historia madania - spiuin.files.wordpress.com · terjadi di beberapa daerah seperti perang...
TRANSCRIPT
1
2
Historia Madania Jurnal Ilmu Sejarah
Volume I, No. 2, Juli - Desember 2011
ISSN 2088-2289
Penanggungjawab
Setia Gumilar
Pimpinan Redaksi
Moeflich Hasbullah
Sekretaris Redaksi
Ading Kusdiana
Dewan Redaksi
Sulasman, Asep A. Hidayat, Ajid Thohir, Fajriudin, Agus Permana
Staff Redaksi
M. Amaluddin Muslim, Suparman, Samsudin
Tata Usaha
Widiati Isana
Distributor
Dina Marlina, Fatmawati
Cover : http://ferdiardiantozer.blogspot.com/2010/06/sejarah-peradaban-bangsa-aztec-inca-dan.html
Alamat Redaksi
Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora
Jl. A.H. Nasution 105 Bandung Telp. (022) 7810790 Fax. (022) 7803936
3
KYAI DAN PESANTREN
DALAM HISTORIOGRAFI ISLAM INDONESIA
SULASMAN
Abstrak
Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya tetapi juga tentang wilayah
objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Rentangan sejarah masyarakat Muslim di
Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan-kekuasaan
ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat dengan
puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, maka dalam historiografi
masyarakat Islam di Indonesia sangat mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya
mampu menguraikan atau merekonstruksi keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal
sampai sekarang. Walaupun demikian, karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di
Indonesia telah banyak ditulis, baik oleh orang Indonesia maupun para penulis asing. Salah satu
sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi adalah
dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali
lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan
gerakan perlawanan kaum santri.
Kata-kata Kunci
Kyai, Pesantren, Historiografi, Sejarah, Islam
Pendahuluan
Seminar Sejarah Nasional pertama yang diselenggarakan oleh Universitas Gajah Mada 50
tahun yang lalu merupakan tonggak sejarah bagi perjalanan Historiografi Indonesia. Dari
peristiwa itu telah melahirkan format penulisan sejarah yang Indonesiasentris. Prestasi luar biasa
tersebut kemudian diikuti oleh prestasi berikutnya, yaitu lahirnya buku babon Sejarah Nasional
Indonesia sebanyak 6 jilid pada tahun 1980-an. Tentunya kegiatan seminar yang digagas sekarang
ini diharapkan akan melahirkan tonggak prestasi baru bagi perkembangan historiografi Indonesia
yang dipersembahkan oleh generasi muda dari para sejarawan.
4
Ketertarikan pada sejarah ternyata bukan hanya terjadi dikalangan akademisi, tetapi juga
berasal dari kalangan profesi lainnya. Jagat Historiografi Indonesia kemudian diramaikan pula
seiring dengan semakin berkembangnya teori-teori dan metodologi ilmu pengetahuan. Hal lain
yang juga ikut meramaikan penulisan sejarah Indonesia adalah munculnya beberapa kepentingan
yang membutuhkan legitimasi sejarah, yang kemudian melahirkan beberapa penulisan sejarah
berdasarkan persepsinya masing-masing. Perkembangan ini menjadi menarik karena penulisan
sejarah menjadi beragam. Keragaman dalam penulisan sejarah tidak saja mengenai topiknya
tetapi juga tentang wilayah objek kajian penulisan atau penelitian sejarah. Hal ini kemudian
melahirkan gugatan kepada Sejarah Nasional Indonesia, salah satunya dari kalangan umat Islam
yang mempertanyakan bagaimana posisi Historiografi Masyarakat Islam di Indonesia dalam
konteks Sejarah Nasional Indonesia.
Umat Islam dalam Latar Historis Indonesia
Setidaknya sampai pertengahan abad ke-15, Umat Islam bukan saja telah menyebar luas ke
seluruh kepulauan Indonesia, tetapi secara sosial telah menjadi agen perubahan dalam sejarah.
Saat itu, meskipun Islam belum sepenuhnya mencapai ke pedalaman, mereka telah membangun
apa yang disebut dengan “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di daerah-daerah pesisir
pantai. Dengan dukungan kelas saudagar, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan
hampir menjadi lanskap historis yang dominan di Indonesia saat itu.
Sependapat dengan A.E. Priyono (1991: 26), meskipun jejak-jejak sejarah Islam dapat
dilacak sejak abad ke-11, tetapi perkembangan Islamisasi tampaknya baru dimulai sejak akhir
abad ke-13 dan lebih khusus pada abad ke-14 dan 15 ketika pusat kekuatan pribumi terbesar yaitu
Majapahit sedang mengalami kemunduran. Agama Islam saat itu mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Cepatnya perkembangan agama Islam saat itu, karena agama baru tersebut
mempunyai daya pikat. Daya pikat agama baru itu adalah pada gagasan persamaannya, yaitu
sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak
dimiliki dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak
biru” untuk organisasi “politiko-ekonomi” yang kemudian membuka jalan bagi terjadinya proses
perubahan struktural baru dari sistem “agraris-patrimonial” ke arah apa yang disebut oleh Van
Leur dengan “kapitalisme-politik“ (Van Leur, 1960:122-123). Cetak biru politiko-ekonomi inilah
yang menyebabkan banyak kelas pedagang pribumi yang memeluk agama Islam untuk
5
berpartisipasi dalam komunitas perdagangan Muslim Internasional (Christine Dobbin, 1980: 247-
261).
Komunitas perdagangan Muslim Internasional di Indonesia berkembang mulai pada akhir
abad ke-14 yaitu sejak Malaka berkembang menjadi sebuah “entrepot-state” (negara penyalur
perdagangan lintas laut). Saudagar-saudagar Muslim di pesisir pantai Utara Jawa seperti di
Gresik, Giri, Tuban, Jepara, Demak, dan Jayakarta mengadakan hubungan dagang dengan pusat-
pusat perdagangan internasional seperti di Mediterania, Siam dan bahkan Jepang. Perkembangan
ini menunjukan bahwa Islamisasi telah menyebabkan terintegrasinya kelas menengah saudagar
Muslim dengan pusat-pusat perdagangan Muslim Internasional, sehingga memberikannya basis
material bagi munculnya pelembagaan politik baru yang ditandai dengan lahirnya negara maritim
Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa pada awal abad ke-16. Hal tersebut
membuktikan bahwa pada waktu itu Islam muncul sebagai elemen integratif yang mampu
menyatukan kekuatan ekonomi, politik, dan agama di dalam wadah suatu negara. Sepanjang
pertengahan pertama abad ke-16, Kerajaan Islam Demak berusaha mengkonsolidasikan
kekuasannya melalui pelbagai penaklukan baik secara militer maupun ekonomi ke wilayah di
sepanjang pesisir Utara Jawa, maupun daerah pedalaman Jawa Timur yang belum diislamkan
untuk tunduk dibawah kesultanan baru (M. C. Ricklefs, 1986: xi-xii). Setelah itu, muncul
kekuatan politik Islam lainnya di antaranya seperti Kerajaan Islam Banten dan Kerajaan Islam
Cirebon yang terletak di wilayah Jawa bagian Barat.
Cita-cita kesultanan Demak untuk mengintegrasikan antara agama, ekonomi, dan politik
mendapat tantangan baik dari luar maupun dari dalam. Tantangan ini datang seiring dengan
munculnya kekuatan baru yaitu penetrasi Barat yang ditandai dengan dicaploknya Malaka oleh
Portugis akibat dari ekspansi politik merkantilisme yang saat itu berkembang di Eropa ke seluruh
penjuru dunia. Ekspansi merkantilisme Eropa yang didukung oleh kekuatan militer telah
menggeser konteks Internasional Asia kepada kapitalis merkantilisme sekaligus memudarkan apa
yang oleh Anthony Reid (1988) zaman perdagangan Asia yang kemudian memasuki zaman baru
yaitu zaman kolonial (Immanuel Wallerstein, 1974: 28).
Dalam konteks regional yang sedang mengalami “transisi historis” Demak muncul dan
berkembang dalam waktu yang relatif singkat dan hanya bertahan kurang lebih setengah abad,
jauh lebih singkat dibandingkan dengan masa hegemoni Majapahit yang berlangsung selama tiga
abad. Menurut A. R. T. Kemasang (1985: 57-80), terjadinya pergeseran besar-besaran akibat
penetrasi Barat dalam sistem perdagangan internasional Asia, Kerajaan Islam Demak bukan saja
6
kehilangan basis perdagangan maritimnya, tetapi juga basis material bagi klaim legitimasinya
baik secara politis maupun ideologis. Dengan demikian bisa dikatakan dari rentetan peristiwa
yang diuraikan di atas, kekuatan integratif Islam gagal memainkan peranan historisnya.
Tumbangnya Demak secara internal disebabkan oleh tumbuh dan bangkitnya kembali ideologi
pribumi, dan secara eksternal oleh adanya ekspansi kapitalisme Barat.
Setelah terjadinya ekspansi kapitalisme Barat yang kemudian menggeser tatanan sosial,
budaya dan meruntuhkan kekuasaan politik umat Islam, timbul reaksi dari masyarakat Muslim
Indonesia, yang ditandai dengan gerakan perlawanan kaum santri dari dunia pesantren dengan
Kyai sebagai “causal mekanism” beberapa peristiwa sejarah yang terbentang dari Barat sampai
ke bagian Timur Indonesia.
Historiografi Islam Indonesia
Jika melihat apa yang diuraikan di atas, maka akan terlihat rentangan sejarah masyarakat
Muslim di Indonesia terbentang luas sejak dari proses Islamisasi kemudian terbentuk kekuasaan–
kekuasaan ekonomi dan politik sampai gerakan perlawanan terhadap penjajahan bangsa Barat
dengan puncaknya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan ekonomi ditandai dengan
berdirinya bandar-bandar perdagangan internasional seperti Malaka, Banten, Jakarta, Cirebon,
Tuban, Makasar, dan lain-lain. Kekuasaan politik ditandai dengan berdirinya kerajaan–kerajaan
Islam di Indonesia seperti kerajaan Islam di Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Goa, Makasar,
Tidore. Gerakan perlawanan terhadap penetrasi Barat ditandai dengan gerakan perlawanan yang
dilakukan oleh kaum santri. Menurut Clifford Geertz (1960), gerakan perlawanan kaum santri
terjadi di beberapa daerah seperti Perang Diponegoro di Jawa Tengah yang dipimpin Pangeran
Diponegoro, Kyai Madja, Sentot Alibasyah tahun 1825-1830, Perang Paderi di Sumatera Barat
pimpinan Tuanku Imam Bonjol tahun 1821-1828, Perang Aceh pimpinan Teuku Umar tahun
1873-1903,dan di Jawa Barat yaitu di Banten pada tahun 1834, 1836, 1842, kemudian bangkit
lagi pada tahun 1880, dan 1888 yang dipimpin Kyai Haji Wasid (Ahmad Mansur Suryanegara,
1995: 130-13), serta Perlawanan Singaparna pimpinan K.H. Zaenal Mustofa 1942, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, maka dalam Historiografi masyarakat Islam di Indonesia pun sangat
mustahil jika sejarawan dengan segala keterbatasannya mampu menguraikan atau merekonstruksi
keseluruhan perjalanan sejarah umat Islam dari awal sampai sekarang. Walaupun demikian,
karya-karya penulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia telah banyak ditulis, baik itu oleh
orang Indonesia maupun para penulis asing.
7
Di antara karya-karya mengenai sejarah umat Islam di Indonesia, yaitu karya Haji Abdul
Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan HAMKA yang berjudul Sejarah Umat Islam jilid
IV. Dia menulis sejarah umat Islam di Indonesia sebagai bagian dari sejarah umat Islam. Dalam
penulisannya, Hamka lebih menekankan pada periodisasi dari pada daerah. Selain itu
penekanannya dia lebih menekankan kepada peran pahlawan dan Sultan dalam menguraikan
timbul dan tenggelam suatu kesultanan di kepulauan Nusantara. Hamka sebagai ulama dan
peminat sejarah telah memberikan informasi yang sangat bernilai mengenai sumber-sumber yang
dipergunakannya seperti Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang, Hikayat Raja-Raja Pasai karya
Syaikh Nuruddin Ar Raniry, Tuhfat Al-Nafis karya Ali Haji, Sejarah Cirebon, Babad Giyanti dan
lain sebagainya (Muin Umar, 1988: 185). Selain Sejarah Umat Islam jilid IV, tulisan mengenai
sejarah Islam Indonesia terdapat dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid III. Buku dengan editor
Uka Tjadrasasmita yang mendekati sejarah Islam Indonesia sebagai bagian dari sejarah nasional
Indonesia. Dalam tulisannya dia berbeda dengan Hamka yang menekankan faktor individu, maka
Uka Tjandrasasmita lebih menekankan bahwa sejarah adalah suatu proses dalam masyarakat
yang terjadi karena pergeseran elemen–elemen yang terdapat di masyarakat (Mukti Ali, 1985: 13-
16). Dalam menuliskan sejarah umat Islam Indonesia sebagaimana dalam buku Sejarah Nasional
Jilid III, Uka Tjadrasasmita mempergunakan sumber-sumber berupa buku, artikel, maupun
naskah-naskah, hikayat-hikayat daerah dan berita-berita asing yang pernah diterbitkan (Muin
Umar, 1988: 183). Terakhir penulisan mengenai sejarah umat Islam Indonesia di tulis oleh tim
peneliti termasuk di dalamnya para sejarawan di antaranya Prof. Dr. Taufik Abdullah yang
dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia berjudul Sejarah Umat Islam Indonesia. Meskipun
ketiganya tidak memenuhi harapan penulisan sejarah Islam Indonesia yang totalitas, tetapi sudah
meletakan dasar-dasar bagi Historiografi Islam Indonesia untuk dilakukan kajian lebih lanjut.
Dalam melakukan kajian mengenai Historiografi Islam Indonesia, kita dapat menggunakan
kerangka dari Franz Rosental (1968: 8) yaitu :
1. Tema yang berkisar pada penulisan sejarah lokal, seperti Hikayat Bandjar, Hikayat Raja-Raja
Pasai, Hikayat Kutai dan sebagainya.
2. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah Islam secara umum. Model ini ini dapat
dilihat seperti karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA dalam Sejarah Umat
Islam sebanyak empat jilid.
3. Tema yang berkisar pada karya penulisan sejarah militer seperti Perang Sipil yang pernah
ditulis oleh T. Ibrahim Alfian yang menulis Perang di Jalan Allah : Aceh 1873-1912.
8
4. Tema yang berkisar pada karya penulisan biografi seperti karya Sulasman yang menulis K.H.
Ahmad Sanusi Berjuang Dari Pesantren ke Parlemen.
5. Tema yang berkisar pada novel sejarah seperti karya Muhammad Daud yang berjudul Hikayat
Putra Baren.
Selain model Franz Rosental juga dapat dilakukan secara periodesasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muin Umar (1988: 187) sebagai berikut:
1. Historiografi Islam pada periode masuknya Islam ke Indonesia sampai dengan abad
ke-16.
2. Historiografi Islam pada periode perlawanan terhadap kolonialisme terutama pada
masa penetrasi politik Barat yang menimbulkan reaksi seperti di Aceh, Banten,
Mataram, Banjar Goa dan tempat-tempat lainnya.
3. Historiografi Islam periode awal abad ke-20 M, seperti karya Deliar Noer mengenai
Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
4. Historiografi Islam periode kontemporer seperti karya B. J. Boland The Struggle of
Islam in Modern Indonesia.
Islam di Indonesia merupakan fenomena yang sangat menarik untuk terus ditulis, begitu pula
penulisan sejarah Islam Indonesia banyak menarik perhatian para sejarawan ataupun para ahli
lainnya yang mempunyai ketertarikan pada masalah tersebut berdasarkan perspektifnya sendiri-
sendiri. Cukup banyak tulisan mengenai sejarah Islam di Indonesia di antaranya karya Taufik
Abdullah yang menulis Adat and Islam An Examination of Conflict in Minangkabau tahun
1961, D.A. Rinkes De Heiligen van Java I. de Makam van Sjech Abdoelmoehji tahun 1910, J.J.
Ras, Hikajat Bandjar: A Study in Malay Historiography tahun 1968, J. Noorduyn De
Islamisering van Makasar tahun 1956, H. A. Mukti Ali An Introduction to the Government of
Acheh‘s Sultanate tahun 1970, J. P. Moquete, Mohammedansche Inscriptie van de Java tahun
1921, R. L. Mellema, Een Interpretatie van de Islam tahun 1958, dan lain sebagainya.
Keragaman teori dan metodologi, pandangan filsafat maupun perkembangan ilmu
pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial sebagai ilmu bantu dalam mendekati sejarah Islam
Indonesia, telah membuat semarak dan beragamnya historiografi Islam Indonesia. Tidak jauh
berbeda dengan Sejarah Nasional Indonesia, historiografi Islam pun masih menyimpan celah
untuk terus dilakukan penelitian dan penulisan sejarah Islam Indonesia dalam berbagai perspektif.
Salah satu sisi dari sejarah Islam di Indonesia yang masih jarang tersentuh dalam historiografi
adalah dunia pesantren yang meliputi pesantren, kyai dan santri. Padahal kalau kita buka kembali
9
lipatan sejarah perlawanan terhadap penetrasi Barat, banyak peristiwa yang merupakan gerakan
perlawanan kaum santri.
Kyai dan Pesantren dalam Historiografi Islam Indonesia
Salah satu “great tradition” di Indonesia adalah pengajaran agama Islam yang muncul di
pesantren (Mastuhu, 1994: 55). Alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk
mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana dalam kitab-kitab klasik atau kitab kuning
(Martin Van Bruinessen, 1995: 17). Tradisi pesantren sebagai sebuah kerangka sistem pendidikan
tradisional, menarik para ahli untuk menulisnya seperti Karel A.Steenbrink, J. F. B. Brumund,
van den Berg, Hurgronye, Geertz, A. H. John, Zamakhsyari Dhofier, Dawam Rahardjo, Sartono
Kartodirdjo, Muhammad Iskandar, Mastuhu. Mereka menyadari tentang pengaruh kuat pesantren
dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.
Selama masa kolonial, pesantren merupakan lembaga pendidikan Grass Root People yang
sangat menyatu dengan kehidupan rakyat. Pada zaman revolusi, pesantren yang dipimpin oleh
kyai atau ajengan merupakan salah satu pusat gerilya dalam peperangan melawan Belanda untuk
merebut kemerdekaan maupun pada masa revolusi. Di Pesantren dibentuk Hisbullah yang
kemudian menjadi embrio dari Tentara Nasional Indonesia (B.J. Boland, 1985: 14-27).
Menurut P. A. A. Djajadiningrat (Muhammad Iskandar, 2001: 105-106) kehidupan di
pesantren penuh keteraturan, ketaatan, dan kedisiplinan. Pesantren merupakan komunitas
tersendiri dimana kyai, santri, dan pengurus, hidup dalam satu lingkungan. Mereka merupakan
suatu keluarga besar dibawah asuhan seorang kyai. Di pesantren santri mempunyai dua orang tua
dan dua macam saudara (Mastuhu, 1994: 57). Pondok pesantren pada dasarnya merupakan
sebuah asrama, para siswa tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan kyai. Pondok
merupakan ciri khas pesantren. Alasan pesantren menyediakan pondok bagi santri di antaranya,
pertama, kemasyhuran dan kedalaman ilmu seorang kyai menarik santri-santrinya dari jauh,
untuk dapat menggali ilmunya, santri harus tinggal mukim di pesantren. Kedua, Adanya
hubungan timbal balik antara santri dan kyai, dimana para santri menganggap kyai sebagai
bapaknya dan kyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi,
oleh karena itu kyai mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan tempat tinggal bagi santri.
Dengan demikian, di kalangan santri akan tumbuh perasaan pengabdian pada kyai, sehingga kyai
mempunyai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren. Hubungan kyai dan santri pada masa
revolusi memudahkan untuk melakukan mobilisasi massa sebagai kekuatan revolusi.
10
Elemen yang sangat penting dalam sebuah pesantren adalah kyai. Istilah Kyai dan
Ulama diperkenalkan oleh Cliford Geertz pada tahun 1960-an. Sejak itu, banyak para
peneliti yang menulis tentang Kyai dan Ulama di Indonesia, di antaranya Leonard Binder,
Deliar Noer, Hiroko Harikoshi, Zamakhsary Dhofier, Karel A. Stenbrink, Huub de Jonge,
Elly Touwen Bouwsma, dan Muhammad Iskandar.
Khusus di Jawa Barat terutama di wilayah Priangan contohnya di Sukabumi,
terdapat sebutan lain bagi kyai yaitu ajengan. Umumnya yang mendapat gelar ajengan
adalah kyai pemimpin pesantren yang kharismatik di wilayahnya. Seorang ajengan yang
terkenal biasanya sebutan itu dirangkaikan dengan nama daerah tempat dimana dia
tinggal (Muhammad Iskandar, 2001: 17-18), misalnya K. H. Abdurahim dikenal dengan
Ajengan Cantayan, K. H. Ahmad Sanoesi dikenal dengan Ajengan Gunung Puyuh, K. H.
Hasan Basri dikenal dengan Ajengan Cicurug. Gambaran mengenai sosok kyai di
Sukabumi salah satunya adalah laporan seorang polisi rahasia Belanda tentang K. H.
Ahmad Sanoesi. Menurut laporannya, K. H. Ahmad Sanoesi lebih populer dengan
sebutan Ajengan Gunung Puyuh dan merupakan kyai paling populer dan berpengaruh di
wilayah Priangan Barat. Jumlah santri dan para simpatisannya ribuan orang. Rumahnya
tidak pernah sepi oleh tamu yang datang dari untuk bertanya berbagai masalah, terutama
yang berkaitan dengan keagamaan. Gobee, adviseur voor inlandse zaken memujinya
sebagai kyai berintelegensia tinggi. Pujian datang pula dari Pijper pengganti Gobee, dia
menggambarkan bahwa ulama seperti K.H. Ahmad Sanoesi tidak akan berkurang
pengaruhnya hanya karena dirinya dikurung atau disingkirkan pemerintah. Dia bagaikan
cahaya yang terus memancarkan sinarnya dimanapun dia berada.
Menurut Zamakhsary Dhofier (1982), faktor yang menyebabkan kyai sebagai
pemimpin sosial masyarakat sangat kuat dan dihormati, karena kyai adalah guru. Di
kalangan pesantren muncul suatu pandangan bahwa melupakan ikatan dengan guru
dianggap aib besar dan menghilangkan barokah dan karomah guru. Selanjutnya jika
santri melupakan ikatan dengan guru, maka pengetahuan santri tidak akan banyak
bermanfaat (Muhammad Iskandar, 2001: 22).
Faktor yang membuat kyai sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di
antaranya karena lembaga pesantren itu sendiri, dimana di pesantren telah bermukim
puluhan bahkan sampai ribuan santri yang datang dari berbagai daerah. Santri pada
11
prakteknya bukan sekedar murid kyai, melainkan juga sebagai juru kampanye yang
“mengharumkan“ nama kyai dan pesantren tempat dia menuntut ilmu. Sedangkan bagi
masyarakat sekitar pesantren, santri berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan
kyai (Muhammad Iskandar, 2000: 19). Disamping mengajar santri, kyai juga
menyelenggarakan pengajian “temporal“ untuk masyarakat umum yang dilaksanakan di
dalam atau di luar lingkungan pesantren yang jaraknya bisa puluhan bahkan ratusan kilo
meter. Pengajian temporal mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai media penerangan
agama, dan sarana memelihara hubungan baik antara kyai dengan masyarakat
dilingkungannya (Muhammad Iskandar, 2001: 113).
