hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral …eprints.ums.ac.id/50232/23/naspub_marlina.pdf ·...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI ORAL
KOMBINASI DENGAN KEJADIAN MELASMA
DI KECAMATAN GROGOL SUKOHARJO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I
Pada Pendidikan Dokter Fakultas Kedoketran
Oleh:
MARLINA ELVIANA
J500130010
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
i
ii
iii
1
HUBUNGAN ANTARA PENGGUNAAN KONTRASEPSI ORAL
KOMBINASI DENGAN KEJADIAN MELASMA
DI KECAMATAN GROGOL SUKOHARJO
Abstrak
Latar belakang: Melasma merupakan kelainan pigmentasi akibat peningkatan
jumlah melanin di dalam epidermis maupun dermis berupa patch yang tidak rata
dan berwarna coklat muda sampai coklat tua. Faktor penyebab melasma antara
lain estrogen dan progesteron yang terdapat pada pil KB kombinasi. Tujuan:
Mengetahui hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan
kejadian melasma. Metode: Jenis penelitian ini adalah observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner
dan didiagnosa langsung oleh dokter spesialis kulit dan kelamin kemudian dinilai
skor MASI. Teknik analisa data menggunakan uji statistik Contingency
Coefficient. Hasil: Dari 30 orang yang menggunakan kontrasepsi oral, 33,3%
mengalami melasma dan 16,7% tidak melasma, sedangkan dari 30 orang yang
tidak menggunakan kontrasepsi oral, 15% mengalami melasma dan 35% tidak
melasma. Berdasarkan analisa data diketahui terdapat hubungan antara
penggunaan kontrasepsi oral dengan kejadian melasma dengan nilai p yaitu 0,000
(p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral
kombinasi dengan kejadian melasma.
Kata kunci: kontrasepsi oral kombinasi, melasma, skor MASI, estrogen,
progesteron
Abstract
Back ground: Melasma is a pigmentation disorder due to the increased of melanin
in the epidermis and dermis as a patch of uneven and the color is light brown to
dark brown. Causative factor of melasma included estrogen and progesterone
contained in the combined oral contraceptive pill. Objective: To understanding
the relationship between the usage of the combined oral contraceptive and
melasma. Methods: The type of this research is observational analytic and it uses
cross sectional approach. Within this research, there are few measuring
instruments are used namely questionnaires and direct diagnosed by a
dermatologist and then it is assessed based on MASI score.The data analysis
using statistical test which is contingency coefficient. Result: From 30 people who
used oral contraceptive, 33,3% were melasma and 16,7% were not have
melasma. Meanwhile, from 30 people were not used the combined oral
contraceptive, 15% were melasma and 35% were not have melasma. Based on the
data, there was a relationship between the usage of the combined oral
contraceptive and melasma with p value 0,000 (p<0,05). Conclusion: There was
a relationship between the usage of the combined oral contraceptive and
melasma.
Key words: the combined oral contraceptive, melasma, MASI score, estrogen,
progesterone
2
1. PENDAHULUAN
Kontrasepsi oral merupakan salah satu dari alat kontrasepsi yang
banyak digunakan oleh para perserta Keluarga Berencana. Hal tersebut
terungkap dari data KB aktif melalui mini survei oleh Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun
2005, yang menyatakan bahwa prevalensi pengguna KB di Indonesia
sebesar 66,2%. Dimana pengguna kontrasepsi pil sebesar 17%. Menurut
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, penggunaan kontrasepsi pil
sebesar 12,8%. Sedangkan hasil Survei Demograf Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012, pengguna kontrasepsi pil sebesar 14% (Pangaribuan dan
Lolong, 2015). Menurut World Health Organization (WHO), tahun 2009
hampir 380 juta pasangan yang menjalankan program KB (Keluarga
Berencana) dan 65-75 juta diantaranya di negara bekembang
menggunakan kontrasepsi hormonal yaitu pil KB. Menurut data dari
BKKBN provinsi Jawa Tengah pada bulan April 2012, jumlah akseptor
KB aktif sebanyak 5.287.343 peserta (Purwaningsih dan Kusumah, 2014).
