2. status konservasi dan karakteristik beberapa … · shorea belangeran), bati-bati (adina...
TRANSCRIPT
20
2. STATUS KONSERVASI DAN KARAKTERISTIK BEBERAPA KOMPONEN EKOLOGI HUTAN KERANGAS
A. Pendahuluan
Kerangas merupakan suatu istilah yang awalnya diberikan suku Dayak
Iban terhadap lahan yang berada di dataran rendah sampai zona submontana
yang dikarenakan kondisi tanahnya bila ditanami padi maka padinya tidak akan
bisa tumbuh (Bruenig 1974; Whitmore 1986). Kondisi ini menyebabkan
masyarakat tradisional dulunya menghindari pembukaan kerangas. Lahan
kerangas yang terbentuk akibat faktor edafis di atasnya ditumbuhi formasi hutan
yang unik.
Hutan kerangas tumbuh berkelompok secara mosaik umumnya terdapat
pada hutan hujan tropis Dipterocarpaceae campuran dengan kondisi tanah yang
relatif kurang subur. Hutan kerangas juga diketahui mempunyai lapisan humus
yang kasar dan terdapat horizon kelabu tua berpasir tetapi diatas horizon A2
tercuci, dan sistem perakaran sebagian besar terdapat dilapisan ini dan pada
daerah ini bahan organik yang setengah terdokomposisi dipenuhi oleh akar-akar
halus seperti serabut. Sering ditemukan akar-akar halus menembus langsung ke
serasah yang sedang terdekomposisi, dengan demikian hara dapat diserap
langsung dari bahan organik mati tanpa melalui penyimpanan dalam tanah
mineral. Mikoriza dan mikroorganisme lainnya banyak berperan dalam proses
penyerapan hara ini (Kartawinata 1990).
Posisi hutan kerangas dapat berbatasan dengan hutan Dipterocarpaceae,
hutan rawa gambut, hutan tanah kapur, ataupun hutan pegunungan (Bruenig
1974). Hutan kerangas sangat berbeda dibandingkankan dengan hutan
Dipterocarpaceae campuran baik dalam komposisi floristik, struktur dan
fisiognomi (kenampakannya) serta batas di antara keduanya sangat jelas,
walaupun mengalami kondisi iklim yang serupa (Whitmore 1986).
Berdasarkan hasil observasi lapangan dan tinjauan literatur, hutan
kerangas terdegradasi menjadi lahan terbuka yang didominasi tingkat semai
pancang, serta terbentuknya tegakan yang didominasi satu atau sejumlah kecil
jenis pohon tertentu (Kissinger 2004; Onrizal et al. 2005). Penebangan hutan,
konversi lahan, dan kebakaran berulang menjadi penyebab terdegradasinya
hutan kerangas.
Bertitik tolak dari situasi masalah tersebut, perlu diupayakan suatu
tindakan perlindungan dan penyelamatan terhadap keberadaan hutan kerangas.
21
Pendeskripsian hutan kerangas melalui identifikasi perkembangan dan
pengkarakterisasian kembali beberapa komponen ekologi diperlukan sebagai
bahan pertimbangan penting bagi pengelolaan terhadap hutan kerangas yang
telah terdegradasi atau hutan kerangas yang masih tersisa.
Penelitian ini betujuan mengkaji perkembangan status dan menguraikan
karakteristik ekologi hutan kerangas. Beberapa karakteristik ekologi yang dikaji
dalam penelitian ini adalah komposisi dan jenis tumbuhan, sifat fisik-kimia-biologi
tanah, dan fauna yang terdapat di hutan kerangas.
B. Metode Penelitian
1) Objek dan Lokasi Penelitian
Objek penelitian adalah hutan kerangas. Lokasi penelitian dilakukan pada
satu lokasi penelitian utama di hutan Kerangas Desa Guntung Ujung Kecamatan
Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Berdasarkan Kepmenhut nomor
672/Kpts-II/1991 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 sebagian areal hutan
kerangas yang terdapat di Desa Guntung Ujung termasuk dalam hutan lindung.
Penelitian ini juga menggunakan 3 lokasi referensi: i) Tanjung-Muara Kelanis
Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah ii) ,Arboretum Nyaru Menteng Kota
Palangkaraya, dan iii) Pasirputih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur
Kalimantan Tengah.
2) Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data identifikasi perkembangan status hutan kerangas
dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur (Rahayu et al. 2008).
Responden kunci yang digunakan adalah aparat desa, tokoh dan tetua
masyarakat. Jumlah total responden adalah 35 orang.
Pengumpulan data ekologi hutan kerangas dilakukan dengan dua cara,
yaitu pengumpulan data primer dan pengumpulan data sekunder (berdasarkan
referensi literatur). Pengumpulan data primer meliputi:
a. Pengukuran komponen tumbuhan berupa identifikasi jumlah jenis, jumlah
individu semua tingkatan tumbuhan, serta diameter pohon/tiang. Kategori
tingkatan tumbuhan (semai, pancang, tiang dan pohon) mengacu pada
Soerianegara dan Indrawan (1998). Identifikasi jenis dilakukan berdasarkan
kenampakan morfologi tumbuhan dengan mengacu hasil identifikasi dari
Herbarium Bogoriense (Kissinger 2002). Petak pengukuran untuk
pengumpulan data tumbuhan menggunakan metode petak tunggal berukuran
22
1 ha. Penempatan petak ukur dilakukan secara purposive dengan
memperhatikan sebaran dari patches kerangas yang terbentuk. Unit-unit plot
pengukuran di buat dalam petak tunggal tersebut untuk mengukur tiap
tingkatan tumbuhan. Plot pengukuran tingkat tumbuhan pohon berukuran 20m
x 20m, 10m x 10m untuk pengukuran tingkat tiang, 5m x 5m untuk
pengukuran tingkat tumbuhan pancang dan petak berukuran, 2m x 2m untuk
pengukuran tingkat semai (Soerianegara dan Indrawan 1998).
b. Pengumpulan data tanah secara komposit menggunakan analisis tanah
terganggu untuk mendapatkan beberapa sifat fisik dan kimia tanah. Sampel
tanah diambil pada permukaan tanah di bawah serasah sampai kedalaman 15
cm (Claros et al. 2012). Penggalian tanah dilakukan untuk mengukur
ketebalan gambut permukaan tanah. Sifat biologi tanah, sifat fisik lainnya,
suhu, kelembaban dikumpulkan berdasarkan referensi literatur.
c. Pengumpulan data fauna hutan kerangas dideskripsikan berdasarkan hasil
pengamatan langsung dengan metode jalur/transek (Ansell et al. 2011).
Identifikasi fauna dilakukan berdasarkan kenampakan morfologi fauna dan
mengacu pada buku panduan lapangan tentang: Mamalia dan Primata
Kalimantan (Mackinon et al ) dan Pengenalan Jenis Burung di Kalimantan
(Mackinon et al. 1992). Data yang dikumpulkan berupa jumlah jenis fauna di
lokasi penelitian. Kelengkapan data fauna diipenuhi melalui tinjauan literatur
dan informasi dari masyarakat.
3. Analisis Data
Analisis data perkembangan status hutan kerangas dilakukan secara
deskriptif. Pendeskripsian perkembangan status hutan kerangas di lokasi
penelitian dilakukan secara naratif dengan mempresentasikan hasil data dan
informasi yang dikumpulkan.
Analisis data ekologi tumbuhan menggunakan matriks tabulasi untuk
mendeskripsikan komposisi jenis dan Indeks Nilai Penting sebagai deskripsi
struktur tegakan (Soerianegara dan Indrawan 1998). Keanekaragaman jenis
pohon dan permudaan dihitung berdasarkan indeks keragaman (H‘) (Ludwig and
Reynold 1989). Data fauna dianalisis secara deskriptif dan dipresentasikan
dalam bentuk matriks tabulasi komposisi jenis fauna. Analisis data tanah
dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian Tanah Badan Meteorologi dan
Geofisika Bogor. Data selanjutnya diolah dan ditampilkan dalam bentuk matriks
tabulasi. Pendeskripsian karakteristik ekologi hutan kerangas secara
23
keseluruhan dilakukan dengan mempresentasikan secara kualitatif dan kuantitatif
hasil pengolahan data primer dan sekunder.
C. Hasil dan Pembahasan
1) Status Konservasi Hutan Kerangas di Lokasi Penelitian
1.1. Lokasi Utama Penelitian: Desa Guntung Ujung
1.1.1. Deskripsi Singkat Hutan Kerangas Desa Guntung Ujung
Hutan lindung kerangas yang terdapat di desa Guntung Ujung Kecamatan
Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan merupakan hutan lindung yang
termasuk dalam wilayah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Banjar
Kalimantan Selatan. Lokasi permukiman terdekat dari hutan lindung tersebut
adalah desa Guntung Ujung Kecamatan Gambut. Penetapan Hutan lindung
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor 672/Kpts-II/1991 dan
Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 dengan total luas 2.250 ha yang terbagi
menjadi dua blok hutan lindung, yaitu blok 1 seluas 960 ha termasuk wilayah
Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar (Desa Guntung Ujung) dan blok 2 seluas
1290 ha termasuk wilayah Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru.
Berdasarkan hasil interpretasi data biofisik lapangan, pembentukan hutan
kerangas yang terdapat di lokasi penelitian merupakan perkembangan dari teras
pantai dan teras sungai Barito. Bruenig (1974) mengemukakan bahwa hutan
kerangas terbentuk dari perkembangan hutan pantai berpasir yang pada phase
tektonik terangkat lemah ke daratan dan berkembang menjadi hutan kerangas.
Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian berupa hutan kerangas terbuka
(hanya tertutup oleh semai/pancang) dan hutan kerangas tertutup berupa
tegakan murni dari tingkat pohon jenis merapat (Combretocarpus rotundatus).
Hutan kerangas di Liang Anggang terdiri dari dua formasi tanah yaitu hutan
kerangas yang berada di atas permukaan tanah jenis humus podsol yang kaya
akan fraksi pasir (pasir kuarsa) tetapi sedikit liat dan lempung, dan hutan
kerangas yang berkembang di tanah humus podsol yang relatif lebih besar
kandungan liat lempung (liat berlumpur) dengan drainase tergenang.
1.1.2. Perkembangan sejarah hutan kerangas Desa Guntung Ujung
a. Era sebelum tahun 1950-an
Hutan kerangas yang menjadi lokasi utama penelitian merupakan bagian
wilayah Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Berdasarkan
hasil inventarisasi lapangan dari sisa tunggak, sisa-sisa pohon rebah, pohon
tertimbun, dan anakan tingkat pancang/semai, serta informasi yang dikumpulkan
24
dari masyarakat, hutan kerangas di lokasi ini dulunya terdiri dari pohon-pohon
berdiameter besar dari jenis belangiran (Shorea belangeran), bati-bati (Adina
minutiflora), nipa/irat (Cratoxylon arborescens), bintangur (Callophylum sp.),
alaban (Vitex pubescens) dan merapat (Combretocarpus rotundatus). Jenis-jenis
lain yang banyak terdapat dan berdiameter lebih kecil adalah palawan
(Tristaniopsis obovata) dan galam (Melaleuca cajuputi).
Desa terdekat dan berbatasan dengan hutan kerangas adalah desa
Guntung Ujung. Luas Desa Guntung Ujung 18,42 km2 dengan total jumlah
penduduk sebesar 1.442 jiwa atau 435 KK. Mata pencaharian utama penduduk
desa Guntung Ujung adalah petani sawah yang mencapai ± 95% dari jumlah
penduduk.
