hubungan antara kebersihan diri dengan adanyarepository.ub.ac.id/8469/1/hilda adina eriawan.pdf ·...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA KEBERSIHAN DIRI DENGAN ADANYA
S.AUREUS DAN MRSA PADA SWAB HIDUNG ANAK KELAS 2 DAN 3
DI SDN LOWOKWARU 4 MALANG
TUGAS AKHIR
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
OLEH :
HILDA ADINA ERIAWAN NIM 145070107111060
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan ii
Pernyataan Keaslian Tulisan iii
Kata Pengantar iv
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Gambar xi
Daftar Tabel xii
Daftar Lampiran xiii
Daftar Simbol, Singkatan, dan Istilah xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 5
1.3 Tujuan 6
1.4 Manfaat 6
1.4.1 Manfaat Keilmuan 6
1.4.2 Manfaat Aplikatif 6
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebersihan diri (personal hygiene) 7
2.1.1 Definisi Kebersihan diri 7
2.1.2 Usaha kebersihan diri 7
2.2.Staphylococcus aureus 10
2.2.1 Definisi 10
2.2.2 Struktur S.aureus 10
2.3 MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) 11
2.3.1 Definisi MRSA 11
2.3.2 Cara penyebaran 12
2.3.3 Faktor resiko 13
2.3.4 Patogenesis Infeksi 14
2.3.5 Mekanisme resistensi 17
2.4 Antibiotik 18
2.4.1 Definisi Antibiotik 18
2.4.2 Mekanisme kerja 19
2.4.3 Golongan antibiotik 19
2.5.Uji MRSA 21
2.5.1 Metode kultur isolat bakteri 21
2.5.2 Metode tes katalase 22
2.5.3 Metode tes koagulase 23
2.5.4 Metode uji kepekaan antibiotik 23
2.6 Terapi dan Pencegahan 24
2.6.1 Antimikroba untuk terapi MRSA 24
2.6.2 Pencegahan (preventif) 27
BAB 3. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep 29
3.2 Hipotesis Penelitian 30
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian 31
4.2 Sampel Penelitian 31
4.3 Variabel Penelitian 32
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 32
4.5 Definisi Operasional 33
4.6 Alat dan Bahan penelitian 34
4.7 Prosedur Penelitian 35
4.8 Analisis Data 38
4.9 Alur Diagram Penelitian 39
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Penelitian 40
5.1.1 Karakteristik dasar 40
5.1.2 Hasil Uji Sensitifitas Antibiotik 41
5.2 Analisis Data 42
5.2.1 Hasil Uji Regresi Logistik 42
5.2.2 Hasil Uji Kruskal Wallis 44
5.2.3 Hasil Uji Mann Whitney 45
BAB 6 PEMBAHASAN 47
BAB 7 PENUTUP
7.1 Kesimpulan 50
7.2 Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 54
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN 67
ABSTRAK
Adina, Hilda. 2017. Hubungan Antara Kebersihan Diri Dengan Adanya S.aureus dan MRSA Pada Swab Hidung Anak Kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang. Tugas Akhir, Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pembimbing : (1) Prof. Dr. dr. Noorhamdani AS, Sp. MK (K) (2) dr. Dewi Indiastari, Sp. PD.
Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri penyebab Infeksi tersering di dunia. MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) merupakan strain Staphylococcus aureus yang telah resisten terhadap aktivitas antibiotik golongan β-laktam dan antibiotik non-β-laktam. Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat supaya tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Bakteri ini dapat ditularkan antar manusia melalui kontak langsung dengan kulit yang terinfeksi maupun transmisi melalui udara. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kebersihan diri dengan adanya S.aureus dan MRSA pada swab hidung. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif research dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil swab hidung anak SDN Lowokwaru 4 malang kelas 2 dan 3. Sampel diambil dengan metode stratified sampling. Hasil swab hidung diteliti di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya periode Juli 2017- Agustus 2017. Didapatkan Jumlah Isolat Staphylococcus aureus sebanyak 19 orang dari 66 orang. Dari uji sensitifitas antibiotik cefoxitin dari 19 isolat didapatkan diameter zona hambat ≥22mm berarti bakteri S.aureus tersebut sensitive terhadap antibiotik cefoxitin, sehingga hasil dari penelitian tidak didapatkan MRSA. Analisis data penelitian menggunakan uji Kruskal Wallis dan didapatkan hasil ada perbedaan signifikan pada jenis-jenis antibiotik (Cefoxitin, Ampicillin, Gentamisin, Eritomisin, Penicillin, Ciprofloxacin, Fosfomisin) (p<0,05). Pada uji Regresi Logistik didapatkan hubungan antara kebersihan diri dengan adanya S.aureus, dimana semakin rendah kebersihan diri orang semakin berisiko terinfeksi S.aureus. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan adanya S.aureus. Kata kunci : Kebersihan Diri, Staphylococcus aureus, MRSA, uji sensitifitas antibiotik.
ABSTRACT Adina, Hilda. 2017. The relationship Between Personal Hygiene With The
Presence of S.aureus and MRSA On Swab Nose Childern 2nd and 3rd Grade in SDN Lowokwaru 4 Malang. Final Assignment, Medical Program Faculty of Medicine Brawijaya University. Supervisors: (1) Prof. Dr. dr. Noorhamdani AS, Sp. MK (K) (2) dr. Dewi Indiastari, Sp. PD.
Staphylococcus aureus is one of the most common infectious bacteria in the world. MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) is a strain of Staphylococcus aureus that has been resistant to the antibiotic activity of the β-lactam group and non-β-lactam antibiotics. Personal hygiene is an act of maintaining a person’s hygiene and health for physical and psychological well-being. People need to maintain their environment clean and their personal hygiene so it will reduce the risk of transmitting germs for themselves and others. These bacteria can be transmitted between humans through direct contact with infected skin and airborne transmission. Therefore, the purpose of this study was to determine the relationship between personal hygiene with the presence of S. aureus and MRSA with swab nose. This is a descriptive research with cross sectional approach. This research was conducted by taking the nose swab of SDN Lowokwaru 4 class 2 and 3. Samples were taken by stratified sampling method. Results of nose swabs were examined in the Microbiology Laboratory of Medical Faculty of Brawijaya University on July 2017- August 2017. Obtained Number of Isolates Staphylococcus aureus were 19 from 66 people. From the sensitivity test of cefoxitin antibiotics of 19 isolates, it was found that the inhibitory zone diameter ≥22mm was S.aureus are sensitive with cefoxitin, therefore no MRSA found in this research. Analysis of research data using Kruskal Wallis test resulting significant differences in the types of antibiotics (Cefoxitin, Ampicillin, Gentamicin, Erythomycin, Penicillin, Ciprofloxacin, Phosphomycin) (p <0.05). In Logistic Regression test showed the relationship between personal hygiene with the presence of S.aureus, where the lower self-hygiene people are at risk of S.aureus infection. So it can be concluded that there is a relationship between personal hygiene with the existence of S.aureus. Keyword : Personal Hygiene, Staphylococcus aureus, MRSA, antibiotic sensitivity test
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu personal yang artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto, 2003). Pemeliharaan kebersihan diri
berarti tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan diri sesorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri
baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi
kebersihan kulit, tangan dan kuku, kebersihan hidung, kebersihan rambut dan
kebersihan genitalia (Badri, 2008). Banyak manfaat yang dapat di petik dengan
merawat kebersihan diri, memperbaiki kebersihan diri, yaitu meningkatkan
kepercayaan diri, menciptakan keindahan dan mencegah penyakit (Wartonah,
2003).
Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar
sehat supaya tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman penyakit bagi
diri sendiri maupun orang lain Kebersihan diri meliputi kebersihan badan, seperti
mandi, menyikat gigi, mencuci tangan, dan memakai pakaian yang bersih.
Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja, dan
berbagai sarana umum (Tarwoto,2003).
Perilaku adalah suatu kegiatan makhluk hidup yang berhubungan dengan
berbagai aktifitas. Perilaku atau aktifitas manusia, dapat diamati baik secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Dalam kaitannya
dengan pemeliharaan kesehatan, individu merespon perilaku lingkungan,
perilaku kesehatan untuk dirinya sendiri. Perilaku kesehatan yang berkaitan
dengan upaya kebersihan diri dalam kaitannya dengan upaya pencegahan
penyakit dilakukan dengan berbagai cara contohnya seperti kebiasaan mandi,
mencuci tangan dan kaki, dan kebersihan pakaian (Wijayanti, 2006).
2
Kebiasaan hidup bersih harus diajarkan sedini mungkin di rumah tangga
dan kemudian diteruskan di sekolah sehingga berangsur-angsur menjadi bagian
dari perilaku kehidupan bersih, maka upaya pembinaan dan peningkatan
kesehatan anak- anak dan masyarakat akan menjadi lebih mudah. Masa
pertumbuhan pada anak adalah saat anak berusia antara 6-12 tahun dan ini
merupakan usia yang rawan terhadap penyakit. Pola pembinaan menuju
terbentuknya perilaku hidup sehat merupakan bagian penting dari pembinaan
usia sekolah dasar. Mencegah selalu lebih mudah dari pada mengobati, sebab
itu penting sekali mengusahakan agar pada anak usia 6-12 tahun supaya orang
tua dan guru dapat berbuat dan melakukan usaha pencegahan (Aditya, 2012).
Di Indonesia masih banyak ditemukan masyarakat sosial ekonomi
menengah ke bawah, yang dikarenakan perilaku hidup bersih yang kurang serta
kurang memadai ketersediaan sanitasi. Pada anak-anak masalah ini lebih
banyak dialami, karena individu tersebut belum mampu secara mandiri
melakukan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. Anak senang bermain
dengan teman- temannya tanpa meperhatikan kebersihan diri, sehingga
memungkinkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak langsung seperti
berjabat tangan, bersenggolan atau bermain bersama. Kondisi anak yang kurang
memperhatikan perilaku kesehatan membuat mereka lebih rentan untuk tertular
penyakit (Btari, 2011).
Staphylococcus adalah bakteri gram positif berbentuk kokus. Hampir
semua spesies merupakan bakteri koagulase negatif, kecuali staphylococcus
aureus (s.aureus) dan staphylococcus intermedius. Staphylococcus dapat
menyebabkan banyak jenis infeksi seperti infeksi kulit yang superfisial maupun
infeksi yang lebih serius seperti furunkulosis, abses, osteomyelitis dan
endokarditis, dan toxic shock syndrome. Bakteri komensal ini biasanya dapat
ditemukan di dalam lubang hidung, lipat paha, lipat ketiak, dan permukaan pusar.
Infeksi S.aureus juga sering terjadi pada luka terbuka (Foster,2000). Kolonisasi
S.aureus bisa didapat dari komunitas maupun rumah sakit (nosokomial).
Seseorang yang memiliki kolonisasi ini disebut karier S.aureus. karier dapat
menularkan S.aureus ke orang lain. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya
risiko infeksi nosokomial (Thompson, 2004).
3
S. aureus merupakan organisme komensal dan sekaligus patogen.
Kolonisasi S. aureus umumnya terjadi di hidung, secara menetap terjadi pada
20% populasi dan tidak menetap pada 30% populasi. Organ lain yang juga
menjadi tempat terjadinya kolonisasi S. aureus adalah ketiak, pangkal paha dan
saluran cerna. Kolonisasi ini menyebabkan meningkatnya faktor resiko terjadinya
infeksi S. aureus pada individu pembawa tersebut. Akibat lainnya dari kolonisasi
ini adalah S. aureus dapat ditularkan antar individu, baik di sistem pelayanan
kesehatan maupun komunitas (Gordon and Lowy.,2010).
Bakteri ini dapat ditularkan antar manusia melalui kontak langsung
dengan kulit yang terinfeksi maupun transmisi melalui udara. Kontak tidak
langsung juga dapat menyebarkan bakteri, misalnya, menyentuh barang seperti
handuk, peralatan, pakaian, atau benda lain yang telah berhubungan dengan
orang yang terinfeksi dapat menyebarkan bakteri ke individu lain yang tidak
terinfeksi (Brooks et al.,2007). Terjadinya infeksi bergantung kepada mekanisme
pertahanan tubuh pejamu dan faktor virulensi patogen. Umumnya, infeksi S.
aureus membutuhkan penurunan fungsi pertahanan tubuh seperti robeknya kulit
atau insersi benda asing (sebagai contoh adalah luka, infeksi akibat
pembedahan dan kateter), sumbatan pada folikel rambut atau imunitas tubuh
yang rendah (Harvey and Lippincott’s.,2013).
Tiga puluh persen dari seluruh populasi manusia diperkirakan memiliki
kolonisasi S. aureus secara persisten tanpa menimbulkan gejala (karier).
Penelitian yang pernah dilakukan memperoleh hasil bahwa 10% anak usia 0-9
tahun dan 24% anak usia 10-19 tahun merupakan karier persisten. Angka karier
pada komunitas di Indonesia adalah 9,1% (studi AMRIN). Penelitian lain
menyebutkan bahwa prevalensi karier S. aureus pada siswa SD di Semarang
sebesar 31,5% sedangkan pada siswa SMA di Semarang sebesar 30,4%.
Keberadaan karier ini juga perlu diwaspadai karena karier berperan penting
dalam epidemiologi dan patogenesis infeksi S. aureus (Nadia, 2011).
Resistensi S.aureus, terutama resisten terhadap penisilin dan metisilin,
sudah menjadi topik yang mendunia sejak beberapa dekade yang lalu. Strain
S.aureus yang dimaksud adalah Methicillin Resistant S.aureus (MRSA). Strain ini
merupakan strain yang resisten terhadap lebih dari 1 jenis antibiotik. Kepekaan
4
MRSA terhadap metisilin, oksasilin, dan cefoksitin menghilang. Resisten MRSA
terhadap antibiotik tersebut merupakan gambaran resistensi terhadap seluruh
jenis beta laktam lainnya. Hal inilah yang menyebabkan MRSA digolongkan
sebagai multi drug resistant organisme (Magiorakos et al., 2011).
