Metode Hasil

Rukmini (2012)

Pengaruh pemberian minyak Klaper Saat Massage Terhadap Kejadian Dekubitus Pada pasien

Tirah Baring Total Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Puri Cinere Depok

Test only non

equivalent

control group.

Ada pengaruh bermakna antara pemberian minyak klaper terhadap kejadian dekubitus, dimana dari 14 responden yang dimassage dengan minyak klaper diperoleh hasil 100% tidak terjadi dekubitus P value =

0,031, α = 0,025). Perbedaan

penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel bebasnya yaitu pengaruh pemberian minyak klaper dan metode penelitian yang digunakan

Hastuti Purnama Dewi (2011)

Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dekubitus Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta

Non eksperimental dengan pendekatan prediktif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji Rank Spearman semua variabel bebas memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian dekubitus.

Noor Fitriyani (2009)

Pengaruh Posisi Lateral Inklin 30 Derajat Terhadap Kejadian Dekubitus Pada Pasien Stroke Di Bangsal Anggrek I Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta

Kuantitatif eksperimen dengan metode deskriptif comparatif, jumlah responden 30 orang.

Tidak ada pengaruh posisi lateral inklin 30 derajat terhadap penurunan kejadian dekubitus

39

Nama Peneliti Judul Metode Hasil

Chaerul Effendi (2008)

Efek Immobilisasi Terhadap Penurunan Kadar Albumin Serum Pada PenderitaGeriatri Dengan Hipertensi Di RS Dr Soetomo

Observasional prospektif analitik dengan rancang bangun studi prospektif

Terdapat perbedaaan rerata mean penurunan kelompok non immobilisasi dengan kelompok immobilisasi (p=0.005,alpha = 0,05) pada penurunan kadar serum penderita Hipertensi. Hasil C2=3,2199 . Makna praktis , terdapat asosiasi kuat pada hubungan Immobilisasi dengan penurunan kadar albumin serum , RR = 1,45(95%), CI =0,95-2,24 (NS)

Agnes Praptiwi,G.Dharma Mulyo, Henny Rosita Iskandar, Yuliatmoko Suryatin (2010)

Kadar Albumin Pasien Rawat PICU RSAB Harapan Kita Tahun 2010 : Dampak Terhadap Mortalitas dan Morbiditas

Kohort Retrospektif

Lebih dari separuh(65,5 %) anak sakit kritis yang dirawat di PICU Harapan Kita kadar albumin serum darah < 3,5 g/dl. Hanya sekitar 37 (12,8%) pasien yang mengalami gizi buruk dan kurang. Hipoalbuminemia ini mempengaruhi mortalitas, penggunaan ventilator dan pemakaian obat inotrop/vasokatif pasien rawat PICU

40

2.3. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Teori

Keterangan :

Sumber : Potter & Perry (2005)

Kejadian Dekubitus

= diteliti

= tidak diteliti

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Pengetahuan

Perawat

Peran parawat

Gaya gesek

Friksi

Kelembaban

Nutrisi Buruk

Obesitas

Anemia

Kakesia

Demam

Gangguan sirkulasi

perifer

. Usia

IMT

Albumin

41

2.4. Kerangka Konsep

Variabel independenVariabel dependen

Gambar 2.2 Kerangka konsep

2.5. Hipotesis

Ho : tidak ada hubungan antara kadar albumin dan Indeks Massa Tubuh

dengan kejadian dekubitus pada pasien immobilisasi di RSUD Dr.

Moewardi.

Ha : ada hubungan antara kadar albumin dan Indeks Massa Tubuh dengan

kejadian dekubitus pada pasien immobilisasi di RSUD Dr.Moewardi.

Kadar Albumin

Indeks Massa Tubuh

Dekubitus

42

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode penelitian

kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel

tertentu. Penelitian Kuantitatif atau Quantitatif Research adalah suatu metode

penelitian yang bersifat induktif, objektif dan ilmiah di mana data yang

diperoleh berupa angka-angka (score, nilai) atau pernyataan-pernyataan yang

dinilai, dan dianalisis dengan analisis statistik. Penelitian Kuantitatif biasanya

digunakan untuk membuktikan dan menolak suatu teori (Jurnal Statistik,

2014).