Mengenai hubungan kyai dengan masyarakat pesantren digambarkan oleh seorang
mantri polisi dalam laporannya bahwa perhatian masyarakat kepada para kyai yang sudah
mendapat tempat di hatinya, mereka seperti tidak mengenal jarak. Di manapun kyai itu
berada, baik karena pindah tempat atau karena diasingkan, mereka tetap berusaha
mengunjunginya sejauh hal itu mungkin untuk dilakukan. Sebagai salah satu contohnya
adalah K.H. Ahmad Sanoesi, meskipun dia diasingkan ke Batavia Centrum tahun 1927,
para santri serta para pengikutnya tetap setia menjalin hubungan dengannya.
Berdasarkan catatan polisi rahasia Belanda selama K. H. Ahmad Sanoesi di tahan, tidak
kurang dari sepuluh ribu pengunjung mengunjunginya. Sikap keteladanan dalam
kepemimpinan kyai menjadi sebuah magnet kekuatan yang digunakan kyai dalam
menggerakan masa untuk menghadapi kekuatan kolonial terutama pada masa revolusi.
Kyai merupakan elemen penting dari pesantren. Perkembangan sebuah pesantren
tergantung pada kemampuan pribadi kyainya. Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982: 61)
kelangsungan hidup pesantren sangat tergantung pada kemampuan pesantren itu untuk
memperoleh seorang kyai pengganti yang berkemampuan tinggi pada waktu ditinggal
mati oleh kyai terdahulu. Ada dua kemungkinan kelangsungan hidup sebuah pesantren
setelah ditinggal oleh kyai pendiri. Pertama, pesantren yang semula besar dan termashur
kemudian memudar dan bahkan hilang. Kedua, pesantren akan semakin besar dan
termashur, karena telah dipersiapkan calon penggantinya untuk meneruskan jejak
perjuangan yang telah dirintis oleh kyai terdahulu.
Ada beberapa usaha yang dilakukan kyai pemimpin pondok pesantren dalam
melestarikan tradisi pesantren, yaitu membangun jaringan pesantren melalui solidaritas
12
kerja sama sekuat-kuatnya antara sesama mereka. Langkah yang dilakukan kyai adalah
mengembangkan suatu tradisi bahwa keluarga terdekat menjadi calon pengganti
pemimpin pesantren. Para kyai selalu menaruh perhatian pada pendidikan putera-
puteranya untuk dapat menjadi pengganti pimpinan pesantren. Jika seorang kyai
mempunyai anak lebih dari satu, anak tertua diharapkan dan dipersiapkan untuk menjadi
pemimpin pesantren setelah dia meninggal, sedangkan anak yang lainnya dilatih untuk
dapat mendirikan suatu pesantren baru atau dapat menggantikan kedudukan mertuanya
yang kebanyakan adalah kyai pemimpin pesantren (Zamakhsari Dhofier, 1982: 62). Bagi
kyai atau ulama yang mengalami kesulitan dalam melakukan regenerasi atau kaderisasi,
untuk mempertahankan otoritasnya selaku pengemban amanah dan pembawa tradisi
pesantren dikembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous antar keluarga kyai atau
mengawinkan anak perempuannya dengan murinya (santri) yang pandai, terutama jika
santri tersebut anak atau keluarga dekat seorang kyai hingga berpotensial untuk
menggantikan kedudukannya. Adanya jaringan perkawinan antar keluarga kyai, bukan
saja otoritas serta kewibawaan keluarga kyai cukup terjaga, melainkan juga ajaran
mereka ikut terpelihara (Muhammad Iskandar, 2001: 89-90). Dengan cara ini para kyai
saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang sangat kuat. Semakin masyhur kedudukan
seorang kyai, semakin luas tali kekerabatannya dengan kyai yang lain. Jaringan pesantren
yang terikat dalam tali temali kekerabatan, atau transmisi ilmu sangat membantu dalam
revolusi seperti yang terjadi di Sukabumi.
Hal yang sangat penting bagi perjalanan pesantren adalah dikeluarkannya peraturan
pemerintah kolonial Belanda berupa “Ordonansi Guru“ yang mewajibkan seorang kyai
memperoleh surat izin mengajar. Kyai harus menjelaskan pelajaran apa yang diajarkan
kepada murid atau jemaahnya. Sejalan dengan penerapan peraturan pemerintah,
pengajian dan tablig Kyai sering diawasi pihak pemerintah kolonial Belanda dengan
menempatkan polisi rahasia di tempat-tempat pengajian. Kecurigaan pemerintah
kolonial terhadap pesantren karena ada sinyalemen yang sampai kepada pemerintah, di
pesantren sering diajarkan ajaran yang membangkitkan perasaan anti Belanda terutama
dipesantren yang menjadi pusat kegiatan tarekat. Mengenai hal ini dikemukakan oleh
P.A.A. Djajadiningrat bahwa di pesantrennya tempat ia berguru ngaji, sering
dibangkitkan perasaan anti Belanda oleh kyainya, sehingga para santri pada umumnya
13
membenci orang-orang Belanda dan orang-orang yang bekerja untuk kepentingan
Belanda (P.A.A. Djajadiningrat, 1936). Nasionalisme di kalangan pesantren tidak sedikit
yang melahirkan pemberontakan yang dipimpin oleh kyai seperti peristiwa Sukamanah
Tasikmalaya.
Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan pesantren bersamaan dengan rasa
persaudaraan dan persamaan dikalangan santri. Menurut Rakhmatullah Ading Afandi
(1982), di antara sesama santri tidak diadakan perbedaan status sosial atau jabatan orang
tua, sehingga hubungan antar sesama santri seperti dengan saudaranya, tanpa tingkatan.
Pesantren yang melakukan pemberontakan, kebanyakan adalah pesantren yang
mengajarkan bahkan menjadi pusat kegiatan tarekat. Di pesantren ini diajarkan amalan–
amalan tarekat berupa dzikir, wirid, ratib, dan sebagainya. Orang pesantren yang
mengamalkan amalan tarekat sangat percaya akan kemampuan supranatural berupa
kesaktian, kekebalan, kadigdayan, kanuragan, dan segala ilmu gaib lainnya yang diambil
dari amalan tarekat (Martin Van Bruinessen, 1995: 337).
Jimat-jimat, latihan kekebalan, tenaga dalam dan kesaktian lainnya pada situasi
normal hanya merupakan aspek kurang penting dalam tarekat. Tetapi dalam situasi yang
tidak aman, dalam situasi perang dan pemberontakan aspek ini menjadi sangat menonjol.
Dalam banyak kasus pemberontakan yang melibatkan tarekat, kelihatannya bukan tarekat
yang mempelopori pemberontakan tetapi para pemberontak yang masuk kedalam tarekat
untuk memperoleh kesaktian. Dalam beberapa kasus menjelang perang atau
pemberontakan banyak orang datang ke tempat kyai tarekat yang punya nama sebagai
ahli kesaktian untuk minta dibaiat oleh mereka.
Pada zaman revolusi terlihat fenomena yang sama. Banyak dari para pemuda yang
siap berperang melawan Belanda ikut latihan silat dengan tenaga dalam. Di daerah
Sukabumi misalnya K.H. Ahmad Sanoesi sangat terkenal sebagai guru kekebalan dan
silat sambatan, yaitu murid-muridnya secara supra natural menguasai jurus-jurus yang
tidak mereka pelajari (Martin Van Bruinessen, 1995: 339). Banyak para pemuda
Sukabumi yang minta dibaiat olehnya. Di pesantren-pesantren lain wirid-wirid, hijib-hijib
seperti Hijib Akbar, Hijib Rifa’i, diajarkan kepada para santri. Begitu juga ilmu
kekebalan dan kanuragan diberikan kepada santri untuk bekal bela diri. Amalan-amalan
ini pada saat akan menuju pertempuran banyak digunakan oleh para santri maupun
14
masyarakat yang akan pergi bertempur. Mereka juga meminta barokah kyai dan minta
dibaiat serta dijiad agar mendapat keselamatan saat berperang. Pada saat terjadi
pertempuran banyak kyai sibuk memandikan mereka yang akan pergi ke medan tempur
dengan air yang telah dijiad atau dibacakan do’a-do’a. Setelah dimandikan dengan air
do’a mereka diberi minum dan dibekali isim-isim atau wafak yang mereka percayai ada
kekuatan yang akan memberikan kekuatan dan perlindungan dari musuh. Adanya
keyakinan akan kekuatan doa, wirid, isim dan lainnya merupakan suatu kekuatan
tersendiri dalam perang terutama dari bagi mereka dari kalangan pesantren.
Penutup
Banyak fenomena yang menarik dalam perjalanan sejarah masyarakat Islam
Indonesia. Keragaman teori maupun metodologi, serta adanya kearifan lokal menjadikan
historiografi masyarakat Islam Indonesia semakin beragam. Keragaman dalam
historiografi Islam Indonesia menunjukan adanya sisi ruang dalam historiografi Islam
Indonesia masih dapat diisi dengan penulisan-penulisan lainnya sekaligus sebagai bahan
renungan untuk melakukan reposisi dan redefinisi historiografi Indonesia.
15
DAFTAR PUSTAKA
A. E. Priyono dalam Prolog buku Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk
Aksi, Mizan, Bandung, 1991.
A. H. John, Islam in Southeast Asia, dalam Indonesia, C.M.I.P., No. 19, halaman 40.
A. R. T. Kemasang , Bagaimana Penjajah Belanda Menghapus Borjuasi Domestik di
Jawa, terjemahan Ariel Heryanto dari Review IX, 1 September 1985.
Abu Hanifah, Tales of Revolution, Sidney: Angus and Robertson, 1972, Hal. 186.
Mohammad Iskandar, Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi; Tokoh Kyai
Tradisional Jawa Barat, Pesantren XXII, No. 2, 1993.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.
Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, Yale University
Press, New Haven and London, 1988.
B. J. Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Grafiti Press, Jakarta, 1985
Christine Dobbin, Islam and Economic Change in Indonesia Circa 1750-1930, dalam J.
J. Fox, Indonesia: The Making of a Culture, Research School of Economic
Studies, The Australian National University, Canberra, 1980.
Clifford Geertz, Islam: Observerd Religious Development in Marocco and Indonesia,
Yale University Press, New York, 1960.
Cliford Geertz, Islam Observerd: Religious Development in Marocco and Indonesia,
1967.
Cliford Geertz, The Religion of Java, New York, The Free Leonard Binder, The Islamic
Tradision and Politic: The Kijaji and The Alim, Comparative Studies in Society
and History. Vol. 2 1960.
Dawam Rahardjo, Kyai, Pesantren dan Desa; Suatu Gambaran Awal, Prisma No. 4 Th.
II, 1973; juga Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta, 1973.
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta, LP3ES, 1980.
Elly Touwen Bouwsma, Staat Islam en Lokale Leiders in West Madura, Indonesia,
Kampen , 1988
Franz Rosental, A History of Muslim Historiography, Leiden, E.J. Brill, 1968.
H. A. Muin Umar, Historiografi Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1988.
H. A. Mukti Ali , Penulisan Sejarah Islam Indonesia, dalam Muin Umar dkk (ed.) ,
Penulisan Sejarah Islam di Indonesia Dalam Sorotan, Seminar IAIN Sunan
kalijaga, Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985.
H. J. de Graaf dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan Kerajaan Islam di Jawa : Peralihan dari
Majapahit ke Mataram, Grafiti Pres, Jakarta, 1985, Bab VII dan VIII.
16
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta, P3M, 1987.
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Perdagangan, Perkembangan Ekonomi
dan Islam, Jakarta, Gramedia, 1989.
Immanuel Wallerstein, The Modern World System : Capitalist Agriculture and The
Origin of the European World Economy in the Sixteenth Century, Academic
Press, New York, 1974.
J. C. Van Leur, Indonesian Trade and Society : Essay in Asia Social and Economic
History, Sumur Bandung Edisi 2, Bandung, 1960.
J. F. B. Brumund, Het Volksonderwijs onder de Javannen, Batavia, 1857.
Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Dalam Kurun Moderen,
Jakarta, LP3ES, 1986.
M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c 1300 to the Present , Macmillan
Education Ltd, 1986, hal. Xi-xii
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning : Pesantren dan Tarekat, Mizan, Jakarta, 1995.
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.
Mohammad Iskandar, Para Pembawa Amanah: Pergulatan Pemikiran Kyai dan Ulama
di Priangan 1900 – 1950, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2001.
Mohammad Iskandar, Peranan Elit Agama Pada Masa Revolusi Kemerdekaan
Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000.
P. A. A. Djajadiningrat, Kenang – Kenangan, Kolf-Buning Balai Poestaka, 1936
Rakhmatullah Ading Affandi, Dongeng Enteng ti Pasantren, Bandung, Tarate, 1982.
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terbitan Pustaka jaya, Jakarta,
tahun 1984.
Sartono Kartodirdjo, The Peasant’s Revolt in Banten in 1888, The Hague 1966, dan
Protest Movement s in Rural Java, Singapore, Oxford university Press: Institute
of Southeast Asia Studies, 1973.
Snouck Horgronye, Een en Ander Over Het Inlandsche Onderwijs in de Padangshe
Bovenlanden, 1924.
Surat Adviseur voor Inlandse Zaken tanggal 5 Pebruari 1934 Nomor 209 /K-VIII.
Van Den Berg, Het Mohammedaannshe Godsdiens Onderwijs of Java en Madoera en de
Daarbij Gebruikte Arabische Boeke.
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,
Jakarta, 1982.
17
HOLISTISITAS TEORI SEJARAH IBN KHALDUN
Suparman
Abstrak
Ibn Khaldun, salah satu ilmuwan klasik Islam yang paling banyak dibicarakan di era
modern. Al-Muqaddimah-nya menjadi trademark baginya. Para ahli terpecah menjadi
dua ketika menyematkan atribut pengasas atau peletak dasar sebuah bidang ilmu baru.
Satu golongan menisbatkan pengasas ilmu sosiologi kepadanya, para penisbat ini
sebagian besarnya adalah tokoh Muslim dan atau Arab. Sedang golongan lain menyebut
Ibn Khaldun sebagai peletak dasar filsafat sejarah. Terlepas dari nuansa defensif
penyebutan Ibn Khaldun sebagai penemu sosiologi atau menyebut dia sebagai peletak
dasar filsafat sejarah, Ibn Khaldun sendiri menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al
umran (ilmu peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena
peradaban (sosial budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al umran ini berfungsi
sebagai alat bantu bagi sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat
sejarah (dalam terminologi modern).
Kata-kata Kunci
Muqaddimah, Holistisitas, Teori Sejarah, Ibn Khaldun
Pendahuluan
Sejak dahulu, telah banyak pengungkapan-pengungkapan sejarah yang di lakukan
oleh sejarawan. Salah seorang yang terkenal adalah Herodotus (484-425 SM) yang
terkenal sebagai Bapak Sejarah. Dialah yang meletakkan dasar dari penulisan sejarah.
Namun, penulisan sejarah pada masa itu hanya memusatkan perhatian pada pemberian
fakta-fakta yang di ambil dari sumber yang sezaman dan akibatnya tidak bisa di
kembangkan oleh orang yang datang belakangan.
Ibn Khaldun, salah seorang sejarawan Muslim yang terkenal, membawa bentuk
yang berbeda dalam penulisan sejarah. Bagi Ibn Khaldun, sejarah tidak hanya di
ungkapkan secara faktual, namun juga dapat di lihat hubungan kausal antara setiap
peristiwa sejarah. Dan menurutnya juga, sebuah peristiwa sejarah harus di lihat dari
berbagai aspek, seperti aspek ekonomi, politik, sosial, agama, dan lain sebagainya
(Syafi’i Ma’arif, 1996: 3).
18
Sejarah menurut Ibn Khaldun memiliki fungsi multi dan tujuan mulia, karena
dengan sejarahlah kita mengenal kondisi bangsa-bangsa terdahulu dalam segi prilaku
serta moral politik raja-raja dan penguasa. Generasi yang ingin merefleksikan prilaku dan
mengambil sampel-sampel positif dari pola hidup mereka sangat memerlukan referensi
dari keragaman sumber informasi, peristiwa yang akurat dan realiable (dapat dipercaya).
Kemudian pembukuan sejarah menurut Ibn Khaldun bukan untuk mendokumentasikan
persoalan-persoalan keagamaan, mendekatkan diri kepada penguasa dan bukan sekedar
dikonsumsi sebagai bidang ilmu, tetapi untuk mengenal peristiwa-peristiwa masa lampau
dalam rangka memahami masa yang akan datang.
Rekonstruksi pemahaman ini sebenarnya telah menempatkan peran sejarah
sebagai i'tibar atau cermin obyektif untuk menelaah sikap. Hanya saja pada awalnya
eksistensi sejarah bagi Ibn Khaldun tidak tampak sebagai realita, sehingga ia melontarkan
pertanyaan tentang apa topik ilmu sejarah yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan ini
diperolehnya kala melakukan pencarian metodik tentang ukuran-ukuran valid atau
tidaknya suatu berita. Dalam hal ini ia menggagas tentang perlunya merujuk kepada
tempat peristiwa kemudian dipautkan sebagai korelasi dengan masyarakat yang
mengitarinya. Jelasnya topik sejarah menurut Ibn Khaldun adalah studi sosial, dengan
kata lain mempelajari dinamika masyarakat secara integral berikut sebab-sebabnya. Dan
dinamika sejarah menurut Ibn Khaldun bukan muncul dari luar, tetapi proses sosial itu
sendiri dengan segala aturannya yang exact-alami. Dari perspektif inilah Iplacoste
berpendapat bahwa Ibn Khaldun merupakan pelopor dalam meletakkan dasar-dasar
"materialisme historis ".
Barangkali gagasan Ibn Khaldun mengenai muatan kronik-kronik linear sejarah
telah memberikan kontribusi yang tidak kecil bagi penulisan sejarah yang berdasarkan
kategori norma-standar kebenaran (berita) sehingga sejarah tidak lagi tampak bagai mitos
yang dibuat orang.
Dengan tampilnya Ibn Khaldun sebagai tokoh sejarah yang berbeda dari
pendahulunya, telah menimbulkan spekulasi dan kritik dari sebagian sejarawan, terutama
dari kalangan sejarawan Barat. Karena, dalam anggapan mereka terdapat pertentangan
yang tajam antara Ibn Khaldun dan penulis sejarah sebelumnya yang di anggap
19
terbelakang. Karena perbedaan tersebut, ada yang menggambarkan Ibn Khaldun sebagai
pendiri ilmu masyarakat modern lima abad sebelum Auguste Comte dan Emil Durkheim.
Riwayat Hidup Ibn Khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyuddin Ibn Muhammad Abu Zaid Abdurrahman
Ibn Khaldun al-Hadrami al-Isbili. Dilahirkan di Tunisia Pada tanggal 27 Mei 1332 M dan
wafat di Kairo (Mesir) pada tanggal 27 Maret 1406 M. Menurut sebuah Riwayat, nenek
moyangnya berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah pertanian yang subur di daerah
Jazirah Arab Selatan. Dalam berbagai literatur sejarah, di jelaskan bahwa nenek moyang
Ibn Khaldun ikut migrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke 8 M, yang telah di kuasai
oleh Arab Muslim. Dan beberapa tahun sebelum kota Seville di rampas oleh raja
Ferdinand III dari Leon, nenek moyang Ibn Khaldun memutuskan untuk hijrah ke Ceuta
pada tahun 1248 M, dan Kemudian menetap di daerah Tunisia (Afrika Utara) (Ali Abdul
Wahid Wafi, 1985: 7).
Mengenai masa kecil Ibn Khaldun, belum ada di temui catatan yang lengkap.
Namun, sebagaimana anak-anak yang sebaya dengannya, Ibn Khaldun Kecil juga
mendapat pendidikan mempelajari al-Qur’an beserta qira’atnya dan juga mempelajari
tata-bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Dalam usia yang relatif muda, Ibn Khaldun telah
menguasai berbagai bidang ilmu klasik, seperti ilmu kefilsafatan, metafisika, tasawuf. Di
samping itu, ia juga tertarik pada ilmu politik, geografi, sejarah, ekonomi, dll.
Di sinilah letak kekuatan dan kelemahan Ibn Khaldun. Pengetahuannya yang
begitu luas tentang berbagai macam ilmu menjadikannya ibarat sebuah Ensiklopedi.
Namun, dalam catatan sejarah ia tidak di kenal sebagai seorang yang menonjol dalam
suatu cabang disiplin ilmu tertentu.
Dalam usia 20 tahun, Ibn Khaldun telah di angkat menjadi sekretaris Sultan Abu
Inan dari Fez, Maroko. Namun, ia di curigai berkhianat sehingga di jebloskan ke penjara,
dan di bebaskan setelah sultan meninggal. Karena selalu dicurigai dan juga suasana kota
Fez semakin tidak menentu, maka Ibn Khaldun memutuskan untuk pindah ke Granada
(Spanyol) pada 26 Desember 1362. kota ini di pilih Ibn Khaldun, karena hanya inilah
satu-satunya daerah yang masih di kuasai oleh Kaum Muslimin. Sementara daerah-
daerah yang lain telah jatuh ke tangan kaum Kristen (Ali Abdul Wahid Wafi, 1985: 17).
20
Namun, karena kondisi Granada yang tidak aman, akhirnya memaksa Ibn
Khaldun untuk meninggalkan Granada dan dengan menyebrangi Selat Gibraltar dia
kembali ke Afrika Utara. Di sana dia di tawari oleh Sultan Buogie (Al-Jazair sekarang)
untuk menjadi perdana menteri. Tawaran itu diterimanya tanpa banyak pertimbangan.
Namun, setahun kemudian (1366 M) ia pindah ke Konstantinopel dan di angkat menjadi
pembantu Raja Abdul Abbas. Namun tak lama kemudian ia pindah lagi ke Biskra,
sebelah selatan kota Konstantin, karena penguasa daerah ini tidak lagi mempercayainya.
Akhirnya kehidupan politik yang penuh kericuhan, kecurigaan, pemberontakan,
pembunuhan, penganiayaan dan berbagai macam perbuatan sadis lainnya telah
menyebabkan ia mengalami kejenuhan. Dan puncak dari kejenuhannya terjadi pada tahun
1375 M, yang sekaligus menjadi masa-masa yang penting, karena semenjak itu pula Ibn
Khaldun memulai kehidupan barunya dalam bidang dunia ilmiah.
Kehidupannya yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan, dengan berpindah-
pindah dan banyaknya dinasti tempat dia mengabdi, sangat berpengaruh terhadap tulisan
Ibn Khaldun tentang sejarah dinasti-dinasti yang terdapat dalam bukunya yang berjudul
“al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-Arab wa al-‘Ajam wa al-
Barbar wa Man ‘Asarahum min Dzawi as-Sultan al-Akbar” (“Kitab Contoh-contoh
Rekaman tentang Asal-usul dan Peristiwa Hari-hari Arab, Persi, Berber, dan Orang-orang
yang Sezaman dengan Mereka yang Memiliki Kekuasaan Besar”). Dan kitab “al-Al-
Muqaddimah” adalah merupakan bahagian dari kita al-‘Ibar yang di tulisnya dalam
kurun waktu empat tahun (Syafi’i, Ma’arif, 1996: 11) .
Al-Muqaddimah Karya yang Abadi
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibn Khaldun bersama keluarganya
menyepi di Qal’at Ibn Salamah istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat
tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibn Khaldun berhasil merampungkan sebuah karya
monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan.
“Dalam pengunduran diri inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah
karya yang seluruhnya orisinal dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian
luas yang terbaik,” ungkap Ibn Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Ta’rif bi
Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibn Khaldun itu begitu
21
memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap Al-
Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah.
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, salah satu tesis Ibn Khaldun dalam Al-
Muqaddimah yang sering dikutip adalah: “Manusia bukanlah produk nenek moyangnya,
tapi adalah produk kebiasaan-kebiasaan sosial.” Secara garis besar, Tarif Khalidi dalam
bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama.