MRSA mengalami resistensi karena perubahan genetik yang disebabkan
oleh paparan terapi antibiotik yang tidak rasional. Transmisi bakteri berpindah
dari satu pasien ke pasien lainnya melalui alat medis yang tidak diperhatikan
sterilitasnya. Transmisinya dapat pula melalui udara maupun fasilitas ruangan,
misalnya selimut atau kain tempat tidur. MRSA diklasifikasikan menjadi dua yaitu
Healthcare Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (HA-MRSA)
dan Community Aquired Methicillin-Resistant staphylococcus aureus (CA-MRSA)
(Nurkusuma, 2009).
Ketika infeksi MRSA terjadi di pelayanan kesehatan maka disebut dengan
Health Care-Associated MRSA (HA-MRSA). Infeksi HA-MRSA biasanya
berhubungan dengan prosedur invasive atau alat-alat kesehatan seperti operasi,
pemasangan infus, dan kateterisasi. Tipe dari infeksi MRSA dapat terjadi pada
populasi yang lebih luas, biasanya terjadi pada orang sehat yang bukan seorang
pasien yang sedang di rawat di rumah sakit ataupun tidak menjalani pengobatan
rawat jalan di rumah sakit. Bentuk infeksi yang terjadi seperti diatas disebut
sebagai Community Associated MRSA (CA-MRSA). CA-MRSA biasanya dimulai
dengan rasa sakit yang timbul seperti kulit yang melepuh. Hal tersebut dapat
menular melalui kontak dari kulit ke kulit.(Gladwin and Tattler,2011).
Banyaknya infeksi MRSA yang diiringi dengan peningkatan resistensi
terhadap banyak golongan antibiotik (resistensi multidrug) menjadi perhatian
utama di bidang infeksi. Di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,
belum banyak didapatkan data endemisitas bakteri MRSA, terutama prevalensi
MRSA di rumah sakit. Prevalensi isolat MRSA di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
cukup bervariasi dari tahun 2010 sampai 2014. Pada tahun 2010, prevalensi
mencapai 41,8% dan pada tahun 2011 tidak jauh berbeda dengan tahun 2010
yaitu 41,7% (Dewi dkk.,2016). Sebagai data awal, prevalensi tersebut cukup
tinggi bila dibandingkan dengan prevalensi dari Negara lain seperti di Finlandia,
Denmark, Norwegia, Iceland, Swedia, dan Belanda, yang telah menarapkan
prinsip “search and destroy” dalam upaya menurunkan prevalensi hospital
5
acquired MRSA (HA-MRSA) (Moellering,2012). Dibandingkan dengan prevalensi
MRSA di Negara Asia seperti Hongkong di tahun 2010 yaitu sebesar 25%,
prevalensi di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang juga lebih tinggi (Chen and
Huang.,2014).
Penggunaan antibiotik tidak hanya di lingkungan rumah sakit, namun juga
di komunitas (masyarakat), mengingat masih tingginya konsumsi antibiotik tanpa
resep dokter di masyarakat. Masyarakat cenderung membeli sendiri, dengan
pola konsumsi yang tidak sesuai dosis maupun aturan pemakaian. Penggunaan
antibiotik secara bebas seharusnya diatur untuk mengendalikan angka resistensi,
dengan pembuatan regulasi yang ketat dalam peresepan dan pembelian
antibiotik, baik di lingkungan rumah sakit maupun komunitas. (Hadi dkk.,2008).
Berdasarkan uraian diatas dan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
Hubungan Kebersihan Diri dengan adanya S.aureus dan MRSA pada swab
hidung anak Sekolah Dasar karena kurangnya data mengenai S.aureus dan
MRSA pada masyarakat khususnya anak sekolah dasar. Dan berdasarkan
pertimbangan pada teori pengembangan concha atau anatomi hidung pada anak
usia sekolah dasar masih belum terbentuk dengan sempurna. Pengambilan
sampel akan dilaksanakan di beberapa murid SD di SDN Lowokwaru 4 Malang.
Di harapkan hasil dari penelitian ini dapat mengetahui adanya bakteri
komensal MRSA pada murid sekolah dasar yang menyebabkan penyakit infeksi,
sehingga kedepannya dapat di lakukan pencegahan berupa kebersihan
perorangan dan kebersihan lingkungan agar anak di kota Malang dapat menjadi
anak yang sehat.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ada hubungan antara kebersihan diri dengan S.aureus dan
MRSA (Methicillin Resistent Staphylococcus aureus) pada anak kelas 2
dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang ?
6
2. Bagaimana profil kuman dan kepekaan antibiotik terhadap S.aureus dan
MRSA pada anak kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang ?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN UMUM
Mengetahui hubungan antara kebersihan diri dengan adanya bakteri
S.aureus dan MRSA pada anak kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4
Malang
1.3.2 TUJUAN KHUSUS
1. Mengetahui profil S.aureus dan MRSA pada anak kelas 2 dan
3 di SDN Lowokwaru 4 Malang.
2. Mengetahui profil kepekaan antibiotik terhadap S.aureus dan
MRSA.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Akademik
1. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah informasi tentang
profil kebersihan diri dengan adanya S.aureus dan MRSA pada
anak usia sekolah dasar.
2. Mendapatkan informasi tentang kepekaan antibiotik terhadap
MRSA.
1.4.2 Manfaat praktis
Dapat digunakan sebagai acuan dalam pencegahan dan
penanggulangan S.aureus dan Methicilin Resistant Staphylococcus
aureus (MRSA) pada anak SD agar tidak terjadi penularan pada
masyarakat.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Personal Hygiene (Kebersihan Diri)
2.1.1 Definisi
Personal hygiene berasal dari bahasa yunani yaitu: personal yang artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Kebersihan perorangan adalah suatu
tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto & Wartonah, 2003). Seseorang dikatakan
memiliki kebersihan diri baik apabila, orang tersebut dapat menjaga kebersihan
tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, tangan dan kuku, dan kebersihan
genitalia (Badri, 2008).
2.1.2 Usaha kebersihan diri
Masa pertumbuhan anak yaitu usia 7 sampai dengan 12 tahun dan usia ini
merupakan usia yang rawan terhadap penyakit. Intensitas pembinaan menuju
terbentuknya perilaku hidup bersih dan sehat merupakan bagian terpenting dari
pembinaan anak sekolah dasar. Mencegah lebih mudah dari mengobati sebab
itu penting sekali mengusahakan agar orang tua dan guru dapat berbuat dan
melakukan usaha dan pencegahan dengan benar. Segala sesuatu ada sebab
atau penyebabnya, begitu pula dengan penyakit. Sebagian besar penyakit telah
diketahui penyebabnya, cara penularannya, cara perawatannya, dan cara
pengobatannya bagi penderita. Pengetahuan tersebut telah menyelamatkan dan
memperpanjang hidup manusia. Unsur-unsur yang tercakup dalam kebersihan
pribadi yaitu kebersihan kulit, kuku, rambut, mata, hidung, telinga, mulut dan gigi,
serta pakaian (Aditya,2012).
Usaha kesehatan pribadi adalah daya upaya dari seorang demi seorang
untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri ( Entjang,
2000). Usaha – usaha itu adalah :
a. Kebersihan Kulit
Kebersihan individu yang buruk atau bermasalah akan mengakibatkan
berbagai dampak baik fisik maupun psikososial. Dampak fisik yang sering
dialami seseorang tidak terjaga dengan baik adalah gangguan integritas
8
kulit (Wartonah, 2003). Kulit yang pertama kali menerima rangsangan
seperti rangsangan sentuhan, rasa sakit, maupun pengaruh buruk dari
luar. Kulit berfungsi untuk melindungi permukaan tubuh, memelihara suhu
tubuh dan mengeluarkan kotoran-kotoran tertentu. Kulit juga penting bagi
produksi vitamin D oleh tubuh yang berasal dari sinar ultraviolet.
Mengingat pentingnya kulit sebagai pelindung organ-organ tubuh
didalammnya, maka kulit perlu dijaga kesehatannya. Penyakit kulit dapat
disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani dan lain-lain (
DJuanda, 2000).
b. Kebersihan tangan dan kuku
Indonesia adalah negara yang sebagian besar masyarakatnya
menggunakan tangan untuk makan, mempersiapkan makanan, bekerja
dan lain sebagainya. Oleh karena itu, butuh perhatian ekstra untuk
kebersihan tangan dan kuku sebelum dan sesudah beraktivitas yaitu :
1. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar mandi
dengan menggunakan sabun. Menyabuni dan mencuci harus meliputi
area antara jari tangan, kuku dan punggung tangan.
2. Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya dicuci
dan diganti setiap hari.
3. Jangan menggaruk atau menyentuh bagian tubuh seperti telinga,
hidung, dan lain-lain saat menyiapkan makanan.
4. Pelihara kuku agar tetap pendek, jangan memotong kuku terlalu
pendek sehingga mengenai pinch kulit (Potter, 2006).
c. Kebersihan Hidung
Pemeliharaan hidung dapat dilakukan dengan pemeliharaan kebersihan
hidung. Pada waktu tertentu rongga hidung perlu dibersihkan dari kotoran
yang ada. Rambut dalam rongga hidung jangan dicabuti. Bila salah satu
hidung tersumbat benda yang lunak maupun yang keras maka harus
dikeluarkan dengan penjepit atau tutuplah lubang yang satu dan
kemudian hembuskan udara dari dalam Hidung yang sehat yaitu lubang
pada hidung selalu bersih tidak ada kotoran, rambut-rambut pada hidung
tumbuh dengan normal (Aditya,2012).
9
d. Kebersihan oral
Mulut merupakan organ yang bertindak sebagai pintu masuk untuk kuman
memasuki badan. Oleh karena itu, menjaga kebersihan oral yaitu
kebersihan mulut dan gigi sangat penting. Masih banyak orang tidak
mengetahui waktu yang sesuai untuk menyikat gigi dan masih banyak
orang percaya bahwa menyikat gigi sekali sehari sudah memadai.
Seseorang itu, wajib menyikat gigi sekurang-kurangnya dua kali sehari
yaitu selepas makan sarapan dan sebelum tidur dengan rata-rata
waktunya dari 1 menit hingga 2,5 menit setiap kali menyikat gigi.
e. Kebersihan Rambut
Pembersihan rambut dapat dilakukan melalui pencucian yang betul.
Pemakaian sampo dan kondisioner rambut dapat membersihkan rambut
dan mengurangkan masalah rambut. Menurut suatu penelitian 31%
responden memakai sabun biasa untuk mencuci rambut dan cuma 18%
yang memakai kondisener rambut.
Kebersihan diri merupakan faktor penting dalam usaha pemeliharaan
kesehatan, agar kita selalu dapat hidup sehat. Menjaga kebersihan diri berarti
juga menjaga kesehatan umum. Cara menjaga kebersihan diri dapat dilakukan
sebagai berikut :
1. Mandi setiap hari minimal 2 kali sehari secara teratur dengan
menggunakan sabun, muka harus bersih, telinga juga harus
dibersihkan serta bagian genitalia.
2. Tangan harus dicuci sebelum menyiapkan makanan dan minuman,
sebelum makan, sesudah buang air besar atau buang air kecil.
3. Kuku digunting pendek dan bersih, agar tak melukai kulit atau menjadi
sumber infeksi.
4. Pakaian perlu diganti sehabis mandi dengan pakaian yang habis dicuci
bersih dengan sabun/ detergen, dijemur di bawah sinar matahari dan
di setrika (Wolf, 2000).
10
2.2 Staphylococcus aureus
2.2.1 Definisi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak
bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk
pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat
berwarna abu-abu sampai kuning keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol,
dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S. aureus yang
mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi
bakteri. Berbagai derajat hemolisis disebabkan oleh S. aureus dan kadang-
kadang oleh spesies staphylococcus lainnya. (Jawetz et al., 2008).
Gambar 2.1 Mikroskopik Staphylococcus aureus Pada Pewarnaan Gram,
Terlihat Bakteri Berbentuk Bulat/Coccus (Yuwono, 2009).
2.2.2 Struktur Bakteri Staphylococcus aureus
Struktur bakteri terdiri atas komponen esensial dan komponen non esensial.
Komponen esensial bakteri di antaranya adalah (Gordon and Lowy.,2010).
a. Dinding sel Staphylococcus aureus merupakan tempat bekerjanya
antibiotik seperti penisilin dan sefalosporin. Dinding sel tersusun
oleh peptidoglikan yang berperan sebagai pembentuk kerangka
bakteri dan asam teikoat yang berperan sebagai antigen
permukaan. Peptidoglikan juga mempunyai fungsi dalam stimulasi
pengeluaran sitokin oleh makrofag, aktivasi komplemen dan
agregasi trombosit. Lisozim dapat mendegradasi peptidoglikan.
11
b. Membran sitoplasma adalah lipoprotein berlapis ganda yang
berperan pada transport enzim.
c. Ribosom mengandung RNA dan protein pada subunit 50s dan
30s. Ribosom berfungsi sebagai tempat untuk sintesis protein.
d. Mesosom berperan dalam aktivitas pembelahan dan sekresi.
e. Periplasma merupakan suatu ruangan antara membran plasma
dengan membran luar. Bermacam-macam enzim hidrolitik, seperti
β-laktamase terletak di periplasma. β-laktamase berfungsi sebagai
enzim yang memecah cincin β-laktam sehingga menyebabkan S.
aureus resisten terhadap antibiotik golongan β-laktam.22
f. Inti sel mengandung materi genetik yaitu DNA.