Penelitian ini dilakukan secara analitik korelatif dengan pendekatan

cross sectional. Pengertian penelitian analitik korelatif yaitu suatu metode

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan

suatu data dan apabila ada seberapa erat hubungan serta berarti atau tidaknya

hubungan itu (Arikunto, 2006). Pendekatan cross secsional adalah

penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data

variabel independen dan dependen hanya satu kali, pada suatu saat atau pada

periode tertentu (Hidayat, 2007).

43

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Apabila

seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah

penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi atau

studi populasi atau studi keseluruhan subyek penelitian (Suharsimi,

2006).

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien imobilisasi yang

dirawat di RSUD Dr Moewardi. Data rekam medis untuk tahun 2014

terdapat sebanyak 1380 pasien immobilisasi. Dalam satu bulan

diperkirakan 140 pasien immobilisasi. Pasien immobilisasi sebanyak

140 digunakan sebagai acuan untuk menentukan populasi penelitian.

3.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian subyek yang diambil dari keseluruhan

obyek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmojo, 2005).

3.2.2.1. Tehnik sampling

Pada penelitian ini menggunakan tehnik

proportionate random sampling. Hal ini dilakukan jika

pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan

berstrata secara proporsional, dilakukan sampling ini apabila

anggota populasinya heterogen (tidak sejenis). Sampel

44

diperoleh secara acak dari bagian populasi yang ditemui

(Nursalam, 2006).

Teknik pengambilan sampel pada umumnya

dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan

instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik

dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan

(Sugiyono, 2012).

3.2.2.2. Besar sampel

Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien

imobilisasi yang sedang dirawat di RSUD Dr. Moewardi

yang memenuhi kriteria inklusi. Pada populasi disebutkan

jumlah rata-rata dalam satu bulan 140 orang pasien

imobilisasi di RSUD Dr. Moewardi, jumlah populasi yang

telah diketahui kemudian dihitung dengan rumus Taro

Yamane (Ridwan dan Akdon, 2006) untuk menghitung

jumlah sampel yang diperlukan:

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = level signifikansi yang diinginkan

45

Maka banyaknyasampel adalah :

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mengambil sampel

sebanyak 104 pasien immobilisasi.

3.2.3. Kriteria sampel

3.2.3.1. Kriteria Inklusi

1) Pasien immobilisasi dirawat di RSUD Dr Moewardi.

2) Pasien dirawat mulai bulan Januari tahun 2015.

3.2.3.2. Kriteria Eksklusi

1) Pasien rawat jalan

2) Pasien dirawat sebelum tahun 2015

3.3. Tempat dan Waktu Penelitian

3.3.1. Tempat

Penelitian ini dilakukan di Ruang ICU, PICU, HCU Melati 2, ICVCU,

dan Ruang Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi dengan alamat Jl. Kolonel

Sutarto no .132 Surakarta 57126 Jawa Tengah.

3.3.2. Waktu

Penelitian ini direncanakan mulai bulan Februari sampai bulan Maret

2015.

46

3.4. Variabel Penelitian, Definisi Operasional dan Skala Pengukuran

Variabel diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi subyek

pengamatan penelitian. Variabel dependen atau variabel terikat atau sering

disebut variabel akibat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen. Variabel independen atau variabel bebas adalah variabel yang

mempengaruhi variabel terikat. Variabel dependen akan diamati dan diukur

untuk diketahui hubungannya dengan variabel independen. Definisi

operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang akan

digunakan secara operasional. Definisi operasional adalah unsur penelitian

yang menjelaskan bagaimana caranya menentukan variabel dan mengukur

suatu variable (Nursalam, 2009).

Sedangkan skala pengukuran adalah merupakan prosedur pemberian

angka pada suatu objek agar dapat menyatakan karakteristik objek tersebut.

Skala data ordinal adalah skala data yang disusun secara berjenjang mulai

dari tingkat terendah sampai tertinggi atau sebaliknya dengan jarak rentang

yang tidak harus sama. Data ordinal pada setiap jenjangnya memiliki karakter

yang berbeda. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian

dekubitus pasien imobilisasi di RSUD Dr Moewardi. Variabel independen

dalam penelitian ini adalah kadar albumin dan Indeks Massa Tubuh pasien

imobilisasi. Kedua variabel tersebut dapat didefinisikan dalam tabel 3.1

berikut ini :

47

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Parameter Skala Data

Kategori /skor

Dependen

Kejadian dekubitus

Keadaan kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal akibat tekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi darah setempat pada pasien imobilisasi

