hlhlp115

Upload: lukmanul-hakim

Post on 07-Jan-2016

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HIJAU115

TRANSCRIPT

  • HIJAUNYA LEMBAH

    HIJAUNYA

    LERENG PEGUNUNGAN

    Jilid 115

    Cetakan Pertama

    PENERBIT:

    MURIA

    YOGYAKARTA

    Kolaborasi 2 Website :

    dengan

    Pelangi Di Singosari

    /

    Pembuat Ebook :

    Sumber Buku Karya SH MINTARDJA

    Scan DJVU : Ismoyo, Arema

    Converter & Editor Ebook :

    --???0dw0???-

    Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,

    penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang

    berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih

    Jilid 115

    KI BEKEL PUN kemudian telah memberi isyarat kepada

    para bebahu untuk melaksanakan perintahnya. Bahkan

    katanya kemudian "Jika mereka melawan, buat mereka

    menjadi jera.

  • "Kau tidak akan dapat bertindak apa-apa Ki Bekel. Orangorangmu

    akan bangkit menentangmu." sahut Mahisa Murti.

    Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa y ang berani menentang

    aku, penguasa di padukuhan ini ? Siapa ?"

    Ternyata sikap dan suara Ki Bekel benar-benar

    berpengaruh. Orang-orang y ang semula telah nampak bangkit

    dan mendapatkan keberanian untuk menentukan sikapnya,

    tiba -tiba sudah berubah. Mereka justru terdiam dan berdiri

    seperti patung.

    "He, kenapa kalian diam saja ?" bertanya Mahisa Murti

    "tunjukkan bahwa kalian sekarang sudah bersikap."

    Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa yang ingin mati lebih

    dahulu?"

    Tidak seorangpun yang berani bergerak. Bahkan ujung jari

    kakinya sekalipun.

    Ki Bekelpun tertawa berkepanjangan. Katanya kepada

    pemilik kedai itu "Nah, bukankah ketenangan kedaimu tidak

    akan diganggu oleh orang-orang itu ?"

    "Ya Ki Bekel" jawab pemilik kedai itu.

    "Nah, sekarang, apa yang akan kau lakukan atas orang itu "

    bertanya Ki Bekel.

    "Orang itu harus menjadi jera." jawab pemilik kedai itu.

    "Lakukan. Aku akan menungguimu. Jika orang itu mencoba

    untuk melawan, maka serahkan orang itu kepadaku." berkata

    Ki Bekel kepada pemilik kedai itu.

  • "Serahkan kepadaku" geram pembuat tuak itu

    "punggungku rasa-rasanya sudah dipatahkan oleh anak muda

    itu aku akan membalas, tetapi terhadap orang yang

    bertanggung jawab ini. "

    Wajah-wajahpun menjadi tegang. Orang y ang punggungnya

    bagaikan patah itu, sempat menyuruh seseorang "Ambil

    cemeti kuda itu."

    Orang yang diperintahkan untuk mengambil cemeti kuda

    itu termangu-mangu. Ia tidak melihat cemeti yang

    dimaksudkan. Namun pembuat tuak itu berteriak "Ambil itu,

    disudut kedai. "

    Barulah orang itu m engerti. Yang dimaksud cemeti kuda

    adalah sepotong bambu yang disandarkan disudut kedai itu.

    Dengan tanpa m embantah lagi, maka orang itupun telah

    melangkah kesudut kedai itu untuk mengambil sepotong

    bambu yang panjangnya hampir sepanjang tubuhnya sendiri.

    Dalam pada itu Mahisa Murtipun menjadi tegang. Ia

    menjadi bimbang, apakah sebaiknya dilakukan terhadap Ki

    Bekel dan beberapa orang bebahu itu. Mahisa Murti sama

    sekali t idak m enjadi ketakutan untuk m elawan mereka, tetapi

    apakah ia harus menundukkan m ereka dengan kekerasan ?

    Yang dipikirkan oleh Mahisa Murti justru orang-orang yang

    semula telah menyatakan tekadnya, namun dihadapan Ki

    Bekel mereka tidak berani berbuat sesuatu.

    "Jangan-jangan Ki Bekel akan m enumpahkan dendamnya

  • kepada mereka." berkata Mahisa Murti didalam hatinya.

    Namun tiba -tiba Mahisa Murti mengerutkan dahinya.

    Agaknya lebih baik baginya apabila ia menakut-nakuti bukan

    sa ja pemilik kedai dan pembuat tuak itu . Tetapi juga Ki Bekel

    dan para bebahu, sehingga mereka tidak akan berbuat sesuatu

    yang dapat membuat orang-orang y ang sudah terlanjur

    menyatakan sikapnya itu m engalami kesulitan di kemudian

    hari.

    Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murtipun berteriak

    kepada orang y ang m engambil sepotong bambu itu "He, kau

    yang akan mengambil cemeti kuda. Berhenti ditempatmu."

    Orang itu terkejut. Ia m emang berhenti beberapa langkah

    dari sudut kedai itu.

    "Jangan mengambil bambu itu." berkata Mahisa Murti

    kemudian dengan nada tinggi.

    Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

    orang y ang m embuat tuak itu berteriak pula "Cepat. Jangan

    dengarkan kata-katanya. Ia adalah orang y ang akan menerima

    hukuman."

    Tetapi Mahisa Murti langsung menanggapi "Jika kau maju

    lagi, maka kau akan mengalami kesulitan. "

    "Omong kosong" ternyata Ki Bekel juga menjadi semakin

    marah "ambil sepotong bambu itu."

    "Ki Bekel" berkata Mahisa Murti "hentikan tingkahmu y ang

    buruk itu. Atau aku harus berbuat sesuatu untuk

  • meyakinkanmu?"

    "Jangan membual lagi. Kau akan menjalani hukuman

    disini, dihadapanku, orang yang berkuasa di padukuhan ini.

    jawab Ki Bekel sambil menengadahkan wajahnya.

    Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak

    mempunyai pilihan lain.

    Sementara itu sikap Ki Bekel, para bebahu dan pemilik

    kedai serta orang yang membuat tuak itu bagi Mahisa Murti

    sudah keterlaluan. Ki Bekel tahu bahwa banyak orang yang

    tidak sejalan dengan kebijak sanaannya tentang kedai dan tuak

    itu. Namun Ki Bekel sama sekali tidak menghiraukannya.

    Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat anak-anak muda

    yang menjadi mabuk, muntah-muntah kemudian tidur dimana

    sa ja tubuhnya terbaring. Ki Bekel sama sekali tidak mau

    memikirkan masa depan anak-anak muda itu.

    Karena itu, maka bulat niat Mahisa Murti untuk membuat

    hati Ki Bekel itu tergetar.

    Karena itu, ketika orang yang akan m engambil sepotong

    bambu itu melangkah maju lagi, Mahisa Murti berkata

    "Cukup. Kau sudah berdiri terlalu dekat. Mundurlah. Jika aku

    menghitung sampai tiga kau tidak mundur, maka kau akan

    mengalami bencana. "

    Orang itu kembali menjadi ragu-ragu. Namun Ki Bekel

    berteriak pula "Cepat lakukan. Orang ini harus dipukuli

    sampai jera. Pedangnya tidak akan kuasa mencegah keputusan

  • itu, karena jika ia menarik pedangnya, maka artinya ia

    membunuh diri."

    Tetapi ketika orang itu akan bergerak lagi, Mahisa Murti

    mulai menghitung "Satu, dua...."

    Ternyata orang itu terpengaruh oleh hitungan y ang

    diucapkan Mahisa Murti. Karena itu, maka ketika Mahisa

    Murti mulai menghitung, tanpa mengetahui apa yang akan

    terjadi, m aka orang itu melangkah mundur. Bahkan dengan

    tergesa -gesa.

    Sementara itu Mahisa Murti memang sudah kehabisan

    kesabaran menghadapi Ki Bekel. Sikapny a yang

    menjengkelkan serta jalan pikirannya y ang pendek menjadi

    sangat memuakkan bagi Mahisa Murti.

    Demikianlah ketika Mahisa Murti mengucapkan hitungan

    yang ketiga, maka Mahisa Murtipun telah menghentakkan

    tangannya kearah sudut kedai tempat sepotong bambu itu

    bersandar. Tidak dengan mengerahkan segenap tenaga dan

    kekuatan yang ada didalam diriny a. Yang dilontarkannya

    adalah kekuatan pada permukaannya saja.

    Namun akibatnya sudah cukup menggemparkan. Bukan

    sa ja sepotong bambu itu yang hancur menjadi debu, tetapi

    tiang disudut kedai itupun telah hancur pula, sehingga atap

    disudut kedai itu telah runtuh.

    Terdengar derak kayu-kayu yang patah, kemudian tulangtulang

    atap itu jatuh berserakan.

  • Orang yang sudah bergerak mundur itu ternyata masih juga

    tersentuh hentakkan kekuatan ilmu Mahisa Murti. Orang itu

    telah terdor ong beberapa langkah dan jatuh berguling di

    tanah. Untunglah bahwa ia sudah mengambil jarak, sehingga

    akibatnya tidak membahayakannya.

    Meskipun demikian, kulitnya telah terluka pula tergores

    oleh batu-batu kerikil y ang bertebaran.

    Kuda-kuda y ang ada di halaman kedai itu terkejut. Seekor

    diantaranya telah meringkik sambil berdiri pada kaki

    belakangnya, sementara yang lain berputar-putar dengan

    gelisah.

    Ringkik kuda yang keras itu seolah-olah membuat getaran

    kekuatan Mahisa Murti semakin mencengkam.

    Orang-orang yang melihat peristiwa itu berdiri mematung.

    Wajah mereka menjadi pucat, sementara tubuh Ki Bekel, para

    bebahu, pemilik kedai dan orang y ang membuat tuak itu

    menjadi gemetar. Anak-anak y ang m eskipun m abuk, namun

    jantung m ereka bagaikan berdentang semakin cepat didalam

    dadanya.

    Sejenak keheningan telah mencengkam. Ki Bekel berdiri

    tegak dengan mulut terkatub rapat. Sementara itu lutut

    pemilik kedai y ang baru saja menengadahkan wajahnya itu

    bergetar dan beradu yang satu dengan yang lain.

    Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata "Ki Bekel.

    Ki Bekel itu terkejut bukan kepalang. Suara itu seperti

  • ledakan petir menyambar telinganya. Dengan gagap iapun

    kemudian menjawab "Ya, y a, anak muda."

    "Sekarang, kau dan para bebahu itu aku minta berdiri

    terpisah dari banyak orang."

    "Tetapi, tetapi, untuk apa anak muda" suaranya menjadi

    gagap.

    "Aku akan melakukannya atas kalian. Jika kalian memang

    orang berilmu tinggi dan merasa berkuasa disini berlandaskan

    ilmumu dan kekuatan pengikut-pengikutmu tanpa

    menghiraukan nurani rakyatmu, maka kalian tentu dapat

    menangkis atau menghindari seranganku." berkata Mahisa

    Murti.

    "Tidak. Jangan, jangan" minta Ki Bekel "kami mohon

    maaf."

    "Seperti kau yang akan menghukum aku, maka akulah

    sekarang y ang akan menghukummu tanpa menghiraukan

    paugeran y ang berlaku. Aku membatalkan niatku untuk minta

    agar para prajurit Singasari menata kembali kehidupan di

    padukuhan ini. Tetapi aku sendiri akan bertindak sekarang,

    tanpa menghiraukan tatanan dan paugeran yang manapun.

    Aku dapat melakukannya karena aku memiliki ilmu yang

    dapat mengatasi kalian, bahkan jika semua orang disini

    menentangku." geram Mahisa Murti.

    Ki Bekel m enjadi semakin ketakutan. Demikian pula para

    bebahu, pemilik kedai dan pembuat tuak itu. Dengan suara

  • memelas Ki Bekel memohon "Kami mohon ampun anak

    muda."

    "Seandainya aku tadi m inta ampun kepadamu, apakah kau

    juga akan mengampuniku dan tidak jadi menghukumku ?"

    bertanya Mahisa Murti.

    "Tentu, tentu anak muda" jawab Ki Bekel.

    Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian

    katanya "Kau telah melakukan kesalahan lagi Ki Bekel."

    Wajah Ki Bekel semakin pucat. Dengan gagap ia bertanya

    "Kesalahan apa lagi anak muda ?"

