hlhlp115
DESCRIPTION
HIJAU115TRANSCRIPT
-
HIJAUNYA LEMBAH
HIJAUNYA
LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 115
Cetakan Pertama
PENERBIT:
MURIA
YOGYAKARTA
Kolaborasi 2 Website :
dengan
Pelangi Di Singosari
/
Pembuat Ebook :
Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--???0dw0???-
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 115
KI BEKEL PUN kemudian telah memberi isyarat kepada
para bebahu untuk melaksanakan perintahnya. Bahkan
katanya kemudian "Jika mereka melawan, buat mereka
menjadi jera.
-
"Kau tidak akan dapat bertindak apa-apa Ki Bekel. Orangorangmu
akan bangkit menentangmu." sahut Mahisa Murti.
Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa y ang berani menentang
aku, penguasa di padukuhan ini ? Siapa ?"
Ternyata sikap dan suara Ki Bekel benar-benar
berpengaruh. Orang-orang y ang semula telah nampak bangkit
dan mendapatkan keberanian untuk menentukan sikapnya,
tiba -tiba sudah berubah. Mereka justru terdiam dan berdiri
seperti patung.
"He, kenapa kalian diam saja ?" bertanya Mahisa Murti
"tunjukkan bahwa kalian sekarang sudah bersikap."
Tetapi Ki Bekel berteriak "Siapa yang ingin mati lebih
dahulu?"
Tidak seorangpun yang berani bergerak. Bahkan ujung jari
kakinya sekalipun.
Ki Bekelpun tertawa berkepanjangan. Katanya kepada
pemilik kedai itu "Nah, bukankah ketenangan kedaimu tidak
akan diganggu oleh orang-orang itu ?"
"Ya Ki Bekel" jawab pemilik kedai itu.
"Nah, sekarang, apa yang akan kau lakukan atas orang itu "
bertanya Ki Bekel.
"Orang itu harus menjadi jera." jawab pemilik kedai itu.
"Lakukan. Aku akan menungguimu. Jika orang itu mencoba
untuk melawan, maka serahkan orang itu kepadaku." berkata
Ki Bekel kepada pemilik kedai itu.
-
"Serahkan kepadaku" geram pembuat tuak itu
"punggungku rasa-rasanya sudah dipatahkan oleh anak muda
itu aku akan membalas, tetapi terhadap orang yang
bertanggung jawab ini. "
Wajah-wajahpun menjadi tegang. Orang y ang punggungnya
bagaikan patah itu, sempat menyuruh seseorang "Ambil
cemeti kuda itu."
Orang yang diperintahkan untuk mengambil cemeti kuda
itu termangu-mangu. Ia tidak melihat cemeti yang
dimaksudkan. Namun pembuat tuak itu berteriak "Ambil itu,
disudut kedai. "
Barulah orang itu m engerti. Yang dimaksud cemeti kuda
adalah sepotong bambu yang disandarkan disudut kedai itu.
Dengan tanpa m embantah lagi, maka orang itupun telah
melangkah kesudut kedai itu untuk mengambil sepotong
bambu yang panjangnya hampir sepanjang tubuhnya sendiri.
Dalam pada itu Mahisa Murtipun menjadi tegang. Ia
menjadi bimbang, apakah sebaiknya dilakukan terhadap Ki
Bekel dan beberapa orang bebahu itu. Mahisa Murti sama
sekali t idak m enjadi ketakutan untuk m elawan mereka, tetapi
apakah ia harus menundukkan m ereka dengan kekerasan ?
Yang dipikirkan oleh Mahisa Murti justru orang-orang yang
semula telah menyatakan tekadnya, namun dihadapan Ki
Bekel mereka tidak berani berbuat sesuatu.
"Jangan-jangan Ki Bekel akan m enumpahkan dendamnya
-
kepada mereka." berkata Mahisa Murti didalam hatinya.
Namun tiba -tiba Mahisa Murti mengerutkan dahinya.
Agaknya lebih baik baginya apabila ia menakut-nakuti bukan
sa ja pemilik kedai dan pembuat tuak itu . Tetapi juga Ki Bekel
dan para bebahu, sehingga mereka tidak akan berbuat sesuatu
yang dapat membuat orang-orang y ang sudah terlanjur
menyatakan sikapnya itu m engalami kesulitan di kemudian
hari.
Karena itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murtipun berteriak
kepada orang y ang m engambil sepotong bambu itu "He, kau
yang akan mengambil cemeti kuda. Berhenti ditempatmu."
Orang itu terkejut. Ia m emang berhenti beberapa langkah
dari sudut kedai itu.
"Jangan mengambil bambu itu." berkata Mahisa Murti
kemudian dengan nada tinggi.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
orang y ang m embuat tuak itu berteriak pula "Cepat. Jangan
dengarkan kata-katanya. Ia adalah orang y ang akan menerima
hukuman."
Tetapi Mahisa Murti langsung menanggapi "Jika kau maju
lagi, maka kau akan mengalami kesulitan. "
"Omong kosong" ternyata Ki Bekel juga menjadi semakin
marah "ambil sepotong bambu itu."
"Ki Bekel" berkata Mahisa Murti "hentikan tingkahmu y ang
buruk itu. Atau aku harus berbuat sesuatu untuk
-
meyakinkanmu?"
"Jangan membual lagi. Kau akan menjalani hukuman
disini, dihadapanku, orang yang berkuasa di padukuhan ini.
jawab Ki Bekel sambil menengadahkan wajahnya.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak
mempunyai pilihan lain.
Sementara itu sikap Ki Bekel, para bebahu dan pemilik
kedai serta orang yang membuat tuak itu bagi Mahisa Murti
sudah keterlaluan. Ki Bekel tahu bahwa banyak orang yang
tidak sejalan dengan kebijak sanaannya tentang kedai dan tuak
itu. Namun Ki Bekel sama sekali tidak menghiraukannya.
Hatinya sama sekali tidak tergerak melihat anak-anak muda
yang menjadi mabuk, muntah-muntah kemudian tidur dimana
sa ja tubuhnya terbaring. Ki Bekel sama sekali tidak mau
memikirkan masa depan anak-anak muda itu.
Karena itu, maka bulat niat Mahisa Murti untuk membuat
hati Ki Bekel itu tergetar.
Karena itu, ketika orang yang akan m engambil sepotong
bambu itu melangkah maju lagi, Mahisa Murti berkata
"Cukup. Kau sudah berdiri terlalu dekat. Mundurlah. Jika aku
menghitung sampai tiga kau tidak mundur, maka kau akan
mengalami bencana. "
Orang itu kembali menjadi ragu-ragu. Namun Ki Bekel
berteriak pula "Cepat lakukan. Orang ini harus dipukuli
sampai jera. Pedangnya tidak akan kuasa mencegah keputusan
-
itu, karena jika ia menarik pedangnya, maka artinya ia
membunuh diri."
Tetapi ketika orang itu akan bergerak lagi, Mahisa Murti
mulai menghitung "Satu, dua...."
Ternyata orang itu terpengaruh oleh hitungan y ang
diucapkan Mahisa Murti. Karena itu, maka ketika Mahisa
Murti mulai menghitung, tanpa mengetahui apa yang akan
terjadi, m aka orang itu melangkah mundur. Bahkan dengan
tergesa -gesa.
Sementara itu Mahisa Murti memang sudah kehabisan
kesabaran menghadapi Ki Bekel. Sikapny a yang
menjengkelkan serta jalan pikirannya y ang pendek menjadi
sangat memuakkan bagi Mahisa Murti.
Demikianlah ketika Mahisa Murti mengucapkan hitungan
yang ketiga, maka Mahisa Murtipun telah menghentakkan
tangannya kearah sudut kedai tempat sepotong bambu itu
bersandar. Tidak dengan mengerahkan segenap tenaga dan
kekuatan yang ada didalam diriny a. Yang dilontarkannya
adalah kekuatan pada permukaannya saja.
Namun akibatnya sudah cukup menggemparkan. Bukan
sa ja sepotong bambu itu yang hancur menjadi debu, tetapi
tiang disudut kedai itupun telah hancur pula, sehingga atap
disudut kedai itu telah runtuh.
Terdengar derak kayu-kayu yang patah, kemudian tulangtulang
atap itu jatuh berserakan.
-
Orang yang sudah bergerak mundur itu ternyata masih juga
tersentuh hentakkan kekuatan ilmu Mahisa Murti. Orang itu
telah terdor ong beberapa langkah dan jatuh berguling di
tanah. Untunglah bahwa ia sudah mengambil jarak, sehingga
akibatnya tidak membahayakannya.
Meskipun demikian, kulitnya telah terluka pula tergores
oleh batu-batu kerikil y ang bertebaran.
Kuda-kuda y ang ada di halaman kedai itu terkejut. Seekor
diantaranya telah meringkik sambil berdiri pada kaki
belakangnya, sementara yang lain berputar-putar dengan
gelisah.
Ringkik kuda yang keras itu seolah-olah membuat getaran
kekuatan Mahisa Murti semakin mencengkam.
Orang-orang yang melihat peristiwa itu berdiri mematung.
Wajah mereka menjadi pucat, sementara tubuh Ki Bekel, para
bebahu, pemilik kedai dan orang y ang membuat tuak itu
menjadi gemetar. Anak-anak y ang m eskipun m abuk, namun
jantung m ereka bagaikan berdentang semakin cepat didalam
dadanya.
Sejenak keheningan telah mencengkam. Ki Bekel berdiri
tegak dengan mulut terkatub rapat. Sementara itu lutut
pemilik kedai y ang baru saja menengadahkan wajahnya itu
bergetar dan beradu yang satu dengan yang lain.
Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata "Ki Bekel.
Ki Bekel itu terkejut bukan kepalang. Suara itu seperti
-
ledakan petir menyambar telinganya. Dengan gagap iapun
kemudian menjawab "Ya, y a, anak muda."
"Sekarang, kau dan para bebahu itu aku minta berdiri
terpisah dari banyak orang."
"Tetapi, tetapi, untuk apa anak muda" suaranya menjadi
gagap.
"Aku akan melakukannya atas kalian. Jika kalian memang
orang berilmu tinggi dan merasa berkuasa disini berlandaskan
ilmumu dan kekuatan pengikut-pengikutmu tanpa
menghiraukan nurani rakyatmu, maka kalian tentu dapat
menangkis atau menghindari seranganku." berkata Mahisa
Murti.
"Tidak. Jangan, jangan" minta Ki Bekel "kami mohon
maaf."
"Seperti kau yang akan menghukum aku, maka akulah
sekarang y ang akan menghukummu tanpa menghiraukan
paugeran y ang berlaku. Aku membatalkan niatku untuk minta
agar para prajurit Singasari menata kembali kehidupan di
padukuhan ini. Tetapi aku sendiri akan bertindak sekarang,
tanpa menghiraukan tatanan dan paugeran yang manapun.
Aku dapat melakukannya karena aku memiliki ilmu yang
dapat mengatasi kalian, bahkan jika semua orang disini
menentangku." geram Mahisa Murti.
Ki Bekel m enjadi semakin ketakutan. Demikian pula para
bebahu, pemilik kedai dan pembuat tuak itu. Dengan suara
-
memelas Ki Bekel memohon "Kami mohon ampun anak
muda."
"Seandainya aku tadi m inta ampun kepadamu, apakah kau
juga akan mengampuniku dan tidak jadi menghukumku ?"
bertanya Mahisa Murti.
"Tentu, tentu anak muda" jawab Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya "Kau telah melakukan kesalahan lagi Ki Bekel."
Wajah Ki Bekel semakin pucat. Dengan gagap ia bertanya
"Kesalahan apa lagi anak muda ?"