Lembar observasi

Terdapat tanda-tanda luka dekubitus derajad 1-4 pada jaringan/kulit di daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior daerah tumit dan siku

Ordinal 1. Tidak Terjadi

Skor =1 2. Terjadi Skor = 2

Independen Kadar Albumin

Kadar albumin serum darah yang diambil dari sampel darah vena pasien imobilisasi diperiksa oleh Laboratorium Patologi Klinik. Kadar normal albumin dalam serum antara3,4 – 5,4 mg/dl

Catatan dokumentasi keperawatan

Pasien immobilisasi dengan kriteria kadar albumin 1. Normal Jika > 3,5

mg/dl 2. Tidak normal Jika < 3,5

mg/dl

Ordinal

1. Normal Jika > 3,5

mg/dl Skor = 1 2. Tidak

normal Jika < 3,5

mg/dl Skor =2

Indeks Massa Tubuh

Indeks Massa Tubuh merupakan alat atau cara sederhana untuk mengukur status

gizi pasien dengan nilai yang diambil dari perhitungan berat badan (BB) dibagi tinggi badan pasien (TB) x (TB)

Catatan dokumentasi keperawatan

Pasien immobilisasi dengan kriteria 1. Kurang Jika IMT=<18,5

2. Normal Jika IMT = 18,5 – 22,9 3. Kelebihan Jika IMT = >23

Ordinal 1. Kurang Jika IMT= <18,5

Skor = 0 2. NormalJika

IMT

= 18,5-22,9 Skor = 1 3. Kelebihan Jika IMT = >23 Skor = 2

48

3.5. Alat dan Cara Pengumpulan Data

3.5.1. Alat pengumpul data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

3.5.1.1. Alat pengukur terjadinya dekubitus

Alat pengumpul data terjadinya dekubitus adalah

lembar observasi, yaitu dengan cara pengamatan atau

observasi pada obyek atau pasien oleh peneliti dengan

memberi tanda check list (v) pada lembar observasi yang

tersedia berdasarkan pada pengamatan tanda-tanda terjadinya

dekubitus atau tidak terjadi dekubitus.

3.5.1.2. Alat pengukur kadar albumin dan IMT

Alat pengukur data kadar albumin dan IMT pasien

dan karakteristik pasien diperoleh dari catatan dokumentasi

keperawatan dengan cara memberi tanda check list (v) pada

lembar observasi sesuai dengan kriteria kadar albumin dan

IMT yang sudah ditentukan.

3.6. Tehnik Pengolahan dan Analisa Data

3.6.1. Tehnik pengolahan data

3.6.1.1. Editing ( Pengeditan ).

Peneliti mengoreksi data yang diperoleh meliputi kebenaran

pengisian, kelengkapan data, konsistensi dan relevansi data.

49

3.6.1.2. Coding (Pengkodean).

Peneliti mengelompokkan data-data yang telah diedit

berdasarkan urutan responden untuk mempermudah dalam

pengolahan data.

3.6.1.3. Skoring ( Penilaian ).

Peneliti memberi nilai sesuai skor yang telah ditentukan

berdasarkan kuesioner dan lembar observasi yang telah

disusun.

3.6.1.4. Tabulating (Tabulasi)

Peneliti memasukan data-data hasil penelitian kedalam tabel-

tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

3.6.1.5. Entry Data (Memasukkan data )

Peneliti memasukan data data kedalam komputer melalui

salah satu program statistik SPSS, sebelum dilakukan analisa

dengan komputer dilakukan pengecekan ulang terhadap data.

3.6.2. Analisa data

3.6.2.1. Analisa univariat untuk mengetahui distribusi karakteristik

responden. Data meliputi jenis kelamin, umur, pendidikan,

pekerjaan , kadar albumin, dan IMT. Analisa data univariat

ditampilkan dalam tabel distribusi frekeunsi.

3.6.2.2. Analisa bivariat untuk mencari hubungan antara variabel

dependen dan variabel independen adalah dengan uji Rank

Spearman karena skala data ordinal atau berjenjang. Jika

50

terdapat korelasi positif yang signifikan nilai sig ( 2- tailed)

< 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima Dengan demikian

hipotesa penelitian terbukti terdapat hubungan yang

signifikan antara dua variabel. Pada penelitian ini analisa

bivariat dilakukan untuk mencari hubungan kadar albumin

dan IMT pasien immobilisasi dengan kejadian dekubitus di

RSUD Dr Moewardi.