Sedangkan komponan non esensial dari bakteri adalah:
a. Kapsul bakteri tersusun oleh polisakarida dan berfungsi sebagai
proteksi terhadap fagositosis.
b. Plasmid mengandung berbagai macam gen yang mengkode
toksin dan resistensi terhadap antibiotik.
c. Granula terdiri atas glikogen, lipid dan polifosfat. Granula adalah
tempat penyimpanan nutrisi yang berada di sitoplasma.
d. Glikokaliks juga tersusun oleh polisakarida dan membantu
penempelan bakteri ke permukaan sel yang menyebabkan bakteri
dapat menempel secara kuat terhadap berbagai struktur, seperti
kulit, katup jantung dan kateter.
2.3 MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus)
2.3.1 Definisi MRSA
Methicillin Resistant Staphylococcus aureus atau MRSA adalah jenis
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik metisilin golongan β-
laktam. Sedangkan bakteri yang masih sensitif terhadap metislin disebut
12
Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA). MRSA pertama kali
ditemukan pada tahun 1961. Galur MRSA dibagi menjadi dua yaitu HA-MRSA
(Healthcare Associated Methicillin Resistent Staphylococcus aureus) dan CA-
MRSA (Community Aquired Methicillin Resistent Staphylococcus aureus) (Ray et
al.,2011).
HA-MRSA didefinisikan sebagai infeksi MRSA yang terdapat pada
individu yang pernah dirawat di rumah sakit atau menjalani tindakan operasi
dalam satu tahun terakhir, memiliki alat bantu medis permanen dalam tubuhnya,
bertempat tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, atau individu yang
menjalani dialisis. HA-MRSA memiliki resistensi yang sangat tinggi dan
merupakan penyakit nosokomial yang penting (Biantoro,2008).
CA-MRSA merupakan galur MRSA yang sama sekali tidak berhubungan
dengan infeksi nosokomial atau infeksi di rumah sakit. CA-MRSA berbeda
dengan HA-MRSA secara fenotip, genotip dan virulensi. CA-MRSA memiliki
virulensi lebih tinggi dan resistensi terhadap antimikroba non β-laktam lebih
rendah jika dibandingkan HA-MRSA. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa
CA-MRSA hanya resisten terhadap antimikroba golongan β-laktam dan secara
genotip tidak membawa gen resisten tambahan selain gen resisten terhadap
metisilin (Yuwono,2012).
Infeksi MRSA merupakan infeksi oportunistik, sama halnya dengan
infeksi Staphylococcus aureus (Amrullah,2009). Staphylococcus aureus adalah
kuman gram positif berbentuk bulat dan tersusun bergerombol seperti anggur.
Bakteri tersebut tidak memiliki spora dan tidak motil. Staphylococcus aureus
merupakan jenis kuman Staphylococcus yang menghasilkan katalase dan
memberikan hasil positif bila dilakukan tes koagulase.(Greenwod et al.,2012).
2.3.2 Cara penyebaran
Staphylococcus yang umum terdapat pada lipatan kulit, seperti perineum
dan aksila serta berada di nares anterior. Staphylococcus juga dapat membentuk
koloni pada luka yang kronis, seperti eksim, varises, dan ulkus decubitus. MRSA
memiliki cara penyebaran yang sama dengan strain Staphylococcus lain yang
sensitif, yaitu (Royal College of Nursing, 2005):
a. Penyebaran Endogen
13
Hal ini terjadi ketika bakteri dari satu bagian tubuh seseorang menyebar
ke tempat yang lain. Mengajarkan pasien untuk mencuci tangan mereka dan
mencegah mereka dari menyentuh luka, kulit yang rusak atau menyentuh
perangkat invasif, akan meminimalkan risiko penyebaran organisme secara
endogen.
b. Penyebaran Eksogen
Hal ini terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke orang yang
terjadi melalui kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan
yang terkontaminasi. Pencegahan penyebaran secara eksogen dapat dilakukan
melalui:
Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan setiap pasien atau
peralatan yang berpotensi terkontaminasi.
Mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
Menjaga lingkungan selalu bersih dan kering.
Melakukan pembersihan secara menyeluruh dan mengeringkan semua
peralatan yang telah digunakan.
Menerapkan pengobatan topikal untuk mengurangi penyakit kulit jika
secara klinis diperlukan.
2.3.3 Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko terjadinya MRSA antara lain:
a.Faktor-faktor community-acquired :
Kondisi tempat tinggal yang berdesakan dan kumuh (penjara, barak
militer, penampungan gelandangan).
Kontak olahraga (sepakbola, rugby, gulat).
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.Berbagi handuk, alat-
alat olahraga, barang-barang pribadi.
Higiene personal yang buruk.
b. Faktor-faktor healthcare acquired :
Perawatan di rumah sakit sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir).
Dilakukan operasi sebelumnya (rawat inap atau rawat jalan dalam 1
tahun terakhir).
14
Riwayat abses yang rekuren, folikulitis, furunkulosis atau infeksi kulit
lainnya.
Riwayat infeksi kulit yang rekuren dalam keluarga atau yang tinggal
bersama
Terbukti secara laboratorium adanya kasus MRSA dalam keluarga atau
yang tinggal bersama.
Tinggal di fasilitas perawatan jangka lama atau kontak dengan
penghuninya berkali-kali.
Pengguna obat intavena.
Terpasang kateter.
Kondisi medis (misalnya diabetes, HIV, gagal ginjal).
2.3.4 Patogenesis Infeksi
S. aureus merupakan organisme komensal dan sekaligus patogen.
Kolonisasi S. aureus umumnya terjadi di hidung, secara menetap terjadi pada
20% populasi dan tidak menetap pada 30% populasi. Organ lain yang juga
menjadi tempat terjadinya kolonisasi S. aureus adalah ketiak, pangkal paha dan
saluran cerna. Kolonisasi ini menyebabkan meningkatnya faktor resiko terjadinya
infeksi S. aureus pada individu pembawa tersebut. Akibat lainnya dari kolonisasi
ini adalah S. aureus dapat ditularkan antar individu, baik di sistem pelayanan
kesehatan maupun komunitas (Gordon and Lowy.,2010).
Bakteri ini dapat ditularkan antar manusia melalui kontak langsung
dengan kulit yang terinfeksi maupun transmisi melalui udara. Kontak tidak
langsung juga dapat menyebarkan bakteri, misalnya, menyentuh barang seperti
handuk, peralatan, pakaian, atau benda lain yang telah berhubungan dengan
orang yang terinfeksi dapat menyebarkan bakteri ke individu lain yang tidak
terinfeksi (Brooks et al.,2007)
Terjadinya infeksi bergantung kepada mekanisme pertahanan tubuh
pejamu dan faktor virulensi patogen. Umumnya, infeksi S. aureus membutuhkan
penurunan fungsi pertahanan tubuh seperti robeknya kulit atau insersi benda
asing (sebagai contoh adalah luka, infeksi akibat pembedahan dan kateter),
sumbatan pada folikel rambut atau imunitas tubuh yang rendah (Harvey and
Lippincott’s.,2013).
15
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan furunkel atau abses, disertai
radang yang terlokalisasi dan nyeri. Staphylococcus aureus dapat menyebabkan
bakterimia dan menyebar ke berbagai organ, sehingga menimbulkan
endokarditis, osteomielitis hematogen akut, meningitis, atau infeksi paru.
Keracunan makanan akibat enterotoksin staphylococcus ditandai dengan waktu
inkubasi yang pendek, disertai dengan mual hebat, muntah, diare, dan tidak ada
demam (Brooks et al.,2007). Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling
sering menyebabkan abses hati piogenik, terutama pada anak (Harvey and
Richard.,2007). Penelitian yang dilakukan oleh Nielsen dkk menunjukkan bahwa
inokulasi bakteri Staphylococcus aureus menyebabkan terbentuknya mikroabses
pada paru, limpa, dan hati babi (Nielsen et al.,2009).
S. aureus memiliki sekelompok protein permukaan yang disebut Microbial
Surface Components Recognizing Adhesive Matrix Molecules (MSCRAMMS).
MSCRAMMS memediasi perlekatan dengan permukaan sel inang atau dengan
benda mati (inert) misalnya kateter. MSCRAMMS terdiri dari beberapa protein
yaitu protein A, elastin-binding protein, collagen-binding protein, bone
sialoprotein-binding protein, fibronectin-binding protein dan clumping factor.
Protein A merupakan komponen utama pada dinding sel S. aureus. Protein A
berikatan dengan Fragmen Crystallizable (Fc) pada Imunoglobulin G (IgG)
sehingga menyebabkan tidak terjadinya opsonisasi, sekaligus memiliki efek
antifagositosis. Fibronectin-binding protein (FnBP) merupakan protein permukaan
yang berfungsi memudahkan bakteri berikatan dengan sel mukosa dan matriks
jaringan. Clumping factor merupakan fibrinogen-binding protein yang
menyebabkan bakteri menggumpal saat berada pada plasma darah
(Yuwono,2012).
S. aureus dapat bertahan hidup dan bertumbuh dengan berbagai cara
setelah terjadi perlekatan di sel inang maupun permukaan alat prostetik. S.
aureus memiliki kemampuan membuat biofilm dan membentuk Small-Variant
Colony (SVC) yang memberikan kemampuan bakteri untuk dapat bersembunyi di
sel inang tanpa menyebabkan kerusakan sel yang signifikan dan menghindar
dari sistem imunitas inang maupun antibiotik. Akibat adanya kedua faktor ini, S.
16
aureus sulit untuk dieradikasi dan dapat menyebabkan infeksi berulang (Harvey
and Lippincott’s.,2013).
Staphylococcus menghasilkan bermacam-macam toksin yang
terkelompok sesuai dengan mekanisme kerjanya, antara lain eksotoksin sitolitik
dan super antigen eksotoksin. Eksotoksin sitolitik merupakan toksin α, β, γ dan δ
yang menyerang membran sel mamalia termasuk sel darah merah, sering
disebut sebagai hemolisin. Penelitian lain menyatakan bahwa eksotoksin sitolitik
bekerja dengan cara merubah formasi inti dan merangsang proinflamasi pada sel
mamalia. Perubahan ini akan menimbulkan kerusakan sel dan berperan dalam
manifestasi sindroma sepsis (Biantoro,2008).
Superantigen eksotoksin merupakan toksin yang secara struktur mirip
dengan sitotoksin dan memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor sel T pada Major
Histocompatibility Complex II (MHC II). Toksin ini menyebabkan proliferasi sel T
dan pelepasan sitokin. Superantigen eksotoksin terdiri dari enterotoksin, Toxic
Shock Syndrome Toxin (TSST-1) dan toksin eksfoliatif. Enterotoksin terdiri dari
tipe A, B, C, D, E dan G. Enterotoksin tahan terhadap pemanasan dan dapat
menimbulkan kerancunan makanan. TSST-1 merupakan penyebab terjadinya
toxic shock syndrome. TSST-1 memiliki struktur yang mirip dengan enterotoksin
sehingga terkadang disebut sebagai enterotoksin F, tetapi tidak dapat
menimbulkan keracunan makanan (Yuwono,2012). Toksin eksfoliatif termasuk
juga toksin epidermolitik A dan B, menyebabkan eritema dan separasi kulit akibat
lepasnya desmoglein 1 seperti yang terlihat pada scalded skin syndrome
(Greenwod et al.,2012)
Staphylococcus menghasilkan berbagai macam enzim, seperti protease,
lipase, dan elastase. Enzim-enzim ini merusak jaringan sehingga membantu
penyebaran infeksi pada berbagai organ (Gordon and Lowy.,2010). S. aureus
memproduksi koagulase, protein sekretori, yang berfungsi mengikat protrombin
untuk membentuk stafilotrombin. Stafilotrombin ini yang dapat mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin melalui mekanisme non proteolitik. Konversi fibrinogen
menjadi fibrin penting bagi bakteri untuk membentuk lapisan pelindung fibrin di
sekitar bakteri dan membatasi rekrutmen sel imun (Yuwono,2012).
17
Telah diketahui bahwa PBP2 merupakan protein yang mendasari
resistensi MRSA. Sejauh ini gen mecA penyandi PBP2a dan gen fem tidak
terbukti mempengaruhi tingkat virulensi. Pendapat ini mulai bergeser sejak
ditemukan CA-MRSA, yaitu galur MRSA yang memiliki faktor virulensi Panton
Valentine Leukocidin (PVL).2 PVL membentuk pori pada membran sel sehingga
menyebabkan lisis sel polimorfonuklear (PMN) sehingga terjadi penurunan
jumlah leukosit atau keadaan ini disebut leukopenia (Greenwod et al.,2012).
2.3.5 Mekanisme Resistensi
Staphylococcus aureus berubah menjadi resisten terhadap metisilin
karena mendapat sisipan suatu elemen DNA berukuran besar antara 20-100 kb
yang disebut SCCmec. SCCmec selalu mengandung mecA yaitu gen yang
menyandi PBP2a yang mendasari terjadinya resistensi MRSA. Resistensi MRSA
terhadap metisilin dan terhadap semua antimikroba golongan betalaktam
disebabkan perubahan pada PBP yang normal yaitu PBP2 menjadi PBP2a.
PBP2a memiliki afinitas yang sangat rendah terhadap betalaktam sehingga
sekalipun bakteri ini dibiakkan pada media mengandung konsentrasi tinggi
betalaktam, MRSA tetap dapat hidup dan mensintesa dinding sel. Pengamatan
pada struktur PBP2a menunjukkan adanya perubahan pada tempat pengikatan
yang mengakibatkan rendahnya afinitas. Faktor genetik lain seperti gen
betalaktamase dan faktor eksternal seperti temperatur, tekanan oksigen,
kandungan ion, osmolaritas dan cahaya juga mempengaruhi ekspresi resistensi
(Nielsen,2009).
Protein binding penicillin ikut berperan dalam biosintesa peptidoglikan
yaitu mengkatalisa reaksi transpeptidasi. Peptidoglikan tersebut merupakan
tempat di mana antibiotik betalaktam bekerja. PBP 1, 2 dan 3 memiliki aktivitas
transpeptidase primer sedangkan PBP4 memiliki aktivitas transpeptidase
sekunder. Resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi karena diproduksinya
enzim betalaktamase seperti pada galur Staphylococcus aureus penghasil
betalaktamase dan perubahan struktur PBP seperti yang terjadi pada MRSA.
