historia madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti perang...

94
1

Upload: lamcong

Post on 06-Mar-2019

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

1

Page 2: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

2

Historia Madania Jurnal Ilmu Sejarah

Volume I, No. 2, Juli - Desember 2011

ISSN 2088-2289

Penanggungjawab

Setia Gumilar

Pimpinan Redaksi

Moeflich Hasbullah

Sekretaris Redaksi

Ading Kusdiana

Dewan Redaksi

Sulasman, Asep A. Hidayat, Ajid Thohir, Fajriudin, Agus Permana

Staff Redaksi

M. Amaluddin Muslim, Suparman, Samsudin

Tata Usaha

Widiati Isana

Distributor

Dina Marlina, Fatmawati

Cover : http://ferdiardiantozer.blogspot.com/2010/06/sejarah-peradaban-bangsa-aztec-inca-dan.html

Alamat Redaksi

Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora

Jl. A.H. Nasution 105 Bandung Telp. (022) 7810790 Fax. (022) 7803936

Page 3: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

3

KYAI DAN PESANTREN

DALAM HISTORIOGRAFI ISLAM INDONESIA

SULASMAN

[email protected]

Abstrak

Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya tetapi juga tentang wilayah

objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Rentangan sejarah masyarakat Muslim di

Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan-kekuasaan

ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat dengan

puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, maka dalam historiografi

masyarakat Islam di Indonesia sangat mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya

mampu menguraikan atau merekonstruksi keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal

sampai sekarang. Walaupun demikian, karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di

Indonesia telah banyak ditulis, baik oleh orang Indonesia maupun para penulis asing. Salah satu

sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi adalah

dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali

lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan

gerakan perlawanan kaum santri.

Kata-kata Kunci

Kyai, Pesantren, Historiografi, Sejarah, Islam

Pendahuluan

Seminar Sejarah Nasional pertama yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada 50

tahun yang lalu merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan Historiografi Indonesia. Dari

peristiwa itu telah melahirkan format penulisan sejarah yang Indonesiasentris. Prestasi luar biasa

tersebut kemudian diikuti oleh prestasi berikutnya, yaitu lahirnya buku babon Sejarah Nasional

Indonesia sebanyak 6 jilid pada tahun 1980-an. Tentunya kegiatan seminar yang digagas sekarang

ini diharapkan akan melahirkan tonggak prestasi baru bagi perkembangan historiografi Indonesia

yang dipersembahkan oleh generasi muda dari para sejarawan.

Page 4: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

4

Ketertarikan pada sejarah ternyata bukan hanya terjadi dikalangan akademisi, tetapi juga

berasal dari kalangan profesi lainnya. Jagat Historiografi Indonesia kemudian diramaikan pula

seiring dengan semakin berkembangnya teori-teori dan metodologi ilmu pengetahuan. Hal lain

yang juga ikut meramaikan penulisan sejarah Indonesia adalah munculnya beberapa kepentingan

yang membutuhkan legitimasi sejarah, yang kemudian melahirkan beberapa penulisan sejarah

berdasarkan persepsinya masing-masing. Perkembangan ini menjadi menarik karena penulisan

sejarah menjadi beragam. Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya

tetapi juga tentang wilayah objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Hal ini kemudian

melahirkan gugatan kepada Sejarah Nasional Indonesia, salah satunya dari kalangan umat Islam

yang mempertanyakan bagaimana posisi Historiografi Masyarakat Islam di Indonesia dalam

konteks Sejarah Nasional Indonesia.

Umat Islam dalam Latar Historis Indonesia

Setidaknya sampai pertengahan abad ke-15, Umat Islam bukan saja telah menyebar luas ke

seluruh kepulauan Indonesia, tetapi secara sosial telah menjadi agen perubahan dalam sejarah.

Saat itu, meskipun Islam belum sepenuhnya mencapai ke pedalaman, mereka telah membangun

apa yang disebut dengan “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di daerah-daerah pesisir

pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan

hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia saat itu.

Sependapat dengan A.E. Priyono (1991: 26), meskipun jejak-jejak sejarah Islam dapat

dilacak sejak abad ke-11, tetapi perkembangan Islamisasi tampaknya baru dimulai sejak akhir

abad ke-13 dan lebih khusus pada abad ke-14 dan 15 ketika pusat kekuatan pribumi terbesar yaitu

Majapahit sedang mengalami kemunduran. Agama Islam saat itu mengalami perkembangan yang

sangat pesat. Cepatnya perkembangan agama Islam saat itu, karena agama baru tersebut

mempunyai daya pikat. Daya pikat agama baru itu adalah pada gagasan persamaannya, yaitu

sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak

dimiliki dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak

biru” untuk organisasi “politiko-ekonomi” yang kemudian membuka jalan bagi terjadinya proses

perubahan struktural baru dari sistem “agraris-patrimonial” ke arah apa yang disebut oleh Van

Leur dengan “kapitalisme-politik“ (Van Leur, 1960:122-123). Cetak biru politiko-ekonomi inilah

yang menyebabkan banyak kelas pedagang pribumi yang memeluk agama Islam untuk

Page 5: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

5

berpartisipasi dalam komunitas perdagangan Muslim Internasional (Christine Dobbin, 1980: 247-

261).

Komunitas perdagangan Muslim Internasional di Indonesia berkembang mulai pada akhir

abad ke-14 yaitu sejak Malaka berkembang menjadi sebuah “entrepot-state” (negara penyalur

perdagangan lintas laut). Saudagar-saudagar Muslim di pesisir pantai Utara Jawa seperti di

Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak, dan Jayakarta mengadakan hubungan dagang dengan pusat-

pusat perdagangan internasional seperti di Mediterania, Siam dan bahkan Jepang. Perkembangan

ini menunjukan bahwa Islamisasi telah menyebabkan terintegrasinya kelas menengah saudagar

Muslim dengan pusat-pusat perdagangan Muslim Internasional, sehingga memberikannya basis

material bagi munculnya pelembagaan politik baru yang ditandai dengan lahirnya negara maritim

Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa pada awal abad ke-16. Hal tersebut

membuktikan bahwa pada waktu itu Islam muncul sebagai elemen integratif yang mampu

menyatukan kekuatan ekonomi, politik, dan agama di dalam wadah suatu negara. Sepanjang

pertengahan pertama abad ke-16, Kerajaan Islam Demak berusaha mengkonsolidasikan

kekuasannya melalui pelbagai penaklukan baik secara militer maupun ekonomi ke wilayah di

sepanjang pesisir Utara Jawa, maupun daerah pedalaman Jawa Timur yang belum diislamkan

untuk tunduk dibawah kesultanan baru (M. C. Ricklefs, 1986: xi-xii). Setelah itu, muncul

kekuatan politik Islam lainnya di antaranya seperti Kerajaan Islam Banten dan Kerajaan Islam

Cirebon yang terletak di wilayah Jawa bagian Barat.

Cita-cita kesultanan Demak untuk mengintegrasikan antara agama, ekonomi, dan politik

mendapat tantangan baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan ini datang seiring dengan

munculnya kekuatan baru yaitu penetrasi Barat yang ditandai dengan dicaploknya Malaka oleh

Portugis akibat dari ekspansi politik merkantilisme yang saat itu berkembang di Eropa ke seluruh

penjuru dunia. Ekspansi merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer telah

menggeser konteks Internasional Asia kepada kapitalis merkantilisme sekaligus memudarkan apa

yang oleh Anthony Reid (1988) zaman perdagangan Asia yang kemudian memasuki zaman baru

yaitu zaman kolonial (Immanuel Wallerstein, 1974: 28).

Dalam konteks regional yang sedang mengalami “transisi historis” Demak muncul dan

berkembang dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bertahan kurang lebih setengah abad,

jauh lebih singkat dibandingkan dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung selama tiga

abad. Menurut A. R. T. Kemasang (1985: 57-80), terjadinya pergeseran besar-besaran akibat

penetrasi Barat dalam sistem perdagangan internasional Asia, Kerajaan Islam Demak bukan saja

Page 6: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

6

kehilangan basis perdagangan maritimnya, tetapi juga basis material bagi klaim legitimasinya

baik secara politis maupun ideologis. Dengan demikian bisa dikatakan dari rentetan peristiwa

yang diuraikan di atas, kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya.

Tumbangnya Demak secara internal disebabkan oleh tumbuh dan bangkitnya kembali ideologi

pribumi, dan secara eksternal oleh adanya ekspansi kapitalisme Barat.

Setelah terjadinya ekspansi kapitalisme Barat yang kemudian menggeser tatanan sosial,

budaya dan meruntuhkan kekuasaan politik umat Islam, timbul reaksi dari masyarakat Muslim

Indonesia, yang ditandai dengan gerakan perlawanan kaum santri dari dunia pesantren dengan

Kyai sebagai “causal mekanism” beberapa peristiwa sejarah yang terbentang dari Barat sampai

ke bagian Timur Indonesia.

Historiografi Islam Indonesia

Jika melihat apa yang diuraikan di atas, maka akan terlihat rentangan sejarah masyarakat

Muslim di Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan–

kekuasaan ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat

dengan puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan ekonomi ditandai dengan

berdirinya bandar-bandar perdagangan internasional seperti Malaka, Banten, Jakarta, Cirebon,

Tuban, Makasar, dan lain-lain. Kekuasaan politik ditandai dengan berdirinya kerajaan–kerajaan

Islam di Indonesia seperti kerajaan Islam di Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Goa, Makasar,

Tidore. Gerakan perlawanan terhadap penetrasi Barat ditandai dengan gerakan perlawanan yang

dilakukan oleh kaum santri. Menurut Clifford Geertz (1960), gerakan perlawanan kaum santri

terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran

Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah tahun 1825-1830, Perang Paderi di Sumatera Barat

pimpinan Tuanku Imam Bonjol tahun 1821-1828, Perang Aceh pimpinan Teuku Umar tahun

1873-1903,dan di Jawa Barat yaitu di Banten pada tahun 1834, 1836, 1842, kemudian bangkit

lagi pada tahun 1880, dan 1888 yang dipimpin Kyai Haji Wasid (Ahmad Mansur Suryanegara,

1995: 130-13), serta Perlawanan Singaparna pimpinan K.H. Zaenal Mustofa 1942, dan lain

sebagainya. Oleh karena itu, maka dalam Historiografi masyarakat Islam di Indonesia pun sangat

mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya mampu menguraikan atau merekonstruksi

keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal sampai sekarang. Walaupun demikian,

karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia telah banyak ditulis, baik itu oleh

orang Indonesia maupun para penulis asing.

Page 7: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

7

Di antara karya-karya mengenai sejarah umat Islam di Indonesia, yaitu karya Haji Abdul

Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan HAMKA yang berjudul Sejarah Umat Islam jilid

IV. Dia menulis sejarah umat Islam di Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam. Dalam

penulisannya, Hamka lebih menekankan pada periodisasi dari pada daerah. Selain itu

penekanannya dia lebih menekankan kepada peran pahlawan dan Sultan dalam menguraikan

timbul dan tenggelam suatu kesultanan di kepulauan Nusantara. Hamka sebagai ulama dan

peminat sejarah telah memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang

dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya

Syaikh Nuruddin Ar Raniry, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon, Babad Giyanti dan

lain sebagainya (Muin Umar, 1988: 185). Selain Sejarah Umat Islam jilid IV, tulisan mengenai

sejarah Islam Indonesia terdapat dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid III. Buku dengan editor

Uka Tjadrasasmita yang mendekati sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional

Indonesia. Dalam tulisannya dia berbeda dengan Hamka yang menekankan faktor individu, maka

Uka Tjandrasasmita lebih menekankan bahwa sejarah adalah suatu proses dalam masyarakat

yang terjadi karena pergeseran elemen–elemen yang terdapat di masyarakat (Mukti Ali, 1985: 13-

16). Dalam menuliskan sejarah umat Islam Indonesia sebagaimana dalam buku Sejarah Nasional

Jilid III, Uka Tjadrasasmita mempergunakan sumber-sumber berupa buku, artikel, maupun

naskah-naskah, hikayat-hikayat daerah dan berita-berita asing yang pernah diterbitkan (Muin

Umar, 1988: 183). Terakhir penulisan mengenai sejarah umat Islam Indonesia di tulis oleh tim

peneliti termasuk di dalamnya para sejarawan di antaranya Prof. Dr. Taufik Abdullah yang

dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia berjudul Sejarah Umat Islam Indonesia. Meskipun

ketiganya tidak memenuhi harapan penulisan sejarah Islam Indonesia yang totalitas, tetapi sudah

meletakan dasar-dasar bagi Historiografi Islam Indonesia untuk dilakukan kajian lebih lanjut.

Dalam melakukan kajian mengenai Historiografi Islam Indonesia, kita dapat menggunakan

kerangka dari Franz Rosental (1968: 8) yaitu :

1. Tema yang berkisar pada penulisan sejarah lokal, seperti Hikayat Bandjar, Hikayat Raja-Raja

Pasai, Hikayat Kutai dan sebagainya.

2. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah Islam secara umum. Model ini ini dapat

dilihat seperti karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA dalam Sejarah Umat

Islam sebanyak empat jilid.

3. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah militer seperti Perang Sipil yang pernah

ditulis oleh T. Ibrahim Alfian yang menulis Perang di Jalan Allah : Aceh 1873-1912.

Page 8: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

8

4. Tema yang berkisar pada karya penulisan biografi seperti karya Sulasman yang menulis K.H.

Ahmad Sanusi Berjuang Dari Pesantren ke Parlemen.

5. Tema yang berkisar pada novel sejarah seperti karya Muhammad Daud yang berjudul Hikayat

Putra Baren.

Selain model Franz Rosental juga dapat dilakukan secara periodesasi sebagaimana yang

dikemukakan oleh Muin Umar (1988: 187) sebagai berikut:

1. Historiografi Islam pada periode masuknya Islam ke Indonesia sampai dengan abad

ke-16.

2. Historiografi Islam pada periode perlawanan terhadap kolonialisme terutama pada

masa penetrasi politik Barat yang menimbulkan reaksi seperti di Aceh, Banten,

Mataram, Banjar Goa dan tempat-tempat lainnya.

3. Historiografi Islam periode awal abad ke-20 M, seperti karya Deliar Noer mengenai

Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.

4. Historiografi Islam periode kontemporer seperti karya B. J. Boland The Struggle of

Islam in Modern Indonesia.

Islam di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menarik untuk terus ditulis, begitu pula

penulisan sejarah Islam Indonesia banyak menarik perhatian para sejarawan ataupun para ahli

lainnya yang mempunyai ketertarikan pada masalah tersebut berdasarkan perspektifnya sendiri-

sendiri. Cukup banyak tulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia di antaranya karya Taufik

Abdullah yang menulis Adat and Islam An Examination of Conflict in Minangkabau tahun

1961, D.A. Rinkes De Heiligen van Java I. de Makam van Sjech Abdoelmoehji tahun 1910, J.J.

Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography tahun 1968, J. Noorduyn De

Islamisering van Makasar tahun 1956, H. A. Mukti Ali An Introduction to the Government of

Acheh‘s Sultanate tahun 1970, J. P. Moquete, Mohammedansche Inscriptie van de Java tahun

1921, R. L. Mellema, Een Interpretatie van de Islam tahun 1958, dan lain sebagainya.

Keragaman teori dan metodologi, pandangan filsafat maupun perkembangan ilmu

pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam mendekati sejarah Islam

Indonesia, telah membuat semarak dan beragamnya historiografi Islam Indonesia. Tidak jauh

berbeda dengan Sejarah Nasional Indonesia, historiografi Islam pun masih menyimpan celah

untuk terus dilakukan penelitian dan penulisan sejarah Islam Indonesia dalam berbagai perspektif.

Salah satu sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi

adalah dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali

Page 9: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

9

lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan gerakan

perlawanan kaum santri.

Kyai dan Pesantren dalam Historiografi Islam Indonesia

Salah satu “great tradition” di Indonesia adalah pengajaran agama Islam yang muncul di

pesantren (Mastuhu, 1994: 55). Alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk

mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana dalam kitab-kitab klasik atau kitab kuning

(Martin Van Bruinessen, 1995: 17). Tradisi pesantren sebagai sebuah kerangka sistem pendidikan

tradisional, menarik para ahli untuk menulisnya seperti Karel A.Steenbrink, J. F. B. Brumund,

van den Berg, Hurgronye, Geertz, A. H. John, Zamakhsyari Dhofier, Dawam Rahardjo, Sartono

Kartodirdjo, Muhammad Iskandar, Mastuhu. Mereka menyadari tentang pengaruh kuat pesantren

dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.

Selama masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan Grass Root People yang

sangat menyatu dengan kehidupan rakyat. Pada zaman revolusi, pesantren yang dipimpin oleh

kyai atau ajengan merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk

merebut kemerdekaan maupun pada masa revolusi. Di Pesantren dibentuk Hisbullah yang

kemudian menjadi embrio dari Tentara Nasional Indonesia (B.J. Boland, 1985: 14-27).

Menurut P. A. A. Djajadiningrat (Muhammad Iskandar, 2001: 105-106) kehidupan di

pesantren penuh keteraturan, ketaatan, dan kedisiplinan. Pesantren merupakan komunitas

tersendiri dimana kyai, santri, dan pengurus, hidup dalam satu lingkungan. Mereka merupakan

suatu keluarga besar dibawah asuhan seorang kyai. Di pesantren santri mempunyai dua orang tua

dan dua macam saudara (Mastuhu, 1994: 57). Pondok pesantren pada dasarnya merupakan

sebuah asrama, para siswa tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan kyai. Pondok

merupakan ciri khas pesantren. Alasan pesantren menyediakan pondok bagi santri di antaranya,

pertama, kemasyhuran dan kedalaman ilmu seorang kyai menarik santri-santrinya dari jauh,

untuk dapat menggali ilmunya, santri harus tinggal mukim di pesantren. Kedua, Adanya

hubungan timbal balik antara santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyai sebagai

bapaknya dan kyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi,

oleh karena itu kyai mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan tempat tinggal bagi santri.

Dengan demikian, di kalangan santri akan tumbuh perasaan pengabdian pada kyai, sehingga kyai

mempunyai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren. Hubungan kyai dan santri pada masa

revolusi memudahkan untuk melakukan mobilisasi massa sebagai kekuatan revolusi.

Page 10: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

10

Elemen yang sangat penting dalam sebuah pesantren adalah kyai. Istilah Kyai dan

Ulama diperkenalkan oleh Cliford Geertz pada tahun 1960-an. Sejak itu, banyak para

peneliti yang menulis tentang Kyai dan Ulama di Indonesia, di antaranya Leonard Binder,

Deliar Noer, Hiroko Harikoshi, Zamakhsary Dhofier, Karel A. Stenbrink, Huub de Jonge,

Elly Touwen Bouwsma, dan Muhammad Iskandar.