3.7. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian terlebih dahulu mendapat rekomendasi

dari Rektor Stikes Kusuma Husada dan mendapat ijin pada tempat penelitian,

kemudian peneliti mengumpulkan data-data primer maupun sekunder dengan

menekankan etika yang meliputi :

3.7.1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Diberikan kepada responden, dengan tujuan agar subyek

mengetahui maksud dan tujuan penelitian. Jika bersedia responden

harus menanda tangani lembar persetujuan tersebut.

3.7.2. Anonymity (tanpa nama)

Responden tidak mencantumkan nama untuk menjaga privasi

responden.

51

3.7.3. Confidentiality (kerahasian)

Dalam penelitian ini azas kerahasiaan yaitu menjaga informasi dari

catatan medis, sampel atau responden dan tidak

menyebarluaskannya.

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi usia, jenis

kelamin, pendidikan dan pekerjaan.

4.1.1. Usia

Pada tabel berikut ini disajikan karakteristik responden

berdasarkan usia.

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia

Usia (Tahun)

Frekuensi Persentase

< 40 40 – 53

10 46

9,6 44,2

54 – 67 24 23,1 68 – 81 24 23,1

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar

responden berumur antara 40 – 53 tahun yaitu sebanyak 46 orang atau

44,2 %.

4.1.2. Jenis Kelamin

Pada tabel berikut ini disajikan karakteristik responden

berdasarkan jenis kelamin.

53

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin

Umur (Tahun)

Frekuensi Persentase

Laki-laki 47 45,2 Perempuan 57 54,8

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar

responden adalah perempuan yaitu sebanyak 57 atau 54,8%,

sedangkan laki-laki sebanyak 47 orang atau 45,2 %.

4.1.3. Pendidikan

Pada tabel berikut ini disajikan karakteristik responden

berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis pendidikan terakhir

Pendidikan terakhir

Frekuensi Persentase

SD 10 9,6 SMP 23 22,1 SMA 48 46,2 Perguran Tinggi 23 22,1

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel di tersebut, diketahui bahwa sebagian besar

responden berpendidikan SMA yaitu 48 orang atau 46,2%.

4.1.4. Pekerjaan

Pada tabel berikut ini disajikan karakteristik responden

berdasarkan pekerjaan.

54

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi Persentase

TNI/Polri 10 9,6 Karyawan Swasta 60 57,7 Petani 20 19,2 Tidak bekerja 14 13,5

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa pekerjaan

responden sebagian besar adalah karyawan swasta yaitu 60 orang atau

57,7 %.

4.2. Analisa univariat

Analisa univariat responden meliputi Indeks Massa Tubuh (IMT),

Kadar Albumin dan Kejadian Dekubitus.

4.2.1. Kadar Albumin

Pada tabel berikut disajikan hasil penelitian responden

berdasarkan Kadar Albumin.

Tabel 4.5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kadar Albumin

Kadar Albumin Frekuensi Persentase

Normal 45 43,3 Tidak Normal 59 56,7

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebagaian besar

responden adalah dengan kadar albumin tidak normal yaitu sebanyak

59 atau 43,3%.

55

4.2.2. Indeks Massa Tubuh

Pada tabel berikut disajikan hasil penelitian responden

berdasarkan Indeks Massa Tubuh.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Indeks Massa Tubuh

IMT Frekuensi Persentase

Kurang 31 29,8 Normal 37 35,6 Kelebihan 36 34,6

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebagian besar

responden dengan IMT normal yaitu sebanyak 37 atau 35,6%.

4.2.3. Kejadian Dekubitus

Pada tabel berikut disajikan hasil penelitian responden

berdasarkan Kejadian Dekubitus.

Tabel 4.7. Distribusi frekuensi responden berdasarkan Kejadian Dekubitus

Kejadian Dekubitus Frekuensi Persentase

Tidak Terjadi 70 67,3 Terjadi 34 32,7

Jumlah 104 100

Sumber : Analisa data primer

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa sebagaimana

besar responden yang tidak mengalami kejadian dekubitus adalah

sebanyak 70 orang67,3%.

4.3. Analisa bivariat

Analisa bivariat meliputi hubungan antara IMT dengan Kejadian

Dekubitus dan Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus.

