hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit

37
HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEJADIAN PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI ROWOSARI 01 KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TAHUN AJARAN 2006/2007 1.1 Latar Belakang Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein sertakehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini. Dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang berkualitas (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI, 2006:1). Kebiasaan hidup kurang higienis menyebabkan angka terjadinya penyakit masih cukup tinggi. Infeksi parasit terutama parasit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi ini bisa menyebabkan morbiditas. Salah satunya banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh negative terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Infeksi cacingan yang sering adalah “Soil Transmitted Helminths”(STH) yang merupakan infeksi cacing usus yang

Upload: cheni-pathiesvika-untajana

Post on 26-Nov-2015

204 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

higiene

TRANSCRIPT

HUBUNGAN HIGIENE SANITASI DENGAN KEJADIAN PENYAKIT

CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI ROWOSARI 01

KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG

TAHUN AJARAN 2006/20071.1 Latar BelakangIndonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein sertakehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit ini. Dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang berkualitas (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI, 2006:1).

Kebiasaan hidup kurang higienis menyebabkan angka terjadinya penyakit masih cukup tinggi. Infeksi parasit terutama parasit cacing merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit infeksi ini bisa menyebabkan morbiditas. Salah satunya banyak terjadi pada anak usia anak sekolah yang berpengaruh negative terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka. Infeksi cacingan yang sering adalah Soil Transmitted Helminths(STH) yang merupakan infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau dikenal sebagai penyakit cacingan. Spesies cacingan STH antara lain Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuristrichiura (cacing cambuk), Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang) (Srisasi Ganda Husada, 2000:8).Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2%- 96,3% (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/VI, 2006:3).

Daerah endemi dengan insiden Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura tinggi salah satunya di daerah kumuh kota Jakarta, infeksi Ascari lumbricoides dan Trichuris trichiura sudah di temukan pada bayi yang berumurkurang dari satu tahun. Pada umur satu tahun Ascaris lumbricoides dapatditemukan pada 80-100% di antara kelompok-kelompok anak tersebut, untuk Trichuris trichiura angkanya lebih rendah sedikit, yaitu 70%. Usia anak yangtermuda mendapat infeksi Ascaris lumbricoides adalah 16 minggu, sedangkan untuk Trichuris trichiura adalah 41 minggu. Ini terjadi di lingkungan tempat kelompok anak berdefekasi di saluran air terbuka dan di halaman sekitar rumah (door yard infection). Karena kebiasaan seperti defekasi sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, bermain-main di tanah di sekitar rumah, maka khususnya anak balita terus menerus mendapatkan reinfeksi (Srisasi Gandahusada, 2000:24). Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Semarang menerangkan bahwa jumlah kasus kecacingan seluruh Puskesmas kota Semarang pada tahun 2005 sebanyak 671 kasus. Jumlah penderita cacingan di wilayah kota Semarang menunjukkan prevalensi tertinggi di Puskesmas Rowosari yaitu jumlah penderita yang disebabkan oleh cacing perut berjumlah 105 penderita (Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2005:77).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul Hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

1.2 Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Ingin mengetahui hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Diperolehnya data tentang angka kejadian infeksi cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota SemarangTahun Ajaran Ajaran 2006/2007.

2. Diperolehnya gambaran higiene perorangan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun ajaran 2006/2007.

3. Diperolehnya gambaran sanitasi lingkungan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamtan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

4. Diperolehnya hubungan higiene perorangan dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

5. Diperolehnya hubungan sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/ 2007.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penyakit Cacingan

Cacingan merupakan parasit manusia dan hewan yang sifatnya merugikan, manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus. Sebagian besar daripada nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diantara nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah dan disebut Soil Transmitted Helmints yang terpenting adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura (Srisasi Gandahusada, 2000:8).2.1.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

2.1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup

Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Srisasi Gandahusada, 2000:10).

Gambar 1

Daur Hidup Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

(Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/,

2006:8).

2.1.1.2 PatofisiologiMenurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006:7) disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (Mal absorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive).2.1.1.3 Gejala Klinis dan DiagnosisGejala penyakit cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofelia. Orang (anak) yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar kurang.

Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya Nampak buncit (karena jumlah cacing dan perut kembung), biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan mengurangi kemampuan belajar. Karena gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (dengan cara menghitung jumlah telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).2.1.1.4 Epidemiologi

Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).2.1.1.5 PengobatanPengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya Preparat piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI/, 2006:7).2.1.2 Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)2.1.2.1 Morfologi dan Daur HidupHospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kirakira

60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacingdewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelanbersama makanan (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No:424/MENKES/SK/VI/, 2006:10).

14

Gambar 2

Daur Hidup Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

(Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/,

2006:12).

12.1.2.2 PatofisiologiCacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi oleh banyak sebab (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:11).2.1.2.3 Gejala Klinik dan DiagnosisGejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun, dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:11).2.1.2.4 EpidemiologiKejadian penyakit (Incidens) ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Srisasi Gandahusada, 2000:15). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 320C-38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.2.1.3 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)2.1.3.1 Morfologi dan Daur HidupManusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 36 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Srisasi Gandahusada, 2000:17).

Gambar 3

Daur Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

(Sumber: Surat Keputusan Menteri Nomor: 424/MENKES/SK/VI/2006:10).

2.1.3.2 PatofisiologiCacing cambuk pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:9).2.1.3.3 Gejala Klinik dan DiagnosisInfeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk yang berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi cacing cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Srisasi Gandahusada, 2000:19).

2.1.3.4 EpidemiologiYang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagi pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk (Srisasi Gandahusada, 2000:19). Dahulu infeksi cacing cambuk sulit sekali diobati. Obat seperti tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk (Trichuris trichiura) adalah Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate (Srisasi Gandahusada, 2000:19).

2.2 Higiene SanitasiMengungkap tujuan kesehatan masyarakat untuk mencegah penyakit, memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat. Ada berbagai usaha yang dianggap penting agar dapat mencapai tujuan antara lain sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang merupakan ruang lingkup dari higiene sanitasi (Juli Soemirat Slamet, 2002:4). Higiene dan sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Indan Entjang, 2000:74).

2.2.1 HigieneDepartemen Pendidikan Nasional (2001:400) higiene adalah ilmu tentang kesehatan dan berbagai usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki kesehatan. Higiene perorangan dapat tercapai bila seseorang mengetahui pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan diri, karena pada dasarnya hygiene adalah mengembangkan kebiasaan yang baik untuk menjaga kesehatan. Menurut Budioro.B. (1997:85) Higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh lingkungan kesehatan serta membuat kondisi lingkungan sedemikian rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatannya.2.2.2 SanitasiDepartemen Pendidikan Nasional (2001:996) sanitasi adalah usaha untuk membina dan menciptakan suatu keadaan yang baik dibidang kesehatan terutama kesehatan masyarakat.

Sedangkan menurut Budioro.B. (1997:85) sanitasi adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap berbagai factor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Jadi lebih baik mengutamakan usaha pencegahan terhadap berbagai faktor lingkungan sedemikian rupa sehingga munculnya penyakit dapat dihindari. Seperti halnya di pertambangan, ancylostomiasis merupakan penyakit yang sering menjadi soal penting bagi pekerja-pekerja pertanian, perkebunan, dan

kehutanan. Untuk itu harus diusahakan higiene lingkungan dan perorangan yang baik (Sumamur, 1996:247).

2.3 Faktor Higiene Perorangan dan Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Penyakit CacinganMenurut Hendrik L. Blum yang dikutip Soekidjo Notoadmodjo (1997:146) masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat komplek, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatannya sendiri, tetapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah sehat-sakit atau kesehatan tersebut. Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi, baik individu, kelompok, maupun masyarakat, dikelompokkan menjadi empat berdasarkan urutan besarnya atau pengaruh terhadap kesehatan yaitu sebagai berikut:

lingkungan yang mencakup lingkungan (fisik, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya), perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Keempat factor tersebut di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bila mana keempat faktor tersebut bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L. Blum menjelaskan secara ringkas sebagai berikut:

1. Lingkungan yaitu karakter fisik alamiah dari lingkungan seperti iklim,keadaan tanah, dan topografi berhubungan langsung dengan kesehatan sebagaimana halnya interaksi ekonomi, budaya, dan kekuatan-kekuatan lain yang mempunyai andil dalam keadaan sehat.