    "Kau telah mencoba menipuku. Kau tidak akan begitu

    mudah memaafkan seseorang menilik watakmu. Bukankah

    kau benar-benar akan m enghukumku ? Memukuliku dengan

    sepotong bambu ? Bahkan kau telah menantangku, bahwa jika

    aku menarik pedangku itu berarti aku akan membunuh diriku

    sendiri. "

    "Tidak anak muda, sungguh tidak. Aku mohon ampun, aku

    benar-benar mohon ampun. "Ki Bekel itu bagaikan merintih.

    Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

    iapun bertanya "Bagaimana dengan y ang lain ?"

    Pemilik kedai dan pembuat tuak itupun hampir berbareng

    berkata "Aku juga mohon ampun."

    "Baiklah" berkata Mahisa Murti kemudian "aku akan

    memaafkan kalian. Tetapi kalian tahu apa y ang aku

    kehendaki."

  • "Ya, ya, anak muda. Aku mengerti" jawab Ki Bekel.

    "Bukan hanya kau " berkata Mahisa Murti kemudian.

    "Ya, y a. Bukan hanya aku. Tetapi kami tahu maksudmu"

    jawab Ki Bekel pula.

    "Baiklah" berkata Mahisa Murti "aku kali ini percaya

    kepada kalian. Aku menghargai sikap beberapa orang yang

    telah berani menyatakan pendapat dan sikapnya, meskipun

    pada saat terakhir, mereka menjadi silau melihat kehadiran Ki

    Bekel. Pada saat-saat tertentu aku akan lewat jalan ini pergi

    dan kembali dari Singasari. Aku akan m enepati kata-kataku,

    bahwa aku akan m emberitahukan kepada prajurit Singasari,

    agar mereka ikut campur menata kembali kehidupan di

    Kabuyutan ini. "

    Ki Bekel hanya m enundukkan kepalanya. Ia tidak berani

    membantah lagi. Ia sudah melihat apa y ang dapat dilakukan

    oleh anak muda y ang dikiranya sekedar mempunyai

    kemampuan olah kanuragan itu. Namun yang ternyata

    memiliki ilmu yang sangat tinggi.

    Demikianlah maka Mahisa Murtipun kemudian telah

    mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan

    tempat itu. Mereka sempat m emperhatikan beberapa orang

    anak muda dalam keadaan yang berbeda. Ada yang benarbenar

    telah menjadi mabuk, ada yang baru mulai, tetapi ada

    juga y ang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak, tetapi

    kesadarannya masih utuh. Namun dalam keadaan kesakitan

  • karena mereka telah berkelahi dengan Mahisa Semu.

    "Nah Ki Bekel. Itulah anak-anakmu. Jika karena itu kau

    dapat menjadi seorang yang kaya raya, maka kau tahu, bahwa

    kau m endapatkan harta benda dengan mengorbankan anakanakmu

    sendiri. Sementara anak-anak m uda itu bermabukmabukan,

    maka anak-anak muda y ang lain bekerja keras

    memeras keringat disawah, pategalan dan di panggang

    dipanasny a perapian pande besi. Sementara itu orang-orang

    tua mulai mengeluh melihat tingkah laku anak-anaknya yang

    menjadi harapan bagi masa depannya.

    Ki Bekel tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi

    semakin menunduk. Sementara jantungnya menjadi

    berdebaran. Diluar sadarnya Ki Bekel mengerling kepada

    anak-anak m uda itu. Dahinyapun menjadi berkerut. Seakanakan

    baru saat itu ia melihat pertama kali akibat yang terjadi

    atas anak-anak muda itu.

    "Renungkan Ki Bekel" berkata Mahisa Murti y ang

    kemudian sudah duduk di atas kudanya. Sebelum kuda itu

    berlari, maka Mahisa Murti telah melemparkan beberapa

    keping uang sambil berkata kepada pemilik kedai itu

    "Ambillah. Jika kurang, besok jika aku lewat lagi, aku akan

    singgah dan menambahinya. Jika lebih, kelebihannya aku

    belikan tuak. Seberapa dapatnya, buang tuak itu kedalam parit

    dibelakang kedai itu.

    Pemilik kedai itu tidak sempat menjawab. Mahisa Murtipun

  • kemudian telah melarikan kudanya, diikuti oleh Mahisa Semu

    dan Mahisa Amping.

    Ketiganya memang tidak memacu kuda mereka terlalu

    kencang, sementara Mahisa Murti berkata kepada kedua adik

    angkatnya "Kau lihat akibat buruk dari minum tuak."

    Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk mengiakan.

    Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya "Kita masih

    belum sempat melihat, betapa pahitnya hati orang tua mereka

    melihat keadaan anak-anaknya. Satu dua kita sudah

    mendengar keluhan semacam itu. Tetapi orang-orang yang

    berkerumun tadi ternyata tidak dapat berbuat sesuatu ketika

    Ki Bekel dan para bebahu datang. "

    "Mereka menjadi ketakutan" berkata Mahisa Semu.

    Mahisa Murti mengangguk. Namun ia tidak menjawab lagi.

    Demikianlah maka kuda merekapun berlari terus.

    Perjalanan mereka sudah terhambat beberapa lama. Namun

    justru karena itu mereka sempat melihat sesuatu yang

    membuat orang-orang tua berprihatin. Kecuali satu dua orang

    tua yang membiarkan tabiat anak-anaknya y ang tidak terawat

    justru untuk menutupi kekurangan mereka sendiri.

    Sementara itu, angin yang lembut telah mengusap wajah

    mereka y ang berkeringat. Dedaunan y ang hijau bergerak

    dengan malasny a.

    Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya berkuda

    menyusuri jalan bulak yang panjang. Mereka tidak t erlalu

  • banyak berbicara. Sekali-sekali Mahisa Amping yang sudah

    berada didepan, berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa

    Semu y ang berkuda dibelakangnya. Namun anak itu tetap

    berada di depan.

    Untuk selanjutnya tidak ada hambatan apapun

    diperjalanan. Ketika menjelang senja mereka sempat singgah

    lagi disebuah kedai.

    Mereka memang terlalu malam sampai di Singasari. Ketika

    mereka memasuki pintu gerbang butulan halaman istana,

    maka para prajurit yang bertugas telah menghentikan mereka.

    Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti harus menjawab

    pertanyaan-pertanyaan para prajurit itu.

    Namun akhirnya pemimpin prajurit y ang bertugas di pintu

    gerbang itu berkata "Baiklah. Biarlah salah seorang dari antara

    kami mengantar Ki Sanak sampai ke rumah Ki Mahendra.

    "Terima kasih, Ki Sanak" jawab Mahisa Murti.

    Demikianlah, maka Mahisa Murtipun telah diantar

    memasuki halaman belakang istana Singasari sampai kerumah

    Mahendra. Ketika mereka mengetuk pintu yang sudah

    tertutup rapat, maka Mahendra memang terkejut.

    Demikian ia membuka pintu, maka dilihatnya Mahisa

    Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping diantar oleh seorang.

    prajurit y ang bertugas.

    Mahendra menyambut kedatangan mereka dengan

    gembira. Kepada prajurit y ang mengantar mereka, Mahendra

  • berkata "Terima kasih Ki Sanak. Mereka memang anakanakku."

    Prajurit itu m engangguk hormat sambil berkata "Maaf Ki

    Mahendra, bahwa diantara kami y ang malam ini bertugas,

    kebetulan belum mengenal putra Ki Mahendra ini."

    "Bukankah kau kenal Mahisa Pukat ?" bertanya Mahendra.

    "Tentu Ki Mahendra." jawab prajurit itu.

    "Apakah diantara mereka tidak ada kemiripan ?" bertanya

    Mahendra pula sambil tertawa.

    Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang

    Mahisa Murti sekila s, maka iapun berkata "Ya, y a. Mereka

    memang mirip."

    Demikianlah, maka prajurit itupun telah m inta diri untuk

    kembali ke tempat tugas mereka, sementara itu bukan saja

    Mahendra yang mengucapkan terima kasih, tetapi juga Mahisa

    Murti.

    "Apakah kau juga terhambat diperjalanan ?" bertanya

    Mahendra ketika mereka sudah duduk diruang dalam.

    "Ya ayah" jawab Mahisa Murti "tetapi agaknya karena kami

    juga mencoba mencampuri persoalan orang lain. "

    Mahendra tersenyum. Namun katanya "Duduklah. Biarlah

    dibuat minuman bagi kalian. Nanti aku minta kau ber-ceritera

    tentang perjalananmu."

    "Tidak usah ay ah. Kami sudah makan dan minum" berkata

    Mahisa Murti kemudian.

    "Biarlah pembantu dirumah ini membuat minuman hangat.

  • Aku juga m erasa haus" jawab Mahendra. Lalu katanya "Jika

    kalian ingin berbenah diri, pergilah ke pakiwan. "

    Setelah menambatkan kuda-kuda m ereka dibelakang dan

    membersihkan diri di pakiwan, maka mereka telah duduk

    diruang dalam. Mahisa Ampinglah yang kemudian berceritera

    tentang perjalanan mereka. Meskipun ceriteranya tidak lebih

    dari ceritera seorang remaja, namun Mahendra dapat

    menangkap persoalan y ang ada dibalik peri stiwa itu.

    Karena itu, maka setelah Mahisa Amping selesai

    berceritera, Mahendra itupun berkata "Memang kadangkadang

    sulit bagi kita untuk menahan diri agar sama sekali

    tidak mencampuri persoalan orang lain. Jika kita melihat

    kepincangan dalam tatanan kehidupan terjadi disekitar kita,

    maka sulit bagi kita untuk tidak mencampurinya."

    "Ya, ayah." sahut Mahisa Murti "a palagi bagi aku dan

    barangkali juga Mahisa Pukat y ang pernah menjalani laku tapa

    ngrame. Ra sa-rasanya selalu terdorong untuk berbuat sesuatu

    jika perasaan kami tersinggung oleh kepincangan dalam

    tatanan kehidupan ini."

    Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti.

    Bahkan ketika aku dan mPu Sidikara berniat untuk tidak

    mencampuri persoalan orang lain, maka justru kami

    tergelincir juga dalam per soalan y ang menyangkut kami

    berdua."

    Mahisa Murti terseny um. Namun katanya "Tetapi rasarasanya

  • aku tidak terlalu bersalah mencampuri persoalan yang

    terjadi di kedai itu."

    "Memang kadang-kadang datang masanya, bahwa kita

    justru sebaiknya mencampuri persoalan orang lain."

    Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mn).

  • lagi.

    Setelah makan dan

    beristirahat sejenak, maka

    Mahendra telah

    mempersilahkan Mahisa

    Murti dan kedua adik

    angkatnya beri stirahat.

    "Besok saja kita berbicara tentang hari-hari pernikahan

    Mahisa Pukat sepekan lagi" berkata Mahendra.

    Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab "baik ay ah.

    Bukankah tidak ada persoalan y ang menyimpang ?"

    "Tidak " jawab Mahendra "semua berjalan sebagaimana

    direncanakan. "

    "Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya Sokurlah.

    Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan dengan baik dan

    selamat."

    "Sejak besok Mahisa Pukat sudah tidak bertugas. Besok ia

    sudah berada di rumah ini. Ia mendapat waktu setengah bulan

    untuk melaksanakan pernikahannya. "

    Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa

    Semu bertanya dengan nada y ang jernih "Jadi besok kakang

    Mahisa Pukat sudah tidak bertugas di Kasatrian lagi?"

    "Untuk setengah bulan" jawab Mahendra.

    Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan

    Mahisa Amping pun pergi ke pembaringan. Meskipun malam

  • sudah terlalu jauh, namun mereka masih mempunyai waktu

    untuk tidur barang sebentar.

    Seperti y ang dikatakan oleh Mahendra, maka dihari

    berikutnya Mahisa Pukat telah dibebaskan dari tugasnya

    Ber sama mPu Sidikara Mahisa Pukat pulang kerumah

    Mahendra.

    Mahisa Pukat m enjadi sangat bergembira ketika ia m elihat

    Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah datang.

    Bahkan kemudian iapun bertanya "Paman Wantilan jadi tidak

    datang?"