56

4.3.1. Hubungan antara Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus

Tabel 4.8. Tabel silang hubungan Kadar Abumin dengan Kejadian Dekubitus

Kejadian Dekubitus Total

Kadar

Albumin

Tidak Terjadi Terjadi

Normal

36 34,6 %

9 8,7 %

45 43,3%

TidakNormal

34 32,7%

25 24,0 %

59 56,7%

Total 70

67,3 % 34

32,7 % 104

100 %

Sumber : Analisa Data Primer

Berdasarkan tabel silang tersebut, dapat diketahui bahwa

responden dengan kadar albumin normal yang mengalami dekubitus

sebanyak 9 orang atau 8,7% sedangkan tidak terjadi sebanyak 36

orang atau 34,6 %. Responden dengan kadar albumin tidak normal

yang mengalami kejadian dekubitus sebanyak 34 orang atau 32,7%

sedangkan tidak terjadi sebanyak 25 orang atau 24,0%.

Adapun uji statistik untuk mengetahui hubungan antara IMT

dengan kejadian dekubitus disajikan pada tabel di berikut ini.

Tabel 4.9. Hasil Uji Hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus

IMT Kadar Albumin

Kadar Albumin

Pearson Correlatin Sig.(2-tailed) N

1.000 104

-.207* .036 104

Kejadian Dekubitus

Correlation Coefficient Sig.(2-tailed) N

-.207* .036 104

1.000 104

* Correlation is significant at the 0.05 level ( 2-tailed)

57

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa bahwa nilai sig ( 2

tailed ) = 0,036 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan

Ha diterima, sehingga terdapat korelasi yang signifikan antara kadar

albumin dengan kejadian dekubitus. Adapun nilai koefesien korelasi

sebesar -0,207 dan bertanda bertanda negatif berarti menunjukkan

hubungan terbalik antara kadar albumin dengan kejadian dekubitus.

Apabila kadar albumin rendah maka kejadian dekubitus tinggi atau jika

kadar albumin tinggi maka kejadian dekubitus rendah. Tingkat korelasi

0,207 termasuk kategori cukup (Sarwono 2009), berdasarkan nilai

tersebut diartikan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

albumin dengan kejadian dekubitus.

4.3.2. Hubungan antara IMT dengan Kejadian Dekubitus

Tabel 4.10. Tabel silang hubungan IMT dengan Kejadian Dekubitus

Kejadian DekubitusTotal

IMT

Tidak Terjadi Terjadi

Kurang

19 18,3 %

12 11,5 %

31 29,8%

Normal

28 26,9 %

9 8,6 %

37 35,5 %

Kelebihan 23 22,1 %

13 12,6

36 34,7 %

Total 70 67,3 %

34 32,7 %

104 100 %

Sumber : Analisa Data Primer

Berdasarkan tabel silang tersebut, dapat diketahui bahwa

responden dengan IMT kurang yang mengalami dekubitus

sebanyak 19 orang atau 18,3% sedangkan tidak terjadi sebanyak

12 orang atau 11,5%. Responden dengan IMT normal yang

58

mengalami kejadian dekubitus sebanyak 28 orang atau 26.9%

sedangkan tidak terjadi sebanyak 9 orang atau 8,6%. Responden

dengan IMT kelebihan yang mengalami kejadian dekubitus

sebanyak 22,1 orang atau 31% sedangkan tidak terjadi sebanyak 13

orang atau 12.6%.

Adapun uji statistik untuk mengetahui hubungan antara

IMT dengan kejadian dekubitus disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.11. Hasil Uji Hubungan IMT dengan Kejadian Dekubitus

IMT Kejadian Dekubitus

IMT Pearson Correlation Sig.(2-tailed) N

1.000 104

.013 .897 104

Kejadian Dekubitus

Correlation Coefficient Sig.(2-tailed) N

.013 .897 104

1.000 104

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa bahwa nilai sig

(2 tailed) = 0,897 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho

diterima dan Ha ditolak, sehingga tidak terdapat korelasi yang

signifikan antara IMT dengan kejadian dekubitus.

59

BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian ini akan membahas mengenai Indeks Massa Tubuh, Kadar

Albumin dan Kejadian Dekubitus. Pada pasien immobilisasi hasil analisa bivariat

yang akan dibahas meliputi hubungan IMT dengan Kejadian Dekubitus serta

hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus.