Selain berperan dalam reaksi transpeptidasi, PBP2 juga memiliki aktivitas
transglikolasi. Reaksi transglikolasi tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas
reseptor penisilin. Afinitas PBP2a yang rendah terhadap betalaktam
18
menyebabkan antibiotik betalaktam tidak dapat mempengaruhi reaksi
transpeptidasi sehingga sintesis dinding sel tidak terganggu. Reaksi transglikolasi
tidak terpengaruh oleh aktivitas betalaktam sehingga reaksi transglikolasi dari
PBP2a ini tetap utuh, hal tersebut juga menentukan adanya resistensi MRSA
(Yuwono,2012).
Gen mecA memiliki struktur dan mekanisme yang serupa dengan gen
blaZ pada plasmid Staphylococcus aureus penghasil betalaktamase. Regulator
pada gen blaZ adalah blaI dan blaR1. Gen regulator blaI menyandi DNA binding
protein yang berfungsi menekan transkripsi gen betalaktamase sedangkan blaR1
merupakan PBP yang akan menginduksi transkripsi jika ada betalaktam.
Mekanisme ini analog dengan yang terjadi pada gen mecA yang dikendalikan
oleh mecI dan mecR1. Gen mecI akan menekan transkripsi mecA dan mec
complex (kompleks mecR1 – mecI) pada keadaan tidak terinduksi, sedangkan
pada saat terinduksi akan terjadi transkripsi mecA dan mec complex. Antibiotik
yang dapat menginduksi transkripsi tersebut di antaranya adalah metisilin dan
antibiotik betalaktam lainnya. Induksi mecI juga dapat terjadi karena proses
autolitik yang disebabkan oleh enzim protease pada membran sel. Enzim
tersebut juga mengkatalisis pembentukan septum yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan pembelahan Staphylococcus aureus. Antibiotik betalaktam
bekerja dengan menghambat enzim autolitik tersebut. MRSA dengan derajat
resistensi tinggi mengalami aktivasi gen lytH yang mengkode enzim autolitik, oleh
karena itu derajat resistensi dapat meningkat apabila aktivitas autolitik meningkat
(Yuwono,2010).
2.4 Antibiotik
2.4.1. Definisi
Dalam arti sebenarnya, antibiotik merupakan zat anti bakteri yang
diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, jamur, dan
actinomycota) yang dapat menekan pertumbuhan dan atau membunuh
mikroorganisme lainnya. Penggunaan umum sering meluas kepada agen
antimikroba sintetik, seperti sulfonamid dan kuinolon (Goodman Gillman).
19
2.4.2. Mekanisme Kerja
Antimikroba diklasifikasikan berdasarkan struktur kimia dan mekanisme
kerjanya, sebagai berikut:
1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, termasuk golongan β
laktam misalnya, penisilin, sefalosporin, dan carbapenem dan bahan lainnya
seperti cycloserine, vankomisin, dan bacitracin.
2. Antibiotik yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,
meningkatkan permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa intraseluler,
termasuk deterjen seperti polimiksin, anti jamur poliena misalnya, nistatin dan
amfoterisin B yang mengikat sterol dinding sel, dan daptomycin lipopeptide.
3. Antibiotik yang mengganggu fungsi subunit ribosom 30S atau 50S untuk
menghambat sintesis protein secara reversibel, yang pada umumnya merupakan
bakteriostatik misalnya, kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin, klindamisin,
streptogramin, dan linezolid.
4. Antibiotik berikatan pada subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis
protein, yang pada umumnya adalah bakterisida Misalnya, aminoglikosida.
5. Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti
rifamycin misalnya, rifampisin dan rifabutin yang menghambat enzim RNA
polimerase dan kuinolon yang menghambat enzim topoisomerase.
2.4.3 Golongan Antibiotik
Ada beberapa golongan – golongan besar antibiotik, yaitu:
1. Golongan Penisilin
Penisilin diklasifikasikan sebagai obat β-laktam karena cincin lactam
mereka yang unik. Mereka memiliki ciri-ciri kimiawi, mekanisme kerja,
farmakologi, efek klinis, dan karakteristik imunologi yang mirip dengan
sefalosporin, monobactam, carbapenem, dan β-laktamase inhibitor, yang juga
merupakan senyawa β laktam.
Penisilin dapat terbagi menjadi beberapa golongan :
Penisilin natural (misalnya, penisilin G)
Golongan ini sangat poten terhadap organisme gram-positif, coccus gram
negatif, dan bakteri anaerob penghasil non-β-laktamase. Namun, mereka
memiliki potensi yang rendah terhadap batang gram negatif.
Penisilin antistafilokokal (misalnya, nafcillin)
20
Penisilin jenis ini resisten terhadap stafilokokal β-laktamase. Golongan ini aktif
terhadap stafilokokus dan streptokokus tetapi tidak aktif terhadap enterokokus,
bakteri anaerob, dan kokus gram negatif dan batang gram negatif.
Penisilin dengan spektrum yang diperluas (Ampisilin dan Penisilin
antipseudomonas)
Obat ini mempertahankan spektrum antibakterial penisilin dan mengalami
peningkatan aktivitas terhadap bakteri gram negatif (Katzung, 2007).
2. Golongan Sefalosporin dan Sefamisin
Sefalosporin mirip dengan penisilin secara kimiawi, cara kerja, dan
toksisitas. Hanya saja sefalosporin lebih stabil terhadap banyak beta-laktamase
bakteri sehingga memiliki spektrum yang lebih lebar. Sefalosporin tidak aktif
terhadap bakteri enterokokus dan L.monocytogenes. Sefalosporin terbagi dalam
beberapa generasi, yaitu:
a. Sefalosporin generasi pertama
Sefalosporin generasi pertama termasuk di dalamnya sefadroxil, sefazolin,
sefalexin, sefalotin, sefafirin, dan sefradin. Obat - obat ini sangat aktif
terhadap kokus gram positif seperti pnumokokus, streptokokus, dan
stafilokokus.
b. Sefalosporin generasi kedua
Anggota dari sefalosporin generasi kedua, antara lain: sefaklor, sefamandol,
sefanisid, sefuroxim, sefprozil, loracarbef, dan seforanid. Secara umum, obat
– obat generasi kedua memiliki spektrum antibiotik yang sama dengan
generasi pertama. Hanya saja obat generasi kedua mempunyai spektrum
yang diperluas kepada bakteri gram negatif.
c. Sefalosporin generasi ketiga
Obat–obat sefalosporin generasi ketiga adalah sefeperazone, sefotaxime,
seftazidime, seftizoxime, seftriaxone, sefixime, seftibuten, moxalactam, dll.
Obat generasi ketiga memiliki spektrum yang lebih diperluas kepada bakteri
gram negatif dan dapat menembus sawar darah otak.
d. Sefalosporin generasi keempat
21
Sefepime merupakan contoh dari sefalosporin generasi keempat dan memiliki
spektrum yang luas. Sefepime sangat aktif terhadap haemofilus dan neisseria
dan dapat dengan mudah menembus CSS (Katzung, 2007).
2. Golongan Aminoglikosida
Golongan Aminoglikosida, antara lain: streptomisin, neomisin, kanamisin,
amikasin, gentamisin, tobramisin, sisomicin, etilmicin, dan lain-lain.
3. Golongan Sulfonamida, Trimethoprim, dan Quinolones
Sulfonamida, aktivitas antibiotika secara kompetitif menghambat sintesis
dihidropteroat. Antibiotika golongan Sulfonamida, antara lain Sulfasitin,
sulfisoksazole, sulfamethizole, sulfadiazine, sulfamethoksazole, sulfapiridin,
sulfadoxine dan golongan pirimidin adalah trimethoprim. Trimethoprim dan
kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol menghambat bakteri melalui jalur asam
dihidrofolat reduktase dan menghambat aktivitas reduktase asam dihidrofolik
protozoa, sehingga menghasilkan efek sinergis. Fluoroquinolon adalah
quinolones yang mempunyai mekanisme menghambat sintesis DNA bakteri pada
topoisomerase II (DNA girase) dan topoisomerase IV. Golongan obat ini adalah
asam nalidiksat, asam oksolinat, sinoksasin, siprofloksasin, levofloksasin,
slinafloksasin, enoksasin, gatifloksasin, lomefloksasin, moxifloksasin,
norfloksasin, ofloksasin, sparfloksasin dan trovafloksasin dan lain-lain.
2.5 Uji MRSA
2.5.1 Metode Kultur Isolat Bakteri
Metode kultur spesimen darah dilakukan dengan cara berikut. Spesimen
darah yang sudah diambil dari pasien dan ditempatkan di dalam botol kultur
darah dimasukkan ke dalam inkubator khusus darah BACTEC untuk diinkubasi
sampai dideteksi adanya pertumbuhan mikroorganisme atau maksimal 5 hari.
Apabila dideteksi adanya pertumbuhan mikroorganisme dalam botol darah yang
ditandai (alarm detektor menyala), maka selanjutnya darah tersebut akan
ditanam di media agar darah (Blood Agar). Media agar tersebut selanjutnya
diinkubasi selama 18-24 jam dalam suhu 37’C. selanjutnya dilakukan
pengamatan pertumbuhan koloni bakteri terpisah (murni) yang ada setelah masa
inkubasi selesai, kemudian di lakukan pengecatan gram dari koloni bakteri
tersebut (Santoso dkk.,2013).
22
Pada spesimen pus, sputum dan urin dilakukan penilaian kualitas
spesimen secara mikroskopis dengan pewarnaan gram. Spesimen yang
memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahap kultur adalah bila ditemukan sel
bakteri, sel PMN>25 sel/pb, dan sel epitel skuamus (untuk spesimen pus dan
sputum) <10 sel/pb atau terlihat bakteri pada spesimen urin. Selanjutnya,
spesimen yang memenuhi syarat kultur dinokulasikan pada medium perbenihan
bakteri (medium agar) berdasarkan hasil pewarnaan gram. Pada spesimen urin,
spesimen yang diterima diambil beberapa tetes dengan ose steril, kemudian di
letakkan di atas gelas objek dan pada spesimen urin tersebut di lakukan
pewarnaan gram. Bila ditemukan bakteri gram positif, maka kultur primer
dilakukan pada medium Blood Agar , bila ditemukan bakteri gram negatif, kultur
primer dilakukan pada medium MacConkey Agar, bila ditemukan bakteri gram
positif dan gram negatif, maka kultur primer dilakukan pada medium blood agar
dan medium MacConkey Agar, kemudian semuanya diinkubasi pada suhu 37’c
selama 18-24 jam. Tahap terakhir dilakukan pengamatan diamati petumbuhan
koloni bakteri terpisah (murni) yang ada setelah masa inkubasi selesai, kemudian
dilakuan pengecetan gram dari koloni bakteri tersebut. Hasil pewarnaan gram
yang mendukung dugaan infeksi oleh bakteri MRSA adalah ditemukannya
(Erikawati dkk.,2013)
2.5.2 Metode Tes Katalase
Tes katalase digunakan untuk membedakan genus staphylococcus
dengan streptococcus. Kedua genus tersebut memiliki sifat pewarnaan gram
yang sama, yaitu gram positif dan berbentuk kokus. Perbedaan kedua genus
tersebut adalah keberadaan enzim sitikrom oksidase, yaitu genus
staphylococcus mempunyai enzim tersebut, sedangkan streptococcus tidak.
Prosedur pelaksanaan tes katalase pertama adalah membersihkan gelas objek
yang akan digunakan dengan melewatkan gelas objek diatas nyala api sebanyak
3 kali. Selanjutnya dengan ose steril ambil 2-3 koloni kuman yang terpisah
(murni) kemudian diletakkan di gelas objek. 1 tetes hidrogen peroksida (H2 o2)
30% diteteskan diatas koloni bakteri tersebut. Di amati terbentuknya gelembung
udara, bila terbentuk gelembung udara dengan cepat dan banyak dinyatakan tes
katalase positif. Sebaliknya, bila terbentuk gelembung sedikit dan terjadi setelah
20-30 detik tidak dapat dikatakan tes katalase positif. Bakteri kokus gram positif
23
yang mehasilkan tes katalase positif tersebut adalah golongan staphylococcus
sp. Apabila tes katalase negatif berarti yang tumbuh adalah golongan
streptococcus sp. Dari tes katalase ini, sampel yang diambil adalah isolat
spesimen yang menghasilkan tes katalase positif (Forbes et al.,2007).
2.5.3 Metode Tes Koagulase
Tes koagulase adalah tes lanjutan yang dilakukan setelah
mengidentifikasi bakteri staphylococcus sp. Setelah tes katalase. Tes koagulase
ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri staphylococcus aureus, dimana
hanya spesies bakteri tersebut yang menghasilkan tes koagulase positif di antara
genus bakteri staphylococcus sp., dikarenakan mempunyai enzim koagulase.
Prosedurnya diawali dengan mengambil satu lembar kertas karton hitam tahan
air yang khusus digunakan untuk tes koagulase Remel kemudian meneteskan 1
tetes larutan staphaurex (latex koagulase) diatas kertas karton tersebut.
Selanjutnya satu koloni murni bakteri, yang telah teridentifikasi katalase positif
dari medium perbenihan bakteri, diletakkan di atas larutan staphaurex
menggunakan lidi kayu. Kemudian kertas karton tersebut di goyang-goyangkan
selama 30-60 detik. Jika timbul bentukan endapan seperti pasir-pasir kecil
berwarna pitih keabu-abuan, maka dinyatakan tes koagulase positif, yang
menandakan bahwa isolat tersebut adalah staphylococcus aureus. Namun
apabila tidak didapatkan bentukan butiran pasir, maka isolate bakteri tersebut
adalah spesies staphylococcus koagulase negatif. Dari tes katalase ini, maka
sampel yang diambil adalah isolat spesimen yang menghasilkan tes koagulase
positif (Sahm et al.,2007).