"Kau telah mencoba menipuku. Kau tidak akan begitu
mudah memaafkan seseorang menilik watakmu. Bukankah
kau benar-benar akan m enghukumku ? Memukuliku dengan
sepotong bambu ? Bahkan kau telah menantangku, bahwa jika
aku menarik pedangku itu berarti aku akan membunuh diriku
sendiri. "
"Tidak anak muda, sungguh tidak. Aku mohon ampun, aku
benar-benar mohon ampun. "Ki Bekel itu bagaikan merintih.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun bertanya "Bagaimana dengan y ang lain ?"
Pemilik kedai dan pembuat tuak itupun hampir berbareng
berkata "Aku juga mohon ampun."
"Baiklah" berkata Mahisa Murti kemudian "aku akan
memaafkan kalian. Tetapi kalian tahu apa y ang aku
kehendaki."
-
"Ya, ya, anak muda. Aku mengerti" jawab Ki Bekel.
"Bukan hanya kau " berkata Mahisa Murti kemudian.
"Ya, y a. Bukan hanya aku. Tetapi kami tahu maksudmu"
jawab Ki Bekel pula.
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "aku kali ini percaya
kepada kalian. Aku menghargai sikap beberapa orang yang
telah berani menyatakan pendapat dan sikapnya, meskipun
pada saat terakhir, mereka menjadi silau melihat kehadiran Ki
Bekel. Pada saat-saat tertentu aku akan lewat jalan ini pergi
dan kembali dari Singasari. Aku akan m enepati kata-kataku,
bahwa aku akan m emberitahukan kepada prajurit Singasari,
agar mereka ikut campur menata kembali kehidupan di
Kabuyutan ini. "
Ki Bekel hanya m enundukkan kepalanya. Ia tidak berani
membantah lagi. Ia sudah melihat apa y ang dapat dilakukan
oleh anak muda y ang dikiranya sekedar mempunyai
kemampuan olah kanuragan itu. Namun yang ternyata
memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Demikianlah maka Mahisa Murtipun kemudian telah
mengajak Mahisa Semu dan Mahisa Amping meninggalkan
tempat itu. Mereka sempat m emperhatikan beberapa orang
anak muda dalam keadaan yang berbeda. Ada yang benarbenar
telah menjadi mabuk, ada yang baru mulai, tetapi ada
juga y ang sudah mulai dipengaruhi oleh tuak, tetapi
kesadarannya masih utuh. Namun dalam keadaan kesakitan
-
karena mereka telah berkelahi dengan Mahisa Semu.
"Nah Ki Bekel. Itulah anak-anakmu. Jika karena itu kau
dapat menjadi seorang yang kaya raya, maka kau tahu, bahwa
kau m endapatkan harta benda dengan mengorbankan anakanakmu
sendiri. Sementara anak-anak m uda itu bermabukmabukan,
maka anak-anak muda y ang lain bekerja keras
memeras keringat disawah, pategalan dan di panggang
dipanasny a perapian pande besi. Sementara itu orang-orang
tua mulai mengeluh melihat tingkah laku anak-anaknya yang
menjadi harapan bagi masa depannya.
Ki Bekel tidak menjawab. Namun wajahnya menjadi
semakin menunduk. Sementara jantungnya menjadi
berdebaran. Diluar sadarnya Ki Bekel mengerling kepada
anak-anak m uda itu. Dahinyapun menjadi berkerut. Seakanakan
baru saat itu ia melihat pertama kali akibat yang terjadi
atas anak-anak muda itu.
"Renungkan Ki Bekel" berkata Mahisa Murti y ang
kemudian sudah duduk di atas kudanya. Sebelum kuda itu
berlari, maka Mahisa Murti telah melemparkan beberapa
keping uang sambil berkata kepada pemilik kedai itu
"Ambillah. Jika kurang, besok jika aku lewat lagi, aku akan
singgah dan menambahinya. Jika lebih, kelebihannya aku
belikan tuak. Seberapa dapatnya, buang tuak itu kedalam parit
dibelakang kedai itu.
Pemilik kedai itu tidak sempat menjawab. Mahisa Murtipun
-
kemudian telah melarikan kudanya, diikuti oleh Mahisa Semu
dan Mahisa Amping.
Ketiganya memang tidak memacu kuda mereka terlalu
kencang, sementara Mahisa Murti berkata kepada kedua adik
angkatnya "Kau lihat akibat buruk dari minum tuak."
Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk mengiakan.
Sementara Mahisa Murti berkata selanjutnya "Kita masih
belum sempat melihat, betapa pahitnya hati orang tua mereka
melihat keadaan anak-anaknya. Satu dua kita sudah
mendengar keluhan semacam itu. Tetapi orang-orang yang
berkerumun tadi ternyata tidak dapat berbuat sesuatu ketika
Ki Bekel dan para bebahu datang. "
"Mereka menjadi ketakutan" berkata Mahisa Semu.
Mahisa Murti mengangguk. Namun ia tidak menjawab lagi.
Demikianlah maka kuda merekapun berlari terus.
Perjalanan mereka sudah terhambat beberapa lama. Namun
justru karena itu mereka sempat melihat sesuatu yang
membuat orang-orang tua berprihatin. Kecuali satu dua orang
tua yang membiarkan tabiat anak-anaknya y ang tidak terawat
justru untuk menutupi kekurangan mereka sendiri.
Sementara itu, angin yang lembut telah mengusap wajah
mereka y ang berkeringat. Dedaunan y ang hijau bergerak
dengan malasny a.
Mahisa Murti dan kedua orang adik angkatnya berkuda
menyusuri jalan bulak yang panjang. Mereka tidak t erlalu
-
banyak berbicara. Sekali-sekali Mahisa Amping yang sudah
berada didepan, berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Semu y ang berkuda dibelakangnya. Namun anak itu tetap
berada di depan.
Untuk selanjutnya tidak ada hambatan apapun
diperjalanan. Ketika menjelang senja mereka sempat singgah
lagi disebuah kedai.
Mereka memang terlalu malam sampai di Singasari. Ketika
mereka memasuki pintu gerbang butulan halaman istana,
maka para prajurit yang bertugas telah menghentikan mereka.
Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan para prajurit itu.
Namun akhirnya pemimpin prajurit y ang bertugas di pintu
gerbang itu berkata "Baiklah. Biarlah salah seorang dari antara
kami mengantar Ki Sanak sampai ke rumah Ki Mahendra.
"Terima kasih, Ki Sanak" jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murtipun telah diantar
memasuki halaman belakang istana Singasari sampai kerumah
Mahendra. Ketika mereka mengetuk pintu yang sudah
tertutup rapat, maka Mahendra memang terkejut.
Demikian ia membuka pintu, maka dilihatnya Mahisa
Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping diantar oleh seorang.
prajurit y ang bertugas.
Mahendra menyambut kedatangan mereka dengan
gembira. Kepada prajurit y ang mengantar mereka, Mahendra
-
berkata "Terima kasih Ki Sanak. Mereka memang anakanakku."
Prajurit itu m engangguk hormat sambil berkata "Maaf Ki
Mahendra, bahwa diantara kami y ang malam ini bertugas,
kebetulan belum mengenal putra Ki Mahendra ini."
"Bukankah kau kenal Mahisa Pukat ?" bertanya Mahendra.
"Tentu Ki Mahendra." jawab prajurit itu.
"Apakah diantara mereka tidak ada kemiripan ?" bertanya
Mahendra pula sambil tertawa.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang
Mahisa Murti sekila s, maka iapun berkata "Ya, y a. Mereka
memang mirip."
Demikianlah, maka prajurit itupun telah m inta diri untuk
kembali ke tempat tugas mereka, sementara itu bukan saja
Mahendra yang mengucapkan terima kasih, tetapi juga Mahisa
Murti.
"Apakah kau juga terhambat diperjalanan ?" bertanya
Mahendra ketika mereka sudah duduk diruang dalam.
"Ya ayah" jawab Mahisa Murti "tetapi agaknya karena kami
juga mencoba mencampuri persoalan orang lain. "
Mahendra tersenyum. Namun katanya "Duduklah. Biarlah
dibuat minuman bagi kalian. Nanti aku minta kau ber-ceritera
tentang perjalananmu."
"Tidak usah ay ah. Kami sudah makan dan minum" berkata
Mahisa Murti kemudian.
"Biarlah pembantu dirumah ini membuat minuman hangat.
-
Aku juga m erasa haus" jawab Mahendra. Lalu katanya "Jika
kalian ingin berbenah diri, pergilah ke pakiwan. "
Setelah menambatkan kuda-kuda m ereka dibelakang dan
membersihkan diri di pakiwan, maka mereka telah duduk
diruang dalam. Mahisa Ampinglah yang kemudian berceritera
tentang perjalanan mereka. Meskipun ceriteranya tidak lebih
dari ceritera seorang remaja, namun Mahendra dapat
menangkap persoalan y ang ada dibalik peri stiwa itu.
Karena itu, maka setelah Mahisa Amping selesai
berceritera, Mahendra itupun berkata "Memang kadangkadang
sulit bagi kita untuk menahan diri agar sama sekali
tidak mencampuri persoalan orang lain. Jika kita melihat
kepincangan dalam tatanan kehidupan terjadi disekitar kita,
maka sulit bagi kita untuk tidak mencampurinya."
"Ya, ayah." sahut Mahisa Murti "a palagi bagi aku dan
barangkali juga Mahisa Pukat y ang pernah menjalani laku tapa
ngrame. Ra sa-rasanya selalu terdorong untuk berbuat sesuatu
jika perasaan kami tersinggung oleh kepincangan dalam
tatanan kehidupan ini."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti.
Bahkan ketika aku dan mPu Sidikara berniat untuk tidak
mencampuri persoalan orang lain, maka justru kami
tergelincir juga dalam per soalan y ang menyangkut kami
berdua."
Mahisa Murti terseny um. Namun katanya "Tetapi rasarasanya
-
aku tidak terlalu bersalah mencampuri persoalan yang
terjadi di kedai itu."
"Memang kadang-kadang datang masanya, bahwa kita
justru sebaiknya mencampuri persoalan orang lain."
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sementara Mn).
-
lagi.
Setelah makan dan
beristirahat sejenak, maka
Mahendra telah
mempersilahkan Mahisa
Murti dan kedua adik
angkatnya beri stirahat.
"Besok saja kita berbicara tentang hari-hari pernikahan
Mahisa Pukat sepekan lagi" berkata Mahendra.
Mahisa Murti mengangguk sambil menjawab "baik ay ah.
Bukankah tidak ada persoalan y ang menyimpang ?"
"Tidak " jawab Mahendra "semua berjalan sebagaimana
direncanakan. "
"Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya Sokurlah.
Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan dengan baik dan
selamat."
"Sejak besok Mahisa Pukat sudah tidak bertugas. Besok ia
sudah berada di rumah ini. Ia mendapat waktu setengah bulan
untuk melaksanakan pernikahannya. "
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Semu bertanya dengan nada y ang jernih "Jadi besok kakang
Mahisa Pukat sudah tidak bertugas di Kasatrian lagi?"
"Untuk setengah bulan" jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping pun pergi ke pembaringan. Meskipun malam
-
sudah terlalu jauh, namun mereka masih mempunyai waktu
untuk tidur barang sebentar.
Seperti y ang dikatakan oleh Mahendra, maka dihari
berikutnya Mahisa Pukat telah dibebaskan dari tugasnya
Ber sama mPu Sidikara Mahisa Pukat pulang kerumah
Mahendra.
Mahisa Pukat m enjadi sangat bergembira ketika ia m elihat
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping telah datang.
Bahkan kemudian iapun bertanya "Paman Wantilan jadi tidak
datang?"
"Ya " jawab Mahisa Murti "harus ada y ang menunggui
padepokan. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan. "
Sejak hari itu, maka Mahisa Pukat sudah tidak lagi pergi ke
Ka satrian. Berbagai persiapan sudah dilakukan dirumah
Mahendra. Ketika matahari mulai naik, maka dua orang tua
telah berada dirumah Mahendra untuk membantu melakukan
persiapan-persiapan y ang diperlukan.