2. Perilaku yaitu perilaku perorangan dan kebiasaan yang mengabaikan hygiene perorangan.

3. Keturunan atau pengaruh faktor genetik adalah sifat alami didalam diriseseorang yang dianggap mepunyai pengaruh primer dan juga sebagaipenyebab penyakit.

4. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan masyarakat dilaksanakanoleh unit pelayanan kesehatan dan pembinaan kesehatan lingkungan.

Usaha pencegahan penyakit cacingan yaitu sebagai berikut: hati-hati bila makan makanan mentah atau setengah matang terutama pada tempat-tempat dimana sanitasi masih kurang, masak bahan makanan sampai matang, selalu mencuci tangan setelah dari kamar mandi/WC, selalu mencuci tangan dengan sabun setelah bermain, sebelum memegang makanan, infeksi cacing tambang bisa dihindari dengan selalu mengenakan alas kaki, gunakan desinfektan setiap hari di tempat mandi dan tempat buang air besar.2.3.1 Faktor Higiene Perorangan2.3.1.1 Kebiasaan memakai alas kakiKesehatan anak sangat penting karena kesehatan semasa kecil menentukan kesehatan pada masa dewasa. Anak yang sehat akan menjadi manusia dewasa yang sehat. Membina kesehatan semasa anak berarti mempersiapkan terbentuknya generasi yang sehat akan memperkuat ketahanan bangsa. Pembinaan kesehatan anak dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, ayah, ibu, saudara, anggota keluarga anak itu serta anak itu sendiri. Anak harus menjaga kesehatannya sendiri salah satunya membiasakan memakai alas/sandal (Departemen Kesehatan R.I, 1990:61). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28-32 derajat celcius sedangkan untuk Ancylostoma duodenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain ialah memakai sandal atau sepatu (Srisasi Gandahusada, 2000:15).

2.3.1.2 Kebiasaan mencuci tanganAnak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jarijari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan, namun demikian sesekali orang dewasa juga perutnya terdapat cacing. Cacing yang paling sering ditemui ialah cacing gelang, cacing tambang, cacing benang, cacing pita, dan cacing kremi (E.Oswari, 1991:53).

2.3.1.3 Kebiasaan memotong kukuMenurut Departemen Kesehatan R.I (2001:100) usaha pencegahan penyakit cacingan antara lain:menjaga kebersihan badan, kebersihan lingkungan dengan baik, makanan dan minuman yang baik dan bersih, memakai alas kaki, membuang air besar di jamban (kakus), memelihara kebersihan diri dengan baik seperti memotong kuku dan mencuci tangan sebelum makan. Kebersihan perorangan penting untuk pencegahan. Kuku sebaiknya selalu

dipotong pendek untuk menghindari penularan cacing dari tangan ke mulut (Srisasi Gandahusada, 2000:30).2.3.1.4 Kebiasaan makanKebiasaan penggunaan faeces manusia sebagai pupuk tanaman menyebabkan semakin luasnya pengotoran tanah, persediaan air rumah tangga dan makanan tertentu, misalnya sayuran akan meningkatkan jumlah penderita helminthiasis. Demikian juga kebiasaan makan masyarakat, menyebakan terjadinya penularan penyakit cacing tertentu. Misalnya, kebiasaan makan secara mentah atau setengah matang, ikan, kerang, daging dan sayuran. Bila dalam makanan tersebut terdapat kista atau larva cacing, maka siklus hidup cacingnya menjadi lengkap, sehingga terjadi infeksi pada manusia (Indan Entjang, 2003:229).