5.1. Analisa Univariat

5.1.1. Kadar Albumin

Hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden

adalah dengan kadar albumin tidak normal yaitu sebanyak 59 atau

56,7%, sedangkan dengan kadar albumin normal sebanyak 45 orang

atau 43,3%. Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan

untuk mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level

albuminnya di bawah 3 gram /100 ml lebih berisiko tinggi. Level

albumin yang rendah juga dihubungkan dengan lambatnya

penyembuhan luka. Level total protein juga mempunyai korelasi

dengan luka dekubitus. Level total protein di bawah 5,4 gram/100 ml

menurunkan tekanan osmotik koloid yang akan menyebabkan edema

interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan. Sebagian besar

responden di RSUD Dr. Moewardi mengalami kadar albumin yang

tidak normal, karena responden adalah pasien immobilisasi. Salah satu

60

efek samping immobilisasi adalah perubahan metabolisme. Proses

immobilitas dapat juga menyebabkan penurunan ekskresi urine dan

peningkatan nitrogen. Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan

oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan

pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, dimana sel

tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak dan oksigen dalam

jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

Kadar albumin yang rendah dalam tubuh manusia disebabkan

oleh karena gangguan sintesa (malnutrisi, disfungsi hepar) atau

kehilangan (asites, protein hilang karena nefropati atau enteropati)

sehingga menyebabkan gangguan yang serius pada tekanan onkotik

ekstravaskuler, kehilangan albumin dapat bermanifestasi edema

(Rosche et all, 2008).

Penurunan konsentrasi serum albumin dapat terjadi melalui

dua cara yaitu : albumin hilang dari dalam tubuh dalam jumlah besar

seperti pendarahan, eksudasi kulit yang berat, atau terjadi penurunan

produksi albumin (hepatic insufiency/malnutrisi). Penyebab lain

rendahnya albumin adalah termasuk hypoadrenocorticism dan

hyperglobulinemia (karena multiple myeloma).

5.1.2. Indeks Massa Tubuh

Hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar responden

dengan IMT normal yaitu sebanyak 37 atau 35,6%, sedangkan IMT

kurang sebanyak 31 orang atau 29,8% dan responden dengan IMT

61

kelebihan 36 orang atau 34,6%. Responden sebagaian besar dengan

IMT normal karena pasien immobilisasi di RSUD Dr. Moewardi

memiliki berat dan tinggi badan yang ideal sehingga IMT responden

sebagian besar normal.

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari

perhitungan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang IMT

dipercaya dapat menjadi indikator atau menggambarkan adipositas

dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur lemak tubuh secara

langsung, tetapi penelitian menunjukkan IMT berkorelasi langsung

dengan dengan pengukuran lemak tubuh seperti underwater weighing

dan dual energy x-ray absorbtiometry (Pujiastuti et all, 2010).

5.1.3. Kejadian Dekubitus

Hasil penelitian ini diketahui bahwa sebagaian besar responden

tidak mengalami kejadian dekubitus sebanyak 70 orang orang atau

67,3% sedangkan yang mengalami dekubitus sebanyak 34 orang

atau 32,7%. Responden di RSUD Dr Moewardi sebagian besar tidak

mengalami dekubitus karena usia mereka sebagian besar di bawah 70

tahun. Luka dekubitus terbesar terjadi pada pasien usia diatas 75

tahun. Lansia mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus.

Lansia mengalami perubahan kulit akibat bertambahnya usia.Terdapat

10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus yaitu :

gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,

gangguan sirkulasi perifer, obesitas, kakesia dan usia (Potter & Perry,

62

2005). Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan

penurunan jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka

jaringan yang berfungsi sebagai bantalan di antara kulit dan tulang

menjadi semakin sedikit. Efek tekanan akan meningkat pada jaringan

tersebut. Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai

berat sama dengan atau lebih dari berat badan ideal.

Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami

hipoalbuminemia (level albumin serum di bawah 3 gram/ 100 ml) dan

anemia. Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level albuminnya di

bawah 3 gram /100 ml lebih berisiko tinggi. Selain itu level albumin

yang rendah juga dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka.

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus.

Level total protein di bawah 5,4 gram/100 ml menurunkan tekanan

osmotik koloid yang akan menyebabkan edema interstisial dan

penurunan oksigen ke jaringan.