Tetapi kesibukan dirumah Mahendra tidak nampak
sebagaimana dirumah Arya Kuda Cemani.
Demikianlah, selama di Singasari, Mahisa Murti, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping ikut tenggelam dalam kesibukan.
Ada saja yang harus m ereka lakukan. mPu Sidikara meskipun
harus tetap bertugas di Kasatrian, tetapi pada waktu-waktu
luangnya, iapun ikut sibuk dirumah Mahisa Pukat.
Bukan saja sibuk untuk meny iapkan saat-saat pernikahan.
-
Tetapi Mahendra harus mempersiapkan tempat tinggal bagi
Mahisa Pukat dan isterinya.
"Beruntunglah bahwa aku mendapat rumah yang memadai
di bagian belakang istana ini" berkata Mahendra "meskipun
kecil, tetapi cukup lengkap, sehingga dapat dipergunakan
bersama Mahisa Pukat nanti setelah berkeluarga. Aku juga
sudah menyampaikan permohonan. Ternyata Sn Paduka
Maharaja dengan perantara seorang pejabat rumah tangga
istana tidak berkeberatan jika rumah ini aku pergunakan
bersama Mahisa Pukat."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun terbersit
diangannya, bahwa dengan demikian Mahisa Pukat masih
belum benar -benar mapan, karena ia masih belum
mempunyai tempat tinggal sendiri.
Menurut pendapat Mahisa Murti, rumah ayahnya itu
adalah rumah y ang disediakan oleh Sri Baginda Maharaja
untuk ditempati. Tetapi tidak untuk dimiliki. Apalagi letaknya
memang berada di dalam lingkungan dinding istana.
Setelah berkeluarga, Mahisa Pukat masih harus melengkapi
dirinya. Ia harus berusaha untuk memiliki sebuah tempat
tinggal betapapun kecilny a.
Dihari berikutnya, maka segala persiapan sudah hampir
selesai. Rumah Arya Kuda Cemani sudah di hias dengan tarub.
Jika senja turun, maka rumah dan halamannya nampak terang
benderang. Lampu minyak dan onc or sudah dipasang dimanamana.
-
Di hari berikutnya, barulah Mahisa Bungalan datang.
Akuwu Sangling itu ingin menunggui adiknya yang akan
menikah meskipun Mahisa Bungalan juga merasa heran,
kenapa Mahisa Murti sama sekali belum tergerak hatinya
untuk memilih seorang kawan hidup.
Baru setelah sehari berada di Singasari, diluar pengetahuan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah
menceriterakan hubungan yang rumit antara Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Sa si, seorang gadis cantik anak Arya Kuda
Cemani
Mahisa Bungalan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Seperti ayahnya iapun merasa iba terhadap Mahisa Murti.
Tetapi ia tidak boleh menyatakannya, karena dengan demikian
maka ia akan dapat meny inggung perasaannya. Juga ia tidak
dapat berbicara tentang hal itu kepada Mahisa Pukat.
Dalam kesempatan itu, maka Mahisa Bungalan dapat
bertemu dengan kedua adiknya y ang baru. Adik y ang diangkat
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
Mahisa Bungalan senang melihat keduanya. Bahkan
ketajaman penglihatannya langsung dapat melihat kelebihan
keduanya. Terutama Mahisa Amping y ang memiliki ketajaman
penggraita m eskipun dalam usia mudanya kadang -kadang ia
tidak tahu bahwa ia melihat satu isy arat.
Kedua anak itu merupakan harapan dihari mendatang "
berkaa Mahisa Bungalan, ketika ia sempat berbicara dengan
-
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
Aku akan mencoba membentuknya " berkata Mahisa Murti
tetapi pada dasarnya anak-anak itu merupakan anak yang
baik
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan senang hati
ia menawarkan agar keduanya bersedia datang ke Pakuwon
Sangling.
"Lain kali aku akan mengajak mereka" berkata Mahisa
Murti.
Dalam pada itu, m aka hari yang ditunggu-tunggu itupun
akhirnya sampai juga. Sudah sampai pada hari yang
ditentukan bagi Mahisa Pukat dan Sasi untuk melaksanakan
pernikahan.
Bulan, pekan, hari dan bahkan saatnya sudah
diperhitungkan dengan baik oleh orang-oraifg tua. Karena itu,
orang-orang tua itu mempersiapkan segalanya untuk dapat
dilaksanakan tepat pada waktunya.
Sebenarnyalah bahwa segalanya memang dapat
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Tidak ada hambatan
apapun yang mengganggu acara pernikahan Mahisa Pukat dan
Sasi, anak perempuan Arya Kuda Cemani. Salah seorang
Senapati y ang berpengaruh di Singasari, terutama dibidang
tugas-tugas sandi.
Namun dalam pada itu, ketika upacara terpenting dari
pernikahan itu siap dilak sanakan sesuai dengan paugeran
-
dasar, hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh
kedua orang yang siap dipersandingkan itu, justru telah terjadi
keributan. Keluarga Arya Kuda C emani serta beberapa orang
kawan dekatnya dari lingkungan keprajuritan, bahkan utusan
resmi Sri Maharaja di Singasari yang hadir di rumah Arya
Kuda Cemani terkejut atas kehadiran seorang y ang b ertubuh
tinggi dan besar. Rambutnya y ang tergerak m encuat dibawah
ikat kepalanya nampak sudah memutih. Tetapi tubuhnya
masih nampak kuat dan tegar. Dikedua pergelangan
tangannya nampak gelang-gelang akar-akaran disatu sisi,
sedang disisi y ang lain, nampak terbalut oleh kulit yang tebal
dan lebar hampir sampai ke siku.
Ber sama orang itu nampak seorang anak muda y ang
bertubuh sedang. Wajahnya bersih dan tampan. Matanya
tajam berkilat-kilat.
Kedua orang itu melangkah langsung menuju ke tangga
pendapa. Namun ternyata keduanya berhenti dibawah tangga
yang pertama.
Beberapa orangpun segera bangkit berdiri ketika m ereka
melihat sikap yang tidak sewajarnya dari kedua orang itu
Seorang Senapati dari pasukan berkuda y ang juga hadir
ditempat itu segera bangkit, turun dari tangga langsung berdiri
dihadapan orang itu. Meskipun demikian Senapati itu masih
bertanya dengan baik "Ki Sanak. Apakah Ki Sanak juga akan
menghadiri upacara pernikahan anak perempuan Arya Kuda
-
Cemani ? Jika demikian, m arilah, silahkan naik dan duduk
diantara kami. Upacara memang sudah hampir dimulai."
Tetapi orang itu menjawab singkat "Tidak. Aku akan
berbicara dengan Kuda Cemani."
Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun iapun
menjawab "Say ang Ki Sanak. Arya Kuda Cemani dan isterinya
sudah siap mengikuti upacara pernikahan anak gadisnya. "
"Aku akan berbicara dengan orang itu, sekarang. Sebelum
upacara itu berlangsung. "
Tetapi mereka sudah siap untuk melakukan upacara itu
Aku tidak peduli jawab orang itu y ang kemudian justru
berteriak "Kuda Cemani. Aku datang untuk menagih janji
Senapati dari pasukan berkuda itu mengerutkan dahinya.
Katanya "Ki Sanak. Aku minta Ki Sanak bersabar. Setelah
upacara selesai, maka kau dapat berbicara dengan tenang
Tetapi orang itu berteriak lantang "Tidak, aku akan bicara
sekarang .Justru sebelum upacara pernikahan, upacara itu
harus dibatalkan
"Kenapa ?" bertanya Senapati itu.
Sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Aku akan bertemu
dengan Kuda Cemani. " jawab orang itu. Sebelum Senapati itu
menjawab, maka orang itu berteriak lebih keras
"Ku da Cemani, apakah kau sekarang sudah menjadi
pengecut? Keluarlah. Kita akan berbicara sebagai laki-laki.
Jika kau sekarang m enjadi pengecut seperti betina licik, aku
-
sebagai saudara seperguruanmu akan ikut menderita malu.
Karena itu, maka lebih baik aku membunuhmu saja."
Teriakan itu telah membuat beberapa orang tidak lagi dapat
menahan diri. Beberapa orang serentak bangkit dan
mendekatinya. Utusan resmi Sri Baginda Maharaja Singasari
justru memerlukan menemui orang itu sambil berkata
"Ki Sanak. Aku berada disini atas nama Sri Maharaja
Singasari. Aku minta kau menangguhkan persoalanmu dengan
Arya Kuda Cemani. "
"Aku hormati Raden sebagai utusan resmi Sri Baginda
Maharaja. Tetapi persoalanku dengan Kuda Cemani adalah
persoalan pribadi. Tidak ada orang lain y ang dapat ikut
mencampurinya. Sekali lagi, justru sebelum upacara
pernikahan dilaksanakan."
Sementara itu, justru karena ada utusan resmi Sri Baginda
yang hadir dalam upacara itu, m aka dihalaman itu terdapat
beberapa orang prajurit y ang bertugas. Dua orang diantara
mereka telah mendekat pula.
Namun orang itu berteriak pula "Kuda Cemani. Tamutamumu
yang sebagian adalah prajurit-prajurit Singasari tentu
akan dapat mengusir aku dengan kekerasan. Tetapi dengan
demikian, maka kau akan aku anggap sebagai orang yang
paling licik, pengecut dan penakut diseluruh muka bumi."
"Cukup Ki Sanak. Cukup" berkata mPu Sidikara yang juga
menunggui pernikahan Mahisa Pukat "marilah kita berbicara
-
ditempat yang terpisah. Mungkin kita akan dapat menemukan
persesuaian pendapat. "
Tidak. Aku akan langsung berbicara dengan Kuda
Cemani. jawab orang itu dengan lantang.
Orang-orang y ang k emudian mengerumuninya sudah siap
untuk mengambil tindakan terhadap orang itu. Jika perlu
dengan kekerasan, karena orang itu telah mengganggu
upacara yang harus segera dimulai.
Namun tiba -tiba terdengar suara diantara mereka y ang
berkerumun Apa y ang sebenarnya kau kehendaki, kakang.
Mata orangitupun menjadi berkilat ketika ia melihat Arya
Kuda Cemani meny ibak orang-orang y ang m engerumuninya
itu.
Orang bertubuh tinggi dan besar itu memandang Arya Kuda
Cemani dengan mata yang menyala. Kemudian dengan geram
orang itu berkata Kuda C emani. Aku datang untuk menagih
janji.
Kakang berkata Arya Kuda Cemani Apakah aku mempunyai
hutang? Apalagi hutang janji?
Kau jangan ingkar. Meskipun kau sekarang Senapati
pasukan sandi di Singasari, tetapi hubunganmu dengan aku
secara pribadi tidak dapat kau hapuskan. Kau adalah adik
seperguruanku, betapapun nasib kita berbeda. berkata orang
itu.
Aku tidak pernah ingkar, kakang. Bahwa kau adalah
-
saudara seperguruanku. Bahkan saudara tua. Nah, aku ju stru
akan minta restumu. Bahkan hari ini aku akan m enikahkan
anakku. sahut Arya Kuda Cemani. Namun kemudian dengan
serta merta ia bertanya Atau barangkali kakang merasa
tersinggung bahwa aku tidak memberitahukan pernikahan
anakku ini sebelumnya kepada kakang.
"Ya " jawab orang itu "tetapi lebih dari sekedar tidak
memberitahu
"Sebenarnya aku sama sekali tidak melupakan kakang.
Tetapi aku tidak tahu dimana kakang tinggal sekarang,
sehingga aku tidak dapat memberitahukan kepada kakang,
bahwa hari ini aku akan menikahkan anakku " sahut Arya Kuda
Cemani.