    "Ya " jawab Mahisa Murti "harus ada y ang menunggui

    padepokan. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan. "

    Sejak hari itu, maka Mahisa Pukat sudah tidak lagi pergi ke

    Ka satrian. Berbagai persiapan sudah dilakukan dirumah

    Mahendra. Ketika matahari mulai naik, maka dua orang tua

    telah berada dirumah Mahendra untuk membantu melakukan

    persiapan-persiapan y ang diperlukan.

    Tetapi kesibukan dirumah Mahendra tidak nampak

    sebagaimana dirumah Arya Kuda Cemani.

    Demikianlah, selama di Singasari, Mahisa Murti, Mahisa

    Semu dan Mahisa Amping ikut tenggelam dalam kesibukan.

    Ada saja yang harus m ereka lakukan. mPu Sidikara meskipun

    harus tetap bertugas di Kasatrian, tetapi pada waktu-waktu

    luangnya, iapun ikut sibuk dirumah Mahisa Pukat.

    Bukan saja sibuk untuk meny iapkan saat-saat pernikahan.

  • Tetapi Mahendra harus mempersiapkan tempat tinggal bagi

    Mahisa Pukat dan isterinya.

    "Beruntunglah bahwa aku mendapat rumah yang memadai

    di bagian belakang istana ini" berkata Mahendra "meskipun

    kecil, tetapi cukup lengkap, sehingga dapat dipergunakan

    bersama Mahisa Pukat nanti setelah berkeluarga. Aku juga

    sudah menyampaikan permohonan. Ternyata Sn Paduka

    Maharaja dengan perantara seorang pejabat rumah tangga

    istana tidak berkeberatan jika rumah ini aku pergunakan

    bersama Mahisa Pukat."

    Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun terbersit

    diangannya, bahwa dengan demikian Mahisa Pukat masih

    belum benar -benar mapan, karena ia masih belum

    mempunyai tempat tinggal sendiri.

    Menurut pendapat Mahisa Murti, rumah ayahnya itu

    adalah rumah y ang disediakan oleh Sri Baginda Maharaja

    untuk ditempati. Tetapi tidak untuk dimiliki. Apalagi letaknya

    memang berada di dalam lingkungan dinding istana.

    Setelah berkeluarga, Mahisa Pukat masih harus melengkapi

    dirinya. Ia harus berusaha untuk memiliki sebuah tempat

    tinggal betapapun kecilny a.

    Dihari berikutnya, maka segala persiapan sudah hampir

    selesai. Rumah Arya Kuda Cemani sudah di hias dengan tarub.

    Jika senja turun, maka rumah dan halamannya nampak terang

    benderang. Lampu minyak dan onc or sudah dipasang dimanamana.

  • Di hari berikutnya, barulah Mahisa Bungalan datang.

    Akuwu Sangling itu ingin menunggui adiknya yang akan

    menikah meskipun Mahisa Bungalan juga merasa heran,

    kenapa Mahisa Murti sama sekali belum tergerak hatinya

    untuk memilih seorang kawan hidup.

    Baru setelah sehari berada di Singasari, diluar pengetahuan

    Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah

    menceriterakan hubungan yang rumit antara Mahisa Murti,

    Mahisa Pukat dan Sa si, seorang gadis cantik anak Arya Kuda

    Cemani

    Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.

    Seperti ayahnya iapun merasa iba terhadap Mahisa Murti.

    Tetapi ia tidak boleh menyatakannya, karena dengan demikian

    maka ia akan dapat meny inggung perasaannya. Juga ia tidak

    dapat berbicara tentang hal itu kepada Mahisa Pukat.

    Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Bungalan dapat

    bertemu dengan kedua adiknya y ang baru. Adik y ang diangkat

    oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat

    Mahisa Bungalan senang melihat keduanya. Bahkan

    ketajaman penglihatannya langsung dapat melihat kelebihan

    keduanya. Terutama Mahisa Amping y ang memiliki ketajaman

    penggraita m eskipun dalam usia mudanya kadang -kadang ia

    tidak tahu bahwa ia melihat satu isy arat.

    Kedua anak itu merupakan harapan dihari mendatang "

    berkaa Mahisa Bungalan, ketika ia sempat berbicara dengan

  • Mahisa Murti dan Mahisa Pukat

    Aku akan mencoba membentuknya " berkata Mahisa Murti

    tetapi pada dasarnya anak-anak itu merupakan anak yang

    baik

    Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan senang hati

    ia menawarkan agar keduanya bersedia datang ke Pakuwon

    Sangling.

    "Lain kali aku akan mengajak mereka" berkata Mahisa

    Murti.

    Dalam pada itu, m aka hari yang ditunggu-tunggu itupun

    akhirnya sampai juga. Sudah sampai pada hari yang

    ditentukan bagi Mahisa Pukat dan Sasi untuk melaksanakan

    pernikahan.

    Bulan, pekan, hari dan bahkan saatnya sudah

    diperhitungkan dengan baik oleh orang-oraifg tua. Karena itu,

    orang-orang tua itu mempersiapkan segalanya untuk dapat

    dilaksanakan tepat pada waktunya.

    Sebenarnyalah bahwa segalanya memang dapat

    dilaksanakan sesuai dengan rencana. Tidak ada hambatan

    apapun yang mengganggu acara pernikahan Mahisa Pukat dan

    Sasi, anak perempuan Arya Kuda Cemani. Salah seorang

    Senapati y ang berpengaruh di Singasari, terutama dibidang

    tugas-tugas sandi.

    Namun dalam pada itu, ketika upacara terpenting dari

    pernikahan itu siap dilak sanakan sesuai dengan paugeran

  • dasar, hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh

    kedua orang yang siap dipersandingkan itu, justru telah terjadi

    keributan. Keluarga Arya Kuda C emani serta beberapa orang

    kawan dekatnya dari lingkungan keprajuritan, bahkan utusan

    resmi Sri Maharaja di Singasari yang hadir di rumah Arya

    Kuda Cemani terkejut atas kehadiran seorang y ang b ertubuh

    tinggi dan besar. Rambutnya y ang tergerak m encuat dibawah

    ikat kepalanya nampak sudah memutih. Tetapi tubuhnya

    masih nampak kuat dan tegar. Dikedua pergelangan

    tangannya nampak gelang-gelang akar-akaran disatu sisi,

    sedang disisi y ang lain, nampak terbalut oleh kulit yang tebal

    dan lebar hampir sampai ke siku.

    Ber sama orang itu nampak seorang anak muda y ang

    bertubuh sedang. Wajahnya bersih dan tampan. Matanya

    tajam berkilat-kilat.

    Kedua orang itu melangkah langsung menuju ke tangga

    pendapa. Namun ternyata keduanya berhenti dibawah tangga

    yang pertama.

    Beberapa orangpun segera bangkit berdiri ketika m ereka

    melihat sikap yang tidak sewajarnya dari kedua orang itu

    Seorang Senapati dari pasukan berkuda y ang juga hadir

    ditempat itu segera bangkit, turun dari tangga langsung berdiri

    dihadapan orang itu. Meskipun demikian Senapati itu masih

    bertanya dengan baik "Ki Sanak. Apakah Ki Sanak juga akan

    menghadiri upacara pernikahan anak perempuan Arya Kuda

  • Cemani ? Jika demikian, m arilah, silahkan naik dan duduk

    diantara kami. Upacara memang sudah hampir dimulai."

    Tetapi orang itu menjawab singkat "Tidak. Aku akan

    berbicara dengan Kuda Cemani."

    Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun

    menjawab "Say ang Ki Sanak. Arya Kuda Cemani dan isterinya

    sudah siap mengikuti upacara pernikahan anak gadisnya. "

    "Aku akan berbicara dengan orang itu, sekarang. Sebelum

    upacara itu berlangsung. "

    Tetapi mereka sudah siap untuk melakukan upacara itu

    Aku tidak peduli jawab orang itu y ang kemudian justru

    berteriak "Kuda Cemani. Aku datang untuk menagih janji

    Senapati dari pasukan berkuda itu mengerutkan dahinya.

    Katanya "Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak bersabar. Setelah

    upacara selesai, maka kau dapat berbicara dengan tenang

    Tetapi orang itu berteriak lantang "Tidak, aku akan bicara

    sekarang .Justru sebelum upacara pernikahan, upacara itu

    harus dibatalkan

    "Kenapa ?" bertanya Senapati itu.

    Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku akan bertemu

    dengan Kuda Cemani. " jawab orang itu. Sebelum Senapati itu

    menjawab, maka orang itu berteriak lebih keras

    "Ku da Cemani, apakah kau sekarang sudah menjadi

    pengecut? Keluarlah. Kita akan berbicara sebagai laki-laki.

    Jika kau sekarang m enjadi pengecut seperti betina licik, aku

  • sebagai saudara seperguruanmu akan ikut menderita malu.

    Karena itu, maka lebih baik aku membunuhmu saja."

    Teriakan itu telah membuat beberapa orang tidak lagi dapat

    menahan diri. Beberapa orang serentak bangkit dan

    mendekatinya. Utusan resmi Sri Baginda Maharaja Singasari

    justru memerlukan menemui orang itu sambil berkata

    "Ki Sanak. Aku berada disini atas nama Sri Maharaja

    Singasari. Aku minta kau menangguhkan persoalanmu dengan

    Arya Kuda Cemani. "

    "Aku hormati Raden sebagai utusan resmi Sri Baginda

    Maharaja. Tetapi persoalanku dengan Kuda Cemani adalah

    persoalan pribadi. Tidak ada orang lain y ang dapat ikut

    mencampurinya. Sekali lagi, justru sebelum upacara

    pernikahan dilaksanakan."

    Sementara itu, justru karena ada utusan resmi Sri Baginda

    yang hadir dalam upacara itu, m aka dihalaman itu terdapat

    beberapa orang prajurit y ang bertugas. Dua orang diantara

    mereka telah mendekat pula.

    Namun orang itu berteriak pula "Kuda Cemani. Tamutamumu

    yang sebagian adalah prajurit-prajurit Singasari tentu

    akan dapat mengusir aku dengan kekerasan. Tetapi dengan

    demikian, maka kau akan aku anggap sebagai orang yang

    paling licik, pengecut dan penakut diseluruh muka bumi."

    "Cukup Ki Sanak. Cukup" berkata mPu Sidikara yang juga

    menunggui pernikahan Mahisa Pukat "marilah kita berbicara

  • ditempat yang terpisah. Mungkin kita akan dapat menemukan

    persesuaian pendapat. "

    Tidak. Aku akan langsung berbicara dengan Kuda

    Cemani. jawab orang itu dengan lantang.

    Orang-orang y ang k emudian mengerumuninya sudah siap

    untuk mengambil tindakan terhadap orang itu. Jika perlu

    dengan kekerasan, karena orang itu telah mengganggu

    upacara yang harus segera dimulai.

    Namun tiba -tiba terdengar suara diantara mereka y ang

    berkerumun Apa y ang sebenarnya kau kehendaki, kakang.

    Mata orangitupun menjadi berkilat ketika ia melihat Arya

    Kuda Cemani meny ibak orang-orang y ang m engerumuninya

    itu.

    Orang bertubuh tinggi dan besar itu memandang Arya Kuda

    Cemani dengan mata yang menyala. Kemudian dengan geram

    orang itu berkata Kuda C emani. Aku datang untuk menagih

    janji.

    Kakang berkata Arya Kuda Cemani Apakah aku mempunyai

    hutang? Apalagi hutang janji?

    Kau jangan ingkar. Meskipun kau sekarang Senapati

    pasukan sandi di Singasari, tetapi hubunganmu dengan aku

    secara pribadi tidak dapat kau hapuskan. Kau adalah adik

    seperguruanku, betapapun nasib kita berbeda. berkata orang

    itu.

    Aku tidak pernah ingkar, kakang. Bahwa kau adalah

  • saudara seperguruanku. Bahkan saudara tua. Nah, aku ju stru

    akan minta restumu. Bahkan hari ini aku akan m enikahkan

    anakku. sahut Arya Kuda Cemani. Namun kemudian dengan

    serta merta ia bertanya Atau barangkali kakang merasa

    tersinggung bahwa aku tidak memberitahukan pernikahan

    anakku ini sebelumnya kepada kakang.

    "Ya " jawab orang itu "tetapi lebih dari sekedar tidak

    memberitahu

    "Sebenarnya aku sama sekali tidak melupakan kakang.