Pertama, membicarakan historiografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan
Arab-Muslim (Syafi’i Ma’arif, 1996: 34).
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Bagi Ibn
Khaldun, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad
ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar,
kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya
tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibn
Khaldun di antaranya menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-
pengujian yang kritis.
“Di tangan Ibn Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas
dari dongeng-dongeng,” papar Syafii Ma’arif. Bermodalkan pengalamannya yang
malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibn Khaldun mampu menulis Al-
Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibn Khaldun juga membahas peradaban
manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Menurut Charles Issawi (1972) dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-
Muqaddimah, Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas,
sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip
yang dikemukakan Ibn Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; “Masyarakat
tidak statis, bentuk-bentuk sosial berubah dan berkembang.”
Pemikiran Ibn Khaldun telah memberi pengaruh yang besar terhadap para
ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Auguste Comte pemikir yang banyak menyumbang
kepada tradisi keintelektualan positivisme Barat metode penelitian ilmu pernah
dikemukakan pemikir Islam seperti Ibn Khaldun.
22
Dalam metodologinya, Ibn Khaldun mengutamakan data empirik, verifikasi
teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok
penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. “Ibn Khaldun adalah sarjana pertama yang
berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich
Simon.
Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafat
sejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara
kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun
sangat menonjol di antara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai
ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk
menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial. Ketika
menerangkan tentang seni menulis sejarah, Ibn Khaldun berkata dalam bukunya Al-
Muqaddimah, “Hanya dengan penelitian yang seksama dan penerapan yang terjaga baik
kita bisa menemukan kebenaran serta menjaga diri kita sendiri dari kekhilafan dan
kesalahan. Kenyataannya, jika kita hanya ingin memuaskan diri kita dengan membuat
reproduksi dari catatan yang diwariskan melalui adat istiadat atau tradisi tanpa
mempertimbangkan aturan-aturan yang muncul karena pengalaman, prinsip-prinsip yang
mendasar dari seni memerintah, alam, kejadian-kejadian, dan budaya di suatu tempat atau
pun hal-hal yang membentuk ciri masyarakat. Jika kita tidak mau membandingkan yang
lalu dan saat ini, maka akan sulit bagi kita untuk menghindari kesalahan dan tersesat dari
kebenaran.”
Sejarah dan Historiografi
Sebelum kita masuk kepada fokus pembahasan tentang filsafat sejarah Ibn
Khaldun, terlebih dahulu perlu di terangkan apa yang dimaksud dengan sejarah,
historiografi dan filsafat sejarah.
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab; Syajaratun yang artinya adalah pohon.
Kata ini di serap oleh bahasa Melayu dengan bentuk yang sama (syajarah) diperkirakan
pada abad ke-13 M. dan akhirnya kata inilah yang sering di pakai dalam bahasa Indonesia
untuk menggambarkan kajian tentang hal-hal yang telah lampau.
23
Suryanegara (1995: 9) menganalogikan Pohon (yang terdiri dari akar, batang,
dahan, ranting, dsb) dengan silsilah ataupun asal-usul manusia. Dengan penganalogian
bahwa pohon dan kehidupan manusia sama-sama di mulai dari biji (kecil) menjadi batang
pohon yang rindang (besar).
Kata sejarah juga mempunyai kata yang identik sama, yaitu; Tarikh yang berasal
dari bahasa Arab yang berarti penanggalan atau penetapan tanggal. Disamping itu, dalam
bahasa daerah juga terdapat kata yang menggambarkan makna yang sama dengan sejarah,
seperti kata Babad dan Tambo. Kedua kata ini lebih menunjukkan ciri kedaerahan. Babad
menunjukkan ciri daerah Jawa. Sedangkan kata tambo menunjukkan unsur Minangkabau.
Sedangkan Lorens Bagus (1996: 123) mengemukakan sejarah dalam arti luas dan
arti sempit. Dalam arti luas, sejarah berarti setiap kejadian/peristiwa. Sedangkan dalam
arti sempit sejarah adalah peristiwa yang dapat di jelaskan dengan sebab-sebab yang
efisien. Maksudnya adalah peristiwa-peristiwa manusia yang mempunyai akar dalam
realisasi diri dengan kebebasan dan keputusan daya rohani.
Pada mulanya, sejarah terdapat dalam pikiran para sejarawan, orang yang
menghapal sejarah yang selalu di sampaikan dengan metode lisan. Kemudian penulisan
sejarah tersebut di pelajari dalam sebuah studi khusus yang disebut dengan historiografi.
Sebuah sejarah (peristiwa sejarah) berbeda dengan historiografi.
Secara umum, historiografi adalah sebuah studi sistematis tentang sejarah
penulisan sejarah (The history of historical writing). Historiografi tidak berhubungan
langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Karena historiografi hanya mencurahkan
perhatiannya pada karya-karya sejarah yang telah ada. Historiografi tidak mempersoalkan
apakah sebuah sejarah yang di sajikan itu valid (benar) atau tidak. Dan juga tidak
memberikan penilaian khusus apakah sebuah sejarah itu subjektif atau objektif. Yang jadi
fokus dalam historiografi adalah bagaimana persepsi, interpretasi dan metode sejarah
yang di gunakan oleh seorang penulis sejarah. Tanpa menghakimi sejarah yang di
tulisnya.
Pada abad 14 Ibn Khaldun menulis sejarah universal yang mengungkapkan secara
luar biasa luas mengenai kemampuan pembelajaran dan kemampuan yang tidak biasa
dari Ibn Khaldun yang menyusun teori umum untuk perhitungan perkembangan politik
24
dan sosial selama berabad-abad. Dia adalah seorang sejarawan muslim satu-satunya yang
menyarankan alasan sosial dan ekonomi bagi perubahan sejarah.
Dalam al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menerangkan bahwa sejarah adalah catatan
tentang masyarakat manusia atau perdaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang
terjadi, perihal watak manusia, seperti keliaran, keramahtamahan, solidaritas golongan,
tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kelompok
lain yang berakibat pada munculnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan tingkat
yang bermacam-macam, tentang pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan
industri, serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pengertian Sejarah Universal (atau dunia) yang
menginginkan pemahaman atas keseluruhan pengalaman kehidupan masa lampau
manusia secara total untuk melihatnya pesan-pesan perbedaan pada pesan yang berguna
bagi masa depan. Dua masalah yang mendominasi penulisan sejarah universal, pertama
ketersediaan kuantitas bahan dan keragaman bahasa di mana di dalamnya tertulis
mengimplikasikan bahwa sejarah universal mengambil bentuk kerja kolektif atau menjadi
sejarah tangan kedua. Kedua, prinsip dari seleksi yang dihubungkan dengan pemilihan
studi untuk membentuk taksonomi sejarah yang sesuai.
Unit-unit tersebut secara geografis (misal benua), periode, tahap perkembangan
atau struktur, peristiwa penting, saling berhubungan (misalnya komunikasi, perjuangan
bagi kekuatan dunia, atau perkembangan sistem ekonomi dunia), peradaban atau
kebudayaan, kekaisaran dan negara bangsa, atau komunitas terpilih. Sejarah universal
telah ditulis terutama oleh sejarawan Barat atau sejarawan dari Asia Barat termasuk Ibn
Khaldun.
Ibn Khaldun bahkan memerinci bahwa ekonomi, alam, dan agama merupakan
faktor yang memengaruhi perkembangan sejarah. Meski punya pengaruh, faktor
ekonomi, alam dan agama bagi Ibn Khaldun bukan satu-satunya faktor yang menentukan
gerak sejarah. Ia mengatakan bahwa: "Keadaan alam, bangsa-bangsa, adat istiadat, dan
agama tidak selalu berada dalam alur yang sama. Semua berbeda sesuai dengan
perbedaan hari, masa, dan peralihan dari suatu keadaan ke keadaan lain. Perbedaan itu
25
berlaku pada individu-individu, waktu, dan kota seperti halnya berlaku pada seluruh kota,
masa dan negara.
Salah satu sumber kesalahan dalam penulisan sejarah adalah pengabaian terhadap
perubahan yang terjadi pada zaman dan manusia sesuai dengan berjalannya masa dan
perubahan waktu. Perubahan-perubahan tersebut terjadi dalam bentuk yang tidak kentara,
lama baru dapat dirasakan, sehingga sukar dilihat dan diketahui beberapa orang saja."
Pendek kata, bagi Khaldun, ekonomi, alam, dan agama merupakan kesatuan yang
memengaruhi gerak sejarah.
Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya
kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Teori ini sebenarnya
merupakan tafsir atas pemikiran Ibn Khaldun. Ibn Khladun sendiri sebenarnya tidak
menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Ibn Khaldun secara
eksplisit adalah pemikirannya tentang sejarah kritis. Menurut Ibn Khaldun: "Apabila
demikian halnya, maka aturan untuk membedakan kebenaran dari kebatilan yang terdapat
dalam informasi sejarah adalah didasarkan kemungkinan atau
ketidakmungkinan...Apabila kita telah melakukan hal demikian, maka kita telah memiliki
aturan yang dapat dipergunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan dan
kejujuran dari kebohongan dalam informasi sejarah dengan cara yang logis...selanjutnya
apabila kita mendengar tentang suatu peristiwa sejarah yang terjadi dalam peradaban,
maka kita harus mengetahui apa yang patut diterima akal dan apa yang merupakan
kepalsuan. Hal ini merupakan ukuran yang tepat bagi kita, yang dapat dipergunakan oleh
para sejarawan untuk menemukan jalan kejujuran dan kebenaran dalam menukilkan
peristiwa sejarah."
Pemikiran Ibn Khaldun tentang sejarah kritis ini merupakan satu pemikiran yang
melandasi pemikiran modern orang Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya.
Bagaimana pun Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Betrhold Georg
Niebur (1776-1831), hingga Leopald van Ranke (1795-1886), membaca atau tidak al-
Muqaddimah, pemikirannya sejalan dengan Ibn Khaldun. Dari sini kita bisa tahu bahwa
Ibn Khaldun adalah perkecualian. Ia bukan saja pemikir yang selalu berpikir tentang hal-
hal yang abstrak melainkan pemikirannya berasal dari tanah tempat di mana dia berpijak.
Memahami pemikiran Ibn Khaldun sama halnya memahami pemikiran seorang Islam
26
yang berani mengkritik bangsanya. Terutama sekali pemikiran seorang yang sangat
rasionalis namun tidak kehilangan rasa dan keimannya pada Allah SWT.
Sejarah dan Perubahan Sosial
Dalam buku The Origin and Development of Muslim Historiography, karangan
M.G Rasul, dikutip pendapat seorang intelektual Barat, Rogert Flint yang mengatakan,
Thomas Hobbes, John Locke, dan Rousseau bukanlah tandingan Ibn Khaldun. Bahkan,
lanjutnya, nama-nama ini tidak layak disebut bersama namanya. Montgomery Watt
mengungkapkan kesannya terhadap Khaldun, bahwa karyanya dalam bidang sosiologi
merupakan kelanjutan dari pemikiran Ibn Rusyd tentang fungsi agama dan negara.
Seakan-akan menambah luas posisi Ibn Khaldun di bidang ilmu pengetahuan sosial dan
agama, Bernard Lewis menempatkan Ibn Khaldun tidak saja sebagai sejarawan Arab
terbesar, bahkan sebagai pemikir sejarah terbesar pada abad-abad pertengahan.
Salah satu temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep
sosiologisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh
ahli sejarah dan sosiologi di Dunia.
Kata kunci konsepsi Ibn Khaldun tentang sejarah adalah “‘Ibaar” yang berarti
contoh atau pelajaran moral yang berguna. Kata itu pula yang kemudian digunakan Ibn
Khaldun sebagai judul buku, di mana ia menuliskan seluruh pikirannya tentang sejarah.
Secara terminologis,’ibar, dalam pengertian seluruh bahasa Semit, berarti melalui,
melampaui, menyebrang atau melanggar perbatasan. Kelompok Sufi menggunakan kata
itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka. Dalam pengertian, untuk
melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik untuk menuju dunia yang lebih
jauh (to the world beyond) (Gaston Bouthol, 1998: 72).
Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibn Khaldun, penting dipahami
defenisi sejarah yang diberikannya. Khaldun melihat ada dua sisi dalam bangunan
sejarah, yaitu sisi luar (lahir) dan sisi dalam (batin). Dari sisi luar, sejarah tak lebih dari
rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau, tetapi jika dilihat secara lebih
mendalam, sejarah merupakan suatu penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk
mencari kebenaran; sejarah merupakan suatu penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan
asal usul segala sesuatu; ia merupakan suatu pengetahuan yang mendalam tentang
27
bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi. Definisi tentang sejarah yang
demikian membawa Ibn Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam
filsafat (hikmah). Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri (Zainab al-
Khudairy, 1987: 155).
Dengan pertautan sejarah kepada filsafat, Ibn Khaldun nampaknya ingin
mengatakan, bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat.
Di lain pihak, filsafat menawarkan kekuatan logika kepada sejarah. Dengan aset logika
kritis seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkitik sumber-sumber sejarah –
tulisan maupun lisan – sebelum ia sampai kepada proses penyajian final dari
penyelidikannya. Pandangan inilah yang membawa Ibn Khaldun untuk merumuskan
“tujuh kritik” dalam historiografi, sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang
cermat; pertama, sikap memihak kepada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu,
kedua, terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, ketiga, gagal menangkap
maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar
persangkaan dan perkiraan, keempat, persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber
berita, kelima, kelemahan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang
sebenarnya, keenam, kecendrungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan
figur-figur yang berpengaruh, dan ketujuh, ketidaktahuan tentang metode-metode
kebudayaan. Dengan menggunakan kerangka “tujuh kritik” ini, Ibn Khaldun mengkritik
berbagai sarjana sejarah, seperti Al-Mas’udi yang dianggap lengah dan mudah
mempercayai berita-berita yang tidak masuk akal (Muhsin Mahdi, 1971: 96).
Ibn Khaldun berpendapat, penyelidikan terhadap peristiwa sejarah tidak boleh
tidak harus menggunakan berbagai ilmu bantu. Ilmu bantu diistilahkan Ibn Khaldun
sebagai ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran). Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari
pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat, melacak akibat-
akibat dari perbuatan itu sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah.
Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibn Khaldun, pada dasarnya
mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur’an. Kenyataan ini, lanjutnya, pernah dikemukakan
Iqbal yang mengatakan bahwa Al-Muqaddimah Ibn Khaldun penuh dengan inspirasi Al-
Qur’an yang didapatkan pengarangnya.
28
Faktor Penggerak Sejarah
Secara umum, penggerak sejarah dapat di pahami dengan hal-hal yang
mempengaruhi sejarah. Tetapi dapat juga di pahami sebagai segala sesuatu yang
menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa. Pengertian ini dapat lagi di singkat menjadi
penyebab sejarah. Dalam kenyataannya, faktor penggerak sejarah ini seringkali di
lupakan oleh manusia, karena terlalu abstrak untuk di bayangkan.
Pertanyaan yang langsung muncul di benak kita adalah siapa atau apa faktor
penggerak sejarah tersebut?
Mengenai faktor penggerak sejarah ini, Ibn Khaldun membaginya menjadi dua
faktor. yaitu faktor Ilahi (asbab al-ilahi) dan faktor alami (asbab at-thabi’i). Adapun
yang terkait dengan faktor Ilahi adalah wahyu dan Tuhan (Allah). Sedangkan yang
termasuk ke dalam faktor alami adalah politik, ekonomi, sosial, budaya, institusi,
teknologi, ideologi, militer, golongan, etnis, dll. Dengan demikian, menurut Ibn Khaldun,
sebenarnya banyak faktor yang menjadi penggerak sejarah. Namun semuanya akhirnya
berujung kepada kedua faktor di atas.
Dalam perjalanan sejarah, dapat kita lihat bahwa setiap kegiatan manusia itu tidak
terlepas dari persoalan politik, ekonomi, sosial budaya, dll. Dan baik atau buruknya
perjalanan sejarah itu tergantung pada kemampuan manusia itu dalam memperhatikan
kedua faktor tersebut.
Selain kedua faktor tersebut, menurut Ibn Khaldun, solidaritas (‘ashabiyah) juga
berperan penting dalam menggerakkan sejarah. Istilah ‘ashabiyah dapat di artikan dengan
rasa memiliki kesamaan harga diri dan loyalitas yang mengikat para anggotanya, baik itu
keluarga, kelompok/organisasi, maupun suku.
Pada mulanya ‘ashabiyah di temukan pada orang-orang yang di hubungkan oleh
pertalian se-darah atau pertalian lainnya yang mempunyai arti sama. Pemikiran Ibn
Khaldun ini di dasari oleh suatu teori bahwa pertalian darah itu mempunyai kekuatan
yang mengikat pada kebanyakan umat manusia. Ikatan darah itu membuat orang
mempunyai solidaritas dalam kelompoknya. Menurut kodratnya, apabila seorang anggota
kelompok mengalami sakit/gangguan maka anggota yang lain akan ikut merasakan dan
membela mati-matian anggota kelompoknya yang di ganggu (Zainab al-Khudairy, 1995:
143-144).
29
Dalam perkembangan selanjutnya konsep ‘ashabiyah itu bisa berubah menjadi
pertalian yang berbagai macam. Seperti pertalian se-alumni, se-kampung, se-kepentingan,
se-partai, dll. Malah kadangkala pertalian se-kepentingan bisa mengalahkan pertalian
darah sebagaimana yang kita lihat dalam persoalan ekonomi maupun politik.
Karena itu, menurut Ibn Khaldun, pertalian sedarah bukanlah satu satunya
penyebab solidaritas, tetapi bisa saja faktor lain yang membentuknya. Malah kadangkala
solidaritas se-darah dapat di kalahkan oleh solidaritas yang lainnya, seperti faktor se-
kepentingan.
Walaupun demikian, jika kita teliti lebih dalam, faktor ‘ashabiyah ini sebenarnya
termasuk ke dalam kategori faktor alami dari penggerak sejarah.
Hukum Sejarah
Dari beberapa pemikiran Ibn Khaldun memiliki kesamaan dengan pemikiran abad
modern seperti Montesquieu (1689-1755), Agust Comte (1798-1857), Hegel (1770-1831)
dan Karl Marx (1818-1883). Karena itu Ibn Khaldun dikatakan oleh Len Evad Goodman
dari Universitas Hawai, memiliki posisi yang sangat penting di bidang filasafat sejarah.
Bahkan Goodman menempatkan Ibn Khaldun seperti halnya Thucydides (455-400 SM)
sebagai Father of History, karena sama-sama menganut pola siklus dalam memandang
perjalanan sejarah (Muhsin Mahdi, 1971: 34).
Pertama, hukum kausalitas, ini merupakan salah satu dari tiga hukum determinis
sejarah, sedangkan dua di antaranya adalah hukum peniruan (pengulangan) dan
perbedaan. Arti determinisme menurut Edward Carr adalah: "keyakinan bahwa segala
sesuatu terjadi karena suatu causa atau berbagai causa dan semua tidak akan terjadi
dalam bentuk yang berbeda, kecuali apabila terjadi perbedaan pada causa-causa."
Sementara 'Abd al-Razzaq al-Makki' berpendapat bahwa teori kausalitas Ibn
Khaldun ini sebagai wujud pemikiran Aristotelian yang bertentangan dengan Al-Ghazali
tentang kemestian sebab akibat. Sungguhpun demikian, menurut Ibn Khaldun, hukum
kausalitas berlaku pada alam fisik dan alam manusia. Tetapi ia juga mengakui hal-hal
yang luar biasa pada diri Nabi, wali dan ahli sihir yang tidak tunduk pada hukum
kausalitas.
30
Sebagai ilmuwan ia berpegang dan mempercayai hukum kausalitas, tetapi sebagai
muslim ia juga mempercayai adanya mu'jizat dan karamah yang tidak tunduk pada
hukum kausalitas. Karena satu peristiwa dengan peristiwa lain dijalin oleh adanya
hubungan sebab akibat. Hukum kausalitas tidak hanya terbatas pada bidang kealaman,
tetapi juga pada masyarakat manusia. Fenomena yang terjadi pada masyarakat manuisa
tunduk pada hukum-hukum yang tetap. Masa kini manusia dapat menopang dalam
menginterpretasikan masa lalunya.
Kedua, peniruan (pengulangan). Pihak yang ditaklukkan pasti akan meniru pihak
yang menang. Karena ia disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, masyarakat
senantiasa meniru pada pemegang kekuasaan, kedua, para pemegang kekuasaan yang
baru selalu meniru pemegang kekuasaan sebelumnya, ketiga, pemegang kekuasaan yang
kalah meniru pada pemegang kekuasaan yang baru.
Ini, menurut Ibn Khaldun merupakan hukum yang umum. Peniruan mendorong
gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang si peniru melengkapi apa yang
ditirunya sehingga tradisinya menjadi lebih baik.
Ketiga, perbedaan. Menurut Ibn Khaldun perbedaan juga menjadi dasar dalam
determinisme sejarah. Masyarakat tidak mungkin sama secara mutlak, di antara mereka
mesti terdapat perbedaan yang harus diketahui. Sementara hukum perbedaan adalah:
"salah satu sumber yang samar-samar terjadi dalam historiografi adalah mengabaikan
perubahan situasi dan kondisi yang terjadi pada bangsa dan generasi, sesuai dengan
berubahnya periode dan perjalanan waktu. Perubahan semacam itu memang sangat
tersembunyi, terjadi secara tidak kentara dan lama sekali baru tampak serta hanya
diketahui beberapa orang saja. Hal ini terjadi karena dunia dan bangsa-bangsa dengan
adat kebiasaannya tidak mungkin sama. Kalau individu-individu, waktu dan kota
berubah, maka demikian halnya dengan daerah, iklim, periode dan juga negara."
Artinya, perbedaan di antara masyarakat itu muncul dari usaha peniruan tradisi
oleh suatu masyarakat. Peniruan juga berlaku pada negara, di mana negara yang muncul
belakangan akan meniru tradisi negara sebelumnya. Hukum perbedaan di antara
masyarakat menurut Ibn Khaldun juga disebabkan oleh faktor geografis, fisik, ekonomi,
politik, adat istiadat, tradisi dan agama.
31
Namun sungguhpun demikian, implikasi dari ketiga makna di atas sangat penting,
baik yang menjabat di bidang ekonomi, politik, adat istiadat, tradisi dan agama. Agar
jangan terjadinya semacam ketidakberaturan dalam memahami persoalan, individu
maupun masyarakat hanya demi kepentingan segelintir kelompok.
Karena kahancuran negara disebabkan oleh pemusatan kekuasaan dan kemegahan
di satu tangan. Selama kekuasan dan kemegahan masih dirasakan semua anggota dan
solidaritas, mereka masih mau berjuang mempertahankan negaranya dan kematian akan
dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Akan tetapi apabila sebaliknya, mereka akan malas berjuang dan memilih hidup
dalam kehinaan dan penghambaan. Lantaran sifat kekuasaan yang menghendaki
kemewahan disertai dengan bertambahnya kebutuhan. Dalam padanan seperti ini
pendapatan tidak lagi sepadan dengan pengeluaran. Rakyat miskin akan kelaparan,
sementara orang kaya membelanjakan hartanya untuk hidup mewah.
Maka, rasa saling menghargai antara hak yang satu dengan lainnya harus
seimbang, agar membawa watak kekuasaan negara ke arah kestabilan dan ketenangan.
Apabila ketenangan dan kestabilan sudah menjadi kebiasaan suatu bangsa, maka ia akan
menjadi watak dan kepribadian bangsa. Pun menjadi impertus bagi kepemimpinan
berikutnya serta tidak dipandang sebelah mata, bersifat impasif atau lalai terhadap
persoalan yang ada.