5.2. Analisa Bivariat

5.2.1. Hubungan Kadar Albumin dengan Kejadian Dekubitus

Hasil uji statistik diketahui bahwa bahwa nilai sig (2 tailed) =

0,036 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha

diterima, sehingga terdapat korelasi yang signifikan antara kadar

albumin dengan kejadian dekubitus. Adapun nilai koefesien korelasi

63

sebesar -0,207 dan bertanda negatif berarti menunjukkan hubungan

terbalik antara kadar albumin dengan kejadian dekubitus. Apabila

kadar albumin rendah maka kejadian dekubitus tinggi atau jika kadar

albumin tinggi maka kejadian dekubitus rendah. Tingkat korelasi

0,207 termasuk kategori cukup (Sarwono 2009), berdasarkan nilai

tersebut diartikan terdapat hubungan yang signifikan antara kadar

albumin dengan kejadian dekubitus.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh

Sri Hastuti pada tahun 2013 di Rumah Sakit Ibnu Sina Makasar yang

menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian

dekubitus. Hal senada juga dinyatakan oleh Puspaningrum (2013)

yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara status gizi dengan

resiko terjadinya dekubitus pada pasien stroke di RSUD Dr.

Moewardi. Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma yang

berperan dalam penyembuhan penyakit atau recovery (pemulihan)

setelah luka atau tindakan operasi (Supriyatna, 2010). Serum albumin

manusia adalah molekul unik yang merupakan protein utama dalam

plasma manusia (3,4 -7,5 gr/dl) dan membentuk 60% dari protein

plasma total. Albumin sebanyak 40% dijumpai dalam plasma dan 60%

ruang ekstraseluler. Hati kira-kira menghasilkan 12 gram albumin

perhari yang merupakan 25% total sintesa protein dalam hati.

Albumin mempertahankan tekanan osmotik koloid dalam pembuluh

darah dan mempunyai sejumlah fungsi penting. Albumin

64

menghantarkan dan melarutkan molekul-molekul kecil dalam darah

(contohnya bilirubin, kalsium, progesteron dan obat-obatan)

merupakan tempat penyimpanan protein dan partikel utama yang

menentukan tekanan onkotik plasma.

5.2.2. Hubungan IMT dengan Kejadian Dekubitus

Hasil uji statistik untuk korelasi Pearson diketahui bahwa nilai

sig ( 2 tailed ) = 0,897 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho

diterima dan Ha ditolak, sehingga tidak terdapat korelasi yang

signifikan antara IMT dengan kejadian dekubitus. Adapun nilai

koefesien korelasi sebesar 0,013 dan bertanda positif berarti

menunjukkan hubungan searah antara IMT dengan kejadian

dekubitus. Tingkat korelasi 0,013 termasuk kategori lemah (Sarwono,

2009) berdasarkan nilai tersebut diartikan tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara IMT dengan kejadian dekubitus.

Kelemahan IMT sebagai pengukur status gizi adalah karena

IMT hanya menggambarkan proporsi ideal tubuh seseorang antara

berat badan saat ini dengan tinggi badan yang dimilikinya. IMT tidak

mampu menggambarkan tentang proporsi lemak yang terkandung di

dalam tubuh seseorang. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar

responden dengan IMT normal yaitu sebanyak 37 atau 35,5%,

sedangkan IMT kurang sebanyak 31 orang atau 29,8% dan responden

dengan IMT kelebihan 36 orang atau 34,7%. Data di atas mendukung

hasil uji statistik yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

65

signifikan antara IMT pasien immobilisasi dengan kejadian dekubitus.

Menurut penelitian yang dilakukan Kottner dkk (2011) menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan antara kejadian dekubitus dengan tingkatan

IMT. Lebih lanjut diterangkan bahwa IMT bukan merupakan

prediktor yang tepat untuk perkembangan kejadian dekubitus. Pada

penelitian ini berat badan pasien immobilisasi tidak diukur langsung

jadi berdasarkan anamnesa atau keterangan dari keluarga, sehingga

kemungkinan kurang presisi.

66

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

6.1.1. Kadar albumin pasien immobilisasi di RSUD Dr Moewardi sebagian

besar dalam kategori tidak normal sebanyak 59 atau 56,7%,

sedangkan dengan kadar albumin normal sebanyak 45orang atau

43,3%.

6.1.2. IMT pada pasien immobilisasi di RSUD Dr Moewardi sebagaian

besar dalam kategori normal yaitu sebanyak 37 atau 35,6%,

sedangkan IMT kurang sebanyak 31 orang atau 29,8% dan responden

dengan IMT kelebihan 36 orang atau 34,6%.