2.5.4 Metode Uji Kepekaan Antiobiotik
Pengujian kepekaan terhadap antibiotik dilakukan setelah proses
identifikasi koloni bakteri staphylococcus aureus selesai. Digunakan metode disc
diffusion (Kirby Bauer method) dan pedoman menurut tabel yang dibuat oleh
clinical and laboratory standarts institute (CLSI) 2014. Pada metode ini
digunakan kertas-kertas cakram berdiameter 6mm yang telah berisi antibiotika
dalam konsentrasi tertentu. Beberapa koloni bakteri staphylococcus aureus yang
terpisah dan murni diambil dengan ose steril kemudian dilarutkan dalam 2 ml
larutan NaCl fisiologis sampai mencapai konsentrasi 0.5 Mc Farland atau setara
dengan kepadatan sel bakteri sebesar 1,5x108 bacteria/ml. Larutan NaCl
24
fisiologis yang sudah berisi bakteri tersebut kemudian divortex agar homogen.
Lidi kapas steril dimasukkan ke dalam tabung larutan NaCl tersebut untuk
mengambil inokulum bakteri dan diinkubasi dalam suhu 37’C selama 30 menit.
Selanjutnya larutan Nacl fisiologis yang telah diinkubasi dikeluarkan dari
inkubator, lidi kapas ditekan pelan ke permukaan bagian dalam dinding tabung
yang berisi larutan NaCl tersebut, dipastikan tidak ada kelebihan cairan,
kemudian lidi kapas digoreskan diatas Agar Muller Hinton untuk membuat
streaking pada permukaan Agar tersebut. Pembuatan streaking ini bertujuan
untuk menumbuhkan koloni bakteri staphylococcus aureus pada seluruh
permukaan Agar. Agar Muller Hilton dibiarkan mengering selama 2 menit,
kemudian kertas cakram antibiotik cefotaxin, cholamphenicol, ciprofloxacin,
erythromycin, gentamicin, tetracycline, dan trimethophrim-sulfametoxazole
diletakkan di atas agar Muller Hinton dengan jarak sebesar 24mm dari bagian
tengah kertas cakram satu antibiotic ke antibiotic lainnya. Agar Muller Hinton
diinkubasikan dalam incubator pada suhu 37’C selama 24 jam setelah semua
kertas cakram antibiotic terpasang (Patel et al.,2014).
Hambatan pertumbuhan bakteri di atas Agar Muller Hinton selanjutnya
diamati di sekitar cakram antibiotik cefotaxin, cholamphenicol, ciprofloxacin,
erythromycin, gentamicin, tetracycline, dan trimethophrim-sulfametoxazole
setelah waktu inkubasi selesai. Selanjutnya dilakukan pengukuran diameter
hambatan pertumbuhan bakteri untuk setiap jenis cakram antibiotika. Hasil
pengukuran diameter hambatan pertumbuhan bakteri tersebut kemudian
disesuaikan dengan table pengukuran kepekaan antibiotic yang dibuat oleh
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) 2014, sehingga dapat
ditentukan apakah bakteri yang diujikan masih sensitif atau sudah resisten
terhadap suatu antibiotik. Bakteri staphylococcus aureus strain MRSA
teridentifikasi apabila didapatkan hasil resisten terhadap antibiotic cefoxitin
(didapatkan hambatan pertumbuhan bakteri staphylococcus aureus berdiameter
<21 mm) (Alder et al.,2014).
2.6 Terapi dan Pencegahan
2.6.1 Antimikroba Untuk Terapi MRSA
Pada penelitian yang dilakukan didapatkan 100% resistensi MRSA
terhadap semua antibiotik betalaktam yang diujikan, yaitu ampicillin, amoxicillin-
25
clavulanic acid, cefotaxime, cefepime dan meropenem. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak ada antibiotik golongan betalaktam yang sensitif terhadap MRSA.
Berdasarkan standard CLSI, pada uji resitensi antibiotik golongan betalaktam,
selain antibiotik betalaktam terbaru dengan aktivitas anti-MRSA (ceftobiprole dan
ceftaroline), dilaporkan sebagai resisten meskipun menunjukkan hasil sensitif
secara in vitro, karena antibiotik tersebut terbukti tidak efektif secara klinis pada
pengobatan infeksi MRSA (Ray et al.,2011).
Hingga kini belum ada terapi infeksi MRSA yang benar- benar efektif.
Glikopeptida vankomisin yang merupakan drug of choice untuk infeksi MRSA
ternyata memiliki efek bakterisidal yang lambat dan sering menimbulkan
kegagalan terapi. Masalah menjadi semakin rumit dengan ditemukannya galur
MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin dan MRSA yang
resisten vankomisin. Antimikroba lain seperti asam fusidat, rifampin, fosfomisin,
quinolon dan trimetoprim-sulfametoksazol memiliki kemanjuran yang lebih
rendah dibandingkan dengan vankomisin. Juga telah terbukti adanya galur
MRSA yang resisten terhadap antimikroba tersebut. Antimikroba baru sebagai
alternatif terapi infeksi MRSA adalah streptogramin, oksazolidinon, daptomisin,
glisilsiklin, oritavansin dan peptida. Selain itu direkomendasikan pula terapi
infeksi MRSA dengan antimikroba kombinasi (Yuwono,2010).
Antibiotik vancomycin masih merupakan pengobatan utama pada infeksi
MRSA. Hasil penelitian mendapatkan semua isolat MRSA masih sensitif
terhadap antibiotik vancomycin. Angka resistensi MRSA sebesar 0%
menunjukkan belum berkembangnya strain S.aureus yang sensitivitasnya
menurun terhadap antibiotic vancomycin, yaitu vancomycin-intermediate
S.aureus (VISA). Vancomycin-intermediate Staphylococcus aureus (VISA)
pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1996. Selanjutnya infeksi VISA
ditemukan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia. Tahun 2006 dilaporkan 6 infeksi
VRSA di Amerika Serikat. Mekanisme resistensi VISA dihubungkan dengan
penebalan dinding sel yang menyebabkan molekul vancomycin terperangkap
pada lapisan luar dinding sel. Sedangkan mekanisme resistensi VRSA
disebabkan oleh adanya gen vanA yaitu gen yang penyebab resisten terhadap
antibiotik vancomycin (Wenzel, 2002).
26
Hal ini serupa dengan penelitian di Kanada dan pada Rumah Sakit Domat
Al-Jandal di Arab Saudi, yang tidak menemukan resistensi MRSA terhadap
antibiotic vancomycin (Zhanel dkk.,2008) Surveilans di negara-negara Eropa dan
Amerika Utara mendapatkan hasil yang sama, di semua negara yang diuji, yaitu
Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman dan Perancis, didapatkan angka
resistensi MRSA terhadap vancomycin sebesar 0%.30 Hasil penelitian
mendapatkan angka resistensi MRSA terhadap linezolid sebesar 0 %. Hal ini
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik linezolid efektif secara in vitro
terhadap infeksi MRSA. Linezolid merupakan salah satu antibiotik yang efektif
digunakan sebagai pengobatan infeksi MRSA. Secara umum potensi linezolid
untuk mengatasi MRSA setara dengan penggunaan vancomycin. Linezolid dapat
digunakan sebagai pengobatan alternatif MRSA selain vancomycin
(Yuwono,2010).
Resistensi MRSA terhadap antibiotik linezolid sangat jarang terjadi,
mekanisme resistensi MRSA terhadap linezolid ini didasari adanya gen cfr.35
Isolat MRSA pertama yang resisten terhadap linezolid ditemukan pada pasien
peritonitis akibat dialisis pada tahun 2001. Penelitian pada ICU di seluruh
Kanada juga mendapatkan angka resistensi terhadap antibiotik linezolid sebesar
0% (Zhanel et al.,2008). Penelitian medapatkan hasil 0% resistensi MRSA
terhadap trimethoprimsulfametoxazole. Trimethoprim-sulfametoxazole bukan
merupakan pengobatan utama infeksi Staphylococcus, termasuk infeksi MRSA.
Tetapi trimethoprimsulfametoxazole kerap digunakan pada infeksi community-
acquired MRSA (CAMRSA). Hal ini dikarenakan 95%-100% CA-MRSA terbukti
sensitif secara in vitro terhadap trimethoprim-sulfametoxazole. Penelitian tentang
penggunaan antibiotic trimethoprim-sulfametoxazole mendapatkan bahwa
penggunaan trimethoprimsulfametoxazole pada bakteremia akibat MRSA aman
dan efektif seperti pada penggunaan vancomycin dan antibiotik ini dapat
digunakan sebagai terapi tambahan pada bakteremia akibat MRSA (Goldberg et
al.,2010).
Penelitian yang sama mendapatkan sensitivitas MRSA terhadap
trimethoprimsulfametoxazole sebesar 95%.38 Sedangkan penelitian CAN-ICU
study memperoleh angka resistensi sebesar 12,8% dan penelitian di Turki
mendapatkan resistensi trimethoprim-sulfametoxazole sebesar 29,9%. Hasil
27
penelitian mendapatkan 0% resistensi MRSA terhadap antibiotik
chloramphenicol. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Iran yang
mendapatkan angka resistensi MRSA terhadap antibiotik chloramphenicol
sebesar 14%. Hasil berbeda juga didapatkan pada penelitian di Pakistan dan
Yaman yang masing-masing angka resistensinya sebesar 7% dan 10,3% (Patel
et al.,2014).
Perbedaan hasil resistensi antibiotik trimethoprim-sulfametoxazole dan
chloramphenicol dikarenakan oleh pola resistensi dan pola penggunaan
antibiotik. yang berbeda di setiap rumah sakit.Perbedaan hasil juga dapat terjadi
akibat keterbatasan penelitian. Pada penelitian ini uji resistensi antibiotik
trimethoprimsulfametoxazole dan chloramphenicol tidak dilakukan pada semua
isolat MRSA, sehingga dapat terjadi perbedaan hasil yang diperoleh. (Lestari
dkk.,2012).
Glisilsiklin merupakan turunan tetrasiklin yang dibuat untuk mengatasi
resistensi terhadap tetrasiklin. Pada uji hewan terbukti efektif untuk mengatasi
infeksi MRSA sistemik. Obat ini tengah dalam uji klinis. Sementara itu oritavansin
suatu glikopeptida semisintetik dan peptide kationik suatu golongan antimikroba
baru tengah diteliti dan masih pada fase uji in vitro (Yuwono,2010).
2.6.2 Pencegahan (Preventif)
Sudah lebih 40 tahun MRSA menjadi salah satu masalah infeksi
nosokomial, bahkan dalam 10 tahun terakhir telah terjadi wabah CA-MRSA di
berbagai negara. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa terapi terhadap infeksi
MRSA belum sepenuhnya berhasil. Oleh karena itu tindakan pencegahan
merupakan strategi yang tepat dan berguna untuk mengatasi masalah ini.
Setidaknya terdapat empat hal berkenaan dengan program pencegahan dan
pengendalian infeksi MRSA bahwa MRSA tidak lebih virulen dibandingkan
dengan S. aureus sensitif, reservoir (sumber penularan) utama adalah
nasofaring, MRSA terutama ditularkan melalui tangan dan terbukti kebersihan
tangan dapat mencegah penularan dan kolonisasi pada rongga hidung (nasal)
(Gordon et al.,2008).
28
Keberhasilan program pencegahan dan pengendalian infeksi MRSA
dapat ditentukan dengan mengukur parameter umum dan spesifik. Parameter
umum berupa pedoman/panduan pengendalian MRSA, program pengendalian
infeksi, deteksi dini MRSA, higiene tangan (hand hygiene), menejemen pasien
rawat inap (komunikasi dan penyuluhan), standard pengamanan (cuci tangan,
baju steril, sarung tangan, masker, peralatan medis steril dan pencucian/laundry
yang tepat) dan surveilans mikrobiologi, penggunaan antimikroba yang rasional
serta terapi untuk penderita carrier. Parameter khusus berupa pencegahan
kontak dengan pasien misalnya dengan isolasi/ruangan tunggal, pemakaian
barrier seperti baju steril, sarung tangan dan masker dan desinfeksi-sterilisasi
ruangan (Sulistyaningsih, 2010).
29
BAB 3
3.1 KERANGKA KONSEP
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Keterangan :
Ditetliti Menyebabkan
Tidak diteliti Terdiri dari
Anak Sekolah Dasar
Kebersihan
rendah
Mandi
Kebersihan
tinggi
MRSA
meningkat
pada swab
hidung
MRSA
menurun
pada swab
hidung
Kebersihan diri
Cuci tangan Berpakaian
Kebersihan lingkungan
Tempat
bermain
Tempat
tinggal
sekolah
30
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia
bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun)
hingga remaja (11-18 tahun). Anak adalah individu yang rentan karena
perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap masa kanak- kanak dan
masa remaja. Lebih jauh, anak juga secara fisiologis lebih rentan dibandingkan
orang dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang memengaruhi
pemahaman dan persepsi mereka mengenai dunia.
Anak-anak lebih rentan terserang penyakit, karena sistem kekebalan
tubuhnya belum terbentuk dengan sempurna. Selain itu faktor resiko anak rentan
terhadap penyakit adalah kurangnya kebersihan diri dan lingkungan. Anak perlu
menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat supaya tidak
menyebarkan kotoran, atau menularkan kuman penyakit bagi diri sendiri maupun
orang lain. Kebersihan diri meliputi kebersihan badan, seperti mandi, menyikat
gigi, mencuci tangan, dan memakai pakaian yang bersih. Kebersihan lingkungan
adalah kebersihan tempat tinggal, tempat bekerja, dan berbagai sarana umum.