Damayanti melaporkan bahwa pada tahun 2006-2008 kontrasepsi
dan kehamilan disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
timbulnya melasma. Hiperpigmentasi pada wanita yang mengkonsumsi
kontrasepsi hormonal tidak akan hilang sampai obat dihentikan.
Penggunaan pil KB seringkali dihubungkan dengan kejadian melasma. Hal
ini dikaitkan dengan adanya estrogen dan progesteron. Estrogen dan
progesteron akan meningkatkan transkripsi gen penyusun enzim
Dopachrome tautomerase (DCT) dan tirosinase yang berperan pada proses
melanogenesis. Melanosit mempunyai reseptor estrogen yang bila aktif
akan membuat melanosit menjadi hiperaktif (Umborowati dan
Rahmadewi, 2014).
Melasma paling sering pada pasien berkulit gelap dengan jenis
kulit Fitzpatrick IV-VI, yang tinggal di daerah terkena radiasi ultraviolet
dengan intensitas tinggi. Hal ini lebih umum pada ras Hispanik, Asia dan
keturunan Afrika. Usia onset biasanya antara 30-55 tahun dan penyakit ini
3
jarang ditemukan pada masa pubertas atau pasca menopause (Bagherani et
al., 2015).
Insidensi melasma tidak di ketahui, tetapi kejadiannya lebih
dominan pada wanita dan pada pria angka kejadiannya hanya 10% kasus.
Melasma dapat mengenai semua ras terutama pada penduduk yang tinggal
di daerah yang tropis. Di Indonesia perbandingan kasus wanita dan pria
adalah 24:1. Terutama tampak pada wanita usia subur dengan riwayat
langsung terkena paparan sinar matahari (Pravitasari dan Setyaningrum,
2012).
Melasma merupakan salah satu dari masalah kulit yang sering
terjadi, sekitar 0,25% sampai 4% ditemukan pada pasien di klinik
dermatologi Asia Tenggara. Angka kejadian ini dapat berbeda pada tiap
daerah, bergantung dari letak geografik (Effendy dan Setyaningrum,
2015).
Berdasarkan hasil penelitian Rahayu mengenai perbandingan
penggunaan pil KB kombinasi suntik KB DMPA terhadap kejadian
melasma di Dusun Petoran, Jebres, Surakarta didapatkan hasil bahwa
responden yang paling banyak mengalami melasma adalah responden
pengguna pil KB kombinasi yaitu sebanyak 21,67% dan yang paling
sedikit mengalami melasma adalah responden pengguna suntik KB DMPA
yaitu sebanyak 16,67% dan survei yang dilakukan oleh Ortone terhadap
324 wanita di sembilan klinik di seluruh dunia ditemukan onset melasma
sebanyak 25% kasus setelah penggunaan kontrasepsi oral. Dikarenakan
dari penelitian sebelumnya mengenai perbandingan penggunaan pil KB
kombinasi suntik KB Depot Medroxy Progesterone Acetate (DMPA)
terhadap kejadian melasma di Dusun Petoran, Jebres, Surakarta maka
peneliti ingin melakukan penelitian yang lebih spesifik mengenai
hubungan dari penggunaan kontrasepsi oral yang menyebabkan kejadian
melasma di kecamatan Grogol, Sukoharjo.
Berdasarkan beberapa tulisan yang menyatakan bahwa
perkembangan melasma dikaitkan dengan pemakaian kontrasepsi oral, hal
4
ini dikaitkan dengan adanya estrogen dan progesteron yang terdapat di
kontrasepsi oral yang dikaitkan dengan patogenesisnya maupun hasil
penelitian mengenai melasma dan pengaruh dari kontrasepsi oral yang
hasilnya masih variatif. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti
hubungan penggunaan kontasepsi oral dengan kejadian melasma di
kecamatan Grogol, Sukoharjo.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional
analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mempelajari hubungan
antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan kejadian melasma.
Sampel pada penelitian ini adalah wanita usia subur di kecamatan Grogol,
Sukoharjo yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dan bersedia
menjadi responden penelitian.