"Aku tidak y akin kebenaran alasanmu. Aku tidak berada di
tempat y ang terlalu jauh." berkata orang itu kemudian
"Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi aku benar-benar tidak
mengerti dimana kakang tinggal. Tetapi jika kemudian kakang
mengetahui bahwa hari ini aku menikahkan anakku dan
kakang bersedia hadir aku akan merasa senang sekali. Bahkan
aku memang harus minta maaf kepada kakang, bahwa aku
tidak dapat menghubungi kakang sebelumnya
Bukan sekedar bahwa aku tidak kau bentahu, Kuda
Cemani. Tetapi kau harus ingat akan janjimu, bahwa
persaudaraan kita tidak akan pernah terputus."
Ya, y a kakang. Aku memang berharap bahwa hubungan
-
persaudaraan kita tidak akan pernah putus sampai kapanpun
Kenapa anakmu perempuan kau nikahkan dengan anak
muda yang lain?" bertanya orang itu.
"Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.
"Aku mempunyai seorang anak laki -laki, Kuda Cemani. Dan
kau mempunyai anak perempuan. Jika kau tidak ingkar akan
janjimu, maka anak perempuanmu harus menjadi menantuku,
sehingga persaudaraan kita tidak akan terputus. Tetapi karena
kau sudah m enjadi Senapati y ang berpengaruh di Singasari,
maka kau berusaha untuk mengkesampingkan aku. Anakmu
kau nikahkan dengan seorang Pelay an Dalam y ang bertugas di
Ka satrian. Bahkan telah diangkat m enjadi pelatih bagi para
Kesatrian muda Singasari."
Wajah Arya Kuda Cemani menjadi tegang. Sesaat Arya
Kuda Cemani berusaha mengendalikan perasaannya. Namun
demikian katanya "Maaf kakang. Aku akan memberikan
penjelasan tentang hal itu kepada kakang. Tetapi aku m inta
kakang duduk dahulu. Nanti sesudah aku selesai, maka
penjelasanku tentu akan memuaskan kakang. "
"Tidak " jawab orang itu "kau akan m enjebak aku. Sesudah
pernikahan berlangsung, maka anak gadismu sudah bukan
hakmu lagi. Tetapi sekarang, sebelum pernikahan itu
dilaksanakan, maka kau harus memenuhi janjimu. Berikan
anak gadismu kepadaku. Ia akan menjadi menantuku. Itu
adalah satu-satunya cara untuk m elangsungkan persaudaraan
-
kita seterusnya. Kecuali jika kau mempunyai dua anak
perempuan."
"Kakang, itu tidak mungkin. Kakangpun tidak dapat
mengartikan niat kita untuk melangsungkan persaudaraan
dengan menikahkan anak kita. Karena pernikahan itu
biasanya justru dilakukan oleh dua orang yang tidak
mempunyai sangkut paut persaudaraan."
"Kau tidak usah mengatakan seribu macam alasan. Kau
berikan anakmu atau tidak?" bertanya orang itu.
"Maaf kakang. Aku tidak dapat memberikannya." jawab
Arya Kuda Cemani.
"Kau tahu akibat dari sikapmu itu?" bertanya orang itu.
"Ya. Aku tahu. Aku harus mempertahankan sikapku dengan
cara yang kakang kehendaki," jawab Arya Kuda Cemani
"apapun y ang kakang kehendaki, aku tidak akan ingkar."
"Baik Kuda Cemani. Tetapi aku tidak akan menantangmu
bertempur sekarang. Aku tahu bahwa ilmumu telah maju
dengan pesat. Bahkan kau telah mampu menguasai Aji
Panglimunan." jawab orang itu.
"Jadi apa y ang kakang kehendaki?" bertanya Arya Kuda
Cemani.
"Aku ingin m engetahui, apakah bakal m enantumu mampu
mempertahankan bakal isterinya. "
"Maksud kakang?" bertanya Arya Kuda Cemani.
"Aku bawa anakku. Ia akan merebut kedudukannya sebagai
-
bakal menantumu" berkata orang itu "caranya adalah cara
seorang laki -laki. Siapa y ang menang, ia adalah calon
menantumu yang akan melaksanakan pernikahannya hari ini."
"Gila" geram Aya Kuda Cemani yang kehilangan kesabaran
"t idak. Ia sudah siap untuk melakukan upacara. Apa yang
terjadi, akulah yang akan menghadapi. Kakang sendiri atau
anakmu. Aku tidak peduli."
"Kau cemaskan bakal menantumu bahwa ia tidak akan
menang?" bertanya orang itu.
Wajah Arya Kuda Cemani memang terasa m enjadi panas.
Selangkah ia maju sambil berkuta "Kakang. Aku mohon
kakang jangan mengganggu. Aku masih mencoba untuk
menahan diri. Tetapi jika kakang masih memaksa untuk
melakukan hal y ang tidak m asuk akal ini, maka aku dapat
berbuat lebih jauh lagi. Kakang melihat, bahwa disini sudah
banyak tamuku yang hadir. Upacarapun sudah siap untuk
dimulai. "
"Sudah aku katakan Kuda Cemani. Kau dapat mengusir aku
dengan kekerasan. Disini tentu banyak kawan-kawanmu,
Senapati dan Panglima Perang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi jika kau gunakan kekerasan dengan cara seperti itu,
maka harga dirimu akan terpelanting jatuh dan tidak berharga
lagi. Apalagi harga diri calon menantumu itu Ia akan menjadi
orang y ang paling tidak berharga di Singasari.
"Kakang " berkata Arya Kuda Cemani "aku tidak pernah
-
mengingkari per saudaraan kita. Tetapi dua orang bersaudara
kadang-kadang memang dapat berbeda sikap dan
kepentingan. Karena itu, aku akan mempertahankan diri
"Itu tidak cukup. Anakku m enantang bakal m enantumu"
berkata orang itu "sekali lagi, anakku menantang calon
mantumu. Jika anakku menang, maka ia akan mengambil alih
kedudukan calon menantumu itu."
Kemarahan Arya Kuda Cemani sudah sampai keubunubunnya.
Namun sebelum ia bertindak sesuatu, terdengar
suara seorang yang lain "Bagus. Tetapi kau datang agak
terlambat Ki Sanak. Sebelum kau datang, aku sudah
melakukannya. Aku adalah cadangan utama calon m enantu
Arya Kuda Cemani. Seandainya anakmu dapat m engalahkan
calon menantunya y ang sudah siap melakukan upacara itu
maka ia masih juga harus mengalahkan aku. Karena itu maka
daripada ia harus bertanding melawan calon menantu yang
sudah siap melakukan upacara, dan bahkan sudah berpakaian
upacara pula, maka sebaiknya biarlah ia bertanding melawan
aku lebih dahulu."
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu menjadi
semakin tegang. Dengan nada geram ia bertanya "Siapa kau
anak muda. Kenapa kau mencampuri persoalanku dengan adik
seperguruanku."
Sudah aku katakan. Aku datang untuk mengambil Sasi
tetapi aku menunggu sampai upacara selesai. Aku tidak
-
berkeberatan jika persoalanku dengan Sasi dilakukan sesudah
upacara, karena upacara ini bagiku tidak berarti apa -apa selain
untuk menghormati tamu-tamu yang sudah diundang. Aku
juga tidak ingin mengecewakan para tamu serta merendahkan
Arya Kuda Cemani dipandangan mata sahabat-sahabatnya.
Tetapi jika itu y ang akan kau lakukan maka aku terpaksa ikut
campur juga."
Siapa kau ? desis saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani.
Untuk apa kau bertanya?
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itulah y ang
kemudian menjadi merah. Namun ia masih berkata "Kami
tidak mempunyai persoalan dengan kau anak muda
Kau cemaskan bahwa anakmu tidak akan menang?
Jantung saudara seperguruan
Arya Kuda Cemani itu bagaikan
akan meledak. Namun
anaknyalah y ang kemudian
berkata dengan nada datar tanpa
gejolak sama sekali "Aku terima
tantangannya. Aku akan
menyelesaikan anak ini lebih
dahulu. Baru kemudian calon
menantu paman Arya Kuda
Cemani. Sebenarnya aku sama
-
sekali tidak menganggap penting
Sasi. Tetapi aku tidak mau harga
diri ay ahku direndahkan. Itu
sa ja. "
Orang-orang y ang melihat sikap dan kata-kata anak muda
itu memang menjadi berdebar-debar. Begitu yakin ia akan
dirinya sendiri sehingga y ang terjadi disekitarnya itu seakanakan
tidak mempengaruhi gejolak jiwanya
Kedua saudara laki-laki Sasi y ang juga ikut mendekat
menjadi berdebar-debar. Sebagai prajurit mereka memiliki
ketahanan jiwani yang telah ditempa. Tetapi seorang diantara
mereka berdesis "Mahisa Murti akan m endapat lawan yang
tentu juga berilmu tinggi sebagaimana Mahisa Murti sendiri. "
Sebenarnyalah Mahisa Murtilah y ang ingin menggantikan
saudaranya menghadapi anak saudara seperguruan Arya Kuda
Cemam itu. Namun melihat sikap anak muda yang datang
untuk bertanding itu, Mahisa Murti merasa bahwa ia memang
harus berhati-hati.
Sementara itu saudara seperguruan Arya Kuda Cemani
itupun berkata "Jadi akan kau lay ani anak ini?"
"Ia juga sudah merendahkan harga diri ayah dan harga
diriku. Aku condong untuk meny elesaikan anak ini lebih
dahulu. Sudah aku katakan, bahwa Sasi sama sekali tidak
penting bagiku. Aku juga belum pernah mengenalnya dan
apalagi tertarik kepadanya. "
-
Namun Arya Kuda Cemanilah yang menyahut "Jadi kalian
datang sekedar untuk mengacaukan upacara ini?"
"Tidak " jawab anak muda itu "sudah aku katakan pula. Aku
dan ayah tidak mau direndahkan, dikesampingkan dan sama
sekali tidak dihargai. Itu saja. "
"Dengan cara y ang menarik sekali" desis Mahisa Murti
kemudian.
"Ya, itu adalah cara yang telah kami pilih" jawab anak muda
itu masih dengan nada datar."
"Baiklah, apapun alasanmu, aku tidak akan menarik
kesediaanku untuk m elayanimu. Tetapi sebaiknya kita tidak
mengganggu upacara ini, maka jalan y ang kau pilih itu akan
kita lakukan ditempat lain. Bukankah kau tidak
mempedulikan apa y ang terjadi atas Sasi?" berkata Mahisa
Murti.
Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia
menjawab "Tidak. Semuanya harus t erjadi di sini. Calon
pengantin itu harus mengetahui, bahwa ia sebenarnya tidak
berharga sama sekali dimata ayahku. Kau tidak akan dapat
memancing aku pergi dari tempat ini. Kecuali sebagaimana
dikatakan oleh ayahku, semua Senapati dan Panglima yang
ada disini dan berilmu tinggi bersama-sama mengusir kami
berdua dengan kekerasan. Kami tentu akan pergi, namun
dengan demikian harga diri keluarga ini akan terinjak-injak
oleh langkah kami saat kami keluar regol halaman rumah ini."
-
Wajah Mahisa Murti menjadi semburat merah oleh gejolak
perasaan didadanya. Namun ia masih berusaha menguasai
perasaannya. Karena itu, maka iapun bertanya "Ki Sanak.
Apakah menurut pendapatmu pantas jika diruang dalam
upacara pengantin sudah siap dilakukan sedang dihalaman
terjadi perkelahian?"
"Itulah y ang menarik" jawab anak muda itu "tetapi terserah
kepada kalian. "
Mahisa Bungalan y ang kemudian juga turun dari tangga
pendapa m enggeretakkan giginya. Hampir saja ia kehilangan
kesabaran. Namun ia justru kagum melihat Mahisa Murti
masih dapat menahan diri.