Desa Guntung Ujung merupakan pemekaran dari Desa Guntung Papuyu
yang terpisah sejak tahun 1983. Terdapat 3 Rukun Tetangga (RT) di desa
Guntung Ujung, yaitu RT 01, RT 02 dan RT 03. Wilayah RT 01 dan RT 02
merupakan bagian dari Guntung Ujung yang lebih dahulu terbentuk, yaitu sekitar
tahun 1850-an. Pembentukan RT 01 dan RT 02 awalnya dari membuka tipe
hutan rawa yang sebagian besar dibuka untuk pembuatan persawahan dan
sebagian kecil untuk permukiman. RT 01 dan RT 02 didominasi oleh penduduk
dari suku Banjar (± 95 %). Tata letak RT 01 dan RT 02 berada di sepanjang
jalan utama desa yang menghubungkan sebagian wilayah kecamatan Gambut
dan Kecamatan Beruntung Baru Kabupaten Banjar dengan Kecamatan Kurau
Kabupaten Tanah Bumbu.
RT 03 (diberi nama Handil Jawa) merupakan bagian dari wilayah desa
yang berbatasan langsung dengan hutan kerangas. Pemberian istilah handil
Jawa pada awalnya merupakan bentuk penjelasan terhadap wilayah di tengah
hutan yang dihuni oleh orang Jawa. Handil Jawa terbentuk sekitar tahun 1946
yang awalnya terdiri dari 17 KK suku Jawa. Mereka membuka wilayah ekoton
hutan kerangas dan hutan rawa untuk membuat permukiman dan membuka
hutan rawa untuk persawahan. Pembukaan permukiman baru tersebut
berdampak pada terbukanya akses menuju hutan kerangas. Pada masa itu hutan
kerangas menjadi sumber kayu dan pangan tambahan untuk pemenuhan
kebutuhan sendiri. Letak RT 03 tidak searah dengan RT 01 dan RT 02, karena
posisinya memotong jalan utama desa dan menjorok sekitar ± 1 km ke arah
kawasan hutan kerangas.
25
b. Era tahun 1950-1970
Perkembangan sejarah hutan kerangas desa Guntung Ujung selanjutnya
adalah pada tahun 1957, ketika itu gerombolan Kahar Muzakar yang dipimpin
oleh Ibnu Hadjar menggunakan hutan kerangas sebagai markas gerombolan.
Beberapa penduduk dari Handil Jawa Tengah pada saat itu terpaksa
meninggalkan perkampungan karena adanya intimidasi dari gerombolan yang
memasuki kampung untuk memaksa penduduk menyerahkan harta benda yang
dimiliki, sebagian lain memilih tetap bertahan di Handil Jawa. Setelah lebih satu
tahun (awal tahun 1959) barulah gerombolan tersebut dapat ditumpas oleh pihak
pemerintah.
Lokasi tempat penyerbuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
terhadap gerombolan Kahar Muzakar di wilayah hutan kerangas tersebut berupa
kolam yang dikenal dengan sebutan ―telaga darah‖. Beberapa keterangan dari
penduduk menyatakan bahwa lokasi tersebut masih dianggap penduduk
setempat sebagai kawasan ―anker‖ dan dianggap berkesan mistik dan sakral
bagi masyarakat. Areal telaga darah berdekatan dengan izin Kuasa
Penambangan (KP) untuk bahan galian pasir-batu dan berada di luar kawasan
hutan lindung. Lokasinya didominasi tingkat pertumbuhan pancang dan semai
dari jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di hutan kerangas.
Penambangan intan secara tradisional di kawasan hutan kerangas Liang
Anggang sudah berlangsung cukup lama (sekitar tahun 1959). Selanjutnya
penambangan intan tersebut berkembang dengan tambahan hasil galian berupa
pasir dan koral sejak digunakannya ―mesin sedot‖ dalam pertambangan intan.
Proses pemungutan besar-besaran terhadap pohon-pohon hutan kerangas
terjadi pada tahun 1966. Pihak pemerintah pada saat itu membebankan pada
tahanan eks Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mempekerjakan para tahanan
tersebut menebang pohon dan mengolahnya menjadi kayu gergajian baik berupa
papan maupun balok. Pada saat itu menurut keterangan penduduk, terdapat 83
orang tahanan yang dikerahkan untuk menebang kayu dan menghasilkan kayu
olahan untuk diberikan kepada pemerintah dan sebagian kecil kayu olahan
disumbangkan pemerintah kepada penduduk setempat. Kejadian tersebut
berlangsung sampai tahun 1968. Sejak saat itu hutan kerangas Desa Guntung
Ujung dan sekitarnya menjadi salah satu kawasan penghasil kayu.
26
c. Era tahun 1970-1990
Hutan kerangas pada tahun 1970-an masih merupakan penghasil kayu dan
tambang emas dan intan bagi masyarakat hingga tahun 1990-an. Pada era ini
(sekitar tahun 1980-an) pembagian tanah yang dipelopori oleh Kepala Desa saat
itu sudah mulai dilakukan di hutan kerangas. Secara legal formal pembagian
tanah ini diperkuat sejak diterbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT). Pengajuan
SKT oleh pihak desa dimulai pada tahun 1989. Pihak desa kemudian
mengajukan usul kepada pihak Kecamatan agar mendapatkan Surat Keterangan
Tanah.
Respon masyarakat pada waktu itu tidak terlalu besar karena pada
awalnya penduduk kurang tertarik terhadap lahan kerangas, karena menurut
perspektif masyarakat pada waktu itu kerangas merupakan lahan tidak produktif
untuk produksi pertanian. Penduduk desa umumnya pada waktu itu maksimal
mendapatkan 1-2 ha tanah per KK yang letaknya tidak jauh dari permukiman dan
persawahan. Pertimbangan keikutsertaan masyarakat pada saat itu untuk
memiliki sebidang tanah hanya untuk simpanan tanah permukiman untuk anak
cucu dan untuk rencana pengembangan ternak. Tidak terlalu besarnya
penguasaan lahan pada saat itu karena terbatasnya kemampuan membuka dan
membersihkan lahan. Upaya pembersihan dan atau pemanfaatan lahan
memerlukan waktu 3 tahun (sebagai lahan yang diolah) agar terbit SKT.
d. Era tahun 1990-sekarang
Berkembangnya pertambangan intan tradisional yang berlangsung hingga
tahun 1990-an menarik perhatian perusahaan multinasional PT. Aneka Tambang
dengan subkontraktor ―John Holland‖ untuk melakukan izin eksplorasi
pertambangan intan (dengan hasil ikutan emas) di hutan kerangas yang tidak
termasuk dalam kawasan hutan lindung (Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91). Izin
eksplorasi dan operasional pertambangan dimulai pada tahun 1991 dan berakhir
tahun 1993. Walaupun hanya berlangsung tiga tahun kegiatan pertambangan ini
telah meninggalkan lubang besar bekas galian tambang yang sampai saat ini
dibiarkan terbuka dan tidak dikelola.
Penetapan sebagian kawasan hutan kerangas sebagai kawasan hutan
lindung berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) nomor
672/Kpts-II/91 dan Kepmenhut nomor 434/Kpts-II/1996 tentang penetapan
kelompok hutan Liang Anggang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II
Banjar seluas 2.250 hektar sebagai kawasan hutan dengan fungsi hutan lindung.
27
Hutan lindung terbagi menjadi dua blok, blok I seluas 960 hektar berada di
Kecamatan Gambut (Desa Guntung Ujung) dan blok II masuk wilayah
Kecamatan Liang Anggang Banjarbaru seluas 1.290 ha. Penetapan sebagian
kecil hutan kerangas sebagai hutan lindung bila ditinjau lebih lanjut merupakan
pertentangan antara tinjauan manajemen dan tinjauan ekologi. Tinjauan ekologi
mengidentifikasikan bahwa hutan yang ada merupakan tipe hutan kerangas yang
status kawasannya perlu dikonservasi atau dilindungi, tetapi secara manajemen
(manajemen tata ruang) hanya sebagian kecil yang ditetapkan sebagai hutan
lindung dan sebagian besar berupa Area Penggunaan Lain (APL). Di luar kedua
pertentangan tersebut, tinjauan manajemen itu sendiri tidak dipatuhi karena
banyak kawasan di dalam hutan lindung yang dirusak dan digunakan untuk
penggunaan lain dan tidak dipertahankan fungsi lindung hutannya.
Relatif bersamaannya antara keluarnya Kepmenhut nomor 672/Kpts-II/91
dengan Surat Keterangan Tanah, merupakan cikal bakal terjadinya konflik
kepemilikan lahan masyarakat dan hutan lindung. Perspektif baru muncul tentang
lahan kerangas, seiring dengan dibukanya akses jalan baru (Jalan Padat Karya
Desa yang selanjutnya dipelihara PT. Aneka Tambang) yang melintasi areal
hutan kerangas maka lahan kerangas nilai ekonominya meningkat. Selanjutnya
pada tahun berikutnya perkembangan pembangunan daerah dan pertumbuhan
penduduk yang berasal dari Kab. Banjar, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin dan
Kab.Tanah Laut menciptakan perspektif baru untuk pengembangan permukiman
dan pusat perekonomian di lahan-lahan kerangas. Akibatnya tanah-tanah yang
berada di hutan kerangas banyak dijual sebagai tanah kavling untuk kepentingan
permukiman dan kepentingan lainnya. Pengkavlingan tanah sudah berlangsung
sejak tahun 1995-an sampai sekarang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, pengkavlingan tanah di
hutan kerangas yang terjadi pada tahun 1995-an dimotori oleh beberapa aparat
desa saat itu yang memobilisasi masyarakat setempat untuk mencaplok hutan
lindung (masing-masing KK hanya mendapatkan luasan lahan relatif kecil).
Selanjutnya terjadi diskonektivitas informasi dalam masyarakat lokal (pandangan
kurang bermanfaatnya lahan, biaya sertifikasi lahan yang mahal) sehingga lahan
dijual kembali karena dirasa tidak bermanfaat. Beberapa individu berhasil
memanfaatkan situasi tersebut, mereka akhirnya mendapatkan porsi lahan lebih
luas lalu menjual lahan sebagai tanah kavlingan kepada non-penduduk
setempat, baik yang berasal dari Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, Kabupaten
28
Banjar, Kabupaten Tanah Laut, sampai wilayah Kabupaten Tapin dan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan bahkan Kalimantan Tengah. Kegiatan ini juga
yang sekarang menjadi cikal bakal tumpang tindih kepemilikan tanah baik di luar
kawasan hutan lindung dan dalam kawasan hutan lindung.
Pengkavlingan tanah ini juga yang menjadi pemicu kebakaran berulang di
hutan kerangas. Pembakaran relatif dilakukan dengan sengaja untuk
pembersihan lahan di tanah-tanah kavling. Kebakaran berulang menjadi faktor
terbesar yang menyebabkan kerusakan lahan/tanah dan sumberdaya hayati
hutan kerangas. Kebakaran berulang yang relatif berlangsung setiap tahun
mengakibatkan meningkatnya penyakit inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA)
di kalangan masyarakat dan meningkatnya intensitas dan frekuensi serangan
hama hutan seperti babi hutan dan kera ke lahan permukiman dan pertanian
penduduk di sekitar hutan kerangas sebagai akibat dari rusaknya habitat.