2.3.2 Faktor Sanitasi Lingkungan

2.3.2.1 Kepemilikan jamban

Bertambahnya penduduk yang tidak seimbang dengan area pemukiman timbul masalah yang disebabkan pembuangan kotoran manusia yang meningkat. Penyebaran penyakit yang bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui berbagai macam jalan atau cara. Hal ini dapat diilustrasikan sebagaiberikut:

Gambar 4

Skema penyebaran penyakit melalui tinja

Makanan

minuman

sayursayuran

Tinja

Air

Tangan

Lalat

Tanah

Mati

Sakit

Host

25

(Sumber: Soekidjo Notoadmodjo, 1997:159).

Dari skema tersebut nampak jelas bahwa peranan tinja dalam penyebaran penyakit sangat besar. Di samping dapat langsung mengkontaminasi makanan, minuman, sayuran, air, tanah, serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya), dan bagian-bagian tubuh dapat terkontaminasi oleh tinja tersebut. Benda-benda yang telah terkontaminasi oleh tinja dari seseorang yang sudah menderita suatu penyakit tertentu merupakan penyebab penyakit bagi orang lain. Kurangnya perhatian terhadap pengelolaan tinja disertai dengan cepatnya pertambahan penduduk, akan mempercepat penyebaran penyakit-penyakit yang ditularkan lewat tinja. Penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain: tipus, disentri, kolera, bermacam-macam cacing (cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang, cacing pita), schistosomiasis, dan sebagainya (Soekidjo Notoadmodjo, 1997:159).

Jamban adalah bangunan untuk tempat buang air besar dan buang air kecil. Buang air besar dan buang air kecil harus di dalam jamban, jangan di sungai atau di sembarang tempat karena dapat menimbulkan penyakit.

Syarat-syarat jamban sehat adalah sebagai berikut : jamban harus mempunyai dinding dan pintu agar orang yang berada didalam tidak terlihat, jamban sebaiknya mempunyai atap untuk perlindungan terhadap hujan dan panas, cahaya dapat masuk ke dalam jamban karena cahaya matahari berguna untuk mematikan kuman, lantai terbuat dari bahan yang tidak tembus air seperti semen atu papan yang disusun rapat. Hal ini perlu agar air kotor tidak meresap ke dalam tanah dan lantai mudah dibersihkan, jamban harus mempunyai ventilasi yang cukup untuk pertukaran udara agar udara di dalam jamban tetap segar, lubang penampungan kotoran letaknya antara 10 sampai 15 meter dari sumber air bersih agar sumber air tidak tercemar, didalam jamban harus tersedia air bersih dan sabun untuk membersihkan diri., untuk jamban model cemplung lubang jamban harus mempunyai tutup yang rapat agar lalat, kecoa, dan serangga lain tidak dapat keluar masuk tempat penampungan kotoran, lubang saluran saluran air kotor pada lantai letaknya lebih rendah daripada lubang jamban, jamban sebaiknya tidak dibuat di tempat yang digenangi air. Untuk daerah rawa atau daerah yang sering banjir letak lantai jamban dibuat lebih tinggi daripada permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir, jamban sebaiknya diberi lampu untuk penerangan, lubang penampungan kotoran harus mempunyai pipa saluran udara yang cukup tinggi agar gas yang timbul dapat disalurkan ke luar.

Model dan bentuk jamban yang memenuhi syarat kesehatan antara lain :

Jamban model angsa dapat dibangun di dalam rumah secara tersendiri atau digabung dengan kamar mandi. Model ini disebut model leher angsa karena saluran kotorannya bengkok seperti leher angsa. Bila disiram dengan air, kotoran akan terdorong ke lubang penampungan tetapi masih ada sisa air yang tertinggal di dalam saluran yang bengkok tersebut. Air yang tertinggal ini menutup saluran kotoran sehingga bau yang berasal dari lubang tidak dapat keluar. Air ini juga berfungsi mencegah keluar masuknya lalat dan serangga lain ke dalam lubang penampungan kotoran.

Jamban model cemplung adalah jamban yang paling sederhana. Jamban dibangun langsung diatas lubang penampungan kotoran. Lubang penampungan kotoran digali sedalam 2 sampai 3 meter dengan lingkaran tengah kira-kira 80 cm (Suharto, 1997:5).