Tetapi Mahisa Murtipun kemudian berkata lantang
"Baiklah. Kami akan memberikan suguhan tontonan terbaik
yang pernah diselenggarakan dalam upacara pengantin. Apa
boleh buat. "
Orang-orang y ang menyaksikan menjadi tegang. Mereka
memang melupakan sepasang pengantin yang sudah siap
melakukan upacara.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat memang mendengar
keributan yang terjadi. Bahkan ia sudah hampir meninggalkan
tempatnya. Namun mPu Sidikaralah yang kemudian
mendekatinya. Ia berterus terang mengatakan apa terjadi.
Iapun mengatakan keputusan yang sudah diambil oleh Mahisa
Murti untuk mewakilinya
-
Mahisa Pukat menggeretakkan giginya. Tetapi beberapa
orang telah mencegahnya, agar ia tidak meninggalkan
tempatnya. Segala persiapan sudah dilakukan, sehingga
karena itu, maka kedua orang pengantin itu harus dilindungi
dari segala macam gangguan.
Di halaman Mahisa Murti sudah siap menghadapi anak
muda yang berwajah bersih dan bermata tajam berkilat -kilat
itu. Namun sikapnya dingin dan berbicara dengan nada yang
datar.
Arya Kuda Cemani m emang tidak dapat mencegahnya. Ia
juga tidak mau dihinakan. Karena itu, maka ia
berpengharapan bahwa Mahisa Murti akan berhasil m ewakili
saudaranya. Bahkan didalam hati Arya Kuda Cemani sudah
bertekad, jika Mahisa Murti gagal, m aka ia akan m enantang
saudara seperguruannya itu dalam pertandingan yang sama
sebagaimana dilakukan oleh anak saudara seperguruannya itu
dengan Mahisa Murti.
Namun demikian, ketika halaman rumah Arya Kuda
Cemani y ang sedang melaksanakan upacara pernikahan
anaknya itu berubah menjadi arena perang tanding, maka
Arya Kuda Cemani sempat m emberikan sedikit sesorah. Arya
Kuda Cemani mohon maaf kepada orang-orang y ang telah
diundangnya untuk m enghadiri upacara pernikahan anaknya.
Bahkan termasuk utusan Sri Baginda Maharaja.
Namun para Senapati dan Panglima, serta para pejabat,
-
yang hadir ditempat itu ternyata sama sekali tidak merasa
berkeberatan. Bukan karena mereka senang menyaksikan
perkelahian, tetapi merekapun mengerti, bahwa Arya Kuda
Cemani tidak mempunyai pilihan lain. Saudara
seperguruannya sudah m enyudutkannya, sehingga apa yang
terjadi itu tidak dapat dihindari.
Meskipun demikian, orang-orang yang kemudian
menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Sikap
anak muda yang menantang calon pengantin itu sangat
meyakinkan. Sikapnya, wajahnya, pandangan matanya dan
kata-kata yang meluncur dari mulutnya.
Tanpa-diminta, maka orang -orang itu telah berharap,
bahkan berdoa agar Mahisa Murti dapat mengatasi anak muda
itu.
Mahisa Murti sendiri m emang menjadi berdebar-debar. Ia
merasa bahwa ia harus sangat berhati-hati. Lawannya yang
berilmu tinggi itu tentu tidak akan begitu saja mengaku kalah
seandainya Mahisa Murti dapat mendesaknya.
Demikianlah, maka dengan sendiriny a telah terbentuk satu
arena di halaman rumah Arya Kuda Cemani. Para tamu telah
turun dari pendapa dan berdiri melingkar di halaman.
Mahendra y ang berdiri disebelah Arya Kuda Cemani juga
menjadi tegang seperti Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan
Mahisa Bungalan sempat menahan nafas. Sudah lama ia tidak
bertemu dan menyaksikan kemampuan adiknya. Apalagi
-
ketika ia melihat lawannya yang demikian yakin akan diriny a.
Sementara itu diruang dalam, beberapa orang berusaha
untuk menenangkan Mahisa Pukat y ang gelisah. Ia sendiri
ingin turun untuk menyatakan bahwa dirinya tidak hanya
sekedar menompang kemampuan orang lain, meskipun orang
lain itu adalah saudaranya sendiri.
Dalam pada itu, maka perkelahian di halaman itupun sudah
dimulai. Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani ju stru
berdiri didalam arena. Ketika kedua anak muda itu mulai
bergerak, maka orang itupun berkata "Buktikan, bahwa kau
bukan cucurut y ang pantas disingkirkan begitu saja.
Tunjukkan kepada mereka, bahwa kau juga mempunyai harga.
Selanjutnya, kau boleh saja. tidak peduli terhadap gadis itu
jika kau menganggap gadis itu tidak berharga bagimu."
Yang menggertakkan giginya adalah Mahisa Bungalan.
Dengan lantang ia berkata "Murti. Jika kau gagal, maka kaulah
cucurut itu."
Mahisa Murti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Meskipun
tidak terucapkan, ia berjanji kepada kakaknya Mahisa
Bungalan, bahwa ia tidak ingin menjadi cucurut itu.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah m empersiapkan
diri sebaik-baiknya. Justru ia menyadari, bahwa lawannya
tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.
Karena saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu tidak
keluar dari arena, maka Mahisa Bungalan yang sulit untuk
-
mengekang dirinya itupun telah berada didalam arena pula. Ia
akan mengimbangi apapun y ang akan dilakukan oleh saudara
seperguruan Arya Kuda Cemani itu.
Namun di luar arena, Arya Kuda Cemani sendiri sudah
bersiap sepenuhnya. Ia akan menghadapi saudara
seperguruannya itu jika ia akan ikut campur.
Mahendrapun menjadi tegang. Ia bukan saja m emikirkan
Mahisa Murti. Tetapi ia juga memikirkan perasaan Mahisa
Pukat. Namun Mahendra berharap bahwa mPu Sidikara yang
masuk keruang dalam dapat menenangkan Mahisa Pukat.
Upacara y ang sudah disiapkan itu memang tertunda. Tetapi
Mahisa Pukat tidak beranjak dari tempat y ang disediakan
baginya.
Namun seandainya yang mewakilinya bukan Mahisa Murti,
mungkin Mahisa Pukat tidak akan dapat dicegah lagi.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan anak muda y ang
datang bersama ayahnya itu sudah bersiap untuk bertanding.
Keduanya mulai bergeser berputaran. Orang-orang yang
berada di luar arena mulai menahan naias. Kedua anak muda
itu seakan-akan memang telah disiapkan untuk turun ke
gelanggang pertandingan. Kedua-duanya nampak
meyakinkan. Besar tubuh m ereka tidak terpaut banyak. Jika
pandangan mata anak muda yang datang bersama ay ahnya itu
tajam berkilat-kilat, maka mata Mahisa Murti bagaikan
bercahaya memandang lawannya itu.
-
Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu sudah mulai
sal ing meny erang. Mereka masih berusaha untuk saling
menjajagi. Karena itu, maka serangan-serangan mereka masih
belum terasa berbahaya.
Namun sentuhan-sentuhan yang terjadi sudah
mengisy aratkan bagi mereka berdua, bahwa mereka
berhadapan dengan lawan yang memiliki kekuatan y ang besar
serta kemampuan y ang tinggi.
Saudara sepreguruan Arya Kuda Cemani nampak terlalu
yakin akan kemampuan anaknya.
Karena itu, maka sikapnya menjadi sangat meyakinkan
pula. Ia sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Mahisa
Bungalan didalam arena dan bahkan tidak mempedulikan
sama sekali orang-orang y ang berdiri disekitar arena itu,
termasuk utusan Sri Baginda Maharaja di Singasari.
Bahkan kemudian saudara seperguruan Arya Kuda Cemani
itu berkata kepada anaknya "Kau tidak usah bertenggang rasa.
Jika kau dapat melumpuhkannya selama sekejap, lakukanlah.
Biarlah orang-orang yang menyaksikan yakin, bahwa kau
memang pantas untuk dihormati melampaui calon m enantu
Kuda Cemani y ang sombong itu. Jika kemudian kau tidak
mempedulikan anak Kuda Cemani, itu akan semakin
meyakinkan mereka, bahwa kau datang dituntun oleh harga
dirimu. Bukan oleh nafsu untuk merebut perempuan itu."
Mahisa Bungalan hanya dapat menggeretakkan giginya.
-
Namun ia benar-benar berharap bahwa Mahisa Murti jangan
mengecewakan keluarganya dan keluarga Arya Kuda Cemani.
Dalam pada itu, perkelahian antara kedua orang anak muda
itu semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya bergerak
dengan tangkas dan cepat. Kemudian m ereka nampak dalam
setiap unsur di tataran gerak mereka.
Seperti dikehendaki oleh ay ahnya, maka anak muda itu
memang berniat untuk dengan cepat meny elesaikan Mahisa
Murti. Semakin cepat, maka kemampuannya akan semakin
nampak lebih tinggi.
Tetapi ternyata bahwa lawannya cukup liat. Mahisa Murti
tidak dapat dengan mudah ditundukkan. Bahkan semakin
lama justru menjadi semakin sulit, sehingga mereka telah
memasuki tataran y ang semakin tinggi.
Sikap saudara seperguruan Arya Kuda Cemani memang
sangat menyakitkan hati Mahisa Murti. Karena itu, maka ia
tidak membiarkan lawannya itu mendesaknya. Setiap kali
lawannya itu meningkatkan ilmunya selapis, maka Mahisa
Murtipun telah melakukannya pula.
Wajah-wajah yang ada disekitar arena itu menjadi tegang.
Apalagi Arya Kuda Cemani sendiri. Bahkan semakin lama ia
menyaksikan pertempuran itu, maka wajahnya menjadi
semakin tegang.
Mahendra melihat ketegangan itu. Hampir diluar sadarnya
ia berdesis "Mu dah-mudahan Mahisa Murti memiliki
-
kemampuan setidak-tidaknya mengimbangi kemampuan anak
muda itu.
"Aku tetap berpengharapan" jawab Arya Kuda Cemani
"angger Mahisa Murti memiliki kelebihan jauh diatas
kebanyakan anak-anak sebayanya."
"Tetapi anak muda itu sungguh meyakinkan" desis
Mahendra.
"Yang m enarik perhatian, ilmu anak itu bukan keturunan
ilmu dari perguruan kami. Ia tentu tidak sekedar berguru
kepada ayahnya. Aku kenal betul unsur-unsur dari ilmu
perguruan kami sendiri. Aku m engenali kemampuan saudara
seperguruanku itu seperti aku mengenali kemampuanku
sendiri. " desis Arya Kuda Cemani.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya yang akan
terlibat bukan sekedar saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani sendiri.
"Jika anak muda y ang bertempur dengan Mahisa Murti itu
berasal dari satu perguruan, maka perguruan itu akan dapat
melibatkan diri ke dalam persoalan y ang sebenarnya sangat
terbatas dan pribadi itu.
Ternyata bukan hanya Mahendra saja yang menjadi cemas
karenanya. Arya Kuda Cemanipun kemudian berkata "Salahsalah,
perguruan anak muda itu akan dapat ikut tersinggung
karenanya."
"Apa boleh buat. Untungnya Mahisa Murti juga berpijak
-
pada sebuah padepokan meskipun terhitung baru, sehingga
belum melahirkan murid-murid y ang berilmu tinggi."
"Ki Mahendra. Bukan maksud kami melibatkan angger
Mahisa Murti. Apalagi perguruannya yang sedang tumbuh
itu."
"Aku mengerti Raden. Tetapi memang tidak ada pilihan
lain " jawab Mahendra.
Demikianlah, maka Mahisa Murti telah terlibat kedalam
satu pertempuran y ang menjadi semakin sengit. Ternyata anak
muda itu m emang m emiliki kelebihan dari anak-anak muda
yang lain. Serangan-serangannya datang beruntun seperti
ombak ditepian.