Pemanfaatan hutan kerangas sebagai penghasil kayu sudah mulai
menurun sejak tahun 1990-an. Pemanenan kayu yang ada sekarang terbatas
pada jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) untuk kayu pertukangan dan
jenis galam (Melaleuca cajuputi) untuk kayu bakar. Beberapa kelompok
masyarakat memungut kayu ―Galih‖ (istilah untuk sisa kayu yang tertimbun
tanah) untuk keperluan sendiri. Masyarakat juga menggunakan hutan kerangas
sebagai sumber hasil hutan non kayu untuk bahan pengobatan dan jamu. Jenis
rambuhatap (Baeckea frutescens), buah dan daun galam (Melaleuca cajuputi)
merupakan komoditas yang dipanen masyarakat untuk dijual sebagai bahan
jamu atau pengobatan tradisional.
Pola pertambangan intan dan pasir di hutan kerangas (di luar hutan
lindung) sejak tahun 2003 mulai berubah menjadi izin Kuasa Pertambangan
bahan galian pasir-liat-batu, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan pasir-
liat-batu untuk pembuatan konstruksi jalan raya. Penggunaan alat berat untuk
kegiatan penambangan meninggalkan lubang-lubang galian baru di hutan
kerangas. Berdasarkan konfirmasi dari Dinas Pertambangan Kabupaten Banjar
rencana pasca penambangan, lubang-lubang galian tersebut rencananya
berdasarkan dokumen UKL-UPL (Upaya Kelola Lingkungan-Upaya Pemantauan
Lingkungan) akan dibuat kolam budidaya air tawar. Hingga saat ini realisasi
pembuatan kolam budidaya air tawar tersebut belum dilaksanakan. Berdasarkan
peraturan, penambangan pasir-liat-batu sebenarnya dihentikan sementara
karena belum keluarnya aturan dari Kementerian Energi, Sumberdaya Mineral
29
dan Batubara mengenai izin Kuasa Pertambangan. Tetapi secara illegal
pertambangan masih berlangsung. Pertambangan tradisional masyarakat intan,
emas dan pasir juga masih berlangsung dalam jumlah yang semakin mengecil.
Pertambangan pasir, intan dan emas juga berada di luar kawasan hutan lindung.
Manajemen tata ruang merupakan kolaborasi antara beberapa tinjauan atau
kepentingan, baik tinjauan ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan politis yang
diimplementasikan terhadap hutan kerangas. Pengelolaan intensif terhadap
hutan lindung kerangas desa Guntung Ujung sampai saat ini masih belum dapat
dilaksanakan. Dinas Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menentukan
pengelolaan dan Balai Pemetaan Kawasan Hutan (BPKH) Banjarbaru yang
berwewenang dalam penetapan dan penatabatasan kawasan sampai saat ini
masih belum bersinergi dengan baik, Sementara itu degradasi terus berlangsung.
1.2. Lokasi Referensi Penelitian
1.2.1. Tanjung Kalsel-Muara Kelanis Kalteng (referensi 1)
Hutan kerangas yang terdapat di Tanjung-Muara Kelanis merupakan hutan
kerangas yang terdapat di perbatasan Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan
dan Muara Kelanis Kabupaten Barito Selatan (Kalimantan Tengah). Tipe hutan
kerangas terdiri dari kerangas kering dan kerangas basah. Koordinat penelitian
terletak pada 02o 15,183‘ LS; 115o 03,087‘ BT dan 02o 12,579‘ LS; 115o 14,349‘
BT. ketinggian ±38 m dpl, topografi datar (kelerengan 0% - 2%).
Pembentukan hutan kerangas Tanjung-Muara Kelanis dipengaruhi oleh
teras yang terbentuk dari sungai dan anak sungai Barito (sungai Kelanis.
Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian adalah hutan kerangas
terbuka (terbuka tanpa penutupan vegetasi, dominasi tumbuhan tingkat pancang
dan semai) dan hutan kerangas sekunder (tertutup kanopi hutan dari tegakan
pohon, tiang, pancang dan semai). Hutan kerangas di lokasi ini terdiri dari dua
tipe yaitu hutan kerangas pada tanah humus podsol yang tidak tergenang, dan
humus podsol yang relatif kaya akan fraksi lempung-liat dan berupa kawasan
lumpur bergambut. Jenis eksotik yang mampu terintroduksi dalam hutan
kerangas terutama kerangas tidak tergenang adalah Acacia mangium.
Berbagai uraian tentang kondisi terkini hutan kerangas baik dari lokasi
penelitian utama dan referensi menunjukkan sebagian besar wilayah hutan
kerangas adalah tidak terkelola dan terdegradasi. Fenomena ini menunjukkan
kecenderungan status kawasan hutan kerangas semakin terancam dan
keanekaragaman hayati di dalamnya semakin menurun.
30
1.2.2. Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya (referensi 2)
Hutan kerangas yang terdapat di Palangkaraya Kalimantan Tengah
merupakan wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng yang dibangun tahun 1988
dan merupakan areal bekas HPH yang telah dieksploitasi sejak tahun 1974.
Khusus untuk hutan kerangas, areal hutannya tidak dieksploitasi. Arboretum
Nyaru Menteng dengan luas 65,2 Ha. Terletak di sebelah Timur jalan raya Tjilik
Riwut Km 28 dari Palangkaraya menuju Kabupaten Katingan. Secara
administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Tumbang Tahai Kecamatan
Bukit Batu Kotamadya Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Berdasarkan letak
garis lintang dan garis bujur, kawasan ini berada diantara 113° 46‘ - 113°48‘ BT
dan 2°0‘- 2° 02‘ LS. Ketinggian wilayah ini adalah ± 25 m dpl, topografi kawasan
Arboretum Nyaru Menteng secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0 - 2%.
Pembentukan hutan kerangas Nyaru Menteng dipengaruhi oleh teras yang
terbentuk dari sungai Kahayan. Hutan ini merupakan hutan kerangas old growth
dan sebagian berbentuk hutan kerangas sekunder. Hutan kerangas ini tumbuh di
atas tanah humus podsol yang relatif kering dan tidak tergenang.
Hutan kerangas ini pada awalnya termasuk dalam kawasan HPH yang
masuk wilayah pengelolaan Kantor Cabang Dinas Kehutanan (KCDK) Kahayan.
Sejak Tahun 1994 pengelolaan arboretum ini dilaksanakan oleh Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, setelah mendapat pelimpahan
kewenangan untuk mengelola arboretum dari Kantor Wilayah Kehutanan
Propinsi Kalimantan Tengah melalui suratnya No. 3274/Kwl-5/I/1994 tanggal 9
Pebruari 1994. Pengelolaan di lapangan dilaksanakan oleh Seksi Konservasi
Wilayah I Palangkaraya. Sebagian wilayah dari Arboretum Nyaru Menteng
digunakan sebagai Pusat Reintroduksi Orang utan (Pongo pigmeus).
1.2.3. Pasir putih-Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur Kalteng (referensi 3)
Hutan kerangas di Kabupaten Kotawaringin Timur yang menjadi lokasi
penelitian secara administratif terletak di antara Kelurahan Pasir Putih dan
Kelurahan Telawang. Titik pengamatan berada pada koordinat 02o 27,989‘ LS;
112o43,079‘ BT dan 02o 30,350‘ LS; 112o52,489‘ BT, ketinggian ± 16 m dpl,
topografi secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0% - 6%. Pembentukan
hutan kerangas pada lokasi ini dipengaruhi oleh teras yang terbentuk dari sungai
dan anak sungai Mentaya (sungai Lenggana), sungai dan anak sungai Seruyan
(sungai Penyang). Penutupan vegetasi yang menjadi lokasi penelitian sebagian
besar merupakan hutan kerangas terbuka (dominasi tumbuhan tingkat pancang
31
dan semai). Tipe hutan kerangas di lokasi ini merupakan hutan kerangas yang
tumbuh pada medium dan deep humus podsol yang masih kaya akan pasir
kuarsa dibandingkankan fraksi liat dan lempung.
Beberapa jenis tumbuhan tingkat pancang dan semai yang mendominasi
adalah Melaleuca cajuputi, Shorea belangeran, Cratoxylon arborescens,
Combretocarpus rotundatus, Ficus delteodea. Vitex pubescen dan Tristaniopsis
obovata. Sebagian kecil lokasi lainnya berupa spot-spot hutan kerangas yang
yang terdiri dari tumbuhan tingkat tiang jenis Shorea belangeran, Cratoxylon
arborescens dan Combretocarpus rotundatus. Jenis eksotik yang mampu
terintroduksi dalam hutan kerangas adalah Acacia mangium.
2) Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan Hutan Kerangas
Komposisi jenis tegakan hutan kerangas yang berada di lokasi penelitian
utama merupakan gambaran hutan kerangas yang terganggu berat. Terdapat 1
jenis tumbuhan tingkat pohon yang terdapat di hutan kerangas Desa Guntung
Ujung. Tabel 2.1 - 2.4 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan
indeks keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan di hutan kerangas Desa Guntung
Ujung (lokasi 1/lokasi utama penelitian).
Tabel 2.1 Komposisi jenis, keragaman jenis, INP tingkat semai di lokasi utama
No Jenis tingkat semai KR (%) FR (%) INP (%) H’
1 Akasia (Acacia mangium) 1,47 5,88 7,35 0,06
2 Alaban (Vitex pubescens) 2,94 5,88 8,82 0,10
3 Bati-bati (Adina minutiflora) 4,41 5,88 10,29 0,14
4 Belangiran (Shorea belangeran) 2,94 5,88 8,82 0,10
5 Bintangur (Callophylum sp.) 32,35 17,65 50,00 0,37
6 Irat (Cratoxylon arborescens) 16,18 23,53 39,71 0,29
7 Galam (Melaleuca cajuputi) 4,41 5,88 10,29 0,14
8 Merapat (Combretocarpus rotundatus) 5,88 5,88 11,76 0,17
9 Palawan (Tristaniopsis obovata) 13,24 11,76 25,00 0,27
10 Rambuhatap (Baeckea frutescens) 16,18 11,76 27,94 0,29
JUMLAH 100,00 100,00 200,00 1,93
Terdapat 10 jenis tumbuhan tingkat semai pada lokasi hutan kerangas
Desa Guntung Ujung. Bintangur dan irat merupakan jenis tumbuhan yang
mendominasi tingkat semai. Akasia sebagai jenis eksotik terintroduksi ke dalam
habitat kerangas dan memiliki nilai INP terendah. Keragaman jenis secara
keseluruhan termasuk rendah. Jumlah jenis yang relatif rendah dan dominasi
yang relatif besar dari bintangur dan irat dibandingkankan jenis lainnya
mengakibatkan keragaman jenis dari tingkat tumbuhan semai menjadi rendah.
32
Tabel 2.2 Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP pancang di lokasi utama
No Jenis tingkat pancang KR (%) FR (%) INP (%) H’
1 Akasia (A.mangium) 2,86 8,70 11,55 0,12
2 Belangiran (S.belangeran) 5,71 8,70 14,41 0,16
3 Bintangur (Callophylum sp.) 48,57 17,39 65,96 0,35
4 Irat (C.arborescens) 16,19 17,39 33,58 0,29
5 Galam (M.cajuputi) 3,81 4,35 8,16 0,14
6 Merapat (C.rotundatus) 4,76 8,70 13,46 0,14
7 Palawan (T.obovata) 11,43 17,39 28,82 0,25
8 Pulantan (Alstonia pneumatophora) 0,95 4,35 5,30 0,04
9 Rambuhatap (B.frutescens) 5,71 13,04 18,76 0,16
JUMLAH 100,00 100,00 200,00 1,67
Jumlah jenis yang ditemukan pada tingkat pancang sebanyak 9 jenis
tumbuhan. Jenis bintangur, irat dan palawan mendominasi tingkatan pancang.