    Tetapi aku tidak tahu dimana kakang tinggal sekarang,

    sehingga aku tidak dapat memberitahukan kepada kakang,

    bahwa hari ini aku akan menikahkan anakku " sahut Arya Kuda

    Cemani.

    "Aku tidak y akin kebenaran alasanmu. Aku tidak berada di

    tempat y ang terlalu jauh." berkata orang itu kemudian

    "Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi aku benar-benar tidak

    mengerti dimana kakang tinggal. Tetapi jika kemudian kakang

    mengetahui bahwa hari ini aku menikahkan anakku dan

    kakang bersedia hadir aku akan merasa senang sekali. Bahkan

    aku memang harus minta maaf kepada kakang, bahwa aku

    tidak dapat menghubungi kakang sebelumnya

    Bukan sekedar bahwa aku tidak kau bentahu, Kuda

    Cemani. Tetapi kau harus ingat akan janjimu, bahwa

    persaudaraan kita tidak akan pernah terputus."

    Ya, y a kakang. Aku memang berharap bahwa hubungan

  • persaudaraan kita tidak akan pernah putus sampai kapanpun

    Kenapa anakmu perempuan kau nikahkan dengan anak

    muda yang lain?" bertanya orang itu.

    "Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.

    "Aku mempunyai seorang anak laki -laki, Kuda Cemani. Dan

    kau mempunyai anak perempuan. Jika kau tidak ingkar akan

    janjimu, maka anak perempuanmu harus menjadi menantuku,

    sehingga persaudaraan kita tidak akan terputus. Tetapi karena

    kau sudah m enjadi Senapati y ang berpengaruh di Singasari,

    maka kau berusaha untuk mengkesampingkan aku. Anakmu

    kau nikahkan dengan seorang Pelay an Dalam y ang bertugas di

    Ka satrian. Bahkan telah diangkat m enjadi pelatih bagi para

    Kesatrian muda Singasari."

    Wajah Arya Kuda Cemani menjadi tegang. Sesaat Arya

    Kuda Cemani berusaha mengendalikan perasaannya. Namun

    demikian katanya "Maaf kakang. Aku akan memberikan

    penjelasan tentang hal itu kepada kakang. Tetapi aku m inta

    kakang duduk dahulu. Nanti sesudah aku selesai, maka

    penjelasanku tentu akan memuaskan kakang. "

    "Tidak " jawab orang itu "kau akan m enjebak aku. Sesudah

    pernikahan berlangsung, maka anak gadismu sudah bukan

    hakmu lagi. Tetapi sekarang, sebelum pernikahan itu

    dilaksanakan, maka kau harus memenuhi janjimu. Berikan

    anak gadismu kepadaku. Ia akan menjadi menantuku. Itu

    adalah satu-satunya cara untuk m elangsungkan persaudaraan

  • kita seterusnya. Kecuali jika kau mempunyai dua anak

    perempuan."

    "Kakang, itu tidak mungkin. Kakangpun tidak dapat

    mengartikan niat kita untuk melangsungkan persaudaraan

    dengan menikahkan anak kita. Karena pernikahan itu

    biasanya justru dilakukan oleh dua orang yang tidak

    mempunyai sangkut paut persaudaraan."

    "Kau tidak usah mengatakan seribu macam alasan. Kau

    berikan anakmu atau tidak?" bertanya orang itu.

    "Maaf kakang. Aku tidak dapat memberikannya." jawab

    Arya Kuda Cemani.

    "Kau tahu akibat dari sikapmu itu?" bertanya orang itu.

    "Ya. Aku tahu. Aku harus mempertahankan sikapku dengan

    cara yang kakang kehendaki," jawab Arya Kuda Cemani

    "apapun y ang kakang kehendaki, aku tidak akan ingkar."

    "Baik Kuda Cemani. Tetapi aku tidak akan menantangmu

    bertempur sekarang. Aku tahu bahwa ilmumu telah maju

    dengan pesat. Bahkan kau telah mampu menguasai Aji

    Panglimunan." jawab orang itu.

    "Jadi apa y ang kakang kehendaki?" bertanya Arya Kuda

    Cemani.

    "Aku ingin m engetahui, apakah bakal m enantumu mampu

    mempertahankan bakal isterinya. "

    "Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.

    "Aku bawa anakku. Ia akan merebut kedudukannya sebagai

  • bakal menantumu" berkata orang itu "caranya adalah cara

    seorang laki -laki. Siapa y ang menang, ia adalah calon

    menantumu yang akan melaksanakan pernikahannya hari ini."

    "Gila" geram Aya Kuda Cemani yang kehilangan kesabaran

    "t idak. Ia sudah siap untuk melakukan upacara. Apa yang

    terjadi, akulah yang akan menghadapi. Kakang sendiri atau

    anakmu. Aku tidak peduli."

    "Kau cemaskan bakal menantumu bahwa ia tidak akan

    menang?" bertanya orang itu.

    Wajah Arya Kuda Cemani memang terasa m enjadi panas.

    Selangkah ia maju sambil berkuta "Kakang. Aku mohon

    kakang jangan mengganggu. Aku masih mencoba untuk

    menahan diri. Tetapi jika kakang masih memaksa untuk

    melakukan hal y ang tidak m asuk akal ini, maka aku dapat

    berbuat lebih jauh lagi. Kakang melihat, bahwa disini sudah

    banyak tamuku yang hadir. Upacarapun sudah siap untuk

    dimulai. "

    "Sudah aku katakan Kuda Cemani. Kau dapat mengusir aku

    dengan kekerasan. Disini tentu banyak kawan-kawanmu,

    Senapati dan Panglima Perang yang memiliki ilmu yang tinggi.

    Tetapi jika kau gunakan kekerasan dengan cara seperti itu,

    maka harga dirimu akan terpelanting jatuh dan tidak berharga

    lagi. Apalagi harga diri calon menantumu itu Ia akan menjadi

    orang y ang paling tidak berharga di Singasari.

    "Kakang " berkata Arya Kuda Cemani "aku tidak pernah

  • mengingkari per saudaraan kita. Tetapi dua orang bersaudara

    kadang-kadang memang dapat berbeda sikap dan

    kepentingan. Karena itu, aku akan mempertahankan diri

    "Itu tidak cukup. Anakku m enantang bakal m enantumu"

    berkata orang itu "sekali lagi, anakku menantang calon

    mantumu. Jika anakku menang, maka ia akan mengambil alih

    kedudukan calon menantumu itu."

    Kemarahan Arya Kuda Cemani sudah sampai keubunubunnya.

    Namun sebelum ia bertindak sesuatu, terdengar

    suara seorang yang lain "Bagus. Tetapi kau datang agak

    terlambat Ki Sanak. Sebelum kau datang, aku sudah

    melakukannya. Aku adalah cadangan utama calon m enantu

    Arya Kuda Cemani. Seandainya anakmu dapat m engalahkan

    calon menantunya y ang sudah siap melakukan upacara itu

    maka ia masih juga harus mengalahkan aku. Karena itu maka

    daripada ia harus bertanding melawan calon menantu yang

    sudah siap melakukan upacara, dan bahkan sudah berpakaian

    upacara pula, maka sebaiknya biarlah ia bertanding melawan

    aku lebih dahulu."

    Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu menjadi

    semakin tegang. Dengan nada geram ia bertanya "Siapa kau

    anak muda. Kenapa kau mencampuri persoalanku dengan adik

    seperguruanku."

    Sudah aku katakan. Aku datang untuk mengambil Sasi

    tetapi aku menunggu sampai upacara selesai. Aku tidak

  • berkeberatan jika persoalanku dengan Sasi dilakukan sesudah

    upacara, karena upacara ini bagiku tidak berarti apa -apa selain

    untuk menghormati tamu-tamu yang sudah diundang. Aku

    juga tidak ingin mengecewakan para tamu serta merendahkan

    Arya Kuda Cemani dipandangan mata sahabat-sahabatnya.

    Tetapi jika itu y ang akan kau lakukan maka aku terpaksa ikut

    campur juga."

    Siapa kau ? desis saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani.

    Untuk apa kau bertanya?

    Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itulah y ang

    kemudian menjadi merah. Namun ia masih berkata "Kami

    tidak mempunyai persoalan dengan kau anak muda

    Kau cemaskan bahwa anakmu tidak akan menang?

    Jantung saudara seperguruan

    Arya Kuda Cemani itu bagaikan

    akan meledak. Namun

    anaknyalah y ang kemudian

    berkata dengan nada datar tanpa

    gejolak sama sekali "Aku terima

    tantangannya. Aku akan

    menyelesaikan anak ini lebih

    dahulu. Baru kemudian calon

    menantu paman Arya Kuda

    Cemani. Sebenarnya aku sama

  • sekali tidak menganggap penting

    Sasi. Tetapi aku tidak mau harga

    diri ay ahku direndahkan. Itu

    sa ja. "

    Orang-orang y ang melihat sikap dan kata-kata anak muda

    itu memang menjadi berdebar-debar. Begitu yakin ia akan

    dirinya sendiri sehingga y ang terjadi disekitarnya itu seakanakan

    tidak mempengaruhi gejolak jiwanya

    Kedua saudara laki-laki Sasi y ang juga ikut mendekat

    menjadi berdebar-debar. Sebagai prajurit mereka memiliki

    ketahanan jiwani yang telah ditempa. Tetapi seorang diantara

    mereka berdesis "Mahisa Murti akan m endapat lawan yang

    tentu juga berilmu tinggi sebagaimana Mahisa Murti sendiri. "

    Sebenarnyalah Mahisa Murtilah y ang ingin menggantikan

    saudaranya menghadapi anak saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemam itu. Namun melihat sikap anak muda yang datang

    untuk bertanding itu, Mahisa Murti merasa bahwa ia memang

    harus berhati-hati.

    Sementara itu saudara seperguruan Arya Kuda Cemani

    itupun berkata "Jadi akan kau lay ani anak ini?"

    "Ia juga sudah merendahkan harga diri ayah dan harga

    diriku. Aku condong untuk meny elesaikan anak ini lebih

    dahulu. Sudah aku katakan, bahwa Sasi sama sekali tidak

    penting bagiku. Aku juga belum pernah mengenalnya dan

    apalagi tertarik kepadanya. "

  • Namun Arya Kuda Cemanilah yang menyahut "Jadi kalian

    datang sekedar untuk mengacaukan upacara ini?"

    "Tidak " jawab anak muda itu "sudah aku katakan pula. Aku

    dan ayah tidak mau direndahkan, dikesampingkan dan sama

    sekali tidak dihargai. Itu saja. "

    "Dengan cara y ang menarik sekali" desis Mahisa Murti

    kemudian.

    "Ya, itu adalah cara yang telah kami pilih" jawab anak muda

    itu masih dengan nada datar."

    "Baiklah, apapun alasanmu, aku tidak akan menarik

    kesediaanku untuk m elayanimu. Tetapi sebaiknya kita tidak

    mengganggu upacara ini, maka jalan y ang kau pilih itu akan

    kita lakukan ditempat lain. Bukankah kau tidak

    mempedulikan apa y ang terjadi atas Sasi?" berkata Mahisa

    Murti.

    Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia

    menjawab "Tidak. Semuanya harus t erjadi di sini. Calon

    pengantin itu harus mengetahui, bahwa ia sebenarnya tidak

    berharga sama sekali dimata ayahku. Kau tidak akan dapat

    memancing aku pergi dari tempat ini. Kecuali sebagaimana

    dikatakan oleh ayahku, semua Senapati dan Panglima yang

    ada disini dan berilmu tinggi bersama-sama mengusir kami

    berdua dengan kekerasan. Kami tentu akan pergi, namun

    dengan demikian harga diri keluarga ini akan terinjak-injak

    oleh langkah kami saat kami keluar regol halaman rumah ini."

  • Wajah Mahisa Murti menjadi semburat merah oleh gejolak

    perasaan didadanya. Namun ia masih berusaha menguasai

    perasaannya. Karena itu, maka iapun bertanya "Ki Sanak.

    Apakah menurut pendapatmu pantas jika diruang dalam

    upacara pengantin sudah siap dilakukan sedang dihalaman

    terjadi perkelahian?"