Menurut Depkes R.I (1995:49) pemeliharaan jamban dengan baik, adapun pemeliharaannya adalah: lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering, di sekeliling jamban hendaknya selalu bersih dan kering, tidak ada sampah berserakan. rumah jamban keadaan baik, lantai selalu bersih tidak ada kotoran yang terlihat, lalat dan kecoa tidak ada, tersedia alat pembersih, bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti.

2.3.2.2 Lantai rumahRumah sehat secara sederhana yaitu bangunan rumah harus cukup kuat, lantainya mudah dibersihkan. Lantai rumah dapat terbuat dari : Ubin, plesteran, dan tanah yang dipadatkan (Departemen Kesehatan R.I, 1990:56).

Sedangkan menurut Soekidjo Notoatmodjo (1997:149) syarat-syarat rumah yang sehat jenis lantai yang tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan. Lantai rumah dapat terbuat dari: ubin atau semen, kayu, dan tanah yang disiram kemudian dipadatkan.2.3.2.3 Ketersediaan air bersihDepartemen Kesehatan R.I (1990:57) air sehat adalah air bersih yang dapat digunakan untuk kegiatan manusia dan harus terhindar dari kuman-kuman penyakit dan bebas dari bahan-bahan kimia yang dapat mencemari air bersih tersebut, dengan akibat orang yang memanfaatkannya bisa jatuh sakit.

Akibat air yang tidak sehat dapat menimbulkan: gangguan kesehatan seperti penyakit perut (kolera, diare, disentri, keracunan, dan penyakit perut lainnya), penyakit cacingan (misalnya: cacing pita, cacing gelang, cacing kremi, demam keong, kaki gajah), gangguan teknis seperti: pipa air tersumbat pipa berkarat, bak air berlumut, gangguan dalam segi kenyamanan seperti: air keruh,air kerbau, air rasa asin atau asam, timbul bercak kecoklat-coklatan pada kloset atau WC dan westafel tempat cuci tangan yang terkena air mengandung zat besi yang berlebih.

Mengetahui tanda air bersih yaitu air bersih secara fisik dapat dibedakan melalui indera kita antara lain dapat dilihat, dirasa, dicium, dan diraba yaitu: air tidak boleh berwarna harus jernih atau bening sampai kelihatan dasar tempat air itu dan tidak boleh keruh harus bebas dari pasir, debu, lumpur, sampah, busa, dan kotoran lainnya. Air juga tidak boleh berbau harus bebas dari bahan kimia industry maupun bahan kimia rumah tangga seperti bau busuk, bau belerang, dan air harus sesuai dengan suhu sekitarnya atau lebih rendah, tidak boleh suhunya lebih tinggi.2.3.3 Faktor Lain yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Cacingan.Menurut Peter J. Hotes (2003:17) mengemukakan bahwa faktor-faktor risiko (Risk factors) yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit cacingan yang penyebarannya melalui tanah antara lain :2.3.3.1 LingkunganPenyakit cacingan biasanya terjadi di lingkungan yang kumuh terutama di daerah kota atau daerah pinggiran (Peter J. Hotes, 2003:17). Sedangkan menurut Phiri (2000) yang dikutip Peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi Ascaris lumbricoides banyak ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan menurut Albonico yang dikutip peter J. Hotes bahwa jumlah prevalensi tertinggi ditemukan di daerah pinggiran atau pedesaan yang masyarakat sebagian besar masih hidup dalam kekurangan.2.3.3.2 TanahPenyebaran penyakit cacingan dapat melalui terkontaminasinya tanah dengan tinja yang mengandung telur Trichuris trichiura, telur tumbuh dalam tanah liat yang lembab dan tanah dengan suhu optimal 30C (Depkes R.I, 2004:18). Tanah liat dengan kelembapan tinggi dan suhu yang berkisar antara 25C-30C sangat baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides sampai menjadi bentuk infektif (Srisasi Gandahusada, 2000:11).Sedangkan untuk pertumbuhan larva Necator americanus yaitu memerlukan suhu optimum 28C- 32C dan tanah gembur seperti pasir atau humus, dan untuk Ancylostoma duodenale lebih rendah yaitu 23C-25C tetapi umumnya lebih kuat (Srisasi Gandahusada, 2000:15).2.3.3.3 IklimPenyebaran Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yaitu di daerah tropis karena tingkat kelembabannya cukup tinggi. Sedangkan untuk Necator americanus dan Ancylostoma duodenale penyebaran ini paling banyak di daerah panas dan lembab. Lingkungan yang paling cocok sebagai habitat dengan suhu dan kelembapan yang tinggi terutama di daerah perkebunan dan pertambangan (Jangkung Samidjo Onggowaluyo, 2002:24).2.3.3.4 PerilakuPerilaku mempengaruhi terjadinya infeksi cacingan yaitu yang ditularkan lewat tanah (Peter J. Hotes, 2003:21).