Khusus di Jawa Barat terutama di wilayah Priangan contohnya di Sukabumi,

terdapat sebutan lain bagi kyai yaitu ajengan. Umumnya yang mendapat gelar ajengan

adalah kyai pemimpin pesantren yang kharismatik di wilayahnya. Seorang ajengan yang

terkenal biasanya sebutan itu dirangkaikan dengan nama daerah tempat dimana dia

tinggal (Muhammad Iskandar, 2001: 17-18), misalnya K. H. Abdurahim dikenal dengan

Ajengan Cantayan, K. H. Ahmad Sanoesi dikenal dengan Ajengan Gunung Puyuh, K. H.

Hasan Basri dikenal dengan Ajengan Cicurug. Gambaran mengenai sosok kyai di

Sukabumi salah satunya adalah laporan seorang polisi rahasia Belanda tentang K. H.

Ahmad Sanoesi. Menurut laporannya, K. H. Ahmad Sanoesi lebih populer dengan

sebutan Ajengan Gunung Puyuh dan merupakan kyai paling populer dan berpengaruh di

wilayah Priangan Barat. Jumlah santri dan para simpatisannya ribuan orang. Rumahnya

tidak pernah sepi oleh tamu yang datang dari untuk bertanya berbagai masalah, terutama

yang berkaitan dengan keagamaan. Gobee, adviseur voor inlandse zaken memujinya

sebagai kyai berintelegensia tinggi. Pujian datang pula dari Pijper pengganti Gobee, dia

menggambarkan bahwa ulama seperti K.H. Ahmad Sanoesi tidak akan berkurang

pengaruhnya hanya karena dirinya dikurung atau disingkirkan pemerintah. Dia bagaikan

cahaya yang terus memancarkan sinarnya dimanapun dia berada.

Menurut Zamakhsary Dhofier (1982), faktor yang menyebabkan kyai sebagai

pemimpin sosial masyarakat sangat kuat dan dihormati, karena kyai adalah guru. Di

kalangan pesantren muncul suatu pandangan bahwa melupakan ikatan dengan guru

dianggap aib besar dan menghilangkan barokah dan karomah guru. Selanjutnya jika

santri melupakan ikatan dengan guru, maka pengetahuan santri tidak akan banyak

bermanfaat (Muhammad Iskandar, 2001: 22).

Faktor yang membuat kyai sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di

antaranya karena lembaga pesantren itu sendiri, dimana di pesantren telah bermukim

puluhan bahkan sampai ribuan santri yang datang dari berbagai daerah. Santri pada

Page 11: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

11

prakteknya bukan sekedar murid kyai, melainkan juga sebagai juru kampanye yang

“mengharumkan“ nama kyai dan pesantren tempat dia menuntut ilmu. Sedangkan bagi

masyarakat sekitar pesantren, santri berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan

kyai (Muhammad Iskandar, 2000: 19). Disamping mengajar santri, kyai juga

menyelenggarakan pengajian “temporal“ untuk masyarakat umum yang dilaksanakan di

dalam atau di luar lingkungan pesantren yang jaraknya bisa puluhan bahkan ratusan kilo

meter. Pengajian temporal mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai media penerangan

agama, dan sarana memelihara hubungan baik antara kyai dengan masyarakat

dilingkungannya (Muhammad Iskandar, 2001: 113).

Mengenai hubungan kyai dengan masyarakat pesantren digambarkan oleh seorang

mantri polisi dalam laporannya bahwa perhatian masyarakat kepada para kyai yang sudah

mendapat tempat di hatinya, mereka seperti tidak mengenal jarak. Di manapun kyai itu

berada, baik karena pindah tempat atau karena diasingkan, mereka tetap berusaha

mengunjunginya sejauh hal itu mungkin untuk dilakukan. Sebagai salah satu contohnya

adalah K.H. Ahmad Sanoesi, meskipun dia diasingkan ke Batavia Centrum tahun 1927,

para santri serta para pengikutnya tetap setia menjalin hubungan dengannya.

Berdasarkan catatan polisi rahasia Belanda selama K. H. Ahmad Sanoesi di tahan, tidak

kurang dari sepuluh ribu pengunjung mengunjunginya. Sikap keteladanan dalam

kepemimpinan kyai menjadi sebuah magnet kekuatan yang digunakan kyai dalam

menggerakan masa untuk menghadapi kekuatan kolonial terutama pada masa revolusi.

Kyai merupakan elemen penting dari pesantren. Perkembangan sebuah pesantren

tergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982: 61)

kelangsungan hidup pesantren sangat tergantung pada kemampuan pesantren itu untuk

memperoleh seorang kyai pengganti yang berkemampuan tinggi pada waktu ditinggal

mati oleh kyai terdahulu. Ada dua kemungkinan kelangsungan hidup sebuah pesantren

setelah ditinggal oleh kyai pendiri. Pertama, pesantren yang semula besar dan termashur

kemudian memudar dan bahkan hilang. Kedua, pesantren akan semakin besar dan

termashur, karena telah dipersiapkan calon penggantinya untuk meneruskan jejak

perjuangan yang telah dirintis oleh kyai terdahulu.

Ada beberapa usaha yang dilakukan kyai pemimpin pondok pesantren dalam

melestarikan tradisi pesantren, yaitu membangun jaringan pesantren melalui solidaritas

Page 12: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

12

kerja sama sekuat-kuatnya antara sesama mereka. Langkah yang dilakukan kyai adalah

mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga terdekat menjadi calon pengganti

pemimpin pesantren. Para kyai selalu menaruh perhatian pada pendidikan putera-

puteranya untuk dapat menjadi pengganti pimpinan pesantren. Jika seorang kyai

mempunyai anak lebih dari satu, anak tertua diharapkan dan dipersiapkan untuk menjadi

pemimpin pesantren setelah dia meninggal, sedangkan anak yang lainnya dilatih untuk

dapat mendirikan suatu pesantren baru atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya

yang kebanyakan adalah kyai pemimpin pesantren (Zamakhsari Dhofier, 1982: 62). Bagi

kyai atau ulama yang mengalami kesulitan dalam melakukan regenerasi atau kaderisasi,

untuk mempertahankan otoritasnya selaku pengemban amanah dan pembawa tradisi

pesantren dikembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous antar keluarga kyai atau

mengawinkan anak perempuannya dengan murinya (santri) yang pandai, terutama jika

santri tersebut anak atau keluarga dekat seorang kyai hingga berpotensial untuk

menggantikan kedudukannya. Adanya jaringan perkawinan antar keluarga kyai, bukan

saja otoritas serta kewibawaan keluarga kyai cukup terjaga, melainkan juga ajaran

mereka ikut terpelihara (Muhammad Iskandar, 2001: 89-90). Dengan cara ini para kyai

saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Semakin masyhur kedudukan

seorang kyai, semakin luas tali kekerabatannya dengan kyai yang lain. Jaringan pesantren

yang terikat dalam tali temali kekerabatan, atau transmisi ilmu sangat membantu dalam

revolusi seperti yang terjadi di Sukabumi.

Hal yang sangat penting bagi perjalanan pesantren adalah dikeluarkannya peraturan

pemerintah kolonial Belanda berupa “Ordonansi Guru“ yang mewajibkan seorang kyai

memperoleh surat izin mengajar. Kyai harus menjelaskan pelajaran apa yang diajarkan

kepada murid atau jemaahnya. Sejalan dengan penerapan peraturan pemerintah,

pengajian dan tablig Kyai sering diawasi pihak pemerintah kolonial Belanda dengan

menempatkan polisi rahasia di tempat-tempat pengajian. Kecurigaan pemerintah

kolonial terhadap pesantren karena ada sinyalemen yang sampai kepada pemerintah, di

pesantren sering diajarkan ajaran yang membangkitkan perasaan anti Belanda terutama

dipesantren yang menjadi pusat kegiatan tarekat. Mengenai hal ini dikemukakan oleh

P.A.A. Djajadiningrat bahwa di pesantrennya tempat ia berguru ngaji, sering

dibangkitkan perasaan anti Belanda oleh kyainya, sehingga para santri pada umumnya

Page 13: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

13

membenci orang-orang Belanda dan orang-orang yang bekerja untuk kepentingan

Belanda (P.A.A. Djajadiningrat, 1936). Nasionalisme di kalangan pesantren tidak sedikit

yang melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh kyai seperti peristiwa Sukamanah

Tasikmalaya.

Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan pesantren bersamaan dengan rasa

persaudaraan dan persamaan dikalangan santri. Menurut Rakhmatullah Ading Afandi

(1982), di antara sesama santri tidak diadakan perbedaan status sosial atau jabatan orang

tua, sehingga hubungan antar sesama santri seperti dengan saudaranya, tanpa tingkatan.

Pesantren yang melakukan pemberontakan, kebanyakan adalah pesantren yang

mengajarkan bahkan menjadi pusat kegiatan tarekat. Di pesantren ini diajarkan amalan–

amalan tarekat berupa dzikir, wirid, ratib, dan sebagainya. Orang pesantren yang

mengamalkan amalan tarekat sangat percaya akan kemampuan supranatural berupa

kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan, dan segala ilmu gaib lainnya yang diambil

dari amalan tarekat (Martin Van Bruinessen, 1995: 337).

Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi

normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam tarekat. Tetapi dalam situasi yang

tidak aman, dalam situasi perang dan pemberontakan aspek ini menjadi sangat menonjol.

Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat

yang mempelopori pemberontakan tetapi para pemberontak yang masuk kedalam tarekat

untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus menjelang perang atau

pemberontakan banyak orang datang ke tempat kyai tarekat yang punya nama sebagai

ahli kesaktian untuk minta dibaiat oleh mereka.

Pada zaman revolusi terlihat fenomena yang sama. Banyak dari para pemuda yang

siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah

Sukabumi misalnya K.H. Ahmad Sanoesi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan

silat sambatan, yaitu murid-muridnya secara supra natural menguasai jurus-jurus yang

tidak mereka pelajari (Martin Van Bruinessen, 1995: 339). Banyak para pemuda

Sukabumi yang minta dibaiat olehnya. Di pesantren-pesantren lain wirid-wirid, hijib-hijib

seperti Hijib Akbar, Hijib Rifa’i, diajarkan kepada para santri. Begitu juga ilmu

kekebalan dan kanuragan diberikan kepada santri untuk bekal bela diri. Amalan-amalan

ini pada saat akan menuju pertempuran banyak digunakan oleh para santri maupun

Page 14: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

14

masyarakat yang akan pergi bertempur. Mereka juga meminta barokah kyai dan minta

dibaiat serta dijiad agar mendapat keselamatan saat berperang. Pada saat terjadi

pertempuran banyak kyai sibuk memandikan mereka yang akan pergi ke medan tempur

dengan air yang telah dijiad atau dibacakan do’a-do’a. Setelah dimandikan dengan air

do’a mereka diberi minum dan dibekali isim-isim atau wafak yang mereka percayai ada

kekuatan yang akan memberikan kekuatan dan perlindungan dari musuh. Adanya

keyakinan akan kekuatan doa, wirid, isim dan lainnya merupakan suatu kekuatan

tersendiri dalam perang terutama dari bagi mereka dari kalangan pesantren.

Penutup

Banyak fenomena yang menarik dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam

Indonesia. Keragaman teori maupun metodologi, serta adanya kearifan lokal menjadikan

historiografi masyarakat Islam Indonesia semakin beragam. Keragaman dalam

historiografi Islam Indonesia menunjukan adanya sisi ruang dalam historiografi Islam

Indonesia masih dapat diisi dengan penulisan-penulisan lainnya sekaligus sebagai bahan

renungan untuk melakukan reposisi dan redefinisi historiografi Indonesia.

Page 15: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

15

DAFTAR PUSTAKA

A. E. Priyono dalam Prolog buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk

Aksi, Mizan, Bandung, 1991.

A. H. John, Islam in Southeast Asia, dalam Indonesia, C.M.I.P., No. 19, halaman 40.

A. R. T. Kemasang , Bagaimana Penjajah Belanda Menghapus Borjuasi Domestik di

Jawa, terjemahan Ariel Heryanto dari Review IX, 1 September 1985.

Abu Hanifah, Tales of Revolution, Sidney: Angus and Robertson, 1972, Hal. 186.

Mohammad Iskandar, Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi; Tokoh Kyai

Tradisional Jawa Barat, Pesantren XXII, No. 2, 1993.

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di

Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.

Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University

Press, New Haven and London, 1988.

B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafiti Press, Jakarta, 1985

Christine Dobbin, Islam and Economic Change in Indonesia Circa 1750-1930, dalam J.

J. Fox, Indonesia: The Making of a Culture, Research School of Economic

Studies, The Australian National University, Canberra, 1980.

Clifford Geertz, Islam: Observerd Religious Development in Marocco and Indonesia,

Yale University Press, New York, 1960.

Cliford Geertz, Islam Observerd: Religious Development in Marocco and Indonesia,

1967.

Cliford Geertz, The Religion of Java, New York, The Free Leonard Binder, The Islamic

Tradision and Politic: The Kijaji and The Alim, Comparative Studies in Society

and History. Vol. 2 1960.

Dawam Rahardjo, Kyai, Pesantren dan Desa; Suatu Gambaran Awal, Prisma No. 4 Th.

II, 1973; juga Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1973.

Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta, LP3ES, 1980.

Elly Touwen Bouwsma, Staat Islam en Lokale Leiders in West Madura, Indonesia,

Kampen , 1988

Franz Rosental, A History of Muslim Historiography, Leiden, E.J. Brill, 1968.

H. A. Muin Umar, Historiografi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1988.

H. A. Mukti Ali , Penulisan Sejarah Islam Indonesia, dalam Muin Umar dkk (ed.) ,

Penulisan Sejarah Islam di Indonesia Dalam Sorotan, Seminar IAIN Sunan

kalijaga, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985.

H. J. de Graaf dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa : Peralihan dari

Majapahit ke Mataram, Grafiti Pres, Jakarta, 1985, Bab VII dan VIII.

Page 16: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

16

Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1987.

Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi

dan Islam, Jakarta, Gramedia, 1989.

Immanuel Wallerstein, The Modern World System : Capitalist Agriculture and The

Origin of the European World Economy in the Sixteenth Century, Academic

Press, New York, 1974.

J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society : Essay in Asia Social and Economic

History, Sumur Bandung Edisi 2, Bandung, 1960.

J. F. B. Brumund, Het Volksonderwijs onder de Javannen, Batavia, 1857.

Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Dalam Kurun Moderen,

Jakarta, LP3ES, 1986.

M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c 1300 to the Present , Macmillan

Education Ltd, 1986, hal. Xi-xii

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat, Mizan, Jakarta, 1995.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Mohammad Iskandar, Para Pembawa Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama

di Priangan 1900 – 1950, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2001.

Mohammad Iskandar, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan

Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000.

P. A. A. Djajadiningrat, Kenang – Kenangan, Kolf-Buning Balai Poestaka, 1936

Rakhmatullah Ading Affandi, Dongeng Enteng ti Pasantren, Bandung, Tarate, 1982.

Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terbitan Pustaka jaya, Jakarta,

tahun 1984.

Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt in Banten in 1888, The Hague 1966, dan

Protest Movement s in Rural Java, Singapore, Oxford university Press: Institute

of Southeast Asia Studies, 1973.

Snouck Horgronye, Een en Ander Over Het Inlandsche Onderwijs in de Padangshe

Bovenlanden, 1924.

Surat Adviseur voor Inlandse Zaken tanggal 5 Pebruari 1934 Nomor 209 /K-VIII.

Van Den Berg, Het Mohammedaannshe Godsdiens Onderwijs of Java en Madoera en de

Daarbij Gebruikte Arabische Boeke.

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,

Jakarta, 1982.

Page 17: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

17

HOLISTISITAS TEORI SEJARAH IBN KHALDUN

Suparman

[email protected]

Abstrak

Ibn Khaldun, salah satu ilmuwan klasik Islam yang paling banyak dibicarakan di era

modern. Al-Muqaddimah-nya menjadi trademark baginya. Para ahli terpecah menjadi

dua ketika menyematkan atribut pengasas atau peletak dasar sebuah bidang ilmu baru.

Satu golongan menisbatkan pengasas ilmu sosiologi kepadanya, para penisbat ini

sebagian besarnya adalah tokoh Muslim dan atau Arab. Sedang golongan lain menyebut

Ibn Khaldun sebagai peletak dasar filsafat sejarah. Terlepas dari nuansa defensif

penyebutan Ibn Khaldun sebagai penemu sosiologi atau menyebut dia sebagai peletak

dasar filsafat sejarah, Ibn Khaldun sendiri menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al

umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena

peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al umran ini berfungsi

sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat

sejarah (dalam terminologi modern).

Kata-kata Kunci

Muqaddimah, Holistisitas, Teori Sejarah, Ibn Khaldun

Pendahuluan

Sejak dahulu, telah banyak pengungkapan-pengungkapan sejarah yang di lakukan

oleh sejarawan. Salah seorang yang terkenal adalah Herodotus (484-425 SM) yang

terkenal sebagai Bapak Sejarah. Dialah yang meletakkan dasar dari penulisan sejarah.

Namun, penulisan sejarah pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada pemberian

fakta-fakta yang di ambil dari sumber yang sezaman dan akibatnya tidak bisa di

kembangkan oleh orang yang datang belakangan.

Ibn Khaldun, salah seorang sejarawan Muslim yang terkenal, membawa bentuk

yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi Ibn Khaldun, sejarah tidak hanya di

ungkapkan secara faktual, namun juga dapat di lihat hubungan kausal antara setiap

peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus di lihat dari

berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya

(Syafi’i Ma’arif, 1996: 3).

Page 18: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

18

Sejarah menurut Ibn Khaldun memiliki fungsi multi dan tujuan mulia, karena

dengan sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi prilaku

serta moral politik raja-raja dan penguasa. Generasi yang ingin merefleksikan prilaku dan

mengambil sampel-sampel positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan referensi

dari keragaman sumber informasi, peristiwa yang akurat dan realiable (dapat dipercaya).

Kemudian pembukuan sejarah menurut Ibn Khaldun bukan untuk mendokumentasikan

persoalan-persoalan keagamaan, mendekatkan diri kepada penguasa dan bukan sekedar

dikonsumsi sebagai bidang ilmu, tetapi untuk mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau

dalam rangka memahami masa yang akan datang.

Rekonstruksi pemahaman ini sebenarnya telah menempatkan peran sejarah

sebagai i'tibar atau cermin obyektif untuk menelaah sikap. Hanya saja pada awalnya

eksistensi sejarah bagi Ibn Khaldun tidak tampak sebagai realita, sehingga ia melontarkan

pertanyaan tentang apa topik ilmu sejarah yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan ini

diperolehnya kala melakukan pencarian metodik tentang ukuran-ukuran valid atau

tidaknya suatu berita. Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk kepada

tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai korelasi dengan masyarakat yang

mengitarinya. Jelasnya topik sejarah menurut Ibn Khaldun adalah studi sosial, dengan

kata lain mempelajari dinamika masyarakat secara integral berikut sebab-sebabnya. Dan

dinamika sejarah menurut Ibn Khaldun bukan muncul dari luar, tetapi proses sosial itu

sendiri dengan segala aturannya yang exact-alami. Dari perspektif inilah Iplacoste

berpendapat bahwa Ibn Khaldun merupakan pelopor dalam meletakkan dasar-dasar

"materialisme historis ".