Penularan MRSA terjadi ketika organisme ditransmisikan dari orang ke
orang melalui kontak langsung dengan kulit, melalui lingkungan atau peralatan
yang terkontaminasi, juga melalui udara. Maka dari itu kebersihan diri dan
lingkungan sangatlah penting dalam kesehatan. Dengan kebersihan yang tinggi
dapat menurunkan angka kejadian MRSA pada anak, dan sebaliknya apabila
kebersihan pada diri rendah akan meningkatkan angka kejadian MRSA.
3.2 Hipotesis Penelitian .
1. Terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan adanya bakteri S.aureus
dan MRSA, semakin tinggi kebersihan diri, semakin rendah anak beresiko
terdapat MRSA, apabila semakin rendah kebersihan diri semakin rentan
anak terdapat MRSA.
2. Terdapat perbedaan tes kepekan antibiotik pada isolat S.auerus dan MRSA
pada anak kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang.
31
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
cross sectional. Sehingga peneliti memungkinkan untuk melakukan hubungan
antarvariabel dan menguji hipotesis.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari obyek peneliti atau obyek yang akan
di teliti (Notoatmodjo,2005). Berdasarkan rasionalitas usia terkecil pada anak
sekolah dasar adalah kelas 1,2 dan 3. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang.
4.2.2 Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian
jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Aimul,2003). Besar sampel dalam
penelitian ini dapat di hitung sebagai berikut :
n=
keterangan :
n = perkiraan jumlah sampel
N = perkiraan besar populasi
d = tingkat kesalahan yang dipilih (d=0,1)
jumlah sampel anak yang mengikuti penelitian adalah
n=
n=
N
N . (d)2 + 1
N
N . (d)2 + 1
11 108
108 . (0,1)2 + 1
32
n= 108 per 2,08
n= 54,807
n= 55
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus yang ada, dengan jumlah
populasi 108 orang, maka sampel minimal yang digunakan adalah 55, dan
jumlah sampel ditambah 20% dengan maksud untuk mengatasi responden yang
mengalami drop out. Sehingga total sampel yang digunakan adalah sebanyak
66. Metode yang digunakan yaitu simple random sampling, karena setiap
anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk
diseleksi sebagai sampel.
4.2.3 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Anak kelas 2-3 SD.
b. Murid SDN Lowokwaru 4.
4.2.4 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :.
a. Ada informasi pada saat pengambilan sampel anak mengundurkan diri
karena sakit.
b. Anak yang mendapat terapi antibiotik.
4.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di SDN Lowokwaru 4 Malang dan
Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Univesitas Brawijaya. Penelitian
sudah dilaksanakan pada bulan Juli 2017- Agustus 2017.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel Independent (Bebas)
Variabel independen dalam penelitian ini adalah kebersihan diri pada
anak SD.
2.5.1 Variabel dependent (Terikat)
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah terdapat kolonisasi
S.aureus dan MRSA pada swab hidung anak SD.
33
4.5 Definisi Operasional
4.5.1 Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto,
2003). Seseorang dikatakan memiliki kebersihan diri baik apabila, orang
tersebut dapat menjaga kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan
kulit, tangan, kuku, dan kebersihan genitalia (Badri, 2008)
4.5.2 Kebersihan tangan dan kuku yang baik adalah Cuci tangan dengan 6
langkah sesuai WHO sebelum dan sesudah makan, setelah ke kamar
mandi. Handuk yang digunakan untuk mengeringkan tangan sebaiknya
dicuci dan diganti setiap hari. Jangan menggaruk atau menyentuh bagian
tubuh seperti telinga, hidung, dan lain-lain saat menyiapkan makanan.
4.5.3 Mandi adalah membersihkan diri dengan air dan sabun dianjurkan
sedikitnya 2 kali sehari, menjaga kebersihan diri terutama lipatan kulit
(ketiak, paha, daerah genetalia) dengan cara dibersihkan dengan air dan
dikeringkan.
4.5.4 S.aureus adalah bakteri gram positif, fakultatif anaerob, berbentuk bulat
dan bergerombol. Habitatnya di hidung, lipatan paha, lipatan ketiak dan
pusar.
4.5.5 MRSA adalah (Methicillin resistant Staphylococcus aureus) jenis
Staphylococcus aureus yang resisten terhadap antibiotik metisilin
golongan β-laktam.
4.5.6 Betalaktam digolongkan menjadi 3 yaitu turunan sefalosporin, penisilin,
dan betalaktam non klasik. .
4.5.7 Antibiotik : segolongan molekul, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menghambat atau membunuh suatu proses infeksi oleh
bakteri.
4.5.8 Daya Hambat: kemampuan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan
bakteri secara maksimal yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona
hambat pada media agar dalam satuan mm.
4.5.9 Resistensi: keadaan bakteri yang telah kebal terhadap antibiotik, dimana
antibiotik tidak bekerja lagi terhadap bakteri tertentu, yang memiliki daya
tahan lebih kuat.
4.5.10 Sensitifitas: kemampuan antibiotik untuk membunuh bakteri.
34
4.6 Alat dan Bahan/Instrumen Penelitian
4.6.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua)
kelompok yaitu alat untuk isolat dan identifikasi S.aureus dan alat untuk uji
sensitifitas bakteri terhadap antibiotik.
4.6.1.1 Alat untuk Isolat dan Identifikasi S.aureus
1. Autoklaf (untuk sterilisasi MSA)
2. Alat inkubator bakteri
3. Tissue
4. Jarum ose steril
5. Cawan petri,
6. Lidi kapas steril
7. Kertas karton hitam tahan air yang khusus digunakan untuk tes koagulase
Remel
4.6.1.2 Alat untuk Uji Sensitifitas S.aureus terhadap Antibiotik
1. Pinset steril
2. Cawan petri
3. Alat inkubator bakteri
4. Penggaris/ jangka sorong
4.6.1.3 Alat/instrumen penelitian untuk Tingkat Kebersihan Diri
1. Kuisoner sebagai alat untuk mengetahui tingkat kebersihan yang terdiri
dari nama, usia, jenis kelamin, alamat tempat tinggal, berat badan,
pertanyaan tentang kebersihan diri.
4.6.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 (dua)
kelompok yaitu bahan untuk isolat dan identifikasi S.aureus dan bahan
untuk uji sensitifitas bakteri terhadap antibiotik.
4.6.2.1 Bahan Pembuatan Isolat dan Identifikasi S.aureus
1. Isolat Staphylococcus aureus.
2. 10 gr pepton, 10 gr manitol, 15 gr agar, 75 gr sodium klorida, 0,25 gr
Phenol red bahan untuk membuat MSA.
3. 500 ml aquades sebagai pelarut
35
4. Nutrient agar
5. Larutan staphaurex (latex koagulase) untuk tes koagulase
4.6.2.2 Bahan untuk Uji Sensitifitas S.aureus terhadap Antibiotik
1. Antibiotik Cefoxitin, Ciprofloxacin, Eritromisin, Gentamisin, Ampisilin,
Penicillin, Fosfomisin
2. Nutrient agar
4.7 Metode Pengumpulan Data
4.7.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai dengan pemilihan sampel anak di SDN
Lowokwaru 4 Malang yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
ekslusi. Selanjutnya, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuisoner modifikasi dan telah dilakukan validasi pada 30 sampel anak dan
lembar hasil penelitian S.aureus dan MRSA sebagai instrumen penelitian.
Data yang dikumpulkan menggunakan kuisoner yang didapat dari anak
SDN Lowokwaru 4 Malang kelas 2 dan 3. Sedangkan bentuk lembar hasil
penelitian digunakan oleh peneliti pada saat meneliti bakteri S.aureus dan MRSA
untuk mengetahui adanya bakteri S.aureus dan MRSA pada swab hidung anak
SD.
4.7.2 Prosedur Penelitian
Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini diawali dengan
mengambil swab hidung anak SDN Lowokwaru 4 Malang kelas 2 dan 3. Setelah
itu, peneliti mulai meneliti adanya bakteri S.aureus dan MRSA di Laboratorium
Mikrobiologi FKUB Malang.
4.7.2.1 Pembuatan Mannitol Salt Agar (MSA)
Bahan yang digunakan terdiri dari 10 gr pepton, 10 gr manitol, 15 gr agar, 75 gr
sodium klorida, 0,25 gr Phenol red. Cara pembuatan:
a. Bahan dilarutkan dalam 500 ml aquades, kemudian dipanaskan sampai bahan
terlarut sempurna.
b. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada tekanan 1 atm dan suhu 121˚
C selama ± 15 menit.
36
c. Media didinginkan sampai teraba hangat-hangat kuku, kemudian dituangkan
ke dalam cawan petri steril.
d. Media dibiarkan membeku (menjadi padat).
4.7.2.2 Pengambilan Swab Hidung
a. Menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.
b. Desinfeksi menggunakan lidi kapas steril dan kasa steril dengan larutan
iodin povidon daerah sekitar lubang hidung luar, vestibulum, septum nasi,
dasar rongga hidung, meatus inferior, konka inferior.
c. Desinfeksi pula tangan yang memekai sarung tangan dengan
menggunakan Alkohol 70%.
d. Membuka atau melebarkan lubang hidung pasien dengan tangan,
memasukkan lidi kapas steril kedalam hidung secara perlahan-lahan.
Melakukan swab atau usapan pada hidung dalan dengan cara memutar
satu putaran selama 10-15 detik, kemudian lidi kapas ditarik keluar dan
hindari penempelan lidi pada permukaan hidung.
e. Lidi kapas segera ditanam pada media mannitol salt agar.
f. Sampel segera dibawa ke laboratoriun untuk diinkubasi pada suhu 37º C
selama 24 jam. Setelah terdapat pertumbuhan koloni pada pada media
Manitol Salt Agar (MSA) kemudian perhatikan perubahan warna yang
terjadi pada media. Apabila media berubah menjadi kuning, maka bakteri
tersebut dapat tumbuh dalam suasana garam serta dapat
memfermentasikan manitol. Perubahan warna pada media menandakan
bakteri tersebut adalah Staphylococcus aureus.
4.7.2.3 Tes Koagulase Staphylococcus aureus
Setelah terdapat pertumbuhan koloni pada Manitol Salt Agar maka dengan
menggunakan ose bulat, koloni ditanamkan pada ditanamkan kembali pada
media nutrient agar dan diinkubasi selama 24 jam, apabila ada perubahan warna
menjadi putih keemasan berarti S.aureus murni kemudian dilakukan uji
koagulase untuk mengetahui S.uareus patogen atau tidak. Prosedurnya diawali
dengan :
1. Mengambil satu lembar kertas karton hitam tahan air yang khusus digunakan
untuk tes koagulase Remel
37
2. Kemudian meneteskan 1 tetes larutan staphaurex (latex koagulase) diatas
kertas karton tersebut. Selanjutnya satu koloni murni bakteri, yang telah
teridentifikasi S.aureus positif dari medium nutrient agar , diletakkan di atas
larutan staphaurex menggunakan lidi kayu.
3. Kemudian kertas karton tersebut di goyang-goyangkan selama 30-60 detik.
Jika timbul bentukan endapan seperti pasir-pasir kecil berwarna pitih keabu-
abuan, maka dinyatakan tes koagulase positif, yang menandakan bahwa
isolat tersebut adalah staphylococcus aureus
4.7.2.4 Pengukuran Sensitivitas Antibiotik
a. Cakram Cefoxitin, Ampicillin, Gentamisin, Eritomisin, Penicillin, Ciprofloxacin,
Fosfomisin diletakkan pada kultur media Agar dengan menggunakan pinset steril.
Jarak antara cakram satu dengan yang lain ±15 mm sehingga didapatkan kontak
yang baik antara cakram obat dengan bakteri, kemudian di inkubasi pada suhu
37˚ C selama 24 jam.
b. Zona hambat yang terbentuk disekitar cakram antibiotika diukur menggunakan
penggaris dengan memakai satuan mm.
38
4.8 Metoda Analisis Data
Data-data yang telah dikelompokkan dan ditabulasi analisis statistik
dengan menggunakan fasilitas SPSS (Statistical Package for the Social
Sciences) 19.0 for Windows dengan tingkat signifikansi atau nialai probabilitas
0,05 (p=0,05) dan taraf kepercayaan 95% (α=0,05).
Untuk mengetahui apakah terdapat keragaman antar perlakuan
dilakukan uji hipoteis komparatif. Metode yang dapat digunakan yaitu uji One-
way ANOVA dengan alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Metode One-way ANOVA
(Analysis of Varience) dapat digunakan jika data memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut (dahlan,2004),
1. Terdapat lebih dari dua kelompok yang tidak berpasangan.
2. Distribusi data normal, yang dapat diketahui dari uji normalitas
(Kolmogorv-Sminov atau Shapiro-Wilk). Jika distribusi data tidak normal,
maka diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya distribusi
data menjadi normal.
3. Varians data sama atau homogen, yang dapat diketahui dari uji
homogenitas. Jika varians data tidak sama atau homogen, maka
diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya varians data
menjadi sama atau homogen.
4. Jika data hasil transformasi tidak terdistribusi normal atau varians tetap
tidak sama, maka alternatifnya dipilih uji Kruskal-Wallis.
Jika pada uji One Way ANOVA atau Kruskal Wallis didapatkan nilai
p<0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perbedaan
sensitifitas antibiotik terhadap S.aureus dan MRSA . Kemudian untuk mengetahui
kelompok mana yang berbeda dilakukan post-hoc test dengan uji Tukey HSD
untuk data yang menggunakan uji One Way ANOVA atau uji Mann Whitney
untuk data yang menggunakan uji Kruskal Wallis. Kemudian untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan adanya bakteri
S.aureus dan MRSA dan melihat seberapa besar peluangnya, dilakukan uji
Regresi Logistik.