Nilai indeks keragaman jenis tingkatan pancang relatif rendah (H‘=1,67).
Rendahnya jumlah jenis yang ditemukan dan dominasi yang relatif tinggi dari ke
tiga jenis ini menjadikan keragaman jenis tumbuhan tingkat pancang menjadi
rendah.
Tabel 2.3 Komposisi jenis, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi utama
No Jenis tingkat pancang DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H’
1 Akasia (A.mangium) 9,20 11,11 14,20 34,51 0,26
2 Merapat (C.rotundatus) 90,80 88,89 85,80 265,49 0,12
JUMLAH 100,00 100,00 100,00 300,00 0,38
Terdapat 2 jenis tumbuhan tingkat tiang yang terdapat di lokasi utama.
Fenomena ini menggambarkan tipe hutan kerangas terbuka. Jenis merapat
mendominasi tingkat tiang. Akasia merupakan jenis eksotik yang berhasil
terintroduksi dan mampu tumbuh dan berkembang sampai tingkat tiang pada
hutan kerangas di lokasi utama. Jumlah jenis yang sedikit dan jenis merapat
yang mampu tumbuh dominan sampai tingkat tiang mengakibatkan nilai
keragaman tingkat tiang menjadi sangat rendah.
Tabel 2.4 Komposisi jenis, keragaman jenis, INP tingkat pohon di lokasi utama
No Jenis tingkat pancang DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H’
1 Merapat (C.rotundatus) 100,00 100,00 100,00 300,00 0
JUMLAH 100,00 100,00 100,00 300,00 0
Merapat merupakan satu-satunya jenis tumbuhan yang mampu tumbuh
dan bertahan sampai tingkat pohon. Tegakan merapat yang tersisa berupa
33
patches berukuran kecil atau berupa tegakan terfragmentasi. Tegakan yang
terbentuk adalah tegakan murni dengan keragaman yang sangat rendah.
Hutan kerangas di Desa Guntung Ujung mengalami kebakaran berulang,
penutupan lahannya seperti savana terbuka yang didominasi oleh tumbuhan
semak dengan pohon-pohon dengan diameter kecil dan tinggi dan frekuensi
kehadiran pohon yang rendah. Tumbuhan bawah yang masih bertahan di lokasi
penelitian utama dan berkembang dominan adalah kantong semar (N.gracilis),
jangang (Glechenia linearis), kelakai (Stenochlena palustris), sulingnaga
(Dianella nemerosa), dan rasau (Pandanus atrocarpus). Populasi tumbuhan
bawah juga menurun akibat kebakaran dan pengupasan permukaan tanah.
Komposisi jenis total keseluruhan tingkatan tumbuhan tidak mengalami
perubahan yang cukup signifikan di lokasi penelitian utama bila dibandingkankan
hasil penelitian Kissinger (2002). Jumlah jenis total gabungan semua tingkatan
vegetasi adalah 10 jenis. Perubahan yang terjadi mengarah pada struktur
tegakan dari tiap tingkatan vegetasi. Perubahan tingkat semai dan pancang
relatif terjadi pada struktur vegetasi penyusunnya. Terjadi pergeseran jenis-jenis
yang mendominasi tingkat pertumbuhan pancang dan semai. Struktur tegakan
tingkat tiang dan pohon juga mengalami penurunan jumlah jenis yang mampu
tumbuh, berkembang dan bertahan pada tingkatan tiang dan pohon. Tercatat dari
hasil penelitian yang dilakukan (Kissinger 2002), hutan kerangas di Desa
Guntung Ujung memiliki 3 jenis tumbuhan asli (native species) yang mencapai
tingkatan pohon ( diameter ≥ 10 cm) dengan tinggi maksimal ≤ 15 m yaitu jenis
merapat (Combretocarpus rotundatus), belangiran (Shorea belangeran) dan
galam (Melaleuca cajuputi). Tumbuhan tingkat tiang yang ditemukan sama
dengan tumbuhan tingkat tiang ditambah satu jenis eksotik yaitu akasia (Acacia
mangium). Gambaran diagram profil dari hutan kerangas adalah seperti tertera
pada gambar 2.1. Hasil penelitian sekarang menunjukkan hanya satu jenis
tumbuhan yang menyusun tumbuhan tingkat pohon (jenis merapat) dan 2 jenis
tumbuhan tingkat tiang (merapat dan akasia).
34
Keterangan: 1-10,13-17,19-23: Merapat (Combretocarpus rotundatus). 11,18: Galam (Melaleuca cajuputi) 12. Belangeran (Shorea belangeran)
Gambar 2.1 Diagram profil tegakan hutan kerangas terganggu berat di hutan
lindung Desa Guntung Ujung (Sumber: Kissinger 2002). Gambar 2.1 mendeskripsikan hutan kerangas Desa Guntung Ujung pada
spot-spot kerangas yang masih bervegetasi. Kemampuan jenis pohon merapat
mendominasi berkaitan erat dengan ketahanan jenis ini terhadap kebakaran,
kemampuan regenerasi yang baik (vegetatif dan generatif), kemampuan hidup
yang tinggi pada tanah berpasir dengan ketebalan gambut atau bahan organik
(tipis-dalam), dan kemampuan hidup di tanah miskin hara.
Kebakaran berulang menyebabkan tumbuhan tingkat pohon yang tersisa
dan mampu bertahan di hutan kerangas di Desa Guntung Ujung hanya dari jenis
‖less fire toleran species‖ yaitu jenis merapat. Jenis ini dapat beradaptasi
dibandingkankan dengan beberapa jenis lainnya yang dulu juga dominan tumbuh
di hutan kerangas seperti irat (C.arborescens), palawan (T.obovata), bintangur
(Callophylum sp.) dan belangiran (S.belangeran). Gambar 2.2 mendeskripsikan
kemampuan atau adaftabilitas dari jenis merapat di hutan kerangas Desa
Guntung Ujung yang terbakar berulang.
35
Gambar 2.2 Kenampakan dari jenis merapat (Combretocarpus rotundatus) di hutan kerangas yang terbakar berulang (Sumber: Kissinger 2002).
Komposisi jenis tingkat pancang dan semai juga mengalami perubahan.
Kissinger (2002) menyebutkan bahwa jenis yang mendominasi tingkat semai
dan pancang terdiri dari beberapa jenis seperti irat (C.arborescens), belangiran
(S.belangeran), bintangur (Callophylum sp.), palawan (T.obovata), merapat
(C.rotundatus) dan bati-bati (Adina minutiflora). Kondisi sekarang hanya
menyisakan 3 jenis yang dominan pada tingkat pancang dan semai, yaitu irat,
bintangur dan palawan. Perubahan yang cukup signifikan adalah terintroduksinya
jenis eksotik yang mampu tumbuh dan berkembang baik di hutan kerangas yaitu
akasia (A.mangium).
Kondisi vegetasi hutan kerangas di Desa Guntung Ujung serupa dengan
yang dilaporkan oleh Onrizal (2004) pada tegakan hutan kerangas di Taman
Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat yang mengalami kebakaran
berulang. Tegakan tingkat pohon yang terbentuk juga relatif homogen karena
pada tingkatan pohon hanya ditemukan satu jenis pohon (Bellucia axinanthera)
dari total 14 jenis tumbuhan yang ditemukan.
Komposisi jenis dan struktur tegakan yang serupa juga terdapat pada
hutan kerangas terbuka dari lokasi referensi, yaitu hutan kerangas di Pasir putih-
Lenggana Kabupaten Kotawaringin Timur (referensi 3) dan Tanjung-Muara
Kelanis (referensi 1). Tegakan secara keseluruhan didominasi tingkat
pertumbuhan pancang dan semai, sedangkan tingkat pohon dan tiang terdapat
dalam spot-spot kecil di antara luasan habitat kerangas yang terbuka. Spot-spot
kecil tersebut umumnya berisikan jenis belangiran (S.belangeran), merapat
(C.rotundatus) dan Irat (C.arborescens). Akasia (A.mangium) merupakan jenis
yang juga terintroduksi dari tingkat semai sampai pohon pada ke dua lokasi
36
referensi yang merupakan hutan kerangas terbuka. Terdapat 10 jenis tumbuhan
tingkat pancang dan semai di hutan kerangas terbuka dari lokasi referensi 3, dan
11 jenis dari hutan kerangas terbuka lokasi referensi 1.
Hutan kerangas mempunyai laju pertumbuhan dan perkembangan vegetasi
yang relatif lambat dibandingkan hutan Dipterocarpaceae campuran. Bila
hutan/lahan ini mengalami gangguan maka akan sukar untuk pulih kembali
(Bruenig 1995). Riswan (1985) mengungkapkan bahwa setelah hutan kerangas
mengalami kebakaran, laju ketahanan (survival rate) dari semai menuju pancang
sangat kecil (3,2 %) sebagai akibat tingginya kematian semai dan lambatnya laju
pertumbuhan. Hal yang sama juga terjadi terhadap laju ketahanan tingkat
sapihan menuju tingkat tiang atau pohon. Hutan kerangas sangat mudah
terdegradasi oleh aktifitas penebangan tak terkontrol dan kebakaran. Bila sekali
mengalami degradasi maka akan berkembang menjadi savana terbuka (Bruenig
1995). Laju pertumbuhan vegetasi di lahan kerangas lambat begitu juga
kecepatan pemulihan bila lahan ini mengalami gangguan. Penanaman kembali
menggunakan tumbuhan asli terbukti tidak efektif (Mitchell 1963).
Hutan kerangas sekunder pada penelitian ini diwakili oleh komunitas
tumbuhan kerangas yang terdapat di Tanjung-Muara Kelanis (lokasi referensi 1).
Tabel 2.5 - 2.8 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks
keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan hutan kerangas tidak terendam di
Tanjung-Muara Kelanis.
Tabel 2.5 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering)
No Jenis tingkat semai KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Akasia (A.mangium) 7,55 11,90 19,45 0,19
2 Alaban (V.pubescens) 1,89 4,76 6,65 0,07
3 Bati-bati (A.minutiflora) 1,89 2,38 4,27 0,12
4 Belangiran (S.belangeran) 2,83 4,76 7,59 0,10
5 Bintangur (Callophylum sp.) 6,60 9,52 16,13 0,18
6 Irat (C.arborescens) 33,96 26,19 60,15 0,37
7 Gumisi (Syzigium tetrapterum) 5,66 11,90 17,57 0,16
8 Jejambuan (Syzigium sp.) 3,77 4,76 8,54 0,04
9 Kujajing (Pterospernum javanicum) 0,94 2,38 3,32 0,04
10 Lua (Bacaurea sp) 0,94 2,38 3,32 0,04
11 Mahang (Macaranga sp.) 0,94 2,38 3,32 0,32
12 Manggis (Garcinia sp.) 20,75 4,76 25,52 0,25
13 Palawan (T.obovata) 12,26 11,90 24,17 0,12
JUMLAH 100,00 100,00 200,00 2,02
37
Terdapat 13 jenis tumbuhan tingkat semai yang ditemukan di hutan
sekunder tipe kerangas dari lokasi referensi 1. Jenis irat merupakan tumbuhan
yang mendominasi tingkat pertumbuhan semai. Indeks keragaman yang
didapatkan dari tipe hutan kerangas sekunder adalah kategori sedang (H‘ ≥ 2).