    "Itulah y ang menarik" jawab anak muda itu "tetapi terserah

    kepada kalian. "

    Mahisa Bungalan y ang kemudian juga turun dari tangga

    pendapa m enggeretakkan giginya. Hampir saja ia kehilangan

    kesabaran. Namun ia justru kagum melihat Mahisa Murti

    masih dapat menahan diri.

    Tetapi Mahisa Murtipun kemudian berkata lantang

    "Baiklah. Kami akan memberikan suguhan tontonan terbaik

    yang pernah diselenggarakan dalam upacara pengantin. Apa

    boleh buat. "

    Orang-orang y ang menyaksikan menjadi tegang. Mereka

    memang melupakan sepasang pengantin yang sudah siap

    melakukan upacara.

    Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang mendengar

    keributan yang terjadi. Bahkan ia sudah hampir meninggalkan

    tempatnya. Namun mPu Sidikaralah yang kemudian

    mendekatinya. Ia berterus terang mengatakan apa terjadi.

    Iapun mengatakan keputusan yang sudah diambil oleh Mahisa

    Murti untuk mewakilinya

  • Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi beberapa

    orang telah mencegahnya, agar ia tidak meninggalkan

    tempatnya. Segala persiapan sudah dilakukan, sehingga

    karena itu, maka kedua orang pengantin itu harus dilindungi

    dari segala macam gangguan.

    Di halaman Mahisa Murti sudah siap menghadapi anak

    muda yang berwajah bersih dan bermata tajam berkilat -kilat

    itu. Namun sikapnya dingin dan berbicara dengan nada yang

    datar.

    Arya Kuda Cemani m emang tidak dapat mencegahnya. Ia

    juga tidak mau dihinakan. Karena itu, maka ia

    berpengharapan bahwa Mahisa Murti akan berhasil m ewakili

    saudaranya. Bahkan didalam hati Arya Kuda Cemani sudah

    bertekad, jika Mahisa Murti gagal, m aka ia akan m enantang

    saudara seperguruannya itu dalam pertandingan yang sama

    sebagaimana dilakukan oleh anak saudara seperguruannya itu

    dengan Mahisa Murti.

    Namun demikian, ketika halaman rumah Arya Kuda

    Cemani y ang sedang melaksanakan upacara pernikahan

    anaknya itu berubah menjadi arena perang tanding, maka

    Arya Kuda Cemani sempat m emberikan sedikit sesorah. Arya

    Kuda Cemani mohon maaf kepada orang-orang y ang telah

    diundangnya untuk m enghadiri upacara pernikahan anaknya.

    Bahkan termasuk utusan Sri Baginda Maharaja.

    Namun para Senapati dan Panglima, serta para pejabat,

  • yang hadir ditempat itu ternyata sama sekali tidak merasa

    berkeberatan. Bukan karena mereka senang menyaksikan

    perkelahian, tetapi merekapun mengerti, bahwa Arya Kuda

    Cemani tidak mempunyai pilihan lain. Saudara

    seperguruannya sudah m enyudutkannya, sehingga apa yang

    terjadi itu tidak dapat dihindari.

    Meskipun demikian, orang-orang yang kemudian

    menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Sikap

    anak muda yang menantang calon pengantin itu sangat

    meyakinkan. Sikapnya, wajahnya, pandangan matanya dan

    kata-kata yang meluncur dari mulutnya.

    Tanpa-diminta, maka orang -orang itu telah berharap,

    bahkan berdoa agar Mahisa Murti dapat mengatasi anak muda

    itu.

    Mahisa Murti sendiri m emang menjadi berdebar-debar. Ia

    merasa bahwa ia harus sangat berhati-hati. Lawannya yang

    berilmu tinggi itu tentu tidak akan begitu saja mengaku kalah

    seandainya Mahisa Murti dapat mendesaknya.

    Demikianlah, maka dengan sendiriny a telah terbentuk satu

    arena di halaman rumah Arya Kuda Cemani. Para tamu telah

    turun dari pendapa dan berdiri melingkar di halaman.

    Mahendra y ang berdiri disebelah Arya Kuda Cemani juga

    menjadi tegang seperti Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan

    Mahisa Bungalan sempat menahan nafas. Sudah lama ia tidak

    bertemu dan menyaksikan kemampuan adiknya. Apalagi

  • ketika ia melihat lawannya yang demikian yakin akan diriny a.

    Sementara itu diruang dalam, beberapa orang berusaha

    untuk menenangkan Mahisa Pukat y ang gelisah. Ia sendiri

    ingin turun untuk menyatakan bahwa dirinya tidak hanya

    sekedar menompang kemampuan orang lain, meskipun orang

    lain itu adalah saudaranya sendiri.

    Dalam pada itu, maka perkelahian di halaman itupun sudah

    dimulai. Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani ju stru

    berdiri didalam arena. Ketika kedua anak muda itu mulai

    bergerak, maka orang itupun berkata "Buktikan, bahwa kau

    bukan cucurut y ang pantas disingkirkan begitu saja.

    Tunjukkan kepada mereka, bahwa kau juga mempunyai harga.

    Selanjutnya, kau boleh saja. tidak peduli terhadap gadis itu

    jika kau menganggap gadis itu tidak berharga bagimu."

    Yang menggertakkan giginya adalah Mahisa Bungalan.

    Dengan lantang ia berkata "Murti. Jika kau gagal, maka kaulah

    cucurut itu."

    Mahisa Murti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Meskipun

    tidak terucapkan, ia berjanji kepada kakaknya Mahisa

    Bungalan, bahwa ia tidak ingin menjadi cucurut itu.

    Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah m empersiapkan

    diri sebaik-baiknya. Justru ia menyadari, bahwa lawannya

    tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

    Karena saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu tidak

    keluar dari arena, maka Mahisa Bungalan yang sulit untuk

  • mengekang dirinya itupun telah berada didalam arena pula. Ia

    akan mengimbangi apapun y ang akan dilakukan oleh saudara

    seperguruan Arya Kuda Cemani itu.

    Namun di luar arena, Arya Kuda Cemani sendiri sudah

    bersiap sepenuhnya. Ia akan menghadapi saudara

    seperguruannya itu jika ia akan ikut campur.

    Mahendrapun menjadi tegang. Ia bukan saja m emikirkan

    Mahisa Murti. Tetapi ia juga memikirkan perasaan Mahisa

    Pukat. Namun Mahendra berharap bahwa mPu Sidikara yang

    masuk keruang dalam dapat menenangkan Mahisa Pukat.

    Upacara y ang sudah disiapkan itu memang tertunda. Tetapi

    Mahisa Pukat tidak beranjak dari tempat y ang disediakan

    baginya.

    Namun seandainya yang mewakilinya bukan Mahisa Murti,

    mungkin Mahisa Pukat tidak akan dapat dicegah lagi.

    Demikianlah, maka Mahisa Murti dan anak muda y ang

    datang bersama ayahnya itu sudah bersiap untuk bertanding.

    Keduanya mulai bergeser berputaran. Orang-orang yang

    berada di luar arena mulai menahan naias. Kedua anak muda

    itu seakan-akan memang telah disiapkan untuk turun ke

    gelanggang pertandingan. Kedua-duanya nampak

    meyakinkan. Besar tubuh m ereka tidak terpaut banyak. Jika

    pandangan mata anak muda yang datang bersama ay ahnya itu

    tajam berkilat-kilat, maka mata Mahisa Murti bagaikan

    bercahaya memandang lawannya itu.

  • Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu sudah mulai

    sal ing meny erang. Mereka masih berusaha untuk saling

    menjajagi. Karena itu, maka serangan-serangan mereka masih

    belum terasa berbahaya.

    Namun sentuhan-sentuhan yang terjadi sudah

    mengisy aratkan bagi mereka berdua, bahwa mereka

    berhadapan dengan lawan yang memiliki kekuatan y ang besar

    serta kemampuan y ang tinggi.

    Saudara sepreguruan Arya Kuda Cemani nampak terlalu

    yakin akan kemampuan anaknya.

    Karena itu, maka sikapnya menjadi sangat meyakinkan

    pula. Ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Mahisa

    Bungalan didalam arena dan bahkan tidak mempedulikan

    sama sekali orang-orang y ang berdiri disekitar arena itu,

    termasuk utusan Sri Baginda Maharaja di Singasari.

    Bahkan kemudian saudara seperguruan Arya Kuda Cemani

    itu berkata kepada anaknya "Kau tidak usah bertenggang rasa.

    Jika kau dapat melumpuhkannya selama sekejap, lakukanlah.

    Biarlah orang-orang yang menyaksikan yakin, bahwa kau

    memang pantas untuk dihormati melampaui calon m enantu

    Kuda Cemani y ang sombong itu. Jika kemudian kau tidak

    mempedulikan anak Kuda Cemani, itu akan semakin

    meyakinkan mereka, bahwa kau datang dituntun oleh harga

    dirimu. Bukan oleh nafsu untuk merebut perempuan itu."

    Mahisa Bungalan hanya dapat menggeretakkan giginya.

  • Namun ia benar-benar berharap bahwa Mahisa Murti jangan

    mengecewakan keluarganya dan keluarga Arya Kuda Cemani.

    Dalam pada itu, perkelahian antara kedua orang anak muda

    itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak

    dengan tangkas dan cepat. Kemudian m ereka nampak dalam

    setiap unsur di tataran gerak mereka.

    Seperti dikehendaki oleh ay ahnya, maka anak muda itu

    memang berniat untuk dengan cepat meny elesaikan Mahisa

    Murti. Semakin cepat, maka kemampuannya akan semakin

    nampak lebih tinggi.

    Tetapi ternyata bahwa lawannya cukup liat. Mahisa Murti

    tidak dapat dengan mudah ditundukkan. Bahkan semakin

    lama justru menjadi semakin sulit, sehingga mereka telah

    memasuki tataran y ang semakin tinggi.

    Sikap saudara seperguruan Arya Kuda Cemani memang

    sangat menyakitkan hati Mahisa Murti. Karena itu, maka ia

    tidak membiarkan lawannya itu mendesaknya. Setiap kali

    lawannya itu meningkatkan ilmunya selapis, maka Mahisa

    Murtipun telah melakukannya pula.

    Wajah-wajah yang ada disekitar arena itu menjadi tegang.

    Apalagi Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan semakin lama ia

    menyaksikan pertempuran itu, maka wajahnya menjadi

    semakin tegang.

    Mahendra melihat ketegangan itu. Hampir diluar sadarnya

    ia berdesis "Mu dah-mudahan Mahisa Murti memiliki

  • kemampuan setidak-tidaknya mengimbangi kemampuan anak

    muda itu.

    "Aku tetap berpengharapan" jawab Arya Kuda Cemani

    "angger Mahisa Murti memiliki kelebihan jauh diatas

    kebanyakan anak-anak sebayanya."

    "Tetapi anak muda itu sungguh meyakinkan" desis

    Mahendra.

    "Yang m enarik perhatian, ilmu anak itu bukan keturunan

    ilmu dari perguruan kami. Ia tentu tidak sekedar berguru

    kepada ayahnya. Aku kenal betul unsur-unsur dari ilmu

    perguruan kami sendiri. Aku m engenali kemampuan saudara

    seperguruanku itu seperti aku mengenali kemampuanku

    sendiri. " desis Arya Kuda Cemani.

    Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya yang akan

    terlibat bukan sekedar saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani sendiri.

    "Jika anak muda y ang bertempur dengan Mahisa Murti itu

    berasal dari satu perguruan, maka perguruan itu akan dapat

    melibatkan diri ke dalam persoalan y ang sebenarnya sangat

    terbatas dan pribadi itu.

    Ternyata bukan hanya Mahendra saja yang menjadi cemas

    karenanya. Arya Kuda Cemanipun kemudian berkata "Salahsalah,

    perguruan anak muda itu akan dapat ikut tersinggung

    karenanya."

    "Apa boleh buat. Untungnya Mahisa Murti juga berpijak

  • pada sebuah padepokan meskipun terhitung baru, sehingga

    belum melahirkan murid-murid y ang berilmu tinggi."

    "Ki Mahendra. Bukan maksud kami melibatkan angger

    Mahisa Murti. Apalagi perguruannya yang sedang tumbuh

    itu."

    "Aku mengerti Raden. Tetapi memang tidak ada pilihan

    lain " jawab Mahendra.