39
4.9 Skema Prosedur Penelitian
Gambar 4.1 Alur Penelitian
Pengambilan swab
hidung anak SD
Spesimen
digoreskan pada
nutrient
agar,inkubasi selama
Spesimen digoreskan
pada media Mannitol
Salt Agar (MSA)
Inkubasi 37’C
selama 24 jam
Tidak terdapat
perubahan
warna
Terdapat
perubahan warna
(merah-kuning)
Hasil nutrient agar terdapat
perubahan warna keemasan
(S.aureus murni)
Meletakkan cakram
antibiotik pada media yang
sudah diolesi bakteri
Inkubasi 37’C
selama 24-48
jam
Hazil zona hambat pada
kultur agar
Hasil uji
sensitivitas
Sensitive (S)
Resisten (R)
Uji koagulase positif
40
BAB 5
HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Karakteristik Dasar
Dari hasil penelitian didapatkan penggolangan jenis kelamin,
kebersihan, dan ada tidaknya bakteri S.aureus pada murid kelas 2 dan 3 di SDN
Lowokwaru 4 Malang yang dianalisis menggunakan analisis univariat yang
disajikan dalam bentuk presentase dan dijelaskan secara deskriptif. Tabel
Karakteristik dasar yang akan dijelaskan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik Dasar
Jumlah Persentase
Laki-laki 34 51 %
Perempuan 32 49 %
Bersih 43 65 %
Tidak bersih 23 35 %
Ada S.aureus 19 29 %
Tidak ada S.aureus 47 71 %
7 tahun 19 28 %
8 tahun 28 42 %
9 tahun 20 30 %
Keterangan : Jumlah Anak yang diperiksa 66 orang (N)
Dari hasil pengambilan sampel pada swab hidung anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang tidak didapatkan bakteri S.aureus. Dari 66 orang yang
menjadi responden pada penelitian ini, 19 orang (29%) adalah anak yang
didapatkan isolasi S.aureus. Sedangkan 47 orang (71%) adalah anak yang tidak
terdapat S.aureus. Dari 19 anak yang terinfeksi S.aureus di bagi menjadi dua
kategori yaitu 14 orang dengan kategori tidak bersih dan 5 orang dengan
kategori bersih. untuk penjelasannya dapat dilihat pada tabel 5.2.
41
Tabel 5.2 Classification Table
S.aureus (+) S.aureus (-) Percentage
correct
Bersih 5 38 73,7 %
Tidak bersih 14 9 80.9 %
Overall percentage 78,8 %
Tabel diatas didapatkan dari hasil analisis Regresi Logistik dengan
menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) 19.0 for
Windows. Dari hasil tabel 5.2 menunjukkan 19 orang yang didapatkan isolasi
S.aureus dibagi menjadi 2 katagori yaitu 14 orang dengan katagori tidak bersih
dan 5 orang dengan katagori bersih. Sedangkan sisanya 47 orang yang tidak
terdapat S.aureus dibagi menjadi dua yaitu 38 orang dengan katagori bersih dan
9 orang dengan katagori tidak bersih. Dari hasil penelitian ini didapatkan
hubungan antara kebersihan diri dengan adanya bakteri S.aureus, semakin
bersih anak semakin rendah resiko anak terdapat S.aureus.
Hasil persentase pada tabel 5.2 menunjukkan bahwa metode Regresi
Logistik yang digunakan telah cukup baik, karena mampu menebak dengan
benar 78,8 %. Untuk penjelasannya akan di jelaskan pada bagian analisis
Regresi Logistik.
5.1.2 Hasil Uji Sensitifitas Antibiotik
Dari hasil penelitian ini didapatkan 19 orang yang terdapat isolat S.aureus
dilakukan uji sensitifitas antibiotik. Dan dari hasil uji sensitifitas antibiotik terhadap
bakteri S.aureus dengan menggunakan 7 antibiotik yaitu fosfomycin, ampicillin,
gentamycin, penicillin, cefoxitin, erythromycin, ciprofloxacin hasilnya tidak
didapatkan MRSA tetapi terdapat resistensi pada antibiotik penicillin. Pada hasil
penelitian ini di uji dengan menggunakan kruskal wallis untuk menunjukkan
perbedaan diantara ketujuh antibiotik didapatkan peringkat antibiotik yang
memiliki sensitifitas tertinggi sampai terendah yaitu fosfomycin, ciprofloxacin,
42
erythromycin, cefoxitin, ampicillin, gentamycin, penicillin. Untuk penjelasannya
dapat dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Uji Sentifitas Antibiotik
Antibiotik Rata-rata diameter
zona hambat
Katagori Uji kruskal Wallis
(sig.)
Fosfomycin 38,4 mm S
0,000
Ampicillin 20,8 mm S
Gentamycin 20,7 mm S
Cefoxitin 23,8 mm S
Erythromycin 25,2 mm S
Ciprofloxacin 26,8 mm S
Penicillin 5,9 mm R
Keterangan : S= Sensitif, R=Resisten menurut CLSI 2017
5.2 Analisis Data
Hasil penelitian dianalisis dengan software SPSS release 19.0 dengan
metode, Regresi Logistik, Kruskal Wallis, Mann Whitney U. Output hasil analisis
dapat dilihat pada lembar lampiran.
5.2.1 Analisis Regresi Logistik
Analisis regresi logistik dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh profil
kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang.
5.2.1.3 Koefisien Determinasi
Besarnya kontribusi pengaruh profil kebersihan terhadap ada tidaknya
bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN Lowokwaru 4 Malang dapat diketahui
melalui koefisien determinasinya (Nagelkerke R2). Hasil koefisien determinasi
dapat dilihat melalui tabel 5.4 :
43
Tabel 5.4 Uji Nagelkerke R2.
Koefisien determinasi (Nagelkerke R2) diperoleh sebesar 0,334 atau
sebesar 33,4 %. Hal ini berarti kemampuan variabel profil kebersihan dalam
menjelaskan variabel ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang sebesar 33,4% , sedangkan sisanya sebesar 66,6 %
merupakan kontribusi dari variabel lain yang tidak dibahas dalam penelitian ini.
5.2.1.2 Pengujian Hipotesis
A. Pengujian Hipotesis Simultan
Pengujian hipotesis simultan digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan profil kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan
3 SDN Lowokwaru 4 Malang. Kriteria pengujian menyatakan jika probabilitas <
level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara simultan profil
kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang. Hasil pengujian hipotesis secara simultan dapat dilihat
melalui tabel 5.5 :
Tabel 5.5 Uji Omnibus Test
Chi-square Probabilitas
17,531 0,000
Pengujian hipotesis secara simultan menghasilkan nilai Chi-square = 17,531
dengan probabilitas 0,000. Hasil pengujian tersebut menunjukkan probabilitas <
level of significance (=5%). Hal ini berarti terdapat pengaruh signifikan secara
simultan profil kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3
SDN Lowokwaru 4 Malang.
B. Pengujian Hipotesis Parsial
Pengujian hipotesis parsial digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh profil kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan
3 SDN Lowokwaru 4 Malang. Kriteria pengujian menyatakan jika probabilitas <
Nagelkerke R Square 0,334
44
level of significance () maka terdapat pengaruh signifikan secara individu profil
kebersihan terhadap ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang. Hasil pengujian hipotesis secara parsial dapat dilihat
melalui tabel 5.6 :
Tabel 5.6 Variable in the Equation
Variabel Independen B Wald Probabilitas Odd Ratio
X [Tidak Bersih] 2,470 14,992 0,000 11,822
Constant -0,442 1,069 0,000 0,643
Pengujian hipotesis secara parsial variabel profil kebersihan menghasilkan
nilai statistik uji wald sebesar 14,992 dengan probabilitas sebesar 0,000. Hasil
pengujian tersebut menunjukkan probabilitas < level of significance (=5%). Hal
ini berarti terdapat hubungan signifikan secara parsial profil kebersihan terhadap
ada tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN Lowokwaru 4 Malang.
5.2.1.3 Model Empirik Regresi Logistik
Model regresi logistik hubungan antara kebersihan diri terhadap ada
tidaknya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN Lowokwaru 4 Malang dapat dilihat
melalui tabel 5.8 variable in the equation.
Tabel dan persamaan di atas menunjukkan hal sebagai berikut :
1. Koefisien konstanta sebesar -0,442 dengan odd ratio sebesar 0,643
mengindikasikan bahwa apabila variabel profil kebersihan bernilai konstan
(tidak berubah) maka peluang adanya bakteri pada anak kelas 2 dan 3 SDN
Lowokwaru 4 Malang sebesar 0,643 kali.
2. Koefisien variabel profil kebersihan (Bersih) sebesar 2,470 dengan odd ratio
sebesar 11,822. Hal ini berarti anak yang tidak bersih cenderung
mengandung bakteri 11,822 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang
bersih.
5.2.2 Pengujian Kruskal Wallis
Uji Kruskal Wallis adalah uji nonparametrik berbasis peringkat yang
tujuannya untuk menentukan adakah perbedaan signifikan secara statistik antara
dua atau lebih kelompok variabel independen pada variabel dependen yang
berskala data numerik (interval/rasio) dan skala ordinal. Oleh karena uji ini
45
merupakan uji non parametris di mana asumsi normalitas boleh dilanggar, maka
tidak perlu lagi ada uji normalitas misal uji shapiro wilk atau lilliefors.
a. Hipotesis Kruskal Wallis
Pengujian Kruskal Wallis pada data uji sensitifitas antibiotik terhadap
bakteri S.aureus adalah dengan kriteria nilai probabilitas < level of
significance (alpha = 5%) maka data uji sentifitas antibiotik terhadap bakteri
S.aureus dinyatakan terdapat perbedaan dari ketujuh kelompok antibiotik .
Hasil pengujian kruskal wallis dapat dilihat melalui tabel 5.7 :
Tabel 5.7 Uji Kruskall Wallis
zona_hambat
Chi-Square 87.125
Df 6
Asymp. Sig. .000
Oleh karena nilai sign. (p) dari uji Kruskal Wallis pada table 5.3 sebesar 0.000
dan lebih kecil dari alpha 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan dari ketujuh antibiotik terhadap bakteri S.aureus. Sehingga dapat
dilakukan pengujian dengan Mann Whitney U pada tahap berikutnya.
5.2.3 Pengujian Mann Whitney U
Metode Mann Whitney U sebagai uji pembandingan dua kelompok
independen dari populasi yang sama untuk menilai antar kategori apakah yang
ada perbedaan signifikan. Uji Mann Whitney ini untuk membandingkan
perbedaan sensitifitas golongan antibiotik dengan antibiotik lain terhadap bakteri
S.aureus , dilakukan uji Mann Whitney U, diterangkan sebagai berikut.
Golongan antibiotik fosfomycin dengan dibandingkan dengan seluruh
golongan antibiotik (ampicillin, gentamycin, ciprofloxacin, erythromycin, penicillin,
cefoxitin) hasilnya adalah berbeda bermakna. Perbandingan golongan antibiotik
ampicillin dengan seluruh golongan antibiotik (fosfomycin, gentamycin,
ciprofloxacin, erythromycin, penicillin, cefoxitin) hasilnya adalah berbeda
46
bermakna, kecuali pada ampicillin dengan gentamycin dan ampicillin dengan
cefoxitin hasilnya tidak berbeda bermakna.
Sementara pada golongan gentamycin dibandingkan dengan seluruh
antibiotik (fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin, penicillin, cefoxitin) hasilnya
adalah berbeda bermakna. Pada golongan ciprofloxacin dibandingkan dengan
seluruh golongan antibiotik hasilnya adalah berbeda bermakna kecuali pada
ciprofloxacin dengan erythromycin. Untuk penjelasan antibiotik lainnya akan
dijelaskan di dalam lampiran 5.
47
BAB 6
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian berikut ini akan dibahas secara sistematika
hasil penelitian tentang Hubungan Antara Kebersihan Diri Dengan Adanya
S.aureus dan MRSA Pada Swab Hidung Anak Kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru
4 Malang. Dari hasil pengambilan sampel pada swab hidung anak kelas 2 dan 3
SDN Lowokwaru 4 Malang tidak didapatkan anak yang terdapat MRSA. Dan dari
66 orang yang menjadi responden pada penelitian ini, 19 orang adalah anak
yang terdapat isolat S.aureus. Sedangkan 47 orang adalah anak yang tidak
terdapat S.aureus. Dari hasil kuisoner didapatkan 19 orang yang terdapat
S.aureus memiliki kebiasaan yang kurang baik yaitu jarang mencuci tangan
setelah bermain, jarang cuci tangan dengan menggunakan sabun, jarang
mengganti pakaian yang kotor/mencucinya, dan suka bergantian/meminjam
barang pribadi orang lain. Sedangkan cara penyebaran bakteri ini yaitu melalui
kontak langsung maupun melalui udara. Pada saat tangan terkontaminasi bakteri
S.aureus mungkin anak tersebut tidak sadar menggosok-gosok hidung atau
membersihkan hidung, sehingga didapatkan kolonisasi pada swab hidung anak
kelas 2 dan 3 di SDN Lowokwaru 4 Malang. Menurut hasil penelitian Nugrahaini
(2008) diketahui santri di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta memiliki
sikap yang buruk terhadap kebersihan diri, santri di Pondok-Pesantren Al-
Muayyad rata-rata positif terkena scabies dan terdapat pengaruh sikap tentang
kebersihan diri terhadap timbulnya skabies pada santri di Pondok Pesantren Al-
Muayyad Surakarta.
Dari hasil penelitian ini terdapat hubungan antara kebersihan diri dengan
adanya S.aureus pada swab hidung anak SD kelas 2 dan 3, dengan
menggunakan uji regresi logistik. Anak yang tidak bersih memiliki peluang lebih
besar mengandung bakteri 11,822 kali dibandingkan dengan anak yang bersih.