Barangkali gagasan Ibn Khaldun mengenai muatan kronik-kronik linear sejarah

telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi penulisan sejarah yang berdasarkan

kategori norma-standar kebenaran (berita) sehingga sejarah tidak lagi tampak bagai mitos

yang dibuat orang.

Dengan tampilnya Ibn Khaldun sebagai tokoh sejarah yang berbeda dari

pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik dari sebagian sejarawan, terutama

dari kalangan sejarawan Barat. Karena, dalam anggapan mereka terdapat pertentangan

yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis sejarah sebelumnya yang di anggap

Page 19: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

19

terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang menggambarkan Ibn Khaldun sebagai

pendiri ilmu masyarakat modern lima abad sebelum Auguste Comte dan Emil Durkheim.

Riwayat Hidup Ibn Khaldun

Nama lengkapnya adalah Waliyuddin Ibn Muhammad Abu Zaid Abdurrahman

Ibn Khaldun al-Hadrami al-Isbili. Dilahirkan di Tunisia Pada tanggal 27 Mei 1332 M dan

wafat di Kairo (Mesir) pada tanggal 27 Maret 1406 M. Menurut sebuah Riwayat, nenek

moyangnya berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah pertanian yang subur di daerah

Jazirah Arab Selatan. Dalam berbagai literatur sejarah, di jelaskan bahwa nenek moyang

Ibn Khaldun ikut migrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke 8 M, yang telah di kuasai

oleh Arab Muslim. Dan beberapa tahun sebelum kota Seville di rampas oleh raja

Ferdinand III dari Leon, nenek moyang Ibn Khaldun memutuskan untuk hijrah ke Ceuta

pada tahun 1248 M, dan Kemudian menetap di daerah Tunisia (Afrika Utara) (Ali Abdul

Wahid Wafi, 1985: 7).

Mengenai masa kecil Ibn Khaldun, belum ada di temui catatan yang lengkap.

Namun, sebagaimana anak-anak yang sebaya dengannya, Ibn Khaldun Kecil juga

mendapat pendidikan mempelajari al-Qur’an beserta qira’atnya dan juga mempelajari

tata-bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Dalam usia yang relatif muda, Ibn Khaldun telah

menguasai berbagai bidang ilmu klasik, seperti ilmu kefilsafatan, metafisika, tasawuf. Di

samping itu, ia juga tertarik pada ilmu politik, geografi, sejarah, ekonomi, dll.

Di sinilah letak kekuatan dan kelemahan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang

begitu luas tentang berbagai macam ilmu menjadikannya ibarat sebuah Ensiklopedi.

Namun, dalam catatan sejarah ia tidak di kenal sebagai seorang yang menonjol dalam

suatu cabang disiplin ilmu tertentu.

Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah di angkat menjadi sekretaris Sultan Abu

Inan dari Fez, Maroko. Namun, ia di curigai berkhianat sehingga di jebloskan ke penjara,

dan di bebaskan setelah sultan meninggal. Karena selalu dicurigai dan juga suasana kota

Fez semakin tidak menentu, maka Ibn Khaldun memutuskan untuk pindah ke Granada

(Spanyol) pada 26 Desember 1362. kota ini di pilih Ibn Khaldun, karena hanya inilah

satu-satunya daerah yang masih di kuasai oleh Kaum Muslimin. Sementara daerah-

daerah yang lain telah jatuh ke tangan kaum Kristen (Ali Abdul Wahid Wafi, 1985: 17).

Page 20: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

20

Namun, karena kondisi Granada yang tidak aman, akhirnya memaksa Ibn

Khaldun untuk meninggalkan Granada dan dengan menyebrangi Selat Gibraltar dia

kembali ke Afrika Utara. Di sana dia di tawari oleh Sultan Buogie (Al-Jazair sekarang)

untuk menjadi perdana menteri. Tawaran itu diterimanya tanpa banyak pertimbangan.

Namun, setahun kemudian (1366 M) ia pindah ke Konstantinopel dan di angkat menjadi

pembantu Raja Abdul Abbas. Namun tak lama kemudian ia pindah lagi ke Biskra,

sebelah selatan kota Konstantin, karena penguasa daerah ini tidak lagi mempercayainya.

Akhirnya kehidupan politik yang penuh kericuhan, kecurigaan, pemberontakan,

pembunuhan, penganiayaan dan berbagai macam perbuatan sadis lainnya telah

menyebabkan ia mengalami kejenuhan. Dan puncak dari kejenuhannya terjadi pada tahun

1375 M, yang sekaligus menjadi masa-masa yang penting, karena semenjak itu pula Ibn

Khaldun memulai kehidupan barunya dalam bidang dunia ilmiah.

Kehidupannya yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan, dengan berpindah-

pindah dan banyaknya dinasti tempat dia mengabdi, sangat berpengaruh terhadap tulisan

Ibn Khaldun tentang sejarah dinasti-dinasti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul

“al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-‘Ajam wa al-

Barbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi as-Sultan al-Akbar” (“Kitab Contoh-contoh

Rekaman tentang Asal-usul dan Peristiwa Hari-hari Arab, Persi, Berber, dan Orang-orang

yang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar”). Dan kitab “al-Al-

Muqaddimah” adalah merupakan bahagian dari kita al-‘Ibar yang di tulisnya dalam

kurun waktu empat tahun (Syafi’i, Ma’arif, 1996: 11) .

Al-Muqaddimah Karya yang Abadi

Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibn Khaldun bersama keluarganya

menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat

tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibn Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya

monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.

“Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah

karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian

luas yang terbaik,” ungkap Ibn Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi

Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibn Khaldun itu begitu

Page 21: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

21

memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-

Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.

Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, salah satu tesis Ibn Khaldun dalam Al-

Muqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya,

tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam

bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama.

Pertama, membicarakan historiografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan

Arab-Muslim (Syafi’i Ma’arif, 1996: 34).

Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Bagi Ibn

Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas

lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad

ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar,

kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya

tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibn

Khaldun di antaranya menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-

pengujian yang kritis.

“Di tangan Ibn Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas

dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang

malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibn Khaldun mampu menulis Al-

Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibn Khaldun juga membahas peradaban

manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.

Menurut Charles Issawi (1972) dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-

Muqaddimah, Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas,

sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip

yang dikemukakan Ibn Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat

tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”

Pemikiran Ibn Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para

ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Auguste Comte pemikir yang banyak menyumbang

kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah

dikemukakan pemikir Islam seperti Ibn Khaldun.

Page 22: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

22

Dalam metodologinya, Ibn Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi

teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok

penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang

berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich

Simon.

Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafat

sejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara

kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun

sangat menonjol di antara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai

ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk

menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial. Ketika

menerangkan tentang seni menulis sejarah, Ibn Khaldun berkata dalam bukunya Al-

Muqaddimah, “Hanya dengan penelitian yang seksama dan penerapan yang terjaga baik

kita bisa menemukan kebenaran serta menjaga diri kita sendiri dari kekhilafan dan

kesalahan. Kenyataannya, jika kita hanya ingin memuaskan diri kita dengan membuat

reproduksi dari catatan yang diwariskan melalui adat istiadat atau tradisi tanpa

mempertimbangkan aturan-aturan yang muncul karena pengalaman, prinsip-prinsip yang

mendasar dari seni memerintah, alam, kejadian-kejadian, dan budaya di suatu tempat atau

pun hal-hal yang membentuk ciri masyarakat. Jika kita tidak mau membandingkan yang

lalu dan saat ini, maka akan sulit bagi kita untuk menghindari kesalahan dan tersesat dari

kebenaran.”

Sejarah dan Historiografi

Sebelum kita masuk kepada fokus pembahasan tentang filsafat sejarah Ibn

Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksud dengan sejarah,

historiografi dan filsafat sejarah.

Kata sejarah berasal dari bahasa Arab; Syajaratun yang artinya adalah pohon.

Kata ini di serap oleh bahasa Melayu dengan bentuk yang sama (syajarah) diperkirakan

pada abad ke-13 M. dan akhirnya kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia

untuk menggambarkan kajian tentang hal-hal yang telah lampau.

Page 23: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

23

Suryanegara (1995: 9) menganalogikan Pohon (yang terdiri dari akar, batang,

dahan, ranting, dsb) dengan silsilah ataupun asal-usul manusia. Dengan penganalogian

bahwa pohon dan kehidupan manusia sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang

pohon yang rindang (besar).

Kata sejarah juga mempunyai kata yang identik sama, yaitu; Tarikh yang berasal

dari bahasa Arab yang berarti penanggalan atau penetapan tanggal. Disamping itu, dalam

bahasa daerah juga terdapat kata yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah,

seperti kata Babad dan Tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad

menunjukkan ciri daerah Jawa. Sedangkan kata tambo menunjukkan unsur Minangkabau.

Sedangkan Lorens Bagus (1996: 123) mengemukakan sejarah dalam arti luas dan

arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam

arti sempit sejarah adalah peristiwa yang dapat di jelaskan dengan sebab-sebab yang

efisien. Maksudnya adalah peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam

realisasi diri dengan kebebasan dan keputusan daya rohani.

Pada mulanya, sejarah terdapat dalam pikiran para sejarawan, orang yang

menghapal sejarah yang selalu di sampaikan dengan metode lisan. Kemudian penulisan

sejarah tersebut di pelajari dalam sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografi.

Sebuah sejarah (peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografi.

Secara umum, historiografi adalah sebuah studi sistematis tentang sejarah

penulisan sejarah (The history of historical writing). Historiografi tidak berhubungan

langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan

perhatiannya pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan

apakah sebuah sejarah yang di sajikan itu valid (benar) atau tidak. Dan juga tidak

memberikan penilaian khusus apakah sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang jadi

fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan metode sejarah

yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah yang di

tulisnya.

Pada abad 14 Ibn Khaldun menulis sejarah universal yang mengungkapkan secara

luar biasa luas mengenai kemampuan pembelajaran dan kemampuan yang tidak biasa

dari Ibn Khaldun yang menyusun teori umum untuk perhitungan perkembangan politik

Page 24: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

24

dan sosial selama berabad-abad. Dia adalah seorang sejarawan muslim satu-satunya yang

menyarankan alasan sosial dan ekonomi bagi perubahan sejarah.

Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menerangkan bahwa sejarah adalah catatan

tentang masyarakat manusia atau perdaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang

terjadi, perihal watak manusia, seperti keliaran, keramahtamahan, solidaritas golongan,

tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kelompok

lain yang berakibat pada munculnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan tingkat

yang bermacam-macam, tentang pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk

memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan

industri, serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat.

Hal ini sejalan dengan pengertian Sejarah Universal (atau dunia) yang

menginginkan pemahaman atas keseluruhan pengalaman kehidupan masa lampau

manusia secara total untuk melihatnya pesan-pesan perbedaan pada pesan yang berguna

bagi masa depan. Dua masalah yang mendominasi penulisan sejarah universal, pertama

ketersediaan kuantitas bahan dan keragaman bahasa di mana di dalamnya tertulis

mengimplikasikan bahwa sejarah universal mengambil bentuk kerja kolektif atau menjadi

sejarah tangan kedua. Kedua, prinsip dari seleksi yang dihubungkan dengan pemilihan

studi untuk membentuk taksonomi sejarah yang sesuai.

Unit-unit tersebut secara geografis (misal benua), periode, tahap perkembangan

atau struktur, peristiwa penting, saling berhubungan (misalnya komunikasi, perjuangan

bagi kekuatan dunia, atau perkembangan sistem ekonomi dunia), peradaban atau

kebudayaan, kekaisaran dan negara bangsa, atau komunitas terpilih. Sejarah universal

telah ditulis terutama oleh sejarawan Barat atau sejarawan dari Asia Barat termasuk Ibn

Khaldun.

Ibn Khaldun bahkan memerinci bahwa ekonomi, alam, dan agama merupakan

faktor yang memengaruhi perkembangan sejarah. Meski punya pengaruh, faktor

ekonomi, alam dan agama bagi Ibn Khaldun bukan satu-satunya faktor yang menentukan

gerak sejarah. Ia mengatakan bahwa: "Keadaan alam, bangsa-bangsa, adat istiadat, dan

agama tidak selalu berada dalam alur yang sama. Semua berbeda sesuai dengan

perbedaan hari, masa, dan peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lain. Perbedaan itu

Page 25: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

25

berlaku pada individu-individu, waktu, dan kota seperti halnya berlaku pada seluruh kota,

masa dan negara.

Salah satu sumber kesalahan dalam penulisan sejarah adalah pengabaian terhadap

perubahan yang terjadi pada zaman dan manusia sesuai dengan berjalannya masa dan

perubahan waktu. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam bentuk yang tidak kentara,

lama baru dapat dirasakan, sehingga sukar dilihat dan diketahui beberapa orang saja."

Pendek kata, bagi Khaldun, ekonomi, alam, dan agama merupakan kesatuan yang

memengaruhi gerak sejarah.

Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya

kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Teori ini sebenarnya

merupakan tafsir atas pemikiran Ibn Khaldun. Ibn Khladun sendiri sebenarnya tidak

menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Ibn Khaldun secara

eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah kritis. Menurut Ibn Khaldun: "Apabila

demikian halnya, maka aturan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan yang terdapat

dalam informasi sejarah adalah didasarkan kemungkinan atau

ketidakmungkinan...Apabila kita telah melakukan hal demikian, maka kita telah memiliki

aturan yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dan

kejujuran dari kebohongan dalam informasi sejarah dengan cara yang logis...selanjutnya

apabila kita mendengar tentang suatu peristiwa sejarah yang terjadi dalam peradaban,

maka kita harus mengetahui apa yang patut diterima akal dan apa yang merupakan

kepalsuan. Hal ini merupakan ukuran yang tepat bagi kita, yang dapat dipergunakan oleh

para sejarawan untuk menemukan jalan kejujuran dan kebenaran dalam menukilkan

peristiwa sejarah."

Pemikiran Ibn Khaldun tentang sejarah kritis ini merupakan satu pemikiran yang

melandasi pemikiran modern orang Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya.

Bagaimana pun Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg

Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886), membaca atau tidak al-

Muqaddimah, pemikirannya sejalan dengan Ibn Khaldun. Dari sini kita bisa tahu bahwa

Ibn Khaldun adalah perkecualian. Ia bukan saja pemikir yang selalu berpikir tentang hal-

hal yang abstrak melainkan pemikirannya berasal dari tanah tempat di mana dia berpijak.

Memahami pemikiran Ibn Khaldun sama halnya memahami pemikiran seorang Islam

Page 26: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

26

yang berani mengkritik bangsanya. Terutama sekali pemikiran seorang yang sangat

rasionalis namun tidak kehilangan rasa dan keimannya pada Allah SWT.

Sejarah dan Perubahan Sosial

Dalam buku The Origin and Development of Muslim Historiography, karangan

M.G Rasul, dikutip pendapat seorang intelektual Barat, Rogert Flint yang mengatakan,

Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau bukanlah tandingan Ibn Khaldun. Bahkan,

lanjutnya, nama-nama ini tidak layak disebut bersama namanya. Montgomery Watt

mengungkapkan kesannya terhadap Khaldun, bahwa karyanya dalam bidang sosiologi

merupakan kelanjutan dari pemikiran Ibn Rusyd tentang fungsi agama dan negara.

Seakan-akan menambah luas posisi Ibn Khaldun di bidang ilmu pengetahuan sosial dan

agama, Bernard Lewis menempatkan Ibn Khaldun tidak saja sebagai sejarawan Arab

terbesar, bahkan sebagai pemikir sejarah terbesar pada abad-abad pertengahan.

Salah satu temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep

sosiologisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh

ahli sejarah dan sosiologi di Dunia.

Kata kunci konsepsi Ibn Khaldun tentang sejarah adalah “‘Ibaar” yang berarti

contoh atau pelajaran moral yang berguna. Kata itu pula yang kemudian digunakan Ibn

Khaldun sebagai judul buku, di mana ia menuliskan seluruh pikirannya tentang sejarah.

Secara terminologis,’ibar, dalam pengertian seluruh bahasa Semit, berarti melalui,

melampaui, menyebrang atau melanggar perbatasan. Kelompok Sufi menggunakan kata

itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka. Dalam pengertian, untuk

melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik untuk menuju dunia yang lebih

jauh (to the world beyond) (Gaston Bouthol, 1998: 72).

Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibn Khaldun, penting dipahami

defenisi sejarah yang diberikannya. Khaldun melihat ada dua sisi dalam bangunan

sejarah, yaitu sisi luar (lahir) dan sisi dalam (batin). Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari

rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika dilihat secara lebih

mendalam, sejarah merupakan suatu penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk

mencari kebenaran; sejarah merupakan suatu penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan

asal usul segala sesuatu; ia merupakan suatu pengetahuan yang mendalam tentang

Page 27: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

27

bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Definisi tentang sejarah yang

demikian membawa Ibn Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam

filsafat (hikmah). Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri (Zainab al-

Khudairy, 1987: 155).

Dengan pertautan sejarah kepada filsafat, Ibn Khaldun nampaknya ingin

mengatakan, bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat.

Di lain pihak, filsafat menawarkan kekuatan logika kepada sejarah. Dengan aset logika

kritis seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkitik sumber-sumber sejarah –

tulisan maupun lisan – sebelum ia sampai kepada proses penyajian final dari

penyelidikannya. Pandangan inilah yang membawa Ibn Khaldun untuk merumuskan

“tujuh kritik” dalam historiografi, sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang

cermat; pertama, sikap memihak kepada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu,

kedua, terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, ketiga, gagal menangkap

maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar

persangkaan dan perkiraan, keempat, persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber

berita, kelima, kelemahan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang

sebenarnya, keenam, kecendrungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan

figur-figur yang berpengaruh, dan ketujuh, ketidaktahuan tentang metode-metode

kebudayaan. Dengan menggunakan kerangka “tujuh kritik” ini, Ibn Khaldun mengkritik

berbagai sarjana sejarah, seperti Al-Mas’udi yang dianggap lengah dan mudah

mempercayai berita-berita yang tidak masuk akal (Muhsin Mahdi, 1971: 96).

Ibn Khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah tidak boleh

tidak harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu bantu diistilahkan Ibn Khaldun

sebagai ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari

pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibat-

akibat dari perbuatan itu sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah.

Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibn Khaldun, pada dasarnya

mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur’an. Kenyataan ini, lanjutnya, pernah dikemukakan

Iqbal yang mengatakan bahwa Al-Muqaddimah Ibn Khaldun penuh dengan inspirasi Al-

Qur’an yang didapatkan pengarangnya.

Page 28: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

28

Faktor Penggerak Sejarah

Secara umum, penggerak sejarah dapat di pahami dengan hal-hal yang

mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami sebagai segala sesuatu yang

menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa. Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi

penyebab sejarah. Dalam kenyataannya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di

lupakan oleh manusia, karena terlalu abstrak untuk di bayangkan.