Sekali-sekali pertahanan Mahisa Murti memang
terguncang. Namun setiap kali, Mahisa Murti m enjadi kokoh
kembali seperti batu karang y ang tidak tergetar oleh debur
ombak y ang garang.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai
mengerutkan dahinya. Menurut penglihatannya, Mahisa Murti
masih saja mampu mengimbangi kemampuan anaknya. Setiap
kali anaknya meningkatkan ilmunya, maka lawannya itupun
telah melakukannya pula. Karena itu, demikian anaknya
bergerak lebih cepat, maka lawannyapun seakan-akan menjadi
lebih tangkas.
Beberapa kali anak muda itu kehilangan kesempatan.
Serangannya y ang nampaknya sangat mapan, namun sama
-
sekali tidak mengenai sasaran. Bahkan setiap kali serangannya
menjadi sia -sia saja.
Semakin lama darah anak muda itu rasa-rasanya menjadi
semakin panas. Setelah berguru b ertahun-tahun, maka ketika
ilmunya diuji di arena, ternyata tidak dengan cepat dapat
menyelesaikan lawannya.
Sementara itu, Mahisa Murti semakin lama semakin
mengenali tataran kemampuan ilmu anak m uda itu. Mahisa
Murti memang harus mengakui, bahwa landasan ilmu anak
muda itu memang sangat mey akinkan. Tetapi karena anak
muda itu m asih belum m emiliki banyak pengalaman, m aka
ilmunya masih belum berkembang. Anak itu dengan setia
mengikuti segenap tatanan dari unsur-unsur gerak yang
dikuasainya. Namun berhadapan dengan Mahisa Murti yang
sudah memiliki pengalaman yang sangat luas, maka anak
muda itu mulai mengalami kesulitan.
Beberapa kali serangan-serangan y ang sudah
diperhitungkan dengan masak-sesuai dengan wewaton dari
unsur -unsur gerak y ang telah dipelajarinya, ternyata hasilnya
tidak sebagaimana diperhitungkan.
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai
berkerut. Sebagai seorang y ang berilmu tinggi, ia mengerti
kelemahan anak-anak muda y ang baru keluar dari perguruan.
Ia sudah memberikan banyak sekali petunjuk. Bahkan latihanlatihan
khusus bagi anaknya agar anaknya mampu
-
mengetrapkan ilmunya dalam benturan yang sebenarnya
terjadi. Bukan sekedar latihan-latihan y ang t eratur. Ia sudah
memberikan berbagai macam pesan, bahkan ia sendiri telah
bersama-sama berada di sanggar dengan anaknya untuk
menempanya agar ilmu y ang dimiliki anaknya itu dapat
ditrapkan dalam benturan ilmu yang sebenarnya.
Namun saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu harus
mengakui bahwa anak muda y ang seakan-akan mewakili calon
menantu Arya Kuda Cemani itu memiliki ilmu yang tinggi
sekaligus pengalaman yang luas.
Karena itu, maka ia tidak akan dapat berharap anaknya
dapat memenangkan pertempuran itu jika ia tidak
mempergunakan ilmu puncaknya. Ilmu pada tataran tertinggi
yang diwarisinya dari gurunya.
Ayahnya itu mengetahui betapa dahsy atnya ilmu itu.
Karena itu, maka orang yang dikenai ilmu itu, jarang sekali
yang akan mampu bertahan. Sentuhan tangan anaknya pada
puncak ilmunya akan dapat mematahkan tulang dan
melumatkan isi dada. Sedangkan pada sisi y ang lain dari
ilmunya itu dapat m embuat telapak tangannya itu bagaikan
membara. Sentuhan telapak tangannya akan dapat
menghanguskan kulit daging lawannya. Bahkan jika
tangannya itu sempat mencekik leher, maka lawannya tidak
akan berharap untuk dapat meny elamatkan diri.
Untuk beberapa saat orang itu masih ingin meyakinkan
-
seberapa jauh kemungkinan y ang dapat digapai oleh anaknya.
Namun ketika serangan-serangan Mahisa Murti mulai
mengenai tubuhnya, maka orang itu y akin, bahwa anaknya
harus mempergunakan ilmu puncaknya untuk melumpuhkan
lawannya.
Sebenarnyalah bahwa serangan Mahisa Murti mulai
mengenai tubuh lawannya. Kakinya sempat menyusup diselasela
pertahanan anak muda itu y ang terbuka, justru saat ia
menyerang.
Mahisa Murti yang merendahkan diri untuk menghindari
sambaran tangan lawannya melihat bahwa bagian samping
dada lawannya itu terbuka. Karena itu, maka dengan cepat
Mahisa Murti menyerang dengan kakinya menyamping.
Demikian kaki Mahisa Murti itu menghantam bagian
samping dada lawannya, maka anak itu terputar sekali.
Hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya.
Namun ternyata bahwa ia
cukup tangkas untuk
kemudian tegak kembali.
Tetapi Mahisa Murti tidak
memberinya kesempatan.
Dengan cepat ia memburu
lawannya. Demikian lawannya
mengatasi goncangan
-
keseimbangannya dan tegak
kembali, maka Mahisa Murti
telah meny erangnya pula.
Dengan demikian, maka
lawan Mahisa Murti itu harus
meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak, agar
ia sempat memperbaiki kedudukannya.
Mahisa Murti y ang sudah siap meloncat memburunya
terkejut. Ia melihat telapak tangan anak muda itu berasap
tipis. Namun ketajaman penglihatan matanya serta landasan
pengalamannya, segera menahannya untuk tidak segera
meloncat meny erang.
Dengan tegang Mahisa Murti m emandang telapak tangan
anak muda itu. Ia melihat telapak tangan itu bagaikan menjadi
bara. Kemerah-merahan dan asap tipis nampak mengepul dari
telapak tangan itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian menyadari, bahwa sentuhan telapak tangan
lawannya itu akan dapat membakar kulitnya. Namun
berdasarkan atas pengalaman serta pengetahuannya tentang
berbagai macam ilmu dari orang-orang berilmu tinggi yang
dikenalnya, maka ilmu itu y ang dapat melukai tubuh lawannya
dengan sentuhan api hanyalah telapak tangannya saja.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti harus menjadi
sangat berhati-hati. Sebenarnya ia dapat menghentikan
-
perlawanan anak muda itu dengan serangannya jarak jauh.
Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menghancurkannya. Anak itu
belum tentu seorang yang berhati hitam. Mungkin ia
terdorong oleh keinginannya untuk mencoba ilmunya.
Dipanasi pula dengan sikap ayahnya y ang agaknya memang
tinggi hati itu. Maka anak muda itu telah langsung terjerumus
kedalam pertempuran melawan seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi serta pengalaman yang luas.
Namun Mahisa Murti tidak mau membiarkan dirinya
terbakar oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka Mahisa Murti
telah mengetrapkan ilmunya yang mempunyai daya
kemampuan menghisap ilmu lawannya.
Meskipun demikian, Mahisa Murti menyadari sepenuhnya
bahwa tubuhnya tidak boleh ter sentuh telapak tangan
lawannya. Justru ialah yang harus berusaha sebanyak
mungkin bersentuhan dengan tubuh anak muda itu, tetapi
tidak di telapak tangannya yang m enjadi kemerah-merahan
itu.
Pertempuran selanjutnya menjadi semakin cepat. Mahisa
Murti lebih banyak berloncatan menghindar. Namun
kemudian dengan tiba-tiba saja menggapai lawannya untuk
menyentuh bagian tubuhnya yang manapun juga.
Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Murti telah
menerobos pertahanan anak muda itu mengenai pundaknya.
Pundaknya memang terasa sakit. Anak muda itu m eloncat
-
surut. Namun dengan cepat ia dapat m engatasi rasa sakit itu.
Bahkan kemudian dengan garang ia telah meloncat meny erang
dengan kedua telapak tangannya terbuka.
Orang-orang yang ada disekitar arena itu menjadi
berdebar-debar. Mereka seolah-olah melihat pertempuran
yang tidak seimbang. Apalagi Mahisa Murti masih juga tidak
menarik pedangnya meskipun lawannya sudah mengetrapkan
ilmu puncaknya. Sementara itu, mereka masih belum melihat,
bahwa Mahisa Murti juga mempergunakan ilmu andalannya.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani mulai dapat
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat anaknya beberapa kali
mendesak lawannya. Meskipun serangan-serangan lawannya
sempat meny entuh tubuhnya, tetapi serangan-serangan itu
sama sekali tidak berbahaya bagi anaknya.
Apalagi ketika telapak tangan anaknya sempat meny entuh
lengan Mahisa Murti, sehingga Mahisa Murti terkejut
karenanya. Dengan serta m erta ia meloncat menjauh. Terasa
lengannya menjadi sangat panas. Luka bakar membekas
dilengannya. Kulitnya nampak terkelupas meskipun luka itu
tidak terlalu besar.
"Telapak tangannya akan segera meny entuh wajahmu.
Kemudian lehermu dan seluruh tubuhmu" berkata saudara
seperguruan Arya Kuda Cemani itu.
Tetapi Mahisa Murti menjadi semakin berhati-hati.
Meskipun ia sudah terluka, tetapi ia tidak menarik pedangnya.
-
Ia masih akan menghentikan perlawanan anak muda itu
dengan cara y ang lain.
Pertempuranpun segera menyala lagi ketika anak muda itu
meloncat meny erang Mahisa Mutti. Kedua telapak tangannya
menggapai-gapai. Bahkan anak muda itu berusaha untuk
menangkap tubuh Mahisa Murti. Jika ia berhasil m enangkap
Mahisa Murti, maka untuk beberapa saat lamanya, telapak
tangannya akan membakar tubuh lawannya itu, sehingga
genggaman tangannya akan semakin membenam ditubuh
lawannya itu sampai ke tulang.
Tetapi tidak mudah untuk menangkap Mahisa Murti.
Meskipun lengan Mahisa Murti telah terluka, tetapi Mahisa
Murti m asih tetap dengan tangkas berloncatan. Sekali-sekali
tangannya mengenai pundaknya, lengannya dan bahkan
kadang-kadang kakinya yang menyapu dengan cepat, sempat
mengenai paha anak muda itu.
Tetapi anak muda itu sama sekali tidak m enjadi kesakitan.
Meskipun sekali-sekali ia harus menyeringai karena serangan
Mahisa Murti yang dapat m engenainya, tetapi dengan cepat
perasaan sakit itu selalu dapat diatasinya.
Bahkan Mahisa Murtilah y ang harus m eloncat surut ketika
serangan kakinya berhasil ditangkis oleh lawannya. Betisnya
justru telah tersentuh telapak tangan anak muda itu, sehingga
terluka.
Luka bakar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ny eri di
-
lengannya dan di betisny a itu memang membuat Mahisa Murti
bukan saja sakit kulitnya, tetapi juga sakit hatinya.
Itulah sebabny a, maka selain ilmunya y ang mampu
menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya, maka Mahisa
Murti telah meningkatkan tenaga dalamnya, sehingga
serangan-serangannya menjadi semakin garang. Sentuhansentuhan
serangannya yang sempat menembus pertahanan
anak muda itu bukan saja sekedar m eny entuh, tetapi ketika
kaki Mahisa Murti sempat mengenai lambungnya, anak itu
benar-benar telah terlempar jatuh.
Dengan kerasnya anak muda itu terbanting. Sekali ia
berguling ditanah. Dengan tangkasny a ia segera berusaha
untuk meloncat bangkit.
Mahisa Murti sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya
anak muda itu tegak berdiri sambil mempersiapkan diri untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Namun tubuh anak muda itu mulai terasa aneh.
Lambungnya memang merasa sakit sekali. Tendangan Mahisa
Murti tidak sekedar menyentuhnya sebagaimana seranganserangan
sebelumnya. Tetapi serangan itu benar-benar
menyakitinya.