Filsafat Sejarah
Berbeda dengan sejarah dan historiografi, filsafat sejarah melangkah lebih jauh
kepada hal-hal yang lebih mendasar dari persoalan sejarah. Persoalan yang mendasar di
sini bukan berkaitan dengan latar belakang penulisan sejarah dan alasan penulisan sebuah
sejarah, melainkan melihat setiap peristiwa sejarah dari segi logis dan tidak logisnya,
benar atau salahnya sebuah sejarah menurut ukuran filosuf sejarah itu sendiri.
Filsafat sejarah ditemukan oleh Voltaire apada abad ke-18 M. menurutnya filsafat
sejarah tidak lebih dari sebuah kritik sejarah atau berfikir tentang sejarah yang telah di
lakukan oleh para sejarawan. Hegel dan beberapa pemikir abad ke-18 mengatakan filsafat
sejarah adalah makna yang simpel dari kata sejarah.
32
Filsafat sejarah meneliti sarana-sarana yang di pergunakan oleh seorang ahli
sejarah dalam melukiskan sebuah peristiwa sejarah sehingga dapat
dipertanggungjawabkan. Sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan adalah sejarah yang
memenuhi kaedah-kaedah dan pedoman-pedoman yang menjamin supaya penyusunan
fakta itu menghasilkan suatu penafsiran yang dapat di mengerti. Seorang filosuf sejarah
mempermasalahkan kaedah-kaedah suatu pedoman yang dipergunakan oleh ahli sejarah
sehingga mungkin kaedah-kaedah dan pedoman tersebut tidak dapat di pertahankan dari
segi filsafat sehingga harus disingkirkan. Tetapi, jika perbedaan pendapat antara seorang
filosuf sejarah dengan ahli sejarah, belum berarti filosuf sejarah itu benar dan ahli sejarah
salah.
Walaupun demikian, filsafat sejarah cukup berguna untuk mempertajam kepekaan
kritis seorang peneliti sejarah, dan menambah kemampuan peneliti sejarah untuk
mengadakan penelitian pribadi mengenai keadaan kajian sejarah pada saat tertentu.
Tentang Peradaban
Ibn Khaldun menyebut ilmu penemuannya sebagai ‘ilm al-‘umran (ilmu
peradaban/ ilmu sosial-budaya), yang mengkaji fenomena-fenomena peradaban (sosial
budaya) manusia. Bagi Ibn Khaldun ‘ilm al-‘umran ini berfungsi sebagai alat bantu bagi
sejarah. Sehingga bahasannya meliputi sosiologi dan filsafat sejarah (dalam terminologi
modern).
Ibn Khaldun menyatakan bahwa sejarah pada hakikatnya adalah catatan mengenai
umat manusia atau peradaban dunia, tentang perubahan yang terjadi pada watak
masyarakat (peradaban) itu. Manusia bersifat madaniyah (politis, sipil) menurut
tabiatnya, karenanya ia membutuhkan organisasi sosial. Perbedaan organisasi sosial
manusia adalah akibat perbedaan cara memperoleh penghidupan (ekonomi). Perbedaan
cara memperoleh penghidupan berkembang seturut waktu (berubah). Sehingga organisasi
sosial manusia (masyarakat) berbeda-beda dan mengalami perubahan. Masyarakat
nomadik (badawah, badui, pengembara, rural, desa) adalah organisasi sosial awal.
Mereka mencukupkan diri menurut kebutuhan primer mereka. Jika kebutuhan mendasar
ini terpenuhi barulah mereka mencari kemewahan, hidup enak. Kemudian berlangsunglah
urbanisasi (tamadun), peng-kotaan. Secara etis golongan pengembara lebih berani, lebih
33
baik dibandingkan penduduk kota. Kondisi sosial perkotaan membentuk kecenderungan
untuk bertindak korup. Dari sisi etis, proses urbanisasi adalah degradatif (Fuad Baali,
1988: 65).
Konsep kunci yang diajukan Ibn Khaldun untuk memahami proses perubahan
masyarakat adalah ‘ashabiah (solidaritas sosial atau kohesi sosial). Solidaritas sosial
(‘ashabiah) ini menyatukan orang untuk meraih tujuan yang sama, juga untuk
mengendalikan masyarakat. ‘Ashabiah terbentuk pada awalnya dari pertalian darah.
Tetapi ia juga terbentuk dari perserikatan, persekutuan dan kesetian sosial. Tujuan
‘ashabiah pada akhirnya adalah tercapainya kedaulatan (al-mulk, otoritas politik). Sebuah
kedaulatan dijaga tegaknya oleh ‘ashabiah. Setelah kedaulatan dicapai, ‘ashabiah bisa
ditinggalkan, karena kedaulatan politik kemudian menjadi sesuatu yang given bagi
masyarakat kemudian (Ibn Khaldun, 1988: 124).
Kemenangan pada perbenturan antar golongan bergantung solidaritas sosial,
‘ashabiah. Golongan yang ditaklukkan cenderung meniru budaya para penakluk.
Masyarakat pengembara, badui dapat mencapai kedaulatan hanya melalui agama. Agama
berfungsi untuk menundukkan karakter psikologi badawah (nafsu, irihati, kebringasan,
kekerasan, dsb). Tetapi dakwah keagamaan juga membutuhkan solidaritas sosial untuk
berhasil.
Puncak kedaulatan, sebagai tujuan solidaritas sosial adalah negara. Negara akan
memiliki wilayah luas dan kedaulatan yang kuat jika mendasarkan pada agama.
Merupakan watak alami negara memusatkan kekuasaan pada tangan satu orang
(golongan), juga merupakan watak alami negara menimbulkan kemewahan dan
menumbuhkan sifat menurut dan malas. Pemusatan kekuasaan pada satu tangan dan
meratanya kemewahan dan sifat malas merupakan indikasi kehancuran negara (Biyanto,
2004: 45).
Negara memiliki umur, sebagaimana manusia. Siklus negara terdiri dari tiga
generasi. Generasi pertama hidup dalam badawah yang keras dan jauh dari kemewahan,
penuh dengan watak positif pengembara, ‘ashabiah yang menyatukan masyarakat sangat
kokoh dan memberi kekuatan dan kesanggupan untuk menguasai bangsa lain. Generasi
kedua, generasi ini berhasil meraih kekuasaan dan mendirikan negara, terjadi peralihan
dari badawah kepada hadharah (kota). Kemewahan mulai muncul, rasa puas dengan apa
34
yang dimiliki melonggarkan ‘ashabiah. Rasa rendah dan suka menyerah juga mulai
tampak. Generasi ketiga, generasi ini telah lupa pada peringkat hidup nomadik dan hidup
kasar. Kemewahan telah merusak, karena besar dalam hidup yang senang dan gampang.
Pada generasi ketiga ini negara mulai meluncur turun. Hingga nantinya negara hancur
(Ibn Khaldun, 1988: 114).
Kehancuran sebuah negara menjadi titik anjak munculnya negara baru. Negara
baru ini tidak dibangun dari nol. Tetapi berdasar pada pencapaian-pencapaian negara
sebelumnya (yang telah hilang dari putaran sejarah). Kemudian siklus dimulai kembali.
Pola siklus yang sama dengan tingkat peradaban negara yang berbeda-beda. Jadi pola
siklus tidak melingkar, namun spiral.
Bagi Bennabi siklus hidup sebuah organisasi sosial manusia (masyarakat) adalah
valid, namun Bennabi menilai Ibn Khaldun membatasi penerapannya pada konteks
negara. Padahal menurut Bennabi siklus hidup ini juga valid untuk organisasi yang lebih
luas, kompleks dibanding sekedar entitas negara, yaitu peradaban. Teori tiga generasi Ibn
Khaldun, berlangsung umumnya 120 tahun, dinilai valid oleh para ahli hanya untuk
negara-negara Arab dan Barbar pada satu periode sejarah (masa-masa Ibn Khaldun dan
sebelumnya).
Dari keterangan di atas konsep yang menarik juga adalah dialektika yang
dimainkan oleh sisi interior dan eksterior peradaban (menggunakan terminologinya
Guizot). Etika menentukan perkembangan organisasi sosial masyarakat, kemudian
organisasi sosial masyarakat yang berkembang juga memberikan pengaruh kepada etika
individu. Etika tertentu, semisal keberanian, kejujuran, kebaikan mempengaruhi
pembentukan negara pada tahap awalnya, kemudian pada tahap ketika negara sudah
terbentuk di mana kondisi ekonomi-sosial mencapai kemakmuran, sisi etika individu
umumnya terpengaruh menjadi mudah korup, menggampangkan, cenderung bermewah-
mewah; yang bisa memicu krisis yang menstimulasi keruntuhan.
Penutup
Ibn Khaldun, seorang filsuf sejarah yang berbakat dan cendekiawan terbesar pada
zamannya, salah seorang pemikir terkemuka yang pernah dilahirkan. Sebelum Khaldun,
35
sejarah hanya berkisar pada pencatatan sederhana dari kejadian-kejadian tanpa ada
pembedaan antara yang fakta dan hasil rekaan. Sebagai pendiri ilmu pengetahuan
sosiologi, Ibn Khaldun secara khas membedakan cara memperlakukan sejarah sebagai
ilmu serta memberikan alasan-alasan untuk mendukung kejadian-kejadian yang nyata.
Ibn Khaldun telah memperoleh tempat tersendiri di antara para ahli filsafat-
sejarah. Sebelum dia, sejarah hanyalah sekedar deretan peristiwa yang dicatat secara
kasar tanpa membedakan mana yang fakta dan mana yang bukan fakta. Ibn Khaldun
sangat menonjol diantara para sejarawan lainnya, karena memperlakukan sejarah sebagai
ilmu, tidak sebagai dongeng. Dia menulis sejarah dengan metodenya yang baru untuk
menerangkan, memberi alasan dan mengembangkan sebagai sebuah filsafat sosial.
Tercapainya tujuan sejarah, menurut Ibn Khaldun, adalah di sebabkan oleh
adanya penggerak sejarah. Menurutnya penggerak sejarah itu adalah faktor Ilahi dan
faktor alami. Faktor Ilahi adalah Tuhan. Dalam agama samawi (Yahudi, Kristen dan
Islam) faktor Ilahi ini adalah Allah. Sedangkan dalam agama ardhi dan agama primitif,
faktor Ilahi itu adalah dewa-dewa. Adapun penggerak sejarah dari faktor alami adalah,
antara lain, politik, ekonomi, sosial, budaya, solidaritas sosial dan lain sebagainya.
Sedangkan perjalanan gerak sejarah, dalam pandangan Ibn Khaldun, lebih
mengambil pola siklis. Hal ini berdasarkan pengamatan Ibn Khaldun setelah melihat
jatuh bangunnya sebuah dinasti (pemerintahan). Dan memang, setiap dinasti (baik di
dunia Islam maupun di dunia Barat) sebuah dinasti berproses dari tumbuh, berkembang,
masa kejayaan, masa kemunduran, dan masa kehancuran. Namun, di balik kehancuran
sebuah dinasti telah terdapat sebuah dinasti baru yang akan menggantikannya. Sebagai
seorang muslim, Ibn Khaldun tetap mengakui “campur tangan” Tuhan (Allah) dalam
gerak sejarah. Dan bagaimanapun, perjalanan sejarah di gerakkan oleh faktor Ilahi dan
faktor alami.
36
DAFTAR PUSTAKA
Aziz al-Azmeh, Ibn Khaldun: An Essay in Reinterpretation, London: Frank Cass and
Company,1982.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Grafiti Press, Jakarta,
1985.
A. Mukti Ali, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yayasan Nida, Yogyakarta,
1970.
Ali Audah, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986.
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, Mizan, Bandung, 1995.
Biyanto, Teori Siklus Peradaban Perspektif Ibn Khaldun, Lembaga Pengkajian Agama
dan Masyarakat, Surabaya, (2004).
Charles Issawi, Filsafat Islam Tentang Sejarah, terjemahan dari An Arab Philosophy of
History, Selection from the Prolegomena of Ibn Khaldun of Tunis, diterjemahkan
oleh Mukti Ali, Tintamas, 1972.
Fuad Baali, Society, State and Urbanism (Ibn Khaldun Sociological Thought), State
University of New York Press. 1988.
Fuad Baali, dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman
Ralibi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.
Gaston Bouthol, Ibn Khaldun Sa Philosophie (Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun),
Titian Ilahi Press, Yogyakarta.1998.
Ibn Khaldun. Muqaddimah (Tarikh Ibn Khaldun), Dar al-Fikr, Beirut, 1988.
Ibn Khaldun. Muqaddimah (terj. Ahmadie Thoha). Jakarta: Pustaka Firdaus. 1986.
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
Muhammad Abdullah Enan, Ibnu Khaldun: His Life and Work, Kitab Bhavan, New
Delhi, 1979.
Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun Philosophy of History, The University of Chicago Press,
Chicago, 1971.
Malcolm Yapp, The Historiography of Universal History, Microsoft ® Encarta ® 2006.
© 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved, 2006.
Microsoft ® Encarta. (2006). © 1993-2005 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Osman Raliby, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Bulan Bintang, Jakarta,
1978.
Syafi’i Ma’arif, Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani
Press, Jakarta, 1996.
37
Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta,
2003.
Zaenab al-Khudhairy, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, Pustaka, Bandung, 1987.
38
ORDONANSI GURU DAN PENDIDIKAN ISLAM
MASA KOLONIAL BELANDA
Mahpuddin Noor
Abstrak
Pada masa penjajahan Belanda, pendidikan agama diurus oleh dua departemen
yaitu: Departemen van Onderwijst en Eeredinst untuk pengajaran agama di sekolah
umum, dan Departemen voor Inlandsche Zaken untuk pengajaran agama di lembaga
pendidikan Islam (pesantren dan madrasah). Dalam praktiknya, kedua lembaga tersebut
tidak menangani masalah pendidikan dalam arti memfasilitasi, melainkan lebih
merupakan sarana untuk mengontrol dan mengawasi lembaga-lembaga pendidikan yang
ada. Salah satu alat pengontrolnya pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan
Ordonansi Guru 1905 dan 1925. Pemerintah mewajibkan pemilikan surat izin bagi guru-
guru agama, sehingga tidak sedikit guru-guru agama tersingkir dan tidak bisa mengajar
karena tidak lulus dari lembaga perizinan yang sebenarnya lebih bersifat politis. Seleksi
yang dilakukan menunjukkan adanya kekhawatiran pemerintah terhadap guru-guru yang
dianggap berbahaya yang dapat menimbulkan kesadaran kritis rakyat, yang bisa
menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Selain itu pemerintah
Hindia Belanda juga memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar tahun 1930-an. Kebijakan
ini mengharuskan setiap penyelenggaraan pendidikan mengantongi surat izin dari
pemerintah, melaporkan keadaan sekolah dan kurikulum yang diterapkan.
Kata-kata Kunci
Ordonansi, Guru, Pendidikan, Islam, Kolonial
Pendahuluan
Dalam perjalanannya, pendirian sekolah-sekolah Islam di Nusantara tidak berjalan
mulus. Ketika kolonialisme mencengkeram negeri ini, masalah pendirian sekolah
merupakan masalah yang serius. Hal ini diakibatkan oleh pengalaman kolonial Belanda
atas pendirian sekolah-sekolah Islam yang nyata-nyata menentang kolonialisme,
walaupun tidak dengan melakukan perlawanan secara terbuka.
Adanya stigma akan pendidikan Islam sebagai bagian dari perlawanan terhadap
Belanda merupakan sesuatu sejarah yang perlu disingkap. Perlawanan pendidikan Islam
terhadap penjajah yang paling ringan adalah dengan pendirian sekolah-sekolah Islam,
semisal pondok pesantren di pinggir kota atau bahkan di pelosok desa.
39
Hal ini memperlihatkan bagaimana sebuah institusi pendidikan Islam tidak mau
berdekatan dengan kekuasaan Belanda yang ada di kota, karena mereka tidak mau
diatur-atur oleh penjajah. Juga keberadaan doktrin dalam Islam akan kaum kafir yang
harus ditolak untuk bekerjasama dengan kaum muslimin juga menjadi indikasi akan
perlawanan sekolah-sekolah Islam terhadap penjajah.
Ketegangan inilah yang menjadikan sekolah-sekolah ini menjadi sulit didirikan di
Nusantara. Puncak ketegangan antara pendidikan kolonial Belanda dengan pendidikan
Islam adalah adanya kebijakan kolonial Belanda tentang ordonansi guru, suatu aturan
dari kolonial Belanda yang mengatur supaya setiap guru agama Islam yang akan
mengajar di suatu sekolah wajib memperoleh surat izin mengajar terlebih dahulu
(Burhanudin Daya, 1995: 262), di mana pengawasan dari kolonial Belanda ini mendapat
perlawanan dari kaum muslimin.
Dengan adanya ordonansi guru ini, ketegangan-ketegangan antara pemerintah
kolonial dan kaum muslimin memunculkan ketidaknetralan pemerintah kolonial
terhadap agama, seperti dinyatakan dalam pasal 199 Konstitusi Belanda tahun 1885
(Alwi Shihab, tt: 96).
Kemunculan ordonansi ini merupakan puncak peristiwa yang terjadi dua dekade
sebelumnya, yaitu reaksi terhadap pemberontakan petani di Cilegon, Banten (Jawa
Barat), melawan kolonialisme tahun 1888 yang dihasut guru-guru agama (Hosein
Djajadiningrat, 1958: 47-79) maupun obsesi pemerintah kolonial Belanda lewat
organisasi misionari untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh
Islam.
Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
40
Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada
umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak
didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan
kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah
ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni:
1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak
Indonesia.
2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara
pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.
3. Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru
dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan.
Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru,
jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah
pusat.
4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan
pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.
5. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di
negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara
mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di
Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti
dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis
dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak
ada.
Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak
pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak
Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua
untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat
dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di
Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter
Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa
41
hubungan organisasi antara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya.
Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk
anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai
organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan
mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling
berhubungan erat.
Pendidikan Islam Masa Kolonial Belanda
a. Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam
Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial.
Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam
sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor
yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan “Pemerintahan kafir” yang
menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri.
Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti
Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda,
dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai
sebagai pakaian identitas Belanda.
Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen,
sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut.
Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial
sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah
Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja
(Hasbullah, 1995: 64).
42
Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831,
keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai
sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
b. Ordonansi Guru
Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat
menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905
mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih
dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi
kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk
melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi
pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur
agama Islam di negeri ini.
Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak
semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin
disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak
tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.
c. Ordonansi Sekolah Liar
Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk
mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan
menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan
setelah munculnya gerakan Nasionalisme-Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah
pemuda (Aqib Suminto, 1996: 53-60).
Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang
lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa
43
mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula
memperendah aktivitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini
membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu
keinginan orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin
berkembang. Ketidakmampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru
sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya
sekolah swasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai “sekolah liar”. Tetapi karena
pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan
pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah
liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak
Indonesia.
Madrasah sebagai Alternatif Pendidikan Islam
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Madrasah memulai proses
pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan umat Islam. Latar
belakang kelahiran Madrasah itu bertumpu pada dua faktor penting. Pertama,
pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematik dan kurang memberikan
kemampuan pragmatis yang memadai. Dan kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah
ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak
sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki
model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
Pertumbuhan madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam
yang lebih progresif, tidak semata-mata defensif, terhadap politik pendidikan Hindia
Belanda. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah
tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang dari waktu ke waktu semakin banyak
kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya
bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin
terpelajar. Bagi pemerintahan penjajah, pendidikan di Hindia Belanda tidak hanya
44
bersifat pedagogis kultural tetapi juga psikologis politis. Pandangan ini pada satu pihak
menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan dianggap begitu vital dalam upaya
mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Melalui pendidikan ala Belanda dapat
diciptakan kelas masyarakat terdidik yang berbudaya Barat sehingga akan lebih
akomodatif terhadap kepentingan penjajah. Tetapi di pihak lain, pandangan di atas juga
mendorong pengawasan yang berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan
Islam seperti madrasah.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan
Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan para guru-guru
agama untuk memiliki surat izin dari pemeintah. Tidak semua orang, meskipun ahli ilmu
agama dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru
ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan
agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman
penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan
pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.
Ordonansi Guru dinilai oleh umat Islam sebagai kebijakan yang tidak sekedar membatasi
perkembangan pendidikan Islam saja, tetapi sekaligus menghapus peran penting Islam
di Indonesia. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika
menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan.
Dalam perkembangannya Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari
keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu
cukup melapor dan memberitahu saja. Ordonansi Guru yang diperbaharui ini
diberlakukan secara lebih luas diberbagai wilayah, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Namun demikian, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Ordonansi Guru ini pun
sering disalahgunakan oleh pemerintah lokal untuk menghambat gerakan umat Islam.
Peristiwa yang dialami oleh kalangan Muhammadiyah pada tahun 1926 di Sekayu
Palembang membuktikan adanya maksud negatif dibalik Ordonansi Guru tersebut. Pada
waktu itu, Pengurus Pusat akan meresmikan Sekolah Muhammadiyah setempat tetapi
45
tiba-tiba dilarang, padahal sebelumnya sudah memberitahukan rencana kegiatan itu
kepada Residen Palembang.
Selain Ordonansi Guru pemerintah Hindia Belanda juga memberitahukan
Ordonansi Sekolah Liar. Ketentuan ini mengatur bahwa penyelenggaraan pendidikan
harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintah. Laporan-laporan mengenai
kurikulum dan keadaan sekolah pun harus diberikan secara berkala. Ketidaklengkapan
laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan di kalangan
masyarakat tertentu. Karena kebiasaan lembaga pendidikan Islam yang masih belum
tertata. Ordonansi itu dengan sendirinya menjadi faktor penghambat. Reaksi negatif
terhadap Ordonansi Sekolah Liar ini juga datang dari para penyelenggara pendidikan di
luar gerakan Islam. Reaksi umat Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu
dapat dikelompokkan dalam dua corak: (1) defensif dan (2) progresif. Corak defensif itu
ditunjukkan dengan menghindari sejauh mungkin pengaruh politik Hindia Belanda itu
terhadap pendidikan Islam. Sikap ini terlihat dalam sistem pendidikan tradisional
pesantren yang sepenuhnya, mengambil jarak dengan pemerintah penjajah. Di samping
mengambil lokasi di daerah-daerah terpencil, pesantren juga mengembangkan
kurikulum tersendiri yang hampir seluruhnya berorientasi pada pembinaan mental
keagamaan. Pesantren dalam hal ini memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan
yang menjadi benteng pertahanan umat atas penetrasi penjajah, khususnya dalam
bidang pendidikan. Dengan posisi defensif ini, pesantren pada kenyataannya memang
bebas dari campur tangan pemerintah Hindia Belanda, meskipun dengan risiko harus
terasing dari perkembangan masyarakat modern.
Corak responsi umat Islam juga bersifat progresif, yang memandang bahwa
tekanan pemerintah Hindia Belanda itu merupakan kebijaksanaan diskriminatif. Usaha
umat Islam dalam bidang pendidikan dengan demikian adalah bagaimana mencapai
kesetaraan dan kesejajaran, baik dari sudut kelembagaan maupun kurikulum.
Ketergantungan pada tekanan penjajah justeru akan melemahkan posisi umat Islam
sendiri. Begitupun sebaliknya, membiarkan sikap defensif terus menerus, akan semakin
46
memberi ruang yang lapang bagi gerakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda. Untuk
mengatasi masalah ini diperlukan upaya mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan
secara mandiri yang produknya sama dengan sekolah ala Belanda, tetapi tidak
tercerabut dari akar keagamaannya. Wujud kongkrit dari upaya ini adalah tumbuh dan
berkembangnya sekolah Islam atau madrasah di berbagai wilayah, baik di Jawa maupun
di luar Jawa.