Pertanyaan yang langsung muncul di benak kita adalah siapa atau apa faktor

penggerak sejarah tersebut?

Mengenai faktor penggerak sejarah ini, Ibn Khaldun membaginya menjadi dua

faktor. yaitu faktor Ilahi (asbab al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi’i). Adapun

yang terkait dengan faktor Ilahi adalah wahyu dan Tuhan (Allah). Sedangkan yang

termasuk ke dalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya, institusi,

teknologi, ideologi, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun,

sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semuanya akhirnya

berujung kepada kedua faktor di atas.

Dalam perjalanan sejarah, dapat kita lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak

terlepas dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya

perjalanan sejarah itu tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan

kedua faktor tersebut.

Selain kedua faktor tersebut, menurut Ibn Khaldun, solidaritas (‘ashabiyah) juga

berperan penting dalam menggerakkan sejarah. Istilah ‘ashabiyah dapat di artikan dengan

rasa memiliki kesamaan harga diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu

keluarga, kelompok/organisasi, maupun suku.

Pada mulanya ‘ashabiyah di temukan pada orang-orang yang di hubungkan oleh

pertalian se-darah atau pertalian lainnya yang mempunyai arti sama. Pemikiran Ibn

Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa pertalian darah itu mempunyai kekuatan

yang mengikat pada kebanyakan umat manusia. Ikatan darah itu membuat orang

mempunyai solidaritas dalam kelompoknya. Menurut kodratnya, apabila seorang anggota

kelompok mengalami sakit/gangguan maka anggota yang lain akan ikut merasakan dan

membela mati-matian anggota kelompoknya yang di ganggu (Zainab al-Khudairy, 1995:

143-144).

Page 29: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

29

Dalam perkembangan selanjutnya konsep ‘ashabiyah itu bisa berubah menjadi

pertalian yang berbagai macam. Seperti pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan,

se-partai, dll. Malah kadangkala pertalian se-kepentingan bisa mengalahkan pertalian

darah sebagaimana yang kita lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik.

Karena itu, menurut Ibn Khaldun, pertalian sedarah bukanlah satu satunya

penyebab solidaritas, tetapi bisa saja faktor lain yang membentuknya. Malah kadangkala

solidaritas se-darah dapat di kalahkan oleh solidaritas yang lainnya, seperti faktor se-

kepentingan.

Walaupun demikian, jika kita teliti lebih dalam, faktor ‘ashabiyah ini sebenarnya

termasuk ke dalam kategori faktor alami dari penggerak sejarah.

Hukum Sejarah

Dari beberapa pemikiran Ibn Khaldun memiliki kesamaan dengan pemikiran abad

modern seperti Montesquieu (1689-1755), Agust Comte (1798-1857), Hegel (1770-1831)

dan Karl Marx (1818-1883). Karena itu Ibn Khaldun dikatakan oleh Len Evad Goodman

dari Universitas Hawai, memiliki posisi yang sangat penting di bidang filasafat sejarah.

Bahkan Goodman menempatkan Ibn Khaldun seperti halnya Thucydides (455-400 SM)

sebagai Father of History, karena sama-sama menganut pola siklus dalam memandang

perjalanan sejarah (Muhsin Mahdi, 1971: 34).

Pertama, hukum kausalitas, ini merupakan salah satu dari tiga hukum determinis

sejarah, sedangkan dua di antaranya adalah hukum peniruan (pengulangan) dan

perbedaan. Arti determinisme menurut Edward Carr adalah: "keyakinan bahwa segala

sesuatu terjadi karena suatu causa atau berbagai causa dan semua tidak akan terjadi

dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan pada causa-causa."

Sementara 'Abd al-Razzaq al-Makki' berpendapat bahwa teori kausalitas Ibn

Khaldun ini sebagai wujud pemikiran Aristotelian yang bertentangan dengan Al-Ghazali

tentang kemestian sebab akibat. Sungguhpun demikian, menurut Ibn Khaldun, hukum

kausalitas berlaku pada alam fisik dan alam manusia. Tetapi ia juga mengakui hal-hal

yang luar biasa pada diri Nabi, wali dan ahli sihir yang tidak tunduk pada hukum

kausalitas.

Page 30: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

30

Sebagai ilmuwan ia berpegang dan mempercayai hukum kausalitas, tetapi sebagai

muslim ia juga mempercayai adanya mu'jizat dan karamah yang tidak tunduk pada

hukum kausalitas. Karena satu peristiwa dengan peristiwa lain dijalin oleh adanya

hubungan sebab akibat. Hukum kausalitas tidak hanya terbatas pada bidang kealaman,

tetapi juga pada masyarakat manusia. Fenomena yang terjadi pada masyarakat manuisa

tunduk pada hukum-hukum yang tetap. Masa kini manusia dapat menopang dalam

menginterpretasikan masa lalunya.

Kedua, peniruan (pengulangan). Pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak

yang menang. Karena ia disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, masyarakat

senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan, kedua, para pemegang kekuasaan yang

baru selalu meniru pemegang kekuasaan sebelumnya, ketiga, pemegang kekuasaan yang

kalah meniru pada pemegang kekuasaan yang baru.

Ini, menurut Ibn Khaldun merupakan hukum yang umum. Peniruan mendorong

gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang si peniru melengkapi apa yang

ditirunya sehingga tradisinya menjadi lebih baik.

Ketiga, perbedaan. Menurut Ibn Khaldun perbedaan juga menjadi dasar dalam

determinisme sejarah. Masyarakat tidak mungkin sama secara mutlak, di antara mereka

mesti terdapat perbedaan yang harus diketahui. Sementara hukum perbedaan adalah:

"salah satu sumber yang samar-samar terjadi dalam historiografi adalah mengabaikan

perubahan situasi dan kondisi yang terjadi pada bangsa dan generasi, sesuai dengan

berubahnya periode dan perjalanan waktu. Perubahan semacam itu memang sangat

tersembunyi, terjadi secara tidak kentara dan lama sekali baru tampak serta hanya

diketahui beberapa orang saja. Hal ini terjadi karena dunia dan bangsa-bangsa dengan

adat kebiasaannya tidak mungkin sama. Kalau individu-individu, waktu dan kota

berubah, maka demikian halnya dengan daerah, iklim, periode dan juga negara."

Artinya, perbedaan di antara masyarakat itu muncul dari usaha peniruan tradisi

oleh suatu masyarakat. Peniruan juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul

belakangan akan meniru tradisi negara sebelumnya. Hukum perbedaan di antara

masyarakat menurut Ibn Khaldun juga disebabkan oleh faktor geografis, fisik, ekonomi,

politik, adat istiadat, tradisi dan agama.

Page 31: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

31

Namun sungguhpun demikian, implikasi dari ketiga makna di atas sangat penting,

baik yang menjabat di bidang ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama. Agar

jangan terjadinya semacam ketidakberaturan dalam memahami persoalan, individu

maupun masyarakat hanya demi kepentingan segelintir kelompok.

Karena kahancuran negara disebabkan oleh pemusatan kekuasaan dan kemegahan

di satu tangan. Selama kekuasan dan kemegahan masih dirasakan semua anggota dan

solidaritas, mereka masih mau berjuang mempertahankan negaranya dan kematian akan

dianggap sebagai sesuatu yang wajar.

Akan tetapi apabila sebaliknya, mereka akan malas berjuang dan memilih hidup

dalam kehinaan dan penghambaan. Lantaran sifat kekuasaan yang menghendaki

kemewahan disertai dengan bertambahnya kebutuhan. Dalam padanan seperti ini

pendapatan tidak lagi sepadan dengan pengeluaran. Rakyat miskin akan kelaparan,

sementara orang kaya membelanjakan hartanya untuk hidup mewah.

Maka, rasa saling menghargai antara hak yang satu dengan lainnya harus

seimbang, agar membawa watak kekuasaan negara ke arah kestabilan dan ketenangan.

Apabila ketenangan dan kestabilan sudah menjadi kebiasaan suatu bangsa, maka ia akan

menjadi watak dan kepribadian bangsa. Pun menjadi impertus bagi kepemimpinan

berikutnya serta tidak dipandang sebelah mata, bersifat impasif atau lalai terhadap

persoalan yang ada.

Filsafat Sejarah

Berbeda dengan sejarah dan historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh

kepada hal-hal yang lebih mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar di

sini bukan berkaitan dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah

sejarah, melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya,

benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri.

Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire apada abad ke-18 M. menurutnya filsafat

sejarah tidak lebih dari sebuah kritik sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di

lakukan oleh para sejarawan. Hegel dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat

sejarah adalah makna yang simpel dari kata sejarah.

Page 32: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

32

Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana yang di pergunakan oleh seorang ahli

sejarah dalam melukiskan sebuah peristiwa sejarah sehingga dapat

dipertanggungjawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejarah yang

memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang menjamin supaya penyusunan

fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat di mengerti. Seorang filosuf sejarah

mempermasalahkan kaedah-kaedah suatu pedoman yang dipergunakan oleh ahli sejarah

sehingga mungkin kaedah-kaedah dan pedoman tersebut tidak dapat di pertahankan dari

segi filsafat sehingga harus disingkirkan. Tetapi, jika perbedaan pendapat antara seorang

filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah

salah.

Walaupun demikian, filsafat sejarah cukup berguna untuk mempertajam kepekaan

kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan peneliti sejarah untuk

mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah pada saat tertentu.

Tentang Peradaban

Ibn Khaldun menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al-‘umran (ilmu

peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial

budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al-‘umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi

sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi

modern).

Ibn Khaldun menyatakan bahwa sejarah pada hakikatnya adalah catatan mengenai

umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak

masyarakat (peradaban) itu. Manusia bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut

tabiatnya, karenanya ia membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial

manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan

cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi

sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat

nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal.

Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar

ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah

urbanisasi (tamadun), peng-kotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih

Page 33: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

33

baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan

untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif (Fuad Baali,

1988: 65).

Konsep kunci yang diajukan Ibn Khaldun untuk memahami proses perubahan

masyarakat adalah ‘ashabiah (solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas sosial

(‘ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga untuk

mengendalikan masyarakat. ‘Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah.

Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian sosial. Tujuan

‘ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al-mulk, otoritas politik). Sebuah

kedaulatan dijaga tegaknya oleh ‘ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ‘ashabiah bisa

ditinggalkan, karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi

masyarakat kemudian (Ibn Khaldun, 1988: 124).

Kemenangan pada perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial,

‘ashabiah. Golongan yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk.

Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama

berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebringasan,

kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk

berhasil.

Puncak kedaulatan, sebagai tujuan solidaritas sosial adalah negara. Negara akan

memiliki wilayah luas dan kedaulatan yang kuat jika mendasarkan pada agama.

Merupakan watak alami negara memusatkan kekuasaan pada tangan satu orang

(golongan), juga merupakan watak alami negara menimbulkan kemewahan dan

menumbuhkan sifat menurut dan malas. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan

meratanya kemewahan dan sifat malas merupakan indikasi kehancuran negara (Biyanto,

2004: 45).

Negara memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga

generasi. Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan,

penuh dengan watak positif pengembara, ‘ashabiah yang menyatukan masyarakat sangat

kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain. Generasi

kedua, generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan

dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa

Page 34: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

34

yang dimiliki melonggarkan ‘ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai

tampak. Generasi ketiga, generasi ini telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup

kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang.

Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur

(Ibn Khaldun, 1988: 114).

Kehancuran sebuah negara menjadi titik anjak munculnya negara baru. Negara

baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara

sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali.

Pola siklus yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola

siklus tidak melingkar, namun spiral.

Bagi Bennabi siklus hidup sebuah organisasi sosial manusia (masyarakat) adalah

valid, namun Bennabi menilai Ibn Khaldun membatasi penerapannya pada konteks

negara. Padahal menurut Bennabi siklus hidup ini juga valid untuk organisasi yang lebih

luas, kompleks dibanding sekedar entitas negara, yaitu peradaban. Teori tiga generasi Ibn

Khaldun, berlangsung umumnya 120 tahun, dinilai valid oleh para ahli hanya untuk

negara-negara Arab dan Barbar pada satu periode sejarah (masa-masa Ibn Khaldun dan

sebelumnya).

Dari keterangan di atas konsep yang menarik juga adalah dialektika yang

dimainkan oleh sisi interior dan eksterior peradaban (menggunakan terminologinya

Guizot). Etika menentukan perkembangan organisasi sosial masyarakat, kemudian

organisasi sosial masyarakat yang berkembang juga memberikan pengaruh kepada etika

individu. Etika tertentu, semisal keberanian, kejujuran, kebaikan mempengaruhi

pembentukan negara pada tahap awalnya, kemudian pada tahap ketika negara sudah

terbentuk di mana kondisi ekonomi-sosial mencapai kemakmuran, sisi etika individu

umumnya terpengaruh menjadi mudah korup, menggampangkan, cenderung bermewah-

mewah; yang bisa memicu krisis yang menstimulasi keruntuhan.

Penutup

Ibn Khaldun, seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada

zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Sebelum Khaldun,

Page 35: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

35

sejarah hanya berkisar pada pencatatan sederhana dari kejadian-kejadian tanpa ada

pembedaan antara yang fakta dan hasil rekaan. Sebagai pendiri ilmu pengetahuan

sosiologi, Ibn Khaldun secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai

ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata.

Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafat-

sejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara

kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun

sangat menonjol diantara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai

ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk

menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial.

Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn Khaldun, adalah di sebabkan oleh

adanya penggerak sejarah. Menurutnya penggerak sejarah itu adalah faktor Ilahi dan

faktor alami. Faktor Ilahi adalah Tuhan. Dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan

Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam agama ardhi dan agama primitif,

faktor Ilahi itu adalah dewa-dewa. Adapun penggerak sejarah dari faktor alami adalah,

antara lain, politik, ekonomi, sosial, budaya, solidaritas sosial dan lain sebagainya.

Sedangkan perjalanan gerak sejarah, dalam pandangan Ibn Khaldun, lebih

mengambil pola siklis. Hal ini berdasarkan pengamatan Ibn Khaldun setelah melihat

jatuh bangunnya sebuah dinasti (pemerintahan). Dan memang, setiap dinasti (baik di

dunia Islam maupun di dunia Barat) sebuah dinasti berproses dari tumbuh, berkembang,

masa kejayaan, masa kemunduran, dan masa kehancuran. Namun, di balik kehancuran

sebuah dinasti telah terdapat sebuah dinasti baru yang akan menggantikannya. Sebagai

seorang muslim, Ibn Khaldun tetap mengakui “campur tangan” Tuhan (Allah) dalam

gerak sejarah. Dan bagaimanapun, perjalanan sejarah di gerakkan oleh faktor Ilahi dan

faktor alami.

Page 36: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

36

DAFTAR PUSTAKA

Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun: An Essay in Reinterpretation, London: Frank Cass and

Company,1982.

Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Grafiti Press, Jakarta,

1985.

A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yayasan Nida, Yogyakarta,

1970.

Ali Audah, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.

Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di

Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.

Biyanto, Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibn Khaldun, Lembaga Pengkajian Agama

dan Masyarakat, Surabaya, (2004).

Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab Philosophy of

History, Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis, diterjemahkan

oleh Mukti Ali, Tintamas, 1972.

Fuad Baali, Society, State and Urbanism (Ibn Khaldun Sociological Thought), State

University of New York Press. 1988.

Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman

Ralibi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.

Gaston Bouthol, Ibn Khaldun Sa Philosophie (Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun),

Titian Ilahi Press, Yogyakarta.1998.

Ibn Khaldun. Muqaddimah (Tarikh Ibn Khaldun), Dar al-Fikr, Beirut, 1988.

Ibn Khaldun. Muqaddimah (terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986.

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.

Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun: His Life and Work, Kitab Bhavan, New

Delhi, 1979.

Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun Philosophy of History, The University of Chicago Press,

Chicago, 1971.

Malcolm Yapp, The Historiography of Universal History, Microsoft ® Encarta ® 2006.

© 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved, 2006.

Microsoft ® Encarta. (2006). © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Osman Raliby, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Bulan Bintang, Jakarta,

1978.

Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani

Press, Jakarta, 1996.

Page 37: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

37

Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta,

2003.

Zaenab al-Khudhairy, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Pustaka, Bandung, 1987.

Page 38: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

38

ORDONANSI GURU DAN PENDIDIKAN ISLAM

MASA KOLONIAL BELANDA

Mahpuddin Noor

[email protected]

Abstrak

Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan agama diurus oleh dua departemen

yaitu: Departemen van Onderwijst en Eeredinst untuk pengajaran agama di sekolah

umum, dan Departemen voor Inlandsche Zaken untuk pengajaran agama di lembaga

pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Dalam praktiknya, kedua lembaga tersebut

tidak menangani masalah pendidikan dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih

merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang

ada. Salah satu alat pengontrolnya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan

Ordonansi Guru 1905 dan 1925. Pemerintah mewajibkan pemilikan surat izin bagi guru-

guru agama, sehingga tidak sedikit guru-guru agama tersingkir dan tidak bisa mengajar

karena tidak lulus dari lembaga perizinan yang sebenarnya lebih bersifat politis. Seleksi

yang dilakukan menunjukkan adanya kekhawatiran pemerintah terhadap guru-guru yang

dianggap berbahaya yang dapat menimbulkan kesadaran kritis rakyat, yang bisa

menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Selain itu pemerintah

Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1930-an. Kebijakan

ini mengharuskan setiap penyelenggaraan pendidikan mengantongi surat izin dari

pemerintah, melaporkan keadaan sekolah dan kurikulum yang diterapkan.

Kata-kata Kunci

Ordonansi, Guru, Pendidikan, Islam, Kolonial

Pendahuluan

Dalam perjalanannya, pendirian sekolah-sekolah Islam di Nusantara tidak berjalan

mulus. Ketika kolonialisme mencengkeram negeri ini, masalah pendirian sekolah

merupakan masalah yang serius. Hal ini diakibatkan oleh pengalaman kolonial Belanda

atas pendirian sekolah-sekolah Islam yang nyata-nyata menentang kolonialisme,

walaupun tidak dengan melakukan perlawanan secara terbuka.

Adanya stigma akan pendidikan Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap

Belanda merupakan sesuatu sejarah yang perlu disingkap. Perlawanan pendidikan Islam

terhadap penjajah yang paling ringan adalah dengan pendirian sekolah-sekolah Islam,

semisal pondok pesantren di pinggir kota atau bahkan di pelosok desa.

Page 39: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

39

Hal ini memperlihatkan bagaimana sebuah institusi pendidikan Islam tidak mau

berdekatan dengan kekuasaan Belanda yang ada di kota, karena mereka tidak mau

diatur-atur oleh penjajah. Juga keberadaan doktrin dalam Islam akan kaum kafir yang

harus ditolak untuk bekerjasama dengan kaum muslimin juga menjadi indikasi akan

perlawanan sekolah-sekolah Islam terhadap penjajah.