Namun y ang membuatnya gelisah bukannya perasaan sakit
dilambungnya itu. Tetapi sendi-sendiny a terasa mulai
melemah. Tenaganya serasa dengan cepat susut, sehingga
kekuatannyapun menjadi jauh berkurang.
-
Anak muda itu menjadi heran atas dirinya sendiri. Ia sudah
ditempa didalam sanggar dengan latihan-latihan y ang berat. Ia
sudah terbiasa berada didalam sanggar dan berlatih sehari
suntuk bahkan lebih tanpa berhenti. Tetapi di arena itu, ia
baru bertempur beberapa lama, tenaganya sudah mulai
menjadi susut.
Anak muda itu memang merasa telah mengerahkan
segenap tenaga dan kemampuannya untuk mengimbangi
lawannya. Bahkan kemudian dengan i lmu puncaknya. Tetapi
bahwa tenaganya dengan cepat susut, adalah diluar
perhitungannya.
Namun selagi tangannya masih membara, m aka ia masih
merasa y akin, bahawa ia akan dapat m engalahkan lawannya
betapapun lawannya itu bergerak dengan cepat dan dengan
tenaga y ang sangat kuat.
Namun ketika kemudian anak muda itu m ulai bertempur
lagi, ia menjadi semakin merasa, betapa tenaganya benarbenar
telah menyusut dengan cepat.
Mahisa Murtipun mulai melihat keadaan lawannya.
Meskipun anak muda itu masih berusaha untuk tetap garang,
tetapi sebenarnya bahwa ia sama sekali sudah tidak berbahaya
lagi. Warna bara ditangannyapun sudah mulai memudar,
meskipun asap tipis masih nampak samar-samar. Meskipun
demikian, Mahisa Murti masih harus menghindarinya karena
telapak tangan itu masih akan dapat membakar kulitnya.
-
Ketika anak muda itu mulai bergeser mendekat, Mahisa
Murti masih berdiri saja ditempatnya. Meskipun kulitnya
sudah terluka serta panas dan ny eri telah menyengatnya,
namun Mahisa Murti masih berusaha untuk menahan diri.
Sampai dibatas perkelahian itu, beberapa orang mulai
menarik nafas dalam-dalam. Arya Kuda Cemani yang
mengetahui kelebihan Mahisa Murtipun mengangguk-angguk.
Ia melihat luka ditubuh Mahisa Murti. Tetapi ia melihat bahwa
tenaga lawannya telah jauh menyusut.
Arya Kuda Cemani yang m engenal Mahisa Murti dengan
baik, benar-benar telah mengaguminya. Meskipun tubuhnya
telah terluka, tetapi anak muda itu tidak membiarkan dirinya
hanyut oleh arus perasaannya.
Sejenak kemudian pertempuranpun telah terjadi lagi. Anak
muda itulah yang telah meny erang Mahisa Murti. Namun
Mahisa Murti tidak lagi banyak mengalami kesulitan. Dengan
tangkasnya ia menghindari setiap serangan. Namun kemudian
dengan cepat pula ia justru telah menyerang. Beberapa kali
Mahisa Murti berhasil menembus pertahanan lawannya
sehingga beberapa kali pula ia dapat mengenainya. Sementara
itu, telapak tangan lawannya y ang semakin m emudar tidak
lagi mampu menggapai dan meny entuh tubuh Mahisa Murti.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani melihat
perubahan y ang tiba -tiba t erjadi atas anaknya itu. Sebagai
seorang yang memiliki pengalaman yang luas, maka orang itu
-
tiba -tiba telah berteriak "He, ternyata kau telah berlaku
curang. "
Mahisa Murti segera tanggap. Saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani itu telah mengetahui bahwa ia telah
mempergunakan ilmu yang mampu menghisap tenaga dan
kemampuan lawannya.
Ju stru karena itu, maka Mahisa Murtipun telah meloncat
surut untuk mengambil jarak dari lawannya.
Sementara itu, lawannyapun nampak menjadi semakin
letih. Ia memang berusaha untuk memburu Mahisa Murti,
tetapi langkahnya sudah mulai nampak gontai.
"Cukup, berhentilah" teriak saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani itu
"Kenapa?" bertanya anaknya "aku sudah hampir
menguasainya. Ia akan segera menyadari kekalahannya."
"Tidak " jawab ayahnya.
Wajah anaknya menjadi merah. Namun sebenarnyalah
bahwa anak muda itu sudah menjadi semakin lemah. Ketika ia
melangkah maju, maka langkahnya sudah menjadi goy ah.
Beberapa orang y ang berilmu tinggi yang hadir di
pertemuan itu benar-benar m erasa kagum terhadap Mahisa
Murti. Mereka m engetahui, ilmu apa y ang dimiliki oleh anak
muda itu. Ilmu y ang sudah jarang sekali terdapat di dunia olah
kanuragan. Yang lebih mereka kagumi adalah, bahwa anak
muda itu tidak m engetrapkan ilmunya dengan semena-mena.
-
Ia tidak memperlakukan lawannya dengan sewenang-wenang,
apalagi karena Mahisa Murti itu sudah dilukai. Mahisa Murti
itu masih t etap dapat mengendalikan dirinya disaat ia berdiri
diambang kemenangan.
Dalam pada itu, maka saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itupun telah melangkah mendekati Mahisa Murti
sambil berkata "Ternyata kau bukan seorang yang jantan. "
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau telah mempergunakan ilmu yang sangat licik. Kau curi
perlahan-lahan kekuatan dan kemampuan anakku, sehingga
sampai pada suatu saat anakku kehabisan tenaga dan
kemampuan." berkata saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "seorang pencuri
mengambil m ilik orang lain dengan diam-diam, justru diluar
pengetahuan pemiliknya y ang mungkin sedang tidur atau
sedang bepergian atau sedang melakukan satu hal sehingga ia
tidak melihat pencuri itu. Tetapi yang aku lakukan adalah satu
perbuatan y ang langsung terjadi dihadapan pemilik k ekuatan
dan kemampuan itu. Ia tidak sedang tidur atau sedang lengah
atau sedang berpaling sekalipun. Kita justru sedang
bertempur, sementara anakmu telah membakar telapak
tangan dengan inti kekuatan api yang diserapnya dari udara
disekelilingnya. Nah, apakah dengan demikian aku dapat
disebut curang? Justru setelah kulitku terbakar dilengan dan
-
betis sehingga terkelupas."
"Apapun alasanmu, tetapi kau trapkan ilmumu tanpa
setahu anakku," jawab orang itu.
"Sebenarnya tergantung dari sisi mana kita memandang.
Kau dapat menganggap aku licik. Tetapi orang lain dapat saja
menganggap bahwa anakmulah yang terlalu dungu, sehingga
ia tidak mengetahui bahwa ia sedang berhadapan dengan
salah satu jeni s ilmu yang dapat menghisap kekuatan dan
kemampuannya.
"Cukup" teriak saudara seperguruah Arya Kuda Cemani
"apapun y ang kau katakan, tetapi kecuranganmu harus
dihukum."
Wajah Mahisa Murti menjadi tegang. Dengan nada berat ia
bertanya "Apa maksudmu Ki Sanak. Apakah kau merasa
berhak menghukum aku?"
Tentu jawab orang itu.
Tetapi terdengar jawaban Arya Kuda Cemani "Tidak. Kau
tidak berhak menghukumnya. Kecuali ia tidak bersalah, maka
tempat ini adalah tempat tinggalku. Aku mempunyai
wewenang lebih besar dari siapapun y ang ada disini. "
"Aku tidak peduli" jawab saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu. Lalu katanya "Ada atau tidak ada wewenang,
tetapi aku akan menghukumnya. Ia sudah menciderai anakku
dengan licik. Bahkan tidak bertanggung jawab sama sekali,
sehingga anakku kehilangan sebagian besar dari tenaganya."
-
Bukankah akibat y ang demikian seharusny a sudah
diperhitungkan sejak pertandingan akan dimulai? Salah
seorang diantara m ereka yang bertanding akan dapat kalah
atau menang. Kemungkinan ketiga adalah tidak ada yang
kalah dan tidak ada y ang menang. Jadi, jika anak kakang
kalah, itu adalah akibat wajar dari satu pertandingan."
"Tetapi tidak dengan licik" teriak saudara seperguruan Arya
Kuda Cemani.
"Tidak ada y ang licik," jawab Arya Kuda C emani "aku tahu
bahwa angger Mahisa Murti mempunyai kemampuan jauh
dari y ang diperlihatkan saat ini. Bahkan seandainya kakang
sendiri y ang turun ke medan, maka kakang akan dapat
dihancurkan jika ia mau. Tetapi ilmu y ang telah
dipergunakannya adalah ilmu y ang paling lunak meskipun
akibatnya akan dapat m enjadi dahsyat sekali. Tetapi angger
Mahisa Murti t idak berbuat lebih banyak dari m enghentikan
pertandingan."
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu termangumangu.
Namun Arya Kuda Cerna nipun berkata "Kakang,
sebaiknya kakang tidak melakukan apa -apa terhadap angger
Mahisa Murti. Jika kakang memang ingin turun ke
gelanggang, maka biarlah aku y ang m elayaninya. Aku adalah
saudara seperguruan kakang. Kita saling mengetahui kekuatan
dan kelemahan kita masing -masing, sehingga satu diantara
kita tidak akan berbahaya bagi yang lain. Tetapi jika kakang
-
justru ingin melawan angger Mahisa Murti, maka kakang tentu
akan menyesalinya.
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu benarbenar
menjadi tegang. Dipandanginya anaknya, Mahisa Murti
dan Arya Kuda Cemani berganti-ganti. Bahkan kemudian
diedarkannya pandangan matanya. Baru saat itu, seakan-akan
saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu melihat, siapa saja
yang ada disekitarnya. Saudara seperguruan Arya Kuda
Cemani itu melihat beberapa pasang mata yang
memandanginya dengan tajam. Dari sorot matanya, maka
dapat diduga, bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang
berilmu tinggi. Sementara itu, Arya Kuda Cemani sendiri
sudah siap untuk melayaninya. Sedangkan orang yang berdiri
di sebelah Arya Kuda Cemani, meskipun umurnya sudah lebih
tua, namun dimatanya membayang kemampuannya yang
sangat tinggi.
Saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu berdiri
termangu-mangu. Sementara itu anaknya sudah menjadi
terlalu lemah untuk dapat bertempur lagi. Meskipun ia masih
berdiri tegak, tetapi ia sudah bukan apa-apa lagi bagi Mahisa
Murti.
Karena itu, maka peny esalan memang mulai merayapi
jantung saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu. Ia
memang tidak menyangka bahwa anaknya akan bertemu
dengan anak muda y ang memiliki ilmu y ang lebih tinggi.
-
Menurut pendapatnya, maka anaknya telah m ampu m ewarisi
ilmu y ang sulit dicari bandingnya. Dalam usianya y ang masih
muda, maka sulit ada anak muda sebayanya y ang mampu
mengimbanginya. Ia datang kerumah Arya Kuda Cemani
justru ingin memamerkan kelebihan anaknya itu. Tetapi yang
didapatkannya justru sebaliknya.
Arya Kuda Cemani y ang telah m eny inggung perasaannya,
karena ia sama sekali tidak memberitahukan kepadanya,
bahwa ia akan menikahkan anaknya perempuan, akan
dipermalukannya dihadapan orang banyak. Calon menantunya
akan direndahkan dan dihinakan. Bahkan kemudian anak
perempuan Arya Kuda Cemani itupun akan direndahkannya
pula dihadapan tamu-tamunya, karena ia sama sekali tidak
mengingininya.