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling,
dimana sampel diambil berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan oleh
peneliti (Notoatmodjo, 2012). Instrumen pada penelitian ini adalah data
primer dari kuisioner dan diagnosis langsung oleh dokter spesialis kulit
dan kelamin.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Data Karakteristik Responden
Tabel 1. Data Usia Responden
Usia Jumlah %
30-40 tahun 38 63,3%
41-50 tahun 22 36,7%
Total 60 100%
Sumber: Data Primer
Tabel 2. Data Melasma Responden
Melasma Jumlah %
Ya 29 48,3%
Tidak 31 51,7%
Total 60 100%
Sumber: Data Primer
5
Tabel 3. Data Melasma Berdasarkan Usia dan Penggunaan Kontrasepsi Oral
Kombinasi
Usia Penggunaan Pil KB
Kombinasi
Total
%
Status Melasma Total
%
Ya Tidak Ya Tidak
30-40 tahun 15 23 38 11 27 38
% 25% 38,3% 63,3% 18,3% 45% 63,3%
41-50 tahun 15 7 22 18 4 22
% 25% 11,7% 36,7% 30% 6,7% 36.7%
Jumlah sampel total
%
60
100%
Sumber: Data Primer
a) Data karakteristik usia
Tabel 4. Distribusi Melasma Berdasarkan Usia
Usia Skor MASI
Tidak
Melasma Ringan Sedang Berat
Total
30-40 tahun 25 10 1 2 38
% 41,7% 16,7% 1,7% 3,3% 63,3%
41-50 tahun 6 5 7 4 22
% 10% 8,3% 11,7% 6,7% 36,7%
Jumlah sampel total 60
% 100%
Sumber: Data Primer
6
b) Data karakteristik penggunaan kontrasepsi oral kombinasi
Tabel 5. Distribusi Melasma Berdasarkan Penggunaan Kontrasepsi Oral
Kombinasi
Penggunaan
Kontrasepsi
Oral
Skor MASI
Total
Tidak
Melasma
Ringan Sedang Berat
Ya 10 6 8 6 30
% 16,7% 10% 13,3% 10% 50%
Tidak 21 9 0 0 30
% 35% 15% 0% 0% 50%
Total 60
% 100%
Sumber: Data Primer
3.2. Hasil Analisis Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Oral
Kombinasi Dengan Kejadian Melasma
Tabel 6. Cross Tabulation Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan
Kontrasepsi Oral Kombinasi dengan Kejadian Melasma
Penggunaan Kontrasepsi
Oral
Skor MASI
Tidak
Melasma
Ringan Sedang Berat Total
Ya Count 10 6 8 6 30
Expected
Count
15.5 7.5 4 3 30
Tidak Count 21 9 0 0 30
Expected
Count
15.5 7.5 4 3 30
Total
Count 60
Expected Count 60
Sumber: Data Primer
Tabel 7. Hasil Analisis Data Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Oral
Kombinasi dengan Kejadian Melasma
Value Exact Sig. (2-sided)
Contingency Coefficient 0,485 0,000
N of Valid Cases 60
Sumber: Data Primer
7
3.3. Hasil Uji Nilai Kappa
Tabel 8. Nilai Kappa
Kappa
Nilai Approx. Sig.
0,783 0,011
Sumber: Data Primer
Dari hasil uji analisis diatas, uji korelasi yang digunakan adalah
Contingency Coefficient. Nilai signifikansi adalah p= 0,000 (<0,05) artinya
terdapat hubungan antara penggunaan kontrasepsi oral kombinasi dengan
kejadian melasma.
Pengertian melasma merupakan hipermelanosis simetris dapat
berupa patch yang tidak rata kadang berwarna coklat muda sampai coklat
tua (Soepardiman, 2010). Melasma sering disebut sebagai salah satu
kelainan pigmentasi akibat peningkatan jumlah sel melanin di dalam
epidermis maupun dermis (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Melasma
biasanya terjadi pada area wajah yang terkena paparan sinar matahari
langsung (Lapeere et al., 2008).