Ketegangan inilah yang menjadikan sekolah-sekolah ini menjadi sulit didirikan di

Nusantara. Puncak ketegangan antara pendidikan kolonial Belanda dengan pendidikan

Islam adalah adanya kebijakan kolonial Belanda tentang ordonansi guru, suatu aturan

dari kolonial Belanda yang mengatur supaya setiap guru agama Islam yang akan

mengajar di suatu sekolah wajib memperoleh surat izin mengajar terlebih dahulu

(Burhanudin Daya, 1995: 262), di mana pengawasan dari kolonial Belanda ini mendapat

perlawanan dari kaum muslimin.

Dengan adanya ordonansi guru ini, ketegangan-ketegangan antara pemerintah

kolonial dan kaum muslimin memunculkan ketidaknetralan pemerintah kolonial

terhadap agama, seperti dinyatakan dalam pasal 199 Konstitusi Belanda tahun 1885

(Alwi Shihab, tt: 96).

Kemunculan ordonansi ini merupakan puncak peristiwa yang terjadi dua dekade

sebelumnya, yaitu reaksi terhadap pemberontakan petani di Cilegon, Banten (Jawa

Barat), melawan kolonialisme tahun 1888 yang dihasut guru-guru agama (Hosein

Djajadiningrat, 1958: 47-79) maupun obsesi pemerintah kolonial Belanda lewat

organisasi misionari untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh

Islam.

Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda

Page 40: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

40

Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada

umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak

didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan

kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah

ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni:

1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak

Indonesia.

2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara

pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.

3. Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru

dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan.

Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru,

jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah

pusat.

4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan

pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

5. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di

negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara

mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di

Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti

dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis

dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak

ada.

Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak

pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak

Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua

untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat

dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di

Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter

Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa

Page 41: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

41

hubungan organisasi antara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya.

Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk

anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai

organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan

mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling

berhubungan erat.

Pendidikan Islam Masa Kolonial Belanda

a. Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam

Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial.

Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam

sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor

yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.

Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “Pemerintahan kafir” yang

menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri.

Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti

Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda,

dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai

sebagai pakaian identitas Belanda.

Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen,

sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut.

Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial

sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah

Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja

(Hasbullah, 1995: 64).

Page 42: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

42

Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831,

keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai

sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.

b. Ordonansi Guru

Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat

menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905

mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih

dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi

kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk

melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi

pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur

agama Islam di negeri ini.

Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan

peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak

semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin

disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak

tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.

c. Ordonansi Sekolah Liar

Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk

mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan

menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai

oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan

setelah munculnya gerakan Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah

pemuda (Aqib Suminto, 1996: 53-60).

Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang

lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa

Page 43: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

43

mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula

memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini

membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu

keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin

berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru

sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya

sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena

pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan

pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah

liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak

Indonesia.

Madrasah sebagai Alternatif Pendidikan Islam

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Madrasah memulai proses

pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Latar

belakang kelahiran Madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama,

pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang memberikan

kemampuan pragmatis yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah

ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak

sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki

model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.

Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam

yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia

Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah

tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin banyak

kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya

bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin

terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya

Page 44: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

44

bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu pihak

menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya

mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat

diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih

akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi di pihak lain, pandangan di atas juga

mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan

Islam seperti madrasah.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan

Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan para guru-guru

agama untuk memiliki surat izin dari pemeintah. Tidak semua orang, meskipun ahli ilmu

agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru

ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan

agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman

penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan

pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.

Ordonansi Guru dinilai oleh umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi

perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam

di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika

menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.

Dalam perkembangannya Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari

keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu

cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi Guru yang diperbaharui ini

diberlakukan secara lebih luas diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa.

Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Ordonansi Guru ini pun

sering disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam.

Peristiwa yang dialami oleh kalangan Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu

Palembang membuktikan adanya maksud negatif dibalik Ordonansi Guru tersebut. Pada

waktu itu, Pengurus Pusat akan meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi

Page 45: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

45

tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya sudah memberitahukan rencana kegiatan itu

kepada Residen Palembang.

Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberitahukan

Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan

harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai

kurikulum dan keadaan sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan

laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan

masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum

tertata. Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif

terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggara pendidikan di

luar gerakan Islam. Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu

dapat dikelompokkan dalam dua corak: (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif itu

ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu

terhadap pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional

pesantren yang sepenuhnya, mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Di samping

mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan

kurikulum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental

keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan

yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam

bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang

bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan risiko harus

terasing dari perkembangan masyarakat modern.

Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa

tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha

umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai

kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum.

Ketergantungan pada tekanan penjajah justeru akan melemahkan posisi umat Islam

sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin

Page 46: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

46

memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk

mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan

secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak

tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud kongkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan

berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun

di luar Jawa.

Terlepas dari kedua respons di atas, umat Islam pada umumnya menolak segala

bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam

menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang

cukup keras. Di Minangkabau sebuah pertemuan khusus umat Islam dilaksanakan untuk

membahas masalah ini dan berakhir dengan keputusan untuk menentangnya.

Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia

Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh

pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-

setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena

kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.

Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirnya terpenuhi melalui

madrasah, sementara pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-

sekolah yang didirikan sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya.

Untuk itulah dalam masa yang sulit tersebut, kedua tokoh pendidikan Islam yaitu

Ahmad Dahlan dan Abdul Wahab Chasbullah tetap berusaha memajukan Islam dan

Nusantara dengan mendirikan dan membuat pembaharuan atas pemikiran pendidikan

Islam di Nusantara.

Reaksi Progresif Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1888 dari keluarga Muslim tradisional

yang berdomisili di Kauman Yogyakarta (Abdul Munir Mulkhan, 1990: 7). Ketika muda, ia

Page 47: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

47

adalah anggota aktif Jamiat Kheir (Weinata Saiman, 1995: 42) gerakan pembaharuan

Islam pertama di Indonesia. Tetapi perjumpaan yang paling mengesankan dan

mengilhami pendirian Muhammadiyah adalah keikutsertaan dirinya di Budi Utomo dan

Sarekat Islam.

Di masa mudanya, tahun 1908-1909 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah, yakni

Madrasah Ibtidaiyah (SD) dan Madrasah Diniyyah di rumahnya. Sekolah ini dikelola

secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum baru; antara lain diajarkan

berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung di abad 20 (Abdul Munir Mulkhan,

1990: 19), juga penggunaan kursi, bangku serta kelas (Weinata Saiman, 1995: 49) yang

pada waktu itu masih dianggap asing.

Ia sangat terkesan pada model pendidikan dari kolonial Belanda. Akhirnya ia

merancang pendidikan Islam model sekolah kolonial, di mana ada penjenjangan kelas,

kurikulum yang jelas dan adanya seragam sekolah. Sebagai guru di sekolah Islam,

Ahmad Dahlan menjadikan model “sekolah dasar Belanda dengan Bibel” dijadikan

“sekolah dasar Belanda dengan Al-Quran” (Alwi Shihab, 1998: 113) hal ini dilakukan

Ahmad Dahlan sebagai suatu ijtihad dalam melihat suatu realitas sosial (Abdul Munir

Mulkan, 2003: 95).

Salah satu usahanya dalam memajukan pendidikan Islam adalah usahanya

memperbaharui sistem pendidikan yang dualistis, yaitu antara ilmu agama dan ilmu

pengetahuan umum. Ia harus menyatukan sistem pendidikan Barat yang lebih

mengutamakan dan mengembangkan aspek intelektual, dan sistem pendidikan Islam

yang kurang mengembangkan aspek intelektual (Arbiyah Lubis, 1995: 112).

Tahun 1912 di Yogyakarta, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebuah

organisasi yang bergulat dalam masalah kesejahteraan sosial dan pendidikan. Sebagai

seorang yang banyak bergaul dengan kelompok Islam kota, model pendidikan

Muhammadiyah juga tidak jauh dari kesadaran Ahmad Dahlan untuk memodernkan

pendidikan Islam.

Page 48: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

48

Tindakan nyata dari komitmen Ahmad Dahlan untuk Muhammadiyah memilih

berkonsentrasi dan berjuang lewat lapangan agama, pendidikan dan sosial (Ahmad

Jainuri, 2002: 144). Komitmen untuk berjuang dengan usaha Muhammadiyah

mendirikan sekolah yang menyaingi Sekolah Gubermen (milik Belanda) (Karel A.

Steenbrink, 1994: 104).

Reaksi Defensif Abdul Wahab Chasbullah

Komitmen dan rasa cinta tanah air yang tinggi dan dibuktikan dengan keaktifan

mereka dalam memperjuangkan Indonesia merdeka juga muncul pada kelompok

pembaharu pendidikan Islam di lingkungan pesantren. Figur Wahab Chasbullah (1888-

1971) yang berjasa dalam membukakan diri untuk mendorong dunia pesantren dalam

menerima dan mencoba melakukan “reformasi”. Jasa terbesarnya adalah menguatkan

posisi tawar kelompok Islam tradisionalis dari lingkungan pesantren dengan membentuk

organisasi Nahdlatul Ulama (Martin van Bruinessen, 1994: 46).

Sebelum Wahab Chasbullah diserahi pesantren Tambak Beras oleh ayahnya, Kyai

Chasbullah, ia adalah seorang “musafir pencari ilmu” (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25)

hal ini merupakan tradisi dari para santri pondok pesantren. Wahab Chasbullah juga

mengikuti tradisi musafir untuk berburu ilmu di pesantren-pesantren di Jawa. Hal ini

menunjukkan betapa pentingnya kegiatan mencari ilmu bagi seorang Muslim. Dalam

buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyarie Dhofier meringkas alur pengelanaan Wahab

Chasbullah saat menjadi musafir:

Setelah mendapat ilmu dari ayahnya, Hasbullah, pemimpin pesantren Tambak Beras,

Jombang. Wahab Chasbullah melanjutkan ke Pesantren Pelangitan Tuban selama 1

tahun, Pesantren Mojosari di Nganjuk selama 4 tahun, ke Pesantren Tawangsari

selama 1 tahun, Pesantren Kedemangan bangkalan madura, Pesantren Branggahan

Kediri selama 1 tahun dan Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lalu dilanjutkan ke

Mekkah selama 4 tahun dan berguru kepada enam ulama ternama, mereka adalah

kyai Mahfudz al-Tirmisy, Kyai Muhtaron, Syaikh Ahmad Khatib, Kyai Bakir, Kyai Asy’ari

dan Syaikh Abdul Hamid (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25-27).

Page 49: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

49

Seperti Ahmad Dahlan yang sangat terbuka, pribadi Wahab Chasbullah yang “liberal”

dalam pergaulan dan cukup vokal dalam berpendapat (Masyhur Amin, 1996: 28-29). Hal

ini mengantarkan dirinya pada organisasi yang tidak kooperatif pada kolonial Belanda,

semisal SI di bawah pimpinan Cokroaminoto (Martin van Bruinessen, 1994: 36). Ia juga

aktif dalam kelompok diskusi intelektual nasional dengan ikut menjadi anggota

Indonesiche Studie Club (ISC) pimpinan Dr. Sutomo (Choirul Anam, 1985: 31). Dengan

pergaulan inilah yang menjadikan Wahab Chasbullah sangat paham dengan masalah

modernisasi dunia dan pembaharuan pendidikan Islam.

Di kota Surabaya, bersama dengan Kyai Haji Mas Mansyur seorang tokoh

Muhammadiyah, Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah

Air) (Saifuddin Zuhri, 1983: 25) sebuah lembaga pendidikan bercorak nasional-moderat.

Lewat Nahdlatul Wathan ia dapat merealisasikan ide-ide pendidikan. Yang tidak dapat

dilupakan adalah sumbangan Wahab Chasbullah untuk kemerdekaan bangsa.

Sekolah Nahdlatul Wathan tidak hanya berdiri di Surabaya. Seperti halnya sekolah

Muhammadiyah yang berdiri di berbagai daerah, sekolah bercorak dan berafiliasi

dengan Nahdlatul Wathan juga berdiri di banyak tempat; Akhlakul Wathan di Semarang,

Fa’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jember, Ahlul Wathan di Wonokromo dan

Khitabul Wathan (Abdul Halim, tt: 34-35).

Dengan berdirinya sekolah-sekolah ini, akar nasionalisme mulai digulirkan kepada

para santri atau murid-murid yang bersekolah di situ. Pada akhirnya, sebuah kesadaran

akan rasa cinta tanah air bersemi dalam ruang-ruang pendidikan yang diasuh oleh para

guru yang kebanyakan adalah santri-santri yang lulus dari pesantren dan sekolah-

sekolah Islam yang mulai berkembang dan menghasilkan alumni-alumni yang berjiwa

nasionalis.

Sebelum konflik yang berkepanjangan antara kelompok tradisionalis dan modernis

berlangsung (Martin van Bruinessen, 1994: 34), Wahab Chasbullah mendirikan suatu

Page 50: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

50

kursus perdebatan/kelompok diskusi yang dinamakan Tashwirul Afkar. Lewat Tashwirul

Afkar inilah, Wahab Chasbullah mempertemukan pemuda-pemuda Islam, ulama-ulama

baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis untuk bersama-sama membahas

keilmuan Islam, seperti madzhab dalam Islam, ijtihad dan masalah-masalah keislaman

yang dibicarakan dengan sangat cair.

Penutup

Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia cukup lama dan

Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan. Di antara

kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan

ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh

dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam

melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang

didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh

pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena

tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.

Pendidikan model Barat tidak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap

pembaharuan pendidikan Islam. Kasus Ahmad Dahlan dan Wahab Chasbullah dapat

menjadi contoh bagaimana modernisasi pendidikan lewat model Barat membawa

konsekuensi perubahan pendidikan Islam di Indonesia

Page 51: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

51

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis; Melacak Pandangan Keagamaan

Muhammadiyah Periode Awal, LPAM, Surabaya, 2002.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996.

Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Khasbullah, PT. Baru, Bandung, tt.

Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang,

Jakarta, 1995.

Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam

Perspektif Perubahan Sosial Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi

Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998.

Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1996.

Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam; Kasus Sumatera Thawalib,

Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995.

Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu, Sala, 1985.

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 LP3ES, Jakarta, 1996.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

1995.

http://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan-

sekarang.pdf.

Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994.

_______________. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan

Bintang, Jakarta, 1987.

Mayhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Al-Amin, Yogyakarta, 1996.

Martin Van Bruinssen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Makna Baru, LkiS,

Yogyakarta, 1994.

Saifuddin Zuhri, Kyai Wahab Khasbullah Bapak dan Pendiri NU, Pustaka Falaakiyah,

Yogyakarta, 1983.

S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 1995.

Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Grafiti, Jakarta, tt.

Weinata Saiman, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

1995.

Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,

Jakarta, 1997.

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.

Page 52: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

52

MASJID AGUNG BANDUNG; PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA

Amaludin Muslim

[email protected]

Abstrak

Secara konsepsional masjid disebut sebagai rumah Allah (bait Allah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al-jami`) sebagai tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin yang dalam konsep awal diwujudkan dalam ruang yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Sesuai perkembangan zaman bentuk masjid mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu, sekaligus fungsi dasar masjid pun mengalami perkembangan dari sekedar tempat ibadah shalat menjadi tempat dakwah dan pembinaan pengajaran Islam, serta ditambah dengan fungsi-fungsi sosial lainnya. Agama Islam sebagai agama `urban` berkembang pesat di kota-kota terbukti dengan hadirnya masjid-masjid di pusat-pusat kota, misalnya Mekah dan Medinah. Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan/ kota seperti kesultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kesultanan Demak, Mataram Islam, hingga Kolonial Belanda. Di Tatar Priangan mesjid pertama dan terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang dibangun tahun 1810 oleh Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas desakan Gubernur Jenderal Daendels.

Kata-Kata Kunci

Masjid Agung, Perkembangan, Pelestarian, Pemanfaatan

Pendahuluan

Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud

(sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud

mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat

kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata sajjadatun

mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut

Page 53: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

53

artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per

orang. Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi

tidak disebut sajadah.

Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus.

Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan

masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan

masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus

untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut

menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum'at disebut Masjid Jami`. Karena salat

Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami` biasanya besar. Sedangkan masjid

yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor

atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan

keperluan, disebut Musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla

terkadang diberi nama langgar atau surau.

Konsep awal bangunan mesjid, sebagaimana mesjid mula-mula yang didirikan di Timur

Tengah sebenarnya sederhana, sebagaimana dituliskan oleh Abdul Rochym (1995), yaitu sebagai

tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin dalam arti yang seluas-luasnya. Sebagai

tempat bersujud, sholat melaksanakan perintah Allah sesuai ajaran agama Islam. Sebagaimana

Allah diyakini sebagai pemilik jagad, bersujud kepadaNya dapat dilakukan di mana saja. Dengan

demikian, seluruh jagad ini diyakini oleh pemeluk Islam merupakan juga mesjid (Rochym, 1995).

Mesjid dalam batasan visual sudah dapat diwujudkan hanya dengan ruang yang dibentuk oleh

empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Dalam

perkembangan selanjutnya, kaum muslimin kemudian bersembahyang di tempat tertentu

dengan batasan yang lebih pasti. Di sinilah lahirnya mesjid dalam batasan fisik bangunan.

Namun demikian sebagai potret perkembangan evolutif dari mesjid generasi awal tersebut,

hingga kini mesjid Arab asli tetap mempertahankan lapangan terbuka di bagian tengah sebagai

cirinya.

Fungsi dasar mesjid kemudian mengalami perkembangan setelah mesjid dalam

pengertian fisik diwujudkan. Pada gilirannya, fungsi dakwah dan pelajaran agama Islam

ditambahkan ke dalamnya. Berikutnya dalam tingkatan yang lebih maju, fungsi-fungsi yang

diemban menjadi lebih beragam. Ketika mulai ada keterkaitan dengan pemerintahan daerah

Page 54: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

54

atau kekuasaan, aspek politik ikut dimasukkan. Dalam kasus konflik-konflik yang mengakibatkan

peperangan misalnya, laskar yang hendak berjihad mempersiapkan diri di mesjid sebelum

keberangkatannya.

Jika menengok sejarah Nabi, ada tujuh langkah strategis yang dilakukan oleh

Rasul dalam membangun masyarakat Madani di Madinah. (1) mendirikan Masjid, (2)

mengikat persaudaraan antar komunitas muslim, (3) Mengikat perjanjian dengan

masyarakat non Muslim, (4) Membangun sistem politik (syura), (5) meletakkan sistem

dasar ekonomi, (6) membangun keteladanan pada elit masyarakat, dan (7) menjadikan

ajaran Islam sebagai sistem nilai dalam masyarakat. Ketika Nabi memilih membangun

masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukan

hanya sebagai tempat salat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah)

tertentu, tetapi masjid sebagai majlis untuk memotivisir atau mengendalikan seluruh

masyarakat (Pusat Pengendalian Masyarakat).

Secara konsepsional masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau

bahkan rumah masyarakat (bait al jami`). Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah

bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi :

1. Sebagai tempat menjalankan ibadah salat

2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen)

3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti kantor

pengadilan)

4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis

Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan

masyarakat di mana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari

Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat

baru, juga ayat-ayat Qur'an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar

pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari

sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.

Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam

adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat

di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota`

Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak

Page 55: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

55

berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru

bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini.

Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses di mana bisnis dan

urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid,

dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab untuk membangun fasilitas di

dekat masjid, di mana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna

ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi,

Umar membuat ruang khusus di samping masjid. Itulah asal usulnya sehinga pada masa

sejarah Islam klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid

(http://www.mail-archive.com)

Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan

seperti kesultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman

Kesultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan

khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada

zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut

sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg.

Seiring dengan makin berkembangnya Islam dan makin meluas pula pengaruhnya,

bangunan mesjid kemudian menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan politik. Dalam pola

kota tradisional Nusantara, mesjid agung ditempatkan di sebelah barat alun-alun, sementara

istana, keraton atau pendopo kabupaten ditempatkan di selatan alun-alun. Alun-alun sendiri

merupakan ruang terbuka multi fungsi yang di antaranya dipergunakan sebagai tempat

masyarakat mendengar titah-titah penguasa, perayaan-perayaan besar dan sarana interaksi

sosial antar warga.

Pola tata ruang tersebut diterima di semua kota tradisional Jawa, tidak terkecuali

Bandung. Salah satu mesjid pertama, dan juga yang terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang

dibangun tahun 1810, bersamaan dengan pembangunan pendopo kabupaten. Pembangunan

tersebut konon ditangani langsung Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas

desakan Gubernur Jenderal Daendels yang memerintahkan pemindahan ibu kota kabupaten dari

Krapyak ke lokasi yang lebih dekat ke Jalan Raya Pos. Sesuai dengan konsep tata bangunan

tradisional, Mesjid Agung menempati lahan di sebelah barat alun-alun, Pendopo Kabupaten di

sebelah selatan sementara di bagian agak ke utara kemudian dibangun pasar dan penjara.

Page 56: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

56

Masjid Agung Bandung dalam Lintasan Sejarah

Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun

1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat

diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat

itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari

bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap

yang masih sangat sederhana. Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada

yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil

air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah,

karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu

di depan atau di sampingnya.

Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun

1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk

memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.

Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat

yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)

Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930),

masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale Bandung.

Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale Bandung yang

berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah

timur alun-alun (Kunto, 1996). Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting

dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan

Page 57: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

57

pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang

pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda.

Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari

bahan bilik dan bambu menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850,

bangunan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan Asia-

Afrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu,

sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan

masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa

penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata. Inilah

penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk

pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat

yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1).

Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman

luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang

diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung

merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo

di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di

sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan

ekpresi bangunan masjid pada saat itu.

Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang

tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya

ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah

setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.

Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875

seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan

atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama

juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.

Page 58: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

58

Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani.

(Sumber: KITLV Leiden)

Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya

seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid

setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar,

tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari fondasi yang ditinggikan yang

sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada

gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi

yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut.

Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung

mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibu kota Priangan

(Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan ciri masjid tradisional yang sangat kental.

Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan,

bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara

(Graaf, 1947).

Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol

dalam fungsi, aktivitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan

makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahkan konon masjid agung

pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadah dan sosial

penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi

tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat ‘Ied dan belajar mengaji, serta menjadi

baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.

Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi

dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara

Page 59: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

59

pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan

simetri bangunan masjid. Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin

`nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut

kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap

lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal. Sepasang menara kembar di

kiri dan kanan bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya

`nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).

Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid (Sumber: Haryoto Kunto).

Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan

pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan

sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid

Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan

berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi. Sementara itu, penggunaan

tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu.

Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India

`Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah

dijelaskan di atas.

Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh

bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik

ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini

kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah

Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.

Page 60: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

60

Setelah Soekarno mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische

Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk

membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam

mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden.

Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen

(25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal

karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds

(dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan

pemerinta kolonial Belanda.

Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan

Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung Pakuan. Presiden

Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada

pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung

garapan Soekarno. Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu

pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang

dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu

bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal.

Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 1955-

1970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996).

Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar

biasa dibanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga

dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi

diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir

seperti tidak lagi memiliki halaman depan. Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren)

dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa

tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah

selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk

yang sudah lebih dari se abad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi

empat bergaya Timur-Tengah (gb. 4).

Page 61: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

61

Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia

Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)

Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga

semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di

pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa

mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun

juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-

Azhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta.

Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya

Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para

tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung Bandung mulai dikenal oleh

dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale

Nyungcung`. Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut

pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian diperbaiki

kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan

ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun

1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan

sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya

Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.

Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK

Gubernur Kepala Dati I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan

bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini

diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5).

Page 62: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

62

Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran

(Sumber: Haryoto Kunto).

Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun

pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang

shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai

mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi

luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita

lihat pada tampak muka masjid.

Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di

halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam

yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap

yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang

tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.

Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total

pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi

sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu

ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan

ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di

sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju

masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang

diharapkan manfaatnya.

Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan

finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding

pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang

Page 63: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

63

ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?)

sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali

melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.

Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001.

Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi

penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak

muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang

tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen

pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini.

Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan

masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di

depannya.

Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi

berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah

untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan

karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara

tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian

oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi

kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu

yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh

khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik

(http://bambangsb.blogspot.com/).

Pemanfaatan Masjid Raya Bandung; Antara Sisi Positif dan Negatif

Page 64: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

64

Berwisata ke Kota Bandung tak afdol rasanya jika tidak datang ke kawasan Alun-alun

Bandung. Kawasan ini dikondisikan sebagai sentra awal penelusuran wisata Kota Bandung.

Terletak di pusat kota, Alun-alun Kota Bandung dikelilingi empat sisi yang memiliki sejarah

panjang percaturan Republik ini. Empat sisi itu ialah tiga jalan utama (Jalan Asia Afrika, Jalan

Alun-alun Timur, Jalan Dalem Kaum) dan Sungai Cikapundung. Di sisi selatan, ada kawasan

perhotelan berbintang yang letaknya hanya beberapa menit dari Alun-alun, yaitu Hotel Savoy

Homann, Preanger, Aston (Braga City Walk), dan Hotel Panghegar.

Letak Masjid Agung Bandung (sekarang Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa

Barat) yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan

ciri utama yang dimiliki Masjid Agung Bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan

perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam

bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh

trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana.

Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam

lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya

pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti

hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang

mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan.

Tetapi inilah kenyataan itu.

Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas

bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak

mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu

membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar`

darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki. Banyak pelancong di Bandung

juga heran jika memperhatikan kawasan alun-alun dan halaman Masjid Raya Bandung.

"Pedagang asongan sekarang lebih sering berjualan di dalam alun-alun dan memenuhi

pinggiran dan halaman masjid. Ini membuat situasi lingkungan Masjid Raya Bandung

tidak nyaman dan tidak indah dipandang mata. Padahal, Masjid Raya Bandung menjadi

bagian dari lokasi pelancongan umat Islam di Bandung. Pada malam hari suasananya

Page 65: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

65

malah lebih kacau. Orang bebas pacaran di sekitar alun-alun yang letaknya pas di

halaman masjid.

Penilaian negatif itu muncul antara lain karena Alun-alun yang juga menjadi halaman

Masjid Raya Bandung Jawa Barat itu, khususnya jika malam hari, selalu berubah fungsi menjadi

kawasan bermain wanita-wanita nakal yang populer dengan sebutan "bunga berjalan" alias

penjaja cinta kilat. Para penjaja cinta kilat ini memang tak punya kelas. Tetapi, yang namanya

kehidupan malam, mereka bisa mengecoh pandangan mata. Bandung, harus diakui, memiliki

"bunga malam" yang semarak. Di sini, meski tergolong "bunga malam" yang tak berkelas,

mereka tetap saja diminati para lelaki hidung belang. Tak ayal, taman Alun-alun Bandung yang

merupakan plaza dari Mesjid Raya Bandung menjelang malam pun menjadi ajang transaksi

"cinta kilat" antara "bunga malam" dan para lelaki hidung belang. Para peminat layanan cinta

kilat ini bukan hanya para lelaki hidung belang lokal, sekali-sekali ada juga lelaki hidung belang

dari luar daerah. "Bunga malam" Taman Alun-alun Bandung ini, setelah sepakat dalam transaksi

di taman, biasanya membawa mangsa gaetannya ke beberapa hotel kelas melati yang berada di

sekitar Taman Alun-alun Bandung. Maklum, di sekitar itu tumbuh pula sejumlah hotel melati

yang bisa digunakan jam-jam-an untuk sekadar melepas hajat birahi para lelaki hidung belang.

Karena "bunga malam" Taman Alun-alun Bandung inilah, suka atau tidak suka,

kehidupan malam di lokasi itu selalu berdenyut. Tampaknya, jika kawasan Alun-alun Kota

Bandung terkondisikan sebagai salah satu objek wisata kota, tak akan bisa terlepas dari

persoalan "cinta kilat" tersebut. Pasalnya, harus diakui, kepariwisataan seakan sudah lekat

dengan persoalan seksualitas.

Inilah barangkali satu sisi buram dari objek wisata Kota Bandung. Pemerintah Kota

Bandung bukan tak ada upaya untuk menghalau para penjaja cinta kilat ini dari kawasan Taman

Alun-alun Bandung. Tetapi upaya itu seakan tak membuahkan hasil. Operasi atau razia terhadap

para "bunga malam" ini kerap dilakukan, namun terkesan "si bunga" tak pernah layu.

Tertangkap razia satu, akan muncul banyak yang lain. Padahal di sudut timur taman itu, nyaris

24 jam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja berjaga.

Di tengah hiruk pikuk alun-alun sebagai pusat keramaian di Kota Bandung, keberadaan

Masjid Raya Bandung masih menjadi harapan sebagai benteng keimanan bagi warga masyarakat

yang masih perduli terhadap agamanya. Masih banyak ditemukan pada waktu-waktu sholat lima

Page 66: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

66

waktu keberadaan Masjid Raya Bandung tetap ramai dikunjungi untuk melaksanakan sholat lima

waktu. Keberadaan Masjid ini sangat membantu para pelancong dari berbagai daerah untuk

melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim atau muslimah, yaitu melaksanakan sholat

wajib.

Selain digunakan sebagai pelaksanaan shalat lima waktu keberadaan Masjid Raya

Bandung Provinsi Jawa Barat digunakan pula sebagai pembinaan keagaamaan dalam bentuk

pengajian yang diselenggarakan oleh DKM, Majlis-Majlis Dzikir yang menyelenggarakan doa dan

dzikir setiap hari setelah shalat Zuhur, kajian Tafsir al-Quran, pelatihan membaca al-Quran,

pelatihan Bahasa Arab, pelatihan manasik haji dan juga memiliki KBIH. Pada saat bulan suci

Ramadhan Masjid Raya Bandung juga menyelenggarakan shalat tarawih berjamaan, menerima

titipan ZIS, shalat idul fitri dan idul adha juga penyembelihan hewan qurban.

Penutup

Ada sebuah peristiwa penting di kota Bandung pada paruh pertama tahun 2003 silam

yang berkaitan dengan tata kota, yaitu beralihfungsinya sebagian Alun-alun menjadi bagian dari

perluasan ruangan Mesjid Raya Bandung dan sisanya menjadi halaman depan mesjid. Rumah

ibadah yang secara tradisional menempati area sebelah barat Alun-alun, di kawasan Alun-alun

Bandung sekarang diperluas ke Alun-alun yang semula adalah halaman pendopo dan terletak di

tengah sebagaimana lazimnya jantung kota tradisional. Sebuah gebrakan yang cukup berani -

meskipun dapat dikatakan terlambat dan tidak menyelesaikan kesemrawutan kawasan Alun-

alun Bandung- untuk merubah atau menyesuaikan desain pusat kota tradisional Bandung

dengan kondisi sekarang dan mungkin ke depan. Perluasan mesjid ke arah timur yang

mencaplok jalan sekaligus Alun-alun memang jauh lebih praktis dan mungkin lebih ‘murah’

karena hanya memanfaatkan lahan milik pemkot berupa jalan dan Alun-alun yang mungkin

gratis, dibanding membebaskan toko dan bangunan lain -yang makin lama akan makin mahal- di

bagian barat dan samping yang menjepit bangunan mesjid lama.

Bila Masjid Raya Bandung itu dimaksudkan untuk menjadi landmark Alun-alun, ia

harus dipisahkan dari bangunan lain seperti pertokoan apalagi bangunan tua tak

terpakai. Seindah apapun bagian depan atau wajah masjid, selama bagian lain apalagi

Page 67: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

67

bagian mihrab di barat terjepit di bagian belakang pertokoan atau bangunan yang

centang perenang, keindahan dan kemuliaan itu menjadi tidak pernah utuh. Apalagi

bersebelahan dengan bangunan tua yang kosong dan kumuh (gedung Suarha di sebelah

kanan masjid yang dibiarkan terbengkalai kecuali lantai dasar), membuat kemegahan

Mesjid Raya Bandung yang berbungkus marmer itu teredam dan bahkan menambah

parodi kota.

Lingkungan (bekas) Alun-alun Bandung lalu memiliki elemen pusat kota yang

dibangun pada zamannya masing-masing sekaligus menjadi kontradiksi satu sama lain:

pendopo kabupaten yang sekarang menjadi rumah dinas walikota, menyisakan

sepenggal sejarah Bandung tempo dulu yang tradisional pulau Jawa, sementara di

seberangnya berdiri beberapa gedung kolonial yg makin pudar kewibaannya, apalagi

berjajar dengan Menara BRI, bangunan perkantoran tertinggi di kawasan itu yang

memakai langgam arsitektur kontemporer. Di timur berdiri dua gedung pertokoan,

Miramar, pusat pertokoan pertama di Bandung yang kini nasibnya mengenaskan dan

Palaguna Nusantara. Kedua gedung itu -Svarha dan Miramar- seperti gelandangan kota

dengan pakaian kucel dan kumuh berdiri tegak di sekitar mesjid, pendopo dan pusat

perbelanjaan. Barangkali karena tidak lagi berperan sebagai pusat pemerintahan,

kondisi itu dibiarkan demikian termasuk pemasangan billboard rokok ukuran raksasa

pada jembatan penyeberangan tak jauh dari kawasan Alun-alun.

Berubahnya Alun-alun menjadi bagian masjid dan halaman Masjid Raya memang

sah-sah saja selama perannya sebagai ruang terbuka di tengah kota masih terjaga.

Karena Alun-alun itu telah lama berhenti berperan sebagai pusat kota dalam arti pusat

pemerintahan. Bandung adalah pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat:

Pemerintah Kota Bandung sendiri dan Propinsi Jawa Barat. Secara tidak langsung, terjadi

pembagian fungsi Alun-alun di kota Bandung. Kawasan bekas Alun-alun Bandung

menjadi kawasan perdagangan dan perkantoran, Balai Kota untuk kantor pemkot,

sedangkan Alun-alun dalam arti tradisional -lapangan luas tempat berkumpulnya

masyarakat terutama untuk menyaksikan hiburan- terkonsentrasi di Gasibu depan

Gedung Sate. Alun-alun Bandung hadir dengan vitalitas perdagangan yang sibuk dihiasi

Page 68: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

68

segala ikon ekonomi khas kota Indonesia: kontradiksi antara mesin kapitalis yang

direpresentasikan dengan pusat perbelanjaan di gedung jangkung ber-AC dan

berelevator dengan tempat parkir berlantai-lantai, dengan ekonomi kelas kaki lima dan

beca, sementara Gasibu hampir secara rutin menjadi Alun-alun tempat warga kota

menikmati hiburan dan pasar kaget pada hari Minggu.

DAFTAR PUSTAKA

Hardjasaputra, A. Sobana. Bandung, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2000.

Kunto, Haryoto. Balai Agung di Kota Bandung. PT Granesia, 1996.

Kunto, Haryoto. Wajah Bandung Tempo Doeloe. PT Granesia, 1994.

Kunto, Haryoto. Ramadhan di Priangan. PT. Granesia, 1996.

Lubis, Nina H., dkk. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2005.

Rochym, A. Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa. 1995.

Setia Budi, Bambang. Tinjauan Arsitektur Mesjid Agung Bandung dari Masa ke Masa. Pikiran

Rakyat 3 Januari 2001.

Sudarsono, Katam, Lulus Abadi. Album Bandung Tempo Doeloe. Navpres Indonesia, 2005.

Suganda, Her. Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas. Kompas, Jakarta. 2007.

http://www.mail-archive.com

http://bambangsb.blogspot.com

Page 69: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

69

PENGEMBANGAN SAINS, HUKUM, SENI, TEKNOLOGI DAN EKONOMI DI

DUNIA ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

Ajid Thohir

[email protected]

Abstrak

Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang

cukup besar bagi kepentingan peradaban dunia secara umum. Aspek-aspek

pengembangan kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu

mengolah potensi material dan kosmologikal. Sehingga warisannya secara umum cukup

bisa dinikmati oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman.Warisan agung (the

great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa

hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Keagungan peradaban Islam

hendaknya bukan hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos di mana upaya-upaya terdahulu

para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan

Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia. Bagaimana

cara-cara Islam mengembangkan kemanusiaan dan wilayahnya bisa ditelusuri dari

realitas sejarahnya melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi.

Kata-Kata Kunci

Hellenisme Islam, Sains, Hukum, Seni, Teknologi, Ekonomi, Assimilasi Etnik, Produk-

Produk Sains.

Pendahuluan

Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-

wilayah kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan

memasuki daerah-daerah kebudayaan luar sekitarnya (Romawi dan Persia) yang

berdekatan dengannya, seperti Irak, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya. Secara otomatis,

penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan

kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa,

suku, ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan

Arab dan non-Arab berkembang.

Terjadinya proses asimilasi dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal

Islam, secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenya bukan

hanya dalam dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif,

simetris dan dialogis antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit

pula dalam aspek-aspek tertentu berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang

terjadi di kawasan India (Ajid Thohir & Ading Kusdiana, 2006: ).

Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan

perkawinan antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang

ditaklukkan yang dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana

dan sepele. Karena masing-masing entitas yang secara genetika, bahasa, sistem sosial,

pemikiran bahkan keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing etnik sangat

Page 70: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

70

berpengaruh dalam pola penerimaan terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada

akumulasi yang rumit. Namun untuk mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya

ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses asimilasi di dunia Islam khususnya

antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat daerah-daerah yang taklukkannya

hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga faktor tersebut adalah:

Doktrin atau Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, Mayoritas penduduk yang

ditaklukan masuk Islam, Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu

negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan yang

intens antara keduannya, kemudian memberikan kontribusi bagi wilayah-wilayah baru

yang akan mereka taklukkan (Ahmad Amin, 1933: 85).