Tabel 2.6 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering)
No Jenis Pancang KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Akasia (A.mangium) 11,58 16,22 27,79 0,29
2 Belangiran (S.belangeran) 34,48 10,81 45,29 0,24
3 Bintangur (Callophylum sp.) 11,82 8,11 19,93 0,20
4 Irat (C.arborescens) 12,81 18,92 31,73 0,32
5 Jejambuan (Syzigium sp.) 4,93 8,11 13,03 0,20
6 Madang (Litsea sp.) 0,99 2,70 3,69 0,10
7 Mahang (Macaranga sp.) 4,93 8,11 13,03 0,20
8 Mali-mali (Lee indica) 1,97 2,70 4,67 0,10
9 Mengkudu (Morinda sp.) 0,99 2,70 3,69 0,10
10 Merapat (C.rotundatus) 7,64 13,51 21,15 0,27
11 Palawan (T.obovata) 6,90 5,41 12,30 0,16
12 Simpur (Dillenia indica) 0,99 2,70 3,69 0,10
JUMLAH 100,00 100,00 200,00 2,28
Terdapat 12 jenis tumbuhan tingkat pancang pada lokasi referensi 1 yang
merupakan tipe hutan kerangas sekunder. Jenis belangiran mendominasi pada
tingkat pancang. Relatif tingginya jumlah jenis tingkat pancang pada hutan
kerangas sekunder dibandingkankan hutan kerangas terbuka, berdampak pada
tingginya keragaman jenis pancang. Keragaman jenis tingkat pancang termasuk
kategori sedang. N.gracilis dan N.mirabilis sebagai tumbuhan bawah ditemukan
di lokasi penelitian ini. N.gracilis relatif banyak ditemukan di celah (gap) di mana
cahaya matahari dapat menembus lantai hutan.
Tabel 2.7 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering)
No Jenis Tiang DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Bati-bati (A.minutiflora) 3,62 3,62 3,85 11,09 0,15
2 Belangiran (S.belangeran) 28,81 28,81 23,08 80,70 0,36
3 Beringin (Ficus sp.) 8,30 8,30 7,69 24,30 0,15
4 Bintangur (Callophylum sp.) 3,14 3,14 7,69 13,98 0,15
5 Irat (C.arborescens) 9,22 9,22 11,54 29,97 0,28
6 Jejambuan Syzigium sp.) 17,90 17,90 7,69 43,50 0,28
7 Manggis hutan (Garcinia sp.) 7,84 7,84 11,54 27,22 0,23
8 Nyatoh (Palaquium borneense) 4,25 4,25 7,69 16,19 0,15
9 Palawan (T.obovata) 5,29 5,29 7,69 18,27 0,15
10 Rukam (Flacourtia rukam) 3,16 3,16 3,85 10,16 0,09
11 Simpur (D.indica) 8,46 8,46 7,69 24,62 0,15
JUMLAH 100 100 100 300 2,12
38
Terdapat 11 jenis tumbuhan tingkat tiang pada lokasi hutan kerangas
sekunder. Belangiran dan merapat merupakan jenis yang mendominasi tingkat
pertumbuhan tiang. Berdasarkan nilai indeks keragaman, jenis tingkat tiang dari
hutan kerangas sekunder di lokasi referensi 1 termasuk dalam kategori
keanekaragaman sedang.
Tabel 2.8 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering)
No Jenis Pohon DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Belangiran (S.belangeran) 62,86 56,25 50,00 169,11 0,32
2 Irat (C.arborescens) 19,47 25,00 25,00 69,47 0,35
3 Nyatoh (P.borneense) 8,16 12,50 12,50 33,16 0,26
4 Palawan (T.obovata) 9,51 6,25 12,50 28,26 0,17
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00 1,10
Terdapat 4 jenis tumbuhan tingkat pohon di hutan kerangas sekunder
lahan kering. Jenis belangiran mendominasi tingkatan tumbuhan pohon. Relatif
kecilnya jumlah jenis pohon mengakibatkan rendahnya keragaman jenis tingkat
tumbuhan pohon di hutan kerangas sekunder lokasi referensi 1.
Tipe hutan kerangas dengan bahan organik tinggi dan terendam terdapat di
lokasi referensi 1. Komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks
keragaman dari tiap tingkatan tumbuhan dari tipe hutan kerangas terendam
ditampilkan dalam Tabel 2.9 sampai dengan 2.12.
Tabel 2.9 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat semai di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam)
No Jenis semai KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Bati-bati (A.minutiflora) 33,33 20,00 53,33 0,37
2 Belangiran (S.belangeran) 11,11 20,00 31,11 0,24
3 Bintangur (Callophylum sp.) 33,33 20,00 53,33 0,37
4 Gumisi (Syzigium tetrapterum) 11,11 20,00 31,11 0,24
5 Merapat (C.rotundatus) 11,11 20,00 31,11 0,24
Jumlah 100,00 100,00 200,00 1,46
Terdapat 5 jenis tumbuhan tingkat semai dan tidak terdapat jenis yang
mendominasi tingkat semai tersebut. Jumlah jenis semai yang ditemukan pada
hutan terendam relatif lebih rendah dibandingkan hutan kerangas lahan kering.
Keanekaragaman jenis tumbuhan pada lokasi hutan kerangas terendam
tergolong rendah. Jumlah jenis tumbuhan tingkat semai yang rendah berdampak
pada rendahnya indeks keanekaragaman yang terbentuk. Lantai hutan yang
terendam air dan dominasi penutupan lantai hutan oleh jenis kelakai
(Stenochlaena palustris) diduga menjadi penghambat proses regenerasi
permudaan pohon.
39
Tabel 2.10 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pancang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam)
No Jenis pancang KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Belangiran (S.belangeran) 25,00 18,18 43,18 0,46
2 Bintangur (Callophylum sp.) 8,33 9,09 17,42 0,21
3 Jejambuan (Syzigium sp.) 8,33 18,18 26,52 0,26
4 Madang (Litsea sp.) 4,17 9,09 13,26 0,13
5 Mahang (Macaranga sp.) 12,50 9,09 21,59 0,26
6 Merapat (C.rotundatus) 33,33 27,27 60,61 0,67
7 Nyatoh (P.borneense) 8,33 9,09 17,42 0,26
Jumlah 100,00 100,00 200,00 2,25
Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang yang ditemukan di hutan kerangas
sekunder terendam sebanyak 7 jenis. Jenis merapat (C.rotundatus) mendominasi
tingkat pertumbuhan pancang. Jumlah jenis tumbuhan tingkat pancang yang
ditemukan relatif lebih sedikit dibandingkankan dengan hutan kerangas sekunder
lahan kering. Keragaman jenis tumbuhan tingkat pancang tergolong sedang.
N.gracilis dan N.ampularia ditemukan pada lokasi penelitian ini.
Tabel 2.11 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat tiang di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam)
No Jenis tiang DR (%)
KR (%)
FR (%)
INP (%) H'
1 Bati-bati (A.minutiflora) 0,63 1,12 3,70 5,46 0,05
2 Belangiran (S.belangeran) 20,83 19,10 29,63 69,56 0,32
3 Gumisi (S. tetrapterum) 2,41 3,37 3,70 9,49 0,11
4 Irat (C.arborescens) 0,89 1,12 3,70 5,71 0,05
5 Jejambuan (Syzigium sp.) 2,05 2,25 7,41 11,71 0,09
6 Ketapi hutan (Sondarium sp.) 0,78 1,12 3,70 5,60 0,05
7 Manggis hutan (Garcinia sp.) 1,87 2,25 7,41 11,52 0,09
8 Merapat (C.rotundatus) 60,80 65,17 33,33 159,30 0,28
9 Mindarahan (Myristica sp.) 9,74 4,49 7,41 21,65 0,14
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00 1,17
Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang yang ditemukan pada lokasi ini adalah
9 jenis. Keberadaan jenis merapat (C.rotundatus) sangat mendominasi tingkat
tiang dalam komunitas tumbuhan kerangas lahan terendam. Jumlah jenis tiang
yang terdapat pada hutan kerangas lahan terendam relatif lebih sedikit
dibandingkankan hutan kerangas lahan kering. Tingginya dominasi jenis merapat
berdampak pada rendahnya nilai indeks keragaman yang terbentuk.
40
Tabel 2.12 Komposisi, keragaman jenis dan INP tingkat pohon di lokasi referensi 1 (hutan kerangas lahan terendam)
No Jenis Pohon DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Belangiran (S.belangeran) 22,63 25,00 25,00 72,63 0,35
2 Merapat (C.rotundatus) 60,89 62,50 58,33 181,72 0,29
3 Mindarahan (Myristica sp.) 12,46 6,25 8,33 27,05 0,17
4 Uar (Syzigium sp.) 4,02 6,25 8,33 18,60 0,17
Jumlah 100,00 100,00 100,00 300,00 0,99
Terdapat 4 jenis tumbuhan tingkat pohon di lokasi penelitian. Jenis
merapat dan belangiran mendominasi tingkat pertumbuhan tingkat pohon.
Keragaman jenis relatif rendah sebagai akibat dari jumlah jenis yang rendah dan
dominasi yang sangat tinggi dari jenis merapat (C.rotundatus).
Total jumlah jenis tumbuhan yang ditemukan pada hutan kerangas lokasi
referensi 1 untuk hutan kerangas sekunder lahan kering adalah 19 jenis dan 15
jenis untuk hutan kerangas sekunder terendam. Belangiran merupakan jenis
tumbuhan yang terdapat di setiap tipe hutan kerangas (terendam/tidak terendam)
dan senantiasa hadir pada tiap tingkatan pertumbuhan dari tingkat semai sampai
pohon. Keberadaan suatu jenis yang sangat dominan menjadi salah satu
penyebab terjadinya regenerasi yang kurang baik.
Kepadatan tegakan di lokasi referensi 1 untuk hutan kerangas tidak
terendam dengan diameter ≥ 5 cm adalah 1012 individu pohon/ha, diameter ≥ 10
cm adalah 634 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm sebanyak 178
individu pohon/ha. Kepadatan tegakan dari lokasi referensi 1 untuk hutan
kerangas terendam dengan diameter ≥ 5 cm adalah 1090 individu pohon/ha,
diameter ≥ 890 cm adalah 634 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm
sebanyak 160 individu pohon/ha.