    Demikianlah, maka Mahisa Murti telah terlibat kedalam

    satu pertempuran y ang menjadi semakin sengit. Ternyata anak

    muda itu m emang m emiliki kelebihan dari anak-anak muda

    yang lain. Serangan-serangannya datang beruntun seperti

    ombak ditepian.

    Sekali-sekali pertahanan Mahisa Murti memang

    terguncang. Namun setiap kali, Mahisa Murti m enjadi kokoh

    kembali seperti batu karang y ang tidak tergetar oleh debur

    ombak y ang garang.

    Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai

    mengerutkan dahinya. Menurut penglihatannya, Mahisa Murti

    masih saja mampu mengimbangi kemampuan anaknya. Setiap

    kali anaknya meningkatkan ilmunya, maka lawannya itupun

    telah melakukannya pula. Karena itu, demikian anaknya

    bergerak lebih cepat, maka lawannyapun seakan-akan menjadi

    lebih tangkas.

    Beberapa kali anak muda itu kehilangan kesempatan.

    Serangannya y ang nampaknya sangat mapan, namun sama

  • sekali tidak mengenai sasaran. Bahkan setiap kali serangannya

    menjadi sia -sia saja.

    Semakin lama darah anak muda itu rasa-rasanya menjadi

    semakin panas. Setelah berguru b ertahun-tahun, maka ketika

    ilmunya diuji di arena, ternyata tidak dengan cepat dapat

    menyelesaikan lawannya.

    Sementara itu, Mahisa Murti semakin lama semakin

    mengenali tataran kemampuan ilmu anak m uda itu. Mahisa

    Murti memang harus mengakui, bahwa landasan ilmu anak

    muda itu memang sangat mey akinkan. Tetapi karena anak

    muda itu m asih belum m emiliki banyak pengalaman, m aka

    ilmunya masih belum berkembang. Anak itu dengan setia

    mengikuti segenap tatanan dari unsur-unsur gerak yang

    dikuasainya. Namun berhadapan dengan Mahisa Murti yang

    sudah memiliki pengalaman yang sangat luas, maka anak

    muda itu mulai mengalami kesulitan.

    Beberapa kali serangan-serangan y ang sudah

    diperhitungkan dengan masak-sesuai dengan wewaton dari

    unsur -unsur gerak y ang telah dipelajarinya, ternyata hasilnya

    tidak sebagaimana diperhitungkan.

    Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai

    berkerut. Sebagai seorang y ang berilmu tinggi, ia mengerti

    kelemahan anak-anak muda y ang baru keluar dari perguruan.

    Ia sudah memberikan banyak sekali petunjuk. Bahkan latihanlatihan

    khusus bagi anaknya agar anaknya mampu

  • mengetrapkan ilmunya dalam benturan yang sebenarnya

    terjadi. Bukan sekedar latihan-latihan y ang t eratur. Ia sudah

    memberikan berbagai macam pesan, bahkan ia sendiri telah

    bersama-sama berada di sanggar dengan anaknya untuk

    menempanya agar ilmu y ang dimiliki anaknya itu dapat

    ditrapkan dalam benturan ilmu yang sebenarnya.

    Namun saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu harus

    mengakui bahwa anak muda y ang seakan-akan mewakili calon

    menantu Arya Kuda Cemani itu memiliki ilmu yang tinggi

    sekaligus pengalaman yang luas.

    Karena itu, maka ia tidak akan dapat berharap anaknya

    dapat memenangkan pertempuran itu jika ia tidak

    mempergunakan ilmu puncaknya. Ilmu pada tataran tertinggi

    yang diwarisinya dari gurunya.

    Ayahnya itu mengetahui betapa dahsy atnya ilmu itu.

    Karena itu, maka orang yang dikenai ilmu itu, jarang sekali

    yang akan mampu bertahan. Sentuhan tangan anaknya pada

    puncak ilmunya akan dapat mematahkan tulang dan

    melumatkan isi dada. Sedangkan pada sisi y ang lain dari

    ilmunya itu dapat m embuat telapak tangannya itu bagaikan

    membara. Sentuhan telapak tangannya akan dapat

    menghanguskan kulit daging lawannya. Bahkan jika

    tangannya itu sempat mencekik leher, maka lawannya tidak

    akan berharap untuk dapat meny elamatkan diri.

    Untuk beberapa saat orang itu masih ingin meyakinkan

  • seberapa jauh kemungkinan y ang dapat digapai oleh anaknya.

    Namun ketika serangan-serangan Mahisa Murti mulai

    mengenai tubuhnya, maka orang itu y akin, bahwa anaknya

    harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk melumpuhkan

    lawannya.

    Sebenarnyalah bahwa serangan Mahisa Murti mulai

    mengenai tubuh lawannya. Kakinya sempat menyusup diselasela

    pertahanan anak muda itu y ang terbuka, justru saat ia

    menyerang.

    Mahisa Murti yang merendahkan diri untuk menghindari

    sambaran tangan lawannya melihat bahwa bagian samping

    dada lawannya itu terbuka. Karena itu, maka dengan cepat

    Mahisa Murti menyerang dengan kakinya menyamping.

    Demikian kaki Mahisa Murti itu menghantam bagian

    samping dada lawannya, maka anak itu terputar sekali.

    Hampir saja ia kehilangan

    keseimbangannya.

    Namun ternyata bahwa ia

    cukup tangkas untuk

    kemudian tegak kembali.

    Tetapi Mahisa Murti tidak

    memberinya kesempatan.

    Dengan cepat ia memburu

    lawannya. Demikian lawannya

    mengatasi goncangan

  • keseimbangannya dan tegak

    kembali, maka Mahisa Murti

    telah meny erangnya pula.

    Dengan demikian, maka

    lawan Mahisa Murti itu harus

    meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, agar

    ia sempat memperbaiki kedudukannya.

    Mahisa Murti y ang sudah siap meloncat memburunya

    terkejut. Ia melihat telapak tangan anak muda itu berasap

    tipis. Namun ketajaman penglihatan matanya serta landasan

    pengalamannya, segera menahannya untuk tidak segera

    meloncat meny erang.

    Dengan tegang Mahisa Murti m emandang telapak tangan

    anak muda itu. Ia melihat telapak tangan itu bagaikan menjadi

    bara. Kemerah-merahan dan asap tipis nampak mengepul dari

    telapak tangan itu.

    Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun iapun

    kemudian menyadari, bahwa sentuhan telapak tangan

    lawannya itu akan dapat membakar kulitnya. Namun

    berdasarkan atas pengalaman serta pengetahuannya tentang

    berbagai macam ilmu dari orang-orang berilmu tinggi yang

    dikenalnya, maka ilmu itu y ang dapat melukai tubuh lawannya

    dengan sentuhan api hanyalah telapak tangannya saja.

    Dengan demikian, maka Mahisa Murti harus menjadi

    sangat berhati-hati. Sebenarnya ia dapat menghentikan

  • perlawanan anak muda itu dengan serangannya jarak jauh.

    Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menghancurkannya. Anak itu

    belum tentu seorang yang berhati hitam. Mungkin ia

    terdorong oleh keinginannya untuk mencoba ilmunya.

    Dipanasi pula dengan sikap ayahnya y ang agaknya memang

    tinggi hati itu. Maka anak muda itu telah langsung terjerumus

    kedalam pertempuran melawan seorang yang memiliki ilmu

    yang tinggi serta pengalaman yang luas.

    Namun Mahisa Murti tidak mau membiarkan dirinya

    terbakar oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka Mahisa Murti

    telah mengetrapkan ilmunya yang mempunyai daya

    kemampuan menghisap ilmu lawannya.

    Meskipun demikian, Mahisa Murti menyadari sepenuhnya

    bahwa tubuhnya tidak boleh ter sentuh telapak tangan

    lawannya. Justru ialah yang harus berusaha sebanyak

    mungkin bersentuhan dengan tubuh anak muda itu, tetapi

    tidak di telapak tangannya yang m enjadi kemerah-merahan

    itu.

    Pertempuran selanjutnya menjadi semakin cepat. Mahisa

    Murti lebih banyak berloncatan menghindar. Namun

    kemudian dengan tiba-tiba saja menggapai lawannya untuk

    menyentuh bagian tubuhnya yang manapun juga.

    Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Murti telah

    menerobos pertahanan anak muda itu mengenai pundaknya.

    Pundaknya memang terasa sakit. Anak muda itu m eloncat

  • surut. Namun dengan cepat ia dapat m engatasi rasa sakit itu.

    Bahkan kemudian dengan garang ia telah meloncat meny erang

    dengan kedua telapak tangannya terbuka.

    Orang-orang yang ada disekitar arena itu menjadi

    berdebar-debar. Mereka seolah-olah melihat pertempuran

    yang tidak seimbang. Apalagi Mahisa Murti masih juga tidak

    menarik pedangnya meskipun lawannya sudah mengetrapkan

    ilmu puncaknya. Sementara itu, mereka masih belum melihat,

    bahwa Mahisa Murti juga mempergunakan ilmu andalannya.

    Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai dapat

    menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya beberapa kali

    mendesak lawannya. Meskipun serangan-serangan lawannya

    sempat meny entuh tubuhnya, tetapi serangan-serangan itu

    sama sekali tidak berbahaya bagi anaknya.

    Apalagi ketika telapak tangan anaknya sempat meny entuh

    lengan Mahisa Murti, sehingga Mahisa Murti terkejut

    karenanya. Dengan serta m erta ia meloncat menjauh. Terasa

    lengannya menjadi sangat panas. Luka bakar membekas

    dilengannya. Kulitnya nampak terkelupas meskipun luka itu

    tidak terlalu besar.

    "Telapak tangannya akan segera meny entuh wajahmu.

    Kemudian lehermu dan seluruh tubuhmu" berkata saudara

    seperguruan Arya Kuda Cemani itu.

    Tetapi Mahisa Murti menjadi semakin berhati-hati.

    Meskipun ia sudah terluka, tetapi ia tidak menarik pedangnya.

  • Ia masih akan menghentikan perlawanan anak muda itu

    dengan cara y ang lain.

    Pertempuranpun segera menyala lagi ketika anak muda itu

    meloncat meny erang Mahisa Mutti. Kedua telapak tangannya

    menggapai-gapai. Bahkan anak muda itu berusaha untuk

    menangkap tubuh Mahisa Murti. Jika ia berhasil m enangkap

    Mahisa Murti, maka untuk beberapa saat lamanya, telapak

    tangannya akan membakar tubuh lawannya itu, sehingga

    genggaman tangannya akan semakin membenam ditubuh

    lawannya itu sampai ke tulang.

    Tetapi tidak mudah untuk menangkap Mahisa Murti.

    Meskipun lengan Mahisa Murti telah terluka, tetapi Mahisa

    Murti m asih tetap dengan tangkas berloncatan. Sekali-sekali

    tangannya mengenai pundaknya, lengannya dan bahkan

    kadang-kadang kakinya yang menyapu dengan cepat, sempat

    mengenai paha anak muda itu.

    Tetapi anak muda itu sama sekali tidak m enjadi kesakitan.

    Meskipun sekali-sekali ia harus menyeringai karena serangan

    Mahisa Murti yang dapat m engenainya, tetapi dengan cepat

    perasaan sakit itu selalu dapat diatasinya.

    Bahkan Mahisa Murtilah y ang harus m eloncat surut ketika

    serangan kakinya berhasil ditangkis oleh lawannya. Betisnya

    justru telah tersentuh telapak tangan anak muda itu, sehingga

    terluka.

    Luka bakar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ny eri di

  • lengannya dan di betisny a itu memang membuat Mahisa Murti

    bukan saja sakit kulitnya, tetapi juga sakit hatinya.

    Itulah sebabny a, maka selain ilmunya y ang mampu

    menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya, maka Mahisa

    Murti telah meningkatkan tenaga dalamnya, sehingga

    serangan-serangannya menjadi semakin garang. Sentuhansentuhan

    serangannya yang sempat menembus pertahanan

    anak muda itu bukan saja sekedar m eny entuh, tetapi ketika

    kaki Mahisa Murti sempat mengenai lambungnya, anak itu

    benar-benar telah terlempar jatuh.

    Dengan kerasnya anak muda itu terbanting. Sekali ia

    berguling ditanah. Dengan tangkasny a ia segera berusaha

    untuk meloncat bangkit.