Prinsip Ajaran Islam dalam Penaklukan

Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin

memerangi suatu negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka

bersedia secara sukarela masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama

kaum Muslim yang lain. Dengan demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satu-

satunya cara untuk menaklukan daerah lain. Perang hanya jalan terakhir. Dalam salah

satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka

berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan kalimat tersebut, darah dan harta

mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka hendaknya mereka

menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih diperbolehkan

menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka menerima

tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum

Muslimin lainnya”

Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem

perhambaan dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses

asimilasi ini. Sehingga,. perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem al-

wila” yakni kemerdekaan yang diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan

tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan dengan nasab keluarga yang

memerdekakannya; dan kedua ‘ashabiyah terjalinnya hubungan emosional persaudaraan

yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan. Sehingga dalam

perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi, sikap

mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya.

Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di

daerah-daerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orang-

orang Arab seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan

oleh al-Baladzury (1992: 280) ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka

penduduk tersebut secara berduyun-duyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam.

Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya Rustam terkalahkan, maka orang-orang

Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada

beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk Islam pada waktu itu. Pertama;

karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka mengakui kebaikan dan

kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari membayar pajak

(jizyah) (Ahmad Amin, 1933: 86). Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak

menjadi hina dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah).

Page 71: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

71

Asimilasi Antara Orang Arab dan Non Arab

Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah

yang dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka

bergerak seirama dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti

halnya yang terjadi di Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai

pedagang dan karyawan dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh

para penakluk Arab. Termasuk berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli

Arab juga berlaku demikian. Dalam banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara

unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra,

saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan wilayah-wilayah sekitar luar Arab,

kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke jazirah Arab. Seperti

halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk serta berdomisili

di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah.

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada

proses asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam

banyak hal berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur

dengan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya,

seperti sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini

terlihat dari berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi.

Apabalagi bangsa-bangsa yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup

dalam naungan negara yang lebih maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem

sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka sudah menjadi maklum, mereka juga

membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan system sosio kemasyrakatan

barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat besar dan hebat. Juga

sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi penguasa

kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan

Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan

Persia ke dalam dunia Islam.

Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses

asimilasi ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibty walaupun

mereka masuk agama Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya

keyakinan yang telah melekat selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang

ada tidak benar-benar murni bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan

pola pembentukan hukum undang-undang serta penataan kemiliteran Islam banyak

mengadopsi dari pola-pola Romawi.

Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara

cepat dan tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju

dibanding bangsa Romawi dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup

memiliki bahasa dan agama yang dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat

bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengembangan kebudayaan

dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui proses sejarahnya.

Hellenisme Kebudayaan Islam?

Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman

pada abad ke-18, untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa

Page 72: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

72

kejayaan kerajaan Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang

menguasai seluruh wilayah Laut Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika,

khususnya wilayah-wilayah yang berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya

berbentuk penyatuan kebudayaan yang dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan

antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam rangka membangun kebijakan ini, mereka

membentuk pola perkawinan massal antara tentara yang dibawa Dzulkarnaen dengan

penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria dan Persia. Penyatuan

kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus dilanjutkan pada masa

kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan tetapi tidak

sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam realitas

seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan

oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut.

Proses Hellenisme dalam Kebudayaan Islam

Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir,

Syria dan Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara

politis, sosiologis dan antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak

baru dalam membangun pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan

berbagai tradisi di wilayah-wilayah warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan

mereka yang selama ini hanya didapatkan dari alam lingkungan Arab dan warisan

kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, maka perjumpaan mereka

dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar awhyu; meskipun

dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah

“kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti

filsafat, sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran

pengetahuan ajaran agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari

konsep-konesp pengetahuan baru tersebut.

Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat

studi sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta

rahib-rahib Nasran dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun

seperti di Jundishapur, dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat

kegiatan intelektual mereka dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis.

Dengan serta merta umat Islam melihat pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar

“ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan bentuk-bentuk ghanimah berupa materi,

nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah ini kelak akan menjadi alat dan

penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampai-sampai Umar bin Khathab

ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat memasuki wilayah-

wilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para pemegang

naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani

(Nurcholis Madjid, 2000: 222).

Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani,

Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang

cukup dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru

umat Islam yang didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum

Page 73: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

73

al-awail”, pengetahuan dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang

selama ini mereka gunakan atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna

Nabi SAW, biasa disebut sebagai “ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak

pengetahuan luar ini akan digunakan sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan

berbagai epistemologi ilmu-ilmu kewahyuan, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul

fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah proses penterjemahan dari sumber-

sumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab. Karena pengetahuan Yunani

ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka tidak sedikit pula

mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata ilmu-ilmu

Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani. Naskah-

naskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan

medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk

filsafat dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaan-

perpustakaan Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal

dari Euklidus.

Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga

ternyata telah didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra,

retorika, sejarah, politik dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki

keterkaitan dengan kebutuhan kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model

pengetahuan yang ditemukan, tenyata para cendikiawan muslim tidak seluruhnya

mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai dengan kebutuhan untuk kepentingan

agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang berada di luar kepetingan itu,

apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam mereka tidak ambil,

bahkan ditinggalkan sama sekali (Kuntowijoyo, 1991: 72). Seperti berbagai bentuk

mitologi Yunani yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam

naskah-naskah pemikiran Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan

cerita-cerita Israiliyat memang sangat dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait

dengan theater, gladiator, melodrama, cerita-cerita panggung Homeros, maupun cerita-

cerita tragedi dan komedi yang begitu popular di zaman Yunani maupun Romawi, namun

hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia literatur Islam. Karena nampaknya,

semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang mendapat apresiasi dalam

ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat muslim yang saat

itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan malah

nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur,

terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720-

756) seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa

India. Termasuk ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam

Sibawaih juga nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya

logikanya Yunani (Jurji Zaidan, 1996: 19-23).

Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam

Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di

antaranya:

1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu

pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam

mendorong bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala

Page 74: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

74

sesuatu yang menyangkut bagi pengembangan tradisi sosial dan individual yang

berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal tidak bertentangan dengan norma-

norma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain

kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan

pusat-pusat kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk

bersentuhan secara langsung, bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah

ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera diolah.

2. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi

informasi tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang

kemanusiaan serta dorongan untuk mengembangkannya (Ahmad Amin, 1933:

143-144). Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan

cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan

mengembangkannya lebih jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat

itu, pada semua lini penelitian selalu berangkat dari wahyu yang memberi

informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu Yunani atau Persia memberi

jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi.

3. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendekiawan, ilmuan, maupun ulama,

sepakat untuk saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing

dalam memanfaatkan dan mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal

pemerintahan yang digunakan untuk pengembangan penterjemahan dalam

kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan tidak menyia-nyiakan

untuk memanfaatkannya.

4. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan,

sangat terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari

kalangan non-muslim seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi.

5. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung

bagi mereka yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup

mutawwatir, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu

menghargakan setiap naskah tulisan sesuai dengan berat timbangan emas (Ahmad

Amin, 1933: 145).

Pusat Saluran Hellenisme dalam Islam

Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam

pada umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat.

Pusat-pusat kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi

dan lokasi laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di

dalamnya, Seperti di:

a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam

mengembangkan kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini

berkembang ilmu kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah

Maristan. Madrasah Jundishapur nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan

kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran dan filsafat.

b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani

dan Romawi termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia,

Greek dan Romawi. Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia,

Yunani Kuno, dan Neo-Platonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah

Page 75: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

75

kumpulan para pengikut agama pagan, perpaduan antara doktrin agama Babilonia,

Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada masa pemerintahan Al-Makmun

Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini nampaknya sebagai sumber

terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama bidang-bidang teknik

fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti Tsabit bin Qurrah

(221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang astronomi, Ibn

Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga

kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat

lembaga penterjemahan.

c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan

Romawi saat mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia

merupakan pusat pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai

madzhab Iskandariyah, yang dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan

rangkaian pikiran Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme

nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam terutam dalam theosofi (pemikiran

madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut” dan “nasut”. Salah satu

muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua abad sampai masa

pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary (150 M),

Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan

doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih

banyak mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan

bahasa Suryani dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun

Yahudi dengan filsafat Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi

agama dan filsafat seperti ini dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir,

Palestina, Aleppo dan Home (Philip K.Hitty, 1974: 309-310).

Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Kedalam Dunia Islam

Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa

Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya,

kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit

banyak telah mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak

pernah dikenal sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan

Amawiyah salah satunya sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian

dari karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin

Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan).

Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah,

dan terbagi ke dalam tiga gelombang:

1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun Al-

Rasyid tau antara tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah

wa al-Dimnah dari bahasa Persia, al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga

karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab al-Majesti tentang astronomi.

Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn al-Muqaffa, serta

Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada

periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya

Aristoteles seperti al-Nidzom, yang mengupas tentang metode berlogika dan

berfilsafat.

Page 76: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

76

2. Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H.

Mereka yang terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq

yang lebih menguasai filsafat dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai

karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho

bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220 H), Hunain bin

Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah

(w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir

seluruh karya-karya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Pikiran-pikiran Phytagoras, karya-karya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous,

Noumous dan Manajemen Perxxkotaan karya Plato, termasuk karya Al-Majesti

juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles, dan sebagainya,

seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya, Ishak

bin Hunain.

3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad

(320 H), Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn

Zur’ah (398 H), mereka masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan

psikologi Aristoteles, mereka juga sudah mulai memberi komentar terhadap

karya-karya ini (Philip K.Hitty, 1974: 311-316).

Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka,

juga terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam

doktrin-doktrin agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia

alam semesta. Bahkan untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode

berfikir filsafat, termasuk bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti

kedokteran, matematika, fisika, astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu

mengkoreksi bebagai kekurangan dan kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini.

Epistemologi Filsafat yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina,

kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd, Ibn Hazm, dan seterusnya telah

mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan epistemology sains seperti

yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky, dan seterusnya selalu

dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan kehidupan

manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu

astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan

sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya.

Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi dalam Islam

Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai

kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta.

Proses pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut

sebagai peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam

mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam

sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal,

Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya

untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek

kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid,

sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat

pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk-

Page 77: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

77

bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah (Syed Hossein Nasr, 1997: 11). Dengan

demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga

memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung

juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk

menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau

terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang MahaPencipta

dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS, 12: 36).

Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor (1997: 87) menjelaskan, bahwa sains, seni

dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni

dan budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan

keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini

bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan

teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia

merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan system keyakinan si pencipta

(kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun

demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali tanpa

mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal yang

bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrin-

doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih

universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh

karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi

unsur-unsur luar dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsep-

konsep ajaran Islam itu sendiri.

Seni dalam Islam

Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan,

seperti surga, istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi

inspirasi bagi para kreator untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana

Nabi Sulaiman as, mengilhami lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan

muslim membentuk pusat kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di

atas kebiasaan rakyat biasa. Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah al-

Jamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami banyak hal bagi para seniman muslim yang taat

untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti

al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para kreator seni untuk

memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai larangan

Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang

bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini

tidak ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam

mewujudkan gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah (Seyyed Hossein Nasr,

1999: 43).

Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk

kaligrafi Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk

corak ragam hias ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan

sebagainya dengan berbagai ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang

dianggap bukan sejenis hewan atau manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau

tempat-tempat yang dianggap layak, biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan

Page 78: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

78

ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi);

diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang lainnya yang sangat indah.

Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan

spiritual termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain

interior muslim dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu

menunjukkan muatan yang tak pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam

menghubungkan antara dirinya dengan pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah

Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushola, dan

tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam juga tidak lepas dari upaya sasaran

kreasi seni mereka.

Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia

Islam, selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang

antusias pada kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8

M yang sangat berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat

keagamaan masyarakat dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid

merupakan jantung masyarakat yang ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat

maka jantungnyapun akan sehat, begitupun sebaliknya. Dalam rangka memperindah

bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang telah dijelaskan banyak

ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari mulai di Cordova,

Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di India dan

masjid-masjid di Nusantara Indonesia (Omar Amin Hoesin, 1964: 43).

Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti

trends kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama

yakni bujur sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian

depannya bagi tempat imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang

secara histories baru popular muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai

tempat yang aman dan terhormat bagi para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat

spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu

sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah, semuanya tersedia ada disetiap

masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid dunia Islam selalu terfokus

pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic sanctuaries); Masjid al-

Haram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa Palestina.

Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam, tapi

juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan

kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci (Oleg Grabor, 1997: 79-81).

Sains dan Teknologi

Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah

mewariskan sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan

pengetahuan tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains)

dengan cara-cara menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan

oleh sejumlah sarjana muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M. Mereka bukan hanya

ditopang oleh pengetahuan dan pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah

dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan, terutama pada masa-masa kejayaan

Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi, pengembangan sains lebih dahulu

mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka sendiri, tapi juga mereka

Page 79: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

79

dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam doktrin Islam saja.

Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan matematika, fisika

dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam benda, mereka

peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini mereka

kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut

adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya (Syed Hossein Nasr,

1997: 1-5). Perbedaan yang mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih

banyak berbicara tentang teori dan pengetahuan mengenai macam-macam objek baik

yang bersifat mendasar maupun universal, objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi

lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara menerapkan pengetahuan sains untuk

memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan kemudahan serta kenyamanan umat

manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi kehidupan umat manusia, baik dalam

hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat bagi kemudahan mereka hidup

Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan

Hellenisme Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan

dan metalurgi, matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang

matematika kontribusi Islam telah mengenalkan system bilangan India, dengan

mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah

bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun dengan jumlah klipatan yang sangat

panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizm (w.875

M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam (w.1131). Sedangkan

dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa, apalagi sejak

diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun 711 M

di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling

terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf.

Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang

dikembangkan oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny

(w.1040 M) juga mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan

al-Hikmah”. Pengobatan dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau

Mesopotamia, India dan lainnya. Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang

dokter dan penulis kitab pengobatan yang cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi

al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah membuktikan penguasaannya dalam hal

teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hampir menjadi sebuah kebiasaan bahwa para

dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap dalam profesinya,

selain sebagai filosof, astronom juga ahli (Syed Hossein Nasr, 1997: 171-199).

Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah

ditemukannya penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan

membuat jam melalui mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh al-

Muradi pada abad ke 11 M. Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari

gerakan air yang disambungkan dalam gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk

mengambil air dari saluran yang lebih rendah untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas,

juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan contohnya masih berfungsi sampai

abad ke 13 M.

Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum

alam wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya

Page 80: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

80

Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi

Dr. Badar Abdurrahman Muhammad (1999) dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah

wa Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam

cukup memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini

menggambarkan kepada pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awal-

awal abad ke ke 4 Hijriyah sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang

dikemukakannya mengenai hal ini.

Proses Terjadinya Interaksi Uang dan Bisnis

Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui

adalah masalah pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negri Irak pada barang-barang

yang diimpor ke dalam negri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi,

kewajiban membayar retribusi ini bias dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa.

Maskawaih pernah menyatakan: “…pada tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara

Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah al-Hamdani untuk tidak membayar

retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke Baghdad”.

Retribusi ini tidak hanya diwajibkan anatar negara, akan tetapi juga antar kota di

bawah satu kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah

yang mana retribusi dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai

Dajlah. Termasuk para Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa

tenunan dan barang-barang dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga

dengan jual beli binatang ternak, seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi

perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi.

Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan.

Karena dinilai berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada

beberapa penguasa yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut

menilai bahwa kebijakan retribusi itu dapat menyulitkan rakyat.

Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada

tahun 306 H terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah.

Akan tetapi retribusi ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun

sehingga menambah biaya belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil.

Alat-alat Ukur (Takaran, Neraca dan Ukuran Jarak)

Takaran

Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’

yang sebanding dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas

isinya adalah 29,5 liter atau sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah

yang sebanding dengan lima rithl atau enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu

alat ukur orang Babil yang sebanding dengan 30 Karah.

Timbangan

Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang

basah dan yang kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling

popular waktu itu adalah rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram.

Alat Ukur Jarak

Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta.

Satu hasta sebanding dengan 24 jari.

Page 81: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

81

Mata Uang

Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan

manusia dalam menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai

negara Islam tidak lah sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan

Persia menggunakan dirhan perak. Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam

sejak awal abad ke empat Hijriyah. Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun.

Penggunaan mata uang juga dijadikan kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan

salah satu penguasa untuk memakai mata uang tertentu dapat merugikan perekonomian

penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi percetakan mata uang dari tembaga tanpa

menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi menyebabkan terjadi krisis

ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan bentuk yang besar

dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap sisinya diberi

gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding dengan

seratus mistqol.

Percetakan Uang

Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka

tidak memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu

untuk menjaga nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang

diberikan tugas mengawasi adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti

Buwaihi tidak segan-segan untuk memberikan hukuman mati kepada orang yang

melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah jumlah percetakan uang yang resmi

berjumlah 150 buah.

Surat Perintah Pembayaran dan Cek

Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya

utusan bisnismen Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses

transaksi perdagangan kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan

uang dan barang.

Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah

memakai sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas

dari pengaruh budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap

system perdagangan yang telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa

untuk melanggengkan kekuasaannya.

Lembaga Peradilan dan Hukum Islam

Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy (2000) dalam karyanya Ad-Daulah al-

‘Utsmaniyah Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan

pada negara Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati

posisi yang cukup baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan

melewati waktu yang panjang untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka

bertugas dalam masalah-masalah hukum baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana,

perdata, hukum keagamaan maupun hukum-hukum positif. Atau secara umum mereka

menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan syariat Islam di seluruh pelosok negara

baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan dengan non Muslim. Pada masa

Page 82: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

82

Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan madzhab resmi negara.

Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini. Kerena madzhab

resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung pada

beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama

dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra.

Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim.

Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia

bertempat di Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok

negara dan juga bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim.

Ada banyak bentuk pada kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan Ar-

Rumali. Keistimewaan kelompok ini adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada

pengangkatan hakim agung dengan menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari

kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke

delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang terhimpun pada beberapa organisasi.

Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim walaupun nama mereka tidak

diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima orang. Mereka

termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah mengawasi

wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim dari

kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras,

Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini

sangat besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat

ratus lima puluh hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di

Eropa jumlah mereka mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu

tingkat lebih rendah dari kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota

kecil dan desa-desa besar dan menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan

hadir untuk memutuskan suatu perkara. Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari

para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka

ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa memberikan fatwa sepanjang hidupnya.

Penutup.

Demikian besar secara historis, Islam sebagai kekuatan kebudayaan dalam

merealisasikan dirinya pada pengembangan sains, hukum, teknologi, ekonomi dan ilmu-

ilmu humaniora lainnya. Hingga saat ini, warisan agung (the great-heritage) yang telah

diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah

jauh meninggalkan jejaknya. Bagi generasi muslim saat ini, keagungan peradaban Islam

hendaknya bukanlah hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos dimana upaya-upaya

terdahulu para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia

keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia.