Anak-anak paling sering terserang penyakit cacingan karena biasanya jarijari tangan mereka dimasukkan ke dalam mulut, atau makan nasi tanpa cuci tangan (E. Oswari, 1991:53).2.3.3.5 Sosial EkonomiSosial ekonomi mempengaruhi terjadinya cacingan menurut Tshikuka (1995) dikutip Peter J. Hotes (2003:22) yaitu faktor sanitasi yang buruk berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah tahun 2007 menetapkan bahwa Upah Minimum Regional untuk Kota Semarang adalah Rp. 650.000,- Diharapkan dengan penyesuaian pendapatan berdasarkan Upah Minimum Regional, dapat meningkatkan kesejahteraan hidup (Keputusan Gurbernur Jawa Tengah, 2007:6).2.3.3.6 Status GiziCacingan dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara keseluruhan (kumulatif), infeksi cacingan dapat menimbulkan kekurangan zat gizi berupa kalori dan dapat menyebabkan kekurangan protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,anemia, kecerdasan dan produktifitas kerja, juga berpengaruh besar dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Depkes R.I, 2006:6).2.4 Kerangka Teori

Berdasarkan teori-teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat disusun kerangka teoritis dalam penelitian (gambar 5).

Faktor Higiene

Kebiasaan mencuci

tangan.

Faktor Sanitasi

Kepemilikan

jamban

Lantai rumah

Faktor risiko lainnya

Lingkungan

Tanah

31

Gambar 5

Kerangka teori

Sumber: Depkes R.I (1990:61), Depkes R.I (1995:49), Depkes R.I (2001:100),

Djoko Wijono (1997), E.Oswari (1991:53), Indan Entjang (2003:229), Keputusan

Gubernur Jawa Tengah, 2007:6) Soekidjo Notoadtmodjo (1997:159), Srisasi

Gandahusada (2000:15), Suharto (1997:5).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN3.1 Kerangka Konsep

Kebiasaan

memotong kuku.

kebiasaan makan

makanan mentah.

Ketersediaan

air bersih

Penyakit

cacingan

Anemia , Berat badan menurun, SDM menurun

Iklim

Status gizi

Sosial ekonomi

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:68).

Keterangan:- - - - - = variabel dikendalikan.

Gambar 6

Kerangka Konsep

3.2 Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Suharsimi Arikunto, 2002:64).

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: Adanya hubungan higiene sanitasi dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa SDN Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

3.3 Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka konsep yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun definisi operasional (tabel 2).Tabel 2

Definisi Operasional dan Skala Pengukuran Variabel

NoVariableDefinisiCara ukurAlat ukurKategoriskala

1Kejadian

Penyakit

Cacingan

Terinfeksi

penyakit

cacing

perut

dengan

ditemukan

telur dan

larva

cacing

gelang,

cacing

cambuk,

dan cacing

tambangPemeriksaan

laboratoriumTeknik

Kato

1. Tidak

sakit, tidak

ditemukan

telur

maupun

larva pada

tinja

mempunyai

skor 1.

2. Sakit,

ditemukan

telur dan

larva pada

tinja

mempunyai

skor 2.

Ordinal

2Mencuci

tangan

Kebiasaan

mencuci

tangan

sebelum

makanObservasi

dan

pengisian

kuesionerkuesionerordinal

3Kebiasaan

potong

kukuMemotong

kuku dan

membersihkan

secara teratur

sehingga tidak

ada kotoran

hitam

disekitar kuku

walaupun

kuku tersebut

pendek.