    Mahisa Murti sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya

    anak muda itu tegak berdiri sambil mempersiapkan diri untuk

    menghadapi segala kemungkinan.

    Namun tubuh anak muda itu mulai terasa aneh.

    Lambungnya memang merasa sakit sekali. Tendangan Mahisa

    Murti tidak sekedar menyentuhnya sebagaimana seranganserangan

    sebelumnya. Tetapi serangan itu benar-benar

    menyakitinya.

    Namun y ang membuatnya gelisah bukannya perasaan sakit

    dilambungnya itu. Tetapi sendi-sendiny a terasa mulai

    melemah. Tenaganya serasa dengan cepat susut, sehingga

    kekuatannyapun menjadi jauh berkurang.

  • Anak muda itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia sudah

    ditempa didalam sanggar dengan latihan-latihan y ang berat. Ia

    sudah terbiasa berada didalam sanggar dan berlatih sehari

    suntuk bahkan lebih tanpa berhenti. Tetapi di arena itu, ia

    baru bertempur beberapa lama, tenaganya sudah mulai

    menjadi susut.

    Anak muda itu memang merasa telah mengerahkan

    segenap tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi

    lawannya. Bahkan kemudian dengan i lmu puncaknya. Tetapi

    bahwa tenaganya dengan cepat susut, adalah diluar

    perhitungannya.

    Namun selagi tangannya masih membara, m aka ia masih

    merasa y akin, bahawa ia akan dapat m engalahkan lawannya

    betapapun lawannya itu bergerak dengan cepat dan dengan

    tenaga y ang sangat kuat.

    Namun ketika kemudian anak muda itu m ulai bertempur

    lagi, ia menjadi semakin merasa, betapa tenaganya benarbenar

    telah menyusut dengan cepat.

    Mahisa Murtipun mulai melihat keadaan lawannya.

    Meskipun anak muda itu masih berusaha untuk tetap garang,

    tetapi sebenarnya bahwa ia sama sekali sudah tidak berbahaya

    lagi. Warna bara ditangannyapun sudah mulai memudar,

    meskipun asap tipis masih nampak samar-samar. Meskipun

    demikian, Mahisa Murti masih harus menghindarinya karena

    telapak tangan itu masih akan dapat membakar kulitnya.

  • Ketika anak muda itu mulai bergeser mendekat, Mahisa

    Murti masih berdiri saja ditempatnya. Meskipun kulitnya

    sudah terluka serta panas dan ny eri telah menyengatnya,

    namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.

    Sampai dibatas perkelahian itu, beberapa orang mulai

    menarik nafas dalam-dalam. Arya Kuda Cemani yang

    mengetahui kelebihan Mahisa Murtipun mengangguk-angguk.

    Ia melihat luka ditubuh Mahisa Murti. Tetapi ia melihat bahwa

    tenaga lawannya telah jauh menyusut.

    Arya Kuda Cemani yang m engenal Mahisa Murti dengan

    baik, benar-benar telah mengaguminya. Meskipun tubuhnya

    telah terluka, tetapi anak muda itu tidak membiarkan dirinya

    hanyut oleh arus perasaannya.

    Sejenak kemudian pertempuranpun telah terjadi lagi. Anak

    muda itulah yang telah meny erang Mahisa Murti. Namun

    Mahisa Murti tidak lagi banyak mengalami kesulitan. Dengan

    tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian

    dengan cepat pula ia justru telah menyerang. Beberapa kali

    Mahisa Murti berhasil menembus pertahanan lawannya

    sehingga beberapa kali pula ia dapat mengenainya. Sementara

    itu, telapak tangan lawannya y ang semakin m emudar tidak

    lagi mampu menggapai dan meny entuh tubuh Mahisa Murti.

    Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani melihat

    perubahan y ang tiba -tiba t erjadi atas anaknya itu. Sebagai

    seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka orang itu

  • tiba -tiba telah berteriak "He, ternyata kau telah berlaku

    curang. "

    Mahisa Murti segera tanggap. Saudara seperguruan Arya

    Kuda Cemani itu telah mengetahui bahwa ia telah

    mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga dan

    kemampuan lawannya.

    Ju stru karena itu, maka Mahisa Murtipun telah meloncat

    surut untuk mengambil jarak dari lawannya.

    Sementara itu, lawannyapun nampak menjadi semakin

    letih. Ia memang berusaha untuk memburu Mahisa Murti,

    tetapi langkahnya sudah mulai nampak gontai.

    "Cukup, berhentilah" teriak saudara seperguruan Arya

    Kuda Cemani itu

    "Kenapa?" bertanya anaknya "aku sudah hampir

    menguasainya. Ia akan segera menyadari kekalahannya."

    "Tidak " jawab ayahnya.

    Wajah anaknya menjadi merah. Namun sebenarnyalah

    bahwa anak muda itu sudah menjadi semakin lemah. Ketika ia

    melangkah maju, maka langkahnya sudah menjadi goy ah.

    Beberapa orang y ang berilmu tinggi yang hadir di

    pertemuan itu benar-benar m erasa kagum terhadap Mahisa

    Murti. Mereka m engetahui, ilmu apa y ang dimiliki oleh anak

    muda itu. Ilmu y ang sudah jarang sekali terdapat di dunia olah

    kanuragan. Yang lebih mereka kagumi adalah, bahwa anak

    muda itu tidak m engetrapkan ilmunya dengan semena-mena.

  • Ia tidak memperlakukan lawannya dengan sewenang-wenang,

    apalagi karena Mahisa Murti itu sudah dilukai. Mahisa Murti

    itu masih t etap dapat mengendalikan dirinya disaat ia berdiri

    diambang kemenangan.

    Dalam pada itu, maka saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani itupun telah melangkah mendekati Mahisa Murti

    sambil berkata "Ternyata kau bukan seorang yang jantan. "

    "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.

    "Kau telah mempergunakan ilmu yang sangat licik. Kau curi

    perlahan-lahan kekuatan dan kemampuan anakku, sehingga

    sampai pada suatu saat anakku kehabisan tenaga dan

    kemampuan." berkata saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani itu.

    "Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "seorang pencuri

    mengambil m ilik orang lain dengan diam-diam, justru diluar

    pengetahuan pemiliknya y ang mungkin sedang tidur atau

    sedang bepergian atau sedang melakukan satu hal sehingga ia

    tidak melihat pencuri itu. Tetapi yang aku lakukan adalah satu

    perbuatan y ang langsung terjadi dihadapan pemilik k ekuatan

    dan kemampuan itu. Ia tidak sedang tidur atau sedang lengah

    atau sedang berpaling sekalipun. Kita justru sedang

    bertempur, sementara anakmu telah membakar telapak

    tangan dengan inti kekuatan api yang diserapnya dari udara

    disekelilingnya. Nah, apakah dengan demikian aku dapat

    disebut curang? Justru setelah kulitku terbakar dilengan dan

  • betis sehingga terkelupas."

    "Apapun alasanmu, tetapi kau trapkan ilmumu tanpa

    setahu anakku," jawab orang itu.

    "Sebenarnya tergantung dari sisi mana kita memandang.

    Kau dapat menganggap aku licik. Tetapi orang lain dapat saja

    menganggap bahwa anakmulah yang terlalu dungu, sehingga

    ia tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan

    salah satu jeni s ilmu yang dapat menghisap kekuatan dan

    kemampuannya.

    "Cukup" teriak saudara seperguruah Arya Kuda Cemani

    "apapun y ang kau katakan, tetapi kecuranganmu harus

    dihukum."

    Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan nada berat ia

    bertanya "Apa maksudmu Ki Sanak. Apakah kau merasa

    berhak menghukum aku?"

    Tentu jawab orang itu.

    Tetapi terdengar jawaban Arya Kuda Cemani "Tidak. Kau

    tidak berhak menghukumnya. Kecuali ia tidak bersalah, maka

    tempat ini adalah tempat tinggalku. Aku mempunyai

    wewenang lebih besar dari siapapun y ang ada disini. "

    "Aku tidak peduli" jawab saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani itu. Lalu katanya "Ada atau tidak ada wewenang,

    tetapi aku akan menghukumnya. Ia sudah menciderai anakku

    dengan licik. Bahkan tidak bertanggung jawab sama sekali,

    sehingga anakku kehilangan sebagian besar dari tenaganya."

  • Bukankah akibat y ang demikian seharusny a sudah

    diperhitungkan sejak pertandingan akan dimulai? Salah

    seorang diantara m ereka yang bertanding akan dapat kalah

    atau menang. Kemungkinan ketiga adalah tidak ada yang

    kalah dan tidak ada y ang menang. Jadi, jika anak kakang

    kalah, itu adalah akibat wajar dari satu pertandingan."

    "Tetapi tidak dengan licik" teriak saudara seperguruan Arya

    Kuda Cemani.

    "Tidak ada y ang licik," jawab Arya Kuda C emani "aku tahu

    bahwa angger Mahisa Murti mempunyai kemampuan jauh

    dari y ang diperlihatkan saat ini. Bahkan seandainya kakang

    sendiri y ang turun ke medan, maka kakang akan dapat

    dihancurkan jika ia mau. Tetapi ilmu y ang telah

    dipergunakannya adalah ilmu y ang paling lunak meskipun

    akibatnya akan dapat m enjadi dahsyat sekali. Tetapi angger

    Mahisa Murti t idak berbuat lebih banyak dari m enghentikan

    pertandingan."

    Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu termangumangu.

    Namun Arya Kuda Cerna nipun berkata "Kakang,

    sebaiknya kakang tidak melakukan apa -apa terhadap angger

    Mahisa Murti. Jika kakang memang ingin turun ke

    gelanggang, maka biarlah aku y ang m elayaninya. Aku adalah

    saudara seperguruan kakang. Kita saling mengetahui kekuatan

    dan kelemahan kita masing -masing, sehingga satu diantara

    kita tidak akan berbahaya bagi yang lain. Tetapi jika kakang

  • justru ingin melawan angger Mahisa Murti, maka kakang tentu

    akan menyesalinya.

    Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu benarbenar

    menjadi tegang. Dipandanginya anaknya, Mahisa Murti

    dan Arya Kuda Cemani berganti-ganti. Bahkan kemudian

    diedarkannya pandangan matanya. Baru saat itu, seakan-akan

    saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu melihat, siapa saja

    yang ada disekitarnya. Saudara seperguruan Arya Kuda

    Cemani itu melihat beberapa pasang mata yang

    memandanginya dengan tajam. Dari sorot matanya, maka

    dapat diduga, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang

    berilmu tinggi. Sementara itu, Arya Kuda Cemani sendiri

    sudah siap untuk melayaninya. Sedangkan orang yang berdiri

    di sebelah Arya Kuda Cemani, meskipun umurnya sudah lebih

    tua, namun dimatanya membayang kemampuannya yang

    sangat tinggi.

    Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu berdiri

    termangu-mangu. Sementara itu anaknya sudah menjadi

    terlalu lemah untuk dapat bertempur lagi. Meskipun ia masih

    berdiri tegak, tetapi ia sudah bukan apa-apa lagi bagi Mahisa

    Murti.

    Karena itu, maka peny esalan memang mulai merayapi

    jantung saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu. Ia

    memang tidak menyangka bahwa anaknya akan bertemu

    dengan anak muda y ang memiliki ilmu y ang lebih tinggi.

  • Menurut pendapatnya, maka anaknya telah m ampu m ewarisi

    ilmu y ang sulit dicari bandingnya. Dalam usianya y ang masih

    muda, maka sulit ada anak muda sebayanya y ang mampu

    mengimbanginya. Ia datang kerumah Arya Kuda Cemani

    justru ingin memamerkan kelebihan anaknya itu. Tetapi yang

    didapatkannya justru sebaliknya.

    Arya Kuda Cemani y ang telah m eny inggung perasaannya,

    karena ia sama sekali tidak memberitahukan kepadanya,

    bahwa ia akan menikahkan anaknya perempuan, akan

    dipermalukannya dihadapan orang banyak. Calon menantunya

    akan direndahkan dan dihinakan. Bahkan kemudian anak

    perempuan Arya Kuda Cemani itupun akan direndahkannya

    pula dihadapan tamu-tamunya, karena ia sama sekali tidak

    mengingininya.