Terlepas dari kedua respons di atas, umat Islam pada umumnya menolak segala
bentuk ordonansi yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Umat Islam
menyatakan keberatan terhadap ordonansi sehingga mereka membuat reaksi yang
cukup keras. Di Minangkabau sebuah pertemuan khusus umat Islam dilaksanakan untuk
membahas masalah ini dan berakhir dengan keputusan untuk menentangnya.
Di bawah pengawasan dan ordonansi yang ketat oleh pemerintah Hindia
Belanda, madrasah mulai tumbuh. Terdapat beberapa madrasah yang memperoleh
pengakuan pemerintah meskipun masih merupakan pengakuan yang setengah-
setengah. Tetapi pada umumnya madrasah-madrasah itu berdiri semata-mata karena
kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah.
Kebutuhan sebagian rakyat untuk mengenyam pendidikan akhirnya terpenuhi melalui
madrasah, sementara pemerintah melakukan pembatasan-pembatasan dalam sekolah-
sekolah yang didirikan sebagai wujud dari kebijaksanaan diskriminatifnya.
Untuk itulah dalam masa yang sulit tersebut, kedua tokoh pendidikan Islam yaitu
Ahmad Dahlan dan Abdul Wahab Chasbullah tetap berusaha memajukan Islam dan
Nusantara dengan mendirikan dan membuat pembaharuan atas pemikiran pendidikan
Islam di Nusantara.
Reaksi Progresif Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir pada tahun 1888 dari keluarga Muslim tradisional
yang berdomisili di Kauman Yogyakarta (Abdul Munir Mulkhan, 1990: 7). Ketika muda, ia
47
adalah anggota aktif Jamiat Kheir (Weinata Saiman, 1995: 42) gerakan pembaharuan
Islam pertama di Indonesia. Tetapi perjumpaan yang paling mengesankan dan
mengilhami pendirian Muhammadiyah adalah keikutsertaan dirinya di Budi Utomo dan
Sarekat Islam.
Di masa mudanya, tahun 1908-1909 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah, yakni
Madrasah Ibtidaiyah (SD) dan Madrasah Diniyyah di rumahnya. Sekolah ini dikelola
secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum baru; antara lain diajarkan
berbagai ilmu pengetahuan yang sedang berlangsung di abad 20 (Abdul Munir Mulkhan,
1990: 19), juga penggunaan kursi, bangku serta kelas (Weinata Saiman, 1995: 49) yang
pada waktu itu masih dianggap asing.
Ia sangat terkesan pada model pendidikan dari kolonial Belanda. Akhirnya ia
merancang pendidikan Islam model sekolah kolonial, di mana ada penjenjangan kelas,
kurikulum yang jelas dan adanya seragam sekolah. Sebagai guru di sekolah Islam,
Ahmad Dahlan menjadikan model “sekolah dasar Belanda dengan Bibel” dijadikan
“sekolah dasar Belanda dengan Al-Quran” (Alwi Shihab, 1998: 113) hal ini dilakukan
Ahmad Dahlan sebagai suatu ijtihad dalam melihat suatu realitas sosial (Abdul Munir
Mulkan, 2003: 95).
Salah satu usahanya dalam memajukan pendidikan Islam adalah usahanya
memperbaharui sistem pendidikan yang dualistis, yaitu antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum. Ia harus menyatukan sistem pendidikan Barat yang lebih
mengutamakan dan mengembangkan aspek intelektual, dan sistem pendidikan Islam
yang kurang mengembangkan aspek intelektual (Arbiyah Lubis, 1995: 112).
Tahun 1912 di Yogyakarta, Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, sebuah
organisasi yang bergulat dalam masalah kesejahteraan sosial dan pendidikan. Sebagai
seorang yang banyak bergaul dengan kelompok Islam kota, model pendidikan
Muhammadiyah juga tidak jauh dari kesadaran Ahmad Dahlan untuk memodernkan
pendidikan Islam.
48
Tindakan nyata dari komitmen Ahmad Dahlan untuk Muhammadiyah memilih
berkonsentrasi dan berjuang lewat lapangan agama, pendidikan dan sosial (Ahmad
Jainuri, 2002: 144). Komitmen untuk berjuang dengan usaha Muhammadiyah
mendirikan sekolah yang menyaingi Sekolah Gubermen (milik Belanda) (Karel A.
Steenbrink, 1994: 104).
Reaksi Defensif Abdul Wahab Chasbullah
Komitmen dan rasa cinta tanah air yang tinggi dan dibuktikan dengan keaktifan
mereka dalam memperjuangkan Indonesia merdeka juga muncul pada kelompok
pembaharu pendidikan Islam di lingkungan pesantren. Figur Wahab Chasbullah (1888-
1971) yang berjasa dalam membukakan diri untuk mendorong dunia pesantren dalam
menerima dan mencoba melakukan “reformasi”. Jasa terbesarnya adalah menguatkan
posisi tawar kelompok Islam tradisionalis dari lingkungan pesantren dengan membentuk
organisasi Nahdlatul Ulama (Martin van Bruinessen, 1994: 46).
Sebelum Wahab Chasbullah diserahi pesantren Tambak Beras oleh ayahnya, Kyai
Chasbullah, ia adalah seorang “musafir pencari ilmu” (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25)
hal ini merupakan tradisi dari para santri pondok pesantren. Wahab Chasbullah juga
mengikuti tradisi musafir untuk berburu ilmu di pesantren-pesantren di Jawa. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya kegiatan mencari ilmu bagi seorang Muslim. Dalam
buku Tradisi Pesantren, Zamakhsyarie Dhofier meringkas alur pengelanaan Wahab
Chasbullah saat menjadi musafir:
Setelah mendapat ilmu dari ayahnya, Hasbullah, pemimpin pesantren Tambak Beras,
Jombang. Wahab Chasbullah melanjutkan ke Pesantren Pelangitan Tuban selama 1
tahun, Pesantren Mojosari di Nganjuk selama 4 tahun, ke Pesantren Tawangsari
selama 1 tahun, Pesantren Kedemangan bangkalan madura, Pesantren Branggahan
Kediri selama 1 tahun dan Pesantren Tebu Ireng, Jombang. Lalu dilanjutkan ke
Mekkah selama 4 tahun dan berguru kepada enam ulama ternama, mereka adalah
kyai Mahfudz al-Tirmisy, Kyai Muhtaron, Syaikh Ahmad Khatib, Kyai Bakir, Kyai Asy’ari
dan Syaikh Abdul Hamid (Zamakhsyarie Dhofier, 1997: 25-27).
49
Seperti Ahmad Dahlan yang sangat terbuka, pribadi Wahab Chasbullah yang “liberal”
dalam pergaulan dan cukup vokal dalam berpendapat (Masyhur Amin, 1996: 28-29). Hal
ini mengantarkan dirinya pada organisasi yang tidak kooperatif pada kolonial Belanda,
semisal SI di bawah pimpinan Cokroaminoto (Martin van Bruinessen, 1994: 36). Ia juga
aktif dalam kelompok diskusi intelektual nasional dengan ikut menjadi anggota
Indonesiche Studie Club (ISC) pimpinan Dr. Sutomo (Choirul Anam, 1985: 31). Dengan
pergaulan inilah yang menjadikan Wahab Chasbullah sangat paham dengan masalah
modernisasi dunia dan pembaharuan pendidikan Islam.
Di kota Surabaya, bersama dengan Kyai Haji Mas Mansyur seorang tokoh
Muhammadiyah, Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) (Saifuddin Zuhri, 1983: 25) sebuah lembaga pendidikan bercorak nasional-moderat.
Lewat Nahdlatul Wathan ia dapat merealisasikan ide-ide pendidikan. Yang tidak dapat
dilupakan adalah sumbangan Wahab Chasbullah untuk kemerdekaan bangsa.
Sekolah Nahdlatul Wathan tidak hanya berdiri di Surabaya. Seperti halnya sekolah
Muhammadiyah yang berdiri di berbagai daerah, sekolah bercorak dan berafiliasi
dengan Nahdlatul Wathan juga berdiri di banyak tempat; Akhlakul Wathan di Semarang,
Fa’ul Wathan di Gresik, Hidayatul Wathan di Jember, Ahlul Wathan di Wonokromo dan
Khitabul Wathan (Abdul Halim, tt: 34-35).
Dengan berdirinya sekolah-sekolah ini, akar nasionalisme mulai digulirkan kepada
para santri atau murid-murid yang bersekolah di situ. Pada akhirnya, sebuah kesadaran
akan rasa cinta tanah air bersemi dalam ruang-ruang pendidikan yang diasuh oleh para
guru yang kebanyakan adalah santri-santri yang lulus dari pesantren dan sekolah-
sekolah Islam yang mulai berkembang dan menghasilkan alumni-alumni yang berjiwa
nasionalis.
Sebelum konflik yang berkepanjangan antara kelompok tradisionalis dan modernis
berlangsung (Martin van Bruinessen, 1994: 34), Wahab Chasbullah mendirikan suatu
50
kursus perdebatan/kelompok diskusi yang dinamakan Tashwirul Afkar. Lewat Tashwirul
Afkar inilah, Wahab Chasbullah mempertemukan pemuda-pemuda Islam, ulama-ulama
baik dari kalangan modernis maupun tradisionalis untuk bersama-sama membahas
keilmuan Islam, seperti madzhab dalam Islam, ijtihad dan masalah-masalah keislaman
yang dibicarakan dengan sangat cair.
Penutup
Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia cukup lama dan
Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan. Di antara
kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan
ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh
dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam
melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang
didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh
pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena
tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.
Pendidikan model Barat tidak dapat dipungkiri membawa pengaruh terhadap
pembaharuan pendidikan Islam. Kasus Ahmad Dahlan dan Wahab Chasbullah dapat
menjadi contoh bagaimana modernisasi pendidikan lewat model Barat membawa
konsekuensi perubahan pendidikan Islam di Indonesia
51
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis; Melacak Pandangan Keagamaan
Muhammadiyah Periode Awal, LPAM, Surabaya, 2002.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996.
Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kiai Wahab Khasbullah, PT. Baru, Bandung, tt.
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang,
Jakarta, 1995.
Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam
Perspektif Perubahan Sosial Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi
Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998.
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1996.
Burhanudin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam; Kasus Sumatera Thawalib,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995.
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jatayu, Sala, 1985.
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 LP3ES, Jakarta, 1996.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1995.
http://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan-
sekarang.pdf.
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994.
_______________. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan
Bintang, Jakarta, 1987.
Mayhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Al-Amin, Yogyakarta, 1996.
Martin Van Bruinssen, NU, Tradisi, Relasi Kuasa, Pencarian Makna Baru, LkiS,
Yogyakarta, 1994.
Saifuddin Zuhri, Kyai Wahab Khasbullah Bapak dan Pendiri NU, Pustaka Falaakiyah,
Yogyakarta, 1983.
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 1995.
Syaifullah, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, Grafiti, Jakarta, tt.
Weinata Saiman, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1995.
Zamakhsyarie Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,
Jakarta, 1997.
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997.
52
MASJID AGUNG BANDUNG; PELESTARIAN DAN PEMANFAATANNYA
Amaludin Muslim
Abstrak
Secara konsepsional masjid disebut sebagai rumah Allah (bait Allah) atau bahkan rumah masyarakat (bait al-jami`) sebagai tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin yang dalam konsep awal diwujudkan dalam ruang yang dibentuk oleh empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Sesuai perkembangan zaman bentuk masjid mengalami penyempurnaan dari waktu ke waktu, sekaligus fungsi dasar masjid pun mengalami perkembangan dari sekedar tempat ibadah shalat menjadi tempat dakwah dan pembinaan pengajaran Islam, serta ditambah dengan fungsi-fungsi sosial lainnya. Agama Islam sebagai agama `urban` berkembang pesat di kota-kota terbukti dengan hadirnya masjid-masjid di pusat-pusat kota, misalnya Mekah dan Medinah. Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan/ kota seperti kesultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman Kesultanan Demak, Mataram Islam, hingga Kolonial Belanda. Di Tatar Priangan mesjid pertama dan terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang dibangun tahun 1810 oleh Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas desakan Gubernur Jenderal Daendels.
Kata-Kata Kunci
Masjid Agung, Perkembangan, Pelestarian, Pemanfaatan
Pendahuluan
Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud. Secara teknis sujud
(sujudun) adalah meletakkan kening ke tanah. Secara maknawi, jika kepada Tuhan sujud
mengandung arti menyembah, jika kepada selain Tuhan, sujud mengandung arti hormat
kepada sesuatu yang dipandang besar atau agung. Sedangkan sajadah dari kata sajjadatun
mengandung arti tempat yang banyak dipergunakan untuk sujud, kemudian mengerucut
53
artinya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk salat orang per
orang. Oleh karena itu karpet masjid yang sangat lebar, meski fungsinya sama tetapi
tidak disebut sajadah.
Adapun masjid (masjidun) mempunyai dua arti, arti umum dan arti khusus.
Masjid dalam arti umum adalah semua tempat yang digunakan untuk sujud dinamakan
masjid, oleh karena itu kata Nabi, Tuhan menjadikan bumi ini sebagai masjid. Sedangkan
masjid dalam pengertian khusus adalah tempat atau bangunan yang dibangun khusus
untuk menjalankan ibadah, terutama salat berjamaah. Pengertian ini juga mengerucut
menjadi, masjid yang digunakan untuk salat Jum'at disebut Masjid Jami`. Karena salat
Jum`at diikuti oleh orang banyak maka masjid Jami` biasanya besar. Sedangkan masjid
yang hanya digunakan untuk salat lima waktu, bisa di perkampungan, bisa juga di kantor
atau di tempat umum, dan biasanya tidak terlalu besar atau bahkan kecil sesuai dengan
keperluan, disebut Musholla, artinya tempat salat. Di beberapa daerah, musholla
terkadang diberi nama langgar atau surau.
Konsep awal bangunan mesjid, sebagaimana mesjid mula-mula yang didirikan di Timur
Tengah sebenarnya sederhana, sebagaimana dituliskan oleh Abdul Rochym (1995), yaitu sebagai
tempat melaksanakan ibadah bagi kaum muslimin dalam arti yang seluas-luasnya. Sebagai
tempat bersujud, sholat melaksanakan perintah Allah sesuai ajaran agama Islam. Sebagaimana
Allah diyakini sebagai pemilik jagad, bersujud kepadaNya dapat dilakukan di mana saja. Dengan
demikian, seluruh jagad ini diyakini oleh pemeluk Islam merupakan juga mesjid (Rochym, 1995).
Mesjid dalam batasan visual sudah dapat diwujudkan hanya dengan ruang yang dibentuk oleh
empat batu penjuru atau empat tongkat yang ditancapkan di tanah lapangan terbuka. Dalam
perkembangan selanjutnya, kaum muslimin kemudian bersembahyang di tempat tertentu
dengan batasan yang lebih pasti. Di sinilah lahirnya mesjid dalam batasan fisik bangunan.
Namun demikian sebagai potret perkembangan evolutif dari mesjid generasi awal tersebut,
hingga kini mesjid Arab asli tetap mempertahankan lapangan terbuka di bagian tengah sebagai
cirinya.
Fungsi dasar mesjid kemudian mengalami perkembangan setelah mesjid dalam
pengertian fisik diwujudkan. Pada gilirannya, fungsi dakwah dan pelajaran agama Islam
ditambahkan ke dalamnya. Berikutnya dalam tingkatan yang lebih maju, fungsi-fungsi yang
diemban menjadi lebih beragam. Ketika mulai ada keterkaitan dengan pemerintahan daerah
54
atau kekuasaan, aspek politik ikut dimasukkan. Dalam kasus konflik-konflik yang mengakibatkan
peperangan misalnya, laskar yang hendak berjihad mempersiapkan diri di mesjid sebelum
keberangkatannya.
Jika menengok sejarah Nabi, ada tujuh langkah strategis yang dilakukan oleh
Rasul dalam membangun masyarakat Madani di Madinah. (1) mendirikan Masjid, (2)
mengikat persaudaraan antar komunitas muslim, (3) Mengikat perjanjian dengan
masyarakat non Muslim, (4) Membangun sistem politik (syura), (5) meletakkan sistem
dasar ekonomi, (6) membangun keteladanan pada elit masyarakat, dan (7) menjadikan
ajaran Islam sebagai sistem nilai dalam masyarakat. Ketika Nabi memilih membangun
masjid sebagai langkah pertama membangun masyarakat madani, konsep masjid bukan
hanya sebagai tempat salat, atau tempat berkumpulnya kelompok masyarakat (kabilah)
tertentu, tetapi masjid sebagai majlis untuk memotivisir atau mengendalikan seluruh
masyarakat (Pusat Pengendalian Masyarakat).
Secara konsepsional masjid juga disebut sebagai Rumah Allah (Baitullah) atau
bahkan rumah masyarakat (bait al jami`). Secara konsepsional dapat dilihat dalam sejarah
bahwa masjid pada zaman Rasul memiliki banyak fungsi :
1. Sebagai tempat menjalankan ibadah salat
2. Sebagai tempat musyawarah (seperti gedung parlemen)
3. Sebagai tempat pengaduan masyarakat dalam menuntut keadilan (seperti kantor
pengadilan)
4. Secara tak langsung sebagai tempat pertemuan bisnis
Yang lebih strategis lagi, pada zaman Rasul, masjid adalah pusat pengembangan
masyarakat di mana setiap hari masyarakat berjumpa dan mendengar arahan-arahan dari
Rasul tentang berbagai hal; prinsip-prinsip keberagamaan, tentang sistem masyarakat
baru, juga ayat-ayat Qur'an yang baru turun. Di dalam masjid pula terjadi interaksi antar
pemikiran dan antar karakter manusia. Azan yang dikumandangkan lima kali sehari
sangat efektif mempertemukan masyarakat dalam membangun kebersamaan.
Jika kita menengok pada sejarah Islam, boleh jadi ungkapan bahwa agama Islam
adalah agama `urban` barangkali ada benarnya. Maksudnya, ia justru berkembang pesat
di kota-kota meski tanpa mengesampingkan desa-desa. Terbukti hadirnya pun di `kota`
Mekah dan bahkan semakin berkembang pesat di `kota` Medinah. Mengapa tidak
55
berkembang di kampung Badui Arab misalnya, karena penyebarannya barangkali justru
bisa sangat lambat yang berlawanan dengan apa yang kita lihat selama ini.
Bersamaan dengan perkembangan zaman, terjadi ekses-ekses di mana bisnis dan
urusan duniawi lebih dominan dalam pikiran dibanding ibadah meski di dalam masjid,
dan hal ini memberikan inspirasi kepada Umar bin Khattab untuk membangun fasilitas di
dekat masjid, di mana masjid lebih diutamakan untuk hal-hal yang jelas makna
ukhrawinya, sementara untuk berbicara tentang hal-hal yang lebih berdimensi duniawi,
Umar membuat ruang khusus di samping masjid. Itulah asal usulnya sehinga pada masa
sejarah Islam klasik (hingga sekarang), pasar dan sekolahan selalu berada di dekat masjid
(http://www.mail-archive.com)
Seluruh masjid agung di pulau Jawa, hampir selalu terletak di pusat pemerintahan
seperti kesultanan, kraton maupun kabupaten-kabupaten yang dibangun sejak zaman
Kesultanan Demak, Mataram Islam, atau hingga Kolonial Belanda. Sedangkan di Tatar Priangan
khususnya sepanjang Groote Postweg Cianjur, Bandung, dan Sumedang baru dibangun pada
zaman pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga kabupaten ini dibentuk dalam era Daendels disebut
sebagai wilayah Prefectuur Preanger-Regenschappen yang dilalui Groote Postweg.
Seiring dengan makin berkembangnya Islam dan makin meluas pula pengaruhnya,
bangunan mesjid kemudian menjadi representasi kekuasaan dan kekuatan politik. Dalam pola
kota tradisional Nusantara, mesjid agung ditempatkan di sebelah barat alun-alun, sementara
istana, keraton atau pendopo kabupaten ditempatkan di selatan alun-alun. Alun-alun sendiri
merupakan ruang terbuka multi fungsi yang di antaranya dipergunakan sebagai tempat
masyarakat mendengar titah-titah penguasa, perayaan-perayaan besar dan sarana interaksi
sosial antar warga.
Pola tata ruang tersebut diterima di semua kota tradisional Jawa, tidak terkecuali
Bandung. Salah satu mesjid pertama, dan juga yang terbesar adalah Mesjid Agung Bandung yang
dibangun tahun 1810, bersamaan dengan pembangunan pendopo kabupaten. Pembangunan
tersebut konon ditangani langsung Bupati Bandung legendaris, R.A. Wiranatakusumah II atas
desakan Gubernur Jenderal Daendels yang memerintahkan pemindahan ibu kota kabupaten dari
Krapyak ke lokasi yang lebih dekat ke Jalan Raya Pos. Sesuai dengan konsep tata bangunan
tradisional, Mesjid Agung menempati lahan di sebelah barat alun-alun, Pendopo Kabupaten di
sebelah selatan sementara di bagian agak ke utara kemudian dibangun pasar dan penjara.
56
Masjid Agung Bandung dalam Lintasan Sejarah
Dari beberapa sumber sejarah, Masjid Agung Bandung didirikan pada tahun
1810. Memang banyak pula yang menyebut tahun 1812, namun sampai saat ini dapat
diketahui secara pasti siapa yang membangun atau yang menggagas pertama kali. Saat
itu masjid masih berupa bangunan panggung tradisional sederhana yang terbuat dari
bambu dan beratap rumbia. Pada saat itu, masjid diperkirakan memiliki bentuk atap
yang masih sangat sederhana. Namun pada sekitar bangunan masjid sederhana itu, ada
yang menarik yakni terdapatnya kolam kolam besar nan luas sebagai tempat mengambil
air wudlu. Ini menjadi salah satu tanda bahwa bangunan tersebut adalah tempat ibadah,
karena masjid-masjid jaman dulu biasanya memiliki kolam besar sebagai tempat wudlu
di depan atau di sampingnya.
Ketika kawasan alun-alun Bandung mengalami kebakaran besar pada tahun
1825, kolam tempat mengambil air wudlu ini sangat bermanfaat bagi warga untuk
memadamkan api sehingga berhasil dipadamkan.
Gb 1. Masjid Agung Bandung untuk pertama kalinya terekam dalam sebuah litho pelukis Inggris W. Spreat
yang dibuat pada tahun 1852. Tampak atap masjid ”bale nyungcung”. (Sumber: Haryoto Kunto)
Menurut catatan Dr. Andries de Wilde, “Sang Tuan Tanah Bandung Raya” (1930),
masjid agung di alun-alun berhadap-hadapan dan berpapasan dengan Bale Bandung.
Masjid terletak di sebelah barat alun-alun Kota Bandung, sedangkan Bale Bandung yang
berfungsi sebagai tempat pertemuan dan menerima tamu penting terletak di sebelah
timur alun-alun (Kunto, 1996). Dari sini bisa kita lihat posisinya yang cukup penting
dalam pusat kota pada waktu itu. Keberadaan masjid memang erat kaitannya dengan
57
pembuatan alun-alun Kota Bandung, yakni sebagai salah satu pelengkap tata ruang
pusat pemerintahan di Jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Pada tahun 1826, bangunan masjid agung secara berangsur-angsur diganti dari
bahan bilik dan bambu menjadi bangunan berkonstruksi kayu. Di susul pada tahun 1850,
bangunan-bangunan di sekitar alun-alun dan Groote postweg (sekarang jalan Asia-
Afrika) direnovasi dan ditingkatkan kualitas bahan bangunannya. Bersamaan dengan itu,
sebagai arsitek Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1847), merenovasi bangunan
masjid agung dan pendopo kabupaten. Perombakan pada masjid agung berupa
penggantian material atap dengan genting dan dinding dengan tembok batu-bata. Inilah
penampilan bentuk dan ekspresi Masjid Agung Bandung pada tahun 1850-an yang untuk
pertama kalinya terekam dalam sebuah gambar, yakni litho pelukis Inggris W. Spreat
yang dibuat pada tahun 1852 (gb.1).