Observasi

dan

pengisian

kuesionerkuesionerTidak = 1

Ya=2

Ordinal

4Kebiasaan

makan

Kebiasaan

makan secara

mentah yang

tidak dicuci

atau setengah

matang, ikan,

kerang, daging,

dan sayuranObservasi

dan

pengisian

kuesioner

Kuesioner

Tidak = 1

Ya=2

Ordinal

5Kepemilikan

jambanJamban

meliputi

jumbleng

atau WC

leher angsa.Observasi

dan

pengisian

kuesioner

Kuesionerordinal

6Jenis lantai

rumahLantai yang

tidak

mudah

menyerap

air dan

mudah

dibersihkanObservasi

dan

pengisian

kuesioner

Kuesioner

ordinal

7Ketersediaan

air bersih

Air yang

tidak

berwarna,

berbau, dan

tidak berasa

yang

digunakan

dalam

pemenuhan

kebutuhan

sehari-hari.

Observasi

dan

pengisian

kuesioner

Kuesioner

ordinal

3.4 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek dan subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2004:55). Populasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007 yang berjumlah 251 siswa.

3.5 Sampel PenelitianSampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2004:56). Sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus sebagai berikut :3.6.1 Kriteria Inklusi

1. Siswa kelas kelas 3 sampai dengan kelas 5 Sekolah Dasar Negeri Rowosari Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

2. Bertempat tinggal di wilayah atau di sekitar Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007.

3. Mempunyai status gizi yang baik.

4. Pendapatan orang tua atau mempunyai penghasilan di bawah Upah Minimum Regional Kota Semarang tahun 2007. Upah Minimum Regional Kota Semarang Tahun 2007 sebesar Rp 650.000,00 (Keputusan Gurbernur Jawa Tengah, 2007:6).

5. Bersedia menjadi responden

3.6.2 Kriteria Eksklusi1. Siswa kelas 1, 2, dan 6 SDN Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun 2007.

2. Tidak bersedia menjadi responden3.7 Rancangan PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan secara cross sectional. Survey cross sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi dan pengumpulan data sekaligus pada suatu saat Point time approach (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:145).3.8 Instrumen PenelitianInstrumen penelitian adalah alat yang akan digunakan untuk memperoleh data penelitian, instrumen dalam penelitian ini yaitu uji laboratorium, kuesioner, timbangan injak, dan mikrotoa (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:48).

3.9 Teknik Pengambilan DataMetode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:3.9.1 Uji LaboratoriumPemeriksaan tinja untuk mendapat informasi yang lebih akurat mengenai infeksi cacing perut. Dalam penelitian ini pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik Kato (Pinardi Hadidjaja, 1994:10).

Teknik ini kaca tutup diganti dengan selembar selofan atau cellopane tape. Dengan teknik ini lebih banyak telur cacing yang dapat ditemukan, oleh karena tinja yang dipakai lebih banyak. Selain itu sediaan dapat disimpan beberapa hari (Pinardi Hadidjaja, 1994:10).Bahan yang diperlukan :

1. Kaca benda

2. Lembar selofan berukuran 2-5 x 3 cm

3. Kertas saring

4. Larutan gliserin-hijau malakit :

100 bagian aquades (atau 6% fenol)

100 bagian gliserin

1 bagian larutan hijau malakit 3 %

5. Batang aplikator bambu

Cara kerja pemeriksaan tinja dengan teknik Kato :1. Rendam selembar selofan dalam larutan gliserinhijau malakit selama lebihdari 24 jam

2. Ambil tinja dengan aplikator sebanyak 50-60 mg (sebesar kacang kedelai)

3. Letakkan di atas kaca benda, kemudian tutup dengan selofan yang sudah di

rendam, dan tekan selofan dengan kaca benda atau tutup botol karet agar tinja menyebar di bawah selofan

4. Keringkan larutan yang berlebihan dengan kertas saring

5. Diamkan sediaan selama 1 jam pada suhu kamar atau 20-30 menit dalaminkubator dengan suhu 40 derajat celcius6. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah.