6.1.3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kadar albumin pasien

immobilisasi dengan kejadian dekubitus pada pasien immobilisasi di

RSUD Dr Moewardi

6.1.4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara IMT dengan kejadian

dekubitus pada pasien immobilisasi di RSUD Dr Moewardi

6.2. Saran

6.2.1. Bagi RSUD Dr Moewardi

Untuk meningkatkan mutu pelayanan pada pasien sehingga

standar Indicator Patient Safety bagi rumah sakit yang ideal bisa

dicapai dengan baik.

67

6.2.2. Bagi Perawat RSUD Dr Moewardi

Diharapkan meningkatkan ilmu pengetahuan dengan cara

mengikuti simposium, seminar maupun pelatihan, disamping

melanjutkan pendidikan formal yang lebih tinggi, sehingga perawat

mampu memberikan pelayanan keperawatan yang terbaik bagi pasien

terutama pasien immobilisasi.

6.2.3. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan meningkatkan kualitas keilmuan para staf

pengajar. Dengan meningkatkan kualitas tenaga pengajar maka akan

meningkatkan pula kualitas mahasiswa asuhan yang menuntut ilmu

guna mendukung profesionalitas perawat

6.2.4. Bagi peneliti lain

Penelitian ini dapat dilanjutkan lagi dengan menganalisa

secara komparatif maupun korelatif dari data–data deskriptif yang

telah dikumpulkan, sehingga akan menemukan hal–hal yang sangat

penting untuk diketahui yang berhubungan dengan upaya untuk

mengurangi tingkat kejadian dekubitus bagi pasien immobilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bangun, R. (2008). Hubungan Kadar Albumin Serum dan Outcome Fungsional

Penderita Stroke Iskemik dengan Diabetes. Bagian Ilmu Penyakit

Syaraf FK USU

Budiyanto, (2006). Gizi pada anak. Dasar- Dasar ilmu Gizi 2nd

edition

Universitas Muhamadiyah . UMM Press Malang.

Braden &Bergstorm,(2008) A conceptual schema for study of the etiology of

pressure sores. Rehab Nursing

Bryant, Ruth A. (2009). Acute & Chronic Wounds.Nursing management. 2nd

Edition.USA: Mosby Inc.

Fife et al. (2009). Incidence of pressure ulcers in a neurologic intensive care unit.

Diambil dari hg$=relatedarticles&logdbfrom=pubmed tanggal 10

Mei 2014 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11246307?

Govinda, (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Balai

Penerbit. FKUI

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi

Konsepdan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Kozier Barbara, (2007). Fundamental of Nursing Concept, Process

and Practice. New Yersey. USA. Multi Media.

Potter & Perry, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,

dan Praktik, Jakarta : EGC.

M.ClevoRendi, (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan Penyakit

dalam.Yogyakarta : Nuha Medika

Maklebust, (2007). Pressure Ulcer : Guidelines Prevention and Management,

Edisi 3 Lippincot William and Wilkuns USA

Mubarak W I, dan Chayatin N, (2009). Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar

dan Teori . Jakarta : Salemba Medika

Mukti, (2006). Penelusuran hasil penelitian tentang intervensi keperawatan

dalam pencegahan luka dekubitus pada orang dewasa. Jurnal

Keperawatan Indonesia

Morison, M.J. (2006). Manajemen Luka, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Notoatmodjo S, (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta Rineka

Cipta

Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodelogi Penelitian Kesehatan, Edisi. Revisi.

Jakarta : Rineka Cipta.

RidwandanAkdon, (2006). Aplikasi Statistika dan Metode Penelitian Untuk

Administrasi dan Manajemen. Bandung: Dewa Ruci.

Sabandar, (2008). Ulkus Dekubitus. Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta

Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suriadi,M. (2008). Development of a new risk assessment scale for predicting

pressure ulcer in an intensivecare unit. Journal Compilation British

Association of Critical Care Nurses

Smeltzer, S.C., Bare., B.G., Hinkle, J.L. & Cheever, K.H.,(2008). Textbook of

medical-surgical nursing: Brunner, &Suddarth’s. 11th

edition..

Philadhelpia : Lippincott Williams & Wilkins.

Vangilder C, Macfarlane G, Meyer S, Lachenbruch C.(2007). Body mass index,

weight, and pressure ulcer prevalence: an Analysis of the 2006-

2007 International Pressure Ulcer Prevalence Trade Mark

Surveys. Diambil dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/

18641521 tanggal 17 Februari 2014