Di sini terlihat bahwa masjid agung beratap tumpang tiga, memiliki halaman
luas, dikelilingi pohon bambu dan kelapa serta di depannya terdapat gerbang yang
diapit dua pohon beringin. Dari lukisan itu dapat juga kita lihat bahwa masjid agung
merupakan bangunan tunggal, berskala besar/monumental. dengan semacam pendopo
di depannya. Secara umum, atap tumpang yang tinggi dan besar serta deretan kolom di
sekeliling masjid memberi ciri penting yang dapat kita tangkap pada penampilan dan
ekpresi bangunan masjid pada saat itu.
Khusus pada atap, di sini sudah memperlihatkan bentuk atap tumpang tiga yang
tinggi seperti “Bale Nyungcung” yang makin terkenal di kemudian hari. Ekspresinya
ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas namun pada bagian ujung bawah
setiap lapisan atap tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal dengan cepat.
Bentuk dan ekspresi atap seperti itu, tampak makin terlihat pada tahun 1875
seperti yang ditunjukkan pada foto lama di tahun yang sama (lihat gb. 2). Selain lapisan
atap tumpukan yang sudah `nyungcung`, pada bagian ujung bawah lapisan atap pertama
juga makin jelas menunjukkan belokan atap ke arah lebih mendatar.
58
Gb. 2. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1875. Tampak jelas deretan kolom-kolom ”doric” Yunani.
(Sumber: KITLV Leiden)
Selain atap, di sini juga memperlihatkan adanya beberapa perubahan lainnya
seperti: adanya semacam tembok/pagar yang mengelilingi pendopo/serambi luar masjid
setinggi satu hingga satu setengah meter. Ini boleh jadi bukan sekadar tembok/pagar,
tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk dari fondasi yang ditinggikan yang
sekaligus mampu menahan kolom-kolom/tiang-tiang. Dugaan ini bisa dilihat pada
gambar, di mana kolom-kolom/tiang-tiang terlihat menunjukkan ukuran dan proporsi
yang pendek dan bagian bawahnya diperbesar yang ditumpu pada `tembok` tersebut.
Memasuki pada abad ke-20, tepatnya pada tahun 1900 Masjid Agung Bandung
mulai dikenal menjadi tempat ibadah yang representatif buat sebuah ibu kota Priangan
(Kunto, 1996). Masjid dilengkapi dengan ciri masjid tradisional yang sangat kental.
Antara lain: denah empat persegi panjang, mihrab, pawestren, bedug dan kentongan,
bangunan menghadap ke timur tepat, ada makam, benteng, dan tidak bermenara
(Graaf, 1947).
Mendekati tahun 1930-an, masjid agung semakin terkenal dan sangat menonjol
dalam fungsi, aktivitas, dan kegiatan-kegiatannya. Ini dibuktikan dengan ramai dan
makmurnya masjid oleh para penduduk kota Bandung. Bahkan konon masjid agung
pada saat itu mengalami semacam `zaman keemasan` sebagai pusat ibadah dan sosial
penduduk kota (Kunto, 1996). Masjid dipakai orang untuk berakad nikah, menjadi
tempat merayakan Mauludan, Rajaban, Shalat ‘Ied dan belajar mengaji, serta menjadi
baitul mal yang menerima zakat fitrah dan mengurus kesejahteraan umat.
Secara fisik, pada tahun 1930 inilah Masjid Agung Bandung mulai ditambahi
dengan bangunan pendopo yang di sebelah ujung kanan dan kirinya dibuat menara
59
pendek dan kembar. Sepasang menara kembar tersebut semakin memperkuat kesan
simetri bangunan masjid. Atap bangunannya pun berubah ekspresinya semakin
`nyungcung` yang ditunjukkan dengan atap tinggi menjulang ke atas dengan sudut
kemiringan semakin curam, dan begitu sebaliknya pada bagian ujung bawah setiap
lapisan tumpukan berbelok ke arah mendatar/horizontal. Sepasang menara kembar di
kiri dan kanan bangunan tadi pun diberi pula atap yang sama bentuk dan ekpresinya
`nyungcung` sehingga tampil serasi dan menarik (gb. 3).
Gb. 3. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 1935. Terjadi perubahan pada atap yang semakin menjulang dan adanya penambahan menara kembar di depan masjid (Sumber: Haryoto Kunto).
Dari segi bentuk dan ekspresi bangunan, mungkin pada penampilan bangunan
pada saat itulah yang memperlihatkan bentuk paling anggun dan menarik dibandingkan
sebelumnya. Lebih dari itu, inilah barangkali perkembangan bentuk terakhir dari masjid
Agung Bandung ketika masih beratap `Bale Nyungcung`, karena pada perkembangan
berikutnya bentuk atap seperti ini sudah tidak ditemui lagi. Sementara itu, penggunaan
tiang-tiang luar masjid juga semakin tampak jelas yang ditata mengikuti irama tertentu.
Penggunaan tiang-tiang itu sedikit banyak mengindikasikan pengaruh idiom India
`Gupta`. Tiang-tiang ini juga secara jelas menumpu pada `tembok/pagar` seperti telah
dijelaskan di atas.
Pada masa ini pula bangunan masjid agung dan bahkan hampir seluruh
bangunan sekeliling alun-alun diberi pagar tembok berlubang-lubang berornamen sisik
ikan hasil rancangan arsitek Belanda terkenal Henry Maclaine Pont. Motif sisik ikan ini
kemudian untuk beberapa saat menjadi ragam hias khas pagar-pagar di wilayah
Priangan sehingga dapat dijumpai di mana-mana termasuk hingga Cianjur dan Garut.
60
Setelah Soekarno mendapat gelar Civiel Ingenieur (Ir.) dari Technische
Hogheschool (THS atau ITB sekarang) di tahun 1925, pernah memiliki obsesi untuk
membangun Masjid Agung Bandung yang megah bersama Ir. Rosseno (rekannya dalam
mendirikan biro arsitek) yang konon akan memakan biaya satu setengah juta gulden.
Pengumpulan dananya direncanakan dengan cara menjual perangko dari seri setalen
(25 sen), seketip (50 sen), dan serupiah (100 sen). Namun program tersebut gagal
karena dijegal pemerintah Belanda dengan aturan pelarangan pengumpulan fonds
(dana). Bahkan Asisten Wedana yang telah menyetujui program tersebut juga ditekan
pemerinta kolonial Belanda.
Awal tahun 1954, Gubernur Jawa Barat mengadakan rapat Panitia Perbaikan
Masjid Agung Bandung dalam rangka Konferensi Asia Afrika di Gedung Pakuan. Presiden
Soekarno sempat memaparkan gagasannya pada kesempatan itu. Bahkan pada
pertemuan itu pula diperlihatkan pada hadirin gambar bestek Masjid Agung Bandung
garapan Soekarno. Mengingat terbatasnya anggaran biaya Negara dan waktu
pembangunan yang amat mendesak, maka hanya sedikit saja gagasan Soekarno yang
dapat terlaksana. Itupun hanya menyangkut gubahan massa yang terdiri dari satu
bangunan induk dengan kubah “bawang” yang dilengkapi dengan menara tunggal.
Agaknya kehadiran kubah bawang di atas Masjid Agung Bandung pada periode 1955-
1970, mungkin sekali atas usulan Soekarno (Kunto, 1996).
Pada tahun 1955 ini, penampilan masjid jelas mengalami perubahan yang luar
biasa dibanding dengan perubahan-perubahan sebelumnya ini. Tampak depan juga
dirubah total. Kedua menara kecil di kanan dan di kiri masjid dibongkar. Serambi
diperluas ke depan yang menyebabkan halaman menjadi lebih sempit, bahkan hampir
seperti tidak lagi memiliki halaman depan. Ruang panjang kiri dan kanan (pawestren)
dijadikan satu bangunan induk, sehingga bangunan masjid menjadi sebuah massa
tunggal. Bangunan baru ini dilengkapi menara berpuncak kubah bawang di sebelah
selatan masjid. Perubahan yang paling spektakuler adalah bentuk atap bangunan induk
yang sudah lebih dari se abad berbentuk `Bale Nyungcung` diganti dengan kubah segi
empat bergaya Timur-Tengah (gb. 4).
61
Gb 4. Foto Masjid Agung Bandung pada tahun 1955, sesaat sebelum diselenggarakannya Konferensi Asia
Afrika. Di sini terjadi perubahan besar-besaran, dari atap bale nyungcung ke atap kubah. (Sumber: Haryoto Kunto)
Perubahan atap dari `bale Nyungcung` ke atap kubah segi empat seperti ini juga
semakin memperkuat legitimasi penggunaan bentuk kubah bergaya Timur-tengah itu di
pulau Jawa sebagai simbol sebuah masjid yang nantinya semakin kuat pada masa-masa
mendatang. Karena pada sekitar tahun itu pula beberapa masjid di pulau Jawa dibangun
juga dengan atap kubah seperti Masjid Syuhada (1952) di Yogyakarta dan Masjid Al-
Azhar (1956) di Kebayoran Baru, Jakarta.
Masjid Agung Bandung dalam penampilan seperti itulah saat dilangsungkannya
Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung. Masjid digunakan sebagai tempat shalat para
tamu-tamu dari luar negeri, sejak saat itu Masjid Agung Bandung mulai dikenal oleh
dunia Islam meskipun bentuknya sudah jauh meninggalkan aslinya yang beratap `Bale
Nyungcung`. Pada perkembangannya atap kubah hasil perombakan tahun 1955 tersebut
pernah rusak karena tertiup angin dan diperbaiki pada tahun 1965. Kemudian diperbaiki
kembali bersamaan dengan perbaikan beberapa bagian masjid serta penambahan
ruangan untuk kegiatan pendidikan (madrasah dan TK) dan poliklinik pada tahun
1967/1968. Akhirnya kubah bawang yang sudah diperbaiki itu pun akhirnya diganti dan
sekaligus diubah dengan yang bukan kubah bawang lagi pada tahun 1970-1973. Artinya
Atap kubah bawang itu hanya bertahan selama kurang lebih 15 tahun.
Pada tahun 1973 ini dilakukan perombakan total kembali berdasarkan SK
Gubernur Kepala Dati I Jabar tahun 1973. Bangunan yang baru memiliki wajah dan
bentuk yang sama sekali berbeda dengan bentuk masa sebelumnya. Hasil renovasi ini
diresmikan pada tahun 1974 (gb. 5).
62
Gb 5. Masjid Agung Bandung pada penampilan di tahun 1974. Terjadi renovasi lagi secara besar-besaran
(Sumber: Haryoto Kunto).
Masjid diperluas lantainya (lagi), bahkan mulai dibangun bertingkat. Dibangun
pula lantai basemen untuk tempat wudlu, sedangkan lantai dasar dipakai untuk ruang
shalat utama dan kantor DKM. Sementara lantai di bagian atas difungsikan sebagai
mezanin untuk tempat shalat yang berhubungan langsung dengan serambi luar. Serambi
luar ini dihubungkan dengan jembatan beton ke arah alun-alun Bandung yang dapat kita
lihat pada tampak muka masjid.
Menara yang lama dibongkar diganti dengan yang baru yang lebih tinggi di
halaman depan sebelah kiri. Menara yang baru ini diberi ornamen shading dari logam
yang konon sedang tren pada saat itu. Perubahan drastis terjadi kembali pada atap
yakni atap kubah langsung diganti dengan atap yang merujuk kembali atap tumpang
tetapi berbeda tampilan dan ekspresinya, katanya model joglo, sebutan sebagian orang.
Bangunan yang ada sekarang ini sebagian besar adalah hasil perombakan total
pada tahun 1973 tersebut. Sayang, jembatan beton tersebut tampak kurang berfungsi
sebagaimana mestinya sebuah jembatan untuk orang. Jembatan ini hampir selalu
ditutup pagar, supaya orang tidak lewat/masuk dari arah alun-alun. Barangkali jembatan
ini lebih tepat untuk menghubungkan massa bangunan dengan keberadaan alun-alun di
sebelah timur bangunan dari pada sebagai jembatan penyeberangan atau menuju
masjid. Artinya ia lebih tepat jika dibaca sebagai komposisi arsitektural katimbang
diharapkan manfaatnya.
Pada akhir tahun 1980, penampilan masjid dirubah dengan selain diberikan
finishing bahan dan detail-detail di dalam bangunan, juga ditambah fasade dinding
pagar dan gerbang yang dilengkapi dengan pintu-pintu besi (gb. 6). Pagar dan gerbang
63
ini cukup tinggi sehingga berkesan monumental. Elemen ini sangat tebal (tiga lapis?)
sehingga juga berkesan masif seperti laiknya benteng yang tak ingin ditembus kecuali
melalui pintu-pintu besi yang juga berskala monumental tersebut.
Gb. 6. Masjid Agung Bandung pada foto tahun 2001.
Kenyataannya elemen pagar dan gerbang ini menjadi sangat mendominasi
penampilan Masjid Agung Bandung pada saat ini. Dari jarak dekat, fasade atau tampak
muka bangunan masjid tergantikan semuanya oleh tampak dinding pagar dan gerbang
tersebut. Bahkan bangunan masjidnya sendiri nyaris tak terlihat, tertutup oleh elemen
pagar dan gerbang tersebut, apalagi jika kita melihatnya dari jarak dekat seperti ini.
Elemen ini sebenarnya cukup unik dan menarik namun juga berakibat penampilan
masjid menjadi terlalu tertutup dan kurang mengundang bagi khalayak yang melintas di
depannya.
Penambahan lainnya yang tak kalah menarik adalah adanya rangka besi
berbentuk kubah pada puncak menara masjid. Boleh jadi karena dianggap tidak mudah
untuk mengenali bahwa bangunan tersebut adalah masjid bagi orang kebanyakan
karena tertutup pagar dan gerbang, maka penambahan kubah pada puncak menara
tersebut dianggap dapat memberi tanda/simbol yang mempermudah pengidentifikasian
oleh masyarakat kebanyakan dari mana-mana. Lebih unik lagi, hampir setiap rangka besi
kubah diberi rangkaian lampu-lampu, sehingga pada malam hari nyala terang lampu
yang membentuk gubahan bentuk kubah itu dapat dengan mudah dikenali oleh
khalayak umum sebagai bangunan masjid dengan baik
(http://bambangsb.blogspot.com/).
Pemanfaatan Masjid Raya Bandung; Antara Sisi Positif dan Negatif
64
Berwisata ke Kota Bandung tak afdol rasanya jika tidak datang ke kawasan Alun-alun
Bandung. Kawasan ini dikondisikan sebagai sentra awal penelusuran wisata Kota Bandung.
Terletak di pusat kota, Alun-alun Kota Bandung dikelilingi empat sisi yang memiliki sejarah
panjang percaturan Republik ini. Empat sisi itu ialah tiga jalan utama (Jalan Asia Afrika, Jalan
Alun-alun Timur, Jalan Dalem Kaum) dan Sungai Cikapundung. Di sisi selatan, ada kawasan
perhotelan berbintang yang letaknya hanya beberapa menit dari Alun-alun, yaitu Hotel Savoy
Homann, Preanger, Aston (Braga City Walk), dan Hotel Panghegar.
Letak Masjid Agung Bandung (sekarang Mesjid Raya Bandung Provinsi Jawa
Barat) yang berada di tengah-tengah kegiatan komersial yang amat padat, merupakan
ciri utama yang dimiliki Masjid Agung Bandung. Di tengah hiruk-pikuk kawasan
perbelanjaan atau `shopping`, perkantoran, perbankan, hiburan, dan segala macam
bisnis lainnya termasuk tempat berjubelnya kaki lima yang merampas hampir seluruh
trotoar pejalan kaki, masjid agung berada di sana.
Tanpa disadari, hari demi hari tampilan masjid semakin seperti tenggelam dalam
lautan hiruk pikuk segala macam aktifitas tersebut di atas. Apalagi setelah dibangunnya
pagar yang tinggi di depan/sebelah timur bangunan masjid, maka masjid agung seperti
hendak menghindar dari tekanan-tekanan dari luar yang boleh jadi memang
mengganggu. Faktor keamanan misalnya, memang suatu hal yang perlu diselesaikan.
Tetapi inilah kenyataan itu.
Dalam tampilan dan ekspresi masjid di tengah-tengah makin padatnya aktifitas
bisnis seperti itu, masjid agung memang seperti ibarat seorang sufi yang hendak
mengucilkan diri karena khawatir akan dosa dan godaan-godaan dunia. Maka ia perlu
membentengi dirinya, kalau perlu tidak bergaul/berhubungan dengan dunia `luar`
darinya dengan benteng tinggi nan kokoh yang dimiliki. Banyak pelancong di Bandung
juga heran jika memperhatikan kawasan alun-alun dan halaman Masjid Raya Bandung.
"Pedagang asongan sekarang lebih sering berjualan di dalam alun-alun dan memenuhi
pinggiran dan halaman masjid. Ini membuat situasi lingkungan Masjid Raya Bandung
tidak nyaman dan tidak indah dipandang mata. Padahal, Masjid Raya Bandung menjadi
bagian dari lokasi pelancongan umat Islam di Bandung. Pada malam hari suasananya
65
malah lebih kacau. Orang bebas pacaran di sekitar alun-alun yang letaknya pas di
halaman masjid.
Penilaian negatif itu muncul antara lain karena Alun-alun yang juga menjadi halaman
Masjid Raya Bandung Jawa Barat itu, khususnya jika malam hari, selalu berubah fungsi menjadi
kawasan bermain wanita-wanita nakal yang populer dengan sebutan "bunga berjalan" alias
penjaja cinta kilat. Para penjaja cinta kilat ini memang tak punya kelas. Tetapi, yang namanya
kehidupan malam, mereka bisa mengecoh pandangan mata. Bandung, harus diakui, memiliki
"bunga malam" yang semarak. Di sini, meski tergolong "bunga malam" yang tak berkelas,
mereka tetap saja diminati para lelaki hidung belang. Tak ayal, taman Alun-alun Bandung yang
merupakan plaza dari Mesjid Raya Bandung menjelang malam pun menjadi ajang transaksi
"cinta kilat" antara "bunga malam" dan para lelaki hidung belang. Para peminat layanan cinta
kilat ini bukan hanya para lelaki hidung belang lokal, sekali-sekali ada juga lelaki hidung belang
dari luar daerah. "Bunga malam" Taman Alun-alun Bandung ini, setelah sepakat dalam transaksi
di taman, biasanya membawa mangsa gaetannya ke beberapa hotel kelas melati yang berada di
sekitar Taman Alun-alun Bandung. Maklum, di sekitar itu tumbuh pula sejumlah hotel melati
yang bisa digunakan jam-jam-an untuk sekadar melepas hajat birahi para lelaki hidung belang.
Karena "bunga malam" Taman Alun-alun Bandung inilah, suka atau tidak suka,
kehidupan malam di lokasi itu selalu berdenyut. Tampaknya, jika kawasan Alun-alun Kota
Bandung terkondisikan sebagai salah satu objek wisata kota, tak akan bisa terlepas dari
persoalan "cinta kilat" tersebut. Pasalnya, harus diakui, kepariwisataan seakan sudah lekat
dengan persoalan seksualitas.
Inilah barangkali satu sisi buram dari objek wisata Kota Bandung. Pemerintah Kota
Bandung bukan tak ada upaya untuk menghalau para penjaja cinta kilat ini dari kawasan Taman
Alun-alun Bandung. Tetapi upaya itu seakan tak membuahkan hasil. Operasi atau razia terhadap
para "bunga malam" ini kerap dilakukan, namun terkesan "si bunga" tak pernah layu.
Tertangkap razia satu, akan muncul banyak yang lain. Padahal di sudut timur taman itu, nyaris
24 jam, petugas Satuan Polisi Pamong Praja berjaga.
Di tengah hiruk pikuk alun-alun sebagai pusat keramaian di Kota Bandung, keberadaan
Masjid Raya Bandung masih menjadi harapan sebagai benteng keimanan bagi warga masyarakat
yang masih perduli terhadap agamanya. Masih banyak ditemukan pada waktu-waktu sholat lima
66
waktu keberadaan Masjid Raya Bandung tetap ramai dikunjungi untuk melaksanakan sholat lima
waktu. Keberadaan Masjid ini sangat membantu para pelancong dari berbagai daerah untuk
melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim atau muslimah, yaitu melaksanakan sholat
wajib.
Selain digunakan sebagai pelaksanaan shalat lima waktu keberadaan Masjid Raya
Bandung Provinsi Jawa Barat digunakan pula sebagai pembinaan keagaamaan dalam bentuk
pengajian yang diselenggarakan oleh DKM, Majlis-Majlis Dzikir yang menyelenggarakan doa dan
dzikir setiap hari setelah shalat Zuhur, kajian Tafsir al-Quran, pelatihan membaca al-Quran,
pelatihan Bahasa Arab, pelatihan manasik haji dan juga memiliki KBIH. Pada saat bulan suci
Ramadhan Masjid Raya Bandung juga menyelenggarakan shalat tarawih berjamaan, menerima
titipan ZIS, shalat idul fitri dan idul adha juga penyembelihan hewan qurban.
Penutup
Ada sebuah peristiwa penting di kota Bandung pada paruh pertama tahun 2003 silam
yang berkaitan dengan tata kota, yaitu beralihfungsinya sebagian Alun-alun menjadi bagian dari
perluasan ruangan Mesjid Raya Bandung dan sisanya menjadi halaman depan mesjid. Rumah
ibadah yang secara tradisional menempati area sebelah barat Alun-alun, di kawasan Alun-alun
Bandung sekarang diperluas ke Alun-alun yang semula adalah halaman pendopo dan terletak di
tengah sebagaimana lazimnya jantung kota tradisional. Sebuah gebrakan yang cukup berani -
meskipun dapat dikatakan terlambat dan tidak menyelesaikan kesemrawutan kawasan Alun-
alun Bandung- untuk merubah atau menyesuaikan desain pusat kota tradisional Bandung
dengan kondisi sekarang dan mungkin ke depan. Perluasan mesjid ke arah timur yang
mencaplok jalan sekaligus Alun-alun memang jauh lebih praktis dan mungkin lebih ‘murah’
karena hanya memanfaatkan lahan milik pemkot berupa jalan dan Alun-alun yang mungkin
gratis, dibanding membebaskan toko dan bangunan lain -yang makin lama akan makin mahal- di
bagian barat dan samping yang menjepit bangunan mesjid lama.
Bila Masjid Raya Bandung itu dimaksudkan untuk menjadi landmark Alun-alun, ia
harus dipisahkan dari bangunan lain seperti pertokoan apalagi bangunan tua tak
terpakai. Seindah apapun bagian depan atau wajah masjid, selama bagian lain apalagi
67
bagian mihrab di barat terjepit di bagian belakang pertokoan atau bangunan yang
centang perenang, keindahan dan kemuliaan itu menjadi tidak pernah utuh. Apalagi
bersebelahan dengan bangunan tua yang kosong dan kumuh (gedung Suarha di sebelah
kanan masjid yang dibiarkan terbengkalai kecuali lantai dasar), membuat kemegahan
Mesjid Raya Bandung yang berbungkus marmer itu teredam dan bahkan menambah
parodi kota.