    Selagi saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu

    termangu-mangu, maka Arya Kuda Cemani itupun berkata

    "Kakang. Baiklah aku m emperkenalkan anak muda itu. Anak

    muda yang sudah m enempatkan diri m enjadi lawan anakmu

    itu adalah saudara laki-laki calon menantuku. Ia memiliki ilmu

    dan kemampuan y ang seimbang dengan saudara laki-lakinya,

    calon menantuku itu. Semua orang akan menjadi saksi, bahwa

    seandainya calon menantuku sendiri y ang turun ke

    gelanggang, maka akibatnya akan sama saja. Bahkan mungkin

    calon menantuku tidak mampu m engekang diri sebagaimana

    dilakukan oleh angger Mahisa Murti itu."

  • Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani terasa

    menjadi sangat tebal. Namun kemudian tanpa berkata satu

    patah katapun, ia telah menyambar tangan anaknya dan

    ditariknya untuk meninggalkan tempat itu.

    Tetapi sekali lagi ia terkejut. Anaknya itu hampir saja jatuh

    tertelungkup. Ia tidak lagi mampu untuk berjalan terlalu cepat.

    Ayahnya kemudian memang menyadari akan hal itu.

    Karena itu, maka iapun m enjadi lebih berhati-hati. Bahkan

    anak muda itu seakan-akan telah dipapah oleh ay ahnya keluar

    dari reg ol halaman rumah Arya Kuda Cemani.

    Beberapa saat setelah kedua orang itu hilang dari

    pandangan, maka Arya Kuda Cemani cepat mempersilahkan

    tamu-tamunya duduk kembali sambil minta maaf, bahwa telah

    terjadi sesuatu y ang mengganggu pertemuan itu.

    Meskipun kemudian para tamu itu memang duduk kembali,

    tetapi suasananya sudah jauh berubah. Arya Kuda Cemani

    memang tidak mempunyai cara untuk dapat memulihkan

    kembali suasana. Meskipun demikian serba sedikit, para tamu

    itu mulai memperhatikan upacara y ang memang sudah

    disiapkan.

    Meskipun terlambat, namun upacara itupun diteruskan

    juga. Satu demi satu, tapak-tapak upacara itupun berlangsung

    sesuai dengan ketentuan y ang harus dilakukan.

    Sementara itu, Mahisa Murti yang terluka telah dibawa ke

    ruang digandok rumah Arya Kuda Cemani. mPu Sidikaralah

  • yang menemaninya serta mengobatinya. Kulit Mahisa Murti

    telah terkelupas, sementara dagingnya nampak kemerahan.

    Luka bakar itu m emang tidak terlalu besar, tetapi perasaan

    ny eri terasa semakin meny engat.

    "Kau sudah mempertaruhkan nyawamu " berkata mPu

    Sidikara.

    "Tetapi bukankah aku m asih

    tetap hidup ?" Mahisa Murti

    justru bertanya.

    mPu Sidikara menganggukangguk.

    Katanya "Lukamu juga

    tidak terlalu berbahaya

    meskipun tentu terasa sakit

    Mahisa Murti mengangguk

    kecil. Tetapi sambil tersenyum ia

    bertanya "mPu, apakah luka ini

    akan membekas?

    mPu Sidikarapun terseny um

    pula. Katanya "Aku mempunyai

    obat terbaik untuk

    menghilangkan bekas luka

    bakar.

    Mahisa Murti mengangguk-angguk. Bahkan iapun

    kemudian tertawa sambil berdesis "Jika ada noda-noda pada

    kulitku, maka aku akan semakin dijauhi gadis-gadis."

  • mPu Sidikarapun tertawa pula sambil berkata "Tetapi luka

    itu hanya terdapat dilengan dan di betis. Sementara itu

    wajahmu masih tetap bersih dan menarik."

    Mahisa Murti memang tertawa berkepanjangan. Namun

    dibalik suara tertawanya terber sit perasaannya y ang pahit.

    Bagaimanapun juga, sentuhan pernikahan Mahisa Pukat itu

    tetap terasa pedihnya dihati Mahisa Murti.

    Meskipun dalam suasana yang sudah sedikit berbeda,

    namun upacara pernikahan itupun dapat diselesaikan dengan

    selamat. Semua mata acara satu demi satu telah diselesaikan

    dengan baik meskipun terlambat.

    Dengan demikian, maka sejak hari itu, Mahisa Pukat tidak

    lagi hidup sendiri. Ia sudah menginjak pada satu kehidupan

    berkeluarga.

    Namun untuk sementara maka Mahisa Pukat dan isterinya

    akan tinggal bersama-sama dengan Mahendra y ang mendapat

    tempat tinggal dibagian belakang istana. Sementara itu,

    Mahisa Pukat sendiri juga bertugas di bagian lain dari istana

    itu. Kasatrian.

    Seperti y ang dikatakan, bahwa Mahisa Murti memang tidak

    segera kembali. Bersama kedua orang adik angkatnya Mahisa

    Murti akan tinggal sepekan lagi di Singasari

    Waktu y ang sepekan itu sama sekali tidak menarik bagi

    Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Pukat masih berada dirumah

    Arya Kuda Cemani, namun rasa -rasanya, udara Kotaraja itu

  • terlampau panas. Hari-hari dilalui oleh Mahisa Murti dengan

    hati y ang kosong. Untunglah ada Mahisa Semu dan Mahisa

    Amping y ang dapat mengisi waktunya dengan berbagai

    macam kesibukan. Keduanya kadang-kadang minta Mahisa

    Murti berjalan-jalan. Pergi ketempat-tempat y ang menarik

    dan y ang belum sempat dilihatnya sebelumnya.

    Tetapi Mahisa Murti memenuhi janjinya. Ia berada di

    Singasari sampai batasnya. Sepekan. Bahkan hampir setiap

    hari Mahisa Murti pergi mengunjungi Mahisa Pukat meskipun

    hanya sebentar-sebentar.

    Sambil menunggu batas waktu yang dijanjikan, mPu

    Sidikara telah berhasil meny embuhkan luka -luka bakar

    ditubuh Mahisa Murti. Meskipun masih nampak bekasnya

    lamat-lamat, namun Mahisa Murti memang y akin, bahwa luka

    itu tidak akan meninggalkan bekas dikulitnya.

    "Kau m emang tabib y ang luar biasa, mPu " berkata Mahisa

    Murti.

    "Sama sekali tidak, " jawab mPu Sidikara.

    "Kau dapat meny embuhkan lukaku dalam waktu y ang

    sangat pendek. Dalam tiga hari lukaku sudah hampir hilang

    sama sekali. Aku kira tabib y ang m anapun tidak akan dapat

    berbuat demikian. Luka-luka bakar sebagaimana aku alami

    itu, setidak-tidaknya m emerlukan waktu sepuluh hari untuk

    menyembuhkannya. Belum lagi menghilangkan bekasbekasnya.

    " berkata Mahisa Murti.

  • "Akulah yang seharusny a menjadi heran" berkata mPu

    Sidikara "aku memang memerlukan waktu sepuluh hari untuk

    menyembuhkan luka sebagaimana yang kau alami. Tetapi kau

    memang aneh. Kulit dagingmu seakan-akan telah menyimpan

    kekuatan peny embuhan yang luar biasa. Bahkan tanpa aku

    obati pun dalam waktu tiga hari lukamu akan sembuh sendiri.

    Kekuatan peny embuhan y ang belum pernah aku lihat

    sebelumnya."

    "Ah, kau jangan mengada -ada mPu " desis Mahisa Murti.

    "Percay alah" jawab mPu Sidikara "kau m empunyai banyak

    kelebihan dari orang lain. Sebenarnya aku ju stru ingin tahu,

    apa yang meny ebabkan kau m emiliki kekuatan peny embuhan

    seperti itu."

    "Kau membuat aku menjadi besar kepala" sahut Mahisa

    Murti.

    "Yakinlah" jawab mPu Sidikara "pada kesempatan y ang

    panjang k elak, aku ingin m engamati cara hidupmu. Apa saja

    yang kau makan. Kebiasaan apa yang kau lakukan, jeni s air di

    padepokanmu atau barangkali laku y ang selalu kau jalani.

    "Tidak ada y ang aneh, mPu. Semuanya sebagaimana orang

    lain. Aku makan nasi biasa. Minum air biasa. Kebiasaanku

    sehari-hari sudah mPu lihat. Sekali-sekali aku berada di

    sanggar. Lalu apa lagi ?"

    mPu sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Jika

    segalanya berlangsung seperti biasa, seperti kebanyakan

  • orang, maka kau memang memiliki keajaiban yang tidak

    dimiliki orang lain."

    "Ah, lagakmu seperti menimang anak-anak y ang sedang

    belajar berjalan. " desis Mahisa Murti.

    mPu Sidikara tertawa. Tetapi katanya "Aku bersungguhsungguh.

    Aku tidak tahu bagaimana aku harus

    mengatakannya. Tetapi sebenarnyalah demikian."

    "Sudahlah. Biarlah aku saja y ang memuji mPu." berkata

    Mahisa Murti.

    "Tetapi pada suatu saat kau akan y akin akan kebenaran

    kata-kataku." berkata mPu Sidikara selanjutnya.

    "Terima kasih mPu. Jika apa y ang mPu katakan benar,

    maka aku adalah orang y ang paling berbahagia didunia."

    jawab Mahisa Murti sambil t ertawa.

    mPu Sidikara m emang tidak dapat menahan tertawanya.

    Namun sebenarnyalah mPu Sidikara merasa heran bahwa

    dalam waktu yang sangat singkat, luka-luka bakar Mahisa

    Murti sudah dapat sembuh. Padahal obat yang dipergunakan

    adalah obat yang terbiasa dipergunakan juga. Sedangkan bagi

    orang lain, peny embuhan luka seperti y ang dialami oleh

    Mahisa Murti itu diperlukan waktu sekitar sepuluh hari,

    meskipun pada hari kelima atau keenam luka itu sudah tidak

    terasa ny eri lagi.

    Sebaliknya Mahisa Murti juga merasa heran, bahwa mPu

    Sidikara ternyata memiliki kemampuan pengobatan yang

  • sangat tinggi. Dalam waktu y ang pendek luka -lukanya telah

    dapat disembuhkan.

    Demikianlah akhirnya Mahisa Murti memasuki hari-hari

    terakhir di Singasari. Pada malam terakhir, Mahisa Murti

    sempat berjalan-jalan dengan mPu Sidikara, sementara

    Mahisa Semu dan Mahisa Amping ditinggalkannya dirumah

    Arya Kuda Cemani untuk menemani Mahisa Pukat. Meskipun

    rumah Arya Kuda Cemani masih nampak ramai, namun

    keramaian itu sudah jauh menyusut, sehingga terasa menjadi

    semakin lengang.

    Ber sama mPu Sidikara, Mahisa Murti telah menyusuri

    jalan-jalan Kotaraja. Namun mereka berjalan terus bahkan

    melewati pintu gerbang kota.

    Jalan memang menjadi semakin sepi dan gelap. Tidak lagi

    banyak terdapat obor di pintu-pintu reg ol halaman. Meskipun

    demikian, masih juga nampak kerelip obor digardu-gardu

    perondan.

    Sepinya m alam itu terasa begitu tenang dan sejuk dihati

    Mahisa Murti Desah angin didedaunan membuatnya semakin

    segar. Luka-lukanya benar-benar telah sembuh sama sekali.

    Keduanya terhenti, ketika didepan mereka terbentang bulak

    yang panjang. Dengan nada rendah mPu Sidikara bertanya

    "Apakah kita akan berjalan terus, atau kembali ke kota ?"

    Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian

    katanya "Marilah kita kembali saja. Mahisa Semu dan Mahisa

  • Amping nanti terlalu lama menunggu. "

    "Marilah " jawab mPu Sidikara "bulak dihadapan kita itu

    agaknya sama saja dengan bulak-bulak y ang lain. Apalagi

    dalam keremangan m alam. Yang nampak hanyalah kunangkunang

    y ang berkeredipan didaun padi. Ratusan, bahkan

    ribuan sehingga kadang-kadang nampak seperti bongkahbongkah

    bara yang kebiru-biruan.

    Namun ketika mereka sudah mulai berbalik, terdengar

    suara lembut "Anak muda y ang