Dan dari hasil uji regresi logistik tersebut dikatahui ada beberapa anak yang tidak
bersih tetapi tidak didapatkan bakteri S.aureus, maupun sebaliknya ada
beberapa anak yang bersih didapatkan S.aureus. Seharusnya anak yang bersih
tidak didapatkan bakteri S.aureus dan anak yang tidak bersih terdapat S.aureus.
Hal tersebut dapat terjadi karena mungkin pada saat pengisian kuisoner anak
tersebut tidak jujur dalam mengisi jawaban atau anak tersebut kurang memahami
48
pertanyaaannya. Berdasarkan penelitian Maldiningrat (2017) terdapat hubungan
antara kebersihan diri dengan kejadian penyakit scabies di panti asuhan
kecamatan kemiling.
Pada uji sensitifitas antibiotik (fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin,
cefoxitin, ampicillin, gentamycin, penicillin) terhadap S.aureus tidak terdapat
resistensi terhadap antibiotik kecuali golongan penicillin sehingga tidak di
dapatkan MRSA. Saat ini, Staphylococcus aureus menjadi masalah yang sangat
serius karena peningkatan resistensi bakteri ini terhadap berbagai jenis antibiotik
(Multi Drug Resistance). Staphylococcus aureus memiliki kemampuan adaptasi
yang luar biasa sehingga bisa resisten pada banyak antibiotik. Pandemik dari
antibiotik resistant Staphylococcus aureus pertama kali muncul 60 tahun yang
lalu (Oliveira et al.,2002). Antibiotik yang resisten terhadap Staphylococcus
aureus saat itu adalah Penicillin. Penicillin pertama muncul pada tahun 1940 dan
dalam waktu 10 tahun, Penicillin sudah tidak efektif untuk tatalaksana
Staphylococcus aureus. Hingga akhirnya Penicillin resistant Staphylococcus
aureus menjadi pandemik sepanjang akhir tahun 1950an hingga awal tahun
1960an (Tomazs et al.,2002).
Pada hasil penelitian ini didapatkan perbedaan di antara ketujuh antibiotik
terhadap S.aureus. Dan peringkat antibiotik yang memiliki sensitifitas dari yang
tertinggi sampai yang terendah yaitu fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin,
cefoxitin, ampicillin, gentamycin, penicillin. Untuk menunjukkan perbedaan
secara umum diantara ketujuh antibiotik pada uji kruskal wallis didapatkan nilai
signifikansi p=0,000 (p<0,05) menunjukkan satu diantara antibiotik tersebut
memberikan perbedaan yang bermakna dengan yang lain. Nilai signifikansi
diatas menunjukkan bahwa ada antibiotik yang memiliki sensitifitas yang berbeda
dengan antibiotik satu dengan yang lainnya. Untuk mengetahui sensitifitas
ketujuh antibiotik (fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin, cefoxitin, ampicillin,
gentamycin, penicillin) yang berbeda dengan membandingkan masing-masing
antibiotik tersebut maka dilakukan uji Mann Whitney U.
Pada uji Mann Whitney U, terlihat tabel 5.5 menjelaskan bahwa
perbandingan antara golongan antibiotik Fosfomycin dengan seluruh golongan
antibiotik (ciprofloxacin, erythromycin, cefoxitin, ampicillin, gentamycin, penicillin)
49
hasilnya adalah berbeda bermakna, sehingga hasil ini menunjukkan bahwa
fosfomycin memiliki sensitifitas tertinggi sebagai antibiotik S.aureus. Karena
fosfomycin memiliki diameter zona hambat yang paling besar diantara antibiotik
lainnya. Perbandingan golongan antibiotik ampicillin dengan seluruh golongan
antibiotik (fosfomycin, gentamycin, ciprofloxacin, erythromycin, penicillin,
cefoxitin) hasilnya adalah berbeda bermakna, kecuali pada gentamycin dan
cefoxitin hasilnya tidak berbeda bermakna. Karena gentamycin dengan cefoxitin
memiliki sensitifitas atau diameter zona hambat yang sama dengan ampicillin.
Sementara pada golongan gentamycin dibandingkan dengan seluruh
antibiotik (ampicillin, fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin, penicillin, cefoxitin)
hasilnya adalah berbeda bermakna, kecuali ampicillin karena ampicillin memiliki
sensitifitas yang menyerupai dengan gentamycin. Pada golongan ciprofloxacin
dibandingkan dengan seluruh golongan antibiotik hasilnya adalah berbeda
bermakna kecuali pada ciprofloxacin dengan erythromycin. Hal ini menunjukkan
erythromycin memiliki sensitifitas yang sama dengan ciprofloxacin maupun
sebaliknya. Pada erythromycin dibandingkan dengan seluruh antibiotik
(ciprofloxacin, fosfomycin, ampicillin, cefoxitin, penicillin, gentamycin) hasilnya
berbeda bermakna kecuali cefoxitin karena cofoxitin memiliki sensitifitas yang
menyerupai erythromycin. Pada penicillin dibandingkan dengan seluruh antibiotik
(ciprofloxacin, fosfomycin, ampicillin, cefoxitin, erythromycin, gentamycin)
hasilnya berbeda bermakna karena penicillin memiliki sensitifitas yang paling
rendah diantara antibiotik lainnya.
Untuk menangani Penicillin resistant Staphylococcus aureus, munculah
Methicillin pada tahun 1959. Akan tetapi, 2 tahun setelah antibiotik diperkenalkan
untuk penanganan Penicillin-resistant Staphyococcus aureus, kasus Meticillin
resistant Staphylococcus aureus (MRSA) telah dilaporkan. Methicillin resistant
Staphylococcus aureus merupakan strain Staphylococcus aureus yang telah
resisten terhadap aktivitas antibiotik golongan β-laktam, termasuk golongan
penicillinase-resistant penicillins (oxcacillin, methicillin, nafcillin, cloxacillin,
dicloxacillin), cephalosporin dan carbapenem (Oliveira et al.,2002).
50
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak didapatkan MRSA pada anak kelas 2 dan 3. 19 orang (29%)
adalah anak yang terdapat isolat S.aureus. Sedangkan 47 orang
(71%) adalah anak yang tidak terdapat S.aureus. Dari 19 anak yang
terdapat isolat S.aureus di bagi menjadi dua kategori yaitu 14 orang
dengan kategori tidak bersih dan 5 orang dengan kategori bersih. Dan
sisanya dari 47 orang yang tidak terdapat S.aureus didapatkan 38
orang dengan kategori bersih dan 9 orang dengan kategori tidak
bersih.
2. Kebersihan diri mempunyai hubungan terhadap ada tidaknya
S.aureus, semakin bersih anak semakin rendah resiko anak terdapat
S.aureus.
3. Antibiotik (fosfomycin, ciprofloxacin, erythromycin, cefoxitin, ampicillin,
gentamycin) memiliki sensitifias terhadap S.aureus.
4. Antibiotik fosfomycin mempunyai potensi sensitifitas paling besar
terhadap S.aureus dan penicillin mempunyai sensitifitas paling kecil
atau resisten.
1.2 Saran
1. Para guru dan karyawan di sekolah dasar, dianjurkan untuk mengajarkan
kebiasaan cuci tangan dan menjaga kebersihan diri dan lingkungan
sekitar sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit infeksi.
2. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk menggunakan lebih banyak
responden penelitian agar hasilnya dapat dipublikasikan lebih luas lagi
sehingga dapat memberi informasi kepada banyak masyarakat.
51
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah A, Satari MH. 2009. Efektivitas Daya Antibakteri Habatussaudah terhadap Metisilin Resisten Staphylococcus aureus (MRSA). Tesis. FKG Universitas Padjajaran, Bandung.
Aditya P. 2012. Survei Kebersihan Pribadi Siswa di Sekolah Dasar Negeri Dalam Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Kabupaten Semarang. Skripsi. Tidak diterbitkan, Fakultas Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Semarang.
Annisa, N., Anggraini, D., Irawan, D.tahun 2012. Persentase Dan Pola Resistensi Methicillin Resistent Staphylococcus aureus Dari Isolat pasien yang dirawat di ruangan ICU RSUD Arifin Rachmad Provinsi Riau. Tugas Akhir. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Biantoro IK. 2008. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Btari S. 2011. Hubungan Hygine Perorangan, Sanitasi Lingkungan, dan Status Gizi Terhadap Kejadian Skabies Pada Anak SDN 3 Ngablak. Tesis. Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Badri, M. 2008. Hygiene Perseorangan Santri Pondok Pesantren Wali Songo Ngabar Ponorogo. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 17 (2).
Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 2007. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick & Adelberg, EGC, Jakarta.
Chen CJ and Huang YC. 2014. New Epiemiology of Staphylococcus aureus in Asia. Clinical Microbiology and Infection, 20 (7) : 605-623.
Djuanda, S., dan Sri A. S., 2003. Dermatitis. Dalam ed. 3 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI, Jakarta, Hal. 126-131.
Foster T. 2004. The Staphylococcus aureus “superbug”. Journal of Clinical Investigation, 114 (12) : 1693-6.
Forbes BA, Sahm DF, and Weissfeld AS. 2007. 12th edition Overview of Bacterial Identification Method and strategies. Bailey and Scott Diagnostic Microbiology. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier, p.221.
Forbes BA, Sahm DF, and Weissfeld AS. 2007. 12th edition Overview of Bacterial Identification Method and strategies. Bailey and Scott Diagnostic Microbiology. St. Louis Missouri: Mosby Elsevier, p.194-198.
George G, Zhanel, et al. 2009. prevalence of antimicrobial-resistant patogens in Canadian hospitals Results from the CANWARD 2007 study. Can Infect Dis Med Microbiol, 20: Suppl A:9A-20A.
52
Greenwood D, Slack RC, Barer MR, Irving WL. 2012. Medical Microbiology: A Guide to Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control. With Student Consult Online Access. Elsevier Health Sciences.
Gordon RJ, Lowy FD. 2008. Pathogenesis of methicillin-resistant Staphylococcus aureus infection. Clinical infectious diseases, 46: Suppl 5:S350-S9.
Gilman, A.G., 2007, Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi, diterjemahkan oleh Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Edisi X, 877, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Hadi U, Doerink DO, Lestari ES, et al. 2008. Survey of Antibiotics Use of Individual Visiting Public Healthcare Facilities in Indonesia. Internasional Journal of Infectious Diseases, 12(6):622-629.
Harvey, RA. Lippincott’s., 2013. Ilustrated Review Microbiology. 3rd ed. Lippincott William & Wikins. Philadelphia.
Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. (H. Hartanto, C.Rachman, A. Dimanti, A. Diani). Jakarta : EGC.p.199 – 200 : 233.
Johnson TR, Christine LC. 2003. Laboratory Experiments in Microbiology. Benjamin-Cummings Publishing Company. Philadelphia.
Katzung BG, 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th ed., San Francisco:The McGraw-Hill Companies, Inc
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Triple Burden Ancam Lansia. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Available from : www.depkes.go.id (diakses 17 Maret 2013)
Magiorakos, A.P., A. Srinivasan, R.B. Carey, Y. Carmeli, M.E. Falagas, C.G. Giske, S. Harbarth, J.F. Hindler, G. Kahlmeter, B. Olsson-Liljequist, D.L. Paterson, L.B. Rice, J. Stelling, M.J. Struelens1, A. Vatopoulos, J.T. Weber, and D.L. Monnet. 2011. Multidrug-Resistant, Extensively Drug- Resistant and Pandrug-Resistant Bacteria: an International Expert Proposal for Interim Standard Definitions for Acquired Resistance. Clinical Microbiology and Infection, 18(3): 268-281.
Moellering Jr RC. MRSA: The First Half Century. Journal Of Antimicrobial Chemotherapy. 2012, 67(1):4-11
Nurkusuma, D.D. 2009. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) pada Kasus Infeksi Luka Pasca Operasi di Ruang Perawatan Bedah Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Nielsen OL et al. 2009. A pig model of acute Staphylococcus aureus induced pyemia. Acta Vet Scand, 51:14.
53
Nadia C. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kolonisasi Staphylococcus aureus Pada Anak Jalanan di Semarang. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Oliveira,AP,et al.,2006. Antifungal activity of propolis extract against yeasts isolated from onychomycosis lesions. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro,Vol. 101(5): 493-497.
Patel JB, Cockerill III FR, Alder J, et al. 2014. Zone Diameter and Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) Interpretive Standards for Staphylococcus spp. In: Perfomance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing Twenty Fourth Informational Supplement Vol 34 No1. Pennsylvania: Clinical and Laboratory Standard Intitute. p.68-75.
Potter A ,& Perry, A. G. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik, edisi 4, Volume.2. Jakarta: EGC.
Ray P, Gautam V, Singh R, editors. 2011. Meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in developing countries. implications and solutions Regional Health Forum.
Santosa S, Santosaningsih D, Erikawati D, et al. 2013. Panduan Praktik Klinis Prosedur Tindakan. Edisi 1 Malang: Instalasi Mikrobiologi Klinik RSUD Dr.Saiful Anwar. Hal 2-50.
Sulistyaningsih. 2010. Uji Kepekaan Beberapa Sediaan Antiseptik terhadap Bakteri Staphylococcus aureus dan Staphylococcus aureus Resisten Metisilin (MRSA). Tesis. Universitas Padjajaran, Bandung.
Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta :
Thompson, D. S. 2004. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus in a general intensive care unit. J R Soc Med, vol 97, p.521-6.
Todar, K. PhD. 2008. Staphylococcus aureus and Staphylococcal disease.
Todar’s Online Text Book of Bacteriology (http://textbookofbacteriology.net/staph.html, Diakses pada 25 Desember 2012).
Wenzel. 2002. Infection control in the hospital, 2nd ed, in International society
for infectious disease, Boston.
Yuwono. 2012. Staphylococcus aureus dan Methicilin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Disertasi. Departemen Mikrobiologi FK Unsri, Palembang.
Yuwono H, Biomed M. 2010. Pandemi Resistensi Antimikroba. Belajar dari
MRSA, (1): 2837–50.