3.9.2 Kuesioner

Daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik dimana responden (dalam hal ini angket) dan interview (dalam hal wawancara) tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:116).

Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan data higiene perorangan dan sanitasi lingkungan dengan kejadian penyakit cacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/ 2007.3.9.2 Status GiziPengukuran status gizi sampel dengan menggunakan timbangan berat badan dan pengukur tinggi badan. Perhitungan status gizi dilakukan dengan menggunakan rumus yaitu persen (%) terhadap median, dengan rumus persen (%) terhadap median= (Observed/Median)x100% (I Dewa Nyoman Supariasa, 2002:69). Kategori status gizi BB/TB dengan buku rujukan WHO-NHCS (table 3).

Gizi baik< 90%

Gizi sedang 81-90%

Gizi kurang71-80%

Gizi Buruk70%

Sumber: I Dewa Nyoman Supariasa, 2002:70).3.10 Validitas dan Reliabilitas3.10.1 ValiditasValiditas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar mengukur apa yang diukur (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:129). Validitas dari alat pengumpul data sangat diperlukan agar alat pengumpul data tersebut memberikan data yang valid.

Bang rumusnyaKesesuaian harga rxy diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan rumus di atas disesuiakan dengan tabel harga regresi product moment dengan koreksi harga rxy besar atau sama dengan regresi tabel, maka butir instrument tersebut tidak valid. Setelah dilakukan uji coba kuesioner pada 21 responden, diperoleh rhitung = 0,892 artinya rhitung lebih besar dari rtabel = 0,433.3.10.2 ReliabilitasReliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran ini tetap konsistensi atau tetap bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:129).

Reliabilitas instrumen memiliki pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk dapat digunakan sebagai alat pengumpul data, karena instrumen tersebut dianggap baik. Instrumen yang dipercaya kebenarannya untuk mengetahui reliabilitas dari penelitian dengan metode kuesioner menggunakan rumus alpha, sebagai berikut:

Bang rumusnyaKategori Keterangan

12

0,00-0.20Reabilitas rendah

>0,20-0,40Agak rendah

>0,40-0,60Cukup

>0,60-0,80Reliable

>0,80-1,00Sangat reliable

3.11 Analisis Data3.11.1 Pengolahan DataPengolahan data yang dilakukan antara lain:1). Editing dat dan kuesioner yang telah diisi.

2). Pengkodean jawaban dari responden.

3). Penentuan variabel yang akan dihubungkan.

4). Pemasukan data ke perangkat komputer.

5). Pembuatan tabel.33

No Variabel Definisi Cara Ukur

Alat

Ukur

Kategori Skala

1 2 3 4 5 6 7

1.

.

.

Lanjutan (tabel 2)

34

1 2 3 4 5 6 7

2.

.

Kuesioner

1. Tidak, jika

jumlah skor

< 11.6

2. Ya, jika

jumlah skor

11.6

n

f x

x

. =

Ordinal

3. Kuesioner

4. Lanjutan (tabel 2)

35

1 2 3 4 5 6 7

5. 1. Tidak, jika

jumlah skor 0,80-1,00 Sangat reliabel

(Sumber: Tirton Purwa Budi, 2003:248)

Setelah dilakukan uji coba kuesioner pada 21 responden, diperoleh Alpha

cronbach 0,892, berdasarkan (tabel 4) maka instrumen yang dinyatakan sangat

reliabel.

43

3.11 Analisis Data

3.11.1 Pengolahan Data

Pengolahan data yang dilakukan antara lain:

1). Editing dat dan kuesioner yang telah diisi.

2). Pengkodean jawaban dari responden.

3). Penentuan variabel yang akan dihubungkan.

4). Pemasukan data ke perangkat komputer.

5). Pembuatan tabel.Variabel bebas

Higiene

1. Mencuci tangan

2. Potong kuku

3. Makanan mentah

Sanitasi

5. Kepemilikanjamban

6. Lantai rumah

7. Ketersediaan air bersih

VariabelPengganggu

1. Sosial Ekonomi

2. Status Gizi

Variabel terikat

Kejadian penyakit cacingan