Hutan kerangas sekunder yang terdapat di Palangkaraya Kalimantan
Tengah dan relatif kurang terganggu, kepadatan tegakan pohon dengan diameter
≥ 10 cm mencapai 677-747 individu pohon/ha (Miyamoto et al. 2007). Riswan
(1985) mengemukakan juga bahwa kepadatan tegakan pada hutan kerangas
sekunder mencapai 454-750 individu pohon/ha dengan ukuran diameter batang
10-20 cm. Hadisaputro dan Said (1988) melaporkan bahwa di Cagar Alam
Mandor Kalimantan Barat, hutan sekunder kerangas yang relatif terganggu
memiliki jumlah jenis tingkat pohon sebanyak 12 jenis dan tiang sebanyak 28
jenis. Kissinger (2002) mendapatkan 16 jenis tumbuhan tingkat pohon dan 24
jenis tingkat tiang di hutan kerangas kerangas Trinsing-Butong Muara Teweh
41
Keterangan: 1. Rasak (Vatica ressak) 2.Irat (Cratoxylon arborescen) 3.Masupang (Shorea velunosa) 4. Rasak (Vatica ressak) 5. Masupang (Shorea velunosa) 6. Siwao (Nephelium mutabile) 7.Palawan putih (Tristaniopsis ef stelata) 8. Rasak (Vatica ressak) 9. Kapurnaga (Callophyllum pulcherimum) 10. Masupang (Shorea velunosa) 11. Alau (Dacrydium beccari) 12. Brunsulan (Memecylon costatum) 13. Uar (Syzigium ridleyi) 14. Rasak (Vatica ressak) 15. Kuranji (Dialium laurimum) 16. Kuranji (Dialium laurimum) 17. Jambu burung (Syzigium inophylla) 18. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 19. Rasak (Vatica ressak) 20. Kapur naga (Callophyllum pulcherimum) 21. Rasak (Vatica ressak) 22. Nyatoh (Palaquium xanthocyhymum) 23. Merapat (Combretocarpus rotundatus) 24. Merapat (Combretocarpus rotundatus) 25. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 26. Alau (Dacrydium beccari) 27. Irat (Cratoxylon arborescens) 28. Irat (Cratoxylon arborescens) 29. Irat (Cratoxylon arborescens) 30. Terantang (Camnosperma macrophylla) 31. Jambu burung (Syzigium inophylla) 32. Irat (Cratoxylon arborescens) 33. Rasak (Vatica ressak) 34.Pamapaning (Quercus paculiformis) 35. Alau (Dacrydium beccari) 36. Nyatoh (Palaquium xanthocyhymum) 37. Masupang (Shorea velunosa) 38. Kapurnaga (Callophyllum pulcherimum) 39. Palawan merah (Tristaniopsis obovata) 40.Melalin (Madhuca betiodes) 41. Jejambuan (Syzigium sp.) 42. Palawan putih (Tristaniopsis ef stelata) 43. Uar (Syzigium ridleyi) 44. Jambu burung (Syzigium inophylla)
Kalimantan Tengah yang tidak mengalami kebakaran . Diagram profil struktur
tegakan di hutan kerangas sekunder yang relatif terganggu yang terdapat di
hutan Kerangas Trinsing-Butong Kalimantan Tengah tersaji pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Diagram profil tegakan hutan kerangas terganggu di Trinsing-Butong Muara Teweh (Sumber: Kissinger, 2002)
Hutan kerangas sekunder yang relatif terganggu dan tidak mengalami
kebakaran, masih mengandung jenis-jenis yang terdapat di hutan
Dipterocarpacea campuran. Tinggi pohon dapat mencapai 25 m dan diameter
pohon dapat mencapai > 70 cm.
Hutan kerangas sekunder di lokasi referensi 1 merupakan hutan kerangas
yang memiliki jumlah jenis pohon lebih rendah dibandingkankan dengan hutan
kerangas sekunder dari tinjauan literatur yang dikemukan oleh Hadisaputro &
Said (1988) dan Kissinger (2002). Intensitas gangguan yang terjadi diduga
42
menjadi penyebab rendahnya jumlah jenis pohon yang terdapat pada hutan
kerangas sekunder lokasi referensi 1. Tegakan pohon yang tersisa hanya
mencapai diameter 36 cm, dengan rata-rata sebaran diameter berkisar dari 23-
24 cm (kerangas terendam) dan 27-28 cm (hutan kerangas lahan kering).
Hutan kerangas Arboretum Nyaru Menteng yang menjadi lokasi referensi 2,
merupakan tipe hutan kerangas yang relatif tidak terganggu/old growth. Tabel
2.13-2.16 memuat komposisi jenis, indeks nilai penting (INP) dan indeks
keragaman dari tiap tingkatan vegetasi hutan kerangas di Arboretum Nyaru
Menteng Palangkaraya.
Tabel 2.13 Komposisi, keragaman dan INP tingkat semai lokasi referensi 2
No Jenis Semai FR (%) KR (%) INP (%) H'
1 Agathis (Agathis borneensis) 12,50 8,70 21,20 0,24
2 Belangiran (S.belangeran) 6,25 4,35 10,60 0,16
3 Bintangur (Callophylum sp.) 6,25 23,91 30,16 0,10
4 Irat (C.arborescens) 12,50 4,35 16,85 0,16
5 Jejambuan (Syzygium sp.) 25,00 30,43 55,43 0,37
6 Madang (Litsea sp.) 6,25 6,52 12,77 0,21
7 Manggis hutan (Garcinia sp.) 12,50 10,87 23,37 0,27
8 Merapat (C.rotundatus) 12,50 8,70 21,20 0,24
9 Simpur (D.indica) 6,25 2,17 8,42 0,10
100,00 100,00 200,00 1,86
Terdapat 9 jenis tumbuhan tingkat semai pada lokasi hutan kerangas
referensi 2. Jejambuan dan bintangur merupakan jenis semai yang relatif
dominan terdapat pada lokasi referensi 2. Relatif rendahnya jumlah jenis yang
ditemukan pada tingkat semai, mengakibatkan rendahnya keragaman jenis.
Tabel 2.14 Komposisi,keragaman jenis dan INP pancang lokasi referensi 2
No Jenis Pancang KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Belangiran (S.belangeran) 11,76 10,53 22,29 0,24
2 Bintangur (Callophylum sp.) 14,71 10,53 25,23 0,24
3 Bungur (Lagerstromia sp.) 2,94 5,26 8,20 0,15
4 Irat (C.arborescens) 2,94 5,26 8,20 0,15
5 Jejambuan (Syzygium sp.) 17,65 15,79 33,44 0,29
6 Manggis (Garcinia sp.) 23,53 15,79 39,32 0,29
7 Mahang (Macaranga sp.) 5,88 10,53 16,41 0,24
8 Merapat (C.rotundatus) 2,94 5,26 8,20 0,15
9 Palawan (Tristaniopsis obovata) 2,94 5,26 8,20 0,15
10 Simpur (D.indica) 14,71 15,79 30,50 0,29
100,00 100,00 200,00 2,21
Terdapat 10 jenis tumbuhan tingkat pancang di lokasi referensi 2. Tidak
ada jenis yang dominan sekali pada tingkat pancang. Nilai INP tertinggi
43
ditunjukkan oleh jenis manggis, jejambuan dan simpur. Relatif meratanya jumlah
individu dari masing-masing jenis di tingkat pancang menyebabkan relatif
baiknya keragaman jenis. Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis, tingkat
pancang pada hutan kerangas lokasi referensi 2 tergolong tinggi. N.gracilis,
N.mirabilis dan N.rafflesiana merupakan jenis kantong semar yang dapat
ditemukan di lokasi penelitian ini.
Tabel 2.15 Komposisi, keragaman jenis dan INP tiang lokasi referensi 2
No Jenis tiang DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Agathis (Agathis borneensis) 1,44 1,52 3,57 6,53 0,06
2 Alau (Dacridium beccarii) 0,88 1,52 3,57 5,96 0,06
3 Belangiran (S.belangeran) 6,40 6,06 10,71 23,17 0,17
4 Bintangur (Callophylum sp.) 5,11 7,58 10,71 23,40 0,20
5 Irat (C.arborescens) 60,14 46,97 17,86 124,97 0,35
6 Jejambuan (Syzygium sp.) 12,83 19,70 21,43 53,95 0,32
7 Manggis hutan (Garcinia sp.) 3,39 3,03 7,14 13,57 0,11
8 Merapat (C.rotundatus) 0,79 1,52 3,57 5,87 0,06
9 Nyatoh (P.borneense) 3,19 4,55 7,14 14,88 0,14
10 Punak (Tetramerista glabra) 0,67 1,52 3,57 5,76 0,06
11 Simpur (D.indica) 5,17 6,06 10,71 21,95 0,17
100,00 100,00 100,00 300,00 1,71
Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki 11 jenis tumbuhan tingkat tiang.
Jenis irat keberadaannya sangat dominan (INP=124,97%) dibandingkankan
dengan 10 jenis lainnya. Begitu dominannya jenis irat mengakibatkan indeks
keragaman jenis tiang menjadi rendah (H‘=1,71).
Tabel 2.16 Komposisi, keragaman jenis dan INP pohon lokasi referensi 2
No Jenis pohon DR (%) KR (%) FR (%) INP (%) H'
1 Belangiran (S.belangeran) 12,46 14,29 23,08 49,82 0,28
2 Bintangur (Callophylum sp.) 2,28 2,86 7,69 12,83 0,10
3 Irat (C.arborescens) 74,77 71,43 38,46 184,66 0,24
4 Jejambuan (Syzygium sp.) 5,02 5,71 15,38 26,12 0,16
5 Manggis hutan (Garcinia sp.) 2,21 2,86 7,69 12,76 0,10
6 Nyatoh (P.borneense) 3,26 2,86 7,69 13,81 0,10
100,00 100,00 100,00 300,00 0,99
Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki 6 jenis tumbuhan tingkat pohon.
Jenis irat (C.arborescens) keberadaannya sangat dominan dengan nilai
INP=184,66%. Berdasarkan nilai indeks keragaman (H‘=0,99), keragaman jenis
pohon hutan kerangas lokasi referensi 2 tergolong rendah. Rendahnya
keragaman jenis yang ada merupakan akibat dari sangat dominannya kehadiran
jenis irat.
44
Komposisi jenis tumbuhan hutan kerangas lokasi referensi 2 terdiri dari 23
jenis. Sebagian besar jenis yang terdapat di hutan kerangas lokasi referensi 2
terdapat pada setiap tingkatan pertumbuhan dari semai, pancang, tiang dan
semai. Jenis tumbuhan yang senantiasa terdapat pada setiap pertumbuhan
adalah belangiran, bintangur, irat, dan jejambuan. Fenomena ini
mengindikasikan regenerasi jenis yang berlangsung antar tiap tingkatan vegetasi.
Kepadatan tegakan di lokasi referensi 2 untuk hutan kerangas untuk
ukuran pohon dengan diameter ≥ 5 cm adalah 2034 individu pohon/ha, diameter
≥ 10 cm adalah 1650 individu pohon/ha dan untuk diameter ≥ 20 cm sebanyak
550 individu pohon/ha. Diameter tertinggi yang ditemukan dari jenis belangiran
adalah 32-33 cm.
Katagiri et al. 1991 menyebutkan bahwa pada hutan kerangas ―padang‖
jumlah jenis vegetasi yang ditemukan adalah 15 jenis, dengan jenis yang
mendominasi adalah Cratoxylon glaucum, Ploiarium alternifolium dan
Callophyllum langigerum. Struktur tegakan didominasi oleh pohon-pohon
berukuran kecil. Jumlah pohon dengan ukuran diameter kurang dari 5 cm
mencapai 95,6 % dari total jumlah pohon yang ada. Kerapatan tegakan sangat
tinggi (6160 individu/ha), karena memasukan pohon-pohon dengan ukuran di
bawah 5 cm (≥ 2 cm) atau secara spesifik terdiri dari 5889 individu untuk ukuran
diameter < 5 cm, 234 individu untuk ukuran diameter 5 cm - <10 cm dan 37
individu untuk ukuran diameter ≥ 10 cm. Sedangkan tinggi pohon relatif rendah,
berkisar antara 2 m untuk pohon terendah dan 10 m untuk pohon tertinggi
dengan rata-rata tinggi pohon 3,5 m.