Lingkungan (bekas) Alun-alun Bandung lalu memiliki elemen pusat kota yang
dibangun pada zamannya masing-masing sekaligus menjadi kontradiksi satu sama lain:
pendopo kabupaten yang sekarang menjadi rumah dinas walikota, menyisakan
sepenggal sejarah Bandung tempo dulu yang tradisional pulau Jawa, sementara di
seberangnya berdiri beberapa gedung kolonial yg makin pudar kewibaannya, apalagi
berjajar dengan Menara BRI, bangunan perkantoran tertinggi di kawasan itu yang
memakai langgam arsitektur kontemporer. Di timur berdiri dua gedung pertokoan,
Miramar, pusat pertokoan pertama di Bandung yang kini nasibnya mengenaskan dan
Palaguna Nusantara. Kedua gedung itu -Svarha dan Miramar- seperti gelandangan kota
dengan pakaian kucel dan kumuh berdiri tegak di sekitar mesjid, pendopo dan pusat
perbelanjaan. Barangkali karena tidak lagi berperan sebagai pusat pemerintahan,
kondisi itu dibiarkan demikian termasuk pemasangan billboard rokok ukuran raksasa
pada jembatan penyeberangan tak jauh dari kawasan Alun-alun.
Berubahnya Alun-alun menjadi bagian masjid dan halaman Masjid Raya memang
sah-sah saja selama perannya sebagai ruang terbuka di tengah kota masih terjaga.
Karena Alun-alun itu telah lama berhenti berperan sebagai pusat kota dalam arti pusat
pemerintahan. Bandung adalah pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat:
Pemerintah Kota Bandung sendiri dan Propinsi Jawa Barat. Secara tidak langsung, terjadi
pembagian fungsi Alun-alun di kota Bandung. Kawasan bekas Alun-alun Bandung
menjadi kawasan perdagangan dan perkantoran, Balai Kota untuk kantor pemkot,
sedangkan Alun-alun dalam arti tradisional -lapangan luas tempat berkumpulnya
masyarakat terutama untuk menyaksikan hiburan- terkonsentrasi di Gasibu depan
Gedung Sate. Alun-alun Bandung hadir dengan vitalitas perdagangan yang sibuk dihiasi
68
segala ikon ekonomi khas kota Indonesia: kontradiksi antara mesin kapitalis yang
direpresentasikan dengan pusat perbelanjaan di gedung jangkung ber-AC dan
berelevator dengan tempat parkir berlantai-lantai, dengan ekonomi kelas kaki lima dan
beca, sementara Gasibu hampir secara rutin menjadi Alun-alun tempat warga kota
menikmati hiburan dan pasar kaget pada hari Minggu.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjasaputra, A. Sobana. Bandung, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2000.
Kunto, Haryoto. Balai Agung di Kota Bandung. PT Granesia, 1996.
Kunto, Haryoto. Wajah Bandung Tempo Doeloe. PT Granesia, 1994.
Kunto, Haryoto. Ramadhan di Priangan. PT. Granesia, 1996.
Lubis, Nina H., dkk. Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat. Alqaprint, Jatinangor, 2005.
Rochym, A. Mesjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa. 1995.
Setia Budi, Bambang. Tinjauan Arsitektur Mesjid Agung Bandung dari Masa ke Masa. Pikiran
Rakyat 3 Januari 2001.
Sudarsono, Katam, Lulus Abadi. Album Bandung Tempo Doeloe. Navpres Indonesia, 2005.
Suganda, Her. Jendela Bandung Pengalaman Bersama Kompas. Kompas, Jakarta. 2007.
http://www.mail-archive.com
http://bambangsb.blogspot.com
69
PENGEMBANGAN SAINS, HUKUM, SENI, TEKNOLOGI DAN EKONOMI DI
DUNIA ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Ajid Thohir
Abstrak
Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang
cukup besar bagi kepentingan peradaban dunia secara umum. Aspek-aspek
pengembangan kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu
mengolah potensi material dan kosmologikal. Sehingga warisannya secara umum cukup
bisa dinikmati oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman.Warisan agung (the
great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa
hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Keagungan peradaban Islam
hendaknya bukan hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos di mana upaya-upaya terdahulu
para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan
Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia. Bagaimana
cara-cara Islam mengembangkan kemanusiaan dan wilayahnya bisa ditelusuri dari
realitas sejarahnya melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi.
Kata-Kata Kunci
Hellenisme Islam, Sains, Hukum, Seni, Teknologi, Ekonomi, Assimilasi Etnik, Produk-
Produk Sains.
Pendahuluan
Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-
wilayah kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan
memasuki daerah-daerah kebudayaan luar sekitarnya (Romawi dan Persia) yang
berdekatan dengannya, seperti Irak, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya. Secara otomatis,
penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan
kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa,
suku, ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan
Arab dan non-Arab berkembang.
Terjadinya proses asimilasi dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal
Islam, secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenya bukan
hanya dalam dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif,
simetris dan dialogis antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit
pula dalam aspek-aspek tertentu berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang
terjadi di kawasan India (Ajid Thohir & Ading Kusdiana, 2006: ).
Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan
perkawinan antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang
ditaklukkan yang dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana
dan sepele. Karena masing-masing entitas yang secara genetika, bahasa, sistem sosial,
pemikiran bahkan keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing etnik sangat
70
berpengaruh dalam pola penerimaan terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada
akumulasi yang rumit. Namun untuk mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya
ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya proses asimilasi di dunia Islam khususnya
antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat daerah-daerah yang taklukkannya
hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga faktor tersebut adalah:
Doktrin atau Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, Mayoritas penduduk yang
ditaklukan masuk Islam, Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu
negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan yang
intens antara keduannya, kemudian memberikan kontribusi bagi wilayah-wilayah baru
yang akan mereka taklukkan (Ahmad Amin, 1933: 85).
Prinsip Ajaran Islam dalam Penaklukan
Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin
memerangi suatu negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka
bersedia secara sukarela masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama
kaum Muslim yang lain. Dengan demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satu-
satunya cara untuk menaklukan daerah lain. Perang hanya jalan terakhir. Dalam salah
satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan kalimat tersebut, darah dan harta
mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka hendaknya mereka
menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih diperbolehkan
menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka menerima
tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum
Muslimin lainnya”
Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem
perhambaan dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses
asimilasi ini. Sehingga,. perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem al-
wila” yakni kemerdekaan yang diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan
tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan dengan nasab keluarga yang
memerdekakannya; dan kedua ‘ashabiyah terjalinnya hubungan emosional persaudaraan
yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan. Sehingga dalam
perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi, sikap
mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya.
Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di
daerah-daerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orang-
orang Arab seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan
oleh al-Baladzury (1992: 280) ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka
penduduk tersebut secara berduyun-duyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam.
Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya Rustam terkalahkan, maka orang-orang
Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada
beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk Islam pada waktu itu. Pertama;
karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka mengakui kebaikan dan
kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari membayar pajak
(jizyah) (Ahmad Amin, 1933: 86). Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak
menjadi hina dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah).
71
Asimilasi Antara Orang Arab dan Non Arab
Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah
yang dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka
bergerak seirama dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti
halnya yang terjadi di Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai
pedagang dan karyawan dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh
para penakluk Arab. Termasuk berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli
Arab juga berlaku demikian. Dalam banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara
unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra,
saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan wilayah-wilayah sekitar luar Arab,
kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke jazirah Arab. Seperti
halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk serta berdomisili
di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada
proses asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam
banyak hal berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur
dengan hukum-hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya,
seperti sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini
terlihat dari berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi.
Apabalagi bangsa-bangsa yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup
dalam naungan negara yang lebih maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem
sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka sudah menjadi maklum, mereka juga
membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan system sosio kemasyrakatan
barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat besar dan hebat. Juga
sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi penguasa
kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan
Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan
Persia ke dalam dunia Islam.
Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses
asimilasi ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibty walaupun
mereka masuk agama Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya
keyakinan yang telah melekat selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang
ada tidak benar-benar murni bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan
pola pembentukan hukum undang-undang serta penataan kemiliteran Islam banyak
mengadopsi dari pola-pola Romawi.
Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara
cepat dan tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju
dibanding bangsa Romawi dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup
memiliki bahasa dan agama yang dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat
bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pengembangan kebudayaan
dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui proses sejarahnya.
Hellenisme Kebudayaan Islam?
Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman
pada abad ke-18, untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa
72
kejayaan kerajaan Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang
menguasai seluruh wilayah Laut Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika,
khususnya wilayah-wilayah yang berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya
berbentuk penyatuan kebudayaan yang dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan
antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam rangka membangun kebijakan ini, mereka
membentuk pola perkawinan massal antara tentara yang dibawa Dzulkarnaen dengan
penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria dan Persia. Penyatuan
kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus dilanjutkan pada masa
kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan tetapi tidak
sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam realitas
seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan
oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut.
Proses Hellenisme dalam Kebudayaan Islam
Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir,
Syria dan Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara
politis, sosiologis dan antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak
baru dalam membangun pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan
berbagai tradisi di wilayah-wilayah warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan
mereka yang selama ini hanya didapatkan dari alam lingkungan Arab dan warisan
kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW, maka perjumpaan mereka
dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar awhyu; meskipun
dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah
“kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti
filsafat, sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran
pengetahuan ajaran agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari
konsep-konesp pengetahuan baru tersebut.
Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat
studi sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta
rahib-rahib Nasran dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun
seperti di Jundishapur, dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat
kegiatan intelektual mereka dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis.
Dengan serta merta umat Islam melihat pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar
“ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan bentuk-bentuk ghanimah berupa materi,
nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah ini kelak akan menjadi alat dan
penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampai-sampai Umar bin Khathab
ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat memasuki wilayah-
wilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para pemegang
naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani
(Nurcholis Madjid, 2000: 222).
Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani,
Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang
cukup dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru
umat Islam yang didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum
73
al-awail”, pengetahuan dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang
selama ini mereka gunakan atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna
Nabi SAW, biasa disebut sebagai “ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak
pengetahuan luar ini akan digunakan sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan
berbagai epistemologi ilmu-ilmu kewahyuan, seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul
fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah proses penterjemahan dari sumber-
sumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab. Karena pengetahuan Yunani
ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka tidak sedikit pula
mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata ilmu-ilmu
Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani. Naskah-
naskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan
medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk
filsafat dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaan-
perpustakaan Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal
dari Euklidus.
Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga
ternyata telah didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra,
retorika, sejarah, politik dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan kebutuhan kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model
pengetahuan yang ditemukan, tenyata para cendikiawan muslim tidak seluruhnya
mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai dengan kebutuhan untuk kepentingan
agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang berada di luar kepetingan itu,
apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam mereka tidak ambil,
bahkan ditinggalkan sama sekali (Kuntowijoyo, 1991: 72). Seperti berbagai bentuk
mitologi Yunani yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam
naskah-naskah pemikiran Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan
cerita-cerita Israiliyat memang sangat dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait
dengan theater, gladiator, melodrama, cerita-cerita panggung Homeros, maupun cerita-
cerita tragedi dan komedi yang begitu popular di zaman Yunani maupun Romawi, namun
hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia literatur Islam. Karena nampaknya,
semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang mendapat apresiasi dalam
ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat muslim yang saat
itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan malah
nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur,
terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720-
756) seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa
India. Termasuk ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam
Sibawaih juga nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya
logikanya Yunani (Jurji Zaidan, 1996: 19-23).
Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam
Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di
antaranya:
1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu
pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam
mendorong bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala
74
sesuatu yang menyangkut bagi pengembangan tradisi sosial dan individual yang
berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal tidak bertentangan dengan norma-
norma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain
kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan
pusat-pusat kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk
bersentuhan secara langsung, bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah
ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera diolah.
2. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi
informasi tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang
kemanusiaan serta dorongan untuk mengembangkannya (Ahmad Amin, 1933:
143-144). Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan
cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan
mengembangkannya lebih jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat
itu, pada semua lini penelitian selalu berangkat dari wahyu yang memberi
informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu Yunani atau Persia memberi
jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi.
3. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendekiawan, ilmuan, maupun ulama,
sepakat untuk saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing
dalam memanfaatkan dan mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal
pemerintahan yang digunakan untuk pengembangan penterjemahan dalam
kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan tidak menyia-nyiakan
untuk memanfaatkannya.
4. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan,
sangat terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari
kalangan non-muslim seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi.
5. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung
bagi mereka yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup
mutawwatir, bahwa Khalifah Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu
menghargakan setiap naskah tulisan sesuai dengan berat timbangan emas (Ahmad
Amin, 1933: 145).
Pusat Saluran Hellenisme dalam Islam
Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam
pada umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat.
Pusat-pusat kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi
dan lokasi laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di
dalamnya, Seperti di:
a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam
mengembangkan kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini
berkembang ilmu kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah
Maristan. Madrasah Jundishapur nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan
kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran dan filsafat.
b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani
dan Romawi termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia,
Greek dan Romawi. Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia,
Yunani Kuno, dan Neo-Platonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah
75
kumpulan para pengikut agama pagan, perpaduan antara doktrin agama Babilonia,
Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada masa pemerintahan Al-Makmun
Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini nampaknya sebagai sumber
terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama bidang-bidang teknik
fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti Tsabit bin Qurrah
(221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang astronomi, Ibn
Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga
kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat
lembaga penterjemahan.
c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan
Romawi saat mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia
merupakan pusat pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai
madzhab Iskandariyah, yang dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan
rangkaian pikiran Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme
nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam terutam dalam theosofi (pemikiran
madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut” dan “nasut”. Salah satu
muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua abad sampai masa
pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary (150 M),
Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan
doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih
banyak mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan
bahasa Suryani dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun
Yahudi dengan filsafat Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi
agama dan filsafat seperti ini dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir,
Palestina, Aleppo dan Home (Philip K.Hitty, 1974: 309-310).
Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Kedalam Dunia Islam
Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa
Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya,
kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit
banyak telah mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak
pernah dikenal sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan
Amawiyah salah satunya sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian
dari karya-karya mereka ke dalam bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin
Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan).
Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah,
dan terbagi ke dalam tiga gelombang:
1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun Al-
Rasyid tau antara tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah
wa al-Dimnah dari bahasa Persia, al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga
karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab al-Majesti tentang astronomi.
Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn al-Muqaffa, serta
Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada
periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya
Aristoteles seperti al-Nidzom, yang mengupas tentang metode berlogika dan
berfilsafat.
76
2. Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H.
Mereka yang terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq
yang lebih menguasai filsafat dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai
karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho
bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220 H), Hunain bin
Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah
(w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir
seluruh karya-karya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Pikiran-pikiran Phytagoras, karya-karya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous,
Noumous dan Manajemen Perxxkotaan karya Plato, termasuk karya Al-Majesti
juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles, dan sebagainya,
seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya, Ishak
bin Hunain.
3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad
(320 H), Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn
Zur’ah (398 H), mereka masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan
psikologi Aristoteles, mereka juga sudah mulai memberi komentar terhadap
karya-karya ini (Philip K.Hitty, 1974: 311-316).
Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka,
juga terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam
doktrin-doktrin agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia
alam semesta. Bahkan untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode
berfikir filsafat, termasuk bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti
kedokteran, matematika, fisika, astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu
mengkoreksi bebagai kekurangan dan kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini.
Epistemologi Filsafat yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina,
kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd, Ibn Hazm, dan seterusnya telah
mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan epistemology sains seperti
yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky, dan seterusnya selalu
dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan kehidupan
manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu
astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan
sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya.
Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi dalam Islam
Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai
kewahyuan dan kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta.
Proses pengembangan dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut
sebagai peradaban. Kesemua fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam
mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang khas yang menunjukkan bahwa Islam
sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia. Karena dalam banyak hal,
Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada semua penganutnya
untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam aspek-aspek
kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur masjid,
sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat
pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk-
77
bentuk pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah (Syed Hossein Nasr, 1997: 11). Dengan
demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni dalam Islam secara keseluruhannya juga
memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam semesta, yang secara tidak langsung
juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir tidak ada ruang untuk
menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat secular atau
terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang MahaPencipta
dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS, 12: 36).
Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor (1997: 87) menjelaskan, bahwa sains, seni
dan budaya Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni
dan budaya masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan
keunikannya. Seperti halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini
bisa dimengerti, karena semua bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan
teknologinya tidak semata-mata lahir dari dunia yang kosong atau hampa, tapi ia
merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan system keyakinan si pencipta
(kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang mengililinginya. Sekalipun
demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya Islam sama sekali tanpa
mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam hal-hal yang
bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrin-
doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih
universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh
karena itu para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi
unsur-unsur luar dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsep-
konsep ajaran Islam itu sendiri.
Seni dalam Islam
Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan,
seperti surga, istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi
inspirasi bagi para kreator untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana
Nabi Sulaiman as, mengilhami lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan
muslim membentuk pusat kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di
atas kebiasaan rakyat biasa. Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah al-
Jamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami banyak hal bagi para seniman muslim yang taat
untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti
al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para kreator seni untuk
memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai larangan
Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang
bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini
tidak ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam
mewujudkan gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah (Seyyed Hossein Nasr,
1999: 43).
Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk
kaligrafi Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk
corak ragam hias ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan
sebagainya dengan berbagai ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang
dianggap bukan sejenis hewan atau manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau
tempat-tempat yang dianggap layak, biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan
78
ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi);
diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang lainnya yang sangat indah.
Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan
spiritual termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain
interior muslim dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu
menunjukkan muatan yang tak pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam
menghubungkan antara dirinya dengan pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah
Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushola, dan
tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam juga tidak lepas dari upaya sasaran
kreasi seni mereka.
Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia
Islam, selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang
antusias pada kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8
M yang sangat berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat
keagamaan masyarakat dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid
merupakan jantung masyarakat yang ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat
maka jantungnyapun akan sehat, begitupun sebaliknya. Dalam rangka memperindah
bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang telah dijelaskan banyak
ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari mulai di Cordova,
Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di India dan
masjid-masjid di Nusantara Indonesia (Omar Amin Hoesin, 1964: 43).
Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti
trends kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama
yakni bujur sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian
depannya bagi tempat imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang
secara histories baru popular muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai
tempat yang aman dan terhormat bagi para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat
spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu
sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah, semuanya tersedia ada disetiap
masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid dunia Islam selalu terfokus
pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic sanctuaries); Masjid al-
Haram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa Palestina.
Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam, tapi
juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan
kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci (Oleg Grabor, 1997: 79-81).
Sains dan Teknologi
Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah
mewariskan sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan
pengetahuan tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains)
dengan cara-cara menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan
oleh sejumlah sarjana muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M. Mereka bukan hanya
ditopang oleh pengetahuan dan pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah
dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan, terutama pada masa-masa kejayaan
Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi, pengembangan sains lebih dahulu
mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka sendiri, tapi juga mereka
79
dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam doktrin Islam saja.
Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan matematika, fisika
dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam benda, mereka
peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini mereka
kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut
adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya (Syed Hossein Nasr,
1997: 1-5). Perbedaan yang mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih
banyak berbicara tentang teori dan pengetahuan mengenai macam-macam objek baik
yang bersifat mendasar maupun universal, objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi
lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara menerapkan pengetahuan sains untuk
memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan kemudahan serta kenyamanan umat
manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi kehidupan umat manusia, baik dalam
hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat bagi kemudahan mereka hidup
Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan
Hellenisme Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan
dan metalurgi, matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang
matematika kontribusi Islam telah mengenalkan system bilangan India, dengan
mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah
bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun dengan jumlah klipatan yang sangat
panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizm (w.875
M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam (w.1131). Sedangkan
dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa, apalagi sejak
diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun 711 M
di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling
terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf.
Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang
dikembangkan oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny
(w.1040 M) juga mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan
al-Hikmah”. Pengobatan dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau
Mesopotamia, India dan lainnya. Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang
dokter dan penulis kitab pengobatan yang cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi
al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah membuktikan penguasaannya dalam hal
teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hampir menjadi sebuah kebiasaan bahwa para
dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap dalam profesinya,
selain sebagai filosof, astronom juga ahli (Syed Hossein Nasr, 1997: 171-199).
Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah
ditemukannya penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan
membuat jam melalui mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh al-
Muradi pada abad ke 11 M. Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari
gerakan air yang disambungkan dalam gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk
mengambil air dari saluran yang lebih rendah untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas,
juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan contohnya masih berfungsi sampai
abad ke 13 M.
Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum
alam wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya
80
Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi
Dr. Badar Abdurrahman Muhammad (1999) dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah
wa Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam
cukup memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini
menggambarkan kepada pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awal-
awal abad ke ke 4 Hijriyah sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang
dikemukakannya mengenai hal ini.
Proses Terjadinya Interaksi Uang dan Bisnis
Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui
adalah masalah pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negri Irak pada barang-barang
yang diimpor ke dalam negri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi,
kewajiban membayar retribusi ini bias dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa.
Maskawaih pernah menyatakan: “…pada tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara
Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah al-Hamdani untuk tidak membayar
retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke Baghdad”.
Retribusi ini tidak hanya diwajibkan anatar negara, akan tetapi juga antar kota di
bawah satu kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah
yang mana retribusi dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai
Dajlah. Termasuk para Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa
tenunan dan barang-barang dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga
dengan jual beli binatang ternak, seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi
perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi.
Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan.
Karena dinilai berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada
beberapa penguasa yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut
menilai bahwa kebijakan retribusi itu dapat menyulitkan rakyat.
Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada
tahun 306 H terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah.
Akan tetapi retribusi ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun
sehingga menambah biaya belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil.
Alat-alat Ukur (Takaran, Neraca dan Ukuran Jarak)
Takaran
Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’
yang sebanding dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas
isinya adalah 29,5 liter atau sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah
yang sebanding dengan lima rithl atau enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu
alat ukur orang Babil yang sebanding dengan 30 Karah.
Timbangan
Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang
basah dan yang kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling
popular waktu itu adalah rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram.
Alat Ukur Jarak
Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta.
Satu hasta sebanding dengan 24 jari.
81
Mata Uang
Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan
manusia dalam menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai
negara Islam tidak lah sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan
Persia menggunakan dirhan perak. Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam
sejak awal abad ke empat Hijriyah. Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun.
Penggunaan mata uang juga dijadikan kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan
salah satu penguasa untuk memakai mata uang tertentu dapat merugikan perekonomian
penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi percetakan mata uang dari tembaga tanpa
menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi menyebabkan terjadi krisis
ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan bentuk yang besar
dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap sisinya diberi
gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding dengan
seratus mistqol.
Percetakan Uang
Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka
tidak memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu
untuk menjaga nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang
diberikan tugas mengawasi adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti
Buwaihi tidak segan-segan untuk memberikan hukuman mati kepada orang yang
melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah jumlah percetakan uang yang resmi
berjumlah 150 buah.
Surat Perintah Pembayaran dan Cek
Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya
utusan bisnismen Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses
transaksi perdagangan kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan
uang dan barang.
Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah
memakai sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas
dari pengaruh budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap
system perdagangan yang telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa
untuk melanggengkan kekuasaannya.
Lembaga Peradilan dan Hukum Islam
Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy (2000) dalam karyanya Ad-Daulah al-
‘Utsmaniyah Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan
pada negara Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati
posisi yang cukup baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan
melewati waktu yang panjang untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka
bertugas dalam masalah-masalah hukum baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana,
perdata, hukum keagamaan maupun hukum-hukum positif. Atau secara umum mereka
menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan syariat Islam di seluruh pelosok negara
baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan dengan non Muslim. Pada masa
82
Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan madzhab resmi negara.
Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini. Kerena madzhab
resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung pada
beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama
dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra.
Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim.
Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia
bertempat di Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok
negara dan juga bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim.