Selagi saudara seperguruan Arya Kuda Cemani itu
termangu-mangu, maka Arya Kuda Cemani itupun berkata
"Kakang. Baiklah aku m emperkenalkan anak muda itu. Anak
muda yang sudah m enempatkan diri m enjadi lawan anakmu
itu adalah saudara laki-laki calon menantuku. Ia memiliki ilmu
dan kemampuan y ang seimbang dengan saudara laki-lakinya,
calon menantuku itu. Semua orang akan menjadi saksi, bahwa
seandainya calon menantuku sendiri y ang turun ke
gelanggang, maka akibatnya akan sama saja. Bahkan mungkin
calon menantuku tidak mampu m engekang diri sebagaimana
dilakukan oleh angger Mahisa Murti itu."
-
Wajah saudara seperguruan Arya Kuda Cemani terasa
menjadi sangat tebal. Namun kemudian tanpa berkata satu
patah katapun, ia telah menyambar tangan anaknya dan
ditariknya untuk meninggalkan tempat itu.
Tetapi sekali lagi ia terkejut. Anaknya itu hampir saja jatuh
tertelungkup. Ia tidak lagi mampu untuk berjalan terlalu cepat.
Ayahnya kemudian memang menyadari akan hal itu.
Karena itu, maka iapun m enjadi lebih berhati-hati. Bahkan
anak muda itu seakan-akan telah dipapah oleh ay ahnya keluar
dari reg ol halaman rumah Arya Kuda Cemani.
Beberapa saat setelah kedua orang itu hilang dari
pandangan, maka Arya Kuda Cemani cepat mempersilahkan
tamu-tamunya duduk kembali sambil minta maaf, bahwa telah
terjadi sesuatu y ang mengganggu pertemuan itu.
Meskipun kemudian para tamu itu memang duduk kembali,
tetapi suasananya sudah jauh berubah. Arya Kuda Cemani
memang tidak mempunyai cara untuk dapat memulihkan
kembali suasana. Meskipun demikian serba sedikit, para tamu
itu mulai memperhatikan upacara y ang memang sudah
disiapkan.
Meskipun terlambat, namun upacara itupun diteruskan
juga. Satu demi satu, tapak-tapak upacara itupun berlangsung
sesuai dengan ketentuan y ang harus dilakukan.
Sementara itu, Mahisa Murti yang terluka telah dibawa ke
ruang digandok rumah Arya Kuda Cemani. mPu Sidikaralah
-
yang menemaninya serta mengobatinya. Kulit Mahisa Murti
telah terkelupas, sementara dagingnya nampak kemerahan.
Luka bakar itu m emang tidak terlalu besar, tetapi perasaan
ny eri terasa semakin meny engat.
"Kau sudah mempertaruhkan nyawamu " berkata mPu
Sidikara.
"Tetapi bukankah aku m asih
tetap hidup ?" Mahisa Murti
justru bertanya.
mPu Sidikara menganggukangguk.
Katanya "Lukamu juga
tidak terlalu berbahaya
meskipun tentu terasa sakit
Mahisa Murti mengangguk
kecil. Tetapi sambil tersenyum ia
bertanya "mPu, apakah luka ini
akan membekas?
mPu Sidikarapun terseny um
pula. Katanya "Aku mempunyai
obat terbaik untuk
menghilangkan bekas luka
bakar.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Bahkan iapun
kemudian tertawa sambil berdesis "Jika ada noda-noda pada
kulitku, maka aku akan semakin dijauhi gadis-gadis."
-
mPu Sidikarapun tertawa pula sambil berkata "Tetapi luka
itu hanya terdapat dilengan dan di betis. Sementara itu
wajahmu masih tetap bersih dan menarik."
Mahisa Murti memang tertawa berkepanjangan. Namun
dibalik suara tertawanya terber sit perasaannya y ang pahit.
Bagaimanapun juga, sentuhan pernikahan Mahisa Pukat itu
tetap terasa pedihnya dihati Mahisa Murti.
Meskipun dalam suasana yang sudah sedikit berbeda,
namun upacara pernikahan itupun dapat diselesaikan dengan
selamat. Semua mata acara satu demi satu telah diselesaikan
dengan baik meskipun terlambat.
Dengan demikian, maka sejak hari itu, Mahisa Pukat tidak
lagi hidup sendiri. Ia sudah menginjak pada satu kehidupan
berkeluarga.
Namun untuk sementara maka Mahisa Pukat dan isterinya
akan tinggal bersama-sama dengan Mahendra y ang mendapat
tempat tinggal dibagian belakang istana. Sementara itu,
Mahisa Pukat sendiri juga bertugas di bagian lain dari istana
itu. Kasatrian.
Seperti y ang dikatakan, bahwa Mahisa Murti memang tidak
segera kembali. Bersama kedua orang adik angkatnya Mahisa
Murti akan tinggal sepekan lagi di Singasari
Waktu y ang sepekan itu sama sekali tidak menarik bagi
Mahisa Murti. Meskipun Mahisa Pukat masih berada dirumah
Arya Kuda Cemani, namun rasa -rasanya, udara Kotaraja itu
-
terlampau panas. Hari-hari dilalui oleh Mahisa Murti dengan
hati y ang kosong. Untunglah ada Mahisa Semu dan Mahisa
Amping y ang dapat mengisi waktunya dengan berbagai
macam kesibukan. Keduanya kadang-kadang minta Mahisa
Murti berjalan-jalan. Pergi ketempat-tempat y ang menarik
dan y ang belum sempat dilihatnya sebelumnya.
Tetapi Mahisa Murti memenuhi janjinya. Ia berada di
Singasari sampai batasnya. Sepekan. Bahkan hampir setiap
hari Mahisa Murti pergi mengunjungi Mahisa Pukat meskipun
hanya sebentar-sebentar.
Sambil menunggu batas waktu yang dijanjikan, mPu
Sidikara telah berhasil meny embuhkan luka -luka bakar
ditubuh Mahisa Murti. Meskipun masih nampak bekasnya
lamat-lamat, namun Mahisa Murti memang y akin, bahwa luka
itu tidak akan meninggalkan bekas dikulitnya.
"Kau m emang tabib y ang luar biasa, mPu " berkata Mahisa
Murti.
"Sama sekali tidak, " jawab mPu Sidikara.
"Kau dapat meny embuhkan lukaku dalam waktu y ang
sangat pendek. Dalam tiga hari lukaku sudah hampir hilang
sama sekali. Aku kira tabib y ang m anapun tidak akan dapat
berbuat demikian. Luka-luka bakar sebagaimana aku alami
itu, setidak-tidaknya m emerlukan waktu sepuluh hari untuk
menyembuhkannya. Belum lagi menghilangkan bekasbekasnya.
" berkata Mahisa Murti.
-
"Akulah yang seharusny a menjadi heran" berkata mPu
Sidikara "aku memang memerlukan waktu sepuluh hari untuk
menyembuhkan luka sebagaimana yang kau alami. Tetapi kau
memang aneh. Kulit dagingmu seakan-akan telah menyimpan
kekuatan peny embuhan yang luar biasa. Bahkan tanpa aku
obati pun dalam waktu tiga hari lukamu akan sembuh sendiri.
Kekuatan peny embuhan y ang belum pernah aku lihat
sebelumnya."
"Ah, kau jangan mengada -ada mPu " desis Mahisa Murti.
"Percay alah" jawab mPu Sidikara "kau m empunyai banyak
kelebihan dari orang lain. Sebenarnya aku ju stru ingin tahu,
apa yang meny ebabkan kau m emiliki kekuatan peny embuhan
seperti itu."
"Kau membuat aku menjadi besar kepala" sahut Mahisa
Murti.
"Yakinlah" jawab mPu Sidikara "pada kesempatan y ang
panjang k elak, aku ingin m engamati cara hidupmu. Apa saja
yang kau makan. Kebiasaan apa yang kau lakukan, jeni s air di
padepokanmu atau barangkali laku y ang selalu kau jalani.
"Tidak ada y ang aneh, mPu. Semuanya sebagaimana orang
lain. Aku makan nasi biasa. Minum air biasa. Kebiasaanku
sehari-hari sudah mPu lihat. Sekali-sekali aku berada di
sanggar. Lalu apa lagi ?"
mPu sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Jika
segalanya berlangsung seperti biasa, seperti kebanyakan
-
orang, maka kau memang memiliki keajaiban yang tidak
dimiliki orang lain."
"Ah, lagakmu seperti menimang anak-anak y ang sedang
belajar berjalan. " desis Mahisa Murti.
mPu Sidikara tertawa. Tetapi katanya "Aku bersungguhsungguh.
Aku tidak tahu bagaimana aku harus
mengatakannya. Tetapi sebenarnyalah demikian."
"Sudahlah. Biarlah aku saja y ang memuji mPu." berkata
Mahisa Murti.
"Tetapi pada suatu saat kau akan y akin akan kebenaran
kata-kataku." berkata mPu Sidikara selanjutnya.
"Terima kasih mPu. Jika apa y ang mPu katakan benar,
maka aku adalah orang y ang paling berbahagia didunia."
jawab Mahisa Murti sambil t ertawa.
mPu Sidikara m emang tidak dapat menahan tertawanya.
Namun sebenarnyalah mPu Sidikara merasa heran bahwa
dalam waktu yang sangat singkat, luka-luka bakar Mahisa
Murti sudah dapat sembuh. Padahal obat yang dipergunakan
adalah obat yang terbiasa dipergunakan juga. Sedangkan bagi
orang lain, peny embuhan luka seperti y ang dialami oleh
Mahisa Murti itu diperlukan waktu sekitar sepuluh hari,
meskipun pada hari kelima atau keenam luka itu sudah tidak
terasa ny eri lagi.
Sebaliknya Mahisa Murti juga merasa heran, bahwa mPu
Sidikara ternyata memiliki kemampuan pengobatan yang
-
sangat tinggi. Dalam waktu y ang pendek luka -lukanya telah
dapat disembuhkan.
Demikianlah akhirnya Mahisa Murti memasuki hari-hari
terakhir di Singasari. Pada malam terakhir, Mahisa Murti
sempat berjalan-jalan dengan mPu Sidikara, sementara
Mahisa Semu dan Mahisa Amping ditinggalkannya dirumah
Arya Kuda Cemani untuk menemani Mahisa Pukat. Meskipun
rumah Arya Kuda Cemani masih nampak ramai, namun
keramaian itu sudah jauh menyusut, sehingga terasa menjadi
semakin lengang.
Ber sama mPu Sidikara, Mahisa Murti telah menyusuri
jalan-jalan Kotaraja. Namun mereka berjalan terus bahkan
melewati pintu gerbang kota.
Jalan memang menjadi semakin sepi dan gelap. Tidak lagi
banyak terdapat obor di pintu-pintu reg ol halaman. Meskipun
demikian, masih juga nampak kerelip obor digardu-gardu
perondan.
Sepinya m alam itu terasa begitu tenang dan sejuk dihati
Mahisa Murti Desah angin didedaunan membuatnya semakin
segar. Luka-lukanya benar-benar telah sembuh sama sekali.
Keduanya terhenti, ketika didepan mereka terbentang bulak
yang panjang. Dengan nada rendah mPu Sidikara bertanya
"Apakah kita akan berjalan terus, atau kembali ke kota ?"
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Marilah kita kembali saja. Mahisa Semu dan Mahisa
-
Amping nanti terlalu lama menunggu. "
"Marilah " jawab mPu Sidikara "bulak dihadapan kita itu
agaknya sama saja dengan bulak-bulak y ang lain. Apalagi
dalam keremangan m alam. Yang nampak hanyalah kunangkunang
y ang berkeredipan didaun padi. Ratusan, bahkan
ribuan sehingga kadang-kadang nampak seperti bongkahbongkah
bara yang kebiru-biruan.
Namun ketika mereka sudah mulai berbalik, terdengar
suara lembut "Anak muda y ang