Melasma dapat mengenai seluruh kelompok ras dan sering
dijumpai pada orang yang hidup di daerah dengan radiasi UV tinggi
seperti Asia dan Hispanik (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Wanita
pada usia pertengahan atau usia subur dengan riwayat penggunaan
kontrasepsi lebih sering menderita melasma, insidensi terbanyak melasma
pada usia 30-44 tahun. Beberapa faktor dapat menyebabkan melasma
seperti penggunaan hormon yang terdapat pada pil KB (Soepardiman,
2010).
Dalam penelitian ini diagnosis melasma ditegakkan dengan
pengambilan foto pada wajah responden kemudian dinilai nilai kappa
menggunakan disagreement intra observer oleh dokter spesialis kulit dan
kelamin. Kemudian nilai kappa diukur dan didapatkan nilai kappa sebesar
0,783 yang berarti kuat (substantial). Setelah dilakukan penilaian nilai
kappa kemudian dihitung derajat dari melasma menggunakan skor MASI.
8
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa kelompok usia responden
terbanyak adalah usia 30-40 tahun, yaitu 38 (63,3%) responden dan paling
sedikit berusia 41-50 tahun, yaitu 22 (36,7%). Kelompok usia responden
yang paling banyak mengalami melasma berat adalah 41-50 tahun, yaitu 4
(6,7%) responden, melasma sedang adalah 41-50 tahun sebanyak 7
(11,7%) responden, melasma ringan adalah 30-40 tahun sebanyak 10
(15%) responden, dan tidak melasma adalah 30-40 tahun sebanyak 25
(41,7%) responden
Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa melasma
paling sering mengenai wanita usia subur yaitu sekitar usia antara 20-50
tahun (Umborowati dan Rahmadewi, 2014). Pada usia tersebut menurut
Luluilmaknun dan Wulandari wanita subur banyak menggunakan KB
untuk menekan angka kelahiran dan menentukan jumlah anak
(Luluilmaknun dan Machmudah, 2104). Pada penelitian yang dilakukan
Wulandari dan Kusumaningrum pada tahun 2013 di desa Glanggang
Gresik frekuensi usia 40-49 tahun yang mengalami melasma didapatkan
45,5%. Data yang didapatkan dari pasien baru melasma di Divisi Kosmetik
Medik Unit Rawat Jalan (URJ) Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo
Surabaya pada tahun 2009-2011 didapatkan wanita kelompok usia
terbanyak pada usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 43,0%.
Berdasarkan tabel 5 menunjukkan bahwa yang paling banyak
mengalami melasma berat yaitu pengguna kontrasepsi oral kombinasi
sebanyak 6 (10%) responden, melasma sedang yaitu pengguna kontrasepsi
oral sebanyak 8 (13,3%) responden, melasma ringan yaitu responden yang
tidak menggunakan kontrasepsi oral sebanyak 9 (15%), dan tidak
mengalami melasma yaitu responden yang tidak menggunakan kontrasepsi
oral kombinasi sebanyak 21 (35%) responden.
Hal ini sesuai dengan teori bahwa terdapat hormon yang terkandung
didalam pil KB yaitu hormon estrogen dan progesteron. Menurut Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) zat yang terdapat pada hormon
estrogen yang biasa digunakan dalam pil KB adalah etinilestradiol,
9
sedangkan zat yang terdapat pada hormon progesteron yang biasa
digunakan antara lain desgestrel, drospirenon, gestoden, norethisteron,
norgestimat, dan levonorgestrel (InfoPOM, 2012). Estrogen berperan
langsung pada melanosit sebagai salah satu reseptornya di kulit dan
meningkatkan jumlah melanin dalam sel, sedangkan progesteron
meningkatkan penyebaran melanin di dalam sel. Kemudian estrogen dan
progesteron juga akan meningkatkan transkripsi gen penyusun enzim
Dopachrome tautomerase (DCT) dan tironase yang berperan dalam proses
melanogenesis. Melanosit memiliki reseptor estrogen yang bila aktif akan
membuat melanosit menjadi hiperaktif (Umborowati dan Rahmadewi,
2014; Yani, 2008). Pada pengguna kontrasepsi oral kombinasi setiap
harinya akan terpapar oleh hormon estrogen dan progesteron sehingga
semakin memacu proses melanosit serta meningkat penyebaran melanosit
didalam sel sehingga mempengaruhi timbulnya melasma (Umborowati dan
Rahmadewi, 2014). Hal ini dikarenakan penggunaan kontrasepsi oral
kombinasi secara rutin dan dalam jangka waktu yang lama yaitu lebih dari
2 tahun akan mengakibatkan penumpukan dari hormon estrogen dan
progesteron sehingga akan mempengaruhi timbulnya hiperpigmentasi
(Wulandari dan Kusumaningrum,2013). Selain faktor hormonal terdapat
beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan melasma seperti paparan
dari sinar ultra violet (UV), penggunaan obat-obatan sistemik, genetik, ras,
kosmetik yang mengandung pemutih, dan idiopatik (Soepardiman, 2010).
Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktarina
pada tahun 2012 didapatkan responden yang menggunakan kontrasepsi
oral mengalami melasma sebanyak 18,6%, dan penelitian yang dilakukan
Suhartono pada tahun 2001 prevalensi melasma pada pengguna
kontrasepsi oral sebanyak 35,3% sedangkan pada pengguna suntik
prevalensi melasma sebanyak 28,7%.
10
4. PENUTUP
Kesimpulan
Hasil dari penelitian di kecamatan Grogol Sukoharjo didapatkan
hasil yang menunjukan bahwa kontrasepsi oral kombinasi secara statistik
memiliki hubungan dengan kejadian melasma.
Persantunan
Ucapan terima kasih penulis kepada Ibu Ambar Respatty selaku
ibu lurah dan ketua PKK dari desa Kwarasan Grogol, Sukoharjo yang
telah memerikan izin untuk melakukan penelitian ini dan bapak Saryono
beserta keluarga yang telah bersedia membantu dan bekerja sama dalam
penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan baik. Kepada DR.
dr. E.M. Sutrisna, M.Kes, dr. Flora Ramona S.P, M.Kes., Sp.KK., dan dr.
Ratih Pramuningtyas, Sp.KK yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, masukan dan saran yang sangat penting bagi
skripsi ini mulai dari awal pengajuan hingga skripsi ini selesai.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, B., Adriaansz, G., Gunardi, E.R. Koesno, H. 2012. Buku Panduan
Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. hal. 30-33.
Anisa, S.N., Kartikasari, R.I. 2014. Hubungan Kepatuhan Akseptor KB Pil
dengan Keberhasilan Pencegahan Kehamilan di BPS Ertin Jupri
W.,Amd.Keb Desa Solokuro Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.
02:16-17.
Bagherani, N., Gianfaldoni, S., Smoller, B. 2015. An Overview on Melasma.
Journal of Pigmentary Disorders. 2:1.
Brown, R.G., Burns, T. 2005. Lectures Notes Dermatologi edisi Kedelapan.
Jakarta: Penerbit Erlangga. hal. 131.
Daili, E.S., Menaldi, S. L., Wisnu, I. M. 2005. Penyakit Kulit Yang Umum di
Indonesia. Jakarta Pusat: PT Medical Multimedia Indonesia. hal. 87.
Davis, E.C., Callender, V.D. 2010. Postinflammatory Hyperpigmentation A
Review of the Epidemiology Clinical Features, and Treatment Options in
Skin Color. the Journal of Clinical and Aesthetic Dermatology. 3:25.
11
Effedy, Z.F., Setyaningrum, T. 2015. Penelitian Retrospektif: Penggunaan
Pengelupasan Kimiawi Jessner Modifikasi pada Melasma. Periodical of
Dermatology and Venereology, 27:107.
Fitriyani., Djuwita, R. 2013. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Pil dengan Usia
Menopause. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8:188.
Hartiningsih, I. 2015. Krim Ekstrak Etanol Kulit Batang Pohon Nangka
(Arthocarpus Heterophilus) Sama Efektifnya Dengan Krim Hidrokuinon
Dalam Mencegah Peningkatan Jumlah Melanin Pada Kulit Marmut (Cavia
Porcelus) yang Dipapar Sinar UVB. Universitas Udaya Denpasar. PhD
Thesis
InfoPOM. 2012. Kontrasepsi Oral: Mengenal Manfaat dan Risikonya. Jakarta.