Hutan kerangas primer atau hutan yang relatif belum terganggu yang
letaknya berbatasan dengan Dipterocarpacea campuran dapat memiliki jumlah
pohon sebanyak 708 individu/ha (diameter pohon berukuran ≥ 10 cm) dan masih
memiliki pohon yang mencapai diameter > 100 cm. Jenis-jenis dari family
Fagaceae, Myrtaceae, Sapotaceae, Guttiferae, Casuarinaceae dan Konifers
(seperti Agathis borneensis. Dacrydium sp., Podocarpus sp.) merupakan jenis
yang penting. Beberapa jenis Dipterocarpacea terdapat pada hutan kerangas
yang relatif tidak terganggu, seperti Shorea venulosa, Shorea albida, Shorea
rugosa, Shorea belangeran, Shorea ovate, Hopea sp., Vatica sp., dan
Dipterocarpus borneensis (Bruenig, 1974; Kissinger, 2002).
Bruenig (1974) melaporkan bahwa dari seluruh hutan kerangas yang
terdapat di Serawak ditemukan 844 jenis pohon, 220 jenis di antaranya terdapat
45
juga di hutan Dipterocarpacea campuran. Salah satu contoh tipe hutan kerangas
dengan tipe tanah podsolik putih kelabu (grey white podzolic) dapat memiliki 69 –
75 jenis pohon. Kartawinata (1980) mengemukakan bahwa terdapat > 200 jenis
pohon, semak, herba dan parasit yang terekam dalam suatu tipe hutan kerangas.
Gambaran diagram profil struktur tegakan dari tipe hutan kerangas relatif
bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Salah satu contohnya
adalah seperti dideskripsikan Proctor et al. 1983 (Gambar 2.4)
Gambar 2.4 Diagram profil tegakan hutan kerangas relatif tidak terganggu di Gunung Mulu National Park (Sumber: Proctor et al. 1983)
Keterangan: Simbol: Bb: Baccaurea brahium didcteata, Bp: Bhesa paniculata, Cb: Chepalomappa beccariana, Cd: Canthium didyum, Cf: Castanopsis foxworthyi, Cha: Calophyllum havilandii, Ct: Calophyllum teysmannii, Dxa: Dyospyros sp., El: Eugenia leucoxylon, En: Eugenia nemestrina, Gpe: Garcinia cf petiolaris, Hc: Horsfieldia crassifolia, Hp: Hopea pseudokunstleri, Lr: Lopophetalum rigidum, Lx: Lithocarpus sp., Ms: Mesua calophylloides, Pc: Palaquium cochleariifolium, Pg: Polyalthia glauca, Sa: Shorea albida, Sc: Sindora coriacea, Sm: Stemonurus malaccensis, Ta: Ternstroemia aneura, Tc: Tristaniopsis clementis
Proctor et al. (1983) mendapati di hutan kerangas Taman Nasional Gunung
Mulu, jumlah individu pohon/ha berdiameter > 10 cm adalah sebesar 708
pohon/ha dan jumlah jenis mencapai 113 jenis pohon. Terdapat 84 jenis pohon di
Taman Nasional Danau Sentarum Kalimantan Barat. Jumlah individu pohon
berdiameter ≥ 10 cm adalah 1030 individu pohon/ha (Onrizal 2004). Katagiri et
al. 1991 menemukan 15 jenis pohon dalam plot penelitiannya di Taman Nasional
Bako Serawak Malaysia.
Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki sebaran ukuran diameter relatif
kecil. Hutan kerangas pada lokasi referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan
46
kering berbatasan dengan hutan Dipterocarpacea campuran) memiliki rata-rata
sebaran ukuran diameter sedikit lebih besar (Ө=27-28 cm) dibandingkankan
ukuran diameter pohon di hutan kerangas lokasi referensi 2 (Ө=21-22 cm).
Perbandingan jumlah jenis tumbuhan tingkat semai dan pancang antara
hutan kerangas lokasi utama (hutan kerangas terbuka yang terfragmentasi)
dengan hutan kerangas referensi 2 (old growth dengan gangguan rendah dan
berbatasan dengan hutan rawa gambut), hutan kerangas referensi 1 (hutan
kerangas terbuka dan berbatasan dengan hutan rawa gambut) dan hutan
kerangas referensi 1 (hutan kerangas sekunder lahan kering yang berbatasan
dengan hutan Dipterocarpaceae campuran) adalah relatif sama (9-14 jenis).
Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang yang tertinggi terdapat pada hutan kerangas
referensi 2 (11 jenis) dan referensi 1 (9-11 jenis). Jumlah jenis tumbuhan tingkat
tiang terendah adalah hutan kerangas referensi 3 (4 jenis) dan lokasi utama (2
jenis). Jumlah jenis tumbuhan tingkat pohon yang paling tertinggi adalah pada
hutan kerangas referensi 2 (6 jenis) dan terendah adalah lokasi utama.
Kepadatan pohon hutan kerangas referensi 2 (old growth) untuk ukuran diameter
≥ 5 cm adalah lebih tinggi dibandingkankan hutan kerangas sekunder referensi 1
(1012-1090 individu pohon/ha). Hutan kerangas lokasi referensi 2 memiliki
kepadatan tegakan yang lebih tinggi dibandingkan hutan kerangas ―padang‖
untuk diameter pohon ukuran ≥ 5 cm (Katagiri et al. 1991).
Perbandingan jumlah jenis vegetasi total (gabungan semua tingkat
pertumbuhan) yang ditemukan di antara lokasi penelitian adalah sebanyak 10-12
jenis untuk hutan kerangas terbuka adalah, 15-19 jenis untuk hutan kerangas
sekunder dan hutan kerangas old growth sebanyak 23 jenis. Khusus untuk
kantong semar, N.gracilis merupakan jenis yang senantiasa ditemukan di setiap
tipe hutan kerangas bila dibandingkankan dengan jenis Nepenthes lainnya.
Bila nilai-nilai dari karakteristik ekologi hutan kerangas dihubungkan
dengan pemanfaatan bioaktivitas, maka terdapat peluang pemanfaatan dari
berbagai jenis tumbuhan di hutan kerangas. Potensi jenis, biomassa dan
keberlanjutan regenerasi tercermin dari komposisi jenis dan nilai-nilai seperti
dominansi relatif (DR), kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan indeks
nilai penting. Karakteristik dari komposisi dan struktur vegetasi menjadi salah
satu acuan pemilihan jenis yang dapat dimanfaatkan dengan syarat bila jenis
tersebut secara etnobotani maupun pendekatan pengetahuan modern memiliki
bioaktivitas tertentu.
47
3) Karakteristik Tanah Hutan Kerangas
Tanah di hutan kerangas dicirikan dengan tanah podsol yang miskin hara
dengan material tanah umumnya kaya akan pasir kuarsa, pH rendah dan kerap
memiliki lapisan gambut di atas permukaan tanah. Kenampakan tanah penyusun
di hutan kerangas tersaji pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Kenampakan tanah di lahan kerangas (Sumber: Kissinger 2002).
Berdasarkan kandungan pasirnya, hutan kerangas dapat dibedakan
menjadi dua macam tipe kerangas, yaitu hutan kerangas moderat dan hutan
kerangas ekstrim, hutan kerangas moderat merupakan hutan kerangas yang
tanahnya bercampur dengan pasir secara seimbang atau lebih banyak
kandungan liat/lempung dibandingkankan dengan kandungan pasir. Derajat
kesarangan tanah kerangas moderat kurang sehingga kelembaban tanah relatif
tinggi, kandungan bahan organik tanah lebih tinggi dibandingkankan kerangas
ekstrim. Lumut pada lantai hutan tebal dan hampir seluruh lantai hutan ditutupi
lumut, hutan kerangas moderat kaya akan epifit tetapi miskin jenis pohon. Hutan
kerangas ekstrim mempunyai kandungan pasir atau kwarsa lebih tinggi di
bandingkan liatnya, malahan hampir atau seluruhnya ketebalan pasir mulai dari
permukaan sampai beberapa belas meter. Dibawahnya terdapat lapisan kedap
air dapat berupa batu-batuan cadas. Karakteristik sifat fisik tanah hutan kerangas
diindikasikan berdasar tekstur tanah dan ditampilkan dalam Tabel 2.17.
Tabel 2.17 Perbandingan fraksi pasir, debu dan liat tanah hutan kerangas
No PLOT PENELITIAN PASIR (%)
DEBU (%)
LIAT (%)
1 Lokasi utama (terbuka) 85 10,5 4,5
2 Referensi 1 (terbuka) 89,5 5,5 5
3 Referensi 1 (hutan sekunder) 82 16 2
4 Referensi 2 (old growth) 80 3 17
5 Referensi 3 (terbuka) 89 8 3
6 Trinsing-Butong Kalteng (hutan sekunder)* 52,5 42 5,5
7 TN Bako, Serawak (Kerangas ―Padang‖)** 91 5 4
8 Hutan kerangas sekunder Bangka Tengah*** 85 5,1 9,4
Keterangan: * Kissinger. 2002; **Katagiri et al. 1991; ***Yarli. 2011.
Perakaran (sebagian serabut halus) terdapat pada horison A1, A2
Bahan organik
48
Fraksi pasir mendominasi tekstur tanah hutan kerangas. Dominansi fraksi
pasir akan meningkat pada tanah-tanah hutan kerangas yang terbuka. Besarnya
persentase total debu dan liat apabila dihubungkan dengan penutupan vegetasi
akan berbanding lurus. Semakin besar kedua fraksi tersebut maka akan semakin
tinggi jumlah individu dan jumlah jenis vegetasi yang tumbuh dalam komunitas
hutan kerangas. Bruenig (1974) menemukan pada beberapa lokasi dengan
kandungan debu atau liatnya besar memiliki jumlah jenis pohon yang lebih tinggi.
Fraksi pasir yang tinggi menyebabkan terjadinya stress air, pencucian (leaching)
dan lemahnya kemampuan tanah menahan hilangnya unsur-unsur hara tertentu
dari tanah permukaan.
Ketersediaan hara menjadi faktor penting dalam mendukung pertumbuhan
dan perkembangan tumbuhan. Karakteristik sifat kimia tanah merupakan
pendekatan untuk mengetahui kandungan unsur hara tanah. Beberapa
karakteristik kimia tanah (kedalaman 0-40 cm) dari tanah hutan kerangas tertera
pada Tabel 2.18.
Tabel 2.18 Karakteristik sifat kimia tanah hutan kerangas
No PLOT PENELITIAN pH C (%) N (%)
C/N P (ppm)
Ca Mg K Na KTK
(me/100g)
1 Lokasi Utama (kerangas terbuka)
3,8 0,88 0,05 19,6 3,70 0,6 0,12 0,02 0,03 1,73
2 Referensi 1 (kerangas terbuka)
3,5 1,02 0,09 11,3 3,20 0,57 0,18 0,06 0,04 3,63
3 Referensi 1 (kerangas sekunder)
2,9 3,01 0,23 13,1 4,10 0,40 0,07 0,06 0,04 4,92
4 Referensi 2 (old growth) 2,5 11,2 0,81 13,8 7,00 0,36 0,37 0,10 0,05 11,32
5 Referensi 3 (kerangas terbuka)
2,4 3,46 0,25 13,8 4,40 0,80 0,3 0,06 0,02 11,38
6 Trinsing-Butong (kerangas sekunder)*
3,3 3,35 0,09 37,2 7,90 0,68 0,20 0,07 0,03 5,34
7 Taman Nasional Bako (kerangas Padang)**
3,7 2,8 0,1 28,0 2,80 0,40 1,70 0,10 - 5,80
8 Bangka (hutan kerangas sekunder)***
5,0 2,8 0,26 10,8 4,70 1,10 0,42 0,10 0,3 6,86
Keterangan: * Kissinger. 2002; **Katagiri et al. 1991; ***Yarli. 2011.