Tradisi besar membangun “wahyu memandu ilmu pengetahuan” telah dicoba pada semua

lini, meskipun tentunya dengan sisi-sisi keterbatasan kemanusiaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, Juz

2, Dar al-Fikr, 1992.

Page 83: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

83

Ahmad Amin, Fajr al-Islam; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir

al-Daulat al-Amawiyyat, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore,

1933.

Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo, cet.2,

2009.

__________& Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial,

Politik,Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006.

Abdul ‘Aziz Muhammad al-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr

wa al-Tauzi’, 2000.

Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar

al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1999.

Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar al-Fikr ,1996.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2000.

Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997.

Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1964.

Syed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban Dalam Islam, terj. J. Mahyudin, Penerbit

Pustaka, Bandung, 1997.

________________, Spiritualisme Islam, Mizan, Bandung, 1999.

Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives,

Second Edition, Pluto Press, London, 2002.

Page 84: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

84

GERAKAN ULAMA DI GARUT:

PERSPEKTIF KONSTRUKSI SOSIAL

Setia Gumilar

[email protected]

Abstrak

Gerakan ulama Garut (1998-2007) yang dilakukan secara terus menerus menimbulkan perubahan tatanan masyarakat dan mengandung unsur-unsur konstruksi manusia (ulama), karena gerakan ulama bukan sekedar kelakuan dan produk kelakuan. Realitas dinamika gerakan ulama akan selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh, ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak mungkin menangkap realitas keberagamaan, tanpa terlibat dalam proses sosial yang kontinu. Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut merupakan realitas sosial yang memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia (ulama) merupakan pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Perubahan tatanan sosial masyarakat Garut dari orientasi keagamaan bergeser pada orientasi politik, merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi.

Kata-kata Kunci

Gerakan, Ulama, Perspektif, Konstruksi, Sosial

Pendahuluan

Buku yang berjudul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang

Sosiologi Pengetahuan karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang

diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1990 merupakan terjemahan dari buku

aslinya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the

Sociology of Knowledge yang diterbitkan pertama kalinya di Amerika Serikat oleh

Penerbit Penguin Books tahun 1966. Buku setebal 276 halaman ini memuat tiga

bab yang diawali dengan Pengantar Penulis dan prakata dari Frans M. Parera

yang menjelaskan tentang Menyingkap Misteri Manusia sebagai Homo Faber.

Kemudian dilanjutkan dengan pendahuluan yang menjelaskan Masalah Sosiologi

Pengetahuan.

Page 85: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

85

Bab 1 dalam buku edisi bahasa Indonesia ini diungkap mengenai Dasar-

Dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari, dibagi dalam beberapa sub

bab. Pertama, Kenyataan Hidup Sehari-hari. Kedua, Interaksi Sosial dalam

Kehidupan Sehari-hari. Ketiga, Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan

Sehari-hari. Bab 2 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan

Obyektif, terdiri dari dua sub bab, yaitu: Pertama, Pelembagaan dan Kedua,

Legitimasi. Bab 3 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan

Subyektif, terdiri dari empat sub bab, yaitu: Pertama, Internalisasi Kenyataan.

Kedua, Internalisasi dan Struktur Sosial. Ketiga, Teori-Teori Identitas. Keempat,

Organisme dan Identitas. Buku ini diakhiri dengan Kesimpulan tentang Sosiologi

Pengetahuan dan teori Sosiologi.

Berger dan Luckmann, melalui buku ini mengajukan gagasan perubahan

dalam sosiologi pengetahuan: Pertama, Berger dan Luckmann menganggap

sejarah perkembangan gagasan dan ideologi merupakan bagian kecil dari

wacana sosiologi pengetahuan. Kedua, sosiologi pengetahuan merupakan ilmu

dengan konsentrasi pada hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan

manusia.

Berger dan Luckmann menggambarkan proses di mana melalui tindakan

dan interaksinya, manusia menciptakan secara terus-menerus sebuah

kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual obyektif, tetapi

penuh makna secara subyektif. Berger dan Luckmann lebih mengedepankan

pandangan dialektik ketika melihat hubungan antara manusia dan masyarakat;

manusia menciptakan masyarakat demikian pula masyarakat menciptakan

manusia yang dikenal dalam istilah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi.

Konstruksi Sosial atas Realitas

Buku ini melahirkan teori yang disebut dengan teori Konstruksi Sosial.

Konstruktivisme merupakan pandangan terhadap dunia. Menurut Berger dan

Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh

dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara

sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge)

Page 86: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

86

untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya realitas. Dari pemahaman di

atas, realitas dan pengetahuan berbeda dan dipisahkan satu sama lain.

Menurutnya Realitas (kenyataan) adalah kualitas yang terdapat dalam gejala-

gejala yang diakui sebagai hal yang memiliki keberadaan (being) yang tidak

tergantung pada kehendak individu-individu (tidak dapat ditiadakan dengan

angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa gejala-gejala itu nyata

dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Dalam kenyataanya,

realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam

maupun di luar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial

tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga

memantapkan realitas tersebut secara objektif (Fachri Firdusi, dalam

http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/).

Mengenai realitas ini, Masnur Muslich menyebutkan setidaknya ada tiga

teori untuk memahami realitas yang mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu

teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta

sosial beranggapan bahwa prilaku dan pandangan manusia sangat ditentukan

oleh sesuatu yang ada di luar dirinya, dalam hal ini adalah masyarakat dan

lingkungnnya. Fakta Sosial menurut Durkheim adalah sesuatu yang ada di luar

diri individi (manusia). Fakta sosial bisa berbentuk norma, struktur, dan institusi

sosial yang akan menentukan individu (manusia) dalam arti luas. Sementara itu,

teori definisi sosial yang dikembangkan oleh Weber beranggapan bahwa

manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi

sosial dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-

benar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan

menciptakannya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal,

subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti

dinamika makna subjektif individu, demikian diungkap oleh Masnur Muslich

dalam tulisannya yang berjudul “Kekuasaan Media Masa Mengkonstruksi

Realitas”.

Masnur Muslich menyebutkan bahwa kedua teori di atas mempunyai

aspek kelemahan. Ia menyebutkan bahwa teori fakta sosial menafikan

Page 87: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

87

keberadaan individu, sementara teori definisi sosial sangat menafikan struktur

sosial.

Teori Konstruksi Sosial lahir sebagai respon dari kelemehan dua teori di

atas. Teori ketiga ini berusaha untuk menggabungkan kedua cara pandang yang

berbeda, demikian diungkapkan oleh Masnur Muslich. Teori ini dikembangkan

oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann yang berusaha melakukan sintesa

terhadap dua pandangan yang sangat berlawanan. Berger dan Luckmann

berpandangan bahwa kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi

obyektif dan subyektif. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif

melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi

kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan

subyektif) (Frans M Parera, 1990: xx).

Menurut Berger dan Luckmann masyarakat adalah produk manusia dan

manusia adalah produk masyarakat sehingga realitas itu terbentuk secara sosial

dan merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas oleh Berger dirumuskan

sebagai suatu kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada

di luar kemauan manusia, karena realitas itu merupakan suatu yang tidak dapat

dihindarkan kehadirannya. (Berger dan Luckman, 1990).

Kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas hasil interpretasi

manusia dan bermakna dalam diri individu sebagai dunia yang masuk akal.

Dunia kehidupan sehari-hari ini tidak hanya diangap sebagai suatu realitas yang

sudah ada sebelumnya oleh individu-individu dalam masyarakat, tapi juga

merupakan sebuah dunia yang mempengaruhi dan membentuk pikiran serta

tindakan mereka. Realitas dari kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas

di mana individu-individu saling berbagi pengalaman subjektif di antara mereka.

Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di

dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi

yang dilakukan berulang-ulang --sehingga terlihat polanya dan dipahami

bersama--yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Masyarakat

sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi

berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk

Page 88: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

88

akal secara subyektif (Muhammad Arwan Rosyadi, dalam

http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11).

Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas

obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah

berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia

untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. (Muhammad

Arwan Rosyadi, dalam http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11).

Melalui teori konstruksi sosial ini, Berger memandang bahwa konstruksi

sosial merupakan sebuah proses dialektika tiga tahap, yaitu eksternalisasi,

obyektivasi, dan internalisasi. (Berger dan Luckmann, 1990: 185). Pertama,

tahap eksternalisasi yaitu penyesuian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai

produk manusia. Kedua, objektivikasi yaitu interaksi sosial dalam dunia

intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi

Ketiga, internalisasi, sebagai proses individu mengidentifikasi diri dengan

lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga proses

tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam

rangka pemahan tentang realitas. (Berger dan Luckmann, 1990).

Memahami Gerakan Ulama di Garut dengan Perspektif Konstruksi Sosial

Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu kota santri yang terletak di

wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Hal ini antara lain disebabkan karena

masyarakat Garut yang mayoritas Muslim dan terdapat banyak pesantren dan

aktivitas keagamaan. Nuansa agamis di Garut ini memang terasa kental. Hampir

di setiap wilayah Kabupaten Garut dengan mudah ditemui lembaga pendidikan

Islam dengan beragam kegiatan, sehingga menjadikan Garut sebagai daerah

yang disebut tempatnya santri sekaligus tempatnya ulama. Berdasarkan data

yang ada di kabupaten Garut tahun 2008, jumlah pemeluk agama Islam di

Kabupaten Garut sebesar 2.220.516 jiwa dari jumlah penduduk Garut 2.225.241

jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang.

Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah

dengan jumlah santri 127.999 orang. Adapun jumlah mesjid 4.297 buah, langgar

Page 89: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

89

6.677 buah dan mushola 3.571 buah. (Data Seksi Penerangan Agama Islam

Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008).

Kota santri bisa dibuktikan dengan adanya lembaga pendidikan Islam.

Saat ini di Garut terdapat 108 Raudhatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah

Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (Mts), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942

Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren. (Hasbullah, 2006). Selain itu,

Moeflich Hasbullah menyebutkan bahwa nuansa religiusitas kota santri

dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut,

yang diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah

(orwah), majelis ta’lim, remaja mesjid, dan lembaga pendidikan al-Qur’an.

(Hasbullah, 2006).

Keadaan seperti itu menjadi hal yang signifikan dalam mempengaruhi

gerakan dalam memunculkan kebijakan-kebijakan pemerintahan ataupun

kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan

potensi kedaerahan.

Seiring dengan perubahan tatanan sosial politik dari Orde Baru ke Orde

Reformasi, gerakan ulama di Garut mengalami pergeseran. Peralihan dari

Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur

sosial, membawa harapan bagi berbagai komponen, salah satunya ulama.

Ulama Garut merespon dengan baik adanya peralihan tersebut. Gerakan yang

diharapkan dipahami akan mendatangkan perubahan. Keterkungkungan medan

ekspresi selama pada zaman Orde Baru diharapkan segera terbuka. Harapan

dan keterbukaan pada Orde Reformasi ini membawa harapan baru bagi strategi,

pola dan karakteristik, serta sasaran gerakan yang akan dilakukan oleh para

ulama Garut. Peralihan tatanan ini, ternyata dapat merubah watak dan

paradigma gerakan ulama. Ulama (kyai) yang pada awalnya bergerak di jalur

keagamaan, pemberdayaan umat, serta kultural, yang dalam bahasa Clifford

Geertz (1981) disebut cultural broker (makelar budaya), sudah mengalami

perubahan. Gerakan ulama pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan

perubahan politik di tanah air. Ulama pun mulai merambah wilayah politik,

ekonomi, dan hukum.

Page 90: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

90

Kenyataan tersebut, di antaranya disebabkan oleh adanya perubahan dari

tatanan sosial politik Orde Baru yang kecenderungannya membatasi ruang gerak

ulama ke tatanan sosial Orde Reformasi yang cenderung membuka kran

kebebasan bagi setiap unsur masyarakat, dalam hal ini ulama, untuk melakukan

segala aktivitasnya. Adanya pergeseran gerakan ulama ini berdampak kepada

tatanan sosial masyarakat Garut. Di antaranya, gerakan ulama yang berorientasi

pada aspek politik, berdampak terhadap reposisi ulama dalam hubungannya

dengan umara. Dalam aspek ekonomi, di antaranya, gerakan zakat yang

diperjuangkan oleh ulama berdampak pada peningkatan sadar zakat bagi

masyarakat Garut. Dalam aspek hukum, di antaranya, gerakan ulama Garut

berdampak kepada kesadaran untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan

yang tertuang dalam Perda. Dari kenyataan tersebut, penulis ingin mencoba

melihat bagaimana dinamika gerakan ulama di Garut dalam kurun waktu 1998-

2007.

Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut sebagai

suatu realitas sosial memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia

(ulama) adalah pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses

eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu

melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan

demikian menurut kerangka Berger perubahan tatanan sosial masyarakat Garut

pada kurun waktu 1998-2007 yang ditandai dengan adanya perubahan gerakan

ulama dari orientasi kepada keagamaan bergeser pada orientasi politik

merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif yang terjadi di Garut

atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan

eksternalisasi.

Gerakan ulama diartikan sebagai konstruksi sosial yang dilakukan oleh

ulama secara terus menerus sehingga menimbulkan perubahan dalam tatanan

masyarakat, terutama di Garut. Gerakan ulama, dengan demikian mengandung

unsur-unsur konstruksi manusia (ulama) karena gerakan ulama bukan sekedar

kelakuan dan produk kelakuan. Jadi, realitas dinamika gerakan ulama akan

selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh,

Page 91: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

91

ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak akan pernah dapat menangkap

realitas keberagamaan, kecuali terlibat di dalam proses sosial secara terus-

menerus. Hal itulah yang tertuang di dalam pandangan Berger dan Luckmann

yang populer dengan istilah—eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi—

ketika melihat hubungan manusia, masyarakat dan agama. Ketiga momen ini

secara simultan membentuk Gerakan Ulama.

Satu contoh konstruksi sosial yang dilakukan oleh ulama di Garut adalah

melakukan perubahan tatanan sosial pada kurun waktu 1998-2007. Posisi Ulama

pada kurun ini berupaya untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat

Garut. Terbukti, ulama mampu melakukan gerakan yang tidak hanya berorientasi

pada aspek keagamaan, tetapi juga pada aspek politik, hukum dan ekonomi.

Dalam melakukan perubahan, ulama pun ditentukan oleh struktur yang

mengitarinya. Perubahan struktur dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dapat

menuntut ulama untuk melakukan enabling dalam tatanan masyarakat Garut. Hal

ini dipahami bahwa upaya yang dilakukan oleh ulama merupakan hasil

pemahamannya terhadap struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan

syariat Islam dan gerakan anti korupsi merupakan upaya ulama dalam

melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut pada kurun waktu 1998-

2007.

Ulama dalam melakukan gerakannya di Garut didasarkan pada motivasi

dirinya dan struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan Syari’at Islam

pada tahun 2002 dengan dibentuknya Lembaga Pengkajian, Penegakkan dan

Penerapan Syari'at Islam (LP3SyI) merupakan hasil pemahaman ulama dalam

aspek politik yang menganggap bahwa tatanan masyarakat Garut akan berjalan

dengan baik manakala syari’at Islam ditegakkan. Pemahaman ini bisa

diwujudkan seiring dengan perubahan struktur politik dari Orde Baru ke Orde

Reformasi. Orde Reformasi yang ditandai dengan kebebasan berekspresi

memudahkan para ulama melakukan gerakan secara kolektif dalam mewujudkan

pemberlakuan Syari’at Islam, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2002 (Priangan, 2-

5 Maret 2002).

Page 92: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

92

Dibentuknya LP3SyI ini dimaksudkan sebagai wadah untuk melakukan

kajian, penerapan dan penegakan syari’at Islam. Selain itu, LP3SyI sebagai

respon Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan organisasi Islam tentang keinginan

pemberlakuan syari’at Islam, demikian diungkapkan oleh Kusaeni, Kepala

Kesbang Pemkab Garut (Priangan, 2-5 Maret 2002).

LP3SyI dideklarasikan pada tanggal 15 Maret 2002 bertepatan dengan

tanggal 1 Muharram 1423 H. Keputusan ini berdasarkan pada kesepakatan

bersama antara MUI dan Dewan Imamah yang beranggotakan 50 orang, yang

terdiri dari ulama, cendekiawan muslim, praktisi hukum, dan orpol Islam.

Koordinator deklarasi tersebut berdasarkan kesepakatan, dijabat Ketua MUI.

(Majalah Tempo, 15 Maret 2002). Adapun isi deklarasi tersebut yang ditulis

dalam Naskah Deklarasi LP3SyI Kabupaten Garut, yaitu:

Pertama, bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat Garut

pangirutan yang tata tengtrem kerta raharja menuju ridha Allah dalam wadah

NKRI yang berdasarkan Ketuhanan YME, maka pengamalan Syari’at Islam bagi

para pemeluknya merupakan suatu kewajiban. Kedua, bahwa penerapan dan

pelaksanaan Syari’at Islam di Kabupaten Garut merupakan realitas aspirasi yang

perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Ketiga, bahwa penyebarluasan dan

penegakan syari’at Islam wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan

penuh tanggung jawab.

Keempat, bahwa untuk tercapainya penerapan dan pengamalan Syari’at

Islam di Kabupaten Garut, diperlukan suatu proses pengkajian yang mendalam,

sejalan dengan dinamika perubahan tatanan sosial dan budaya

masyarakat.Untuk mencapai tujuan itu, dengan bertawakal kepada Allah SWT,

kami sepakat mendeklarasikan penegakan dan penerapan Syari’at Islam melalui

LP3SyI Kabupaten Garut. Semoga Allah memberkatinya dan senantiasa

mencurahkan taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin.

Penutup

Salah satu implementasi dari deklarasi ini, Dede Satibi, selaku Bupati

Garut mengintruksikan seluruh jajarannya, khususnya wanita muslim untuk

Page 93: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

93

memakai jilbab dan intruksi kepada kaum muslim untuk membayar zakat. (Suara

Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002). Mengenai zakat ini, ulama Garut berusaha

untuk melakukan gerakan dalam bidang ekonomi, dengan menyuarakan gerakan

sadar zakat. Diawali dengan lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang

pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh mempengaruhi terhadap kesadaran umat

Islam Garut untuk membayar zakat, infaq, dan sodaqoh.

DAFTAR PUSTAKA

Adian, D. Gahral, 2002. Menyoal Objektifitas Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Traju.

Berger, Peter L dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.

-------------. 1991. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Amerika Serikat: Penguin Books.

Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan oleh Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya.

Moeflich Hasbullah, ‘Gerakan Superfisial Neofundamentalisme Islam: Pendekatan Antropologi Politik Islam di Garut’ KHAZANAH, Jurnal Ilmu Agama Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Vol. 3 No. 10, Juli – Desember 2006.

Muslich, Masnur. “Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas”. Laporan Penelitian.

Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 dan 2. (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia.

Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Priangan, 2-5 Maret 2002.

Majalah Tempo, 15 Maret 2002.

Suara Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002.

Naskah Deklarasi LP3SyI.

Perda No. 1 tahun 2003.

http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/).

http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11.

Page 94: Historia Madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah

94