Kabulrachman. 2000. Kelainan Pigmen, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit. Edisi
Pertama. Jakarta: Hipokrates. hal.148-149.
Kundel, H.L., Polansky, M. 2003. Measurement of Observer Agreement.
Radiology, 208:303-304.
Lapeere, H., Boone, B., Schepper, S.D., Verhaeghe, E., Ongenae, K., Geel, N.V.,
Lambert, J., Brochez, L., Naeyaert, J.M. 2008. Hypomelanoses and
Hypermelanoses, Dalam : Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.
Edisi Ketujuh. New York: The McGraw-Hill Companies,Inc. hal. 662.
Luluilmaknun, K., Machmudah. 2014. Analisis Alasan Wanita Usia Subur (WUS)
Dalam Memilih Metode Kontrasepsi di Puskesmas Bandarharjo Semarang.
Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan. 1:2.
Melyawati., Nilasari, H., Sirait, S.P., Rihatmadja, R., Soebaryo, R.W. 2014.
Korelasi Klinikopatologis Pada Kelainan Kulit Hiperpigmentasi. MDVI.
41 :170-174.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta. hal.125-127.
Oktarina, P.D., 2012. Faktor Risiko Penderita Melasma. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Pandya, A., Berneburg, M., Ortonne, J.P., Picardo, M. 2007. Guidelines For
Clinical Trials in Melasma. British Journal of Dermatology. 1 :21-28.
Pangaribuan, L., Lolong, D.B. 2015. Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Pil
Dengan Kejadian Hipertensi Pada Wanita Usia 14-59 Tahun di Indonesia
Tahun 2013 (Analisis Data RISKESDAS 2013). Media Litbangkes. 25:2.
12
Pravitasari, D.N., Setyaningrum, T., 2012. Chemical Peeling on Melasma.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 24:56.
Purwaningsih, E., Kusumah, Y. 2014. Hubungan Pengetahuan Akseptor KB Pil
Oral Kombinasi Dengan Kepatuhan Dalam Mengkonsumsi KB Pil di Desa
Karang Kecamatan Delanggu Klaten. Jurnal Involusi Kebidanan. 4:12-13.
Ribas, J., Cavalcante, M.D.S.M., Schetitini, A.P.M. 2010. Exogenous ochronosis
hydroquinone induced: a report of four cases. An Bras Dermatol. 85 :699-
703.
Sari, A.A.I.A.N. 2014. Kadar Malondialdehid Serum Berkolerasi Positif Dengan
Melasma Area and Severity Index. Universitas Udaya. PhD Thesis.
Sarkar, R., Arora, P., Garg, V.K., Sonthalia, S., Gokhale, N. 2016. Melasma
Update. Indian Dermatology Online Journal. 5:427.
Siregar, R.S. 2013. Saripati Penyakit Kulit. Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. hal 250.
Soepardiman, L., 2010. Kelainan Pigmen, Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal.289-291.
Umborowati, M.A., Rahmadewi. 2014. Studi Retrospektif: Diagnosis dan Terapi
Pasien Melasma. Periodical of Dermatology and Venereology. 26:56-60.
Wulandari, F., Kusumaningrum, T.A. 2013. Perbedaan KB Suntik Depomedroxi
Progesteron Asetat (DMPA) Dan Pil Kombinasi Terhadap Terjadinya
Cloasma Pada Akseptor KB di Desa Glanggang Kecamatan Duduk
Sampeyan Kabupaten Gresik. 03:57.
Yani, M.S. 2008. Hubungan Faktor-Faktor Resiko Terhadap Kejadian Melasma
Pada Pekerja wanita Penyapu Jalan di Kota Medan Tahun 2008. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. PhD Thesis
Younes, A.K., Mohammed, E.E., Tawfik, K.M., Mohamed, R.R., Abdo, Y. 2015.
The Effect of 3 Sessions of Q Switched Neodymium: Yttrium–
Aluminum– Garnet Laser in the Treatment of Freckles. Pigmentary
Disorders. 2:1.