Data yang tertera dalam Tabel 2.18 menunjukkan bahwa tanah kerangas
adalah tanah yang tidak subur, memiliki sifat asam (pH berkisar 2-4). Kandungan
C organik tanah berkisar dari sangat rendah (lokasi utama=0,88%) sampai tinggi
(hutan kerangas old growth=11,2). Hutan kerangas old growth yang relatif
sedikit gangguan memiliki kandungan C dan N yang relatif lebih tinggi
dibandingkankan dengan hutan kerangas sekunder dan hutan kerangas terbuka.
Kandungan bahan organik tinggi dalam membantu memperlambat
hilangnya unsur N yang sifatnya mobil pada tanah kerangas yang tinggi fraksi
49
pasirnya. Secara keseluruhan kandungan unsur N sangat rendah terkandung
dalam tanah hutan kerangas. C/N ratio relatif bervariasi antara beberapa contoh
tanah dari lahan kerangas. Unsur P dalam tanah kerangas juga cukup bervariasi.
Hutan kerangas old growth dan hutan sekunder relatif memiliki kandungan unsur
P yang lebih baik dibandingkan hutan kerangas terbuka. Unsur mikro lain seperti
Ca, Mg, K dan Na relatif sangat rendah. KTK secara keseluruhan termasuk
rendah, dengan nilai KTK terendah terdapat pada lokasi penelitian utama.
Bruenig (1974) mengungkapkan bahwa tanah dari berbagai tipe hutan
kerangas memiliki variasi C/N yang beragam. Kandungan unsur P dan Mg tanah
hutan kerangas relatif rendah. Ketebalan serasah atau lapisan gambut di tanah
hutan kerangas dari golongan humus podsol berdampak pada tingginya
kandungan C organic yang berdampak pada meningkatnya nilai KTK. Lamprecht
(1989) mengungkapkan bahwa kunci dari faktor tapak hutan kerangas bukan
pada kekurangan air tapi lebih pada rendahnya unsur hara tanah. Rendahnya pH
berdampak pada terbatasnya pertumbuhan tumbuhan di hutan kerangas
(Proctor, 1997).
Peran mikoriza pada hutan kerangas sangat membantu tumbuhan dalam
menyerap unsur hara. Tercatat dari 22 jenis tumbuhan yang ditemukan 20 jenis
memiliki simbiosis dengan mikoriza dalam penyerapan haranya. Terdapat 17
tumbuhan yang memiliki arbuscular mycorrhiza (AM) dan 2 jenis tumbuhan yang
memiliki ectomychorrhiza (EM), serta 1 jenis (Tristania beccarii dari family
Myrtaceae) yang memiliki AM dan EM. Pada beberapa kasus kehadiran AM dan
EM secara bersamaan terjadi pada jenis lain dari family Myrtaceae seperti Ixora
sp. dan Syzygium sp. (Moyersoen, 2001).
Keterbatasan kondisi tanah di hutan kerangas yang tidak terganggu
maupun terganggu inilah yang mengakibatkan rendahnya jumlah jenis tumbuhan
yang mampu beradaptasi di hutan kerangas. Proses adaptasi merupakan proses
fisiologis tumbuhan sebagai respon terhadap lingkungan (dalam hal ini
menghadapi keterbatasan tapak hutan kerangas) berpotensi menghasilkan
metabolit sekunder sebagai sumber dari bioaktivitas (Croteau et al. 2000).
Penebangan dan pembukaan lahan mempercepat hilangnya lapisan
serasah dan gambut di permukaan tanah kerangas yang berdampak pada
menurunnya bahan organik tanah, mempercepat proses pencucian hara dan
memperburuk sifat-sifat tanah lainnya. Buruknya sifat tanah dari hutan kerangas
yang terbuka tidak saja berpengaruh pada semakin rendahnya kandungan hara
50
tanah, tetapi juga berakibat pada stress air. Belum ada laporan sampai saat ini
yang mengemukakan keberhasilan rehabilitasi lahan kerangas yang telah rusak
dan terbuka. Fenomena ini memberikan arahan untuk tindakan perventif
konservasi hutan kerangas harus dilakukan. Sehingga keberlangsungan fungsi
ekosistem dari bentuk lahan terbatas ini tetap dapat dipertahankan dan
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
4) Fauna di Hutan Kerangas
Fauna di hutan kerangas relatif rendah variasi jenisnya. Keterbatasan
fauna yang ditemukan karena keterbatasan habitat yang mampu mendukung
kehidupan satwa-satwa secara umum. Akan tetapi keberadaan fauna cukup
bervariasi antara berbagai tipe kerangas.
Terdapat 10 jenis burung (aves), 4 jenis mamalia, 1 jenis primata dan 4
jenis reftil di lokasi penelitian utama. 10 jenis burung yang umum ditemukan di
hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian utama (kerangas terbuka) tertera
pada Tabel 2.19.
Tabel 2.19. Jenis burung yang ditemukan di hutan kerangas
No Jenis Keterangan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bantalmayat (Lanius sach)
Beburak (Gallinula choloropus)
Bubut (Centropus sinensis)
Cabak (Caprimulgus affinis)
Curiak (Gerygone sulphurca)
Darakuku(Streptopelia chinensis)
Keruang (Pycnonotus goiavier)
Papikau (Coturnix chinensis)
Pipit (Neiglyptes triptis)
Punai tanah (Treron vernans)
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
Teresterial di tingkat pancang, semai & semak
Habitat tingkat pancang, semai & semak
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
Habitat tingkat pancang, semai & semak
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
Tempat terbuka, tingkat pancang, semai & semak
Habitat terbuka dan semua tingkat pertumbuhan
Smith (1999) mengidentifikasikan 23 jenis burung yang terdapat di hutan
kerangas primer dengan ketinggian 1100 m dpl yang lokasinya berbatasan
dengan hutan sekunder dan primer Dipterocarpaceae campuran pada zona
submontana. Penelitian lain menemukan 45 jenis burung yang hidup di hutan
kerangas old growth Pondok Ambung Taman Nasional Tanjung Puting
Kalimantan Tengah. Hutan kerangas ini berbatasan dengan hutan rawa gambut,
hutan rivarian dan hutan Dipterocarpaceae campuran (Burung-nusantara 2012).
Beberapa jenis reptil seperti biawak (Varanus sp.), kadal (Takydromus
sexlineatus.), ular tanah (Calloselasma rhodostoma), ular karung (Acrochordus
51
javanicus) ditemukan di lokasi penelitian utama. Mamalia besar relatif jarang
terdapat di hutan kerangas. Mamalia Sus barbatus dan primata Macaca
fascicularis merupakan fauna yang senantiasa terdapat di hutan kerangas.
Beberapa contoh mamalia dan primata yang umum terdapat di hutan kerangas
kurang terganggu yang terdapat di daerah perbukitan adalah Muntiacus sp.,
Echinosorex gymnurus, Sus barbatus, Macaca nemestrina dan Macaca
fascicularis ( Azlan and Lading 2006).
Lintah (lichees) belum pernah dijumpai di atas permukaan tanah hutan
kerangas. Orang utan (Pongo pygmaeus) dapat ditemukan di hutan kerangas
yang relatif tidak terganggu (temuan peneliti selama melakukan observasi di
hutan kerangas Muara Teweh dan Palangkaraya Kalimantan Tengah). Beberapa
mamalia dan primata lain juga ditemukan di hutan kerangas Arboretum Nyaru
Menteng seperti Musang, Owa (Hylobates muelleri) dan Kelasi (Presbytis
rubicunda). Arboretum Nyaru Menteng Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah
merupakan tipe hutan kerangas yang digunakan untuk program reintroduksi
orang utan (Pongo pygmaeus).
Berdasarkan informasi yang telah disebutkan, terjadi penurunan jumlah
jenis fauna yang ditemukan di hutan kerangas yang mengalami gangguan atau
kerusakan. Jenis burung di hutan kerangas terbuka terutama didominasi oleh
burung pemakan serangga. Jenis mamalia dan primata juga terbatas terdapat
pada hutan kerangas terbuka yaitu babi hutan (Sus barbatus) dan kera (Macaca
fascicularis).
D. Simpulan
Hutan kerangas yang menjadi lokasi penelitian sebagian besar merupakan
hutan kerangas yang mengalami gangguan dan perubahan menjadi kerangas
terbuka dan hutan sekunder yang sampai saat ini masih mengalami gangguan.
Status hutan kerangas secara umum adalah kritis, terdegradasi dan
keanekaragamanhayatinya menurun.
Komposisi jenis dan struktur tegakan bervariasi di antara berbagai tipe
hutan kerangas, baik yang terganggu maupun yang belum terganggu. Pohon
dan permudaan dari jenis Cratoxylon arborescen, Shorea belangeran,
Callophylum sp., Combretocarpus rotundatus dan tumbuhan bawah jenis
N.gracilis selalu ditemukan di tiap tipe hutan kerangas. Hutan kerangas old
52
growth memiliki kepadatan pohon lebih besar dibandingkankan hutan kerangas
sekunder dan hutan kerangas terbuka.
Gangguan berat terhadap hutan kerangas baik berupa penebangan,
kebakaran berulang berdampak pada terbentuknya tegakan murni atau asosiasi
tegakan yang hanya didominasi satu atau dua jenis tumbuhan tingkat pohon dan
tiang. Tanah di hutan kerangas secara umum dicirikan dengan tanah miskin
hara, fraksi pasir yang lebih tinggi dibandingkankan fraksi liat dan debu.
Penebangan dan pembukaan lahan mempercepat hilangnya lapisan organik,
menurunnya kesuburan tanah dan memperburuk sifat tanah lainnya. Jumlah
fauna baik dari jenis mamalia, primata dan aves yang ditemukan di hutan
kerangas relatif terbatas dibandingkankan hutan Dipterocarpaceae campuran.
Keterbukaan lahan kerangas mengakibatkan penurunan jumlah jenis satwa.
orang utan (Pongo pigmeus), owa (Hylobates muelleri) dan kelasi (Presbytis
rubicunda) merupakan jenis satwa dilindungi yang dapat ditemukan di hutan
kerangas.
Bervariasinya kemampuan adaptabilitas berbagai tumbuhan terhadap
gangguan maupun kondisi habitat kerangas yang terbatas merupakan proses
seleksi alam yang mengakibatkan hanya jenis-jenis tertentu yang memiliki
adaptabilitas tinggi saja yang mampu tumbuh dominan dan berkembang di hutan
kerangas. Adaptasi sebagai bentuk respon tumbuhan terhadap keterbatasan
lingkungan yang memicu proses fisiologis menghasilkan metabolit sekunder yang
cenderung memiliki potensi bioaktivitas tertentu.
Penting untuk dilakukan tindakan konservasi untuk mempertahankan
komposisi jenis dan struktur tegakan hutan kerangas. Penutupan beragam jenis
tumbuhan menjadi bagian terpenting dari komponen komunitas hutan kerangas
dalam memberikan perlindungan terhadap komponen tanah, air dan sebagai
habitat bagi satwa tertentu.