Ada banyak bentuk pada kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan Ar-
Rumali. Keistimewaan kelompok ini adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada
pengangkatan hakim agung dengan menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari
kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke
delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang terhimpun pada beberapa organisasi.
Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim walaupun nama mereka tidak
diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima orang. Mereka
termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah mengawasi
wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim dari
kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras,
Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini
sangat besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat
ratus lima puluh hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di
Eropa jumlah mereka mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu
tingkat lebih rendah dari kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota
kecil dan desa-desa besar dan menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan
hadir untuk memutuskan suatu perkara. Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari
para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka
ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa memberikan fatwa sepanjang hidupnya.
Penutup.
Demikian besar secara historis, Islam sebagai kekuatan kebudayaan dalam
merealisasikan dirinya pada pengembangan sains, hukum, teknologi, ekonomi dan ilmu-
ilmu humaniora lainnya. Hingga saat ini, warisan agung (the great-heritage) yang telah
diciptakannya masih tetap agung, meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah
jauh meninggalkan jejaknya. Bagi generasi muslim saat ini, keagungan peradaban Islam
hendaknya bukanlah hanya sekedar mitos, tapi menjadi etos dimana upaya-upaya
terdahulu para pioner muslim telah mampu membangkitkan dan mengungkap rahasia
keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan untuk dikembangkan oleh manusia.
Tradisi besar membangun “wahyu memandu ilmu pengetahuan” telah dicoba pada semua
lini, meskipun tentunya dengan sisi-sisi keterbatasan kemanusiaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, Juz
2, Dar al-Fikr, 1992.
83
Ahmad Amin, Fajr al-Islam; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir
al-Daulat al-Amawiyyat, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore,
1933.
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo, cet.2,
2009.
__________& Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial,
Politik,Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006.
Abdul ‘Aziz Muhammad al-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr
wa al-Tauzi’, 2000.
Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar
al-Nahdlah al-‘Arabiyah, 1999.
Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar al-Fikr ,1996.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2000.
Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997.
Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1964.
Syed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban Dalam Islam, terj. J. Mahyudin, Penerbit
Pustaka, Bandung, 1997.
________________, Spiritualisme Islam, Mizan, Bandung, 1999.
Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives,
Second Edition, Pluto Press, London, 2002.
84
GERAKAN ULAMA DI GARUT:
PERSPEKTIF KONSTRUKSI SOSIAL
Setia Gumilar
Abstrak
Gerakan ulama Garut (1998-2007) yang dilakukan secara terus menerus menimbulkan perubahan tatanan masyarakat dan mengandung unsur-unsur konstruksi manusia (ulama), karena gerakan ulama bukan sekedar kelakuan dan produk kelakuan. Realitas dinamika gerakan ulama akan selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh, ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak mungkin menangkap realitas keberagamaan, tanpa terlibat dalam proses sosial yang kontinu. Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut merupakan realitas sosial yang memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia (ulama) merupakan pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Perubahan tatanan sosial masyarakat Garut dari orientasi keagamaan bergeser pada orientasi politik, merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi.
Kata-kata Kunci
Gerakan, Ulama, Perspektif, Konstruksi, Sosial
Pendahuluan
Buku yang berjudul Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan karya Peter L. Berger dan Thomas Luckmann yang
diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1990 merupakan terjemahan dari buku
aslinya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the
Sociology of Knowledge yang diterbitkan pertama kalinya di Amerika Serikat oleh
Penerbit Penguin Books tahun 1966. Buku setebal 276 halaman ini memuat tiga
bab yang diawali dengan Pengantar Penulis dan prakata dari Frans M. Parera
yang menjelaskan tentang Menyingkap Misteri Manusia sebagai Homo Faber.
Kemudian dilanjutkan dengan pendahuluan yang menjelaskan Masalah Sosiologi
Pengetahuan.
85
Bab 1 dalam buku edisi bahasa Indonesia ini diungkap mengenai Dasar-
Dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari, dibagi dalam beberapa sub
bab. Pertama, Kenyataan Hidup Sehari-hari. Kedua, Interaksi Sosial dalam
Kehidupan Sehari-hari. Ketiga, Bahasa dan Pengetahuan dalam Kehidupan
Sehari-hari. Bab 2 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan
Obyektif, terdiri dari dua sub bab, yaitu: Pertama, Pelembagaan dan Kedua,
Legitimasi. Bab 3 mengungkapkan tentang Masyarakat sebagai Kenyataan
Subyektif, terdiri dari empat sub bab, yaitu: Pertama, Internalisasi Kenyataan.
Kedua, Internalisasi dan Struktur Sosial. Ketiga, Teori-Teori Identitas. Keempat,
Organisme dan Identitas. Buku ini diakhiri dengan Kesimpulan tentang Sosiologi
Pengetahuan dan teori Sosiologi.
Berger dan Luckmann, melalui buku ini mengajukan gagasan perubahan
dalam sosiologi pengetahuan: Pertama, Berger dan Luckmann menganggap
sejarah perkembangan gagasan dan ideologi merupakan bagian kecil dari
wacana sosiologi pengetahuan. Kedua, sosiologi pengetahuan merupakan ilmu
dengan konsentrasi pada hubungan antara konteks sosial dan pengetahuan
manusia.
Berger dan Luckmann menggambarkan proses di mana melalui tindakan
dan interaksinya, manusia menciptakan secara terus-menerus sebuah
kenyataan yang dimiliki bersama, yang dialami secara faktual obyektif, tetapi
penuh makna secara subyektif. Berger dan Luckmann lebih mengedepankan
pandangan dialektik ketika melihat hubungan antara manusia dan masyarakat;
manusia menciptakan masyarakat demikian pula masyarakat menciptakan
manusia yang dikenal dalam istilah eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi.
Konstruksi Sosial atas Realitas
Buku ini melahirkan teori yang disebut dengan teori Konstruksi Sosial.
Konstruktivisme merupakan pandangan terhadap dunia. Menurut Berger dan
Luckman konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh
dari hasil penemuan sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara
sosial dan sosiologi merupakan ilmu pengetahuan (sociology of knowlodge)
86
untuk menganalisa bagaimana proses terjadinya realitas. Dari pemahaman di
atas, realitas dan pengetahuan berbeda dan dipisahkan satu sama lain.
Menurutnya Realitas (kenyataan) adalah kualitas yang terdapat dalam gejala-
gejala yang diakui sebagai hal yang memiliki keberadaan (being) yang tidak
tergantung pada kehendak individu-individu (tidak dapat ditiadakan dengan
angan-angan). Pengetahuan adalah kepastian bahwa gejala-gejala itu nyata
dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Dalam kenyataanya,
realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran seseorang baik di dalam
maupun di luar realitas tersebut. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial
tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga
memantapkan realitas tersebut secara objektif (Fachri Firdusi, dalam
http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/).
Mengenai realitas ini, Masnur Muslich menyebutkan setidaknya ada tiga
teori untuk memahami realitas yang mempunyai pandangan yang berbeda, yaitu
teori fakta sosial, teori definisi sosial, dan teori konstruksi sosial. Teori fakta
sosial beranggapan bahwa prilaku dan pandangan manusia sangat ditentukan
oleh sesuatu yang ada di luar dirinya, dalam hal ini adalah masyarakat dan
lingkungnnya. Fakta Sosial menurut Durkheim adalah sesuatu yang ada di luar
diri individi (manusia). Fakta sosial bisa berbentuk norma, struktur, dan institusi
sosial yang akan menentukan individu (manusia) dalam arti luas. Sementara itu,
teori definisi sosial yang dikembangkan oleh Weber beranggapan bahwa
manusialah yang membentuk perilaku masyarakat. Norma, struktur, dan institusi
sosial dibentuk oleh individu-individu yang ada di dalamnya. Manusia benar-
benar otonom. Ia bebas membentuk dan memaknakan realitas, bahkan
menciptakannya. Jadi, realitas dipandang sebagai sesuatu yang internal,
subjektif, dan nisbi. Ia merupakan kenyataan subjektif yang bergerak mengikuti
dinamika makna subjektif individu, demikian diungkap oleh Masnur Muslich
dalam tulisannya yang berjudul “Kekuasaan Media Masa Mengkonstruksi
Realitas”.
Masnur Muslich menyebutkan bahwa kedua teori di atas mempunyai
aspek kelemahan. Ia menyebutkan bahwa teori fakta sosial menafikan
87
keberadaan individu, sementara teori definisi sosial sangat menafikan struktur
sosial.
Teori Konstruksi Sosial lahir sebagai respon dari kelemehan dua teori di
atas. Teori ketiga ini berusaha untuk menggabungkan kedua cara pandang yang
berbeda, demikian diungkapkan oleh Masnur Muslich. Teori ini dikembangkan
oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann yang berusaha melakukan sintesa
terhadap dua pandangan yang sangat berlawanan. Berger dan Luckmann
berpandangan bahwa kenyataan kehidupan sehari-hari memiliki dimensi-dimensi
obyektif dan subyektif. Manusia adalah pencipta kenyataan sosial yang obyektif
melalui proses eksternalisasi, sebagaimana kenyataan obyektif mempengaruhi
kembali manusia melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan
subyektif) (Frans M Parera, 1990: xx).
Menurut Berger dan Luckmann masyarakat adalah produk manusia dan
manusia adalah produk masyarakat sehingga realitas itu terbentuk secara sosial
dan merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas oleh Berger dirumuskan
sebagai suatu kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada
di luar kemauan manusia, karena realitas itu merupakan suatu yang tidak dapat
dihindarkan kehadirannya. (Berger dan Luckman, 1990).
Kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas hasil interpretasi
manusia dan bermakna dalam diri individu sebagai dunia yang masuk akal.
Dunia kehidupan sehari-hari ini tidak hanya diangap sebagai suatu realitas yang
sudah ada sebelumnya oleh individu-individu dalam masyarakat, tapi juga
merupakan sebuah dunia yang mempengaruhi dan membentuk pikiran serta
tindakan mereka. Realitas dari kehidupan sehari-hari merupakan sebuah realitas
di mana individu-individu saling berbagi pengalaman subjektif di antara mereka.
Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan pelembagaan di
dalamnya. Proses pelembagaan (institusionalisasi) diawali oleh eksternalisasi
yang dilakukan berulang-ulang --sehingga terlihat polanya dan dipahami
bersama--yang kemudian menghasilkan pembiasaan (habitualisasi). Masyarakat
sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi. Legitimasi
berfungsi untuk membuat obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk
88
akal secara subyektif (Muhammad Arwan Rosyadi, dalam
http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11).
Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas
obyektif ditafsiri secara subyektif oleh individu. Dalam proses menafsiri itulah
berlangsung internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia
untuk ’mengambil alih’ dunia yang sedang dihuni sesamanya. (Muhammad
Arwan Rosyadi, dalam http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11).
Melalui teori konstruksi sosial ini, Berger memandang bahwa konstruksi
sosial merupakan sebuah proses dialektika tiga tahap, yaitu eksternalisasi,
obyektivasi, dan internalisasi. (Berger dan Luckmann, 1990: 185). Pertama,
tahap eksternalisasi yaitu penyesuian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai
produk manusia. Kedua, objektivikasi yaitu interaksi sosial dalam dunia
intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi
Ketiga, internalisasi, sebagai proses individu mengidentifikasi diri dengan
lembaga-lembaga sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga proses
tersebut saling berdialektika secara terus menerus pada diri individu dalam
rangka pemahan tentang realitas. (Berger dan Luckmann, 1990).
Memahami Gerakan Ulama di Garut dengan Perspektif Konstruksi Sosial
Kabupaten Garut dikenal sebagai salah satu kota santri yang terletak di
wilayah Priangan Timur, Jawa Barat. Hal ini antara lain disebabkan karena
masyarakat Garut yang mayoritas Muslim dan terdapat banyak pesantren dan
aktivitas keagamaan. Nuansa agamis di Garut ini memang terasa kental. Hampir
di setiap wilayah Kabupaten Garut dengan mudah ditemui lembaga pendidikan
Islam dengan beragam kegiatan, sehingga menjadikan Garut sebagai daerah
yang disebut tempatnya santri sekaligus tempatnya ulama. Berdasarkan data
yang ada di kabupaten Garut tahun 2008, jumlah pemeluk agama Islam di
Kabupaten Garut sebesar 2.220.516 jiwa dari jumlah penduduk Garut 2.225.241
jiwa. Jumlah ulama di Kabupaten Garut yang terdata sebanyak 2.335 orang.
Jumlah pondok pesantren yang tersebar di Kab. Garut sebanyak 988 buah
dengan jumlah santri 127.999 orang. Adapun jumlah mesjid 4.297 buah, langgar
89
6.677 buah dan mushola 3.571 buah. (Data Seksi Penerangan Agama Islam
Kantor Departemen Agama Kabupaten Garut, 2008).
Kota santri bisa dibuktikan dengan adanya lembaga pendidikan Islam.
Saat ini di Garut terdapat 108 Raudhatul Athfal (TK Islam), 151 Madrasah
Ibtidaiyah (MI), 137 Madrasah Tsanawiyah (Mts), 46 Madrasah Aliyah (MA), 942
Madrasah Diniyah (MD) dan 515 pesantren. (Hasbullah, 2006). Selain itu,
Moeflich Hasbullah menyebutkan bahwa nuansa religiusitas kota santri
dibuktikan lagi oleh jumlah organisasi dan lembaga dakwah yang ada di Garut,
yang diklasifikasikan kepada empat jenis organisasi yaitu organisasi dakwah
(orwah), majelis ta’lim, remaja mesjid, dan lembaga pendidikan al-Qur’an.
(Hasbullah, 2006).
Keadaan seperti itu menjadi hal yang signifikan dalam mempengaruhi
gerakan dalam memunculkan kebijakan-kebijakan pemerintahan ataupun
kebutuhan maupun tuntutan publik secara langsung sesuai dengan kondisi dan
potensi kedaerahan.
Seiring dengan perubahan tatanan sosial politik dari Orde Baru ke Orde
Reformasi, gerakan ulama di Garut mengalami pergeseran. Peralihan dari
Orde Baru ke Orde Reformasi ditandai dengan adanya perubahan struktur
sosial, membawa harapan bagi berbagai komponen, salah satunya ulama.
Ulama Garut merespon dengan baik adanya peralihan tersebut. Gerakan yang
diharapkan dipahami akan mendatangkan perubahan. Keterkungkungan medan
ekspresi selama pada zaman Orde Baru diharapkan segera terbuka. Harapan
dan keterbukaan pada Orde Reformasi ini membawa harapan baru bagi strategi,
pola dan karakteristik, serta sasaran gerakan yang akan dilakukan oleh para
ulama Garut. Peralihan tatanan ini, ternyata dapat merubah watak dan
paradigma gerakan ulama. Ulama (kyai) yang pada awalnya bergerak di jalur
keagamaan, pemberdayaan umat, serta kultural, yang dalam bahasa Clifford
Geertz (1981) disebut cultural broker (makelar budaya), sudah mengalami
perubahan. Gerakan ulama pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan
perubahan politik di tanah air. Ulama pun mulai merambah wilayah politik,
ekonomi, dan hukum.
90
Kenyataan tersebut, di antaranya disebabkan oleh adanya perubahan dari
tatanan sosial politik Orde Baru yang kecenderungannya membatasi ruang gerak
ulama ke tatanan sosial Orde Reformasi yang cenderung membuka kran
kebebasan bagi setiap unsur masyarakat, dalam hal ini ulama, untuk melakukan
segala aktivitasnya. Adanya pergeseran gerakan ulama ini berdampak kepada
tatanan sosial masyarakat Garut. Di antaranya, gerakan ulama yang berorientasi
pada aspek politik, berdampak terhadap reposisi ulama dalam hubungannya
dengan umara. Dalam aspek ekonomi, di antaranya, gerakan zakat yang
diperjuangkan oleh ulama berdampak pada peningkatan sadar zakat bagi
masyarakat Garut. Dalam aspek hukum, di antaranya, gerakan ulama Garut
berdampak kepada kesadaran untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan
yang tertuang dalam Perda. Dari kenyataan tersebut, penulis ingin mencoba
melihat bagaimana dinamika gerakan ulama di Garut dalam kurun waktu 1998-
2007.
Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Gerakan ulama di Garut sebagai
suatu realitas sosial memiliki dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia
(ulama) adalah pencipta realitas sosial yang objektif melalui proses
eksternalisasi, sebagaimana realitas objektif mempengaruhi kembali individu
melalui proses internalisasi (yang mencerminkan kenyataan subjektif). Dengan
demikian menurut kerangka Berger perubahan tatanan sosial masyarakat Garut
pada kurun waktu 1998-2007 yang ditandai dengan adanya perubahan gerakan
ulama dari orientasi kepada keagamaan bergeser pada orientasi politik
merupakan implikasi dimensi realitas objektif dan subjektif yang terjadi di Garut
atau bisa dikatakan sebagai proses dialektis dari objektivasi, internalisasi, dan
eksternalisasi.
Gerakan ulama diartikan sebagai konstruksi sosial yang dilakukan oleh
ulama secara terus menerus sehingga menimbulkan perubahan dalam tatanan
masyarakat, terutama di Garut. Gerakan ulama, dengan demikian mengandung
unsur-unsur konstruksi manusia (ulama) karena gerakan ulama bukan sekedar
kelakuan dan produk kelakuan. Jadi, realitas dinamika gerakan ulama akan
selalu diwarnai oleh lingkungan sosial di mana realitas itu diperoleh,
91
ditransmisikan atau dipelajari. Ulama tidak akan pernah dapat menangkap
realitas keberagamaan, kecuali terlibat di dalam proses sosial secara terus-
menerus. Hal itulah yang tertuang di dalam pandangan Berger dan Luckmann
yang populer dengan istilah—eksternalisasi, obyektivikasi dan internalisasi—
ketika melihat hubungan manusia, masyarakat dan agama. Ketiga momen ini
secara simultan membentuk Gerakan Ulama.
Satu contoh konstruksi sosial yang dilakukan oleh ulama di Garut adalah
melakukan perubahan tatanan sosial pada kurun waktu 1998-2007. Posisi Ulama
pada kurun ini berupaya untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat
Garut. Terbukti, ulama mampu melakukan gerakan yang tidak hanya berorientasi
pada aspek keagamaan, tetapi juga pada aspek politik, hukum dan ekonomi.
Dalam melakukan perubahan, ulama pun ditentukan oleh struktur yang
mengitarinya. Perubahan struktur dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang dapat
menuntut ulama untuk melakukan enabling dalam tatanan masyarakat Garut. Hal
ini dipahami bahwa upaya yang dilakukan oleh ulama merupakan hasil
pemahamannya terhadap struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan
syariat Islam dan gerakan anti korupsi merupakan upaya ulama dalam
melakukan perubahan dalam tatanan masyarakat Garut pada kurun waktu 1998-
2007.
Ulama dalam melakukan gerakannya di Garut didasarkan pada motivasi
dirinya dan struktur yang mengitarinya. Gerakan pemberlakuan Syari’at Islam
pada tahun 2002 dengan dibentuknya Lembaga Pengkajian, Penegakkan dan
Penerapan Syari'at Islam (LP3SyI) merupakan hasil pemahaman ulama dalam
aspek politik yang menganggap bahwa tatanan masyarakat Garut akan berjalan
dengan baik manakala syari’at Islam ditegakkan. Pemahaman ini bisa
diwujudkan seiring dengan perubahan struktur politik dari Orde Baru ke Orde
Reformasi. Orde Reformasi yang ditandai dengan kebebasan berekspresi
memudahkan para ulama melakukan gerakan secara kolektif dalam mewujudkan
pemberlakuan Syari’at Islam, tepatnya pada tanggal 15 Maret 2002 (Priangan, 2-
5 Maret 2002).
92
Dibentuknya LP3SyI ini dimaksudkan sebagai wadah untuk melakukan
kajian, penerapan dan penegakan syari’at Islam. Selain itu, LP3SyI sebagai
respon Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan organisasi Islam tentang keinginan
pemberlakuan syari’at Islam, demikian diungkapkan oleh Kusaeni, Kepala
Kesbang Pemkab Garut (Priangan, 2-5 Maret 2002).
LP3SyI dideklarasikan pada tanggal 15 Maret 2002 bertepatan dengan
tanggal 1 Muharram 1423 H. Keputusan ini berdasarkan pada kesepakatan
bersama antara MUI dan Dewan Imamah yang beranggotakan 50 orang, yang
terdiri dari ulama, cendekiawan muslim, praktisi hukum, dan orpol Islam.
Koordinator deklarasi tersebut berdasarkan kesepakatan, dijabat Ketua MUI.
(Majalah Tempo, 15 Maret 2002). Adapun isi deklarasi tersebut yang ditulis
dalam Naskah Deklarasi LP3SyI Kabupaten Garut, yaitu:
Pertama, bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan masyarakat Garut
pangirutan yang tata tengtrem kerta raharja menuju ridha Allah dalam wadah
NKRI yang berdasarkan Ketuhanan YME, maka pengamalan Syari’at Islam bagi
para pemeluknya merupakan suatu kewajiban. Kedua, bahwa penerapan dan
pelaksanaan Syari’at Islam di Kabupaten Garut merupakan realitas aspirasi yang
perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti. Ketiga, bahwa penyebarluasan dan
penegakan syari’at Islam wajib dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan
penuh tanggung jawab.
Keempat, bahwa untuk tercapainya penerapan dan pengamalan Syari’at
Islam di Kabupaten Garut, diperlukan suatu proses pengkajian yang mendalam,
sejalan dengan dinamika perubahan tatanan sosial dan budaya
masyarakat.Untuk mencapai tujuan itu, dengan bertawakal kepada Allah SWT,
kami sepakat mendeklarasikan penegakan dan penerapan Syari’at Islam melalui
LP3SyI Kabupaten Garut. Semoga Allah memberkatinya dan senantiasa
mencurahkan taufik dan hidayahnya kepada kita sekalian. Amin.
Penutup
Salah satu implementasi dari deklarasi ini, Dede Satibi, selaku Bupati
Garut mengintruksikan seluruh jajarannya, khususnya wanita muslim untuk
93
memakai jilbab dan intruksi kepada kaum muslim untuk membayar zakat. (Suara
Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002). Mengenai zakat ini, ulama Garut berusaha
untuk melakukan gerakan dalam bidang ekonomi, dengan menyuarakan gerakan
sadar zakat. Diawali dengan lahirnya Perda No. 1 tahun 2003 tentang
pengelolaan zakat, infaq, dan sodaqoh mempengaruhi terhadap kesadaran umat
Islam Garut untuk membayar zakat, infaq, dan sodaqoh.
DAFTAR PUSTAKA
Adian, D. Gahral, 2002. Menyoal Objektifitas Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Traju.
Berger, Peter L dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan . Jakarta: LP3ES.
-------------. 1991. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Amerika Serikat: Penguin Books.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.
Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Terjemahan oleh Aswab Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya.
Moeflich Hasbullah, ‘Gerakan Superfisial Neofundamentalisme Islam: Pendekatan Antropologi Politik Islam di Garut’ KHAZANAH, Jurnal Ilmu Agama Islam, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Vol. 3 No. 10, Juli – Desember 2006.
Muslich, Masnur. “Kekuasaan Media Massa Mengkonstruksi Realitas”. Laporan Penelitian.
Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1 dan 2. (terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia.
Poloma, Margaret M. 1984. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: CV Rajawali. Priangan, 2-5 Maret 2002.
Majalah Tempo, 15 Maret 2002.
Suara Rakyat, Merdeka, 5-12 April 2002.
Naskah Deklarasi LP3SyI.
Perda No. 1 tahun 2003.
http://fahri99.wordpress.com/2007/06/26/).
http://newblueprint.wordpress.com/2008/01/11.
94